mocaf
Post on 01-Oct-2015
15 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
-
Stabilitas Bakso Daging Ayam Dalam Perendaman Larutan Chitosan Ditinjau Dari
pH, WHC dan TPC Selama Penyimpanan
Uswatun Chasanah, Djalal Rosyidi dan Aris Sri Widati
RINGKASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui interaksi antara tingkat konsentrasi
larutan chitosan dan lama penyimpanan bakso yang ditinjau dari pH, WHC dan jumlah
mikroorganisme (TPC). Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah bakso yang
dibuat dari daging ayam kemudian dilakukan perendaman dalam larutan chitosan. Metode
yang digunakan adalah percobaan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial (3x3)
dengan 3 ulangan. Faktor perlakuan pertama adalah % konsentrasi larutan chitosan 0%
(K0), 3% (K1), 6% (K2) dari air rendaman yang digunakan. Faktor perlakuan kedua
adalah lama waktu penyimpanan bakso daging ayam pada suhu kamar (P) yang terdiri
dari 3 tingkat yaitu 0 jam (P0), 24 jam (P1), 48 jam (P2). Data dianalisa dengan analisis
ragam (ANAVA) dan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan bila terdapat
perbedaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi perlakuan tingkat konsentrasi
larutan chitosan dan lama penyimpanan tidak memberikan perbedaan pengaruh yang
nyata (P>0,05) terhadap pH, WHC, dan TPC bakso daging ayam, perlakuan tingkat
konsentrasi larutan chitosan memberikan perbedaan pengaruh yang sangat nyata (P0,05) terhadap
WHC dan TPC bakso daging ayam. Perlakuan lama penyimpanan memberikan perbedaan
pengaruh yang nyata (P
-
Pendahuluan
Daging sering diolah untuk
meningkatkan nilai ekonomis, selera
konsumsi masyarakat, dan masa simpan
melalui penganekaragaman produk
seperti bakso. Daging ayam sangat
berpotensi untuk diolah karena
mengandung protein yang tinggi dan
termasuk daging putih yang memiliki
kandungan kolesterol rendah,
mempunyai marbling yang cukup dan
jaringan lemak yang sedikit serta
harganya relatif lebih murah
dibandingkan daging sapi. Menurut
Holland, Welch, Unwin, Buss, Paul, &
Southgate (1997), daging ayam bagian
dada tanpa kulit per 100 gram
mengandung 74,2 gram air, 24,0 gram
protein dan 1,1 gram lemak. Istilah
bakso biasanya diikuti dengan nama
jenis dagingnya, seperti bakso sapi atau
bakso ayam.
Bakso merupakan salah satu
produk olahan yang sangat populer di
masyarakat. Bakso adalah produk
pangan yang terbuat dari bahan utama
daging yang dihaluskan, dicampur
dengan tepung tapioka, bawang putih,
merica, dan garam dapur, setelah itu
dibentuk bulat-bulat dengan manual atau
alat dengan ukuran seperti kelereng
yang dimasak dalam air panas. Kualitas
bakso ditentukan oleh bahan mentahnya
terutama jenis dan mutu daging, jenis
tepung yang digunakan serta
perbandingannya di dalam adonan.
Tepung tapioka merupakan
salah satu bahan yang digunakan dalam
pembuatan bakso yang berguna untuk
memperbaiki tekstur produk, karena
memiliki tingkat elastisitas yang tinggi
dan dapat mencegah agar bakso tidak
berkeriput dan berlubang seperti pori-
pori, tetapi tidak bisa cepat masak pada
suhu rendah. Wibowo (2009)
mengatakan bahwa penggunaan tepung
tapioka dalam pembuatan bakso daging
adalah 10 % dari berat daging sehingga
dihasilkan bakso daging dengan mutu
yang baik karena jumlah daging yang
lebih dominan dibandingkan dengan
jumlah tepung yang digunakan.
