penemuan hukum.docx

45
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Era globalisasi dan perdagangan bebas memberi dampak pada aktivitas ekonomi yang berkembang semakin pesat pada hampir semua negara di dunia termasuk di Indonesia. Berkembangnya sektor ekonomi melahirkan berbagai macam aktivitas bisnis yang diselingi dengan munculnya persaingan dan kerja sama antar para pelaku usaha, dengan timbulnya intensitas aktivitas bisnis yang tinggi dapat memperbesar kemungkinan terjadinya konflik antar pelaku usaha. Kegiatan bisnis pada umumnya didasarkan pada hubungan simbiosis mutualisme atau hubungan saling menguntungkan yang disertai dengan kepercayaan diantara para pihak, namun hal tersebut tetap tidak dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya sengketa, karena itu sudah seharusnya dengan pertumbuhan ekonomi yang 1 1

Upload: il-tkci-ba

Post on 17-Dec-2015

266 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

31

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan Era globalisasi dan perdagangan bebas memberi dampak pada aktivitas ekonomi yang berkembang semakin pesat pada hampir semua negara di dunia termasuk di Indonesia. Berkembangnya sektor ekonomi melahirkan berbagai macam aktivitas bisnis yang diselingi dengan munculnya persaingan dan kerja sama antar para pelaku usaha, dengan timbulnya intensitas aktivitas bisnis yang tinggi dapat memperbesar kemungkinan terjadinya konflik antar pelaku usaha.Kegiatan bisnis pada umumnya didasarkan pada hubungan simbiosis mutualisme atau hubungan saling menguntungkan yang disertai dengan kepercayaan diantara para pihak, namun hal tersebut tetap tidak dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya sengketa, karena itu sudah seharusnya dengan pertumbuhan ekonomi yang begitu pesat harus disertai dengan pembaharuan hukum di bidang ekonomi.Pertumbuhan ekonomi yang cepat menuntut penyelesaian sengketa dengan cepat, karena dengan membiarkan sengketa bisnis yang berlarut-larut hal tersebut akan membuat gangguan pada aktivitas ekonomi pada suatu perusahaan yang sedang bersengketa, selain itu peningkatan kesejahteraan dan kemajuan sosial kaum pekerja akan terhambat [footnoteRef:1] [1: Suyud Margono, Alternatif Disputes Resolution dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2000, hlm 12]

Pengadilan merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa yang paling dikenal namun relatif dihindari oleh banyak pihak, hal tersebut dikarenakan penyelesaian sengketa melalui pengadilan di Indonesia sesungguhnya merupakan rangkaian yang sangat panjang dari sebuah upaya untuk mencari keadlian,[footnoteRef:2] sehingga penyelesaian sengketa di pengadilan akan memakan waktu yang relatif lama dan berlarut-larut. Pengadilan yang bersifat terbuka untuk umum juga menjadi salah satu penyebab kurang disukainya lembaga ini oleh para pengusaha, hal tersebut dikarenakan identitas masing-masing pihak yang bersengketa pasti dipublikasikan melalui persidangan di pengadilan. Bagi pihak yang sudah mempunyai nama di kalangan pelaku usaha, kurang begitu suka identitasnya dipublikasikan melalui kasus di pengadilan karena khawatir akan berimbas pada nama baik dirinya ataupun perushaaanya. [2: Eman Suparman, Arbitrase dan Dilema Penegakan Keadilan, PT Fikahati Aneska, Jakarta, 2002, hlm 3]

Adanya kegiatan bisnis yang pesat berimplikasi terhadap lembaga hukum khususnya Pengadilan yang dianggap tidak profesional untuk menangani sengketa-sengketa bisnis, tidak independen bahkan para hakimnya dianggap telah kehilangan integritas moral dalam menjalankan profesinya. sehingga lembaga pengadilan dianggap oleh kalangan pengusaha sebagai lembaga yang kurang efektif dan efisien dalam menyelesaikan sengketa. Pada saat terjadi sengketa, para pengusaha biasanya lebih memilih forum penyelesaian sengketa yang menurut kriteria mereka dapat dipercaya dan sesuai dengan budaya bisnis. Forum penyelesaian sengketa yang dimaksud biasanya memiliki karakteristik:[footnoteRef:3] [3: Eman Suparman, Ibid, hlm 3]

1. Menjamin kerahasiaan materi sengketa2. Para pihak yang beracara mempunyai kedaulatan untuk menetapkan arbiter, tempat prosedur beracara, dan materi hukum;3. melibatkan pakar-pakar (arbiter) yang ahli di bidangnya;4. prosedurnya sederhana dan cepat5. putusan tersebut merupakan putusan yg terakhir dan mengikat ( final and binding)Sejauh ini forum arbitrase adalah satu satunya forum yang mendekati kriteria di atas. Keberadaan arbitrase sebagai salah satu alternatif lembaga penyelesaian sengketa di bidang ekonomi sangatlah diperlukan karena dianggap lebih cepat, dan rahasia di banding dengan pengadilan biasa. Kedudukan arbitrase di indonesia diperkuat dengan lahirnya Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.Forum Arbitrase sesungguhnya bukan merupakah hal baru didalam sistem penyelesaian sengketa di indonesia, sejak awal kemerdekaan arbitrase telah digunakan oleh kalangan usahawan untuk menyelesaikan sengketanya, namun pada saat itu arbitrase masih kurang populer dibanding dengan sekarangDengan kelebihan kelebihanya dibandingkan dengan proses peradilan/litigasi, forum arbitrase saat ini lebih diminati oleh para pelaku usaha dalam menyelesaikan sengketanya, namun dalam prakteknya terkadang proses penyelsaian sengketa dengan menggunakan forum arbitrase pun tidak lepas dari masalah. Salah satu contohnya adalah kasus kepemilikan saham Televisi Pendidikan Indonesia yang terjadi antara PT Berkah Karya Bersama dengan Siti Haridanti Rukmana yang lebih dikenal dengan mbak tutut.Sengketa yang sudah berlangsung sejak tahun 2005 itu pada awalnya disepakati akan diselesaikan di jalur arbitrase namun kemudian pihak dari Siti Hardianti Rukmana membawanya ke ranah pengadilan dengan alasan adanya faktor perbuatan melawan hukum sehingga permasalahan muncul ketika Mahkamah Agung mengeluarkan Putusan PK Nomor Perkara 238 PK/Pdt/2014 disaat sengketa sedang diproses oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)Dari penjelasan diatas, penulis tertarik untuk membuat pembahasan dengan merujuk pada salah satu bab dari buku yang berjudul Arbitrase dan Dilema Penegakan Keadilan yang di tulis Prof. Dr. Eman Suparman, S.H., M.H. mengenai ARBITRASE SEBAGAI FORUM PENYELESAIAN SENGKETA BERKEADILAN

