laporan penelitian kompetitif tradisi “peraq api” …
Post on 02-Dec-2021
4 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
LAPORAN PENELITIAN KOMPETITIF
TRADISI “PERAQ API” DALAM TINJAUAN TEOLOGIS-SOSIOLOGIS (Kajian Fenomenologi Ritual Pasca Persalinan Suku Sasak di Lombok Tengah)
Nama : Nuruddin, M. Si
No. ID Peneliti : 203112740713658
PUSAT PENELITIAN DAN PUBLIKASI ILMIAH
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
TAHUN 2018
NO REG: 171010000008455/PPKD
ii
iii
DAFTAR ISI
Cover i
Halaman Pengesahan ii
Kata Pengantar iii
Daftar isi iv
Daftar tabel v
Daftar gambar vi
Halaman ringkasan vii
BAB I Pendahuluan 1
A. Latar belakang masalah 1
B. Rumusan Masalah 5
C. Signifikasi dan Manfaat Penelitian 5
BAB II Landasan Perspektif 7
A. Kajian penelitian terdahulu 7
B. Kajian Teori 8
C. Tradisi, kultur dan relasi sosial 8
D. Sistem kultur sosial masyarakat Sasak 10
E. Agama dan kepercayaan masyarakat Sasak 10
F. Praktik tradisi Peraq Api 12
G. Sejarah Suku Sasak di Pulau Lombok 12
H. Alur Pikir 14
BAB III Metode Penelitian 15
A. Desain penelitian 15
B. Metode pengumpulan data 15
C. Analisis data 16
D. Keabsahan data 17
BAB IV Tradisi “Peraq Api” Dalam Persfektif Teologis-Sosiologis. 18
A. Citra Desa Sebagai Pusat Perkembangan Tradisi 18
1. Asal muasal Desa Batujai 18
2. Struktur Karang Taruna Desa Batujai 19
3. Struktur PKK Desa Batujai 21
iv
4. Struktur Lembaga Pemberdayaan Desa Batujai 22
5. Struktur Lembaga Adat Desa Batujai 23
B. Historisasi pelaksanaan Tradisi Peraq Api 23
C. Pra-Tradisi Dan Dampak Sosiologis 25
D. Prosedur Pelaksanaan dan pantangan kultural Tradisi Peraq
Api 31
E. Peraq Api Dalam Konteks Islam. 41
BAB V Konstruksi Teologis Dan Sosiologis Tradisi Peraq Api Masyarakat Suku Sasak
44
A. Latar Belakang, Dinamika Sosial Budaya Masyarakat 44
B. Ancaman dan tantangan dalam kontek sosiologis Pra-pasca
Tradisi 49
C. Ritual upacara peraq api dan pernak pernik sosialnya 54
D. Apa Kata Islam Tentang Tradisi Peraq Api 57
BAB VI PENUTUP 66
A. Kesimpulan 66
B. Impilkasi teoretis 67
C. Rekomendasi 67
Daftar Pustaka
Biodata Peneliti
Lampiran-lampiran
v
DAFTAR TABEL
No Daftar Tabel Halaman
1 Data dusun se-Desa Batujai 19
vi
DAFTAR GAMBAR
No Daftar Gambar Hal
1 Persiapan bahan pra tradisi 32
2 Pengolahan bahan 33
3 Rokok sebagai simbol kejantanan 34
4 Pelaksanaan ritual 35
5 Pembakaran asap dari serabut kelapa 36
6 Menggoyangkan anak di atas asap 37
7 Membuang bekas air mandi 38
8 Membasuh muka dengan bekas air mandi 39
9 Sesi pemberian nama 40
vii
HALAMAN RINGKASAN
Pendahuluan
Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dewasa ini
telah berdampak pada kehidupan manusia yang mengalami perubahan pesat.
Kemajuan ini berimplikasi pada model interaksi manusia dengan dirinya
sendiri, keluarga dan masyarakat. Masyarakat yang tanggap terhadap
kemajuan dapat dengan segera melakukan adaptasi perubahan yang mungkin
dimunculkannya, namun bagi masyarakat yang lambat menerima perubahan
bahkan tidak mungkin berpartisipasi dalam perubahan itu sendiri atau
mengalami keterlambatan.
Perkembangan IPTEK menimbulkan beragam inovasi budaya.
Kebudayaan adalah produk yang bersifat fleksibel. Kebudayaan berkembang
sesuai dengan perkembangan zaman, maka kebudayaan masyarakatpun
berkembang. Perkembangan kebudayaan terjadi secara mutualistik-integratif
seiring dengan perubahan sosial masyarakat. Timbal balik antara kebudayaan
dengan teori praksis mencoba mengungkap perbedaan tajam tentang
kebudayaan sebagai tindakan konvensional dan kebudayaan sebagai praksis
kulturalisme modern.
Kebudayaan dan perubahan sosial tidak dapat diceraikan. Kebudayaan
memiliki kedekatan genitas dengan agama, sehingga dialektika agama dengan
kebudayaan memiliki sinergisitas yang intim. Dialektika keduanya melahirkan
sikap keagamaan yang beragam, mulai agama dijadikan hal yang diyakini,
difahami, dan dipraktekkan. Pentahapan tersebut tidak saja muncul pada
tataran keyakinan saja, tetapi pada setiap ketiga tahapan di atas melahirkan
perbedaan ekspresi keagamaan yang cukup signifikan.
Keragaman antara prilaku budaya yang dibungkus atas nama adat dan
ditelurkan dalam sebuah ritual tradisi lama kelamaan mengalami transformasi,
bukan karena mengakui keyakinannya secara brutal akan tetapi karena
mengalami pergeseran paradigma. Masyarakat cenderung kesulitan
memahami tentang prilakunya sendiri antara agama mempengaruhi budaya
atau budaya mempengaruhi agama. Pergeseran paradigma ini dapat menjadi
viii
pencerahan tentang Bagaimana masyarakat memahami agama hingga
bagaimana peran-peran lokal mempengaruhi perilaku sosial keberagamaan
mereka.
Hasil studi pendahuluan pada masyarakat Suku Sasak di Desa Batujai
tentang bagaimana sebuah tradisi diaktualisasikan dalam kehidupan beragama
dan bersosial masyarakat adalah tradisi “Peraq Api”. Tradisi “Peraq Api”
merupakan tradisi merupakan tradisi pemberian nama pada bayi yang baru
lahir. Tradisi tersebut sudah menjadi kebiasaan masyarakat Sasak. Pada
prakteknya tradisi ini banyak menimbulkan persepsi, sebagian masyarakat
meyakini bahwa tradisi ini wajib dilakukan dan tidak boleh ditinggalkan
karena manakala tradisi ini tidak dilakukan akan menimbulkan hal-hal yang
tidak diinginkan.
Meratanya pelaksanaan tradisi Peraq api menjadi sebuah fenomena
ditengah kemajuan dan perkembangan peradaban masayarakat sasak. Dengan
demikian Fenomenologi menganggap pengalaman yang actual sebagai data
tentang realistis untuk dikaji. Kajian fenomenologi dibentuk, dan dapat
diartikan sebagai suatu tampilan dari objek, kejadian, atau kondisi-kondisi
menurut persepsi1. Dari sini, tampak bahwa sebagian esensi dari
fenomenologi sebenarnya adalah pendekatan kualitatif terhadap gejala
dan/atau realitas yang diteliti. Fenomenologi ini pula yang bersama dengan
teori interaksionisme simbolik dan teori sistem, menjadi prinsip berpikir
dalam penelitian kualitatif berkenaan gejala-gejala komunikasi atau posisi
aktivitas masyarakat sasak kaitannya dengan ritual peraq api itu sendiri.
Berdasarkan uraian studi pendahuluan di atas, dianggap perlu
mengkaji lebih mendalam tentang fenomena yang sering dijumpai
dimasyarakat. Oleh karena itu, dalam kajian penelitian berikut ini membahas
tentang “Tradisi“peraq api” dalam tinjauan teologis-sosiologis (Kajian
fenomenologi ritual pasca persalinan masyarakat Suku Sasak di Lombok
Tengah). Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi.
ix
Kajian Teoretik
Sebelum melakukan kajian tentang penelitian ini, terlebih dahulu
dilakukan croscek penelitian sebelumnya. Beberapa penelitian yang mengkaji
tentang kebudayaan diantaranya adalah dilakukan oleh Kurnia Novianti dan
Agung Setiawan. Penelitian yang dilakukan oleh Kurnia Novianti yang
berjudul“Kebudayaan, Perubahan Sosial, dan Agama dalam Perspektif
Antropologi”. Kajian penelitiannya membahas tentang dialektika isu-isu
kebudayaan, perubahan sosial, dan agama untuk menjelaskan fenomenafenomena
yang diamati dalam kehidupan kita sehari-hari. Kajian ini dipotret
dengan studi library, bukan hasil penelitian. Perbedaannya dengan penelitian
yang dilakukan adalah bahwa penelitian ini memfokuskan pada salah satu
aspek kajian kebudayaan itu budaya yaitu praktik tradisi “peraq api’
masyarakat Suku Sasak dalam tinjauan teologis dan antropologis. Penelitian
yang dikaji lebih mengacu pada kebiasaan ritual masyarakat yang rutin
dilakukan serta memiliki dampak sosiologis manakala ada tahapan-tahapan
yang tidak dilaksanakan.
Hasil penelitian kedua dilakukan oleh Agung Setiyawan dalam
penelitiannya yang berjudul “Budaya Lokal Dalam Perspektif Agama:
Legitimasi Hukum Adat (‘Urf) Dalam Islam”. Hasil penelitinnya
menyimpulkan bahwa kearifan lokal yang ada dalam masyarakat merupakan
sebuah adat/tradisi yang sudah mengakar kuat dan berpengaruh terhadap
kehidupan keseharian masyarakat setempat. Islam dengan ajarannya yang
bersifat rahmatanlil ‘alamin dan penuh toleransi memandang tradisi secara
selektif. Tradisi akan senantiasa terpelihara dan dilestarikan selama sesuai dan
tidak bertentangan dengan akidah. Bahkan tradisi/adat atau yang dikenal
dengan istilah ‘urf dapat menjadi salah satu dasar pengambilan hukum.
Persamaannya dengan penelitian yang dilakukan adalah sama-sama
mengkaji tentang tradisi, akan tetapi perbedaannya terletak pada objek.
Adapun kajian teoretik mengkaji tentang sejarah pelaksanaan tradisi,
dampak sosilogis, prosedur pelaksanaan, dan kajian dalam perspektif Islam.
x
Kajian teoretik diramu dengan kajian yang kontekstual dan relevan dengan
kajian teoretik bidang kajian.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Lokasi
penelitian di Desa Batujai Kecamatan Praya Barat. Adapun informan terdiri
atas, belian, ibu-ibu yang mengalami tradisi, tokoh agama dan tokoh
masyarakat
Pembahasan
Latar Belakang, Dinamika Sosial Budaya Masyarakat
Sebagai bangsa yang besar, Indonesia terdiri atas negara kepulauan yang
terpisah oleh lautan, pegunungan dan lainnya. Hal ini telah membawa jarak yang
tidak dekat antara satu daerah dengan daerah lainnya. Dengan demikian semangat
persatuan dan kesatuan haruslah menjadi pengerat antara penghuni pulau yang
satu dengan penghuni lainnya. Salah satu atribut yang dapat mempersatukannya
adalah kesamaan pengalaman sejarah.
Berbicara tentang sejarah tentu karena ada yang mengawali, bahkan
berkembang dan mengalami perubahan. Perkembangan dapat bernilai positif atau
negatif, bermanfaat atau menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat luas. Untuk itu
banyak hal yang harus diperhatikan dalam mengkonstruksi sejarah. Masing-
masing jenis sumber itu mempunyai sifat-sifatnya sendiri dengan segala kelebihan
dan keterbatasannya. Ada sejarawan yang berorientasi pada bukti tertulis, ada juga
yang tidak berorientasi pada dokumen non tertulis1.
Bagi sebagian orang sejarah dianggap sesuatu yang tidak berguna. Sejarah
adalah masa lalu yang harus ditinggalkan karena tidak memberikan manfaat
apapun bagi kehidupannya. Hal ini nampak, misalnya, dalam cara mereka
memandang masa lalu dengan tatapan yang sinis dan ingin melupakan.Tanpa
berlandaskan pada sejarah sebagai simbol budaya yang menyatukan, bangsa
Indonesia menghadapi kesulitan dalam merumuskan identitasnya dan sudah tentu
akan mudah tercerai-berai. Sejarah berfungsi menjadi alat peneguh yang sangat
1Gunawan, Restu, Indonesia Dalam Arus Sejarah, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoe,
2010), h. 9
xi
penting bagi tegaknya suatu bangsa yang sedang dalam berproses “menjadi”
seperti Bangsa Indonesia2.
Demikian pula dengan sejarah tradisi dan kebudayaan di Indonesia. Sejarah ini
tidak terlepas dari peran ulama dan kiyai berpengaruh di zamannya yang secara
langsung mempengaruhi perjalanan berbagai tradisi dan kebudayaan yang
berjalan ditengah kehidupan masyarakat, sesuai dengan pedoman awal sejarah
oleh suatu masyarakat atau mengalami perubahan yang mempengaruhi kehidupan
masyarakat yang menjalani di masa mendatang.
Salah satu bukti sejarah adalah peninggalan fisik. Menurut Davidson warisan
budaya diartikan sebagai produk atau hasil budaya fisik dari tradisi-tradisi yang
berbeda dan prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai dari masa lalu yang
menjadi elemen pokok dalam jati diri suatu kelompok atau bangsa’. Dapat
disimpulkan bahwa warisan budaya adalah produk fisik itu sendiri dan nilai
kebuadayaan adalah nilai warisan kemasyarakatan yang berjalan di masa lalu3.
Berangkat dari konstruksi konsep di atas, tradisi dan kebudayaan bangsa
Indonesia mengacu pada nilai-nilai dan etika yang kemudian dianggap sebagai
nilai luhur bangsa Indonesia. Nilai-nilai dan etika tersebut melekat pada jati diri
dari sistem budaya etnik bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut dianggap sebagai
puncak-puncak kebudayaan daerah, sebagaimana sifat/ciri khas kebudayaan suatu
bangsa Indonesia4.
Masyarakat sasak sebagai salah satu entitas terbesar di Pulau Lombok memiliki
keberagaman bahasa. Keragaman tersebut dapat berjalan beriringan dengan
harapan dan cita-cita bersama. Keberagaman berbahasa salah satunya adalah
adanya perbedaan fonologis bahasa, tata bahasa, atau penyebutan satu benda yang
2 Warto, Membangun Kesadaran Sejarah Masa Muda, Disampaikan Dalam Acara
Diskusi Sejarah Dengan Tema “Internalisasi Nilai-Nilai Sejarah Sebagai Upaya Meningkatkan Rasa Nasionalisme Dan Sadar Sejarah Kepada Generasi Muda”, pada Rabu 20 September 2017 di FIS UNY Yogyakarta. Diakses Tanggal 30/07/2018 jam 13.18 WITA
3 Davison, G. dan C Mc Conville. A Heritage Handbook. St. Leonard,( NSW: Allen & Unwin, 1991), h. 2
4 Melalatoa, Junus M. ed. Sistem Budaya Indonesia, (Jakarta: Kerjasama FISIP Universitas Indonesia dengan PT. Pamator, 1997), h. 102.
xii
sama dengan bahasa yang berbeda. Keberagaman ini menjadi hadiah tuhan
semesta yang patut disyukuri bagi masyarakat sasak itu sendiri.
Penduduk asli pulau Lombok disebut Suku Sasak. Mereka adalah kelompok
etnik mayoritas yang berjumlah tidak kurang dari 89% dari keseluruhan penduduk
Lombok.Sedangkan kelompok-kelompok etnik lainnya seperti Bali, Jawa, Arab,
dan Cina adalah pendatang.5 Suku Sasak merupakan kelompok masyarakat yang
mendiami hampir sebagian besar Pulau Lombok. Sejarah Suku Sasak ditandai
dengan silih bergantinya berbagai dominasi kekuasaan di Pulau Lombok dan
masuknya pengaruh budaya lain yang membawa dampak beragamnya khazanah
kebudayaan Sasak.
Mayoritas etnis Sasak beragama Islam, namun demikian dalam kenyataanya
pengaruh Islam juga berakulturasi dengan kepercayaan lokal sehingga terbentuk
aliran seperti Wetu Telu. Kebudayaan hadir sebagai pranata yang secara terus-
menerus dipelihara oleh para pembentuknya dan diwarisi kepada generasi
selanjutnya secara turun temurun. Dalam konteks ini paling tidak ada empat
budaya yang paling signifikan mendominasi dan mempengaruhi perkembangan
dinamika pulau ini, yaitu: 1) pengaruh Hindu Jawa; 2) pengaruh Hindu Bali; 3)
pengaruh Islam; dan 4) pengaruh kolonial Belanda dan Jepang.
Sebagai suku mayoritas di Pulau Lombok masyarakat Sasak tentu memiliki
tradisi dan budaya tersendiri sebagai peninggalan masa lalu. Masyarakat Sasak
memiliki kebudayaan sendiri dalam melaksanakan sebuah peninggalan masa lalu,
karena itu merupakan bagian dari perilaku masyarakatnya. Kebudayaan dapat
memuat tata pamong masayarakat, aktivitas perlakuan masyarakat, bahasa atau
budaya dari masyarakat yang secara fisik dapat dilihat oleh mata manusia itu
sendiri. Termasuk kepercayaan-kepercayaan yang mengiringi kehidupan manusia
karena faktor kepercayaan. Hal tersebut merupakan ritual peralihan dan
5 Erni Budiwanti, Islam SasakWetu Telu vs Waktu Lima (Yogyakarta: LkiS, 2000),
hlm. 6.
xiii
merupakan respon kultural langsung terhadap faktor-faktor biologis, perubahan
psikologis dan tahapan kehidupan manusia6.
Tradisi Peraq Api pada awalnya merupakan ekspreimentasi masyarakat tentang
sesuatu. Hasil eksperimentasi tersebut melalui beragama pengalaman diantaranya
adalah orang yang melakukan eksperimentasi memperoleh mimpi agar apa yang
dilakukan tidaklah lengkap jika tidak ada tambahan-tambahan bahan yang pada
waktu itu dianggap sulit untuk memperolehnya. Hubungan interaksi antara dunia
nyata dengan dunia maya diyakini dapat dimediasi oleh bahan-bahan yang
dianggap tidak mengganggu keharmonisan di dunia maya. Hal ini juga tidak
terlepas dengan bantuan orang yang melek terhadap agama. Tradisi pada mulanya
merupakan musabab, namun akhirnya menjadi konklusi dan premis, isi dan
bentuk, efek dan aksi pengaruh dan mempengaruhi7. Tradisi mempengaruhi
sistem, kultur, dan relasi sosial ditengah masyarakat.
Oleh karena itu, untuk menguatkan tradisi, dibuatkanlah eksperimentasi-
eksperimentasi yang secara universal dapat dipatenkan sebagai rangkaian dari
tradisi. Tradisi-tradisi yang ada pada masyarakat Suku Sasak ini sebagai upacara
keagamaan untuk mencari hubungan antara manusia dengan Tuhan dan mahluk
yang mendiami alam ghaib yang dilambangkan dalam bentuk kepercayaan orang
Sasak pada waktu upacara berdoa dan melakukan sesaji. Setiap melakukan
upacara adat masyarakat Suku Sasak tidak terlepas dengan pemanjatan doa
kepada Tuhan dan penggunaan sesaji disetiap prosesi adat.
Upacara adat kelahiran sebagai ritual yang sangat menegangkan dan
menakutkan bagi sebagian masyarakat Sasak. Peristiwa kelahiran ini disebut
sebagai peristiwa yang suci. Bagi masayarakat, peristiwa kelahiran ini harus
disambut dengan pengalaman kultural dan religius. Artinya, secara kultural,
karena ini merupakan peninggalan sejarah masa lalu, jadi pelaksanaannya
berdasarkan apa yang telah dicontohkan dan membudaya dikalangan masyarakat.
6 Erni Budiwanti, Islam Sasak Wetu Telu Versus Waktu Lima, (LKIS, Yogyakarta,
2000), h. 182 7 Hasan Hanafi. 2003. Oposisi Pasca Tradisi, (Yogyakarta: Sarikat, 2003), h. 2
xiv
Adapun aspek religiusitasnya dilakukan dengan melaksanakan zikiran, mesetulak
dan lain sebagainya.
Melalui siklus ritual yang telah dilakukan di atas, masyarakat percaya bahwa
tuhan dan roh nenek moyangnya akan dapat membantu sang anak yang dilahirkan
agar terhindar dari bahaya yang sewaktu-waktu dapat mengancamnya. Sehingga
apabila sang istri yang hendak melahirkan, maka dengan sendirinya akan mencari
belian, yang bertugas untuk membantu persalinan istrinya. Seringkali akibat dari
keyakinan yang mengkristal terhadap budaya, sebagai misal; masyarakat masih
meyakini bahwa jika ternyata ibu yang melahirkan mengalami kesulitan, maka
dapat diyakini disebabkan bahwa secara kasatmata telah mengalami gangguan
oleh roh-roh jahat sehingga perlu ada penanganan khusus, melalui ritual lainnya.
Ritual ini memang pelik, Hal tersebut biasanya ditafsirkan akibat berlaku kasar
terhadap ibu atau suaminya. Untuk itu diadakan upacara, seperti menginjak ubun-
ubun, meminum air bekas cuci tangan suami dan ibunya ini dilakukan agar
mempercepat kelahiran sang bayi. Setelah bayi tersebut lahir masyarakat
menganggap bahwa rambut yang dibawa lahir oleh bayi disebut bulu panas. Oleh
karena itu rambut tersebut dihilangkan dengan mengadakan selamatan, doa atau
upacara sederhana yang disebut ngrusiang. Orang pertama yang memotong
rambut bayi tersebut adalah seorang kiyai.
Pelaksanaan tradisi Peraq Api juga memiliki nilai sosial yang tinggi. Melalui
tradisi ini masyarakat dapat membangun interaksi sosial yang baik. Satu
masyarakat berkunjung kemasyarakat lainnya, keluarga yang satu berkunjung
kekeluarga lainnya. Hal ini sangat dimungkinkan pada saat melaksanakan tradisi.
Dengan adanya proses sosialisasi tersebut, hubungan antar keluarga semakin
harmonis Keluarga merupakan institusi yang paling penting pengaruhnya terhadap
proses sosialisasi manusia. Keluarga merupakan kelompok primer yang selalu
terjadi tatap muka dan mengikuti perkembangan anggota-anggotanya. Kedua,
orang tua mempunyai kondisi yang kuat untuk mendidik anak-anaknya sehingga
menimbulkan hubungan emosional dimana hubungan ini sangat diperlukan dalam
proses sosialisasi. ketika, adanya hubungan sosial yang tetap, maka dengan
xv
sendirinya orang tua mempunyai peranan yang penting terhadap proses sosialisasi
anak.
Ancaman dan tantangan dalam konteks sosiologis Pra-pasca Tradisi
Setiap masyarakat memiliki keyakinan yang tidak sama. Keyakinan tersebut
adalah dampak dari keberagaman status sosial, pendidikan, pengalaman dan
lingkungan. Strata tersebut mendampingi masyarakat untuk menentukan pilihan-
pilihan sosial yang harus dilaksanakan atau diaplikasikan. Rechoose tentang
desain sosial ini merupakan bagian dari antisipasi dan empati masyarakat tentang
kebudayaan.
Pandangan di atas senada dengan pendapat Roy dan Muraven bahwa “Another
social and historical change has radically altered the context for selfhood and
required fundamental changes in the way people construct and understand
identity. This change has to do with society’s understanding of important, basic
values”. Artinya Perubahan sosial dan historis lainnya telah secara radikal
mengubah konteks untuk kedirian dan diperlukan perubahan mendasar dalam cara
orang membangun dan memahami identitas. Ini perubahan ada hubungannya
dengan pemahaman masyarakat tentang nilai-nilai dasar yang penting8.
