manajemen kasus i.docx

24
 MANAJEMEN KASUS ANESTESI 1 Anestesi Umum pada Seksio Sesarea IDENTITAS  Nama : Ny. S  Nomor RM : 169846 Umur : 30 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam Pekerjaan : Ibu rumah tangga Alamat : Pranbon Masuk RS : 12 September 2014 Anamnesis : Autoanamnesis dan pengambilan data sekunder dari status pasien Tanggal : Operasi dilakukan tanggal 13 September 2013 ANAMNESIS Keluhan Utama Perut terasa kenceng-kenceng. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang dengan keluarga ke rumah sakit dengan membawa surat rujukan dengan G 2 P 1 A 0 , umur kehamilan 40 minggu. Pasien mengeluhkan kenceng-kenceng sejak pukul malam tanggal 11 September. Keluhan dirasakan hilang timbul, semakin lama semakin kencang. Pasien tidak mengeluhkan adanya keluar air dari jalan lahir, lendir darah. Pasien merasakan gerakan janin. Berdasarkan keterangan dari pasien, pasien memeriksakan kandungannya di bidan rutin sesuai jadwal didaerah setempat. Anamnesis Sistem Serebrospinal : Demam (-), nyeri kepala (-)

Upload: fitri-suci

Post on 09-Oct-2015

56 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

MANAJEMEN KASUS ANESTESI 1Anestesi Umum pada Seksio Sesarea

IDENTITAS

Nama: Ny. SNomor RM: 169846Umur: 30 tahunJenis Kelamin: PerempuanAgama: IslamPekerjaan: Ibu rumah tanggaAlamat: PranbonMasuk RS: 12 September 2014Anamnesis: Autoanamnesis dan pengambilan data sekunder dari status pasienTanggal: Operasi dilakukan tanggal 13 September 2013

ANAMNESIS

Keluhan UtamaPerut terasa kenceng-kenceng.Riwayat Penyakit SekarangPasien datang dengan keluarga ke rumah sakit dengan membawa surat rujukan dengan G2P1A0, umur kehamilan 40 minggu. Pasien mengeluhkan kenceng-kenceng sejak pukul malam tanggal 11 September. Keluhan dirasakan hilang timbul, semakin lama semakin kencang. Pasien tidak mengeluhkan adanya keluar air dari jalan lahir, lendir darah. Pasien merasakan gerakan janin. Berdasarkan keterangan dari pasien, pasien memeriksakan kandungannya di bidan rutin sesuai jadwal didaerah setempat.

Anamnesis SistemSerebrospinal:Demam (-), nyeri kepala (-)

Kardiovaskuler:Nyeri dada (-), berdebar-debar (-)

Respirasi:Batuk (-), pilek(-), sesak nafas (-)

Gastrointestinal:Mual (-), muntah (-),

Urogenital:BAK (+) warna kuning jernih

Integumentum:Gatal-gatal (-), kemerahan (-)

Muskuloskeletal:Kelemahan anggota gerak (-), nyeri otot (-), nyeri sendi (-)

Riwayat KehamilanPasien mengatakan bahwa ini merupakan kehamilan yang kedua. Selama hamil pasien belum pernah melakukan pemeriksaan USG di dokter. Pasien tidak pernah merasakan keluar darah dari jalan lahir selama kehamilan ini. Pasien merasakan pertumbuhan janin bertambah besar seiring pertambahan usia kehamilan. Pasien mulai merasakan gerak janin sejak usia kehamilan 4 bulan, dan pasien tidak ada mengeluh sakit selama hamil.Riwayat PersalinanPasien belum pernah bersalin.Riwayat PerkawinanMenikah sebanyak satu kali ini.Riwayat ReproduksiMenstruasi pertama pasien sudah lupa. Siklus menstruasi teratur, tiap 1 bulan, dengan lamanya 7 hari, ganti pembalut sehari 2 sampai 3 kali. Riwayat KontrasepsiSelama ini pasien belom pernah menggunakan kontrasepsi.Riwayat Penyakit DahuluPasien menyangkal adanya riwayat asma atau sesak nafas, kencing manis, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, sakit kuning, atau alergi. Pasien tidak pernah menjalani operasi sebelumnya. Pasien tidak menggunakan gigi palsu.Riwayat Penyakit KeluargaPasien menyangkal adanya riwayat asma, kencing manis, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, atau alergi pada keluarga.

Kebiasaan dan LingkunganPasien menyangkal kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, dan tidak mengonsumsi obat-obatan tertentu dalam jangka panjang, kecuali yang diberi dari bidan setempat saat pasien mengikuti pemeriksaan rutin, obat-obat penambah darah dan vitamin

PEMERIKSAAN FISIK

Status UmumKeadaan umum:Cukup baik

Kesadaran:Kompos MentisGCS : E4V5M6

Berat Badan:58 kg

Tanda VitalTekanan darah:120/76 mmHg

Frekuensi nadi:88 kali / menit

Frekuensi nafas:20 kali / menit

Suhu:36,5 C

Status LokalisKepala:Mesosefal, sklera ikterik (-), konjungtiva anemis (-), gigi palsu (-), pupil isokor (+), sianosis (-)

Leher:Massa (-), pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)

Toraks:Simetris (+), nyeri tekan (-)

Jantung:S1/S2 tunggal, reguler, suara jantung tambahan (-)

Paru-paru:Vesikuler +|+

Abdomen:Stria gravidarum (+), skar operasi (-), perut membesar, bising usus (+)

