optimalisasi keterpaduan sipil - militer pada ... · 3. keterpaduan penanggulangan bencana dapat...
Post on 01-Dec-2019
25 Views
Preview:
TRANSCRIPT
MARKAS BESAR ANGKATAN UDARA STAF AHLI
OPTIMALISASI KETERPADUAN SIPIL - MILITER
PADA PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN BENCANA
DALAM RANGKA MENJAGA KESELAMATAN BANGSA
Penulis : Kolonel Pas Elia Adriyanto Marsda TNI Dr. Umar Sugeng H., M.M.
Kolonel Kes V. Agus S., M.Si.
Pendahuluan
1. Indonesia secara geografis merupakan negara kepulauan yang terletak pada
pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng
Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Pada bagian selatan dan timur Indonesia
terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari Pulau Sumatera – Jawa –
Nusa Tenggara – Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan dataran
rendah yang didominasi oleh rawa-rawa. Indonesia juga terletak dalam jalur “Ring Of
Fire” dan memiliki jumlah gunung berapi terbanyak didunia yaitu 130 gunung berapi, 17
diantaranya masih aktif. Kondisi tersebut sangat berpotensi sekaligus rawan bencana
seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor. Menurut
data BNPB menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki
tingkat kegempaan yang tinggi di dunia, lebih dari 10 kali lipat tingkat kegempaan di
Amerika Serikat. Berdasarkan data dari artikel Nasional Tempo “Selama tahun 2018
terdapat beberapa bencana yang menimbulkan korban jiwa dan kerugian cukup besar
yaitu banjir bandang di Lampung Tengah pada 26 Februari yang menyebabkan 7 orang
meninggal dunia, bencana longsor di Brebes Jawa Tengah pada 22 Februari yang
menyebabkan 11 orang meninggal dunia dan 7 orang hilang, banjir bandang di
Mandailing Natal pada 12 Oktober 2018 menyebabkan 17 orang meninggal dunia dan 2
orang hilang, gempa bumi beruntun di Lombok dan Sumbawa pada 29 Juli, 5 Agustus,
dan 19 Agustus menyebabkan 564 orang meninggal dunia dan 445.343 orang
mengungsi, bencana gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah pada 28 September
2018 menyebabkan 2.081 orang meninggal dunia, 1.309 orang hilang dan 206.219 orang
mengungsi”.
2
2. Berdasarkan UU RI Nomor 24 Tahun 2007 dijelaskan bahwa “Kondisi geografis,
geologis, hidrologis, dan demografis Indonesia yang rawan terhadap terjadinya bencana
dengan frekwensi yang cukup tinggi, memerlukan penanganan penanggulangan bencana
yang sistematis, terpadu dan terkoordinasi”. Penyelenggaraan penanggulangan bencana
dilaksanakan sepenuhnya oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Badan
Penanggulangan Bencana Daerah. Menurut Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008
pasal 48 ayat 1 menyatakan bahwa “Fungsi komando Unsur Pelaksana Penanggulangan
Bencana dilaksanakan melalui pengerahan sumberdaya manusia, peralatan, dan logistik
dari instansi terkait, Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia serta langkah-langkah lain yang diperlukan dalam rangka penanganan darurat
bencana”. Peran TNI dalam membantu menanggulangi bencana alam diatur dalam UU
Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, peran ini termasuk dalam salah satu tugas yang
sudah digariskan oleh undang-undang yaitu menegakkan kedaulatan negara,
mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, serta melindungi segenap bangsa dan tumpah
darah Indonesia dari segala bentuk ancaman dan gangguan. Prinsip yang harus
digunakan dalam pelaksanaan penanggulangan bencana adalah koordinasi dan
keterpaduan agar pelaksanaan penanggulangan bencana dapat optimal. Prinsip
keterpaduan yang diamanatkan tersebut dirasakan masih kurang terutama pada
pelaksanaan tugas penanggulangan bencana di lapangan, hal tersebut disebabkan oleh
beberapa persoalan yaitu organisasi di lapangan yang mewadahi keterpaduan antara
sipil-militer pada pelaksana penanggulangan bencana belum maksimal, perencanaan
penanggulangan bencana belum dilaksanakan secara terpadu antara sipil-militer dan
perangkat lunak yang mengatur tentang keterpaduan sipil-militer pada penyelenggaraan
penanggulangan bencana belum terwadahi secara optimal.
3. Keterpaduan penanggulangan bencana dapat optimal apabila pelaksanaan
penanggulangan bencana antara sipil-militer dilakukan secara terkoordinasi dan
terintegrasi, baik di tingkat pusat maupun daerah, dengan memperhatikan kebijakan
penyelenggaraan penanggulangan bencana dan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Selain itu diperlukan upaya untuk mewujudkan organisasi di lapangan yang
mewadahi keterpaduan antara sipil-militer pada penyelenggaraan penanggulangan
bencana, memadukan perencanaan dari seluruh unsur pelaksana penanggulangan
bencana baik sipil maupun militer dan mewujudkan perangkat lunak yang mewadahi dan
3
mengatur tentang keterpaduan unsur pelaksana penanggulangan bencana sehingga
keselamatan bangsa dapat terjaga.
4. Daftar Pengertian. Untuk menghindari perbedaan penafsiran, maka dalam
naskah ini digunakan beberapa pengertian yang sebagian besar terdapat dalam Undang-
Undang RI Nomor 24 Tahun 2007, Penjelasan sebagai berikut:
a. Bencana. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
b. Mitigasi. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupunpenyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana.
c. Penanggulangan Bencana. Penanggulangan bencana adalah
serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko
timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat dan
pemulihan pascabencana.
d. Tanggap Darurat Bencana. Tanggap darurat bencana adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana
untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan
penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar,
pelindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana
dan sarana.
Landasan dan Dasar Pemikiran
5. Landasan dan dasar pemikiran yang melandasi dalam penulisan naskah ini adalah
sebagai berikut:
4
a. Landasan Pemikiran
1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 tentang
TNI. Pada pasal 7 ayat 2b nomor 12 dijelaskan pula bahwa salah satu
Operasi Militer Selain Perang adalah membantu menanggulangi bencana
alam, pengungsian, pemberian bantuan kemanusiaan.
2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana. Pada pasal 4 dan 5 disebutkan bahwa
penyelenggaraan penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab
Pemerintah dan pemerintah daerah, yang dilaksanakan secara terencana,
terpadu, terkoordinasi dan menyeluruh. Pasal 10 dan 18 mengamanatkan
Pemerintah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
dan pemerintah daerah membentuk Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD).
3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Pada pasal 239 ayat (7) disebutkan bahwa dalam
keadaan tertentu, DPRD atau kepala daerah dapat mengajukan rancangan
Perda di luar program pembentukan Perda karena alasan mengatasi
keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam.
