m anang firmansyah - anangfirmansyahblog ... di mana orang tergesa-gesa untuk makan dan bekerja...
Post on 27-May-2018
228 Views
Preview:
TRANSCRIPT
GLOBALIZATION
Presented by :
M Anang Firmansyah
Upaya-upaya pembangunan jati diri bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya
penghargaan pada nilai budaya dan bahasa, nilai-nilai solidaritas sosial, kekeluargaan
dan rasa cinta tanah air dirasakan semakin memudar. Pudarnya budaya bangsa
disebabkan oleh beberapa faktor. Dalam kenyataannya di dalam struktur masyarakat
terjadi ketimpangan sosial, baik dilihat dari status maupun tingkat pendapatan.
Kesenjangan sosial yang semakin melebar itu menyebabkan orang kehilangan harga
diri. Budaya lokal yang lebih sesuai dengan karakter bangsa semakin sulit dicernakan,
sementara itu budaya global lebih mudah merasuk.
Di dalam pendidikan masyarakat pun, kepemimpinan tidak mencerminkan ing
ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutu wuri handayani (di depan
memberi teladan, di tengah membimbing, dan di belakang mendorong). Menipisnya
keteladanan itu tampak di segala lingkungan. ”Ilmu titen” yang ada dalam masyarakat
sudah mulai menipis karena semakin sulit menyaring dan menjaring budaya yang
adiluhung, karena terhanyut pada gaya hidup global. Masyarakat telah mengalami
kerancuan bahasa, sehingga sulit membedakan apa yang disebut dengan westernisasi
dengan modernisasi. Selama ini yang terjaring oleh masyarakat hanyalah gaya hidup
ke-Barat-Baratan, bukan pola hidup modern.
Fenomena yang berkembang dalam masyarakat dunia ketiga termasuk
Indonesia yaitu adanya kecenderungan terjadinya perubahan gaya hidup (life style),
akibat dari ekspansi industri pangan yang dimanifestasikan kedalam bentuk restoran
siap saji. Generasi muda lebih suka makan dan menghabiskan waktu ke mall, ke cafe
dan tentunya dengan makanan-makanan ala barat atau restoran siap saji, McD, KFC
dan lain sebagainya. Hal ini sejalan dengan pendapat George Ritzer bahwa dampak
fast-food sampai pada tataran luas yang begitu mendalam pada berbagai posisi bahkan
sudah menyampai pada pola hidup dunia, terus meluas pada berbagai tingkat
akselerasi .
Melihat uraian singkat di atas, masuknya makanan siap saji berimplikasi tidak
hanya pada sekor ekonomi ditandai pada matinya dan terhimpitnya bisnis-bisnis
makanan lokal. Tetapi lebih besar dari itu berimplikasi pada perubahan gaya hidup.
Inilah bentuk dari hegemoni global dari perkembangan kapitalis modern, menarik
untuk dianalisis dalam makalah ini pertama, melihat bagaimana proses masuknya
restoran siap saji, sebagai sebuah cengkeraman kapitalis terhadap negara berkembang.
kedua yaitu melihat implikasi pergeseran dan perubahan gaya hidup dalam
masyarakat dinegara berkembang.
Berdasarkan dua fokus kajian tersebut, tujuan dalam makalah ini yaitu untuk
melihat peranan media dalam pecitraan restoran siap saji dalam masyarakat. Serta
menganalisis dan menggambarkan pergeseran dan perubahan gaya hidup dalam
masyarakat berkembang.
Menurut asal katanya, kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang
maknanya ialah universal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu
proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di
dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah
Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi yang dimaksudkan orang dengan
globalisasi:
Internasionalisasi: Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan
internasional. Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan
identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama
lain.
Liberalisasi: Globalisasi juga diartikan dengan semakin diturunkankan batas
antar negara, misalnya hambatan tarif ekspor impor, lalu lintas devisa, maupun
migrasi.
Universalisasi: Globalisasi juga digambarkan sebagai semakin tersebarnya hal
material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas
dapat menjadi pengalaman seluruh dunia.
Westernisasi: Westernisasi adalah salah satu bentuk dari universalisasi dengan
semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal.
Hubungan transplanetari dan suprateritorialitas: Arti kelima ini berbeda
dengan keempat definisi di atas. Pada empat definisi pertama, masing-masing
negara masih mempertahankan status ontologinya. Pada pengertian yang
kelima, dunia global memiliki status ontologi sendiri, bukan sekadar gabungan
negara-negara.
Prinsip Rasionalisasi
Sedangkan istilah McDonaldisasi pertama-tama dikemukakan oleh sosiolog
Amerika, George Ritzer, seorang ahli bidang teori sosial, menulis sebuah buku
berjudul McDonaldization of Society: An Investigation into the Changing Character
of Contemporary Social Life pada tahun 1995. Isinya membahas kesuksesan McD dan
pengaruhnya terhadap perubahan karakter dan kehidupan sosial masa kini (bahwa
McDonald atau jenis fast-food lainnya yang diusung oleh Amerika telah menjadi
fenomena global (global phenomenon); karena bukan hanya berpengaruh terhadap
bisnis restoran, tapi juga melebar kepada unsur-unsur pendidikan, kerja, travel,
aktivitas luang, politik, keluarga dan beberapa sektor lainnya. Begitu juga dengan
produk-produk semisal seperti Pizza Hut, KFC, B&B, dan lain-lain yang menyebar
luas ke penjuru dunia, yang bisa dengan mudah ditemukan hampir di setiap negara).
Buku ini hingga sekarang menjadi rujukan banyak pihak yang ingin mendiskusikan
pengaruh upaya rasionalisasi terhadap hidup manusia.
Wabah McD sesungguhnya berakar dari ide rasionalitas, yang bisa diartikan
sebagai penggunaan pikiran untuk menentukan untung-rugi segala sesuatu. Dalam
usaha ekonomi, tak pelak orang harus berpikir rasional agar memperoleh keuntungan.
Dan upaya rasionalisasi salah satunya adalah melalui birokrasi, yakni dengan
membentuk hirarki dan tanggung jawab kerja terstruktur dalam sebuah organisasi.
Masing-masing kerja didefinisikan agar tujuan organisasi tercapai, seperti yang
diungkap oleh Max Weber.
Semuanya dilakukan dengan tujuan rasional yang ujungnya menghasilkan
keuntungan. Dan karena sukses, berbondong-bondonglah orang meniru prinsip di
atas. McD menjadi wabah, yang kemudian oleh Ritzer disebut sebagai
McDonaldisasi. Artinya kira-kira adalah suatu proses masuk dan mendominasinya
prinsip-prinsip restoran siap saji ini ke berbagai sektor lain dalam kehidupan
masyarakat Amerika, juga dunia.
