laporan peerkuliahan luar kelas di desa adat tenganan dan panglipuran bali prodi s1 ppkn unesa
Post on 13-Jul-2015
683 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ditengah derasnya pertumbuhan pariwisata dan perkembangan perkotaan, suatu daerah di Bali,
sebuah pemukiman mampu mempertahankan tradisi berumur ratusan tahun untuk hidup berdampingan dengan
gemerlap dunia modern. Itulah Desa Adat Penglipuran. Berlokasi di kabupaten Bangli, sekitar 45 km dari
Denpasar, Desa Adat Penglipuran sudah ada sejak 700-an tahun yang lalu, yaitu pada zaman kerajaan Bangli.
Nama Penglipuran sendiri berasal dari kata Pengeling Pura yang berarti tempat suci untuk mengingat para
leluhur.
Desa Pengelipuran merupakan salah satu desa kuno, yang hingga kini masih memegang ketat adat dan
tradisi. Mereka hidup dalam gotong royong dengan banyak aturan unik yang disebut ”awig-awig”.
Masyarakat Penglipuran juga pantang untuk menikahi tetangga disebelahkanan dan sebelah kiri juga sebelah
depan dari rumahnya. Kemudian apabila orang bali lain ngaben dilakukan dengan cara membakar mayat, di
Penglipuran mayat di kubur.
Sementara di Desa tenganan, manggis, karang asem juga ada banyak perbedaan adat istiadat dengan
masyarakat Bali pada umumnya, tapi disinilah uniknya. Disinilah letak kekuatan karakter desa adat Tenganan
Pegringsingan itu. Memegang teguh adat istiadat & keyakinan, sehingga masih tetap lestari hingga saat ini.
Keseharian kehidupan di desa ini masih diatur oleh hukum adat yang disebut awig-awig. Penduduk desa ini
memiliki tradisi unik dalam merekrut calon pemimpin desa, salah satunya melalui prosesi adat mesabar-
sabatan biu (perang buah pisang).
Pada tanggal yang telah ditentukan menurut sistem penanggalan setempat (sekitar Juli) akan digelar
ngusaba sambah dengan tradisi unik berupa mageret pandan (perang pandan). Penduduk Tenganan telah
dikenal sebagai penganut Hindu aliran Dewa Indra, yang dipercaya sebagai dewa perang.
Masyarakat Tenganan mengajarkan dan memegang teguh konsep Tri Hita Karana (konsep dalam
ajaran Hindu) dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tri berarti tiga dan Hita Karana berarti
penyebab kebahagiaan untuk mencapai keseimbangan dan keharmonisan. Tri Hita Karana terdiri dari
Perahyangan (hubungan yang seimbang antara manusia dengan Tuhan), Pawongan (hubungan harmonis
antara manusia dengan manusia lainnya), dan Palemahan (hubungan harmonis antara manusia dengan
lingkungan alam sekitarnya). Di Karangasem, Bali, ada 2 desa adat yaitu Tenganan Pegringsingan &
Tenganan Dauh Tukad.
Adanya fenomena tersebut kegiatan perkuliahan luar kelas (PLK) memilih desa tersebut untuk
mengetahui bentuk-bentuk toleransi adat dan budaya masyarakat desa Tenganan dan panglipuran terhadap
masyarakat Bali pada umumnya.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana bentuk toleransi masyarakat Desa adat Panglipuran dan Tenganan propinsi Bali di era
globalisasi seperti saat ini?
2
C. Tujuan
Mendeskripsikan bentuk toleransi masyarakat Desa adat Panglipuran dan Tenganan Propinsi Bali di
era globalisasi seperti saat ini
D. Manfaat
a) Secara teoritis
- Dapat menambah pengetahuan mengenai adat dan budaya masyarakat Desa adat Panglipuran dan
Tenganan propinsi Bali.
- Dapat menambah referensi dibidang ilmu pengetahuan mengenai toleransi yang ada di
masyarakat.
b) Secara praktis
- Mengetahui interaksi yang terjadi didalam masyarakat Desa adat Panglipuran dan Tenganan
propinsi Bali.
