mengapa cakupan penemuan tb paru di puskesmas masih rendah?
Post on 08-Jun-2015
1.995 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
HUBUNGAN ASPEK MANAJEMEN PETUGAS TB PARU PUSKESMAS DENGAN CAKUPAN PENEMUAN TB PARU DI KABUPATEN GROBOGAN, 2004*)* Sutopo Patria Jati **) Edi Sucipto ***)
ABSTRAK
Kabupaten Grobogan telah menerapkan kebijakan operasional program penanggulangan TB Paru dengan menggunakan strategi DOTS sejak tahun 2000 tetapi cakupan penemuan penderita TB Paru rata-rata hanya mencapai 15,2% dari target dari kabupaten sebesar 50% dan masih terdapat 27 Puskesmas (90,0%) belum mencapai target di tahun 2003. Berdasarkan hasil laporan evaluasi program TB Paru oleh Dinas Kesehatan Dan Kesejahteraan Sosial (DKKS) Kabupaten Grobogan tahun 2003 dinyatakan bahwa aspek manajemen petugas TB Paru Puskesmas masih buruk. Masih ada 85% dari 30 petugasTB Paru Puskesmas yang tidak membuat perencanaan, 70 % tidak melakukan kerjasama, dan yang tidak melakukan monitoring dan evaluasi 75%. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan aspek manajemen yang meliputi perencanaan, kerjasama dan monitoring dan evaluasi oleh petugas TB Paru Puskesmas dengan cakupan penemuan TB Paru di Kabupaten Grobogan. Jenis penelitian ini explanatory dengan metode survei. Seluruh anggota populasi yang berjumlah 30 petugas TB puskesmas di Kabupaten Grobogan akan diteliti. Variabel penelitian meliputi aspek perencanaan, aspek kerjasama, aspek monitoring& evaluasi serta cakupan penemuan TB Paru. Data dianalisis dengan uji statistic Rank Spearman. Dibuktikan ada hubungan dari 3 aspek yaitu perencanaan (p value = 0,003; r = 0,527), kerjasama (p value = 0,002; r = 0,539), dan monitoring & evaluasi (p value = 0,005; r = 0,504) petugas TB Paru Puskesmas dengan cakupan penemuan TB Paru Dengan demikian petugas TB Paru harus memperbaiki perencanaan, kerjasama, monitoring dan evaluasi agar penemuan TB Paru lebih berhasil di Kabupaten Grobogan.
Kata kunci : Cakupan PenemuanTB Paru, Aspek Manajemen Petugas TB
PENDAHULUAN
Penyakit TB Paru merupakan masalah utama kesehatan masyarakat di
Indonesia. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 menunjukkan
bahwa penyakit TB merupakan penyakit kematian nomor tiga (3) setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan pada semua kelompok usia, dan
nomor satu (1) dari golongan penyakit infeksi. Tahun 1999, WHO memperkirakan
**) Makalah ini dimuat dalam Jurnal Kesehatan Masyarakat FKM UNDIP, Vol. 4 Tahun 2006**)Staf Bagian AKK FKM UNDIP Semarang ***) Petugas TB di Puskesmas Geyer II Kabupaten Grobogan
1
setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru TB Paru dengan kematian karena TB Paru
sekitar 140.000. Secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia
terdapat 130 penderita baru TB Paru BTA Positif. Sejak tahun 1995 program
pemberantasan penyakit tuberkulosis paru (TB Paru) telah dilaksanakan dengan
strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang direkomendasi oleh
WHO. Penanggulangan TB Paru dengan strategi DOTS dapat memberikan angka
kesembuhan yang tinggi. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS merupakan strategi
kesehatan yang paling cost-effective. Di negara-negara berkembang kematian TB Paru
merupakan 25 % dari seluruh kematian, yang sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan
95% penderita TB Paru berada di negara berkembang, 75% penderita TB adalah
kelompok usia produktif (15-50 tahun) (Buku Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis, Depkes RI, 2002)
Strategi DOTS dalam program penanggulangan TB Paru harus mencapai
target yang telah ditentukan. Adapun indikator nasional yang harus dipenuhi adalah
angka penemuan penderita / case detection rate 70%, angka kesembuhan / cure rate
85%, angka konversi / conversion rate 80% dan angka kesalahan laboratorium / error
rate < 5%.( Program Penanggulangan Tuberkulosis Modul 1, GERDUNAS – TB ,
2001).