Menurut Ritzer, franchise dari Mc Donald berdasarkan pada empat prinsip :
1) Prinsip Efisiensi. Prinsip ini dikenal secara luas di dalam bisnis. Berdasarkan
prinsip Fordis (assembly line), scientific management dan prinsip birokrasi, maka
restoran-restoran Mc Donald dikelola secara sangat efisien. Metode ini disebut
juga metode optimal, untuk memindahkan orang dari satu titik ke titik lain. McD
menerjemahkannya sebagai perubahan secepatnya dari lapar ke kenyang. Maka,
orang tak perlu repot berpikir apa yang harus dimakan, atau di mana harus makan.
Cukup ke McD, pesan,dan,.. kenyang.
Pada pokoknya restoran tersebut melaksanakan prinsip uniformitas, menu
standard, porsi yang sama dengan harga yang sama, serta kualitas yang sama
dalam setiap restoran Mc Donald. McD menerapkan juga prinsip kalkulabilitas,
alias aspek kepastian terukur tentang kuantitas produk yang diperoleh.
2) Kalkulabilitas. Bisnis yang diadakan haruslah dapat dihitung untung ruginya.
Apabila tidak memungkinkan, maka dicari jalan pemecahan agar bisnis tetap
memberi keuntungan. Sebagai contoh, pola franchising Mc Donald tidak menarik
fee dasar yang besar, tetapi setiap pembelian dikenakan 1,9% kepada pemilik
franchise. Jadi yang dipentingkan ialah keuntungan dari para franchise. Demikian
pula unformitas tidak menghalangi adanya inovasi. Oleh sebab itu, Mc Donald di
Indonesia mempunyai rasa yang cocok dengan lidah Indonesia karena
menyertakan nasi di samping french fries atau kentang goreng.
3) Prediktabilitas. Dengan adanya kalkulabilitas, maka dengan sendirinya dapat
diprediksikan keuntungan yang diperoleh outlet Mc Donald. Dalam hal ini, semua
orang tahu persis, bahwa produk dan jasa yang mereka beli akan sama di mana
pun mereka cari di dunia. Rasa French fries alias kentang goreng di Kalimalang
tak ada bedanya dengan yang di California. Demikian juga dengan sistem kerja
mereka sudah dapat diprediksi, misalnya berapa lama waktu untuk masak.
Setiap outlet telah dapat memprediksi tempat-tempat yang strategis di
mana orang akan mencari makan secara cepat, misalnya di lingkungan-lingkungan
perkantoran di mana orang tergesa-gesa untuk makan dan bekerja kembali.
Demikian pula di highway-highway di mana orang mencari makan di tengah
perjalanannya secara cepat.
4) Kontrol. Kontrol ketat lewat substitusi tenaga manusia kepada teknologi. Jalur
produksi yang sudah ditetapkan atau menu yang sudah diatur sehingga orang
hanya bisa memesan sesuai menu yang ditetapkan, merupakan contoh dari betapa
terkendalinya kegiatan usaha tersebut. Termasuk tentang perilaku dan kerja
pegawainya juga distandarisasi.
Dari kontrol manusia menuju kontrol robot yang mekanistik, bisnis Mc
Donald mempunyai manual operasi yang sangat tepat yang sudah diterbitkan sejak
tahun 1958. Bahkan, pada tahun 1961 dia mendirikan suatu pusat pelatihan,
sejenis ”hamburger unversity” dangan gelar ”hamburology”. Cara-cara
memberikan servis yang cepat yang dikontrol secara mekanis dan terarah telah
dapat mempertahankan kualitas makanan secara cepat dan menyenangkan banyak
orang.
Rasional versus Irasional
Pertanyaannya, benarkah semua prinsip itu membawa kita ke arah yang lebih
baik? Dalam beberapa hal, harus diakui ya. Tapi dalam banyak hal lain, yang terjadi
adalah ironi. Manusia jadi kehilangan rasa kemanusiaannya. Hal ini tak
mengherankan, karena manusia sesungguhnya hidup bukan hanya dengan rasionalitas,
tapi juga nilai-nilai. Dan nilai-nilai tersebut, termasuk di dalamnya keyakinan/iman,
bisa jadi yang utama diperjuangkan ketimbang sekadar urusan untung-rugi.
Dalam kasus McDonaldisasi alias wabah McDonald, semua prinsip demi
rasionalisasi tadi pada kenyataannya justru muncul ketidakefisienan. Hal yang
diharapkan rasional justru menjadi tidak rasional. Ritzer menyebutnya sebagai
“Irrationality of Rationality" (Irasionalitas dari Rasionalitas).
Kecepatan untuk mengubah lapar menjadi kenyang yang didengungkan, pada
kenyataannya malah membuat antrian konsumen yang panjang. Ingin makan segera,
tetapi karena mengantri sehingga harus menunggu. Juga antrian di ATM, yang
membuat orang stres. Jika satu orang menghabiskan waktu 2 menit, berarti anda butuh
waktu 20 menit di antrian kesebelas.
Yang pernah belanja di pusat grosir besar, tentu tahu betapa banyaknya
lorong-lorong yang disediakan untuk tiap jenis barang. Alih-alih menyediakan pilihan
terbaik bagi konsumen, yang terjadi adalah orang kesal karena harus berputar-putar
setiap kali memberi barang yang berbeda. Bandingkan dengan kios tetangga,
misalnya, yang tinggal pesan, maka barang datang.
Prinsip ala Kroc juga secara nyata mengakibatkan dehumanisasi. Makanan
cepat saji pada akhirnya membuat orang tak lagi memikirkan kandungan gizi yang
tepat. Belum lagi soal teknologi, dengan membuat bahan produksi secara khusus,
misalnya budidaya tanaman secara intensif, tapi mengorbankan lingkungan bahkan
kesehatan manusia, seperti yang kini banyak dicemaskan orang.
Dehumanisasi lainnya adalah hubungan antar-manusia yang kering. Coba,
ketika kita memesan suatu menu di depan kassa makanan sebuah restoran. Begitu
anda selesai membayar, pelayan dengan senyum mengembang mengatakan, ”Terima
kasih, selamat menikmati.” (Sekilas, ini adalah bentuk keramahan. Tapi di balik itu,
sadarkah kita kalau sesungguhnya restoran ingin menyatakan kepada Anda, ”Terima
kasih, mohon pergi selekasnya, pelanggan lain yang mau membayar sudah
menunggu.”) Demikian juga hubungan dengan sesama pekerja di sebuah perusahaan,
menjadi kaku dan singkat karena disibukkan dengan pekerjaan masing-masing dan
kehilangan waktu untuk bersosialisasi.
Faktor negatif lainnya adalah adanya homogenisasi. Konsumen tidak lagi
punya hak meminta hal spesifik kecuali yang sudah tertera di menu. Padahal, apa
susahnya menambahkan buah ceri di atas es krim yang kita pesan. Tapi, karena tidak
ada dalam manual, maka permintaan sepele itu tidak akan pernah bisa dikabulkan.
