laporan penelitian distribusi penderita otitis media efusi
Post on 01-Oct-2021
4 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
Laporan Penelitian
DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI PADA SISWA
SEKOLAH DASAR DI KABUPATEN KARANGASEM
Oleh :
Richard P. Simbolon
PPDS I Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Otitis media efusi (OME) adalah peradangan telinga tengah yang ditandai
dengan adanya cairan di rongga telinga tengah dengan membran timpani intak tanpa
disertai dengan tanda-tanda infeksi akut. OME termasuk dalam golongan otitis
media non supuratif. Terdapat banyak sinonim dari OME ini. Tetapi yang paling
banyak diterima berdasarkan terminologi adalah otitis media efusi.1
Adanya cairan didalam telinga tengah mengakibatkan terjadinya gangguan
pendengaran. Orang tua mengeluhkan anak-anaknya mendengarkan suara televisi
dengan volume terlalu keras, sering menanyakan ulang atas jawaban yang diberikan
orang tuanya dan tidak segera mengacuhkan bila di panggil. Beberapa anak
mungkin tidak didapatkan keluhan. Cairan dalam telinga tengah pada anak-anak
bisa berbulan-bulan dan baru diketahui ketika diadakan pemeriksaan rutin.2
Anak-anak memerlukan kemampuan mendengar untuk belajar berbicara.
Adanya gangguan pendengaran karena cairan di telinga tengah mengakibatkan
terjadinya kelambatan bicara. Diagnosis dan penatalaksanaan dini dapat mencegah
hambatan pendengaran anak akibat OME.1,2
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai distribusi penderita OME pada anak, yaitu siswa sekolah dasar
yang dilakukan pada SD di Kabupaten Karangasem, khususnya yang terletak di
daerah perkotaan dan pedesaan.
2
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten
Karangasem?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten
Karangasem.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten
Karangasem berdasarkan jenis kelamin.
b. Mengetahui distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten
Karangasem berdasarkan umur.
c. Mengetahui distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten
Karangasem berdasarkan status ekonomi.
d. Mengetahui distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten
Karangasem berdasarkan riwayat mendapatkan ASI.
e. Mengetahui distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten
Karangasem berdasarkan adanya ISPA.
f. Mengetahui distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten
Karangasem berdasarkan adanya hipertropi adenoid.
g. Mengetahui distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten
Karangasem berdasarkan status gizi.
h. Mengetahui distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten
Karangasem berdasarkan paparan asap rokok.
i. Mengetahui distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten
Karangasem berdasarkan gangguan pendengaran.
3
1.4. Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi mengenai distribusi penderita OME pada Siswa SD di
Kabupaten Karangasem.
2. Memberikan informasi tambahan sebagai bahan acuan untuk penelitian
selanjutnya mengenai penderita OME pada anak.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi
Telinga dibagi menjadi 3 bagian, yaitu telinga luar, tengah dan dalam.
Telinga tengah terdiri dari membran timpani, otot tensor timpani, otot stapedius dan
3 tulang kecil yaitu maleus, inkus dan stapes.3 Membran timpani berbentuk oval
dan merupakan selaput tipis pada ujung liang telinga. Bagian atas membran timpani
disebut pars flaksida dan bagian bawah dari membran timpani disebut pars tensa.
Membran timpani dibagi menjadi 4 kuadran, yaitu bagian anterosuperior,
posterosuperior, anteroinferior dan posteroinferior.3,4
Kavum timpani merupakan rongga yang disebelah lateral dibatasi oleh
membran timpani, sebelah medial oleh promontorium, superior oleh tegmen
timpani dan inferior oleh bulbus jugularis dan n. fasialis. Kavum timpani terutama
berisi udara yang mempunyai ventilasi ke nasofaring melalui tuba Eustachius.5
Tuba Eustachius merupakan bagian dari sistem yang paling berhubungan
termasuk hidung, nasofaring, telinga tengah dan rongga mastoid.5 Tuba Eustachius
tidak hanya berupa tabung melainkan sebuah organ yang mengandung lumen
dengan mukosa, kartilago, dikelilingi jaringan lunak, muskulus peritubular seperti
veli palatine, levator veli palatini, salpingofaringeus dan tensor timpani dan di
bagian superior didukung tulang. Perbedaan tuba Eustachius pada anak dan dewasa
yang menyebabkan meningkatnya insiden otitis media pada anak-anak.5,6
Panjang tuba pada anak setengah dari panjang tuba dewasa, sehingga sekret
nasofaring lebih mudah refluks ke dalam telinga tengah melalui tuba yang pendek.
Arah tuba bervariasi pada anak, sudut antara tuba dengan bidang horizontal adalah
10o. Sedangkan pada dewasa 45o. Sudut antara tensor veli palatine dengan kartilago
bervariasi pada anak-anak tetapi relatif stabil pada dewasa. Perbedaan ini dapat
4
membantu menjelaskan pembukaan lumen tuba (kontraksi tensor veli palatini) yang
tidak efisien pada anak-anak. Masa kartilago bertambah dari bayi sampai dewasa.
