makalah pekerja anak
Post on 28-Nov-2014
5.595 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
TUGAS MAKALAH“Pekerja Anak”
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah“Hak Asasi Manusia”
Dosen Pengampu :Abdul Halim, S. Pd, SH, MM, M. Pd
Di susun Oleh :
Muhammad Saifur Rohman11.441.0041
Fakultas Keguruan dan Ilmu PendidikanUNIVERSITAS PANCA MARGA
PROBOLINGGO2013
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas perkenan dan izinnya penulis
dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Pekerja Anak” sesuai waktu yang telah
ditetapkan.
Dalam penyelesaian makalah ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan
dari pihak. Untuk itu pada kesempatan penulis ingin menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Orang tua yang telah memberikan dorongan dan motivasi terhadap penulis
selama pembuatan makalah ini.
2. Bapak dosen yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan serta saran
dalam pembuatan makalah ini.
Penulis masih menerima dengan tangan terbuka terhadap kritik dan saran dari
pihak yang peduli terhadap makalah ini agar menjadi bahan perbaikan di kemudian
hari. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fenomena pekerja anak merupakan gambaran betapa kompleks dan rumitnya
permasalahan anak. Terlepas dari semua hal tersebut, penghargaan, penghormatan,
serta perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) digaung- gaungkan di penjuru dunia.
Sejak awal pendeklarasian HAM, berbagi bentuk peraturan yang bersifat universal
telah dikeluarkan dalam rangka mendukung upaya perlindungan HAM di dunia.
Upaya perlindungan juga diikuti dengan penegakan hukum demi terselenggaranya
HAM yang konsisten. Jika kita berbicara fenomena pekerja anak, maka bidang
HAM yang langsung bersinggungan adalah hak anak. Baik di dunia internasional
maupun di Indonesia, masalah seputar kehidupan anak menjadi perhatian utama
bagi masyarakat maupun pemerintah. Sangat banyak keadaan-keadaan ideal yang
sebenarnya dapat menuntaskan permasalahan sosial ini. Namun, faktor-faktor lain
seperti kegagalan dalam pranata sosial turut menunjukkan ketidakmampuan
pemerintah.
Dalam konteksnya, sebenarnya anak mempunyai hak yang bersifat asasi
sebagaimana yang dimiliki orang dewasa. Namun, perlindungan terhadapnya tidak
sebombastis ketika masalah HAM yang menyangkut orang dewasa atau
isu genderdiumbar ke khalayak umum. Perlindungan terhadap hak anak tidak terlalu
banyak dipikirkan pada umumnya. Begitu pula dengan langkah konkritnya, bahkan
upaya perlindungan itu sendiri dilanggar oleh negara dan berbagai tempat di negeri
ini, orang dewasa, bahkan orang tuanya sendiri. Banyak anak-anak yang berada di
bawah umur menjadi objek dalam pelanggaran terhadap hak-hak anak akibat
pembangunan ekonomi yang dilakukan . Di negara kita, pekerja anak dapat dilihat
dengan mudah di pertigaan atau di perempatan jalan. Pandangan kita jelas tetuju
pada sekelompok anak yang mengamen, mengemis, atau mengais rezeki di jalanan.
Itu hanya sedikit dari betapa mirisnya kondisi anak-anak Indonesia. Masih banyak
yang tidak terlihat jelas, upaya-upaya pengeksploitasian anak-anak di negeri ini
bahkan dapat disejajarkan dengan tindakan kriminal. Mereka di eksploitasi sebagai
pekerja kasar konstruksi dan tambang tradisional, penyelam mutiara, penculikan
dan perdagangan anak, kekerasan aanak, penyiksaan anak dan bahkan pelacur
komersial.
Anak, seyogyanya adalah gambaran dan cerminan masa depan, aset keluarga,
agama, bangsa, negara dan merupakan generasi penerus di masa yang akan datang.
Mereka berhak mendapatkan kebebasan, menikmati dunianya, dilindungi hak-hak
mereka tanpa adanya pengabaian yang dilakukan oleh pihak tertentu yang ingin
memanfaatkan kesempatan untuk mencari keuntungan pribadi.
B. Rumusan Masalah
Dalam perumusan masalah ini, permaslahan-permasalahan yang dibahas adalah
sebagai berikut :
1. Apakah definisi dari pekerja anak jika dihubungkan dengan hak dan kewajiban
anak dalam keluarga?
2. Bagaimana psikologi perkembanagn pekerja anak?
3. Indikasi apa yang berkaitan dengan pekerja anak?
4. Apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya pekerja anak?
5. Bagaimana bentuk-bentuk pekerja anak yang ada di Indonesia?
6. Bagaimana landasan hukum yang mengatur pelarangan pekerja anak di
Indonesia?
