pedoman dan prosedur penetapan fatwa · disampaikan dalam rapat koordinasi fatwa mui se-sumatera...

Post on 31-Oct-2020

13 Views

Category:

Documents

0 Downloads

Preview:

Click to see full reader

TRANSCRIPT

PEDOMAN DAN PROSEDUR PENETAPAN FATWA

MAJELIS ULAMA INDONESIA

SUMATERA UTARA

Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Fatwa MUI se-Sumatera Utara, 11– 12

Agustus 2018

PENGERTIAN

� Fatwa adalah jawaban atau penjelasan dariulama mengenai masalah keagamaan danberlaku untuk umum.

� Fatwa MUI adalah fatwa MUI tentang suatumasalah keagamaan yang telah disetujui olehanggota Komisi dalam rapat komisi.

� Fatwa Produk Halal adalah fatwa yang ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI mengenaiproduk pangan, obat-obatan dan kosmetika.

PENGERTIAN

� Auditor Halal adalah orang yang ditugaskan oleh LPPOM MUI untuk melakukan audit halal setelah melalui proses seleksi yang mencakup kompetensi, kualitas, dan integritas, serta lulus pelatihan yang diadakan oleh LPPOM MUI, dan berfungsi sebagai wakil dari ulama dan saksi untuk mencari fakta tentang produksi halal di perusahaan.

� Auditing adalah proses pemeriksaan atau penilaian secarasistematik, independen dan terdokumentasi yang dilakukanoleh Auditor Halal untuk menentukan apakah penerapanSistem Jaminan Halal berjalan sesuai dengan ketentuan.

� Sertifikat Halal adalah fatwa tertulis yang dikeluarkan olehMUI melalui keputusan sidang Komisi Fatwa yang menyatakan kehalalan suatu produk berdasarkan prosesaudit.

OTORITAS DAN DASAR

FATWA

� Penetapan fatwa dilakukan secara kolektif oleh suatu lembaga yang disebut Komisi Fatwa.

� Penetapan fatwa didasarkan pada Al-Quran, Hadist, Ijma’, Qiyas dan dalil lain yang mu’tabar.

SIFAT FATWA

� Proses penetapan fatwa bersifat :� responsif,

� proaktif dan

� antisipatif.

� Fatwa yang ditetapkan bersifat :� argumentatif (memiliki kekuatan hujjah),

� legitimatif (menjamin penilaian keabsahanhukum),

� kontekstual (waqi’iy),

� aplikatif (siap diterapkan), dan

� moderat.

METODE PENETAPAN FATWA (Ps 5 – 7)

� Sebelum fatwa ditetapkan, dilakukan kajian komperehensif terlebih dahulu guna memperoleh deskripsi utuh tentang :� obyek masalah (tashawwur al-masalah),

� rumusan masalah;

� dampak sosial keagamaan yang ditimbulkan dan titik kritis dari berbagai aspek hukum (norma syari’ah) yang berkaitan dengan masalah tersebut.

� Kajian komprehensif mencakup:� telaah atas pandangan fuqaha mujtahid masa lalu, pendapat

para imam madzhab dan ulama yang mu’tabar,

� telaah atas fatwa-fatwa yang terkait, serta

� pandangan ahli fikih terkait masalah yang akan difatwakan.

� Kajian komprehensif antara lain dapat melalui penugasan pembuatan makalah kepada Anggota Komisi atau ahli

PENETAPAN FATWA

1. Masalah yang ma’lum min al-din bi al-dlarurah � langsung difatwakan dengan menyampaikan hukum sebagaimana apa adanya.

2. Masalah yang terjadi perbedaan pendapat (masail khilafiyah) di kalanganmadzhab, maka :

1. Penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha pencapaian titik temu di antara pendapatmelalui metode al-jam’u wa al-taufiq;

2. Jika tidak tercapai titik temu, penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih melaluimetode muqaranah (perbandingan) dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqihmuqaran.

3. Masalah yang tidak ditemukan pendapat hukum di kalangan madzhab atau ulamayang mu’tabar, didasarkan pada ijtihad kolektif melalui metode bayani dan ta’lili(qiyasi, istihsaniy, ilhaqiy, istihsaniy dan sad al-dzaraa’i) serta metode penetapan hukum (manhaj) yang dipedomani oleh para ulama madzhab.