4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008
Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Pada pasal 2
disebutkan bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana bertujuan
untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana
secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh dalam rangka
memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, risiko dan
dampak bencana.
5) Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 10 tahun 2010, tentang
Susunan Organisasi TNI. Pada pasal 44 dinyatakan bahwa dalam rangka
merealisasikan peran TNI untuk membantu penanggulangan bencana maka
perlu dibentuk satuan badan pelaksana di tingkat TNI yaitu Pasukan Reaksi
5
Cepat Penanggulangan Bencana (PRC PB) yang bertugas mengatasi
dampak bencana alam yang terjadi dengan melakukan kegiatan proses
evakuasi dan hospitalisasi serta penyaluran dan pendistribusian logistik
secara cepat dan tepat guna selama tanggap darurat agar jalannya roda
pemerintahan yang mengalami bencana dapat segera normal kembali.
6) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2018
Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dalam Keadaan
Tertentu. Pada pasal 2 ayat (2) disebutkan bahwa penentuan status
keadaan darurat bencana untuk tingkat nasional ditetapkan oleh Presiden,
tingkat daerah provinsi oleh gubernur, dan tingkat daerah kabupaten/kota
oleh bupati/walikota.
b. Landasan Teori. Landasan teori yang digunakan dalam pembahasan
naskah ini adalah:
1) Teori Sinergisitas (Mamduh M. Hanafi, 1997). Hubungan antara dua
pihak dapat menghasilkan tingkatan komunikasi bila dihadapkan pada
elemen peran dan kepercayaan. Dari tingkatan komunikasi tersebut akan
menghasilkan tiga tingkatan peran, meliputi:
a) Defensif. Tingkat kerjasama dan kepercayaan yang rendah
akan mengakibatkan pola komunikasi yang bersifat pasif/defensif.
b) Respectfull. Tingkat kerjasama dan kepercayaan yang
meningkat memunculkan suatu pola komunikasi yang bersifat
kompromi dan saling menghargai.
c) Sinergistic. Dengan peran yang tinggi serta saling
mempercayai akan menghasilkan pola komunikasi yang bersifat
sinergisitas yang berarti peran yang terjalin akan menghasilkan
output yang lebih besar dari penjumlahan hasil keluaran masing-
masing pihak.
6
2) Teori Peran. Teori peran memberikan suatu kerangka konseptual
dalam studi perilaku di dalam organisasi, menyatakan bahwa peran itu
“melibatkan pola penciptaan produk sebagai lawan dari perilaku atau
tindakan”. Strategi dan struktur organisasi juga terbukti mempengaruhi
peran dan persepsi peran atau role perception. Terkait pemahaman peran
menurut para ahli tersebut mengindikasikan bahwa peran instansi sipil dan
militer merupakan dua aktor yang bisa bekerjasama walaupun keduanya
memiliki karakter berbeda sehingga membutuhkan prosedur dan kode etik
yang berbeda pula.
c. Metode dan Pendekatan.
1) Metode. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif
menggunakan teknik analisis mendalam (in-depth analysis). Metode ini
menekankan kepada interpretasi, studi kasus, pengamatan di lapangan,
analisa dokumen termasuk peraturan atau perundang-undangan yang
terkait untuk memperoleh pemahaman terhadap suatu masalah sehingga
diperoleh konsep pemecahan secara detail.
2) Pendekatan. Naskah ini disusun melalui pendekatan deskriptif
analitis, yaitu analisis dilakukan terhadap data yang dikumpulkan dari studi
pustaka, pengamatan, diskusi dan pengalaman di lapangan.
d. Dasar Pemikiran. Dasar pemikiran dari penulisan naskah ini adalah
penyelenggaraan penanggulangan bencana telah diatur dengan peraturan
perundang-undangan maupun peraturan operasional dibawahnya. Pemerintah
juga memiliki banyak elemen atau unsur pelaksana yang kompeten untuk
digerakan dalam mendukung pelaksanaan penanggulangan bencana, namun
penyelenggaraan penanggulangan bencana dilapangan dirasakan masih kurang
terpadu dan terkoordinasi antara unsur pelaksana sipil-militer sehingga sinergi dari
penyelenggaraan kegiatan tersebut belum optimal.
7
6. Latar Belakang.
a. Organisasi Pelaksana Penanggulangan Bencana.
1) Organisasi bencana internasional. Organisasi penanggulangan
bencana internasional menggunakan Incident Commander System (ICS)
sebagai sebuah perangkat atau sistem yang memiliki prinsip-prinsip
penanggulangan insiden atau bencana yang efektif dan efisien dalam sistem
komando, koordinasi, komunikasi dan pengelolaan sumberdaya
penanggulangan keadaan darurat. Sistem ini memungkinkan semua badan
dan instansi untuk bekerjasama menggunakan terminologi dan standar
prosedur operasi yang sama untuk mengendalikan personel, fasilitas,
peralatan dan komunikasi pada suatu kejadian darurat.
Gambar 3. Incident Commander System (ICS).
2) Organisasi BNPB dan BPBD. Sesuai dengan UU RI Nomor 24
Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana pada pasal 5 dijelaskan
bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab
dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, tanggung jawab
tersebut diwujudkan dengan pembentukan BNPB dan BPBD.
a) Menurut Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 pasal 2
menyatakan bahwa tugas, fungsi dan organisasi BNPB antara lain
memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha
8
penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana,
penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara
adil dan setara. Selanjutnya dalam pasal 3 pelaksanaan tugas
tersebut BNPB menyelenggarakan fungsi perumusan dan penetapan
kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi
dengan bertindak cepat dan tepat serta efektif dan efisien serta
pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana
secara terencana, terpadu, dan menyeluruh. Pada pasal 5,
Organisasi BNPB terdiri atas Kepala, Unsur Pengarah
Penanggulangan Bencana dan Unsur Pelaksana Penanggulangan
Bencana. Pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8
Tahun 2008 tentang BNPB Pasal 47 dan 48 diatur bahwa unsur
pelaksana BNPB memiliki fungsi koordinasi dan komando untuk
mengkoordinir dan mengerahkan seluruh sumber daya Nasional
termasuk TNI agar dapat digunakan pada penyelenggaraan
penanggulangan bencana.
b) Tugas, Fungsi dan Organisasi BPBD menurut Undang-Undang
RI Nomor 24 Tahun 2004 pasal 21, BPBD mempunyai tugas antara
lain menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan
pemerintah daerah dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana
terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup
pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta
rekonstruksi secara adil dan setara. Selanjutnya pada pasal 20,
BPBD mempunyai fungsi perumusan dan penetapan kebijakan
penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan
bertindak cepat dan tepat, efektif dan efisien serta pengoordinasian
pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana,
terpadu, dan menyeluruh. Organisasi BPBD terdiri dari Kepala,
Unsur Pengarah Penanggulangan Bencana dan Unsur Pelaksana
Penanggulangan Bencana. Menurut pasal 23 Undang-Undang RI
Nomor 24 Tahun 2004, unsur Pelaksana Penanggulangan Bencana
mempunyai fungsi Koordinasi dan Komando dalam penyelenggaraan
bencana pada wilayahnya. Sedangkan menurut PP RI Nomor 8
9
Tahun 2008 pada pasal 63 Pembentukan BPBD ditetapkan dengan
peraturan Daerah.