Bakso merupakan produk
makanan yang mengandung protein
tinggi, memiliki kadar air yang
tergolong tinggi yakni 52 % dan pH
netral sehingga rentan terhadap
kerusakan sehingga memiliki daya awet
atau masa simpan bakso maksimal
antara satu sampai dua hari pada suhu
kamar (Kurniawati, 2008., Wardaniati
dan Setyaningsih, 2009). Dibutuhkan
suatu bahan pengawet yang tidak
berbahaya bagi kesehatan konsumen
serta dapat mempertahankan aspek gizi
yang terkandung di dalamnya supaya
mendapatkan bakso yang memiliki masa
simpan lebih lama serta mutu yang dapat
dipertahankan.
Masa penyimpanan bahan
pangan merupakan jangka waktu dimana
bahan pangan tersebut dianggap tetap
aman dan layak untuk dikonsumsi, dapat
digunakan oleh konsumen sesuai dengan
kebutuhannya. Park, Lee, dan Lee
(2000) dan Singh (2000) mengatakan
bahwa masa simpan ditentukan
berdasarkan salah satu atau beberapa
faktor kualitas dari bahan pangan yang
dianggap paling penting yang akan
berubah selama masa penyimpanan
sampai batas terakhir yang masih dapat
dianggap.
Menurut Suseno (2006),
alternatif untuk mengatasi permasalahan
penggunaan bahan pengawet berbahaya
salah satunya dengan penggunaan
chitosan. Chitosan merupakan produk
turunan dari polimer chitin yaitu produk
samping (limbah) dari pengolahan
industri perikanan, khususnya udang dan
rajungan. Limbah kepala udang
-
mencapai 35 50 % dari total berat
udang.
Chitosan sangat berpotensi
untuk dijadikan sebagai bahan
antimikroba, karena mengandung enzim
lysosim dan gugus aminopolysacharida
yang dapat menghambat pertumbuhan
mikroba dan efisiensi daya hambat
chitosan terhadap bakteri tergantung dari
konsentrasi pelarutan chitosan.
Pemanfaatan chitosan ini telah dicoba
pada berbagai bidang, diantaranya
sebagai bahan pelapis dan anti kapang.
Kemampuan dalam menekan
pertumbuhan bakteri disebabkan
chitosan memiliki polikation bermuatan
positif yang mampu menghambat
pertumbuhan bakteri dan kapang
(Wardaniati dan Setyaningsih, 2009).
Berdasarkan penelitian yang
dilaksanakan oleh Wardaniati dan
Setyaningsih (2009), bahwa serbuk
chitosan 1,5 gram ditambah dengan 100
ml larutan asam asetat 1 % dengan lama
perendaman 60 menit bakso mampu
bertahan selama 3 hari pada suhu kamar,
semakin lama waktu perendaman bakso
dalam chitosan, bakso semakin awet.
Penggunaan chitosan tidak
menyebabkan perubahan citarasa bakso
dan membuat bakso terlihat lebih kesat.
Penggunaan chitosan juga diaplikasikan
dalam pengawetan ikan patin yang
disimpan dalam suhu ruang. Konsentrasi
chitosan 1,5 % dengan lama perendaman
hanya 3 menit mampu memberikan hasil
terbaik dilihat dari parameter
penampakan daging, tekstur, bau, nilai
pH dan nilai TVB (total volatile base)
fillet, sedangkan konsentrasi chitosan 3
% dengan lama perendaman yang sama
mampu memberikan hasil terbaik dilihat
dari parameter lendir dan nilai TPC fillet
ikan. Penggunaan larutan chitosan
mampu mempertahankan kesegaran
fillet ikan 2 jam lebih lama
dibandingkan dengan fillet tanpa
perlakuan larutan chitosan (Suptijah,
2008).