4. Dalam masalah yang terdapat perbedaan di kalangan peserta Rapat, dan tidak tercapai titik temu, maka penetapan fatwa disampaikan tentang adanya perbedaan pendapat tersebut disertai dengan penjelasan argumen masing-masing, disertai penjelasan dalam hal pengamalannya, sebaiknya mengambil yang paling hati-hati (ihtiyath) serta sedapat mungkin keluar dari perbedaan pendapat (al-khuruuj min al-khilaaf).

PROSEDUR RAPAT

� Rapat harus dihadiri oleh para anggota Komisiyang jumlahnya dianggap cukup memadaioleh pimpinan rapat.

� Dalam hal-hal tertentu, rapat dapatmenghadirkan pakar atau tenaga ahli yang berhubungan dengan masalah yang akandifatwakan.

Rapat diadakan jika terdapat:

� permintaan atau pertanyaan dari masyarakat;

� permintaan atau pertanyaan dari pemerintah, lembaga/organisasi atau MUI sendiri;

� perkembangan dan temuan masalah-masalahkeagamaan yang muncul akibat perubahansosial kemasyarakatan, kemajuan ilmupengetahuan dan teknologi serta seni budaya.

Pimpinan Rapat

� Rapat dipimpin oleh Ketua atau Wakil KetuaKomisi atas persetujuan Ketua Komisi, didampingi oleh Sekretaris dan/atau WakilSekretaris Komisi.

� Jika Ketua dan Wakil Ketua Komisiberhalangan hadir, rapat dipimpin oleh salah satu pimpinan Komisi yang hadir.

� Selama proses rapat, Sekretaris dan/atauWakil Sekretaris Komisi mencatat usulan, saran dan pendapat Anggota Komisi untukdijadikan Risalah Rapat dan Bahan Fatwa Komisi.

FORMAT FATWA

� Nomor dan Tema Fatwa

� Kalimat Basmalah.

� Konsideran yang terdiri atas :

� Menimbang; memuat latar belakang dan alasan serta urgensi penetapan fatwa.

� Mengingat; memuat dasar-dasar hukum (adillah al-ahkam) yang berbentuk nash

syar’i, terjemah dalam bahasa Indonesia dan penjelasan terkait pemanfaatan

dalil sebagai argumen (wajhu al-dilalah)

� Memperhatikan; memuat pendapat para ulama, peserta rapat, para ahli dan hal-

hal lain yang mendukung penetapan fatwa.

� Diktum yang memuat :

� Ketentuan Umum; yang berisi tentang definisi dan batasan pengertian masalah

yang terkait dengan fatwa, jika dipandang perlu

� Ketentuan Hukum; yang berisi tentang substansi hukum yang difatwakan.

� Rekomendasi dan/atau solusi masalah jika dipandang perlu.

� Lampiran-lampiran terkait masalah yang difatwakan, jika dipandang perlu.

TANDA TANGAN

� Fatwa ditandatangani oleh Ketua danSekretaris Komisi.

� Terhadap beberapa fatwa yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut, fatwa dapat diberikan penjelasan agar dapat dipahami secara utuh oleh masyarakat.

KEWENANGAN DAN WILAYAH

FATWA (16 – 19)

� MUI berwenang menetapkan fatwa mengenai masalah syari’ah secara umum, baik dalam bidang akidah, ibadah, maupun akhlak

� Kewenangan penetapan fatwa juga meliputi:� faham keagamaan yang muncul di masyarakat,

� masalah sosial kemasyarakatan,

� masalah pangan obat-obatan dan kosmetika (POM),

� masalah yang terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta

� masalah ekonomi syari’ah.

KEWENANGAN DAN WILAYAH

FATWA

� Majelis Ulama Indonesia berwenang menetapkan fatwa yang menyangkut :� umat Islam secara nasional atau

� masalah-masalah keagamaan di suatu daerah yang berpotensi meluas ke daerah lain.

� Terhadap masalah yang terjadi di daerah dan belum difatwakan oleh MUI, Majelis Ulama Indonesia Daerah berwenang untuk menetapkan fatwa terkait masalah tersebut.

� Majelis Ulama Indonesia Daerah yang berwenang menetapkan fatwa adalah � Komisi Fatwa MUI Provinsi dan

� Komisi Fatwa MUI Kabupaten/Kota.

KEWENANGAN DAN WILAYAH

FATWA

� Terhadap masalah yang telah difatwakan olehMUI, MUI Daerah hanya berhak untukmelaksanakannya.

