luka penetrasi kepala
Post on 26-Oct-2015
153 Views
Preview:
TRANSCRIPT
TRAUMA PENETRASI KEPALA
Latar Belakang
Luka pada otak akibat trauma atau yang sering disebut traumatic brain injury (TBI),
merupakan penyabab kematian terbanyak keempat di Amerika Serikat dan merupakan
penyabab kematian utama pada usia 1-44 tahun. Sekitar 2 juta kasus traumatic brain injury
terjadi setiap tahunnya, dan menghabiskan dana sekitar 25 milyar dolar per tahun untuk
penanganan medis dan sosial bagi pasien dengan kasus tersebut.
Analisis pada penelitian tentang trauma menunjukkan bahwa 50% kematian akibat
trauma merupakan dampak sekunder dari traumatic brain injury, dan sekitar 35% kasus ini
disebabkan oleh luka tembak pada kepala. Peningkatan kasus kekerasan dengan senjata api
yang diikiuti dengan peningkatan kasus trauma penetrasi kepala menjadi perhatian khususnya
bagi dokter bedah saraf dan bagi masyarakat pada umumnya.
Hasil CT scan di bawah ini adalah contoh luka tembak yang mengenai otak.
Seorang laki-laki muda datang ke unit gawat darurat setelah mengalami luka tembak
yang mengenai otak. Luka masuk berada di regio oksipital kiri. Pada CT scan tampak fraktur
pada tengkorak dengan kontusio sebrebri yang luas. Pasien dibawa ke ruang operasi untuk
debridement luka dan fraktur tengkorak, dengan perbaikan dura mater. Pasien kemudian
pulang dengan kondisi neurologis baik baik, namun dengan gangguan lapang pandang yang
signifikan.
Pengertian dari penetrating head injury adalah luka dimana proyektil dapat
menembus kranium, namun tidak dapat keluar dan tetap terperangkap di ruang intrakranial.
Terlepas dari prevalensinya, morbiditas dan mortalitas dari penetrating head injury masih
cukup tinggi. Pemahaman lebih lanjut tentang mekanisme luka dan managemen medis dan
pembedahan yang cepat dengan luka tersebut dapat memberikan hasil yang lebih baik.
Sejarah Prosedur
Laporan terdahulu tentang trauma kepala dan managemennya yang terdapat pada
lembaran papirus Edwin Smith 1700 sebelum masehi, melaporkan 4 kasus fraktur depresi
tengkorak yang dirawat oleh masyarakat mesir kuno dengan membiarkan luka tidak dibebat,
sehingga dapat menjadi drainase untuk rongga intrakranial, dan melumuri luka pada kulit
kepala dengan minyak. Hippocrates (460-357 sebelum masehi) melakukan trepinasi untuk
kontusio, fraktur belah, dan indentasi tengkorak. Pengamatan Galen (130-210 sebelum
masehi) pada penanganan gladiator yang terluka, manghasilkan simpulan bahwa terdapat
keterkaitan antara lokasi luka pada kepala dengan sisi tubuh yang mengalami kelumpuhan.
Pada masa Dark Ages, terdapat sedikit peningkatan pada manajemen bedah untuk
luka di kepala, sedangkan pengobatan masih memberikan hasil yang buruk untuk luka di
kepala dengan dura mater yang robek. Pada abad ke-17, Richard Wiseman memberikan
penjelasan yang lebih baik tentang manajemen bedah untuk penetrating brain injury; dia
merekomendasikan evakuasi hematom subdural dan ekstraksi fragmen tulang. Menurutnya,
luka yang dalam memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan luka superfisial.
Kemajuan besar pada penanganan penetrating craniocerebral injury pada
pertengahan abad ke-19 berkaitan dengan penemuan Louis Pasteur (1867), Robert Koch
dalam bakteriologi, dan Joseph Lister dalam asepsis. Kemajuan ini menurunkan insidensi
ifeksi lokal dan sistemik, diikuti dengan mrnurunnya mortalitas.
Permasalahan
Selama 20 tahun terakhir, terjadi peningkatan dramatis pada insidensi penetrating
head injury. Luka tembak di kepala menjadi penyebab terbanyak trauma kepala di kota-kota
di Amerika Serikat. Trauma tersebut sangat berdampak buruk bagi pasien, keluarga, dan
masyarakat.
Siccardi et al. (1991) meneliti 314 pasien dengan luka tembak kranioserebral dan
menemukan bahwa 73% korban meninggal di tempat kejadian perkara, 12% meninggal
dalam 3 jam sejak terjadinya luka, dan 7% meninggal setelahnya, dengan total 92%
meninggal [1]. Pada penelitian lain, luka tembak menjadi penyebab lebih dari 14% kematian
akibat trauma kepala pada tahun 1979-1986.
Age-adjusted death rates untuk luka akibat senjata api meningkat sejak 1985. Sebuah
penelitian dengan metode regresi logistik multipel menunjukkan bahwa luka akibat senjata
api meningkatkan kemungkinan kematian dan korban dengan luka tembak di kepala 35 kali
lebih mungkin untuk meninggal daripada pasien dengan nonpenetrating brain injury.
Epidemiologi
Frekuensi
Sebuah survey yang dilakukan oleh National Institutes of Health memperkirakan
bahwa di Amerika Serikat, setiap tahunnya 1,9 juta orang mengalami fraktur tengkorak atau
trauma intrakranial, dimana setengah dari kasus tersebut akan menunjukkan hasil yang
kurang bagus. Pada tahun 1992, luka akibat senjata api menempati posisi pertama penyebab
kematian akibat traumatic brain injury di Amerika Serikat, dan luka tembak merupakan
penyebab tersering kematian pada orang Afro-Amerika.
Etiologi
Penetrating head injury dapat terjadi karena hal-hal yang disengaja maupun tidak
disengaja, meliputi luka tembak. Luka tusuk, dan kecelakaan lalulintas atau kecelakaan kerja
(akibat paki atau obeng).
Luka tusuk yang menembus kranium biasanya disebabkan oleh senjata dengan ujung
sempit atau runcing, yang ditusukkan dengan kecepatan rendah. Luka yang paling sering
adalah luka tusuk akibat pisau, sedangkan penyabab luka perforasi kranioserebral yang
pernah dilaporkan antara lain disebabkan oleh, paku, tongkat logam, es tajam, kunci, pensil,
supit, dan bor.
Patofisiologi
Akibat patologis penetrating head injury tergantung pada keadaan dari luka, meliputi
jenis senjata atau peluru, energi saat tumbukan, dan lokasi serta karakteristik organ
intrakranial yang dilewati [2]. Luka sekunder umumnya akan terjadi mengikuti luka primer.
Mekanisme luka sekunder didefinisikan sebagai proses patologis yang terjadi setelah luka
primer berjalan beberapa waktu, dan mempengaruhi kemampuan otak untuk sembuh dari
luka primer. Suatu proses biokimia dimulai setelah gaya mekanis mempengaruhi integritas
sel normal, yang menghasilkan berbagai macam enzim, fosfolipid, neurotransmiter eksitasi
(glutamat), Ca, dan radikal bebas yang menimbulkan kerusakan sel yang lebih parah.
Luka Akibat Peluru
Terdapat berbagai macam peluru, mulai dari peluru berkecepatan randah yang
digunakan pada handgun, seperti ditunjukkan pada gambar di bawah ini, atau shotgun,
hingga peluru berkecepatan tinggi berlapis logam yang ditembakkan dari senjata militer [3,4].
Luka akibat peluru berkecepatan rendah di masyarakat umumnya berasal dari proyektil
senapan angin, senjata pelontar paku, stun gun yang digunakan untuk menyembelih hewan,
atau pecahan logam yang dihasilkan akbat ledakan. Peluru dapat menyebabkan luka pada
parenkim otak melalui 3 mekanisme: (1) laserasi dan penghancuran, (2) pembentukan
rongga, dan (3) gelombang kejut. Luka dapat bervariasi dari fraktur depresi tengkorak yang
menghasilkan perdarahan fokal hingga kerusakan otak yang luas.