Memperhatikan peraturan tentang tugas, fungsi dan organisasi BNPB
dan BPBD, maka penyelenggaraan penanggulangan bencana seharusnya
dapat dilaksanakan secara terpadu, terkoordinir dan bersinergi. Namun
pada pelaksanaan di lapangan, koordinasi dan keterpaduan tersebut belum
terwujud secara optimal yang salah satunya disebabkan oleh belum adanya
organisasi yang dapat memadukan antara seluruh unsur pelaksana
penanggulangan bencana baik sipil maupun militer sehingga terwujud
sinergitas dan koordinasi di lapangan dengan optimal. Indikasi belum
terpadu dan terkoordinasinya pelaksanaan penanggulangan bencana di
lapangan antara lain masih terjadinya keterlambatan pendistribusian
bantuan logistik kepada korban bencana yang mengakibatkan masalah
kriminal seperti penjarahan, dan kurangnya sosialisasi dan implementasi
mitigasi bencana yang mengakibatkan korban cukup besar pada setiap
kejadian bencana.
3) Organisasi, Kekuatan dan Kemampuan TNI pada penanggulangan
bencana. TNI memiliki kemampuan dan kekuatan dalam organisasi yang
sistematis serta solid sehingga sangat memungkinkan untuk digerakan
secara cepat dan efektif. Hal tersebut menjadikan TNI sebagai unsur
pelaksana yang sangat kompeten untuk dilibatkan dalam penyelenggaraan
bencana.
a) Organisasi penanggulangan bencana TNI. Organisasi TNI
yang dipersiapkan secara terstruktur adalah Pasukan Reaksi Cepat
Penanggulangan Bencana TNI (PRCPB TNI) sedangkan yang
dipersiapkan secara bentukan adalah Komando Tugas Gabungan
Terpadu TNI (Kogasgabpad TNI).
(1) PP RI Nomor 10 Tahun 2010, pasal 44 Pasukan Reaksi
Cepat Penanggulangan Bencana TNI (PRCPB TNI) bertugas
mengatasi dampak bencana alam yang terjadi dengan
10
melakukan kegiatan proses evakuasi dan hospitalisasi serta
penyaluran dan pendistribusian logistik secara cepat dan tepat
guna selama tanggap darurat agar jalannya roda
pemerintahan yang mengalami bencana segera dapat normal
kembali. PRCPB dipimpin oleh Komandan Pasukan Reaksi
Cepat Penanggulangan Bencana disingkat Dan PRCPB yang
berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada
Panglima TNI, dalam pelaksanaan tugas sehari-hari
dikoordinasikan oleh Kasum TNI. Komandan PRCPB dibantu
oleh Wakil Komandan PRCPB (Wadan PRCPB) dan tiga orang
Komandan Satuan Tugas (Dansatgas).
(2) Komando Tugas Gabungan Terpadu TNI (Kogasgabpad
TNI). Kogasgabpad TNI adalah Komando tugas yang bersifat
bentukan, Kogasgabpad secara nyata baru diaplikasikan
secara nyata oleh TNI pada penyelenggaraan bencana di NTB
dan Palu pada tahun 2018.
Gambar 4. Organisasi Kogasgabpad TNI.
b) Kekuatan dan kemampuan TNI pada penanggulangan
bencana. Berikut adalah gambaran kekuatan nyata TNI yang
dikerahkan dalam beberapa penanggulangan bencana dengan
dampak yang cukup besar.
11
Bencana Kekuatan TNI
Daerah Tewas Luka Ungsi Materi Pers Alut
1. Tsunami Aceh (9,1 SR) 26 Des 2004
220.000Org
2.830 Org
518.450 Org
-179.312 Rumah RB -240 Faskes RB -1.226 Fasdik RB
6.273 Org
-30 KRI -32 Psw Angkut dn Heli
2. Gempa Nias (8,7 SR) 28 Mar 2005
686 Org 3.277 Org
12.542 Org
-24.739 Rumah RB -66 Faskes RB -520 Fasdik RB
1.681 Org
-7 Heli -5 Psw Angkut
3. Gempa Jogja (5,9 SR) 27 Mei 2006
5.778 Org
37.883 Org
2.111.872 Org
-139.589 Rumah RB -190.025 Rumah RS -278.124 Rumah RR
2.838 Org
-C-130 -CN-235
4. Gempa Sumbar (7,6 SR) 30 Sep 2009
1.117 Org 645 Hilang
1.214 Org
451.000 Org
-135.448 Rumah RB -65.380 Rumah RS -65.380 Rumah RR
4.210 Org
-5 C-130 -1 B-737 -1 CN-235 -1 MI-17 -33 Bell-412 -6 KRI
5. Banjir Bandang Wasior Papua 4 Okt 2010
161 Org 3.374 Org
500 Org -977 Rumah RB -378 Rumah RS -279 Rumah RR
1.725 Org
-1 C-130 -2 Puma -1 Bell
6. Gempa dn Tsunami Mentawai Sumbar (7,2 SR) 25 Okt 2010
509 Org 325 Org
11.425 Org
-879 Rumah RB -116 Rumah RS -274 Rumah RR
1.909 Org
- 12 Psw Angkut -8 Heli
7. Gempa Lombok 29 Jul 2018
564 Org 1.584 Org
445.273 Org
-149.715 Rumah -214 Infrastruktur -1.194 Fasdik -321 Faskes
2.607 Org
-114 sortie Psw Angkut -1 MI-17
8. Gempa dn Tsunami Palu (7,4 SR) 28 Sep 2018
2.025 Org 671 Hilang
2.549 Org
82.775 Org
-67.310 Rumah RB -99 Rumah Ibadah RB -20 Faskes RB
10.874 Org
350 Sortie Psw Angkut
Gambar 4. Tabel Kekuatan nyata TNI dalam penanggulangan bencana.