B. Perumusan Masalah1. Bagaimanakah kewenangan lembaga pengadilan terhadap perkara bisnis yang dudalamnya terdapat klausul kontrak mengenai pemilihan forum arbitrase sebagai penyelesaian sengketa? 2. Bagaimana hubungan lembaga pengadilan terhadap berjalanya proses arbitrase?

C. Tujuan Penelitian1. Untuk menentukan kewenangan lembaga pengadilan terhadap perkara bisnis yang dialamnya terdapat klausul kontrak mengenai pemilihan forum arbitrase sebagai penyelesaian sengketa2. Untuk memperoleh informasi mengenai hubungan lembaga pengadilan terhadap berjalanya proses arbitrase

BAB IIKAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Singkat Mengenai Arbitrase1. Pengertian ArbitraseKata arbitrase berasal dari bahasa latin yaitu arbitrare yang artinya kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksaan. Banyak penulis memiliki pandangan lain mengenai Pengertian mengenai arbitrase Menurut Prof Huala Adolf, arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang neteral yang mengeluarkan putusan yang bersifat final dan mengikat ( binding).[footnoteRef:4] Menurut Mertokusumo, arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang wasit atau arbiter.[footnoteRef:5] [4: Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1991, hlm 23] [5: Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1999, hlm 144]

Menurut Yahya Harahap, arbitrase merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa. Sengketa yang harus diselesaikan tersebut berasal dari sengketa atas sebuah kontrak dalam bentuk sebagai berikut:[footnoteRef:6] [6: M. Yahya Harahap, Arbitrase, Pustaka Kartini, 1991, hlm 108]

1. Perbedaan penafsiran (disputes), mengenai pelaksaan perjanjian yang berupaa) Kontraversi pendapatb) Kesalahan pengertianc) Ketidaksepakatan2. Pelanggaran perjanjian ( breach of contract ) yang termasuk didalamnya adalah:a) Sah atau tidaknya kontrakb) berlaku atau tidaknya kontrak.3. Pengakhiran kontrak4. Klaim ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan melawan hukumMenurut Pasal 1 Undang-Undang No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan bahwa pengertian dari arbitrase adalah:Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa2. Perjanjian ArbitrasePerjanjian arbitrase dapat dibuat sesudah maupun sebelum timbul sengketa oleh para pihak, maka bentuk klausula arbitrase tersebut dibedakanatas 2 (dua) bentuk klausula arbitrase, yaitu:a) Klausula arbitrase yang berbentuk pactum de compromittendo Klausula arbitrase seperti ini dapat dimuat dalam perjanjian pokok atau dalam suatu perjanjian tersendiri. Pengaturan pokok klausula pactum de compromittendo ini dapat dijumpai dalam pasal 27 UU No. 30 tahun 1999, yang menyatakan bahwa pengaturan pokok klausula diselesaikan melalui arbitrase.b) Klausul arbitrase yang berbentuk acta promiseAkta kompromis dibuat setelah sengketa atau perselisihan terjadi sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian pokok. Dalam perjanjian pokok, para pihak belum mencantumkan klausula arbitrase, baru setelah sengketa atau perselisihan terjadi, para pihak bersepakat untuk memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Untuk itu dibuatlah perjanjian baru tersendiri dan terpisah dari perjanjian pokok, yang berisikan penyerahan penyelesaian sengketa kepada arbitrase atau arbitrase Ad-hoc. Untuk mencegah diterapkannya prosedur litigasi tentang makna dari klausulaklausula arbitrase dan untuk menghindari kejutan-kejutan yang tidak menyanangkan kemudian bila arbitrase dilangsungkan, para pihak harus menyusun klausula-klausulaa) arbitrase dengan cermat. Setidaknya, klausula arbitrase harus memuat komitmen yang jelas terhadap arbitrase serta penyertaan tentang sengketa apa yang diselesaikan sercara arbitrase. Secara umum, klausula-klausula arbitrase mencakup

3. Bentuk-Bentuk Arbitrasedalam beberapa literatur dijumpai beberapa bentuk arbitrase, yaitu:[footnoteRef:7] [7: Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hlm 3]

a) Arbitrase terlembagaadalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai Badan Arbitrase bedasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan Arbitrase yang dikeluarkan oleh Badan-Badan Arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)b) Arbitrase ad hocmerupakan Arbitrase yang dilaksanakan bedasarkan peraturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan Arbitrase, misalnya UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa atau UNCITRAL Arbitration Rules.