Seorang pria 65 tahun mengalami luka tembak pada regio frontoparietal kanan. Hasil
CT scan menunjukkan bahwa peluru melintasi midline, melukai sinus logitudinal superior,
dan menghasilkan midline subdural hematoma yang luas. Pasien datang dengan nilai
Glasgow Coma Scale (GCS) 4 dan akhirnya meninggal.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, luka dimana proyektil menembus
kranium namun tetap berada di rongga intrakranial disebut sebagai luka penetrasi, sedangkan
luka dimana proyektil melalui kepala, meninggalkan luka masuk dan luka keluar, disebut
luka perforasi. Prognosis dari kedua luka tersebut juga berbeda. Pada laporan serangkaian
luka tembak kepala selama perang Iran-Iraq, 50% pasien dengan luka perforasi menunjukkan
hasil pasca operasi yang buruk, dibandingkan dengan hanya 20% pasien dengan luka penetasi
yang menujukan hasil pasca operasi yang buruk [5].
Pada luka tembak, besarnya kerusakan pada otak bergantung pada berbagai faktor
antara lain (1) energi kinetik saat paluru masuk, (2) lintasan peluru dan fragmen tulang yang
mengenai otak, (3) perubahan tekanan intrakranial saat tumbukan, dan (4) mekanisme luka
sekunder. Energi kinetik dihitung dengan rumus 1/2mv2, dengan “m” adalah massa peluru
dan “v” adalah kecepatan saat tumbukan
Pada saat tumbukan, luka terkait dengan (1) hancurnya jaringan atau organ akibat
tumbukan peluru, (2) lubang yang ditmbulkan oleh gaya sentrifugal peluru pada parenkim,
dan (3) gelombang kejut yang menyebabkan luka tarikan (stretch injury). Karena peluru
melalui kepala, jaringan menjadi hancur dan terlempar melalui luka masuk atau luka keluar,
atau terdesak pada ujung lintasan peluru di rongga intrakranial. Hal ini menyebabkan rongga
permanen yang 3-4 kali lebih lebar dari diameter peluru dan rongga bergetar sementara yang
mengembang keluar. Rongga sementara ini dapat 30 kali lebih besar dari diameter peluru dan
menyebabkan luka pada struktur yang cukup jauh dari lintasan peluru.
Luka Tusuk
Luka jenis ini, seperti tambak pada gambar di bawah, menunjukkan pecahan tulang
yang lebih kecil pada luka kepala. Luka ini dapat disebabkan oelh pisau, paku, duri, garpu,
gunting, dan bebagai jenis peralatan [6]. Penetrasi umumnya terjadi pada tulang yang lebih
tipis dari tengkorak, khususnya permukaan orbital dan bagian squamous dari tulang temporal.
Mekanisme luka vaskuler dan saraf yang disebabkan oleh luka tusuk dapat berbeda dari
trauma kepala jenis lainnya. Tidak seperti pada luka akibat peluru, pada luka tusuk tidak
terdapat nekrosis koagulatif berbentuk lingkaran akibat energi tumbukan. Tidak seperti
kecelakaan kendaraan bermotor, luka tusuk tidak menyebabkan robekan pada otak.
Gambar di atas menunjukkan hasil CT scan dari seorang wanita muda yang datang ke
unit gawat darurat dengan luka tusuk di kepala akibat pisau besar, dengan kerusakan
intrakranial luas, yang mempengaruhi struktur midline.
Kerusakan otak yang disebabkan oleh tusukan sangat terbatas pada rongga akibat
tusukan saja, kecuali jika terdapat infark atau hematom. Kerusakan memanjang yang sempit,
atau yang sering disebut slot facture, kadang ditimbulkan oleh luka tusuk, dan dapat
didiagnosis segera setelah ditemukan. Pada beberapa kasus dimana terdapat penetrasi
tengkorak, kelainan pada pemeriksaan radiologis tidak dapat ditemukan. Pada serangkaian
luka tusuk de Villiers (1975) melaporkan angka kematian adalah sebesar 17%, dengan
penyabab terbanyak terkait dengan trauma vaskuler dan hematom intraserebral masif [7].
Luka tusuk pada fossa temporal umumnya menyebabkan kerusakan neurologis yang
parah karena tipisnya squama temporal dan pendeknya jarak ke batang otak dan struktur
vaskuler. Pasien luka tusuk yang datang dengan benda yang masih menancap di kepala
memiliki tingkat mortalitas 11%, angka ini lebih rendah dibandingkan jika benda yang
menusuk kepala sudah diambil sebelumnya, yaitu sekitar 26%.
Perforasi dan Fraktur Tengkorak
Variasi ketebalan dan kekuatan tengkorak dan sudut tumbukan menentukan tingkt
keparahan fraktur dan luka pada otak, seperti ditunjukkan di bawah ini. Tumbukan yang
mengenai tengkorak secara tegak lurus dapat menyebabkan pecahan tulang bergerak searah
dengan benda yang menusuk, menyebabkan tengkorak hancur dengan pola ireguler, atau
menyebabkan fraktur linier yang menyebar dari luka masuk. Tumbukan tangensial atau yang
hanya menyerempet menyebabkan kelainan tunggal yang kompleks yang diikuti
pembengkokan internal atau eksternal pada tengkorak, dengan kerusakan otak yang
bervariasi.
Gambar di atas merupakan hasil sinar x pasien dengan luka intrakranial parah akibat
pukulan tongkat golf.
Gejala
Keadaan klinis pasien sangat tergantung pada mekanisme luka (kecepatan, energi
kinetik), lokasi anatomis dari luka, dan luka sekunder.
Hematom Intrakranial akibat Trauma
Gejala ini dapat terjadi sendiri atau terjadi bersamaan dengan gejala lain dan
merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang umum dan dapat diobati, yang terjadi
karena pergeseran otak, pembengkakan pada otak, iskemi serebral, dan peningkatan
intrakranial. Pasien datang dengan gejala dan tanda massa intrakranial, dan perjalanan klinis
bervariasi tergantung pada lokasi dan tingkat akumulasi hematom. Gambaran klasik dari
hematom epidural dideskripsikan dengan terjadinya lucid interval yang mengikuti terjadinya
luka; pasien pingsan akibat hantaman, kemudian sadar, dan kembali pingsna karena bekuan
darah meluas.
Hematom Epidural
Hematom epidural akibat trauma pada umumnya akan menunjukkan gejala yang jelas
pada perjalanannya menuju koma. Hematom subdural akut berhubungan dengan tingginya
tingkat akselerasi dan deselerasi dari kepala yang terjadi saat trauma. Luka ini masih
merupakan luka yang mematikan dibandingkan luka kepala lainnya karena tumbukan yang
menyebabkan hematom subdural biasanya menyebabkan luka pada parenkim otak yang
parah.
Hematom Intraserebral
Hematom intraserebral terjadi karena pecahnya pembuluh darah kecil dari parenkim
saat terjadinya tumbukan. Pasien mungkin menunjukkan gejala defisit neurologis yang terkait
dengan lokasi hematom atau dengan tanda peningkatan massa atau tekanan intrakranial. Pada
jurnal ini juga akan dibahas mengenai hematom intraserebral tertunda.
Hematom Intraserebral Tertunda
Interval waktu perkembangan hematom intraserebral bervariasi mulai dari hitungan
jam hingga hitungan hari. Meskipun lesi ini dapat terjadi pada area yang mengalami kontusio,
namun umumnya gambaran pada CT scan menunjukkan hasil yang normal. Pasien
didiagnosis hematom intraserebral tertunda dengan ktiteria: (1) riwayat trauma yang jelas, (2)
terdapat interval tanpa gejala, dan (3) terjadi deteriorasi klinis secara mendadak.
Kontusio
Kontusio terdiri atas daerah hemoragis perivaskuler yang mengenai pembuluh darah
kecil dan neuritic brain. Biasanya tampak sebagai gambaran menyerupai taji, yang
memanjang melalui korteks menuju ke white matter. Jika lapisan pia-arachnoid robek, luka
digolongkan sebagai laserasi serebral. Secara klinis, kontusio serebral dianggap sebagai
sumber dari perdarahan yang tertunda dan pembengkakan otak, yang dapat menyebabkan
deteriorasi klinis dan luka otak sekunder.
Perdarahan Subarachnoid akibat Trauma
Perdarahan jenis ini umumnya terjadi karena bebagai macam gaya yang menyebabkan
tekanan yang cukup untuk merusak struktur superfisial yang berada pada ruang subarachnoid.
Perdarahan subarachnoid akibat trauma dapat menjadi penyebab vasospasme serebral dan
mengurangi pasokan darah ke otak, sehingga meningkatkan morbiditas dan mortalitas karena
kerusakan iskemik sekunder.
