larangan menikah pada bulan muharram dalam adat...
Post on 06-Feb-2021
6 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
i
LARANGAN MENIKAH PADA BULAN MUHARRAM
DALAM ADAT JAWA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
(Studi Kasus di Desa Bangkok Kecamatan Karanggede
Kabupaten Boyolali)
SKRIPSI
Disusun untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Islam (S.H.I)
Oleh:
MUHAMMAD ISRO’I
NIM 21108014
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SALATIGA
2012
-
ii
-
iii
-
iv
-
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
“Sak bejo-bejone wong kang bejo isih luwih bejo
wong kang eling lan waspodo”
(Jayabaya/Ranggawarsita)
PERSEMBAHAN
UNTUK IBU DAN BAPAK KU
UNTUK KANG MAS DAN MBAK KU
UNTUK PARA DOSEN DAN SAHABAT-
SAHABATKU YANG TIDAK SAYA SEBUTKAN
SATU-PERSATU
KONCO-KONCO AHS „08
SPESIAL UNTUK “DIA” YANG SELALU
MENEMANIKU DALAM SUSAH ATAUPUN
SENANG
-
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat-Nya dan salam semoga tetap terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW
berikut keluarganya, para sahabat dan seluruh umat pengikutnya, Penulis akhirnya
dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Larangan Menikah Pada Bulan
Muharram Dalam Adat Jawa Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus di Desa
Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali )”. Penulisan skripsi ini
merupakan tugas akhir sebagai syarat untuk menyelesaikan Program Studi Ahwal
Al Syahsyiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Skripsi ini
disadari oleh Penulis masih jauh dari harapan dan masih banyak kekurangannya.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Dalam
kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah membantu Penulis dalam penulisan skripsi ini, antara lain :
1. Bapak Drs. Imam Sutomo M.Ag Selaku rektor Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (Stain) Salatiga
2. Bapak Ilyya Muhsin M.Si, selaku Ketua Program Studi Ahwal Al Syahsyiyah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (Stain) Salatiga.
3. Prof. Dr. H. Muh Zuhri, MA selaku dosen pembimbing yang dengan sabar
memberikan bimbingan dan arahan, sehingga Penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
-
vii
4. Seluruh anggota Tim penguji skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk
menilai kelayakan dan menguji skripsi dalam rangka menyelesaikan studi
Ahwal Al Syahsyiyah Di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Salatiga.
5. Seluruh staf Program studi yang telah membantu Penulis dalam
menyelesaikan administrasi-administrasi selama perkuliahan.
6. Bapak Ibuku yang selalu memberi dukungan dan doa yang tiada henti.
7. Semua Dosen-dosen Syari‟ah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Salatiga.
8. Semua teman-teman angkatan 2008 yang tidak dapat aku sebutkan satu
persatu yang selalu membantuku.
Semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi para
Pembaca.
Salatiga, Juni 2012
Penulis
-
viii
ABSTRAK
Isro‟i, Muhammad. 2012. Larangan Menikah Pada Bulan Muharram Dalam Adat
Jawa Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus di Desa Bangkok Kecamatan
Karanggede Kabupaten Boyolali. Skripsi Jurusan Syari‟ah. Program Studi
Ahwal Al-Syakhsyiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Salatiga.Pembimbing: Prof.Dr. Muh Zuhri, M.A
Kata kunci: Perkawinan, Adat Jawa,dan Muharram.
Penelitian ini terfokus pada masyarakat yang menjalankan tradisi larangan
menikah pada bulan Muharram. Adapun fokus penelitian yang penulis kaji dalam
penelitian ini adalah 1) faktor apa yang mendorong masyarakat untuk tidak
melakukan pernikahan pada bulan Muharram?, 2) Bagaimana pandangan ulama
setempat tentang pernikahan yang dilakukan pada bulan Muharram?, 3)
Bagaimana pandangan hukum islam tentang pernikahan yang dilakukan pada
bulan Muharram?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian yang
digunakan adalah penelitian lapangan (Field Research). Penelitian menggunakan
pendekatan deskriptif kualitatif dengan teknik data melalui observasi, wawancara,
dan dokumentasi. Metode analisis datanya menggunakan teknik analisis
deskriptif.
Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat Desa Bangkok Kecamatan
Karanggede Kabupaten Boyolali masih mempercayai adanya mitos sampai
sekarang. Misalnya, tidak melakukan pernikahan di bulan Muharram. Adapun
faktor yang mendorong masyarakat untuk tidak melakukan pernikahan pada
Bulan tersebut diantaranya karena masih tetap melestarikan adat istiadat Jawa dan
dianggap sebagai warisan nenek moyang mereka. Masyarakat juga masih percaya
bahwa bulan Suro itu adalah bulan keramat, sehingga mereka tidak berani untuk
melakukan hajatan pada bulan itu. Jika hal itu tetap dilaksanakan, mereka
mempercayai bahwa akan banyak halangan ketika pelaksanaan.
Namun para tokoh agama di Desa Bangkok berpendapat bahwa menikah
pada Bulan Muharram itu boleh dilakukan. Pernikahan boleh dilakukan kapan
saja termasuk pada bulan Muharram. Bahkan salah seorang ulama‟ Desa
mengatakan bahwa pernikahan yang dilakukan pada bulan Muharram itu sangat
baik, karena bulan Muharram termasuk bulan yang dimuliakan oleh Allah. Selain
itu mereka juga belum pernah melihat secara nyata akibat buruk dari pernikahan
yang dilakukan pada bulan Muharram. Menurut pandangan Islam pun pernikahan
boleh dilakukan kapan saja termasuk pada bulan Muharram, dan tidak ada satu
ayat atau hadis pun yang melarang menikah pada bulan Muharram. Kalau di Desa
Bangkok sendiri memang belum pernah ada warganya yang melakukan
pernikahan pada bulan Muharram. Jadi kebenaran tentang mitos larangan
menikah pada bulan Muharram ini belum terbukti.
-
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .......................................................... iv
HALAMAN MOTTO ......................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................... vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii
ABSTRAK ........................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Fokus Penelitian ............................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 5
D. Kegunaan Penelitian ........................................................................ 6
E. Penegasan Istilah .............................................................................. 6
F. Metode Penelitian ............................................................................ 7
G. Telaah Pustaka ................................................................................. 11
H. Sistematika Penulisan ...................................................................... 12
-
x
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Perkawinan
1. Pengertian ...................................................................................... 14
2. Dasar Hukum ................................................................................. 15
3. Rukun dan Syarat Sah ................................................................... 18
4. Prinsip-prinsip perkawinan ............................................................ 19
5. Hikmah Perkawinan ...................................................................... 20
6. Perkawinan Adat Jawa .................................................................. 21
B. Konsep tentang Bulan Muharram
1. Menurut Islam ............................................................................... 28
2. Menurut Adat Jawa........................................................................ 33
BAB III PAPARAN DATA DAN HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten
Boyolali
1. Letak Geografis ............................................................................. 38
2. Keadaan Administratif................................................................... 39
3. Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat ....................................... 40
4. Tingkat Pendidikan ........................................................................ 42
B. Pendapat Warga Desa Bangkok kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali
tentang Menikah pada Bulan Muharram ..................................................... 43
C. Pendapat Ulama” Desa Bangkok kecamatan Karanggede Kabupaten
Boyolali tentang Menikah pada Bulan Muharram....................................... 47
-
xi
D. BAB IV ANALISIS
A. Analisis Faktor yang Mendorong Masyarakat tidak Melakukan
Pernikahan pada Bulan Muharram.......................................................... 50
B. Analisis Pandangan Hukum Islam tentang Pernikahan yang Dilakukan
pada Bulan Muharram............................................................................. 51
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................. 54
B. Saran ....................................................................................................... 56
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur‟an sebagai sumber pertama dan utama hukum Islam, di
samping mengandung hukum-hukum yang sudah rinci dan menurut
sifatnya tidak berkembang, juga mengandung hukum-hukum yang masih
memerlukan penafsiran dan mempunyai potensi untuk berkembang. Ayat
hukum yang menyangkut ibadah, pada umumnya disebutkan pokok-
pokoknya saja. Akan tetapi, ayat-ayat tentang ibadah dijelaskan oleh
Rasulullah SAW secara rinci dan lengkap dalam sunahnya (Jumantoro,
2009:5).
Dalam pandangan Islam, manusia dan segala makhluk yang ada di
alam semesta merupakan ciptaan Allah SWT. Manusia diciptakan oleh
Allah lengkap dengan pasangannya. Secara naluriah, mempunyai
ketertarikan kepada lawan jenis. Untuk merealisasikan ketertarikan
tersebut menjadi hubungan yang benar maka harus melalui dengan
pernikahan.
Perkawinan adalah peristiwa besar dalam kehidupan manusia.
Dengan jalan ini, hubungan yang semula haram menjadi halal.
Implikasinya pun besar dan beragam. Perkawinan adalah sarana awal
mewujudkan sebuah tatanan masyarakat, karena keluarga adalah peran
dalam kehidupan masyarakat. Jika unit-unit keluarga baik dan berkualitas,
-
2
bisa dipastikan bangunan masyarakat yang diwujudkan akan kokoh dan
baik (Djalil, 2000:285).
Perkawinan termasuk salah satu bentuk ibadah. Tujuan perkawinan
bukan saja untuk menyalurkan kebutuhan biologis, tetapi juga untuk
menyambung keturunan dalam naungan rumah tangga yang penuh
kedamaian dan cinta kasih. Setiap remaja setelah memiliki kesiapan lahir
batin hendaknya segera menentukan pilihan hidupnya untuk mengakhiri
masa lajang. Menurut ajaran agama Islam, menikah adalah
menyempurnakan agama. Oleh karena itu, barang siapa yang menuju
kepada suatu pernikahan, maka ia telah berusaha menyempurnakan
agamanya, dan berarti pula dia telah berjuang untuk kesejahteraan
masyarakat. Membantu terlaksananya suatu pernikahan, demikian pula
merupakan ibadah yang tidak ternilai pahalanya (Hariwijaya, 2005:1).
Dalam Budaya Jawa ajaran Hindu-Budha masih melekat, sebagian
masyarakat masih berkeyakinan terhadap tradisi atau sistem-sistem budaya
masyarakat tradisional. Orang yang melangar tradisi, berarti keluar dari
sistem-sistem yang ada. Setelah agama Islam lahir, maka yang menjadi
asas hukum mereka berganti dengan aturan-aturan atau nash-nash yang
berdasarkan kepada Al-Qur‟an dan Sunah.