Dari data diatas dapat digambarkan bahwa secara parsial
organisasi untuk melaksanakan penanggulangan bencana tiap-tiap
unsur pelaksana yang kompeten untuk melaksanakan tugas
penaggulangan bencana terutama organisasi TNI sudah diwadahi
dengan baik, namun pada pelaksanaan dilapangan belum dipadukan
antara unsur sipil-militer agar terjadi koordinasi dan sinergi yang
optimal.
b. Perencanaan Penanggulangan Bencana. Seluruh Kotama Operasi TNI
setiap tahun merencanakan tindakan kontijensi yang diperkirakan akan timbul di
wilayahnya masing-masing, salah satu kontinjensi yang kemungkinan bisa terjadi
12
adalah bencana. Pada penganggulangan bencana alutsista TNI yang sangat
penting adalah penggunaan angkutan udara dalam hal ini pesawat angkut
dihadapkan dengan kondisi geografis Indonesia dan faktor kecepatan yang
diperlukan dalam pendistribusian personel dan logistik.
1) Rencana Kontinjensi TNI. Seluruh Kotama Opersi TNI setiap tahun
menyelenggarakan rapat koordinasi untuk merencanakan tindakan
kontinjensi tiap-tiap Kotama di wilayah masing-masing dalam rangka
melaksanakan tugas OMSP. Rencana tindakan kontinjensi tersebut
dilaksanakan secara terkoordinasi dan terintegrasi antar seluruh Kotama
Operasi TNI dan Kotama lain di lingkungan TNI yang terlibat. Salah satu
ancaman yang kemungkinan menjadi prioritas adalah membantu
menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan
kemanusiaan. Rencana kontinjensi yang terpilih menjadi prioritas harus
didasarkan pada data-data intelijen yang didapatkan secara akurat dan
terkini dari lembaga atau instansi yang kompeten. Pada proses
perencanaan tersebut maka ancaman terhadap kemungkinan bencana di
suatu wilayah, akan dapat diantisipasi dan ditangani secara cepat dan tepat.
Namun perencanaan tersebut khususnya rencana penanggulangan
bencana masih dilaksanakan secara sektoral, belum terpadu dengan
melibatkan institusi lain yang kompeten seperti Polri, Pemda (Kadis
PUPR,Kadis Sosial,Kadis Kesehatan), BPBD, BMKG dan BNPP (Basarnas)
sehingga informasi kemungkinan ancaman bencana yang akan terjadi dapat
diantisipasi serta penanggulangan bencana dapat bersinergi, terkoordinasi
dan terpadu mulai dari tahap perencanaan.
2) Penggunaan angkutan udara dalam penanggulangan bencana.
Penggunaan angkutan udara selama penyelenggaraan penanggulangan
bencana yang terjadi di Indonesia secara nyata melibatkan angkutan udara
yang di miliki TNI dalam hal ini TNI AU dengan jumlah yang sangat
signifikan. Berikut gambaran data penggunaan angkutan udara TNI AU
pada penyelenggaraan penanggulangan bencana gempa bumi di NTB dan
bencana gempa bumi di Palu.
13
No Lanud Titik Muat Sortie Psw Orang Barang (kg)
1 Halim Perdanakusuma, Jkt 66 C-130, CN-295 1.624 624.523
2 Adi Sumarmo, Solo 18 C-130, CN-295 42 121.555
3 Iswahyudi, Madiun 4 C-130, CN-295 - 23.000
4 Abdurahman, Saleh 7 C-130, CN-295 44 89.605
5 Adi Sucipto, Yogyakarta 6 C-130, CN-295 - 52.189
6 Sam Ratulangi, Manado 1 C-130 - 12.000
7 Hasanuddin, Makassar 2 C-130, CN-295 143 34.750
8 Husein Sastranegara, Bdg 4 C-130, CN-295 200 20.523
9 Juanda, Surabaya 1 C-130 - 4.000
10 I Gusti Ngurah Rai, Bali 1 C-130 - 8.000
Total 114 2.053 990.154
Gambar 5. Pelibatan Pesawat TNI AU Pada Penanggulangan Bencana Gempabumi di Nusa Tenggara Barat, Juli sd November 2018
No Lanud Titik Muat Sortie Psw Orang Barang
(kg)
1 Halim Perdanakusuma, Jkt 80 C-130, CN-295 1.873 808.156
2 Hasanuddin, Makassar 79 C-130, CN-295 4.834 340.670
3 Dhomber, Balikpapan 191 C-130, CN-295 2.042 928.700
Total 350 8.749 2.078.526
Gambar 6. Pelibatan Pesawat TNI AU Pada Penggulangan Bencana
Gempabumi dan Tsunami di Sulawesi Tengah, September 2018.
Dari data di atas kekuatan pesawat TNI AU yang dikerahkan selama
tahap darurat bencana dihadapkan dengan kekuatan personel yang
dikerahkan ke daerah bencana, belum memenuhi kebutuhan ideal.
Kebutuhan logistik untuk korban yang diangkut ke daerah bencana
dihadapakan dengan kekuatan pesawat yang dikerahkan, juga belum
memenuhi kebutuhan ideal. Keterbatasan angkutan udara menyebabkan
terhambatnya bantuan kemanusiaan sehingga masih terjadi beberapa
kasus penghadangan logistik atau penjarahan oleh masyarakat yang
merasa belum mendapatkan bantuan. Penumpukan logistik di pangkalan-
pangkalan yang sudah ditentukan sebagai titik muat juga terjadi
dikarenakan keterbatasan pesawat untuk mengangkut bantuan tersebut.
14
Disisi lain sampai dengan saat ini menurut Departemen Perhubungan RI
terdapat 15 maskapai sipil (milik Negara maupun swasta) yang
beroperasional di seluruh wilayah Indonesia. Indonesia memiliki potensi
penerbangan sipil baik milik Negara maupun swasta yang cukup besar dan
merupakan peluang yang baik dalam upaya meningkatkan kemampuan dan
kekuatan dalam melaksanakan penanggulangan bencana, namun potensi
kemampuan angkutan udara nasional tersebut belum dimanfaatkan secara
maksimal.
Data di atas menggambarkan bahwa keterpaduan dalam perencanaan
penanggulangan bencana antara sipil-militer termasuk keterpaduan dukungan
angkutan udara yang menjadi andalan dalam pendistribusian personel dan logistik
yang memerlukan kecepatan, belum di integrasikan dan dikoordinasikan antara
TNI dan maskapai dengan optimal.
c. Aturan Operasional tentang Keterpaduan Penanggulangan Bencana.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana secara hukum diatur dengan
beberapa aturan perundang-undangan maupun aturan operasional dibawahnya
antara lain:
1) Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang
berkaitan dengan penanggulangan bencana tertuang pada pasal 7 yaitu
tugas pokok TNI pada operasi militer selain perang termasuk membantu
menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian dan pemberian bantuan
kemanusiaan.