� Pada kasus tertentu di mana Fatwa MUI tidakdapat dilaksanakan, MUI daerah berkewajibanuntuk berkonsultasi kepada MUI untukmenetapkan Fatwa Khusus yang terkaitmasalah tersebut.

KEWENANGAN DAN WILAYAH

FATWA

� Terhadap masalah-masalah yang sangatmusykil dan sensitif, MUI Daerah berkewajiban melakukan koordinasi dan konsultasi terlebih dahulu kepada MUI.

FATWA PRODUK HALAL (20 –21)

� Penetapan fatwa produk halal dilakukan setelah :

� adanya laporan hasil pemeriksaan (auditing) oleh Auditor

Halal dan

� telah melalui proses evaluasi dalam Rapat Auditor LPPOM

MUI.

� Laporan hasil audit disampaikan oleh Direktur LPPOM

MUI dalam Sidang Pleno Komisi.

� Dalam bidang yang memerlukan keahlian fikih secara

khusus, seperti proses penyembelihan dan proses

pensucian, Auditor Halal dalam menjalankan tugasnya

disertai oleh Komisi Fatwa.

� Sertifikat Halal dikeluarkan oleh MUI setelah ditetapkan

status kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI.

RUANG LINGKUP

� Penetapan fatwa terhadap produk yang berskala nasional dan internasionaldilakukan oleh MUI.

� Penetapan fatwa terhadap produk yang berskala lokal dapat dilakukan oleh MUI Daerah.

FATWA EKONOMI SYARI’AH

� Penetapan fatwa tentang ekonomi syari’ah yang terkait dengan produk dan jasa keuangan syari’ah dilakukan oleh DSN-MUI.

� Penetapan fatwa tentang ekonomi syari’ah mengikuti pedoman penetapan fatwa dalam ketentuan ini.

� Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme penetapan fatwa ekonomi syari’ah diatur oleh Dewan Syari’ah Nasional.

LAIN-LAIN

� Di samping penetapan fatwa dengan format sebagaimana diatur dalam Pasal 13, Komisi Fatwa juga menetapkan fatwa melalui :� surat dan/atau

� melalui lisan secara langsung tanpa melalui rapat Komisi Fatwa terhadap masalah yang telah jelas hukum dan dalil-dalilnya (ma’lum min al-din bi al-dlarurah) dengan menyampaikan hukum sebagaimana apa adanya.

� Di samping penetapan fatwa, Komisi Fatwa berwenang :� menetapkan Rekomendasi Kesesuaian Syari’ah atas berbagai

hal yang terkait dengan masalah keagamaan praktis untuk menjadi panduan bagi masyarakat.

� Rekomendasi kesesuaian syari’ah diberikan kepada masyarakat yang mengajukan setelah dilakukan pengkajian dan pendalaman sesuai dengan ketentuan syari’ah.

FATWA MUI SEBAGAI WADAH IJTIHAD JAMA’I

•BERDASARKAN PAARTISIPASI KEPESERTAAN, IJTIHAD DIKATEGORIKAN MENJADI DUA; (I) IJTIHAD PERSONAL (IJTIHAD FARDI) DAN IJTIHAD KOLEKTIF (IJTIHAD JAMA`I).

• IJTIHAD JAMA’I DILAKUKAN OLEH SEJUMLAH (SEKELOMPOK) ORANG YANG TERDIRI ATAS PARA AHLI DI BERBAGAI BIDANG, YANG SECARA KUMULATIF TELAH MEMENUHI PERSYARATAN YANG DIPERLUKAN DALAM BERIJTIHAD.

•WUJUD KONGKRIT DARI LEMBAGA IJTIHAD KOLEKTIF INI, DI LINGKUNGAN MUI ANTARA LAIN ADALAH “KOMISI FATWA”.

KELEMBAGAAN FATWA MUI

• KOMISI FATWA ADALAH PERANGKAT ORGANISASI MUI YANG BERTUGAS

UNTUK MENELAAH, MEMBAHAS, DAN MERUMUSKAN MASALAH FATWA

KEAGAMAAN.

• KELEMBAGAAN KOMISI FATWA BERDIRI BERSAMAAN DENGAN BERDIRINYA

MUI, YAKNI PADA TAHUN 1975.

