materi ips sd kelas v
Post on 22-Jan-2016
261 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Materi IPS SD kelas V “Peninggalan Sejarah dari Masa Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia”
Sejarah Nusantara pada era kerajaan Hindu-Buddha
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Indonesia mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu-Buddha berkat
hubungan dagang dengan negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti
India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke Indonesia
diperkirakan pada awal tarikh Masehi, dibawa oleh para musafir dari India antara
lain: Maha Resi Agastya, yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau
Dwipayana dan juga para musafir dari Tiongkok yakni musafir Budha Pahyien.
Pada abad ke-4 di Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha,
yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai
abad ke-16.
Pada masa ini pula muncul dua kerajaan besar, yakni Sriwijaya dan Majapahit.
Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang
pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I-Tsing mengunjungi ibukotanya
Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai
daerah sejauh Jawa Tengah dan Kamboja. Abad ke-14 juga menjadi saksi
bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit
antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada, berhasil memperoleh kekuasaan atas
wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh
Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum
dan pembentukan kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita
Ramayana.
Masuknya ajaran Islam pada sekitar abad ke-12, melahirkan kerajaan-kerajaan
bercorak Islam yang ekspansionis, seperti Samudera Pasai di Sumatera dan
Demak di Jawa. Munculnya kerajaan-kerajaan tersebut, secara perlahan-lahan
mengakhiri kejayaan Sriwijaya dan Majapahit, sekaligus menandai akhir dari era
ini.
101 - Penempatan Lembah Bujang yang menggunakan aksara Sanskrit
Pallava membuktikan hubungan dengan India di Sungai Batu. [1]
300 - Kerajaan-kerajaan di asia tenggara telah melakukan hubungan
dagang dengan India. Hubungan dagang ini mulai intensif pada abad ke-2
M. Memperdagangkan barang-barang dalam pasaran internasional
misalnya: logam mulia, perhiasan, kerajinan, wangi-wangian, obat-obatan.
Dari sebelah timur Indonesia diperdagangkan kayu cendana, kapur barus,
cengkeh. Hubungan dagang ini memberi pengaruh yang besar dalam
masyarakat Indonesia, terutama dengan masuknya ajaran Hindu dan
Budha, pengaruh lainnya terlihat pada sistem pemerintahan.
300 - Telah dilakukannya hubungan pelayaran niaga yang melintasi
Tiongkok. Dibuktikan dengan perjalanan dua pendeta Budha yaitu Fa
Shien dan Gunavarman. Hubungan dagang ini telah lazim dilakukan,
barang-barang yang diperdagangkan kemenyan, kayu cendana, hasil
kerajinan.
400 - Hindu dan Budha telah berkembang di Indonesia dilihat dari sejarah
kerajaan-kerajaan dan peninggalan-peninggalan pada masa itu antara lain
prasasti, candi, patung dewa, seni ukir, barang-barang logam. Keberadaan
kerajaan Tarumanagara diberitakan oleh orang Cina.
603 - Kerajaan Malayu berdiri di hilir Batang Hari. Kerajaan ini
merupakan konfederasi dari para pedagang-pedagang yang berasal dari
pedalaman Minangkabau. Tahun 683, Malayu runtuh oleh serangan
Sriwijaya. {referensi?}
671 - Seorang pendeta Budha dari Tiongkok, bernama I-Tsing berangkat
dari Kanton ke India. Ia singgah di Sriwijaya untuk belajar tatabahasa
Sansekerta, kemudian ia singgah di Malayu selama dua bulan, dan baru
melanjutkan perjalanannya ke India.
685 - I-Tsing kembali ke Sriwijaya, disini ia tinggal selama empat tahun
untuk menterjemahkan kitab suci Budha dari bahasa Sansekerta ke dalam
bahasa Tionghoa.
692 - Salah satu kerajaan Budha di Indonesia yaitu Sriwijaya tumbuh dan
berkembang menjadi pusat perdagangan yang dikunjungi oleh pedagang
Arab, Parsi, dan Tiongkok. Yang diperdagangkan antara lain tekstil, kapur
barus, mutiara, rempah-rempah, emas, perak. Wilayah kekuasaannya
meliputi Sumatera, Semenanjung Malaya, Kamboja, dan Jawa. Sriwijaya
juga menguasai jalur perdagangan Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut
China Selatan. Dengan penguasaan ini, Sriwijaya mengontrol lalu lintas
perdagangan antara Tiongkok dan India, sekaligus menciptakan kekayaan
bagi kerajaan.
922 - Dari sebuah laporan tertulis diketahui seorang musafir Tiongkok
telah datang kekerajaan Kahuripan di Jawa Timur dan maharaja Jawa telah
menghadiahkan pedang pendek berhulu gading berukur pada kaisar
Tiongkok.
932 - Restorasi kekuasaan Kerajaan Sunda. Hal ini muncul melalui
Prasasti Kebon Kopi II yang bertanggal 854 Saka atau 932 Masehi. [2]
1292 - Musafir Venesia, Marco Polo singgah di bagian utara Sumatera
dalam perjalanan pulangnya dari Tiongkok ke Persia melalui laut. Marco
Polo berpendapat bahwa Perlak merupakan sebuah kota Islam.
1292 - Raden Wijaya, atas izin Jayakatwang, membuka hutan tarik
menjadi permukiman yang disebut Majapahit. Nama ini berasal dari pohon
Maja yang berbuah pahit di tempat ini.[3]
1293 - Raden Wijaya memanfaatkan tentara Mongol untuk menggulingkan
Jayakatwang di Kediri. Memukul mundur tentara Mongol, lalu ia naik
takhta sebagai raja Majapahit pertama pada 12 November.[3]
1293 - 1478 - Kota Majapahit menjadi pusat kemaharajaan yang
pengaruhnya membentang dari Sumatera ke Papua, kecuali Sunda dan
Madura. Kawasan urban yang padat dihuni oleh populasi yang
kosmopolitan dan menjalankan berbagai macam pekerjaan. Kitab
Negarakertagama menggambarkan keluhuran budaya Majapahit dengan
cita rasa yang halus dalam seni, sastra, dan ritual keagamaan.[3]
1345 -1346 - Musafir Maroko, Ibn Battuta melewati Samudra dalam
perjalanannya ke dan dari Tiongkok. Diketahui juga bahwa Samudra
merupakan pelabuhan yang sangat penting, tempat kapal-kapal dagang
dari India dan Tiongkok. Ibn Battuta mendapati bahwa penguasa Samudra
adalah seorang pengikut Mahzab Syafi'i salah satu ajaran dalam Islam.
1350 -1389 - Puncak kejayaan Majapahit dibawah pimpinan raja Hayam
Wuruk dan patihnya Gajah Mada. Majapahit menguasai seluruh kepulauan
di asia tenggara bahkan jazirah Malaya sesuai dengan "Sumpah Palapa"
yang menyatakan bahwa Gajah Mada menginginkan Nusantara bersatu.
1478 Majapahit runtuh akibat serangan Demak. Kota ini berangsur-angsur
ditinggalkan penduduknya, tertimbun tanah, dan menjadi hutan jati.[3]
1570 - Pajajaran, ibukota Kerajaan Hindu terakhir di pulau Jawa
dihancurkan oleh Kesultanan Banten.
[sunting] Kerajaan Hindu/Buddha
[sunting] Kerajaan Hindu/Buddha di Kalimantan
Kerajaan Kutai
Kerajaan Negara Daha
Kerajaan Negara Dipa
Kerajaan Kuripan
[sunting] Kerajaan Hindu/Buddha di Jawa
Kerajaan Salakanagara (150-362)
Kerajaan Tarumanegara (358-669)
Kerajaan Sunda Galuh (669-1482)
Kerajaan Kalingga
Kerajaan Mataram Hindu
Kerajaan Kadiri (1042 - 1222)
Kerajaan Singasari (1222-1292)
Kerajaan Majapahit (1292-1527)
[sunting] Kerajaan Hindu/Buddha di Sumatra
Kerajaan Malayu Dharmasraya 1183–1347
Kerajaan Sriwijaya 600–1300
[sunting] Referensi
1. ̂ Tamadun 1900 tahun di Merbuk, Oleh OPAT RATTANACHOT,
Utusan Malaysia 9 April 2010.
2. ̂ Herwig Zahorka, The Sunda Kingdoms of West Java From
Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor,
Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2007
3. ^ a b c d "Kronologi Kota Majapahit", Kompas, 5 Januari 2009
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara_pada_era_kerajaan_Hindu-
Buddha
Materi IPS SD kelas V “Peninggalan Sejarah dari Masa Hindu-Buddha dan
Islam di Indonesia”
Dipublikasi pada November 25, 2010 oleh sukarno
Peninggalan Sejarah dari Masa
Hindu-Buddha dan Islam di Indonesia
Nenek moyang kita memiliki kebudayaan yang tinggi. Pada zaman
kerajaankerajaan
di Indonesia, telah dibuat berbagai bentuk bangunan. Pada masa Hindu–
Buddha dibangun candi-candi, sedangkan pada masa Islam banyak dibangun
masjid.
Bangunan-bangunan tersebut dinamakan peninggalan sejarah.
A. Peninggalan Hindu di Indonesia
1. Kedatangan Agama Hindu
Bukti tertulis atau prasasti tentang kedatangan agama Hindu di Indonesia
ditemukan di Kalimantan Timur (Kerajaan Kutai) dan di Bogor (Kerajaan
Tarumanegara). Prasasti itu dibuat pada batu dan ditulis dengan huruf Pallawa
dengan bahasa Sanskerta.
Agama Hindu masuk ke Indonesia pada tahun 78 Masehi. Sebelum
kedatangan agama Hindu, nenek moyang kita telah menganut kepercayaan
animisme dan dinamisme. Animisme adalah pemujaan terhadap roh nenek
moyang yang telah meninggal. Sedangkan, dinamisme adalah pemujaan terhadap
benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan gaib.
Dalam masyarakat Hindu kita mengenal adanya empat tingkatan masyarakat
menurut kasta, yaitu sebagai berikut.
1. Kasta Brahmana : Para pendeta dan pemimpin upacara.
2. Kasta Ksatria : Para raja dan bangsawan.
3. Kasta Weisya : Para pedagang dan pekerja menengah.
4. Kasta Sudra : Para petani, buruh kecil, dan budak.
Ada anggapan bahwa masuknya agama Hindu ke Indonesia melalui
perdagangan dengan bangsa India. Para pedagang India menjual barang-barang
yang bernilai tinggi, seperti logam mulia, perhiasan, kain, wangi-wangian, dan
obat-obatan. Sedangkan, pedagang Indonesia menjual berbagai jenis kayu dan
rempah-rempah. Pembeli barang-barang yang diperdagangkan itu adalah kaum
bangsawan. Anggapan masuknya agama Hindu melalui pedagang India didukung
dengan adanya perkampungan kaum saudagar India yang dinamakan ”Kampung
Keling”. Salah satu ”Kampung Keling” yang tersisa ada di kota Medan.
Di dalam Agama Hindu dikenal dewa-dewa yang memiliki kekuatan luar
biasa, antara lain Dewa Agni (api), Dewa Bayu (angin), Dewa Candra (bulan),
Dewa Indera (perang), Dewa Brahma (pencipta), Dewa Wisnu (pemelihara), dan
Dewa Siwa (perusak). Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa adalah Dewa tertinggi
yang disebut ”Tri Murti”.
Raja dianggap sebagai titisan dewa, maka raja juga sering dibuat patungnya.
Bangunan batu tempat menyimpan patung dan dijadikan tempat pemujaan
disebut candi. Fungsi candi juga sebagai tempat penyimpanan barang-barang
milik raja.
Kitab suci agama Hindu adalah Weda. Weda merupakan kitab yang berisi
filsafat dan ajaran agama. Keseluruhan alam pikiran dalam kitab Weda disebut
”Vedisme”. Semua isi kitab Weda bersangkutan dengan upacara agama, terutama
kurban. Kitab Weda terdiri dari empat bagian yang disebut ”Catur Weda”, yaitu
Rig Weda, Sama Weda, Yajur Weda, dan Atharwa Weda.
Peninggalan Sejarah dari Masa Hindu√Budha dan Islam di Indonesia 3
Selain memiliki candi dan pura, masyarakat Bali yang beragama Hindu
mengenal ritual tertentu, misalnya upacara ngaben (pembakaran jenazah)
dilakukan dengan tujuan agar roh dan jasad orang yang meninggal dapat kembali
ke asalnya (Maha Atman).
Galungan dan Kuningan adalah hari raya umat Hindu Bali yang dirayakan
dua kali setahun. Hari raya Nyepi dirayakan setahun sekali, dengan melakukan
kegiatan diam dan mematikan semua penerangan di dalam rumah.
2. Kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia
No. Kerajaan Berdiri Tempat Raja Terkenal
1. Kutai 400 M Kalimantan Timur Mulawarman
2. Tarumanegara 400 M Jawa Barat Purnawarman
3. Mataram Kuno 732 M Jawa Tengah Sanjaya, Balitung
4. Kediri 1100 M Jawa Timur Jayabaya
5. Singasari 1222 M Jawa Tengah Ken Arok, Kertanegara
6. Majapahit 1292 M Jawa Timur Hayam Wuruk
3. Candi-candi Peninggalan Hindu
Agama Hindu banyak meninggalkan candi-candi, di antaranya adalah sebagai
berikut.
No. Nama Lokasi/Tempat
1. Candi Gunung Wukir Daerah Magelang, Jawa Tengah
2. Candi Dieng Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah
3. Candi Gedongsongo Ungaran, Jawa Tengah
4. Candi Penataran Jawa Timur
5. Candi Muara Takus Jambi
Candi-candi Hindu biasanya berfungsi sebagai tempat untuk pemujaan
terhadap Dewa Tri Murti. Dalam candi ada arca dan ruang khusus untuk
pemujaan.
Kecuali bentuk candi, ada pula
peninggalan Hindu yang berbentuk upacara
tradisional yang dilakukan pada waktuwaktu
tertentu.
Di Gunung Bromo, suku Tengger biasa
melaksanakan upacara Kasadha yang
dilaksanakan setiap tahun. Upacara ini
merupakan budaya peninggalan Hindu
Syiwa yang masih dilestarikan masyarakat
suku Tengger sampai sekarang.
Pernahkah daerahmu mengadakan
upacara adat atau tradisional? Coba
sebutkan apa saja yang kamu ketahui
tentang upacara itu!
B. Peninggalan Buddha di Indonesia
1. Ajaran Buddha
Inti ajaran Buddha adalah Dharma, yaitu sejumlah aturan atau kewajiban
yang harus dilakukan oleh pengikutnya sebagai bagian dari alam semesta.
Aturan itu bertujuan agar manusia melepaskan diri dari kekangan karma
agar mencapai kesempurnaan hidup, yaitu Nirwana. Proses kehidupan manusia
saat ini merupakan kelanjutan kehidupan sebelumnya. Ini disebut penitisan
(reinkarnasi). Kehidupan dan proses penitisan itu pada dasarnya adalah
penderitaan, hukuman, dan karma. Agar manusia lepas dari penderitaan,
hukuman, dan karma, manusia harus berlaku benar, berniat benar, berbicara
benar, berusaha benar, dan berkehidupan benar.
Kitab suci agama Buddha adalah ”Tripitaka”. Menurut kepercayaan agama
Buddha, alam semesta dibagi tiga, yaitu sebagai berikut.
1. Kamadhatu : Tingkat paling rendah, di mana manusia masih
dipengaruhi oleh nafsu yang tidak baik. Pada tahap
ini, manusia tidak ada bedanya dengan binatang buas.
2. Rupadhatu : Tingkat kedua di mana manusia berusaha memerangi
hawa nafsu yang tidak baik. Pada tahap
ini, manusia berjuang mengatasi godaan-godaan untuk
melepaskan hawa nafsu yang tidak baik tersebut.
3. Arupadhatu : Tahap di mana manusia mencapai kesempurnaan dan
terlepas dari urusan duniawi.
Tokoh ajaran Buddha adalah Sidharta
Gautama atau Sang Buddha Gautama.
Kesederhanaan Sang Buddha merupakan ciri
utama yang diikuti oleh para biksu (laki-laki) dan
biksuni (perempuan) di Wihara.
Perlengkapan hidup yang boleh dimiliki oleh
seorang biksu atau biksuni hanya tiga macam,
yaitu sebuah mangkuk untuk makan, jarum untuk
menjahit baju, dan pisau untuk mencukur rambut.
Simbol kekayaan yang dimiliki oleh penganut Buddha digambarkan dalam bentuk
”stupa” yang merupakan gambaran tumpukan baju, mangkuk yang
ditelungkupkan, dan tongkat atau jarum di atasnya.
2. Peninggalan Buddha
Candi-candi dengan stupa di atasnya merupakan simbol tempat peribadatan
agama Buddha.
Pernahkah kamu mengunjungi Candi
Borobudur? Perhatikan gambar di samping!
Candi Borobudur terletak di Magelang,
Jawa Tengah. Candi ini terdiri dari tiga
tingkatan yang menggambarkan Kamadhatu,
Rupadhatu, dan Arupadhatu.
a. Kamadhatu adalah dasar candi dengan
kaki candi tertutup 13.000 m3 batu serta
160 relief tersembunyi.
b. Rupadhatu, terdiri dari empat lorong
dengan 1.300 gambar relief. Jika
diukur, panjang seluruhnya mencapai 2,5
km dengan 1.212 panel berukir.
c. Arupadhatu, dengan bentuk lingkaran-lingkaran yang memuat 72 patung
Buddha di dalam stupa terawang dan satu stupa induk besar. Lebar tiap sisi
candi 123 m. Seluruh bahan termasuk dasar candi, terdiri dari 55.000 m3
batu andesit. Jumlah patung 504 patung Buddha, 72 terletak pada stupa
terawang, sedangkan 432 dalam relung terbuka.