Luka Akson Menyebar atau Shearing Injury
Luka jenis ini cukup dikenal karena merupakan salah satu jenis luka primer yang
paling sering pada otak. Pada keadaan yang parah, pasien tidak sadarkan diri segera setelah
trauma terjadi dan menetap dalam waktu yang cukup lama, dengan fungsi vegetatif yang
normal atau sangat terganggu.
Indikasi
Faktor penting pada penatalaksanaan segera dan hasil jangka panjang setelah
terjadinya penetrating head injury adalah tingkat kesadaran pasien. Meskipun banyak metode
yang dapat digunakan untuk menentukan status kesadaran pasien, namun yang paling banyak
digunakan adalah Glasgow Coma Scale (GCS) yang diperkenalkan oleh Teasdale dan
Jennett pada tahun 1974.
Tingkat kesadaran juga dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor meliputi shock,
hipoksia, hipotermia, intoksikasi alkohol, postictal state, serta penggunaan narkotik dan
sedatif. Oleh karena itu, untuk menentukan tingkat keparahan dan prognosis pasien, tingkat
kesadaran yang diukur adalah skor GCS setelah resusitasi, yang dinilai dalam 6-8 jam
pertama sejak terjadinya luka. Dengan GCS, pasien dapat digolongkan menjadi 3 kriteria:
o Luka ringan, meliputi pasien dengan skor GCS 13-15
o Luka sedang, meliputi pasien dengan skor GCS 9-12
o Luka parah, meliputi pasien dengan skor GCS 3-8 atau pasien dengan deteriorasi yang
jelas dengan skor GCS kurang atau sama dengan 8.
Pasien dengan luka kepala parah umumnya memenuhi kriteria koma, memiliki lesi
intrakranial yang luas, dan memerlukan perawatan medis intensif, dan biasanya, dapat berupa
pembedahan.
Anatomi
Benda yang menembus kranium akan melalui kulit kepala, tulang tengkorak, dan dura
mater sebelum mencapai otak. Kulit kepala terdiri atas 5 lapisan anatomis meliputi kulit (S);
jaringan subkutan (C); galea aporeunica (A), yang berlanjut dengan sistem
muskuloaponeurotik frontalis, oksipitalis, dan fasia temporal superfisial; jaringan areolar
longgar (L); dan periosteum tengkorak (P).
Lapisan subkutan memiliki banyak pembuluh darah yang saling terkait yang akan
menyebabkan blood loss yang signifikanan jika kulit kepala mengalami laserasi. Karena
ikatan yang longgar antara galea dan periosteum tengkorak menyebabkan pertahanan yang
rendah terhadap luka gores, sehingga dapat menyebabkan luka yang luas pada kulit kepala.
Lapisan ini juga memiliki pertahanan yang rapuh terhadap pembentukan hematom atau abses,
dan akumulasi cairan yang terjadi di kulit kepala umumnya terjadi di lapisan subgaleal.
Tulang kalvaria memiliki 3 lapisan pada orang dewasa: table layer luar dan dalam
yang keras, serta cancellous middle layer, atau diploe.Meskipun ketebalan rata-rata sekitar 5
mm, lapisan paling tebal umumnya adalah tulang oksipital dan lapisan paling tipis adalah
tulang temporal. Kalvaria diselubungi oleh periosteum pada permukaan luar dan dalam. Pada
permukaan dalam, kalvaria menyatu dengan dura menjadi lapisan luar dari dura.
Secara estetik, tulang frontal adalah yang paling penting karena hanya sebagian kecil
tulang frontal yang tertutup oleh rambut. Oleh karena itu, kalvaria membentuk atap dan lantai
dinding medial dan lateral pada mata. Fraktur geser tulang frontal dapat menyebabkan
deformitas yang signifikan, eksoptalmus, atau enoptalmus. Tulang frontal juga mengandung
sinus frontalis, yang merupakan rongga berpasangan yang terletak di antara lamela luar
dalam dalam dari tulang frontal. Dinding anterior yang lebih tipis dari sinus frontalis
menyebabkan area ini lebih rawan terhadap fraktur daripada area tempora-orbita di
sekitarnya.
Dura mater atau pachymeninx adalah meninx yang paling tebal dan paling superfisial.
Dura mater terdiri atas 2 lapisan: lapisan superfisial yang menyatu dengan periosteum dan
lapisan dalam. Pada daerah yang sama di antara kedua lapisan, terdapat ruang untuk vena
besar dan sinus. Laserasi pada struktur ini dapat menyebabkan blood loss yang signifikan dan
menyebabkan hematom epidural atau subdural.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
o Pemeriksaan pasien dengan penetrating brain injury harus menyertakan pemeriksaan
laboratorium, elektrolit, dan profil pembekuan darah secara rutin.
o Banyak pasien kehilangan darah yang signifikan sebelum sampai di unit gawat
darurat atau datang dengan disseminated intravascular coagulation (DIC); sehingga,
pemeriksaan hemoglobin dan hitung jenis platelet juga penting.
o Pemeriksaan golongan darah dan cross match harus dilakukan.
o Pmeriksaan toksikologi meliputi kadar alkohol dapat dilakukan.
Pemeriksaan Radiologis
o Evaluasi radiologis
o Metode evaluasi radiologis tergantung pada kondisi pasien.
o Umumnya radiografi dada dan tulang leher dilakukan di ruang resusitasi
o CT scan kepala harus didapatkan segera setelah kondisi kardiopulmoner pasien stabil
untuk menentukan besarnya kerusakan intrakranial dan adanya pecahan logam di
rongga intrakranial. Pemeriksaan juga menyertakan bone window untuk mengevaluasi
fraktur, khususnya jika terdapat kelainan pada basis cranii dan orbita.
o Beberapa rumah sakit melakukan computed tomographic angiography (CTA) untuk
evaluasi pembuluh darah intrakranial dan ekstrakranial.
o Angiografi serebral: Jika ada kecurigaan luka vaskuler dan kondisi pasien stabil,
angiografi serebral sering digunakan untuk mendiagnosis luka seperi diseksi arteri
vertebral dan/atau karotis, pseudoaneurisma akibat trauma, atau fistula arteriovena.
o Magnetic resonance imaging (MRI)
o Pada pasien dengan penetrating injury dan pecahan logam dalam rongga intrakranial,
scan MRI memberikan informasi struktur fossa posterior dan pelebaran luka robek.
o Pemeriksaan fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR) memungkinkan evaluasi
kontusio dan perdarahan.
o Scan perfusi atau difusi memberikan informasi yang bermanfaat untuk mengevaluasi
area stroke atau iskemi serebral
o Magnetic resonance angiography (MRA) dan magnetic resonance venogram (MRV)
sangat berguna jika terdapat luka vaskuler atau luka pada sinus.
Penatalaksanan
Terapi Medis
Pada pasien dengan luka penetrasi yang parah harus dilakukan resusitasi berdasarkan
petunjuk Advanced Trauma Life Support. Indikasi khusus untuk intubasi endotrakeal meliputi
ventilasi yang tidak adekuat, kegagalan airway karena luka pada leher atau faring,
perlindungan airway yang buruk terkait dengan penurunan tingkat kesadaran, dan/atau
kemungkinan deteriorasi.
Pada hampir semua pasien dengan skor GCS 8 atau kurang didapatkan kriteria
berikut. Tekanan darah sistolik minimal harus 90 mm Hg. Pada serangkaian pasien dengan
traumatic brain injury yang parah, episode tunggal dimana tekanan darah sistolik turun
hingga di bawah 90 mm Hg meningkatkan angka kematian hingga 85%. Larutan garam
fisiologis (NaCl 0,9%) adalah preparat yang umumnya digunakan untuk pengembalien
volume. Secara umum, kehilangan darah akut sebesar 20% dapat diganti dengan infus larutan
kristaloid, sedangkan kehilangan darah sebesar 30% atau lebih memerlukan transfusi darah.
Cervical spine dipasang, pemeriksaan luka pada leher, dada, perut, pelvis, dan
ekstremitas dilakukan dengan hati-hati. Kateter Foley dipasang, jalur intravena dipasang, dan
penggantian volume dimulai.
Pada pasien dengan fraktur basis cranii anterior, pemasangan nasogastric tube selalu
dihindari karena meningkatkan resiko pemasangan selang intrakranial. Sebuah orogastric
tube dapat dipasang, tentunya dengan pengawasan. Selama dan setelah resusitasi perjalanan
penyakit dan semua tindakan dicatat, dan pemeriksaan fisik dan neurologis dilakukan.