FATWA PRODUK HALAL

• FATWA PRODUK HALAL ADALAH FATWA YANG DITETAPKAN OLEH KOMISI

FATWA MUI MENGENAI PRODUK PANGAN, OBAT-OBATAN DAN KOSMETIKA.

PENETAPAN FATWA HALAL

• DI INDONESIA, LEMBAGA YANG MEMILIKI KEWENANGAN MENGELUARKANSERTIFIKAT HALAL ADALAH MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI).

• SEBELUM PENETAPAN FATWA, PELAKSA-NAAN TEKNIS AUDITING DILAKUKANOLEH LPPOM-MUI.

• PENETAPAN FATWA DILAKUKAN OLEH KOMISI FATWA MUI.

Prosedur dan Mekanisme Penetapan Fatwa Halal… (1)

1. MUI memberikan pembekalan pengetahuan kepada para auditor LPPOM tentang standar penetapan produk halal.

2. Para auditor melakukan penelitian dan audit ke pabrik-pabrik (perusahaan) yang meminta sertifikasi halal. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi:

a. Pemeriksaan secara seksama terhadap bahan-bahan produk, baik bahan baku, bahan tambahan maupun bahan penolong.

b. Pemeriksaan terhadap bukti-bukti pembelian bahan produk.

c. Cara pemotongan hewan untuk produk hewani atau mengandung unsur hewani.

Prosedur dan Mekanisme Penetapan Fatwa Halal….. (2)

3. Bahan-bahan tersebut kemudian diperiksa, terutama bahan-bahan yang dicurigai sebagai benda haram atau mengandung benda haram (najis), untuk mendapat kepastian, serta didiskusikan dan dikaji oleh tim di LP.POM.

4. Pemeriksaan terhadap suatu perusahaan tidak jarang dilakukan lebih dari satu kali; dan tidak jarang pula auditor (LP.POM) menyarankan –bahkan mengharuskan— agar mengganti suatu bahan yang dicurigai atau diduga mengandung bahan yang haram (najis) dengan bahan yang diyakini kehalalannya atau sudah berserifikat halal dari MUI atau dari lembaga lain yang dipandang berkompeten, jika perusahaan tersebut tetap menginginkan mendapat sertifikat halal dari MUI.

5. Hasil audit dan kajian LP.POM tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah Berita Acara yang disebut dengan “Laporan Hasil Auditing LP.POM-MUI” dan kemudian diajukan ke Komisi Fatwa MUI untuk dibahas dalam rapat Komisi Fatwa.

Prosedur dan Mekanisme Penetapan Fatwa Halal….. (3)

6. Dalam rapat Komisi Fatwa, pihak LP.POM menyampaikan dan menjelaskan isi Laporan Hasil Auditing, dan kemudian dibahas secara teliti dan mendalam oleh peserta rapat Komisi.

7. Suatu produk yang masih mengandung bahan yang jelas-jelas diharamkan atau diragukan kehalalannya, atau terdapat bukti-bukti pembelian bahan produk yang dipandang tidak transparan oleh rapat Komisi, dikembalikan kepada LP.POM untuk dilakukan penelitian atau auditing ulang ke perusahaan bersangkutan.

8. Sedangkan produk yang telah diyakini kehalalannya oleh peserta rapat, diputuskan fatwa halalnya oleh rapat Komisi tersebut.

9. Hasil rapat Komisi yang berupa keputusan fatwa halal kemudian dilaporkan kepada Dewan Pimpinan MUI untuk di-tanfiz-kan dan dikeluarkan Surat Keputusan Fatwa Halal dalam bentuk Sertifikat Halal.

Proses Fatwa Produk Halal

Mustafti/

Produsen

KOMISI FATWAMeminta fatwa (lewat LPPOM)

1. LPPOM menjelaskan hasil auditingnya

2. KF melakukan pendalaman dan pengkajian terhadap substansi masalah

Rapat pleno Komisi Pleno menyetujui Hasil AuditFatwa

(1)

(4)

(5)

(6)

LPPOM-MUI

Proses Auditing

(2)

(3)

Pleno tidak menyetujui Hasil Audit

Dokumen SJHDokumen Sertifikat

ProdukPendaftaran

Audit Produk

EvaluasiAudit

SidangKomisiFatwa

Sertifikat Halal

Audit Memorandum Bahan

Tidak

Tidak

Ya

Ya

SyukronAssalamu’alaikum Wr.Wb

top related