Ayo, perhatikan gambar berikut!
Candi-candi Buddha lainnya, antara lain Candi Kalasan, Candi Sari,
Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Plaosan, dan Candi Sewu.
Untuk mengenang kebesaran Sang Buddha Gautama banyak candi
diberi hiasan patung Siddharta Gautama.
Upacara tradisi agama Buddha dilaksanakan setiap tahun. Tujuannya
adalah untuk mengenang kelahiran, kematian, dan moksa-nya sang Buddha.
Upacara itu disebut ”Tri Suci Waisak” yang dilaksanakan di kawasan Candi
Borobudur. Peringatan Tri Suci Waisak memiliki daya tarik wisata baik
domestik maupun mancanegara.
Kamu telah mendapatkan beberapa contoh peninggalan Buddha di
Indonesia termasuk tradisi yang dilakukan. Coba amati dan catat dalam bukumu
beberapa peninggalan Buddha yang mungkin ada di sekitar tempat tinggalmu!
C. Peninggalan Islam di Indonesia
1. Masuknya Agama Islam
Agama Islam lahir di Tanah Arab oleh Nabi Muhammad saw. yang dilahirkan
pada tanggal 12 Rabiulawal 571 M (20 April 571 M). Beliau adalah putra dari
Abdullah bin Abdul Mutholib dengan Aminah binti Wahab, dari suku bangsa
Qura’isy.
Pada tanggal 17 Ramadhan 610 M (6 Agustus 610 M) ketika Muhammad
sedang menyendiri dalam Gua Hira, datanglah Malaikat Jibril menyampaikan
wahyu yang pertama. Peristiwa itu dikenal sebagai Nuzulul Qur’an (turunnya
wahyu Qur’an pertama) yang menjadi kitab suci agama Islam.
Agama dan peradaban Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedagang
Gujarat, Arab, dan Persia. Sambil berdagang, mereka membawa pengaruh dan
menyebarkan ajaran Islam.
Gambar 1.9 Peringatan Tri Suci
Waisak di Candi Borobudur
Sumber: Ensiklopedi Umum
untuk Pelajar, Penerbit
PT Ichtiar Baru van Hoeve
Tahun 2005
Gambar 1.8 Patung
sang Buddha Gautama
Sumber: http://
buddhism.2be.net
8 Ilmu Pengetahuan Sosial SD/MI Kelas V
Para pedagang muslim masuk ke Indonesia kira-kira pada abad ke-7. Dalam
perkembangannya, pada abad ke-13 terbentuk masyarakat muslim di Indonesia.
Pada saat itu, kerajaan pertama yang bercorak Islam adalah Kerajaan
Samudera Pasai. Kerajaan ini terletak di Aceh bagian utara (sekarang Kabupaten
Lhokseumawe), dengan rajanya bernama Malikus Shaleh. Raja yang terkenal
membawa kemajuan pesat adalah Sultan Iskandar Muda.
Penyebaran agama Islam di Indonesia melalui beberapa jalur. Di antaranya,
jalur perdagangan, perkawinan, jalur pendidikan, serta jalur seni dan budaya.
a. Jalur Perdagangan
Perdagangan dan pelayaran berfungsi sebagai sarana dalam menyiarkan
agama Islam. Kota dagang yang mula-mula menjadi Islam adalah Samudera
Pasai. Pada abad ke-14, Malaka menjadi pusat perdagangan dan pusat
Gambar 1.10 Peta persebaran agama Islam
Sumber: Ensiklopedi Umum untuk Pelajar, Penerbit PT Ichtiar Baru van Hoeve
Tahun 2005
Gambar 1.11 Suasana perdagangan di Banten pada abad ke-14 M
Sumber: ahmadsamantho.files.wordpress.com
Peninggalan Sejarah dari Masa Hindu√Budha dan Islam di Indonesia 9
pengembangan Islam. Di Pulau Jawa, Islam berkembang dari kota-kota
pelabuhan Banten, Cirebon, Demak, Tuban, dan Gresik.
b. Perkawinan
Para pedagang dari luar Nusantara banyak yang menikah dengan
penduduk asli sehingga lambat laun mereka juga menganut agama Islam.
c. Jalur Pendidikan
Munculnya pesantren-pesantren yang mendapat perlindungan dari
penguasa, mempercepat perkembangan Islam di Nusantara. Sekarang kita
mengenal pondok pesantren, pesantren modern, dan pesantren kilat.
d. Jalur Seni dan Budaya
Seni juga dapat menjadi sarana berkembangnya agama Islam di
Nusantara. Contohnya adalah seni bangunan, seni ukir, seni tari, seni suara,
adat istiadat, dan seni sastra.
2. Beberapa Peninggalan Islam
Kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Indonesia, antara lain Samudera Pasai
(abad ke-13), Kerajaan Aceh (1514), Kerajaan Demak, Kerajaan Banten, Kerajaan
Ternate, Kerajaan Tidore, dan Kerajaan Gowa–Tallo.
Berikut peninggalan-peninggalan dari masa kejayaan kerajaan Islam.
a. Bangunan : Masjid, gerbang/gapura masjid.
Misalnya: Masjid Agung Demak.
b. Seni ukir : Ukiran kayu/batu yang bercorak Islami dan
berkembang menjadi kaligrafi, misalnya di Jepara.
c. Seni wayang : Wayang kulit pada masa Sunan Kalijaga.
d. Seni sastra : Syair Melayu ajaran Hamzah Fansuri, Hikayat Banjar.
e. Kitab/primbon : Kitab bercorak kegaiban, berisi ramalan dan
penetapan hari baik yang ditulis oleh Sunan Bonang.
f. Adat istiadat : 1. Makuta Alam, merupakan percampuran adat
Aceh dan Islam.
2. Grebeg Maulud di Keraton Cirebon dan Yogyakarta.
Tulisan ini dipublikasikan di Uncategorized. Tandai permalink.
http://blog.unnes.ac.id/proklamatorsukarno/2010/11/25/materi-ips-sd-kelas-v-
%E2%80%9Cpeninggalan-sejarah-dari-masa-hindu-buddha-dan-islam-di-
indonesia%E2%80%9D/
Kamis, 27 Januari 2011
PELAJARAN IPS KELAS V SD
PELAJARAN IPS KELAS V SD
PENINGGALAN SEJARAH DARI MASA HINDU-BUDHA DAN ISLAM DI
INDONESIA
Nenek moyang kita memiliki kebudayaan yang tinggi. Pada zaman kerajaan-
kerajaan di Indonesia telah dibuat berbagai bentuk bangunan. Pada masa Hindu-
Budha dibangun candi-candi, sedangkan pada masa Islam dibangun masjid.
Bangunan-bangunan tersebut dinak\makan peninggalan sejarah.
A. Peninggalan Hindu di Indonesia
1. Kedatangan Agama Hindu
Bukti tertulis/ prasasti tentang kedatangan agama Hindu di Indonesia ditemukan
di Kalimantan Timur (Kerajaan Kutai) dan di Bogor (Kerajaan Tarumanegara).
Prasasti itu dibuat pada batu dan ditulis dengan huruf Pallawa dengan bahasa
Sansekerta. Agama Hindu masuk ki Indonesia pada tahun 78 M. Sebelum
kedatangan agama Hindu, nenek moyang kita telah menganut kepercayaan
Animisme dan Dinamisme. Animisme adalah pemujaan terhadap roh nenek
moyang yang telah meninggal. Sedangkan Dinamisme adalah pemujaan terhadap
benda-benda yang dianggap memiliki kekuatan gaib.
Dalam masyarakat Hindu kita mengenal adanya empat tingkatan masyarakat
menurut kasta, yaitu:
1. kasta Brahmana
Para pendeta dan pemimpin upacara.
2. kasta Ksatria
Para raja dan bangsawan.
3. kasta Waisya
Para pedagang dan pekerja menengah.
4. kasta Sudra
Para petani dan budak.
Agama Hindu masuk ke Indonesia melalui perdagangan dengan bangsa India.
Para pedagang India menjual barang-barang yang bernilai tinggi, seperti logam
mulia, perhiasan, kain, wangi-wangian dan obat-obatan. Sedangkan Indonesia
menjual berbagai jenis kayu dan rempah-rempah. Pembeli barang-barang yang
diperdagangkan itu adalah kaum bangsawan.
Didalam Agama Hindu dikenal dewa-dewa yang memiliki kekuatan luarbiasa,
antara lain: Dewa Agni (Api), Dewa Bayu ( Angin), Dewa Candra ( Bulan), Dewa
Indera (Perang), Dewa Brahma (Pencipta), Dewa Wisnu (Pemelihara) dan Dewa
Siwa (Perusak). Dewa Brahma, Wisnu dan Siwa adalah Dewa tertinggi yang
disebut “Tri Murti”.
Raja dianggap sebagai titisan dewa, maka raja juga sering dibuat patungnya.
Bangunan batu tempat menyimpan patung dan dijadikan tempat pemujaan disebut
candi. Fungsi candi juga sebagai tempat penyimpanan barang-barang milik raja
Kitab suci agama Hindu adalah Weda. Weda merupakan kitab yang berisi filsafat
dan ajaran agama. Keseluruhan alam pikiran dalam kitab Weda disebut
“Vedisme”. Semua isi kitab Weda bersangkutan dengan upacara agama, terutama
kurban. Kitab Wedaterdiri dari empat bagian yang disebut “Catur Weda”, yaitu
Rig Weda, Sama Weda, Yajur Weda dan Atharwa Weda.
Selain memiliki candi dan pura, masyarakat Bali yang beragama Hindu mengenal
ritual tertenti, misalnya upacara Ngaben (Pembakaran Jenazah) dilakukan dengan
tujuan agar roh dan jasad orang yang meninggal kembali ke asalnya (Maha
Atman). Galungan dan Kuningan adalah hari raya umat Hindu Bali yang
dirayakan dua kali setahun. Hariraya Nyepi dirayakan setahun sekali, dengan
melakukan kegiatan diam dan mematikan semua penerangan di dalam rumah.
2. Kerajaan-kerajaan Hindu di Indonesia
1. Kutai 400 M di Kalimantan Timur dengan Raja yang terkenal Raja
Mulawarman
2. Tarumanegara 400 M di Jawa Barat dengan raja yang terkenal Raja
Purnawarman
3. Matram Kuno 732 M di Jawa Tengah dengan raja yang terkenal Raja Sanjaya,
Balitung
4. Kediri 1100 M di Jawa Timur dengan raja yang terkenal Raja Jaya Baya
5. Singasari 1222 Mdi Jawa Tengah dengan raja yang terkenal Raja Ken Arok,
Kertanegara
6. Majapahit 1292 M di Jawa Timur dengan raja yang terkenal Raja Hayam
Wuruk.
3. Candi-candi Peninggalan Hindu
1. Candi Gunung Wukir Daerah Magelang, Jawa Tengah
2. Candi Dieng Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah
3. Candi Gedongsongo Ungaran, Jawa Tengah
4. Candi Muara Takus Jambi
B. Peninggalan Budha di Indonesia
1. Ajaran Budha
Inti ajaran Budha adalah Dharma, yaitu sejumlah aturan atau kewajiban yang
harus dilakukan oleh pengikutnya sebagai bagian dari alam semesta. Aturan itu
bertujuan agar manusia melepaskan diri dari kekangan karma agar mencapai
kesempurnaan hidup. Yaitu Nirwana. Proses kehidupan manusia saat ini
merupakan kelanjutan kehidupan sebelumnya yang disebut dengan penitisan
(reinkarnasi). Kehidupan dan proses penitisan itu pada dasarnya adalah
penderitaan, hukuman dan karama. Agar manusia lepas dari penderitaan,
hukuman dan karma, manusia harus berlaku benar, berniat benar, berbicara benar,
berusaha benar dan berkehidupan benar.
Kitab suci agama Budha adalah “Tripitaka”. Menurut kepercayaan agama Budha,
alam semesta dibagi tiga yaitu:
1. Kamadhatu
Tingkat paling rendah, dimana manusia masih dipengaruhi oleh nafsu yang tidak
baik. Pada tahap ini manusia tidak ada bedanya dengan binatang buas.
2. Rupadhatu
Tingkat kedua diman manusia berusaha memerangi hawa nafsu yang tidak baik.
Pada tahap ini manusia berjuang mengatasi godaan-godaan untuk mel;epaskan
hawa nafsu yang tidak baik tersebut.
3. Arupadhatu
Tahap dimana manusia mencapai kesempurnaan dan terlepas dari urusan duniawi.
Tokoh agama Budha adalah Sidharta Gautama atau Sang Budha Gautama.
Kesederhanaan sang Budha merupakan ciri utama yang diikuti oleh para biksu
(laki-laki) dan biksuni (perempuan) di Wihara. Perlengkapan hidup yang boleh
dimiliki oleh seorang biksu atau biksuni hanya 3 macam yaitu sebuah mangkuk
untuk makan, jarum untuk menjahit baju dan pisau untuk memcukur rambut.
Symbol kekayaan yang dimiliki oleh penganut Budha digambarkan dalam bentuk
“Stupa” yang merupakan gambaran tumpukan baju, mangkuk yang
ditelungkupkan dan tongkat atau jarum diatasnya.
2. Peninggalan Budha
Candi-candi dengan stupa diatasnya merupakan symbol tempat peribadatan agama
Budha. Seperti Candi Borobudur yang terletak di Magelang, Jawa Tengah. Candi
ini terdiri dari 3 tingkatan yang menggambarakan Kamadhatu, Rupadhatu dan
Arupadhatu.
Candi-candi Budha lainnya antara lain: Candi Kalasan, Candi Sari, Candi Mendut,
Candi Pawon, Candi Plaosan dan Candi Sewu.
C. Peninggalan Islam di Indonesia
1. Masuknya Agama Islam
Agama dan peradaban Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh para pedagang
Gujarat, Arab dan Persia. Sambil berdagang mereka membawa pengaruh dan
menyebarkan ajaran Islam. Para pedagang muslim masuk ke Indonesia kira-kira
pada abad ke 7. dalam perkembangannya, pada abad ke 13 terbentuk masyarakat
muslim di Indonesia
Kerajaan pertama yang bercorak Islam adalah Kerajaan Samudera Pasai. Kerajaan
ini terletak di Aceh bagiam utara (sekarang kabupaten Lhoksumawe) dengan
rajanya Malikus Shaleh. Raja yang terkenal membawa kemajuan pesat adalah
Sultan Iskandar Muda.
Penyebaran agama Islam di Indonesia melalui beberapa jalur, diantaranya:
a. Jalur Perdagangan
Perdagangan dan pelayaran berfungsi sebagai sarana dalam menyiarkan agama
Islam. Pada abad ke 14 Malaka menjadi pusat perdagangan dan pusat
pengembangan Islam. Di pulau Jawa, Islam berkembang dari kota-kota pelabuhan
Banten, Cirebon, Demak, Tuban dan Gresik.
b. Perkawinan
Para pedagang dari luar Nusantara banyak yang menikah dengan penduduk asli
sehingga lambat laun mereka juga menganut Islam
c. Jalur Pendidikan
Munculnya pesantren-pesantren yang mendapat perlindungan dari penguasa,
mempercepat perkembangan Islam di Nusantara.
d. Jalur Seni dan Budaya
Seni juga dapat menjadi sarana berkembangnya agama Islam di Nusantara.
Contohnya adalah seni ukir, seni tari, seni suara, adapt istiadat dan seni sastra.
2. Beberapa Peninggalan Islam
a. Bangunan: Masjid, gerbang/ gapura masjid
Misalnya: Masjid Agung Demak
b. Seni Ukir: ukiran kayu/ batu yang bercorak Islami dan berkembang menjadi
kaligrafi, misalnya di jepara
c. Seni Wayang: wayang kulit pada masa Sunan Kalijaga
d. Seni sastra: Syair Melayu ajaran Hamzah Fansuri, Hikayat Banjar
e. Kitab/ Primbon: kitab bercorak kegaiban, berisi ramalan dan penetapan hari
baik yang ditulis oleh Sunan Bonang
f. Adat Istiadat
Makuta Alam, merupakan percampuran adapt Aceh dan Islam.
Diposkan oleh atiek andella di 03:01
http://atiekandella.blogspot.com/2011/01/pelajaran-ips-kelas-v-sd.html
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Akurasi Terperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Artikel ini bagian dari seri
Sejarah Indonesia
Sejarah Nusantara
Pra-Kolonial (sebelum 1509)
Pra-sejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Kerajaan Islam
Zaman kolonial (1509-1945)
Era Portugis (1509-1602)
Era VOC (1602-1800)
Era Belanda (1800-1942)
Era Jepang (1942-1945)
Sejarah Republik Indonesia
Proklamasi (17 Agustus 1945)
Masa Transisi (1945-1949)
Era Orde Lama (1950-1959)
Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Operasi Trikora (1960-1962)
Konfrontasi Indo-Malaya (1962-1965)
Gerakan 30 September 1965
Era Orde Baru (1966-1998)
Gerakan Mahasiswa 1998
Era Reformasi (1998-sekarang)
Indonesia mulai berkembang pada zaman kerajaan Hindu-Buddha berkat
hubungan dagang dengan negara-negara tetangga maupun yang lebih jauh seperti
India, Tiongkok, dan wilayah Timur Tengah. Agama Hindu masuk ke Indonesia
diperkirakan pada awal tarikh Masehi, dibawa oleh para musafir dari India antara
lain: Maha Resi Agastya, yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara Guru atau
Dwipayana dan juga para musafir dari Tiongkok yakni musafir Budha Pahyien.