Densitas elastin pada kartilago lebih sedikit pada bayi tetapi densitas kartilago lebih
besar. Ostmann fat pad lebih kecil volumenya pada bayi. Pada anak-anak banyak
lipatan mukosa di lumen tuba Eustachius, hal ini dapat menjelaskan peningkatan
compliance tuba pada anak-anak.2,3
Gambar 1. Anatomi telinga.3
2.2. Epidemiologi
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya OME yaitu umur,
jenis kelamin, ras, genetik, lingkungan dan lain-lain. OME merupakan penyakit
yang sering di derita oleh bayi dan anak-anak. Tidak ada dominasi jenis kelamin
yang menderita OME. Diagnosis OME paling sering pada anak-anak yang lebih
muda dari 15 tahun yang diperiksa di praktek dokter. Diluar negeri, khususnya di
negara yang mempunyai 4 musim penyakit ini ditemukan dengan angka insiden dan
prevalensi yang tinggi. Anak-anak dengan otitis media akut (OMA), sebanyak 30-
45% memiliki peluang menjadi OME setelah 30 hari, sedangkan 10% lainnya
menjadi OME setelah 3 bulan. Statisik menunjukkan 80-90% anak prasekolah
pernah mengalami OME. Kasus OME berulang (rekuren) pun menunjukkan
prevalensi cukup tinggi terutama pada usia prasekolah, sekitar 28-38%.4,7
5
Dari beberapa kepustakaan dapat disimpulkan rata-rata insiden OME
sebesar 14-62%, sedang peneliti lain ada yang melaporkan angka rata-rata
prevelensi OME sebesar 2-52%.7 Di Indonesia masih jarang ditemukan
kepustakaan yang melaporkan angka kejadian penyakit ini, hal ini di sebabkan
kerena belum ada penelitian yang khusus mengenai penyakit ini atau tidak
terdeteksi karena minimalnya keluhan pada anak yang menderita OME.2
2.3. Etiopatogenesis
Etiologi dan patogenesis OME bersifat multifaktorial antara lain infeksi
virus atau bakteri, gangguan fungsi tuba Eustachius, status imunologi, alergi, faktor
lingkungan dan sosial. Walaupun demikian, tekanan telinga tengah yang negatif,
abnormalitas imunologi atau kombinasi dari kedua faktor tersebut diperkirakan
menjadi faktor utama dalam patogenesis OME. Faktor penyebab lainnya termasuk
hipertropi adenoid, adenoiditis kronis, palatoskisis, tumor nasofaring, barotrauma,
terapi radiasi dan radang penyerta seperti sinusitis atau rinitis. Merokok dapat
menginduksi hiperplasi limfoid nasofaring dan hipertropi adenoid yang juga
merupakan patogenesis timbulnya OME.1,2
Gangguan fungsi tuba menyebabkan mekanisme aerasi ke rongga telinga
tengah terganggu, drainase dari rongga telinga ke rongga nasofaring terganggu dan
gangguan mekanisme proteksi rongga telinga tengah terhadap refluks dari rongga
nasofaring. Akibat gangguan tersebut rongga telinga tengah akan mengalami
tekanan negatif. Tekanan negatif di telinga tengah menyebabkan peningkatan
permaebilitas kapiler dan selanjutnya terjadi transudasi. Selain itu terjadi infiltrasi
populasi sel-sel inflamasi dan sekresi kelenjar. Akibatnya terdapat akumulasi sekret
di rongga telinga tengah. Inflamasi kronis di telinga tengah akan menyebabkan
terbentuknya jaringan granulasi, fibrosis dan destruksi tulang.5,6
Obstruksi tuba Eustachius ytang menimbulkan terjadinya tekanan negatif di
telinga tengah yang diikuti retraksi membran timpani. Orang dewasa biasanya
mengeluh adanya rasa tak nyaman, rasa penuh atau rasa tertekan dan akibatnya
timbul gangguan pendengaran ringan dan tinnitus. Anak-anak mungkin tidak
muncul gejala seperti ini. Jika keadaan ini berlangsung dalam jangka waktu lama
6
cairan akan tertarik keluar dari membran mukosa telinga tengah, menimbulkan
keadaan yang kita sebut dengan otitis media serosa. Kejadian ini sering timbul pada
anak-anak berhubungan dengan infeksi saluran nafas atas dan sejumlah gangguan
pendengaran mengikutinya.8
Infeksi bakteri merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya
OME sejak dilaporkan adanya bakteri di telinga tengah. Streptococcus Pneumonia,
Haemophilus Influenzae, Moraxella Catarrhalis dikenal sebagai bakteri pathogen
terbanyak ditemukan dalam telinga tengah.2,9 Meskipun hasil yang didapat dari
kultur lebih rendah yang diduga karena penggunaan antibiotik jangka lama sebelum
pemakaian ventilation tube akan mengurangi proliferasi bakteri patogen, sekresi
immunoglobulin dan lisosim dalam efusi telinga tengah akan menghambat
proliferasi patogen, bakteri dalam efusi telinga tengah berlaku sebagai biofilm.
Selain bakteri, infeksi virus di saluran pernafasan atas dapat menginvasi telinga
tengah dan merangsang produksi sekret.1,6
Faktor imunologis yang cukup berperan dalam OME adalah sekresi Ig A.
Imunoglobulin ini diproduksi oleh kelenjar di dalam mukosa kavum timpani.
Sekretori Ig A terutama ditemukan pada efusi mukoid dan dikenal sebagai suatu
imunoglobulin yang aktif bekerja di permukaan mukosa respiratorik. Kerjanya
yaitu menghadang kuman agar tidak kontak langsung dengan permukaan epitel,
dengan cara membentuk ikatan komplek. Kontak langsung dengan dinding sel
epitel adalah tahap pertama dari penetrasi kuman untuk infeksi jaringan. Dengan
demikian Ig A aktif mencegah infeksi kuman.9
Selain beberapa faktor yang telah dijelaskan diatas, faktor alergi juga
berperan dalam terjadinya OME meskipun masih belum jelas bagaimana
mekanismenya. Akan tetapi dari gambaran klinis dipercaya bahwa alergi
memegang peranan. Dasar pemikirannya adalah analogi embriologik, dimana
mukosa timpani berasal sama dengan mukosa hidung. Setidak-tidaknya manifestasi
alergi pada tuba Eustachius merupakan penyebab oklusi kronis dan selanjutnya
menyebabkan efusi. Namun demikian dari penelitian kadar Ig E yang menjadi
kriteria alergi atopik, baik kadarnya dalam efusi maupun dalam serum tidak
menunjang sepenuhnya alergi sebagai penyebab.10
7
Etiologi dan patogenesis otitis media oleh karena alergi mungkin
disebabkan oleh satu atau lebih dari beberapa mekanisme, antara lain mukosa
telinga tengah sebagai target organ, pembengkakan oleh karena proses inflamasi
pada mukosa tuba Eustachius, obstruksi nasofaring karena proses inflamasi dan
aspirasi bakteri nasofaring yang terdapat pada sekret alergi ke dalam ruang telinga
tengah.5,9
2.4. Gejala Klinis
Penderita OME jarang memberikan gejala sehingga pada anak-anak sering
terlambat diketahui. Gejala OME ditandai dengan rasa penuh dalam telinga,
terdengar bunyi berdengung yang hilang timbul atau terus menerus, gangguan
pendengaran dan rasa nyeri yang ringan. Vertigo juga dirasakan penderita-penderita
OME. Gejala kadang bersifat asimptomatik sehingga adanya OME diketahui oleh
orang yang dekat dengan anak misalnya orang tua atau guru.2,9
Anak-anak dengan OME juga kadang-kadang sering terlihat menarik-narik
telinga mereka atau merasa seperti telinganya tersumbat. Pada kasus yang lanjut
sering ditemukan adanya gangguan bicara dan perkembangan berbahasa. Kadang-
kadang juga ditemui keadaan kesulitan dalam berkomunikasi dan keterbelakangan
dalam pelajaran.11
2.5. Diagnosis
Dalam mendiagnosis OME diperlukan kejelian dari pemeriksa. Ini
disebabkan keluhan yang tidak khas terutama pada anak-anak. Diagnosis
ditegakkan dengan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang tepat. Dari anamnesis biasanya orang tua mengeluh adanya
gangguan pendengaran pada anaknya, guru melaporkan bahwa anak mempunyai
gangguan pendengaran, kemunduran dalam pelajaran di sekolah, bahkan dalam
gangguan wicara dan bahasa. Sering kali OME ditemukan secara tidak sengaja pada
saat skrining pemeriksaan telinga dan pendengaran di sekolah-sekolah.9,12
Pada anak-anak dengan OME dari anamnesis keluhan yang paling sering
adalah penurunan pendengaran dan kadang merasa telinga merasa penuh sampai
8
dengan merasa nyeri telinga. Dan pada anak-anak penderita OME biasanya mereka
juga sering didapati dengan riwayat batuk pilek dan nyeri tenggorokan berulang.