Perubahan di dalam masyarakat adalah sebuah keniscayaan. Masyarakat yang
taat dan patuh terhadap produk keberagaman adalah manusia yang berhasil
terhadap didikan zaman. Keras terhadap perubahan dan ansih terhadap
kebudayaan. Pada prakteknya, tidak semua masyarakat memahami arti
keberagaman, bahkan sebagian masyarakat tidak memahami arti keberagaman
sosial itu sendiri. Sehingga kualitas pengamalan kebudayaan tak dapat
dipertanggungjawabkan dengan baik.
Kualitas masyarakat bergantung pada kualitas sosial individunya. Isu lain dari
perkembangan identitas yang dihadapi masyarakat adalah keinginan untuk
individualitas, dan khususnya keinginan untuk memiliki identitas menjadi unik.
Orang-orang ingin merasa bahwa mereka istimewa dan berbeda dari orang lain.
Tujuan pengembangan pribadi adalah keinginan untuk meraih status unik. Sebagai
8 Roy F. Baumeister And Mark Muraven, Identity As Adaptation To Social, Cultural,
And Historical Context, Journal of Adolescence 1996, 19, 405–416, h. 413).
xvi
contoh, kebanyakan orang percaya bahwa mereka lebih baik daripada kebanyakan
orang lain9.
Kemahiran atau keawaman adalah dua hal yang melekat bagi yang mau
berfikir. Tentang tradisi peraq api, sebagian tak mempersoalkan pelaksanaannya
melainkan mereka menjadi pelaksana yang baik terhadap buah kebudayaan.
Tradisi Peraq Api adalah peninggalan masa lalu yang patut dilestarikan.
Kurangnya pengetahuan dan rendahnya literasi sosial budaya menjadikan
menimbulkan kesalahpahaman dalam melaksanakan sebuah ritual.
Warisan budaya menegaskan identitas kita sebagai manusia karena
menciptakan kerangka kerja yang komprehensif untuk pelestarian warisan budaya
termasuk situs budaya, bangunan tua, monumen, kuil, dan landmark yang
memiliki signifikansi budaya dan nilai historis. Budaya dan warisannya
mencerminkan dan membentuk nilai, keyakinan, dan aspirasi, dengan demikian
mendefinisikan identitas nasional seseorang. Ini penting untuk melestarikan
warisan budaya kita, karena itu menjaga integritas kita sebagai manusia.
Pentingnya warisan budaya bukan benda bukanlah manifestasi kultural itu sendiri
melainkan sebaliknya kekayaan pengetahuan dan keterampilan yang
ditransmisikan melaluinya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Nilai sosial
dan ekonomi dari transmisi pengetahuan ini relevan untuk kelompok minoritas
dan untuk kelompok-kelompok sosial arus utama dalam suatu Negara, dan sama
pentingnya bagi Negara-negara berkembang10.
Lebih lanjut, praktik tradisi Peraq Api ditengah kehidupan masyarakat sasak
disebabkan oleh beberapa alasan. Diantaranya adalah: (1) tradisi ini adalah
peninggalan nenek moyang, (2) keyakinan terhadap dampak gaib, (3) sosial
kultural aplikatif. Sebagai peninggalan nenek moyang, tentu hal ini adalah
kekayaan budaya, produk budaya atau produk amalan di masa silam. Dengan
demikian, agar produk budaya ini menjadi bernilai, perlu ada respon kualitatif
yang mendorong perbaikan budaya, melalui pelestarian dan pengamalannya.
9 Taylor, S. E. and Brown, J. D. (1988). Illusion and well-being: A social
psychological perspective on mental health. Psychological Bulletin, 103, 193–210) 10 A Forum Preserving Culture And Heritage, Mimar Sinan University of Fine Arts
Preserving Culture and Heritage Through Generations, Istanbul, Turki, 11-14 Mei 2014)
xvii
Adapun keyakinan terhadap dampak gaib, hal ini lebih menekankan pada
keyakinan individual sebagai penganut kebudayaan tersebut. Sedangkan secara
sosikultural diaplikasikan oleh sebagian besar masyarakat.
Sebagai produk budaya yang implementatif. Artinya secara langsung harus
diritualkan, tradisi Peraq Api dalam prakteknya harus dengan persiapan yang
matang. Persiapannya sangat kontroversi. Sebagian berpandangan bahwa pra
tradisi, masyakat penganut budaya harus mempersiapkan mental. Hal ini karena,
proses ritual terkadang dilalui karena diluar akal sehat. Persiapan lain yang
dikembangkan masyarakat adalah persiapan secara fisik yaitu persiapan memuat
tentang peralatan yang akan digunakan selama pelaksanaan ritual tradisi.
Peraq Api bukanlah ritual yang ketentuannya diatur oleh undang-undang
tertulis atau undang-undang negara. Tradisi ini diprosesi melalui kebijakan
bersama, kesepakatan berjamaah, mulai dari yang paling miskin sampai yang
paling tajir melaksanakan tradisi tersebut. Tradisi Peraq Api sebagai tradisi turun
temurun mengalami metamorfosa yang pesat. Tradisi ini memiliki konsekuensi
logis bagi masyarakat yang mulai mengabaikannya.
Karena kepercayaan adalah produk kesepakatan, maka hukuman yang paling
dekat adalah sanksi sosial. Masyarakat meyakini bahwa tradisi Peraq Api
memiliki kekuatan energi gaib, bagi yang tidak melaksanakannya padahal secara
syarat sudah sah untuk melaksanakannya secara otomatis mendapat teguran sosial.
Keyakinan-keyakinan gaib masyarakat bila tidak menjalankan tradisi adalah
bahwa kemungkinan-kemungkinan terjadi di masa mendatang hal-hal yang tidak
diinginkan akan berpengaruh terhadap status sosial keluarga tersebut. Sebaliknya,
kebaikan-kebaikan keluarga adalah musabab dari menjalankan tradisi dan
memperoleh perlindungan dari marabahaya dan perlindungan leluhur.
Masyarakat tergolong atas masyarakat terdidik dan tidak terdidik. Masyarakat
terdidik berpikir global dalam meyakini sebuah kepercayaan terhadap tradisi.
Adapun masyarakat non terdidik masih meyakini bahwa tradisi sebagai satu
kesatuan integral yang harus sejalan beriringan. Oleh karena itu, kontradiksi
suksesi tradisi atau tidak bergantung pada tingkat kesetiaan seseorang terhadap
pengamalan tradisi. Walaupun demikian Secara sosial, tradisi dan interaksi sosial
xviii
masyarakat memiliki irisan yang saling melengkapi, artinya masyarakat memiliki
andil sebagai pelaku tradisi atau penikmat tradisi. Masyarakat yang antipati
terhadap tradisi leluhur secara sosial dikucilkan. Biasanya menjadi buah bibir dan
buah gosip yang setiap harinya didiskusikan.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan dan
perkembangan teknologi belum begitu berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan reka sosial masyarakat. Ini artinya, masyarakat masih kukuh
terhadap pendiriannya. Hal ini berarti pula bahwa reformasi sosial masyarakat
tidak bisa dilakukan dengan instan. Pertumbuhannya sesuai dengan situasi dan
kondisi sosial dan tingkat pendidikan masyarakat, termasuk dalam
membudayakan tradisi atau mentradisikan budaya. Karena hal ini berpengaruh
terhadap tekanan sosial.
Lalu bagaimana bentuk punish sosial bagi masyarakat yang tidak
melaksanakan tradisi. Tentang hal ini, respon masyarakat sangat beragam. Secara
umum, tidak ada sanksi yang secara tertulis untuk menghukum masyarakat, yang
paling memungkinkan adalah sanksi sosial. Sebagai contoh: bila dikemudian hari,
hal-hal yang dianggap menjadi pantangan tradisi terjadi pada keluarga yang tidak
melaksanakan tradisi, secara otomatis sanksi sosial mulai berlaku. Bahkan sebuah
keluarga yang tidak melaksanakan tradisi bisa menjadi keluarga yang dikucilkan
secara sosial.
Reparasi sosial bagi keluarga ingkar tradisi sulit dilakukan. Sanksi ini turun
karena pola hidup dan dinamika masyarakat. Secara fisik tidak terdapat
pengucilan ataupun hukuman. Namun kebiasaan masyarakat adalah memberikan
teguran oleh orang yang ditokohkan karena telah dianggap melanggar norma-
norma sosial yang menjadi pedoman berperilaku suatu kelompok.
Adapun bagi pelaksana tradisi juga tidak terlepas dari reward atau punish
sosiologis. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, bagi pelaksana
tradisi, memiliki pengakuan sosial manakala telah melaksanakan tradisi.
Masyarakat merasa plong setelah melaksanakannya. Secara sosial, masyarakat
juga memperoleh keyakinan yang disadari atau tidak mempengaruhi situasi
kebatinan masyarakat.
xix
Status sosial dan strata sosial berpengaruh terhadap model menjalankan tradisi.
Masyarakat yang berekonomi lemah biasanya melaksanakan tradisi dengan cara
yang biasa-biasa saja. Sebaliknya yang berekonomi baik melaksnakan tradisi
dengan tahlilan, yasinan dan lain sebagainya. Berbeda atau tidak bentuk
perayaannya tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan tradisi tersebut.
Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi adalah badan dari
pekerjaan adat. Adat yang tidak tertuang dalam dokumen tertulis namun memiliki
norma yang memiliki kekuatan energi yang mengikat sangat kuat, mengikat
anggota masyarakat. Sanksi atas pelanggaran adat istiadat dapat berupa
pengucilan, dikeluarkan dari masyarakat/kastanya, atau harus memenuhi
persyaratan tertentu, seperti melakukan upacara tertentu untuk media rehabilitasi
diri.
Ritual Upacara Peraq Api dan Pernak Pernik sosialnya
Setiap tradisi memiliki pekerjaan yang sunnah ataupun wajib, memiliki
prosedur dan perlengkapan yang harus disiapkan. Bahan-bahan yang
dipersiapkan diatur dan dikumpulkan secara sistematis. Bahan-bahan tersebut
diperoleh dari alam yang memiliki makna filosofis dan sosiologis. Setiap prosedur
pelaksanaan memiliki makna yang tersirat. Lebih jelas mengenai tahapan
pelaksanaan diuraikan sebagai berikut:
Persiapan pra-tradisi
Pra pelaksanaan, pelaksana tradisi Peraq Api melakukan persiapan-persiapan.
Persiapan dilakukan melalui persiapan bahan-bahan yang diperlukan untuk
melaksanakan tradisi. Persiapan-persiapan ini dengan terlebih dahulu
berkonsultasi dengan belian selaku pendamping persalinan. Pada kesempatan ini
belian membuat daftar kebutuhan selama melaksanakan tradisi yang kemudian
menjelaskan hal-hal yang harus dipersiapkan. Pada intinya, tidak boleh ada
satupun yang didaftar belian tidak dihadirkan. Manakala tidak dapat diwujudkan,
maka sedini mungkin menyampaikan ke belian agar dapat diganti.
Belian memiliki peran vital terhadap peristiwa penamaan anak. Peran ini
dimulai semenjak anak mulai mengalami peristiwa ngidam sampai hamil besar
xx
kemudian melahirkan. Peran belian tidak bisa dilepaskan. Bahkan hubungan
antara orang tua, anak dan belian tidak belum dilepaskan manakala belum
melaksanakan tradisi11. Belian menggeser peran Bidan di Puskesmas yang
memantau selama kehamilan.
Beberapa bahan yang perlu dipersiapkan sebelum melaksanakan tradisi Peraq
Api diantaranya adalah Beras Ketan, logam, bunga, daun Bikan, kelapa, gula
merah, Sarung, dan beberapa persyaratan ritual lainnya. Bahan-bahan tersebut
kemudian oleh belian di mantra dan dicampur untuk kemudian diolah dalam satu
ramuan. Proses peramuan bahan hanya boleh dilakukan oleh belian itu sendiri.
Pengolahan Bahan.
Pengolahan bahan dilakukan setelah semuanya lengkap. Pengolahan bahan
dibedakan atas pemanfaatannya. Pemanfaatan sebagai bahan makanan dan
sebagai bagian dari tahapan rangkaian pelaksanaan berikutnya. Sebagai bahan
makanan, diawali dari pembersihan beras ketan, kemudian ditiriskan sampai
airnya mengering. Selanjutnya adalah melakukan penggorengan sampai berwarna
kecoklatan. Setelah itu, beras gorengan tersebut kemudian rendam pada air panas
sehingga beras gorengan tersebut mengembang.
Langkah berikutnya adalah membuat parutan kelapa dan gula. Parutan ini
berfungsi untuk meningkatkan aroma dan rasa santan dan manis pada beras ketan
goreng tersebut. Ketan dan kelapa gula tadi dicampur dan siap dihidangkan.
Proses penghidangan dipandu oleh Belian. Dalam menjalankan tugasnya, belian
membuat takaran-takaran yang sesuai untuk dibagi-bagikan kepada masyarakat.
Istilah ini dikenal dengan Montong siong.
Pelaksanaan ritual
Pelaksanaan ritual tradisi Peraq Api dilaksanakan dalam tiga tahapan. Pertama
adalah memandikan anak. Proses ini diawali dari persiapan anak untuk
dimandikan. Anak dimandikan bersama bahan yang sudah diramu oleh belian dan
dimandikan oleh belian sendiri. Kedua adalah pengasapan dilakukan dengan
11 Wawancara dengan CE, Seorang Belian Nganak di Desa Batujai. Dilaksanakan
tanggal 29/07/2018. Jam 08.10 WITA.
xxi
mempersiapkan sabut kelapa. Sabut ini disusun bertingkat kemudian dibakar.
Setelah asap mulai mengepul, belian lalu meletakkan anak di atas keleong,
kemudian digoyangkan di atas asap. Sekilas ini sangat mengganggu perasaan
orang tua bayi, kekhawatirannya sewaktu-waktu anak akan mengalami kelainan
pernapasan karena menghirup asap yang kotor atau bahkan anak terjatuh saat
ketika di atas keliong tersebut. Ketiga, membuang air bekas mandi bayi di atas
keliong. Sesi ini, masyarakat berdiri disamping keliong, lalu menengadahkan
tangan seraya menampung air dan mengusapkannya pada wajah.
Beberapa makna dari setiap sesi proses ritual adalah sebagai berikut: pertama,
memandikan anak bertujuan untuk membersihkan anak dari kotoran-kotoran
secara fisik dan non fisik. Secara fisik terdiri atas kotoran yang melekat
ditubuhnya, sedangkan non fisik dari bawaan gaib ketika dilahirkannya.
Masyarakat meyakini bahwa setiap anak disenangi oleh mahluk gaib itulah yang
ditandai dengan anak sering menangis. Sehingga untuk membatasi rasa suka
mahluk tersebut membutuhkan ritual pemandian anak.
Tahapan kedua dan ketiga yaitu pengasapan dan meletakkan anak di atas
keliong adalah dua langkah yang satu. Tahapan ini dimaksudkan agar anak
dikemudian hari tidak akan pernah takut terhadap setiap persoalan yang dihadapi.
Apapun masalahnya dia akan tetap tegar menjalaninya. Keyakinan lain adalah jika
sewaktu-waktu dikemudian hari anak berjumpa dengan gempa bumi, maka anak
tidak akan takut, karena pada peristiwa ini pernah dialami pada saat melaksanakan
ritual.
Tahapan terakhir adalah pemberian nama. Pemberian nama ini dilakukan
dengan menyiapkan lebih dari satu nama yang tertulis dalam suatu lipatana kertas
sejumlah nama yang ditulis oleh orang tuanya. Kertas tersebut kemudian
digenggamkan kepada anak, kertas yang paling kuat digenggamkan anak
dianggap menjadi nama yang paling disukai anak. Namun pengakuan dari
beberapa informan bahwa “membuat nama itu sulit, suka pada satu nama itu sulit,
karena saya suka sama satu nama akhirnya saya tulis saja satu nama dalam banyak
xxii
lipatan kertas tadi sehingga manapun yang digengganm erat si anak ya tetap nama
tersebut adalah nama yang saya harapkan”12.
Makna yang diambil dari perilaku salah satu informan di atas adalah
kesempurnaan ritual tidak selalu diikuti sesuai kehendak belian. Hal ini lebih
karena belian sendiri tidak bisa membaca, dan nama-nama tersebut tidak boleh
dibuka. Nama tersebut kemudian menjadi nama panggilan bagi si anak selama
melaksanakan tugas keduniaan dan keakhiratan di muka bumi.
Nama adalah pakaian yang paling berharga dalam setiap kehidupan manusia.
Nama adalah doa, setiap yang menyebutkannya adalah merajut simpati tuhan
yang maha esa. Nama bukanlah permainan untuk dipilih dan memilih, maka
memilih nama bukan karena langka tetapi memiliki arti makna yang tidak biasa.
Melengkapi pemberian nama di atas, sebelum menulis beberapa nama,
sebelumnya orang tua melakukan diskusi untuk mendaftarkan nama yang paling
disukai.
Tradisi Peraq Api Dalam Terminologi Islam.
Agama identik dengan ketaatan dan penaklukan, dominasi dan paksaan,
penghargaan dan hukuman, harga diri dan kebanggaan, kebencian dan amal,
solidaritas dan kerendahan hati, Islam dan monoteisme, kebiasaan dan metode
kepemimpinan dan ketaatan13. Agama adalah berkaitan dengan kepercayaan
(belief) dan upacara (ritual) yang dimiliki bersama oleh suatu kelompok
masyarakat. Agama berkaitan dengan ‘transcends experience’ kata sosiologist
Itali, Vilfredo Pareto, yaitu pengalaman dengan ‘Yang di atas’, atau sesuatu yang
berada di luar, sesuatu yang tidak terjamah (an intangible beyond)14.
Mukti Ali pernah menyatakan: “Barangkali tidak ada kata yang paling sulit
diberi pengertian dan definisi selain dari kata agama. Ada tiga alasan untuk hal
itu. Pertama, karena pengalaman agama merupakan soal bathini yang subjektif
12 Wawancara Dengan SB Pada Tanggal 15 Juni 2018 jam 10.10 WITA. 13
Reza Ali Karami, The Relationship between Religion and Culture with an Emphasis on Juristditional Effects, Applied mathematics in Engineering, Management and Technology 2 (3) 2014:493-505, h. 493.
14 Amri Marzali, Agama dan Kebudayaan, UMBARA: Indonesian Journal of
Anthropology, Volume 1 (1) Juli 2016 eISSN 2528-1569 pISSN 2528-2115, h. 59
dan sangat individualis.
emosi yang kuat sekali.
dipengaruhi oleh tujuan orang itu memberikan a
yang suka pergi ke tempat ibadah cenderung untuk menganggap bahwa agama
adalah identik dengan pergi ke mesjid, gereja, candi dan sebagainya; sedang ahli
antropologi yang mempelajari agama cenderung untuk menganggap agama
sebagai kegiatan dan adat kebiasaan yang bisa diamati
Kata Islam secara etimologis berasal dari kata
Secara epistemologi, Islam Islam adalah agama wahyu berintikan tauhid atau
keesaan Tuhan yang diturunkan oleh Allah SWT kepad
sebagai utusan-Nya yang terakhir dan berlaku bagi seluruh manusia, di mana pun
dan kapan pun, yang ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
Sayyid Quthb mengartikan Islam diartikan sebagai ketundukan/kepatuhan, taat
dan mengikuti, yakni tunduk patuh kepada perintah Allah, taat kepada syari’at
Nya serta mengikut kepada rasul beserta manhajnya. Barang siapa tidak patuh,
taat dan berittiba’ maka ia bukanlah seorang muslim. Oleh karenanya ia bukanlah
penganut dari agama yang dirid
kecuali Islam17”
Firman Allah yang meneguhkan tentang kesempurnaan Islam tertuang dalam
surat Al-Maidah ayat 3 dibawah ini
15
H.A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta: Penerbit Rajawali Pers, 1987), hal. 173. Lihat juga Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama, (Surabaya: Penerbit PT. Bina Ilmu, 1985), hal. 118.
16 Misbahuddin Jamal, Konsep Al
11, Nomor 2, Desember 2011 Hal. 28317
535
xxiii
dan sangat individualis. Kedua, karena pembahasan agama selalu melibatkan
emosi yang kuat sekali. Ketiga, konsepsi seseorang tentang agama selalu
dipengaruhi oleh tujuan orang itu memberikan arti terhadap agama itu. Orang
yang suka pergi ke tempat ibadah cenderung untuk menganggap bahwa agama
adalah identik dengan pergi ke mesjid, gereja, candi dan sebagainya; sedang ahli
antropologi yang mempelajari agama cenderung untuk menganggap agama
ai kegiatan dan adat kebiasaan yang bisa diamati”15.
Kata Islam secara etimologis berasal dari kata “salima” yang berarti selamat
Secara epistemologi, Islam Islam adalah agama wahyu berintikan tauhid atau
keesaan Tuhan yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw
Nya yang terakhir dan berlaku bagi seluruh manusia, di mana pun
dan kapan pun, yang ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
Sayyid Quthb mengartikan Islam diartikan sebagai ketundukan/kepatuhan, taat
kuti, yakni tunduk patuh kepada perintah Allah, taat kepada syari’at
Nya serta mengikut kepada rasul beserta manhajnya. Barang siapa tidak patuh,
taat dan berittiba’ maka ia bukanlah seorang muslim. Oleh karenanya ia bukanlah
penganut dari agama yang diridhai oleh Allah padahal Allah tidak meridhai
Firman Allah yang meneguhkan tentang kesempurnaan Islam tertuang dalam
Maidah ayat 3 dibawah ini
Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta: Penerbit Rajawali
Pers, 1987), hal. 173. Lihat juga Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama, (Surabaya: Penerbit PT. Bina Ilmu, 1985), hal. 118.
Misbahuddin Jamal, Konsep Al-Islam Dalam Al-Qur’an, Jurnal Al11, Nomor 2, Desember 2011 Hal. 283-310, h. 285
, karena pembahasan agama selalu melibatkan
, konsepsi seseorang tentang agama selalu
rti terhadap agama itu. Orang
yang suka pergi ke tempat ibadah cenderung untuk menganggap bahwa agama
adalah identik dengan pergi ke mesjid, gereja, candi dan sebagainya; sedang ahli
antropologi yang mempelajari agama cenderung untuk menganggap agama
yang berarti selamat16.
Secara epistemologi, Islam Islam adalah agama wahyu berintikan tauhid atau
a Nabi Muhammad Saw
Nya yang terakhir dan berlaku bagi seluruh manusia, di mana pun
dan kapan pun, yang ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
Sayyid Quthb mengartikan Islam diartikan sebagai ketundukan/kepatuhan, taat
kuti, yakni tunduk patuh kepada perintah Allah, taat kepada syari’at-
Nya serta mengikut kepada rasul beserta manhajnya. Barang siapa tidak patuh,
taat dan berittiba’ maka ia bukanlah seorang muslim. Oleh karenanya ia bukanlah
hai oleh Allah padahal Allah tidak meridhai
Firman Allah yang meneguhkan tentang kesempurnaan Islam tertuang dalam
Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta: Penerbit Rajawali Pers, 1987), hal. 173. Lihat juga Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama,
Qur’an, Jurnal Al- Ulum Volume.
Artinya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat
bagimu."
Ayat di atas juga dipertegas:
Artinya: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.
Tiada berselisih orang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.
Barangsiapa yang kafir terhadap ayat
cepat hisab-Nya”.
Ayat di atas menjelaskan tentang keutamaan Islam. Islam agama yang
sempurna. Semua aktivitas kehidupan manusia diaturnya, termasuk bagaimana
manusia mengembangkan interaksi kehidupannya dan mengembangkan
kebudayaannya.
Kebudayaan adalah manifestasi dari cara berpikir
kebudayaan adalah keseluruhan dari kelaku
teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang
semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat
Setiap masyarakat manusia selama hidup pasti mengalami perubahan
perubahan. Manusia yang tidak mampu
18 Sidi Gazalba, Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu,
Antara, 1968), h. 34 19 Koentjoroningrat,
1974), h. 15.
xxiv
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
Ayat di atas juga dipertegas:
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.
Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah data
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.
Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat
Ayat di atas menjelaskan tentang keutamaan Islam. Islam agama yang
aktivitas kehidupan manusia diaturnya, termasuk bagaimana
manusia mengembangkan interaksi kehidupannya dan mengembangkan
Kebudayaan adalah manifestasi dari cara berpikir18. Menurut koentjoroningrat,
kebudayaan adalah keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang
teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang
semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat19.