Pada abad ke-4 di Jawa Barat terdapat kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha,
yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai
abad ke-16.
Pada masa ini pula muncul dua kerajaan besar, yakni Sriwijaya dan Majapahit.
Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang
pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I-Tsing mengunjungi ibukotanya
Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai
daerah sejauh Jawa Tengah dan Kamboja. Abad ke-14 juga menjadi saksi
bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit
antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada, berhasil memperoleh kekuasaan atas
wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh
Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum
dan pembentukan kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita
Ramayana.
Masuknya ajaran Islam pada sekitar abad ke-12, melahirkan kerajaan-kerajaan
bercorak Islam yang ekspansionis, seperti Samudera Pasai di Sumatera dan
Demak di Jawa. Munculnya kerajaan-kerajaan tersebut, secara perlahan-lahan
mengakhiri kejayaan Sriwijaya dan Majapahit, sekaligus menandai akhir dari era
ini.
Daftar isi
1 Kronologi
2 Kerajaan Hindu/Buddha
o 2.1 Kerajaan Hindu/Buddha di Kalimantan
o 2.2 Kerajaan Hindu/Buddha di Jawa
o 2.3 Kerajaan Hindu/Buddha di Sumatra
3 Referensi
Kronologi
Gaya penulisan artikel atau bagian ini tidak atau kurang cocok untuk
Wikipedia.
Silakan lihat halaman pembicaraan. Lihat juga panduan menulis artikel yang lebih
baik.
101 - Penempatan Lembah Bujang yang menggunakan aksara Sanskrit
Pallava membuktikan hubungan dengan India di Sungai Batu. [1]
300 - Kerajaan-kerajaan di asia tenggara telah melakukan hubungan
dagang dengan India. Hubungan dagang ini mulai intensif pada abad ke-2
M. Memperdagangkan barang-barang dalam pasaran internasional
misalnya: logam mulia, perhiasan, kerajinan, wangi-wangian, obat-obatan.
Dari sebelah timur Indonesia diperdagangkan kayu cendana, kapur barus,
cengkeh. Hubungan dagang ini memberi pengaruh yang besar dalam
masyarakat Indonesia, terutama dengan masuknya ajaran Hindu dan
Budha, pengaruh lainnya terlihat pada sistem pemerintahan.
300 - Telah dilakukannya hubungan pelayaran niaga yang melintasi
Tiongkok. Dibuktikan dengan perjalanan dua pendeta Budha yaitu Fa
Shien dan Gunavarman. Hubungan dagang ini telah lazim dilakukan,
barang-barang yang diperdagangkan kemenyan, kayu cendana, hasil
kerajinan.
400 - Hindu dan Budha telah berkembang di Indonesia dilihat dari sejarah
kerajaan-kerajaan dan peninggalan-peninggalan pada masa itu antara lain
prasasti, candi, patung dewa, seni ukir, barang-barang logam. Keberadaan
kerajaan Tarumanagara diberitakan oleh orang Cina.
603 - Kerajaan Malayu berdiri di hilir Batang Hari. Kerajaan ini
merupakan konfederasi dari para pedagang-pedagang yang berasal dari
pedalaman Minangkabau. Tahun 683, Malayu runtuh oleh serangan
Sriwijaya. {referensi?}
671 - Seorang pendeta Budha dari Tiongkok, bernama I-Tsing berangkat
dari Kanton ke India. Ia singgah di Sriwijaya untuk belajar tatabahasa
Sansekerta, kemudian ia singgah di Malayu selama dua bulan, dan baru
melanjutkan perjalanannya ke India.
685 - I-Tsing kembali ke Sriwijaya, disini ia tinggal selama empat tahun
untuk menterjemahkan kitab suci Budha dari bahasa Sansekerta ke dalam
bahasa Tionghoa.
692 - Salah satu kerajaan Budha di Indonesia yaitu Sriwijaya tumbuh dan
berkembang menjadi pusat perdagangan yang dikunjungi oleh pedagang
Arab, Parsi, dan Tiongkok. Yang diperdagangkan antara lain tekstil, kapur
barus, mutiara, rempah-rempah, emas, perak. Wilayah kekuasaannya
meliputi Sumatera, Semenanjung Malaya, Kamboja, dan Jawa. Sriwijaya
juga menguasai jalur perdagangan Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut
China Selatan. Dengan penguasaan ini, Sriwijaya mengontrol lalu lintas
perdagangan antara Tiongkok dan India, sekaligus menciptakan kekayaan
bagi kerajaan.
922 - Dari sebuah laporan tertulis diketahui seorang musafir Tiongkok
telah datang kekerajaan Kahuripan di Jawa Timur dan maharaja Jawa telah
menghadiahkan pedang pendek berhulu gading berukur pada kaisar
Tiongkok.
932 - Restorasi kekuasaan Kerajaan Sunda. Hal ini muncul melalui
Prasasti Kebon Kopi II yang bertanggal 854 Saka atau 932 Masehi. [2]
1292 - Musafir Venesia, Marco Polo singgah di bagian utara Sumatera
dalam perjalanan pulangnya dari Tiongkok ke Persia melalui laut. Marco
Polo berpendapat bahwa Perlak merupakan sebuah kota Islam.
1292 - Raden Wijaya, atas izin Jayakatwang, membuka hutan tarik
menjadi permukiman yang disebut Majapahit. Nama ini berasal dari pohon
Maja yang berbuah pahit di tempat ini.[3]
1293 - Raden Wijaya memanfaatkan tentara Mongol untuk menggulingkan
Jayakatwang di Kediri. Memukul mundur tentara Mongol, lalu ia naik
takhta sebagai raja Majapahit pertama pada 12 November.[3]
1293 - 1478 - Kota Majapahit menjadi pusat kemaharajaan yang
pengaruhnya membentang dari Sumatera ke Papua, kecuali Sunda dan
Madura. Kawasan urban yang padat dihuni oleh populasi yang
kosmopolitan dan menjalankan berbagai macam pekerjaan. Kitab
Negarakertagama menggambarkan keluhuran budaya Majapahit dengan
cita rasa yang halus dalam seni, sastra, dan ritual keagamaan.[3]
1345 -1346 - Musafir Maroko, Ibn Battuta melewati Samudra dalam
perjalanannya ke dan dari Tiongkok. Diketahui juga bahwa Samudra
merupakan pelabuhan yang sangat penting, tempat kapal-kapal dagang
dari India dan Tiongkok. Ibn Battuta mendapati bahwa penguasa Samudra
adalah seorang pengikut Mahzab Syafi'i salah satu ajaran dalam Islam.
1350 -1389 - Puncak kejayaan Majapahit dibawah pimpinan raja Hayam
Wuruk dan patihnya Gajah Mada. Majapahit menguasai seluruh kepulauan
di asia tenggara bahkan jazirah Malaya sesuai dengan "Sumpah Palapa"
yang menyatakan bahwa Gajah Mada menginginkan Nusantara bersatu.
1478 Majapahit runtuh akibat serangan Demak. Kota ini berangsur-angsur
ditinggalkan penduduknya, tertimbun tanah, dan menjadi hutan jati.[3]
1570 - Pajajaran, ibukota Kerajaan Hindu terakhir di pulau Jawa
dihancurkan oleh Kesultanan Banten.
Kerajaan Hindu/Buddha
Kerajaan Hindu/Buddha di Kalimantan
Kerajaan Kutai
Kerajaan Negara Daha
Kerajaan Negara Dipa
Kerajaan Kuripan
Kerajaan Hindu/Buddha di Jawa
Kerajaan Salakanagara (150-362)
Kerajaan Tarumanegara (358-669)
Kerajaan Sunda Galuh (669-1482)
Kerajaan Kalingga
Kerajaan Mataram Hindu
Kerajaan Kadiri (1042 - 1222)
Kerajaan Singasari (1222-1292)
Kerajaan Majapahit (1292-1527)
Kerajaan Hindu/Buddha di Sumatra
Kerajaan Malayu Dharmasraya 1183–1347
Kerajaan Sriwijaya 600–1300
Referensi
1. ̂ Tamadun 1900 tahun di Merbuk, Oleh OPAT RATTANACHOT,
Utusan Malaysia 9 April 2010.
2. ̂ Herwig Zahorka, The Sunda Kingdoms of West Java From
Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor,
Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2007
3. ^ a b c d "Kronologi Kota Majapahit", Kompas, 5 Januari 2009
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Nusantara_pada_era_kerajaan_Hindu-
Buddha
Kerajaan Kutai
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Salah satu yupa dengan inskripsi, kini di Museum Nasional Republik Indonesia,
Jakarta
Kutai Martadipura adalah kerajaan bercorak Hindu di Nusantara yang memiliki
bukti sejarah tertua. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur,
tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai diberikan oleh para ahli
mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi
kerajaan tersebut. Tidak ada prasasti yang secara jelas menyebutkan nama
kerajaan ini dan memang sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh.
Sejarah
Yupa
Prasasti Kerajaan Kutai
Informasi yang ada diperoleh dari Yupa / prasasti dalam upacara pengorbanan
yang berasal dari abad ke-4. Ada tujuh buah yupa yang menjadi sumber utama
bagi para ahli dalam menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Dari salah satu
yupa tersebut diketahui bahwa raja yang memerintah kerajaan Kutai saat itu
adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam yupa karena kedermawanannya
menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
Mulawarman
Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kundungga. Nama
Mulawarman dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta
bila dilihat dari cara penulisannya. Kundungga adalah pembesar dari Kerajaan
Campa (Kamboja) yang datang ke Indonesia. Kundungga sendiri diduga belum
menganut agama Budha.
Aswawarman
Aswawarman mungkin adalah raja pertama Kerajaan Kutai yang bercorak Hindu.
Ia juga diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar
Wangsakerta, yang artinya pembentuk keluarga. Aswawarman memiliki 3 orang
putera, dan salah satunya adalah Mulawarman.
Putra Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa diketahui bahwa pada masa
pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah
kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai
hidup sejahtera dan makmur.
Kerajaan Kutai seakan-akan tak tampak lagi oleh dunia luar karena kurangnya
komunikasi dengan pihak asing, hingga sangat sedikit yang mendengar namanya.
Berakhir
Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia
tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran
Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura) berbeda
dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang ibukotanya pertama kali berada di Kutai
Lama (Tanjung Kute). Kutai Kartanegara inilah, di tahun 1365, yang disebutkan
dalam sastra Jawa Negarakertagama. Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi
kerajaan Islam yang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara.
Nama-Nama Raja Kutai
Peta Kecamatan Muara Kaman
1. Maharaja Kundungga, gelar anumerta Dewawarman
2. Maharaja Asmawarman (anak Kundungga)
3. Maharaja Mulawarman
4. Maharaja Marawijaya Warman
5. Maharaja Gajayana Warman
6. Maharaja Tungga Warman
7. Maharaja Jayanaga Warman
8. Maharaja Nalasinga Warman
9. Maharaja Nala Parana Tungga
10. Maharaja Gadingga Warman Dewa
11. Maharaja Indra Warman Dewa
12. Maharaja Sangga Warman Dewa
13. Maharaja Candrawarman
14. Maharaja Sri Langka Dewa
15. Maharaja Guna Parana Dewa
16. Maharaja Wijaya Warman
17. Maharaja Sri Aji Dewa
18. Maharaja Mulia Putera
19. Maharaja Nala Pandita
20. Maharaja Indra Paruta Dewa
21. Maharaja Dharma Setia
Lain-lain
Nama Maharaja Kundungga oleh para ahli sejarah ditafsirkan sebagai nama asli
orang Indonesia yang belum terpengaruh dengan nama budaya India.Sementara
putranya yang bernama Asmawarman diduga telah terpengaruh budaya Hindu.Hal
ini di dasarkan pada kenyataan bahwa kata Warman berasal dari bahasa
Sangsekerta.Kata itu biasanya digunakan untuk ahkiran nama-nama masyarakat
atau penduduk India bagian Selatan.
Pranala luar
Sumber juga dapat dilihat di situs web Royal Ark:
(Inggris)http://www.4dw.net/royalark/Indonesia/kutai2.htm
(Indonesia) Labok keturunan Kutai Martapura
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Kutai
Majapahit
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Kerajaan Majapahit)
Langsung ke: navigasi, cari
Untuk kegunaan lain dari Majapahit, lihat Majapahit (disambiguasi).
Majapahit
← 1293–1527 →
Surya Majapahit*
Peta wilayah kekuasaan Majapahit
berdasarkan Nagarakertagama; keakuratan
wilayah kekuasaan Majapahit menurut
penggambaran orang Jawa masih
diperdebatkan.[1]
Ibu kota
Majapahit,
Wilwatikta
(Trowulan)
BahasaJawa Kuno,
Sansekerta
Agama Hindu, Buddha
Pemerintahan Monarki
Raja
- 1295-1309Kertarajasa
Jayawardhana
- 1478-1498 Girindrawardhana
Sejarah
- Penobatan Raden
Wijaya10 November 1293
- Invasi Demak 1527
Mata uang
Koin emas dan perak,
kepeng (koin
perunggu yang
diimpor dari
Tiongkok)
*Surya Majapahit adalah lambang yang
umumnya dapat ditemui di reruntuhan
Majapahit, sehingga Surya Majapahit
mungkin merupakan simbol kerajaan
Majapahit
Majapahit adalah sebuah kerajaan di Indonesia yang pernah berdiri dari sekitar
tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya dan
mejadi Kemaharajaan raya yang menguasai wilayah yang luas pada masa
kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389.
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai
Nusantara dan dianggap sebagai salah satu dari negara terbesar dalam sejarah
Indonesia.[2] Kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra, Semenanjung Malaya,
Kalimantan, hingga Indonesia timur, meskipun wilayah kekuasaannya masih
diperdebatkan.[3]
[sunting] Historiografi
Hanya terdapat sedikit bukti fisik sisa-sisa Majapahit,[4] dan sejarahnya tidak jelas.[5] Sumber utama yang digunakan oleh para sejarawan adalah Pararaton ('Kitab
Raja-raja') dalam bahasa Kawi dan Nagarakretagama dalam bahasa Jawa Kuno.[6]
Pararaton terutama menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari) namun
juga memuat beberapa bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit.
Sementara itu, Nagarakertagama merupakan puisi Jawa Kuno yang ditulis pada
masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Setelah masa
itu, hal yang terjadi tidaklah jelas.[7] Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam
bahasa Jawa Kuno maupun catatan sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain.[7]
Keakuratan semua naskah berbahasa Jawa tersebut dipertentangkan. Tidak dapat
disangkal bahwa sumber-sumber itu memuat unsur non-historis dan mitos.
Beberapa sarjana seperti C.C. Berg menganggap semua naskah tersebut bukan
catatan masa lalu, tetapi memiliki arti supernatural dalam hal dapat mengetahui
masa depan.[8] Namun demikian, banyak pula sarjana yang beranggapan bahwa
garis besar sumber-sumber tersebut dapat diterima karena sejalan dengan catatan
sejarah dari Tiongkok, khususnya daftar penguasa dan keadaan kerajaan yang
tampak cukup pasti.[5]
[sunting] Sejarah
[sunting] Berdirinya Majapahit
Arca Harihara, dewa gabungan Siwa dan Wisnu sebagai penggambaran
Kertarajasa. Berlokasi semula di Candi Simping, Blitar, kini menjadi koleksi
Museum Nasional Republik Indonesia.
Sebelum berdirinya Majapahit, Singhasari telah menjadi kerajaan paling kuat di
Jawa. Hal ini menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di
Tiongkok. Ia mengirim utusan yang bernama Meng Chi[9] ke Singhasari yang
menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan Singhasari yang terakhir menolak
untuk membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan merusak
wajahnya dan memotong telinganya.[9][10] Kublai Khan marah dan lalu
memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293.
Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah membunuh Kertanagara. Atas saran
Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya,
menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri. Raden Wijaya kemudian
diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu
dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa "pahit" dari
buah tersebut. Ketika pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan
Mongol untuk bertempur melawan Jayakatwang. Raden Wijaya berbalik
menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang
kembali pasukannya secara kalang-kabut karena mereka berada di teritori asing.[11]
[12] Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka untuk menangkap angin
muson agar dapat pulang, atau mereka harus terpaksa menunggu enam bulan lagi
di pulau yang asing.
Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan Majapahit
adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika
tahun 1215 saka yang bertepatan dengan tanggal 10 November 1293. Ia
dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini
menghadapi masalah. Beberapa orang tepercaya Kertarajasa, termasuk
Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak melawannya, meskipun
pemberontakan tersebut tidak berhasil. Slamet Muljana menduga bahwa
mahapatih Halayudha lah yang melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua
orang tepercaya raja, agar ia dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan.
Namun setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti), Halayudha ditangkap dan
dipenjara, dan lalu dihukum mati.[12] Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309.