Ekstremitas:Edema tungkai (-), akral hangat (+)

Status ObstetrikTinggi fundus uteri:31 cm

Taksiran berat janin:3200 gram

His:Teratur

Denyut jantung janin:12-12-12

Abdomen:Leopold I: Bokong

Leopold II: Punggung bayi di perut kiri

Leopold III: Kepala

Leopold IV: Belum masuk panggul

Pemeriksaan dalam:Pembukaan 2 cm, Hodge I, porsio tebal

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Darah LengkapParameterHasilSatuanRujukan

WBC8,1109/L4,0-10,0

Limfosit %1,6%0,8-4,0

Mid %7,4%3,0-9,0

Granulosit %71,2%50,0-70,0

Hemoglobin11,5g/dL11,0-16,0

Hematokrit34,4%37,0-50,0

MCV94,2fL82,0-95,0

MCH33,2pg27,0-31,0

MCHC345g/L320-360

Trombosit223109/L100-300

Pemeriksaan HematologiParameterHasilSatuanRujukan

Waktu perdarahan1 Menit 1-3

Waktu penjendalan7,5 menit 5-15

Pemeriksaan LainHbsAg : negatifGDA: 80 mg/dL

DIAGNOSIS KLINISG2P1A0 dengan usia kehamilan 41/42 minggu, letak kepala, THIU, postterm, BSC

TINDAKAN OPERASISeksio sesarea segera dengan insersi IUD (intrauterine device)

PENATALAKSANAAN ANESTESI

Status AnestesiDiagnosis:Pasien Ny. S, 30 tahun, dengan diagnosis G2P1A0, umur kehamilan 41/42 minggu, letak kepala,THIU, postterm,BSC taksiran berat janin 3200 gram.

Anamnesis:Pasien menyangkal adanya riwayat asma, hipertensi, diabetes melitus, alergi, penggunaan gigi palsu, atau gigi yang goyang. Makan atau minum terakhir pukul 09.00 WIB.

Status fisik:Berat badan 58 kg, tekanan darah 127/87 mmHg, frekuensi nadi 98 kali / menit, frekuensi nafas 20 kali / menit. ASA I E.

Penunjang:Hemoglobin 11,5 g/dL; hematokrit 34,4 %.

Perencanaan Anestesi Konsultasi kepada dokter spesialis anestesi dengan instruksi sebagai berikut : Jenis anestesi:Anestesi umum.

Premedikasi:Tidak diberikan obat premedikasi.

Teknik:Anestesia balans, kombinasi intravena dan inhalasi.

Induksi:Ketamine (KTM ) 100 mg.

Relaksan otot:Rocuronium bromide (Roculax ) 20 mg.

Pemeliharaan:Oksigen 2 lpm, N2O 2 lpm, dan isoflurane 1,2 MAC.

Pengawasan:Observasi tanda vital intraanestesi setiap 5 menit, kedalaman anestesi, balans cairan.

Pascaoperasi:Perawatan pascaoperasi di ruang pulih sadar.

Pelaksanaan AnestesiBerikut ini adalah langkah-langkah kerja yang dilakukan selama pelaksanaan anestesi pada pasien Ny. S di ruang operasi :1. Pasien masuk ruang operasi pada pukul. 08.30, sudah terpasang akses intravena. Dilakukan persiapan posisi dan pemasangan monitor bedside untuk mengawasi tekanan darah dan frekuensi nadi, serta pemasangan pulse oxymetry untuk mengevaluasi saturasi hemoglobin. Setelah alat-alat evaluasi terpasang, dilakukan pemeriksaan fisik ulang.2. Diberikan preoksigenasi yaitu pemberian oksigen 6 liter/menit dengan masker selama 5 menit.3. Pada pukul 08.50 dilakukan induksi dengan ketamine (KTM ) 100 mg intravena dengan memperhatikan tanda vital pasien, ditunggu 1 menit hingga nampak efeknya. Ahli bedah dipersilakan untuk mencoba memberikan rangsang nyeri untuk menilai efek anestesi.4. Diberikan rocuronium bromide (Roculax ) 20 mg intravena, ditunggu 2 menit hingga nampak efeknya. 5. Dilakukan intubasi dengan endotracheal tube (ETT) ukuran 7,0, auskultasi kedua paru untuk memastikan ETT sudah terpasang dengan benar. Setelah itu dilakukan pemasangan oropharyngeal airway. 6. Dialirkan O2 sebanyak 2 lpm, N2O sebanyak 2 lpm, dan isoflurane sebanyak 1,2 MAC untuk maintenance. 7. Diberikan respirasi kontrol untuk memenuhi minute volume pasien.8. Pada pukul 08.59 lahir bayi laki-laki dengan berat badan 3400 gram, panjang badan 50 cm, dan Skor Apgar 7-8.9. Segera setelah bayi lahir, pasien diberi injeksi oxytocin (induxin ) 10 unit intravena dan 10 unit drip dalam RL, dan asam traneksamat 500 mg intravena.10. Setelah ahli bedah selesai menutup peritonium, pasien diberikan assisted respiration dengan memperhatikan saturasi hemoglobin.11. Pada pukul 10.05, ahli bedah sudah selesai melakukan operasi, pemberian N2O dan isoflurane dihentikan, sementara pemberian O2 dinaikkan hingga 6 lpm. 12. Dilakukan suction pada jalan nafas pasien.13. Pasien dibangunkan, diikuti dengan ekstubasi ETT dan oropharyngeal airway. 14. Pasien dipersiapkan untuk dibawa ke ruang pulih sadar. Pada pukul 10.10 pasien masuk ruang pulih sadar dengan skor aldrete 8.Hasil pemantauan tanda vital (tekanan darah dan frekuensi nadi), cairan masuk, dan cairan keluar selama dilakukan anestesi :