Membeli baju juga bukan lagi seperti masa lalu, pesan ke tukang jahit dan
diukur sesuai tubuh. Yang ada, di swalayan tersedia ukuran S, M, L, XL, dan
seterusnya. Kalau pas di tubuh, tapi lengannya terlalu panjang, anda tidak bisa protes.
Hidup di Era Irasional
Malapetaka-kah hidup di era seperti itu? Belum tentu. Ada banyak cara untuk
berkelit dan bertekad hidup tidak dengan ala McDonald seperti fenomena di atas.
Dalam bukunya, Ritzer memberikan beberapa tips untuk menghindari terjerumus
dalam akibat-akibat negatif yang terjadi. Banyak perusahaan juga memodifikasi
model usahanya sehingga tidak terperosok menjadi perusahaan efisien tapi bak robot.
Ada banyak kafe, misalnya, yang menyediakan lebih banyak ruang baca, tempat
bersantai, atau bermain. Restoran menyediakan layanan bagi pelanggan untuk
memilih menu yang disukai, di luar yang sudah tercantum. Majalah dan koran hadir
memperbanyak ruang cerpen atau sastra, dan menghindari berita-berita kaku.
Banyak sejarawan yang menyebut globalisasi sebagai fenomena di abad ke-20
ini yang dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi internasional. Padahal interaksi
dan globalisasi dalam hubungan antarbangsa di dunia telah ada sejak berabad-abad
yang lalu. Bila ditelusuri, benih-benih globalisasi telah tumbuh ketika manusia mulai
mengenal perdagangan antarnegeri sekitar tahun 1000 dan 1500 M. Saat itu, para
pedagang dari Tiongkok dan India mulai menelusuri negeri lain baik melalui jalan
darat (seperti misalnya jalur sutera) maupun jalan laut untuk berdagang. Fenomena
berkembangnya perusahaan McDonald di seluroh pelosok dunia menunjukkan telah
terjadinya globalisasi.
Menyimak definisi Ritzer; tak pelak lagi istilah "McDonaldization" mengacu
kepada sebuaj perkembangan restoran waralaba fast-food, yang awalnya diilhami oleh
Ray Kroc, McDonald. McDonald menjadi sosok ber-ide besar dan ambisi yang luar
biasa. Bahkan pemilik idenya pun tidak mampu mengantisipasi dampak dahsyat dari
kreasi itu. McDonald menjelma sebagai tengkorak perkembangan penting yang
berpengaruh pada kehidupan Amerika di abad 20. Bisnis waralaba fast-food Kentucky
Fried Chicken (KFC) memulai bisnis lebih dulu pada tahun 1954 . Sedangkan
McDonald memulai bisnis waralaba pada 15 April 1954, membuka outlet ke 12.000
pada 22 Maret 1991 dan di akhir 1993,ia telah menjadi sekitar 14.000 restoran
diseluruh dunia. Keuntungannya pada tahun 1993 sekitar USD 1,6 miliar pertahun,
total aset jualnya mencapai USD 23,6 miliar . Tahun 1998 nilai total penjualan
sebesar $ 36 milyar dari 24.800 resto di seluruh dunia. Dan pada tahun 2000 aset
perjualan mencapai 40 miliar dolar Amerika Serikat (US) dari 29.000 outlet yang
tersebar.
Bisnis resto makanan cepat saji McDonald dari AS yang selama sekian dekade
hingga saat ini tetap menjadi simbol merk global bisnis yang sukses di seluruh dunia.
McDonald adalah salah satu perusahaan yang terus-menerus bercokol dalam top-list
merk global dan kapitalisasi bisnis ratusan milyar dollar yang menggurita keseluruh
antero dunia.
McDonaldisasi merupakan pelaksanaan prinsip-prinsip dan sistem franchising
makanan cepat saji (fast-food) dari Mc Donald yang terdapat di hampir seluruh dunia.
Bermula dari restoran kecil drive in yang menjual hamburger di San Bernardino,
California, tahun 1954 oleh Mc Donald bersaudara, outlet-outlet Mc Donald
kemudian menyebar di hampir seluruh dunia. Seorang inovator bernama Ray Crock
pada 1955 memodernisasi serta merasionalisasikan restoran kecil tersebut menjadi
raksasa makanan cepat-saji yang mendunia.
Walaupun dalam hal ini Ritzer pun menjelaskan, bahwa sesungguhnya yang
dipentingkan dari istilah "McDonaldization" sesungguhnya adalah sisi uraian
pengertian atas definisi yang dilontarkannya. Sungguh kebetulan pula istilah
"McDonaldization" terdengar lebih enak dirangkai, jika dibandingkan misalnya
dengan BurgerKingization, 7Elevenization, Starbuckization, dll.
Kaum pedagang muslim memberi banyak pengaruh bagi negara – negara di
Asia dan Afrika. Kaum muslim membentuk jaringan perdagangan yang antara lain
meliputi Jepang, Tiongkok, Vietnam, Indonesia, Malaka, India, Persia, pantai Afrika
Timur, Laut Tengah, Venesia, dan Genoa. Di samping membentuk jaringan dagang,
kaum pedagang muslim juga menyebarkan nilai-nilai agamanya, nama-nama, abjad,
arsitek, nilai sosial dan budaya Arab ke warga dunia. Ini sama halnya dengan Mc
Donald yang mewabah ke seluruh penjuru dunia. Dengan mengacu pada empat
prinsip Mc Donald, telah membuat restoran cepat saji tersebut menjadi semacam icon
dari proses Amerikanisasi budaya dunia. Prinsip McDonaldisasi ini diterapkan bukan
hanya di restorannya, tetapi juga merambah hampir ke semua sektor kehidupan dari
budaya global dewasa ini. Hampir tidak ada sektor kehidupan modern yang tidak
dimasukinya. Mc Donald telah menjadi suatu life style manusia modern.
Untuk urusan perut, Kentucky Fried Chicken, Burger King, Pizza Hut, dan
lain-lain boleh dibilang mengikuti jejak McD. Di luar itu, kini berkembang usaha
dengan prinsip sama, seperti McDentist (Urusan Dokter Gigi), McDoctor (medis), dan
segala Mc lainnya. Media massa pun terimbas. Di Amerika, ada surat kabar USA
Today, yang isinya ringkas, sehingga membantu bagi yang sibuk karena mereka
cukup membaca berita yang ringkas. Atau, kita semua menggunakan mesin ATM
(anjungan tunai mandiri) bukan? Itu tak lain menggunakan empat prinsip tadi. Anda
tahu persis apa yang akan anda dapatkan, atau yang bisa diurus oleh ATM.