Pada anak-anak yang lebih besar biasanya mereka mengeluhkan kesulitan
mendengarkan pelajaran di sekolah atau harus membesarkan volume saat menonton
televisi di rumah. Orang tua juga sering mendengarkan keluhan telinga anaknya
terasa tidak nyaman atau sering melihat anaknya menarik-narik daun
telinganya.12,13
Untuk mendiagnosis OME pada pemeriksaan fisik perlu dilakukan
pemeriksaan otoskopi, timpanometri, audiometri dan kadang diperlukan tindakan
miringotomi untuk memastikan adanya cairan dalam telinga tengah. Pemeriksaan
otoskopi dilakukan untuk menilai kondisi, warna dan translusensi membran
tempani. Pada pemeriksaan otoskopi menunjuk kecurigaan adanya OME apabila
ditemukan beberapa tanda seperti tidak didapatkannya tanda-tanda radang akut,
terdapat perubahan warna membran timpani akibat refleksi dari adanya cairan
didalam kavum timpani, membran timpani tampak lebih menonjol, membran
timpani retraksi atau atelektasis, didapatkan air fluid levels atau buble atau
mobilitas membran berkurang atau fikasi. Atelektasis biasanya ditunjukkan dengan
membran timpani yang agak tipis, atropi dan mungkin menempel pada inkus, stapes
dan promontium, khususnya pada kasus-kasus yang sudah lanjut, biasanya kasus
yang seperti ini karena disfungsi tuba Eustachius dan OME yang sudah lama.
Membran timpani dengan sikatrik, suram sampai retraksi berat disertai bagian yang
atropi didapatkan pada otitis media adesiva oleh karena terjadi jaringan fibrosis di
telinga tengah sebagai akibat proses peradangan yang berlangsung lama.5,6
Pemeriksaan dengan otoskop pneumatik juga dapat dilakukan untuk
menunjang diagnosis OME. Otoskop pneumatik diperkenalkan pertama kali oleh
Siegle, bentuknya relatif tidak berubah sejak pertama diperkenalkan pada tahun
1864. Pemeriksaan otoskopi pneumatik selain bisa melihat jenis perforasi, jaringan
patologi dan untuk membran timpani yang masih utuh bisa juga dilihat gerakannya
(mobilitas) dengan jalan memberi tekanan positif maka membran timpani akan
bergerak ke medial dan bila diberi tekanan negatif maka membran timpani akan
9
bergerak ke leteral. Pemeriksaan otoskopi pneumatik merupakan standar fisik
diagnostik pada OME.1,6
Untuk mengetahui kondisi dari sistem telinga tengah dapat dilakukan
pemeriksaan dengan suatu alat timpanometer. Pengukuran ini memberikan
gambaran tentang mobilitas membran timpani, keadaan persediaan tulang
pendengaran, keadaan dalam telinga tengah termasuk tekanan udara didalamnya,
jadi berguna dalam mengetahui gangguan konduksi dan fungsi tuba Eustachius.
Grafik hasil pengukuran timpanometeri atau timpanogram dapat untuk mengetahui
gambaran kelainan di telinga tengah. Meskipun ditemukan banyak variasi bentuk
timpanogram akan tetapi pada prinsipnya hanya ada tiga tipe, yakni tipe A, tipe B
dan tipe C. Pada penderita OME gambaran timpanogram yang sering didapati
adalah tipe B. Tipe B bentuknya relatif datar, hal ini menunjukan gerakan membran
timpani terbatas karena adanya cairan atau pelekatan dalam kavum timpani. Grafik
yang sangat datar dapat terjadi akibat perforasi membran timpani, serumen yang
banyak pada liang telinga luar atau kesalahan pada alat yaitu saluran buntu.
Pemerikasaan timpanometri dapat memperkirakan adanya cairan didalam kavum
timpani yang lebih baik dibanding dengan pemeriksaan otoskopi saja.14
Gambar 2. Gendang telinga dengan gambaran OME.5
10
Dari pemeriksaan audiometrik nada murni didapatkan nilai ambang tulang
dan hantaran udara. Gangguan pendengaran lebih sering ditemukan pada pasien
OME dengan cairan yang kental (glue ear). Meskipun demikian beberapa studi
mengatakan tidak ada perbedaan yang signifikan antara cairan serous dan kental
terhadap gangguan pendengaran, sedangkan volume cairan yang ditemukan di
dalam telinga tengah adalah lebih berpengaruh. Pasien dengan OME ditemukan
gangguan pendengaran dengan tuli konduksi ringan sampai sedang sehingga tidak
begitu berpengaruh dengan kehidupan sehari-hari. Tuli bilateral persisten lebih dari
25 dB dapat mengganggu perkembangan intelektual dan kemampuan berbicara
anak. Bila hal ini dibiarkan, bisa saja ketulian akan bertambah berat yang dapat
berakibat buruk bagi pasien. Akibat buruk ini dapat berupa gangguan lokal pada
telinga maupun gangguan yang lebih umum, seperti gangguan perkembangan
bahasa dan kemunduran dalam pelajaran sekolah. Pasien dengan tuli konduksi yang
lebih berat mungkin sudah didapatkan fiksasi atau putusnya rantai osikel.15
Pemeriksaan audiometrik direkomendasikan pada pasien dengan OME
selama 3 bulan atau lebih, kelambatan berbahasa, gangguan belajar atau dicurigai
terdapat penurunan pendengaran bermakna. Berdasarkan beberapa penelitian, tuli
konduksi sering berhubungan dengan OME dan berpengaruh pada proses
mendengar kedua telinga, lokalisasi suara, persepsi bicara dalam kebisingan.