Berdasarkan hal-hal tersebut,
maka perlu dilakukan penelitian tentang
pengaruh perendaman menggunakan
chitosan dalam pembuatan bakso daging
ayam ditinjau dari pH, WHC dan TPC
selama penyimpanan suhu ruang selain
sebagai bahan pengawet.
Materi dan Metode
Penelitian dilaksanakan di
Laboratorium Mikrobiologi,
Laboratorium Fisikokimia, dan
Laboratorium Rekayasa Pengolahan
Pangan di bagian Teknologi Hasil
Ternak Fakultas Peternakan Universitas
Brawijaya. Penelitian ini berlangsung
pada tanggal 13 Pebruari sampai 29
April 2012.
Materi
Bahan-bahan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah bakso yang
dibuat dari daging broiler bagian dada,
tepung tapioka, garam, bawang putih,
gula, lada, telur, es batu yang direndam
dalam chitosan 0 6 % dan lama simpan
0 sampai 48 jam.
Alat yang digunakan untuk penelitian ini
antara lain blender khusus daging bakso
kapasitas 0,5 kg, panci, kompor gas,
telenan, pengaduk, termometer, baskom,
sendok, peniris, pisau, timbangan
digital, pipet tetes, seperangkat uji pH,
kertas saring Whatman No.42, beban 35
kg, dua plat kaca, plastik, kertas grafik,
pipet volume, kawat ose, spirtus, cawan
petri, gelas ukur, erlenmeyer, tabung
reaksi, gelas pengaduk, beaker glass,
mortar, autoclave. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi
chitosan cair, aquades, pepton, PCA
(plate count agar) sebagai media isolasi,
-
alkohol 70%, spirtus, buffer pH 4 dan
buffer pH 7.
Metode
Metode penelitian yang
digunakan adalah percobaan faktorial
(3x3) dengan Rancangan Acak Lengkap
(RAL). Faktor perlakuan pertama adalah
% konsentrasi chitosan adalah 0% (K0),
3% (K1), 6% (K2) dari jumlah air
rendaman yang digunakan. Faktor
perlakuan kedua adalah lama waktu
penyimpanan bakso daging ayam pada
suhu kamar (P) yang terdiri dari 3
tingkat yaitu 0 jam (P0), 24 jam (P1), 48
jam (P2). Setiap perlakuan diulang
sebanyak 3 kali
Prosedur Pembuatan Bakso Daging
Ayam
1) Persiapan bahan meliputi
pemilihan daging yang segar dan
penyiapan bahan tambahan.
2) Daging dipotong kecil-kecil dan
dapat dicincang dengan alat
percincangan (chopper) bersama
garam 2,5 % dan es batu 15 %
dari adonan, baru kemudian
dicampur dengan bahan-bahan
lain yaitu bawang putih 2,5 %,
gula 2,5 %, lada 0,1 %, dan putih
telur 3 % dari adonan dengan alat
yang sama. Komposisi adonan
bakso ayam dalam penelitian ini
semua berat bahan berdasarkan
atas berat adonan bakso ayam
yang telah dikonversikan dari
satuan persen ke gram.
3) Tepung tapioka ditambahkan
sebanyak 10% dari berat daging,
kemudian di chopper.
4) Adonan dicetak menggunakan
tangan.
5) Pemasakan adonan bakso
dilakukan dalam dua tahap. Tahap
pertama, bakso dipanaskan dalam
panci berisi air hangat sekitar 60
C sampai 80 C, sampai bakso
mengeras dan mengembang di
permukaan air. Pada tahap
selanjutnya bakso dipindahkan ke
dalam panci lainnya yang berisi
air mendidih dengan suhu 100
C, kemudian direbus sampai
matang sekitar 10 menit. Tujuan
dilakukan dalam dua tahap agar
permukaan bakso yang dihasilkan
tidak keriput dan tidak pecah
akibat perubahan suhu yang
terlalu cepat.
6) Bakso yang sudah matang segera
diangkat dan ditiriskan, kemudian
diangin-anginkan sekitar 20
menit.
