makalah hukum dagang tentang kepailitan
Post on 18-Jan-2017
1.995 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebuah perusahaan memiliki berbagai macam bentuk, seperti
PerusahaanTerbatas (PT), Commandite Value (CV), Firma (Fa), dan Koperasi.
Dalam menjalankannya setiap bentuk usaha memiliki ciri atau corak yang
berbeda, tetapibentuk usaha yang paling sering terlihat dan banyak digunakan
didalam masyarakat adalah Perusahaan Terbatas (PT) karena perusahaan
terbatasmerupakan bentuk usaha kegiatan ekonomi yang dianggap oleh
masyarakat dapatmemberikan keuntungan dengan mudah dan cepat.
Perseroan Terbatas adalah perusahaan berbadan hukum yang didirikan
berdasarkan perjanjian. Perseroan Terbatas menjadi badan hukum setelah adanya
akta pendirian yang didirikan oleh dua orang atau lebih dan mendapatkan
pengesahan dari DepartemenKehakiman dan Hak Asasi Manusia. Ketentuan
perundang-undangan yang mengatur mengenai perseroan terbatas adalah Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Dalam mendirikan suatu usaha terdapat faktor atau penyebab mengapa badan-
badan usaha banyak yang mengalami kemerosotan dan yang pada akhirnya
mengalami kebangkrutan. Faktor tersebut antara lain mulai dari
hubungannyadengan urusan internal perusahan sampai pada eksternal
perusahaan, seperti adanya akibat dari utang-piutang, perjanjian wanprestasi,
hingga sampai menyebabkan perusahaan tersebut tidak dapat melakukan kegiatan
usaha lagi.
Jika perusahaan masih bisa atau dapat membayar utang (solvable), hal itu
karena perusahaan sudah memperhitungkan modalpinjaman tersebut apakah bisa
mengembalikannya atau tidak serta bagaimana mengelola dan memanfaatkan
modal yang telahdidapat. Sedangkan perusahan yang tidak mampu membayar lagi
utang-utangnyadisebut sebagai perusahaan yang insolvable atau tidak mampu
membayar utang-utangnya. Hal ini tidak wajar atau tidak dibenarkan apabila
1
perusahaantidak mampu mengembalikan atau membayar utang yang telah
dimiliki.
Ketidakmampuan perusahaan dalam mengembalikan utang adalah merugikan
baik dari perusahaan yang meminjam maupun pihak yang meminjamkan.Jika
perusahaan mengalami kasus di mana perusahaan tidak mampu membayar utang-
utangnya maka dapat dikatakanbahwa perusahaan tersebut sudah tidak sehat.
Perusahaan sudah tidak bisamenjalankan kegiatan usahanya dan masih memiliki
tanggungan utang padapihak lain yaitu pihak yang memberikan pinjaman. Bila
suatu perusahaan sudah berada dalam keadaan berhenti membayaratau sudah tidak
mampu lagi membayar utang-utangnya, implikasinya perusahaan dapat dijatuhi
putusanpailit oleh Pengadilan Niaga baik atas permohonan kreditur
maupun debitursendiri atau pihak lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang
Nomor 37 Tahun2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
Pada hakikatnya, kepailitan adalah suatu sitaan umum yang bersifat
konservatoir atas semua kekayaan debitur yang dinyatakan pailit. Pihak yang
dinyatakan pailit kehilangan penguasaan terhadap harta benda yang ia miliki.
Penyelesaian harta pailit diserahkan kepada seorang kurator yang dalam
menjalankan tugasnya dibantu oleh Hakim Pengawas yang ditunjuk dari Hakim
Pengadilan Niaga.1
Dari ringkasan singkat diatas, penulis tertarik untuk menganalisis Putusan
Mahkamah Agung No. 080 PK/ Pdt.Sus/ 2009 tentang kepailitan atas
permohonan Peninjauan Kembali oleh PT Arta Glory Buana (selanjutnya disebut
PT AGB), yang mana PT AGB mendapatkan gugatan kepailitan oleh Serikat
Pekerja Serikat Pekerja Nasional (PSP SPN) dikarenakan setelah dilakukan
perundingan-perundingan antara kedua belah pihak, ternyata tidakterjadi
pemenuhan atas utang/kewajiban Termohon Pailit(PT AGB). Pemohon Pailit pun
telah berkali-kali memperingatkan Termohon Pailit melalui somasi termasuk di
dalamnya memberikan batas waktu pemenuhan kewajiban/ utang Termohon Pailit
kepada Pemohon Pailit.
1Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, 2006, Yogyakarta, hlm. 263-264
2
B. Rumusan Masalah
1. Apa sajakah prinsip-prinsip kepailitan yang diundangkan dalam Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang?
2. Bagaimana kriteria kepailitan menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
3. Bagaimana akibat hukum dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 080
PK/Pdt//Sus/2009 terhadap PT Arta Glory Buana?
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Prinsip Kepailitan yang Dinormakan dalam Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang
Prinsip hukum merupakan ratio legis dari norma hukum.2 Selain itu juga
merupakan metanorma yang dapat dijadikan landasan pembentukan peraturan
perundang-undangan serta dapat pula dijadikan dasar bagi hakim dalam
menentukan suatu hukum terhadap kasus-kasus yang sedang dihadapinya untuk
diputuskan ketika hakim tidak dapat merujuk kepada norma hukum positifnya.3
Penggunaan prinsip hukum sebagai dasar bagi hakim untuk memutus perkara
kepailitan memperoleh legalitasnya dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan) yang secara expressis verbis
menyatakan bahwa sumber hukum tidak tertulis, termasuk pula prinsip-prinsip
hukum dalam kepailitan dapat dijadikan hakim sebagai dasar untuk memutus4.
Dalam pasal 8 Ayat (6) Undang-Undang Kepailitan menyatakan bahwa
putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada Ayat (5) wajib memuat pula5:
a. Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
dan/atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili; dan
b. Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota
atau ketua majelis.
Terdapat 10 prinsip hukum kepailitan yang terdapat dalam berbagai macam
sistem hukum kepailitan di berbagai negara, yaitu6:
1. Prinsip paritas creditorium;
2 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik Peradilan, Jakarta, 2008, hlm. 253 Ibid., hlm. 274 Ibid.,5 Ibid.,6 Ibid., hlm. 353
4
2. Prinsip pari passu prorata parte;
3. Prinsip structured prorata (structured creditors);
4. Prinsip utang dalam arti luas;
5. Prinsip debt collection;
6. Prinsip debt pooling;
7. Prinsip debt forgiveness;
8. Prinsip universal;
9. Prinsip territorial;
10. Prinsip commercial exit from financial distress.
Dari prinsip-prinsip universal tersebut, terdapat beberapa prinsip yang
dinormakan dalam Undang-Undang Kepailitan di Indonesia, di antaranya:
1. Prinsip Paritas Creditorium
Bersama prinsip pari passu prorata parte dan prinsip structured
prorata, prinsip paritas creditorium merupakan prinsip utama penyelesaian
utang dari debitur kepada krediturnya.7 Prinsip paritas creditorium
(kesetaraan kedudukan para kreditur) menentukan bahwa para kreditur
mempunyai hak yang sama terhadap semua harta benda debitur.8 Apabila
debitur tidak dapat membayar utangnya, maka harta kekayaan debitur
menjadi sasaran kreditur.9 Prinsip paritas creditorium mengandung makna
bahwa semua kekayaan debitur baik yang berupa barang bergerak ataupun
barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitur
dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitur terikat kepada
penyelesaian kewajiban debitur.10
Filosofi dari prinsip paritas creditorium adalah bahwa merupakan
suatu ketidakadilan jika debitur memiliki harta benda sementara utang
debitur terhadap para krediturnya tidak terbayarkan. 11
7 Ibid., hlm. 278 Ibid.,9Mahadi, dalam M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik Peradilan, Jakarta, 2008, hlm. 2710 Kartini Mulyadi, dalam Ibid., hlm 27-2811 M. Hadi Shubhan, op.cit. hlm. 28
5
Prinsip ini harus digandengkan dengan prinsip pari passu prorata
parte dan prinsip structured creditors karena prinsip paritas creditorium
tidak membedakan perlakuan terhadap kreditur yang memiliki piutang
besar maupun kreditur yang memiliki piutang kecil, baik kreditur yang
memegang jaminan maupun kreditur yang tidak memegang jaminan.12 Hal
ini agar tercapai keadilan di antara para kreditur.