Anak dan penerus Wijaya, Jayanegara, Pararaton menyebutnya Kala Gemet, yang
berarti "penjahat lemah". Kira-kira pada suatu waktu dalam kurun pemerintahan
Jayanegara, seorang pendeta Italia, Odorico da Pordenone mengunjungi keraton
Majapahit di Jawa. Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh tabibnya, Tanca.
Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni seharusnya menggantikannya, akan tetapi
Rajapatni memilih mengundurkan diri dari istana dan menjadi bhiksuni. Rajapatni
menunjuk anak perempuannya Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk menjadi ratu
Majapahit. Pada tahun 1336, Tribhuwana menunjuk Gajah Mada sebagai
Mahapatih, pada saat pelantikannya Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa
yang menunjukkan rencananya untuk melebarkan kekuasaan Majapahit dan
membangun sebuah kemaharajaan. Selama kekuasaan Tribhuwana, kerajaan
Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di kepulauan Nusantara.
Tribhuwana berkuasa di Majapahit sampai kematian ibunya pada tahun 1350. Ia
diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk.
[sunting] Kejayaan Majapahit
Bidadari Majapahit yang anggun, ukiran emas apsara (bidadari surgawi) gaya
khas Majapahit menggambarkan dengan sempurna zaman kerajaan Majapahit
sebagai "zaman keemasan" di kepulauan nusantara.
Terakota wajah yang dipercaya sebagai potret Gajah Mada.
Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari tahun 1350
hingga 1389. Pada masanya Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan
bantuan mahapatihnya, Gajah Mada. Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364),
Majapahit menguasai lebih banyak wilayah.
Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan
Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi,
kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian kepulauan Filipina [13] .
Sumber ini menunjukkan batas terluas sekaligus puncak kejayaan Kemaharajaan
Majapahit.
Namun demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah
kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat
Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin
berupa monopoli oleh raja[14]. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa,
Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-
dutanya ke Tiongkok.[14][2]
Selain melancarkan serangan dan ekspedisi militer, Majapahit juga menempuh
jalan diplomasi dan menjalin persekutuan. Kemungkinan karena didorong alasan
politik, Hayam Wuruk berhasrat mempersunting Citraresmi (Pitaloka), putri
Kerajaan Sunda sebagai permaisurinya.[15] Pihak Sunda menganggap lamaran ini
sebagai perjanjian persekutuan. Pada 1357 rombongan raja Sunda beserta
keluarga dan pengawalnya bertolak ke Majapahit mengantarkan sang putri untuk
dinikahkan dengan Hayam Wuruk. Akan tetapi Gajah Mada melihat hal ini
sebagai peluang untuk memaksa kerajaan Sunda takluk di bawah Majapahit.
Pertarungan antara keluarga kerajaan Sunda dengan tentara Majapahit di lapangan
Bubat tidak terelakkan. Meski dengan gagah berani memberikan perlawanan,
keluarga kerajaan Sunda kewalahan dan akhirnya dikalahkan. Hampir seluruh
rombongan keluarga kerajaan Sunda dapat dibinasakan secara kejam.[16] Tradisi
menyebutkan bahwa sang putri yang kecewa, dengan hati remuk redam
melakukan "bela pati", bunuh diri untuk membela kehormatan negaranya.[17]
Kisah Pasunda Bubat menjadi tema utama dalam naskah Kidung Sunda yang
disusun pada zaman kemudian di Bali. Kisah ini disinggung dalam Pararaton
tetapi sama sekali tidak disebutkan dalam Nagarakretagama.
Kakawin Nagarakretagama yang disusun pada tahun 1365 menyebutkan budaya
keraton yang adiluhung, anggun, dan canggih, dengan cita rasa seni dan sastra
yang halus dan tinggi, serta sistem ritual keagamaan yang rumit. Sang pujangga
menggambarkan Majapahit sebagai pusat mandala raksasa yang membentang dari
Sumatera ke Papua, mencakup Semenanjung Malaya dan Maluku. Tradisi lokal di
berbagai daerah di Nusantara masih mencatat kisah legenda mengenai kekuasaan
Majapahit. Administrasi pemerintahan langsung oleh kerajaan Majapahit hanya
mencakup wilayah Jawa Timur dan Bali, di luar daerah itu hanya semacam
pemerintahan otonomi luas, pembayaran upeti berkala, dan pengakuan kedaulatan
Majapahit atas mereka. Akan tetapi segala pemberontakan atau tantangan bagi
ketuanan Majapahit atas daerah itu dapat mengundang reaksi keras.[18]
Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit
melancarkan serangan laut untuk menumpas pemberontakan di Palembang.[2]
Meskipun penguasa Majapahit memperluas kekuasaannya pada berbagai pulau
dan kadang-kadang menyerang kerajaan tetangga, perhatian utama Majapahit
nampaknya adalah mendapatkan porsi terbesar dan mengendalikan perdagangan
di kepulauan Nusantara. Pada saat inilah pedagang muslim dan penyebar agama
Islam mulai memasuki kawasan ini.
[sunting] Jatuhnya Majapahit
Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-
angsur melemah. Setelah wafatnya Hayam Wuruk pada tahun 1389, Majapahit
memasuki masa kemunduran akibat konflik perebutan takhta. Pewaris Hayam
Wuruk adalah putri mahkota Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya sendiri,
pangeran Wikramawardhana. Hayam Wuruk juga memiliki seorang putra dari
selirnya Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas takhta.[5] Perang saudara
yang disebut Perang Paregreg diperkirakan terjadi pada tahun 1405-1406, antara
Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Perang ini akhirnya dimenangi
Wikramawardhana, semetara Wirabhumi ditangkap dan kemudian dipancung.
Tampaknya perang saudara ini melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah
taklukannya di seberang.
Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut Dinasti
Ming yang dipimpin oleh laksamana Cheng Ho, seorang jenderal muslim China,
tiba di Jawa beberapa kali antara kurun waktu 1405 sampai 1433. Sejak tahun
1430 ekspedisi Cheng Ho ini telah menciptakan komunitas muslim China dan
Arab di beberapa kota pelabuhan pantai utara Jawa, seperti di Semarang, Demak,
Tuban, dan Ampel; maka Islam pun mulai memiliki pijakan di pantai utara Jawa.
Wikramawardhana memerintah hingga tahun 1426, dan diteruskan oleh putrinya,
Ratu Suhita, yang memerintah pada tahun 1426 sampai 1447. Ia adalah putri
kedua Wikramawardhana dari seorang selir yang juga putri kedua Wirabhumi.
Pada 1447, Suhita mangkat dan pemerintahan dilanjutkan oleh Kertawijaya, adik
laki-lakinya. Ia memerintah hingga tahun 1451. Setelah Kertawijaya wafat, Bhre
Pamotan menjadi raja dengan gelar Rajasawardhana dan memerintah di
Kahuripan. Ia wafat pada tahun 1453 AD. Terjadi jeda waktu tiga tahun tanpa raja
akibat krisis pewarisan takhta. Girisawardhana, putra Kertawijaya, naik takhta
pada 1456. Ia kemudian wafat pada 1466 dan digantikan oleh
Singhawikramawardhana. Pada 1468 pangeran Kertabhumi memberontak
terhadap Singhawikramawardhana dan mengangkat dirinya sebagai raja
Majapahit.[7].
Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah
mulai memasuki Nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15,
pengaruh Majapahit di seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan,
sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan
Malaka, mulai muncul di bagian barat Nusantara[19]. Di bagian barat kemaharajaan
yang mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi membendung kebangkitan
Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad ke-15 mulai menguasai Selat
Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke Sumatera. Sementara itu beberapa
jajahan dan daerah taklukan Majapahit di daerah lainnya di Nusantara, satu per
satu mulai melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.
Sebuah tampilan model kapal Majapahit di Museum Negara Malaysia, Kuala
Lumpur, Malaysia.
Singhawikramawardhana memindahkan ibu kota kerajaan lebih jauh ke
pedalaman di Daha (bekas ibu kota Kerajaan Kediri) dan terus memerintah disana
hingga digantikan oleh putranya Ranawijaya pada tahun 1474. Pada 1478
Ranawijaya mengalahkan Kertabhumi dan mempersatukan kembali Majapahit
menjadi satu kerajaan. Ranawijaya memerintah pada kurun waktu 1474 hingga
1519 dengan gelar Girindrawardhana. Meskipun demikian kekuatan Majapahit
telah melemah akibat konflik dinasti ini dan mulai bangkitnya kekuatan kerajaan-
kerajaan Islam di pantai utara Jawa.
Waktu berakhirnya Kemaharajaan Majapahit berkisar pada kurun waktu tahun
1478 (tahun 1400 saka, berakhirnya abad dianggap sebagai waktu lazim
pergantian dinasti dan berakhirnya suatu pemerintahan[20]) hingga tahun 1527.
Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi
sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya
Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478
Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun
demikian yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah
gugurnya Bhre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana [21] .
Menurut prasasti Jiyu dan Petak, Ranawijaya mengaku bahwa ia telah
mengalahkan Kertabhumi [21] dan memindahkan ibu kota ke Daha (Kediri).
Peristiwa ini memicu perang antara Daha dengan Kesultanan Demak, karena
penguasa Demak adalah keturunan Kertabhumi. Peperangan ini dimenangi Demak
pada tahun 1527.[22] Sejumlah besar abdi istana, seniman, pendeta, dan anggota
keluarga kerajaan mengungsi ke pulau Bali. Pengungsian ini kemungkinan besar
untuk menghindari pembalasan dan hukuman dari Demak akibat selama ini
mereka mendukung Ranawijaya melawan Kertabhumi.
Dengan jatuhnya Daha yang dihancurkan oleh Demak pada tahun 1527, kekuatan
kerajaan Islam pada awal abad ke-16 akhirnya mengalahkan sisa kerajaan
Majapahit[23]. Demak dibawah pemerintahan Raden (kemudian menjadi Sultan)
Patah (Fatah), diakui sebagai penerus kerajaan Majapahit. Menurut Babad Tanah
Jawi dan tradisi Demak, legitimasi Raden Patah karena ia adalah putra raja
Majapahit Brawijaya V dengan seorang putri China.
Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis (Tome Pires), dan Italia (Pigafetta)
mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari
tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan
Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M[21].
Demak memastikan posisinya sebagai kekuatan regional dan menjadi kerajaan
Islam pertama yang berdiri di tanah Jawa. Saat itu setelah keruntuhan Majapahit,
sisa kerajaan Hindu yang masih bertahan di Jawa hanya tinggal kerajaan
Blambangan di ujung timur, serta Kerajaan Sunda yang beribukota di Pajajaran di
bagian barat. Perlahan-lahan Islam mulai menyebar seiring mundurnya
masyarakat Hindu ke pegunungan dan ke Bali. Beberapa kantung masyarakat
Hindu Tengger hingga kini masih bertahan di pegunungan Tengger, kawasan
Bromo dan Semeru
Kebudayaan
Gapura Bajang Ratu, gerbang masuk salah satu kompleks bangunan penting di ibu
kota Majapahit. Bangunan ini masih tegak berdiri di Trowulan.
"Dari semua bangunan, tidak ada tiang yang luput dari ukiran halus dan warna
indah" [Dalam lingkungan dikelilingi tembok] "terdapat pendopo anggun beratap
serat aren, indah bagai pemandangan dalam lukisan... Kelopak bunga katangga
gugur tertiup angin dan bertaburan di atas atap. Atap itu bagaikan rambut gadis
yang berhiaskan bunga, menyenangkan hati siapa saja yang memandangnya".
— Gambaran ibu kota Majapahit kutipan dari Nagarakertagama.
Nagarakretagama menyebutkan budaya keraton yang adiluhung dan anggun,
dengan cita rasa seni dan sastra yang halus, serta sistem ritual keagamaan yang
rumit. Peristiwa utama dalam kalender tata negara digelar tiap hari pertama bulan
Caitra (Maret-April) ketika semua utusan dari semua wilayah taklukan Majapahit
datang ke istana untuk membayar upeti atau pajak. Kawasan Majapahit secara
sederhana terbagi dalam tiga jenis: keraton termasuk kawasan ibu kota dan
sekitarnya; wilayah-wilayah di Jawa Timur dan Bali yang secara langsung
dikepalai oleh pejabat yang ditunjuk langsung oleh raja; serta wilayah-wilayah
taklukan di kepulauan Nusantara yang menikmati otonomi luas.[24]
Ibu kota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar dan terkenal dengan
perayaan besar keagamaan yang diselenggarakan setiap tahun. Agama Buddha,
Siwa, dan Waisnawa (pemuja Wisnu) dipeluk oleh penduduk Majapahit, dan raja
dianggap sekaligus titisan Buddha, Siwa, maupun Wisnu. Nagarakertagama sama
sekali tidak menyinggung tentang Islam, akan tetapi sangat mungkin terdapat
beberapa pegawai atau abdi istana muslim saat itu.[2]
Walaupun batu bata telah digunakan dalam candi pada masa sebelumnya, arsitek
Majapahitlah yang paling ahli menggunakannya[25]. Candi-candi Majapahit
berkualitas baik secara geometris dengan memanfaatkan getah tumbuhan
merambat dan gula merah sebagai perekat batu bata. Contoh candi Majapahit
yang masih dapat ditemui sekarang adalah Candi Tikus dan Gapura Bajang Ratu
di Trowulan, Mojokerto.
".... Raja [Jawa] memiliki bawahan tujuh raja bermahkota. [Dan] pulaunya
berpenduduk banyak, merupakan pulau terbaik kedua yang pernah ada.... Raja
pulau ini memiliki istana yang luar biasa mengagumkan. Karena sangat besar,
tangga dan bagian dalam ruangannya berlapis emas dan perak, bahkan atapnya
pun bersepuh emas. Kini Khan Agung dari China beberapa kali berperang
melawan raja ini; akan tetapi selalu gagal dan raja ini selalu berhasil
mengalahkannya."
— Gambaran Majapahit menurut Mattiussi (Pendeta Odorico da Pordenone).[26]
Catatan yang berasal dari sumber Italia mengenai Jawa pada era Majapahit
didapatkan dari catatan perjalanan Mattiussi, seorang pendeta Ordo Fransiskan
dalam bukunya: "Perjalanan Pendeta Odorico da Pordenone". Ia mengunjungi
beberapa tempat di Nusantara: Sumatera, Jawa, dan Banjarmasin di Kalimantan.
Ia dikirim Paus untuk menjalankan misi Katolik di Asia Tengah. Pada 1318 ia
berangkat dari Padua, menyeberangi Laut Hitam dan menembus Persia, terus
hingga mencapai Kolkata, Madras, dan Srilanka. Lalu menuju kepulauan Nikobar
hingga mencapai Sumatera, lalu mengunjungi Jawa dan Banjarmasin. Ia kembali
ke Italia melalui jalan darat lewat Vietnam, China, terus mengikuti Jalur Sutra
menuju Eropa pada 1330.
Di buku ini ia menyebut kunjungannya di Jawa tanpa menjelaskan lebih rinci
nama tempat yang ia kunjungi. Disebutkan raja Jawa menguasai tujuh raja
bawahan. Disebutkan juga di pulau ini terdapat banyak cengkeh, kemukus, pala,
dan berbagai rempah-rempah lainnya. Ia menyebutkan istana raja Jawa sangat
mewah dan mengagumkan, penuh bersepuh emas dan perak. Ia juga menyebutkan
raja Mongol beberapa kali berusaha menyerang Jawa, tetapi selalu gagal dan
berhasil diusir kembali. Kerajaan Jawa yang disebutkan disini tak lain adalah
Majapahit yang dikunjungi pada suatu waktu dalam kurun 1318-1330 pada masa
pemerintahan Jayanegara.
Ekonomi
Celengan zaman Majapahit, abad 14-15 Masehi Trowulan, Jawa Timur. (Koleksi
Museum Gajah, Jakarta)
Majapahit merupakan negara agraris dan sekaligus negara perdagangan [14] . Pajak
dan denda dibayarkan dalam uang tunai. Ekonomi Jawa telah sebagian mengenal
mata uang sejak abad ke-8 pada masa kerajaan Medang yang menggunakan
butiran dan keping uang emas dan perak. Sekitar tahun 1300, pada masa
pemerintahan raja pertama Majapahit, sebuah perubahan moneter penting terjadi:
keping uang dalam negeri diganti dengan uang "kepeng" yaitu keping uang
tembaga impor dari China. Pada November 2008 sekitar 10.388 keping koin
China kuno seberat sekitar 40 kilogram digali dari halaman belakang seorang
penduduk di Sidoarjo. Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa
Timur memastikan bahwa koin tersebut berasal dari era Majapahit.[27] Alasan
penggunaan uang logam atau koin asing ini tidak disebutkan dalam catatan
sejarah, akan tetapi kebanyakan ahli menduga bahwa dengan semakin
kompleksnya ekonomi Jawa, maka diperlukan uang pecahan kecil atau uang receh
dalam sistem mata uang Majapahit agar dapat digunakan dalam aktivitas ekonomi
sehari-hari di pasar Majapahit. Peran ini tidak cocok dan tidak dapat dipenuhi oleh
uang emas dan perak yang mahal.[24]
Beberapa gambaran mengenai skala ekonomi dalam negeri Jawa saat itu
dikumpulkan dari berbagai data dan prasasti. Prasasti Canggu yang berangka
tahun 1358 menyebutkan sebanyak 78 titik perlintasan berupa tempat perahu
penyeberangan di dalam negeri (mandala Jawa).[24] Prasasti dari masa Majapahit
menyebutkan berbagai macam pekerjaan dan spesialisasi karier, mulai dari
pengrajin emas dan perak, hingga penjual minuman, dan jagal atau tukang daging.