Penurunan pendengaran yang disebabkan oleh OME akan menghalangi
kemampuan awal berbahasa.15,16
Pemeriksaan radiologi foto mastoid dahulu efektif digunakan untuk skrining
OME, tetapi sekarang jarang dikerjakan. Anamnesis riwayat penyakit dan
pemeriksaan fisik banyak membantu diagnosis penyakit ini.17 CT Scan sangat
sensitif namun tidak diperlukan untuk diagnosis. Meskipun CT scan penting untuk
menyingkirkan adanya komplikasi dari otitis media seperti mastoiditis, trombosis
sinus sigmoid ataupun adanya kolesteatoma. CT scan penting khususnya pada
pasien dengan OME unilateral yang bertujuan untuk menyingkirkan kemungkinan
adanya massa di nasofaring.9,17
11
2.6. Penatalaksanaan
Diagnosis dan pengobatan sedini mungkin memegang peranan penting.
Keberhasilan dari penatalaksanaan ditentukan dengan mencari faktor penyebab dan
mengatasinya guna mencegah akibat lanjut penyakit tersebut. Sumbatan tuba dan
infeksi saluran nafas atas yang kronis serta berulang merupakan salah satu faktor
yang penting diperhatikan.18
Namun penatalaksanaan OME sendiri masih menjadi perdebatan, ini
disebabkan oleh karena baik pengobatan yang bersifat konservatif maupun tindakan
operatif, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pengobatan OME
secara konservatif ada yang belum terbukti menyembuhkan penderita dengan
OME, namun pada pokoknya dapat mengurangi morbiditas ketika terapi
konservatif dianggap gagal atau tidak memuaskan.19
Pengobatan pada OME meliputi pengobatan konservatif dan tindakan
operatif. Pengobatan konservatif secara lokal (obat tetes hidung atau semprot
hidung) dan sistemik antara lain antibiotika spektrum luas, antihistamin,
dekongestan, dengan atau tanpa kortikosteroid. Pengobatan dan kontrol terhadap
alergi dapat mengurangi atau menyembuhkan OME.19,20
Pengobatan secara operatif dilakukan pada kasus dimana setelah dilakukan
pengobatan konservatif selam lebih dari 3 bulan tidak sembuh. Untuk memberikan
hasil yang baik terhadap drainase dilakukan miringotomi dan pemasangan pipa
ventilasi. Pipa ventilasi dipasang pada daerah kuadran antero inferior atau postero
inferior. Pipa ventilasi akan dipertahankan sampai fungsi tuba ini paten.
Penatalaksanaan secara operatif meliputi mirigotomi dengan atau tanpa
pemasangan pipa ventilasi dan adenoidektomi dengan atau tanpa tonsilektomi.21,22
Tujuan pemasangan pipa ventilasi adalah menghilangkan cairan pada
telinga tengah, mengatasi gangguan pendengaran yang terjadi, mencegah
kekambuhan, mencegah gangguan perkembangan kognitif, bicara, bahasa dan
psikososial.22
12
2.7. Komplikasi
Akibat lanjut OME dapat mengakibatkan hilangnya fungsi pendengaran
sehingga akan mempengaruhi perkembangan bicara dan intelektual. Perubahan
yang terjadi pada telinga tengah dapat mengakibatkan penyakit berlanjut menjadi
atelektasis dan otitis media adesif.21,23
Atelektasis dan otitis media adesif biasanya terjadi bersamaan dengan
OME, meski OME dapat mengalami resolusi sehingga memungkinkan aerasi atik
dan mastoid, namun tidak semua pasien dengan OME kronik berkembang menjadi
atelektasis. Kerusakan yang menetap akibat OME dapat menyebabkan kehilangan
pendengaran parsial ataupun total.23
III. KERANGKA PENELITIAN
3.1. Kerangka Konsep
Faktor penjamu (host):
Umur
Jenis kelamin
Riwayat ASI
ISPA
Hipertropi adenoid
Status gizi
Faktor sosiodemografi:
Status ekonomi/pendapatan
Gangguan
Fungsi Tuba
Faktor lingkungan:
Paparan asap rokok
Efusi cairan di telinga tengah
Membran timpani intak
Otitis media efusi (OME) Gangguan
pendengaran
Kronik
13
3.2. Kerangka Kerja
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan rancangan
potong lintang (cross sectional).
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di 4 SD di Kabupaten Karangasem yaitu: SDN 2
Abang, SDN 3 Bunutan, SDN 1 Pertima dan SDN 4 Subagan. Penelitian
dilaksanakan pada tanggal 23 Juli 2016 dan 20 Agustus 2016.
4.3. Subjek dan Sampel Penelitian
4.3.1. Populasi dan sampel
Populasi penelitian adalah semua siswa/siswi SD yang terdiagnosis OME.
Sampel penelitian adalah seluruh penderita OME dari 4 SD di Kabupaten
Karangasem (dari kelas 1 sampai kelas 6) yang dilakukan pemeriksaan kesehatan
THT-KL yang datang pada saat pelaksanaan bakti sosial.
Populasi (SD)
Kuisoner
Anamnesis
Pemeriksaan THT
Sampel
Timpanometri
Audiometri
Kriteria
inklusi/eksklusi
14
4.3.2. Teknik pemilihan sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling yaitu
setiap penderita yang memenuhi kriteria inklusi penelitian dimasukkan dalam
sampel penelitian.
4.3.3. Kriteria sampel
Kriteria inklusi yaitu penderita yang didiagnosis dengan OME berdasarkan
pemeriksaan telinga dan timpanometri. Kriteria eksklusi yaitu penderita dengan
catatan kuisioner tidak lengkap yang meliputi informasi tentang semua variabel
yang diteliti.
4.4. Definisi Operasional Variabel
a. OME adalah peradangan telinga tengah yang ditandai dengan adanya cairan
efusi di rongga telinga tengah dengan membran timpani utuh tanpa disertai
dengan tanda-tanda infeksi akut.
b. Jenis kelamin adalah karakteristik baik secara biologi maupun fisiologi yang
dikategorikan sebagai laki-laki atau perempuan.
c. Umur adalah lama hidup yang dihitung dari tahun kelahiran.
d. Status ekonomi adalah miskin atau tidak miskin dimana kategori miskin jika
penghasilan orang tua Rp 1.800.000,- dan tidak miskin jika penghasilan
orang tua > Rp. 1.800.000,-, sesuai dengan standar upah minimum provinsi
Bali (Rp. 1.800.000,-).
e. Riwayat ASI adalah anak yang mendapatkan ASI eksklusif dari ibunya
selama minimal 6 bulan.
f. ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) adalah kejadian infeksi akut berupa
batuk pilek dengan onset < 2 minggu atau berulang (kronik eksaserbasi
akut), > 4 kali dalam 3 bulan atau > 6 bulan dalam 1 tahun dengan
menunjukkan tanda-tanda akut.
g. Hipertropi adenoid adalah pembesaran multiplikasi jaringan folikel adenoid
yang disebabkan oleh proses alaergi atau infeksi.