3. Objek ArbitrasePasal 5 Undang-Undang No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menjelaskan bahwa perkara yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa, menurut penjelasan Pasal 66 Undang-Undang No 30 Tahun 1999 bidang perdagangan yang dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah:1. PerniagaanPerniagaan adalah kegiatan tukar menukar barang dan jasa atau keduanya2. PerbankanPerbankan adalah kegiatan yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk lainya yang bertujuan meningkatkan taraf hidup rakyat banyak3. Keuangan.Keuangan adalah mempelajari bagaimana individu, bisnis dan organisasi meningkatkan, mengalokasi dan menggunakan sumber daya moneter sejalan dengan waktu dan menghitung resiko dalam menjalankan proyek mereka4. Penanaman modalPenanaman modal adalah suatu yang berhubungan dengan keuangan dan ekonomi, berkaitan dengan akumulasi suatu bentuk aktiva dengan suatu harapan mendapatkan keuntungan di masa depan.5. IndustriIndustri adalah kelompok bisnis tertentu yang memiliki teknik dan metode yang sama dalam menghasilkan laba6. Hak kekayaan intelektualHak kekayaan intelektual adalah hak yang timbul bagi hasil olah pikir otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia

Adapun kegiatan perniagaan yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah bidang bidang yang meliputi perniagaan, Perbankan, Keuangan, Penanaman Modal, Industri dan Hak Milik Intelektual. Jenis-jenis Arbitrase dapat berupa Arbitrase sementara (ad-hoc) maupun Arbitrase melalui badan permanen (Institusi). Arbitrase Ad-hoc merupakan Arbitrase yang dilaksanakan bedasarkan peraturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan Arbitrase, misalnya UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa atau UNCITRAL Arbitration Rules. Pada umumnya arbitrase ad-hoc direntukan bedasarkan oleh para pihak.[footnoteRef:8]Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai Badan Arbitrase bedasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan Arbitrase yang dikeluarkan oleh Badan-Badan Arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).[footnoteRef:9] [8: Loc.cit.,] [9: Loc.cit.,]

B. Lembaga ArbitrasePada praktiknya sebagai lembaga yang difungsikan untuk menyelesaikan sengketa dan proses mediasi dan negosiasi, Terdapat dua lembaga arbitrase yang dikenal yaitu, Arbitrase Ad-Hoc dan Arbitrase Institusional. Pada dasarnya Arbitrase Ad-hoc sering kali disebut arbitrase volunter yang merupakan lembaga yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu. Arbitrase Institusional adalah lembaga atay badan arbitrase yang bersifat permanen. Oleh karena lembaga ini bersifat permanen maka Pasal 1 ayat (2) Konvensi New York 1958 menyebut jenis lembaga ini sebagai Permanent Arbitral Body.[footnoteRef:10] [10: ibid .,hlm 330.]

Perbedaan mengenai Arbitrase Institusional ini yang dapat pula dikatakan sebagai perbedaannya dengan lembaga arbitrase ad-hoc, yaitu[footnoteRef:11]: [11: Loc.cit]

1. Arbitrase Institusional didirikan untuk bersifat permanen dan selamanya sedangkan arbitrase ad hoc sifatnya sementara dan akan bubar setelah perselisihan selesai diputus.2. Arbitrase institusional sudah ada/sudah berdiri sebelum suatu perselisihan timbul sedangkan arbitrase ad hoc didirikan setelah perselisihan timbul oleh pihak-pihak yang bersengketa3. Arbitrase Institusional bersifat permanen maka pendirianya dilengkapi oleh susunan organisasi, tata cara pengangkatan arbiter dan tata cara pemeriksaan perselisihan yang umumnya tercantum dalam Anggaran Dasar pendirian lembaga tersebut, sedangkan arbitrase ad hoc tidak sama sekali.Arbitrase institusional ada bersifat nasional dan bersifat internasional. Bersifat nasional karena pendiriannya ditunjukan untuk kepentingan bangsa dari negara yang bersangkutan sedangkan arbitrase Internasional ditunjukan untuk menyelesaikan sengketa antara pihak yang mempunyai kewarnegaraan yang berbeda.Adapun lembaga arbitrase yang bersifat nasional dan internasional yang disebutkan sebagai berikut ini[footnoteRef:12]: [12: ibid.,hlm 331.]

1. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)2. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)3. The Internasional Centre for Settlement of Invesment Disputes (ICSID)4. The Court of Arbitration if The Internasional Chamber of Commerce (ICC).

C. Badan Arbitrase Nasional (BANI)

Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) merupakan sebuah badan yang dibentuk oleh Pemerintah Indonesia dan bersifat independen berfungsi untuk memberikan jasa beragam yang berhubungan dengan arbitrase, mediasi dan bentuk-bentuk lain dari penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Didirikan pada tahun 1977 serta dikelola dan diawasi oleh Dewan Pengurus dan Dewan Penasehat yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat dan sektor bisnis. Dalam memberikan dukungan kelembagaan yang diperlukan untuk bertindak secara otonomi dan independen dalam penegakan hukum dan keadilan, BANI telah mengembangkan aturan dan tata cara sendiri termasuk batasan waktu dimana Majelis Arbitrase harus memberikan putusan. Aturan mengenai hal ini dipergunakan dalam arbitrase domestik dan internasional yang dilaksanakan di Indonesia. BANI saat ini didukung oleh 100 arbiter berlatarbelakang berbagai profesi, 30 persen diataranya adalah warga negara asing.[footnoteRef:13] [13: Laman Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Profile Badan Arbitrase Nasional Indonesia http://www.bani-arb.org/bani_main_ind.html. [ 15 Desember 2014]. ]

