laporan kasus anak esa (dhf)
Post on 09-Apr-2016
58 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD/Dengue Hemmoragic Fever) merupakan masalah
kesehatan yang ditemukan di daerah tropis dan subtropis, terutama di daerah perkotaan.
DBD merupakan penyakit dengan potensi fatalitas yang cukup tinggi, yang ditemukan
pertama kali pada tahun 1950an di Filipina dan Thailand, saat ini dapat ditemukan di
sebagian besar negara di Asia. Jumlah negara yang mengalami wabah DBD telah meningkat
empat kali lipat setelah tahun 1995. Sebagian besar kasus DBD menyerang anak-anak.
Angka fatalitas kasus DBD dapat mencapai lebih dari 20%, namun dengan penanganan yang
baik dapat menurun hingga kurang dari 1 % (WHO, 2008).
Di Indonesia, DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 30 tahun
terakhir. Jumlah kasus DBD pada tahun 2007 telah mencapai 139.695 kasus, dengan angka
kasus baru (insidensi rate) 64 kasus per 100,000 penduduk. Total kasus meninggal adalah
1.395 kasus /Case Fatality Rate sebesar 1% (Depkes RI, 2008a). Pada saat ini kasus DBD
dapat ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia dan 200 kota telah melaporkan Kejadian
Luar Biasa (KLB) DBD (Depkes RI, 2008b).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Virus
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan Virus Dengue
yang termasuk anggota genus Flavivirus dan famili Flaviviridae. Virus berukuran kecil (50
nm) ini memiliki single stranded RNA. Virionnya terdiri atas nucleocapsid dengan bentuk
kubus simetris yang terbungkus dalam sampul lipoprotein. Genome dari virus Dengue
berukuran panjang ± 11.000 base pairs, dan terbentuk dari tiga gen protein struktural yaitu
selubung protein (E), nucleocapsid atau protein core (C), membrane associated protein (M)
suatu protein envelope dan serta tujuh gen protein non struktural (NS) yaitu NS1, NS2a,
NS2b, NS3, NS4a, NS4b, dan NS5. NS1 adalah protein nonstruktur 1, merupakan
glikoprotein yang berfungsi dalam siklus kehidupan virus yang belum jelas diketahui. NS1
dideteksi dengan kadar yang tinggi pada penderita infeksi virus dengue dengan reaksi imun
sekunder, tetapi jarang dijumpai pada penderita yang menunjukkan reaksi imun primer. NS2
memiliki 2 protein (NS2a dan NS2b) yang berperan pada proses lipoprotein sedangkaan
NS3 memiliki sebagian proteinase yang berfungsi sebagai sitosol. Gen NS4 memiliki 2
protein hidrofob (NS4a dan NS4b) yang berperan pada kompleks replikasi membrane RNA.
NS5 memiliki berat molekul 105.000 dan merupakan petanda protein Flavivirus. Envelope
glycoprotein berhubungan dengan aktifitas hemaglutinasi dan netralisasi virus. Terdapat
empat serotipe virus yang dikenal dengan Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4. Keempat
serotype ini terdapat di Indonesia dan dilaporkan bahwa serotype Den-3 sering
menimbulkan wabah, sedangkan di Thailand penyebab wabah yang dominant adalah virus
Den-2. Jika seseorang terinfeksi dengan salah satu serotipe tersebut, akan terjadi kekebalan
seumur hidup terhadap serotipe virus yang bersangkutan. Meskipun keempat virus memiliki
daya antigenis yang sama namun mereka berbeda dalam menimbulkan proteksi silang meski
baru beberapa bulan terjadi infeksi dengan salah satu serotipe. Keempat serotipe dapat
menyebabkan penyakit berat dan fatal (Suroso T, 2003; Soegijanto S 2004).
Gambar 2.1 Virus dengue (Soegijanto S, 2004)
2.2 Vektor Penyakit
Penularan virus dengue dari orang ke orang lain adalah melalui gigitan nyamuk Aedes
(Ae) dari sub genus Stegomyia. Ae. aegypti merupakan vektor epidemi yang paling utama.
Vektor sekunder lain yang juga berperanan pada penularan virus Dengue adalah Ae.
albopictus, Ae. polynesiensis, anggota dari Ae. scuttelaris complex dan Ae. (finlaya) niveus.
Selain Ae. agypti semua vektor sekunder mempunyai daerah distribusi geografis tersendiri
yang terbatas. Yang paling efisien sebagai vektor epidemi adalah Ae. Agypti (Suroso T,
2003).
