laporan epidemiologi 1
Post on 03-Apr-2018
238 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
7/28/2019 LAPORAN EPIDEMIOLOGI 1
1/15
LAPORAN PRAKTIKUM EPIDEMIOLOGI DAN EKONOMI
VETERINER
Konsep Dasar Epidemiologi
Kelompok 1 :
1. Hazar Sukareksi B04080017
2. Mursyid B04080135
3. Yuliana Fatie B04089001
4. Rahmiati Amaryllis S.L B04090111
5. Jessica Rizkina Wibowo B04090127
6. R.M. Rizky Jauhari B04090139
7. Bagus Aditya P B04090164
8. Zerlinda Amelia B04090183
9. Risnia Buatama B04090199
Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner
Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
2013
-
7/28/2019 LAPORAN EPIDEMIOLOGI 1
2/15
Soal 1
Avian Influenza
1. Agen etiologisVirus influensa adalah partikel berselubung berbentuk bundar atau bulat
panjang, merupakan genome RNA rangkaian tunggal dengan jumlah lipatan
tersegmentasi sampai mencapai delapan lipatan, dan berpolaritas negatif. Virus
influenza merupakan nama generik dalam keluarga Orthomyxoviridae dan
diklasifikasikan dalam tipe A, B atau C berdasarkan perbedaan sifat antigenik dari
nucleoprotein dan matrix proteinnya. Virus influensa unggas (Avian Influenza
Viruses, AIV) termasuk tipe A. Telaahan yang sangat bagus mengenai struktur
dan pola replikasi virus-virus influensa sudah dipublikasikan baru-baru ini (mis.
Sidoronko dan Reichi 2005).
Berdasarkan sifat antigenisitas dari glikoprotein-glikoprotein tersebut, saat ini
virus influensadikelompokkan ke dalam enambelas subtipe H (H1-H16) dan
sembilan N (N1-N9).Kelompok-kelompok tersebut ditetapkan ketika dilakukan
analisis filogenetikterhadap nukleotida dan penetapan urutan (sequences) gen-gen
HA dan NA melaluicara deduksi asam amino (Fouchier 2005).
2. Sumber /reservoirPenyebaran dalam kelompok tergantung bentuk pemeliharaan: dalam
kelompok yang dilepas di tempat yang kotor dan terjadi hubungan langsung serta
percampuran dengan hewan lain, penyebaran infeksi berlangsung lebih cepat
daripada yang dipelihara dalam kandang, tetapi masih juga diperlukan beberapa
hari untuk terjadinya penularan yang sempurna (Capua 2000). Seringkali hanya
sebagian kandang saja yang terkena.
3. Cara keluarLingkar hidup virus influensa unggas jenis patogenisitas rendah dalam
unggas airliar secara genetik adalah stabil (Webster 1992). Siklus infeksi antar
unggas terjadimelalui rantai oral-fekal (mulut-tinja). Selain menular melalui
kontak langsung daripenjamu ke penjamu, air dan benda-benda lain yang tercemar
virus merupakan jalurpenularan tidak langsung yang juga penting. Ini berbeda
dengan penularan virus influensa pada mamalia (manusia, babi, kuda) yang
-
7/28/2019 LAPORAN EPIDEMIOLOGI 1
3/15
terutama terjadi melaluipercikan yang tersembur dari hidung dan mulut.Telah
dibuktikan bahwa suspensi virus dalam air mampumempertahankan daya
penularannya selama lebih dari 100 hari pada suhu 17o C. Dibawah 50o C virus
dapat bertahan praktis untuk waktu yang tidak terbatas.
Unggas juga dapat terinfeksi jika bersentuhan langsungdengan hewan
pembawa virus, atau kotoran hewan lain yang membawa virus, ataubersentuhan
dengan benda-benda yang tervemar bahan mengandung virus. Sekalivirus
menginfeksi kawanan unggas, LPAIV tidak harus mengalami suatu faseadaptasi
pada spesies unggas tersebut sebelum dikeluarkan lagi dalam jumlah yangcukup
besar untuk dapat menular secara horisontal ke unggas lain, baik dalamkawanan
sendiri ataupun ke kawanan yang lain. Demikian pula sekali HPAIVberkembang
dari kawanan unggas yang terinfeksi LPAIV, ia juga dapat menulardengan cara
yang sama. Pasar unggas yang menjual unggas dalam jumlah besar danunggas
ditempatkan secara saling berdesakan, merupakan multiplikator
penyebaranpenularan ( Bulaga 2003).