- Menumbuhkan sikap toleransi dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pengertian Toleransi dan Masyarakat
Masyarakat menurut peter l. Berger masyarakat adalah suatu keseluruhan kompleks hubungan
manusia yang luas sifatnya. Keseluruhan yang kompleks sendiri berarti bahwa keseluruhan itu terdiri atas
bagian-bagian yang membentuk suatu kesatuan.
Secara etimologi berasal dari kata tolerance (dalam bahasa Inggris) yang berarti sikap membiarkan,
mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan. Di dalam bahasa Arab
dikenal dengan tasamuh, yang berarti saling mengizinkan, saling memudahkan. Dari dua pengertian di atas
penulis menyimpulkan toleransi secara etimologi adalah sikap saling mengizinkan dan menghormati
keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan.
Pada umumnya, toleransi diartikan sebagai pemberian kebebasan kepada sesama manusia atau kepada
sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan
nasibnya masing-masing, selama di dalam menjalankan dan menentukan sikapnya itu tidak bertentangan
dengan syarat-syarat atas terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat.
1. W.J.S Poerwadarminto menyatakan
Toleransi adalah sikap atau sifat menenggang berupa menghargai serta membolehkan suatu pendirian,
pendapat, pandangan, kepercayaan maupun yang lainnya yang berbeda dengan pendirian sendiri.
2. Dewan Ensiklopedia Indonesia
3
Toleransi dalam aspek sosial, politik, merupakan suatu sikap membiarkan orang untuk mempunyai
suatu keyakinan yang berbeda. Selain itu menerima pernyataan ini karena sebagai pengakuan dan
menghormati hak asasi manusia.
Dari beberapa definisi di atas penulis menyimpulkan bahwa toleransi adalah suatu sikap atau sifat dari
seseorang untuk membiarkan kebebasan kepada orang lain serta memberikan kebenaran atas perbedaan
tersebut sebagai pengakuan hak-hak asasi manusia. Pelaksanaan sikap toleransi ini harus didasari sikap
kelapangan dada terhadap orang lain dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang dipegang sendiri, yakni
tanpa mengorbankan prinsip-prinsip tersebut. Jelas bahwa toleransi terjadi dan berlaku karena terdapat
perbedaan prinsip, dan menghormati perbedaan atau prinsip orang lain tanpa mengorbankan prinsip sendiri.
Dengan kata lain, pelaksanaannya hanya pada aspek-aspek yang detail dan teknis bukan dalam persoalan yang
prinsipil.
Karakteristik Masyarakat Panglipuran
Desa Adat Penglipuran adalah sebuah desa tradisional yang masih terjaga kealamiannya sampai
sekarang. Desa Adat Penglipuran ini terletak di Kelurahan Kubu, Kabupaten Bangli, tepatnya di jalan utama
Kintamani – Bangli. Tatanan kehidupan di desa ini terbilang unik dan belum tersentuh modernisasi, dengan
arsitektur bangunan yang tertata apik satu dengan yang lainnya menjadikan desa ini memiliki karakteristik
yang berbeda dengan desa-desa umumnya di Bali.
Pintu gerbang atau yang sering disebut dengan “angkul-angkul” terlihat seragam satu dengan lainnya.
Jalan utama desa adat ini berupa jalan sempit yang berudag-undag. Rumah masing-masing keluarga hamper
seragam mulai dari pintu gerbang, bangunan suci (pemerajan), dapur, ruang tidur, ruang tamu, serta lumbung
tempat penyimpanan hasil panen sawah berupa padi. Desa ini terletak di dataran yang tinggi yang membuat
suasana desa ini sejuk, ditambah dengan tata ruang yang memberikan ruang terbuka lebih khususnya untuk
pertamanan menjadikan desa ini terlihat asri.
Karakteristik Masyarakat Tenganan
Penduduk Desa Tenganan Dauh Tukad ini memiliki tradisi unik dalam merekrut calon pemimpin
desa, salah satunya melalui prosesi adat mesabat-sabatan biu atau perang buah pisang. Calon prajuru desa
dididik menurut adat setempat sejak kecil atau secara bertahap dan tradisi adat tersebut merupakan semacam
tes psikologis dan fisik bagi calon pemimpin desa. Diikuti oleh teruna Desa Adat Tengana Dauh Tukad, yang
tujuannya untuk mencari pemimipin, yang dipilih untuk menjadi calon pemimipin ada dua orang, yakni saya
atau calon pemimipin dan penampih atau wakil calon pemimipin.