Nyamuk Aedes tersebar luas diseluruh pelosok tanah air, oleh karena itu seluruh wilayah
Indonesia mempunyai risiko untuk terjangkit penyakit DBD kecuali pada daerah dengan
ketinggian diatas 1000 m diatas permukaan laut, karena pada ketinggian tersebut suhu udara
terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk Aedes (Sungkar S,
2002; Darlan DM, 2004).
Siklus hidupnya dimulai setelah nyamuk betina meletakkan telurnya pada dinding tempat
air jernih dan terlindung sinar matahari langsung ataupun tempat air yang sedikit
terkontaminasi seperti bak mandi, drum, tangki air, tempayan, vas bunga, perangkap semut
dan tempat minuman burung. Dalam suasana optimum, perkembangan dari telur sampai
dewasa memerlukan waktu sekurang-kurangnya 9 hari. Nyamuk betina yang telah dewasa
siap mengisap darah manusia dan kawin sehari atau dua hari setelah keluar dari pupa
(kepompong). Nyamuk jantan tidak pergi jauh dari tempat berkembang biak karena
menunggu nyamuk betina menetas dan siap berkopulasi. Umumnya nyamuk betina akan
mati dalam waktu 10 hari, tetapi masa tersebut cukup bagi nyamuk untuk inkubasi virus (3-
10 hari) dan menyebarkan virus (Sungkar S, 2002).
Gambar 2.2 Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti
2.3 Cara Penularan
Penyakit demam berdarah dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ini
mendapat virus dengue sewaktu mengigit mengisap darah orang yang sakit demam berdarah
dengue atau tidak sakit tetapi didalam darahnya terdapat virus dengue. Seseorang yang
didalam darahnya mengandung virus dengue merupakan sumber penularan penyakit demam
berdarah. Virus dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam.
Bila penderita tersebut digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terisap
masuk kedalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar
di berbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk didalam kelenjar liurnya. Kira-kira 1 minggu
setelah mengisap darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain
(masa inkubasi ekstrinsik). Virus ini akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang
hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes aegypti yang telah mengisap virus dengue itu
menjadi penular (infektif) sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi karena setiap kali
nyamuk menusuk/mengigit, sebelum mengisap darah akan mengeluarkan air liur melalui
alat tusuknya (proboscis) agar darah yang diisap tidak membeku. Bersama air liur inilah
virus dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain (Siregar, 2004).
2.4 Patogenesis dan Patofisiologi
DBD dimulai dengan masuknya virus dengue melalui gigitan nyamuk, kemudian virus ini
mengalami replikasi pada lymphnode lokal dan setelah 2–3 hari menyebar ke sirkulasi dan
jaringan-jaringan. Dalam siekulasi virus dengue menginfeksi sel fagosit yaitu makrofag,
monosit, sel Kupfer, sel B dan sel T limfosit. Bila infeksi ini berlangsung untuk pertama kali
dapat memberikan gejala dan tanda yang ringan atau bahkan simptomatik, bergantung pada
jumlah dan virulensi virus serta daya tahan host. Seseorang yang terinfeksi pertama kali
akan menghasil kan antibodi terhadap virus Dengue serotipe tersebut. Seharusnya, bila
infeksi berikutnya terjadi oleh virus dengue dengan serotipe yang sama maka penderita akan
kebal. Tetapi mengapa pada daerah yang hanya terdapat satu serotipe virus Dengue terdapat
pula kasus yang berat? Hal ini terjadi oleh karena antibodi yang terbentuk bersifat non
neutralisasi, yang artinya tak dapat menetraliser virus yang masuk. Keadaan ini
mengakibatkan semakin mudahnya virus mengalami replikasi. Banyak para ahli sependapat
bahwa infeksi sekunder adalah penyebab beratnya manifestasi klinis pada penderita DBD
(Ginting Y, 2004).
Gambar 2.4 Imunopatogenesis Infeksi Virus Dengue (Lei dkk, 2001)
Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah : a). respons
humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus,
sitolisis yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap virus dengue berperan dalam
mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody
dependent enhancement (ADE); b). limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8)
berperan dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1
akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-
4, IL-5, IL-6 dan IL-10; c). monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan
opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus
dan sekresi sitokin oleh makrofag; d). selain itu aktivasi komplemen oleh kompleks imun
menyebabkan terbentuknya C3a dan C5a (Suhendro dkk, 2009).