Propinsi Jawa Tengah juga telah menerapkan kebijakan program
penanggulangan TB Paru dengan menggunakan strategi DOTS sejak tahun 1995.
Namun hanya beberapa kabupaten atau kota melaksanakan program penanggulangan
TB Paru. Kabupaten Grobogan sebagai daerah obyek penelitian telah menerapkan
kebijaksanaan operasional program penanggulangan TB Paru dengan menggunakan
strategi DOTS sejak tahun 2000. Pada tahun 2003 pelaksanaan cakupan penemuan
penderita TB Paru kurang optimal yaitu dari 30 Puskesmas yang ada di Kabupaten
2
Grobogan masih ada 27 Puskesmas (90,0%) yang belum mencapai target. Cakupan
penemuan TB Paru hanya mencapai 15,2% dari 50,0% target yang telah ditentukan.
Berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi program TB Paru Dinas Kesehatan Dan
Kesejahteraan Sosial (DKKS) Kabupaten Grobogan pada tahun 2003 dilaporkan
bahwa aspek manajemen petugas TB Paru Puskesmas ternyata masih buruk. Dari 30
petugasTB Paru Puskesmas sebanyak 85% tidak membuat perencanaan, masih ada
70% yang tidak melakukan kerjasama, serta yang tidak melakukan monitoring dan
evaluasi sebanyak 75%. Dilaporkan juga masih ada petugas TB Paru Puskesmas yang
belum mendapatkan pelatihan khusus tentang manajemen pelaksanaan program TB
Paru; petugas TB Paru tidak mendapatkan insentif dari pelaksanaan program TB Paru;
dan masih banyak petugas TB Paru yang merangkap tugas/ program lain. (Profil
Kesehatan Kabupaten Grobogan Tahun 2003, DKKS Kab. Grobogan, 2003).
Keberhasilan pelaksanaan program penanggulangan TB Paru sangat
tergantung dari aspek manajemen selain ketrampilan teknis dari masing-masing
petugas pengelola program. Sehubungan dengan hal tersebut penulis ingin melakukan
penelitian tentang hubungan aspek manajemen meliputi aspek perencanaan,
kerjasama dan monitoring & evaluasi petugas TB Paru Puskesmas dengan cakupan
penemuan TB Paru di Kabupaten Grobogan.
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah explanatory research dengan pendekatan cross
sectional (Notoatmodjo Soekidjo,1993). Seluruh anggota populasi dari petugas TB di
puskesmas Kabupaten Grobogan sebanyak 30 orang akan diteliti. Variabel dependen
adalah cakupan penemuan TB paru dan variabel independennya meliputi aspek
perencanaan, kerjasama dan monitoring-evaluasi dari petugas TB di puskesmas. Data
dikumpulkan dengan teknik wawancara dan observasi dokumentasi. Untuk data
3
aspek manajemen petugas TB Paru menggunakan instrumen kuesioner meliputi 60
item pertanyaan terstruktur. Analisis data menggunakan uji statistik Rank Spearman
dengan tingkat signifikasi 0,05.( Sugiyono,2001). Untuk data cakupan penemuan
penderita TB Paru dilakukan dengan cara observasi dokumen pemeriksaan dari TB 05
dan TB 06 dan datanya akan dianalisis menggunakan rumus Case Detection Rate
(CDR) sebagai berikut : (Buku Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis,
Depkes RI, 2002)
Berdasarkan target dari Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial Kabupaten
Grobogan untuk CDR tahun 2004/2005 adalah > 50 % (Profil Kesehatan Kabupaten
Grobogan Tahun 2003, Dinkes Dan Kessos Kab. Grobogan, Purwodadi, 2003).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Dari 30 petugas TB puskesmas di Kabupaten Grobogan sebagai responden
terbanyak adalah laki-laki yaitu 80,0%, sedangkan perempuan hanya 20,0%, umur
rata-rata 36 tahun , tingkat pendidikan sebagian besar berpendidikan D3 yaitu
sebanyak 63,3% dan yang berpendidikan SLTA sebanyak 36,7%. Berdasarkan
lamanya bekerja menangani TB Paru termasuk kategori < 4 tahun adalah 50,0% dan
kategori > 4 tahun adalah 50,0%.