Pada tanggal yang telah ditentukan menurut sistem penanggalan setempat yakni sekitar bulan Juli
akan digelar ngusaba sambah dengan tradisi unik berupa mageret pandan atau perang pandan. Dalam acara
tersebut, dua pasang pemuda desa akan bertarung di atas panggung dengan saling sayat menggunakan duri-
duri pandan. Perang pandan disini mempunyai makna yaitu untuk pengormatan Dewa Indra yang sering
disebut dewa perang. Walaupun tradisi ini akan menimbulkan luka, mereka sudah memiliki obat antiseptik
4
dari bahan umbi-umbian yang akan diolesi pada semua luka hingga mengering dan sembuh dalam beberapa
hari. Tradisi tersebut untuk melanjutkan latihan perang rutin dan menciptakan warga dengan kondisi fisik
serta mental yang kuat.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian ini adalah penelitian Deskriptif,
yaitu penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau
berbagai variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian itu berdasarkan apa yang terjadi.
Penelitian ini ingin mendeskriptifkan fakta-fakta yang berupa bentuk-bentuk toleransi yang terjadi di Desa
Tenganan dan Panglipuran di Propinsi Bali.
B. Waktu Dan Tempat Penelitian
a) Waktu Penelitian
Waktu penelitan yaitu pada saat akan dilaksanakan penelitian tepatnya pada tanggal 16-18 Oktober
2014.
b) Tempat Penelitian
Tempat penelitian merupakan suatu lokasi dimana penelitian akan dilakukan untuk memperoleh data
sesuai dengan permasalahan yang diajukan. Tempat penelitian pada proposal ini yaitu di Desa Adat Tenganan
dan Penglipuran, Provinsi Bali.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian yaitu masyarakat di Desa Adat Tenganan dan Penglipuran.
D. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah langkah yang sangat penting karena data yang
dikumpulkan akan digunakan sebagai bahan informasi untuk memcahkan permasalahan penelitian.
Adapun teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a) Observasi
Nasution menyatakan bahwa observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. (dalam
Sugiyono,2008:226) Observasi sering digunakan sebagai alat pelengkap kuesioner. Dalam
observasi ini peneliti lebih banyak menggunakan salah satu dari panca indranya yaitu indra
penglihatan. Instrument observasi lebih efektif jika informasi yang hendak diambil berupa kondisi
atau fakta alami, tingkah laku dan hasil kerja responden dalam situasi alami. Untuk memaksimalkan
5
hasil observasi, peneliti menggunakan alat bantu yang sesuai dengan kondisi lapangan yaitu buku
catatan.
observasi bertujuan untuk mendeskripsikan setting yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang
berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas, dan makna kejadian dilihat dari perspektif
mereka terlibat dalam kejadian yang diamati tersebut. Deskripsi harus kuat, faktual sekaligus teliti
tanpa harus dipenuhi berbagai hal yang tidak relevan.
b) Wawancara
Wawancara menurut Nazir (1988) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya atau pewawancara
dengan si penjawab atau responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide
(panduan wawancara). Walaupun wawancara adalah proses percakapan yang berbentuk tanya
jawab dengan tatap muka, wawancara adalah suatu proses pengumpulan data untuk suatu
penelitian. Pada penelitian, wawancara dapat berfungsi sebagai metode primer, pelengkap atau
sebagai kriterium (Hadi, 1992). Sebagai metode primer, data yang diperoleh dari wawancara
merupakan data yang utama guna menjawab pemasalahan penelitian. Sebagai metode pelengkap,
wawancara berfungsi sebagai sebagai pelengkap metode lainnya yang digunakan untuk
mengumpulkan data pada suatu penelitian. Sebagai kriterium, wawancara digunakan untuk
menguji kebenaran dan kemantapan data yang diperoleh dengan metode lain.
E. Instrumen Penelitian
Peneliti (human instrument) menggunakan Instrumen mengumpulkan data dengan alat bantu
seperti dibawah ini.