Meskipun banyak di antara pekerjaan-pekerjaan ini sudah ada sejak zaman
sebelumnya, namun proporsi populasi yang mencari pendapatan dan bermata
pencarian di luar pertanian semakin meningkat pada era Majapahit.
Menurut catatan Wang Ta-yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa
pada saat itu ialah lada, garam, kain, dan burung kakak tua, sedangkan komoditas
impornya adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari
besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam, dan
tembaga [28] . Selain itu, catatan Odorico da Pordenone, biarawan Katolik Roma
dari Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana
raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata. [29]
Kemakmuran Majapahit diduga karena dua faktor. Faktor pertama; lembah sungai
Brantas dan Bengawan Solo di dataran rendah Jawa Timur utara sangat cocok
untuk pertanian padi. Pada masa jayanya Majapahit membangun berbagai
infrastruktur irigasi, sebagian dengan dukungan pemerintah. Faktor kedua;
pelabuhan-pelabuhan Majapahit di pantai utara Jawa mungkin sekali berperan
penting sebagai pelabuhan pangkalan untuk mendapatkan komoditas rempah-
rempah Maluku. Pajak yang dikenakan pada komoditas rempah-rempah yang
melewati Jawa merupakan sumber pemasukan penting bagi Majapahit.[24]
Nagarakretagama menyebutkan bahwa kemashuran penguasa Wilwatikta telah
menarik banyak pedagang asing, di antaranya pedagang dari India, Khmer, Siam,
dan China. Pajak khusus dikenakan pada orang asing terutama yang menetap
semi-permanen di Jawa dan melakukan pekerjaan selain perdagangan
internasional. Majapahit memiliki pejabat sendiri untuk mengurusi pedagang dari
India dan Tiongkok yang menetap di ibu kota kerajaan maupun berbagai tempat
lain di wilayah Majapahit di Jawa[30].
Struktur pemerintahan
Arca dewi Parwati sebagai perwujudan anumerta Tribhuwanottunggadewi, ratu
Majapahit ibunda Hayam Wuruk.
Majapahit memiliki struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur
pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, dan tampaknya struktur dan birokrasi
tersebut tidak banyak berubah selama perkembangan sejarahnya [31]. Raja
dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang otoritas politik
tertinggi.
Aparat birokrasi
Raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan pemerintahan,
dengan para putra dan kerabat dekat raja memiliki kedudukan tinggi. Perintah raja
biasanya diturunkan kepada pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:
Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja
Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang
melaksanakan pemerintahan
Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan
Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan
Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting
yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan
sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan
kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam dewan
pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang disebut
Bhattara Saptaprabhu.
Pembagian wilayah
Dalam pembentukannya, kerajaan Majapahit merupakan kelanjutan Singhasari [12] ,
terdiri atas beberapa kawasan tertentu di bagian timur dan bagian tengah Jawa.
Daerah ini diperintah oleh uparaja yang disebut Paduka Bhattara yang bergelar
Bhre. Gelar ini adalah gelar tertinggi bangsawan kerajaan. Biasanya posisi ini
hanyalah untuk kerabat dekat raja. Tugas mereka adalah untuk mengelola kerajaan
mereka, memungut pajak, dan mengirimkan upeti ke pusat, dan mengelola
pertahanan di perbatasan daerah yang mereka pimpin.
Selama masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350 s.d. 1389) ada 12 wilayah di
Majapahit, yang dikelola oleh kerabat dekat raja. Hierarki dalam pengklasifikasian
wilayah di kerajaan Majapahit dikenal sebagai berikut:
1. Bhumi : kerajaan, diperintah oleh Raja
2. Nagara: diperintah oleh rajya (gubernur), atau natha (tuan), atau
bhre (pangeran atau bangsawan)
3. Watek: dikelola oleh wiyasa,
4. Kuwu: dikelola oleh lurah,
5. Wanua: dikelola oleh thani,
6. Kabuyutan: dusun kecil atau tempat sakral.
No Provinsi Gelar Penguasa
Hubunga
n dengan
Raja
1
Kahuripan
(atau
Janggala,
sekarang
Surabaya)
Bhre
Kahuripan
Tribhuwanatunggadew
iibu suri
2
Daha (bekas
ibukota dari
Kediri)
Bhre Daha Rajadewi Maharajasa
bibi
sekaligus
ibu mertua
3
Tumapel
(bekas
ibukota dari
Singhasari)
Bhre
TumapelKertawardhana ayah
4
Wengker
(sekarang
Ponorogo)
Bhre
WengkerWijayarajasa
paman
sekaligus
ayah
mertua
5
Matahun
(sekarang
Bojonegoro)
Bhre
MatahunRajasawardhana
suami dari
Putri
Lasem,
sepupu
raja
6
Wirabhumi
(
Blambangan)
Bhre
Wirabhum
i
Bhre Wirabhumi1 anak
7 Paguhan Bhre Singhawardhana saudara
Paguhanlaki-laki
ipar
8 KabalanBhre
KabalanKusumawardhani2
anak
perempuan
9 PawanuanBhre
PawanuanSurawardhani
keponakan
perempuan
10
Lasem (kota
pesisir di
Jawa Tengah)
Bhre
LasemRajasaduhita Indudewi sepupu
11
Pajang
(sekarang
Surakarta)
Bhre
PajangRajasaduhita Iswari
saudara
perempuan
12
Mataram
(sekarang
Yogyakarta)
Bhre
MataramWikramawardhana2
keponakan
laku-laki
Catatan:1 Bhre Wirabhumi sebenarnya adalah gelar: Pangeran Wirabhumi
(blambangan), nama aslinya tidak diketahui dan sering disebut
sebagai Bhre Wirabhumi dari Pararaton. Dia menikah dengan
Nagawardhani, keponakan perempuan raja.2 Kusumawardhani (putri raja) menikah dengan
Wikramawardhana (keponakan laki-laki raja), pasangan ini lalu
menjadi pewaris tahta.
Sedangkan dalam Prasasti Wingun Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan
Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang
bergelar Bhre.[32] Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu:
Daha
Jagara
ga
Kabala
Kahuripan
Keling
Kelinggap
ura
Kemba
ng
Jenar
Matahu
Singhapu
ra
Tanjungp
ura
Wengke
r
Wirabu
mi
n n
Pajang
Tumapel
Saat Majapahit memasuki era kemaharajaan Thalasokrasi saat pemerintahan
Gajah Mada, beberapa negara bagian di luar negeri juga termasuk dalam lingkaran
pengaruh Majapahit, sebagai hasilnya, konsep teritorial yang lebih besar pun
terbentuk:
Negara Agung, atau Negara Utama, inti kerajaan. Area awal Majapahit
atau Majapahit Lama selama masa pembentukannya sebelum memasuki
era kemaharajaan. Yang termasuk area ini adalah ibukota kerajaan dan
wilayah sekitarnya dimana raja secara efektif menjalankan
pemerintahannya. Area ini meliputi setengah bagian timur Jawa, dengan
semua provinsinya yang dikelola oleh para Bhre (bangsawan), yang
merupakan kerabat dekat raja.
Mancanegara, area yang melingkupi Negara Agung. Area ini secara
langsung dipengaruhi oleh budaya Jawa, dan wajib membayar upeti
tahunan. Akan tetapi, area-area tersebut biasanya memiliki penguasa atau
raja pribumi, yang kemungkinan membentuk aliansi atau menikah dengan
keluarga kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit menempatkan birokrat
dan pegawainya di tempat-tempat ini dan mengatur kegiatan perdagangan
luar negeri mereka dan mengumpulkan pajak, namun mereka menikmati
otonomi internal yang cukup penting. Termasuk didalamnya daerah Pulau
Jawa lainnya, Madura, Bali, dan juga Dharmasraya, Pagaruyung,
Lampung dan Palembang di Sumatra.
Nusantara, adalah area yang tidak merefleksikan kebudayaan Jawa, tetapi
termasuk ke dalam koloni dan mereka harus membayar upeti tahunan.
Mereka menikmati otonomi yang cukup dan kebebasan internal, dan
Majapahit tidak merasa penting untuk menempatkan birokratnya atau
tentara militernya di sini; akan tetapi, tantangan apa pun yang terlihat
mengancam Majapahit akan menghasilkan reaksi keras. Termasuk dalam
area ini adalah kerajaan kecil dan koloni di Maluku, Kepulauan Nusa
Tenggara, Sulawesi, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya.
Ketiga kategori itu masuk ke dalam lingkaran pengaruh Kerajaan Majapahit. Akan
tetapi Majapahit juga mengenal lingkup keempat yang didefinisikan sebagai
hubungan diplomatik luar negeri:
Mitreka Satata, yang secara harafiah berarti "mitra dengan tatanan
(aturan) yang sama". Hal itu menunjukkan negara independen luar negeri
yang dianggap setara oleh Majapahit, bukan sebagai bawahan dalam
kekuatan Majapahit. Menurut Negarakertagama pupuh 15, bangsa asing
adalah Syangkayodhyapura (Ayutthaya dari Thailand), Dharmmanagari
(Kerajaan Nakhon Si Thammarat), Marutma, Rajapura dan Sinhanagari
(kerajaan di Myanmar), Kerajaan Champa, Kamboja (Kamboja), dan
Yawana (Annam).[33] Mitreka Satata dapat dianggap sebagai aliansi
Majapahit, karena kerajaan asing di luar negeri seperti China dan India
tidak termasuk dalam kategori ini meskipun Majapahit telah melakukan
hubungan luar negeri dengan kedua bangsa ini.
Raja-raja Majapahit
Silsilah wangsa Rajasa, keluarga penguasa Singhasari dan Majapahit. Penguasa
ditandai dalam gambar ini.[34]
Para penguasa Majapahit adalah penerus dari keluarga kerajaan Singhasari, yang
dirintis oleh Sri Ranggah Rajasa, pendiri Wangsa Rajasa pada akhir abad ke-13.
Berikut adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode
kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan
Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan
keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok[7].
Nama Raja Gelar Tahun
Raden Wijaya Kertarajasa Jayawardhana 1293 - 1309
Kalagamet Sri Jayanagara 1309 - 1328
Sri Gitarja Tribhuwana
Wijayatunggadewi
1328 - 1350
Hayam Wuruk Sri Rajasanagara 1350 - 1389
Wikramawardhana 1389 - 1429
Suhita 1429 - 1447
Kertawijaya Brawijaya I 1447 - 1451
Rajasawardhana Brawijaya II 1451 - 1453
Purwawisesa atau
Girishawardhana
Brawijaya III 1456 - 1466
Bhre Pandansalas, atau
Suraprabhawa
Brawijaya IV 1466 - 1468
Bhre Kertabumi Brawijaya V 1468 - 1478
Girindrawardhana Brawijaya VI 1478 - 1498
Hudhara Brawijaya VII 1498-
1518 [35]
Warisan sejarah
Arca pertapa Hindu dari masa Majapahit akhir. Koleksi Museum für Indische
Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.
Majapahit telah menjadi sumber inspirasi kejayaan masa lalu bagi bangsa-bangsa
Nusantara pada abad-abad berikutnya.
Legitimasi politik
Kesultanan-kesultanan Islam Demak, Pajang, dan Mataram berusaha
mendapatkan legitimasi atas kekuasaan mereka melalui hubungan ke Majapahit.
Demak menyatakan legitimasi keturunannya melalui Kertabhumi; pendirinya,
Raden Patah, menurut babad-babad keraton Demak dinyatakan sebagai anak
Kertabhumi dan seorang Putri Cina, yang dikirim ke luar istana sebelum ia
melahirkan. Penaklukan Mataram atas Wirasaba tahun 1615 yang dipimpin
langsung oleh Sultan Agung sendiri memiliki arti penting karena merupakan
lokasi ibukota Majapahit. Keraton-keraton Jawa Tengah memiliki tradisi dan
silsilah yang berusaha membuktikan hubungan para rajanya dengan keluarga
kerajaan Majapahit — sering kali dalam bentuk makam leluhur, yang di Jawa
merupakan bukti penting — dan legitimasi dianggap meningkat melalui hubungan
tersebut. Bali secara khusus mendapat pengaruh besar dari Majapahit, dan
masyarakat Bali menganggap diri mereka penerus sejati kebudayaan Majapahit.[25]
Para penggerak nasionalisme Indonesia modern, termasuk mereka yang terlibat
Gerakan Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20, telah merujuk pada
Majapahit, disamping Sriwijaya, sebagai contoh gemilang masa lalu Indonesia.
Majapahit kadang dijadikan acuan batas politik negara Republik Indonesia saat
ini.[14] Dalam propaganda yang dijalankan tahun 1920-an, Partai Komunis
Indonesia menyampaikan visinya tentang masyarakat tanpa kelas sebagai
penjelmaan kembali dari Majapahit yang diromantiskan.[36]Sukarno juga
mengangkat Majapahit untuk kepentingan persatuan bangsa, sedangkan Orde
Baru menggunakannya untuk kepentingan perluasan dan konsolidasi kekuasaan
negara.[37] Sebagaimana Majapahit, negara Indonesia modern meliputi wilayah
yang luas dan secara politik berpusat di pulau Jawa.
Beberapa simbol dan atribut kenegaraan Indonesia berasal dari elemen-elemen
Majapahit. Bendera kebangsaan Indonesia "Sang Merah Putih" atau kadang
disebut "Dwiwarna" ("dua warna"), berasal dari warna Panji Kerajaan Majapahit.
Demikian pula bendera armada kapal perang TNI Angkatan Laut berupa garis-
garis merah dan putih juga berasal dari warna Majapahit. Semboyan nasional
Indonesia, "Bhinneka Tunggal Ika", dikutip dari "Kakawin Sutasoma" yang ditulis
oleh Mpu Tantular, seorang pujangga Majapahit.
Arsitektur
Sepasang patung penjaga gerbang abad ke-14 dari kuil Majapahit di Jawa Timur
(Museum of Asian Art, San Francisco)
Majapahit memiliki pengaruh yang nyata dan berkelanjutan dalam bidang
arsitektur di Indonesia. Penggambaran bentuk paviliun (pendopo) berbagai
bangunan di ibukota Majapahit dalam kitab Negarakretagama telah menjadi
inspirasi bagi arsitektur berbagai bangunan keraton di Jawa serta Pura dan
kompleks perumahan masyarakat di Bali masa kini.
Persenjataan
Pada zaman Majapahit terjadi perkembangan, pelestarian, dan penyebaran teknik
pembuatan keris berikut fungsi sosial dan ritualnya. Teknik pembuatan keris
mengalami penghalusan dan pemilihan bahan menjadi semakin selektif. Keris pra-
Majapahit dikenal berat namun semenjak masa ini dan seterusnya, bilah keris
yang ringan tetapi kuat menjadi petunjuk kualitas sebuah keris. Penggunaan keris
sebagai tanda kebesaran kalangan aristokrat juga berkembang pada masa ini dan
meluas ke berbagai penjuru Nusantara, terutama di bagian barat.
Selain keris, berkembang pula teknik pembuatan dan penggunaan tombak.
Kesenian modern
Kebesaran kerajaan ini dan berbagai intrik politik yang terjadi pada masa itu
menjadi sumber inspirasi tidak henti-hentinya bagi para seniman masa selanjutnya
untuk menuangkan kreasinya, terutama di Indonesia. Berikut adalah daftar
beberapa karya seni yang berkaitan dengan masa tersebut.
Puisi lama
Serat Darmagandhul, sebuah kitab yang tidak jelas penulisnya karena
menggunakan nama pena Ki Kalamwadi, namun diperkirakan dari masa
Kasunanan Surakarta. Kitab ini berkisah tentang hal-hal yang berkaitan
dengan perubahan keyakinan orang Majapahit dari agama sinkretis "Buda"
ke Islam dan sejumlah ibadah yang perlu dilakukan sebagai umat Islam.
Komik dan strip komik
Serial "Mahesa Rani" karya Teguh Santosa yang dimuat di Majalah Hai,
mengambil latar belakang pada masa keruntuhan Singhasari hingga awal-
awal karier Mada (Gajah Mada), adik seperguruan Lubdhaka, seorang
rekan Mahesa Rani.
Komik /Cerita bergambar Imperium Majapahit, karya Jan Mintaraga.
Komik Majapahit karya R.A. Kosasih
Strip komik "Panji Koming" karya Dwi Koendoro yang dimuat di surat
kabar "Kompas" edisi Minggu, menceritakan kisah sehari-hari seorang
warga Majapahit bernama Panji Koming.
Roman/novel sejarah
Sandyakalaning Majapahit (1933), roman sejarah dengan setting masa
keruntuhan Majapahit, karya Sanusi Pane.
Kemelut Di Majapahit, roman sejarah dengan setting masa kejayaan
Majapahit, karya Asmaraman S. Kho Ping Hoo.
Zaman Gemilang (1938/1950/2000), roman sejarah yang menceritakan
akhir masa Singasari, masa Majapahit, dan berakhir pada intrik seputar
terbunuhnya Jayanegara, karya Matu Mona/Hasbullah Parinduri.
Senopati Pamungkas (1986/2003), cerita silat dengan setting runtuhnya
Singhasari dan awal berdirinya Majapahit hingga pemerintahan
Jayanagara, karya Arswendo Atmowiloto.