7. Bagaimana solusi efektif permasalahan pekerja anak serta usaha-usaha
perlindungan pekerja anak di Indonesia?
C. Tujuan
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan sebelumnya, tujuan dari
permasalahan sosial yang diangkat anatara lain:
1. Mengetahui faktor penyebab terjadinya pekerja anak, khususnya pekerja
anak di Indonesia.
2. Mengetahui indikasi yang melatarbelakangi pekerja anak di Indonesia.
3. Mengetahui bentuk-bentuk pekerja anak yang ada di Indonesia.
4. Mengetahui Kondisi Pekerja anak dan perkembangannya dari kurun waktu
tertentu.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Anak
a. Penyajian secara histories
Yakni anggapan bangsa Yunani bahwa “ anak- anak dianggap sebagai
manusia dewasa dengan ukuran kecil”. Disini dianggap seluruh sikap dan
perilaku yang diberikan kepada anak-anak serta harapan dan tuntutan yang
ditujukan kepada anak-anak disamakan dengan sikap dan perilaku serta harapan
dan tuntutan yang ditujukan kepada orang dewasa.
Pandangan lain mengenai definisi anak yakni pada masa awal tersebarnya
agama nasrani di Eropa menunjukkan ciri-ciri antara lain :
1) Anak-anak mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari
hukum dan ketertiban.
2) Anak–anak lebih mudah belajar denga contoh daripada belajar dengan
aturan.
3) Anak-anak tidak sama dengan orang dewasa.
b. Menurut makna Yuridis
Yakni berdasarkan Undang-Undang perlindungan anak (UUPA) No. 23
tahun 2002 yang dimaksud denga anak adalah seseorang yang belum berusia 18
tahun ( termasuk anak dalam kandungan).
Dari beberapa penyajian definisi anak dapat disimpulkan bahwa anak-
anak merupakan masa sosialisasi yang belangsung secara efektif seseorang yang
berumur diantara 5-18 tahun ( dibawah 5 tahun termasuk kategori anak karena
masih disebut balita). Kecenderungan untuk menyimpang yang dipaparkan
sebelumnya merupakan bentuk sosialisasi dari anak-anak dari. Dari segi fisik
dan psikis jelas berbeda dengan orang dewasa, sehingga dalam hal ini tidak bisa
disama artikan. Namun, sisi lain menggungkapkan bahwa pada masa ini anak–
anak sudah mengalami korelasi yang positif serta sifat tunduk pada peraturan
yang kemudian menjadi sangat realistis dengan berbagai kecenderungan-
kecenderungan, seperti gemar membentuk kelompok dengan aturan-aturan
sendiri dan lain-lain.
B. Makna pekerja anak dan hubungannnya dengan tugas perkembangan anak
Pekerja anak menurut Undang- Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003
adalah anak-anak baik laki-laki maupun perempuan yang terlibat dalam kegiatan
ekonomi yang mengganggu dan menghambat proses tumbuh kembang dan
membahayakan bagi kesehatan fisik dan mental anak. Definisi lain menyebutkan
bahwa pekerja anak adalah sebuah istilah untuk mempekerjakan anak kecil dengan
gaji kecil dan dapat memiliki konotasi pengeksploitasian anak kecil atas tenaga
mereka.
Dalam hal ini batasan yang ditentukan berhubungan dengan pekerja anak adalah
usia dibawah 18 tahun dengan penentuan beberapa karakteristik umum anak
misalnya, jenis kelamin, umur dan pendidikan. Karakteristik ketenaga kerjaan
seperti jenis pekerjaan, status pekerjaan, jam kerja, dan imbalan kerja. Sedangkan
karakteristik umum sosial yakni tempat tinggal dan kondisi keluarga.
Tindakan eksploitasi pekerja anak dilakukan karena dianggap produktif. Anak
secara psikologis menerima otoritas orang tua dan guru sebgai suatu hal yang wajar.
Dilihat dari tugas perkembangannnya pun anak-anak dibebani pada tugas-tugas
perkembangan yang didasari tiga hal, yaitu kematangan fisik, rangsangan atau
tuntutan dari masyarakat dan norma pribadi mengenai aspirasinya. Anak yang
secara fisik dianggap sudah matang misalnya anak yang memilki postur tubuh yang
besar dianggap sudah bias menerima tuntutan dari lingkungan baik orang tua
maupun masyarakat.
