laporan akhir - fh.ubb.ac.idfh.ubb.ac.id/webconfig/download.php?file=cover plus lap_akhir bpi… ·...
Post on 10-Nov-2020
4 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Kerjasama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Dengan Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung (FH UBB) Desember 2019
LAPORAN AKHIR
KAJIAN DAN EVALUASI
KAJIAN PERSPEKTIF CITA HUKUM PANCASILA
TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA
BANJARMASIN NOMOR 4 TAHUN 2005
PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR
3 TAHUN 2003 TENTANG LARANGAN KEGIATAN
PADA BULAN RAMADHAN
TIM PENYUSUN KETUA : Dr. Faisal, S.H., M.H. ANGGOTA : Toni, S.H., M.H
Ndaru Satrio, S.H., M.H. A. Cery Kurnia, S.H., M.H
1.1. Latar Belakang
Sistem hukum Indonesi adalah sistem hukum Pancasila. Apabila
dijabarkan lebih maka akan berlandaskan/berorientasi pada tiga pilar/nilai
keseimbangan Pancasila, yaitu: pertama, berorientasi pada nilai-nilai
“Ketuhanan” (bermoral religius); kedua, berorientasi pada nilai-nilai
“Kemanusiaan” (humanistik); dan ketiga berorientasi pada nilai-nilai
“Kemasyarakatan” (nasionalistik, demokratik, berkeadilan sosial).1
Pancasila merupakan nilai-nilai filosofis kultural fundamental, maka
dapatlah ditegaskan bahwa strategi pembangunan sistem hukum nasional
seharusnya berawal/ dimulai dari “pembangunan kultural” (budaya hukum
nasional), karena nilai Pancasila inilah yang merupakan ruh/ jiwa/ nilai dasar/
ide dasar dari sistem hukum nasional.
Pancsila sebagai paradigma pembangunan hukum memiliki sekurang-
kurangnya empat kaidah penuntun yang harus dijadikan pedoman dalam
pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia.2
Pertama, hukum harus melindungi segenap bangsa dan menjamin keutuhan bangsa dan karenanya tidak diperbolehkan ada hukum-hukum yang menanam benih disintegrasi. Kedua, hukum harus mampu menjamin keadilan sosial dengan memberikan proteksi khusus bagi golongan lemah agar tidak tereksploitasi dalam persaingan bebas melawan golongan yang kuat. Ketiga, hukum harus dibangun secara demokratis sekaligus membangun demokrasi sejalan dengan nomokrasi (negara hukum). Keempat, hukum tidak boleh diskriminatif berdasarkan ikatan primordial apapun dan harus mendorong terciptanya toleransi beragama berdasarkan kemanusiaan dan keberadaan.
Pancasila sebagai akar dari cita hukum bangsa Indonesia memberikan
konsekuensi bahwa dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara,
1 Barda Nawawi Arief, 2012, Pembangunan Sistem Hukum Nasional, Semarang, Penerbit Pustaka Magister Semarang, hlm. 12.
2 Moh. Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,
Cetakan Pertama, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, hlm.55.
sebagai pandangan hidup yang dianut akan memberikan koherensi dan direksi
(arah) pada pikiran dan tindakan.3
Cita hukum adalah gagasan, karsa, cipta dan pikiran berkenaan dengan hukum atau persepsi tentang makna hukum, yang dalam intinya terdiri atas tiga unsur yakni keadilan, kehasil-gunaan dan kepastian hukum. Cita hukum terbentuk dalam pikiran dan sanubari manusia sebagai produk berpadunya pandangan hidup, keyakinan keagaamaan dan kenyataan kemasyarakatan. Sejalan dengan itu maka, Ilmu hukum dan Hukum Indonesia seyogianya bertumpu dan mengacu pada cita hukum tersebut.
Pembangunan hukum harus berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Menurut
Van Eikema Hommes asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma
hukum yang konkret, tetapi perlu dipandang sebagai dasar umum atau
petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu
berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Asas hukum adalah dasar atau
petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.4
A. Hamid S. Attamimi mengemukakan pembangunan hukum nasional
khususnya pembentukan perundang-undangan senantiasa harus
memperhatikan asas-asas hukum. Salah satu asas material dalam
pembentukan perundang-undangan harus sesuai dengan Cita Hukum
(rechtsidee) dan Norma Fundamental Negara (staatsfundamentalnorm), yakni
Pancasila.5
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan sebuah
sistem, karena di dalamnya terdapat beberapa peristiwa/tahapan yang terjalin
dalam satu rangkaian yang tidak terpisahkan antara satu dan lainnya. Tahapan
tersebut yaitu tahap perencanaan, tahap penyusunan, tahap pembahasan, tahap
pengesahan, tahap pengundangan, dan tahap penyebarluasan.
Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa seharusnya norma hukum yang
hendak dituangkan dalam rancangan Peraturan Perundang-undangan, benar-
benar telah disusun berdasarkan pemikiran yang matang dan perenungan yang
3 B. Arief Sidharta, Ilmu Hukum Indonesia, Op. Cit, hlm. 84-85.
4 Chainur Arrasjid, 2004, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Cetakan Ketiga, Jakarta, Sinar Grafika, hlm.37.