Setiap masyarakat manusia selama hidup pasti mengalami perubahan
perubahan. Manusia yang tidak mampu menelaah situasi sosial masyarakat
Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu, Jilid I,
Koentjoroningrat, Kebudayaan, Mentalitet Dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia,
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
ridhai Islam itu jadi agama
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.
orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.
ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat
Ayat di atas menjelaskan tentang keutamaan Islam. Islam agama yang
aktivitas kehidupan manusia diaturnya, termasuk bagaimana
manusia mengembangkan interaksi kehidupannya dan mengembangkan
. Menurut koentjoroningrat,
an dan hasil kelakuan manusia yang
teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang
Setiap masyarakat manusia selama hidup pasti mengalami perubahan-
menelaah situasi sosial masyarakat
(Jakarta: Pustaka
(Jakarta: Gramedia,
xxv
terutama di desa pasti akan berpikir bahwa struktur masyarakatnya statis,
walaupun tidak ada masyarakat yang berhenti pada suatu titik tertentu sepanjang
masa20. Ini artinya bahwa dinamika sosial masyarakat selalu mengalami
perubahan.
Meneropong kebudayaan Islam menurut sidi Gazalba dituangkan dalam cara
berpikir dan cara merasa takwa yang menyatakan diri dalam seluruh segi
kehidupan sekumpulan manusia yang membentuk masyarakat atau dapat disarikan
sebagai “cara hidup yang bertakwa”21. Ini menandakan bahwa cara berpikir ini
adalah cara dimana tidak melanggar norma-norma agama, baik dalam realitas
kontekstasi budaya.
Peraq Api adalah tradisi masyarakat yang dilaksanakan di tengah mayoritas
beragama Islam. Tradisi ini sudah dilaksanakan berpuluh-puluh tahun, tidak jelas
timingnya kapan ini dilaksanakan, yang jelas adalah ketidaktahuan masyarakat
menginformasikan bahwa tradisi ini berjalan begitu lama dan melekat pada setiap
aktivitas kelahiran anak manusia.
Sebagai produk budaya buatan manusia, tentu tradisi ini berangkat dari asumsi-
asumsi yang tereksperimentasi dan menghasilkan kesepakatan-kesepakatan atau
semacam produk eksprerimentasi. Dengan demikian menjadi kebiasaan yang
selalu mengalami repetasi-repetasi interpretatif, yang kemudian menjadi
kepercayaan-kepercayaan, terlepas dari kontekstasi relatif antara agama dan
budaya.
Pandangan-pandangan tersebut tidak terlepas dari perubahan keagamaan
masyarakat. Kesepakatan sosiologis mungkin saja mengandung nilai keagamaan
yang tidak mungkin keliru22. Kaitannya dengan pelaksanaan tradisi peraq api,
terjadi perubahan perilaku kultural beragama masyarakat. Masyarakat tidak lagi
mendikotomikan budaya dan agama. Agama bagian dari interaksi simbolik antara
20 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo
Persada, 2001), h. 333. 21 Muhaimin, Abdul Mujib & Jusuf Muzakkir, Studi Islam Dalam Ragam Dimensi dan
Pendekatan, (Jakarta, Kencana, 2014), h. 338 22 George Ritzer, Teori sosiologi Modern, diterjemahkan oleh Triwibowo, B. S.
(Jakarta: Kencana, 2014), h. 9.
xxvi
manusia dengan tuhannya, sedangkan kebudayaan sebagai ijtihad bersama antar
kelompok masyarakat untuk meyepakati kesepakatan bersama.
Selama ini banyak anggapan bahwa tradisi Peraq Api sebagai produk
kebudayaan sudah tidak relevan lagi. Masyarakat sudah tidak membutuhkan
upaya kembali ke zaman dahulu, mengeleminasi produk kebudayaan yang sudah
tidak mendatangkan manfaat dan inkonsisten dengan perkembangan masa kini.
Namun kenyataannya, tradisi tersebut masih berkembang dan berjalan ditengah
masyarakat. Hal ini senada dengan teori diferensiasi kultural yang menganggap
bahwa diantara dan dikalangan kultural tidak terpengaruh oleh globalisasi atau
proses transkultura, multikultural, atau bikultural lainnya. Ini artinya kultur
intinya tidak terpengaruh sama sekali, mereka tetap sama seperti sebelumnya23.
Oleh karena itu, perilaku kita sebagai sebuah kelompok atau individu untuk
mempertahankan regulasi sosial yang ada. Menurut psikologi sosial, kita tidak
membangun perilaku kelompok dilihat dari sudut perilaku masing-masing
individu yang membentuknya; kita bertolak dari keseluruhan sosial dari aktivitas
kelompok tertentu dimana kita menganalisis perilaku masing-masing individu
yang membentuknya yakni kita lebih berupaya untuk menerangkan perilaku
kelompok sosial ketimbang menerangkan perilaku terorganisasi kelompok sosial
dilihat dari sudat perilaku masing-masing individu yang membentuknya24.
Pendapat Mead di atas menggambarkan tentang pentingnya membina entitas
individu sebagai entitas kelompok. Karena inilah yang menyebabkan perlu adanya
penyatuan pola pikir manusia.
Pikiran menurut Mead sebagai proses percakapan seseorang dengan dirinya
sendiri, tidak ditemukan dalam diri individu; pikiran adalah fenomena sosial.
Pikiran muncul dan berkembang dalam proses sosial dan merupakan bagian
integral dari proses sosial25. Oleh karena itu, pikiran menentukan perilaku sosial.
Dan masyarakat penting perannya dalam membentuk pikiran dan diri26.
23 George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, diterjemahkan oleh Triwibowo, B. S.
(Jakarta: Kencana, 2014), h. 542 24 Ibid, h. 256. 25 Ibid., h. 265. 26 Ibid., h. 271
Agama dan kehidupan beragama merupakan unsur yang tidak terpisahkan dari
kehidupan sistem budaya umat manusia. Seja
dan kehidupan bergama telah menggejala dalam kehidupan, bahkan memberikan
corak dalam bentuk dari semua perilaku budayanya
budaya, bukan produk agama. Sebagai produk agama tidak bertentangan karena
masyarakat percaya pada tuhan yang maha esa bukan kepada tradisi. Tradisi
hanya memfasilitasi, yang secara substantif adalah selain melestarikan
kebudayaan juga sebagai cara untuk bersedekah.
Menurut CE selaku
pada ketentuan tuhan yang maha esa. Walaupun fasilitator tradisi, sejatinya saya
tidak meyakininya, namun mempercayainya. Karena mempercayainya tidak sama
dengan meyakininya. Jadi Peraq Api bukanlah perilaku syirik, melainkan upaya
melestarikan kebudayaan, kalaupun ada hal
namun sejatinya tidak demikian
dikuatkan melalui dialog spektrum khusus agama agar tidak terlihat ekslusif
terhadap kondisi masyarakat kontemporer y
Tentang hal ini sebagaimana firman Allah SWT.
Artinya: “…Sesungguhnya Barangsiapa Mempersekutukan (Sesuatu Dgn)
Allah, Maka Sungguh,
Ialah Neraka…Tidaklah Ada Bagi Orang
Penolongpun (Al-Maidah: 72)
Berdasarkan surat tersebut, betapa menakutkannya siksa Allah jika hambanya
menduakannya. Inilah yang menyebabkan mengapa dalam pelaksanaannya tidak
dianggap sebagai perbuatan syirik, karena pelaksana sendiri tidak meyakininya
Mengapa ada unsur ritual, dalam penjelasannya bahwa kami memulai tahapan
27 Muhaimin, Abdul Mujib & Jusuf Muzakkir, 28
Wawancara Dengan CE Yang Dilaksanakan Tanggal 30/07/2018 jam 23.33 WITA.29
Wawancara dengan NHS yang dilaksanakan tanggal 12 Juni 2018 jam 10.00 WIB
xxvii
Agama dan kehidupan beragama merupakan unsur yang tidak terpisahkan dari
kehidupan sistem budaya umat manusia. Sejak awal kebudayaan manusia, agama
dan kehidupan bergama telah menggejala dalam kehidupan, bahkan memberikan
corak dalam bentuk dari semua perilaku budayanya27. Peraq Api
budaya, bukan produk agama. Sebagai produk agama tidak bertentangan karena
masyarakat percaya pada tuhan yang maha esa bukan kepada tradisi. Tradisi
hanya memfasilitasi, yang secara substantif adalah selain melestarikan
kebudayaan juga sebagai cara untuk bersedekah.
Menurut CE selaku belian, beliau memaparkan bahwa keyakinan se
pada ketentuan tuhan yang maha esa. Walaupun fasilitator tradisi, sejatinya saya
tidak meyakininya, namun mempercayainya. Karena mempercayainya tidak sama
dengan meyakininya. Jadi Peraq Api bukanlah perilaku syirik, melainkan upaya
budayaan, kalaupun ada hal-hal yang sepertinya berbau syirik
namun sejatinya tidak demikian28. Religiusitas pluralistik dalam hal ini perlu
dikuatkan melalui dialog spektrum khusus agama agar tidak terlihat ekslusif
terhadap kondisi masyarakat kontemporer yang plural.
Tentang hal ini sebagaimana firman Allah SWT.
“…Sesungguhnya Barangsiapa Mempersekutukan (Sesuatu Dgn)
Allah, Maka Sungguh, Allah Mengharamkan Surga Baginya, Dan Tempatnya
Neraka…Tidaklah Ada Bagi Orang-Orang Zalim Itu Seoran
Maidah: 72).
Berdasarkan surat tersebut, betapa menakutkannya siksa Allah jika hambanya
menduakannya. Inilah yang menyebabkan mengapa dalam pelaksanaannya tidak
dianggap sebagai perbuatan syirik, karena pelaksana sendiri tidak meyakininya
Mengapa ada unsur ritual, dalam penjelasannya bahwa kami memulai tahapan
Muhaimin, Abdul Mujib & Jusuf Muzakkir, Studi,,,,,, h. 25
Wawancara Dengan CE Yang Dilaksanakan Tanggal 30/07/2018 jam 23.33 WITA.Wawancara dengan NHS yang dilaksanakan tanggal 12 Juni 2018 jam 10.00 WIB
Agama dan kehidupan beragama merupakan unsur yang tidak terpisahkan dari
k awal kebudayaan manusia, agama
dan kehidupan bergama telah menggejala dalam kehidupan, bahkan memberikan
Peraq Api sebuah produk
budaya, bukan produk agama. Sebagai produk agama tidak bertentangan karena
masyarakat percaya pada tuhan yang maha esa bukan kepada tradisi. Tradisi
hanya memfasilitasi, yang secara substantif adalah selain melestarikan
beliau memaparkan bahwa keyakinan sepenuhnya
pada ketentuan tuhan yang maha esa. Walaupun fasilitator tradisi, sejatinya saya
tidak meyakininya, namun mempercayainya. Karena mempercayainya tidak sama
dengan meyakininya. Jadi Peraq Api bukanlah perilaku syirik, melainkan upaya
hal yang sepertinya berbau syirik
. Religiusitas pluralistik dalam hal ini perlu
dikuatkan melalui dialog spektrum khusus agama agar tidak terlihat ekslusif
“…Sesungguhnya Barangsiapa Mempersekutukan (Sesuatu Dgn)
Allah Mengharamkan Surga Baginya, Dan Tempatnya
Orang Zalim Itu Seorang
Berdasarkan surat tersebut, betapa menakutkannya siksa Allah jika hambanya
menduakannya. Inilah yang menyebabkan mengapa dalam pelaksanaannya tidak
dianggap sebagai perbuatan syirik, karena pelaksana sendiri tidak meyakininya29.
Mengapa ada unsur ritual, dalam penjelasannya bahwa kami memulai tahapan-
Wawancara Dengan CE Yang Dilaksanakan Tanggal 30/07/2018 jam 23.33 WITA. Wawancara dengan NHS yang dilaksanakan tanggal 12 Juni 2018 jam 10.00 WIB
xxviii
tahapan ritual dengan melafazkan basmalah. Tidak ada unsur paksaan untuk
menggunakan bacaan tertentu yang mengandung muatan magis dan lain
sebagainya. Diakui bahwa ini adalah bagian dari melestarikan budaya warisan
dengan tidak melepaskan ritual ibadah yang diwariskan tuhan yang maha esa30.
Peraq api sebagai ritual kelahiran menjadi bagian dari interaksi manusia dengan
alam dan tuhan. Bentuk interaksinya adalah tergantung pada hubungannya sebagai
individu kepada pencipta semesta yang dapat menjadi opini atau preferensi bagi
masyarakat lainnya. Dalam hal ini budaya dilihat sebagai primitif atau mengalami
perkembangan yang menyoroti beberapa cara individu melihat hubungannya
dengan alam semesta31.
Agama dan budaya selalu berada dalam hubungan yang erat. Keduanya
mengandung estika dan estetika. Studi tentang agama diperlukan budaya. Agama
dan budaya menyebabkan agama sebagai penjaga budaya32. Tradisi peraq api
secara umum tidak terpengaruh terhadap ketentuan agama. Agama menjelaskan
posisi budaya, dan budaya mempererat agama. Penjelasan ini senada dengan
pandangan SB yang mengatakan bahwa tidak bermasalah jika budaya
bersinggungan dengan agama, agama adalah ritualitas kehidupan manusia yang
membingkai seluruh aktivitas kehidupan manusia, sedangkan budaya
mempersatukan masyarakat dalam satu bingkai kehidupan bersama. Kebaudayaan
yang dilaksanakan menurut kami tidak memiliki persoalan terhadap kaidah
syariah karena tidak pernah dipikirkan tentang menduakan ketentuan sang khaliq.
Senada dengan pendapat di atas, CE berpandangan bahwa peraq api tidak
memiliki unsur magis seperti melibatkan unsur gaib. Hal ini dibuktikan dengan
tidak membakar kemenyan yang notabene ritual utama fasilitator dengan alam
30
Wawancara Dengan IL Yang Dilaksanakan Tanggal 30/07/2018 jam 23.33 WITA.
31 Bronislaw Malinowski dalam Ben-Oni Ardelean Te Ethics of the Relationship between, KAIROS - Evangelical Journal of Teology. Vol. VI. No. 2 (2012), pp. 163-174.
32 Jaco Beyers, Religion and culture: Revisitng a close relatve, HTS Teologiese
Studies/Theological Studies, ISSN: (Online) 2072-8050, (Print) 0259-9422
xxix
gaib. Jadi pelaksanaan ritual ini adalah murni meneruskan kelestarian budaya
yang menjadi turun temurun.
Pelaksanaan Peraq Api adalah kebutuhan ritual dan spiritual yang berhubungan
erat dengan nilai-nilai agama. Nilai-nilai tersebut melekat dalam sejarah agama
pembangunan di dunia menjadi bagian dari perkembangan sosial manusia
modern, memiliki minat pada informasi keagamaan yang menyangkut perbaikan
ahlaq.
Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan
tradisi peraq api tidak sama sekali bertentangan dengan ketentuan syariat Agama
Islam.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: (1)
pelaksanaan tradisi peraq api merupakan kepercayaan yang melalui
eksperimentasi sosial masyarakat (trial and error) yang dilakukan secara
berulang-ulang yang menimbulkan pengalaman dan membuat simbol-simbol
terhadap pengalaman tersebut. Simbol-simbol tersebut kemudian
direfresesntasikan dalam bahan-bahan yang diyakini memiliki kekuatan magis
yang manakala tidak diwujudkan akan menimbulkan hal-hal yang tidak
diharapkan. Kepercayaan tersebutu diwariskan dan dilestarikan oleh generasi
secara berkelanjutan, (2) Setiap masyarakat memiliki keyakinan yang beragam,
bergantung pada tingkat pendidikan. Dampak sosiologis bagi masyarakat yang
tidak melaksanakan tradisi adalah sanksi sosial. Secara hukum formal memang
tidak ada, namun secara sosial masyarakat akan dikucilkan. Lebih-lebih jika apa
yang tidak diharapkan terjadi, (3) Pelaksanaan tradisi peraq api di laksanakan
dengan tahapan berikut: (1) Persiapan pra-tradisi; (2) pengolahan bahan; dan (3)
pelaksanaan ritual, (4) Peraq api adalah produk budaya manusia yang dalam
implementasinya sama sekali tidak meyakini bahwa tradisi tersebut
mengecualikan ketentuan dan ketetapan ilahi. Kekuatan Allah adalah yang
pertama dan utama. Hal ini menandakan bahwa sama sekali tidak terdapat
penyimpangan beragama masyarakat.
xxx
Implikasi Teoretis
Penelitian ini memberikan tafsir kultural secara sosiologis dan teologis. Secara
teoretis, penelitian ini menambah khasanah pengetahuan dari fenomena-fenomena
ambiguitas yang selama ini dibicarakan, disangsikan oleh sebagian besar
masyarakat di pedesaan yang cendrung mendalami ilmu agama yang baik. Dalam
kenyataannya temuan dilapangan bahwa ritual semacam ini adalah kebiasaan
kultural yang dijalani oleh semua insan kehidupan khususnya masyarakat sasak.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dewasa ini
telah berdampak pada kehidupan manusia yang mengalami perubahan pesat.
Kemajuan ini berimplikasi pada model interaksi manusia dengan dirinya
sendiri, keluarga dan masyarakat. Masyarakat yang tanggap terhadap
kemajuan dapat dengan segera melakukan adaptasi perubahan yang mungkin
dimunculkannya, namun bagi masyarakat yang lambat menerima perubahan
bahkan tidak mungkin berpartisipasi dalam perubahan itu sendiri atau
mengalami keterlambatan.
Salah satu dampak dari kemajuan IPTEK adalah pergeseran nilai-nilai
kebudayaan masyarakat. Kebudayaan adalah warisan dari peninggalan nenek
moyang. Kebudayaan diartikan sebagai buah dari cipta, rasa dan karsa
manusia. Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar1.
Kebudayaan adalah produk yang bersifat fleksibel. Kebudayaan
berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, maka kebudayaan
masyarakatpun berkembang. Perkembangan kebudayaan terjadi secara
mutualistik-integratif seiring dengan perubahan sosial masyarakat. Timbal
balik antara kebudayaan dengan teori praksis mencoba mengungkap
perbedaan tajam tentang kebudayaan sebagai tindakan konvensional dan
kebudayaan sebagai praksis kulturalisme modern.
Kebudayaan dan perubahan sosial tidak dapat diceraikan. Kebudayaan
memiliki kedekatan genitas dengan agama, sehingga dialektika agama dengan
kebudayaan memiliki sinergisitas yang intim. Dialektika keduanya melahirkan
sikap keagamaan yang beragam, mulai agama dijadikan hal yang diyakini,
1 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, ( Jakarta: Aksara Baru, 1985), h. 180
2
difahami, dan dipraktekkan. Pentahapan tersebut tidak saja muncul pada
tataran keyakinan saja, tetapi pada setiap ketiga tahapan di atas melahirkan
perbedaan ekspresi keagamaan yang cukup signifikan2.
Agama diyakini sebagai firman tuhan yang memiliki kekuatan dan
memiliki energi perubahan pada dimensi sosial dan kultural masyarakat.
Keyakinan akan hakikat beragama melahirkan sikap keagamaan yang berbeda
terhadap komunitas beragama lainnya. Sebagai komunitas muslim tentu
melihat purifikasi agama sebagai praktisi percampuran kebudayaan. Islam
yang diyakini oleh umat beragama bukan buatan manusia, melainkan Islam
adalah agama langit yang tuhan turunkan sebagai pedoman umat manusia.
Namun diyakini atau tidak sinkretisasi dan akulturasi agama dan kebudayaan
melekat dalam pengamalan kehidupan masyarakat beragama.
Penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa aktivitas masyarakat
yang berkembang tidak bisa tidak sedikit dipengaruhi oleh pengetahuan dan
pemahaman masyarakat tentang konsep beragama. Secara teologis agama
mempengaruhi sikap berbudaya yang muncul dan kebudayaan muncul dari
efek tradisi lokal masyarakat. Dalam hal ini, agama dan budaya tidak lagi
dapat dikatakan mana yang lebih dominan, budaya sebagai produk agama atau
agama sebagai produk budaya. Ini merupakan potret relasi yang saling
berkelindan dan saling mempengaruhi3.
Keragaman antara prilaku budaya yang dibungkus atas nama adat dan
ditelurkan dalam sebuah ritual tradisi lama kelamaan mengalami transformasi,
bukan karena mengakui keyakinannya secara brutal akan tetapi karena
mengalami pergeseran paradigma. Masyarakat cenderung kesulitan
memahami tentang prilakunya sendiri antara agama mempengaruhi budaya
atau budaya mempengaruhi agama. Pergeseran paradigma ini dapat menjadi
pencerahan tentang Bagaimana masyarakat memahami agama hingga
bagaimana peran-peran lokal mempengaruhi perilaku sosial keberagamaan
mereka.
2Roibin, Dialektika Agama Dan Budaya Dalam Tradisi Selamatan Pernikahan Adat Jawa
Di Ngajum, Malang, el Harakah Vol.15 No.1 Tahun 2013, h. 35 3Ibid, h. 35
3
Suku Sasak sebagai Suku terbesar di Pulau Lombok memiliki beragam
kebudayaan. Mulai dari tradisi “merarik, begawe, jogetan, nyongkolan,
maling senine” dan tradisi lainnya. Tradisi-tradisi ini memiliki landasan
historisitas dan sosiologisitas yang tinggi. Tradisi dan kebiasaan masyarakat
muncul dari keyakinan atas makna yang tersurat dan tersirat dalam tradisi.
Sebagian masyarakat Sasak meyakini bahwa tradisi di atas merupakan bagian
dari tradisi syukuran dan sebagian lagi berpandangan bahwa tradisi di atas
adalah bagian dari warisan dari kebudayaan yang perlu dilestarikan.
Hasil studi pendahuluan pada masyarakat Suku Sasak di Desa Batujai
tentang bagaimana sebuah tradisi diaktualisasikan dalam kehidupan beragama
dan bersosial masyarakat adalah tradisi “Peraq Api”. Tradisi “Peraq Api”
merupakan tradisi merupakan tradisi pemberian nama pada bayi yang baru
lahir. Tradisi tersebut sudah menjadi kebiasaan masyarakat Sasak. Pada
prakteknya tradisi ini banyak menimbulkan persepsi, sebagian masyarakat
meyakini bahwa tradisi ini wajib dilakukan dan tidak boleh ditinggalkan
karena manakala tradisi ini tidak dilakukan akan menimbulkan hal-hal yang
tidak diinginkan.
Dalam pelaksanaannya, tradisi peraq api membutuhkan persiapan-
persiapan baik berupa bahan-bahan maupun jumlah hari kelahiran dan
pertimbangan lainnya. Bahan-bahan harus dipersiapkan dengan lengkap guna
membebaskan anak dari pantangan-pantangan di masa depannya. Dalam
tradisi, masyarakat tinggal memilih dua alternatif antara tradisi “peraq api
katak atau masaq”. Keduanya memiliki perbedaan dan konsekuensi mistis dan
logis yang diyakininya. Kepercayaan akan terjadinya sesuatu hal yang tidak
diinginkan jika tradisi ini tidak dijalankan sangat diyakini masyarakat bahkan
sebagian masyarakat masih percaya akan campur tangan nenek moyangnya,
dalam bentuk gangguan kepada anaknya. Dengan alasan ini, orang tua wajib
mentaati semua tahapan ritual tersebut.
Fenomena upacara adat di atas dengan segala persiapannya tentu perlu
dikaji secara teologis-sosiologis pelaksanaannya. Kajian semacam ini penting
dilakukan untuk membedah dimensi agamis, melanggar atau sudah sesuai
4
dengan syariat agama. Penjelasan secara teologis memberikan pencerahan
yang sesuai dengan pemahaman agama yang diakui. Demikian pula, praktek
sebuah ritual tradisi memiliki konsekuensi secara sosiologis. Perlu dipahami
lebih mendalam bahwa efek dari keyakinan beragama dan dimensi
bermasyarakat memiliki efek sosiologis dalam implementasinya walaupun
tanpa menyadarinya.