Tabel 2.1 Mediator Imun yang berperan dalam infeksi virus dengue
Halsted pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection yang
menyatakan bahwa DHF terjadi bila sesorang terinfeksi ulang virus dengan tipe yang
berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi amnestik antibodi sehingga mengakibatkan
konsentrasi kompleks imun (antigen antibodi) yang tinggi . Keadaan ini mengakibatkan
terjadinya reaksi imunologis berupa:
1. Aktivasi sistem komplemen
Aktivasi sistem komplemen mengakibatkan aktivasi C3 dan C5 sehingga dilepaskan
anafilatoksin C3a dan C5a. Anafilatoksin C3a dan C5a mengakibatkan peninggian
permeabilitas kapiler dengan konsekuensinya yaitu perembesan plasma ke
ekstravaskuler yang mengakibatkan anjloknya volume darah dan dapat berakibat
hipotensi, hemokonsentrasi, efusi pleura, efusi perikard, asites dan syok. Hipovolemik
ini juga berakibat pada hipoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian. Perembesan
plasma ini telah terjadi pada saat permulaan penyakit dan memuncak pada saat terjadi
renjatan.
2. Disfungsi trombosit
Kompleks antigen-antibodi melekat pada permukaan trombosit mengakibatkan
kerusakan trombosit yang berakibat pada:
- Gangguan agregasi trombosit
- Trombosit dimusnahkan oleh sistem retikuloendotelial terutam hati dan limpa. Hal ini
akan mengakibatkan trombositopenia yang tentunya mengakibatkan perdarahan.
- Trombosit yang aktif dalam agregasi melepaskan aminovasoaktif yang mengakibatkan
meningginya permeabilitas kapiler yang bisa berakibat pada syok.
3. Pelepasan mediator
Virus dengue menginfeksi sel-sel fagosit. Hal ini menyebabkan sel yang terinfeksi
mengeluarkan mediator yaitu sitokin-sitokin, antara lain interferon (IFN), interleukin 1
(IL-1), interleukin 6 (IL-6) dan Tumor Necrosing Factor (TNF). Sitokin-sitokin ini yang
mengakibatkan peninggian permeabilitas kapiler. Selain itu sitokin akan merangsang
hipotalamus anterior dan korteks serebelum yang mengakibatkan demam. Pelepasan
sitokin juga dapat diakibatkan oleh karena endotoksin dari sel gram negatif yang masuk
ke sirkulasi. Hal ini dapat terjadi apabila pasien mengalami syok yang berakibat pada
iskemia dan nekrosis usus.
4. Koagulopati Sitokin yang dilepaskan oleh sel yang terinfeksi akan menstimulasi sistem
koagulasi, sehingga terjadi penurunan faktor fibrinogen, faktor V, VII, VIII, X dan XII.
Gangguan pada sistem koagulasi ini dapat menyebabkan koagulasi intravascular
disseminate (KID) (Ginting Y, 2004; Suhendro dkk, 2009).
Mekanisme patofisiologi yang utama pada DBD adalah meningginya permeabilitas
dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopeni
dan diatesis hemoragik. Plasma merembes selama perjalanan penyakit mulai dari permulaan
masa demam dan mencapai puncaknya pada masa syok. Nilai hematokrit meningkat
bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah.
Meningkatnya nilai hematokrit menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat
kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler melalui kapiler yang rusak.
Trombositopenia terjadi akibat destruksi trombosit yang meningkat dan depresi fungsi
megakariosit. Perdarahan kulit pada penderita DBD umumnya disebabkan oleh faktor
kapiler, gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia, sedangkan perdarahan masif terjadi
akibat kelainan mekanisme yang lebih kompleks lagi yaitu trombositopenia, gangguan
faktor pembekuan dan kemungkinan besar oleh adanya Koagulasi Intravaskular Diseminata
(KID) (Sungkar S, 2002).
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme : 1). Supresi sumsum
tulang, dan 2). destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang
pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan hiposelular dan supresi megakariosit.
Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses hematoppoiesis termasuk
megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru
menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai
mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi
melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama
proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui
mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang
merupakan petaanda degranulasi trombosit (Suhendro dkk, 2009).
2.5 Diagnosa Demam Berdarah
Diagnosa demam berdarah dengue ditegakkan berdasarkan kriteria WHO tahun 1997.
WHO telah membuat penuntun untuk menegakkan diagnosis klinis DBD :
A. Kriteria klinis :
1. Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama
2–7 hari.
2. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan :
a. Uji torniquet positip
b. Petekie, ekimosis, purpura.
c. Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan
dari tempat lain
d. Hematemesis dan atau melena.