Anak bisa dieksploitasi dengan bekerja tanpa menimbulkan masalah, menerima
sedikit gaji tanpa protes, mudah diatur dan penurut. Fenomenanya adalah ketika
tugas perkembangan anak dipaksa oleh realisme ekonomi keluarga. Anak dijadikan
faktor ekonomi yang menunjang keberlangsungan keluarga agar mereka dapat hidup
dengan mencukupi kebututhan dasarnya. Padahal, jika kita telaah tugas
perkembangan anak secara umum menurut Havighurst ( dalam Hurlock,1980)
meliputi :
1. Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan yang
umum.
2. Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sbagai makhluk yang
sedang tumbuh.
3. Belajar menyesuaikan diri dengan teman- teman seusianya.
4. Mulai mengembangkan peranan social pria atau wanita yang tepat.
5. Mengembangkan keterampilan dasar untuk membaca, menulis, dan
berhitung.
6. Mengembangkan pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari- hari.
7. Mengembangkan hati nurani, pengertian moral, dan tata tingkah laku nilai
8. Mengembangkan sikap terhadap kelompok sosial dan lembaga-lembaga.
9. Mencapai kebebasan pribadi.
C. Faktor penyebab terjadinya pekerja anak
Pertambahan jumlah pekerja anak yang cenderung meningkat disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain :
1. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi merupakan pangkal utama dalam peningkatan jumlah
pekerja anak. Harga bahan pokok yang semakin mahal, tingkat kebutuhan yang
tinggi serta pengeluaran yang bertambah menuntut anak terjun untuk membantu
mencukupi kebutuhan dasarnya. Sebagian kasus pekerja anak ini terjadi pada
keluarga menengah kebawah. Kemiskinan yang dikaitkan dengan faktor
ekonomi ini dihubungkan dengan masalah pendapatan. Max Nef et
all mendefinisikan kemiskinan merupakn suatu kondisi dimana tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar individu sebagai manusia.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di
tahun 2007 di Indonesia sebesar 37,17 juta orang atau 16,58 persn dari jumlah
penduduk Indonesia. Dalam banyak kasus kemiskinan banyak menciptakan
banyak pekerja anak, dan kemiskinan yang menggiring pekerja anak ke suatu
titik dimana mereka nantinya juga akan melahirkan generasi baru yang sama
atau mungkin lebih miskin dari mereka. Tanpa masa anak-anak , pada masa
ketiak dasar-dasar kemampuan manusia dikembangkan. Kemiskinan diwariskan
dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Menurut International Labour Organitation (ILO) pada tahun 2007 pekerja
anak di Indonesia masih cukup besar yakni 2,6 juta jiwa. Anak-anak bekerja
diberbagi sector dan bentuk pekerajaan. Namun, sebagian besar dari mereka
bekerja di sektor pertanian keluarga dan di perusahaan manukfatur serta
perdagangan skala kecil. Krisis ekonomi yang terjadi sejak 1997 telah
mengubah struktur pekerja anak secara signifikan dalam pasar tenaga kerja.
Terjadi informalisasi pekerja anak, jumlah anak-anak yang bekerja diberbagai
sektor meningkat tajam, semua itu mencerminkan adanya gelombang pekerja
anak yang memasuki sektor informal.
2. Factor migrasi
Banyaknya migrasi terutama urbanisasi yakni perpindahan penduduk dari
desa ke kota meningkatkan jumlah pekerja anak. Hal ini disebabkan beberapa
factor antara lain :
a) Penduduk desa kebanyakn bahwa kota memiliki banyak pekerjaaan dan
lebih mudah mendapatkan penghasilan. Hal ini karena sirkulasi uang di kota
jauh lebih cepat dan lebih banyak, sehingga relatif lebih mudah
mendapatkan uang daripada di desa.
b) Usaha untuk mpekerjaan yang lebih sesuai dengan pendididkan, sebenarnya
dilatarbelakangi oleh motif untuk mengangkat posisi sosial.
c) Bagi beberapa kelompok, kota memberikan kesempatan untuk
menghindarkan diri dari kontrol sosial yang terlalu ketat.
d) Di kota lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan usaha kerajinan
rumah menjadi kerajinan industri. Hal ini karena kota terdapat banyak
sarana yang mendukung usaha tersebut.
e) Kelebihan modal di kota lebih banyak daripada di desa.
f) Kota merupakan tempat yang lebih menguntungkan untuk mengembangkan
jiwa dengan sebaik-baiknya dan seluas-luasnya.