2) Undang-Undang RI Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, yang secara umum menuangkan beberapa hal khusus dalam hal
status keadaan darurat bencana, Badan Nasional Penanggulangan
Bencana dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai
kemudahan akses yang meliputi pengerahan sumber daya manusia,
pengerahan peralatan, pengerahan logistik, imigrasi, cukai, dan karantina,
perizinan, pengadaan barang/jasa, pengelolaan dan pertanggungjawaban
15
uang dan/atau barang, penyelamatan dan komando untuk memerintahkan
sektor/lembaga.
3) Peraturan Pemerintah RI Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, yang secara umum
menuangkan bahwa pada saat keadaan darurat bencana, Kepala BNPB dan
kepala BPBD berwenang mengerahkan sumber daya manusia, peralatan,
dan logistik dari instansi/lembaga dan masyarakat untuk melakukan tanggap
darurat.
4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2008
Tentang Peran Serta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non
pemerintah Dalam Penanggulangan Bencana, yang secara umum mengatur
bahwa pada saat tanggap darurat, lembaga internasional atau lembaga
asing nonpemerintah dapat memberikan bantuan secara langsung tanpa
melalui prosedur proposal, nota kesepahaman dan rencana kerja.
5) Peraturan Kepala BNPB Nomor 11 Tahun 2014 tentang Peran Serta
Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, yang
mengatur tentang bantuan pada saat tanggap darurat yang diberikan oleh
masyarakat berupa pencarian dan penyelamatan, evakuasi korban dan
harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlidungan dan pengurusan
pengungsi dan kelompok rentan serta kegiatan lain yang dilakukan dengan
segera pada saat kejadian bencana.
6) Peraturan Kepala BNPB Nomor 12 Tahun 2014 tentang Peran Serta
Lembaga Usaha Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana yang
mengatur tentang bantuan pada saat tanggap darurat yang diberikan oleh
lembaga usaha berupa pencarian dan penyelamatan, evakuasi korban dan
harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlidungan dan pengurusan
pengungsi dan kelompok rentan serta kegiatan lain yang dilakukan dengan
segera pada saat kejadian bencana.
Peraturan-peraturan tersebut mengatur penyelenggaraan penanggulangan
bencana terhadap unsur atau institusi yang bersangkutan secara parsial, namun
16
aturan yang mewadahi keterpaduan secara teknis dan terinci, bagaimana
pelaksanaan koordinasi dan sinergi antara seluruh unsur pelaksana terutama
koordinasi sipil-militer dan dapat diaplikasikan secara nyata dilapangan belum
maksimal. Indikasi belum maksimalnya aturan yang diharapkan terpadu tersebut
diatas adalah masih banyak fakta bahwa dukungan logistik dan bantuan lain
terhadap korban bencana terutama ke daerah-daerah terpencil masih menjadi
masalah dalam setiap kejadian bencana, selain itu mitigasi bencana belum
diterapkan secara optimal dengan dibangunnya kembali pemukiman ditempat-
tempat yang pernah terjadi bencana dan masih rawan terjadi bencana, Alat
pendeteksi bencana tsunami yang belum optimal serta jumlah korban yang masih
tinggi pada setiap kejadian bencana, termasuk hasil evaluasi TNI pada
penanggulangan bencana yang mendorong dipercepatnya pengesahan Peraturan
Presiden tentang tugas TNI dalam membatu menanggulangi akibat bencana serta
evaluasi TNI tentang kemampuan Pemda dalam mendukung penanggulangan
bencana tidak optimal.
7. Pemecahan Masalah.
a. Kebijakan. Terwujudnya optimalisasi keterpaduan sipil-militer pada
penanggulangan bencana melalui pembentukan konsep organisasi pelaksana
tugas dilapangan yang mewadahi keterpaduan antara unsur pelaksana terutama
sipil-militer, Perencanaan penanggulangan bencana yang dilaksanakan secara
terpadu dan piranti lunak yang mengatur tentang penanggulangan bencana untuk
mengintegrasikan dan mensinergikan pelaksanaan penanggulangan bencana
dalam rangka menjaga keselamatan Bangsa.
b. Strategi. Untuk mewujudkan keterpaduan pada penanggulangan bencana
dalam rangka menjaga keselamatan bangsa, maka diperlukan strategi sebagai
berikut:
1) Strategi pertama. Mewujudkan pembentukan konsep organisasi
pelaksana tugas di lapangan yang mewadahi keterpaduan antara sipil-militer
melalui pembentukan dan sosialisasi, dengan memanfaatkan sarana dan
prasarana yang ada pada instansi pemerintah yaitu BNPB, Mabes TNI,
17
Mabes Angkatan, Kotamaops TNI, Polri, Pemda (Kadis PUPR, Kadis Sosial,
Kadis Kesehatan), BPBD, BMKG dan BNPP (Basarnas).
2) Strategi kedua. Mewujudkan perencanaan penanggulangan
bencana yang dilaksanakan secara terpadu termasuk dukungan angkutan
udara terpadu melalui penyusunan, koordinasi, penerapan, pelatihan dan
kerjasama dengan memanfaatkan instansi pemerintah yaitu BNPB, Mabes
TNI, Mabes Angkatan, Kotamaops TNI, Polri, Pemda (Kadis PUPR, Kadis
Sosial, Kadis Kesehatan), BPBD, BMKG dan BNPP (Basarnas).
3) Strategi ketiga. Mewujudkan peraturan tentang penanggulangan
bencana yang terpadu antara unsur pelaksanaan penanggulangan bencana
terutama sipil-militer melalui kerjasama, koordinasi dan sosialisasi dengan
memanfaatkan sarana dan prasarana yang ada pada instansi pemerintah
yaitu BNPB, Mabes TNI, Kotamaops TNI, Polri, Pemda (Kadis PUPR, Kadis
Sosial, Kadis Kesehatan), BPBD, BMKG dan BNPP (Basarnas).
c. Upaya. Untuk mewujudkan keterpaduan sipil-militer pada penanggulangan
bencana dalam rangka menjaga keselamatan Bangsa, maka diperlukan upaya:
1) Strategi pertama. Mewujudkan pembentukan konsep organisasi
pelaksana tugas dilapangan yang mewadahi keterpaduan antara sipil-militer
melalui pembentukan dan sosialisasi, dengan memanfaatkan sarana dan
prasarana yang ada pada instansi pemerintah yaitu BNPB, Mabes TNI,
Mabes Angkatan, Kotamaops TNI, Polri, Pemda (Kadis PUPR, Kadis Sosial,
Kadis Kesehatan), BPBD, BMKG dan BNPP (Basarnas), dengan upaya
sebagi berikut:
a) Kepala BNPB.