Hasil pemantauan cairan keluar selama dilakukan anestesi : Perdarahan: 500 cc Urine: 100 ccCairan yang masuk selama anestesi Ringer laktat 1000 cc.Instruksi di ruang pulih sadar : Berikan O2 masker sebanyak 6 lpm. Awasi keadaan umum dan tanda vital setiap 15 menit sampai dengan pasien sadar penuh. Sementara puasa sampai dengan sadar, jika tidak ada mual atau rasa ingin muntah, terdapat bising usus, sudah ada flatus, pasien boleh mulai makan dan minum sedikit-sedikit. Jika skor aldrete sudah mencapai 8 atau lebih, pasien dapat pindah ke ruangan.

PEMBAHASANMANAJEMEN KASUS I

Anestesi UmumAnestesi umum adalah suatu tindakan yang menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh dari sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel (Soenarjo, 2010). Pasien yang sedang teranestesi dapat dikatakan sedang dalam keadaan yang dapat dikendalikan dan dalam keadaan tidak sadar yang sifatnya reversibel. Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan menimbulkan nyeri yang tidak tertahankan, merangsang perubahan fisiologis secara ekstrim, dan meninggalkan memori yang tidak mengenakkan (Desai, 2011). Dikenal istilah trias anestesi, yaitu hipnosis, analgesia, dan arefleksia. Saat ini anestesi umum tidak hanya mempunyai ketiga komponen tersebut, namun lebih luas. Soenarto, dkk. (2012) mengatakan bahwa komponen yang ada dalam anestesi umum yaitu :1. Hipnosis, yaitu suatu keadaan hilangnya kesadaran.2. Analgesia, yaitu suatu keadaan hilangnya rasa nyeri yang ditimbulkan oleh rangsang.3. Arefleksia, yaitu suatu keadaan hilangnya refleks-refleks motorik tubuh, sehingga memungkinkan imobilisasi pasien.4. Relaksasi otot.5. Amnesia, yaitu suatu keadaan hilangnya memori atau ingatan pasien selama menjalani prosedur operasi atau anestesi.Namun dalam praktik klinis sehari-hari, tidak semua komponen di atas harus terpenuhi semua. Untuk prosedur bedah, analgesia merupakan peringkat teratas komponen anestesi yang harus dipenuhi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa anestesi umum adalah suatu tindakan yang menyebabkan perubahan fisiologis secara reversibel yang dikondisikan untuk memungkinkan pasien menjalani berbagai prosedur medis (Soenarto, dkk., 2010).

Keuntungan anestesi umum : Pasien tidak sadar, mencegah kecemasan atau ansietas pasien selama prosedur medis berlangsung. Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat kecemasan dan berbagai kejadian intraoperatif yang meungkin memberikan trauma psikologis. Memungkinkan dilakukannya prosedur yang memakan waktu lama. Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien.Kerugian anestesi umum : Sangat mempengaruhi fisiologi. Hampir seluruh regulasi tubuh menjadi tumpul di bawah anestesi umum. Memerlukan pemantauan yang lebih holistik. Tidak dapat mendeteksi gangguan susunan saraf pusat. Memerlukan persiapan pasien yang lebih seksama.

Manajemen Perianestesia Keseluruhan prosedur anestesi dimulai sejak 1.) preanestesi, 2.) intraanestesi, dan 3.) postanastesi. Ketiga periode ini dikenal sebagai periode perianestesi. Tujuan dari manajemen perianestesi ini adalah untuk mempersiapkan pasien seoptimal mungkin untuk dilakukan anestesi. Manajemen perianestesi sulit untuk optimal jika waktu yang tersedia sempit. Hal tersebut menyebabkan pembedahan emergensi selalu memiliki angka morbiditas atau mortalitas yang lebih tinggi.

I. Periode PreanestesiaTujuannya adalah untuk mencari kemungkinan penylit anestesi atau dalam tindakan pembedahan. Harus diketahui riwayat kesehatan pasien dan riwayat pemakaian obat-obatan. Salah satu penyulit anestesi adalah kelainan anatomi, terutama anatomi jalan nafas. Kelainan fungsi tubuh dan penyakit penyerta juga perlu diketahui karena akan berhubungan dengan pilihan teknik dan obat anestesi. Infeksi akut harus diatasi dulu pada operasi elektif. Evaluasi preanestesi didapatkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang jika diperlukan. Hal lain yang perlu diketahui adalah menanyakan waktu makan atau minum terakhir. Pada umumnya, pasien dewasa memerlukan waktu 6-8 jam untuk mengosongkan lambung dari makanan padat, anak besar 4-6 jam, sedangkan anak kecil danbayi 4 jam. Cairan bening boleh diminum sedikit-sedikit hingga 2 jam preanestesi. Setelah seluruh data dikumpulkan maka dapat dilakukan penggolongan status fisik menurut ASA (American Society of Anesthesiologist). Status fisik pasien menggambarkan tingkat kebugaran pasien untuk menjalani anestesi. Klasifikasi status fisik yang dibentuk oleh ASA telah dikenal dan dipergunakan secara luas : Tabel 1. Klasifikasi status fisik menurut ASAKlasifikasi ASADeskripsiMortalitas (%)

Kelas IPasien sehat yang akan menjalani operasi.0,1

Kelas IIPasien dengan penyakit sistemik yang ringan atau sedang, tanpa pembatasan aktivitas.0,2

Kelas IIIPasien dengan penyakit sistemik berat yang membatasi aktivitas biasa.1,8

Kelas IVPasien dengan kelainan sistemik berat yang menyebabkan ketidakmampuan melakukan aktivitas biasa (rutin), yang mengancam nyawanya setiap waktu.7,8

Kelas VPasien yang tidak dapat hidup atau bertahan dalam 24 jam dengan atau tanpa operasi.9,4

Kelas VIPasien mati otak yang akan dilakukan donor organ.