3. Pembesaran hati (hepatomegali).
4. Syok ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi,
kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah.
B. Kriteria laboratorium :
1. Trombositopenia (100.000/ ml atau kurang)
2. Adanya kebocoran plasma (plasma leakage) karena peningkatan permeabilitas kapiler
dengan manifestasi :
- peningkatan hematokrit ≥ 20 % dibandingkan standar sesuai dengan umur dan
jenis kelamin.
- penurunan hematokrit ≤ 20 % setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya.
- tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, ascites atau hipoproteinemia.
Dua kriteria klinis pertama ditambah salah satu dari kriteria laboratorium (atau hanya
peningkatan hematokrit) sudah dapat menegakkan diagnosis klinis DBD (WHO, 1997;
Suhendro dkk, 2009).
2.6 Derajat Penyakit (WHO, 1997)
Klasifikasi derajat penyakit infeksi virus dengue terdiri dari demam dengue dan DBD
diklasifikasikan dalam 4 derajat (pada setiap derajat sudah ditemukan trombositopenia dan
hemokonsentrasi), antara lain:
- Demam Dengue : Demam akut selama 2-7 hari disertai 2 atau lebih tanda : sakit
kepala, nyeri retro orbital, mialgia, arthralgia, leukopenia, trombositopenia tidak
ditemukan bukti kebocoran plasma, serologi dengue positif.
- DBD Derajat I : Demam disertai gejala seperti diatas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan ialah uji Tourniquet positif, trombositopenia terbukti ada kebocoran plasma.
- DBD Derajat II : Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit atau
perdarahan lain, trombositopenia bukti ada kebocoran plasma.
- DBD Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat,
tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut,
kulit dingin dan lembab serta gelisah, trombositopenia terbukti ada kebocoran plasma.
- DBD Derajat IV : Syok berat disertai nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah
tidak terukur., trombositopenia terbukti ada kebocoran plasma.
- Dengue Shock Syndrome (DSS)
Pada DSS, setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan umum tiba-tiba
memburuk, hal ini terjadi biasanya pada saat atau setelah demam menurun, yaitu di antara
hari sakit ke 3-7. Hal ini dapat di terangkan dengan hipotesis meningkatnya reaksi
imunologis (the immunological enchancement hypothesis). Pada sebagian besar kasus
ditemukan tanda kegagalan peredaran darah, kulit teraba lembab dan dingin, sianosis di
sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lembut. Anak tampak lesu, gelisah, dan secara
cepat masuk dalam fase syok. Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah perut sesaat
sebelum syok. Disamping kegagalan sirkulasi, syok ditandai oleh nadi lembut, cepat,
kecil sampai tidak dapat diraba. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang
dan tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau lebih rendah. Syok harus segera
diobati apabila terlambat pasien dapat mengalami syok berat (profound shock), tekanan
darah tidak dapat diukur dan nadi tidak dapat diraba. Tatalaksana syok yang tidak adekuat
akan menimbulkan komplikasi asidosis metabolik, hipoksia, pendarahan gastrointestinal
hebat dengan prognosis buruk. Sebaliknya dengan pengobatan yang tepat segera terjadi
masa penyembuhan dengan cepat. Pasien menyembuh dalam waktu 2-3 hari. Selera
makan membaik merupakan petunjuk prognosis baik. Pada pemeriksaan laboratorium
ditemukan trombositopenia dan hemokonsentrasi. Jumlah trombosit < 100.000/μl
ditemukan di antara hari sakit ke 3-7. Peningkatan kadar hematocrit merupakan bukti
adanya kebocoran plasma, terjadi pula pada kasus derajat ringan walaupun tidak sehebat
dalam keadaan syok. Hasil laboratorium lain yang sering ditemukan ialah
hipoproteinemia, hiponatremia, kadar transaminase serum dan nitrogen darah meningkat.
Pada beberapa kasus ditemukan asidosis metabolik. Jumlah leukosit bervariasi antara
leukopenia dan leukositosis. Kadang-kadang ditemukan albuminuria ringan yang bersifat
sementara (Sudarmo, et al, 2002).
WHO pada tahun 2009 mengeluarkan klasifikasi dan derajat keparahan dari infeksi virus
dengue, yaitu kriteria probable dengue, warning sign dan kriteria severe dengue. Ini dapat
dilihat pada gambar 2.5
Gambar 2.5 Klasifikasi dengue dan derajat keparahan (WHO, 2009)
DBD Derajat I dan Derajat II tanpa Peningkatan Hematokrit:
1. apabila pasien masih dapat minum, berikan minuman banyak yaitu 1-2 liter/hari atau 1
sendok makan tiap 5 menit.