Beberapa penyebab meningkatnya jumlah pekerja anank terhadap factor
migrasi, khususnya urbanisasi, diketahui bahwa ketidakpahaman mengenai
urbanisasi itu sendiri dapat digunakan beberapa okn\m untuk menjebak
( khususnya pekerja anak) dalam pekerjaan yang di sewenang-wenagkan atau
pekerjaan yang mirip perbudakan.
3. Faktor Budaya
Beberapa faktor budaya yang memberi kontribusi terhadap peningkatan
jumlah pekerja anak antara lain :
a. Peran perempuan dalam keluarga
b. Perkawinan dini
c. Sejarah pekerjaan karena jeratan hutang
d. Peran anak dalam keluarga
4. Faktor kurangnya pencatatan kelahiran
Orang tanpa pengenal yang memadai lebih mudah menjadi mangsa
trafiking karena usia dan kewarganegaraan mereka tidak terdokumentasi. Anak-
anak yang dipekerjakan, biasanya lebih mudah diwalikan ke orang dewasa
manapun yang memintanya. Dalam hal ini, ketidakmampuan Sistem Pendidikan
Nasional yang ada maupun dalam masyarakat untuk mempertahankan agar anak
tidak putus sekolah dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi sangat besar.
Sehingga anak-anak dilibatkan dalam hal kesempatan kerja dengan bermigrasi
terlebih dahulu atau langsung terjun mencari pekerjaan yang tidak
membutuhkan keahlian.
5. Faktor Kontrol social
Lemahnya kontrol sosial Pejabat penegak hukum dan imigrasi yang korup
dapat disuap untuk tidak mempedulikan kegiatan-kegiatan yang bersifat
kriminal. Para pejabat pemerintah juga disuap agar memberikan informasi yang
tidak benar pada kartu tanda pengenal (KTP), akte kelahiran, dan paspor
khususnya anak-anak dapt denagn mudah diwalikan atau bahkan diubah
kewarganegaraannya.. Kurangnya budget/anggaran dana negara untuk
menanggulangi usaha-usaha trafiking menghalangi kemampuan para penegak
hukum untuk secara efektif menjerakan dan menuntut pelaku- pelakunya.
D. Bentuk-bentuk pekerja anak
Dunia internasional memberikan perhatian khusus terhadap bentuk-bentuk
terburuk dan sifat pekerja anak. sebagai negara yang pertama kali menanda tangani
Konvensi ILO 182 tentang Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak
(BPTA), pada tahun 2002 Indonesia telah menetapkan satu langkah yang signifikan
kearah penghapusan pekerja anak, terutama jenis pekerjaan yang masuk dalam
kategori pekerjaan terburuk untuk anak. keputusan presiden No. 59 tahun 2002
tentang rencana aksi nasional penghapusan Bentuk-Bentuk Terburuk Untuk Anak
(BPTA) ada 13 bentuk pekerjaan.
Adapun 13 Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk anak adalah sebagai berikut:
1) Mempekerjakan anak-anak sebagai pelacur;
2) Mempekerjakan anak-anak di pertambangan;
3) Mempekerjakan anak-anak sebagai penyelam mutiara;
4) Mempekerjakan anak-anak di bidang kontruksi;
5) Menugaskan anak-anak di anjungan penangkapan ikan lepas pantai (yang di
Indonesia disebut jermal);
6) Mempekerjakan anak-anak sebagai pemulung;
7) Melibatkan anak-anak dalam pembuatan dan kegiatan yang menggunakan
bahan peledak;
8) Mempekerjakan anak-anak di jalanan;
9) Mempekerjakan anak-anak sebagai tulang punggung keluarga;
10) Mempekerjakan anak-anak di industri rumah tangga; (cottage industries);
11) Mempekerjakan anak-anak di perkebunan;
12) Mempekerjakan anak-anak dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan
usaha penebangan kayu untuk industri atau mengolah kayu untuk bahan
bangunan dan pengangkutan kayu gelondongan dan kayu olahan;
13) Mempekerjakan anak-anak dalam berbagai industri dan kegiatan yang
menggunakan bahan kimia berbahaya.
Dan program aksi telah menetapkan 5 dari 13 jenis pekerjaan terburuk sebagai
prioritas dalam lima tahun pertama pada pelaksanaan program yang direncanakan
berlangsung selama 20 tahun kedepan. Kelima bentuk pekerjaan terburuk itu adalah:
1) Anak-anak yang terlibat dalam penjualan, produksi dan perdagangan
narkoba.
2) Anak-anak yang diperdagangkan untuk dijadikan pelacur (AYLA).
3) Anak-anak yang bekerja di penangkapan ikan lepas pantai (Jermal).
4) Anak-anak yang bekerja di sektor pertambangan.