Kelas EOperasi dilakukan darurat atau segara.

Pada pasien ini tidak didapatkan adanya panyakit sistemik seperti hipertensi, diabetes melitus, asma, atau alergi. Pasien ini dapat dikategorikan sebagai ASA I.

II. Periode Intraanestesi

Anestesi umum dimulai dengan induksi, diikuti oleh tahap pemeliharaan atau maintenance, dan diakhiri dengan pemulihan anestesi. Tahap pemulihan anestesi biasanya dilakukan dengan pengawasan di ruang pulih sadar hingga pasien memenuhi beberapa persyaratan untuk dipindahkan ke ruang perawatan atau dipulangkan.

InduksiDalam praktik, obat-obat anestesi dimasukkan ke dalam tubuh melalui inhalasi, intravena, intramuskuler, atau rektal. Setelah dilakukan induksi, dapat dinilai kedalaman anestesi atau stadium anestesi. Stadium anestesi dibuat berdasarkan efek dari ether, yaitu zat anestetik volatil poten yang digunakan luas pada zamannya, sehingga banyak dilakukan pengamatan dan penelitian terhadap efek zat anestetik tersebut. Guedel membagi kedalaman anestesi menjadi empat stadium, dengan menilai pernafasan, gerakan bola mata, pupil, tonus otot, dan refleks pada pasien yang mendapat anestesi ether. Klasifikasi stadium anestesi tersebut adalah :1. Stadium I : disebut juga sebagai stadium analgesia, disorientasi, atau induksi. Stadium ini adalah periode sejak masuknya obat induksi hingga hilangnya kesadaran, yang salah satunya ditandai dengan hilangnya refleks bulu mata. Pada stadium ini dapat dilakukan operasi kecil.2. Stadium II : disebut juga sebagai stadium eksitasi atau delirium. Setelah menghilangnya kesadaran, timbul eksitasi dan delirium. Stadium ini akan menyebabkan pernafasan menjadi ireguler, pupil melebar (midriasis), timbul gerakan-gerakan otot involunter, seringkali spastik, tonus otot meningkat, gerakan bola mata tidak teratur, peningkatan tonus simpatis, dan kadang-kadang pasien dapat muntah pada stadium ini. Refleks fisiologis dan refleks cahaya masih ada. Stadium ini diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata dan selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium ini merupakan stadium yang membahayakan pasien, sehingga harus segera diakhiri. 3. Stadium III : disebut juga sebagai stadium operasi atau pembedahan.Stadium ini terbagi menjadi empat plana, yaitu : Plana 1 : dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata. Ditandai dengan nafas teratur, gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil (miosis), refleks cahaya positif, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah menghilang, tonus otot menurun. Plana 2 : dari terhentinya gerakan bola mata sampai permulaan paralisis otot interkostalis. Ditandai dengan nafas teratur, volume tidal menurun, sehingga frekuensi nafas meningkat, pupil melebar (midriasis), refleks cahaya menurun, refleks kornea menghilang, dan tonus otot semakin menurun. Plana 3 : dari permulaan paralisis otot interkostalis sampai paralisis seluruh otot interkostal. Ditandai dengan pernafasan abdominal lebih dominan, pupil semakin lebar (midriasis), refleks cahaya menghilang, tidak ada lakrimasi, refleks laring dan peritoneal menghilang, tonus otot makin menurun. Plana 4 : dari paralisis semua otot interkostal sampai paralisis diafragma. Ditandai dengan pernafasan lambat, ireguler, tidak adekuat, tonus sangat menurun, sehingga mterjadi flaksid, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada, refleks spingter ani tidak ada.4. Stadium IV : merupakan stadium overdosis obat anestetik atau stadium paralisis. Terjadi depresi berat semua sistem tubuh, termasuk batang otak. Ditandai dengan hilangnya semua refleks, pupil dilatasi, terjadi kegagalan respirasi dan diikuti dengan kegagalan sirkulasi.