Dyah Pitaloka - Senja di Langit Majapahit (2005), roman karya
Hermawan Aksan tentang Dyah Pitaloka Citraresmi, putri dari Kerajaan
Sunda yang gugur dalam Peristiwa Bubat.
Gajah Mada (2005), sebuah roman sejarah berseri yang mengisahkan
kehidupan Gajah Mada dengan ambisinya menguasai Nusantara, karya
Langit Kresna Hariadi.
Film/Sinetron
Tutur Tinular , suatu adaptasi film karya S. Tidjab dari serial sandiwara
radio. Kisah ini berlatar belakang Singhasari pada pemerintahan
Kertanegara hingga Majapahit pada pemerintahan Jayanagara.
Saur Sepuh , suatu adaptasi film karya Niki Kosasih dari serial sandiwara
radio yang populer pada awal 1990-an. Film ini sebetulnya lebih berfokus
pada sejarah Pajajaran namun berkait dengan Majapahit pula.
Walisongo , sinetron Ramadhan tahun 2003 yang berlatar Majapahit di
masa Brawijaya V hingga Kesultanan Demak di zaman Sultan Trenggana.
Puteri Gunung Ledang , sebuah film Malaysia tahun 2004, mengangkat
cerita berdasarkan legenda Melayu terkenal, Puteri Gunung Ledang. Film
ini menceritakan kisah percintaan Gusti Putri Retno Dumilah, seorang
putri Majapahit, dengan Hang Tuah, seorang perwira Kesultanan Malaka.
Referensi
1. ̂ D.G.E. Hall (1956). "Problems of Indonesian Historiography". Pacific
Affairs 38 (3/4): 353—359.
2. ^ a b c d Ricklefs (1991), halaman 19
3. ̂ Prapantja, Rakawi, trans. by Theodore Gauthier Pigeaud, Java in the
14th Century, A Study in Cultural History: The Negara-Kertagama by
Pakawi Parakanca of Majapahit, 1365 AD (The Hague, Martinus Nijhoff,
1962), vol. 4, p. 29. 34; G.J. Resink, Indonesia’s History Between the
Myths: Essays in Legal History and Historical Theory (The Hague: W.
van Hoeve, 1968), hal. 21.
4. ̂ Taylor, Jean Gelman (20 Maret 2011). Indonesia: Peoples and
Histories. New Haven and London: Yale University Press. hlm. pp.29.
ISBN 0-300-10518-5.
5. ^ a b c Ricklefs (1991), page 18
6. ̂ Johns, A.H. (1964). "The Role of Structural Organisation and Myth in
Javanese Historiography". The Journal of Asian Studies 24 (1): 91–99.
http://links.jstor.org/sici?sici=0021-
9118%28196411%2924%3A1%3C91%3ATROSOA%3E2.0.CO%3B2-Z.
7. ^ a b c d M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Edisi ke-3.
Diterjemahkan oleh S. Wahono dkk. Jakarta: Serambi, 2005, hal. 55.
8. ̂ C. C. Berg. Het rijk van de vijfvoudige Buddha (Verhandelingen der
Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen, Afd.
Letterkunde, vol. 69, no. 1) Ansterdam: N.V. Noord-Hollandsche
Uitgevers Maatschappij, 1962; cited in M.C. Ricklefs, A History of
Modern Indonesia Since c. 1300, 2nd ed. Stanford: Stanford University
Press, 1993, pages 18 and 311
9. ^ a b Setiono, Benny. "Kehancuran dan Kebangkitan Martabat/ Jati Diri
Etnis Tionghoa Di Indonesia (bagian 1)".
http://www.indonesiamedia.com/lipsus/lipsus-2003-
martabattionghoa2.htm. Diakses pada 16 Juni 2011.
10. ̂ David Bor - Khubilai khan and Beautiful princesses of Tumapel 2006
11. ̂ Groeneveldt, W.P. Historical Notes on Indonesia and Malaya:
Compiled from Chinese Sources. Djakarta: Bhratara, 1960.
12. ^ a b c Slamet Muljana. Menuju Puncak Kemegahan (LKIS, 2005)
13. ̂ Poesponegoro, M.D., Notosusanto, N. (editor utama). Sejarah Nasional
Indonesia. Edisi ke-4. Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka, 1990, hal. 436.
14. ^ a b c d Ricklefs (1991), halaman 56
15. ̂ Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian
Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet.
hlm. 279. ISBN 9814155675.
16. ̂ Drs. R. Soekmono, (1973, 5th reprint edition in 1988). Pengantar
Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed.. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
hlm. 72.
17. ̂ Y. Achadiati S, Soeroso M.P., (1988). Sejarah Peradaban Manusia:
Zaman Majapahit.. Jakarta: PT Gita Karya. hlm. 13.
18. ̂ Millet, Didier (1 Agustus 2003). John Miksic. ed. Indonesian Heritage
Series: Ancient History. Singapore 169641: Archipelago Press. hlm. 106.
ISBN 981-3018-26-7.
19. ̂ Ricklefs (2005), hal. 57.
20. ̂ Ricklefs, 37 and 100
21. ^ a b c Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 448-451.
22. ̂ Ricklefs, 36-37
23. ̂ Robert W. Hefner (1983). "Ritual and Cultural Reproduction in Non-
Islamic Java". American Ethnologist 10 (1983): 665--683.
doi:10.1525/ae.1983.10.4.02a00030. http://www.jstor.org/stable/644055.
Diakses pada 23 Oktober 2008.
24. ^ a b c d Millet, Didier (1 Agustus 2003). John Miksic. ed. Indonesian
Heritage Series: Ancient History. Singapore 169641: Archipelago Press.
hlm. 107. ISBN 981-3018-26-7.
25. ^ a b Schoppert, P., Damais, S. (20 Maret 1997). Di dalam Didier Millet
(editor):. ed. Java Style. Paris: Periplus Editions. hlm. 33–34. ISBN 962-
593-232-1.
26. ̂ "Ritual Networks and Royal Power in Majapahit Java, page:100".
Persee. 20 Maret 1996.
http://www.persee.fr/web/revues/home/prescript/article/arch_0044-
8613_1996_num_52_1_3357. Diakses pada 14 Juli 2010.
27. ̂ "Uang Kuno Temuan Rohimin Peninggalan Majapahit". 1 November
2008.
http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/24/17571290/uang.kuno.temua
n.rohimin.peninggalan.majapahit..
28. ̂ Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 434-435.
29. ̂ Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 431-432.
30. ̂ Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 220.
31. ̂ Poesponegoro & Notosusanto (1990), hal. 451-456.
32. ̂ Nastiti, Titi Surti. Prasasti Majapahit, dalam situs www.Majapahit-
Kingdom.com dari Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala. Jumat, 22
Juni 2007.
33. ̂ MAJAPAHIT : KERAJAAN AGRARIS - MARITIM DI
NUSANTARA page 8
34. ̂ Bullough, Nigel (20 Maret 1995). Historic East Java: Remains in Stone.
Jakarta: ADLine Communications. hlm. 116–117.
35. ̂ Februana, Ngarto (2007). "Sepak Terjang Para Pendekar". Tempo.
http://www.ruangbaca.com/ruangbaca/?
doky=MjAwNw==&dokm=MTE=&dokd=Mjc=&dig=YXJjaGl2ZXM=&
on=Q1JT&uniq=NTg5. Diakses pada 16 Juni 2011.
36. ̂ Ricklefs, hal. 363
37. ̂ Friend, Theodore. Indonesian Destinies. Cambridge, Massachusetts and
London: Belknap Press, Harvard University Press. hlm. p.19. ISBN 0-674-
01137-6.
Lihat pula
Kakawin Nagarakretagama
Pararaton
Kidung Sunda
Kerajaan Singhasari
Sejarah Nusantara
Gajah Mada
Pranala luar
(Inggris) Memories of Majapahit - memuat sejarah dan keterangan situs-
situs peninggalan Majapahit.
(Indonesia) Diskusi tentang Perseteruan Ming dan Majapahit
(Indonesia) Terjemahan Naskah Asli Kitab Negarakretagama Karya Mpu
Prapanca - Dari blog The History Note
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Majapahit
Kerajaan Medang
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Artikel ini sudah memiliki daftar catatan kaki, bacaan terkait atau pranala
luar, tapi sumbernya masih belum jelas karena tak memiliki kutipan
pada kalimat. Mohon tingkatkan kualitas artikel ini dengan memasukkan
rujukan yang lebih mendetil bila perlu.
Artikel ini membahas tentang kerajaan Mataram Kuno atau Mataram Hindu.
Untuk kerajaan Islam, lihat Kesultanan Mataram.
Mdaη
←
←
752–1045 →
Kerajaan Medang pada Periode Jawa Tengah
dan Jawa Timur
Ibu kota
Jawa Tengah: Mdaη
i Bumi Mataram
(lokasi tepat tidak
diketahui,
diperkirakan di
sekitar Yogyakarta
dan Prambanan),
kemudian pindah ke
Poh Pitu dan Mamrati
Jawa Timur: Mdaη i
Tamwlang dan Mdaη
i Watugaluh (dekat
Jombang), kemudian
pindah ke Mdaη i
Wwatan (dekat
Madiun)
Bahasa Jawa Kuna, Sanskerta
AgamaKejawen, Hindu,
Buddha, Animisme
Pemerintahan Monarki
Raja
- 732—760 Sri Sanjaya
- 985—1006Dharmawangsa
Teguh
Sejarah
- Sri Sanjaya
mendirikan Wangsa
Sanjaya (Prasasti
Canggal)
752
- Kekalahan
Dharmawangsa dari
Wurawari dan
Sriwijaya
1045
Mata uangMasa dan Tahil (koin
emas dan perak lokal)
Kerajaan Medang (atau sering juga disebut Kerajaan Mataram Kuno atau
Kerajaan Mataram Hindu) adalah nama sebuah kerajaan yang berdiri di Jawa
Tengah pada abad ke-8, kemudian berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10.
Para raja kerajaan ini banyak meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti
yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta membangun banyak candi
baik yang bercorak Hindu maupun Buddha. Kerajaan Medang akhirnya runtuh
pada awal abad ke-11.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Nama
2 Pusat Kerajaan Medang
3 Awal berdirinya kerajaan
4 Dinasti yang berkuasa
5 Daftar raja-raja Medang
6 Struktur pemerintahan
7 Keadaan penduduk
8 Konflik takhta periode Jawa Tengah
9 Teori van Bammelen
10 Permusuhan dengan Sriwijaya
11 Peristiwa Mahapralaya
12 Peninggalan sejarah
13 Kepustakaan
14 Lihat pula
[sunting] Nama
Pada umumnya, istilah Kerajaan Medang hanya lazim dipakai untuk menyebut
periode Jawa Timur saja, padahal berdasarkan prasasti-prasasti yang telah
ditemukan, nama Medang sudah dikenal sejak periode sebelumnya, yaitu periode
Jawa Tengah.
Sementara itu, nama yang lazim dipakai untuk menyebut Kerajaan Medang
periode Jawa Tengah adalah Kerajaan Mataram, yaitu merujuk kepada salah
daerah ibu kota kerajaan ini. Kadang untuk membedakannya dengan Kerajaan
Mataram Islam yang berdiri pada abad ke-16, Kerajaan Medang periode Jawa
Tengah biasa pula disebut dengan nama Kerajaan Mataram Kuno atau
Kerajaan Mataram Hindu.
[sunting] Pusat Kerajaan Medang
Letak Mataram Kuno periode Jawa Tengah.
Pusat Kerajaan Medang periode Jawa Timur.
Bhumi Mataram adalah sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di daerah
inilah untuk pertama kalinya istana Kerajaan Medang diperkirakan berdiri (Rajya
Medang i Bhumi Mataram). Nama ini ditemukan dalam beberapa prasasti,
misalnya prasasti Minto dan prasasti Anjuk ladang. Istilah Mataram kemudian
lazim dipakai untuk menyebut nama kerajaan secara keseluruhan, meskipun tidak
selamanya kerajaan ini berpusat di sana.
Sesungguhnya, pusat Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali
perpindahan, bahkan sampai ke daerah Jawa Timur sekarang. Beberapa daerah
yang pernah menjadi lokasi istana Medang berdasarkan prasasti-prasasti yang
sudah ditemukan antara lain,
Medang i Bhumi Mataram (zaman Sanjaya)
Medang i Mamrati (zaman Rakai Pikatan)
Medang i Poh Pitu (zaman Dyah Balitung)
Medang i Bhumi Mataram (zaman Dyah Wawa)
Medang i Tamwlang (zaman Mpu Sindok)
Medang i Watugaluh (zaman Mpu Sindok)
Medang i Wwatan (zaman Dharmawangsa Teguh)
Menurut perkiraan, Mataram terletak di daerah Yogyakarta sekarang. Mamrati
dan Poh Pitu diperkirakan terletak di daerah Kedu. Sementara itu, Tamwlang
sekarang disebut dengan nama Tembelang, sedangkan Watugaluh sekarang
disebut Megaluh. Keduanya terletak di daerah Jombang. Istana terakhir, yaitu
Wwatan, sekarang disebut dengan nama Wotan, yang terletak di daerah Madiun.
[sunting] Awal berdirinya kerajaan
Prasasti Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitung menyebutkan dengan jelas
bahwa raja pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh
Pitu) adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.
Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732, namun tidak menyebut
dengan jelas apa nama kerajaannya. Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang
memerintah pulau Jawa sebelum dirinya, bernama Sanna. Sepeninggal Sanna,
negara menjadi kacau. Sanjaya kemudian tampil menjadi raja, atas dukungan
ibunya, yaitu Sannaha saudara perempuan Sanna.
Sanna juga dikenal dengan nama sena atau Bratasenawa, yang merupakan raja
Kerajaan Galuh yang ketiga (709 - 716 M).Bratasenawa alias Sanna atau Sena
digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora (saudara satu ibu sanna) dalam tahun
716 M.Sena akhirnya melarikan diri ke Pakuan, meminta perlindungan pada Raja
Tarusbawa. Tarusbawa yang merupakan raja pertama Kerajaan Sunda (setelah
tarumanegara pecah menjadi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh) adalah sahabat
baik sanna. Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil
Sanjaya menjadi menantunya. Sanjaya, anak Sannaha saudara perempuan Sanna,
berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora. Untuk itu ia meminta
bantuan Tarusbawa (mertuanya yangg merupakan sahabat sanna). Hasratnya
dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya.
Akhirnya Sanjaya menjadi penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh dan
Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat). Dalam tahun 732 M Sanjaya
mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan
kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya,
Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan
Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi
Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.
Kisah hidup Sanjaya secara panjang lebar terdapat dalam Carita Parahyangan
yang baru ditulis ratusan tahun setelah kematiannya, yaitu sekitar abad ke-16.
[sunting] Dinasti yang berkuasa
Bukti terawal sistem mata uang di Jawa. Emas atau keping tahil Jawa, sekitar
abad ke-9.
Pada umumnya para sejarawan menyebut ada tiga dinasti yang pernah berkuasa di
Kerajaan Medang, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra pada periode
Jawa Tengah, serta Wangsa Isyana pada periode Jawa Timur.
Istilah Wangsa Sanjaya merujuk pada nama raja pertama Medang, yaitu Sanjaya.
Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa. Menurut teori van Naerssen, pada
masa pemerintahan Rakai Panangkaran (pengganti Sanjaya sekitar tahun 770-an),
kekuasaan atas Medang direbut oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha
Mahayana.
Mulai saat itu Wangsa Sailendra berkuasa di Pulau Jawa, bahkan berhasil pula
menguasai Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatra. Sampai akhirnya, sekitar tahun
840-an, seorang keturunan Sanjaya bernama Rakai Pikatan berhasil menikahi
Pramodawardhani putri mahkota Wangsa Sailendra. Berkat perkawinan itu ia bisa
menjadi raja Medang, dan memindahkan istananya ke Mamrati. Peristiwa tersebut
dianggap sebagai awal kebangkitan kembali Wangsa Sanjaya.
Menurut teori Bosch, nama raja-raja Medang dalam Prasasti Mantyasih dianggap
sebagai anggota Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Sementara itu Slamet
Muljana berpendapat bahwa daftar tersebut adalah daftar raja-raja yang pernah
berkuasa di Medang, dan bukan daftar silsilah keturunan Sanjaya.
Contoh yang diajukan Slamet Muljana adalah Rakai Panangkaran yang
diyakininya bukan putra Sanjaya. Alasannya ialah, prasasti Kalasan tahun 778
memuji Rakai Panangkaran sebagai “permata wangsa Sailendra”
(Sailendrawangsatilaka). Dengan demikian pendapat ini menolak teori van
Naerssen tentang kekalahan Rakai Panangkaran oleh seorang raja Sailendra.
Menurut teori Slamet Muljana, raja-raja Medang versi Prasasti Mantyasih mulai
dari Rakai Panangkaran sampai dengan Rakai Garung adalah anggota Wangsa
Sailendra. Sedangkan kebangkitan Wangsa Sanjaya baru dimulai sejak Rakai
Pikatan naik takhta menggantikan Rakai Garung.
Istilah Rakai pada zaman Medang identik dengan Bhre pada zaman Majapahit,
yang bermakna “penguasa di”. Jadi, gelar Rakai Panangkaran sama artinya
dengan “Penguasa di Panangkaran”. Nama aslinya ditemukan dalam prasasti
Kalasan, yaitu Dyah Pancapana.