Meratanya pelaksanaan tradisi Peraq api menjadi sebuah fenomena
ditengah kemajuan dan perkembangan peradaban masayarakat sasak. Dengan
demikian Fenomenologi menganggap pengalaman yang actual sebagai data
tentang realistis untuk dikaji. Kajian fenomenologi dibentuk, dan dapat
diartikan sebagai suatu tampilan dari objek, kejadian, atau kondisi-kondisi
menurut persepsi4. Dari sini, tampak bahwa sebagian esensi dari
fenomenologi sebenarnya adalah pendekatan kualitatif terhadap gejala
dan/atau realitas yang diteliti. Fenomenologi ini pula yang bersama dengan
teori interaksionisme simbolik dan teori sistem, menjadi prinsip berpikir
dalam penelitian kualitatif berkenaan gejala-gejala komunikasi atau posisi
aktivitas masyarakat sasak kaitannya dengan ritual peraq api itu sendiri.
Berdasarkan uraian studi pendahuluan di atas, dianggap perlu
mengkaji lebih mendalam tentang fenomena yang sering dijumpai
dimasyarakat. Oleh karena itu, dalam kajian penelitian berikut ini membahas
tentang “Tradisi“peraq api” dalam tinjauan teologis-sosiologis (Kajian
fenomenologi ritual pasca persalinan masyarakat Suku Sasak di Lombok
Tengah). Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi.
4 Little, John. Stephen W. 1983, Theories of Human Communication. Second Edition. Wadworth Publishing Company. California.
5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana sejarah pelaksanaan tradisi peraq api pada masyarakat sasak di
Lombok Tengah ?
2. Bagaimana persiapan praktek peraq api dan konseksuensi sosiologis bagi
masyarakat yang melaksanakannya ?
3. Bagaimana prosedur pelaksanaan praktik peraq api masyarakat Sasak di
Lombok Tengah ?
4. Bagaimana pandangan Islam mengenai praktek peraq api ?
Adapun Tujuan penelitian ini adalah untuk;
1. Untuk mengetahui dan mengeksplorasi sejarah pelaksanaan tradisi peraq
api pada masyarakat sasak di Lombok Tengah ?
2. Untuk mengetahui dan mengeksplorasi bagaimana persiapan praktek
peraq api dan konseksuensi sosiologis bagi masyarakat yang
melaksanakannya ?
3. Untuk mengetahui dan mengeksplorasi bagaimana prosedur pelaksanaan
praktik peraq api masyarakat Sasak di Lombok Tengah ?
4. Untuk mengetahui dan mengeksplorasi mengenail bagaimana pandangan
Islam mengenai praktek peraq api ?
C. Signifikasi dan Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini dapat terbagi kedalam dua aspek yaitu
aspek teoretis dan aspek praktis
1. Manfaat teoretis
Manfaat dari segi teoretis setidaknya ada tiga manfaat yaitu; (1)
mengembangkan wacana baru dalam menggali kekhasan budaya dan
tradisi suatu bangsa, (2) menjadi kajian budaya yang dapat dijadikan
sebagai rujukan pada perkembangan tradisi dan kebudayaan di daerah
lainnya, (3) mendesiminasi kebudayaan lokal yang jarang terekspos pada
tingkat nasional maupun internasional.
6
2. Manfaat praktis
a. Bagi pemerintah Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi
salah satu pintu masuk dalam mengambil kebijakan tentang bagaimana
agar pemerintah memperhatikan budaya lokal yang jarang terekspos
sebagai identitas asli satu daerah dan dapat diketahui secara luas oleh
masyarakat baik masyarakat NTB secara khusus maupun masyarakat
lainnya.
b. Bagi pemerintah daerah NTB. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi
bahan analisa tentang bagaimana urgensi sebuah kebudayaan yang
harus dilestraikan dan dikembangkan sehingga menjadi daya tarik
sendiri sebagai satu daerah yang kaya akan budaya dan keindahan
alamnya serta berusaha untuk mempublikasikan tradisi-tradisi lainnya.
c. Bagi masyarakat NTB. Penelitian ini diharapkan menjadi refleksi
tentang makna tradisi peraq api dari tinjauan teologis dan sosiologis.
7
BAB II
LANDASAN PERSPEKTIF
A. Kajian Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian yang mengkaji tentang kebudayaan diantaranya
adalah dilakukan oleh Kurnia Novianti dan Agung Setiawan. Penelitian yang
dilakukan oleh Kurnia Novianti yang berjudul“Kebudayaan, Perubahan
Sosial, dan Agama dalam Perspektif Antropologi”. Kajian penelitiannya
membahas tentang dialektika isu-isu kebudayaan, perubahan sosial, dan
agama untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang diamati dalam kehidupan
kita sehari-hari. Kajian ini dipotret dengan studi library, bukan hasil
penelitian. Perbedaannya dengan penelitian yang dilakukan adalah bahwa
penelitian ini memfokuskan pada salah satu aspek kajian kebudayaan itu
budaya yaitu praktik tradisi “peraq api’ masyarakat Suku Sasak dalam
tinjauan teologis dan antropologis. Penelitian yang dikaji lebih mengacu pada
kebiasaan ritual masyarakat yang rutin dilakukan serta memiliki dampak
sosiologis manakala ada tahapan-tahapan yang tidak dilaksanakan.
Hasil penelitian kedua dilakukan oleh Agung Setiyawan dalam
penelitiannya yang berjudul “Budaya Lokal Dalam Perspektif Agama:
Legitimasi Hukum Adat (‘Urf) Dalam Islam”. Hasil penelitinnya
menyimpulkan bahwa kearifan lokal yang ada dalam masyarakat merupakan
sebuah adat/tradisi yang sudah mengakar kuat dan berpengaruh terhadap
kehidupan keseharian masyarakat setempat. Islam dengan ajarannya yang
bersifat rahmatanlil ‘alamin dan penuh toleransi memandang tradisi secara
selektif. Tradisi akan senantiasa terpelihara dan dilestarikan selama sesuai dan
tidak bertentangan dengan akidah. Bahkan tradisi/adat atau yang dikenal
dengan istilah ‘urf dapat menjadi salah satu dasar pengambilan hukum.
Persamaannya dengan penelitian yang dilakukan adalah sama-sama mengkaji
tentang tradisi, akan tetapi perbedaannya terletak pada objek kajiannya.
8
B. Kajian Teori
1. Tradisi, Kultur dan Relasi Sosial
Berbicara tentang sebuah tradisi tidak terlepas dari berbicara tentang
perubahan sosial sebagai dasar pembentukan kesatabilan masyarakat. Teori
perubahan sosial bersumber dari pemikiran Darwin yang kemudian dipelajari
oleh ahli sosiolog Herbert Spencer sebagai patokan dalam teori perubahan
sosial yang kemudian dikembangkan oleh Emile Durkheim dan Ferdinand
Tonnies. Teori perubahan sosial yang dikembangkan mempengaruhi bahwa
evolusi memengaruhi cara pengorganisasi masyarakat, utamanya yang
berhubungan dengan sistem kerja. Berdasarkan pandangan tersebut, Tonnnies
berpendapat bahwa masyarakat berubah dari tingkat peradaban sederhana ke
tingkat peradapan yang lebih kompleks.
Dalam teori perubahan sosial evolusi dapat dilihat terjadinya
transformasi dari masyarakat. Mulai dari masyarakat tradisional yang
memiliki pola pola sosial komunal yaitu pembagian dalam masyarakat yang
didasarkan oleh siapa yang lebih tua atau senioritas bukan pada prestasi
personal individu dalam masyarakat. Kemudian hal tersebut berubah ke arah
yang lebih kompleks. Dalam teori perubahan sosial ini, sudah tentu
dipengaruhi oleh waktu. Oleh karena itu, teori ini terbagi atas dua yaitu
perubahan secara lambat atau evolusioner dan secara cepat atau revolusioner.
Perubahan kultur sosial masyarakat memberikan wajah baru dalam
pengembangan masyarakat.
Durkheim sebagai pelopor perkembangan ilmu sosial telah banyak
melakukan penelitian terhadap berbagai lembaga dalam masyarakat dan
proses sosial diantaranya: (1) Sosiologi umum yaitu ilmu sosiologi yang
mempelajari kepribadian individu dan kelompok manusia; (2) Sosiologi
agama yang mempelajari tentang para penganut agama yang terbagi bagi
dalam kelompok kelompok agama yang berbeda beda seperti Islam, Kristem,
Buddha, Hindu dan lainnya; (3) Sosiologi estetika yang mempelajari tentang
9
karya seni dan budaya. Hal inilah yang mempengaruhi kehidupan
masyarakat, termasuk dalam perkembangan tradisinya.
Secara epistimologi, tradisi adalah sesuatu kebiasaan yang
berkembang di masyarakat baik, yang menjadi adat kebiasaan, atau yang
diasimilasikan dengan ritual adat atau agama. Dalam pengertian di atas,
tradisi sudah menjadi warisan nenek moyang yang sudah dipraktekkan
semenjak sebuah pelaku tradisi ada.
Menurut Funk dan Wagnalls seperti yang dikutip oleh Muhaimin
tentang istilah tradisi di maknai sebagai pengatahuan, doktrin, kebiasaan,
praktek dan lain-lain yang dipahami sebagai pengatahuan yang telah
diwariskan secara turun-temurun termasuk cara penyampai doktrin dan
praktek tersebut5. Dari pendapat Funk dapat disederhanakan bahwa sebuah
tradisi adalah perilaku sosial yang difaktori oleh pengalaman, pengetahuan
dan kesinambungan pengetahuan dari peletak tradisi sampai pelestari tradisi.
Pendapat Funk di atas juga diperkuat oleh Hanafi yang mengatakan
bahwa tradisi lahir dari dan dipengaruhi oleh masyarakat, kemudian
masyarakat muncul, dan dipengaruhi oleh tradisi. Tradisi pada mulanya
merupakan musabab, namun akhirnya menjadi konklusi dan premis, isi dan
bentuk, efek dan aksi pengaruh dan mempengaruhi6. Tradisi mempengaruhi
sistem, kultur, dan relasi sosial ditengah masyarakat.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi
merupakan sistem sosial yang tertata dan terkelola dari masa ke masa melalui
adat kebiasaan yang di percayai dan diyakini oleh masyarakat sebagai
peninggalan peradaban. Tradisi sebagai bagian dari kearifan lokal yang
terbentuk berdasarkan kesepakatan antar warga masyarakat.
5Muhaimin AG, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret Dari Cerebon,
Terj.Suganda(Ciputat: PT. Logos wacana ilmu,2001), h. 11. 6Hasan Hanafi, Oposisi Pasca Tradisi (Yogyakarta: Sarikat, 2003), h. 2
.
10
2. Sistem Kultur Sosial Masyarakat Sasak
Posisi sosial masyarakat dari masa kemasa selalu mengalami
kemajuan. Diawal keberadaannya, kehidupan masyarakat Sasak selalu
berpindah-pindah karena bergantung pada alam. Sistem berburu atau
bercocok tanam masyarakat Sasak diabadikan dalam bentuk hak milik,
sehingga setiap warga masyarakat mengelola tanah perkebunannya
berdasarkan hak miliknya tersebut.
Begitu banyak sistem sosial-budaya yang masih berkembang dalam
kehidupan masyarakat. Beberapa keunikan masyarakat dari kultur sosial
dapat dilihat dari kekompakan. Dalam hal ini masyarakat Sasak mengenal
istilah gotong royong. Kegitan ini biasanya dilakukan saat membuat rumah,
mengerjakan sawah, kematian dan lain sebagainya. Namun seiring dengan
pergeseran zaman, kebiasaan ini mulai memudar dan pola hidupnya pun
berubah.
3. Agama Dan Kepercayaan Masyarakat Sasak
Banyak pandangan yang menyatakan agama merupakan bagian dari
kebudayaan, tetapi tak sedikit pula yang menyatakan kebudayaan merupakan
hasil dari agama. Hal ini seringkali membingungkan ketika kita harus
meletakan agama (Islam) dalam konteks kehidupan kita sehari-hari7.
Sedangkan budaya membentuk cara kita melihat dunia. Oleh karena itu,
kapasitas untuk membawa perubahan sikap diperlukan untuk memastikan
perdamaian dan pembangunan berkelanjutan yang, kita tahu, membentuk
satu-satunya jalan menuju kehidupan di Bumi
Agama adalah kumpulan gagasan, praktik, nilai, dan cerita yang
semuanya tertanam dalam budaya dan tidak dapat dipisahkan darinya. Sama
seperti agama tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks budaya
(termasuk politik), tidak mungkin memahami budaya tanpa
7 Sidi Gazalba, Op.Cit.,h. 95
11
mempertimbangkan dimensi agamanya. Dengan cara yang sama seperti ras,
etnisitas, gender, seksualitas, dan kelas sosial ekonomi selalu menjadi faktor
dalam interpretasi budaya dan pemahaman, demikian juga agama.
Budaya mendefinisikan kekuatan sosial di dalam sebuah komunitas
yang melibatkan konvensi untuk perilaku. Agama mendefinisikan bagaimana
anggota masyarakat menafsirkan peran mereka di alam semesta, dengan
ajaran ini didasarkan pada budaya lokal, maka agama yang berbeda bangkit
dari budaya yang berbeda8. Demikian pula ketika anggota satu agama
mengubah anggota budaya asing, seringkali agama yang dihasilkan di
wilayah tersebut dipengaruhi oleh budaya tuan rumah.
Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima
akomodasi budaya. Karena Islam sebagai agama memang banyak
memberikan norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan dengan
agama-agama lain. Bila dilihat kaitan Islam dengan budaya, paling tidak ada
dua hal yang perlu diperjelas:Islam sebagai konsepsi sosial budaya, dan Islam
sebagai realitas budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli
sering disebut dengan great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai
realitas budaya disebut dengan little tradition (tradisi kecil) atau local
tradition (tradisi lokal) bidang-bidang yang “Islamik”, yang dipengaruhi
Islam9.
Tentang kepercayaan, memahami kepercayaan masyarakat Sasak sulit
untuk dilakukan kajian. Kepercayaan masyarakat Sasak sampai saat ini masih
dapat dilihat dari perkembangan dan pelestrarian kebudayaan. Salah satu adat
istiadat yang sampai sekarang ini masih dipegang teguh oleh masyarakat
Sasak adalah kawin lari. Dalam Suku Sasak pernikahan dengan cara kawin
lari ini disebut dengan merari’.
8 http://www.cultureandreligion.com/ diakses tanggal 08/03/2018 jam 14.00 WITA 9Katimin, Hubungan Agama dan Budaya dalam Islam,
https://a410080100.files.wordpress.com/2012/01/budaya-dalam-agama-islam.pdf, diakses tanggal 28/09/2017 jam 14.00 WITA
12
Pelaksanaan budaya kawin lari sampai saat ini masih diberdayakan.
Ini menandakan bahwa kultur dan relasi sosial masyarakat Sasak masih
terpelihara dengan baik. Termasuk kepercayaan tentang pelaksanaan ritual
tertentu seperti ritual pra dan pasca kelahiran.
4. Praktik tradisi Peraq Api
Ritual merupakan upacara atau upacara adat yang dilakukan
berhubungan dengan kepercayaan atau agama yang dianut oleh seseorang dan
merupakan aktivitas suci. Upacara mampu menimbulkan gairah
kebersamaan, melestarikan kepercayaan nenek moyang walaupun dalam
praktiknya tidak diadopsi secara keseluruhan. Ritual diharapkan
menstimulasi energi positif yang dapat memetik
motivasi kuat bagi segenap elemen untuk bangkit. Namun upacara yang
dirasakan saat ini terkesan lebih sering dipertontonkan sebagai instrument
mitologisasi agar kekuasaan senantiasa tampil mengkilap dan tak tersentuh10.
Tradisi Peraq Api merupakan sebuah tradisi yang dilakukan oleh
masyarakat Sasak pasca persalinan. Tradisi ini dibumbui oleh berbagai
macam ritual yang harus dipersiapkan. Akhir dari tradisi ini adalah
pemberian nama pada anak. Praktik tradisi ini dilakukan dengan melibatkan
berbagai elemen termasuk diantaranya adalah peran Belian11.
5. Sejarah Suku Sasak di Pulau Lombok
Indonesia terdiri atas keberagaman Suku, bangsa, ras dan
wilayah. Keberagaman adalah hadiah paling indah dibandingkan hadiah-
hadiah lainnya dibandingkan Negara-negara lainnya. Salah satunya
adalah Lombok.
10 Lubis, Muhammad Safrinal. 2007. Upacara Dalam: Jagat Upacara (Cetakan Pertama,
Oktober 2007). Yogyakarta: EKSPRESI. Universitas Negeri Yogyakarta. H. 28-29 11 Belian merupakan istilah bagi seorang Dukun Beranak yang dapat menggantikan
seorang Bidan. Lebih lengkap liat https://www.kompasiana.com/penalaran/kepercayaan-suku-sasak-terhadap-belian_5842aa838723bd240aee93c5.
13
Lombok merupakan salah satu tujuan wisata terdekat dengan Bali,
sehingga dikenal pelancong dari penjuru dunia. Lombok terkenal dengan
pantainya yang indah, bahkan lebih indah dari Bali. Banyak wisatawan
asing yang menjadikan Lombok satu paket dengan liburannya ke Bali.
Pulau Lombok adalah sebuah pulau di kepulauan Sunda Kecil atau Nusa
Tenggara yang terpisahkan oleh Laut Jawa di sebelah Utara dan
Samudera Hindia di sebelah selatan. Secara geografis Lombok terletak
antara 115o - 119o Bujur Timur dan 8o -9o Lintang Selatan
Lombok sebagai salah satu pulau dan daerah terindah di Indonesia
dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Sekitar 80 % warga
lombok adalah Suku Sasak, dan 20 % adalah penduduk asal Bali dan
selebihnya adalah penduduk asal Cina, Jawa, dan Arab. Walaupun
persentase Suku Sasak lebih besar dibandingkan dengan yang lainnya,
pola kehidupan masyarakat masih dipengaruhi oleh kultur Bali karena
dahulu Lombok lama berada di bawah kekuasaan raja Bali12.
Suku Sasak hidup dan mengembangkan kebudayaannya di Pulau
Lombok yang wujud dalam pembangunan fisik. Salah satunya adalah
pembangunan tempat tinggalnya. Rumah tinggal Suku Sasak di sebut
bale. Pengertian bale memiliki dua konstruksi maknaya itu sebagai
tempat berteduh, melindungi diri dari bahaya, cuaca dingin, panas, dan
binatang buas. Adapun makna keduanya itu keselamatan jiwa dan
kebahagiaan13. Jadi rumah atau bale sebagai peninggalan Suku Sasak
memiliki makna penting dan menunjukkan eksistensinya sebagai Suku
yang ada di Pulau Lombok.
Adapun asal-usul Suku Sasak adalah ras Mongoloid. Ras
Mongoloid adalah supras Melayu-Indonesia tersebar di sebagian
12Salam, solichin. Lombok Pulau Perawan: Sejarah Dan Masa Depannya. hlm. 13 13I. B. Mantra, Bunga Rampai Adat Istiadat IV, (Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan
Budaya, 1977), 84
14
besarwilayah Indonesia terutama yang terletak di bagian barat dan selatan
antara lain; Sumatera, Jawa, Bali,dan Lombok14.
Ada juga dugaan bahwa leluhur orang Sasak adalah orang Jawa,
hal ini dapat dibuktikan dengantulisan Sasak yang disebut Jejawen.
Kedatangan orang Jawa ke Lombok diperkirakan pada zaman Medang,
saat pengembangan Agama Islam oleh parawali-wali dari Jawa sekitar abad
XV dan XVI. Dasar pemikiran ini menyimpulkan bahwa yang menjadi dasar
pikiran orang-orang Sasak pada masa-masa perkembangannya adalah
kebudayaan Jawa sebelum dan sejaman dengan Majapahit dan kemudian
Agama Islam15.
6. Alur Pikir
14ErniBudiwanti, Islam Sasak WetuTelu Versus Waktu Lima,LKIS, Yogyakarta, 2000, h.
6. 15Tim peneliti Depdikbud dalam Haq, Perkawinan Adat Merariq Dan Tradisi Selabar di
Masyarakat Suku Sasak, PERSPEKTIF, Volume XXI No. 3 Tahun 2016 Edisi September, h. 158.
FENOMENA
Pelaksanaan
Persiapan
Sejarah
KEBIASAAN MASY.
Kelemahan
Islam
15
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini pada dasarnya adalah upaya untuk mencari kebenaran atau
untuk menemukan kebenaran atas sesuatu kebenaran. Paradigma penelitian ini
bersifat humanistik dimana manusia ditempatkan sebagai subyek utama
penelitian. Dalam hal ini kebebasan berfikir untuk menentukan pilihan atas
dasar sosiologi budaya dan keagamaan.
Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi. Pendekatan fenomenologi digunakan untuk merumuskan ilmu
sosial yang mampu menafsirkan dan menjelaskan tindakan dan pemikiran
manusia dengan cara menggambarkan struktur-struktur dasar atau realita yang
tampak nyata dimata setiap orang yang berpegang teguh pada sikap alamiah16.
Namun dalam perjalanannya, penelitian ini juga akan menggunakan
pendekatan etnografi yang mencoba melakukan pengumpulan data,
pengklasifikasiannya terhadap budaya tradisi masyarakat Sasak, khususnya
dalam praktisi peraq api. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Batujai Lombok
Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2018 mulai pada bulan Mei
sampai selesai.
B. Metode Pengumpulan Data
Sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data tersebut
diperoleh17. Sumber data dalam penelitian ini terdiri atas sumber data
primer dan sekunder. Sumber data primer yaitu ketua lembaga adat desa
batujai, Belian beranak dan sejumlah tokoh agama di Desa Batujai.
16Norman K. Denzin&Yvonna S. Lincoln, handbook of qualitative Research,
(diterjemahkan oleh; Dariyatno, dik), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000 ), h. 337 17SuharsimiArikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2006), Hlm. 129.
16
Adapun sumber data primer terdiri atas masyarakat yang ada di Desa
Batujai.
Untuk memperoleh data secara holistik dan integratif, serta
memperhatikan relevansi data dengan fokus dan tujuan, maka dalam
pengumpulan data penelitian ini menggunakan tiga teknik, yaitu: (1) obsevasi
partisipan (participant obsevation); (2) wawancara mendalam (in depth
interview); (3) dan studi dokumentasi (study of documents). Tiga teknik
tersebut merupakan tiga teknik dasar dalam penelitian kualitatif. Berikut ini
akan dibahas secara rinci mengenai tiga teknik tersebut yaitu: wawancara
mendalam, observasi participant dan studi dokumentasi.
C. Analisis Data
Analisis data dilakukan melalui kegiatan menelaah data, menata, membagi
menjadi satuan-satuan yang dapat dikelola, mensintesiskan, mencari pola,
menemukan apa yang bermakna, dan apa yang akan diteliti dan diputuskan
peneliti untuk dilaporkan secara sistematis.18Secara umum, langkah-langkah
menganalisis data adalah sebagai berikut:
1. Pengumpulan Data; Proses pengumpulan data dilakukan sebelum, pada
saat dan diakhir penelitian.
2. Reduksi Data; Merupakan bentuk analisis untuk menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, membuang data yang tidak relevan, dan
mengorganisasikannya, sehingga kesimpulan akhir dapat dirumuskan,
menseleksi data secara ketat, membuat ringkasan dan rangkuman inti,
merupakan kegiatan-kegiatan mereduksi data. Dengan demikian reduksi
data ini akan berlangsung secara terus menerus selama penelitian
berlangsung.
3. Penyajian Data; Dimaksudkan untuk memaparkan data secara rinci dan
sistematis setelah dianalisis ke dalam format yang disiapkan untuk itu.
18Bogdan dan Biklen, Qualitatif Research for Education an Introduction the Theory and Methode, (London : Tanpa penerbit, 1982), h. 145.
17
4. Penarikan Kesimpulan; Hal ini dimaksudkan untuk memberi arti atau
memakai data yang diperoleh baik melalui observasi, wawancara, maupun
dokumentasi.
D. Keabsahan Data
Pengecekan keabsahan data dibutuhkan untuk membuktikan bahwa data
yang diperoleh dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya melaui verifikasi
data. Ada empat kriteria dalam mengecek keabsahan data, yaitu: (1)
kredibilitas (validitas internal), (2) transferabilitas (validitas eksternal), (3)
dependabilitas (reliabilitas), dan (4) konfirmabilitas (objektivitas).19
19Lexy J. Moleong.Op.Cit., h. 326.