Beberapa faktor yang mempengaruhi anestesi antara lain adalah :1. Faktor Respirasi (untuk obat inhalasi)Setelah obat inhalasi sampai alveolus, akan mencapai tekanan parsial tertentu. Makin tinggi konsentrasi zat yang diinhalasi, semakin tinggi tekanan parsialnya. Perbedaan tekanan parsial zat anestesi di dalam alveolus dan di dalam darah akan menyebabkan terjadinya difusi. Bila tekanan parsial di alveolus tinggi, maka akan terjadi difusi dari alveolus ke dalam sirkulasi, demikian sebaliknya. Semakin tinggi perbedaan tekanan parsial, semakin cepat terjadinya difusi.2. Faktor SirkulasiAliran darah paru menentukan pengangkutan gas anestesi dari paru ke jaringan dan sebaliknya. Jika terjadi gangguan pembuluh darah pada paru maka obat yang dapat diangkut juga akan semakin sedikit. Demikian pula pada keadaan cardiac output yang menurun. Koefisien partisi gas darah (Blood gas partition coefisient) adalah rasio konsentrasi zat anestesi dalam darah dan dalam gas bila keduanya dalam keadaan keseimbangan. Bila kelarutan zat anestesi dalam darah tinggi (koefisien BG tinggi), maka obat akan berdifusi cepat larut di dalam darah.3. Faktor JaringanFaktor jaringan dipengaruhi oleh perbedaan tekanan parsial obat anestesi di dalam sirkulasi darah dan di dalam jaringan, kecepatan metabolisme obat, dan aliran darah dalam jaringan.4. Faktor Obat AnestesiUntuk mengukur potensi obat anestesi inhalasi dikenal adanya MAC (minimal alveolar concentration), yaitu konsentrasi obat anestesi inhalasi minimal pada tekanan udara 1 atmosfer yang dapat mencegah gerakan otot skelet sebagai respon rangsang sakit supramaksimal pada 50 % pasien. Semakin rendah MAC, semakin tinggi potensinya.Induksi inhalasi disebut juga sebagai induksi lambat, karena memerlukan waktu yang lama. Sedangkan induksi intravena disebut sebagai induksi cepat. Pada pasien ini digunakan induksi intravena menggunakan ketamine 100 mg. Ketamine yang digunakan tersedia dalam sediaan 100 mg/mL, dengan nama dagang KTM, yang memerlukan pengenceran untuk penggunaannya. Untuk mendapatkan dosis 10 mg/mL, ambil 1 mL ketamine menggunakan spuit 10 cc, kemudian diencerkan menggunakan aquabides hingga mencapai 10 cc.

Ketamine akan menimbulkan anestesi disosiasi, yaitu interpretasi yang berbeda pada setiap rangsang yang diterima, yang disebabkan oleh gangguan fungsi talamokortikal dan sistem limbik. Dalam keadaan anestesi disosiasi, pasien mengalami katalepsi, mendapat analgesik yang kuat dan anestesi, tetapi hanya mengalami sedasi ringan. Ketamine bekerja dengan menghambat reseptor NMDA yang akan mencegah potensiasi potensial eksitatorik postsinaps. Karena menghambat reseptor NMDA, ketamine akan menyebabkan halusinasi. Tabel 2. Efek ketamine terhadap beberapa sistem organSistem Organ Efek

OtakMeningkatkan aliran darah otak, konsumsi oksigen, dan tekanan intrakranial.

KardiovaskulerMeningkatkan tekanan darah, frekuensi jantung, dan curah jantung, yang terjadi 2-4 menit setelah pemberian, kemudian akan normal kembali setelah 10-20 menit. Hal tersebut karena peningkatan tonus simpatis oleh epinefrin dan norepinefrin.

RespirasiSedikit mengurangi frekuensi nafas. Melebarkan bronkus (dapat dipakai pada pasien penderita asma). Jika pemberian intravena terlalu cepat atau digunakan pada pasien yang mendapat narkotik, akan menyebabkan apneu.

PlasentaMenembus plasenta. Pada dosis yang tinggi akan menyebabkan apgar skor yang rendah pada bayi yang dilahirkan.

Kontraindikasi obat ini adalah : hipertensi yang tidak terkontrol, hipertiroid, eklamsi atau preeklamsi, gagal jantung, infark miokard, dan tekanan intraokuler yang tinggi. Pada pasien ini tidak ditemukan adanya kontraindikasi untuk pemakaian ketamine, sehingga obat ini sesuai untuk pasien. Dosis ketamine menurut Soenarjo (2010) untuk induksi intravena adalah 0,5 2 mg/kgBB, sementara untuk induksi intramuskuler adalah 4 6 mg/kgBB. Setelah pemberian dosis 2 mg/kgBB intravena, pemulihan akan terjadi antara 10 15 menit kemudian, sedangkan keadaan disosiatifnya mungkin akan bertahan hingga lebih dari 20 menit. Pasien ini memiliki berat badan 58 kg, sehingga perhitungannya untuk melakukan induksi intravena membutuhkan dosis sebesar 29 116 mg. Pada pelaksanaannya, pasien diberikan ketamine 100 mg, hal ini sesuai dengan literatur yang ada. Onset obat ini jika diberikan intravena adalah 30 (10-60) detik, sementara jika diberikan intramuskuler adalah 3-4 (3-20) menit.