Skor GCS harus dicatat pada pada waktu-waktu berikut, saat pasien datang ke unit
gawat darurat, dan setelah pasien dilakukan resusitasi. Jika zat paralisis diberikan selama
resusitasi, efek zat tersebut harus dihilangkan sebelum pemeriksaan neurologis dilakukan.
Pencegahan tetanus dilakukan. Pemeriksaan laboratorium rutin dilakukan, seperti hitung jenis
darah, elektrolit, profil pembekuan darah, golongan darah dan crossmatch, kadar alkohol,
skrining penggunaan obat. Pembebatan dengan kassa steril dilakukan pada luka masuk dan
keluar, dan jika hemodinamik stabil, pasien dievaluasi ke bangsal.
Pasien ditriase berdasarkan kondisi klinis dan hasil CT scan/angiografi. Pasien tanpa
massa yang signifikan pada CT scan dimasukkan ke intensive care unit (ICU) untuk
penanganan lebih lanjut. Monitor tekanan intrakranial dipasang pada pasien dengan skor GCS
8 atau kurang. Ventrikulostomi lebih diutamakan karena berguna dalam pengawasan tekanan
intrakranial dan drainase cairan serebrospinal untuk pengawasan tekanan intrakranial. Elevasi
kepala 30º sangat bermanfaat dalam drainase vena dan menurunkan tekanan intrakranial.
Sedasi memberikan manfaat pada pasien koma untuk mengontrol tekanan intrakranial.
Sedasi yang bersifat reversibel harus digunakan karena memudahkan untuk evaluasi pasien
per jam. Penulis lebih memilih propofol, suatu hipnotik lipofilik onset cepat dengan waktu
paruh singkat yang dapat dititrasi untuk mengontrol tekanan intrakranial. Sebagai tambahan
dalam pengawasan tekanan intrakranial, penulis mengevaluasi penggunaan peralatan yang
lebih invasif, seperti kateter vena jugularis dan oksimeter serebral, untuk mengidentifikasi
penyebab iskemia serebral pada pasien dengan luka serebral yang parah.
Mannitol diberikan dengan bolus intravena dengan tujuan menurunkan tekanan
intrakranial; mengurangi viskositas darah, meningkatkan aliran darah ke otak; dan sebagai
pelarut radikal bebas. Osmolalitas serum tidak boleh berada di atas 320 mOsm/kg untuk
menghindari asidosis sistemik dan gagal ginjal. Jika tekanan intrakranial tidak dapat
dikontrol, maka pasien dapat diprogramkan untuk menjalani kraniektomi dekompresif atau
mendapatkan preparat barbiturat. Terapi pemberian preparat barbiturat dapat menurunkan
tekanan intrakranial, cerebral metabolic rate of oxygen (CMRO2), dan aliran darah ke otak.
Pemberian barbiturat atau kraniektomi dekompresif harus digunakan dengan kateter Swan-
Ganz untuk mendapatkan cardiac output yang ideal. Barbiturat tidak boleh digunakan pada
pasien dengan hipotensi.
Penatalaksanaan rutin tambahan yang umumnya diberikan adalah profilaksis kejang
(phenytoin 15-18 mg/kg IV bolus dilanjutkan dengan 200 mg IV q12h) dan antibiotik. Jika
Kejang tidak ditemukan pada fase akut, antikonvulsan tidak dilanjutkan setelah 1 minggu.
Lamanya waktu penggunaan antiepilepsi masih menjadi perdebatan, namun penggunaan
jangka panjang tidak memberikan hasil yang lebih baik. Antibiotik spektrum luas harus
diberikan selama beberapa hari pasca operasi. Lamanya waktu pemberian antibiotik juga
masih menjadi perdebatan dan umumnya dikembalikan berdasarkan pengalaman masing-
masing dokter.
Karena luka kepala merupakan faktor resiko independen untuk terjadi ulkus akibat
stress dan gastritis, maka profilaksis dengan histamine blocker atau antasida harus diberikan.
Stres akibat luka kepala, yang sering terjadi pada luka akibat trauma lainnya, akan
menyebabkan peningkatan konsumsi energi pada pasien; oleh karena itu, kecukupan energi
harus tetap terjaga selama beberapa hari sejak pasien dirawat di rumah sakit. Di rumah sakit
tempat penulis bekerja, nutrisi enteral harus diberikan bila tidak terdapat kontraindikasi;
sedangkan nutrisi parenteral diberikan pada pasien dengan luka abdominal.
Meskipun hiperventilasi dapat dengan cepat menurunkan tekanan intrakranial pada
beberapa pasien, namun penggunaannya tidak direkomendasikan karena dapat menyebabkan
penurunan aliran darah ke otak yang signifikan, dan dapat memperburuk kondisi neurologis
jangka panjang. Manfaat hipotermia juga masih diperdebatkan, meskipun beberapa penelitian
menunjukkan peningkatan kondisi pasien yang terjadi bila pasien mengalami hipotermia
sedang.
Terapi Pembedahan
Berikut merupakan beberapa indikasi untuk pembedahan: (1) untuk mengangkat
massa seperti hematom epidural, subdural, atau intraserebral; (2) untuk mengangkat jaringan
otak yang mengalami nekrosis dan mencegah pembengkakan dan iskemia lebih lanjut; (3)
untuk mengontrol perdarahan aktif; dan (4) untuk mengangkat jaringan nekrotik, pecahan
tulang atau logam, atau benda asing lainnya untuk mencegah infeksi. Pendekatan untuk
tindakan bedah sendiri sangat bervariasi; beberapa dokter bedah lebih konservatif, sedangkan
yang lainnya bersifat agresif.
Alasan utama dilakukannya operasi adalah untuk megangkat hematom; namun ukuran
minimum hematom yang memerlukan evakuasi bedah tergantung pada berbagai faktor,
meliputi usia pasien dan kondisi klinis dan lokasi dari hematom itu sendiri. Hematom dan
kontusio pada regio temporal atau fossa posterior harus ditangani dengan lebih agresif karena
lebih sering menyebabkan herniasi daripada lesi serupa di area lain dan lebih sering terkait
dengan luka vaskuler.
Peluru dan fragmen dapat mengandung logam yang menyebabkan elektrolisis, dapat
menyebabkan jaringan parut fibroglia dengan epilepsi sekunder, atau dapat berpindah pada
daerah lain di dalam ruang intrakranial, atau berpindah ke ruang intraspinal. Karena fragmen
yang tertinggal tidak selalu terkait dengan infeksi, sebagian besar penulis menganjurkan
bahwa fragmen harus diambil hanya jika mudah untuk diraih. Jaringan kulit kepala, pakaian,
dan rambut umumnya terbawa bersama dengan tulang masuk ke dalam otak, dimana hal ini
lah yang paling sering menyebabkan infeksi. Hal ini tergantung pada kecepatan peluru dan
ukuran penetrasi. Pada kebanyakan kasus, pengangkatan peluru yang menancap terlalu dalam
tidak diperlukan, namun beberapa penulis merekomendasikan penggunaan computer-image
guided procedure untuk pengangkatan proyektil atau fragmen peluru.
Persiapan Sebelum Operasi
Pendekatan yang digunakan pada prosedur bedah bervariasi; beberapa dokter bedah
bersifat konservatif, sedangkan yang lainnyalebih agresif. Manajemen bedah luka penetrasi,
seperti prosedur bedah saraf, memerlukan perencanaan yang hati-hati.
o Pada persiapan sebelum pembedahan, rambut pasien dicukur dan diberi larutan
antiseptik pada kondisi steril.
o Kepala pasien diposisikan lebih tingga dari dada.
o Permukaan kepala yang terbuka sebisa mungkin menjangkau seluruh area yang
memungkinkan, agar perluasan insisi dapat dilakukan hingga di luar batas luka, atau
agar prosedur rotasi kulit kepala dapat dilakukan.
o Insisi kulit harus direncanakan sehingga suplai darah ke kulit kepala tidak terganggu.
o Fresh frozen plasma dan platelet harus diberikan (1) jika peningkatan prothrombin
time (PT) atau peningkatan activated partial thromboplastin time (aPTT)
menunjukkan koagulopati pada pasien yang memerlukan evakuasi hematom
intrakranial atau (2) jika dicurigai terjadi koagulopati selama operasi.