18
BAB IV
TRADISI PERAQ API, DINAMIKA DAN PERKEMBANGANNYA
A. Citra Desa Sebagai Pusat Perkembangan Tradisi
1. Asal muasal Desa Batujai
Berbicara tentang Desa Batujai, tidak akan terlepas dari sejarah yang
melatarbelakanginya. Secara umum, kelahiran Desa Batujai tidak terlepas
dari eksistensi Kerajaan Majapahit di masa kejayaannya. Silsilah Batujai
diawali dari berserakannya anggota keluarga Kerajaan Majapahit. yang
antara lain seorang keluarga raja bernama Sri Maha Raja Mas Mulia telah
mengungsi ke Klungkung Bali, karena ada hubungan keluarga dengan Raja
Klungkung. Dari sana kemudian hijrah ke Pulau Lombok dengan beberapa
pengikutnya, tidak lama kemudian pindah ke Gunung Pujut Kecamatan Pujut
Lombok Tengah bersama pengiringnya yang dari majapahit, sedangkan
pengiringnya yang berasal dari klungkung diam dan tinggal di rincung
sampai sekarang.
Adapun riwayat pemerintahan sebelum mendapat giliran menjadi
kepala desa, Riwayat kepemimpinan diantaranya Raden Lumbit
(Datu/Raja) (1715 – 1755), Raden Elem (1755 – 1795), Raden Badung
Swangsa (1795 – 1830), Raden Seribali (1830 – 1865). Adapun riwayat
pemerintahan sebagai Kepala Desa Batujai adalah sebagai berikut: Lalu
Suraba alias Mamiq Nursalam 1865 – 1896, Lalu Miyah alias mamiq Dipati
1896 – 1926, Lalu Asah alias Mamiq Seriulan 1926 – 1929, Lalu Lawe alias
H. L. Abdul Gafur 1929 – 1933, Lalu Badung alias H. Moh. Alwi 1933 –
1938, Lalu Abul alias H. Harun 1938 – 1973, Lalu Ardhi 1973 – 1984, Lalu
Ardhi 1984 – 1992, Lalu Abdul Jabar 1992 – 2001, Lalu Pardja 2001 – 2006,
Lalu Nuzul Adiguna 2006 – 2012, Paesal S.Sos 2012 –2018.
19
Adapun dusun di Desa Batujai terdapat 19 dusun. Lebih jelasnya
dipaparkan pada tabel berikut ini:
No Nama Dusun Nama Kadus 1 Karang Dalam Lalu Idham Khalid 2 Ketangge Abdul majid 3 Jomang Haji Yusuf 4 Powen Ramli 5 Lolat H. Muhibbullah 6 Gabak Azis Paradi 7 Batu lajang Karde 8 Lakah Burhanudin 9 Wage Haji Mahsun 10 Bun Klotok Haji Abdul Patah 11 Sinte Aq. Rehan 12 Kluncing Sarafudin 13 Petak Supinah 14 Keloke Lamun 15 Batu Beduk Lalu Iskandar 16 Kenyeling Alwan Wijaya 17 Mengelok H. Syamsudin 18 Waki Ahyar 19 Sorak Ganum
Luas Desa Batujai adalah 1.176 Ha. Batas wilayah Desa diantaranya
adalah Sebelah Utara : Kelurahan Semayan, Panji Sari (Praya), Desa Puyung,
Sukarar (Jonggat), Sebelah Selatan : Desa Penujak dan Desa Darek, Sebelah
Barat : Desa Ungga (Praya Barat Daya), Sukerara (Jonggat), Sebelah Timur :
Desa Penujak dan Lurah Sasake (Praya). Adapun mata pencaharian
masyarakat adalah Petani, Peternak, Pedagang, Buruh Tani, Buruh Lepas dan
lainnya. Desa Batujai berdasarkan fakta geografis merupakan Desa Pertanian
(agraris) tetapi yang perlu diketahui bahwa sebagian besar pemilik lahan
pertanian di Desa Batujai merupakan hak milik/dikuasai oleh warga yang
berasal dari luar wilyah Desa Batujai sehingga penduduk yang bermata
pencaharian sebagai petani sangat minim.
20
2. Struktur Karang Taruna Desa Batujai
Karang Taruna sebagai organisasi kepemudaan di Desa Batujai baru-baru
ini mengalami transformasi kelembagaan. Transformasi yang dimaksud adalah
perubahan kepemimpinan dari Karang Taruna sebelumnya yang dipimpin oleh
Lukman Hakim, S. Hi yang diteruskan kepada Husnul Yaqin, S. Pd. Semua unsur
kepemudaan dalam kepengurusan di atas adalah refresentatif dari kebutuhan
masyarakat. Sebagai contoh dibidang sosial, pendidikan, olahraga, dan
pemberdayaan perempuan.
Beberapa program desa yang diinisiasi Karang Taruna adalah program
Batujai Cup, Batujai Bertakbir dan lain sebagainya. Hal ini menandakan bahwa
organisasi kepemudaan Desa Batujai hidup dan aktif.
Humas olahraga sosial Pendidikan
Wakil Bendahara Wakil Sekretaris
Sekretaris
KETUA
Bendahara
Pemb. perem
21
3. Struktur PKK Desa Batujai
KETUA
Pokja
Wakil Ketua
Wakil Sekretaris
Sekretaris
Wakil Bendahara
Bendahara
POKJA IV POKJA III POKJA II POKJA I
Penasehat
22
4. Struktur Lembaga Pemberdayaan Desa Batujai
PKK sebagai salah satu pilar penting di Desa memiliki peran vital dalam
pemajuan masyarakat desa. Lembaga pemberdayaan desa menentukan arah
pengembangan desa di masa mendatang.
KETUA
Sie. SOSIAL BUDAYA SIE EKONOMI SIE. POLITIK SIE INFRASTRUKTUR
BENDAHARA SEKRETARIS
23
5. Struktur Lembaga Adat Desa Batujai
STRUKTUR LEMBAGA ADAT DESA BATUJAI
B. Historisasi pelaksanaan Tradisi Peraq Api
Memahami tentang historis peraq api tidak akan terlepas dari
informasi yang relevan dengan konteks yang di cari. Dalam hal ini,
peneliti melakukan wawancara dengan pelaku tradisi yang kesehariannya
banyak bergelut dalam penanganan secara adat tentang pelaksanaannya.
Beberapa informan yang di wawancara memiliki pandangan yang beragam
berikut paparan langsung masyarakat:
“Menurut saya, lamun ngeraos tentang sejarahn peraq api jeq
edak asal muasal, memang ye pengadik-adik dengan toak laek. Secare
langsung endiq dait dait endikwah ketuan kun dengan toak apek alasan
igin arak aran peraq api”
Pemusungan Majelis Krame Dese Majelis Krame adat Dese (MIKAD) Mahkamah Adat Desa
Lembaga Teknis
Lang-lang jagat
Penghulu
Para mangku
UPKD
TPKH
Kekertangan
Koperasi
Juru Tulis
Juru urus
Juru urus
Juru urus
Keliang
24
Gambaran penjelasan CE di atas menjelaskan bahwa Peraq Api
sebagai bagian dari ritual masyarakat terutama Desa Batujai belum begitu
populer, sebagian masyarakat tidak memperdulikan sejarah pelaksanaan
tradisi yang di budayakan. Untuk lebih jelasnya tentang tradisi ini
bersumber dari mana, berikut dipaparkan oleh RU selaku tokoh adat:
“Secara literal, tradisi ini memang belum pernah saya temukan. Namun pandangan saya yang bersumber dari cerita-cerita orang tua bahwa bahwa tradisi ini dahulunya adalah peninggalan orang-orang Bali. Orang Bali dahulunya ketika anaknya baru lahir melakukan tradisi yang mirip dengan yang kita lakukan hari ini. Mereka meyakini bahwa keburukan-keburukan yang mengiringi anak saat lahir dapat dihilangkan dengan melaskanakan ritual ini”
Tradisi peraq api dalam perspektif RU di atas kental dengan
adanya percampuran budaya antara Hindu dengan Islam, Bali dengan
masyarakat Sasak. Hal ini dalam pandangan penulis logis karena
akulturasi budaya sangat dimungkinkan dalam kehidupan manusia,
dimana adanya interaksi antar elemen masyarakat memberi warna dan
corak signifikan terhadap wajah keberagaman masyarakat itu sendiri.
Sejalan dengan itu, HF selaku tokoh agama mengatakan bahwa:
“Harus kita pahami bahwa masyarakat kita telah melaksanakan ritual ini sudah ratusan tahun yang lalu, sangat lama. Bahkan kita tidak tahu kapan mulai dilaksanakannya. Hal ini menjadi PR kita untuk mengkaji tentang sejarah pelaksnaannya. Namun yang paling penting untuk dipahami bahwa tradisi peraq api adalah peninggalan nenek moyang kita. Terlepas dari akuturasi budaya dengan Bali, namun ini adalah tradisi yang menurut saya harus kita lestarikan”.
Ditengah modernisasi kutural dan sosial, masyarakat masih
meyakini tentang produk sejarah. Apa yang melatarbelakanginya, tentu
menjadi persoalan ambigu yang harus dicari asal muasalnya.
25
C. Pra-Tradisi Dan Dampak Sosiologis
Mengkaji tentang peraq api memang tidak terlepas dari keyakinan-
keyakinan masyarakat tentang peraq api itu sendiri, konsekuensi dan
dampak sosialnya. Pada dasarnya tidak semua masyarakat sasak
mengetahui dan memahami kebudayaan dan tradisi yang dijalankan.
Mereka sebagian menjadi pelaksana tradisi yang taat ditengah
keberagaman sosial, tanpa berupaya mencaritahu apa yang telah
dijalaninya. Ketidaktahuan ini berdampak pada tingkat pengamalan dan
pemahamn yang beragam. Tentang hal ini berikut paparan beberapa tokoh:
“Menurut saya sebagaimana saya jelaskan di atas bahwa masyarakat kita sebagian besar awam dengan ritual yang dilakukan sendiri. Bahkan merekan tidak memahami apa urgensi nya dalam melaksanakan tradisi peraq api ini. Kurangnya pengetahuan masyarakat akan kebudayaan dan tradisi dari dapat mengakibatkan pandangan yang berbeda atau bahkan timbul salah paham diantara masyarakat yang berbeda”.
Pendapat di atas diperkuat oleh pebdapat SIL yang menyatakan
”Lamun tiang jaq, tirut pengadiq-adiq dengan toak. Lamun uwah siwaq
bulan jaq mulai wah ite pikirang isit yaq peraq api. Laguk biasen jaq
seuwahn nganak amput siapang. Laguk arak masih dengan siapan isinaq
yanq peraq api seendikman nganak.
Persiapan peraq api tidak dibedakan secara fisik atau non fisik.
Persiapan dapat memuat persiapan mental ataupun persiapan materil.
Persiapan mental dimaksudkan untuk si Ibu dapat memahami sekiranya
nanti ada hal-hal yang kurang berkenan terutama pada sesi pengasapan.
Hal ini sesuai dengan pendapatnya belian CE yang memaparkan:
“Biasanya persiapan seendikman nganak jaq persiapan-persiapan beliq. Misaln tepak dan lain-lain. Lamun persiapan kembang dait barang lain jeq lemak adiin saq endik teparan pejuluq neneq, endiin wah lahir masih untak siapang ape-ape”.
26
Hal senada juga dikemukakan oleh AQ bahwa “persiapan-
persiapan itu adalah persiapan simbolis, artinya mereka tidak
menghadirkan fisik barang tersebut melainkan mengecek ketersediannya
dimana dan bagaimana mengambilnya.
Lebih lanjut tentang pra-tradisi dikemukan oleh CE selaku Belian
yang mengatakan:
“sebelumn gawek peraq api, biaseen sendikman lahir eto jeq
endiman tepikirang ape yakt gawek. Sengak endikman keruan keadaan
kanak saq yak lahir eto. Endikt kanggo pejuluk diq kun nenek saq kuase,
sengaq ye bedue keputusan”. Na, lamun persiapan-persiapan lain maraq
entan tepaq, ember dan lain sebagainya. Ini kan ye kebutuhan saq harus
tebutuhan isiq masyarakat saq ngadu.”
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa
sebagian besar mereka beranggapan bahwa di sesi pra tradisi yang perlu
disiapkan adalah kebutuhan fisiknya. Jawaban di atas memang belum
menyentuh apa yang menjadi harapan dari informasi yang hendak
dinginkan. Selanjutnya, di perkuat informasi tersebut dengan melakukan
wawancara dengan beberapa keluarga yang sebelumnya telah
melaksanakan tradisi tersebut.
RU dalam wawancara mengungkapkan “Kalau mereka tidak
melaksanakan tradisi ini biasanya akan menjadi buah bibir masyarakat.
Dimana-mana orang akan membicarakannya”. Hal ini juga sesuai dengan
pendapatnya IL yang mengatakan bahwa “Tradisi peraq api merupakan
tradisi turun temurun yang mencerminkan bahwa masyarakat sampai saat
ini masih meyakini adat peninggalan nenek moyang. Dengan demikian
wajar saja jika masyarakat responsip terhadap masyarakat lainnya yang
sudah mulai mengaburkan tradisi. Bagi sebagian kami, kami selalu
memikirkan resiko yang akan dihadapi manakala tradisi ini tidak
dijalankan. Tanpa memikirkan resiko yang terjadi, masayarakat tetap
melakukan tradisi yang dianjurkan karena merasa tradisi yang dilakukan
membawa dampak baik yaitu terjauhkan dari marabahaya dan dilindungi
oleh para leluhur.”
27
Pendapat di atas dipertegas dengan pendapat CE “Kaitan kance
efek sosial diyakini bahwa lamun endik gawek tradisi siaa jaq eyaan dait
hal-hal saq endiq-endiq. Maraq entan contoh anakn eyaan koreng atau
eyaan terapatang isiq mahluq halus maraq entan Jin, syetan dait lain-lain.
Nah, ite mut yakini kun tradisi siaa ntaan yaq pejaok diriq langan saq
endiq-endiq”.
Pandangan-pandangan di atas adalah pandangan bagi masyarakat
yang melaksanakan atau memfasilitasi pelaskanaan tradisi. Bagi mereka
masih meyakini bahwa tradisi ini adalah bagian integral dari kesatuan
masyarakat yang harus dijalankan. Untuk lebih meyakinkan peneliti tentu
tidak sah jika belum mendengar pendapat masyarakat lain seperti hanya
tokoh masyarakat atau masyarakat terdidik yang pastinya memiliki
kepekaan sosial yang lebih baik dari masyarakat rata-rata.
Pandangan pertama disampaiakan oleh SB, dosen di salah satu
perguruan tinggi Kota Mataram. Beliau memaparkan sebagai berikut:
“Secara sosial, tradisi dan interaksi sosial masyarakat memiliki
irisan yang tajam, artinya masyarakat memiliki andil sebagai pelaku
tradisi atau penikmat tradisi. Kebiasaan yang ditemukan, masyarakat
yang ansih terhadap tradisi leluhur secara sosial dikucilkan. Biasanya
menjadi buah bibir dan buah gosip yang stiap harinya didiskusikan”.
Selanjutnya NHS, selaku guru di salah satu SMA juga
menjelaskan:
“Reformasi sosial tidak bisa dilakukan dengan instan. Reformasi
ini berkembang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan situasi
sosial dan tingkat pendidikan masyarakat sosial itu sendiri. Termasuk
membudayakan tradisi atau mentradisikan budaya. Misal, peraq api,
tradisi ini tidak mengenal siapa dia, dari mana golonga keluarganya dan
bagaimana struktur sosialnya, jelasnya tradisi ini harus di lakukan.
Sebagai contoh dahulunya pernah ada masyarakat yang tidak ingin peraq
api untuk anaknya, namun karena tekanan sosial akhirnya suka atau tidak
28
suka harus melaksanakan tradisi tersebut. Inilah yang saya maksud
sebagai reformasi sosial yang tidak bisa dilakukan secara instan”.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diterangkan bahwa produk
peninggalan nenek moyang sejatinya memiliki energi yang tidak biasa
untuk di tinggalkan. Sekuat apapun ideologi atau pemikiran yang
menggodanya tentu karismanya masih mempesona.
Informasi berikutnya yang hendak diketahui adalah seperti apa
bentuk punihs sosial bagi masyarakat yang menjalankan tradisi. Tentang
hal ini, beberapa tokoh yang dihimpun pendapatnya memiliki perspektif
yang beragam, lebih jelasnya dipaparkan sebagai berikut:
“Sepengetahuan saya, masyakarakat yang tidak melaksanakan
tradisi memang tidak mendapatkan sanksi secara langsung atau telah
diatur oleh pemerintah desa. Namun sanksi yang di terima adalah sanksi
sosial dari masyarakat sekitar. Contoh sanksi ini adalah bila dikemudian
hari ternyata apa yang disanksikan masyarakat dikemudian hari terjadi,
biasanya masyarakat akan mempunish sebagai dampak dari
ketidakmauannya melaskanakan tradisi peraq api tersebut”.
Melaksanakan atau tidak tradisi bukan hak orang tertentu untuk
memaksakannya. Namun melaksanakannya adalah berdasar pada
kesadaran diri bukan kepada tekanan orang lain. Karena pada dasarnya,
hal ini tidak ada kaitannya dengan sanksi termasuk sanksi negara, sosial
ataupun adat. Hal ini senada dengan pendapat IL yang mengatakan:
“Sanksi negara, sanksi adat atau sanksi tertulis atau tidak tertulis
memang tidak ada. Namun sanksi ini adalah sanksi sosial yaitu sanksi
yang menjadi bagian dari reparasi sosial. Kenapa demikian, sanksi ini
biasanya di lakukan oleh masyarakat yang melihat pola masyarakat
dalam melihat dinamika sosial. Tidak ada pengucilan secara fisik apalagi
29
pengusiran, yang paling memungkinkan adalah adanya teguran sosial
dari yang ditokohkan. Kebiasannya nanti itu akan berdampak pada formul
a sosial yang tidak tepat. Masyarakat dikhawatirkan antipati terhadap
kebudayaan yang selama ini dijalankan.
Pendapat di atas kembali dipertegas dengan pendapat SB bahwa
“Sanksi sosial tidak ada. Selama tidak atur oleh aturan tertulis maka
kemungkinan berpengaruhnya terhadap aktivitas sosial masyarakat
kecil”. Ditambah dengan pendapat CE yang memaparkan pendapatnya “
Lamun hukuman ilik dese jeq edak. Laguq laun batur-batur yaq lueq
ngeraos-raos. Mun wah meretok mok lile jariin batur. Ye igen endah lueq
laun mule endiin yaq peraq api payu peraq api jariin
Kesepakatan sosial adalah aturan tidak tertulis yang menjadi norma
sosial. Norma sosial sebagai kebiasaan umum yang menjadi patokan
perilaku dalam suatu kelompok masyarakat dan batasan wilayah tertentu.
Norma akan berkembang seiring dengan kesepakatan-kesepakatan sosial
masyarakatnya, sering juga disebut dengan peraturan sosial. Norma
menyangkut perilaku-perilaku yang pantas dilakukan dalam menjalani
interaksi sosialnya. Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat
memaksa individu atau suatu kelompok agar bertindak sesuai dengan
aturan sosial yang telah terbentuk. Pada dasarnya, norma disusun agar
hubungan di antara manusia dalam masyarakat dapat berlangsung tertib
sebagaimana yang diharapkan20.
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana dampak sosiologis bagi
masyarakat yang menjalankan tradisi. Tentu perasaan ini sangat beragam.
Ada yang meyakini sebagai sebuah proses kebatinan yang mendalam,
eksplorasi tentang keyakinan tentang suatu terminologi kausalitas
masyarakat. Lalu bagaimana pandangan masyarakat tentang hal tersebut,
beberapa tokoh yang diwawancarai memaparkan pandangannya sebagai
berikut:
20
Kevinhuang. https://brainly.co.id/tugas/11137368 diakses tanggal 28/07/2018 jam 08.08
30
GO memaparkan pandangannya sebagai berikut:
“Secara umum, norma yang sudah menjadi kesepakatan sejatinya
tidak boleh dilanggar. Paling tidak pelanggaran norma akan
mempengaruhi pengakuan dan reka sosial masyarakat tersebut. Norma ini
memang bukan buatan atau ketentuan tuhan, namun kebiasaan yang
menjadi kemufakatan. Sehingga ketentuannya perlu diperhitungkan dan
dipertimbangkan”.
Tradisi bagi sebagian masyarakat sebagai bagian dari norma yang
dianggap menjadi kesepakatan yang biasa dan harus dilaksanakan. Bagi
sebagian masyarakat lagi tidak menganggap sebagai bagian dari norma
namun murni adalah peninggalan masa lalu yang tidak relevan lagi dengan
kebutuhan masa kini. Namun karena bagian dari masa lalu sejatinya harus
dilestarikan. Dalam hal ini SA memaparkan pandangannya sebagai
berikut:
“Perasaan saya setelah melaksanakan tradisi peraq api sewaktu
anak yang pertama lahir, saya merasa plong karena dapat menjalankan
tradisi dengan baik, lengkap dan ornamen yang dibutuhkan. Bahkan
orang tua bahkan sangat senang pada kami karena telah melaksanakan
apa yang menjadi tradisi masa lalu”.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat digambarkan betapa tradisi
menjadi bagian dari pekerjaan adat. Adat merupakan norma yang tidak
tertulis, namun sangat kuat mengikat sehingga anggota masyarakat yang
melanggar adat istiadat akan menderita karena sanksi keras yang kadang-
kadang secara tidak langsung dikenakan. Sanksi atas pelanggaran adat
istiadat dapat berupa pengucilan, dikeluarkan dari masyarakat/kastanya,
atau harus memenuhi persyaratan tertentu, seperti melakukan upacara
tertentu untuk media rehabilitasi diri
31
D. Prosedur Pelaksanaan Dan Pantangan Kultural Tradisi Peraq Api
Peraq api sama dengan tradisi lainnya seperti Bubus Dise (ritual di
Desa Batujai Kecamatan Praya Barat. Lombok Tengah). Tradisi ini memiliki
prosedur yang harus dilewati selama melaksanakannya. Kelengkapan-
kelengkapan dalam melaksanakannya memberikan makna yang tidak biasa
bagi yang melaksanakannya. Berikut beberapa tahapan yang harus
dilaksanakan oleh masyarakat yang sedang melaksanakan tradisi:
1. Persiapan
Sebelum menjalankan tradisi, peraq api memiliki ritual-ritual. Apa
yang dimaksud dengan ritual ?. Menurut ilmu Sosiologi, arti ritual adalah
aturan-aturan tertentu yang digunakan dalam pelaksanaan agama yang
melambangkan ajaran dan yang mengingatkan manusia pada ajaran tersebut.
Ritual peraq api adalah sebuah praktek budaya yang dilakukan masyarakat
sasak setelah melahirkan. Ritual ini pada intinya bertujuan untuk
memperkenalkan dan memberikan nama kepada anak yang dilahirkan.
Pelaksanaan ritual dilaksanakan dengan bantuan Belian. Belian
merupakan orang yang membantu ibu melahirkan. Mulai dari sejak hamil
sampai pemberian nama pada anak. Hubungan antara anak, keluarga dan
Belian senantiasa bertalian sebelum anak dinamai oleh Belian tersebut
melalui saran dari orang tuanya. Dibawah ini ditampilkan prosedur
pelaksanaan tradisi peraq api
Persiapan
Didalam melaksanakan upacara adat biasanya tidak terlepas
dengan sesaji
makanan, jajanan tradisonal dan pembakaran kemenyan yang dilakukan
pada saat upacara akan dilakukan. Kelengkapan sesaji sudah menjadi
kesepakatan bersama yang tidak boleh ditinggalkan karena sesaji ini
32
Gambar I:
Persiapan Bahan Sebelum Di Mantra. Disiapkan Oleh
Didalam melaksanakan upacara adat biasanya tidak terlepas
dengan sesaji-sesaji yang harus disiapkan. Sesaji-sesaji tersebut berupa
kanan, jajanan tradisonal dan pembakaran kemenyan yang dilakukan
pada saat upacara akan dilakukan. Kelengkapan sesaji sudah menjadi
kesepakatan bersama yang tidak boleh ditinggalkan karena sesaji ini
Oleh Belian
Didalam melaksanakan upacara adat biasanya tidak terlepas
sesaji tersebut berupa
kanan, jajanan tradisonal dan pembakaran kemenyan yang dilakukan
pada saat upacara akan dilakukan. Kelengkapan sesaji sudah menjadi
kesepakatan bersama yang tidak boleh ditinggalkan karena sesaji ini
merupakan sarana pokok dalam ritual
ritual adalah sarung, beras, dedaunan (istilah sasak Daun Bikan).
tradisi peraq api
Semua ini dilakukan sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan kepada lelu
Adapun alur pelaksanaan tradisi peraq api adalah sebagai berikut;
Pada tahap persiapan bahan tersebut, Belian mempersiapkan
bahan-bahan yang dibutuhkan untuk perayaan ritual. Beberapa bahan yang
perlu disiapkan pada t
Bikan, keliong, Tepak
tersebut diberikan mantra kemudian di letakkan di atas tepak tersebut
kemudian ditambah dan air dan Logam.
