makalah hadist
Post on 11-Jan-2016
32 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Makalah Pembagian Hadist
Aditya Nugroho
X MIPA 1
Jalan Solontongan 3 Bandung
Daftar Isi
A. Latar Belakang......................................................................................................................2
B. Rumusan Masalah................................................................................................................2
A. Pembagian Hadits sari segi Kuantitas Perawi....................................................................3
1. Hadits Mutawatir.........................................................................................................3
2. Hadits Ahad......................................................................................................................6
3. Hadits Ghairu Masyhur.....................................................................................................8
B. Pembagian hadits dari segi Kualitas....................................................................................9
1. Hadits shahih...............................................................................................................10
2. Hadits Hasan...................................................................................................................10
3. Hadits Dhaif....................................................................................................................12
A. Kesimpulan.........................................................................................................................16
B. Saran-saran........................................................................................................................ 16
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang kajian
keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan dalam ilmu hadits yang
sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu
hadits.
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan beragam. Tetapi
kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat pembagian hadits yang ternyata
dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya segi pandangan
saja. Misalnya hadits ditinjau dari segi kuantitas jumlah perawinya, hadits ditinjau dari segi
kualitas sanad dan matan.
Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadits maka pada bahasan ini hnya akan
membahas pembagian hadits dari segi kuantitas dan segi kualitas hadits saja.
B. Rumusan Masalah
1. Pembagian Hadits dari segi kuantitas perawi
2. Pembagian hadits dari segi kualitas
BAB IIPEMBAHASAN
A.Pembagian Hadits sari segi Kuantitas Perawi
Para ulama hadits berbeda pendapat tentang pembagian hadits ditinjau dari aspek kuantitas
atau jumlah perawi yang menjadi sumber berita. Diantara mereka ada yang
mengelompokkan menjadi tiga bagian, yakni hadits mutawatir, masyhur, dan ahad. Ada juga
yang menbaginya menjadi dua, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad. Ulama golongan
pertama, menjadikan hadits masyhur sebagai berdiri sendiri, tidak termasuk ke dalam hadits
ahad, ini dispnsori oleh sebagian ulama ushul seperti diantaranya, Abu Bakr Al-Jashshash
(305-370 H). Sedangkan ulama golongan kedua diikuti oleh sebagian besar ulama ushul
(ushuliyyun) dan ulama kalam (mutakallimun). Menurut mereka, hadits masyhur bukan
merupakan hadits ynag berdiri sendiri, akan tetapi hanya merupakan bagian hadits ahad.
Mereka membagi hadits ke dalam dua bagian, yaitu hadits mutawatir dan ahad.[1]
1. Hadits Mutawatir
a. Pengertian Hadits Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa jarak). Dalam
terminologi ilmu hadits, ia merupakan haidts yang diriwayatkan oleh orang banyak, dan
berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta.
Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung, semenjak thabaqat yang pertama
sampai thabaqat yang terakhir.
Dari redaksi lain pengertian mutawatir adalah :
�ان� مـا و�س� ع�ن� ك �ر� م�ح�س� ب خ�� �ه� أ �لـغ�و�ا ج�مــاع�ة� ب ة� ف�ى ب �ر� �لكـث �غـا ا �ل �ل� م�ب ي �ح� �لع�اد�ة� ت �و�اط�ؤ�ه�م� ا �لكــذ�ب� ع�لـى ت ا
Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihar atau didengar) yang diberitakan oleh
segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka
sepakat berbohong.[2]
Ulama mutaqaddimin berbeda pendapat dengan ulama muta’akhirin tentang syarat-syarat
hadits mutawatir. Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa hadits mutawatir tidak
termasuk dalam pembahasan ilmu isnad al-hadits, karena ilmu ini membicarakan tentang
shahih tidaknya suatu khabar, diamalkan atau tidak, adil atau tidak perawinya. Sementara
dalam hadits mutawatir masalah tersebut tidak dibicarakan. Jika sudah jelas statusnya
sebagai hadits mutawatir, maka wajib diyakini dan diamalkan.[3]
b. Syarat Hadits Mutawatir
1) Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, dan dapat diyakini
bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta. Ulama berbeda pendapat tentang
jumlah minimal perawi. Al-Qadhi Al-Baqilani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits
mutawatir sekurang-kurangnya 5 orang, alasannya karena jumlah Nabi yang mendapat gelar
Ulul Azmi sejumlah 5 orang. Al-Istikhari menetapkan minimal 10 orang, karena 10 itu
merupakan awal bilangan banyak. Demikian seterusnya sampai ada yang menetapkan
jumlah perawi hadits mutawatir sebanyak 70 orang.
2) Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat berikutnya.
Keseimbangan jumlah perawi pada setiap thabaqat merupakan salah satu persyaratan.
3) Berdasarkan tanggapan pancaindra
Berita yang disampaikan para perawi harus berdasarkan pancaindera. Artinya, harus benar-
benar dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Oleh karena itu, apabila berita itu
merupakan hasil renungan, pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau hasil
istinbath dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.[4]
c. Macam-macam mutawatir
Hadits mutawatir ada tiga macam, yaitu :
1) Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan dengan lafaz dan makna yang
sama, serta kandungan hokum yang sama, contoh :
و�ل� قـال� س� �ه� الله ر� �ي 6م� ع�ل ل �ذ�ب� م�ن� و�س� � ع�ل�ي6 ك �و6أ �ب �ت �ي 6ار� م�ن� م�ق�ع�د�ه� فـل الن
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang ini sengaja berdusta atas namaku, maka
hendaklah dia siap-siap menduduki tempatnya di atas api neraka.
Menurut Al-Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Al-Nawawi menyatakan
bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.
2) Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang berasal dari berbagai hadits
yang diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan, mempunyai
makna yang sama tetapi lafaznya tidak. Contoh hadits yang meriwayatkan bahwa Nabu
Muhammad SAW mengangkat tangannya ketika berdo’a.
إال دعائه من شئ فى ابطه بياض رؤي حتى يديه وسلم عليه صلى الله رسول رفع م مسى ابو قال
(ومسلم البخارى رواه )اإلستسقاء فى
Abu Musa Al-Asy’ari berkata bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak pernah mengangkat kedua
tangannya dalam berdo’a hingga nampak putih kedua ketiaknya kecuali saat melakukan
do’a dalam sholat istisqo’ (HR. Bukhori dan Muslim)
3) Hadits Mutawatir ‘Amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi
Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in,
dan seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits nabi tentang
shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan sebagainya. Segala amal ibadah
yang sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama dikategorikan sebagai hadits mutawatir ‘amali.
Mengingat syarat-syarat hadits mutawatir sangat ketat, terutama hadits mutawatir lafzhi,
maka Ibn Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutwatir lafzhi tidak mungkin
ada. Pendapat mereka dibantah oleh Ibn Shalah. Dia menyatakan bahwa hadits mutawatir
(termasuk yang lafzhi) memang ada, hanya jumlahnya sangat terbatas. Menurut Ibn Hajar
Al-Asqolani, Hadits mutawatir jumlahnya banyak, namun untuk mengetahuinya harus
dengan cara menyelidiki riwayat-riwayat hadits serta kelakuan dan sifat perawi, sehingga
dapat diketahui dengan jelas kemustahilan perawi untuk sepakat berdusta terhadap hadits
yang diriwayatkannya.
Kitab-kitab yang secara khusus memuat hadits-hadits mutawatir adalah sebagai berikut :
1) Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Mutawatirah, yang dsusun oleh Imam Suyuthi.
Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, kitab ini memuat 1513 hadits.
2) Nazhm Al-Mutanatsirah min Al- Hadits al Mutawatir yang disusun oleh Muhammad
bin Ja’far Al-Kattani (w. 1345 H)[5]
2. Hadits Ahad
Kata ahad merupakan bentuk plural dari kata wahid. Kata wahid berarti “satu” jadi, kara
ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut istilah hadits
ahad berarti hadits yagn diriwayatkan oleh orang perorangan, atau dua orang atau lebih
akan tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan kedalam kategori hadits mutawatir.
Artinya, hadits ahad adalah hadits yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan
mutawatir.[6]
Ulama ahli hadits membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghairu masyhur.
Hadits ghairu masyhur terbagi menjadi dua, yaitu aziz dan ghairu aziz.
A. Hadits Masyhur
Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan popular”. Sedangkan
menurut istilah ada beberapa definisi, antara lain :
و�اه� �ه� م�ن� مـار� اب �غ� ال ع�د�دS الص6ح� �ل �ب �ر ح�د6 ي و�ات ـ� �ع�د� ت �ه� ب اب �ع�د�ه�م� و�م�ن� الص6ح� ب
“Hadits yang diriwayatkan dari sahabat tetapi bilangannya tidak sampai pada tingkatan
mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan orang yang setelah mereka.”