4. Cara tranmisiHemaglutinin, sebuah protein yang mengalami glikosilasi dan
asilasi(glycosylated and acylated protein) terdiri dari 562-566 asam amino yang
terikatsalam sampul virus. Kepala membran distalnya yang berbentuk bulat,
daeraheskternal yang berbentuk seperti tombol dan berkaitan dengan
kemampuannyamelekat pada reseptor sel, terdiri dari oligosakharida yang
menyalurkan derivatasam neuroaminic (Watowich 1994). Daerah eksternal
(exodomain) dariglikoprotein transmembran yang kedua, neuroamidase (NA),
melakukan aktivitasensimatik sialolitik (sialolytic ensymatic activity) dan
melepaskan progeni virusyang terjebak di permukaan sel yang terinfeksi sewaktu
dilepaskan. Fungsi inimencegah tertumpuknya virus dan mungkin juga
memudahkan gerakan virus dalamselaput lendir dari jaringan epitel yang menjadi
sasaran. Selanjutnya virus pun akanmenempel ke sasaran.
-
7/28/2019 LAPORAN EPIDEMIOLOGI 1
4/15
Gambar 1. Proses TransmisiAvian Influenza
5. Cara masukSetelah berhasil melekat pada reseptor yang sesuai, virion masuk
danmenyatu ke dalam sebuah ruang endosom melalui mekanisme yang tergantung
dantidak tergantung kepada clathrin. Dalam ruang ini virus tersbutmengalami
degradasi dengan cara menyatukan membran virus dengan membranendosom:
dimediasi oleh pemindahan proton melalui terowongan protein darimatrix-2 (M2)
virus, pada nilai pH di endosom sekitar 5,0. Selanjutnya akan terjadiserangkaian
penataan ulang protein matrix-1 (M1) dan kompleks glikoproteinomotrimerik HA.
Sebagai hasilnya, terbuka (exposed) sebuah bidang (domain)yang sangat lipofilik
dan fusogenik dari setiap monomer HA yang masuk ke dalammembran
endolisomal, dan dengan demikian memulai terjadinya fusi antaramembran virus
dengan membran lisomal ( Wagner 2005).
6. Inang rentanBurung-burung air yang liar, terutama yang termasuk dalam orde
Anseriformis(bebek dan angsa) dan Charadiformis (burung camar dan burung-
burung pantai),adalah pembawa (carrier) seluruh varietas subtipe dari virus
influensa A, dan olehkarenanya, sangat mungkin merupakan penampung
(reservoir) alami untuk semuajenis virus influensa (Webster 1992, Sementara
semua spesies burung dianggap sebagai rentan terinfeksi, beberapaspesies unggas
-
7/28/2019 LAPORAN EPIDEMIOLOGI 1
5/15
domestik ayam, kalkun, balam, puyuh dan merak diketahuiterutama rentan
terhadap sekuele (lanjutan) dari infeksi virus influensa.
Tahap riwayat alamiah penyakit
1. Tahap rentanPenyebaran dalam kelompok tergantung bentuk pemeliharaan:
dalam kelompok yang dilepas di tempat yang kotor dan terjadi hubungan
langsung serta percampuran dengan hewan lain, penyebaran infeksi
berlangsung lebih cepatdaripada yang dipelihara dalam kandang, tetapi
masih juga diperlukan beberapa hari untuk terjadinya penularan yang
sempurna (Capua 2000). Seringkali hanya sebagian kandang saja yang
terkena. Banyak unggas yang mati tanpa gejala-gejalaawal sehingga
kadang-kadang pada mulanya orang menduga telah terjadi keracunan.
Terjadinya penurunan konsumsi air dan makanan yang progresif
dan dalam waktu singkat, dapat menjadi tanda akan adanya penyakit
sistemik pada kawanan unggas ternak. Pada unggas petelur, terhentinya
produksi telur sangat nyata. Secara individual, unggas yang terkena HPAI
sering hanya menunjukkan apatis dan tidak banyak bergerak(imobilitas).
Pembengkakan nampak pada daerah kepala yang tidak ditumbuhi bulu,
terjadi sianosis pada jengger, gelambir dan kaki, diare dengan kotoran
berwarna kehijauan, dan nampak susah bernafas, dapat dijumpai
meskipuntidak selalu (inkonsisten). Pada unggas petelur, pada mulanya
telur yang dihasilkan berkulit lembek, tetapi kemudian produksi telur
berhenti secara cepat sejalan dengan perkembangan penyakit. Gejala-
gejala sistem saraf termasuktremaor, tortikolis, dan ataxia mendominasi
gam,baran klinis pada spesies yang tidak begitu rentan seperti bebek,
angas, dan jenis burung onta.