Prinsip paritas creditorium ini dapat dilihat dalam Pasal 2 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang
Kepailitan).13
Terkait dengan kasus PT Arta Glory Buana maka dalam kasus tersebut
Mahkamah Agung menyatakan pendapat bahwa menurut Pasal 2 Ayat (1)
Undang-Undang Kepailitan, baik kreditur konkuren, kreditur separatis,
maupun kreditur preferen dapat mengajukan permohonan pailit.
2. Prinsip Pari Passu Prorata Parte
Prinsip pari passu prorata parte berarti bahwa harta kekayaan debitur
merupakan jaminan bersama untuk para kreditur dan hasilnya harus
dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali jika di antara para
kreditur itu ada yang menurut Undang-Undang harus didahulukan dalam
menerima pembayaran tagihannya.14 Prinsip ini menekankan pada
pembagian harta debitur untuk melunasi utang-utangnya terhadap kreditur
secara berkeadilan dengan cara sesuai porsinya dan bukan dengan cara
sama rata. Prinsip ini dapat dilihat dalam Pasal 189 Ayat (4), (5), dan
Penjelasan Pasal 176 Huruf a. Undang-Undang Kepailitan.15
3. Prinsip Structured Creditors
Penggunaan prinsip paritas creditorium yang dilengkapi dengan
prinsip pari passu prorata parte dalam konteks kepailitan juga masih
memiliki kelemahan jika antara kreditur tidak sama kedudukannya. Bukan
12 Ibid., hlm. 2913 Ibid.,hlm. 35414 Kartini Mulyadi dalam Ibid., hlm 2915 M. Hadi Shubhan, op.cit. hlm. 354
6
persoalan besar kecilnya piutang saja tetapi tidak sama kedudukannya
karena ada sebagian kreditur yang memegang jaminan kebendaan dan/atau
kreditur yang memiliki hak preferensi yang telah diberikan oleh Undang-
Undang. Prinsip structured creditors mengklasifikasikan dan
mengelompokkan berbagai macam debitur sesuai dengan kelasnya
masing-masing.16 Dalam kepailitan, kreditur dikelompokkan menjadi 3
macam:
a. Kreditur separatis: kreditur yang memiliki jaminan kebendaan;
b. Kreditur preferen: hanya kreditur yang menurut Undang-Undang
didahulukan pembayaran piutangnya;
c. Kreditur konkuren
Di dalam Undang-Undang Kepailitan, prinsip ini diatur dalam Pasal 1
Ayat (2) dan Penjelasan Pasal 1 Ayat (1).17
1. Prinsip Debt Collection
Prinsip debt collection mempunyai makna sebagai konsep pembalasan
dari kreditur terhadap debitur pailit dengan menagih klaimnya terhadap
debitur atau harta debitur.18 Pada hukum kepailitan modern, prinsip debt
collection dimanifestasikan dalam bentuk antara lain likuidasi asset.
Manifestasi dari prinsip debt collection dalam kepailitan adalah
ketentuan-ketentuan untuk melakukan pemberesan asset dengan jalan
likuidasi yang cepat dan pasti, prinsip pembuktian sederhana,
diterapkannya keputusan kepailitan secara serta-merta, adanya ketentuan
masa tunggu bagi pemegang jaminan kebendaan, dan kurator sebagai
pelaksana pengurusan dan pemberesan.