Hadits masyhur ada yang berstatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits masyhur yang berstatus
shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih baik sanad maupun matannya.
Seperti hadits ibnu Umar.
�ذ�ا �م� ا اء�ك �لج�م�ع�ه� ج� �غ�س�ل� ا �ي ف�ل
“Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat hendaklah ia mandi.”
Sedangkan hadits masyhur yang berstatus hasan adalah hadits yang memenuhi ketentuan-
ketentuan hadits hasan, baik mengenai sanad maupun matannya. Seperti hadits Nabi yang
berbunyi:
� ر� ال � ض�ر� ار� و�ال ضـــر�
“tidak memberikan bahaya atau membalas dengan bahaya yang setimpal.”
Adapun hadits masyhur yang dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits
shahih dan hasan, baik pada sanad maupun pada matannya, seperti hadits :
� ط�ل�ب� �لع�ل�م �ض�ــهS ا �ل] عـــل�ي ف�ر�ي � ك �م ل �م�ــــه� م�س� ل و�م�س�
“menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan.”
Dilihat dari aspek yang terakhir ini, hadits masyhur dapat digolongkan kedalam :
1) Masyhur dikalangan ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah
SAW membaca do’a qunut sesudah rukuk selama satu bulan penuh berdo’a atas golongan
Ri’il dan Zakwan. (H.R. Bukhari, Muslim, dll).
2) Masyhur dikalangan ulama ahli hadits, ulama-ulama dalam bidang keilmuan lain,
dan juga dikalangan orang awam, seperti :
�\ ل�م� �لم�س� �م� م�ن� ا ـــــل �م�و�ن� س� ل �لم�س� �ه� م�ن� ا و�يد�ه� ل�ســــان
3) Masyhur dikalangan ahli fiqh, seperti :
�ه�ي و�ل� ن س� ـــه� الله� ص�ل6ي الله� ر� ـ� �ي 6م� ع�ل ل �ع� ع�ن� و�س� �ي ر� ب �لغ�ر� ا
“Raulullah SAW melarang jual beli yang didalamnya terdapat tipu daya.”
4) Masyhur dikalangan ahli ushul Fiqh, seperti :
�ذ�ا �م� ا اك�م� ح�ك �لح� �م6 ا �ه�د� ث ت ص�اب� اج�� ــأ ان� ف�لـــه� فـ� �ج�ر� �ذ�ا أ ـــم� و�ا ـ� �ه�د� ح�ك ت �م6 ف�اج� � ث ــــط�أ �خ� �ج�رS ف�لـه� أ أ
“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian dia berijtihad dan kemudian
ijtihadnya benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala Ijtihad dan pahala kebenaran),
dan apabila ijtihadnya itu salah, maka dia memperoleh satu pahala (pahala Ijtihad).
5) Masyhur dikalangan ahli Sufi, seperti :
�ت� �ن ا ك �ز� �ن cا ك ف�ي �ت� م�خ� �ب ب ح�� �ن� ف�أ �ع�ر�ف� أ �لخ�ل�ق� ف�خ�لـق�ت� أ �ي ا �ي ف�ب ف�و�ن ع�ر�
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin dikenal, maka
kuciptakan makhluk dan melalui merekapun mengenal-Ku
6) Masyhur dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan, “Kami orang-orang Arab yag
paling fasih mengucapkan “(dha)” sebab kami dari golongan Quraisy”.[7]
3. Hadits Ghairu Masyhur
Ulama ahli hadits membagi hadits ghairu masyhur menjadi dua yaitu, Aziz dan Gharib. Aziz
menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu, artinya “sedikit atau jarang”. Menurut istilah
hadits Aziz adalah hadits yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua
tingkatan sanad.”
Menurut Al-Thahhan menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian Thabaqat terdapat
perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asal dari sekian thabaqat terdapat satu
thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang. Oleh karena itu, ada ulama yang
mengatakan bahwa hadits ‘azaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang
perawi.”
Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa suatu hadits dapat dikatakan hadits Aziz
bukan hanya yang diriwayatkan dua orang pada setiap tingkatnya, tetapi selagi ada
tingkatan yang diriwayatkan oleh dua rawi, contoh hadits ‘aziz :
� �ؤ�م�ن� ال �م� ي �ح�د�ك 6ي أ ت �و�ن� ح� ك� �ح�ب6 أ �ه� أ �ي �ل د�ه� م�ن� إ ـ� اس� و�و�لــد�ه� و�ال ـ6 �ن� و�النـ �ج�م�ع�ي أ
“tidak beriman seorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari pada dirinya,
orang tuanya, anaknya, dan semua manusia,” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Adapun hadits Gharib, menurut bahasa berarti “al-munfarid” (menyendiri). Dalam tradisi
ilmu hadits, ia adalah “hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri
dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.