2. Obat antipiretik diberikan bila suhu > 38,5oC.
3. Apabila pasien tidak dapat minum atau muntah terus-menerus, sebaiknya berikan infus
NaCl 0,9%; Dektrose 5% (1:3). Pasang tetesan rumatan sesuai dengan berat badan.
4. Periksa Hb, Ht, dan trombosit tiap 6-12 jam. Apabila telah terjadi perbaikan klinis dan
laboratorium, pasien dapat dipulangkan. Nanum apabila kadar Ht meningkat dan
trombosit cenderung menurun, maka infus cairan ditukar dengan Ringer Laktat (RL) dan
lanjutkan dengan penatalaksanaan DBD Derajat II dengan peningkatan hemokonsentrasi
> 20%.
DBD Derajat II dengan Peningkatan Hemokonsentrasi > 20%:
1. Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid Ringer Laktat/Ringer Asetat/NaC1
0,9% atau Dekstrosa 5% dalam RL/NaC1 0,9% 6-7ml/KgBB/jam. Monitor tanda vital,
kadar Ht dan trombosit tiap 6 jam.
2. Apabila selama observasi keadaan umum mebaik, tekanan darah dan nadi stabil, diuresis
cukup, Ht cenderung menurun minimal dalam 2X permeriksaan bertururt – turut maka
tetesan dikurangi menjadi 5ml/KgBB/jam. Bila dalam observasi selanjutnya tetap stabil
kurangi tetesan menjadi 3ml/KgBB/jam, kemudian evaluasi 12-24 jam bila stabil dalam
24-48 jam cairan dihentikan.
3. Sepertiga kasus jatuh dalam keadaan syok, bila keadaan klinis tidak ada perbaikan,
gelisah, nafas dan nadi cepat, diuresis kurang dan Ht meningkat maka naikkan tetes
menjadi 10ml/KgBB/jam dan evaluasi 12 jam belum ada perbaikan klinis naikkan
menjadi 15ml/KgBB/jam dan evluasi 12 jam lagi. Apabila nafas lebih cepat, Ht naik dan
tekanan nadi <20 mmHg maka berikan cairan koloin 20-30 ml/KgBB/jam, namun bila Ht
menurun, berikan transfuse darah segar 10ml/KgBB/jam, bila keadaan membaik berikan
cairan sesuai butir 2.
DBD Derajat III dan IV atau kasus Sindrom Syok Dengue (SSD):
1. Segera infus kristaloid (Ringer Laktat, Ringer Asetat, atau NaCl 0,5%) 20ml/KgBB
dalam waktu 30 menit (bolus) dan Oksigen 2 liter/menit. Untuk SSD berat (derajat IV)
berikan RL dan 20ml/KgBB/jam dan kolod. Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit, Ht
dan trombosit tiap 4-6 jam. Periksa elektrolit dan gula darah.
2. Setalah 30 menit syok belum teratasi, lanjutkan RI 20ml/KgBB dan tambah plasma (fresh
Frozen Plasma) atau koloid (Dekstran 40) sebanyak 10-20 ml/KgBB, maksimal
30ml/KgBB. Observasi keadaan umum dan tanda vital tiap 15 menit dan periksa Ht,
trombosit tiap 4-6 jam. Koreki asidosis, elektrolit dan gula darah.
2.7 Manifestasi Klinis
WHO pada tahun 2009 mengeluarkan Guidelines for diagnosis, treatment, prevention and
control. Dalam panduan tersebut WHO membagi hari-hari sakit demam dengue menjadi 3
fase, yaitu: 1. Fase Demam, 2.Fase Kritis, 3.Fase Recovery.
Fase Demam
Penderita mengalami demam akut 2-7 hari disertai muka wajah memerah, kulit
memerah, nyeri seluruh badan, mialgia, atralgia dan sakit kepala. Ada juga gejala nyeri
tenggorokan, faring hiperemis, konjunctiva hiperemis. Anorexia, nausea dan muntah
muntah umum terjadi. Sulit untuk membedakan dengue dengan non dengue pada fase
demam, uji torniquet positip mempertinggi kemungkinan penderita mengalami infeksi
virus dengue. Diperlukan monitor untuk menilai timbulnya tanda bahaya (warning sign)
yang akan membuat pasien masuk ke fase ke 2 fase kritis. Manifestasi perdarahan ringan
seperti petechiae dan perdarahan membran mukosa (seperti perdarahan hidung dan gusi)
dapat terjadi. Perdarahan pervaginam yang masif dapat terjadi pada wanita usia muda dan
perdarahan saluran cerna dapat terjadi pada fase ini tetapi jarang. Hati dapat membesar
dan tegang/nyeri setelah demam beberapa hari. Tanda paling awal dari pemeriksaan
darah rutin adalah menurunnya total leukosit (leukopenia) yang dapat menjadi dasar
klinisi untuk menilai pasien sudah terjangkit virus dengue.