(1) Kepala BNPB mengkoordinir pelaksanaan perumusan
konsep organisasi penanggulangan bencana sipil-militer
secara terpadu dan menyiapkan personel serta tenaga ahli
untuk menyusun serta mengusulkan konsep organisasi
tersebut agar dapat diaplikasikan sehingga penyelenggaraan
18
penanggulangan bencana yang mewadahi koordinasi dan
keterpaduan antara sipil-militer di lapangan dapat
dilaksanakan secara efektif dan komprehensif.
(2) Melaksanakan sosialisasi tentang penerapan organisasi
terpadu sipil-militer yang akan di implementasikan pada
pelaksanaan penanggulangan bencana kepada seluruh
instansi pemerintah dan masyarakat.
b) Panglima TNI.
(1) Panglima TNI menyiapkan personel yang berkompeten
dibidang manajemen kebencanaan dari tiap Angkatan untuk
diikutkan dalam penyusunan konsep organisasi teknis yang
terkoordinasi dan terpadu dari semua instansi baik sipil
maupun militer. Selain itu organisasi terpadu sipil-militer ini
juga melaksanakan penyusunan dan penyesuaian doktrin di
lingkungan TNI dalam rangka pelibatan TNI pada
penanggulangan bencana.
(2) Melaksanakan sosialisasi organisasi terpadu sipil-militer
pada penanggulangan bencana dilingkungan TNI melalui
fungsi penerangan yang ada di seluruh jajaran TNI.
c) Kas Angkatan.
(1) Masing-masing Kas Angkatan menyiapkan personel
yang berkompeten di bidang manajemen kebencanaan untuk
diikutkan dalam penyusunan konsep organisasi teknis yang
terkoordinasi dan terpadu dari semua instansi baik sipil
maupun militer selanjutnya mengusulkan personel tersebut
kepada Panglima TNI.
19
(2) Melaksanakan sosialisasi tentang organisasi terpadu
sipil-militer pada penanggulangan bencana melalui fungsi
penerangan yang ada di jajaran Angkatan masing-masing.
d) Pangkotamaops TNI, Polri, Pemda (Kadis PUPR, Kadis Sosial,
Kadis Kesehatan), BPBD, BMKG dan BNPP (Basarnas). Para
Panglima Kotama TNI, Polri, Pemda (Kadis PUPR, Kadis Sosial,
Kadis Kesehatan), BPBD, BMKG dan BNPP (Basarnas) mempelajari
konsep organisasi terpadu sipil-militer untuk diaplikasikan pada saat
terjadi bencana di daerah atau wilayah masing-masing. Selanjutnya
melaksanakan sosialisasi tentang konsep organisasi terpadu sipil-
militer pada penanggulangan bencana di lingkungan kerja dan
jajarannya agar seluruh pejabat dan anggota pelaksana memahami
dan dapat mengaplikasikan keterpaduan sipil-militer pada
pelaksanaan penanggulangan bencana.
2) Strategi kedua. Mewujudkan Perencanaan penanggulangan
bencana yang dilaksanakan secara terpadu termasuk dukungan angkutan
udara terpadu melalui penyusunan, koordinasi, penerapan, pelatihan dan
kerjasama dengan memanfaatkan instansi pemerintah yaitu BNPB, Mabes
TNI, Mabes Angkatan, Kotamaops TNI, Polri, Pemda (Kadis PUPR, Kadis
Sosial, Kadis Kesehatan), BPBD, BMKG dan BNPP (Basarnas), dengan
upaya sebagai berikut:
a) Kepala BNPB.
(1) Menyusun, menyiapkan personel yang kompeten untuk
dijadikan nara sumber dalam penyusunan rencana tindakan
kontijensi TNI khususnya penanggulangan bencana di seluruh
wilayah Indonesia yang berpotensi terjadi bencana, yang
diselenggarakan setiap tahun secara terpadu serta melibatkan
Polri, Pemda (Kadis PUPR, Kadis Sosial, Kadis Kesehatan),
BPBD, BMKG dan BNPP (Basarnas) di wilayah masing-
masing.
20
(2) Melaksanakan penerapan terhadap peraturan Kepala
BNPB nomor 12 tahun 2014 tentang Peran Serta Lembaga
Usaha Dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana,
dimana maskapai sipil berkewajiban untuk mengangkut
bantuan penanggulangan bencana dari seluruh wilayah
Indonesia ke daerah bencana/mendekat daerah bencana
sesuai dengan rute penerbangannya. Hal tersebut perlu
dilakukan mengingat besarnya potensi angkutan udara yang
dimiliki oleh maskapai sipil baik milik Negara maupun swasta
dan dengan adanya 213 Bandara aktif di seluruh Indonesia
yang dapat digunakan untuk mengatasi keterbatasan kekuatan
dan kesiapan operasi pesawat angkut TNI terutama TNI
Angkatan Udara dalam pelaksanaan penanggulangan
bencana. Upaya ini juga dapat mengoptimalkan prinsip
keterpaduan sipil-militer dalam penanggulangan bencana
khususnya antara instansi pemerintah dengan swasta.
b) Panglima TNI.
(1) Memerintahkan kepada para Pangkotama Ops TNI agar
merencanakan dan menyusun Rentinkon Kotamaops TNI
khususnya tentang penanggulangan bencana,
diselenggarakan tiap tahun secara terpadu dengan melibatkan
BNPB, Pemda (Kadis PUPR,Kadis Sosial,Kadis Kesehatan),
BPBD, BMKG dan BNPP (Basarnas) sesuai wilayah masing-
masing sehingga rencana tersebut dapat dioperasionalkan
secara terpadu apabila terjadi bencana.
(2) Memberikan saran Kepala BNPB dalam merumuskan
implementasi keterpaduan antara angkutan udara sipil dan
militer dalam mendukung penanggulangan bencana seperti
yang tertuang dalam peraturan Kepala BNPB nomor 12 tahun
2014 tentang Peran Serta Lembaga Usaha Dalam
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.
21
(3) Merencanakan pengembangan kekuatan alutsista dan
peralatan yang selain dapat mendukung operasi tempur juga
dapat digunakan untuk mendukung penanggulangan bencana
atas usulan dari para Kas Angkatan.
