laporan manajemen kasus

Post on 22-Oct-2015

22 Views

Category:

Documents

7 Downloads

Preview:

Click to see full reader

DESCRIPTION

dermatitis

TRANSCRIPT

LAPORAN MANAJEMEN KASUS

DERMATITIS KONTAK IRITAN

Oleh:

dr. Lydia Amaliya

Pembimbing:

dr. Dini Kuswiandri

PUSKESMAS RANGKASBITUNG, LEBAK

BANTEN, NOVEMBER 2013

PENDAHULUAN

Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon terhadap

pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa

efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal.

Dermatitis kontak adalah reaksi fisiologik yang terjadi pada kulit karena kontak dengan substansi

tertentu, dimana sebagian besar reaksi ini disebabkan oleh iritan kulit dan sisanya disebabkan

oleh alergen yang merangsang reaksi alergi.

Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan inflamasi pada kulit yang bermanifestasi

sebagai eritema, edema ringan dan pecah-pecah. DKI dapat diderita oleh semua orang dari

berbagai golongan umur, ras dan jenis kelamin. Jumlah penderita DKI diperkirakan cukup

banyak terutama yang berhubungan dengan pekerjaan (DKI akibat kerja), namun dikatakan

angkanya secara tepat sulit diketahui.

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

DKI merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, dimana kerusakan kulit terjadi

langsung tanpa didahului proses sensitisasi. Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan inflamasi

pada kulit yang bermanifestasi sebagai eritema, edema ringan dan pecah-pecah. DKI merupakan

respon non spesifik kulit terhadap kerusakan kimia langsung yang melepaskan mediator-

mediator inflamasi yang sebagian besar berasal dari sel epidermis.

Epidemiologi

DKI dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras dan jenis kelamin.

Jumlah penderita DKI diperkirakan cukup banyak terutama yang berhubungan dengan pekerjaan

(DKI akibat kerja), namun dikatakan angkanya secara tepat sulit diketahui.1 Hal ini disebabkan

antara lain oleh banyaknya penderita dengan kelainan ringan tidak datang berobat, atau bahkan

tidak mengeluh.

Berdasarkan jenis kelamin, DKI secara signifikan lebih banyak pada perempuan

dibanding laki-laki. Tingginya frekuensi ekzem tangan pada wanita dibanding pria karena faktor

lingkungan, bukan genetik. Berdasarkan usia, DKI bisa muncul pada berbagai usia. Banyak

kasus karena dermatitis ”diaper” (popok) terjadi karena iritan kulit langsung pada urine dan

feses. Seorang yang lebih tua memiliki kulit lebih kering dan tipis yang tidak toleran terhadap

sabun dan pelarut. DKI bisa mengenai siapa saja, yang terpapar iritan dengan jumlah yang

sufisien, tetapi individu dengan dengan riwayat dermatitis atopi lebih mudah terserang.

Etiologi

Penyebab munculnya DKI adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut,

deterjen, minyak pelumas, asam alkali, serbuk kayu, bahan abrasif, enzim, minyak, larutan

garam konsentrat, plastik berat molekul rendah atau bahan kimia higroskopik. Kelainan kulit

yang muncul bergantung pada beberapa faktor, meliputi faktor dari iritan itu sendiri, faktor

lingkungan dan faktor individu penderita.

Iritan adalah substansi yang akan menginduksi dermatitis pada setiap orang jika terpapar

pada kulit: dalam konsentrasi yang cukup, pada waktu yang sufisien dengan frekuensi yang

sufisien. Masing-masing individu memiliki predisposisi yang berbeda terhadap berbagai iritan,

tetapi jumlah yang rendah dari iritan menurunkan dan secara bertahap mencegah kecenderungan

untuk meninduksi dermatitis.

Patogenesis

Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui

kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan

lemak lapisan tanduk dan mengubah daya ikat air kulit. Kebanyak bahan iritan (toksin) merusak

membran lemak keratinosit tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom,

mitokondria atau komplemen inti. Kerisakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan

asam arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), platelet actifating factor (PAF) dan inositida (IP3).

AA dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrin (LT). PG dan LT menginduksi

vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskuler sehingga mempermudah transudasi

komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak sebagai kemoatraktan kuat untuk limfosit dan

neutrofil, serta mengaktifasi sel mas melepaskan histamin, LT dan PG lain, dan PAF, sehingga

memperkuat perubahan vaskuler.

DAG dan second messenger lain mengstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein,

misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyt-macrophage colony stimulating factor (GMCSF).

IL-1 mengaktifkan sel T-penolong mengeluarkan IL-2 an mengekspresi reseptor IL-2 yang

menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut.

Keratinosit juga membuatmolekul permukaan HLA-DR dan adesi intrasel- (ICAM-1).

Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNFά, suatu sitokin proinflamasi yang

dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan

pelepasan sitokin. Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat

terjadinya kontak di kulit berupa eritema, edema, panas, nyeri, bila iritan kuat. Bahan iritan

lemah akan menimbulkan kelainan kulit setelah berulang kali kontak, dimulai dengan kerusakan

stratum korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi

sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel dibawahnya oleh iritan.

Klinis

a.Riwayat Penyakit

Riwayat yang terperinci sangat dibutuhkan karena diagnosis dari DKI tergantung pada

adanya riwayat paparan iritan kutaneus yang mengenai tempat-tempat pada tubuh. Tes tempel

juga digunakan pada kasus yang berat atau persisten untuk menyingkirkan DKA.

Onset gejala muncul dalam beberapa menit hingga beberapa jam pada DKI akut. Pada DKI

subakut merupakan ciri iritan tertentu seperti benzalkonium klorida (ada pada disinfektak) yang

mendatangkan reaksi radang 8-24 jam setelah paparan. Onset dan gejala bisa tertunda beberapa

minggu pada DKI kumulatif. Nyeri, rasa terbakar, rasa tersengat atau tidak nyaman pada fase

awal.

b.Pemeriksaan Fisik

Kriteria diagnostik primer DKI menurut Rietschel meliputi:

Makula eritema, hiperkeratosis atau fisura yang menonjol.

Kulit epidermis seperti terbakar

Proses penyembuhan dimulai segera setelah menghindari paparan bahan iritan

Tes tempel negatif dan meliputi semua alergen yang mungkin

Diagnosis

Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran klinis. DKI

akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat sehingga penderita pada umumnya

masih ingat apa yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya DKI kronis timbul lambat serta

mempunyai variasi gambaran klinis yang luas, sehingga kadang sulit dibedakan dengan DKA.

Untuk ini diperlukan uji tempel dengan bahan yang dicurigai.

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan kultur bakteri bisa dilakukan apabila ada komplikasi infeksi sekunder

bakteri. Pemeriksaan KOH bisa dilakukan dan sampel mikologi bisa diambil untuk

menyingkirkan infeksi tinea superficial atau kandida, bergantung pada tempat dan bentuk lesi.

Uji tempel dilakukan untuk mendiagnosis DKA, tetapi bukan untuk membuktikan adanya iritan

penyebab munculnya DKI. Diagnosis adalah berdasarkan eksklusi DKA dan riwayat paparan

iritan yang cukup. Biopsi kulit bisa membantu menyingkirkan kelainan lain seperti tinea,

psoriasis atau limfoma sel T.

Penatalaksanaan

Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik

yang bersifat mekanik, fisis atau kimiawi serta menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila

dapat dilakukan dengan sempurna dan tanpa komplikasi, maka tidak perlu pengobatan topikal

dan cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering.

Apabila diperlukan untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal.

Pemakaian alat perlindungan yang adekuat diperlukan bagi mereka yang bekerja dengan bahan

iritan sebagai upaya pencegahan.

a. Dermatitis akut

Untuk dermatitis akut, secara lokal diberikan kompres larutan garam fisiologis atau

larutan kalium permanganas 1/10.000 selama 2-3 hari dan setelah mengering diberi krim yang

mengandung hidrokortison 1-2,5%.

Secara sistemik diberikan antihistamin (CTM 3x1 tablet.hari) untuk menghilangkan rasa

gatal. Bila berat/luas dapat diberikan prednison 30 mg/hari dan bila sudah ada perbaikan

dilakukan tapering. Bila terdapat infrksi sekunder diberikan antibiotik dengan dosis 3x500 mg

selama 5-7 hari.

b. Dermatitis kronik

Topikal diberikan salep mengandung steroid yang lebih poten seperti hidrokortison yang

mengalami fluorinasi seperti desoksimetason, diflokortolon. Sistemik diberikan antihistamin

(CTM 3x1 tablet.hari) untuk menghilangkan rasa gatal.

KASUS

Identitas Penderita

Nama : Ny. E

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 31 tahun

Suku : Sunda

Agama : Islam

Alamat : Pasir Sukarayat

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Anamnesis

Keluhan utama:

Gatal-gatal pada leher bagian kiri sejak 3 hari yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang dengan keluhan gatal-gatal di bagian leher sebelah kiri. Keluhan ini sudah

dirasakan sejak 3 hari yang lalu. Awalnya kulit terasa gatal, terlihat kemerahan dan bintik-bintik

merah, kemudian kulit pasien seperti bersisik dan mengelupas serta terasa perih. Keluhan ini

dikatakan muncul setelah pasien menempelkan koyo di bagian lehernya karena pegal. pasien

belum mendapatkan pengobatan sebelumnya.