Fase Kritis
Selama fase rawatan, pada saat temperatur tubuh turun menjadi ≤ 37,5-38oC dan
bertahan pada suhu tersebut, terjadi pada hari ke 3-7, meningkatnya permeabilitas kapiler
bersamaan dengan meningkatnya kadar hematokrit dapat terjadi. Ini merupakan tanda
awal fase kritis. Leukopenia yang progresif diikuti dengan menurunnya jumlah trombosit
mengiindikasikan kebocoran plasma. Efusi pleura dan ascites dapat terdeteksi tergantung
dari derajat kebocoran plasma dan volume dari terapi cairan. Foto thorax dan
ultrasonografi abdomen dapat digunakan untuk mendiagnosa efusi pleura dan ascites.
Shok dapat terjadi didahului oleh timbulnya tanda bahaya (warning sign). Temperatur
tubuh dapat subnormal saat shok terjadi. Shok yang memanjang, terjadi hipoperfusi organ
yang dapat mengakibatkan kegagalan organ, metabolik asidosis dan disseminated
intravascular coagulation (DIC). Hepatitis akut yang berat, encephalitis, mmiokarditis
dan atau terjadi perdarahan yang masif dapat terjadi
Fase Recovery
Bila pasien telah melewati 24-48 jam fase kritis, reabsorpsi cairan dari
kompartemen extravascular terjadi dalam 48-72 jam. Keadaan umum membaik,
kembalinya nafsu makan, berkurangnya gejala gastrointestinal, hemodinamik stabil dan
cukup diuresis. Bradikardia dan perubahan EKG dapat terjadi pada fase ini. Hematokrit
kembali normal atau lebih rendah karena efek dilusi cairan yang diberikan. Leukosit
kembali meningkat disusul dengan meningkatnya trombosit. (WHO, 2009)
Gambar 2.6 Fase hari hari sakit infeksi virus dengue (WHO, 2009)
2.8 Diagnosis Laboratorium
Diagnosis definitif infeksi virus dengue hanya dapat dilakukan di laboratorium dengan
cara isolasi virus, deteksi antigen virus atau jaringan tubuh, dan deteksi antibody spesifik
dalam serum pasien (Wuryadi S, 2000)
2.8.1 Diagnosis serologis
Uji serologic yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi virus dengue, yaitu:
2.8.1.1 Haemagglutination Inhibition test (HI test)
Diantara uji serologi, uji HI adalah uji serologi yang paling sering dipakai dan
dipergunakan sebagai baku emas pada pemeriksaan serologis. Terdapat
beberapa hal yang perlu diperhatikan pada uji HI ini :
a. Uji HI ini sensitive tetapi tidak spesifik, artinya dengan uji serologis ini
tidak dapat menunjukkan tipe virus yang menginfeksi.
b. Antibodi HI bertahan didalam tubuh sampai lama sekali (> 48 tahun), maka
uji ini baik dipergunakan pada studi sero-epidemiologi.
c. Untuk diagnosa pasien, kenaikan titer konvalesen empat kali kelipatan dari
titer serum akut atau konvalesen dianggap sebagi presumtif positif, atau
diduga keras positif infeksi dengue yang baru terjadi (recent dengue
infection) (Wuryadi S, 2000).
2.8.1.2 Complement Fixation test (CF test)
Uji komplemen fiksasi jarang dipergunakan sebagai uji diagostik secara rutin,
oleh karena selain cara pemeriksaan agak ruwet, prosedurnya juga memerlukan
tenaga pemeriksa yang berpengalaman. Berbeda dengan antibody HI, antibodi
komplemen fiksasi hanya bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2 sampai 3
tahun) (Wuryadi S, 2000)
2.8.1.3 Neutralization test (NF test)
Uji neutralisasi adalah uji serologi yang paling spesifik dan sensitive untuk
virus dengue. Biasanya uji neutralisasi memakai cara yang disebut plaque
reduction neutralization test (PRNT) yaitu berdasarkan reduksi dari plaque
yang terjadi. Saat antibody neutralisasi dapat dideteksi dalam serum hampir
bersamaan dengan HI antibodi tetapi lebih cepat dari antibodi komplemen
fiksasi dan bertahan lama (> 48 tahun). Uji neutralisasi juga rumit dan
memerlukan waktu yang cukup lama sehingga memerlukan waktu yang cukup
lama sehingga tidak dipakai secara rutin (Wuryadi S, 2000).