Akan tetapi, banyak masyarakat Jawa pada umumnya dan
khususnya di Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali
dalam melaksanakan perkawinan masih berdasar kepercayaan dari para
leluhurnya. Misalnya mereka tidak berani melaksanakan pernikahan pada
-
3
bulan Muharram, karena adanya kepercayaan-kepercayaan yang turun-
temurun dari zaman dahulu, meskipun mereka tidak akan pernah tahu apa
yang terjadi jika aturan tersebut dilanggar.
Islam memandang semua hari, bulan dan tahun adalah waktu yang
baik. Tidak ada hari yang sial atau hari keramat, namun sebagian
masyarakat Jawa masih berpegang teguh terhadap ajaran nenek moyang
yang percaya terhadap hari-hari sial. Tathayyur (menganggap sial) adalah
tindakan yang tidak berlandaskan ilmu atau realita yang benar. Sebagian
masyarakat Jawa misalnya di Desa Bangkok Kecamatan Karanggede
Kabupaten Boyolali memandang bahwa bulan Muharram dianggap bulan
sial. Sehingga tidak mau melakukan hajatan nikah. Jika melakukan hajatan
pada bulan itu maka akan mendapatkan berbagai musibah, acara
pernikahannya tidak lancar, mengakibatkan keluarga tidak harmonis, dan
sebagainya.
Padahal dalam Islam tidak mengajarkan demikian, Islam justru
menganggap yang seperti ini adalah thiyarah (meramalkan bernasib sial
karena melihat sesuatu). Ia hanyalah perilaku ikut-ikutan dan sekedar
mengikuti faham. Apabila pada perilaku seseorang terdapat suatu cacat,
hingga orang beranggapan bahwa nasib sial itu disebabkan oleh beberapa
hal atau sebab-sebab tertentu, maka tidak seharusnyalah ia menyerah akan
nasibnya itu, khususnya lagi bila sudah sampai pada tataran aktivitas
konkrit.
-
4
Firman Allah Subhanahu wata‟ala :
Artinya: Ketahuilah, Sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan
dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.(QS Al
A‟raf: 131) (Depag, 1974:222).
Artinya: Utusan-utusan itu berkata: "Kemalangan kamu adalah karena
kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib
malang)? sebenarnya kamu adalah kaum yang melampui batas". (QS
Yasin: 19) (Depag, 1974:627).
Selain itu dalam Islam juga sangat melarang untuk terlalu
mengkhawatirkan musibah yang akan terjadi karena semua musibah yang
terjadi di alam semesta ini sudah ditakdirkan oleh Allah, sebagaimana
dalam firman Allah Q.S Al Hadid (22):
Artinya: Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula)
pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah
mudah bagi Allah (QS Al Hadid: 22) (Depag, 1974:904).
Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa thiyarah
itu dilarang oleh agama Islam. Akan tetapi masyarakat Desa Bangkok
Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali tetap saja melakukan
thiyarah tersebut.
Dari berbagai fenomena di atas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai mitos pernikahan pada bulan Muharram tersebut.
Penulis akan meneliti hal tersebut dengan judul “LARANGAN
-
5
MENIKAH PADA BULAN MUHARRAM DALAM ADAT JAWA
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Desa Bangkok
Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali)”.
B. Fokus Penelitian
Penelitian ini terfokus pada masyarakat yang menjalankan tradisi larangan
menikah pada bulan Muharram tersebut. Adapun fokus penelitian yang
akan dikaji dalam penelitian ini adalah :
1. Faktor apa yang mendorong masyarakat untuk tidak melakukan
pernikahan pada bulan Muharram?
2. Bagaimana pandangan ulama‟ setempat tentang pernikahan yang
dilakukan pada bulan Muharram?
3. Bagaimana pandangan hukum Islam tentang pernikahan yang
dilakukan pada bulan Muharram?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk :
1. Mengetahui apa saja faktor yang mendorong masyarakat untuk tidak
melakukan pernikahan pada bulan Muharram.
2. Mengetahui pandangan ulama‟ setempat tentang pernikahan yang
dilakukan pada bulan Muharram.
3. Mengetahui pandangan hukum Islam tentang pernikahan yang
dilakukan pada bulan Muharram.
-
6
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman baru yang
lebih komprehensif mengenai pernikahan pada bulan Muharram. Masalah
perkawinan ini sangat riskan, apalagi kalau hal ini menyangkut masalah
adat dan kepercayaan masyarakat setempat. Karena memang kita ini hidup
bermasyarakat dan di dalam masyarakat tersebut berlaku adat istiadat
tertentu.
E. Penegasan Istilah
Untuk mendapatkan kejelasan judul di atas, penulis perlu memberikan
penegasan dan batasan terhadap istilah-istilah yang ada. Istilah-istilah
tersebut adalah :
1. Nikah adalah perjanjian antara laiki-laki dan perempuan untuk
bersuami istri (dengan resmi) (Poerwadarminta, 2006:800).
Pernikahan adalah perbuatan nikah; upacara perkawinan (Fajri dan
Senja:590)
2. Kata adat berasal dari bahasa Arab „Adatun akar katanya „ada, ya‟udu
mengandung arti perulangan. Karena itu, sesuatu yang baru dilakukan
satu kali, belum dinamakan adat.
Adapun pengertian secara istilah adat adalah sesuatu yang
dikehendaki manusia dan mereka kembali terus menerus. (Jumantoro,
2009:1)
-
7
3. Hukum secara etimologi bermakna Al-Man‟u yakni mencegah.
Pengertian hukum yang lebih luas lagi adalah ketetapan-ketetapan
yang menyandarkan sifat-sifat (hukum) syar‟i kepada perbuatan-
perbuatan manusia, yang zahir ataupun batin. (Jumantoro, 2009:86).
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan penulis adalah pendekatan historis.
Karena dengan pendekatan ini bisa mengetahui asal mula kepercayaan
masyarakat tentang larangan menikah pada bulan Muharram. Hal ini
tidak bisa dijelaskan dengan angka-angka, akan tetapi hal ini bisa
terungkap dengan terjun langsung ke lapangan guna mengadakan
penelitian pada obyek yang dibahas (Mukhtar,2007: 79), sehingga data
yang diperoleh bisa bervariasi dan lebih lengkap.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Kualitatif yaitu
penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak
menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya
(Moleong, 2008:6).
2. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian ini, penulis bertindak sebagai instrument sekaligus
menjadi pengumpul data. Instrument lain yang digunakan penulis
adalah alat perekam, alat tulis, serta alat dokumentasi. Akan tetapi
instrument ini hanya sebagai pendukung tugas penulis sebagai
-
8
instrument. Oleh karena itu kehadiran penulis di lapangan mutlak
diperlukan. Selain itu, penulis juga berperan sebagai partisipan penuh,
yang mana penulis membaur dengan obyek penelitian. Kehadiran
penulis sebagai peneliti diketahui statusnya sebagai peneliti.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di Desa Bangkok Kecamatan Karanggede
Kabupaten Boyolali. Karena para masyarakat tersebut percaya akan
mitos mengenai pernikahan yang dilakukan pada bulan Muharram.
Dan sampai saat ini pun mereka masih melaksanakan kebiasaan yang
mereka percayai itu.
4. Sumber Data
Untuk memperoleh gambaran yang jelas dari proses penelitian, penulis
menggunakan obyek penelitian berupa informan. Yang menjadi
informan dalam penelitian ini adalah masyarakat Desa Bangkok baik
itu masyarakat biasa maupun para ulama‟ setempat.
5. Prosedur Pengumpulan Data
a. Observasi
Yaitu metode pengumpulan data dengan jalan pengamatan dan
pencatatan secara langsung dengan sistematis terhadap fenomena-
fenomena yang diselidiki (Arikunto, 1987:128). Dalam observasi
penelitian ini dengan terjun langsung ke lapangan yang akan
diteliti.
-
9
b. Wawancara
Wawancara ini digunakan untuk memperoleh beberapa jenis data
dengan teknik komunikasi secara langsung (Surakhmad,
1990:174). Wawancara ini dilakukan dengan acuan catatan-catatan
mengenai pokok masalah yang akan ditanyakan. Sasaran
wawancara adalah masyarakat Desa Bangkok.
c. Dokumentasi
Mencari data mengenai beberapa hal, baik yang berupa catatan dan
data dari Kantor Kelurahan Desa Bangkok Kecamatan Karanggede
Kabupaten Boyolali. Metode ini digunakan sebagai salah satu
pelengkap dalam memperoleh data.
d. Studi Pustaka
Studi pustaka yaitu penelitian yang mencari data dari bahan-bahan
tertulis (M. Amirin, 1990:135) berupa catatan, buku- buku, surat
kabar, makalah, dan sebagainya.
6. Analisis Data
Setelah seluruh data terkumpul maka barulah penulis menentukan
bentuk analisa terhadap data-data tersebut, antara lain dengan metode :
a. Deskriptif
Penyelidikan yang menuturkan, menggambarkan, menganalisa dan
mengklasifikasikan penyelidikan dengan teknik survey, interview,
dan observasi (Surakhmad, 1990:139).
-
10
b. Kualitatif
Penelitian yang tidak mengadakan perhitungan (J. Moleong,
2002:45). Dalam melaksanakan analisa, peneliti bergerak di antara
tiga komponen yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan yang aktifitasnya berbentuk interaksi dengan proses
siklus.
7. Pengecekan Keabsahan Data
Keabsahan data merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian,
karena dari data itulah nantinya akan muncul beberapa teori. Untuk
memperoleh keabsahan temuan, penulis akan menggunakan teknik-
teknik perpanjangan kehadiran peneliti di lapangan, observasi yang
diperdalam, triangulasi (menggunakan beberapa sumber, metode,
teori), pelacakan kesesuaian, dan pengecekan anggota. Jadi temuan
data tersebut bisa diketahui keabsahannya.
8. Tahap-tahap Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini penulis melakukan penelitian
pendahuluan ke Desa Bangkok Kemudian penulis melakukan
pengembangan desain dari data awal tadi dan selanjutnya penulis
melakukan penelitian yang sebenarnya. Setelah itu penulis melakukan
penulisan laporan hasil penelitian tersebut.
-
11
G. Telaah Pustaka
Tradisi merupakan suatu karya cipta manusia. Sepanjang ia tidak
bertentangan dengan inti ajaran agama, tentunya islam akan
membenarkannya. Kita bisa bercermin bagaimana Walisongo tetap
melestarikan tradisi Jawa yang tidak melenceng dari ajaran Islam (Yazid,
2005:249).
Aqidah yang murni adalah landasan pokok bagi tegaknya
masyarakat Islam. Sedangkan tauhid merupakan inti sari aqidah itu, ia
adalah keseluruhan jiwa-jiwa Islam. Perang terhadap berbagai keyakinan
Jahiliyah yang dikembangkan oleh paham keberhalaan yang sesat
merupakan suatu keniscayaan, demi menyucikan masyarakat muslim dari
debu-debu syirik dan sisa-sisa kesesatan (Qardhawi, 2007:333).