Rincian Selama Operasi
o Seringkali kraniotomi atau kranioektomi dengan pengangkatan pecahan tulang dan
benda asing dapat dilakukan.
o Debridemen yang dilakukan dengan hati-hati atas jaringan otak yang sedah mati,
dilakukan dengan kombinasi suction dan irigasi.
o Pada luka tembak, peluru tidak diambil kecuali jika dapat diraih dengan mudah
karena resiko kerusakan otak akibat tindakan pengambilan peluru jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan manfaat jika peluru diambil.
o Pada kasus luka tusuk, pisau atau benda yang menancap tidak boleh diambil sebelum
lapisan dura dibuka di ruang operasi dan tindakan dapat dilakukan dibawah
pengawasan langsung.
o Pada semua kasus, dokter bedah harus mempersiapkan potensi luka vaskuler yang
mungkin terjadi. Yang terpenting adalah bahwa watertight dural closure tidak boleh
terlalu ketat untuk mencegah infeksi sentripetal dan fistula cairan serebrospinal.
o Jika terdapat kelainan pada dura, fasia perikranium atau temporalis diperlukan untuk
mengganti dura. Penggunaan bahan sintetis atau alami untuk pengganti lapisan dura
harus dihindari.
o Pasien dengan luka penetrasi kepala seringkali memerlukan kranioplasti sebagai
tindakan sekunder dari kraniektomi dan/atau kerusakan akibat peluru. Kranioplasti
harus ditunda hingga kurang lebih 1 tahun, jika kondisi pasien stabil dan resiko
komplikasi yang berupa infeksi kecil.
Rincian Pasca Operasi
Pada prinsipnya terapi medis pasca operasi trauma penetrasi kepala sama dengan
terapi pasca operasi lainnya. Monitor tekanan intrakranial atau ventricular drain biasanya
dipasang pada pasien dengan skor GCS 8 atau kurang. Alat tersebut tersambung dengan layar
komputer dan menjaga tekanan perfusi serebral tetap baik. Jika kondisi neurologis pasien
stabil, CT scan dilakukan 24-72 pasca operasi.
Follow-up
Pasien di-folloow-up dengan pemeriksaan neurologis standar, dan tanda vital
diperiksa setiap jam. Pemeriksaan laboratorium rutin dilakukan bila perlu. Perlunya
pemeriksaan radiologis tergantung pada perkembangan neurologis pasien, dimana
pemeriksaan ini terdiri atas serangkaian pemeriksaan CT scan.
Komplikasi
Pasien yang selamat dari luka penetrasi kranioserebral beresiko untuk mengalami
berbagai komplikasi, meliputi defisit neurologis menetap, infeksi, epilepsi, kebocoran cairan
serebrospinal, defisit saraf kranial, pseudoaneurisma, fistula arteri atau vena, dan
hidrosefalus.
Infeksi Intrakranial
Infeksi ini terjadi pada 11% luka penetrasi kranioserebral. Oleh karena itu, sangat
penting untuk dilakukan pencegahan dan penatalaksanaan infeksi yang adekuat, sehingga
hasil yang didapatkan pasien akan lebih baik. Pasien dapat mengalami meningitis, abses
epidural, empyema subdural, atau abses otak.
o Meningitis pasca trauma biasanya berhubungan dengan fraktur tengkorak atau
kebocoran cairan serebospinal.
o Abses epidural kranial merupakan infeksi yang jarang terjadi, dimana umumnya
merupakan gejala sekunder pada osteomielitis atau karena adanya benda asing. Cairan
purulen tetap terkumpul dengan baik dan terlokalisasi karena ketatnya ikatan dura
pada kalvaria; namun, abses epidural kranial dapat menyebabkan meningitis dan
empyema subdural, yang terkait dengan peningkatan mortalitas dan morbiditas yang
signifikan.
o Sumber empyema subdural yang paling sering adalah penetrasi melalui infeksi di
sekitar wajah, seperti sinusitis atau mastoiditis paranasal.
o Abses otak dapat terjadi setelah silent infection berlangsung cukup lama. Hida et al.
(1978) melaporkan kasus abses otak tertunda yang mengikuti luka tembak penetrasi,
38 tahun setelah kejadian [8]. Penatalaksanaan abses epidural, empyema subdural,
dan abses otak terdiri atas pembedahan segera, diikuti dengan pemberian antibiotik
dalam waktu yang cukup lama.
Epilepsi
Epilepsi pasca trauma terkait dengan disabilitas psikososial dan merupakan faktor
yang berkontribusi menyebabkan kematian prematur setelah luka penetrasi kepala [4].
Insidensi epilepsi pasca trauma bervariasi, tergantung pada jenis dan tingkat keparahan dari
luka. Pada luka kepala tertutup, insidensi epilepsi pasca trauma berkisar antara 2,9-17%
untuk luka kepala sedang dan berat. Dalam militer, insidensi epilepsi pada luka tembak
kranioserebral mencapai angka 2 kali lebih besar; suatu penelitian menyebutkan insidensi
kejang dalam 5-10 tahun mencapai 32-51%. Hampir 50% korban trauma penetrasi kepala
dari personil militer akan menderita epilepsi.
Patofisiologi pasti epilepsi pasca trauma setelah luka penetrasi kepala atau luka
tertutup pada kepala masih belum diketahui. Terdapat banyak faktor resiko, seperti pecahan
logam yang tertinggal, perluasan luka, tingkat kesadaran, defisit fokal menetap, dan
komplikasi, yang telah diteliti untuk mengetahui peran masing-masing faktor pada
mekanisme terjadinya epilepsi pasca trauma.
Kebocoran Cairan Serebrospinal
Trauma kepala nerupakan penyebab paling umum kebocoran cairan serebrospinal.
Meningitis 20% terjadi dalam fase akut (dalam 1 minggu) kebocoran pasca trauma dan 75%
dalam fase delayed kebocoran pasca trauma. Penggunaan antibiotik profilaksis untuk
kebocoran cairan serebrospinal, dalam suatu studi, disebutkan dapat menyebabkan infeksi
serius, meliputi drug-resistant meningitis.
Pasien dengan kebocoran cairan serebrospinal pasca trauma utamanya mendapatkan
penatalaksanaan konservatif dengan bed rest pada posisi yang dapat menyebabkan penurunan
atau penghentian drainase fistula. Jika drainase tidak berhenti dalam 24-48 jam, drain lumbal
dipasang pada kecepatan 10 cc CSF (cerebrospinal fluid) per jam selama 5-7 hari. Drain
lumbal tidak boleh dipasang pada pasien dengan pneumosefalus. Selama drainase cairan
serebrospinal, jika terjadi penurunan kesadaran progresif pada pasien, dokter harus mulai
waspada akan kemungkinan terjadinya pneumosefalus. Jika kebocoran cairan serebrospinal
tidak berhenti dengan drainase lumbal, maka dapat direncanakan terapi bedah untuk
memperbaiki saluran yang terdapat fistula.
Luka vaskuler dapat terjadi karena luka langsung pada pembuluh darah akibat benda
yang menembus, efek ledakan saat trauma, atau karena oklusi vaskuler akibat fragmen tulang
atau fraktur tengkorak. Luka vaskuler langsung yang terjadi sejak terjadinya trauma kepala
dapat tidak menunjukkan gejala dan berlangsung selama beberapa minggu, bulan, atau tahun.
Pseudoaneurisma tertunda pasca trauma dapat muncul beberapa minggu hingga beberapa
bulan setelah terjadinya luka.
Defisit Nervus Kranialis
Pasien yang mengalami luka pada area temporal dan mengalami fraktur tulang
temporal memiliki resiko kerusakan arteri karotis dan pada nervus facialis. Oleh karena itu,
pada pasien yang mengalami penetrating brain injury, sangat penting untuk dilakukan
pemeriksaan radiologis, utamanya angiografi serebral.
Pseudoaneurisma
Pseudoaneurisma dapat terjadi akibat gangguan aliran darah normal dan capat
menjadi fokus pembentukan trombus, atau dapat ruptur, yang menyebabkan hematom
subarakhnoid atau intraserebral. Pseudoaneurisma memerlukan terapi pembedahan atau
endovaskuler. Peran antikoagulan dalam penatalaksanaan pseudoaneurisma masih
kontroversial, namun diduga dapat bermanfaat untuk meminimalkan penyebaran trombus dan
embolisasi.
Fistula Arteri dan Vena
Diseksi arteri terjadi jika laserasi melalui lapisan intima dan kadang lapisan media,
memungkinkan masuknya aliran darah memisahkan lapisan vaskuler luar dan dalam,
merusak lumen pembuluh darah. Fistula biasanya terjadi bersamaan dengan transient
ischemic attack (TIA) atau gejala stroke. Penatalaksanaan non bedah diseksi arteri dengan
antikoagulasi kronis biasanya efektif.