Tabel Instrumen Penelitian
Teknik Instrumen
Observasi Buku catatan
Wawancara Lembar wawancara
6
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Bentuk Toleransi Desa Adat Panglipuran
Nama Penglipuran sendiri berasal dari kata Pengeling Pura yang berarti tempat suci untuk
mengingat para leluhur.Desa panglipuran terletak Desa adat Penglipuran berlokasi pada kabupaten
Bangli yang berjarak 45 km dari kota Denpasar. Luas desa adat Panglipuran kurang lebih 112 ha,
dengan batas wilayah desa adat Kubu di sebelah timur, di sebelah selatan desa adat gunaksa,dan di
sebelah barat Tukad, sedangkan di sebelah utara desa adat kayang. Masyarakat Panglipuran adalah
masyarakatadat yang otonom dan tidak formal. Masyarakat disni mempunyai satu tradisi umat Hindu,
berada diwilayah tertentu dan mempunyai harta sendiri sehingga bisa mengurus rumah tangga sendiri.
Landasan operasionalnya dalam kegiatan adat bernama “Awig-awig”. Tripitakara yang digunakan
sebagai falsafat hidup desa Panglipuran tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan konstitusi,
dengan tujuan untuk mencapai keharmonisan.
Desa ini melarang warga laki-lakinya untuk memiliki istri lebih dari satu. Jika ada warga yang
melanggar, maka dia akan dikucilkan dari pemukiman warga umumnya. Tempat pengucilan ini
disebut Karang Memadu atau tempat untuk orang beristri lebih dari satu. Hingga saat ini, menurut
Wayan Supat, belum ada satu pun warga yang berani beristri lebih dari satu. Akibatnya, Karang
Memadu itu pun belum pernah digunakan hingga saat ini. Lahan itu hanya berupa tanah kosong
dengan alang-alang liar tumbuh di sana. Bukti bahwa tak ada warga adat yang berani melanggar
aturan tersebut.
Masyarakat Desa Penglipuran juga memiliki tradisi unik saat ada yang meninggal. Walaupun
penduduknya beragama Hindu, desa ini memiliki kuburan desa. Upacara Ngaben (upacara
pembakaran jasad) yang dilakukan hanya untuk mengantarkan roh orang yang meninggal kepada
Sang Pencipta ketika meninggal dengan tidak wajar, seperti dibunuh atau kecelakaan.
Sistem perkawinan menganut kekeluargaan Patrilinier yaitu sang istri ikut suami. Sistem
pewarisan kolektif untuk tanah untuk anak laki-laki atau untuk saudara tertua. Wanita yang telah
menikah mempunyai dua tanggung jawab, yang pertama tanggungjawab di rumahnya sendiri dan
dirumah suaminya.
1. Adat Istiadat
Desa Penglipuran merupakan sebuah desa adat yang kental akan budaya lokal. Masyarakat
begitu menjaga setiap adat dan budaya yang telah ada di desa mereka dengan baik. Bukti nyata dari
adanya kuatnya budaya yang dipegang terbukti pada tata ruang desa mereka. Hamir semua bentuk dan
model dari halaman depan berupa gapura yang sama. Kemudian terdapat kolaborasi antara kehidupan
7
manusia dengan alam sebagai harmonisasi keduanya berupa adanya tata desa yang selalu menyertakan
tanaman sebagai bagian dari elemen setiap rumah masyarakat.
Masyarakat Penglipuran memang merupakan masyarakat adat yang patuh dan menjaga adat
dan budaya dengan baik namun mereka bukannlah bersifat kaku terhadap adanya perkembangan
zaman yang terjadi. Sebab tidak semua kebudayaan yang terdapat di desa tersebut pun tidak murni
dari Bali saja melainkan mendapat pengaruh dari budaya bangsa lain. Dalam hal budaya mereka telah
mengadopsi seni barong yang notabene bukan berasal dari Bali, kemudian adanya akulturasi seni pada
ukiran maupun pahatan pada pura yang telah mengadopsi seni dari Belanda, dan berbagai model dari
bangsa lain di dunia. Mereka menerima hal tersebut selagi tidak bertentangan dengan nilai-nilai
budaya dan adat setempat. Dari segi budaya tidak ada proteksi terhadap budaya lain (warga disini
menerima moderanisasi tapi tidak menghilangkan budaya asli). Adanya asimilasi tersebut terlihat
pada kesenian kontemporer yaitu tari Paris. Pada pembangunan rumah masih tetap mempertahankan
budaya yang dulu baik dari arsitektur maupun budaya bergotong royong saat mendirikannya.