Tradisi-tradisi yang ada di pulau Jawa tersebut masih saja
berkembang di zaman modern seperti saat ini dan di lingkungan
masyarakat muslim. Penelitian yang menyangkut tentang tradisi-tradisi di
pulau Jawa telah dilakukan oleh peneliti yang bernama Mikdad Musa
Mubaroq dengan judul Fiqh lingkungan sesajen kali dan kearifan lokal
(Studi kasus di Desa Warangan, Munengwarangan, Pakis, Magelang).
Penelitian ini mengkaji tentang tradisi sesajen kali di masyarakat Jawa
dalam kaitannya dengan fiqh lingkungan.
Dari berbagai tradisi di Jawa masih begitu banyaknya masyarakat
mempercayainya hingga ke taraf perbuatan syirik. Begitu pula dengan
tradisi mempercayai terhadap hari-hari baik atau menganggap hari-hari
-
12
sial. Seperti penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang bernama
Ariyanto dengan judul Penggunaan Petungan Masyarakat Jawa Muslim
dalam Ritual Pernikahan (Studi kasus di Desa Reksosari Kecamatan
Suruh Kabupaten Semarang). Penelitian ini membahas tentang
perhitungan untuk memperoleh gabungan hari, tanggal, dan bulan yang
baik dan tidak baik untuk melaksanakan ritual pernikahan. Sehingga
penelitian ini masih membahas hari, tanggal, dan bulan secara
menyeluruh. Sedangkan penelitian yang akan penulis lakukan lebih khusus
tentang larangan menikah pada bulan Muharram saja.
Maka dari itu penulis akan melakukan penelitian tentang salah satu
bulan yang dianggap paling sakral dan tabu untuk melaksanakan ritual
pernikahan oleh masyarakat Jawa, yaitu “sasi suro” atau bulan Muharram.
Adapun judul dari penelitian ini adaah “LARANGAN MENIKAH PADA
BULAN MUHARRAM DALAM ADAT JAWA PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM (Studi Kasus di Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten
Boyolali)”.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini terdiri dari lima bab yang saling berkaitan yang
dapat dijelaskan sebagai berikut :
BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan
-
13
penelitian, penegasan istilah, metode penelitian, telaah
pustaka, dan sistematika penulisan.
BAB II : Dalam bab ini berisi kajian pustaka yang menjelaskan tentang
konsep perkawinan dan konsep tentang Bulan Muharram.
BAB III : Dalam bab ini berisi paparan data dan temuan penelitian.
BAB IV : Dalam bab ini berisi analisis mengenai faktor-faktor yang
mendorong masyarakat Desa Bangkok tidak melakukan
pernikahan pada Bulan Muharram dan pandangan Hukum
Islam tentang pernikahan yang dilakukan pada Bulan
Muharram.
BAB V : Dalam bab ini penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
Bagian akhir terdiri dari daftar pustaka dan riwayat hidup penulis.
-
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Perkawinan
1. Pengertian
Perkawinan merupakan sunatullah yang umum dan berlaku pada
semua makhluknya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-
tumbuhan. Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT
sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak dan melestarikan
hidupnya. Beberapa penulis terkadang menyebut pernikahan dengan kata
perkawinan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perkawinan berasal
dari kata “kawin”, yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga
dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh. Istilah
kawin digunakan secara umum untuk tumbuh-tumbuhan, hewan dan
manusia dan menunjukan proses generatif yang alami. Berbeda dengan itu,
nikah hanya digunakan pada manusia karena mengandung keabsahan
secara hukum nasional, adat-istiadat, dan terutama menurut hukum agama.
Adapun menurut syara‟, nikah adalah akad serah terima antara
laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama
lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah
serta masyarakat yang sejahtera (Tihami, 2009:8).
Dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974 Bab I pasal I
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
-
15
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Demikian pula dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia No 1 tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) Bab II disebutkan bahwa
“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
2. Dasar Hukum Pernikahan
Hukum nikah (perkawinan) yaitu hukum yang mengatur hubungan
antara manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran
kebutuhan biologis antar jenis, dan hak serta kewajiban yang berhubungan
dengan akibat perkawinan tersebut. Perkawinan adalah sunnatullah hukum
alam di dunia. Perkawinan dilakukan oleh manusia, hewan bahkan oleh
tumbuh-tumbuhan sebagaimana pernyataan Allah dalam Al-Qur‟an Surat
Al-Dzariat:49 :
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat kebesaran Allah (Depag, 1971:862).
Firman-Nya pula Al-Qur‟an Surat Yasin:36
-
16
Artinya: Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka
maupun dari apa yang tidak mereka ketahui (Depag, 1971: 710).
Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi
manusia untuk beranak, berkembang biak dan menjaga kelestarian
hidupnya, setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang
positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Firman Allah surat Al-
Hujurat:13
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa
- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal (Depag, 1971: 847 ).
Firman Allah Q.S An-Nisa‟:1
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-
laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang
dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain,
dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu (Depag, 1971: 114).
-
17
Dengan demikian meskipun perkawinan itu asalnya mubah, namun
dapat berubah menurut perubahan keadaan, yaitu:
a. Nikah Wajib, nikah diwajibkan bagi yang telah mampu yang akan
menambah takwa, nikah yang wajib bagi orang yang telah mampu,
yang akan menjaga jiwa dan menyelamatkannya dari perbuatan haram.
b. Nikah Haram, Nikah diharamkan bagi orang yang tahu dirinya tidak
mampu melaksanakan hidup berumah tangga, melaksanakan
kewajiban lahir seperti memberi nafkah, pakaian, tempat tinggal, dan
kewajiban batin seperti mencampuri istri.
c. Nikah sunnah, nikah disunnahkan bagi orang yang mempu tetapi
masih sanggup mengendalikan diri dari perbuatan haram. Dalam hal
ini nikah lebih baik daripada membujang.
d. Nikah mubah yaitu bagi orang yang tidak berhalangan nikah dan
dorongan nikah belum membahayakan dirinya. Ia belum wajib nikah
dan tidak haram bila tidak nikah.
Berdasarkan hal di atas, Tuhan tidak mau menjadikan manusia
seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti naluarinya dan
berhubungan antara jantan dan betina secara anarkhi, dan tidak ada satu
aturan. Tetapi demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan
manusia, Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabat manusia
tersebut.
3. Rukun dan Syarat Sahnya Perkawinan
a. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)
-
18
Rukun perkawinan menurut KHI dinyatakan dalam Pasal 14 yaitu:
i. Calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan.
ii. Wali dari mempelai perempuan.
iii. Dua orang saksi.
iv. Ijab dan qabul.
Syarat sahnya perkawinan menurut KHI dalam Pasal 4 adalah
dinyatakan :
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam
sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.”
b. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan
Rukun perkawinan menurut UU No.1/1974 tidak diatur
secara tegas. Akan tetapi undang-undang tersebut menyerahkan
persyaratan sahnya suatu perkawinan sepenuhnya kepada
ketentuan yang diatur oleh agama orang yang akan melangsungkan
perkawinan tersebut. Syarat sahnya perkawinan menurut UU
No.1/1974 diatur dalam pasal 2 yaitu :
(1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku
-
19
Jadi bisa disimpulkan bahwa rukun dan syarat dalam perkawinan
dalam yang dimuat dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-
Undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan sebagai berikut :
Rukun perkawinannya adalah Pertama,adanya calon mempelai
laki-laki dan calon mempelai perempuan, kedua adanya wali dari pihak
perempuan, ketiga adanya Saksi pernikahan, dan keempat adanya ijab
qabul.
Kemudian syarat sahnya perkawinan menurut kedua peraturan
tersebut adalah pernikahan dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan perkawinan tersebut harus dicatatkan.
4. Prinsip-Prinsip Pernikahan dalam Islam
a. Pilihan jodoh yang tepat.
b. Pernikahan didahului dengan peminangan.
c. Ada ketentuan tentang larangan perkawinan antara laki-laki dan
perempuan.
d. Pernikahan didasarkan atas suka rela antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
e. Ada persaksian dalam akad nikah.
f. Pernikahan tidak ditentukan untuk waktu tertentu.
g. Ada kewajiban membayar maskawin/mahar atas suami.
h. Ada kebebasan mengajukan syarat dalam akad nikah.
i. Tangung jawab pimpinan keluarga pada suami.
-
20
j. Ada kewajiban bergaul dengan baik dalam kehidupan rumah
tangga (Tihami, 2009:12 )
5. Hikmah Pernikahan
Islam menganjurkan pernikahan karena pernikahan tersebut
mempunyai banyak hikmah bagi pelakunya sendiri, masyarakat, dan
umat manusia. Adapun hikmah pernikahan menurut Sabiq (1980:18)
adalah:
a. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan
keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana
jalan keluar tidak dapat memuaskan, maka banyak manusia yang
terguncang jiwanya sehingga akan mengambil jalan yang buruk.
Dengan perkawinan badan menjadi segar, jiwa menjadi tenang,
mata terpelihara dari melihat yang haram, dan perasaan akan
tenang menikmati hal yang halal.
b. Perkawinan adalah jalan terbaik untuk memperbanyak keturunan,
melestarikan hidup manusia, serta memelihara nafsu yang oleh
Islam sangat dianjurkan.
c. Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh dalam hidup berumah
tangga dengan anak-anak yang akan menimbulkan rasa cinta,
sayang, dan sikap ramah yang merupakan sifat-sifat baik yang
menyempurnakan akhlak manusia.
-
21
d. Menyadari tanggung jawab beristeri dan menanggung anak-anak
menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat
bakat dan pembawaan seseorang.
e. Ada pembagian tugas, dimana yang satu mengurus dan mengatur
rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja mencari nafkah sesuai
dengan batas-batas tangung jawab antara suami isteri dalam
menangani tugas-tugasnya.
f. Dengan perkawinan diantaranya dapat membuahkan tali
kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara
keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang
memang oleh Islam direstui, ditopang, dan ditunjang.
6. Perkawinan Adat Jawa
Adat merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa,
dan merupakan salah satu penjelmaan jiwa bangsa yang bersangkutan dari
abad ke abad. Setiap bangsa di dunia memiliki adat kebiasaan sendiri-
sendiri yang berbeda sehingga adat merupakan identitas suatu bangsa. Di
negara Indonesia, adat yang dimiliki oleh daerah-daerah, suku-suku
bangsa berbeda-beda, meskipun dasar serta sifatnya satu yaitu ke-
Indonesiaannya. Oleh karena itu maka adat Indonesia dikatakan “Bhineka
Tunggal Ika”.