2. Pengolahan Bahan
Pengolahan beras yang dipersiapkan sebelumnya menjadi dibagikan kepada masyarakat yang hadir atau masyarakat dilingkungan sekitar
33
merupakan sarana pokok dalam ritualBeberapa hal yang dis
ritual adalah sarung, beras, dedaunan (istilah sasak Daun Bikan).
peraq api disiapkan sesaji akan tetapi tidak membakar kemenyan.
Semua ini dilakukan sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan kepada leluhur mereka yang sudah meninggal dunia.
Adapun alur pelaksanaan tradisi peraq api adalah sebagai berikut;
Pada tahap persiapan bahan tersebut, Belian mempersiapkan
bahan yang dibutuhkan untuk perayaan ritual. Beberapa bahan yang
perlu disiapkan pada tahap ini diantaranya kembang merah, kembang
Bikan, keliong, Tepak dan koin rupiah. Bahan-bahan yang telah disiapkan
tersebut diberikan mantra kemudian di letakkan di atas tepak tersebut
kemudian ditambah dan air dan Logam.
Pengolahan Bahan
Gambar 2: Pengolahan beras yang dipersiapkan sebelumnya menjadi Montong Siung dan dibagikan kepada masyarakat yang hadir atau masyarakat dilingkungan sekitar
Beberapa hal yang disajikan pra
ritual adalah sarung, beras, dedaunan (istilah sasak Daun Bikan). Adapun
disiapkan sesaji akan tetapi tidak membakar kemenyan.
Semua ini dilakukan sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Tuhan
hur mereka yang sudah meninggal dunia.
Adapun alur pelaksanaan tradisi peraq api adalah sebagai berikut;
Pada tahap persiapan bahan tersebut, Belian mempersiapkan
bahan yang dibutuhkan untuk perayaan ritual. Beberapa bahan yang
kembang merah, kembang
bahan yang telah disiapkan
tersebut diberikan mantra kemudian di letakkan di atas tepak tersebut
Montong Siung dan dibagikan kepada masyarakat yang hadir atau masyarakat dilingkungan sekitar
Ketersediaan Beras, Kelapa dan Gula Merah berguna untuk
pengolahan menjadi makanan jadi.
membuat montong siong
penggorengan, setelah
diberikan pada
pulang.
Pada hakekatnya, setiap bahan tersebut memiliki makna filosofis
yang berbeda
masyarakat Sasak.
senantiasa menjadi
kebaikan, sebagaimana orang senang
pemanfaatan
sangat dibutuhkan
dengan air dimaknai
barang-barang yang tidak
Rokok simbol kejantanan dan sirih sebagai bahan penyembuh penyakit (biasnya digunakan untuk bahan meminta obat ke
34
Ketersediaan Beras, Kelapa dan Gula Merah berguna untuk
pengolahan menjadi makanan jadi. Adapun beras disiapkan
montong siong. Makanan ini dibuat
penggorengan, setelah itu dicampur dengan parutan kelapa. Makanan
pada masyarakat yang hadir pada saat ritual atau
Pada hakekatnya, setiap bahan tersebut memiliki makna filosofis
yang berbeda-beda atau memiliki makna tersirat dalam
Sasak. Seperti halnya, kembang menandakan
menjadi bunga di dalam keluarganya. Menebarkan aura
kebaikan, sebagaimana orang senang terhadap bunga. Adapun
koin bermakna tentang keyakinan masyarakat
dibutuhkan untuk kemaslahatan. Sedangkan pencampurannya
dengan air dimaknai sebagai penyuci agar anak senantiasa
barang yang tidak baik.
Gambar 3: Rokok simbol kejantanan dan sirih sebagai bahan penyembuh penyakit (biasnya
digunakan untuk bahan meminta obat ke Belian atau Dukun
Ketersediaan Beras, Kelapa dan Gula Merah berguna untuk
disiapkan untuk
melalui proses
kelapa. Makanan ini
saat ritual atau membawa
Pada hakekatnya, setiap bahan tersebut memiliki makna filosofis
dalam keyakinan
menandakan bahwa anak
ganya. Menebarkan aura
bunga. Adapun
masyarakat bahwa harta
pencampurannya
senantiasa terhindar dari
Rokok simbol kejantanan dan sirih sebagai bahan penyembuh penyakit (biasnya Dukun)
3. Pelaksanaan
Memandikan Anak Dengan Mencampur Bahan
Pada kegiatan pelaskanaan yang pertama adalah
Hal ini bertujuan
non fisik. Secara
35
Pelaksanaan Ritual
Gambar 4: Anak Dengan Mencampur Bahan-Bahan Yang Telah Disiapkan
Pada kegiatan pelaskanaan yang pertama adalah memandikan
bertujuan untuk membersihkan anak dari kotoran
non fisik. Secara fisik membersihkan kotoran yang menempel
Bahan Yang Telah Disiapkan
memandikan anak.
secara fisik dan
kotoran yang menempel pada tubuh
anak itu sendiri
jiwa anak dari
4. Pengasapan
Kegiatan pengasapan ini diawali dengan pembakaran serabut
kelapa. Setelah beberapa menit kemudian serabut kelapa ini akan
mengeluarkan asap dan dibakar di depan rumah
adalah meletakkan anak di atas
asapnya. Lebih jelasnya lihat foto di bawah ini:
36
sendiri dan secara non fisik berkeyakinan untuk
dari memulai kehidupan yang baru.
Gambar 5: Pembakaran Serabut Kelapa
Kegiatan pengasapan ini diawali dengan pembakaran serabut
kelapa. Setelah beberapa menit kemudian serabut kelapa ini akan
mengeluarkan asap dan dibakar di depan rumah. Langkah selanjutnya
adalah meletakkan anak di atas keliong dan menggoyangkan anak di atas
asapnya. Lebih jelasnya lihat foto di bawah ini:
untuk membersihkan
Kegiatan pengasapan ini diawali dengan pembakaran serabut
kelapa. Setelah beberapa menit kemudian serabut kelapa ini akan
. Langkah selanjutnya
keliong dan menggoyangkan anak di atas
Membakar
Langkah ini
dunia ini sendiri. Bahwa
sendiri. Salah satu
bahwa anak dimasa
besar. Tumbuh
anak tidak boleh
Padalangkah
goyang di atas
dengan goyangan
Ritual tahap
makna. Masyarakat yang menghadiri ritual secara
37
Gambar 6: Menggoyangkan anak di atas asap
Membakar serabut kelapa dan meletakkan anak diatas asapnya.
diyakini sebagai proses untuk mengenalkan
sendiri. Bahwa setiap masalah selalu ada sumber
sendiri. Salah satu keyakinan masyarakat sasak dari prosedur
dimasa mendatangakan mendapat tantangankehidupan yang
besar. Tumbuh dan berkembang sesuai dengan zamannya. Oleh
boleh gentar terhadap setiap persoalan yang dihadapi.
ini, anak diletakkan di atas keliong kemudian
goyang di atas asap yang diyakini bahwa dengan ini anak
goyangan tersebut.
Ritual tahap tiga di atas juga diyakini masyarakat
makna. Masyarakat yang menghadiri ritual secara langsung
serabut kelapa dan meletakkan anak diatas asapnya.
mengenalkan anak tentang
sumber masalah itu
prosedur ini adalah
tantangankehidupan yang
zamannya. Oleh karena itu,
persoalan yang dihadapi.
kemudian digoyang-
anak dikenalkan
masyarakat sasak memiliki
sung mengusapkan
asapnya kemata
tersebut akan
satu prosedur ritual yang ditunggu
diyakini sebagai
5. Cuci Muka dengan Air Bekas mandi anak
38
kemata masing-masing. Mereka meyakini bahwa
menjernihkan matanya. Ritual ini juga diyakini
prosedur ritual yang ditunggu masyarakat. Karena
sebagai kesempatan yang langka dan harus dimanfaatkan.
Cuci Muka dengan Air Bekas mandi anak
Gambar 7: Membuang bekas air mandi anak
bahwa dengan cara
diyakini sebagai salah
kesempatan ini
dimanfaatkan.
39
Gambar 8:
Masyarakat mencuci muka dengan harapan mata sehat tidak cepat rabun
Kegiatan ini diawali dari membuang air bekas mandi di atas
Keliong. Kegiatan ini diyakini sebagian msyarakat yang hadir bahwa
dengan mencuci mata dengan air tersebut dapat mencuci mata yang
diyakini sebagai cara untuk menjauhkan diri dari rabunmata. Kegiatan in
idilakukan oleh masyarakat yang hadir pada saat proses ritual.
6. Pemberian Nama Pada Anak
Orang Tua Menyiapkan Nama Dengan Menulis Di Kertas Sebanyak Dua
Anak memilih nama yang telah disipkan orang tuanya.
40
Pemberian Nama Pada Anak
Gambar 9:
Tua Menyiapkan Nama Dengan Menulis Di Kertas Sebanyak Dua Nama
Gambar 10: Anak memilih nama yang telah disipkan orang tuanya.
Tua Menyiapkan Nama Dengan Menulis Di Kertas Sebanyak Dua
Anak memilih nama yang telah disipkan orang tuanya.
41
Pemberian nama anak. Langkah ini diyakini sebagai langkah
terakhir. Para orang tua menyiapkan lebih dari satu daftar nama yang
ditulis di atas kertas, kemudian kertas tersebut diletakkan di tangan anak.
Masyarakat meyakini bahwa nama yang paling disukai anak adalah nama
yang paling kuat digenggam oleh anak, dan diyakini bahwa anak
tersebutlah yang paling diinginkan oleh anak.
E. Peraq Api Dalam Konteks Islam.
Mengaitkan Islam dengan tradisi tidak terlepas dari relasi budaya
dengan agama. Budaya memiliki hubungan yang erat sekali dalam suatu
tatanan masyarakat. Sebagaimana diungkap Melville J. Herskovits dan
Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang
terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh
masyarakat itu sendiri. Tentang hal ini beberapa tokoh banyak
menjelaskannya:
HF menyatakan bahwa “agama merupakan bagian dari
kebudayaan, tetapi tak sedikit pula yang menyatakan kebudayaan
merupakan hasil dari agama. Hal ini seringkali membingungkan ketika
kita harus meletakan agama (Islam) dalam konteks kehidupan kita sehari-
hari. Sedangkan budaya membentuk cara kita melihat dunia. Oleh karena
itu, kapasitas untuk membawa perubahan sikap diperlukan untuk
memastikan perdamaian dan pembangunan berkelanjutan yang, kita tahu,
membentuk satu-satunya jalan menuju kehidupan di Bumi”
Agama dan budaya memiliki korelasi yang sangat erat. Budaya
adalah produk manusia, bersumber percobaan-percobaan, berubah menjadi
kebiasaan dan akhirnya menjadi norma dan memiliki penekanan kepada
masyarakat. Budaya mempengaruhi perilaku beragama dalam
melaksnakan tugas kekhalifahan di muka bumi.
Pandangan tentang agama juga dikemukakan HM selaku kiyai
dikampung yang mengutarakan pendapatnya sebagai berikut:
42
“Agama adalah kumpulan gagasan, praktik, nilai, dan cerita yang
semuanya tertanam dalam budaya dan tidak dapat dipisahkan darinya.
Sama seperti agama tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks
budaya (termasuk politik), tidak mungkin memahami budaya tanpa
mempertimbangkan dimensi agamanya. Dengan cara yang sama seperti
ras, etnisitas, gender, seksualitas, dan kelas sosial ekonomi selalu menjadi
faktor dalam interpretasi budaya dan pemahaman, demikian juga
agama”.
Sedangkan budaya dalam pandangan SB:
“Budaya mendefinisikan kekuatan sosial di dalam sebuah
komunitas yang melibatkan konvensi untuk perilaku. Agama
mendefinisikan bagaimana anggota masyarakat menafsirkan peran
mereka di alam semesta, dengan ajaran ini didasarkan pada budaya lokal,
maka agama yang berbeda bangkit dari budaya yang berbeda. Demikian
pula ketika anggota satu agama mengubah anggota budaya asing,
seringkali agama yang dihasilkan di wilayah tersebut dipengaruhi oleh
budaya tuan rumah”.
Islam di Indonesia sejak awal tidak terlepas dari pengaruh agama
dan budaya. Sebagaimana dikemukakan oleh NHS dalam paparannya
mengatakan:
Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima
akomodasi budaya. Karena Islam sebagai agama memang banyak
memberikan norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan
dengan agama-agama lain. Bila dilihat kaitan Islam dengan budaya,
paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas:Islam sebagai konsepsi
sosial budaya, dan Islam sebagai realitas budaya. Islam sebagai konsepsi
budaya ini oleh para ahli sering disebut dengan great tradition (tradisi
besar), sedangkan Islam sebagai realitas budaya disebut dengan little
tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi lokal) bidang-bidang
yang “Islamik”, yang dipengaruhi Islam.
Lalu bagaimana dengan kepercayaan, tentang hal ini dikemukakan
oleh SB:
“Tentang kepercayaan, memahami kepercayaan masyarakat Sasak
sulit untuk dilakukan kajian. Kepercayaan masyarakat Sasak sampai saat
43
ini masih dapat dilihat dari perkembangan dan pelestrarian kebudayaan.
Salah satu adat istiadat yang sampai sekarang ini masih dipegang teguh
oleh masyarakat Sasak adalah kawin lari. Dalam Suku Sasak pernikahan
dengan cara kawin lari ini disebut dengan merari’. Sebagaimana kawin
lari, tradisi lainnya adalah Peraq Api sebagai produk budaya produk
budaya. Tradisi ini sudah berkembang sangat lama, bahkan semenjak
Islam ada di tanah sasak ini. Lalu apa pandangan Islam tentang
perkembangan sebuah produk budaya. Dinul-Islam sangat menitik
beratkan pengarahan para pemeluknya menuju prinsip kemanusiaan yang
universal, menoreh sejarah yang mulia dan memecah tradisi dan budaya
yang membelenggu manusia, serta mengambil intisari dari peradaban
dunia modern untuk kemaslahatan masyarakat Islami. Allah berfirman:
“Katakanlah: “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang
diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il,
Ishaq, Ya’qub dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa,
‘Isa dan para nabi dari Rabb mereka. Kami tidak membeda-bedakan
seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami
menyerahkan diri”. Barang siapa mencari agama selain dari agama
Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya,
dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (Ali ‘Imran/3:84-85)
Kebudayaan dalam perpspektif Islam tidak mengalami gap yang
mempengaruhi eksistensinya. Kebudayaan diperbolehkan asalkan sistem
budaya tersebut tidak menimbulkan kesyirikan atau menduakan tuhan.
Tidak ada masalah selama kepercayaan tidak menjadi keyakinan yang
dapat mengganggu keimanan dan ketakwaan. Sebelum memutuskan boleh
atau tidak boleh melaksanankan tradisi dan bagaimana pandangan Islam,
terlebih dahulu dipahami tentang apa motif masyarakat melaksanakan
tradisi tersebut, kepada siapa meyakininya dan bagaimana statusnya
dibandingkan dengan keyakinan kepada Allah tuhan semesta alam.
44
BAB V
KONSTRUKSI TEOLOGIS DAN SOSIOLOGIS TRADISI PERAQ API
MASYARAKAT SUKU SASAK
A. Latar Belakang, Dinamika Sosial Budaya Masyarakat
Sebagai bangsa yang besar, Indonesia terdiri atas negara kepulauan
yang terpisah oleh lautan, pegunungan dan lainnya. Hal ini telah membawa
jarak yang tidak dekat antara satu daerah dengan daerah lainnya. Dengan
demikian semangat persatuan dan kesatuan haruslah menjadi pengerat antara
penghuni pulau yang satu dengan penghuni lainnya. Salah satu atribut yang
dapat mempersatukannya adalah kesamaan pengalaman sejarah.
Berbicara tentang sejarah tentu karena ada yang mengawali, bahkan
berkembang dan mengalami perubahan. Perkembangan dapat bernilai positif
atau negatif, bermanfaat atau menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat luas.
Untuk itu banyak hal yang harus diperhatikan dalam mengkonstruksi sejarah.
Masing-masing jenis sumber itu mempunyai sifat-sifatnya sendiri dengan
segala kelebihan dan keterbatasannya. Ada sejarawan yang berorientasi pada
bukti tertulis, ada juga yang tidak berorientasi pada dokumen non tertulis21.
Bagi sebagian orang sejarah dianggap sesuatu yang tidak berguna.
Sejarah adalah masa lalu yang harus ditinggalkan karena tidak memberikan
manfaat apapun bagi kehidupannya. Hal ini nampak, misalnya, dalam cara
mereka memandang masa lalu dengan tatapan yang sinis dan ingin
melupakan.Tanpa berlandaskan pada sejarah sebagai simbol budaya yang
menyatukan, bangsa Indonesia menghadapi kesulitan dalam merumuskan
identitasnya dan sudah tentu akan mudah tercerai-berai. Sejarah berfungsi
21Gunawan, Restu, Indonesia Dalam Arus Sejarah, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoe, 2010), h. 9
45
menjadi alat peneguh yang sangat penting bagi tegaknya suatu bangsa yang
sedang dalam berproses “menjadi” seperti Bangsa Indonesia22.
Demikian pula dengan sejarah tradisi dan kebudayaan di Indonesia.
Sejarah ini tidak terlepas dari peran ulama dan kiyai berpengaruh di zamannya
yang secara langsung mempengaruhi perjalanan berbagai tradisi dan
kebudayaan yang berjalan ditengah kehidupan masyarakat, sesuai dengan
pedoman awal sejarah oleh suatu masyarakat atau mengalami perubahan yang
mempengaruhi kehidupan masyarakat yang menjalani di masa mendatang.
Salah satu bukti sejarah adalah peninggalan fisik. Menurut Davidson
warisan budaya diartikan sebagai produk atau hasil budaya fisik dari tradisi-
tradisi yang berbeda dan prestasi-prestasi spiritual dalam bentuk nilai dari masa
lalu yang menjadi elemen pokok dalam jati diri suatu kelompok atau bangsa’.
Dapat disimpulkan bahwa warisan budaya adalah produk fisik itu sendiri dan
nilai kebuadayaan adalah nilai warisan kemasyarakatan yang berjalan di masa
lalu23.
Berangkat dari konstruksi konsep di atas, tradisi dan kebudayaan
bangsa Indonesia mengacu pada nilai-nilai dan etika yang kemudian dianggap
sebagai nilai luhur bangsa Indonesia. Nilai-nilai dan etika tersebut melekat
pada jati diri dari sistem budaya etnik bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut
dianggap sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah, sebagaimana sifat/ciri
khas kebudayaan suatu bangsa Indonesia24.
22 Warto, Membangun Kesadaran Sejarah Masa Muda, Disampaikan Dalam Acara
Diskusi Sejarah Dengan Tema “Internalisasi Nilai-Nilai Sejarah Sebagai Upaya Meningkatkan Rasa Nasionalisme Dan Sadar Sejarah Kepada Generasi Muda”, pada Rabu 20 September 2017 di FIS UNY Yogyakarta. Diakses Tanggal 30/07/2018 jam 13.18 WITA
23 Davison, G. dan C Mc Conville. A Heritage Handbook. St. Leonard,( NSW: Allen & Unwin, 1991), h. 2
24 Melalatoa, Junus M. ed. Sistem Budaya Indonesia, (Jakarta: Kerjasama FISIP Universitas Indonesia dengan PT. Pamator, 1997), h. 102.
46
Masyarakat sasak sebagai salah satu entitas terbesar di Pulau Lombok
memiliki keberagaman bahasa. Keragaman tersebut dapat berjalan beriringan
dengan harapan dan cita-cita bersama. Keberagaman berbahasa salah satunya
adalah adanya perbedaan fonologis bahasa, tata bahasa, atau penyebutan satu
benda yang sama dengan bahasa yang berbeda. Keberagaman ini menjadi
hadiah tuhan semesta yang patut disyukuri bagi masyarakat sasak itu sendiri.
Penduduk asli pulau Lombok disebut Suku Sasak. Mereka adalah
kelompok etnik mayoritas yang berjumlah tidak kurang dari 89% dari
keseluruhan penduduk Lombok.Sedangkan kelompok-kelompok etnik lainnya
seperti Bali, Jawa, Arab, dan Cina adalah pendatang.25 Suku Sasak merupakan
kelompok masyarakat yang mendiami hampir sebagian besar Pulau Lombok.
Sejarah Suku Sasak ditandai dengan silih bergantinya berbagai dominasi
kekuasaan di Pulau Lombok dan masuknya pengaruh budaya lain yang
membawa dampak beragamnya khazanah kebudayaan Sasak.
Mayoritas etnis Sasak beragama Islam, namun demikian dalam
kenyataanya pengaruh Islam juga berakulturasi dengan kepercayaan lokal
sehingga terbentuk aliran seperti Wetu Telu. Kebudayaan hadir sebagai pranata
yang secara terus-menerus dipelihara oleh para pembentuknya dan diwarisi
kepada generasi selanjutnya secara turun temurun. Dalam konteks ini paling
tidak ada empat budaya yang paling signifikan mendominasi dan
mempengaruhi perkembangan dinamika pulau ini, yaitu: 1) pengaruh Hindu
Jawa; 2) pengaruh Hindu Bali; 3) pengaruh Islam; dan 4) pengaruh kolonial
Belanda dan Jepang.
Sebagai suku mayoritas di Pulau Lombok masyarakat Sasak tentu
memiliki tradisi dan budaya tersendiri sebagai peninggalan masa lalu.
Masyarakat Sasak memiliki kebudayaan sendiri dalam melaksanakan sebuah
peninggalan masa lalu, karena itu merupakan bagian dari perilaku
25 Erni Budiwanti, Islam SasakWetu Telu vs Waktu Lima (Yogyakarta: LkiS, 2000),
hlm. 6.
47
masyarakatnya. Kebudayaan dapat memuat tata pamong masayarakat, aktivitas
perlakuan masyarakat, bahasa atau budaya dari masyarakat yang secara fisik
dapat dilihat oleh mata manusia itu sendiri. Termasuk kepercayaan-
kepercayaan yang mengiringi kehidupan manusia karena faktor kepercayaan.
Hal tersebut merupakan ritual peralihan dan merupakan respon kultural
langsung terhadap faktor-faktor biologis, perubahan psikologis dan tahapan
kehidupan manusia26.
Tradisi Peraq Api pada awalnya merupakan ekspreimentasi masyarakat
tentang sesuatu. Hasil eksperimentasi tersebut melalui beragama pengalaman
diantaranya adalah orang yang melakukan eksperimentasi memperoleh mimpi
agar apa yang dilakukan tidaklah lengkap jika tidak ada tambahan-tambahan
bahan yang pada waktu itu dianggap sulit untuk memperolehnya. Hubungan
interaksi antara dunia nyata dengan dunia maya diyakini dapat dimediasi oleh
bahan-bahan yang dianggap tidak mengganggu keharmonisan di dunia maya.
Hal ini juga tidak terlepas dengan bantuan orang yang melek terhadap agama.
Tradisi pada mulanya merupakan musabab, namun akhirnya menjadi konklusi
dan premis, isi dan bentuk, efek dan aksi pengaruh dan mempengaruhi27.
Tradisi mempengaruhi sistem, kultur, dan relasi sosial ditengah masyarakat.