Peningkatan peran BANI dalam penyelesaian sengketa setelah munculnya perundang-undangan Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum (UU Arbitrase). Semenjak keberadaannya dan dipengaruhi oleh arah gobalisasi dimana pada saat ini penyelesaian sengketa di luar pengadilan meupakan pilihan pelaku bisnis untuk menyelesaikan sengketa bisnis mereka. Karakteristik yang cepat, efisien dan tuntas serta hal yang perlu diperhatikan bahwa arbitrase menganut prinsip win-win Solution, dalam prosesnya tidak membutuhkan waktu yang relatif lama karena tidak ada lembaga banding dan kasasi.[footnoteRef:14] [14: Loc.cit.]

Dalam memeriksa dan memutus suatu sengketa, arbiter atau majelis arbitrase selalu medasarkan diri pada hukum yang telah dipilih oleh para pihak yang bersengketa ( choice of law) , meskipun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa para arbiter dapat memutus atas dasar keadilan dan kepatutan ( ex aequo et bono ) apabila dikehendaki oleh para pihak.

Kegiatan bisnis yang dilakukan para pelaku usaha biasanya terefokus dalam mencari keuntungan dan bukan bersengketa, namun dikarenakan sektor bisnis merupakan sektor yang dinamis dimana suatu masalah dapat terjadi sewaktu sewaktu, para pelaku bisnis sudah mempersiapkan antisipasinya yang di tentukan dalam kontrak bisnis yang tertuang pada klausulpada awal kesepakatan bisnis, para pelaku usaha mengantisipasinya dengan secara khususPertumbuhan dalam kegiatan ekonomi dan bisnis sedemikian pesatnya saat ini dan hal tersebut terlihat dari tumbuhnya perekonomian pada suatu negara khususnya di Indonesia. Munculnya persaingan antar para pelaku usaha dan kerjasama antar para pelaku usaha demi menumbuhkan peluang usaha yang semakin besar melalui kerjasama dengan para pihak tentu menjadi altenatif strategi para pelaku usaha untuk meningkatkan daya saing dan pemenuhan terhadap ekspetasi prestasi bagi kedua belah pihak yang menjalin kerjasama dengan tujuan yang sama untuk mengejar keuntungan sebesar-besarnya dan pemenuhan prestasi. Pertumbuhan ekonomi juga sangat mendorong untuk terjadinya ekspansi bisnis para pengusaha lokal bukan hanya pelaku usaha lokal Indonesia, tetapi reformasi dalam bidang ekonomi di Indonesia juga membuka peluang untuk para pelaku usaha asing untuk berinvestasi dan menanamkan modalnya di Indonesia. Tumbuhnya tren ekonomi ini harus pula didukung oleh tatanan hukum dan pembaharuan dalam bidang hukum yang berfokus kepada ekonomi. Pertumbuhan dalam aspek ekonomi dan bisnis ini juga harus didukung oleh pranata hukum dan dukungan lembaga-lembaga hukum melalui upaya reformasi hukum di bidang ekonomi. Pembaharuan dan substansi hukum sebagai upaya untuk mendukung dan mengawal perubahan ekonomi ini sangatlah dibutuhkan. Pengaruhnya sangat luar biasa bahkan implikasi yang ditimbulkan oleh kegiatan bisnis terhadap lembaga hukum berakibat juga terhadap pengadilan yang dianggap tidak professional untuk menangani sengketa-sengketa bisnis yang disebabkan oleh munculnya pendapat bahwa pengadilan tidak dapat berjalan independen dan bahkan para hakimnya telah kehilangan integritas moral dalam menjalankan profesinya. Pada akhirnya lembaga peradilan yang pada awalnya bertindak sebagai lembaga yang mengemban tugas untuk menegakan hukum dan keadilan dianggap menjadi tempat yang tidak efisien dan efektif untuk menyelesaikan sengketa.[footnoteRef:15] [15: Prof.Dr. Eman Suparman ,S.H.,M.H. Arbitrase & Dilema Penegakan Keadilan. PT. Fikahati Aneska.2012. Jakarta. hlm.2.]

Para pelaku Usaha Indonesia atau Pengusaha Asing memiliki pandangan bahwa bahwa penyelesaian sengketa melalui pengadilan di Indonesia memang harus melalui proses-proses yang cukup panjang. Budaya yang tumbuh di kalangan pengusaha lokal khususnya pengusaha asing mengharapkan penyelesaian sengketa yang efektif, efisien dan tidak membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memproses sengketa tersebut. Forum penyelesaian sengketa dimaksudkan oleh para pelaku bisnis adalah[footnoteRef:16] : [16: Ibid.,hlm.3]

1. Menjamin kerahasiaan materi sengketa2. Para pihak yang bersengketa mempunyai kedaulatan untuk menetapkan arbiter, tempat prosedur beracara dan materi hukum 3. Melibatkan pakar-pakar arbiter yang ahli di bidangnya 4. Prosedurnya sederhana dan cepat 5. Putusan forum tersebut merupakan putusan terakhir dan mengikat.