2. Tingkat penyakit subklinisGejala-gejala yang terjadi setelah terinfeksi oleh AIV
berpatogenesis rendah mungkin tidak terlalu jelas, seperti bulu-bulu yang
kusut, produksi telur yang secara transien menurun atau berat badan
menurun yang disertai sedikit gangguan pernafasan
-
7/28/2019 LAPORAN EPIDEMIOLOGI 1
6/15
3. Tingkat penyakit klinisDalam bentuknya yang sangat patogen, penyakit yang terjadi pada
ayamdan kalkun ditandai dengan serangan yang mendadak dengan gejala
yang hebat serta kematian yang mendekati 100% dalam jangka waktu 48
jam.
4. Tingkat pemulihanDeterminan penyakit
1. Primer dan sekunderPrimer : virus H5N1
Sekunder: Tidak di vaksinasi, vaksinansi tidak tuntas, sanitasi
kandang yang buruk, kepadatan kandang, ternak tidak
dikandangkan
2. Intrinsik dan ekstrinsik3. Berhubungan dengan, agen , host, lingkungan
Soal 2
Gambaran jumlah wabah dari tiga penyakit yang dicatat selama 20 tahun
adalah sebagai berikut
TahunJumlah Wabah
Penyakit A Penyakit B Penyakit C
1991 1 19 30
1992 0 20 28
1993 0 21 29
1994 0 21 31
1995 0 18 35
1996 7 21 39
1997 1 22 51
1998 0 20 55
1999 0 19 47
2000 2 22 40
2001 0 21 37
2002 0 20 35
2003 2 19 29
2004 7 21 32
-
7/28/2019 LAPORAN EPIDEMIOLOGI 1
7/15
2005 0 20 31
2006 0 21 28
2007 4 22 29
2008 5 20 31
2009 3 22 30
2010 0 21 32
Penyakit A
Gambar 2. Jumlah Kasus Penyakit A Selama 20 Tahun.
Gambar 3. Jumlah Kasus Penyakit A Selama 20 Tahun.
Penyakit B
0
2
4
6
8
Jumlah
Kasus
Tahun
Penyakit A
0
1
2
3
4
5
6
7
8
19
91
19
92
19
93
19
94
19
95
19
96
19
97
19
98
19
99
20
00
20
01
20
02
20
03
20
04
20
05
20
06
20
07
20
08
20
09
20
10
JumlahWabah
Tahun
Penyakit A
-
7/28/2019 LAPORAN EPIDEMIOLOGI 1
8/15
Gambar 4. Jumlah Kasus Penyakit B Selama 20 Tahun.
Gambar 5. Jumlah Kasus Penyakit B Selama 20 Tahun.
Penyakit C
Gambar 6. Jumlah Kasus Penyakit B Selama 20 Tahun.
0
5
10
1520
25
JumlahWabah
Tahun
Penyakit B
0
5
10
15
20
25
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
JumlahWabah
Tahun
Penyakit B
0
20
40
60
JumlahWab
ah
Tahun
Penyakit C
-
7/28/2019 LAPORAN EPIDEMIOLOGI 1
9/15
Gambar 7. Jumlah Kasus Penyakit B Selama 20 Tahun.
Pola Penyebaran Penyakit
Pola penyebaran penyakit dibagi menjadi sporadik, endemik atau enzootik,
epidemik atau epizootik, dan pandemik.
Gambar 8. Jumlah Kasus Penyakit A, Penyakit B, dan Penyakit C Selama 20Tahun.
0
10
20
30
40
50
60
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
JumlahWabah
Tahun
Penyakit C
0
10
20
30
40
50
60
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
JumlahKasus
Tahun
Jumlah Wabah dari Tiga Penyakit selama 20
Tahun (1991-2010)
Penyakit A
Penyakit B
Penyakit C
-
7/28/2019 LAPORAN EPIDEMIOLOGI 1
10/15
Gambar 9. Jumlah Kasus Penyakit A, Penyakit B, dan Penyakit C Selama 20Tahun.
a. Pola Penyebaran Penyakit A : SporadikKasus penyakit dalam periode waktu tertentu (musim, tahun dan bisa lebih
lama) sangat jarang kejadiannya dan frekuensinya tidak teratur atau tidak bisa
diramalkan.