Mungkin fistula arteri dan vena pasca trauma yang paling dikenal adalah fistula sinus
cavernosus carotis pasca trauma. Secara umum, fistula ini terkait dengan luka ledakan
daripada penetrasi intrakranial. Fistula yang paling umum adalah fistula aliran tinggi, dengan
ciri terjadi sindrom klinis yang terdiri atas eksoptalmus berdenyut, kemosis, dan bising.
Fistula cavernosus carotis dapat didiagnosis dengan angiografi serebral dan paling baik
diterapi dengan oklusi endovaskuler.
Hasil dan Prognosis
Banyak penelitian berusaha menghubungkan faktor prognostik dengan hasil yang
didapat. Faktor prognostik paling penting adalah GCS setelah dilakukan resusitasi
kardiopulmoner. Biasanya, semakin tinggi skor GCS setelah resusitasi, semakin baik hasil
yang didapatkan. Namun penelitian lain menunjukkan bahwa karena pasien yang berada
dalam keadaan koma memiliki prognosis yang buruk, maka pada pasien tersebut hanya
dilakukan terapi yang tidak agresif, sehingga menyebabkan hasil yang semakin buruk.
Penelitian yang dilakukan selama dekade terakhir meneliti hasil pasien dengan GCS
pasca resusiasi 3-5 yang melalui penatalaksanaan medis dan pembedahan yang agresif.
Grahm et al. (1990) menemukan bahwa tidak satu pun dari 100 pasien dengan skor GCS
pasca resusitasi 3-5 menunjukkan hasil yang memuaskan (kriteria baik/sedang dihilangkan)
[9]. Mereka juga menemukan bahwa tidak satu pun pasien dengan skor GCS 6-8 dan dengan
luka bihemisferik atau multihemisferik dominan menunjukkan hasil yang memuaskan.
Pada penelitian terhadap 190 pasien, Levy et al. (1994) meemukan bahwa hanya 2
pasien dengan skor GCS 3-5 berakhir dengan kecacatan sedang [10]. Analisis lebih lanjut
menunjukkan bahwa pasien-pasien tersebut memiliki pupil yang reaktif saat pertama kali
datang, dan tidak memiliki luka multilobus dominan/bihemisfer. Mereka menyimpulkan
bahwa intervensi bedah tidak memberikan hasil yang lebih baik untuk pasien dengan GCS 3-
5, namun dapat berguna untuk pasien dengan pupil reaktif tanpa kelainan pada hasil CT scan.
Meski begitu, perdebatan terus terjadi mengenai pembedahan yang dilakukan pada pasien
dengan skor GCS 9, dan khususnya pada pembedahan pasien dengan skor CGS kurang dari 5.
Faktor prognostik buruk lainnya adalah umur, percoban bunuh diri, dan luka yang
terjadi secara terus menerus. Pasien yang datang dengan tekanan intrakranial tinggi atau
dengan hipotensi cenderung mendapatkan hasil yang buruk. Hasil CT scan yang umumnya
memiliki prognosis yang buruk antar lain: (1) luka pada kedua hemisfer, (2) perdarahan
subarakhnoid dan intraventrikuler, (3) mekanisme desak ruang dan pergeseran midline, (4)
gejala herniasi, dan (5) hematom yang lebih besar dari 15 ml pada CT scan.
Angka morbiditas dan mortalitas terkait luka pada otak masih cukup tinggi. Untuk
pasien dengan skor GCS 3-5, angka mortalitas tetap berkisar pada angka 90%, dan dan hasil
yang ditunjukkan pun rata-rata tidak memuaskan. Pasien dengan GCS 6-8 menunjukkan hasil
yang bervariasi karena perbedaan manajemen terapi dan jumlah pasien dengan skor GCS
tersebut juga lebih sedikit. Pasien dengan skor GCS lebih tinggi dari 9 memiliki angka
kematian yang lebih kecil. Umumnya 50% pasien dapat sembuh dengan baik, dan 90%
mendapatkan hasil yang memuaskan.
Hasil penelitian lain menyebutkan bahwa defisiensi insulin karena diabetes mellitus
(DM) meningkatkan resiko kematian pada pasien dengan traumatic brain injury (TBI)
sedang dan parah, dibandingkan dengan pasien tanpa DM (14,4% dibandingkan dengan
8,2%) [11].
Kontroversi dan Penanganan di Masa Depan
Banyak kasus luka pentrasi kepala yang bersifat fatal, dan kebanyakan pasien dengan
luka ini akan meninggal saat kejadian. Pasien dengan luka sedang lebih banyak yang
mendapatkan resusitasi dan penanganan medis. Pada banyak kasus, terapi medis dan
pembedahan yang agresif penting untuk pasien. Terapi agresif luka sekunder juga perlu
dilakukan, dan pasien harus dimonitor karena adanya komplikasi yang mugkin terjadi.
Kaufman et al. (1991) menemukan bahwa pertimbangan dokter bedah saraf pun
bervariasi tetang penatalaksanaan luka penetrasi kepala yang tepat [12]. Variasi juga banyak
didapatkan pada teknik debridement yang dilakukan, monitoring tekanan intrakranial, dan
penggunaan berbagai macam terapi medis. Lama waktu penggunaan antiepilepsi dan
antibiotik masih kontroversial, begitu juga dengan penggunaan hiperventilasi, hipotermia,
dan steroid. Penggunaan kateter jugular dan Doppler transkranial tergantung kebijakan
masing-masing rumah sakit. Pengkajian lebih jauh mengenai neurotrauma diharapkan terus
berjalan [13]. Jika mekanisme luka sekunder dapat lebih dipahami dan modalitas terapi diuji
secara prospective randomized clinical trial, maka varisasi penatalaksanaan luka penetrasi
kepala dapat ditekan. Masyarakat medis secara umum akan berusaha mendapatkan terapi
terbaik bagi pasien.
Perawatan yang intensif dan agresif dikombinasikan dengan terapi pembedahan, jika
dilakukan dengan cepat dan tepat, akan menurunkan angka mortalitas dan morbiditas terkait
luka. Pencegahan primer luka ini sangat penting. Peningkatan kasus kekerasan dengan senjata
api yang diikiuti dengan peningkatan kasus trauma penetrasi kepala, dan bagaimana
penatalaksanaannya, sudah selayaknya menjadi perhatian khususnya bagi dokter bedah saraf
dan bagi masyarakat pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Siccardi D, Cavaliere R, Pau A, et al. Penetrating craniocerebral missile injuries in
civilians: a retrospective analysis of 314 cases. Surg Neurol. Jun 1991;35(6):455-
60. [Medline].
2. Folio L, Solomon J, Biassou N, Fischer T, Dworzak J, Raymont V, et al. Semi-
automated trajectory analysis of deep ballistic penetrating brain injury. Mil Med. Mar
2013;178(3):338-45. [Medline].
3. Stuehmer C, Blum KS, Kokemueller H, Tavassol F, Bormann KH, Gellrich NC, et al.
Influence of different types of guns, projectiles, and propellants on patterns of injury
to the viscerocranium. J Oral Maxillofac Surg. Apr 2009;67(4):775-81. [Medline].
4. Kazemi H, Hashemi-Fesharaki S, Razaghi S, Najafi M, Kolivand PH, Kovac S, et al.
Intractable epilepsy and craniocerebral trauma: analysis of 163 patients with blunt and
penetrating head injuries sustained in war. Injury. Dec 2012;43(12):2132-
5. [Medline].
5. Aarabi B. History of the management of craniocerebral wounds. In: Aarabi B,
Kaufman HH, Dagi TF, George ED, Levy ML, eds. Missile Wounds of the Head and
Neck. Vol 1. Park Ridge, Ill: American Association of Neurological Surgeons;
1999:281-292.
6. Paiva WS, de Andrade AF, Amorim RL, Figueiredo EG, Teixeira MJ. Brainstem
injury by trauma penetrasi kepala with a knife. Br J Neurosurg. Oct 2012;26(5):779-
81. [Medline].
7. De Villiers JC. Stab wounds of the brain and skull. In: Vinken PJ, Bruyn GW,
eds. Handbook of clinical neurology. Vol 23. New York, NY: Elsevier Science
Publishing; 1975:407-503.
8. Hida K, Tsuda E, Sato H, et al. [Brain abscess discovered 38 years after head injury
(author's transl)]. No Shinkei Geka. Aug 1978;6(8):811-3. [Medline].