Penilaian Aspek Manajemen Dan Cakupan Berdasarkan Karakteristik Petugas TB
Hasil kategori aspek perencanaan ternyata 60,0% responden termasuk kriteria
sedang, 20,0% baik dan 20,0% kurang. Aspek kerjasama kriterianya adalah: 63,3%
responden termasuk sedang, 20,0% baik dan 16,7% kurang. Sedangkan aspek
monitoring dan evaluasi hasilnya adalah: 50,0% termasuk sedang, 30,0% kurang dan
4
CDR = Jumlah penderita baru BTA (+) yang dilaporkan x 100%Perkiraan jumlah penderita baru BTA (+)
20,0% baik. Pencapaian CDR dari 30 petugas TB Paru Puskesmas yang termasuk
cakupan buruk (CDR < 50%) sebesar 90,0% dan cakupan baik (CDR ≥ 50%) hanya
sebesar 10,0%.
Perbedaan proporsi pencapaian nilai aspek perencanaan termyata responden
dengan kategori umur lebih tua cenderung memiliki perencanaan lebih baik (33,3%)
dibandingkan yang muda (11,1%) dan responden yang bekerja < 4 tahun cenderung
mempunyai perencanaan yang lebih buruk (28,6%) dibandingkan responden dengan
masa kerja > 4 tahun (12,5%) sedangkan proporsi menurut sex dan tingkat
pendidikan tidak ada perbedaan yang nyata. Sebaliknya responden dengan kategori
umur yang lebih tua dalam aspek kerjasama cenderung lebih buruk (25,0%) daripada
yang muda (11,1%), akan tetapi responden yang termasuk baru bekerja (< 4 tahun )
ternyata cenderung memiliki kerjasama yang kurang (21,4%) daripada staf yang
sudah bekerja > 4 tahun (12,5%) sedangkan tidak ada kecenderungan perbedaan yang
nyata menurut jenis sex dan tingkat pendidikan. Hal ini mempunyai makna bahwa
semakin lama staf bekerja menangani program TB maka aspek perencanaanya
semakin baik karena pengaruh dari makin banyaknya pengalaman dan waktu yang
digunakan untk beradaptasi dengan tugas dibandingkan staf yang belum lama bekerja
mengelola program TB di puskesmas. Kondisi ini dapat dipahami karena semakin
lama seseorang memegang pekerjaan tertentu maka semakin mengenal situasi dan
lingkungan pekerjaan mereka termasuk dengan pihak-pihak yang dapat diajak bekerja
sama dibandingkan staf yang masih baru.
Aspek monitoring dan evaluasi tidak ada perbedaan yang jelas menurut
kategori umur, tingkat pendidikan dan lama kerja, sedangkan jika berdasarkan
kategori sex maka responden laki-laki cenderung lebih buruk (33,3%) dalam
melakukan monitoring & evalusi dibandingkan perempuan (16,7%). Hal ini
5
menunjukkan bahwa petugas perempuan cenderung lebih hati-hati dan teliti dalam
melakukan monitoring dan evaluasi dibadingkan petugas TB laki-laki.
Hasil cakupan penderita TB oleh responden yang pada umumnya masih buruk,
responden dengan kategori umur lebih tua ternyata cenderung lebih baik (16,7%)
daripada yang lebih muda (5,6%), sedangkan menurut kategori sex, tingkat
pendidikan dan lama kerja ternyata cenderung tidak jelas perbedaannya.
Seharusnya lama bekerja ikut menentukan hasil kerja seseorang, karena
semakin banyak pengalaman yang dimiliki seseorang, maka semakin banyak pula
ketrampilan yang pernah dimilikinya. Sehingga hal ini memberikan rasa percaya diri
ketika menghadapi suatu pekerjaan atau persoalan sehingga kualitas kerja akan lebih
baik. Hal ini sudah sesuai dengan teori yang ada bahwa mereka yang berpengalaman
dipandang lebih maju dalam pelaksanaan tugas, makin lama masa kerja seseorang
kecakapan mereka akan lebih baik, karena mereka sudah menyesuaikan diri dengan
pekerjaannya. Disisi lain umur seseorang demikian besar peranannya dalam
mempengaruhi produktifitas kerjanya, karena umur juga menyangkut perubahan-
perubahan yang dirasakan individu sehubungan dengan pengalaman maupun
perubahan kondisi fisik mental seseorang sehingga nampak dalam aktifitas sehari-
hari. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Hafid (1995) bahwa faktor usia
dapat mempengaruhi produktifitas tenaga kerja.