Menurut Ibnu Hajar yang dimaksud dengan hadits gharib adalah “hadits yang dalam
sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, dimana saja
penyendirian dalam sanad itu terjadi”.
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadits itu bias berkaitan dengan personalitasnya,
yakni tidak ada yang meriwayatkannya selain perawi tersebut, atau mengenai sifat atau
keadaan perawi itu sendiri. Maksudnya sifat dan keadaan perawi itu berbeda dengan sifat
dan kualitas perawi-perawi lain, yang juga meriwayatkan hadits itu. Disamping itu,
penyendirian seorang perawi bias terjadi pada awal, tengah atau akhir sanad.
B. Pembagian hadits dari segi Kualitas
Sebagiamana telah dikemukakan bahwa hadits muatawatir memberikan penertian yang
yaqin bi alqath, aritnya Nabi Muhammad benar-benar bersabda, berbuat atau menyatakan
taqrir (persetujuan) dihadapan para sahabat berdasarkan sumber-sumber yang banyak dan
mustahil mereka sepakat berdusta kepada Nabi. Karena kebenarannya sumbernya sungguh
telah meyakinkan, maka dia harus diterima dan diamalkan tanpa perlu diteliti lagi, baik
terhadap sanadnya maupun matannya. Berbeda dengan hadits ahad yang hanya
memberikan faedah zhanni (dugaan yang kuat akan kebenarannya), mengharuskan kita
untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap matan maupun sanadnya, sehingga status
hadits tersebut menjadi jelas, apakah diterima sebagai hujjah atau ditolak.
Sehubungan dengan itu, para ulama ahli hadits membagi hadits dilihat dari segi kualitasnya,
menjadi tiga bagian, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif.
1. Hadits shahih
Menurut bahasa berarti “sah, benar, sempurna, tiada celanya”. Secara istilah, beberapa ahli
memberikan defenisi antara lain sebagai berikut :
· Menurut Ibn Al-Shalah, Hadits shahih adalah “hadits yang sanadnya bersambung
(muttasil) melalui periwayatan orang yang adil dan dhabith dari orang yang adil dan dhabith,
sampai akhir sanad tidak ada kejanggalan dan tidak ber’illat”.
· Menurut Imam Al-Nawawi, hadits shahih adalah “hadits yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan oleh perawi yang adil lagi dhabith, tidak syaz, dan tidak ber’illat.”
Dari defenisi diatas dapat dipahami bahwa syarat-syarat hadits shahih adalah : 1) sanadnya
bersambung, 2) perawinya bersifat adil, 3) perawinya bersifat dhabith, 4) matannya tidak
syaz, dan 5) matannya tidak mengandung ‘illat.
2. Hadits Hasan
a. Pengertian
dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu (الحسن ) bermakna al-jamal (الجمال) yang berarti
“keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan defenisi hadits hasan secara
beragam. Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang dikemukan oleh Ibnu hajar Al-Asqolani
dalam An-Nukbah, yaitu :
�ر� ب اد� و�خ� �آلح� �ق�ل� ا �ن �امh ع�د�ل� ب �ط� ت 6ص�ل� الض6ب �د� م�ت ن �ر� الس6 � م�ع�ل6ل� غ�ي اذk و�ال �ح� ه�و� ش� ي �ه� الص6ح� �ذ�ات �ط� خ�ف6 ف�اء�ن�. ل الض�ب
ن� �ه� ف�ل�ح�س� �ذ�ات ل
khabar ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannya, bersambung
sanadnya, tidak ber’illat, dan tidak ada syaz dinamakan shahih lidztih. Jika kurang sedikit
kedhabitannya disebut hasan Lidztih.
Dengan kata lain hadits hasan adalah :
6ص�ل� م�ا ه�و� �د�ه� ات ن �ق�ل� س� �ن �لع�د�ل� ب oذ�ي ا �ط�ه� ق�ل6 ال 6 ض�ب ذ�و�ذ� م�ن� و�خ�ال h6ه� الش �لع�ل و�ا
Hadits hasana adalah hadits yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil,
kurang sedikit kedhabitannya, tidak ada keganjilan (syaz) dan tidak ‘illat.