Bangsa Eropa, seperti Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda yang
merupakan pelopor-pelopor eksplorasi. Hal ini didukung pula dengan terjadinya
revolusi industri yang meningkatkan keterkaitan antarbangsa dunia. Berbagai
teknologi mulai ditemukan dan menjadi dasar perkembangan teknologi saat ini,
seperti komputer dan internet. Pada saat itu, berkembang pula kolonialisasi di dunia
yang membawa pengaruh besar terhadap difusi kebudayaan di dunia.
Semakin berkembangnya industri dan kebutuhan akan bahan baku serta pasar
juga memunculkan berbagai perusahaan multinasional di dunia. Di Indonesia
misalnya, sejak politik pintu terbuka, perusahaan-perusahaan Eropa membuka
berbagai cabangnya di Indonesia. Freeport dan Exxon dari Amerika Serikat, Unilever
dari Belanda, British Petroleum dari Inggris, adalah beberapa contohnya. Perusahaan
multinasional seperti ini tetap menjadi ikon globalisasi hingga saat ini.
Fase selanjutnya terus berjalan dan mendapat momentumnya ketika perang
dingin berakhir dan komunisme di dunia runtuh. Runtuhnya komunisme seakan
memberi pembenaran bahwa kapitalisme adalah jalan terbaik dalam mewujudkan
kesejahteraan dunia. Implikasinya, negara - negara di dunia mulai menyediakan diri
sebagai pasar yang bebas. Hal ini didukung pula dengan perkembangan teknologi
komunikasi dan transportasi. Alhasil, sekat-sekat antarnegara pun mulai kabur.
Arus globalisasi begitu cepat masuk ke masyarakat luas. Tepatnya pada
negara-negara berkembang. Karena beberapa faktor yang mempermudah jalannya
proses tersebut. Di antaranya adalah teknologi dan media informasi yang berkembang
pesat hampir di seluruh lapisan masyarakat sehingga segala informasi dengan
berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas. Ruang makin dipersempit dan
waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi skala dunia. Bentuk yang
ditawarkan dan disuguhkan oleh globalisasi pun bermacam-macam. Mulai dari
Ideologi, segala kepentingan yang berhubungan dengan Politik, Ekonomi (ekspor-
impor, penyebaran produk-produk global, dan lain-lain), hiburan (film, musik), seks
bebas, nilai-nilai, gaya hidup, dan seterusnya.
Daya serap masyarakat terhadap budaya global lebih cepat dibanding daya
serap budaya lokal. Bukti nyata dari pengaruh globalisasi itu, antara lain dapat
disaksikan pada gaya berpakaian, gaya berbahasa, teknologi informatika dan
komunikasi, dan lain sebagainya. Rok mini dipandang lebih indah daripada pakaian
yang rapat. Bahasa Indonesia yang baik dan benar menjadi bahasa yang ke sekian di
bawah Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia gaul.
Dengan pergeseran waktu, wanita-wanita yang terkenal pandai memasak
mulai beralih pada makanan-makanan cepat saji (fastfood) yang bisa didapatkan di
restoran. Pizza, spagetti, humberger, fried chicken dianggap lebih fashionable
daripada makanan lokal. Media elektronik selalu kebanjiran film-film Mandarin,
Bollywood, Hollywood, Mexico, dan lain sebagainya. Tempat belanja lokal tidak
memenuhi kebutuhan, sehingga wisata belanja ke luar negeri membudaya, walaupun
membutuhkan biaya mahal. Handphone dengan berbagai model dikerumuni banyak
remaja. Proses imitasi budaya asing akan terus berlangsung.
Bagaimana pun masyarakat yang ada sekarang lebih cinta untuk memilih
budaya dan suguhan hidangan global dibanding menerima dan menghidupkan tradisi
serta budaya warisan nenek moyang mereka. Akhirnya globalisasi telah
meminimalisir perlindungan terhadap budaya lokal melalui proses liberalisasi pasar
dan perdagangan luas di banyak negara berkembang. Suatu hal yang sulit dihindari
karena merebaknya media-media dan prasarana lainnya berupa film, sastra, siaran
satelit, internet, koran, majalah yang telah mencemari budaya lokal.
Perkembangan industri pangan (food industry) dewasa ini, ditandai dengan
menjamurnya berbagai restoran siap saji diseluruh penjuru dunia. Saat ini hampir
tidak ada kota yang tidak disinggahi oleh McDonald’s, Kentucky Fried Chicken, dan
lain sebagainya . Hal ini merupakan bentuk dari hegemoni kapitalisme global
mencengkram seluruh sendi-sendi kehidupan. Dua sifat utama dari kapitalisme yaitu
eksploitatif dan ekspansif. Kedua wajah kapitalisme ini berjalan beriringan sehingga
pencapaian tujuan kapitalisme untuk meningkatkan akumulasi modal semakin masife.
Ada rasa yang beda ketika mereka memasuki dan makan ditempat-tempat
yang identik dengan pangan elit. Tidak hanya rasa tetapi mereka membeli pola dan
gaya hidup, agar mereka menjadi orang modern inilah efek sampingan dari pencitraan
media melalui iklan-iklan. Menurut Susongko, ada penciptaan norma baru di
masyarakat seolah-olah orang akan menjadi udik dan ketinggalan zaman bila belum
pernah menyantap pizza, hamburger, dan berbagai produk pangan lainnya. Produk itu
dianggap pangan elit oleh sebagian besar masyarakat.
Ekspansi industri pangan dalam bentuk bisnis waralaba fast food (KFC,
McDonalds, dan lain sebagainya), telah merambah di berbagai kota belahan dunia
khususnya di negara berkembang. Negara berkembang sebagai ruang transisi antara
masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, menjadi pasar yang cukup
signifikan bagi penjualan produk-produk kapitalisme tersebut, untuk memperbesar
akumulasi modal atau dengan kata lain sebagai bentuk eksploitasi. Kondisi tersebut
sejalan dengan hukum dasar dari kapitalis menurut Marx dalam sirkulasi komoditas
kapitalis yaitu MI-C-M2, bahwa kapital adalah uang yang menghasilkan lebih banyak
lagi, selain itu menurut Marx bahwa kapital tidak hanya uang tetapi adanya relasi
sosial tertentu.
Masuknya Restoran Siap Saji (Fast-Food) Sebuah Cengkeraman Tangan
Kapitalis
Masuknya bisnis waralaba (franchise) makanan siap saji khususnya di
Indonesia muncul pada tahun 1970-an. Masuknya Shakey Pisa, KFC, Swesen dan
Burger King merupakan generasi awal franchise di Indonesia. Adanya lisensi
franchise plus yang tidak sekedar penyalur, namun juga memiliki hak untuk
memproduksi menandakan perkembangan selanjutnya. Sejak tahun 1995 sistem
franchise mulai berkembang pesat pada tanggal 18 Juni 1997 dikeluarkan Peraturan
Pemerintah (PP) RI No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba . Peraturan pemerintah
tersebut telah melegalkan dan memberikan kekuatan hukum bagi ekspansi dan
eksploitasi para pemilik modal dalam hal ini perusahaan-perusahaan waralaba
makanan siap saji (fast-food).