Perkawinan merupakan salah satu adat yang semua daerah
memilikinya. Karena perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting
dalam sejarah kehidupan setiap orang, perkawinan akan menyatukan dua
-
22
keluarga yang sebelumnya tidak ada ikatan. Maka dari itu dalam adat
Jawa, pertimbangan penerimaan seorang calon menantu tidak boleh
sembarangan, harus berdasarkan kepada bibit, bebet dan bobot (Yana,
2010:60).
Bibit : artinya mempunyai latar kehidupan keluarga yang baik.
Bebet : calon penganten, terutama pria, mampu memenuhi kebutuhan
keluarga.
Bobot : kedua calon penganten adalah orang yang berkualitas, bermental
baik dan berpendidikan cukup.
Masyarakat Jawa memaknai peristiwa perkawinan dengan
menyelenggarakan berbagai upacara. Upacara itu dimulai dari tahap
perkenalan sampai terjadinya pernikahan. Tahapan-tahapan tersebut adalah
sebagai berikut (Yana, 2010:62-68) :
a. Nontoni
Pada tahap ini sangat dibutuhkan peranan seorang perantara. Perantara
ini merupakan utusan dari keluarga calon pengantin pria untuk
menemui keluarga calon pengantin wanita. Pertemuan ini
dimaksudkan untuk nontoni atau melihat calon dari dekat. Di rumah
itu, para calon mempelai bisa bertemu langsung meskipun hanya
sekilas. Pertemuan sekilas ini terjadi ketika calon pengantin wanita
mengeluarkan minuman dan makanan ringan sebagai jamuan. Tamu
disambut oleh keluarga calon pengantin wanita yang terdiri dari
-
23
orangtua calon pengantin wanita dan keluarganya, biasanya pakdhe
atau paklik (Yana, 2010:62).
b. Nakokake/Nembung/Nglamar
Sebelum melangkah ke tahap selanjutnya, perantara akan menanyakan
beberapa hal pribadi seperti sudah adakah calon bagi calon mempelai
wanita. Bila belum ada calon, maka utusan dari calon mempelai pria
memberitahukan bahwa keluarga calon mempelai pria berkeinginan
untuk berbesanan. Lalu calon pengantin wanita diajak bertemu dengan
calon pengantin pria untuk ditanya kesediannya menjadi isterinya. Bila
calon pengantin wanita setuju, maka perlu dilakukan langkah
selanjutnya, yaitu ditentukannya hari dimana utusan datang untuk
melakukan kekancingan rembag (peningset). Peningset ini merupakan
suatu simbol bahwa calon pengantin wanita sudah diikat secara tidak
resmi oleh calon pengantin pria. Ketika semua sudah berjalan dengan
lancar, maka ditentukanlah tanggal dan hari pernikahan yang
disesuaikan dengan weton (hari lahir berdasarkan perhitungan Jawa)
kedua calon pengantin. Hal ini dimaksudkan agar pernikahan itu kelak
mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi seluruh anggota
keluarga (Yana, 2010:62).
-
24
c. Pasang Tarub
Pemasangan tarub ini dilakukan menjelang hari pernikahan. Tarub
dibuat dari daun kelapa yang sebelumnya telah dianyam dan diberi
kerangka dari bambu, dan ijuk atau welat sebagai talinya. Agar
pemasangan tarub ini selamat, dilakukan upacara sederhana berupa
penyajian nasi tumpeng lengkap. Selain itu dipasang juga tuwuhan,
yaitu sepasang pohon pisang raja yang sedang berbuah yang dipasang
di kanan kiri pintu masuk. Pohon pisang melambangkan keagungan
dan mengandung makna berupa harapan agar keluarga baru ini
nantinya cukup harta dan keturunan (Yana, 2010:63).
d. Midodareni
Midodareni diawali dengan upacara siraman. Pelaku siraman adalah
orang yang dituakan yang berjumlah tujuh diawali dari orangtua yang
kemudian dilanjutkan oleh sesepuh lainnya. Setelah siraman, calon
pengantin membasuh wajah dengan air kendi yang dibawa ibunya
kemudian kendi langsung dibanting/dipecah sambil mengucapkan
kata-kata: “cahayanya sekarang sudah pecah seperti bulan purnama”.
Setelah itu calon pengantin langsung dibopong ayahnya ke tempat
ganti pakaian. Setelah ganti pakaian, dilanjutkan dengan acara potong
rambut yang dilakukan oleh orangtua calon pengantin wanita. Setelah
itu rambut dikubur di depan rumah dan dilanjutkan dengan acara
“dodol dawet”. Yang berjualan dawet adalah ibu dari calon pengantin
wanita dengan dipayungi oleh suaminya. Uang untuk membeli dawet
-
25
terbuat dari kreweng (pecahan genting) yang dibentuk bulat.
Selanjutnya dilakukan midodareni, yaitu berasal dari kata widadari,
yang artinya bidadari. Kedua calon pengantin diharapkan seperti
widadari-widadara, di belakang hari bisa lestari, dan hidup rukun dan
sejahtera (Yana, 2010:64).
e. Akad Nikah
Akad nikah adalah inti dari acara perkawinan. Biasanya dilakukan
sebelum acara resepsi yang disaksikan oleh sesepuh/orang tua dari
kedua calon pengantin dan orang yang dituakan. Pelaksanaan akad
nikah dilakukan oleh petugas dari catatan sipil atau petugas agama
(Yana, 2010:65).
f. Panggih
Upacara panggih dimulai dengan pertukaran kembar mayang,
kalpataru dewadaru yang merupakan sarana dari rangkaian pangih.
Sesudah itu dilanjutkan dengan balangan suruh, ngidak endhok, dan
mijiki (Yana, 2010:65).
g. Balangan Suruh
Upacara ini dilakukan oleh kedua pengantin secara bergantian dengan
saling melempar Gantal. Gantal yaitu daun sirih yang yang ditekuk
membentuk bulatan yang diikat dengan benang putih. Daun sirih
merupakan perlambang bahwa kedua pengantin diharapkan bersatu
dalam cipta, karsa, dan karya (Yana, 2010:65).
-
26
h. Ngidak endhok
Upacara ngidak endhok diawali oleh juru paes, yaitu orang yang
bertugas untuk merias pengantin dan mengenakan pakaian pengantin,
dengan mengambil telur dari dalam bokor, kemudian diusapkan di dahi
pengantin pria diminta untuk menginjak telur tersebut. Ngidak endhok
mempunyai makna secara seksual, bahwa kedua pengantin sudah
pecah pamornya (Yana, 2010:66).
i. Wiji dadi
Pengantin wanita membasuh kaki pengantin pria menggunakan air
yang telah diberi bunga setaman. Mencuci kaki ini melambangkan
suatu harapan bahwa “benih” yang akan diturunkan jauh dari mara
bahaya dan menjadi keturunan yang baik (Yana, 2010:66).
j. Timbangan
Pengantin laki-laki duduk di atas kaki kanan ayah pengantin wanita,
sedangkan pengantin wanita duduk di kaki sebelah kiri. Kedua tangan
ayah dirangkulkan di pundak kedua pengantin. Lalu ayah mengatakan
bahwa keduanya seimbang, sama berat dalam arti konotatif. Upacara
ini berarti berupa harapan bahwa antara kedua pengantin dapat selalu
saling seimbang dalam rasa, cipta, dan karsa (Yana, 2010:66).
k. Kacar-kucur
Caranya pengantin pria menuangkan raja kaya dari kantong kain,
sedangkan pengantin wanitanya menerimanya dengan kain sindur yang
diletakkan di pangkuannya. Makna dari kacar kucur adalah
-
27
menandakan bahwa pengantin pria akan bertanggung jawab mencari
nafkah untuk keluarganya (Yana, 2010:67).
l. Dulangan
Upacara ini dilakukan dengan cara kedua pengantin saling
menyuapkan makanan dan minuman. Makna dulangan adalah sebagai
simbol seksual, saling memberi dan menerima (Yana, 2010:67).
m. Sungkeman
Upacara ini dilakukan dengan cara kedua pengantin duduk jengkeng
dengan memegang dan mencium lutut kedua orangtua, baik orangtua
pengantin pria maupun wanita. Maknanya adalah sebagai simbol
perwujudan rasa hormat anak kepada kedua orangtua (Yana, 2010:67).
n. Kirab
Upacara kirab berupa arak-arakan yang terdiri dari domas, cucuk
lampah, dan keluarga dekat untuk menjemput atau mengiringi
pengantin yang akan keluar dari tempat panggih ataupun memasuki
tempat panggih (Yana, 2010:67).
o. Jenang Sumsuman
Upacara ini dilakukan setelah semua acara perkawinan selesai, dengan
kata lain, jenang sumsuman merupakan ungkapan syukur karena acara
berjalan dengan baik dan selamat, tidak kurang suatu apapun, dan
semua dalam keadaan sehat (Yana, 2010:68).
-
28
p. Boyongan/Ngunduh Manten
Disebut boyongan karena pengantin pria dan wanita diantar oleh
keluarga pihak wanita ke keluarga pihak pria secara bersama-sama.
Acara ini diadakan di rumah pengantin pria. Biasanya acaranya tidak
selengkap acara pada acara yang diadakan di tempat pengantin wanita.
Dari uraian mengenai tahapan-tahapan terjadinya suatu proses
perkawinan dalam masyarakat jawa, bisa disimpulkan bahwa
masyarakat jawa sangat memegang teguh adat yang sudah turun
temurun dilakukan. Berdasar pola pikir yang telah melekat ini, bagi
masyarakat jawa kemudian dijadikan semacam pedoman yang mau
tidak mau harus ditaati. Inilah yang menjadi sebab sangat banyak
mitos-mitos yang tumbuh subur dalam masyarakat jawa (Yana,
2010:68).
B. Konsep Tentang Bulan Muharram
1. Menurut Islam
Allah Subhanahu wa Ta‟ala berfirman dalam surat at Taubah ayat 36:
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan,
dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di
antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus,
-
29
Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat
itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana
merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya
Allah beserta orang-orang yang bertaqwa (Depag, 1971: 283).