Keberadaan forum Arbitrase dewasa ini dianggap dapat memberikan angin segar bagi penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis. Meskipun keberadaannya sudah sejak lama diatur dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia keberadaannya pada saat itu dianggap kurang menonjol. Perubahan paradigma dalam dunia bisnis juga ikut mendongrak popularitas Badan Arbitrase yang di fungsikan untuk menyelesaikan sengketa bisnis dengan kekhususan yang dicantumkan pada penjelasan di atas. Namun, keberadaan arbitrase tidak lantas menimbulkan penyelesaian, keberadaany menimbulkan suatudilema dalam penerapan dan perjalanannya. Keberadaan arbitrase menimbulkan dilema mengenai eksekusi keputusan dari arbitrase yang memiliki perbedaan mendasar dalam eksekusi antara lembaga pengadilan melalui hakim dan arbitrase memiliki perbedaan asas yang dianut masing-masing lembaga tersebut meskipun pada dasarnya tidak ada perbedaan yang mencolok dalam putusan hakim dan putusan arbitrase. Perbedaan terletak pada sifat dan cara-cara putusan tersebut dibuat. Bedasarkan penjabaran tersebut penulis mencoba untuk membuat pembahasan yang merujuk salah satu bab ___ dari buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Eman Suparman S.H., M.H yang membahas mengenai EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE GAMBARAN DILEMA PENEGAKAN KEADILAN DI INDONESIA.

B. Perumusan Masalah 1. Permasalahan apakah yang menimbulkan dilema dalam Eksekusi Putusan Arbitrase dalam perkembangannya di Indonesia?2. Apakah yang Eksekusi Putusan yang dilakukan Arbitrase dapat dilakukan tanpa harus melalui pencatatan dan eksekusi Ketua Pengadilan Negeri?

C. Tujuan Penelitian 1. Mendapatkan pemahaman mengenai dilema dalam eksekusi putusan arbitrase dalam perkembangannya di Indonesia.2. Melakukan analisis mengenai kemungkinan Eksekusi Putusan yang dilakukan Arbitrase tanpa harus melalui pencatatan dan eksekusi Pengadilan Negeri.

BAB IIKAJIAN KEPUSTAKAAN

A. Sekilas Mengenai Pengertian Arbitrase dan Lembaga Arbitrase Arbitrase pada pasal 1 ayat (1) dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa arbitrase diartikan sebagai cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.[footnoteRef:17] Lembaga Arbitrase seperti yang dijelaskan dalam dalam pasal 1 ayat (8) menyatakan diartikan sebagai badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu: lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalamhal belum timbul sengketa. Dalam Blacks Law arbitrase diartikan sebagai berikut ini[footnoteRef:18] : [17: Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.] [18: Pan Mohamad Faiz. Klausul Arbitrase dan Pengadilan. Kemungkinan Diajukannya Perkara dengan Klausul Arbitrase ke Muka Pengadilan. http://jurnalhukum.blogspot.com/2006/09/klausul-arbitrase-dan-pengadilan_18.html.2006.]

Arbitration. an arrangement for taking an abiding by the judgement of selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the delay, the expense and vexation of ordinary litigation".

Putusan Arbitrase bersifat mandiri, final dan mengikat (sudah memenuhi putusan yang telah memenuhi kekuatan hukum tetap. Perlu diketahui bahwa arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam lingkup keluarga. Beberapa ahli memberikan pengertian Arbitrase salah satunya pengertian yang dijabarkan oleh Subekti berikut ini[footnoteRef:19]: [19: Zaeni Asyhadie, S.H.,M.Hum. Hukum Bisnis. Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia. Rajagrafindo.hlm. 326.]

Penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim bedasarkan persetujuan bahwa pihak akan tunduk pada atau mentaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih.

H.M.N Poerwosutjipto memberikan pendekan perwasitan untuk memberikan pengertian arbitrase yang dijelaskan sebagai berikut[footnoteRef:20]: [20: Loc.cit.,]

Perwasitan adalah suatu peradilan perdamaian, dimana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.

Berbagai pengertian arbitrase pada penjelasan di atas menunjukan adanya unsur-unsur yang sama yang dijelaskan sebagai berikut[footnoteRef:21]: [21: Loc.cit.,]

1. Adanya Kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa, baik yang akan atau telah terjadi kepada seseorang atau beberapa orang pihak ketiga di luar peradilan umum untuk diputuskan.2. Penyelesaian sengketa yang bisa diselesaikan adalah sengketa yang menyangkut hak pribadi yang dapat dikuasai sepenuhnya khususnya dalam bidang perdangangan atau niaga, industri dan keuangan.3. Putusan tersebut merupakan putusan akhir dan mengikat.

Arbitrase ditunjukan untuk menyelesaikan permasalahan sengketa dalam lingkup bisnis yang terjadi diantara dua pihak yang melakukan perjanjian perdagangan dan niaga. Arbitrase pada umumnya berwujud dua bentuk yaitu[footnoteRef:22]: [22: Loc.cit.,]

1. Klausula Arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa (Factum de Compromitendo)2. Suatu perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa (Akta Kompromis).Adapun kegiatan perniagaan yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah bidang bidang yang meliputi perniagaan, Perbankan, Keuangan, Penanaman Modal, Industri dan Hak Milik Intelektual. Jenis-jenis Arbitrase dapat berupa Arbitrase sementara (ad-hoc) maupun Arbitrase melalui badan permanen (Institusi). Arbitrase Ad-hoc merupakan Arbitrase yang dilaksanakan bedasarkan peraturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan Arbitrase, misalnya UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa atau UNCITRAL Arbitration Rules. Pada umumnya arbitrase ad-hoc direntukan bedasarkan oleh para pihak.[footnoteRef:23]Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai Badan Arbitrase bedasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan Arbitrase yang dikeluarkan oleh Badan-Badan Arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).[footnoteRef:24] [23: Loc.cit.,] [24: Loc.cit.,]