Pemeliharaan (Maintenance)Pada periode ini diberikan obat anestesi dalam dosis tertentu, sehingga tercapai anestesi yang tidak terlalu dalam dan tidak terlalu dangkal. Pada fase pemeliharaan dapat dipakai obat inhalasi dan obat intravena atau gabungan keduanya, sehingga dosis masing-masing dapat diperkecil. Diperlukan anestesi umum sampai tingkat kedalamannya mencapai trias anestesi, yaitu hipnotik, analgetik, dan relaksasi otot. Pada pasien yang tingkat analgesinya tidak cukup dan tidak mendapat pelemas otot, jika mendapat rangsang nyeri akan menimbulkan gerakan lengan atau kaki, adanya lakrimasi, pernafasan ireguler, atau terdapat tanda-tanda pelepasan adrenalin (katekolamin), seperti frekuensi nadi bertambah, tekanan darah meningkat, atau berkeringat. Jika ditemukan keadaan seperti tersebut di atas, diatasi dengan mendalamkan anestesi, salah satunya dengan cara menambah dosis obat. Jika hanya menggunakan obat tunggal, maka dosis yang diberikan harus sangat tinggi yang membahayakan pasien. Untuk mengatasinya, ada teknik agar mencapai trias anestesi pada kedalaman yang ringan, yaitu pasien dibuat tidur dengan hipnotik, analgesiknya menggunakan analgetik kuat, relaksasinya menggunakan pelemas otot (muscle relaxant). Teknik ini disebut sebagai balanced anaesthesia. Karena pada balanced anaesthesia menggunakan pelemas otot, maka otot-otot tidak dapat berkontraksi, termasuk otot-otot respirasi, sehingga diperlukan nafas buatan. Nafas pasien sepenuhnya tergantung dari pengendalian, maka balanced anaesthesia juga disebut dengan teknik respirasi kendali.Berdasar respirasinya, anestesi umum dibedakan menjadi tiga macam, yaitu : 1. Respirasi spontan, yaitu pasien bernafas sendiri secara spontan.2. Respirasi kendali / kontrol, yaitu pasien tidak bernafas dan membutuhkan pernafasan bantuan untuk memenuhi kebutuhan oksigen tubuh.3. Respirasi assisted, yaitu pasien bernafas spontan, tetapi masih harus diberikan bantuan untuk memenuhi minute volume. Pada pasien ini dilakukan teknik balanced anaesthesia, sehingga diperlukan intubasi endotrakeal untuk menjaga jalan nafas dan mempertahankan transpor oksigen tetap adekuat. Pada pasien ini diberikan obat pelemas otot (muscle relaxant) berupa obat dengan nama dagang roculax dengan sediaan 5 mL yang berisi rocuronium bromide 10 mg/mL. Transmisi rangsang saraf motorik ke otot terjadi di tautan neuromuskular, dengan neurotransmitter asetilkolin. Ketika impuls sampai ke ujung saraf motorik, maka terjadi influks kalsium dan pelepasan asetilkolin ke celah sinaptik. Jika asetilkolin yang dilepaskan dari ujung saraf ditangkap oleh reseptor asetilkolin, maka akan terjadi potensial aksi atau depolarisasi. Jika melewati ambang potensial maka akan terjadi kontraksi otot. Asetilkolin merupakan zat yang mudah dihidrolisis oleh asetilkolinesterase. Setelah dihidrolisis, depolarisasi berakhir dan terjadi repolarisasi.

Berdasarkan cara kerjanya, pelemas otot dibagi menjadi dua golongan, yaitu :1. Golongan depolarizing. Golongan ini akan menimbulkan depolarisasi motor endplate secara terus menerus, sehingga akan menimbulkan fasikulasi. Jika depolarisasi tersebut berlangsung cukup lama, maka akhirnya otot akan kehilangan respon kontraksi dan terjadi kelumpuhan. Contoh obat golongan ini adalah suksinil kolin.2. Golongan nondepolarizing. Obat ini bekerja dengan menempati reseptor membran untuk asetilkolin, sehingga terjadi inhibisi kompetitif. Contoh obatnya adalah D tubocurarine, alcuronium, pancuronium, atau rocuronium.

Rocuronium adalah pelemas otot nondepolarizing turunan aminosteroid. Dosisnya adalah 0,45 0,6 mg/kgBB intravena. Onsetnya tercapai dalam waktu 1 2 menit. Durasinya 31 menit (dosis 0,6 mg/kgBB) sampai 67 menit (dosis 1,2 mg/kgBB). Menurut literatur, pasien dengan berat badan 58 kg ini membutuhkan rocuronium bromide sebesar 26 hingga 34 mg. Sementara pada pelaksanaannya hanya diberikan 20 mg. Setelah mencapai onsetnya, perlu diberikan control respiration. Dengan memperhatikan volume tidal orang dewasa sebesar 7 mL/kgBB, maka kebutuhan volume tidal pasien ini adalah 58 kg x 7 mL, yaitu sebesar 406 mL. Frekuensi nafas dewasa normal adalah 14-20 kali/menit, sehingga minute ventilation-nya sebesar 5,6 L hingga 8,1 L. Apabila menggunakan ventilasi mekanik, pengendalian volume tidal diperlukan untuk mempertahankan ventilasi yang adekuat tanpa menyebabkan barotrauma. Pada pasien tanpa ada penyakit paru digunakan aturan 12-12, yaitu 12 mL/kgBB diberikan 12 kali dalam satu menit, sehingga didapatkan minute ventilation sebesar 8,3 L.Untuk pemeliharaan, pasien ini menggunakan campuran O2 dan N2O dengan besaran masing-masing 2 lpm, diikuti dengan pemberian isoflurane 1,2 MAC. 1. Nitrogen OksidaNitrogen oksida merupakan agen analgetik kuat, dengan efek anestesi lemah. Karena itu, sangat sulit memperoleh anestesi yang mulus jika hanya mengandalkan obat ini secara tunggal. Nitrogen oksida cenderung mengisi bagian tubuh yang berongga karena difusi ke ruang berongga lebih cepat dibanding pengeluarannya dari rongga ke sirkulasi, sehingga pada anestesi dengan nitrogen oksida : Memperberat pneumotoraks. Mengisi rongga usus. Mengisi rongga sinus paranasalis dan ruang telinga tengah. Emboli udara dalam sirkulasi darah akan membesar dan akan mempengaruhi sirkulasi. Berdifusi ke dalam kaf ETT, sehingga meningkatkan tekanan dalam kaf. Hipoksemia difusa, karena terjadi difusi jaringan dan rongga tubuh ke sirkulasi meskipun pemberian nitrogen oksida sudah dihentikan. Untuk itu diperlukan oksigenasi 100 % selama 5 10 menit. 2. IsofluraneIsoflurane adalah obat anestesi isomer dari enfluran. MAC isoflurane untuk usia 20-30 tahun adalah 1,28, untuk usia 30-55 tahun adalah 1,15, sementara usia di atas 55 tahun adalah 1,05. Nitrogen oksida menurunkan MAC isofluran. Sementara kehamilan menurunkan MAC isofluran sebesar 45 %. Pemeliharaan anestesi dengan kombinasi nitrogen oksida dan oksigen membutuhkan isoflurane 1 2,5 %. Apabila hanya menggunakan oksigen, diperlukan isoflurane 1,5 3 %. Pada pasien ini, diberikan isoflurane 1,2 %, sehingga menurut literatur cukup untuk pemeliharaan anestesi dengan kombinasi nitrogen oksida dan oksigen. Pada pasien yang mendapat anestesi isoflurane kurang dari 1 jam, akan sadar kembali dalam 7 menit setelah obat dihentikan. Sementara pasien yang mendapat isoflurane lebih dari 1 jam, akan sadar kembali dalam 11 menit setelah obat dihentikan. Selain dapat digunakan sebagai pemeliharaan, isoflurane juga dapat dijadikan obat induksi inhalasi. Dengan isoflurane 5 %, setelah 40 detik pasien akan tertidur dengan premedikasi fentanil 5g/kgBB. Namun karena baunya yang tajam membuat induksi dengan isoflurane menjadi kurang nyaman. Stadium operasi akan tercapai dalam waktu 7 menit setelah induksi inhalasi menggunakan isoflurane.