Criteria hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya terletak pada
sisi kedhabitannya. Hadits shahih ke dhabitannya seluruh perawinya harus zamm
(sempurna), sedangkan dalam hadits hasan, kurang sedikit kedhabitannya jika disbanding
dengan hadits shahih.[8]
b. Contoh hadits Hasan
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Al-Hasan bin
Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu salamah dari Abi Hurairah, bahwa Nabi
SAW bersabda :
�ع�م�ار� �ي أ �م6ت �ن� م�ا ا �ي �ن� ب ]ي ت �لي� الس] �ن� ا �ع�ي ب hه�م� الس6 ق�ل� �ج�و�ز� م�ن� و�أ ذ�ال�ك� ي
“Usia umatku antara 60 sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi demikian itu.
c. Macam-macam Hadits Hasan
Sebagaimana hadits shahih yang terbagi menjadi dua macam, hadits hasan pun terbagi
menjadi dua macam, yaitu hasan lidzatih dan hasan lighairih.
Hadits hasan lidzatih adalah hadits hasan dengan sendirinya, karena telah memenuhi segala
criteria dan persyaratan yang ditemukan. Hadits hasan lidzatih ebagaimana defenisi
penjelasan diatas.
Sedangkan hadits hasan lighairih ada beberapa pendapat diantaranya adalah :
�ث� ه�و� �لح�د�ي �ف� ا �ذ�ا الض6ع�ي و�ي� ا �ق� م�ن� ر� ي ط�ر�ي �خ�ر� �ه� أ �ل و� م�ث� �ق�و�ي أ �ه� أ م�ن
“adalah hadits dhaif jika diriwayatkan melalui jalan (sanad) lain yang sama atau lebih kuat.
�ف� ه�و� �ذ�ا الض6ع�ي �ع�د6د�ت� ا ق�ه� ت �ن� و�لـم� ط�ر� �ك �ب� ي ب او�ي ف�س�ق� ض�ع�ف�ه� س� �ه� الر6 �ذ�ب و�ك� أ
“adalah hadits dhaif jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedhaifan bukan karena fasik
atau dustanya perawi.
Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dhaif bias naik manjadi hasan lighairih
dengan dua syarat yaitu :
1) Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat.
2) Sebab kedhaifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi ringan seperti
hafalan kurang atau terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan jelas (majhul) identitas
perawi.
d. Kehujjahan hadits Hasan
Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah hadits shahih. Semua
fuqaha sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan
orang sangat ketat dalam mempersyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin). Bahkan
sebagian muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilin)
memasukkan kedalam hadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Khuzaimah.
3. Hadits Dhaif
Pengertian
Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (الضعيف) berarti lemah lawan
dari Al-Qawi (القوي) yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad dan
matannya tidak memenuhi criteria hadits kuat yang diterima sebagian hujjah. Dalam istilah
hadits dhaif adalah :
�م� م�ا ه�و� �ج�م�ع� ل �ح�س�ن� ص�ف�ه� ي �ف�ق�د� ال ط� ب ر� و�ط�ه� م�ن� ش� ر� ش�
Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa syarat
yang tidak terpenuhi.
Atau defenisi lain yang bias diungkapkan mayoritas ulama :
�م� م�ا ه�و� �ج�م�ع� ل �ح� ص�ف�ه� ي ي ن� الص6ح� �لح�س� و�ا
Hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan.
Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua persyaratan
hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasshil), Para perawinya
tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad aau matan (syadz) dan
terjadinya cacat yang tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau matan.[9]
contoh hadits dhaif
hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan hakim Al-Atsram dari Abu Tamimah
Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda :
�ي و�م�ن� �ت �ض�ا أ ائ �ه� ح� أ و�ام�ر�� �ر� م�ن� أ و� د�ب
� �ا أ �اه�ن �ف�ر� ف�ق�د� ك �م�ا ك �ز�ل� ب �ن م�ح�م6د� ع�ل�ي ا
barang siapa yang mendatang seorang wanita menstruasi (haid) atau pada dari jalan
belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka dia telah mengingkari apa yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam sanad hadits diatas terdapat seorang dhaif yaitu Hakim Al-Atsram yang dinilai dhaif
oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Thariq At- Tahzib memberikan komentar : ه�� ف�ي
Sن[ �ي .padanya lemah ل
Hukum periwayatan hadits dhaif
Hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu’ (hadits palsu). Diantara hadits dhaif
terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya hapalan yang
kurang kuat tetapi adil dan jujur. Sedangkan hadits mawdhu’ perawinya pendusta. Maka
para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun tanpa menjelaskan
kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu :
1) tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
2) Tidak menjelaskan hokum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi,
berkaitan dengan masalah maui’zhah, targhib wa tarhib (hadits-hadits tentang ancaman dan
janji), kisah-kisah, dan lain-lain.