b. Pola Penyebaran Penyakit B : Endemik atau EnzootikKejadian penyakit sudah dapat diperkirakan dan sedikit sekali terjadi
penyimpangan atau peningkatan dari keadaan biasanya. Pada bentuk ini dalam
periode waktu tertentu di suatu daerah sering terjadi kasus penyakit dengan
jumlah yang relatif sama dan biasa terjadi.
c. Pola Penyebaran Penyakit C : Epidemik atau EpizootikKejadian penyakit yang luar biasa, yaitu kasus penyakit jauh melebihi dari
biasa baik jumlahnya maupun frekuensinya. Pola penyebaran seperti ini dapat
berupa Point Epidemik atau Propagated Epidemic.
1. Point EpidemikKejadian kenaikan kasus dan frekuensi penyakit yang luar biasa, yaitu dalam
periode waktu yang singkat jumlah kasus dan frekuensi penyakit naik sangat
tajam.
2. Propagated Epidemik
0
10
20
30
40
5060
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
JumlahKasus
Tahun
Jumlah Wabah dari Tiga Penyakit selama
20 Tahun (1991-2010)
Penyakit A
Penyakit B
Penyakit C
-
7/28/2019 LAPORAN EPIDEMIOLOGI 1
11/15
Kenaikan jumlah kasus dan frekuensi penyakit dalam periode waktu tertentu
secara bertahap terus naik. Dalam hal ini kenaikan kasus tidak dalam waktu
singkat terus tinggi tetapi memerlukan waktu yang relatif panjang.
Soal 3
Penilaian Prevalensi Penyakit X pada Sapi dilaksanakan pada Sejumlah
Provinsi di Indonesia
Propinsi
Jumlah sapi
yang
diperiksa
Jumlah
sapi yang
positif
Jumlah kasus
per populasi
pengalian
dengan faktor
yang sama
Aceh 13000 1000 0,077 7,692
Sumba 1000 160 0,160 16,000
Lampung 15000 800 0,053 5,333
Sulawesi Selatan 30000 2000 0,067 6,667
Sulawesi Utara 10000 2000 0,200 20,000
Timor 20000 1500 0,075 7,500
Kalimantan 10000 200 0,020 2,000
Jawa Tengah 8000 300 0,038 3,750
Jawa Barat 40000 4500 0,113 11,250
Irian Jaya 5000 100 0,020 2,000
Sumatera Selatan 4000 3000 0,750 75,000
Bali 4000 920 0,230 23,000
NTB 15000 3225 0,215 21,500
Gambar 10. Hasil Survei Penyebaran Penyakit X di Indonesia
Pola distribusi penyakit terdiri atas 3 macam, yaitu pola distribusi
temporal, spatial, dan animal. Kesimpulan yang dapat diambil adalah jenis pola
distribusi penyakit ini adalah pola distribusi spatial yaitu distribusi penyakit
berdasarkan tempat. Dilihat dari hasil survey, kejadian penyakit ini tersebar di
-
7/28/2019 LAPORAN EPIDEMIOLOGI 1
12/15
seluruh wilayah Indonesia sehingga distribusi ini merupakan spatial contagious.
Hal ini karena hanya di daerah tertentu terjadi kejadian penyakit yang sangat
tinggi, sedangkan di beberapa daerah lainnya cukup rendah. Dikatakan merupakan
pola distribusi spatial karena penyakit hanya berada di daerah Jawa Barat yang
memiliki kejadian penyakit yang lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya.
Sedangkan dikatakan bersifat contagius karena sebaran kejadian penyakit berpusat
atau berkumpul pada daerah daerah tertentu saja, dan kejadian penyakit tersebut
bersifat contagious.