Prinsip debt collection tercermin beberapa di antaranya yakni dalam
Pasal 1 Ayat (1), Pasal 21, Pasal 65, Pasal 69 Ayat (1) Undang-Undang
Kepailitan.19
16 Ibid., hlm. 31-3217 Ibid., hlm. 35418 Ibid., hlm. 3819 Ibid., hlm. 354
7
Terkait dengan kasus PT Arta Glory Buana,Pengadilan Negeri
mengangkat Saudara Yana Supriatna, SH., sebagai kurator.
2. Prinsip Universal
Prinsip universal dalam kepailitan mengandung makna bahwa putusan
pailit dari suatu pengadilan di suatu negara berlaku terhadap semua harta
debitur baik yang berada di dalam negeri maupun terhadap harta debitur
yang berada di luar negeri.20 Prinsip universal menekankan aspek
internasional dari kepailitan atau yang dikenal sebagai cross burder
insolvency.
Prinsip universal terlihat dalam Pasal 212, Pasal 213, dan Pasal 214
Undang-Undang Kepailitan.21
B. Kriteria Kepailitan Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Kepailitan, menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya
disebut dengan Undang-Undang Kepailitan) adalah, “...sita umum atas semua
kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh
Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini“.
Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Kepailitan menyatakan secara tegas bahwa
debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur, tidak membayar sedikitnya satu
utang, jatuh waktu dan dapat ditagih dapat mengajukan permohonan pernyataan
pailit.22
Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Pengadilan Niaga, yang
persyaratannya menurut Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 8 Ayat (4) Undang-Undang
Kepailitan adalah:
1. Adanya dua atau lebih kreditur. Kreditur adalah orang yang mempunyai
piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka
20 Ibid., hlm. 4721 Ibid., hlm 35422 Ridwan Khairandy, Pokok- Pokok Hukum Dagang Indonesia, Yogyakarta, 2014, hlm.464
8
pengadilan. Kreditur di sini mencakup baik kreditur konkuren, kreditur
separatis maupun kreditur preferen;
2. Ada utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Artinya adalah
kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah
diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana
diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang
berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis
arbitrase; dan
3. Kedua hal tersebut (adanya dua atau lebih kreditur dan adanya utang yang
telah jatuh tempo dan dapat ditagih) dapat dibuktikan secara sederhana.
Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan Pengadilan Niaga apabila
ketiga persyaratan tersebut di atas terpenuhi. Namun, apabila salah satu
persyaratan di atas tidak terpenuhi maka permohonan pernyataan pailit akan
ditolak.
Selain itu, Undang-Undang Kepailitan juga mengatur syarat pengajuan pailit
terhadap debitur-debitur tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (3), Ayat
(4) dan Ayat (5), sebagai berikut:
Dalam hal Debitur adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat
diajukan oleh Bank Indonesia.
Dalam hal Debitur adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan
Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan
pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal.
Dalam hal Debitur adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana
Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang
kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh
Menteri Keuangan.
Undang-Undang Kepailitan mengatur pihak-pihak yang dapat mengajukan
permohonan kepailitan pada Pengadilan Niaga, yaitu:
1. Debitur sendiri;
2. Seorang atau lebih krediturnya;
9
3. Kejaksaan untuk kepentingan umum;
4. Bank Indonesia (BI) dalam hal debitur merupakan bank;
5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dalam hal debitur merupakan
Perusahaan Efek;
6. Menteri Keuangan dalam hal debitur merupakan perusahaan asuransi,
perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau BUMN yang bergerak di bidang
kepentingan publik.
C. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Agung Nomor 080 PK/Pdt//Sus/2009
terhadap PT Arta Glory Buana
Permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh PT Arta Glory Buana
(dalam hal ini diwakili oleh Direktur Utamanya Willi Josep Candra)
menghasilkan putusan Pailit PT Arta Glory Buana. Salah satu hasil putusan itu
memutuskan bahwa sesuai pertimbangan hakim dalam Pasal 2 dan Pasal 8
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, Undang-
Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yangtelah diubah dengan Undang-
Undang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 3
Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan lain yang lain, majelis hakim
menyatakan bahwa PT Arta Glory Buana pailit dengan segala akibat hukumnya.