Dalam meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau sanad sebaiknya tidak menggunakan
bentuk kata aktif (mabni ma’lum) yang meyakinkan (jazam) kebenarannya dari Rasulullah,
tetapi cukup menggunakan bentuk pasif (mabni majhul) yang meragukan (tamridh) misalnya
و�ي� : �ق�ل� ,diriwayatkan ر� �م�ا ,dipindahkan ن و�ي� ف�ي �ر� ي pada sesuatu yang diriwayatkan
dating. Periwayatan dhaif dilakukan karena berhati-hati (ikhtiyath).
Pengamalan hadits dhaif
Para ulama berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif. Perbedaan itu dapat dibagi
menjadi 3 pendapat, yaitu :
1) Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal (Fadhail
al a’mal) atau dalam hokum sebagaimana yang diberitahukan oleh Ibnu sayyid An-Nas dari
Yahya bin Ma’in. pendapat pertama ini adalah pendapat Abu Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-
Bukhari, Muslim, dan Ibnu hazam.
2) Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-a’mal atau dalam
masalah hokum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan Imam Ahmad. Mereka berpendapat
bahwa hadits dhaif lebih kuat dari pendapat para ulama.
3) Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal, mau’izhah, targhib (janji-janji
yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika memenuhi beberapa
persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani, yaitu berikut :
· Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadits mawdhu’) atau
dituduh dusta (hadits matruk), orang yan daya iangat hapalannya sangat kurang, dan
berlaku pasiq dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadits mungkar).
· Masuk kedalam kategori hadits yang diamalkan (ma’mul bih) seperti hadits muhkam
(hadits maqbul yang tidak terjadi pertentanga dengan hadits lain), nasikh (hadits yang
membatalkan hokum pada hadits sebelumnya), dan rajah (hadits yang lebih unggul
dibandingkan oposisinya).
· Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari Nabi, tetapi karena berhati-hati
semata atau ikhtiyath.
Tingkatan hadits dhaif
Sebagai salah satu syarat hadits dhaif yang dapat diamalkan diatas adalah tidak terlalu dhaif
atau tidak terlalu buruk kedhaifannya. Hadits yang terlalu buruk kedhaifannya tidak dapat
diamalkan sekalipun dalam fadhail al-a’mal. Menurut Ibnu Hajar urutan hadits dhaif yang
terburuk adalah mawdhu’’, matruk, mu’allal, mudraj, maqlub, kemudian mudhatahrib.[10]
BAB IIIPENUTUP
A. Kesimpulan
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi menjadi dua, yaitu
hadits mutawatir dan hadits ahad. Untuk hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3 bagian
yaitu : mutawatir ma’nawi dan mutawatir ‘amali. Sedangkan hadits ahad dibagi menjadi dua
macam, yaitu masyhur dan ghairu masyhur, sedangkan ghairu masyhur dibagi lagi menjadi
dua bagian yaitu, aziz dan ghairu aziz.
Sedangkan hadits bila ditinjau dari segi kualitas hadits dapat dibagi menjadi dua macam
yaitu hadits maqbul dan hadits mardud. Hadits maqbul terbagi menjadi dua macam yaitu
hadits mutawatir dan hadits ahad yang shahih dan hasan, sedangkan hadits mardud adalah
hadits yang dahif.
B. Saran-saran
Bahwa didalam mempelajari studi hadits hendaklah benar-benar mengetahui pembagian
hadits baik dari segi kuantitas maupun kualitas hadits itu sendiri, supaya timbul ke
ihtiyathan kita dalam menyampaikan hadits, dan untuk bias membedakan keshahihan suatu
hadits harus mengetahui pembagian-pembagian hadits. Ditakutkan nanti kita termasuk
golongan orang-orang yang menyebarkan hadits-hadits palsu.
Daftar PustakaM. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, Jakarta, Gaung Persda Pres, 2008. hlm. 86.
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, (cetakan ke 4) Jakarta: Amazon, 2010. hlm. 131.
M. Noor Sulaiman. Loc.cit., hlm 86.
top related