Berdasarkan pengamatan saat di lapangan oleh peneliti, petugas TB yang
berjenis kelamin laki-laki cenderung lebih optimal dalam bekerja di lapangan tetapi
kurang optimal di dalam puskesmas terutama dalam melakukan penjaringan suspek
TB Paru. Sedangkan responden yang berjenis kelamin perempuan kurang optimal
dalam bekerja di lapangan karena faktor keterbatasan fisik dan faktor kesulitan
6
transportasi karena kondisi jalan yang rusak serta geografis di Kabupaten Grobogan
memang relatif sulit dijangkau.
Analisis Hubungan Aspek Manajemen Petugas TB Dengan Cakupan Penemuan
Penderita TB Paru
Perincian data hasil analisis hubungan antara aspek manajemen petugas TB
dengan cakupan penderita TB di Kabupaten Grobogan seperti terlihat dalam tabel
berikut ini:
Tabel 2 : Analisis Hubungan Aspek Manajemen Petugas TB Dengan Cakupan Penderita TB di Kabupaten Grobogan Tahun 2004
Aspek Perencanaan
Petugas TB Paru
Cakupan Penemuan TB Paru Total
Uji StatistikBaik % Buruk % n %
Baik 3 50,0 3 50,0 6 11,1
p = 0,003
r = 0,527
Sedang 0 0 18 100,0 18 66,7
Kurang 0 0 6 100,0 6 22,2
Total 3 27 30 100,0
Aspek Kerjasama
Petugas TB Paru
Cakupan Penemuan TB Paru Total
Uji StatistikBaik % Buruk % n %
Baik 3 50,0 3 50,0 6 11,1
p = 0,002
r = 0,539
Sedang 0 0 19 100,0 19 70,4
Kurang 0 0 5 100,0 5 18,5
Total 3 27 30 100,0
Aspek Monitoring & Evaluasi Petugas TB
Paru
Cakupan Penemuan TB Paru Total
Uji StatistikBaik % Buruk % n %
Baik 3 50,0 3 50,0 6 11,1
p = 0,005
r = 0,504
Sedang 0 0 15 100,0 15 55,5
Kurang 0 0 9 100,0 9 33.4
Total 3 27 30 100,0
Sumber : Data primer yang diolah
Berdasarkan hasil analisis dari tabel silang antara aspek perencanaan dengan
cakupan penderita TB Paru oleh petugas TB menunjukkan masih ada responden yang
aspek perencanaannya baik ternyata masih mempunyai cakupan penemuan yang
buruk (50%). Setelah dilakukan uji statistik korelasi rank spearman dengan tingkat
7
kepercayaan 95% (p value = 0,05) diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan
antara aspek perencanaan petugas TB Paru Puskesmas dengan cakupan penemuan TB
Paru ditunjukkan dari nilai p adalah 0,003 lebih kecil dari 0,05, dengan korelasi r
=0,527, yang artinya menunjukkan hubungan yang substansial atau mempunyai
hubungan dengan tingkatan sedang. (Sugiyono,2001)
Masih rendahnya skor aspek perencanaan yang berhubungan dengan
rendahnya pencapaian CDR kemungkinan terkait dengan berbagai hal, antara lain
dapat dilihat dari hasil jawaban kuesioner, dimana hanya ada 20% responden yang
selalu membuat perencanaan, perencanaan yang seharusnya dibuat 3 bulanan ternyata
sebagian besar responden hanya melakukan 1 kali dalam setahun, dan tidak
tersedianya insentif khusus untuk penyusunan rencana, melainkan hanya kadang-
kadang disediakan dengan jumlah sangat tidak memadai karena anggarannya
digabung dengan program lain (TB-Kusta) dan menurut masuk dalam pos anggaran
untuk kegiatan penyuluhan kesehatan sesuai ketentuan Perda No. 4 Tahun 2003
tentang APBD II Kabupaten Grobogan. Selain itu sebagian besar responden
menyatakan tidak mencatumkan secara lengkap tentang data jumlah suspek, kegiatan
pengumpulan suspek dan target jumlah penderita yang akan ditemukan sesuai
standard perencanaan yang ada di pedoman kerja program TB dari Depkes RI.