Kata-kata dengan segala akibat hukumnya mengandung makna bahwa segala
akibat hukum yang timbul dari putusan pailit itu wajib ditanggung oleh PT Arta
Glory Buana.
Akibat hukum yang timbul dari Putusan pailit oleh pengadilan tidak
mengakibatkan Debitur kehilangan kecakapannya untuk melakukan perbuatan
hukum (volkomen handelingsbevoegd) pada umumnya, tetapi hanya kehilangan
kekuasaan atau kewenangannya untuk mengurus dan mengalihkan harta
kekayaannya saja. Status Debitur tidaklah berada di bawah pengampuan, tidak
kehilangan kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum yang menyangkut
dirinya kecuali jika menyangkut pengurusan dan pengalihan harta bendanya yang
telah ada. Tindakan pengurusan dan pengalihan tersebut diserahkan pada Kurator.
10
Dalam hal harta benda yang akan diperolehnya, Debitur tetap dapat melakukan
perbuatan hukum menerima harta benda yang akan diperolehnya itu, namun harta
yang diperolehnya itu kemudian menjadi bagian dari harta pailit.23 Menurut Pasal
21 UU KPKPU, yang dimaksud dengan Kepailitan adalah meliputi seluruh
kekayaan Debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala
sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Namun selanjutnya dalam Pasal 22 UU
KPKPU diatur bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku terhadap :
1. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh Debitur
sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang
dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang
dipergunakan oleh Debitur dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30
(tiga puluh) hari bagi Debitur dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu;
2. Segala sesuatu yang diperoleh Debitur dari pekerjaannya sendiri sebagai
penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu
atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas; atau
3. Uang yang diberikan kepada Debitur untuk memenuhi suatu kewajiban
memberi nafkah menurut undang-undang.
Perlu diingat bahwa Pasal 23 UUKPKPU mengatur bahwa Debitur Pailit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan 22 UUKPKPU juga meliputi istri atau
suami dari Debitur Pailit yang menikah dalam persatuan harta. Menurut Pasal 24
UU KPKPU, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan maka Debitur
demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya
yang termasuk dalam harta pailit, sedangkan tanggal putusan sebagaimana
dimaksud tersebut dihitung sejak pukul 00.00 waktu setempat. Apabila sebelum
putusan pernyataan pailit diucapkan telah dilaksanakan transfer dana melalui bank
atau lembaga selain bank pada tanggal putusan sebagaimana dimaksud transfer
tersebut wajib diteruskan dan dalam hal sebelum putusan pernyataan pailit
diucapkan telah dilaksanakan Transaksi Efek di Bursa Efek, maka transaksi
23Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No.4 Tahun 1998, (Jakarta: Pustaka Grafiti, 2002), hal.256-257.
11
tersebut wajib diselesaikan. Setelah adanya putusan pernyataan pailit maka semua
perikatan Debitur yang terbit sesudahnya tidak dapat lagi dibayar dari harta pailit,
kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta pailit (Pasal 25 UU KPKPU).
Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus
diajukan oleh atau terhadap Kurator, dalam hal tuntutan tersebut diajukan atau
diteruskan oleh atau terhadap Debitur Pailit. Apabila tuntutan tersebut
mengakibatkan suatu penghukuman terhadap Debitur Pailit, maka penghukuman
tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit. Menurut Munir
Fuady, akibat yuridis tersebut berlaku kepada debitor dengan 2 (dua) model
pemberlakuan, yaitu sebagai berikut:24
a. Berlaku demi hukum
Akibat yang paling besar dari berlakunya demi hukum adalah berlaku sitaan
umum atas seluruh harta debitor (Pasal 1 ayat (1) juncto Pasal 21, Undang-
Undang No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU) dan debitor kehilangan
hak mengurus (Pasal 24 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan PKPU) Dengan akibat hukum yang besar tersebut, selayaknya hakim benar-
benar cermat dalam mengambil keputusan pailit suatu perusahaan.
b. Akibat hukum tertentu dari kepailitan yang berlaku rule of reason
Akibat-akibat hukum yang lain yang merupakan dampak kepailitan tersebut
adalah menyangkut pembayaran kompensasi pensiun tersebut. Pembayaran
kompensasi pensiun akan dilakukan dengan mengacu pada Undang-Undang
Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu Pasal 95 ayat (4) yang
mengatur :
“Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari
pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.”