Riwayat Penyakit Terdahulu:

Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Pasien memiliki riwayat alergi

makanan laut.

Riwayat Keluarga:

Ibu pasien memiliki riwayat alergi, asma disangkal.

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : baik

Tekanan darah : 120/90 mmHg

Nadi : 84x/menit

RR : 20x/menit

Suhu: 360C

Status General : dalam batas normal

Status Dermatologicus :

Lokasi : regio colli sinistra

Distribusi : terlokalisir

Bentuk / susunan : tidak khas / tidak khas

Batas : tegas

Ukuran : milier, plakat

Efloresensi : plak eritem, papul eritem, erosi, krusta.

Resume

Ny. E, 31 tahun datang dengan keluhan gatal-gatal di bagian leher sebelah kiri sejak 3 hari yang

lalu. Awalnya kulit terasa gatal, terlihat kemerahan dan bintik-bintik merah, kemudian kulit

pasien seperti bersisik dan mengelupas serta terasa perih. Keluhan ini dikatakan muncul setelah

pasien menempelkan koyo di bagian lehernya karena pegal. Pasien memilik riwayat alergi

makanan laut.

Diagnosis Kerja

Dermatitis Kontak Iritan

Terapi

Medikamentosa:

Kortikosteroid : Betamethason 0,1% topikal

CTM tablet 3x1

Non Medikamentosa:

Hindari bahan iritan (koyo) dan allergen (makanan laut)

PEMBAHASAN

DKI merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, dimana kerusakan kulit terjadi

langsung tanpa didahului proses sensitisasi. Berdasarkan jenis kelamin, DKI secara signifikan

lebih banyak pada perempuan dibanding laki-laki. Secara epidemiologis, hal-hal tersebut di atas

dapat ditemukan pada kasus ini. Pasien pada kasus ini adalah seorang wanita dimana dari hasil

anamnesis pasien sebelumnya menempelkan koyo di bagian lehernya.

Iritan adalah substansi yang akan menginduksi dermatitis pada setiap orang jika terpapar

pada kulit: dalam konsentrasi yang cukup, pada waktu yang cukup dengan frekuensi yang

adekuat. Masing-masing individu memiliki predisposisi yang berbeda terhadap berbagai iritan.

Pada pasien ini, lesi yang dialaminya tidak hanya diakibatkan oleh iritan yang terkandung dalam

koyo, namun juga terdapat faktor lingkungan dan faktor individu yang ikut berperan dalam

terjadinya lesi pada pasien.

Diagnosis pada kasus ini adalah DKI. Dari anamnesis diketahui pasien mengeluh gatal,

bintik kemerahan, bersisik, dan mengelupas setelah menempelkan koyo pada leher. Dari

pemeriksaan fisik ditemukan papul eritema, erosi, serta krusta pada leher bagian kiri. Pada DKI,

riwayat yang terperinci sangat dibutuhkan karena diagnosis dari DKI tergantung pada adanya

riwayat paparan iritan kutaneus yang mengenai tempat-tempat pada tubuh. Diagnosis DKI

didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran klinis. Dari anamnesis dan

pemeriksaan fisik telah diuraikan pada paragraf sebelumnya.

Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik

yang bersifat mekanik, fisis atau kimiawi serta menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila

dapat dilakukan dengan sempurna dan tanpa komplikasi, maka tidak perlu pengobatan topikal

dan cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering. Apabila diperlukan untuk

mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal. Pemakaian alat perlindungan yang

adekuat diperlukan bagi mereka yang bekerja dengan bahan iritan sebagai upaya pencegahan.

Pada pasien ini obat yang diberikan adalah kortikosteroid topikal Betamethason 0,1%. Hal ini

sesuai karena betamethason merupakan kortikosteroid potensi tinggi yang memiliki efek anti

inflamasi kuat juga tersedia di puskesmas. Pasien diberikan antihistamin berupa CTM 3x1 untuk

mengurangi keluhan gatal. Pasien juga diberikan KIE untuk menghindari kontak dengan koyo.

Adapun KIE ini bertujuan untuk menghindari pajanan iritan dan menyingkirkan faktor yang

memperberat (kekerapan, kelembaban, trauma fisik).

DAFTAR PUSTAKA

1. Sularsito, S. A., dan Djuanda, S. Dermatitis. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta; 2005. hal:129-153.

2. Lehrer, M. S. Contact dermatitis. Medline Plus Medical Encyclopedia; 2006. Available at:

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus.html

3. Michael, J. A. Dermatitis, Contact. Emedicine; 2005. Available at:

http://www.emedicine.com/specialties.htm

4. Schalock, P. C. Dermatitis. Merck Manual Home Edition; 2006. Available at:

http://www.merck.com

LAMPIRAN FOTO

top related