7) Bakso direndam selama 60 menit
dalam larutan chitosan dengan
konsentrasi dan lama
penyimpanan sesuai dengan
perlakuan.
Variabel Penelitian
Variabel yang diukur dalam
penelitian ini adalah uji kualitas fisik
(pH, WHC dan TPC)
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis
dengan metode analisis sidik ragam dan
apabila ada perbedaan yang nyata
dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda
Duncan (UJBD) (Yitnosumarto,1993).
Hasil dan Pembahasan
Pengaruh tingkat konsentrasi larutan
chitosan dan lama penyimpanan
terhadap pH bakso daging ayam
Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa interaksi antara
tingkat konsentrasi larutan chitosan dan
lama penyimpanan pada pembuatan
bakso daging ayam tidak memberikan
perbedaan pengaruh yang nyata
(P>0,05) terhadap pH bakso daging
ayam, sedangkan pada penggunaan
-
larutan chitosan dengan tingkat
konsentrasi yang berbeda memberikan
perbedaan pengaruh yang sangat nyata
(P
-
ion hidrogen diatas pH 6,5, tetapi
chitosan dapat larut dalam asam
hidroklorat dan asam nitrat pada
konsentrasi 0,15 1,1 % dan tidak larut
pada konsentrasi 10 %. Chitosan juga
tidak larut dalam asam sulfur tetapi larut
sebagian pada asam ortofosfat dengan
konsentrasi 0,5 %. Knorr (1982)
menambahkan bahwa pelarut chitosan
yang baik dan umum digunakan adalah
asam asetat dengan konsentrasi 1 2 %.
Tabel 1. menunjukkan bahwa
perlakuan lama simpan menyebabkan
penurunan nilai pH bakso secara nyata
yaitu dari pH 6,22 menjadi 6,13.
Penurunan pH kemungkinan disebabkan
oleh degradasi protein menjadi asam-
asam amino yang disebabkan oleh
adanya pertumbuhan mikroorganisme.
Pada Tabel 3. ditunjukkan bahwa TPC
bakso daging ayam semakin meningkat
dengan bertambahnya lama simpan.
Rahayu, Ninoek, dan Utomo (1990)
menambahkan, mikroba dapat memecah
protein menjadi senyawa-senyawa yang
lebih sederhana, asam amino dan basa-
basa yang mudah menguap.
Pengaruh tingkat konsentrasi larutan
chitosan dan lama penyimpanan
terhadap nilai WHC (Water Holding
capacity) (%) bakso daging ayam
Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa interaksi antara
tingkat konsentrasi larutan chitosan dan
lama penyimpanan pada pembuatan
bakso daging ayam tidak memberikan
perbedaan pengaruh yang nyata
(P>0,05) terhadap WHC bakso daging
ayam dan pada penggunaan larutan
chitosan dengan tingkat konsentrasi
yang berbeda juga tidak memberikan
perbedaan pengaruh yang nyata
(P>0,05) sedangkan pada lama
penyimpanan yang berbeda memberikan
perbedaan pengaruh yang nyata
(P
-
bebas yang dikeluarkan dari bakso
sangat kecil sehingga WHC yang
terdapat dalam bakso daging ayam
relatif tidak berubah. Nilai WHC bakso
daging ayam dipengaruhi secara nyata
oleh lamanya penyimpanan pada suhu
kamar, sedangkan perlakuan tingkat
konsentrasi chitosan serta interaksi
keduanya tidak memberikan pengaruh
yang nyata.
Peningkatan konsentrasi larutan
chitosan diduga menyebabkan muatan
positif yang keluar semakin banyak dan
muatan negatif semakin tinggi.
Kelebihan muatan negatif akan
memperbesar penolakan dari
myofilamen dan akan memberikan
ruang kosong yang lebih untuk molekul
air. Kondisi ini menyebabkan WHC
bakso daging ayam semakin meningkat.