Nabi Shallallahu „alaihi wa Sallam bersabda:
َٓب َأْزَبَعٌت ُحُسٌو ُْ ًْٓسا ِي َُُت اْثَُب َعَشَس َش َٔاْنَأْزَض انسَّ َٕاِث ًَ ُّ انسَّ َْٕو َخَهَق انهَّ َٚ ِّ َْٛئِخ َٓ ٌُ َقْد اْسَخَداَز َك انزََّيب
ٌَ ََٔشْعَبب ًَبَدٖ ٍَ ُج ْٛ ََٔزَجُب ُيَضَس انَِّر٘ َب ًَُحسَُّو َٔاْن َُٔذٔ اْنِحجَِّت َٕاِنَٛبٌث ُذٔ اْنَقْعَدِة َثَهبَثٌت ُيَخ
“Waktu itu telah berputar sebagaimana biasa sejak Allah menciptakan
langit dan bumi. Satu tahun ada 12 bulan, di antaranya 4 bulan haram.
3 bulan berturut-turut, yaitu Dzulqa‟dah, Dzulhijjah, Muharram, dan
satu lagi adalah Rajab yang terletak di antara bulan Jumadil Akhir dan
Sya‟ban.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 10/470, no. 2958)
Bulan Muharram adalah bulan yang mulia dan ia memiliki
keutamaannya yang tersendiri. Nabi Shallallahu „alaihi wa Sallam
menyatakan bulan Muharram adalah bulan Allah, dan puasa yang yang
paling afdhal setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram.
Sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa Sallam:
ِْٛم ََٔأْفَضُم انصََّهبِة َبْعَد اْنَفِسَٚضِت َصَهبُة انهَّ ًَُحسَُّو ِّ اْن ُْٓس انهَّ ٌَ َش َٛبِو َبْعَد َزَيَضب َأْفَضُم انصِّ
Puasa yang paling afdhal setelah puasa di bulan Ramadhan adalah
puasa di bulan Allah bulan al-Muharram. Dan sholat yang paling
afdhal setelah sholat yang difardhukan adalah sholat di malam hari.”
(Hadis Riwayat Muslim, 6/63, no. 1982)
Dalil-dalil ini semuanya menunjukkan kemuliaan di bulan
Haram, terutamanya di bulan Muharram. Selain itu, di dalamnya turut
ditegaskan lagi akan larangan menganiaya diri. Ini menunjukkan
perbuatan maksiat di bulan haram lebih diharamkan lagi dibanding
-
30
bulan-bulan selainnya. Sebaliknya, amalan soleh pula akan diberikan
ganjaran yang besar.
Di antara amalan sunnah yang disebutkan secara khusus pada
bulan Muharram adalah berpuasa sunnah. Sebagaimana disebutkan
dalam hadis di atas, puasa yang paling afdhal setelah puasa di bulan
Ramadhan adalah puasa di bulan Muharram. Maksud puasa dalam
hadis tersebut adalah puasa sunnah secara umum. Memperbanyakkan
amalan puasa sunnah dalam bulan Muharram terutamanya pada hari
yang ke sepuluh Muharram adalah termasuk sunnah-sunnah yang
sangat dianjurkan. „Abdullah B. „Abbas radhiyallahu „anhuma berkata:
ٌْٕو ََْرا َٚ ََْرا َقبُنٕا َْٕو َعبُشَٕزاَء َفَقبَل َيب َُٕٓد َحُصُٕو َٚ َٛ ًَِدََُٚت َفَسَأٖ اْن ََٔسهََّى اْن ِّ ْٛ ُّ َعَه ُّٙ َصهَّٗ انهَّ َقِدَو انَُِّب
ُُْكْى ًَُٕسٗ ِي ُّ ُيَٕسٗ َقبَل َفَأََب َأَحقُّ ِب ِْْى َفَصبَي ِّٔ ٍْ َعُد ُّ َبُِٙ ِإْسَساِئَٛم ِي ٌْٕو ََجَّٗ انهَّ ََْرا َٚ َصبِنٌح
ِّ ََٔأَيَس ِبِصَٛبِي ُّ َفَصبَي
“Nabi tiba di Madinah dan beliau mendapati orang-orang Yahudi
sedang berpuasa „Asyura (hari ke sepuluh Muharram).” Nabi bertanya,
“Puasa apakah ini?”
Orang-orang menjawab, “Hari ini adalah hari yang baik, yaitu hari di
mana Allah telah menyelamatkan bani Isra‟el dari kejahatan
musuhnya, maka Musa pun berpuasa sebagai tanda syukur beliau
kepada Allah. Dan kami pun turut serta berpuasa.”
Nabi Shallallahu „alaihi wa Sallam pun berkata, “Kami lebih berhak
terhadap Musa daripada kamu semua.” Akhirnya Nabi pun berpuasa
dan memerintahkan umat Islam untuk berpuasa.” (Hadis Riwayat al-
Bukhari, 7/127, no. 1865)
Sejarah penetapan puasa „Asyura mengalami beberapa fasa.
Pada awalnya, ketika di Makkah Nabi berpuasa „Asyura tanpa
memerintah orang lain untuk berpuasa. Kemudian ketika sampai di
-
31
Madinah, beliau tetap terus berpuasa di hari „Asyura dan
memerintahkan umat Islam agar turut berpuasa.
Tetapi setelah perintah kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan
turun, puasa di hari „Asyura menjadi sunnah dan tidak diwajibkan.
Rasulullah mengatakan:
ُّ ٍْ َشبَء َحَسَك ََٔي ُّ ٍْ َشبَء َصبَي ًَ َف
“Siapa yang hendak berpuasa (pada hari „Asyura), silakan berpuasa,
bagi yang tidak berpuasa, juga tidak mengapa.” (Hadis Riwayat al-
Bukhari, 7/125, no. 1863)
Kemudian ketika di penghujung hayatnya, Rasulullah bertekad
untuk tidak hanya berpuasa pada hari „Asyura (hari yang ke sepuluh)
saja di bulan Muharram, tetapi juga bertekad untuk puasa pada hari
yang ke sembilannya. Ibnu „Abbas radhiyallahu „anhuma berkata:
ٌْٕو َٚ ُّ ِّ ِإََّ ِّ َقبُنٕا َٚب َزُسَٕل انهَّ ََٔأَيَس ِبِصَٛبِي َْٕو َعبُشَٕزاَء ََٔسهََّى َٚ ِّ ْٛ ُّ َعَه ِّ َصهَّٗ انهَّ ٍَ َصبَو َزُسُٕل انهَّ ِحٛ
ٌْ ًُْقِبُم ِإ ٌَ اْنَعبُو اْن ََٔسهََّى َفِإَذا َكب ِّ ْٛ ُّ َعَه ِّ َصهَّٗ انهَّ َٔانََُّصبَزٖ َفَقبَل َزُسُٕل انهَّ ُُٕٓد َٛ ُّ اْن ًُ ُحَعظِّ
ِّ ْٛ ُّ َعَه ِّ َصهَّٗ انهَّ َٙ َزُسُٕل انهَّ ُٕفِّ ًُْقِبُم َحخَّٗ ُح َْٕو انخَّبِسَع َقبَل َفَهْى َْٚأِث اْنَعبُو اْن َٛ َُب اْن ًْ ُّ ُص َشبَء انهَّ
ََٔسهَّى
“Ketika Nabi sedang berpuasa pada hari „Asyura dan memerintahkan
para sahabatnya untuk turut berpuasa, para sahabat berkata, “Wahai
Rasulullah, hari „Asyura adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan
Nashara.”
Maka Rasulullah Shallallahu „alaihi wa Sallam berkata, “Jika begitu,
tahun depan insyaAllah kita puasa sekali pada hari yang ke
sembilannya.” Ibnu „Abbas berkata, “Tetapi belum sempat sampai
tahun depan, beliau telah wafat terlebih dahulu.” (Hadis Riwayat
Muslim, 5/479, no. 1916)
Dari hadis ini, umat Islam tidak hanya disunnahkan agar
berpuasa di hari ke sepuluh Muharram atau dikenali sebagai hari
-
32
„Asyura, tetapi juga turut disunnahkan agar berpuasa pada hari ke
sembilan Muharram. Rasulullah mengisyaratkan tentang kelebihan
puasa „Asyura sebagaimana sabdanya:
ُّ ََُت انَِّخٙ َقْبَه ٌْ َُٚكفَِّس انسَّ ِّ َأ ِْٕو َعبُشَٕزاَء َأْحَخِسُب َعَهٗ انهَّ َِٔصَٛبُو َٚ
“Adapun puasa di hari „Asyura, aku memohon kepada Allah agar ia
dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (Hadis Riwayat Muslim,
6/55, no. 1976)
Juga sebagaimana dalam hadis yang lain sebagaimana telah
disebutkan, puasa di hari „Asyura adalah termasuk puasa yang paling
afdhal setelah puasa wajib di bulan Ramadhan. Dan Rasulullah
senantiasa melaksanakan puasa „Asyura ini dengan penuh
kesungguhan. Ini adalah sebagaimana kata „Abdullah B. „Abbas
radhiyallahu „anhuma:
ُّ َعَهٗ ٍْٕو َفضََّه ََٔسهََّى ََٚخَحسَّٖ ِصَٛبَو َٚ ِّ ْٛ ُّ َعَه َّٙ َصهَّٗ انهَّ ُْٚج انَُِّب َيب َزَأ
ٌَ َْٓس َزَيَضب َْٓس َْٚعُِٙ َش ََْرا انشَّ َٔ َْٕو َعبُشَٕزاَء َْٕو َٚ َٛ ََْرا اْن ِِ ِإنَّب ِْٛس َغ
Tidaklah aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu „alaihi wa Sallam
berusaha untuk melaksanakan puasa pada satu hari yang lebih beliau
utamakan berbanding hari-hari lainnya melainkan pada hari ini yaitu
hari „Asyura, dan pada bulan ini, yaitu bulan Ramadhan. (Hadis
Riwayat al-Bukhari, 7/125, no. 1867)
Dari dalil-dalil di atas menurut An-Nablusi (2004:42-43), Allah
SWT menyuruh kita menghormati bulan-bulan haram dan
menghentikan perbuatan-perbuatan maksiat di dalamnya, karena
kemaksiatan yang dilakukan pada bulan-bulan itu dosanya lebih besar
dan kezhaliman yang dilakukan pada waktu itu adalah seburuk-buruk
-
33
kezhaliman. Dan Allah SWT memberitahu mereka bahwa perbuatan
mengubah-ubah dan mengganti aturan agama adalah sejelek-jelek
keburukan, sebagaimana pekerjaan menunda-nunda (amal atau taubat)
menambah kekafiran. Allah SWT menetapkan, bahwa mereka wajib
mengikuti perintah-perintah yang telah digariskan oleh Allah dan
meninggalkan larangan-larangan yang dicegah olehNya.