Hasil analisis hubungan antara aspek kerjasama dengan cakupan penderita TB
oleh petugas TB didapatkan hasil mirip dengan aspek perencanan yaitu 50% dari
responden yang memiliki aspek kerjasama baik masih mempunyai cakupan penemuan
TB Paru dengan kategori buruk. Hasil uji statistik korelasi rank spearman diketahui
ada hubungan yang signifikan antara aspek kerjasama petugas TB Paru Puskesmas
dengan cakupan penemuan TB Paru. (nilai p =0,002) dan korelasi r = 0,539 yang
8
artinya menunjukkan hubungan yang substansial atau mempunyai hubungan dengan
tingkatan sedang.( Sugiyono, 2001)
Ketidak mampuan bekerja sama terutama terjadi pada responden dengan
kategori umur yang lebih tua (25,0%) dan responden yang termasuk baru bekerja
(21,4%). Beberapa kondisi yang kemungkinan terkait dengan keadaan tersebut antara
lain terlihat dari hasil jawaban responden yang menunjukkan bahwa hanya sedikit
responden yang selalu melakukan kerjasama (20,0%), sedangkan kerjasama lintas
sektoral terutama dalam melakukan penyuluhan kesehatan tentang penyakit TB Paru
di masyarakat yang seharusnya dilakukan 4 kali dalam setahun tetapi hanya dilakukan
1 kali dalam setahun. Hal ini menunjukkan bahwa petugas TB Paru belum cukup
memberikan penyuluhan kesehatan di masyarakat sehingga dikhawatirkan berdampak
pada tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang penyakit TB Paru juga
akan rendah. Akibat lebih lanjut masyarakat kemungkinan menjadi enggan datang ke
Puskesmas untuk memeriksakan diri dan petugas TB Paru Puskesmas akan kesulitan
menemukan suspek dan penderita TB Paru. Disisi lain hasil jawaban responden juga
menunjukkan bahwa selama ini penjaringan suspek dan penemuan penderita TB Paru
terjadi hanya pada saat penderita datang ke Puskesmas atau pada saat penyuluhan
kesehatan di masyarakat. Kerjasama yang baik antara Public-Private Mix terbukti
akan meningkatkan cakupan DOTS mencapai 90% dan penemuan BTA (+) sebesar
87,5% di Filipina pada tahun 2001 (Mantala, 2003). Kemungkinan penerapannya di
Indonesia termasuk di Kabupaten Grobogan masih menghadapi hambatan terkait
keterbatasan wewenang dan akses yang dimiliki oleh petugas TB Paru Puskesmas
untuk melakukan kerjasama lintas sektoral dengan sarana kesehatan lainnya. (Global
Tuberulosis Control, WHO Report, 2003).