15
h. Status gizi adalah keadaan gizi yang diperiksa dengan menggunakan indeks
massa tubuh (IMT). Status gizi kurang jika IMT < 18,5; baik jika IMT 18,5-
25 ; lebih jika IMT 25,1-27 dan obese jika IMT > 27.
i. Paparan asap rokok adalah risiko timbulnya suatu penyakit pada individu
akibat menghirup asap rokok yang berasal dari lingkungan asap rokok
tembakau dapat berupa perokok pasif atau aktif.
j. Gangguan pendengaran adalah penurunan ambang dengar seseorang
berdasarkan audiometri nada murni sesuai dengan derajat ketulian yang
diderita. Pembagian derajat ketulian: 0-25 dB: normal; > 25-40 dB:
gangguan pendengaran ringan; > 40-55 dB: sedang; > 55-70 dB: sedang
berat; > 70-90 dB: berat; dan > 90 dB: sangat berat.
4.5. Cara Pengumpulan Data
Data diambil dari kuisioner dan pemeriksaan kesehatan THT-KL yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan dan dokter saat pelaksanaan bakti sosial di 4 SD
di Kabupaten Karangasem. Hasil pemeriksaan dicatat dalam lembar pengumpulan
data untuk selanjutnya akan dilakukan analisis data.
4.6. Pengolahan Data
Hasil penelitian dianalisis dan disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel
dan narasi.
V. HASIL PENELITIAN
Penelitian dilakukan di 4 SD di Kabupaten Karangasem yaitu: SDN 2
Abang, SDN 3 Bunutan, SDN 1 Pertima dan SDN 4 Subagan. Penelitiaan
dilaksanakan pada tanggal 23 Juli 2016 dan 20 Agustus 2016. Dari total 1217 siswa
dari keempat SD tersebut didapatkan sampel yang memenuhi kriteria inklusi
sebanyak 23 siswa (1,89%), dimana dari SDN 2 Abang didapatkan sebanyak 5 dari
235 siswa, SDN 3 Bunutan: 6 dari 155 siswa, SDN 1 Pertima: 9 dari 423 siswa dan
SDN 4 Subagan: 3 dari 404 siswa.
16
Berdasarkan jenis kelamin (Tabel 5.1), dari 23 siswa penderita OME
didapatkan 14 siswa laki-laki (60,87%) dan 9 siswa perempuan (39,13%).
Tabel 5.1. Distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten Karangasem
berdasarkan jenis kelamin.
Jenis kelamin n %
Laki-laki 14 60,87
Perempuan 9 39,13
Jumlah 23 100
Berdasarkan umur (Tabel 5.2), dari 23 siswa penderita OME didapatkan 4
siswa berumur 6 tahun (17,39%), 7 siswa berumur 7 tahun (30,43%), 6 siswa
berumur 8 tahun (26,09%), 3 siswa berumur 9 tahun (13,04%), 2 siswa beumur 10
tahun (8,70%) dan 1 siswa berumur 11 tahun (4,35%).
Tabel 5.2. Distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten Karangasem
berdasarkan umur.
Umur n %
6 4 17,39
7 7 30,43
8 6 26,09
9 3 13,04
10 2 8,70
11 1 4,35
Jumlah 23 100
Berdasarkan status ekonomi (Tabel 5.3), dari 23 siswa penderita OME
didapatkan 16 siswa dengan status ekonomi miskin (69,57%) dan 7 siswa dengan
status ekonomi tidak miskin (30,43%).
17
Tabel 5.3. Distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten Karangasem
berdasarkan status ekonomi.
Status ekonomi n %
Miskin 16 69,57
Tidak miskin 7 30,43
Jumlah 23 100
Berdasarkan riwayat mendapatkan ASI (Tabel 5.4), dari 23 siswa penderita
OME didapatkan 21 siswa yang mendapatkan ASI eksklusif dari ibunya selama
minimal 6 bulan (91,30%) dan 2 siswa yang tidak (8,70%).
Tabel 5.4. Distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten Karangasem
berdasarkan riwayat mendapatkan ASI.
Riwayat ASI n %
Ya 21 91,30
Tidak 2 8,70
Jumlah 23 100
Berdasarkan adanya ISPA (Tabel 5.5), dari 23 siswa penderita OME
didapatkan 6 siswa yang mengalami ISPA (26,09%) dan 17 siswa yang tidak
(73,91%).
Tabel 5.5. Distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten Karangasem
berdasarkan adanya ISPA.
ISPA n %
Ya 6 26,09
Tidak 17 73,91
Jumlah 23 100
18
Berdasarkan adanya hipertropi adenoid (Tabel 5.6), dari 23 siswa penderita
OME didapatkan 15 siswa yang mengalami hipertropi adenoid (65,22%) dan 8
siswa yang tidak (34,78%).
Tabel 5.6. Distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten Karangasem
berdasarkan adanya hipertropi adenoid.
Hipertropi adenoid n %
Ya 15 65,22
Tidak 8 34,78
Jumlah 23 100
Berdasarkan status gizi (Tabel 5.7), dari 23 siswa penderita OME
didapatkan 5 siswa dengan status gizi kurang (21,74%), 15 siswa dengan status gizi
baik (65,22%) dan 3 siswa dengan status gizi lebih (13,04%). Tidak ada siswa
dengan status gizi obese.
Tabel 5.7. Distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten Karangasem
berdasarkan adanya status gizi.
Status gizi n %
Kurang 5 21,74
Baik 15 65,22
Lebih 3 13,04
Obese - 0
Jumlah 23 100
Berdasarkan adanya paparan asap rokok (Tabel 5.8), dari 23 siswa penderita
OME didapatkan 15 siswa yang mengalami paparan asap rokok (65,22%) dan 8
siswa yang tidak (34,78%).
19
Tabel 5.8. Distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten Karangasem
berdasarkan paparan asap rokok.
Paparan asap rokok n %
Ya 15 65,22
Tidak 8 34,78
Jumlah 23 100
Berdasarkan gangguan pendengaran (Tabel 5.9), dari 23 siswa penderita
OME didapatkan 7 siswa dengan tuli derajat ringan kiri (30,43%), 2 siswa dengan
tuli derajat ringan kanan (8,70%), 12 siswa dengan tuli derajat ringan kanan dan
kiri (52,17%), 1 siswa dengan tuli derajat ringan kanan / derajat sedang kiri (4,35%)
dan 1 siswa dengan tuli derajat sedang kanan / derajat ringan kiri (4,35%).