2.8.1.4 Uji ELISA Anti-Dengue IgM
Uji antibody-capture ELISA telah berhasil mengukur titer antibody IgM
terhadap virus dengue. IgM anti-Dengue timbul pada infeksi primer maupun
sekunder. IgM timbul sekitar hari ke 3 dan kadarnya meningkat pada akhir
minggu pertama sampai dengan minggu ke-3 dan menghilang pada minggu ke-
6, sedang IgG timbul pada hari ke-5 dan mencapai kadar tertinggi pada hari ke-
14, kemudian bertahan sampai berbulan-bulan. Pada infeksi sekunder kadar
IgG telah meningkat pada hari ke-2 melebihi kadar IgM. Uji ini telah dipakai
untuk membedakan infeksi virus dengue dari infeksi virus Japanese B
ensefalitis (Wu SJL, 2000).
2.8.2 Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
Cara ini merupakan cara diagnosis yang sangat sensitif dan spesifik terhadap serotipe
tertentu. Cara ini dapat mendeteksi virus RNA dari spesimen yang berasal dari darah,
jaringan tubuh manusia dan nyamuk. Meskipun sensitivitas PCR sama dengan isolasi
virus, PCR tidak begitu dipengaruhi oleh penanganan spesimen yang kurang baik
(misalnya dalam penyimpanan dan handling), bahkan adanya antibodi dalam darah
juga tidak mempengaruhi hasil dari PCR. Selain untuk menentukan adanya RNA virus
dengue juga dapat menetukan serotipe virus dengue yang ditemukan. Hal ini penting
untuk dapat membuat pola distribusi serotipe virus dengue di berbagai wilayah
khususnya yang berbeda kondisi geografis dan klimatologisnya, seperti daerah dataran
rendah, dataran sedang dan dataran tinggi.Hingga saat ini telah diketahui ada 4
serotipe virus dengue yaitu : Den-1, Den-2, Den-3 dan Den-4 (Wuryudi S, 2000)
2.8.3 Isolasi virus
Diagnosis pasti yaitu dengan cara isolasi virus dengue dengan menggunakan kultur
sel. Ada beberapa cara isolasi yang dikembangkan yaitu :
a. Inokulasi intraserebral pada bayi tikus albino umur 1 – 3 hari
b. Inokulasi pada biakan jaringan mammalia dan nyamuk Aedes albopictus
c. Inokulasi pada nyamuk dewasa secara intratorasik/intraserebral pada larva (Wuryudi
S, 2000).
2.9 Diagnosa Banding
Perlu dipertimbangkan bilamana terdapat kesesuaian klinis dengan Demam Chikungunya,
Malaria, Epstein-Barr Virus (EBV), Leptospirosis, Demam Thypoid, Scarlet fever,
Rickettsial diseases, Heapatitis A, Hantavirus (Suhendro dkk, 2009).
2.10 Penatalaksanaan (Suhendro dkk, 2009)
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi sportif.
Dengan terapi suportif yang adekuat angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari
1%. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam
penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika
asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dubutuhkan suplemen cairan
melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan Divisi
Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas
Kedokteran Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa
berdasarkan kriteria :
• Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai dengan indikasi.
• Praktis dalam penatalaksanaannya
• Mempertimbangkan cost effectiveness.
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori :
2.10.1 Protokol 1. Penanganan Tersangka (Probable) DBD tanpa syok
Digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada penderita
DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai petunjuk dalam
memutuskan indikasi rawat.
Seseorang yang tersangka DBD di Unit Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan
hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila :
Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu
24 jam berikutnya ( dilakukan pemeriksaan HB, Ht, Leukosit dan trombosit tiap
24 jam) atau bila keadaan penderita memburuk segera kembali ke Unit Gawat
Darurat.
Hb, Ht normal tetapi trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.
Hb,Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.