Pemulihan AnestesiApabila operasi telah selesai, maka anestesi dapat diakhiri dengan menghentikan pemberian obat anestesi. Pada anestesi inhalasi, bersamaan dengan penghentian obat anestesi, aliran oksigen harus dinaikkan, yang disebut sebagai oksigenasi (Soenarjo, 2010). Pada pasien ini, setelah dilakukan penghentian nitrogen oksida dan isoflurane, oksigen yang diberikan langsung ditingkatkan menjadi 6 lpm. Dengan oksigenasi, oksigen akan mengisi tempat yang sebelumnya diisi oleh obat anestesi inhalasi di alveolus yang berangsur-angsur keluar mengikuti udara ekspirasi. Tekanan parsial obat anestesi yang ada di alveolus lama kelamaan akan menurun, sehingga lebih rendah daripada tekanan parsial obat anestesi dalam darah. Hal tersebut mengakibatkan adanya difusi obat anestesi dalam darah menuju alveolus, yang diikuti oleh penurunan kadar obat anestesi dalam darah yang semakin berkurang. Selain itu, obat anestesi yang ada dalam darah juga telah mengalami metabolisme di hepar atau sudah mengalami ekskresi melalui ginjal atau keringat. Penurunan kadar obat anestesi dalam darah akan diikuti oleh pulihnya kesadaran penderita secara berangsur-angsur.Pasien ini menggunakan endotracheal tube, sehingga perlu dilakukan pencabutan atau ekstubasi. Ekstubasi dapat dilakukan pada saat pasien masih teranestesi dalam atau pada saat pasien telah sadar. Ekstubasi pada keadaan setengah sadar dapat mengakibatkan spasme jalan nafas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler, dan meningkatnya tekanan intrakranial. Ekstubasi pada saat penderita masih teranestesi mempunyai risiko tidak terjaganya jalan nafas dalam kurun waktu antara pasien tidak sadar hingga pasien sadar.Pada pasien yang mendapat balanced anaesthesia, ekstubasi dilakukan setelah nafas pasien adekuat. Untuk mempercepat pulihnya dari pengaruh pelemas otot, dapat dilakukan reverse, yaitu pemberian obat antiasetilkolinesterase. Sebagian ahli anestesi tetap memberikan reverse meskipun nafas sudah adekuat pada pasien yang mendapat pelemas otot.Untuk me-reverse pasien yang mendapatkan pelemas otot, digunakan prostigmin atau neostigmin, dengan dosis 0,06 mg/kgBB. Setiap 1 mg neostigmin harus diberikan juga sulfas atropin 0,6 1,2 mg/kgBB. Efek muskarinik yang ditimbulkan (misalnya bradikardi) dinetralisir oleh obat antikolinergik (parasimpatolitik), yaitu sulfas atropin, dengan ketentuan :1. Bila frekuensi nadi 100 kali/menit, diberi sulfas atropin terlebih dahulu hingga frekuensi nadi mencapai 100 kali/menit, kemudian diikuti pemberian neostigmin.2. Jika frekuensi nadi 100 kali/menit, sulfas atropin dan neostigmin dicampur dalam satu spuit.Pada pasien ini tidak dilakukan pemberian reversal menggunakan neostigmin, hanya menunggu hingga durasi obat pelemas otot habis, sehingga akan terjadi pernafasan yang masih membutuhkan bantuan, yang disebut sebagai assisted respiration.