Peraturan Pemerintah tersebut kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Pasal 1. poin pertama
bahwa waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan
usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas dalam rangka memasarkan barang
dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan
pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Poin kedua pemberi waralaba adalah
orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan
dan/atau menggunakan Waralaba yang dimilikinya kepada penerima waralaba. Poin
ketiga penerima waralaba orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak
oleh Pemberi Waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang
dimiliki Pemberi Waralaba .
Akselerasi bisnis waralaba makanan siap saji (fast-food) semakin melebar
seiring penerimaan oleh masyarakat di Indonesia. Perkembangan outlet-outlet
restoran siap saji (McD, KFC dan lain sebaginya), semakin meningkat bahkan hampir
disetiap kota sudah dimasuki oleh agen perusahaan transnasional tersebut. Sebuah
realitas yang cukup mengerikan inilah gambaran kecil dari sebuah sketsa besar
hegemoni kapitalis. Perdagangan bebas (free trade) dan adanya landasan hukum
formal untuk berkembangnya sistem kapitalisme di negara berkembang, merupakan
entri point bagai eksploitasi dan akumulasi modal yang besar bagi kapitalisme asing
di negara berkembang. Sehingga cengkeraman tangan-tangan tak nampak dari
kapitalisme merongrong sendi-sendi kehidupan dan terjadilah penghisapan agen
kapitalisme global terhadap negara berkembang. Menurut Paul Baran, munculnya
kekuatan ekonomi asing dalam bentuk modal kuat dari dunia Barat ke negara-negara
Dunia Ketiga, membuat surplus yang terjadi disana, diambil alih oleh kaum
pendatang, melalui berbagai macam cara. Maka yang terjadi di negara-negara
pinggiran bukanlah akumulasi modal melainkan penyusutan modal .
Restoran Siap Saji (fast-food), Peran Media dan Perubahan Gaya Hidup
(lifestyle)
Ekspansi perusahaan multinasional (MMC), berupa pembukaan outlet-outlet
restoran siap saji (fast-food) McDonald, Kentucky Fried Chicken dan lain
sebagiannya. Merupakan sebuah proses ekspansi kultural neoliberal dan transformasi
kultural masyarakat setempat terjadi pada kehidupan sehari-hari dengan cara marasuki
kesadaran masyarakat pada umumnya. Masyarakat menjadi objek dari pasar yang
diciptakan kemerdekaan untuk memilih makananpun sudah terkikis oleh hegemoni
fast-food. Sebuah budaya baru, lahir dalam komunitas masyarakat yang merangkak
menuju modern, yaitu amerikanisasi, manusia modern dan lain sebagainya.
Menghempas dalam ketidakberdayaan dan terpasung secara sistematis oleh sistem
neo-liberalisme.
Perkembangan ini merupakan imbas dari globalisasi yang ditandai dengan
perluasan integrasi pasar antara negara-negara maju, negara-negara sedang
berkembang dan antara keduanya. Pusat kebudayaan dunia ada di negara-negara
industrial yang memproduksi baik barang-barang, jasa-jasa dan simbol-simbol
modernitas yang kemudian dikonsumsi secara global oleh seluruh penduduk dunia
melalui komoditisasi dalam kemasan-kemasan budaya .
Tentunya penyebaran produk-produk kapitalis, dalam hal ini outlet-outlet
restoran siap saji (fast-food), misalnya McDonald, Kentucky Fried Chicken dan lain
sebagiannya. Di ikuti oleh penyebaran atau penduniaan budaya konsumtif yang
mengancam peradaban manusia. Budaya konsumtif dikemas dalam gaya hidup
internasional dan merupakan simbol modernitas.
Hegemoni fast food sangatlah dipengaruhi oleh banyak faktor yang
mendukung, salah satunya adalah media. Sebagai agen dari kapitalis negara maju
yang mengembangkan bisnis waralaba fast-food, khususnya Amerika merupakan
salah satu negara yang memiliki berbagai macam kemajuan teknologi, baik dari segi
informasi maupun ilmu pengetahuan.
Melalui teknologinya, baik media cetak, elektronik, audio visual, visual dan
sebagainya, menyebarakan berbagai persfektif atau ideologi yang diyakini oleh
masyarakat benar adanya, dan berakibat dalam pola keseharian masyarakat dunia
berkembang khususnya dalam hal ini Indonesia yang telah terjajah oleh kaum
kapitalisme.
Media massa, baik elektronik maupun cetak, tidak dapat dipungkiri sebagai
corong utama penyebaran “epidemi global”. Gaya memakan makanan fast-food
seperti Hamburger McDonald, KFC, Texas, dan lain-lain merebak diseantero jagat
termasuk di Indonesia. Perubahan gaya hidup yang menjadi serba instan telah
merasuki relung-relung kehidupan terutama generasi muda dewasa ini. Hal ini senada
dengan pendapat Martin Khor, bahwa perusahaan multinasional (MMC) melalui iklan
dan promosi produk, mereka juga mempromosikan budaya konsumtif sesaat dan tidak
berkelanjutan .
Menurut Tri Hardiyanto Sasongko, proses homogenisasi juga didukung oleh
kuatnya pencitraan komoditi yang ditawarkan melalui iklan di media massa. Salah
satu citra yang ditawarkan adalah citra modern dan gaya hidup baru di berbagai
pelosok negeri . Di lain pihak banyak juga efek yang ditimbulkan dari hegemoni
bisnis fast-food, baik ekonomi, sosial, dan juga budaya. Efek lain yang tidak rasional
dari restoran fast-food adalah dehumanisasi yang berlasung ditempat makan dan
verja. Pembeli dipaksa antri hanya untuk mendapatkan burger. Sementara pekerja
kerap merasa tidak ubahnya bagian dari alur parasitan . Tetapi efek-efek negatif tidak
pernah diangkat oleh media, kondisi ini merupakan salah bentuk dari hegemoni dalam
persfektif Gramsci.
Perubahan gaya hidup merupakan salah satu akibat dari hegemoni bisnis fast-
food terutama McDonald’s, Kentucky Fried Chicken, dan lain sebagainya. Kondisi ini
bersentuhan langsung pada pola konsumsi masyarakat sebagai bagian dari gaya hidup,
munculnya perilaku konsumtif dan konsumerisme adalah bagian yang tak terpisahkan
dari efek ekspansi bisnis fast-food di negara berkembang termasuk Indonesia.
Proses perkembangan restoran siap saji (fast-food) sebagai hasil dari ekspansi
perusahaan-perusahaan multinasional (MMC). Kedai-kedai atau outlet fast-food
berkembang cukup pesat beriringan dengan diterimanya produk tersebut oleh
masyarakat di dunia berkembang.