(4) Mengadakan pelatihan tanggap darurat bencana secara
terpadu bersama BNPB, Pemda (Kadis PUPR,Kadis Sosial,
Kadis Kesehatan), BPBD, BMKG dan BNPP (Basarnas)
dengan melibatkan Pasukan Reaksi Cepat Penanggulangan
Bencana TNI (PRCPB TNI) dalam bentuk baik gladi posko
maupun manuver lapangan agar terwujud keterpaduan dan
terjalin koordinasi yang baik dalam pelaksanaan
penanggulangan bencana. Pelatihan tersebut dilaksanakan
secara rutin dan berkelanjutan untuk memelihara keterpaduan,
koordinasi integrasi dan sinergitas dari seluruh unsur
pelaksana penanggulangan bencana.
c) Kas Angkatan. Masing-masing Kas Angkatan menyiapkan
personel di Kotamaops TNI dalam jajaran pembinaannya yang
berkompeten di bidang manajemen kebencanaan untuk
melaksanakan penyusunan rencana tindakan kontinjensi TNI
khususnya tentang penanggulangan bencana yang dilaksanakan
setiap tahun secara terpadu antara sipil-militer.
d) Kasau. Selain menyiapkan personel untuk perencanaan
penanggulangan bencana secara terpadu antara sipil-militer, Kasau
dalam rangka mengatasi keterbatasan angkutan udara melakukan
upaya sebagai berikut:
(1) Memberikan saran kepada BNPB melalui Panglima TNI
tentang rumusan konsep keterpaduan dukungan angkutan
udara yang dilaksanakan oleh militer dan sipil dalam hal ini
maskapai yang ada di Indonesia agar secara terintegrasi
dan terkoordinasi dapat mendukung dengan optimal
penanggulangan bencana.
22
(2) Mengusulkan dan melaksanakan peningkatan
pengembangan kekuatan serta kesiapan operasional pesawat
angkut sedang dan berat TNI Angkatan Udara melalui
peningkatan anggaran rutin pengembangan dan pemeliharaan
pesawat, dengan demikian kesiapan maksimal rata-rata 6 s/d
12 pesawat saat ini dapat ditingkatkan mendekati kekuatan
ideal 2 Skadron yaitu sebanyak 24 pesawat yang dapat
digunakan untuk operasi tempur maupun kegiatan
kemanusiaan.
(3) Mengusulkan penambahan kekuatan alutsista
khususnya helikopter angkut sedang dan berat yang dapat
digunakan selain untuk operasi tempur dapat juga digunakan
untuk evakuasi medis dan pendistribusian logistik yang sangat
diperlukan dalam pelaksanaan penanggulangan bencana
khususnya di daerah yang terpencil dan terisolasi sehingga
pendistribusian logistik terputus.
(4) Melaksanakan peningkatan kemampuan personel TNI
AU yang dapat dilibatkan dalam tahap tanggap darurat yaitu
awak pesawat, paskhas (SAR), kesehatan lapangan, komlek
dan pendukung operasional penerbangan melalui pelatihan
penanggulangan bencana secara terpadu dan berkelanjutan,
meningkatkan kemampuan personel TNI AU dan peralatan
yang secara khusus dapat dilibatkan pada tahap rehabilitasi
dan rekonstruksi yaitu personel paskhas berkemampuan zeni
lapangan dan personel disfaskonau serta peralatan khusus
seperti alat berat dan peralatan pertukangan.
e) Pangkotamaops TNI. Para Pangkotamaops TNI bekerjasama
dengan BNPB, Pemda (Kadis PUPR, Kadis Sosial, Kadis
Kesehatan), BPBD, BMKG dan BNPP (Basarnas) menyelenggarakan
penyusunan rencana penanggulangan bencana secara terpadu
sehingga menghasilkan rencana yang akurat, matang dan siap
23
dioperasionalkan di lapangan secara terpadu dengan seluruh unsur
pelaksana penanggulangan bencana di wilayah masing-masing.
f) Pangkotamaops TNI dijajaran TNI AU. Melaksanakan
kerjasama dengan maskapai yang ada di wilayah masing-masing
untuk menerapkan keterpaduan dukungan angkutan udara bila terjadi
bencana di wilayahnya di bawah koordinasi BNPB atau BPBD.
g) Polri, Pemda (Kadis PUPR,Kadis Sosial,Kadis Kesehatan),
BPBD, BMKG dan BNPP (Basarnas). Polri, Pemda (Kadis PUPR,
Kadis Sosial, Kadis Kesehatan), BPBD, BMKG dan BNPP (Basarnas)
menyiapkan personel yang kompeten untuk dijadikan nara sumber
dalam penyusunan rencana kontinjensi TNI khususnya
penanggulangan bencana secara terpadu di daerah masing-masing.
Dengan perencanaan terpadu tersebut diharapkan seluruh unsur
pelaksana penanggulangan bencana di daerah yaitu TNI, Polri,
Pemda, BPBD, BMKG dan BNPP (Basarnas) serta unsur lainya
memiliki pedoman yang sama dan siap operasional untuk digunakan
dilapangan saat terjadi bencana.
3) Strategi ketiga. Mewujudkan peraturan tentang penanggulangan
bencana yang terpadu antara unsur pelaksanaan penanggulangan bencana
terutama sipil-militer melalui kerjasama, koordinasi dan sosialisasi dengan
memanfaatkan sarana dan prasarana yang ada pada instansi pemerintah
yaitu BNPB, Mabes TNI, Kotamaops TNI, Polri, Pemda (Kadis PUPR, Kadis
Sosial, Kadis Kesehatan), BPBD, BMKG dan BNPP (Basarnas), dengan
upaya sebagai berikut:
a) Kepala BNPB.
(1) Bekerjasama dengan TNI, Polri, Pemda (Kadis PUPR,
Kadis Sosial, Kadis Kesehatan), BPBD dan BMKG serta BNPP
(Basarnas) serta unsur pelaksana lainnya untuk merumuskan
peraturan operasional sebagai penjabaran dari Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang
24
Penanggulangan Bencana. Peraturan operasional tersebut
harus mewadahi pelaksanaan penanggulangan bencana
secara terpadu antara unsur pelaksana sipil-militer pada tahap
pra bencana, tahap tanggap darurat dan tahap rehabilitasi
rekonstruksi serta dapat dioperasionalkan secara teknis
dilapangan.
(2) Melaksanakan sosialisasi peraturan operasional yang
mengatur dan mewadahi secara teknis pelaksanaan
penanggulangan bencana secara terpadu antara sipil-militer
yang dapat diaplikasikan dan dioperasionalkan dilapangan
sebagai penjabaran UU RI Nomor 24 Tahun 2007 tentang
penanggulanagn bencana.
b) Panglima TNI.
(1) Bekerjasama dan berkoordinasi dengan BNPB untuk
membantu perumusan peraturan operasional yang mewadahi
dan mengatur tentang penanggulangan bencana secara
terpadu antara sipil-militer. Memberikan masukan tentang
hal-hal yang perlu dituangkan dalam aturan tersebut terkait
pelibatan militer dalam penanggulangan bencana baik pada
tahap pra bencana, tahap tanggap darurat maupun tahap
rehabilitasi dan rekonstruksi, berdasarkan hasil evaluasi
dilapangan.