Hubungan antar warga sangat harmonis tidak ada warga yang saling membicarakan kejelekan
warga yang lain (berkumpul yang tidak ada tujuan tertentu). Dalam membangun rumah masyarakat
Panglipuran bergotong royong agar memupuk rasa persatuan dan kesatuan antar warga. Ketika ada
bujang yang ingin menikah yang meminang calonnya adalah tetangganya bukan orangtuanya.
masyarakat Panglipuran tidak pernah menganggap agama lain itu salah dan tanpa dipertentangkan.
Dalam agama Hindu juga keharmonisan sangat diperhatikan tanpa memandang latarbelakang dari
pihak lain. Misalnya saja jika ada acara adat maka orang Muslim dipersilakan terlebih dahulu
mengambil atau menyantap makanan terlebih dahulu karena tidak bisa memakan babi.
Masyarakat Desa Panglipuran sangat terbuka pada wisatawan lokal maupun hasil terbukti
ketika rombongan kami kesana, disambut dengan ramah dan warganya bersedia untuk diwawancarai
serta bersikap dengan ramah serta berusaha sebaik mungkin melayani tamu dengan baik. Bahkan tidak
sungkan-sungkan mereka mempersilahkan tamu yang hadir dengan ramah untuk melihat lingkungan
rumahnya dan sekitar rumahnya; seperti tempat peribadatan dan beberapa tempat yang ada di
sekitarnya.
Masyarakat Desa Panglipuran menyikapi jika ada pendatang yang berbeda agama ingin
beribadah sesuai agamanya. Sebenarnya tidak ada tempat ibdah selain agama Hindu disana akan tetapi
mereka memberikan tempat di rumah mereka asalakan peralatan (misalnya; mukenah) itu membawa
sendiri. Rasa saling menghargai jika ada acara maka semua warga menyumbang tidak terkecuali
dengan warga desa lain juga melakukan hal yang sama (menyumbang dana) sehingga tercipta
keharmonisan dengan desa tetangga.
2. Konflik Masyarakat
Warga desa Panglipuran dibedakan menjadi tiga, warga desa asli, warga pendatang, dan tamu
(orang yang ngkost di sekitar desa tersebut). Jika ada konflik maka awig-awig yang diberlakukan, dan
8
awig-awing hanya berlaku pada warga asli. Penyelesaian konflik dilakukan dengan pembicaraan
(musyawarah) bersama pemimpin adat dan sanksi tergantung dalam awig-awig, jika belum
terselesaikan dibolehkan adanya ikut campur dari pemerintah jika belum terselesaikan dengan prinsip
keadilan dan secara damai (berjabat tangan).
B. Bentuk Toleransi Desa Adat Tenganan
Dalam kesejarahan, para warga Tenganan pernah tinggal di tepi laut karena terserang abrasi.
Dari bencana abrasi tersebut, ada proses perpindahan warga dari pinggir pantai ke tengahan,
kemudian dari kata tengahan tersebut di lapangkan menjadi Tenganan. Sedangkan Penggrisingan
adalah kain gringsing yang dipakai masyarakat adat dari zaman dahulu dan nilai jualnya sangat mahal
hingga sekarang. Sitem pembuatan pewarnaannnya dan penenunannya menggunakan bahan alami dari
alam dan kayu.
Secara pemerintahan di Desa Tenganan ada dua sistem pemerintahan, yaitu desa dinas dan
desa adat (yang menaungi sistem tradisi budaya dan aturan adat). Secara dinas pada di Desa Tenganan
membawahi 5 dusun atau dinas. Secara adat menaungi 3 desa adat. Desa Tenganan pegrisingan
merupakan baliaga. Baliaga merupakan wilayah bali yang diitari oleh pegunungan, sehingga desa ini
sering dikunjungi para wisatawan dari luar kota bahkan mancanegara
Sistem pemerintahan pada Desa Tenganan juga berbeda dengan desa-desa di bali pada
umumnya. Tenganan memiliki luas wilayah 917,2 hektar dan tidak pernah berubah tata ruangnya
karena penataan ruang desa ini berlaku secara turun temurun. Dalam kesehariannya, warga tidak
boleh menebang pohon sembarangan, meskipun itu pohon milik warga sendiri. Dalam hal penebangan
pohon, semua ada aturannya. Warga Tenganan tidak boleh menjual atau menggadaikan tanah di
wilayah tersebut, karena wilayah tersebut merupakan milik Desa Tenganan asli secara turun temurun.