B. Lembaga ArbitrasePada praktiknya sebagai lembaga yang difungsikan untuk menyelesaikan sengketa dan proses mediasi dan negosiasi, Terdapat dua lembaga arbitrase yang dikenal yaitu, Arbitrase Ad-Hoc dan Arbitrase Institusional. Pada dasarnya Arbitrase Ad-hoc sering kali disebut arbitrase volunter yang merupakan lembaga yang dibentuk khusus untuk menyelesaikan atau memutus perselisihan tertentu. Arbitrase Institusional adalah lembaga atay badan arbitrase yang bersifat permanen. Oleh karena lembaga ini bersifat permanen maka Pasal 1 ayat (2) Konvensi New York 1958 menyebut jenis lembaga ini sebagai Permanent Arbitral Body.[footnoteRef:25] [25: ibid .,hlm 330.]

Perbedaan mengenai Arbitrase Institusional ini yang dapat pula dikatakan sebagai perbedaannya dengan lembaga arbitrase ad-hoc, yaitu[footnoteRef:26]: [26: Loc.cit]

4. Arbitrase Institusional didirikan untuk bersifat permanen dan selamanya sedangkan arbitrase ad hoc sifatnya sementara dan akan bubar setelah perselisihan selesai diputus.5. Arbitrase institusional sudah ada/sudah berdiri sebelum suatu perselisihan timbul sedangkan arbitrase ad hoc didirikan setelah perselisihan timbul oleh pihak-pihak yang bersengketa6. Arbitrase Institusional bersifat permanen maka pendirianya dilengkapi oleh susunan organisasi, tata cara pengangkatan arbiter dan tata cara pemeriksaan perselisihan yang umumnya tercantum dalam Anggaran Dasar pendirian lembaga tersebut, sedangkan arbitrase ad hoc tidak sama sekali.Arbitrase institusional ada bersifat nasional dan bersifat internasional. Bersifat nasional karena pendiriannya ditunjukan untuk kepentingan bangsa dari negara yang bersangkutan sedangkan arbitrase Internasional ditunjukan untuk menyelesaikan sengketa antara pihak yang mempunyai kewarnegaraan yang berbeda.Adapun lembaga arbitrase yang bersifat nasional dan internasional yang disebutkan sebagai berikut ini[footnoteRef:27]: [27: ibid.,hlm 331.]

5. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)6. Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI)7. The Internasional Centre for Settlement of Invesment Disputes (ICSID)8. The Court of Arbitration if The Internasional Chamber of Commerce (ICC).

C. Badan Arbitrase Nasional (BANI)

Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) merupakan sebuah badan yang dibentuk oleh Pemerintah Indonesia dan bersifat independen berfungsi untuk memberikan jasa beragam yang berhubungan dengan arbitrase, mediasi dan bentuk-bentuk lain dari penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Didirikan pada tahun 1977 serta dikelola dan diawasi oleh Dewan Pengurus dan Dewan Penasehat yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat dan sektor bisnis. Dalam memberikan dukungan kelembagaan yang diperlukan untuk bertindak secara otonomi dan independen dalam penegakan hukum dan keadilan, BANI telah mengembangkan aturan dan tata cara sendiri termasuk batasan waktu dimana Majelis Arbitrase harus memberikan putusan. Aturan mengenai hal ini dipergunakan dalam arbitrase domestik dan internasional yang dilaksanakan di Indonesia. BANI saat ini didukung oleh 100 arbiter berlatarbelakang berbagai profesi, 30 persen diataranya adalah warga negara asing.[footnoteRef:28] [28: Laman Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Profile Badan Arbitrase Nasional Indonesia http://www.bani-arb.org/bani_main_ind.html. [ 15 Desember 2014]. ]

Peningkatan peran BANI dalam penyelesaian sengketa setelah munculnya perundang-undangan Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum (UU Arbitrase). Semenjak keberadaannya dan dipengaruhi oleh arah gobalisasi dimana pada saat ini penyelesaian sengketa di luar pengadilan meupakan pilihan pelaku bisnis untuk menyelesaikan sengketa bisnis mereka. Karakteristik yang cepat, efisien dan tuntas serta hal yang perlu diperhatikan bahwa arbitrase menganut prinsip win-win Solution, dalam prosesnya tidak membutuhkan waktu yang relatif lama karena tidak ada lembaga banding dan kasasi.[footnoteRef:29] [29: Loc.cit.]

C.

BAB IIIPEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Eksekusi ArbitrasePada dasarnya dalam ranah hukum eksekusi dapat dijabarkan sebagai tindakan hukum yang dilakukan pengadilan yang mengacu kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara sengketa yang merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Setiap pemeriksaan dalam prosesnya akan menghasilkan suatu putusan. Tentu permasalahan belum selesai sampai disitu karena putusan atas pemeriksaan perkara perdata selanjutnya harus dapat dilaksanakan (eksekusi). Eksekusi sangatlah penting karena suatu keputusan tidak akan berarti sama sekali apabila tidak dapat dilaksanakan.[footnoteRef:30] [30: Prof.Dr. Eman Suparman ,S.H.,M.H. Arbitrase & Dilema Penegakan Keadilan. PT. Fikahati Aneska.2012. Jakarta.Op.cit hlm. 168]