9. Grahm TW, Williams FC Jr, Harrington T, et al. Civilian gunshot wounds to the head:
a prospective study.Neurosurgery. Nov 1990;27(5):696-700; discussion
700. [Medline].
10. Levy ML, Masri LS, Lavine S, et al. Outcome prediction after penetrating
craniocerebral injury in a civilian population: aggressive surgical management in
patients with admission Glasgow Coma Scale scores of 3, 4, or 5. Neurosurgery. Jul
1994;35(1):77-84; discussion 84-5. [Medline].
11. Ley EJ, Srour MK, Clond MA, et al. Diabetic patients with traumatic brain injury:
insulin deficiency is associated with increased mortality. J Trauma. May
2011;70(5):1141-4. [Medline].
12. Kaufman HH, Schwab K, Salazar AM. A national survey of neurosurgical care for
penetrating head injury.Surg Neurol. Nov 1991;36(5):370-7. [Medline].
13. Nakase-Richardson R, McNamee S, Howe LL, Massengale J, Peterson M, Barnett
SD, et al. Descriptive Characteristics and Rehabilitation Outcomes in Active Duty
Military Personnel and Veterans With Disorders of Consciousness With Combat- and
Noncombat-Related Brain Injury. Arch Phys Med Rehabil. Jun 26 2013;[Medline].
14. Aarabi B. Causes of infections in penetrating head wounds in the Iran-Iraq
War. Neurosurgery. Dec 1989;25(6):923-6. [Medline].
15. Aarabi B. Surgical outcome in 435 patients who sustained missile head wounds
during the Iran-Iraq War.Neurosurgery. Nov 1990;27(5):692-5; discussion
695. [Medline].
16. Aarabi B. Traumatic aneurysms of brain due to high velocity missile head
wounds. Neurosurgery. Jun 1988;22(6 Pt 1):1056-63. [Medline].
17. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support
Guidelines. Advanced Trauma Life Support Course. American College of Surgeons.
1999.
18. Annegers JF, Hauser WA, Coan SP, et al. A population-based study of seizures after
traumatic brain injuries. N Engl J Med. Jan 1 1998;338(1):20-4. [Medline].
19. Ardill W, Gidado S. Penetrating head wound: a remarkable case. Surg Neurol. Aug
2003;60(2):120-3; discussion 123. [Medline].
20. Baker CC, Oppenheimer L, Stephens B, et al. Epidemiology of trauma deaths. Am J
Surg. Jul 1980;140(1):144-50. [Medline].
21. Bartholomew BJ, Poole C, Tayag EC. Unusual transoral penetrating injury of the
foramen magnum: case report. Neurosurgery. Oct 2003;53(4):989-91; discussion
991. [Medline].
22. Benzel EC, Day WT, Kesterson L, et al. Civilian craniocerebral gunshot
wounds. Neurosurgery. Jul 1991;29(1):67-71; discussion 71-2. [Medline].
23. Berjano R, Vinas FC, Dujovny M. A review of dural substitutes used in
neurosurgery. Crit Rev Neurosurg. Jul 28 1999;9(4):217-222. [Medline].
24. Breased JH. The Edwin Smith Surgical Papyrus. In: The Edwin Smith Surgical
Papyrus. Vol 1. Chicago, Ill: University of Chicago Press; 1930:165-166.
25. Camuscu H, Dujovny M, Abd el-Bary T, et al. Microanatomy of the perforators of the
anterior communicating artery complex. Neurol Res. Dec 1997;19(6):577-
87. [Medline].
26. Centers for Disease Control. Traumatic brain injury--Colorado, Missouri, Oklahoma,
and Utah, 1990-1993.MMWR Morb Mortal Wkly Rep. Jan 10 1997;46(1):8-
11. [Medline].
27. Chesnut RM, Marshall LF, Marshall SB. Medical management of intracranial
pressure. In: Cooper PR, ed.Head Injury. 3rd ed. Baltimore, Md: Williams & Wilkins;
1993:225-246.
28. Coplin WM, Cullen NK, Policherla PN, et al. Safety and feasibility of craniectomy
with duraplasty as the initial surgical intervention for severe traumatic brain injury. J
Trauma. Jun 2001;50(6):1050-9. [Medline].
29. Cosar A, Gonul E, Kurt E, et al. Craniocerebral gunshot wounds: results of less
aggressive surgery and complications. Minim Invasive Neurosurg. Apr
2005;48(2):113-8. [Medline].
30. Cosar A, Gonul E, Kurt E, et al. Craniocerebral gunshot wounds: results of less
aggressive surgery and complications. Minim Invasive Neurosurg. Apr
2005;48(2):113-8. [Medline].
31. Cox MW, Whittaker DR, Martinez C, et al. Traumatic pseudoaneurysms of the head
and neck: early endovascular intervention. J Vasc Surg. Dec 2007;46(6):1227-
33. [Medline].
32. Dagi TF, Meyer FB, Poletti CA. The incidence and prevention of meningitis after
basilar skull fracture. Am J Emerg Med. Nov 1983;1(3):295-8. [Medline].
33. Erdogan E, Izci Y, Gonul E, et al. Ventricular injury following cranial gunshot
wounds: clinical study. Mil Med. Sep 2004;169(9):691-5. [Medline].
34. Feldman Z, Narayan RK, Robertson CS. Secondary insults associated with severe
closed head injury.Contemporary Neurosurgery. 1992;14:1-8.
35. Giannotta SL, Gruen P. Vascular complications of head trauma. In: Barrow DL,
ed. Complications and sequelae of head injury. Park Ridge, Ill: American Association
of Neurological Surgeons; 1992:31-49.
36. Goldstein M. Traumatic brain injury: a silent epidemic. Ann Neurol. Mar
1990;27(3):327. [Medline].
37. Gonzalez-Cruz J, Cardenas R, Nanda A. Penetrating orbitocranial injury to the sella:
case report and review of the literature. J La State Med Soc. Nov-Dec
2007;159(6):310, 312, 314. [Medline].
38. Gray J, Molloy D, Jenkins MG. "Glass in a scalp laceration": an unusual case of
penetrating head injury presenting to the emergency department. Eur J Emerg Med.
Apr 2004;11(2):117-8. [Medline].
39. Harris ME, Barrow D. Traumatic carotid-cavernous fistulas. In: Barrow DL,
ed. Complications and sequelae of head injury. Park Ridge, Ill: American Association
of Neurological Surgeons; 1992:13-30.
40. Hoffmann B, Sepehrnia A. Taylored implants for alloplastic cranioplasty--clinical and
surgical considerations. Acta Neurochir Suppl. 2005;93:127-9. [Medline].
41. Izci Y, Kayali H, Daneyemez M, et al. Comparison of clinical outcomes between
anteroposterior and lateral penetrating craniocerebral gunshot wounds. Emerg Med J.
Jun 2005;22(6):409-10. [Medline].
42. Izci Y, Kayali H, Daneyemez M, et al. The clinical, radiological and surgical
characteristics of supratentorial penetrating craniocerebral injuries: a retrospective
clinical study. Tohoku J Exp Med. Sep 2003;201(1):39-46. [Medline].
43. Jandial R, Reichwage B, Levy M, et al. Ballistics for the
neurosurgeon. Neurosurgery. Feb 2008;62(2):472-80; discussion 480. [Medline].
44. Kaufman HH, Timberlake G, Voelker J, et al. Medical complications of head
injury. Med Clin North Am. Jan 1993;77(1):43-60. [Medline].
45. Knightly JJ, Pulliam MW. Military head injuries. In: Narayan R, Wilberger J,
Povlishock J, eds.Neurotrauma. New York, NY: McGraw Hill; 1996.
46. Koçak A, OZer MH. Intracranial migrating bullet. Am J Forensic Med Pathol. Sep
2004;25(3):246-50.[Medline].
47. Kriet JD, Stanley RB Jr, Grady MS. Self-inflicted submental and transoral gunshot
wounds that produce nonfatal brain injuries: management and prognosis. J Neurosurg.
Jun 2005;102(6):1029-32. [Medline].
48. Martin EM, Lu WC, Helmick K, et al. Traumatic brain injuries sustained in the
Afghanistan and Iraq wars.Am J Nurs. Apr 2008;108(4):40-7; quiz 47-8. [Medline].
49. Muizelaar JP, Marmarou A, Ward JD, et al. Adverse effects of prolonged
hyperventilation in patients with severe head injury: a randomized clinical trial. J
Neurosurg. Nov 1991;75(5):731-9. [Medline].