Dari luas wilayah Desa Tenganan 917,2 hektar, hanya 8% yang digunakan sebagai tempat tinggal. 2
dusun dari desa tersebut merupakan wilayah yang diperuntukkan bagi warga luar daerah yang
mencari penghidupan di wilayah Desa Tenganan, karena di tenganan hanya untuk warga asli tenganan
saja dengan sistem bagi hasil.
1. Adat Istiadat
Secara pemerintahan mengenal 3 organisasi besar. Pertama, kramung desa adat, kramung
bumi pulangan, dan kramung bumi. Terdapat sub 2 yang didalamnya ada organisasi troule untuk para
pemuda/i. Wilayah kramung desa adat adalah Sepasang suami istri yang baik yang berasal dari desa
tenganan, 5 teratas disebut dewan pertimbangan agung. Haknya yaitu jika ada musyawarah adat
mereka dijemput dari tempatnya. Dibawahnya ada 6 pemimpin. Siapapun berhak menjadi pemimpin
tergantung dari tingkat senioritas perkawinan dibawahnya ada 6 orang persiapan menjadi pemimpin
yaitu tamba lapu (humas) begitu setereusnya hingga menjadi pemimpin adat. Untuk menjadi
pemimpin, syaratnya yaitu warga asli tenganan dan anaknya belum ada yang menikah. Dalam hal
rapat adat, mereka berkumpul di kantor adat setiap pukul setengah 9 malam. 11 orang wajib hadir, 6
orang pemimpin 4 humas dan 1 orang sekretaris. Keputusan dari hasil rapat tersebut diumumkan pada
9
saat malam itu juga, misalnya ada kerja gotong royong kemudian langsung diberitahukan kepada
warga saat itu juga.
Kramung bumi pulangan, yaitu semua warga yang sudah berkeluarga di tenganan misalnya
istri dari luar laki dari tenganan. Kramung bumi adalah semua masyarakat secara umum, termasuk
yang paling timur. Warga yang dulunya pernah melakukan kesalahan dan beberapa haknya sudah
dicabut.Warga tenganan tidak boleh menjual hak tanah keluar. Untuk rumah tinggal sudah disediakan
oleh adat itu sendiri. 3 bulan setelah melakukan upacara perkawinan mereka wajib untuk pindah
punya rumah sendiri. Tidak boleh 1 rumah ditempati oleh lebih dari 1 kepala keluarga, dan
pekarangan itu hanyak hak pakai bukan hak bali.
Hak waris pada adat Tenganan terletak pada anak lelaki. Namun mempunyai hak yang sama.
Kecuali untuk rumah yang berhak mewarisi adalah anak bungsu. Warga Desa Tenganan tidak boleh
kawin keluar khususnya putri karena secara hak sudah hilang, karena tanah desa adat tidak bisa
dibawah keluar. Dan tidak pernah bisa kembali menjadi warga tenganan. Tetapi jika cerai tetap juga
tidak bisa. Sekalipun ada yg hamil diluar nikah orang tua dikenankan sanksi Rp 2.000 pertahun
seumur hidup.
Hukum adat pada Desa Tenganan juga berbeda dengan budaya Bali pada umumnya. Warga
tidak boleh menebang kayu sembarangan, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu
pertama, kayu yang sudah mati, sang pemilik melaporkan bahwa kayu sudah mati. Kemudian desa
adat menujuk tim verifikasi untuk mendeteksi apakah pohon tersebut sudah benar-benar mati.
Kalaupun sudah dinyatakan mati kayu tidak bisa langsung ditebang begitu saja. Pemilik harus
melakukan registrasi di kantor desa.Kedua, kayu bisa ditebang bila berjejer 3. Ketiga, adanya
kewajaran menebang untuk yang baru kawin. Mereka diberi kelonggaran 3-4 pohon untuk membuat
rumah. Keempat, ditebang untuk kayu bakar. Apabila melanggar rmenebang kayu sembarangan,
sanksinya yaitu kayu akan diambil dan kena denda 2x seharga kayu dengan nominal yang lumayan
tinggi.Pola tata ruang ditenganan juga menarik. Pemukiman ada di tengah dan rumahnya berhadap-
hadapan.