Soal 4
Distribusi Temporal Penyakit: Rabies di Jawa Tengah
Minggu Jumlah Kasus Minggu Jumlah Kasus
1 0 19 8
2 0 20 6
3 0 21 3
4 0 22 1
5 0 23 1
6 1 24 3
7 2 25 0
8 0 26 0
9 0 27 0
10 3 28 0
11 3 29 1
12 2 30 1
13 2 31 2
14 2 32 0
15 5 33 0
16 5 34 0
17 8 35 0
18 8 36 0
Gambar 11. Grafik Kejadian Rabies
0
2
4
6
8
10
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35
Kejadian Rabies 2005-2006
Jumlah Kasus
-
7/28/2019 LAPORAN EPIDEMIOLOGI 1
13/15
Dampak yang ditimbulkan akibat pengumuman resmi mengenai penyakit
penyakit penting dan berbahaya (penyakit zoonosa) seperti rabies kepada
masyarakat, maka akan menimbulkan bahaya yang cukup serius akibat
interpretasi yang berbedabeda akibat peningkatan insiden penyakit ini. Dampak
tersebut yaitu menimbulkan kecemasan yang berlebihan, kepanikan serta
kekhawatiran pada masyarakat. Masyarakat akan merasa tidak nyaman untuk
beraktivitas sehingga menyebabkan produktivitas kerja dan aktivitas sehari-hari
akan berkurang sehingga berdampak pada sosial dan ekonomi masyarakat. Selain
itu, jika di daerah Jawa Tengah terdapat tempat wisata maka akan menyebabkan
terjadi penurunan pendapatan di bidang pariwisata karena wisatawan yang
berkunjung menjadi berkurang. Secara keseluruhan, pendapatan ekonomi suatu
daerah akan menurun karena pengumuman yang disampaikan secara luas kepada
masyarakat ini.
Soal 5Distribusi Spasial Penyakit: Rabies di Jawa Tengah
Daerah
Jumlah kasus
yang
dipastikan
Estimasi
populasi anjing
Jumlah kasus
per populasi
Pembulatan
dan pengalian
dengan faktor
yang sama
Wonogiri 21 2000 0,00105 10,5
Tegal 1 1200 0,0008333 8,3
Sukoharjo 14 25000 0,00056 5,6
Karanganyar 5 9570 0,00052247 5,2Cilacap 4 8000 0,0005 5,0
Banyumas 3 12750 0,00023529 2,35
Klaten 1 20000 0,00005 0,5
Semarang 1 22000 0,00004545 0,45
-
7/28/2019 LAPORAN EPIDEMIOLOGI 1
14/15
Gambar 12. Pemetaan distribusi kasus rabies
Berdasarkan peta distribusi kasus epidemik rabies sejak September 2005
sampai Maret 2006 terjadi di Jawa Tengah. Pola distribusi yang dihasilkan adalah
mengkelompok, pengkelompokan dapat disebabkan oleh tingkah laku
mengkelompok,, lingkungan yang heterogen, model reproduksi dan sebagainya.
Terlihat kejadian penyakit mengumpul dibeberapa tempat di Jawa Tengah seperti
Wonogiri, Tegal, Sukoharjo, Karanganyar, dan Cilacap. Dapat disimpulkan
bahwa distribusi rabies di Jawa Tengah sebagai penyakit contagius. Penyakit
contagious memiliki ciri sebagai berikut : Timbulnya gejala penyakit (onset
penyakit) yang pelan, Masa inkubasi yang panjang, Episode penyakit merupakan
peristiwa majemuk, Waktu munculnya penyakit tidak jelas, Hilangnya penyakit
dalam waktu yang lama.
-
7/28/2019 LAPORAN EPIDEMIOLOGI 1
15/15
DAFTAR PUSTAKA
Bulaga LL, Garber L, Senne DA, et al. 2003. Epidemiologic and surveillance
studies on avian influenza in live-bird markets in New York and New
Jersey, 2001.Avian Dis Vol 43: 996-1001
Capua I, Mutinelli F, Marangon S, Alexander DJ. 2000. H7N1 avian influenza in
Italy (1999-2000) in intensively reared chicken and turkeys.Av Pathol
Vol 29: 537-543
Fouchier RA, Munster V, Wallensten A, et al. 2005. Characterization of a novel
influenza A virushemagglutinin subtype (H16) obtained from black-
headed gulls.J VirolVol 79: 2814-22
Sidorenko Y, Reichl U. 2004. Structured model of influenza virus replication in
MDCK cells.BiotechnolBioengVol 88: 1-14
Wagner R, Herwig A, Azzouz N, Klenk HD. 2005. Acylation-mediated
membrane anchoring of avian influenza virus hemagglutinin is essential
for fusion pore formation and virus infectivity.J VirolVol 79: 6449-58.
Watowich SJ, Skehel JJ, Wiley DC. 1994. Crystal structures of influenza virus
hemagglutinin in complex with high-affinity receptor analogs. Structure
Vol 2: 719-31.
Webster RG, Bean WJ, Gorman OT, Chambers TM, Kawaoka Y. 1992. Evolution
and ecology of influenza A viruses.Microbiol Rev Vol 56: 152-79.
top related