24Fuady, Munir. Hukum Pailit 1998 dalam Teori dan Praktek.Bandung: Alumni, 1982
12
Sehingga akibat hukum yang berlaku bagi PT Arta Glory Buana dapat
diuraikan sebagai berikut :
1. PT Arta Glory Buana serta segala sesuatu yang diperoleh selama
kepailitan berada dalam sitaan umum sejak saat putusan pernyataan pailit
diucapkan, hal ini berdasarkan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan), kecuali :
a. benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutukan oleh debitur
sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis
yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan
perlengkapannya yang dipergunakan oleh debitur dan keluarganya;
b. segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaannya sendiri
sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah,
pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan
hakim pengawas;
c. uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi kewajiban
memberi nafkah menurut Undang-Undang.
2. PT Arta Glory Buana tidak memiliki wewenang lagi atas harta kekayaan
yang dimilikinya setelah dinyatakan pailit.
3. Berlaku penangguhan eksekusi selama maksimum 90 hari (sembilan
puluh) hari. Hal ini berdasarkan Pasal 56 Undang-Undang Kepailitan.
4. Segala perbuatan hukum PT Arta Glory Buana yang telah dinyatakan
pailit, yang merugikan kepentingan kreditur, yang dilakukan sebelum
putusan pernyataan pailit diucapkan, dapat dimintai pembatalan kepada
pengadilan. Hal ini di tegakan dalam Pasal 43 Undang-Undang
Kepailitan, yaitu “Hibah yang dilakukan debitur dapat dimintakan
pembatalan kepada pengadilan, apabila kurator dapat membuktikan
bahwa pada saat hibah tersebut dilakukan, debitur mengetahui atau patut
mengetahui bahwa tindakan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi
kreditur”,
13
5. Pengurusan dan Pengelolaan harta kepailitan akan dialihkan kepada
Kurator berdasarkan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Kepailitan yaitu
sdr. Yana Supriyatna S.H. sebagai kurator sah yang telah ditunjuk oleh
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya dengan putusan
nomor 14/pailit/2008/PN.Niaga.Sby.
6. PT Arta Glory Buana masih dimungkinkan untuk mengadakan perikatan-
perikatan selama perikatan itu mendatangkan keuntungan. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 37 Undang-Undang Kepailitan yang menentukan
bahwa semua perikatan debitur pailit yang dilakukan sesudah pernyataan
pailit tidak dapat dibayar dari harta pailit kecuali jika perikatan itu
mendatangkan keuntungan.
7. PT Arta Glory Buana dapat mengajukan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang berdasarkan Pasal 222 Ayat (1) Undang-Undang
Kepailitan. Penundaan kewajiban membayar utang diajukan oleh debitur
yang memiliki lebih dari 1 (satu) debitur. Adapun utang tertanggung
yang belum dibayarkan meliputi seluruh kewajiban/utang upah, upah
lembur, tunjangan uang makan, lembur, THR, Penggantian Pengobatan
dan Perawatan, luran Organisasi SPN, dan denda yang belum dibayar
Termohon Pailit kepada Pemohon Pailit seluruhnya sebesar ± Rp
8.455.514.616,00 (kurang lebih delapan milyar empat ratus lima puluh
lima juta lima ratus empat belas ribu enam ratus enam belas rupiah) dan
tagihan lain yang belum dibayar sebesar ± Rp 2.594.764.556,40 (kurang
lebih dua milyar lima ratus sembilan puluh empat juta tujuh ratus enam
puluh empat ribu lima ratus lima puluh enam koma empat puluh rupiah).