Perbedaan bali pada umumnya yaitu pada upacara ngaben mayat di Tenganan tidak dibakar,
namun dikubur. Saat meninggal mereka wajib menguburkan saat itu juga. Penguburan di wilayah ini
sangat sederhana, cuma menggunakan bambu dan daun pandan. Kepala menghadap ke selatan dengan
telanjang yang artinya kembali ke ibu pertiwi. Di Tenganan juga memiliki sistem pendidikan non
formal atau pendidikan khusus yaitu menetap diasrama selama 8 bulan dan di didik sebelum
dinyatakan sebagai orang yang dewasa. Setiap tiga hari sekali mereka wajib melakukan semedi di
pura tanpa pernah diketahui orang lain. Setelah itu mereka digunduli dan tinggal di asrama selama 1
tahun penuh. Mereka akan diajarkan bertingkah laku dan tradisi di tenganan. Kalau ada upacara
mereka diajak keliling untuk mengenal berbagai upacara dan wilayah asli Tenganan. Mereka wajib
bawa keris dan tombak karena pada dasarnya mereka adalah prajurit.
10
Sebelum mengikuti pendidikan, mereka belum bisa dikatakan dewasa. Meskipun apabila
mereka melakukan perkawinan tapi belum melakukan pendidikan khusus di asrama mereka belum
dinyatakan dewasa dan dianggap melanggar adat yang kemudian mereka harus tinggal di timur.
Dalam hal panen, hasil panen masuk ke kas desa untuk upacara tradisi. Panen selanjutnya dibagikan
pada kramung desa. Beda pada bali umumnya, pembagian hasil sawah(sistemtige), pemimpin mereka
mendapatkan bagian yang paling sedikit. Yang paling banyak mendapatkan bagian yaitu 5 orang
teratas sesepuh Tenganan dan orang yang baru menikah.
2. Bentuk Toleransi
Bentuk toleransi di desa Tenganan juga sangat besar antara warga desanya diantaranya adalah
dapat dilihat dari beberapa aspek:
1. Budaya
Bentuk toleransi dalam hal budaya di Desa Tenganan yaitu jika ada budaya luar yang
masuk ke wilayah Desa Tenganan semua warga tetap menerima kebudayaan tersebut dengan
terbuka asalkan tidak merusak budaya asli dari kebudayaan Desa Tenganan tersebut. Sehingga
di dalam desa Tenganan terdapat akulturasi budaya antara budaya asli dengan budaya baru.
2. Hubungan Sosial
Dalam hal hubungan sosial, warga Desa Tenganan sangat menerima warga lain yang
ingin menetap dalam wilayah Tenganan, namun penempatan wilayah tempat tinggal mereka
yang ingin menetap di desa tersebut dipisahkan dari warga asli Tenganan, yaitu wilayah
Tenganan sebelah selatan. Selain itu warga juga membagi hasil panen desa secara adil sesuai
dengan ituran adat. Sehingga di desa Tenganan jarang sekali konflik, karena hidup mereka
sudah tercukupi oleh adat yang ada. Sekalipun ada konflik masyarakat Tenganan
memusyawarahkannya di kantor desa dengan pemimpin desa dan pamongnya.
Selain itu sebagian warga Tenganan bekerja sebagai pengrajin karena desa Tenganan
merupakan desa adat wisata sehingga mereka dapat memanfaatkannya. Pada sistem pagi hasil
panen mereka juga membagi kepada sesepuh dan orang yang baru menikah dengan batasan
lebih besar dari pemimpin. Karena menghormati sesepuhnya yang sudah tua dan menghargai
yang baru menikah karena warga menganggap mereka nantinya akan membutuhkan biaya
hidup yang banyak.
3. Teknologi
Dalam hal teknologi, warga Tenganan tidak menutup diri jika ada teknologi modern
yang masuk dalam wilayah tersebut. Seperti motor yang berlalu lintas dalam wilayah tersebut
kemudian adanya laptop dan alat komunikasi yang dipakai oleh masyarakat Tenganan, serta
tidak ada batasan sampai pukul berapa motor tersebut harus melewati wilayah tersebut.
top related