Ikatan positif yang terlepas tersebut
mengakibatkan protein daging
bermuatan negatif. Pelepasan kondisi
pH yang asam dan bermuatan positif
menyebabkan terjadinya ikatan antara
protein daging dan molekul H, oleh
karena itu, semakin tinggi konsentrasi
chitosan yang digunakan akan
meningkatkan WHC bakso daging
ayam.
Sudrajat (2007) menyatakan
bahwa faktor yang menyebabkan
chitosan tidak berpengaruh nyata adalah
konsentrasi chitosan yang rendah.
Chitosan sebenarnya memiliki sifat
pengikat (binding agent) air, chitosan
memiliki muatan positif yang
disebabkan oleh kedua ligannya (OH+
dan NH2) sehingga dapat berinteraksi
dengan protein yang bermuatan negatif.
Hal ini yang menyebabkan chitosan
dapat meningkatkan daya ikat air karena
dapat memperbaiki protein untuk
mengikat air dan lemak.
Tabel 2. menunjukkan bahwa
perlakuan lama penyimpanan
menyebabkan penurunan WHC bakso
daging ayam yaitu dari 64,76 menjadi
60,68. Daya ikat air bakso daging ayam
juga dipengaruhi oleh pH. Penurunan
pH (Tabel 1) diikuti dengan penurunan
nilai WHC (Tabel 2). pH bakso daging
ayam berkisar antara 5,97 6,43
merupakan pH yang lebih tinggi dari pH
titik isoelektrik protein-protein daging
akan mempengaruhi daya ikat air.
Soeparno (2005) menyatakan bahwa
pada pH lebih tinggi atau lebih rendah
dari pH titik isoelektrik protein-protein
daging (5,0 5,1) daya ikat air akan
meningkat, karena pada pH yang lebih
tinggi atau rendah dari pH titik
isoelektrik protein daging
mengakibatkan molekul-molekul daging
yang bermuatan akan saling tolak-
menolak sehingga menimbulkan ruang-
ruang kosong untuk molekul-molekul
air.
Pengaruh tingkat konsentrasi larutan
chitosan dan lama penyimpanan
terhadap TPC (Total Plate Count)
bakso daging ayam
Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa interaksi antara
tingkat konsentrasi larutan chitosan dan
lama penyimpanan pada pembuatan
bakso daging ayam tidak memberikan
perbedaan pengaruh yang nyata
(P>0,05) terhadap TPC bakso daging
ayam dan pada penggunaan larutan
chitosan dengan tingkat konsentrasi
yang berbeda juga tidak memberikan
perbedaan pengaruh yang nyata
(P>0,05) sedangkan lama penyimpanan
yang berbeda memberikan perbedaan
pengaruh yang sangat nyata (P
-
Tabel 3. Rata-rata TPC bakso daging ayam dalam log cfu/g dengan perlakuan tingkat
konsentrasi larutan chitosan dan lama penyimpanan
Kons. Chitosan
(%)
Lama Penyimpanan (Jam) Rata-rataSD
0 24 48
0 5,220,65 7,410,66 7,810,51 6,801,54
3 4,780,07 6,780,05 7,770,10 6,451,39
6 4,790,27 6,670,11 7,650,04 6,311,45
Rata-rata 4,93b0,25 6,95
a0,98 7,69
a0,76
Keterangan: superskrip yang berbeda menunjukkan bahwa perlakuan lama penyimpanan
memberikan perbedaan pengaruh yang sangat nyata (P
-
keawetan bakso dengan penyimpanan
pada suhu ruang, selain suhu
penyimpanan kandungan nutrisi yang
terdapat pada bakso sangat tinggi
sehingga mikroba cepat berkembang.
Menurut Frazier dan Westhoff (1988),
jumlah populasi mikroba pada saat
terbentuknya lendir adalah 3.0 x 106
sampai 3.0 x 108
koloni/gram sampel
dan jumlah populasi mikroba saat
terdeteksi bau kurang enak pada bakso
adalah 1.2 x 106 sampai 1.2 x 10
8. .