Tabel 5.9. Distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten Karangasem
berdasarkan gangguan pendengaran.
Gangguan pendengaran n %
Kanan Kiri
normal ringan 7 30,43
ringan normal 2 8,70
ringan ringan 12 52,17
ringan sedang 1 4,35
sedang ringan 1 4,35
Jumlah 23 100
VI. PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan rancangan
potong lintang yang dilakukan di 4 SD di Kabupaten Karangasem yaitu: SDN 2
Abang, SDN 3 Bunutan, SDN 1 Pertima dan SDN 4 Subagan. Pengisian kuisoner,
anamnesis dan pemeriksaan THT dilakukan pada seluruh siswa untuk mengetahui
adanya OME yang dilanjutkan dengan pemeriksaan audiometri.
20
Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 23 siswa penderita OME dari
keempat SD yang dilakukan pemeriksaan. Dari 23 siswa tersebut, penderita OME
lebih banyak dialami oleh siswa laki-laki yaitu 14 siswa atau 60,87%, sedangkan
siswa perempuan sebanyak 9 siswa atau 39,13%. Rasio penderita laki-laki dengan
perempuan adalah 1,6 : 1. Menurut beberapa literatur, tidak ada perbedaan yang
signifikan mengenai jenis kelamin yang paling banyak menderita OME, tetapi
insiden paling banyak biasanya pada anak laki-laki.4,14
Pada hasil penelitian ini didapatkan penderita OME paling banyak pada
siswa laki-laki yaitu 60,87%. Karena belum ditemukan adanya faktor yang
mempengaruhi perbedaan jenis kelamin pada OME, kemungkinan pengaruh
populasi dalam suatu penduduk dapat dikaitkan dengan dominasi jenis kelamin
tertentu terhadap kejadian OME.
Penderita OME paling banyak dari 23 siswa SD adalah berusia 7 tahun yaitu
sebanyak 7 siswa atau 30,43%, sedangkan yang paling sedikit adalah 11 tahun yaitu
1 siswa saja atau 4,35%. Diagnosis OME paling sering pada anak-anak yang lebih
muda dari 15 tahun, terutama usia sekolah dan prasekolah. Sebuah penelitian di
Malaysia menyebutkan prevalensi usia penderita OME paling banyak adalah antara
6-7 tahun, sedangkan di Inggris setidaknya 25% anak mengalami minimal 1 episode
OME sebelum usia 10 tahun dimana insiden tertinggi (50%) terjadi pada usia 5-7
tahun.4,7,24
Dari 23 siswa penderita OME antara usia 6-11 tahun pada penelitian ini,
didapatkan yang terbanyak yaitu 30,43% merupakan penderita OME dengan usia 7
tahun, dengan jumlah paling sedikit adalah usia 11 tahun yaitu 4,35%. Hal ini sesuai
dengan beberapa studi dan literatur yang menyebutkan bahwa usia penderita OME
antara 5-7 tahun.
Berdasarkan status ekonomi, dari 23 siswa SD penderita OME sebanyak 16
siswa atau 69,57% berasal dari keluarga dengan status ekonomi miskin, sedangkan
7 siswa lainnya atau 30,43% berasal dari keluarga status ekonomi tidak miskin.
Leach AL, dkk menyebutkan bahwa faktor sosio-ekonomi berpengaruh terhadap
kejadian OME pada anak, hal ini dikaitkan dengan kondisi kemampuan ekonomi
orangtua untuk membawa anak yang menderita OME berobat.7,14
21
Sebanyak 69,57% penderita OME dari 23 siswa yang diteliti merupakan
anak dengan status ekonomi orangtua yang miskin. Keadaan sosio-ekonomi
terutama kemiskinan dapat mempengaruhi terjadinya infeksi telinga, salah satunya
adalah OME. Status ekonomi yang rendah akan mempengaruhi pola hidup sehari-
hari, selain itu keadaan lingkungan tempat tinggal, higienitas yang tidak
mendukung akan mempengaruhi faktor penjamu (host) sebagai penyebab gangguan
fungsi tuba yang akan menyebabkan OME.
Dari 23 siswa SD penderita OME didapatkan 21 siswa atau 91,30% yang
mendapatkan ASI eksklusif dari ibunya selama minimal 6 bulan, sedangkan hanya
2 siswa atau 8,70% yang tidak mendapatkan ASI eksklusif dari ibunya selama
minimal 6 bulan. Sebuah penelitian oleh Uhari M, dkk menyebutkan anak yang
mendapatkan ASI eksklusif selama minimal 6 bulan akan mengurangi sebanyak
13% insiden terjadinya OME.14,24
Penderita OME yang mendapatkan ASI eksklusif pada penelitian ini adalah
sebanyak 91,30%, jumlah ini cukup banyak mengingat kesadaran ibu untuk
menyusui anaknya selama minimal 6 bulan. Bila jumlah anak yang tidak
mendapatkan ASI jumlahnya lebih banyak, kemungkan penderita OME akan lebih
banyak pula.
Penderita OME dari 23 siswa SD terdapat 6 siswa atau 26,09% yang sedang
mengalami ISPA, sedangkan 17 siswa lain atau 73,91% tidak sedang mengalami
ISPA. Infeksi saluran nafas bagian atas merupakan penyakit yang cukup banyak
diderita anak-anak usia sekolah, hal ini dapat berkaitan dengan terjadinya OME
pada anak. Proses infeksi bakteri pada ISPA merupakan faktor penting dalam
patogenesis terjadinya OME. Selain bakteri, infeksi virus di saluran nafas atas juga
dapat menginvasi telinga tengah dan merangsang produksi sekret dan menyebabkan
pembengkakan oleh karena proses inflamasi pada mukosa tuba Eustachius yang
akan menyebabkan OME.1,6,25
Pada penelitian ini, didapatkan 26,09% siswa penderita OME yang sedang
mengalami ISPA. Jumlah ini cukup sedikit dibandingkan dengan yang tidak
mengalami ISPA, kemungkinan disebabkan karena proses infeksi saluran nafas
yang sudah membaik dan hanya memberikan akibat berupa OME pada penderita.
22
Penderita OME dari 23 siswa SD terdapat 15 siswa atau 65,22% yang
mengalami hipertropi adenoid, sedangkan 8 siswa atau 34,78% tidak mengalami
hipertropi adenoid. Hipertropi adenoid merupakan salah satu penyebab gangguan
fungsi tuba yang dapat menyebabkan mekanisme aerasi ke rongga telinga tengah
terganggu serta drainase dari rongga telinga ke rongga nasofaring juga terganggu.