8. PT Arta Glory Buana harus membayar seluruh biaya perkara berdasarkan
Pasal 128 Ayat (1) Bagian B Undang-Undang Kepailitan yang
menyatakan bahwa biaya perkara ditangguhkan kepada debitur pailit.
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 917 K/Pdt.Sus/2008,
tanggal 13 Januari 2009 PT Arta Glory Buana diwajibkan membayar
pengajuan kasasi sebesar Rp. 5.000.000; dan biaya perkara pemeriksaan
Peninjauan Kembali sebesar Rp. 10.000.000
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Prinsip-prinsip universal kepailitan atau yang dapat disebut dengan
prinsip-prinsip hukum kepailitan yang diundangkan dalam Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang ialah prinsip paritas creditorium, prinsip
pari passu prorata parte, prinsip structured prorata, prinsip debt
collection, danprinsip universal.
2. Syarat kepailitan menurut Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 8 Ayat (4) Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, yaitu:
a. Adanya dua atau lebih kreditur
b. Ada hutang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
c. Kedua hal tersebut (adanya dua atau lebih kreditur dan adanya utang
yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih) dapat dibuktikan secara
sederhana.
d. Pernyataan pailit dilakukan oleh Pengadilan Khusus yang disebut
Pengadilan Niaga
e. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang ,
yaitu :
1) Pihak debitur
2) Satu atau lebih kreditur
3) Jaksa untuk kepentingan umum
4) Bank Indonesia jika debiturnya bank
5) Badan Pengawas Pasar Modal jika debiturnya perusahaan efek,
bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan dan lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian
15
6) Menteri Keuangan jika debiturnya perusahaan asuransi,
reasuransi, dana pension dan BUMN yang bergerak dibidang
kepentingan Publik.
3. Akibat hukum Putusan Mahkamah Agung Nomor 080 PK/Pdt//Sus/2009
terhadap PT Arta Glory Buana:
a. PT Arta Glory Buana serta segala sesuatu yang diperoleh selama
kepailitan berada dalam sitaan umum sejak saat putusan pernyataan
pailit diucapkan, hal ini berdasarkan Pasal 22 UU KPKPU
b. PT Arta Glory Buana tidak memiliki wewenang lagi atas harta
kekayaan yang dimilikinya setelah dinyatakan pailit
c. Berlaku penangguhan eksekusi selama maksimum 90 hari (sembilan
puluh) hari. Hal ini berdasarkan Pasal 56 UU KPKPU
d. Segala perbuatan hukum PT Arta Glory Buana setelah dinyatakan
pailit, yang merugikan kepentingan kreditur, yang dilakukan sebelum
putusan pernyataan pailit diucapkan, dapat dimintai pembatalan
kepada pengadilan. Hal ini di susai dengan Pasal 43 UU KPKPU
e. Pengurusan dan Pengelolaan harta kepailitan akan dialihkan kepada
Kurator
f. PT Arta Glory Buana harus membayar seluruh biaya perkara. Hal ini
berdasarkan Pasal 128 Ayat (1) Bagian B UU KPKPU
g. PT Arta Glory Buana dapat mengajukan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang berdasarkan Pasal 222 Ayat (1) UU KPKPU
h. PT Arta Glory Buana masih dimungkinkan untuk mengadakan
perikatan-perikatan selama perikatan itu mendatangkan keuntungan.
B. Saran
Untuk mendirikan, membangun, dan mengelola sebuah PT yang sehat harus
ada keterbukaan antara atasan dan bawahan. Jika diperkirakan terdapat resiko
pailit ke depannya, maka PT dapat membuka sahamnya untuk diperjual belikan.
Jika dirasa prospek kedepan tidak baik, segera mencari solusi lain atau
menginformasikan pada seluruh organ PT. Bagi perusahaan yang pailit,
16
pemerintah juga perlu melakukan pengawasan lebih lanjut bagi kurator dan
pelaksanaan akibat hukum putusan pailit lainnya.
17
top related