Oleh karena itu, untuk menguatkan tradisi, dibuatkanlah
eksperimentasi-eksperimentasi yang secara universal dapat dipatenkan sebagai
rangkaian dari tradisi. Tradisi-tradisi yang ada pada masyarakat Suku Sasak ini
sebagai upacara keagamaan untuk mencari hubungan antara manusia dengan
Tuhan dan mahluk yang mendiami alam ghaib yang dilambangkan dalam
bentuk kepercayaan orang Sasak pada waktu upacara berdoa dan melakukan
sesaji. Setiap melakukan upacara adat masyarakat Suku Sasak tidak terlepas
dengan pemanjatan doa kepada Tuhan dan penggunaan sesaji disetiap prosesi
adat.
26 Erni Budiwanti, Islam Sasak Wetu Telu Versus Waktu Lima, (LKIS, Yogyakarta,
2000), h. 182 27 Hasan Hanafi. 2003. Oposisi Pasca Tradisi, (Yogyakarta: Sarikat, 2003), h. 2
48
Upacara adat kelahiran sebagai ritual yang sangat menegangkan dan
menakutkan bagi sebagian masyarakat Sasak. Peristiwa kelahiran ini disebut
sebagai peristiwa yang suci. Bagi masayarakat, peristiwa kelahiran ini harus
disambut dengan pengalaman kultural dan religius. Artinya, secara kultural,
karena ini merupakan peninggalan sejarah masa lalu, jadi pelaksanaannya
berdasarkan apa yang telah dicontohkan dan membudaya dikalangan
masyarakat. Adapun aspek religiusitasnya dilakukan dengan melaksanakan
zikiran, mesetulak dan lain sebagainya.
Melalui siklus ritual yang telah dilakukan di atas, masyarakat percaya
bahwa tuhan dan roh nenek moyangnya akan dapat membantu sang anak yang
dilahirkan agar terhindar dari bahaya yang sewaktu-waktu dapat
mengancamnya. Sehingga apabila sang istri yang hendak melahirkan, maka
dengan sendirinya akan mencari belian, yang bertugas untuk membantu
persalinan istrinya. Seringkali akibat dari keyakinan yang mengkristal terhadap
budaya, sebagai misal; masyarakat masih meyakini bahwa jika ternyata ibu
yang melahirkan mengalami kesulitan, maka dapat diyakini disebabkan bahwa
secara kasatmata telah mengalami gangguan oleh roh-roh jahat sehingga perlu
ada penanganan khusus, melalui ritual lainnya. Ritual ini memang pelik, Hal
tersebut biasanya ditafsirkan akibat berlaku kasar terhadap ibu atau suaminya.
Untuk itu diadakan upacara, seperti menginjak ubun-ubun, meminum air bekas
cuci tangan suami dan ibunya ini dilakukan agar mempercepat kelahiran sang
bayi. Setelah bayi tersebut lahir masyarakat menganggap bahwa rambut yang
dibawa lahir oleh bayi disebut bulu panas. Oleh karena itu rambut tersebut
dihilangkan dengan mengadakan selamatan, doa atau upacara sederhana yang
disebut ngrusiang. Orang pertama yang memotong rambut bayi tersebut adalah
seorang kiyai.
Pelaksanaan tradisi Peraq Api juga memiliki nilai sosial yang tinggi.
Melalui tradisi ini masyarakat dapat membangun interaksi sosial yang baik.
Satu masyarakat berkunjung kemasyarakat lainnya, keluarga yang satu
berkunjung kekeluarga lainnya. Hal ini sangat dimungkinkan pada saat
49
melaksanakan tradisi. Dengan adanya proses sosialisasi tersebut, hubungan
antar keluarga semakin harmonis Keluarga merupakan institusi yang paling
penting pengaruhnya terhadap proses sosialisasi manusia. Keluarga merupakan
kelompok primer yang selalu terjadi tatap muka dan mengikuti perkembangan
anggota-anggotanya. Kedua, orang tua mempunyai kondisi yang kuat untuk
mendidik anak-anaknya sehingga menimbulkan hubungan emosional dimana
hubungan ini sangat diperlukan dalam proses sosialisasi. ketika, adanya
hubungan sosial yang tetap, maka dengan sendirinya orang tua mempunyai
peranan yang penting terhadap proses sosialisasi anak.
B. Ancaman dan tantangan dalam konteks sosiologis Pra-pasca Tradisi
Setiap masyarakat memiliki keyakinan yang tidak sama. Keyakinan
tersebut adalah dampak dari keberagaman status sosial, pendidikan,
pengalaman dan lingkungan. Strata tersebut mendampingi masyarakat untuk
menentukan pilihan-pilihan sosial yang harus dilaksanakan atau diaplikasikan.
Rechoose tentang desain sosial ini merupakan bagian dari antisipasi dan empati
masyarakat tentang kebudayaan.
Pandangan di atas senada dengan pendapat Roy dan Muraven bahwa
“Another social and historical change has radically altered the context for
selfhood and required fundamental changes in the way people construct and
understand identity. This change has to do with society’s understanding of
important, basic values”. Artinya Perubahan sosial dan historis lainnya telah
secara radikal mengubah konteks untuk kedirian dan diperlukan perubahan
mendasar dalam cara orang membangun dan memahami identitas. Ini
perubahan ada hubungannya dengan pemahaman masyarakat tentang nilai-nilai
dasar yang penting28.
Perubahan di dalam masyarakat adalah sebuah keniscayaan.
Masyarakat yang taat dan patuh terhadap produk keberagaman adalah manusia
28 Roy F. Baumeister And Mark Muraven, Identity As Adaptation To Social, Cultural,
And Historical Context, Journal of Adolescence 1996, 19, 405–416, h. 413).
50
yang berhasil terhadap didikan zaman. Keras terhadap perubahan dan ansih
terhadap kebudayaan. Pada prakteknya, tidak semua masyarakat memahami
arti keberagaman, bahkan sebagian masyarakat tidak memahami arti
keberagaman sosial itu sendiri. Sehingga kualitas pengamalan kebudayaan tak
dapat dipertanggungjawabkan dengan baik.
Kualitas masyarakat bergantung pada kualitas sosial individunya. Isu
lain dari perkembangan identitas yang dihadapi masyarakat adalah keinginan
untuk individualitas, dan khususnya keinginan untuk memiliki identitas
menjadi unik. Orang-orang ingin merasa bahwa mereka istimewa dan berbeda
dari orang lain. Tujuan pengembangan pribadi adalah keinginan untuk meraih
status unik. Sebagai contoh, kebanyakan orang percaya bahwa mereka lebih
baik daripada kebanyakan orang lain29.
Kemahiran atau keawaman adalah dua hal yang melekat bagi yang mau
berfikir. Tentang tradisi peraq api, sebagian tak mempersoalkan
pelaksanaannya melainkan mereka menjadi pelaksana yang baik terhadap buah
kebudayaan. Tradisi Peraq Api adalah peninggalan masa lalu yang patut
dilestarikan. Kurangnya pengetahuan dan rendahnya literasi sosial budaya
menjadikan menimbulkan kesalahpahaman dalam melaksanakan sebuah ritual.
Warisan budaya menegaskan identitas kita sebagai manusia karena
menciptakan kerangka kerja yang komprehensif untuk pelestarian warisan
budaya termasuk situs budaya, bangunan tua, monumen, kuil, dan landmark
yang memiliki signifikansi budaya dan nilai historis. Budaya dan warisannya
mencerminkan dan membentuk nilai, keyakinan, dan aspirasi, dengan demikian
mendefinisikan identitas nasional seseorang. Ini penting untuk melestarikan
warisan budaya kita, karena itu menjaga integritas kita sebagai manusia.
Pentingnya warisan budaya bukan benda bukanlah manifestasi kultural itu
sendiri melainkan sebaliknya kekayaan pengetahuan dan keterampilan yang
29 Taylor, S. E. and Brown, J. D. (1988). Illusion and well-being: A social
psychological perspective on mental health. Psychological Bulletin, 103, 193–210)
51
ditransmisikan melaluinya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Nilai
sosial dan ekonomi dari transmisi pengetahuan ini relevan untuk kelompok
minoritas dan untuk kelompok-kelompok sosial arus utama dalam suatu
Negara, dan sama pentingnya bagi Negara-negara berkembang30.
Lebih lanjut, praktik tradisi Peraq Api ditengah kehidupan masyarakat
sasak disebabkan oleh beberapa alasan. Diantaranya adalah: (1) tradisi ini
adalah peninggalan nenek moyang, (2) keyakinan terhadap dampak gaib, (3)
sosial kultural aplikatif. Sebagai peninggalan nenek moyang, tentu hal ini
adalah kekayaan budaya, produk budaya atau produk amalan di masa silam.
Dengan demikian, agar produk budaya ini menjadi bernilai, perlu ada respon
kualitatif yang mendorong perbaikan budaya, melalui pelestarian dan
pengamalannya. Adapun keyakinan terhadap dampak gaib, hal ini lebih
menekankan pada keyakinan individual sebagai penganut kebudayaan tersebut.
Sedangkan secara sosikultural diaplikasikan oleh sebagian besar masyarakat.
Sebagai produk budaya yang implementatif. Artinya secara langsung
harus diritualkan, tradisi Peraq Api dalam prakteknya harus dengan persiapan
yang matang. Persiapannya sangat kontroversi. Sebagian berpandangan bahwa
pra tradisi, masyakat penganut budaya harus mempersiapkan mental. Hal ini
karena, proses ritual terkadang dilalui karena diluar akal sehat. Persiapan lain
yang dikembangkan masyarakat adalah persiapan secara fisik yaitu persiapan
memuat tentang peralatan yang akan digunakan selama pelaksanaan ritual
tradisi.
Peraq Api bukanlah ritual yang ketentuannya diatur oleh undang-
undang tertulis atau undang-undang negara. Tradisi ini diprosesi melalui
kebijakan bersama, kesepakatan berjamaah, mulai dari yang paling miskin
sampai yang paling tajir melaksanakan tradisi tersebut. Tradisi Peraq Api
30 A Forum Preserving Culture And Heritage, Mimar Sinan University of Fine Arts
Preserving Culture and Heritage Through Generations, Istanbul, Turki, 11-14 Mei 2014)
52
sebagai tradisi turun temurun mengalami metamorfosa yang pesat. Tradisi ini
memiliki konsekuensi logis bagi masyarakat yang mulai mengabaikannya.
Karena kepercayaan adalah produk kesepakatan, maka hukuman yang
paling dekat adalah sanksi sosial. Masyarakat meyakini bahwa tradisi Peraq
Api memiliki kekuatan energi gaib, bagi yang tidak melaksanakannya padahal
secara syarat sudah sah untuk melaksanakannya secara otomatis mendapat
teguran sosial. Keyakinan-keyakinan gaib masyarakat bila tidak menjalankan
tradisi adalah bahwa kemungkinan-kemungkinan terjadi di masa mendatang
hal-hal yang tidak diinginkan akan berpengaruh terhadap status sosial keluarga
tersebut. Sebaliknya, kebaikan-kebaikan keluarga adalah musabab dari
menjalankan tradisi dan memperoleh perlindungan dari marabahaya dan
perlindungan leluhur.
Masyarakat tergolong atas masyarakat terdidik dan tidak terdidik.
Masyarakat terdidik berpikir global dalam meyakini sebuah kepercayaan
terhadap tradisi. Adapun masyarakat non terdidik masih meyakini bahwa
tradisi sebagai satu kesatuan integral yang harus sejalan beriringan. Oleh
karena itu, kontradiksi suksesi tradisi atau tidak bergantung pada tingkat
kesetiaan seseorang terhadap pengamalan tradisi. Walaupun demikian Secara
sosial, tradisi dan interaksi sosial masyarakat memiliki irisan yang saling
melengkapi, artinya masyarakat memiliki andil sebagai pelaku tradisi atau
penikmat tradisi. Masyarakat yang antipati terhadap tradisi leluhur secara sosial
dikucilkan. Biasanya menjadi buah bibir dan buah gosip yang setiap harinya
didiskusikan.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan dan
perkembangan teknologi belum begitu berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan reka sosial masyarakat. Ini artinya, masyarakat masih kukuh
terhadap pendiriannya. Hal ini berarti pula bahwa reformasi sosial masyarakat
tidak bisa dilakukan dengan instan. Pertumbuhannya sesuai dengan situasi dan
kondisi sosial dan tingkat pendidikan masyarakat, termasuk dalam
53
membudayakan tradisi atau mentradisikan budaya. Karena hal ini berpengaruh
terhadap tekanan sosial.
Lalu bagaimana bentuk punish sosial bagi masyarakat yang tidak
melaksanakan tradisi. Tentang hal ini, respon masyarakat sangat beragam.
Secara umum, tidak ada sanksi yang secara tertulis untuk menghukum
masyarakat, yang paling memungkinkan adalah sanksi sosial. Sebagai contoh:
bila dikemudian hari, hal-hal yang dianggap menjadi pantangan tradisi terjadi
pada keluarga yang tidak melaksanakan tradisi, secara otomatis sanksi sosial
mulai berlaku. Bahkan sebuah keluarga yang tidak melaksanakan tradisi bisa
menjadi keluarga yang dikucilkan secara sosial.
Reparasi sosial bagi keluarga ingkar tradisi sulit dilakukan. Sanksi ini
turun karena pola hidup dan dinamika masyarakat. Secara fisik tidak terdapat
pengucilan ataupun hukuman. Namun kebiasaan masyarakat adalah
memberikan teguran oleh orang yang ditokohkan karena telah dianggap
melanggar norma-norma sosial yang menjadi pedoman berperilaku suatu
kelompok.
Adapun bagi pelaksana tradisi juga tidak terlepas dari reward atau
punish sosiologis. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, bagi
pelaksana tradisi, memiliki pengakuan sosial manakala telah melaksanakan
tradisi. Masyarakat merasa plong setelah melaksanakannya. Secara sosial,
masyarakat juga memperoleh keyakinan yang disadari atau tidak
mempengaruhi situasi kebatinan masyarakat.
Status sosial dan strata sosial berpengaruh terhadap model menjalankan
tradisi. Masyarakat yang berekonomi lemah biasanya melaksanakan tradisi
dengan cara yang biasa-biasa saja. Sebaliknya yang berekonomi baik
melaksnakan tradisi dengan tahlilan, yasinan dan lain sebagainya. Berbeda atau
tidak bentuk perayaannya tidak berpengaruh terhadap pelaksanaan tradisi
tersebut.
54
Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa tradisi adalah badan
dari pekerjaan adat. Adat yang tidak tertuang dalam dokumen tertulis namun
memiliki norma yang memiliki kekuatan energi yang mengikat sangat kuat,
mengikat anggota masyarakat. Sanksi atas pelanggaran adat istiadat dapat
berupa pengucilan, dikeluarkan dari masyarakat/kastanya, atau harus
memenuhi persyaratan tertentu, seperti melakukan upacara tertentu untuk
media rehabilitasi diri.
C. Ritual Upacara Peraq Api dan Pernak Pernik sosialnya
Setiap tradisi memiliki pekerjaan yang sunnah ataupun wajib, memiliki
prosedur dan perlengkapan yang harus disiapkan. Bahan-bahan yang
dipersiapkan diatur dan dikumpulkan secara sistematis. Bahan-bahan tersebut
diperoleh dari alam yang memiliki makna filosofis dan sosiologis. Setiap
prosedur pelaksanaan memiliki makna yang tersirat. Lebih jelas mengenai
tahapan pelaksanaan diuraikan sebagai berikut:
Persiapan pra-tradisi
Pra pelaksanaan, pelaksana tradisi Peraq Api melakukan persiapan-
persiapan. Persiapan dilakukan melalui persiapan bahan-bahan yang diperlukan
untuk melaksanakan tradisi. Persiapan-persiapan ini dengan terlebih dahulu
berkonsultasi dengan belian selaku pendamping persalinan. Pada kesempatan
ini belian membuat daftar kebutuhan selama melaksanakan tradisi yang
kemudian menjelaskan hal-hal yang harus dipersiapkan. Pada intinya, tidak
boleh ada satupun yang didaftar belian tidak dihadirkan. Manakala tidak dapat
diwujudkan, maka sedini mungkin menyampaikan ke belian agar dapat diganti.
Belian memiliki peran vital terhadap peristiwa penamaan anak. Peran
ini dimulai semenjak anak mulai mengalami peristiwa ngidam sampai hamil
besar kemudian melahirkan. Peran belian tidak bisa dilepaskan. Bahkan
hubungan antara orang tua, anak dan belian tidak belum dilepaskan manakala
55
belum melaksanakan tradisi31. Belian menggeser peran Bidan di Puskesmas
yang memantau selama kehamilan.
Beberapa bahan yang perlu dipersiapkan sebelum melaksanakan tradisi
Peraq Api diantaranya adalah Beras Ketan, logam, bunga, daun Bikan, kelapa,
gula merah, Sarung, dan beberapa persyaratan ritual lainnya. Bahan-bahan
tersebut kemudian oleh belian di mantra dan dicampur untuk kemudian diolah
dalam satu ramuan. Proses peramuan bahan hanya boleh dilakukan oleh belian
itu sendiri.
Pengolahan Bahan.
Pengolahan bahan dilakukan setelah semuanya lengkap. Pengolahan
bahan dibedakan atas pemanfaatannya. Pemanfaatan sebagai bahan makanan
dan sebagai bagian dari tahapan rangkaian pelaksanaan berikutnya. Sebagai
bahan makanan, diawali dari pembersihan beras ketan, kemudian ditiriskan
sampai airnya mengering. Selanjutnya adalah melakukan penggorengan sampai
berwarna kecoklatan. Setelah itu, beras gorengan tersebut kemudian rendam
pada air panas sehingga beras gorengan tersebut mengembang.
Langkah berikutnya adalah membuat parutan kelapa dan gula. Parutan
ini berfungsi untuk meningkatkan aroma dan rasa santan dan manis pada beras
ketan goreng tersebut. Ketan dan kelapa gula tadi dicampur dan siap
dihidangkan. Proses penghidangan dipandu oleh Belian. Dalam menjalankan
tugasnya, belian membuat takaran-takaran yang sesuai untuk dibagi-bagikan
kepada masyarakat. Istilah ini dikenal dengan Montong siong.
Pelaksanaan ritual
Pelaksanaan ritual tradisi Peraq Api dilaksanakan dalam tiga tahapan.
Pertama adalah memandikan anak. Proses ini diawali dari persiapan anak
untuk dimandikan. Anak dimandikan bersama bahan yang sudah diramu oleh
31 Wawancara dengan CE, Seorang Belian Nganak di Desa Batujai. Dilaksanakan tanggal 29/07/2018. Jam 08.10 WITA.
56
belian dan dimandikan oleh belian sendiri. Kedua adalah pengasapan dilakukan
dengan mempersiapkan sabut kelapa. Sabut ini disusun bertingkat kemudian
dibakar. Setelah asap mulai mengepul, belian lalu meletakkan anak di atas
keleong, kemudian digoyangkan di atas asap. Sekilas ini sangat mengganggu
perasaan orang tua bayi, kekhawatirannya sewaktu-waktu anak akan
mengalami kelainan pernapasan karena menghirup asap yang kotor atau
bahkan anak terjatuh saat ketika di atas keliong tersebut. Ketiga, membuang air
bekas mandi bayi di atas keliong. Sesi ini, masyarakat berdiri disamping
keliong, lalu menengadahkan tangan seraya menampung air dan
mengusapkannya pada wajah.
Beberapa makna dari setiap sesi proses ritual adalah sebagai berikut:
pertama, memandikan anak bertujuan untuk membersihkan anak dari kotoran-
kotoran secara fisik dan non fisik. Secara fisik terdiri atas kotoran yang
melekat ditubuhnya, sedangkan non fisik dari bawaan gaib ketika
dilahirkannya. Masyarakat meyakini bahwa setiap anak disenangi oleh mahluk
gaib itulah yang ditandai dengan anak sering menangis. Sehingga untuk
membatasi rasa suka mahluk tersebut membutuhkan ritual pemandian anak.
Tahapan kedua dan ketiga yaitu pengasapan dan meletakkan anak di
atas keliong adalah dua langkah yang satu. Tahapan ini dimaksudkan agar anak
dikemudian hari tidak akan pernah takut terhadap setiap persoalan yang
dihadapi. Apapun masalahnya dia akan tetap tegar menjalaninya. Keyakinan
lain adalah jika sewaktu-waktu dikemudian hari anak berjumpa dengan gempa
bumi, maka anak tidak akan takut, karena pada peristiwa ini pernah dialami
pada saat melaksanakan ritual.
Tahapan terakhir adalah pemberian nama. Pemberian nama ini
dilakukan dengan menyiapkan lebih dari satu nama yang tertulis dalam suatu
lipatana kertas sejumlah nama yang ditulis oleh orang tuanya. Kertas tersebut
kemudian digenggamkan kepada anak, kertas yang paling kuat digenggamkan
anak dianggap menjadi nama yang paling disukai anak. Namun pengakuan dari
57
beberapa informan bahwa “membuat nama itu sulit, suka pada satu nama itu
sulit, karena saya suka sama satu nama akhirnya saya tulis saja satu nama
dalam banyak lipatan kertas tadi sehingga manapun yang digengganm erat si
anak ya tetap nama tersebut adalah nama yang saya harapkan”32.
Makna yang diambil dari perilaku salah satu informan di atas adalah
kesempurnaan ritual tidak selalu diikuti sesuai kehendak belian. Hal ini lebih
karena belian sendiri tidak bisa membaca, dan nama-nama tersebut tidak boleh
dibuka. Nama tersebut kemudian menjadi nama panggilan bagi si anak selama
melaksanakan tugas keduniaan dan keakhiratan di muka bumi.
Nama adalah pakaian yang paling berharga dalam setiap kehidupan
manusia. Nama adalah doa, setiap yang menyebutkannya adalah merajut
simpati tuhan yang maha esa. Nama bukanlah permainan untuk dipilih dan
memilih, maka memilih nama bukan karena langka tetapi memiliki arti makna
yang tidak biasa. Melengkapi pemberian nama di atas, sebelum menulis
beberapa nama, sebelumnya orang tua melakukan diskusi untuk mendaftarkan
nama yang paling disukai.
D. Tradisi Peraq Api Dalam Terminologi Islam.
Agama identik dengan ketaatan dan penaklukan, dominasi dan paksaan,
penghargaan dan hukuman, harga diri dan kebanggaan, kebencian dan amal,
solidaritas dan kerendahan hati, Islam dan monoteisme, kebiasaan dan metode
kepemimpinan dan ketaatan33. Agama adalah berkaitan dengan kepercayaan
(belief) dan upacara (ritual) yang dimiliki bersama oleh suatu kelompok
masyarakat. Agama berkaitan dengan ‘transcends experience’ kata sosiologist
32 Wawancara Dengan SB Pada Tanggal 15 Juni 2018 jam 10.10 WITA. 33
Reza Ali Karami, The Relationship between Religion and Culture with an Emphasis on Juristditional Effects, Applied mathematics in Engineering, Management and Technology 2 (3) 2014:493-505, h. 493.
58
Itali, Vilfredo Pareto, yaitu pengalaman dengan ‘Yang di atas’, atau sesuatu
yang berada di luar, sesuatu yang tidak terjamah (an intangible beyond)34.
Mukti Ali pernah menyatakan: “Barangkali tidak ada kata yang paling
sulit diberi pengertian dan definisi selain dari kata agama. Ada tiga alasan
untuk hal itu. Pertama, karena pengalaman agama merupakan soal bathini yang
subjektif dan sangat individualis. Kedua, karena pembahasan agama selalu
melibatkan emosi yang kuat sekali. Ketiga, konsepsi seseorang tentang agama
selalu dipengaruhi oleh tujuan orang itu memberikan arti terhadap agama itu.
Orang yang suka pergi ke tempat ibadah cenderung untuk menganggap bahwa
agama adalah identik dengan pergi ke mesjid, gereja, candi dan sebagainya;
sedang ahli antropologi yang mempelajari agama cenderung untuk
menganggap agama sebagai kegiatan dan adat kebiasaan yang bisa diamati”35.
Kata Islam secara etimologis berasal dari kata “salima” yang berarti
selamat36. Secara epistemologi, Islam Islam adalah agama wahyu berintikan
tauhid atau keesaan Tuhan yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi
Muhammad Saw sebagai utusan-Nya yang terakhir dan berlaku bagi seluruh
manusia, di mana pun dan kapan pun, yang ajarannya meliputi seluruh aspek
kehidupan manusia.