Tentunya peran media sangat signifikan dalam pembentukan opini dan
propaganda dengan simbol-simbol modern. Sehingga masyarakat terhipnotis dan
merasa bahwa untuk menjadi modern harus mengikuti pola hidup atau gaya hidup
seperti yang dipropagandakan oleh iklan-ikalan di media massa. Inilah wujud utuh
dari hegemoni kapitalis dalam mencengkeramkan tanganya ke negara-nagara
berkembang.
Pergeseran dan perubahan gaya hidup (life style) berpengaruh cukup
signifikan khususnya pada generasi muda. Dewasa ini pengaruh dan cengkeraman
restoran fast-food McDonald, KFC, Pizza, Texas dan lain sebagainya, cukup besar
bagi pembentukan statu pola gaya hidup tertentu. Gaya hidup yang instan, perilaku
konsumtif dan juga konsumerisme. Awalnya konsumsi tidak lain adalah pemenuhan
kebutuhan manusia. Namun demikian, konsumsi dan polanya sudah berkembang
sedemikian rupa sehingga mencapai bentuk yang lebih jauh dari bentuk awal dan
primitifnya. Ia bukan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan melainkan lokomotif dari
gerbong kapitalisme.
Kebanyakan masyarakat di negara berkembang terjangkit penyakit
konsumerisme, termasuk Indonesia. Secara singkat bahwa konsumerisme merupakan
suatu pola pikir dan tindakan di mana orang melakukan tindakan membeli barang
bukan karena ia membutuhkan tetapi tindakan membeli itu memberikan statu
kepuasan pada dirinya . Selain itu konsep kebutuhan didefinisikan ulang oleh iklan
dan segenap bentuknya (mulai dari advertorial, iklan berbentuk berita dan laporan
ilmiah, iklan bentuk hiburan dan lain sebagainya), inilah signifikasi dari media
mempengaruhi perilaku masyarakat didunia berkembang sebagai pasarnya
perusahaan-perusaan multinasional (MMC). Berimbas pada pembentukan gaya hidup
yang instan sesuai dengan pencitraan di iklan-iklan. Jadilah manusia sebagai robot
yang dikendalikan oleh mesin kapitalisme. Inilah bagian dari banyak cerita tragis
akibat arus globalisasi yang mencekik kerongkongan masyarakat negara berkembang.
Konsumerisme yang tinggi (dalam hal makanan), memiliki dampak negatif
bagi masyarakat. Fast-food adalah makanan yang diolah dan disajikan secara cepat.
Belum tentu sesuatu yang cepat memiliki kualitas yang bagus dan sehat. Junk-food
salah satunya. Kata fast-food dan junk-food sangat erat kedengarannya. Junk-food
merupakan makanan sampah. Ini bukan berarti makanan yang diambil dari sampah,
namun makanan yang memilioki kadar gula tinggi, kadar kolesterol tinggi, kadar
lemak tinggi, yang tentu saja merupakan makanan ”musuh” dari tubuh kita karena
semuanya dikonsumsi dengan kadar yang ”terlalu” tinggi. Dan alhasil, negara AS,
sebagai awal mula McDonadlisasi, masyarakatnya banyak yang mengalami obesitas
(kegemukan). Tingkat konsumerisme negara AS juga termasuk tinggi. Namun,
diimbangi dengan tingkat penghasilan rata – rata yang tinggi. Namun, jika
McDonaldisasi deterapkan di negara berkembang, misalnya saja Indonesia,
sebenarnya kurang cocok. Karena antara tingkat konsumsi dan pendapatan tidak
seimbang. Dapat dikatakan, ”Besar pasak daripada tiang.”
Dalam kasus lain kondisi ini sejalan dengan pendapat Hoggrt, bahwa
masuknya budaya populer melalui berbagai jenis asupan produk dari novel-novel sex
dan kekerasan lagu-lagu pop komersial melalui media iklan dan sebagainya, membuat
kelas pekerja kehilangan dirinya dan budaya mereka, sebuah budaya yang dibawah
dari seberang Samudra Atlantik, atau sering ia sebut dengan amerikanisasi .
Remaja diera dinegara berkembang telah masuk kedalam kubangan jerat
kapitalisme melalui penanaman nilai dan pandangan hidup yang dikonstruksikan
melalui media massa. Perilaku nongkrong di mall, café, dan memakan makan siap saji
(fast-food) KFC, McD, Pizza, Texas dan lain sebagainya adalah bagian dari
keseharian mereka. Sebuah penukaran identitas lokal dengan identitas instan modern.
Semua orang sudah begitu dalam masuk kedalam perangkap kapitalisme dan tidak
menyadari akan perangkap itu.
Penyebarluasan globalisasi budaya Barat merupakan suatu produk homogen
yang mempunyai karakter 'materialistik', yang berdampak kepada pergolakan dan
konflik sosial di masyarakat non-Barat. Mereka memiliki warisan budaya dan
kehidupan religius yang jelas berbeda dengan masyarakat Barat sebagai pengusung
globalisasi dan kapitalisme.
Karena, globalisasi-kapitalisme mengisyaratkan sebuah perubahan atau
dengan kata lain merupakan rekonstruksi bentuk-bentuk masyarakat yang berlaku
berupa tatanan etika dan selebihnya, merupakan perubahan tersebut acap kali
membangkitkan konflik sosial yang hebat. Biasanya perubahan ini terjadi pada
wilayah perkotaan (urbanized area). Proses modifikasi baru saja ditembus. Seperti
yang banyak terjadi di negara-negara ketiga.
Ada pun pengaruh globalisasi terhadap sosial budaya meliputi dua sisi, yaitu
pengaruh positif dan pengaruh negatif. Salah satu yang menjadi pelajaran positif
untuk kehidupan sosial adalah masyarakat suatu bangsa dapat meniru pola berfikir
yang baik seperti etos kerja yang tinggi, disiplin, dan ilmu pengetahuan dari bangsa
lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan masyarakat setempat sehingga
bisa menegakkan agama dan membangun bangsanya untuk lebih maju.
Sedangkan dampak negatif globalisasi terhadap masyarakat --khususnya anak
muda, banyak dari mereka yang melupakan identitas diri sebagai anak bangsa, karena
gaya hidup mereka cenderung imitatif terhadap budaya Barat. Mulai dari pakaian,
potongan dan warna rambut, pilihan hiburan, dan seterusnya.
Pengaruh negatif kedua yaitu adanya kesenjangan sosial yang tajam antara
warga kelas atas dan bawah, kaya-miskin, disebabkan adanya persaingan bebas dalam
globalisasi ekonomi. Yang ketiga adalah munculnya sikap individualisme yang
menimbulkan ketidakpedulian antar individu dalam masyarakat. Dengan demikian
masyarakat tidak akan peduli atas bangsa dan budayanya.