5) Anak-anak yang bekerja di sektor pembuatan alas kaki.
E. Kondisi pekerja anak di Indonesia
Sebelum melihat realitas yang terjadi sekarang dan mungkin pada masa yang
akan datang, alangkah bijaknya kalau mengingat dan menelusuri konteks historis
pekerja anak di Indonesia. Sehingga dapat diperoleh suatu gambaran yang
mendekati utuh tentang dinamika pekerja anak dalam konteks sosial dan budaya
Indonesia. Secara historis, kondisi pekerja anak di Indonesia mengalami berbagai
kemajuan dan kemunduran baik dari aspek kuantitas maupun kualitasnya. Demikian
halnya perhatian terhadap masalah inipun muncul dan tenggelam sangat tergantung
pada persepsi dan sikap negara/pemerintah dan khususnya masyarakat terhadap
masalah pekerja anak. Perkembangan dan perhatian dari masyarakat dunia pun tidak
dapat dilepaskan dari faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika perlindungan
terhadap Pekerja Anak di Indonesia.
Dengan menggunakan pencanangan Deklarasi HAM dunia pada tahun 1948
(Universal Declaration of Human Rights, 1948) sebagai acauan waktu (time frame)
dalam melakukan analisis, dinamika perlindungan anak di Indonesia dapat
dikelompokkan menjadi 2 fase historis, yaitu masa sebelum deklarasi HAM dan
masa setelah deklarasi HAM. Acuan waktu ini cukup penting bagi masyarakat dunia
sebagai salah satu fase meningkatnya perhatian dan penghargaan terhadap hak-hak
dasar manusia (nilai-nilai kemanusiaan). Pada masa ini pula upaya penghapusan
imperialisme dan kolonialisme dunia mendapatkan perhatian dari masyarakat
internasional. Batasan waktu inipun memiliki nilai penting bagi bangsa Indonesia
sebagai salah satu gerbang menuju pada tertib hukum nasional yang dilandasi oleh
nilai-nilai kemerdekaan dan keadilan sosial.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Permasalahan pekerja anak sebenarnya hampir menyerupai sebuah gunung es.
Kompleksitas pada dasar permasalahannya tidak tampak, sedangkan aktualisasi
pada permukaan berupa tindakan-tindakan eksploitasi terhadap anak juga hanya
muncul sedikit. Budaya masyarakat yang lebih cenderung bersifat patriarchi dan
kemiskinan secara struktural menciptakan suatu iklim yang permisif terhadap
pekerja anak di Indonesia. Terbatasnya studi dan perhatian terhadap kondisi pekerja
anak di Indonesia memberikan suatu kontribusi terhadap terbelenggunya nasib
pekerja anak.
Dari waktu ke waktu, perlindungan terhadap pekerja anak di Indonesia tidak
banyak mengalami perubahan. Perlindungan secara yuridis yang merupakan faktor
penting terhadap keberadaan pekerja anak mengindikasikan kemenduaan sikap
pemerintah terhadap masalah ini. Penerapan discretion clausule dalam berbagai
aturan hukum tentang ketenagakerjaan, sering menimbulkan interpretasi yang
berbeda-beda bahkan memberikan suatu celah hukum terhadap eksploitasi pekerja
anak. Hal inipun ternyata masih dijumpai pada Undang Undang Ketenagakerjaan
yang baru, yaitu UU Ketenagakerjaan No. 25 tahun 1997. Keadaan sosial dan
ekonomi masyarakat yang sebagian terbesar berada pada batas garis kemiskinan
mendorong terjadinya enkulturasi "bekerja membantu keluarga" yang sangat
berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak secara sehat.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Soerjabrata, Soemardi.1982. Psikologi Perkembangan Jilid I Bagian Penyajian
Secara Historis. Yogyakarta : Rake press Yogyakarta.
Sunarto,dkk. 2002. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : Penerbit Rineka
Cipta
Tim Pembina Lelompok Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat. 2003.
Modul Acuan Prosedur Pembelajaran Mata Kuliah Berkehidupan
Bermasyarakat. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional DIRJEN DIKTI
Pembinaan Akademik dan Kemahasiswaan.
Ahmadi, Abu.1997. Ilmu Sosial Dasar. Semarang : PT Rineka Cipta
http://digitallib.itb.ac.id diakses tanggal 6 juni 2009
http://duniapsikologi.com diakses tanggal 6 juni 2009
http://ebursa.depdiknas.go.id diakses tanggal 6 juni 2009
http://sekitarkita.com diakses tanggal 6 juni 2009
http:// www. kabar Indonesia.com diakses tanggal 6 juni 2009
top related