Akibat gangguan tersebut rongga telinga tengah akan mengalami tekanan negatif.
Tekanan negatif di telinga tengah menyebabkan peningkatan permaebilitas kapiler
dan selanjutnya terjadi transudasi. Selain itu terjadi infiltrasi populasi sel-sel
inflamasi dan sekresi kelenjar. Akibatnya terdapat akumulasi sekret di rongga
telinga tengah dan menyebabkan OME.5,6,11
Dari 23 siswa penderita OME, sebanyak 65,22% mengalami hipertropi
adenoid. Jumlah ini cukup signifikan mengingat hipertropi adenoid merupakan
salah satu faktor penyebab terjadinya OME akibat gangguan fungsi tuba.
Berdasarkan status gizi, dari 23 siswa SD penderita OME rata-rata memiliki
status gizi yang baik yaitu sebanyak 15 siswa atau 65,22%, sedangkan hanya 5
siswa atau 21,74% dengan status gizi kurang dan 3 siswa atau 13,04% dengan status
gizi lebih. Gizi yang buruk atau kurang juga merupakan salah satu faktor yang dapat
meningkatkan angka kejadian OME. Dengan status gizi yang kurang maka
menyebabkan penurunan daya tahan tubuh dan mempermudah terjadinya infeksi di
saluran nafas yang mengakibatkan terjadinya OME.5,25
Pada penelitian ini didapatkan mayoritas siswa dengan gizi yang baik, hanya
21,74% penderita OME dengan status gizi kurang. OME disebabkan oleh adanya
gangguan fungsi tuba yang dapat disebabkan oleh proses infeksi dari bakteri
maupun virus. Kekurangan zat gizi dari makanan dapat mempengaruhi daya tahan
tubuh terutama terhadap penyakit akibat infeksi tersebut.
Dari 23 siswa SD penderita OME didapatkan 15 siswa atau 65,22% yang
mengalami paparan asap rokok di lingkungan tempat tinggalnya, sedangkan 8
lainnya atau 34,78% yang tidak terpapar asap rokok. Paparan asap rokok
merupakan faktor penting yang mempengaruhi terjadinya OME, hal ini disebabkan
karena paparan asap rokok dapat menyebabkan kerusakan silia dan sistem
mukosiliar saluran nafas. Gangguan ini akan menyebabkan gangguan fungsi tuba
23
yang berperan penting dalam patogenesis OME. Iversen E, dkk dalam penelitiannya
mendapatkan bahwa 60% anak-anak dengan OME berada dalam lingkungan
perokok, dimana sepertiganya merupakan penderita OME yang berusia 6-7 tahun.
Sebuah penelitian menyebutkan, perokok pasif pada anak-anak berusia 0-14 tahun
sebesar 58,8% dan prevalensi perokok pasif di lingkungan rumah bersama orangtua
yang merokok adalah 40,5%. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa paparan
asap rokok merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi prevalensi
terjadinya OME.6,14,24
Sebanyak 65,22% penderita OME dari 23 siswa yang diteliti terpapar asap
rokok dari lingkungan tempat tinggalnya, paparan asap rokok ini bisa didapatkan
dari orangtua maupun anggota keluarga lain dalam satu rumah. Jumlah yang cukup
banyak ini sangat sesuai dengan beberapa penelitian lain, sehingga dapat
disimpulkan bahwa kemungkinan salah satu faktor risiko terjadinya OME pada
penelitian ini adalah karena paparan asap rokok.
Berdasarkan adanya gangguan pendengaran, dari 23 siswa SD penderita
OME paling banyak mengalami tuli derajat ringan bilateral (kanan dan kiri) yaitu
sebanyak 12 siswa atau 52,17%, sedangkan yang paling sedikit adalah tuli derajat
ringan dan sedang kanan atau kiri yaitu masing-masing sebanyak 1 siswa atau
4,35%. Anak-anak dengan OME biasanya datang berobat bersama orang tua
dengan keluhan adanya gangguan penurunan pendengaran, selain itu dikeluhkan
juga telinga kadang terasa penuh dan nyeri. Di sekolah guru biasanya melaporkan
bahwa anak dengan OME mempunyai gangguan pendengaran dan mengalami
kemunduran dalam pelajaran di sekolah. Menurut Timmerman AA, dkk gangguan
pendengaran lebih sering ditemukan pada pasien OME dengan cairan yang kental
(glue ear). Menurut Pang KP, dkk penurunan pendengaran yang terjadi rata-rata
gangguan pendengaran yang terjadi pada penderita OME adalah 30 dB. Dari
beberapa penelitian, tuli konduksi sering berhubungan dengan OME dan
berpengaruh pada proses mendengar kedua telinga, lokalisasi suara, persepsi bicara
dalam kebisingan. Penurunan pendengaran yang disebabkan oleh OME akan
menghalangi kemampuan awal berbahasa.9,12,15,16
24
Pada penelitian ini, gangguan atau penurunan pendengaran yang paling
banyak didapatkan dari 23 siswa penderita OME adalah tuli derajat ringan kanan
dan kiri yaitu 52,17%. Beberapa literatur mengatakan bahwa rata-rata penderita
OME mengalami tuli konduktif derajat ringan (25-40 dB). Penurunan pendengaran
merupakan komplikasi OME yang paling awal terjadi terutama tuli konduktif, hal
ini seringkali tidak terdeteksi karena anak-anak belum dapat menympaikan
keluhannya. Untuk menghidari komplikasi tersebut, diperlukan deteksi dini berupa
pemeriksaan pendengaran sederhana pada anak-anak.
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan rancangan
potong lintang yang dilakukan di 4 SD di Kabupaten Karangasem yaitu: SDN 2
Abang, SDN 3 Bunutan, SDN 1 Pertima dan SDN 4 Subagan. Dari hasil penelitian
didapatkan sebanyak 23 siswa penderita OME dari keempat SD yang dilakukan
pemeriksaan. Karakteristik penderita yang diteliti antara lain: jenis kelamin, umur,
status ekonomi, riwayat mendapatkan ASI, adanya ISPA, adanya hipertropi
adenoid, status gizi, paparan asap rokok dan gangguan pendengaran.