Ekonomi mempunyai pengaruh kuat terhadap masyarakat. Seperti yang pernah
dikatakan oleh Karl Marx, bahwa ternyata aspek ekonomi seseorang mampu
menentukan kesadaran sosial masyarakat; seperti cara seseorang bersikap,
berperilaku, hingga keberagamaan suatu masyarakat. Dengan demikian dapat kita
simpulkan bahwa dengan merebaknya globalisasi ekonomi pada suatu bangsa maka
kehidupan sosial juga akan berubah sesuai dengan potensi yang di sebarluaskan oleh
globalisasi tersebut.
Pendukung globalisasi (sering juga disebut dengan pro-globalisasi)
menganggap bahwa globalisasi dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran
ekonomi masyarakat dunia. Mereka berpijak pada teori keunggulan komparatif yang
dicetuskan oleh David Ricardo. Teori ini menyatakan bahwa suatu negara dengan
negara lain saling bergantung dan dapat saling menguntungkan satu sama lainnya, dan
salah satu bentuknya adalah ketergantungan dalam bidang ekonomi. Kedua negara
dapat melakukan transaksi pertukaran sesuai dengan keunggulan komparatif yang
dimilikinya. Misalnya, Jepang memiliki keunggulan komparatif pada produk kamera
digital (mampu mencetak lebih efesien dan bermutu tinggi) sementara Indonesia
memiliki keunggulan komparatif pada produk kainnya. Dengan teori ini, Jepang
dianjurkan untuk menghentikan produksi kainnya dan mengalihkan faktor-faktor
produksinya untuk memaksimalkan produksi kamera digital, lalu menutupi
kekurangan penawaran kain dengan membelinya dari Indonesia, begitu juga
sebaliknya.
Salah satu penghambat utama terjadinya kerjasama diatas adalah adanya
larangan-larangan dan kebijakan proteksi dari pemerintah suatu negara. Di satu sisi,
kebijakan ini dapat melindungi produksi dalam negeri, namun di sisi lain, hal ini akan
meningkatkan biaya produksi barang impor sehingga sulit menembus pasar negara
yang dituju. Para pro-globalisme tidak setuju akan adanya proteksi dan larangan
tersebut, mereka menginginkan dilakukannya kebijakan perdagangan bebas sehingga
harga barang-barang dapat ditekan, akibatnya permintaan akan meningkat. Karena
permintaan meningkat, kemakmuran akan meningkat dan begitu seterusnya.
Beberapa kelompok pro-globalisme juga mengkritik Bank Dunia dan IMF,
mereka berpendapat bahwa kedua badan tersebut hanya mengontrol dan mengalirkan
dana kepada suatu negara, bukan kepada suatu koperasi atau perusahaan. Sebagai
hasilnya, banyak pinjaman yang mereka berikan jatuh ke tangan para diktator yang
kemudian menyelewengkan dan tidak menggunakan dana tersebut sebagaimana
mestinya, meninggalkan rakyatnya dalam lilitan hutang negara, dan sebagai
akibatnya, tingkat kemakmuran akan menurun. Karena tingkat kemakmuran menurun,
akibatnya masyarakat negara itu terpaksa mengurangi tingkat konsumsinya; termasuk
konsumsi barang impor, sehingga laju globalisasi akan terhambat dan -- menurut
mereka -- mengurangi tingkat kesejahteraan penduduk dunia.
Arus kapitalis mendera cukup deras keseluruh bagian negara-negara di dunia.
Ada banyak persoalan yang dihadapi oleh negara berkembang dengan masuknya
berbagai regulasi agen-agen kapitalis yang melakukan ekspansi besar-besaran
perusahaan multinasional mereka. Penyebaran perusahaan waralaba berupa restoran-
restoran siap saji KFC, McD, Pizza, Texas, dan lain sebagainya, telah berdampak pada
perubahan dan penciptaan gaya hidup baru terutama dikalangan generasi muda.
Mereka disuguhkan tayangan media masa berupa iklan-iklan produk tersebut,
berimbas pada penghambaan terhadap produk-produk tersebut. Sebuah gambaran
pencarian identitas tetapi terjadinya kehilangan identitas.
Kehadiran budaya Barat seakan mendominasi dan selalu menjadi trend-centre
masyarakat. Kebiasaan dan pola hidup orang barat seakan menjadi cermin
kemodernan. Hal ini jelas mengikis perilaku dan tindakan seseorang.
Hembusan pengaruh budaya Barat, dianggap sebagai ciri khas kemajuan
dalam ekspresi kebudayaan kekinian. Padahal belum tentu sesuai dengan kebutuhan
situasi dan kondisi masyarakat sendiri. Keadaan ini terus mengikis budaya dan
kearifan lokal yang menjadi warisan kebudayaan masyarakat nusantara.
Nilai tradisional masyarakat perlahan mengalami kepunahan, tak mampu
bersaing dengan derasnya publikasi budaya modern dalam konteks pergaulan
masyarakat. Beberapa dampak yang dirasakan adalah dengan menurunnya rasa sosial
dan tenggang rasa masyarakat, mengikisnya semangat kebhinekaan yang mengarah
pada disintegrasi bangsa dan pelanggaran hukum, dan pola hidup individualisme dan
konsumerisme yang bertentangan dengan sikap hidup sederhana. Kebebasan dan
kesenangan hidup masyarakat Barat tidak selamanya positif. Banyak kalangan remaja
yang sedang mencari jati diri tergusur oleh tren-tren yang tak henti diiklankan sebagai
suatu gaya hidup yang menyenangkan dan mendunia. Banyak norma-norma
masyarakat pribumi di Indonesia yang terkikis dalam keseharian generasimudanya.
Seharusnya masyarakat di Indonesia, maupun di negara - negara berkembang,
berusaha mengevaluasi dan memberikan kritikan terhadap masuknya perusahaan-
perusahaan multinasional tersebut. Agar efek samping yang negatif dapat
diminimalisir dan bisa dijadikan input bagi regulasi-regulasi kebijakan dalam negeri.
Global pop culture atau globalisasi budaya bukanlah tren baru. Ia muncul
bersama dengan lahirnya globalisasi itu sendiri. Baik dalam politik, ekonomi, dan
lain-lain. Karena aspek-aspek tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap
perubahan tatanan masyarakat dan budaya suatu negara. Singkat kata dapat kita
simpulkan beberapa hal yang menjadi karakteristik globalisasi sosial dan globalisasi
budaya, yaitu:
a. secara sosial; konsep berpakaian, tata bicara, sistem kekerabatan da stratifikasi
sosial juga berubah dan bergeser ke arah yang lebih modern dibanding generasi
sebelumnya. Konsep sosial yang ada dalam masyarakat juga berubah, terutama
masalah tranportasi, komunikasi, dan arus informasi.
b. Dalam arena budaya, proses globalisasi mencerminkan diri pada struktur sosial
yang berkaitan dengan kepercayaan, nilai, simbol, dan fakta. Meninggalkan
dogma-dogma kuno seperti mitos dan lain-lain, yang digantikan dengan sebuah
doktrin baru yang bersifat majemuk (plural) yaitu mencari kebenaran dengan
metode analisis-kritis.