2. Menurut Adat Jawa
Keberadaan hidup orang Jawa yang tak luput dari kehidupan
sosial dan budaya yang memiliki corak dan ragam kehidupan sosial
dan budaya. Ini sendiri dilatarbelakangi oleh sisa kebiasaan hidup pada
zaman sebelumnya. Pengaruh-pengaruh ini dapat dimulai dari zaman
berdirinya negara-negara Hindu Jawa, meskipun budaya ini kemudian
sedikit terkikis dengan kehadiran budaya Islam dan kehidupan modern,
tetapi pada umumnya masyarakat Jawa masih berusaha keras untuk
terus melestarikan budayanya. Hal ini diteruskan dalam berbagai adat,
misalnya:
a. Rumah Tangga dan keluarga.
b. Keinginan orang Jawa untuk mempunyai anak.
c. Adat memberi nama.
d. Pertumbuhan anak dalam keluarga ( Yana, 2010: 13-14).
Sebagian besar orang Jawa masih belum dapat memisahkan
mitos dalam kehidupan mereka. Sebagian besar mereka termasuk
-
34
dalam golongan bukan muslim santri. Ciri khas dari pandangan hidup
orang Jawa adalah realitas yang mengarah kepada pembentukan
kesatuan antara alam nyata, masyarakat, dan alam adikodrati yang
dianggap keramat.
Dasar kepercayaan masyarakat Jawa ( kejawen) adalah
keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini pada hakikatnya
adalah satu atau merupakan kesatuan hidup. Sebagian besar adat Jawa
merupakan warisan ajaran Hindu dan Budha yang sudah menjadi
tradisi masyarakat Jawa yang mengaku dirinya sebagai masyarakat
kejawen. Kejawen berasal dari kata Jawa, sebagai kata benda yang
memiliki arti dalam bahasa Indonesia yaitu segala yang berhubungan
dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan) (Yana, 2010:109).
Bulan Suro sebagai awal tahun, bagi masyarakat Jawa
dianggap bulan yang sakral, karena dianggap bulan yang suci, bulan
untuk melakukan perenungan, bertafakur, berintrospeksi, mendekatkan
diri kepada Sang Khalik. Cara yang dilakukan biasanya disebut dengan
laku, yaitu mengendalikan hawa nafsu dengan hati yang ikhlas untuk
mencapai kebahagiaan dunia akhirat (http://himpalaunas.com).
Namun kalau dicermati, esensi tradisi di bulan Suro yang
dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah sebagai upaya untuk
menemukan jati dirinya agar selalu tetap eling lan waspada. Eling
artinya harus tetap ingat siapa dirinya dan dari mana sangkan paraning
dumadi “asal mulanya”, kedudukannya sebagai makhluk Tuhan,
-
35
tugasnya sebagai khalifah manusia di bumi baik bagi diri sendiri
maupun orang lain. Waspada, artinya harus tetap cermat, terjaga, dan
waspada terhadap segala godaan yang sifatnya menyesatkan. Karena
sebenarnya godaan itu bisa menjauhkan diri dari sang Pencipta,
sehingga dapat menjauhkan diri mencapai manunggaling kawula gusti
“bersatunya makhluk dan Khalik” (http://himpalaunas.com).
Pada bulan Suro banyak orang melakukan ritual-ritual tertentu
sebagai media introspeksi dengan berbagai cara. Ada yang melakukan
laku dengan cara nenepi atau meditasi untuk merenung diri di tempat-
tempat sakral seperti di puncak gunung, tepi laut, makam, gua, pohon
tua, dan ada juga yang melakukan dengan cara lek-lekan 'berjaga
hingga pagi hari' (http://himpalaunas.com). Selain ritual-ritual
tersebut dalam masyarakat Jawa Ada juga Tradisi Ngalap Berkah yang
dilakukan dengan mengunjungi daerah keramat atau melakukan ritual-
ritual, seperti mandi di grojogan (dengan harapan dapat membuat awet
muda), melakukan kirab kerbau bule (kiyai slamet) di keraton
Kasunanan Solo, memandikan benda-benda pusaka, begadang
semalam suntuk. ( http://jagadkejawen.com/id/upacara-
ritual/perayaan1suro). Harmoni alam merupakan cita-cita manusia.
Untuk menggapai harmoni alam itulah, sebagian masyarakat Jawa
melakukan ritual-ritual tertentu.
Ternyata kesakralan bulan Suro membuat masyarakat Jawa
sendiri enggan untuk melakukan kegiatan yang bersifat sakral,
http://himpalaunas.com/http://jagadkejawen.com/id/upacara-ritual/perayaan1surohttp://jagadkejawen.com/id/upacara-ritual/perayaan1suro
-
36
misalnya hajatan pernikahan. Hajatan pernikahan di bulan Suro sangat
mereka hindari. Hal ini terjadi karena adanya mitos Nyi Roro Kidul.
Masyarakat Jawa yang percaya dengan cerita Nyi Roro Kidul,
penguasa laut selatan (Samudra Hindia) meyakini bahwa setiap bulan
Suro, Nyi Roro Kidul selalu punya hajatan atau mungkin menikahkan
anaknya. Setiap masyarakat Jawa yang punya gawe di bulan Suro ini,
diyakini pengantin atau keluarganya tidak akan mengalami
kebahagiaan atau selalu mengalami kesengsaraan, baik tragedi cerai,
gantung diri, meninggal, mengalami kecelakaan, atau lainnya. Entah
kebenaran itu ada atau tidak, yang jelas masyarakat Jawa secara turun-
temurun menghindari bulan Suro untuk menikahkan anak
(http://himpalaunas.com).
Karena orang Jawa sebagian besar masih mengikuti paham
kejawen, mitos yang berkembang di Jawa juga sangat erat kaitannya
dengan keyakinan atau kepercayaan. Mitos adalah cerita suci
berbentuk simbolik yang mengisahkan serangkaian cerita nyata dan
imajiner menyangkut asal-usul dan perubahan-perubahan alam raya
dan dunia, dewa-dewi, kekuatan-kekuatan atas kodrati, manusia,
pahlawan, dan masyarakat. Cirri mitos yang berkembang dalam
kehidupan orang Jawa, antara lain: (1) mitos sering memiliki sifat suci
atau sakral, karenanya terkait dengan tokoh yang sering dipuja,
misalnya mitos Nyi Roro Kidul, (2) mitos hanya dapat dijumpai dalam
dunia mitos dan bukan dalam dunia kehidupan sehari-hari atau pada
http://himpalaunas.com/
-
37
masa lampau yang nyata, (3) banyak mitos di Jawa yang menunjuk
pada kejadian-kejadian penting, (4) kebenaran mitos tidak penting,
sebab cakrawala dan zaman mitos tidak terikat pada kemungkinan-
kemungkinan dan batas-batas dunia nyata ini (Endraswara, 2012:193-
194).
-
38
BAB III
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Gambaran Umum Desa Bangkok Kecamatan Karanggede kabupaten
Boyolali
1. Letak Geografis
Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali
merupakan sebuah desa yang cukup ramai, jalannya naik turun dan
udaranya cukup panas. Namun demikian, para warga yang tinggal di
desa tersebut sangat ramah. Walaupun Desa Bangkok ini jauh dari
pusat pemerintahan kecamatan, akan tetapi akses menuju desa
Bangkok ini cukup mudah. Sehingga mempermudah perjalanan
penulis dalam melakukan penelitian.
Adapun luas Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten
Boyolali sampai dengan 30 Juni 2012 adalah 12.327 ha, yang terdiri
dari hutan, persawahan, ladang, dan pemukiman. Sedangkan batas
wilayah Desa Bangkok adalah :
a. Sebelah Utara : Desa Seworan
b. Sebelah Selatan : Desa Dologan
c. Sebelah Barat : Desa Klari
d. Sebelah Timur : Desa Wonosegoro
-
39
2. Keadaan Administratif
Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali
mempunyai penduduk yang berjumlah 2.406 dengan jumlah Kepala
Keluarga (KK) adalah 664.
Table 3.1 Jumlah Penduduk berdasarkan jenis kelamin
No Keterangan Jumlah
1. Laki-laki 1.213 orang
2. Perempuan 1.193 orang
Jumlah 2.406 orang
Untuk memperlancar kegiatan administrasi pemerintahan, di Desa
Bangkok terdapat perangkat desa, mulai dari Kepala Desa hingga
Ketua RT (Rukun Tetangga). Desa Bangkok terbagi dalam empat
Dusun yaitu Dusun Bangkok, Karangsalam, Krajan dan Randusari,
yang masing-masing dusun mempunyai Satu Ketua RW (Rukun
Warga) dan beberapa Ketua RT.
Tabel 3.2 Pembinaan RT/RW
No Keterangan Jumlah
1. Jumlah RT 16 unit
2. Jumlah RW 4 unit
-
40
Di Desa Bangkok juga terdapat sebuah lembaga yang berfungsi untuk
memberdayakan masyarakat desa tersebut. Kepaa Desa menunjuk
beberapa kader untuk mengurusi lembaga tersebut.
Tabel 3.3 Jumlah Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM)
No Keterangan Jumlah
1. KPM yang aktif 6 orang
2. KPM yang tidak aktif 6 orang
Jumlah 12 orang
3. Keadaan Sosial Keagamaan Masyarakat
Dalam kehidupan sehari-hari penduduk Desa Bangkok tidak
menggambarkan adanya konflik yang berarti di masyarakat. Mereka
hidup rukun saling berdampingan dalam bermasyarakat. Hal ini
terlihat dari sikap gotong royong masyarakat ketika ada kegiatan di
desa, misalnya kerja bakti, hajatan pernikahan, dan kematian. Selain
itu di Desa Bangkok ini juga ada tradisi Nyadran berupa ziarah kubur
yang dilaksanakan pada bulan Sya‟ban. Tradisi ini tetap mereka
jalankan walaupun zaman sudah modern. Hal ini karena masyarakat
Desa Bangkok sangat menghargai warisan para leluhur atau nenek
moyang mereka.
Walaupun seluruh masyarakat Desa Bangkok ini beragama
Islam, akan tetapi mereka tetap menjalankan adat dan tradisi Jawa.
Namun demikian mereka tidak membedakan antara syari‟at dan adat,
-
41
sehingga di masyarakat Desa Bangkok ini tidak pernah terjadi konflik
berarti. Keadaan sosial yang rukun dan keagamaan yang saling
toleransi inilah yang selalu dijaga oleh masyarakat Desa Bangkok.
Di wilayah Desa Bangkok terdiri dari 664 Kepala Keluarga
(KK), dan semuanya beragama Islam. Untuk menunjang
pengembangan agama Islam di desa Bangkok terdapat beberapa sarana
ibadah dan sarana pendidikan Islam.