Apabila kita mencermati bahwa tidak ada perbedaan yang mencolok antara putusan hakim dan putusan arbitrase karena pada dasarnya semua yang mengatur tentang putusan hakim dan arbitrase udah diatur secara jelas. Putusan tidak hanya diucapkan saja melainkan harus tertuang dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam pengadilan. Putusan yang diucapkan secara lisan di dalam persidangan disebut uitspraak dan yang dituangkan dalam bentuk tertulis disebut vonnis. Pada prinsipnya baik uitspraak dan vonnis secara subtansi tidak boleh berbeda. Putusan arbitrase atau putusan hakim mengenal apa yang dinamakan (eindvonnis) dan putusan yang bukan merupakan putusan akhir (tussenvonnis).[footnoteRef:31] Perbedaan yang terjadi antara putusan hakim dan putusan arbitrase terletak pada sifat dan cara-cara putusan tersebut dibuat karena perbedaan asas yang dianut oleh masing-masing lembaga tempat kedua putusan tersebut dijatuhkan. Sifat yang mendasar pada asas pemeriksaan sengketa pada arbitrase adalah tertutup dan seluruh rangkaian proses persidangan yang meliputi pemeriksaan sengketa dan sampai putusan dibacakan dilakukan secara tertutup. [31: Ibid.,hlm 170. ]

Perbedaan tidak hanya dalam konteks sifat dan prosedur menjatuhkan putusan hakim dengan putusan arbitrase. Perbedaan juga terlihat pada status putusan itu de jure dan de facto.Undang-Undang mengakui bahwa putusan arbitrase sebagai putusan sebagai putusan yang telah memiliki status dan kepastian hukum setara dengan keputusan hakim. Perbedaan terjadi dalam konteks praktik penerapan dan pelaksanannya dimana masih terdapat pembedaan antara putusan arbitrase ketika hendak dieksekusi dan dapat terlihat dalam sejumlah syarat normative yang harus diikuti apalagi dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan tersebut secara sukarela. Akibat dari ketentuan yang harus dipatuhi yang berupa syarat normatif tersebut dapat menimbulkan standar ganda terhadap terhadap putusan arbitrase terutama menyangkut syarat-syarat dan prosedur pelaksanaan putusan.[footnoteRef:32] [32: Ibid., hlm 172.]

Melihat tren yang berkembang dalam praktik implementasi arbitrase maka dapat disimpulkan bahwa dalam perjalanannya peran arbitrase belum dapat dikatakan efektif karena dalam pelaksanaan eksekusi putusan, arbitrase masih memiliki ganjalan untuk mengeksekusi sendiri putusannya karena bedasarkan prosedur yang tertuang di dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altenatif Penyelesaian Sengketa mengharuskan arbitrase memberikan salinan lembar asli atau otentik putusan arbitrase harus diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri. Hal tersebut membuat putusan yang dibuat oleh arbitrase tidak mempunyai kekuatan dan tidak bersifat mandiri serta memiliki kekuatan hukum.[footnoteRef:33] [33: Ibid.,hlm 173.]

Padaseminar peluncuran buku Arbitrase dan Dilema Penegakan Keadilan dan Seminar Sosialisasi "Arbitrase Sebagai Solusi Penegakan Keadilan dalam Mewujudkan Peradilan yang Agung" Prof. Dr. Eman Suparman S.H.,M.H menegaskan bahwa peran arbitrase dalam praktiknya saat ini belum menonjol dan berjalan tidak efektif. Penerapan mediasi sebagai salah satu upaya untuk menyelesaikan sengketa bisnis masih merupakan berupa cita-cita hukum (ius consituendum) dalam praktiknya meskipun secara de jure keputusan mengenai arbitrase sudah final dan jelas.[footnoteRef:34] [34: Pendapat Prof. Dr. Eman Suparman S.H.,M.HSeminar Peluncuran Buku Arbitrase dan Dilema Penegakan Keadilan dan Seminar Sosialisasi "Arbitrase Sebagai Solusi Penegakan Keadilan dalam Mewujudkan Peradilan yang Agung" di Kampus Universitas Padjadjaran, Jln. Dipati Ukur, Kota Bandung, Kamis (21/3/2012)http://www.pikiran-rakyat.com/node/227828.]

Lebih lanjut Prof. Dr. Eman Suparman S.H.,M.H menjelaskan bahwa arbitrase harus terlepas dari unsur-unsur yang bukan merupakan atau tidak terkait dengan arbitrase. suatu putusan arbritrase dimanapun putusan itu dijatuhkan akan selalu tidak memiliki eksekutorial sebelum putusan tersebut di serahkan dan didaftarkan oleh kuasanya kepada panitera Pengadilan Negeri (PN). Keterlibatan Pengadilan Negeri dalam rangkaian proses arbitrase tidak sekedar menyangkut persoalan eksekuatur untuk kepentingan eksekusi putusan arbitrase. Bahkan PN juga terlibat dalam rangkaian proses arbitrase sejak awal sampai dengan pelaksanaan putusan. Artinya kewenangan PN tidak sekedar sebagai penerima pendaftaran dan pemberi eksekuatur tapi juga menunjuk arbiter.[footnoteRef:35] [35: Loc.cit.,]