Dengan kata lain, dalam globalisasi sosial budaya orang lebih suka untuk
menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Hal ini dikarenakan adanya
bentuk neo-liberal globalisasi dalam perwujudan universalisasi terhadap style bentuk
budaya tertentu, yang cenderung untuk memperoleh hirarki sosial dan homogenisasi
budaya yang sangat besar dalam skala dunia.
Oleh sebab itu, budaya dan adat istiadat merupakan ciri dan faktor penting
yang dimiliki oleh suatu bangsa. Jadi negaralah yang memiliki peran penting untuk
melindungi nilai-nilai asli milik masyarakatnya berupa warisan nenek moyang;
norma, etika, budi pekerti masyarakat yang harus selalu dijunjung tinggi.
Hal tersebut sudah menjadi tanggung jawab pemerintah, seperti memilah dan
memilih situs-situs apa saja yang layak untuk disuguhkan kepada anak bangsanya,
mengalokasikan dana besar untuk mengadakan festival-festival budaya guna
memasyarakatkan kekayaan budaya bangsa dan mempromosikan industri wisata
mereka, dan lain-lain.
Secara garis besar dapat kita fahami bahwa globalisasi yang menghadirkan
budaya Barat kepada negara-negara non-Barat semata-mata hanyalah bentuk baru
kolonialisme atau imperialisme Barat terhadap negara "jajahannya". Bedanya kalau
zaman dulu penjajahan adalah ekspansi kekuasaan dengan kekuatan tangan, tapi
sekarang penjajahan tersebut menggunakan soft power.
Seakan memberikan obat mujarab kepada negara-negara yang baru saja
berkembang berupa opium, maka pasien akan merasakan kenikmatan dalam tiap
tegukan. Tapi, apa yang terjadi tidaklah seperti dirasa dan diharapkan. Pasien pun
akan mati 'cepat atau lambat' tergantung pada seberapa banyak dan besar pengaruh
opium tersebut.
Perlu diingat bahwa tidak semua dokter jahat dan tidak semua obat beracun.
Tergantung pada ikhtiar pasien dalam menentukan kemana dan bagaimana ia harus
berobat. Dalam menghadapi fenomena globalisasi, sebagai warga negara yang
'berbudaya' dan 'memiliki budaya' ada dua hal yang seyogyanya dimiliki oleh
masyarakat, yaitu: mengokohkan identitas diri dan reaksi timbal balik, maksudnya
adalah suatu negara tetap membentengi diri dari segala pengaruh globalisasi dengan
tidak menutup semua pintu tapi menyaring dan memfilter, sehingga akan muncul
timbal-balik yang fair dan equitable.
Globalisasi merupakan sarana terbaik untuk memperkenalkan budaya bangsa
kita. Kita bukan hanya menjadi masyarakat yang sekedar menjadi konsumen budaya-
budaya seberang. Tapi, juga mampu menghadirkan dan menjunjung tinggi budaya dan
nilai-nilai luhur kita kepada bangsa lain.
Fenomena peng-global-an dunia harus disikapi dengan arif dan positif
thinking karena globalisasi dan modernisasi sangat diperlukan dan bermanfaat bagi
kemajuan. Namun tidak boleh lengah dan terlena, karena era keterbukaan dan
kebebasan itu juga menimbulkan pengaruh negatif yang akan merusak budaya bangsa.
Menolak globalisasi bukanlah pilihan tepat, karena itu berarti menghambat kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Bukankah kita tidak mau ketinggalan dalam IPTEK
dengan negara lain. Akan tetapi perlu kecerdasan dalam menjaring dan menyaring
efek globalisasi. Akses kemajuan teknolgi informatika dan komunikasi dapat
dimanfaatkan sebagai pelestari dan pengembang nilai-nilai budaya lokal. Jatidiri
daerah harus terus tertanam di jiwa masyarakat, serta harus terus meningkatkan nilai-
nilai keagamaan.
Jadi, prinsip-prinsip McDonaldisasi memang tidak selalu negatif, tetapi bisa
diambil seperlunya demi kemajuan. Namun pada saat bersamaan, hidup harus dibuat
berwarna agar terhindar dari jebakan irasionalitas, dehumanisasi, atau homogenisasi.
Hidup terlalu indah untuk disetir dengan prinsip untung-rugi.
Tips Hidup di era McDonaldisasi
1. Agama tentu pegangan utama. Dengan iman, anda tidak akan mengalami
kegoyahan hidup sehari-hari, tahu mana yang harus dikerjakan dan mana yang
tidak.
2. Bagi yang mampu, usahakan tidak tinggal di apartemen. Cobalah hidup di
lingkungan yang bisa bersosialiasi. Kalau terpaksa hidup di lingkungan
apartemen, upayakan tidak menjadi kaum asosial.
3. Daripada membeli di swalayan, mal, atau grosir raksasa, cobalah sesering
mungkin belanja di pasar tradisional. Atau belilah buah dari pedagang pinggir
jalan. Mahal sedikit tak mengapa, tapi anda membantu mereka dan bebas dari
kekakuan ala supermarket.
4. Bersantaplah di resto Padang, atau warung pecel lele, ketimbang di resto siap saji
atau resto besar lainnya.
5. Coba menulis untuk keluarga dengan pena dan layanan pos, meski e-mail
memungkinkan. Upayakan telepon famili langsung, tidak lewat SMS.
6. Hindari membeli barang-barang impor yang mahal dan tak perlu. Cintai produk
dalam negeri.
7. Kalau harus menonton televisi, tontonlah stasiun yang kecil atau yang
menawarkan program pendidikan, bukan hiburan film.
8. Daripada membawa liburan anak-anak ke pusat permainan (game), bawalah
mereka ke Kebun Raya, atau Taman Margasatwa. Cegah rutinitas sehari-hari.
Bikinlah sesuatu dengan cara berbeda setiap hari, bila mungkin. Dan jika bisa
dikerjakan sendiri, kerjakan, tak usah menggunakan jasa layanan komersial.
Negara Indonesia, merupakan salah satu negara yang memiliki presentase
tingkat konsumerisme tinggi. Hal ini merupakan salah satu dampak dari
McDonalisasi. Untuk itu, diharapkan agar masyarakat Indonesia peduli dan mau
mengembangkan makanan tradisional Indonesia, kesenian daerah, dll, untuk
meminimalisasi dampak tersebut. Jika tidak, maka masyarakat Indonesia akan
bernasib sama seperti masyarakat di AS, yaitu menderita obesitas (kegemukan), serta
banyak penyakit yang akan mendera.
Demikian makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.
Apabila ada kesalahan dalam penulisan ejaan nama, tempat, atau apapun, kami mohon
maaf yang sebesar – besarnya.
top related