Dari hasil penelitian didapatkan jenis kelamin yang paling banyak
menderita OME adalah laki-laki yaitu 60,87%, sedangkan siswa perempuan
39,13%. Berdasarkan umur penderita yang paling banyak adalah berusia 7 tahun
yaitu 30,43%. Dari status ekonomi, yang paling banyak adalah penderita OME
dengan status ekonomi miskin yaitu 69,57%. Berdasarkan riwayat mendapatkan
ASI, sebanyak 91,30% penderita OME mendapatkan ASI eksklusif dari ibunya
selama minimal 6 bulan. Penderita OME sebagian besar tidak sedang mengalami
ISPA yaitu 73,91%, sedangkan yang mengalami hipertropi adenoid sebanyak
65,22%. Dari status gizi, sebagian besar penderita OME dengan status gizi baik
yaitu 65,22% dan sekitar 65,22% mengalami paparan asap rokok di lingkungan
tempat tinggalnya. Berdasarkan gangguan pendengaran, dari 23 siswa penderita
OME paling banyak mengalami tuli derajat ringan kanan dan kiri yaitu 52,17%.
25
7.2. Saran
Penelitian tentang distribusi penderita OME pada siswa SD ini merupakan
data dasar bagaimana distribusi kejadian OME untuk penelitian yang lebih spesifik.
Penelitian ini juga perlu dilakukan di berbagai daerah lain, baik di kabupaten-
kabupaten di propinsi Bali maupun di propinsi-propinsi lain di Indonesia. Dari
penelitian ini dapat ditindak lanjuti dengan kegiatan seperti penyuluhan dan
pengobatan agar angka kejadian OME dapat berkurang dan orangtua lebih peka
apabila ada keluhan anaknya yang berhubungan dengan OME, sehingga tidak
menimbulkan komplikasi yang lebih berat yang dapat mengganggu kualitas hidup
anak nantinya. Disinilah peran dokter spesialis THT-KL untuk mengadakan
penyuluhan dan penatalaksanaan yang tepat untuk penderita OME ini.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Casselbrant ML, Mandel EM. Otitis Media with Effusion. Dalam: Bailey’s
Head & Neck Surgery–Otolaryngololy. Edisi ke-5. Lippincott Williams &
Wilkins, New York; 2014. h. 1482-501
2. Munawaroh S. Insiden dan karakteristik otitis media efusi pada rinitis alergi
anak, Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Sari Pediatri.
2008;10(3):212-8.
3. Gulya AJ. Anatomy of the ear and temporal bone. Dalam: Glasscock ME,
Gulya AJ, editors. Surgery of the Ear. 5th Ed. Canada: BC Decker; 2003. h.
35-42.
4. Dhingra PL. Anatomy of Ear. Dalam: Dhinghra PL, editor. Diseases of Ear,
Nose and Throat. 4th Ed. New Delhi: Elsevier; 2007. h. 3-11.
5. Healy GB, Rosbe KW. Otitis media and middle ear effusions. Dalam:
Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi ke-16. BC
Decker Inc. Hamilton, Ontario; 2003. h. 249-60.
6. Inglis AF. Gates GA. Acute Otitis Media With Effusion. Dalam: Cummings,
Otolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi ke-4. Philadelphia: Elsevier
Mosby; 2005. h. 200-1.
7. Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid.
Dalam: Boies, Buku Ajar Penyakit THT (Boies Fundamentals of
Otolaryngology). Edisi ke-6. EGC, Jakarta; 1997. h. 97-9.
8. Kuo CL, Wang MC, Chu CS, Shiao AS. New therapeutic strategy for treating
otitis media with effusion in postirradiated nasopharyngeal carcinoma
patients. J Chin Med Assoc. 2012;75:329-34.
9. Zakrzewski L, Lee DT. An algorithmic approach to otitis media with effusion.
J Fam Pract. 2013;62(12):700-6.
10. Gultekin E, Develiogu ON, Yener M. Prevalence and risk factors for
persistent otitis media with effusion in primary school children in Istanbul,
Turkey. Auris Nasus Larynx. 2010;37:145-9.
27
11. Pang KP, Ang AHC, Tan HKK, Otitis media with effusion: an update. Med J
Malaysia. 2002;57(3):376-82.
12. Williamson IG. Otitis media with effusion. Clin Evid. 2002(7):469-76.
13. Arick DS, Silman S. Treatment of otitis media with effusion based on
politzerization with an automated device. Ear Nose Throat J. 2000;79(4):290-
6
14. Dhooge I, Desloovere C, Boudewyns A, Van Kempen M, Dachy JP.
Management of otitis media with effusion in children. B-ENT. 2005;1:3-15
15. Timmerman AA, Anteunis LJ, Meesters CM. Response shift bias and parent-
reported quality of life in children with otitis media. Arch Otolaryngol Head
and Neck Surg. 2003;129:987-91.
16. Gravel JS, Karma P, Casselbrant ML. Recent advances in otitis media:
Diagnosis and screening. Ann Otol Rhinol Laryngol Suppl. 2005;194:104-13.
17. Lieberthal AS, Carroll AE, Chonmaitree T. The diagnosis and management
of acute otitis media. Pediatrics. 2013;131:964-99.
18. Rosenfeld RM, Culpepper L, Doyle KJ. Clinical practice guideline: Otitis
media with effusion. Otolaryngol Head Neck Surg. 2004;130:95-118.
19. Bull PC, Barrow H, Davies GJ, Fonseca S, Haggard M, Hart J, dkk. Surgical
management of otitis media with effusion in children. National Collaborating
Centre for Women’s and Children’s Health. London: RCOG; 2008. h. 28-44.
20. Choung YH, Shin YR, Choi SJ, Park KH, Park HY, Lee JB, dkk. Management
for the children with otitis media with effusion in the tertiary hospital. Clin
Exp Otorhinolaryngol. 2008;1(4):201-5.
21. Berkman ND, Wallace IF, Steiner MJ, Harrison M, Greenblatt AM, Lohr KN,
dkk. Otitis media with effusion: Comparative effectiveness of treatments.
Agency for Healthcare Research and Quality. Rockville: AHRQ Publication;
2013. h. 2-11
22. Rovers MM. Grommets in otitis media with effusion: an individual patient
data meta-analysis. Arch Dis Child. 2005;90:480-5.
23. Lo PS, Tong MC, Wong EM. Parental suspicion of hearing loss in children
with otitis media with effusion. Eur J of Pediatr. 2006;165:851-7.
28
24. Shekelle P, Takata G, Chan LS, Mangione-Smith R, Corley PM, Morphew T,
dkk. Diagnosis, natural history, and late effects of otitis media with effusion.
Evid Rep Technol Assess (Summ). 2002 Jun;(55):1-5.
25. Cohen H, Friedman EM, Lai D, Pellicer M, Duncan N, Sulek M. Balance in
children with otitis media with effusion. Int J Pediatr Otorhinolaryngol.
2007;42:107-115.
top related