9
Analisis hubungan antara aspek monitoring dan evaluasi dengan cakupan
penderita TB Paru oleh petugas TB di puskesmas menunjukkan meskipun responden
melaksanakan aspek monitoring dan evaluasi dengan baik, ternyata 50,0%-nya
mempunyai cakupan penemuan TB Paru yang buruk.. Setelah dilakukan uji statistik
korelasi rank spearman diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara aspek
monitoring dan evaluasi petugas TB Paru Puskesmas dengan cakupan penemuan TB
Paru dilihat dari hasil uji statistik yaitu nilai p adalah 0,005 < 0,05 , dengan korelasi r
= 0,504, yang artinya menunjukkan hubungan yang substansial atau mempunyai
hubungan dengan tingkatan sedang.( Sugiyono,2001)
Berdasarkan hasil penelitian tentang analisis jawaban responden diketahui
bahwa petugas TB Paru Puskesmas ternyata hanya sebagian kecil yang selalu
melakukan monitoring dan evaluasi (20%), monitoring dan evaluasi yang dilakukan
sebagian besar hanya 1 kali dalam setahun, yang seharusnya dilakukan 4 kali dalam
setahun. Hal ini menunjukkan bahwa petugas TB Paru Puskesmas sebagian besar
masih belum melakukan monitoring dan evaluasi secara rutin terutama kelompok
petugas laki-laki (33,3%). Petugas TB Paru yang tidak melakukan sistem pencatatan
dan pelaporan secara rutin dan benar terutama mengenai daftar suspek, daftar
penderita, dan daftar penderita yang diobati dalam kegiatan monitoring & evaluasi
bahkan mencapai 46,7% dari total responden Hal ini kemungkinan disebabkan karena
petugas TB Paru Puskesmas masih banyak yang merangkap tugas program lain (71,4
%). Monitoring dan evaluasi perlu dilakukan untuk acuan pelaksanaan program yang
akan datang dan untuk mendeteksi bila ada masalah dalam pelaksanaan kegiatan yang
telah direncanakan, supaya dapat dilakukan tindakan perbaikan segera. Dengan
adanya evaluasi dapat dinilai sejauh mana tujuan dan target yang telah ditetapkan
sebelumnya.(Azrul Azwar, 1998)
10
SIMPULAN
1. Responden dengan cakupan penemuan TB Paru termasuk buruk (CDR <
50%) mencapai 90,0% dan hanya 10,0% termasuk kategori baik (CDR ≥ 50%)
2. Penilaian aspek perencanaan, aspek kerjasama dana aspek monitoring-
evaluasi dari 30 petugas TB di puskesmas masing-masing yang termasuk kategori
baik hanya sebesar 20,0%. Disisi lain dari jumlah responden yang memiliki
perencanaan , kerjasama dan monitoring-evaluasi yang baik tersebut ternyata
masing-masing 50%-nya masih mempunyai cakupan CDR < 50%.
3. Terbukti ada hubungan yang signifikan antara aspek perencanaan, kerjasama dan
monitoring & evaluasi petugas TB Paru Puskesmas dengan cakupan penemuan TB
Paru di Kabupaten Grobogan.
SARAN
1. Perlu disiapkan pelatihan teknik pembuatan rencana dan monitoring-evaluasi
program TB untuk petugas TB di puskesmas yang belum pernah mendapatkan
pelatihan serta bagi petugas yang pernah ikut pelatihan dapat dilakukan kegiatan
refreshing pelatihan ketrampilan manajemen oleh DKKS Kabupaten Grobogan
yang penganggarannya dapat diusulkan dari dana APBD atau APBN.
2. Pembinaan kerjasama lintas program dengan sesama petugas puskesmas lain
diserahkan tanggung jawabnya kepada Kepala Puskesmas dan harus tetap
dimonitor beban kerja petugas TB terutama yang masih merangkap tugas dengan
program lain. dan lintas sektoral dengan dibantu oleh Kepala Puskesmas atau
pihak DKKS Kabupaten Grobogan.
3. Petugas TB di Puskesmas Penawangan 1 & 2, Toroh 1, Pakukulo 1 & 2, Kradenan
1 & 2, Brati dan Puskesmas Gubug 1 disarankan melengkapi pencatatan dan
pelaporan dalam rangka monitoring & evaluasi program TB.
11
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Depkes RI,
Jakarta, 2002.
Dinkes dan Kessos Kab. Grobogan, Profil Kesehatan Kabupaten Grobogan Tahun
2003, Dinkes Dan Kessos Kab. Grobogan, Purwodadi, 2003.
GERDUNAS - TB, Program Penanggulangan Tuberkulosis Modul 1, GERDUNAS –
TB : Jakarta, 2001.
Perda kab. Grobogan No. 4 Tahun 2003 tentang APBD II Kab. Grobogan.
Purwodadi, 2003
Notoatmodjo Soekidjo, Metodologi Penelitian Kesehatan, PT. Rinika Cipta:
Jakarta, 1993.
Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta cetakan ke-delapan, Bandung
2001.
Hafid, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produktifitas Tenaga Kerja,
Majalah Manajemen No. 97, 1995.
Azwar, Azrul., Pengantar Administrasi Kesehatan, Binarupa Aksara : Jakarta, 1998
12
top related