Kesimpulan
Interaksi perlakuan tingkat
konsentrasi larutan chitosan dan lama
penyimpanan dapat meningkatkan WHC
dan menurunkan pH dan TPC. Lama
penyimpanan dapat menurunkan pH,
WHC dan TPC bakso daging
ayam.Perlakuan terbaik terdapat pada
interaksi perlakuan perendaman bakso
daging ayam dalam larutan chitosan 6%
dengan lama penyimpanan 0 jam
ditinjau dari pH, WHC, dan TPC bakso
daging ayam.
DAFTAR PUSTAKA
Frazier, W. C dan D. C. Westhoff. 1988.
Food Microbiology 4th ed. Mc-
Graw Hill, Inc. New York.
Holland, A., A.A. Welch, I.D. Unwin,
D.H. Buss, A.A. Paul, &
D.A.T. Southgate. 1997. The
Compostion of Foods. Fifth
Revised and Extended Edition.
The Royal Society of
Chemistry and Ministry of
Agriculture, Fisheries and
Food. London: Oxford
University Press.
Knorr, D. 1982. Functional Properties
Of Chitin and Chitosan.
Journal of Food Science
48:36-41.
Kurniawati. 2008. Peran Chitosan
Sebagai Pengawet Alami dan
Pengaruhnya Terhadap Protein
Serta Organoleptik Pada Bakso
Daging Sapi. Skripsi. Fakultas
Keguruan dan Ilmu
Pendidikan. Universitas
Muhammadiyah. Surakarta.
Ornum, JV. 1992. Shrimp Waste Must It
Be Waste?. Info Fish 6: 48-52
Park, M. H., D. S. Lee and K. H. Lee.
2000. Food Packaging.
Hyeoyongseol Publising.
Daegu.
Rahayu, S., N. Indriati dan B. S. B.
Utomo. 1990. Kemunduran
Mutu Kamaboko Ikan Selama
Penyimpanan Pada Suhu
Kamar. Agritech. 9 (4): 2-9.
Shank, J.L., Silliker, J. H., and Harper,
R. H., 1999. The Effect of
Nitric Oxide on Bacteria.
Research Laboratories, Swift
and Company, Chicago,
Illinois.
Singh, R. P. 2000. Scientific Principles
of Food Deterioration. Book of
Shelf Life Evaluation of Food.
Aspen Publishers.
Gaithersburg.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi
Daging. Cetakan Kelima.
Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Sudrajat, G. 2007. Sifat Fisik dan
Organoleptik Bakso Daging
Sapi dan Daging Kerbau
Dengan Penambahan
Karagenan dan Chitosan.
Skripsi. Fakultas Peternakan.
Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
-
Suptijah P. 2008. Kajian Efek Daya
Hambat Chitosan Terhadap
Kemunduran Mutu Fillet Ikan
Patin (Pangasius
hypopthalmus) Pada
Penyimpanan Suhu Ruang.
Departemen Hasil Perairan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Suseno, S.H. 2006. Kitosan Pengawet
Alami Alternatif Pengganti
Formalin dalam Semiloka
Temu Bisnis : Teknologi dan
Peningkatan untuk Daya Saing
Wilayah Menuju Kehidupan
yang Lebih Baik. Jeparatech
Expo. Jepara.
Wardaniati dan Setyaningsih. 2009.
Pembuatan Chitosan dari Kulit
Udang dan Aplikasinya Untuk
Pembuatan Bakso. Makalah
Penelitian, (online),
(http://eprints.undip.ac.id/1718
/1/makalah_penelitian_fix.pdf)
Wibowo, S. 2009. Pembuatan Bakso
Ikan dan Bakso Daging.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Yitnosumarto. 1993. Percobaan
Perancangan, Analisis, dan
Interpretasinya. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta
top related