Slamet Muljana kemudian mengidentifikasi Rakai Panunggalan sampai Rakai
Garung dengan nama-nama raja Wangsa Sailendra yang telah diketahui, misalnya
Dharanindra ataupun Samaratungga. yang selama ini cenderung dianggap bukan
bagian dari daftar para raja versi Prasasti Mantyasih.
Sementara itu, dinasti ketiga yang berkuasa di Medang adalah Wangsa Isana yang
baru muncul pada ‘’periode Jawa Timur’’. Dinasti ini didirikan oleh Mpu Sindok
yang membangun istana baru di Tamwlang sekitar tahun 929. Dalam prasasti-
prasastinya, Mpu Sindok menyebut dengan tegas bahwa kerajaannya adalah
kelanjutan dari Kadatwan Rahyangta i Medang i Bhumi Mataram.
[sunting] Daftar raja-raja Medang
Apabila teori Slamet Muljana benar, maka daftar raja-raja Medang sejak masih
berpusat di Bhumi Mataram sampai berakhir di Wwatan dapat disusun secara
lengkap sebagai berikut:
Candi Prambanan dari abad ke-9, terletak di Prambanan, Yogyakarta, dibangun
antara masa pemerintahan Rakai Pikatan dan Dyah Balitung.
1. Sanjaya , pendiri Kerajaan Medang
2. Rakai Panangkaran , awal berkuasanya Wangsa Syailendra
3. Rakai Panunggalan alias Dharanindra
4. Rakai Warak alias Samaragrawira
5. Rakai Garung alias Samaratungga
6. Rakai Pikatan suami Pramodawardhani, awal kebangkitan Wangsa
Sanjaya
7. Rakai Kayuwangi alias Dyah Lokapala
8. Rakai Watuhumalang
9. Rakai Watukura Dyah Balitung
10. Mpu Daksa
11. Rakai Layang Dyah Tulodong
12. Rakai Sumba Dyah Wawa
13. Mpu Sindok , awal periode Jawa Timur
14. Sri Lokapala suami Sri Isanatunggawijaya
15. Makuthawangsawardhana
16. Dharmawangsa Teguh , Kerajaan Medang berakhir
Pada daftar di atas hanya Sanjaya yang memakai gelar Sang Ratu, sedangkan raja-
raja sesudahnya semua memakai gelar Sri Maharaja.
[sunting] Struktur pemerintahan
Raja merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya sebagai raja
pertama memakai gelar Ratu. Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan
kaum perempuan. Gelar ini setara dengan Datu yang berarti "pemimpin".
Keduanya merupakan gelar asli Indonesia.
Ketika Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra berkuasa, gelar Ratu
dihapusnya dan diganti dengan gelar Sri Maharaja. Kasus yang sama terjadi pada
Kerajaan Sriwijaya di mana raja-rajanya semula bergelar Dapunta Hyang, dan
setelah dikuasai Wangsa Sailendra juga berubah menjadi Sri Maharaja.
Pemakaian gelar Sri Maharaja di Kerajaan Medang tetap dilestarikan oleh Rakai
Pikatan meskipun Wangsa Sanjaya berkuasa kembali. Hal ini dapat dilihat dalam
daftar raja-raja versi Prasasti Mantyasih yang menyebutkan hanya Sanjaya yang
bergelar Sang Ratu.
Jabatan tertinggi sesudah raja ialah Rakryan Mahamantri i Hino atau kadang
ditulis Rakryan Mapatih Hino. Jabatan ini dipegang oleh putra atau saudara raja
yang memiliki peluang untuk naik takhta selanjutnya. Misalnya, Mpu Sindok
merupakan Mapatih Hino pada masa pemerintahan Dyah Wawa.
Jabatan Rakryan Mapatih Hino pada zaman ini berbeda dengan Rakryan Mapatih
pada zaman Majapahit. Patih zaman Majapahit setara dengan perdana menteri
namun tidak berhak untuk naik takhta.
Jabatan sesudah Mahamantri i Hino secara berturut-turut adalah Mahamantri i
Halu dan Mahamantri i Sirikan. Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini masih
ada namun hanya sekadar gelar kehormatan saja. Pada zaman Wangsa Isana
berkuasa masih ditambah lagi dengan jabatan Mahamantri Wka dan Mahamantri
Bawang.
Jabatan tertinggi di Medang selanjutnya ialah Rakryan Kanuruhan sebagai
pelaksana perintah raja. Mungkin semacam perdana menteri pada zaman sekarang
atau setara dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Jabatan Rakryan
Kanuruhan pada zaman Majapahit memang masih ada, namun kiranya setara
dengan menteri dalam negeri pada zaman sekarang.
[sunting] Keadaan penduduk
Temuan Wonoboyo berupa artifak emas menunjukkan kekayaan dan kehalusan
seni budaya kerajaan Medang.
Penduduk Medang sejak periode Bhumi Mataram sampai periode Wwatan pada
umumnya bekerja sebagai petani. Kerajaan Medang memang terkenal sebagai
negara agraris, sedangkan saingannya, yaitu Kerajaan Sriwijaya merupakan
negara maritim.
Agama resmi Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya adalah Hindu
aliran Siwa. Ketika Sailendrawangsa berkuasa, agama resmi kerajaan berganti
menjadi Buddha aliran Mahayana. Kemudian pada saat Rakai Pikatan dari
Sanjayawangsa berkuasa, agama Hindu dan Buddha tetap hidup berdampingan
dengan penuh toleransi.
[sunting] Konflik takhta periode Jawa Tengah
Pada masa pemerintahan Rakai Kayuwangi putra Rakai Pikatan (sekitar 856 –
880–an), ditemukan beberapa prasasti atas nama raja-raja lain, yaitu Maharaja
Rakai Gurunwangi dan Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra. Hal ini
menunjukkan kalau pada saat itu Rakai Kayuwangi bukanlah satu-satunya
maharaja di Pulau Jawa. Sedangkan menurut prasasti Mantyasih, raja sesudah
Rakai Kayuwangi adalah Rakai Watuhumalang.
Dyah Balitung yang diduga merupakan menantu Rakai Watuhumalang berhasil
mempersatukan kembali kekuasaan seluruh Jawa, bahkan sampai Bali. Mungkin
karena kepahlawanannya itu, ia dapat mewarisi takhta mertuanya.
Pemerintahan Balitung diperkirakan berakhir karena terjadinya kudeta oleh Mpu
Daksa yang mengaku sebagai keturunan asli Sanjaya. Ia sendiri kemudian
digantikan oleh menantunya, bernama Dyah Tulodhong. Tidak diketahui dengan
pasti apakah proses suksesi ini berjalan damai ataukah melalui kudeta pula.
Tulodhong akhirnya tersingkir oleh pemberontakan Dyah Wawa yang sebelumnya
menjabat sebagai pegawai pengadilan.
[sunting] Teori van Bammelen
Menurut teori van Bammelen, perpindahan istana Medang dari Jawa Tengah
menuju Jawa Timur disebabkan oleh letusan Gunung Merapi yang sangat dahsyat.
Konon sebagian puncak Merapi hancur. Kemudian lapisan tanah begeser ke arah
barat daya sehingga terjadi lipatan, yang antara lain, membentuk Gunung Gendol
dan lempengan Pegunungan Menoreh. Letusan tersebut disertai gempa bumi dan
hujan material vulkanik berupa abu dan batu.
Istana Medang yang diperkirakan kembali berada di Bhumi Mataram hancur.
Tidak diketahui dengan pasti apakah Dyah Wawa tewas dalam bencana alam
tersebut ataukah sudah meninggal sebelum peristiwa itu terjadi, karena raja
selanjutnya yang bertakhta di Jawa Timur bernama Mpu Sindok.
Mpu Sindok yang menjabat sebagai Rakryan Mapatih Hino mendirikan istana
baru di daerah Tamwlang. Prasasti tertuanya berangka tahun 929. Dinasti yang
berkuasa di Medang periode Jawa Timur bukan lagi Sanjayawangsa, melainkan
sebuah keluarga baru bernama Isanawangsa, yang merujuk pada gelar abhiseka
Mpu Sindok yaitu Sri Isana Wikramadharmottungga.
[sunting] Permusuhan dengan Sriwijaya
Selain menguasai Medang, Wangsa Sailendra juga menguasai Kerajaan Sriwijaya
di pulau Sumatra. Hal ini ditandai dengan ditemukannya Prasasti Ligor tahun 775
yang menyebut nama Maharaja Wisnu dari Wangsa Sailendra sebagai penguasa
Sriwijaya.
Hubungan senasib antara Jawa dan Sumatra berubah menjadi permusuhan ketika
Wangsa Sanjaya bangkit kembali memerintah Medang. Menurut teori de
Casparis, sekitar tahun 850–an, Rakai Pikatan berhasil menyingkirkan seorang
anggota Wangsa Sailendra bernama Balaputradewa putra Samaragrawira.
Balaputradewa kemudian menjadi raja Sriwijaya di mana ia tetap menyimpan
dendam terhadap Rakai Pikatan. Perselisihan antara kedua raja ini berkembang
menjadi permusuhan turun-temurun pada generasi selanjutnya. Selain itu, Medang
dan Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai lalu lintas perdagangan di Asia
Tenggara.
Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan ketika
Wangsa Isana berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur,
pasukan Sriwijaya datang menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah
Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur) yang dimenangkan oleh pihak Mpu
Sindok.
[sunting] Peristiwa Mahapralaya
Mahapralaya adalah peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur
berdasarkan berita dalam prasasti Pucangan. Tahun terjadinya peristiwa tersebut
tidak dapat dibaca dengan jelas sehingga muncul dua versi pendapat. Sebagian
sejarawan menyebut Kerajaan Medang runtuh pada tahun 1006, sedangkan yang
lainnya menyebut tahun 1016.
Raja terakhir Medang adalah Dharmawangsa Teguh, cicit Mpu Sindok. Kronik
Cina dari Dinasti Song mencatat telah beberapa kali Dharmawangsa mengirim
pasukan untuk menggempur ibu kota Sriwijaya sejak ia naik takhta tahun 991.
Permusuhan antara Jawa dan Sumatra semakin memanas saat itu.
Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta
perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari
Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa
tersebut, Dharmawangsa tewas.
Tiga tahun kemudian, seorang pangeran berdarah campuran Jawa–Bali yang lolos
dari Mahapralaya tampil membangun kerajaan baru sebagai kelanjutan Kerajaan
Medang. Pangeran itu bernama Airlangga yang mengaku bahwa ibunya adalah
keturunan Mpu Sindok. Kerajaan yang ia dirikan kemudian lazim disebut dengan
nama Kerajaan Kahuripan.
[sunting] Peninggalan sejarah
(Kiri) Avalokitesvara lengan-dua. Jawa Tengah, abad ke-9/ke-10, tembaga, 12,0 x
7,5 cm. (Tengah: Chundā lengan-empat, Jawa Tengah, Wonosobo, Dataran Tinggi
Dieng, abad ke-9/10, perunggu, 11 x 8 cm. (Kanan) Dewi Tantra lengan-empat
(Chundā?), Jawa Tengah, Prambanan, abad ke 10, perunggu, 15 x 7,5 cm.
Terletak di Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem.
Selain meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa
Tengah dan Jawa Timur, Kerajaan Medang juga membangun banyak candi, baik
itu yang bercorak Hindu maupun Buddha. Temuan Wonoboyo berupa artifak
emas yang ditemukan tahun 1990 di Wonoboyo, Klaten, Jawa Tengah;
menunjukkan kekayaan dan kehalusan seni budaya kerajaan Medang.
Candi-candi peninggalan Kerajaan Medang antara lain, Candi Kalasan, Candi
Plaosan, Candi Prambanan, Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, dan tentu
saja yang paling kolosal adalah Candi Borobudur. Candi megah yang dibangun
oleh Sailendrawangsa ini telah ditetapkan UNESCO (PBB) sebagai salah satu
warisan budaya dunia.
[sunting] Kepustakaan
Marwati Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional
Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
Slamet Muljana . 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965).
Yogyakarta: LKIS
Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta:
Bhratara
Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya (terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Medang
Sriwijaya
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Kerajaan Sriwijaya)
Akurasi Terperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Untuk kegunaan lain dari Sriwijaya, lihat Sriwijaya (disambiguasi).
Sriwijaya
←
←
600-an–1100-an →
Jangkauan terluas Kemaharajaan Sriwijaya
sekitar abad ke-8 Masehi.
Ibu kota
Sriwijaya, Jawa,
Kadaram,
Dharmasraya
Bahasa Melayu Kuna,
Sansekerta
Agama Buddha, Hindu
Pemerintahan Monarki
Maharaja
- 683 Sri Jayanasa
- 702 Sri Indrawarman
- 775 Dharanindra
- 792 Samaratungga
- 835 Balaputradewa
- 988Sri Cudamani
Warmadewa
- 1008Sri Mara-
Vijayottunggawarman
- 1025Sangrama-
Vijayottunggawarman
Sejarah
- Didirikan 600-an
- Invasi
Dharmasraya1100-an
Mata uang Koin emas dan perak
Artikel ini bagian dari seri
Sejarah Indonesia
Lihat pula:
Garis waktu sejarah Indonesia
Sejarah Nusantara
Prasejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Tarumanagara (358–669)
Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-11)
Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)
Kerajaan Sunda (669–1579)
Kerajaan Medang (752–1045)
Kediri (1045–1221)
Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)
Singhasari (1222–1292)
Majapahit (1293–1500)
Kerajaan Islam
Kesultanan Ternate (1257–sekarang)
Kesultanan Malaka (1400–1511)
Kesultanan Demak (1475–1548)
Kesultanan Aceh (1496–1903)
Kesultanan Banten (1526–1813)
Kesultanan Mataram (1500-an—1700-an)
Kolonialisme bangsa Eropa
Portugis (1512–1850)
VOC (1602-1800)
Belanda (1800–1942)
Kemunculan Indonesia
Kebangkitan Nasional (1899-1942)
Pendudukan Jepang (1942–1945)
Revolusi nasional (1945–1950)
Indonesia Merdeka
Orde Lama (1950–1959)
Demokrasi Terpimpin (1959–1965)
Orde Baru (1966–1998)
Era Reformasi (1998–sekarang)
l • b • s
Sriwijaya (atau juga disebut Srivijaya; Thai: ศรี�วิ�ชั�ย atau "Ṣ̄�rī wichạy") adalah
salah satu kemaharajaan maritim yang kuat di pulau Sumatera dan banyak
memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari
Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan
Sulawesi.[1][2] Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti "bercahaya" dan wijaya berarti
"kemenangan".[2] Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad
ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi
Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan.[3][4] Selanjutnya prasasti yang
paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan
Bukit di Palembang, bertarikh 682.[5] Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap
daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan[2]
diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa Teguh dari Jawa di tahun 990, dan
tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183
kekuasaan Sriwijaya dibawah kendali kerajaan Dharmasraya.[6]
Setelah Sriwijaya jatuh, kerajaan ini terlupakan dan eksistensi Sriwijaya baru
diketahui secara resmi tahun 1918 oleh sejarawan Perancis George Cœdès dari
École française d'Extrême-Orient.[7]
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Historiografi
2 Pembentukan dan pertumbuhan
3 Agama dan Budaya
4 Perdagangan
5 Relasi dengan kekuatan regional
6 Masa keemasan
7 Penurunan
8 Struktur pemerintahan
9 Hubungan dengan dinasti Sailendra
10 Raja yang memerintah
11 Warisan sejarah
12 Rujukan
13 Pranala luar
[sunting] Historiografi
Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia;
masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada
orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-
an, ketika sarjana Perancis George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam
koran berbahasa Belanda dan Indonesia.[8] Coedès menyatakan bahwa referensi
Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan beberapa
prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.[9]
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara
selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut
menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia
merupakan satu kesatuan negara sebelelum kolonialisme Belanda.[8]
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya
Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sansekerta dan Pali,
kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya
Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan lain
mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan.[2] Sementara dari peta Ptolemaeus
ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan
berkaitan dengan Sriwijaya.[6]
Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat
bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan
Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang).[2] Namun
sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan
sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi
Jambi sekarang),[6] dengan catatan Malayu tidak di kawasan tersebut, jika Malayu
pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens,[10] yang sebelumnya
juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada
kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk
arah perjalanan dalam catatan I Tsing,[11] serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan
berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li
chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada
kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu
bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).[12] Namun yang pasti pada masa
penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah
beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).[6]
[sunting] Pembentukan dan pertumbuhan
Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan.[8] Kerajaan
ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara maritim, namun kerajaan
ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara,
dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil
di barat. Beberapa ahli masih memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat
pemerintahan Sriwijaya, selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan
pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota tetap diperintah
secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah oleh
datu setempat.
Candi Gumpung, candi Buddha di Muaro Jambi, Kerajaan Melayu yang
ditaklukkan Sriwijaya.
Reruntuhan Wat (Candi) Kaew yang berasal dari zaman Sriwijaya di Chaiya,
Thailand Selatan.
Candi Borobudur, pembangunannya diselesaikan pada masa Samaratungga
Kekaisaran Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari
prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah
kepemimpinan Dapunta Hyang. Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa
terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan
Sriwijaya.[2] Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang yang berangka tahun 686
ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan
Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga
menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk
menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini
bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga)
di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya
tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka,
Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya
mengontrol dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan
observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja.
Di abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan
banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut, Maharaja
Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina.
Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal abad ke-8 berada di bawah kendali
Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer
Jayawarman II, pendiri imperium Khmer, memutuskan hubungan dengan
Sriwijaya di abad yang sama.[2] Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa,
antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya.
Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah
dan berkuasa disana. Di abad ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu
menjadi bagian kerajaan.[2] Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang
terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada
periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis,
Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk
memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia
membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.[2]
[sunting] Agama dan Budaya
Candi Muara Takus, salah satu kawasan yang dianggap sebagai ibukota Sriwijaya.
Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah
dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing,
yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas
Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya
menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama
Buddha. Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas
telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha
Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang
akhir abad ke-10, Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan
dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet dalam kertas kerjanya
Durbodhāloka menyebutkan ditulis pada masa pemerintahan Sri Cudamani
Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa.[13]
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu
kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Raja-raja Sriwijaya menguasai
kepulauan Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7
hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa
Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.
".... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan
percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di
dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar
dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan Cina
ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama
satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India".
— Gambaran Sriwijaya menurut I Tsing.[4]
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat
perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama
muslim dari Timur Tengah. Sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan
bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan
Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya.
Ada sumber yang menyebutkan, karena pengaruh orang muslim Arab yang
banyak berkunjung di Sriwijaya, maka raja Sriwijaya yang bernama Sri
Indrawarman masuk Islam pada tahun 718.[14] Sehingga sangat dimungkinkan
kehidupan sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial yang di dalamnya terdapat
masyarakat Budha dan Muslim sekaligus. Tercatat beberapa kali raja Sriwijaya
berkirim surat ke khalifah Islam di Suriah. Pada salah satu naskah surat yang
ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720) berisi permintaan agar
khalifah sudi mengirimkan da'i ke istana Sriwijaya.[15]
[sunting] Perdagangan
Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara
India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas selat Malaka dan selat Sunda.
Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditi seperti kapur
barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah yang
membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.[11] Kekayaan yang melimpah ini
telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassalnya di
seluruh Asia Tenggara.
Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga
menjalin perdagangan dengan tanah Arab, kemungkinan utusan Maharaja Sri
Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz
dari Bani Umayyah tahun 718 kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah
Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok
disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman)
pada tahun 724 mengirimkan hadiah buat kaisar Cina, berupa ts'engchi
(bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).[16]
Pada paruh pertama abad ke-10, diantara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya
dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian,
kerajaan Min dan kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tak
diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.
[sunting] Relasi dengan kekuatan regional
Pagoda Borom That bergaya Sriwijaya di Chaiya, Thailand.
Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan pada kawasan di Asia Tenggara,
Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara
teratur mengantarkan utusan beserta upeti.[17]
Pada masa awal kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak
sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan,
sebagai ibu kota kerajaan tersebut, pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan
pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya
terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan
Khirirat Nikhom.
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada
prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa
mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan dinasti
Chola di selatan India juga cukup baik, dari prasasti Leiden disebutkan raja
Sriwijaya di Kataha Sri Mara-Vijayottunggawarman telah membangun sebuah
vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk
setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melakukan penyerangan di abad ke-11.
Kemudian hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di
mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta
dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara
Culamanivarmma tersebut. Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap
telah menjadi bahagian dari dinasti Chola, dari kronik Tiongkok menyebutkan
bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts'i membantu
perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079, pada masa dinasti Song candi ini
disebut dengan nama Tien Ching Kuan dan pada masa dinasti Yuan disebut
dengan nama Yuan Miau Kwan.[6]
[sunting] Masa keemasan
Arca emas Avalokiteçvara bergaya Malayu-Sriwijaya, ditemukan di
Rantaukapastuo, Muarabulian, Jambi, Indonesia.
Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim, mengandalkan hegemoni
pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur
perdagangan, menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai
pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang,
memungut cukai serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.[18]
Model kapal tahun 800-an Masehi yang terdapat pada candi Borobudur.
Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah
melakukan kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara
lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam,[2] dan
Filipina.[19] Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya
sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang
mengenakan biaya atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengakumulasi
kekayaannya sebagai pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar
Tiongkok, dan India.
Sriwijaya juga disebut berperan dalam menghancurkan kerajaan Medang di Jawa,
dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya yaitu
peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari
Lwaram yang kemungkinan merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006
atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir
Dharmawangsa Teguh.[6]
[sunting] Penurunan
Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel,
India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya, berdasarkan
prasasti Tanjore bertarikh 1030, kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah
koloni Sriwijaya, sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu
itu Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama beberapa dekade berikutnya seluruh
imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun
demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang
ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya.[20] Hal ini
dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts'i ke Cina tahun 1028.[21]
Kawasan Sriwijaya dalam prasasti Tanjore
Nama kawasan Keterangan
Pannai Pannai
Malaiyur Malayu
Mayirudingam
Ilangasogam Langkasuka
Mappappalam
Mevilimbangam
Valaippanduru
Takkolam
Madamalingam Tambralingga
Ilamuri-Desam Lamuri
Nakkavaram Nikobar
Kadaram Kedah
Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari
dinasti Chola, dari kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079
Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Chola disebut juga sebagai raja
San-fo-ts'i, yang kemudian mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan candi
dekat Kanton. Selanjutnya dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao
disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih mengirimkan utusan
pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar tersebut
menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat
dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227
tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Kemudian juga mengirimkan
utusan berikutnya di tahun 1088.[2] Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap
hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah, beberapa daerah
taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya sebagai kekuatan baru
yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan
Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi[22] yang ditulis pada tahun
1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat
dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di
Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu,
sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan
yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan
Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia
(Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong
(Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-
lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts'ien-mai (Semawe,
pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur
Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang),
Kien-pi (Jambi), dan Sin-t'o (Sunda).[6][10]
Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik
dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya, dari daftar 15
negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar jajahan kerajaan
Dharmasraya, walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi sebagai
kerajaan yang berada di kawasan laut Cina Selatan. Hal ini karena dalam
Pararaton telah menyebutkan Malayu, disebutkan Kertanagara raja Singhasari
mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu, dan kemudian
menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja
Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti
Padang Roco. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat
pada prasasti Grahi. Begitu juga dalam Nagarakretagama, yang menguraikan
tentang daerah jajahan Majapahit juga sudah tidak menyebutkan lagi nama
Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.
[sunting] Struktur pemerintahan
Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik
Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi
penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi.[23]
Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji,
tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti dijaga.
Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota
dari Sriwijaya yang didalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi
masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi
Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyāda merupakan kawasan yang
berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-
patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala
merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh
kekuasaan kadātuan Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam
lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja
(putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya).[24] Prasasti Telaga
Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan
pada masa Sriwijaya.
[sunting] Hubungan dengan dinasti Sailendra
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Wangsa Sailendra
Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena
adanya nama Śailendravamśa pada beberapa prasasti diantaranya pada prasasti
Kalasan di pulau Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di
India. Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra.
Walau asal-usul dinasti ini masih diperdebatkan sampai sekarang.[11]
Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa)
dan Medang (Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di selatan India.[25] Kemudian
Moens menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan
salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa.[26] Sementara Poerbatjaraka
berpendapat bahwa dinasti ini berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita
Parahiyangan [27] kemudian dikaitkan dengan beberapa prasasti lain di Jawa yang
berbahasa Melayu Kuna diantaranya prasasti Sojomerto.[28]
[sunting] Raja yang memerintah
Para Maharaja Sriwijaya[2][6]
TahunNama Raja Ibukota
Prasasti, catatan
pengiriman utusan
ke Tiongkok serta
peristiwa
671Dapunta Hyang atau
Sri Jayanasa
Srivijaya
Shih-li-fo-shih
Catatan perjalanan I
Tsing di tahun 671-
685, Penaklukan
Malayu, penaklukan
Jawa
Prasasti Kedukan
Bukit (683), Talang
Tuo (684), Kota
Kapur (686), Karang
Brahi dan Palas
Pasemah
702Sri Indrawarman
Shih-li-t-'o-pa-mo
Sriwijaya
Shih-li-fo-shih
Utusan ke Tiongkok
702-716, 724
Utusan ke Khalifah
Muawiyah I dan
Khalifah Umar bin
Abdul Aziz
728Rudra Vikraman
Lieou-t'eng-wei-kong
Sriwijaya
Shih-li-fo-shih
Utusan ke Tiongkok
728-742
743-
774
Belum ada berita pada
periode ini
775 Sri Maharaja Sriwijaya Prasasti Ligor B tahun
775 di Nakhon Si
Thammarat, selatan
Thailand dan
menaklukkan
Kamboja
Pindah ke Jawa
(Jawa Tengah
atau Yogyakarta)
Wangsa Sailendra
mengantikan Wangsa
Sanjaya
778Dharanindra atau
Rakai PanangkaranJawa
Prasasti Kelurak 782
di sebelah utara
kompleks Candi
Prambanan
Prasasti Kalasan
tahun 778 di Candi
Kalasan
782Samaragrawira atau
Rakai WarakJawa
Prasasti Nalanda dan
prasasti Mantyasih
tahun 907
792Samaratungga atau
Rakai GarungJawa
Prasasti Karang
Tengah tahun 824,
825 menyelesaikan
pembangunan candi
Borobudur
840
Kebangkitan Wangsa
Sanjaya, Rakai
Pikatan
856 Balaputradewa Suwarnadwipa Kehilangan kekuasaan
di Jawa, dan kembali
ke Suwarnadwipa
Prasasti Nalanda
tahun 860, India
861-
959
Belum ada berita pada
periode ini
960
Sri Udayaditya
Warmadewa
Se-li-hou-ta-hia-li-tan
Sriwijaya
San-fo-ts'i
Utusan ke Tiongkok
960, & 962
980
Utusan ke Tiongkok
980 & 983: dengan
raja, Hie-tche (Haji)
988
Sri Cudamani
Warmadewa
Se-li-chu-la-wu-ni-fu-
ma-tian-hwa
Sriwijaya
Malayagiri
(Suwarnadwipa)
San-fo-ts'i
990 Jawa menyerang
Sriwijaya, Catatan
Atiśa,
Utusan ke Tiongkok
988-992-1003,
pembangunan candi
untuk kaisar Cina
yang diberi nama
cheng tien wan shou
1008
Sri Mara-
Vijayottunggawarman
Se-li-ma-la-pi
San-fo-ts'i
Kataha
Prasasti Leiden &
utusan ke Tiongkok
1008
1017
Utusan San-fo-ts'i ke
Tiongkok 1017:
dengan raja, Ha-ch'i-
su-wa-ch'a-p'u
(Haji Sumatrabhumi
(?)); gelar haji
biasanya untuk raja
bawahan
1025 Sangrama- Sriwijaya Diserang oleh
VijayottunggawarmanKadaram
Rajendra Chola I dan
menjadi tawanan
Prasasti Tanjore
bertarikh 1030 pada
candi Rajaraja,
Tanjore, India
1030
Dibawah Dinasti
Chola dari
Koromandel
1079
Utusan San-fo-ts'i
dengan raja
Kulothunga Chola I
(Ti-hua-ka-lo) ke
Tiongkok 1079
membantu
memperbaiki candi
Tien Ching di Kuang
Cho (dekat Kanton)
1082
Utusan San-fo-ts'i dari
Kien-pi (Jambi) ke
Tiongkok 1082 dan
1088
1089-
1177Belum ada berita
1178
Laporan Chou-Ju-Kua
dalam buku Chu-fan-
chi berisi daftar
koloni San-fo-ts'i
1183 Srimat Trailokyaraja
Maulibhusana
Dharmasraya Dibawah Dinasti
Mauli, Kerajaan
Warmadewa
Melayu, Prasasti
Grahi tahun 1183 di
selatan Thailand
[sunting] Warisan sejarah
Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan
terlupakan dari ingatan masyarakat pendukungnya, penemuan kembali
kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan
kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang
terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan
berjaya di masa lalu.
Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya
sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.[29]
Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas
daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, provinsi Sumatera Selatan,
keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian
tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat
selatan Thailand yang menciptakan kembali tarian Sevichai yang berdasarkan
pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.
Di Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan
di berbagai kota, dan nama ini juga digunakan oleh Universitas Sriwijaya yang
didirikan tahun 1960 di Palembang. Demikian pula Kodam II Sriwijaya (unit
komando militer), PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan),
Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Air
(maskapai penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya Football Club
(Klab sepak bola Palembang), semua dinamakan demikian untuk menghormati,
memuliakan, dan merayakan kemaharajaan Sriwijaya yang gemilang.
[sunting] Rujukan
1. ̂ Cœdès, George (1930). "Les inscriptions malaises de Çrivijaya".
Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient (BEFEO) 30: 29-80.
2. ^ a b c d e f g h i j k l Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the
Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions
Didier Millet. ISBN 981-4155-67-5.
3. ̂ Gabriel Ferrand, (1922), L’Empire Sumatranais de Crivijaya,
Imprimerie Nationale, Paris, “Textes Chinois”
4. ^ a b Junjiro Takakusu, (1896), A record of the Buddhist Religion as
Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing,
Oxford, London.
5. ̂ Casparis, J.G. (1975). Indonesian palaeography: a history of writing in
Indonesia from the beginnings to C. A, Part 1500. E. J. Brill. ISBN 90-04-
04172-9.
6. ^ a b c d e f g h Muljana, Slamet (2006). F.W. Stapel. ed. Sriwijaya. PT. LKiS
Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1.
7. ̂ Cœdès, George (1918). "Le Royaume de Çriwijaya". Bulletin de l'Ecole
français d'Extrême-Orient 18 (6): 1-36.
8. ^ a b c Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New
Haven and London: Yale University Press. ISBN 0-300-10518-5.
9. ̂ Krom, N.J. (1938). "Het Hindoe-tijdperk". di dalam F.W. Stapel.
Geschiedenis van Nederlandsch Indië. Amsterdam: N.V. U.M. Joost van
den Vondel. hlm. vol. I p. 149.
10. ^ a b Soekmono, R. (2002). Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2.
Kanisius. ISBN 979-413-290-X.
11. ^ a b c Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1992),
Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuna, PT Balai Pustaka, ISBN 979-
407-408-X
12. ̂ Forgotten Kingdoms in Sumatra, Brill Archive
13. ̂ Cœdès, George (1996). The Indianized States of Southeast Asia.
University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-0368-X.
14. ̂ Ahmad, H. Zainal Abidin (1979). Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam
dan Umatnya sampai sekarang. Bulan Bintang.
15. ̂ Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., (1994). Jaringan Ulama Timur Tengah
dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. Jakarta: Mizan.
16. ̂ Azra, Azyumardi (2006). Islam in the Indonesian world: an account of
institutional formation. Mizan Pustaka. ISBN 979-433-430-8.
17. ̂ Oliver W. Wolters, (1967), Early Indonesian Commerce: a study of the
origins of Śrīvijaya, Cornell University Press, Ithaca.
18. ̂ Pramono, Djoko (2005). Budaya bahari. Gramedia Pustaka Utama.
ISBN 979-22-1351-1.
19. ̂ Rasul, Jainal D. (2003). Agonies and Dreams: The Filipino Muslims and
Other Minorities". Quezon City: CARE Minorities. hlm. pages 77.
20. ̂ Sastri K. A. N., (1935). The Cholas. University of Madras.
21. ̂ Kulke, H. (2009). Nagapattinam to Suvarnadwipa: reflections on Chola
naval expeditions to Southeast Asia. Institute of Southeast Asian. ISBN
981-230-936-5.
22. ̂ Hirth, F. (1911). Chao Ju-kua, His Work on the Chinese and Arab Trade
in the Twelfth and Thirteen centuries, entitled Chu-fan-chi. St Petersburg..
23. ̂ Kulke, H. (1993). "Kadātuan Śrīvijaya’—Empire or Kraton of Śrīvijaya?
A Reassessment of the Epigraphic Data". Bulletin de l’École Française
d’Extreme Orient 80 (1): 159-180.
24. ̂ Casparis, J.C., (1956), Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from
the 7th to the 9th century A.D., Vol. II. Bandung: Masa Baru.
25. ̂ Majumdar, R.C., (1933). "Le rois Çriwijaya de Suvarnadvipa". Bulletin
de l'Ecole français d'Extrême-Orient XXXIII: 121-144.
26. ̂ Moensr, J.L., (1937). "Çriwijaya, Yāva en Katāha". TBG LXXVII: 317-
487.
27. ̂ Poerbatjaraka, R.N., (1956). "Çriwijaya, de Çailendra-en de
Sanjāyavança". BKI 114: 254-264.
28. ̂ Boechari (1966). "Preliminary report on the discovery of an Old malay
inscription at Sojomerto". MISI III: 241-251.
29. ̂ Smith, A.L. (2000). Centrality: Indonesia's changing role in ASEAN
Strategic Centrality: Indonesia's changing role in ASEAN. Singapore:
Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 9. ISBN 981-230-103-8.
http://books.google.com/books?id=C-
IZCcEuX30C&pg=PA9&dq=Srivijaya+source+of+Indonesia+pride&cd=6
#v=onepage&q=Srivijaya%20source%20of%20Indonesia
%20pride&f=false/Strategic Centrality: Indonesia's changing role in
ASEAN.
[sunting] Pranala luar
(id) Kerajaan Sriwijaya di MelayuOnline.com
(id) Balai Arkeologi Palembang dan Sriwijaya Society
(en) Sejarah Melayu, Buddhist Empires
(en) Śrīwijaya: A Centre of Learning?
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Sriwijaya
top related