Tabel 3.4 Jumlah sarana ibadah dan sarana pendidikan Islam
No Keterangan Jumlah
1. Jumlah masjid 6 buah
2. Jumlah mushola 15 buah
3. Jumlah pondok pesantren 1 buah
4. Jumlah majelis ta‟lim 6 buah
Dari jumlah sarana ibadah dan sarana pendidikan Islam
tersebut terlihat bahwa masyarakat Desa Bangkok banyak yang kurang
pengetahuannya tentang agama Islam. Untuk meningkatkan keislaman
masyarakat, para ulama‟ mempunyai tugas untuk menyampaikan
ajaran agama Islam kepada seluruh masyarakat Desa Bangkok, salah
satunya dengan ceramah. Akan tetapi ceramah oleh para ulama‟ jarang
dilakukan. Dan materi ceramah yang disampaikan hanya tentang
peningkatan keimanan dan ketaqwaan secara umum. Adapun materi
yang berkaitan dengan kepercayaan terhadap mitos-mitos dan
-
42
Ketauhidan jarang disampaikan. Jadi adat yang berkaitan dengan
kepercayaan terhadap mitos-mitos itu terus dilakukan.
4. Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia.
Karena dengan pendidikan manusia bisa menjadi berkualitas. Akan
tetapi tidak semua orang bisa memperoleh pendidikan yang tinggi,
karena untuk memperoleh pendidikan dibutuhkan biaya yang banyak.
Keadaan ekonomi masyarakat Desa Bangkok yang berbeda-beda
berakibat timbulnya perbedaan tingkat pendidikan masyarakat. Hanya
sebagian masyarakat yang mampulah yang bisa memperoleh
pendidikan yang tinggi.
Tabel 3.5 Jumlah penduduk menurut Pendidikan
No Pendidikan Jumlah
1. Belum Sekolah 736 orang
2. Lulusan SD/MI 601 orang
3. Lulusan SMP/sederajat 598 orang
4. Lulusan SMA/sederajat 464 orang
5. Lulusan Akademi/ D1-D3 3 orang
6. Lulusan Sarjana 4 orang
Dari data pendidikan masyarakat desa Bangkok, rata-rata
tingkat pendidikan rendah. Hanya ada beberapa orang saja yang
mampu melanjutkan pendidikan sampai sarjana. Karena memang biaya
-
43
pendidikan yang cukup tinggi dan minat masyarakat untuk menuntut
ilmu di bangku sekolah sangat kurang. Mereka lebih senang bekerja
mencari nafkah daripada mencari ilmu. Oleh karena itu pola pikir
masyarakatnya tradisional dan cenderung kurang kitis dalam
menanggapi hal-hal yang berkaitan dengan mitos. Misalnya saja
tentang mitos larangan menikah pada bulan Suro yang mana menurut
kepercayaan nenek moyang mereka akan memperoleh kesialan. Dan
masyarakat pun mempercayai hal tersebut tanpa mencari tahu
kebenaran tentang mitos tersebut.
B. Pendapat Warga Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten
Boyolali Tentang Menikah pada Bulan Muharram
Tabel 3.6 Daftar Hasil Wawancara dengan warga Desa Bangkok
No. Nama L/P RT/RW Umur Tanggapan
1 Suwardi L 01/I 60 Tidak Boleh. Ikut
nenek moyang
2 Tamzis L 01/I 30 Boleh. Dalam Al-
Qur‟an semua bulan
baik
3 Amin Soleh L 02/I 45 Boleh. Setiap waktu
baik.
4 Samsul L 02/I 23 Tidak Boleh. Orang
tua melarang
5 Muhlisin L 03/I 50 Boleh. Dalam Islam,
tidak ada larangan
menikah pada bulan
itu
6 Rowiyatun P 03/I 20 Tidak Boleh. Takut
kena musibah
7 Sudarji L 04/I 59 Tidak Boleh. Ikut
yang sudah-sudah.
8 Nur Faizah P 04/I 22 Boleh. Orang tua
membolehkan dan
-
44
takut syirik
9 Sriyadi L 05/II 25 Tidak Boleh. Tidak
mau kena bencana
10 Surbiyati P 05/II 20 Tidak Boleh. Takut
hubungan tidak
langgeng.
11 Warito L 06/II 58 Tidak Boleh. Takut
tidak punya
keturunan.
12 Darmini P 06/II 40 Boleh. Kapanpun
boleh menikah.
13 Muh
Solikan
L 07/II 25 Boleh. Agama tidak
melarang.
14 Rohiman L 07/II 28 Boleh. Tidak ada
tuntunan yang tidak
membolehkan untuk
menikah di bulan
suro.
15 Tohir L 08/II 27 Tidak Boleh.
Mengikuti ajaran
leluhur.
16 Muntofi‟ah P 08/II 50 Tidak Boleh. Takut
putus di tengah
jalan.
17 Rohmadi L 09/III 55 Tidak Boleh. Karena
bulan suro adalah
bulan keramat.
18 Ngatiman L 09/III 67 Tidak Boleh. Orang
tua,kakek
nenek,mbah buyut
juga tidak
membolehkan.
19 Maryati P 10/III 44 Tidak Boleh. Takut
tertimpa bencana
20 Jasman L 10/III 30 Tidak Boleh.
Mendingan ditunda
saja.
21 Juwarti P 11/III 35 Tidak Boleh. Karena
banyak
madharatnya.
22 Sutimin L 11/III 40 Tidak Boleh. Takut
ada yang meninggal
dari salah satu pihak.
23 Jumaroh P 12/III 61 Tidak Boleh. Takut
dijadikan tumbal
-
45
oleh Nyi Roro
Kidul.
24 Kapsim L 12/III 29 Tidak Boleh. Sudah
menjadi tradisi
keluarga.
25 Hamidurro-
him
L 13/IV 21 Boleh. Tidak ada
alasan untuk tidak
menikah pada bulan
itu.
26 Syuhada‟ L 13/IV 56 Tidak Boleh. Takut
kena musibah dan
bencana.
27 Ma‟mun L 14/IV 39 Tidak Boleh. Tidak
berani mlanggar
aturan keluarga.
28 Purtini P 14/IV 66 Tidak Boleh. Adat di
desa kebanyakan
tidak berani
menikah.
29 Ibnu
Wijantoro
L 15/IV 23 Tidak Boleh.
Mendingan di bulan
selain suro saja.
30 Jumri L 15/IV 25 Tidak Boleh.
Menghormati
leluhur.
31 Jumardi L 16/IV 50 Boleh. Tidak ada
alasan logis yang
melarang.
32 Ngateno L 16/IV 30 Boleh. Larangan
yang ada hanyalah
sebuah mitos saja.
Dari hasil observasi dan wawancara yang penulis lakukan, di Desa
Bangkok sekitar 69 % masyarakat tidak memperbolehkan menikah pada
bulan Muharram, sedangkan 31 % masyarakat memperbolehkan menika
pada bulan Muharram. Adapun alasan yang disampaikan oleh masyarakat
yang tidak memperbolehkan menikah pada bulan Muharram, yaitu
diantaranya:
-
46
1. Masyarakat tidak berani menikah pada bulan Muharram karena sudah
menjadi tradisi turun-temurun yang diwariskan oleh para nenek
moyang terdahulu.
2. Masyarakat takut tertimpa musibah jika menikah pada bulan
Muharram.
Sedangkan alasan masyarakat yang memperbolehkan menikah pada bulan
Muharram adalah:
1. Dalam Islam tidak ada larangan menikah pada bulan Muharram.
2. Semua bulan itu baik.
3. Tidak ada alasan yang logis mengenai larangan menikah pada bulan
Muharram.
Adapun akibat pernikahan yang dilakukan pada bulan Muharram
atau bulan Suro menurut Bapak Suwardi salah satu tokoh masyarakat di
Desa Bangkok mengatakan :
“Di Desa Bangkok belum pernah ada warga yang melakukan
pernikahan pada Bulan Suro. Kalau ada yang melakukan
pernikahan pada Bulan Suro akan mendapat halangan. Dan dalam
membina rumah tangga akan sering terjadi percekcokan. Bahkan
ada seorang warga Desa Bangkok yang pernah mendirikan rumah
pada Bulan Suro kemudian orang itu menjadi gila.”
Jadi menurut Bapak Suwardi pernikahan yang dilakukan pada bulan
Suro ini dihindari oleh warga Desa Bangkok. Karena mereka beranggapan
bahwa pernikahan yang dilakukan pada bulan Suro ini akan mendapat
banyak halangan, sehinga mereka tidak berani melakukannya. Terbukti
sampai sekarang mereka tidak ada yang maelakukan pernikahan pada
-
47
bulan Suro walaupun tidak ada fakta tentang akibat buruk dari pernikahan
pada bulan Suro.
C. Pendapat Ulama’ Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten
Boyolali Tentang Menikah pada Bulan Muharram
Tabel 3.7 Daftar Hasil Wawancara dengan ulama‟ Desa Bangkok
No Nama Dusun Tanggapan
1 M. Abdullah Bangkok Boleh. sangat
dianjurkan
2 M. Ali Alwi Karangsalam Boleh. Bulan yang
sangat mulia
3 Ramto Krajan dan Randusari Boleh. Musibah itu
sudah takdir
Desa Bangkok memiliki beberapa ulama‟ yang bertugas
mengajarkan agama Islam di desa tersebut. Sehingga mereka menjadi
panutan warga dalam hal ibadah. Akan tetapi adat yang berlaku tetap
mereka lestarikan selama tidak bertentangan dengan syari‟at.
Mereka berpendapat bahwa menikah di bulan muharram itu boleh,
bahkan sangat dianjurkan, karena bulan muharram adalah bulan yang
sangat mulia, selain itu tidak ada satupun ayat dalam Al-Qur‟an yang
melarang untuk menikah di bulan suro. Akan tetapi, di desa Bangkok adat
yang berjalan adalah masyarakat tidak berani untuk menikah di bulan
-
48
muharram, bahkan hajat lain pun seperti mendirikan rumah mereka tidak
berani melaksanakannya. Mereka merasa khawatir jangan-jangan jika
mereka melaksanakan hajat di bulan itu mereka akan menimpa musibah,
padahal hal seperti itu sangat dilarang agama, para ulama menyebut hal itu
sebagai tathayyur, yaitu mempercayai kepada ucapan-ucapan nenek
moyang yang belum tentu benar.
Para ulama‟ Desa Bangkok berpendapat sebenarnya masyarakat
menjalani tradisi itu masih terpengaruh dengan keyakinan yang dianut
oleh sesepuh mereka. Seperti yang disampaikan Bapak Abdullah dari
Dusun Bangkok, bahwa masyarakat hanya mengikuti apa yang sudah
dilakukan nenek moyang mereka. Beliau menambahkan sebenarnya bulan
Muharram adalah bulan yang sangat mulia, bahkan beliau sangat
menganjurkan pernikahan pada bulan tersebut. Mengenai adat larangan
menikah pada Bulan Muharram beliau berpendapat bahwa, sebuah adat
memang bisa dipertimbangkan untuk menjadi hukum. Karena hal itulah
adat larangan menikah pada bulan Muharram masih berlaku.