Gambar 2.7 Protokol 1. Penanganan Tersangka (Probable) DBD tanpa syok
2.10.2 Protokol 2. Pemberian cairan pada tersangka DBD di Ruang Rawat
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok
maka di ruang rawat diberikancairan infus kristaloid sesuai dengan rumus : 1500 +
{20 x (BB dalam kg-20)}. Contoh volume rumatan untuk BB 55 kg : 1500 +{20 x
(55-20)}= 2200 ml. Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24
jam :
Bila Hb, Ht meningkat 10-20 % dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan
tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht, Trombosit dilakukan tiap 12
jam.
Bila Hb, Ht meningkat > 20 % dan trombosit < 100.000 maka pemberian cairan
sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan HT > 20 %.
Gambar 2.8 Protokol 2. Pemberian cairan pada tersangka DBD di Ruang Rawat
2.10.3 Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20 %
Meningkatnya Ht > 20 % menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan
sebanyak 5 %. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan
memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian
dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai
dengan tanda-tanda hematokrit menurun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil,
produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5
ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan
tetap menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3
ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantaun keadaan tetap membaik maka pemberian cairan
dapat dihentikan 24-48 jam kemudian. Apabila setelah pemberian terapi cairan awal
6-7 ml/kgBB/jam tapi keadaan tetap tidak membaik, yang ditandai dengan
hematokrit dan nadi meningkat, tekanan nadi menurun < 20 mmHg, produksi urin
menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10 ml/kgBB/jam.
Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan
perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila
keadaan tidak menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan menjadi
15 ml/kgBB/jam dan bila dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan
didapatkan tanda-tanda syok maka pasien ditangani sesusi dengan protokol
tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok telah teratasi maka
pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan awal.
Gambar 2.9 Protokol 3 Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20 %
2.10.4 Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah : perdarahan
hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung,
perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan
saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan
jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan
kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya.
Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering
mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht dan trombosis serta hemostasis harus segera
dilakukan dan pemeriksaan hb,Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-
tanda koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan
sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan
(PT dan APTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl.
Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan
dan masif dengan jumlah trombosit <100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.
Gambar 2.10 Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD
2.10.5 Protokol 5.Tatalaksana Sindrom Syok Dengue
Bila kita berhadapan dengan Sindrom Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang
harus diingat adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu
penggantian cairan intravaskular yang hilang harus segera dilakukan. Angka
kematian sindrom syok dengue sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita
DBD tanpa renjatan dan renjatan dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD
mendapat pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk
kurangnya kewaspadaan terhadap tanda tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan
renjatan yang tidak adekuat.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain
resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaan –
pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL),
hemostasis, analisis gas darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan
kreatini.
Pada fase awal, cairan elektrolit diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi
setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan tekanan darah
sistolik 100 mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari
100 kali per menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak
pucat serta diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7
ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit keadaan tetap stabil pemberian cairan
menjadi 5 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit kemudian keadaan tetap
stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan
teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka
pemberian cairan infus harus dihentikan (karena jika reabsorbsi cairan plasma yang
mengalami ekstravasasi telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan
infus terus diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru atau gagal jantung
dapat terjadi).
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan terutama
dalam waktu 48 jam pertama setelah terjadi renjatan (karena selain proses
patogenesis penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20
% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh
karena untuk mengetahui apakah renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan
pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan darah, frekuensi nadi,
frekuensi jantung dan nafas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah hipokondrium
kanan dan epigastrik, serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam.
Pemantauan kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah trombosit dapat dipergunakan
untuk pemantauan perjalanan penyakit.
Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka
pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB, dan
kemudian dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka
perhatikan nilai hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan
plasma masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi
bila nilai hematokrit menurun, berarti terjadi perdarahn (internal bleeding) maka
pada penderita diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan dapat diulang sesuai
kebutuhan.
Sebelum cairan kristaloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat
cairan tesebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat
10-20 ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi
maka untuk memantau kecukupan caian dilakukan pemasangan kateter vena sentral,
dan pembeian koloid dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB dengan
sasaran tekanan vena sentral 15-18 cmH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi harus
diperhatikan dan dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit,
hipoglikemia, anemia, KID, infeksi sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita
sudah sesuai dengan target tetapi renjatan tetap belum teratasi maka dapat diberikan
obat inotropik/vasopresor.
DAFTAR PUSTAKA
Soedarmo S S P, Garna H, Hadinegoro S R S. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak: Infeksi
dan Penyakit Tropis edisi ke-1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Suhendro, et.al. Demam Berdarah Dengue. In : Sudoyo, Aru W, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam edisi ke-4. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2006.
World Health Organization. 2008. Dengue and Dengue Hemmoragic Fever.
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/
top related