Sayyid Quthb mengartikan Islam diartikan sebagai
ketundukan/kepatuhan, taat dan mengikuti, yakni tunduk patuh kepada perintah
Allah, taat kepada syari’at-Nya serta mengikut kepada rasul beserta
manhajnya. Barang siapa tidak patuh, taat dan berittiba’ maka ia bukanlah
34
Amri Marzali, Agama dan Kebudayaan, UMBARA: Indonesian Journal of Anthropology, Volume 1 (1) Juli 2016 eISSN 2528-1569 pISSN 2528-2115, h. 59
35 H.A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta: Penerbit Rajawali
Pers, 1987), hal. 173. Lihat juga Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama, (Surabaya: Penerbit PT. Bina Ilmu, 1985), hal. 118.
36 Misbahuddin Jamal, Konsep Al-Islam Dalam Al-Qur’an, Jurnal Al- Ulum Volume.
11, Nomor 2, Desember 2011 Hal. 283-310, h. 285
seorang muslim. Oleh karenanya ia bukanlah penganut dari agama yang
diridhai oleh Allah padahal Allah tidak meridhai kecuali Islam
Firman Allah
dalam surat Al-Maidah ayat
Artinya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat
bagimu."
Ayat di atas juga dipertegas:
Artinya: “
Islam. Tiada berselisih orang
datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara
mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat
Allah sangat cepat hisab
Ayat di atas menjelaskan tentang keutamaan Islam. Islam agama yang
sempurna. Semua aktivitas kehidupan manusia diaturnya, termasuk bagaimana
37
535
59
seorang muslim. Oleh karenanya ia bukanlah penganut dari agama yang
diridhai oleh Allah padahal Allah tidak meridhai kecuali Islam37
Firman Allah yang meneguhkan tentang kesempurnaan Islam tertuang
Maidah ayat 3 dibawah ini
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
Ayat di atas juga dipertegas:
Artinya: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah
Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecual
datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara
mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya
Allah sangat cepat hisab-Nya”.
Ayat di atas menjelaskan tentang keutamaan Islam. Islam agama yang
empurna. Semua aktivitas kehidupan manusia diaturnya, termasuk bagaimana
seorang muslim. Oleh karenanya ia bukanlah penganut dari agama yang
37”
yang meneguhkan tentang kesempurnaan Islam tertuang
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
ridhai Islam itu jadi agama
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah
orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah
datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara
ayat Allah maka sesungguhnya
Ayat di atas menjelaskan tentang keutamaan Islam. Islam agama yang
empurna. Semua aktivitas kehidupan manusia diaturnya, termasuk bagaimana
60
manusia mengembangkan interaksi kehidupannya dan mengembangkan
kebudayaannya.
Kebudayaan adalah manifestasi dari cara berpikir38. Menurut
koentjoroningrat, kebudayaan adalah keseluruhan dari kelakuan dan hasil
kelakuan manusia yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatnya
dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat39.
Setiap masyarakat manusia selama hidup pasti mengalami perubahan-
perubahan. Manusia yang tidak mampu menelaah situasi sosial masyarakat
terutama di desa pasti akan berpikir bahwa struktur masyarakatnya statis,
walaupun tidak ada masyarakat yang berhenti pada suatu titik tertentu
sepanjang masa40. Ini artinya bahwa dinamika sosial masyarakat selalu
mengalami perubahan.
Meneropong kebudayaan Islam menurut sidi Gazalba dituangkan dalam
cara berpikir dan cara merasa takwa yang menyatakan diri dalam seluruh segi
kehidupan sekumpulan manusia yang membentuk masyarakat atau dapat
disarikan sebagai “cara hidup yang bertakwa”41. Ini menandakan bahwa cara
berpikir ini adalah cara dimana tidak melanggar norma-norma agama, baik
dalam realitas kontekstasi budaya.
Peraq Api adalah tradisi masyarakat yang dilaksanakan di tengah
mayoritas beragama Islam. Tradisi ini sudah dilaksanakan berpuluh-puluh
tahun, tidak jelas timingnya kapan ini dilaksanakan, yang jelas adalah
ketidaktahuan masyarakat menginformasikan bahwa tradisi ini berjalan begitu
lama dan melekat pada setiap aktivitas kelahiran anak manusia.
38 Sidi Gazalba, Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu, Jilid I, (Jakarta: Pustaka
Antara, 1968), h. 34 39 Koentjoroningrat, Kebudayaan, Mentalitet Dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia,
1974), h. 15. 40 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo
Persada, 2001), h. 333. 41 Muhaimin, Abdul Mujib & Jusuf Muzakkir, Studi Islam Dalam Ragam Dimensi dan
Pendekatan, (Jakarta, Kencana, 2014), h. 338
61
Sebagai produk budaya buatan manusia, tentu tradisi ini berangkat dari
asumsi-asumsi yang tereksperimentasi dan menghasilkan kesepakatan-
kesepakatan atau semacam produk eksprerimentasi. Dengan demikian menjadi
kebiasaan yang selalu mengalami repetasi-repetasi interpretatif, yang kemudian
menjadi kepercayaan-kepercayaan, terlepas dari kontekstasi relatif antara
agama dan budaya.
Pandangan-pandangan tersebut tidak terlepas dari perubahan
keagamaan masyarakat. Kesepakatan sosiologis mungkin saja mengandung
nilai keagamaan yang tidak mungkin keliru42. Kaitannya dengan pelaksanaan
tradisi peraq api, terjadi perubahan perilaku kultural beragama masyarakat.
Masyarakat tidak lagi mendikotomikan budaya dan agama. Agama bagian dari
interaksi simbolik antara manusia dengan tuhannya, sedangkan kebudayaan
sebagai ijtihad bersama antar kelompok masyarakat untuk meyepakati
kesepakatan bersama.
Selama ini banyak anggapan bahwa tradisi Peraq Api sebagai produk
kebudayaan sudah tidak relevan lagi. Masyarakat sudah tidak membutuhkan
upaya kembali ke zaman dahulu, mengeleminasi produk kebudayaan yang
sudah tidak mendatangkan manfaat dan inkonsisten dengan perkembangan
masa kini. Namun kenyataannya, tradisi tersebut masih berkembang dan
berjalan ditengah masyarakat. Hal ini senada dengan teori diferensiasi kultural
yang menganggap bahwa diantara dan dikalangan kultural tidak terpengaruh
oleh globalisasi atau proses transkultura, multikultural, atau bikultural lainnya.
Ini artinya kultur intinya tidak terpengaruh sama sekali, mereka tetap sama
seperti sebelumnya43.
Oleh karena itu, perilaku kita sebagai sebuah kelompok atau individu
untuk mempertahankan regulasi sosial yang ada. Menurut psikologi sosial, kita
42 George Ritzer, Teori sosiologi Modern, diterjemahkan oleh Triwibowo, B. S.
(Jakarta: Kencana, 2014), h. 9. 43 George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, diterjemahkan oleh Triwibowo, B. S.
(Jakarta: Kencana, 2014), h. 542
62
tidak membangun perilaku kelompok dilihat dari sudut perilaku masing-masing
individu yang membentuknya; kita bertolak dari keseluruhan sosial dari
aktivitas kelompok tertentu dimana kita menganalisis perilaku masing-masing
individu yang membentuknya yakni kita lebih berupaya untuk menerangkan
perilaku kelompok sosial ketimbang menerangkan perilaku terorganisasi
kelompok sosial dilihat dari sudat perilaku masing-masing individu yang
membentuknya44. Pendapat Mead di atas menggambarkan tentang pentingnya
membina entitas individu sebagai entitas kelompok. Karena inilah yang
menyebabkan perlu adanya penyatuan pola pikir manusia.
Pikiran menurut Mead sebagai proses percakapan seseorang dengan
dirinya sendiri, tidak ditemukan dalam diri individu; pikiran adalah fenomena
sosial. Pikiran muncul dan berkembang dalam proses sosial dan merupakan
bagian integral dari proses sosial45. Oleh karena itu, pikiran menentukan
perilaku sosial. Dan masyarakat penting perannya dalam membentuk pikiran
dan diri46.
Agama dan kehidupan beragama merupakan unsur yang tidak
terpisahkan dari kehidupan sistem budaya umat manusia. Sejak awal
kebudayaan manusia, agama dan kehidupan bergama telah menggejala dalam
kehidupan, bahkan memberikan corak dalam bentuk dari semua perilaku
budayanya47. Peraq Api sebuah produk budaya, bukan produk agama. Sebagai
produk agama tidak bertentangan karena masyarakat percaya pada tuhan yang
maha esa bukan kepada tradisi. Tradisi hanya memfasilitasi, yang secara
substantif adalah selain melestarikan kebudayaan juga sebagai cara untuk
bersedekah.
Menurut CE selaku belian, beliau memaparkan bahwa keyakinan
sepenuhnya pada ketentuan tuhan yang maha esa. Walaupun fasilitator tradisi,
44 Ibid, h. 256. 45 Ibid., h. 265. 46 Ibid., h. 271 47 Muhaimin, Abdul Mujib & Jusuf Muzakkir, Studi,,,,,, h. 25
sejatinya saya tidak meyakininya, namun mempercayainya. Karena
mempercayainya tidak sama dengan meyakininya. Jadi Peraq Api bukanlah
perilaku syirik, melainkan upaya melestarikan kebudayaan, kalaupun ada hal
hal yang sepertinya berbau
Religiusitas pluralistik dalam hal ini perlu dikuatkan
khusus agama agar tidak terlihat ekslusif terhadap kondisi masyarakat
kontemporer yang plural.
Tentang hal ini sebagaimana firman Allah SWT.
Artinya: “…Sesungguhnya Barangsiapa Mempersekutukan (Sesuatu Dgn)
Allah, Maka Sungguh,
Ialah Neraka…Tidaklah Ada Bagi Orang
Penolongpun (Al-Maidah: 72)
Berdasarkan surat tersebut, betapa menakutkannya siksa Allah jika
hambanya menduakannya. Inilah yang menyebabkan mengapa dalam
pelaksanaannya tidak dianggap sebagai perbuatan syirik, karena pelaksana
sendiri tidak meyakininya
bahwa kami memulai tahapan
Tidak ada unsur paksaan untuk menggunakan bacaan tertentu yang
mengandung muatan magis dan lain sebagainya.
bagian dari melestarikan budaya warisan dengan tidak melepaskan ritual
ibadah yang diwariskan tuhan yang maha esa
kelahiran menjadi bagian dari interaksi manusia dengan alam
Bentuk interaksinya adalah tergantung pada hubungannya sebagai individu
48
Wawancara Dengan CE Yang Dilaksanakan Tanggal 30/07/2018 jam 23.33 WITA.49
Wawancara dengan NHS yang dilaksanakan tanggal 12 Juni 2018 jam 10.00 WIB50
Wawancara Dengan IL Yang Dilaksanakan Tanggal 30/07/2018 jam 23.33 WITA.
63
sejatinya saya tidak meyakininya, namun mempercayainya. Karena
mempercayainya tidak sama dengan meyakininya. Jadi Peraq Api bukanlah
perilaku syirik, melainkan upaya melestarikan kebudayaan, kalaupun ada hal
hal yang sepertinya berbau syirik namun sejatinya tidak demikian
Religiusitas pluralistik dalam hal ini perlu dikuatkan melalui dialog spektrum
khusus agama agar tidak terlihat ekslusif terhadap kondisi masyarakat
kontemporer yang plural.
Tentang hal ini sebagaimana firman Allah SWT.
“…Sesungguhnya Barangsiapa Mempersekutukan (Sesuatu Dgn)
Allah, Maka Sungguh, Allah Mengharamkan Surga Baginya, Dan Tempatnya
Neraka…Tidaklah Ada Bagi Orang-Orang Zalim Itu Seorang
Maidah: 72).
Berdasarkan surat tersebut, betapa menakutkannya siksa Allah jika
hambanya menduakannya. Inilah yang menyebabkan mengapa dalam
pelaksanaannya tidak dianggap sebagai perbuatan syirik, karena pelaksana
sendiri tidak meyakininya49. Mengapa ada unsur ritual, dalam penjelasannya
bahwa kami memulai tahapan-tahapan ritual dengan melafazkan basmalah.
Tidak ada unsur paksaan untuk menggunakan bacaan tertentu yang
engandung muatan magis dan lain sebagainya. Diakui bahwa ini adalah
bagian dari melestarikan budaya warisan dengan tidak melepaskan ritual
ibadah yang diwariskan tuhan yang maha esa50. Peraq api
kelahiran menjadi bagian dari interaksi manusia dengan alam
Bentuk interaksinya adalah tergantung pada hubungannya sebagai individu
Wawancara Dengan CE Yang Dilaksanakan Tanggal 30/07/2018 jam 23.33 WITA.Wawancara dengan NHS yang dilaksanakan tanggal 12 Juni 2018 jam 10.00 WIBWawancara Dengan IL Yang Dilaksanakan Tanggal 30/07/2018 jam 23.33
sejatinya saya tidak meyakininya, namun mempercayainya. Karena
mempercayainya tidak sama dengan meyakininya. Jadi Peraq Api bukanlah
perilaku syirik, melainkan upaya melestarikan kebudayaan, kalaupun ada hal-
syirik namun sejatinya tidak demikian48.
melalui dialog spektrum
khusus agama agar tidak terlihat ekslusif terhadap kondisi masyarakat
“…Sesungguhnya Barangsiapa Mempersekutukan (Sesuatu Dgn)
Allah Mengharamkan Surga Baginya, Dan Tempatnya
Orang Zalim Itu Seorang
Berdasarkan surat tersebut, betapa menakutkannya siksa Allah jika
hambanya menduakannya. Inilah yang menyebabkan mengapa dalam
pelaksanaannya tidak dianggap sebagai perbuatan syirik, karena pelaksana
Mengapa ada unsur ritual, dalam penjelasannya
tahapan ritual dengan melafazkan basmalah.
Tidak ada unsur paksaan untuk menggunakan bacaan tertentu yang
Diakui bahwa ini adalah
bagian dari melestarikan budaya warisan dengan tidak melepaskan ritual
Peraq api sebagai ritual
kelahiran menjadi bagian dari interaksi manusia dengan alam dan tuhan.
Bentuk interaksinya adalah tergantung pada hubungannya sebagai individu
Wawancara Dengan CE Yang Dilaksanakan Tanggal 30/07/2018 jam 23.33 WITA. Wawancara dengan NHS yang dilaksanakan tanggal 12 Juni 2018 jam 10.00 WIB
Wawancara Dengan IL Yang Dilaksanakan Tanggal 30/07/2018 jam 23.33
64
kepada pencipta semesta yang dapat menjadi opini atau preferensi bagi
masyarakat lainnya. Dalam hal ini budaya dilihat sebagai primitif atau
mengalami perkembangan yang menyoroti beberapa cara individu melihat
hubungannya dengan alam semesta51.
Agama dan budaya selalu berada dalam hubungan yang erat. Keduanya
mengandung estika dan estetika. Studi tentang agama diperlukan budaya.
Agama dan budaya menyebabkan agama sebagai penjaga budaya52. Tradisi
peraq api secara umum tidak terpengaruh terhadap ketentuan agama. Agama
menjelaskan posisi budaya, dan budaya mempererat agama. Penjelasan ini
senada dengan pandangan SB yang mengatakan bahwa tidak bermasalah jika
budaya bersinggungan dengan agama, agama adalah ritualitas kehidupan
manusia yang membingkai seluruh aktivitas kehidupan manusia, sedangkan
budaya mempersatukan masyarakat dalam satu bingkai kehidupan bersama.
Kebaudayaan yang dilaksanakan menurut kami tidak memiliki persoalan
terhadap kaidah syariah karena tidak pernah dipikirkan tentang menduakan
ketentuan sang khaliq.
Senada dengan pendapat di atas, CE berpandangan bahwa peraq api
tidak memiliki unsur magis seperti melibatkan unsur gaib. Hal ini dibuktikan
dengan tidak membakar kemenyan yang notabene ritual utama fasilitator
dengan alam gaib. Jadi pelaksanaan ritual ini adalah murni meneruskan
kelestarian budaya yang menjadi turun temurun.
Pelaksanaan Peraq Api adalah kebutuhan ritual dan spiritual yang
berhubungan erat dengan nilai-nilai agama. Nilai-nilai tersebut melekat dalam
sejarah agama pembangunan di dunia menjadi bagian dari perkembangan
51 Bronislaw Malinowski dalam Ben-Oni Ardelean Te Ethics of the
Relationship between, KAIROS - Evangelical Journal of Teology. Vol. VI. No. 2 (2012), pp. 163-174.
52 Jaco Beyers, Religion and culture: Revisitng a close relatve, HTS Teologiese
Studies/Theological Studies, ISSN: (Online) 2072-8050, (Print) 0259-9422
65
sosial manusia modern, memiliki minat pada informasi keagamaan yang
menyangkut perbaikan ahlaq.
Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa
pelaksanaan tradisi peraq api tidak sama sekali bertentangan dengan ketentuan
syariat Agama Islam.
66
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. pelaksanaan tradisi peraq api merupakan kepercayaan yang melalui
eksperimentasi sosial masyarakat (trial and error) yang dilakukan secara
berulang-ulang yang menimbulkan pengalaman dan membuat simbol-
simbol terhadap pengalaman tersebut. Simbol-simbol tersebut kemudian
direfresesntasikan dalam bahan-bahan yang diyakini memiliki kekuatan
magis yang manakala tidak diwujudkan akan menimbulkan hal-hal yang
tidak diharapkan. Kepercayaan tersebutu diwariskan dan dilestarikan oleh
generasi secara berkelanjutan.
2. Setiap masyarakat memiliki keyakinan yang beragam, bergantung pada
tingkat pendidikan. Dampak sosiologis bagi masyarakat yang tidak
melaksanakan tradisi adalah sanksi sosial. Secara hukum formal memang
tidak ada, namun secara sosial masyarakat akan dikucilkan. Lebih-lebih
jika apa yang tidak diharapkan terjadi.
3. Pelaksanaan tradisi peraq api di laksanakan dengan tahapan berikut: (1)
Persiapan pra-tradisi; (2) pengolahan bahan; dan (3) pelaksanaan ritual.
4. Peraq api adalah produk budaya manusia yang dalam implementasinya
sama sekali tidak meyakini bahwa tradisi tersebut mengecualikan
ketentuan dan ketetapan ilahi. Kekuatan Allah adalah yang pertama dan
utama. Hal ini menandakan bahwa sama sekali tidak terdapat
penyimpangan beragama masyarakat.
B. Implikasi Teoretis
Penelitian ini memberikan tafsir kultural secara sosiologis dan teologis.
Secara teoretis, penelitian ini menambah khasanah pengetahuan dari
fenomena-fenomena ambiguitas yang selama ini dibicarakan, disangsikan oleh
sebagian besar masyarakat di pedesaan yang cendrung mendalami ilmu agama
yang baik. Dalam kenyataannya temuan dilapangan bahwa ritual semacam ini
67
adalah kebiasaan kultural yang dijalani oleh semua insan kehidupan khususnya
masyarakat sasak.
C. Saran
1. Kajian ini akan lebih kuat jika dipotret dalam berbagai nperspektif.
2. Terdapat beragam kekurangan dalam hal pengumpulan data karena
keterbatasan informan yang expert dibidang kebudayaan terutama tradisi
ini.
68
DAFTAR PUSTAKA
Amri Marzali, Agama dan Kebudayaan, UMBARA: Indonesian Journal of Anthropology,
Volume 1 (1) Juli 2016 eISSN 2528-1569 pISSN 2528-2115, h. 59 A Forum Preserving Culture And Heritage, Mimar Sinan University of Fine Arts
Preserving Culture and Heritage Through Generations, Istanbul, Turki, 11-14 Mei 2014.
Mantra, Bunga Rampai Adat Istiadat IV, (Jakarta: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, 1977).
Bronislaw Malinowski dalam Ben-Oni Ardelean Te Ethics of the Relationship between, KAIROS - Evangelical Journal of Teology. Vol. VI. No. 2 (2012), pp. 163-174.
Davison, G. dan C Mc Conville. A Heritage Handbook. St. Leonard,( NSW: Allen & Unwin, 1991), h. 2
Erni Budiwanti, Islam Sasak WetuTelu Versus Waktu Lima,LKIS, Yogyakarta, 2000.
Gunawan, Restu, Indonesia Dalam Arus Sejarah, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoe, 2010).
George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, diterjemahkan oleh Triwibowo, B. S. (Jakarta: Kencana, 2014), h. 542
Hasan Hanafi, Oposisi Pasca Tradisi, (Yogyakarta: Sarikat, 2003). H.A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta: Penerbit Rajawali
Pers, 1987), hal. 173. Lihat juga Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama, (Surabaya: Penerbit PT. Bina Ilmu, 1985).
Jaco Beyers, Religion and culture: Revisitng a close relatve, HTS Teologiese Studies/Theological Studies, ISSN: (Online) 2072-8050, (Print) 0259-9422
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, ( Jakarta: Aksara Baru, 1985). Roibin, Dialektika Agama Dan Budaya Dalam Tradisi Selamatan Pernikahan
Adat Jawa Di Ngajum, Malang, el Harakah Vol.15 No.1 Tahun 2013. Katimin, Hubungan Agama dan Budaya dalam Islam,
https://a410080100.files.wordpress.com/2012/01/budaya-dalam-agama-islam.pdf, diakses tanggal 28/09/2017 jam 14.00 WITA.
Koentjoroningrat, Kebudayaan, Mentalitet Dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1974), h. 15.
Muhaimin AG, Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret Dari Cerebon, Terj.Suganda(Ciputat: PT. Logos wacana ilmu, 2001).
Misbahuddin Jamal, Konsep Al-Islam Dalam Al-Qur’an, Jurnal Al- Ulum Volume. 11, Nomor 2, Desember 2011 Hal. 283-310.
Muhaimin, Abdul Mujib & Jusuf Muzakkir, Studi Islam Dalam Ragam Dimensi dan Pendekatan, (Jakarta, Kencana, 2014).
Norman K. Denzin&Yvonna S. Lincoln, handbook of qualitative Research, (diterjemahkan oleh; Dariyatno, dik), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000).
Roy F. Baumeister And Mark Muraven, Identity As Adaptation To Social, Cultural, And Historical Context, Journal of Adolescence 1996, 19, 405–416.
Reza Ali Karami, The Relationship between Religion and Culture with an Emphasis on Juristditional Effects, Applied mathematics in Engineering, Management and Technology 2 (3) 2014:493-505.
69
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada, 2001).
Sidi Gazalba, Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu, Jilid I, (Jakarta: Pustaka Antara, 1968).
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006).
Salam, solichin. Lombok Pulau Perawan: Sejarah Dan Masa Depannya. Taylor, S. E. and Brown, J. D. (1988). Illusion and well-being: A social psychological
perspective on mental health. Psychological Bulletin, 103, 193–210. Tim peneliti Depdikbud dalam Haq, Perkawinan Adat Merariq Dan Tradisi
Selabar di Masyarakat Suku Sasak, PERSPEKTIF, Volume XXI No. 3 Tahun 2016 Edisi September.
John W. Creswell, Research Design. Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).
Bogdan dan Biklen, Qualitatif Research for Education an Introduction the Theory and Methode, (London : Tanpa penerbit, 1982).
Lubis, Muhammad Safrinal. 2007. Upacara Dalam: Jagat Upacara (Cetakan Pertama, Oktober 2007). Yogyakarta: EKSPRESI Universitas Negeri Yogyakarta.
Melalatoa, Junus M. ed. Sistem Budaya Indonesia, (Jakarta: Kerjasama FISIP Universitas Indonesia dengan PT. Pamator, 1997).
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006).
Warto, Membangun Kesadaran Sejarah Masa Muda, Disampaikan Dalam Acara Diskusi Sejarah Dengan Tema “Internalisasi Nilai-Nilai Sejarah Sebagai Upaya Meningkatkan Rasa Nasionalisme Dan Sadar Sejarah Kepada Generasi Muda”, pada Rabu 20 September 2017 di FIS UNY Yogyakarta. Diakses Tanggal 30/07/2018 jam 13.18 WITA.
top related