Masyarakat mempunyai keyakinan jika mereka menikah di bulan
Suro maka akan tertimpa musibah, mereka juga takut kepada mitos Nyi
Roro Kidul yang mencari tumbal seseorang yang berani menikah di bulan
Muharram. Padahal, menurut Bapak Ali Alwi sebagai tokoh agama di
Dusun Karangsalam mengatakan bahwa sebenarnya isu tentang Nyi Roro
Kidul itu hanyalah isu yang dimunculkan sejak zaman penjajahan Belanda,
-
49
biasanya orang Jawa itu jika ditakut-takuti dengan hal yang mistik seperti
itu, mereka akan takut dan mengikutinya.
Bapak Ramto salah satu tokoh agama di Dusun Krajan dan
Randusari menambahkan bahwa kepercayaan tentang larangan menikah
pada bulan Suro sebenarnya muncul saat Keraton Solo mempunyai hajat di
bulan Suro, pihak Keraton melarang warga untuk membarengi hajat pihak
Keraton, agar seluruh warga dapat ikut memeriahkan hajatan tersebut.
Akan tetapi para ulama‟ tidak berani untuk langsung melarang adat yang
berkembang di masyarakat, perlu waktu untuk menghilangkan mitos-mitos
tersebut, kadar keislaman masyarakat dinilai masih tipis, jika terlalu
dipaksakan mereka khawatir akan terjadi perpecahan diantara masyarakat.
Mengenai kekhawatiran masyarakat yang takut tertimpa musibah jika
menikah di bulan suro, para ulama‟ sangat melarang hal itu, karena
termasuk thiyarah yaitu meramalkan bernasib sial karena melanggar
sesuatu. Dan hal itu termasuk perbuatan sirik.
-
50
BAB IV
ANALISIS
A. Faktor Yang Mendorong Masyarakat Desa Bangkok Tidak
Melakukan Pernikahan Pada Bulan Muharram
1. Desa Bangkok Kecamatan Karanggede Kabupaten Boyolali
merupakan desa yang seluruh warganya beragama Islam, akan tetapi
tradisi Jawa yang diwariskan nenek moyang khususnya dalam hal
pernikahan tetap mereka pertahankan.
2. Mayoritas masyarakat Desa Bangkok merupakan keturunan suku Jawa.
Sehingga adat yang mereka anut pun adalah adat Jawa. Sebagian besar
orang Jawa masih belum dapat memisahkan mitos dalam kehidupan
mereka (Yana, 2010:15). Begitu juga dengan masyarakat Desa
Bangkok yang masih mempercayai mitos. Seperti larangan melakukan
pernikahan pada bulan Suro (Muharram), adat ini tetap mereka
jalankan sampai sekarang.
3. Warga Desa Bangkok mempercayai bahwa pernikahan yang dilakukan
pada Bulan Muharram atau Bulan Suro akan mendapat banyak
halangan. Selain itu jika pernikahan itu sudah dilangsungkan dan
pasangan suami isteri ini berumahtangga, maka akan sering terjadi
percekcokan. Dan hal ini bisa menimbulkan perceraian. Maka dari itu
masyarakat tidak berani melakukan pernikahan pada bulan Muharram.
-
51
Sedangkan jika menikah pada bulan selain Muharram masyarakat
meyakini tidak akan ada halangan yang berarti.
4. Dalam kasus seperti yang terjadi di desa Bangkok ini sangat terlihat
bahwa kehidupan mereka sangat dipengaruhi mitos-mitos dan
kepercayaan yang belum bisa dijelaskan dengan alasan yang logis. Apa
yang mereka yakini hanya merupakan warisan turun-temurun yang
terlahir dari proses akulturasi budaya islam dengan warisan animisme
dan dinamisme yang ada pada zaman sebelum Islam masuk ke tanah
Jawa.
5. Sebenarnya apa yang masyarakat Desa Bangkok yakini dalam hal
larangan menikah tersebut tentunya sangat bertentangan dengan
budaya Islam. Tetapi karena alasan kestabilan masyarakat dan
menghindari adanya kegoncangan dan kekacauan akibat benturan
budaya tersebut, maka mitos dan budaya Jawa itu mau tidak mau harus
tetap berjalan sebagaimana adanya.
B. Pandangan Hukum Islam Tentang Pernikahan Yang Dilakukan Pada
Bulan Muharram
Demi memuliakan ummatnya, Islam datang dengan penuh berkah.
Diantaranya, dengan mengistimewakan hari-hari dan bulan-bulan tertentu.
Seperti bulan Muharram yang termasuk 4 bulan yang paling mulia dalam
Islam. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa bulan-bulan lain selain 4 bulan
-
52
haram tersebut tidak baik. Jadi semua hari itu baik, dan kita bisa
melaksankan hajat apapun setiap harinya.
Seperti halnya hajat pernikahan itu boleh dilaksanan kapan saja.
Tidak ada hari-hari tertentu yang mana dilarang untuk melakukan
pernikahan. Karena pernikahan itu adalah sunnatullah yang mana sangat
dianjurkan oleh Allah SWT. Bahkan suatu pernikahan itu wajib hukumnya
ketika orang itu sudah mampu secara lahir dan batin dan sudah
menginginkannya. Jadi tidak ada halangan untuk melakukan sebuah
pernikahan tersebut.
Dalam syarat dan rukun pernikahan yang tercantum dalam
Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan tidak menyebutkan bahwa pernikahan tersebut harus
dilakukan pada hari tertentu. Dan tidak disebutkan pula tentang larangan
menikah pada waktu-waktu tertentu. Jadi tidak ada peraturan tertentu yang
melarang sebuah perkawinan yang dilakukan pada Bulan Muharram.
Akan tetapi masyarakat Desa bangkok Kecamatan Karanggede
Kabupaten Boyolali tetap tidak berani melaksanakan pernikahan pada
bulan Muharram itu. Hal ini terjadi karena adanya kepercayaan-
kepercayaan yang turun-menurun dari zaman dahulu bahwa pernikahan yg
dilakukan pada Bulan Muharram akan mendapat banyak halangan dan
kehidupan rumah tangganya tidak harmonis. Akan tetapi seandainya adat
itu dilanggar entah apa yang terjadi itu tidak tahu. Karena memang sampai
sekarang belum ada bukti yang nyata dari kepercayaan tersebut.
-
53
Dalam Islam hal seperti itu dianggap thiyarah, yaitu meramalkan
bernasib sial karena melanggar sesuatu. Padahal yang berkuasa
menentukan nasib manusia adalah Allah, jadi manusia yang percaya selain
kepada Allah disebut musyrik. Dan dosa orang yang musyrik itu sangat
besar.
Jadi, dalam hukum Islam tidak ada larangan menikah pada waktu-
waktu tertentu. Sehingga pernikahan itu bisa dilaksanakan kapan saja
asalkan pernikahan itu bertujuan baik. Apabila pernikahan itu dilakukan
pada Bulan Muhrram hal itu sangatlah baik. Karena bulan Muharram
merupakan salah satu dari 4 bulan haram yang sangat dimuliakan oleh
Allah.
-
54
-
55
-
56
-
57
DAFTAR PUSTAKA
An-Nablusi, Imam Abdul Ghani.2004. Keutamaan Hari dan Bulan dalam Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Arikunto, Suharsimi. 1987. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Bina Aksara.
Endraswara, Suwardi. 2012. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Penerbit
Cakrawala.
Hamid, Syamsul Rijal. 2012. Tuntutan Perkawinan dalam Islam. Boror: Cahaya
Salam.
Hariwijaya, M. 2008. Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa.
Yogyakarta: Hanggar Kreator.
Hasan, Aliah B. Purwakanika. 2008. Psikologi Perkembangan Islami:
Menyingkap rentang Kehidupan manusia dari prakelahiran hingga
pascakematian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Islamil, Faisal. 1999. Islam, Idealitas Ilahiyah dan Realitas Insaniyah.
Yogyakarta: Adi Wacana.
J. Moleong, Lexy. 2002. Metode Penelitian Kualitatif,. Bandung: Remaja Rosda
Karya.
Jumantoro, Totok, dkk. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Amzah.
Koentjaraningrat. 1994. Metode-Metode Penelitian Masyarakat,. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Kurniawan, Benny. 2012 . Ilmu Budaya Dasar. Tangerang Selatan: Jelajah Nusa.
M. Amirin, Tatang, 1990. Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: Rajawali Pers.
Masroer. 2004. The History of Java Sejarah Perjumpaan Agama-agama di
Jawa. Yogyakarta: Ar-ruzzjogjakarta.
Mukhtar, Erna Widodo, 2000. Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif,
Yogyakarta: Avyrouz.
Poerwadarminta, W.J. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka.
-
58
Sabiq, Sayyid. 1978. Fikih Sunnah 3. Bandung: PT Alma‟arif.
Saksono, Gatut, dkk. 2012. Faham Keselamatan dalam Budaya Jawa.
Yogyakarta: Ampera Utama.
Simuh. 2003. Islam dan Pergumulan Budaya Jawa. Jakarta Selatan: Teraju.
Surakhmad, Winarno. 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik
Edisi VII, Bandung: CV. Tarsito.
Tihami, Prof. Dr. HMA dan Sahrani, Drs. Suhari. 2009.Fikih Munakahat Fikih
Nikah Lengkap. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada.
Woodward, Mark R. 1999. Islam Jawa Kesalehan Normatif Versus Kebatinan.
Yogyakarta: LkiS.
Yana. 2010. Falsafah dan Pandangan Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Absolut.
Yazid, Abu. 2005. Fiqh Realitas Respon Ma‟had Aly Terhadap Wacana Hukum
Islam Kontemporer.Cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://himpalaunas.com
http://jagadkejawen.com/id/upacara-ritual/perayaan1suro
http://himpalaunas.com/http://jagadkejawen.com/id/upacara-ritual/perayaan1suro
-
59
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Muhammad Isro‟i
Nim : 21108014
Fakultas : Syari‟ah
Jurusan : Ahwal Al Syakhshiyyah
TTL : Boyolali, 21 Februari 1989
Alamat : Bangkok, Rt. 01 Rw.01 Karanggede Boyolali
Pendidikan :
a. MI Bangkok Karanggede Lulus 2001
b. MTs Ma‟arif Karanggede Lulus 2004
c. SMA 1 Karanggede Lulus 2007
Demikian daftar riwayat hidup ini di buat dengan sebenar-benarnya.
top related