Program Penggantian CairanPerdarahan yang diizinkan (allowed blood loss, ABL) merupakan jumlah perdarahan yang dapat ditoleransi pada sebuah operasi melalui perhitungan hematokrit atau hemoglobin terendah yang masih dapat ditoleransi. ABL dapat diperoleh dengan salah satu rumus berikut :

Hi = hematokrit awalHf = hematokrit terendah yang masih dapat ditoleransi

Hbi = hemoglobin awalHbf = hemoglobin terendah yang masih dapat ditoleransiUntuk menghitung perkiraan volume darah yang ada pada pasien, dapat diketahui dengan memperhitungkan berat badan, dengan rumus sebagai berikut :

Tabel 3. Rerata volume darahUsiaVolume darah (mL/kg)

Neonatus premature95

Neonatus aterm85

Infant80

Di atas 3 tahun70-75

Laki-laki dewasa75

Wanita dewasa65

Pasien ini merupakan wanita dewasa dengan berat badan 58 kg, hematokrit 34,4 %, hemoglobin 11,9 g/dL, sehingga dapat dihitung :Tabel 4. Perkiraan volume darahParameterPerhitunganHasil (mL)

EBV3770

ABL1235

Jumlah perdarahan500

Pada perhitungan, perkiraan volume darah pasien ini adalah 3770 mL dengan volume perdarahan yang diizinkan sebanyak 1235 mL (pada kadar hemoglobin 8 g/dL). Jumlah perdarahan pada pasien ini sebanyak 500 mL, sehingga melalui perhitungan tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan perdarahan sebanyak 500 cc, pasien ini masih dapat mempertahankan kadar hemoglobinnya di atas 8 g/dL. Sehingga program penggantian cairannya adalah sebagai berikut :Tabel 5. Program penggantian cairanParameterPerhitunganHasil (mL)

Penggantian darah1500 mL NS

Stres operasi386

Maintenance87

Dengan perkiraan jumlah perdarahan sebanyak 500 mL, maka dibutuhkan kristaloid sebanyak 1500 mL atau koloid 500 mL ditambah dengan kebutuhan cairan akibat stres operasi sebanyak 386 mL kristaloid, sehingga total kebutuhan cairan pada pasien ini adalah 1886 mL kristaloid. Sementara pada pasien ini telah diperoleh cairan kristaloid berupa ringer laktat sebanyak 1000 mL, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada pasien ini terdapat kekurangan cairan sebanyak 886 mL. Setelah kebutuhan cairan perianestesi terpenuhi, diberikan cairan kristaloid maintenance sebesar 69 mL/jam. Pemantauan output urin pada akhir operasi adalah sebesar 50 mL. Pada teori, seharusnya wanita dewasa mengeluarkan urin sebanyak 0,5-1 mL/kg/jam. Menurut teori, pasien ini seharusnya mengeluarkan urin sebanyak 29-58 mL.

III. Periode Pascaanestesi

Periode pascaanestesi merupakan tindak lanjut dari kondisi praanestesi dan intraanestesi. Penyebab tersering morbiditas pascaanestesi adalah analgetik yang tidak adekuat dan hipoksia. Hipoksia pascaanestesi dapat merupakan akibat dari tingginya kebutuhan oksigen (akibat menggigil atau akibat takikardi), dapat pula akibat turunnya suplai oksigen (akibat metabolit aktif pelemas otot yang menyebabkan pasien hipoventilasi bahkan apneu). Untuk menentukan kapan pasien dapat dipindahkan dari kamar operasi, dipakai modifikasi skor aldrete. Modifikasi skor aldrete adalah penilaian yang didasarkan atas respirasi, kesadaran, sirkulasi, aktivitas, dan saturasi oksigen. Masing-masing mempunyai nilai terendah 0 dan tertinggi 2. Pasien dengan aldrete skor 8 atau lebih dapat dipindahkan ke ruang perawatan. Untuk pasien rawat jalan setelah aldrete skor mencapai 10 tidak boleh langsung pulang, tetapi harus menunggu hingga 2 jam, untuk dilatih duduk, turun, jalan, dan minum secara bertahap. Tabel 6. Skor aldretteKriteriaSkorKondisi

1.Aktivitas2Mampu menggerakkan 4 ekstremitas

1Mampu menggerakkan 2 ekstremitas

0Tidak mempu menggerakkan ekstremitas

2.Respirasi2Mampu bernafas dalam dan batuk dengan bebas

1Dispneu, nafas dangkal atau terbatas

0Apneu

3.Sirkulasi2Tekanan darah < 20 mm dari preanestesi

1Tekanan darah 20 50 mm dari preanestesi

0Tekanan darah > 50 mm dari preanestesi

4.Kesadaran2Sadar penuh

1Bangun jika dipanggil

0Tidak berespon

5.Saturasi O22Saturasi O2 > 92 % pada udara kamar

1Perlu inhalasi O2 untuk saturasi O2 > 90 %

0Saturasi O2 < 90 % meski dengan suplemen O2

DAFTAR PUSTAKA

Desai, 2011. General Anaesthesia. http://emedicine.medscape.com/article/ 1271543-overview diakses tanggal 17 Maret 2013. Soenarjo, Hari Dwi Jatmiko, 2010. Anestesiologi. Semarang : Ikatan Dokter Spesialis Anestesi dan Reanimasi (IDSAI) Cabang Jawa Tengah.Soenarto, dkk., 2012. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta : Departemen Anestesiologi dan Intensive Care FKUI/RSCM.2