50. Murano T, Mohr AM, Lavery RF, et al. Civilian craniocerebral gunshot wounds: an
update in predicting outcomes. Am Surg. Dec 2005;71(12):1009-14. [Medline].
51. Nelson TJ, Wall DB, Stedje-Larsen ET, et al. Predictors of mortality in close
proximity blast injuries during Operation Iraqi Freedom. J Am Coll Surg. Mar
2006;202(3):418-22. [Medline].
52. Nicol A. Gunshot wounds. S Afr J Surg. Nov 2005;43(4):150, 152. [Medline].
53. Pepe PE, Dutton RP, Fowler RL. Preoperative resuscitation of the trauma
patient. Curr Opin Anaesthesiol. Apr 2008;21(2):216-21. [Medline].
54. Perez-Arjona E, Dujovny M, Vinas F, et al. CNS child abuse: epidemiology and
prevention. Neurol Res. Jan 2002;24(1):29-40. [Medline].
55. Phillips ED. Greek Medicine. London, UK: Thames & Hudsen; 1973.
56. Price DJ, Sleigh JD. Control of infection due to Klebsiella aerogenes in a
neurosurgical unit by withdrawal of all antibiotics. Lancet. Dec 12
1970;2(7685):1213-5. [Medline].
57. Ratiu P, Talos IF, Haker S, et al. The tale of Phineas Gage, digitally remastered. J
Neurotrauma. May 2004;21(5):637-43. [Medline].
58. Rezai AR, Lee M, Kite C, et al. Traumatic posterior cerebral artery aneurysm
secondary to an intracranial nail: case report. Surg Neurol. Oct 1994;42(4):312-
5. [Medline].
59. Rosenberg WS, Harsh GR. Penetraing wounds of the head. In: Wilkins RH,
Rengachary SS, eds.Neurosurgery. Vol 2. New York, NY: McGraw Hill; 1996:2813-
2820.
60. Rosenwasser RH, Andrews DW, Jimenez DF. Penetrating craniocerebral
trauma. Surg Clin North Am. Apr 1991;71(2):305-16. [Medline].
61. Rosselli D. [Phineas Gage, 'Tan' and the importance of case reports]. Rev Neurol. Jan
16-31 2005;40(2):122-4. [Medline].
62. Salar G, Costella GB, Mottaran R, et al. Multiple craniocerebral injuries from
penetrating nails. Case illustration. J Neurosurg. May 2004;100(5):963. [Medline].
63. Salazar AM, Aarabi B, Levi L. Postraumatic epilepsy following craniocerebral
missile wounds in recent armed conflicts. In: Aarabi B, Kaufman HH, Dagi TF,
George ED, Levy ML, eds. Missile Wounds of the Head and Neck. Vol 2. Park Ridge,
Ill: American Association of Neurological Surgeons; 1999:281-292.
64. Schulz C, Woerner U, Luelsdorf P. Image-guided neurosurgery for secondary
operative removal of projectiles after missile injury of the brain. Surg Neurol. Apr
2008;69(4):364-8; discussion 368. [Medline].
65. Sinha P, Conrad GR, Williams BL. Visualization of bullet track and bullet by
radionuclide brain scintigraphy. Clin Nucl Med. Apr 2005;30(4):249-52. [Medline].
66. Sosin DM, Sacks JJ, Smith SM. Head injury-associated deaths in the United States
from 1979 to 1986.JAMA. Oct 27 1989;262(16):2251-5. [Medline].
67. Sosin DM, Sniezek JE, Waxweiler RJ. Trends in death associated with traumatic
brain injury, 1979 through 1992. Success and failure. JAMA. Jun 14
1995;273(22):1778-80. [Medline].
68. Stack BC Jr, Farrior JB. Missile injuries to the temporal bone. South Med J. Jan
1995;88(1):72-8.[Medline].
69. Steinsvag S. [Penetrating injuries in the head and neck region]. Tidsskr Nor
Laegeforen. Sep 8 2005;125(17):2369. [Medline].
70. Stiernberg CM, Jahrsdoerfer RA, Gillenwater A, et al. Gunshot wounds to the head
and neck. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. Jun 1992;118(6):592-7. [Medline].
71. Temkin NR, Dikmen SS, Wilensky AJ, et al. A randomized, double-blind study of
phenytoin for the prevention of post-traumatic seizures. N Engl J Med. Aug 23
1990;323(8):497-502. [Medline].
72. Torner JC, Choi S, Barnes TY. Epidemiology of head injuries. In: Marion DW,
ed. Traumatic brain injury. New York, NY: Thieme; 1999:9-25.
73. Trask TW, Narayan RK. Civilian Penetrating Head Injury. In: Narayan R, Wilberger
J, Povlishock, J, eds.Neurotrauma. New York, NY: McGraw Hill; 1996:868-889.
74. Tsuei YS, Sun MH, Lee HD, et al. Civilian gunshot wounds to the brain. J Chin Med
Assoc. Mar 2005;68(3):126-30. [Medline].
75. Tudor M, Tudor L, Tudor KI. Complications of missile craniocerebral injuries during
the Croatian Homeland War. Mil Med. May 2005;170(5):422-6. [Medline].
76. Verweij BH, Muizelaar JP, Vinas FC. Hyperacute measurement of intracranial
pressure, cerebral perfusion pressure, jugular venous oxygen saturation, and laser
Doppler flowmetry, before and during removal of traumatic acute subdural
hematoma. J Neurosurg. Oct 2001;95(4):569-72. [Medline].
77. Verweij BH, Muizelaar JP, Vinas FC, et al. Mitochondrial dysfunction after
experimental and human brain injury and its possible reversal with a selective N-type
calcium channel antagonist (SNX-111). Neurol Res. Jun 1997;19(3):334-9. [Medline].
78. Vetter H, Kolloch R, Appenheimer M, et al. [Effect of a chronic alpha adrenergic
receptor blockade on basal secretion of renin in essential hypertension]. Schweiz Med
Wochenschr. Dec 9 1978;108(49):1978-81. [Medline].
79. Vinas FC. Bedside invasive monitoring techniques in severe brain-injured
patients. Neurol Res. Mar-Apr 2001;23(2-3):157-66. [Medline].
80. Vinas FC. Clinical Uses of Laser Doppler in the Intensive care Unit. Critical Reviews
in Neurosurgery. 1999;9:28-33.
81. Vinas FC, Fandino R, Dujovny M, et al. Microsurgical anatomy of the supratentorial
arachnoidal trabecular membranes and cisterns. Neurol Res. Dec 1994;16(6):417-
24. [Medline].
82. Vinas FC, Ferris D, Kupsky WJ, et al. Evaluation of expanded
polytetrafluoroethylene (ePTFE) versus polydioxanone (PDS) for the repair of dura
mater defects. Neurol Res. Apr 1999;21(3):262-8. [Medline].
83. Vinas FC, Verweij B, Muizelaar P. Invasive monitoring of cerebral
oxygenation. Critical Reviews in Neurosurgery. 1998;8:31-40.
84. Vinas FJ, Dujovny M, Barrionuevo PJ. [The craniocerebral injury. Experience on
3,443 cases in the police health department]. Rev Fac Cienc Med Cordoba. Oct-Dec
1966;24(4):441-57. [Medline].
85. Wald SL. Advances in the early management of patients with head injury. Surg Clin
North Am. Apr 1995;75(2):225-42. [Medline].
86. Waxweiler RJ, Thurman D, Sniezek J, et al. Monitoring the impact of traumatic brain
injury: a review and update. J Neurotrauma. Aug 1995;12(4):509-16. [Medline].
87. Weigelt JA. Resuscitation and initial management. Crit Care Clin. Oct
1993;9(4):657-71. [Medline].
88. West CG. A short history of the management of penetrating missile injuries of the
head. Surg Neurol. Aug 1981;16(2):145-9. [Medline].
89. Winder MJ, Monteith SJ, Lightfoot N, et al. Penetrating head injury from nailguns: a
case series from New Zealand. J Clin Neurosci. Jan 2008;15(1):18-25. [Medline].
90. Yorks ML. More on Phineas Gage. N Engl J Med. Mar 3 2005;352(9):944; author
reply 944. [Medline].
91. Zhang J, Yoganandan N, Pintar FA, et al. Temporal cavity and pressure distribution
in a brain simulant following ballistic penetration. J Neurotrauma. Nov
2005;22(11):1335-47. [Medline].
top related