Bedasarkan penjelasan di atas dapat ditarik pandangan bahwa dalam praktiknya terdapat beberapa berbedaan antara apa yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam pasal 3 Tercantum bahwa Pengadilan tidak berhak mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Sangat jelas isi pasal tersebut bahwa Pengadilan Negeri dilarang untuk mengadili sengketa para pihak yang sudah terikat dalam perjanjian arbitrase. Turut serta dalam penujukan arbiter pun dapat dikatakan sebagai bentuk intervensi kepada kewenangan arbitrase. Apabila kita telusuri dalam kasus-kasus dalam praktiknya beberapa kasus yang dapat menarik perhatian adalah kasus terjadi pada Bankers Trust melawan Mayora sungguh aneh karena mengetengahkan ketertiban umum sebagai salah satu alasan. Seharusnya PN Jakarta Selatan menolak untuk memeriksa perkara tersebut karena bukan merupakan kewenangannya, tidak diajukan atas dasar adanya perbuatan melawan hukum dan dengan Mayora mengajukan perkara tersebut ke pengadilan negeri padahal saat itu arbitrase sedang berjalan, menunjukkan bahwa Mayora tidak beritikad baik dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. Dalam hal ketertiban umum, yang dimaksud ketertiban umum oleh hakim adalah perkara tersebut sedang dalam proses di pengadilan hukum di pengadilan, alasan seperti ini seharusnya tidak bisa dijadikan alasan ketertiban umum. Apa yang telah dilakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah melanggar ketentuan Pasal 11 UU No.30 Tahun 1999, dan sayangnya Mahkamah Agung justru menguatkan putusan ini.[footnoteRef:36] [36: Prof.Dr. Eman Suparman ,S.H.,M.H. Arbitrase & Dilema Penegakan Keadilan. PT. Fikahati Aneska.2012. Jakarta.Op.cit hlm ]

Kasus yang terbaru adalah mengenai kasus yang terjadi pada Siti Hardiyanti Rukmana dengan PT. Berkah Karya Bersama dalam kepemilikan saham stasiun televisi PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (CTPI). Permasalahan muncul ketika MA memberikan putusan padahal kasus sengketa sedang diproses oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan hal tersebut sudah dianggap sebagai kesalahan fatal MA karena melangkahi kewenangan BANI. [footnoteRef:37]Hal ini dinilai para pengamat menjadi preseden buruk bagi penerapan hukum di Indonesia. Seperti diketahui bersama, putusan peninjauan kembali (PK) tersebut menyalahi kompetensi, dan melanggar Undang-Undang Arbitrase No 30 Tahun 1999. Sebenarnya hakim agung tidak berwenang memeriksa perkara yang disepakati diselesaikan di BANI dan masih diproses oleh BANI.Apabilaputusan dikeluarkan oleh BANI maka hal tersebut akan menganulir putusan Mahkamah Agung. [37: Rico Afrido Simanjuntak. Kasus TPI, Putusan Badan Arbitrase Diutamakan. http://nasional.sindonews.com/read/924921/13/kasus-tpi-putusan-badan-arbitrase-diutamakan-1416132785.]

BAB IVKESIMPULAN

A. Kesimpulan 1. Permasalahan yang muncul dalam praktik keberadaan Arbitrase dalam fungsinya sebagai pihak yang menyelesaikan sengketa para pihak yang memiliki kepentingan dalam bidang perdangan, investasi dan niaga masih dinilai kurang efektif karena dalam praktiknya dalam eksekusi putusan, arbitrase harus memberikan salinan bukti otentik yang didaftarkan di Pengadilan Negeri dan permasalahan lain yang muncul adalah intervensi dari para pihak-pihak lembaga hukum yang ikut melangkahi putusan arbitrase sehingga dapat dikatakan hal itu melanggar pasal 3 UU No 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa.2. Dalam praktiknya Eksekusi Putusan yang dilakukan Arbitrase dapat dilakukan tanpa harus melalui pencatatan dan eksekusi Ketua Pengadilan Negeri bisa saja dilakukan apabila secara de jure hal ini bisa saja di implementasikan dengan mengubah isi undang-undang nomor 30 Tahun 1999 yang memungkinkan arbitrase melakukan eksekusi secara mandiri tanpa harus memberikan bukti otentik karena penyelesaian sengketa melalui arbitrase diyakini merupakan salah satu hal utama dalam penegakan hukum perdata. Kendala yang muncul adalah Pengadilan Negeri masih merasa berwenang ikut turut serta dalam proses eksekusi dan hal ini juga tidak terlepas dari faktor makelar kasus yang menjadi ganjalan dalam upaya memaksimalkan peran Arbitrase.

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan JurnalEman Suparman. Arbitrase & Dilema Penegakan Keadilan. PT. Fikahati Aneska. 2012. Jakarta.

Zaeni Asyhadie. Hukum Bisnis. Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia. Rajagrafindo. 2014.

Pan Mohamad Faiz. Klausul Arbitrase dan Pengadilan. Kemungkinan Diajukannya Perkara dengan Klausul Arbitrase ke Muka Pengadilan. http://jurnalhukum.blogspot.com/2006/09/klausul-arbitrase-dan-pengadilan_18.html.2006.

Web

Laman Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Profile Badan Arbitrase Nasional Indonesia http://www.bani-arb.org/bani_main_ind.html. [ Tanggal Akses 15 Desember 2014].

Eman Suparman. Seminar Peluncuran Buku Arbitrase dan Dilema Penegakan Keadilan dan Seminar Sosialisasi "Arbitrase Sebagai Solusi Penegakan Keadilan dalam Mewujudkan Peradilan yang Agung" di Kampus Universitas Padjadjaran, Jln. Dipati Ukur, Kota Bandung, Kamis (21/3/2012) http://www.pikiran-rakyat.com/node/227828. [Tanggal Akses 15 Desember 2014]

Rico Afrido Simanjuntak. Kasus TPI, Putusan Badan Arbitrase Diutamakan. http://nasional.sindonews.com/read/924921/13/kasus-tpi-putusan-badan-arbitrase-diutamakan-1416132785 [Tanggal Akses 15 Desember 2014]

Undang Undang

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

31