(2) Melaksanakan sosialisasi tentang peraturan operasional
penanggulangan bencana secara terpadu antara sipil-militer
dilingkungan TNI melalui fungsi penerangan yang ada
diseluruh jajaran TNI.
c) Pangkotamaops TNI, Polri, Pemda (Kadis PUPR, Kadis Sosial,
Kadis Kesehatan), BPBD, BMKG dan BNPP (Basarnas). Para
Pangkotamaops TNI berkoordinasi dengan Polri, Pemda (Kadis
PUPR,Kadis Sosial,Kadis Kesehatan), BPBD, BMKG dan BNPP
25
(Basarnas) diwilayah masing-masing memberikan masukan kepada
Panglima TNI dan BNPB berdasarkan kendala dan hasil evaluasi
dilapangan pada penanggulangan bencana yang telah dilaksanakan
untuk dituangkan dalam peraturan tentang keterpaduan
penanggulangan bencana antara sipil-militer.
Penutup
8. Kesimpulan. Dari pembahasan optimalisasi keterpaduan sipil militer pada
penaggulangan bencana dalam rangka menjaga keselamatan bangsa, dapat diambil
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
a. Indonesia merupakan negara yang secara geografis memiliki kerawanan
terhadap terjadinya bencana, sehingga memerlukan sistem penanggulangan
bencana yang terpadu, terkoordinasi dan terintegrasi antara sipil dan militer.
b. Untuk mewujudkan keterpaduan sipil-militer pada penanggulangan bencana
dalam rangka menjaga keselamatan Bangsa, maka diperlukan beberapa strategi
dan upaya pembentukan konsep organisasi pelaksana tugas dilapangan yang
mewadahi keterpaduan antara sipil-militer, perencanaan penanggulangan bencana
yang dilaksanakan secara terpadu antara sipil-militer dan membuat peraturan
operasional tentang penanggulangan bencana yang terpadu antara unsur
pelaksanaan penanggulangan bencana sipil-militer.
9. Saran. Keterpaduan penanggulangan bencana antara sipil-militer agar dapat
terwujud dan berjalan lancar, disarankan sebagai berikut:
a. BNPB perlu melaksanakan pelatihan penanggulangan bencana secara
terpadu dengan melibatkan seluruh instansi yang kompeten dalam
penanggulangan bencana yaitu TNI, Polri, BNPP (Basarnas), Pemda (Dinas
PUPR, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial), BPBD, BMKG dan Instansi swasta
termasuk akademisi dan relawan. Pelatihan tersebut dilaksanakan secara
bertahap bertingkat dan berkelanjutan sehingga dapat mempererat hubungan,
kerjasama dan koordinasi antar unsur pelaksana yang pada akhirnya dapat
mewujudkan keterpaduan penyelenggaraan penanggulangan bencana.
26
b. BNPB perlu melaksanakan penerapan terhadap peraturan Kepala BNPB
nomor 12 tahun 2014 tentang Peran Serta Lembaga Usaha Dalam
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana pada setiap kejadian bencana, agar
potensi angkutan udara yang dimiliki oleh maskapai sipil baik milik Negara maupun
swasta dapat digunakan untuk mengatasi keterbatasan kekuatan dan kesiapan
operasi pesawat angkut TNI terutama TNI Angkatan Udara yang digunakan untuk
penanggulangan bencana, terutama bila terjadi bencana yang berdampak sangat
besar atau terjadi di dua tempat secara bersamaan.
c. Pimpinan TNI perlu mengisi peluang jabatan Pati dan Pamen TNI di
lingkungan BNPB secara maksimal melalui alih status atau penugasan sesuai
aturan yang berlaku, untuk lebih mengoptimalkan keterpaduan antara BNPB dan
TNI dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
d. Perlu pengalokasian anggaran kontijensi yang ada di Kementerian
Pertahanan dan anggaran darurat bencana yang ada di BNPB serta kementerian
dan lembaga lain yang terkait dengan penanggulangan bencana untuk disalurkan
dan digunakan pemeliharaan pesawat angkut TNI/TNI Angkatan Udara.
Demikianlah penulisan tentang optimalisasi keterpaduan sipil-militer pada
penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam rangka menjaga keselamatan bangsa
sebagai bahan masukan bagi pimpinan TNI AU dalam menentukan kebijakan khususnya
dalam pelaksanaan penanggulangan bencana.
Mengetahui:
Koordinator Staf Ahli Kasau,
Dr. Umar Sugeng H., M.M. Marsekal Muda TNI
Jakarta, Maret 2018
Pamen Sahlibidstrabangnas Sahli Kasau Bid. Strahan,
Elia Adriyanto Kolonel Pas NRP 515566
1. Pati Koord. Naskah 1. ..........
2. PSB. Strahan 2. ..........
3. Kabagum 3. ..........
27
Buku.
1. Mamduh M. Hanafi, Drs, MBA, Manajemen, UPP AMP YKPN. Jogjakarta, Agustus
1997.
2. Undang-Undang Republik Indonesia nomor 24 tahun 2007 tentang
penanggulangan bencana.
3. Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 8 tahun 2008 tentang Badan
Nasional Penanggulangan Bencana.
4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2010 tentang susunan
organisasi TNI.
5. Penilaian awal kerusakan dan kerugian bencana alam di Jogja dan Jawa Tengah,
Laporan bersama Bappenas, Pemerintahan Provinsi dan Daerah D.I. Yogyakarta,
Pemerintahan Provinsi dan Daerah Jawa Tengah, dan Mitra international, Juli 2006.
Internet.
1. Potensi dan ancaman bencana, diakses dari https://www.bnpb.go.id/home/potensi
dan ancaman bencana-badan nasional penanggulangan bencana.
2. Gunung anak krakatau siaga, diakses dari
https://nasional.tempo.co/read/1159478/gunung-anak-krakatau-siaga-seluruh-warga-
pulau-sebesi-diungsikan.
3. Negara berikan bantuan ke aceh diakses dari
https://nasional.tempo.co/read/54018/18-negara-berikan-bantuan-ke-aceh.
4. Data informasi bencana indonesia, diakses dari http://bnpb.cloud/dibi/laporan.
5. Gempa melumpuhkan kota gunung sitoli, diakses dari
https://www.liputan6.com/news/read/98511/gempa-melumpuhkan-kota-gunung-sitoli.
DAFTAR PUSTAKA
28
6. Personel tni bantu korban gempa yogya, diakses dari
https://news.detik.com/berita/605461/2838-personel-tni-bantu-korban-gempa-yogya.
7. Padang diguncang gempa, diakses dari http://www.depkes.go.id.
8. Kerugian akibat gempa di palu, diakses dari
http://makassar.tribunnews.com/2018/10/21/bnpb-kerugian-akibat-gempa-dan-tsunami-di-
palu-capai-rp-1382-triliun.
9. Daftar Maskapai, diakses dari http://hubud.dephub.go.id/?id/aoc/index.
2
top related