5 A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia
dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara,suatu studi analisis mengenai Keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan dalam kurun waktu PELITA I-PELITA IV, Jakarta, Sekretariat Negara RI, hlm.344-345.
memang mendalam, semata-mata untuk kepentingan umum (public interest),
bukan kepentingan pribadi atau golongan.6
Para pendiri Negara telah mengonsepsikan bahwa Negara Republik
Indonesia merupakan Negara berdasar hukum, Negara yang demokratis
(berkedaulatan rakyat), berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan
berkeadilan sosial. Padahal para pendiri negara telah mengonsepsikan bahwa
Negara Republik Indonesia merupakan Negara berdasar hukum, Negara yang
demokratis (berkedaulatan rakyat), berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
dan berkeadilan sosial.
Konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945
ialah Negara Hukum Pancasila, yaitu konsep Negara hukum di mana satu
pihak harus memenuhi kriteria dari konsep negara hukum pada umumnya,
yaitu memenuhi unsur-unsur dari negara hukum (rechtstaat), menurut
Freidrich Julius Stahl, ada empat unsur, yaitu:
1. Perlindungan hak asasi manusia;
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;
3. Pemerintahan berdasar peraturan perundang-undangan (asas
legalitas); dan
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.
Negara Hukum Pancasila juga harus diwarnai oleh aspirasi-aspirasi
ke-Indonesian yaitu lima nilai fundamental dari Pancasila. Dengan kata lain,
dalam sebuah Negara Hukum menentukan ada batas-batas kekuasaan dari hak
pemerintah. Segala tindakan dari penguasa harus berdasarkan serta bersumber
dari peraturan perundang-undangan. Penguasa tidak boleh keluar dari rel
6Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang di Indonesia, Sekretariat Jenderal
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 320
aturan atau batas-batas patokan yang sudah ditentukan dalam perundang-
undangan.7
Peraturan Daerah yang bermuatan syari’ah yang bermunculan di
berbagai daerah di Indonesia setelah dilaksanakannya Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2014 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9
tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah berpotensi akan memunculkan
persoalan, baik secara politik, sosial maupun secara hukum. Secara politik
maraknya peraturan daerah yang bermuatan syari’ah di berbagai daerah di
Indonesia dikhawatirkan akan mengulang ketegangan hubungan masa lalu
antara agama dan Negara. Yaitu ketika kelompok islam formalis gagal
memasukkan syariat islam dalam konstitusi nasional, maka dialihkan ke
tingkat daerah dengan membuat perda-perda. Sehingga pada akhirnya akan
mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan ideologi
Pancasila.
Salah satu Perda yang bermuatan syari’ah adalah Perda Kota
Banjarmasin Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah
Kota Banjarmasin Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Larangan Kegiatan Pada
Bulan Ramadhan.
Kenyataannya ini tentu saja bisa melahirkan suatu masalah. Karena di
satu sisi UU membenarkan daerah untuk memproduksi Perda sesuai dengan
keunikan daerah atau keunikan keberagaman, tetapi di sisi lain ini sering kali
dilupakan, disebutkan ada enam urusan yang menjadi urusan Pemerintah
Pusat, yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter,
dan fiskal serta agama. Artinya pemerintah daerah tidak memiliki
kewenangan untuk mengatur peraturan tentang agama, karena agama sudah
menjadi wewenang pemerintah pusat.8 Pasal 10 Undang-Undang Nomor 23
7Abdul Hadi, 2014, Study Analisis Keabsahan Perda Syariat Dalam Perspektif Teori
Hirarki Norma Hukum, Jurnal Ummul Quran Vol IV, No. 2, hlm. 55
8 Abdul Mu’in, dkk 2006, Perda Syari’ah Dalam Bingkai Negara Bangsa, Jurnal
Taswirul Afkar Edisi 20, hlm. 47.
tahun 2014 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2015
tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa:
“Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (2) meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d.
yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama.”
Pro kontra dimulai dari fenomena Perda Kota Banjarmasin No. 13
Tahun 2003 tentang Larangan Kegitan Pada Bulan Ramadhan sedikit banyak
menjelaskan bahwa Perda tersebut bisa dinyatakan Perda bernuansa syari’ah
yang merujuk ke konsep syari’ah, sebagaimana pokok utama isi dan tujuan
masih terdapat nilai-nilai agama atau religius. Dalam Perda tersebut diatur
kegiatan-kegiatan yang dilarang selama bulan Ramadhan di Kota
Banjarmasin. Kegiatan tersebut dapat berupa membuka tempat hiburan,
membuka warung makan, makan dan minum serta merokok di tempat-tempat
umum.9
Perda Kota Banjarmasin No. 13 Tahun 2003 tentang Larangan
Kegiatan Pada Bulan Ramadhan ini kemudian berubah menjadi Perda Kota
Banjarmasin Nomor 4 Tahun 2005 tentang Larangan Kegiatan Pada Bulan
Ramadhan yang memuat materi lebih menitikberatkan pada perubahan sanksi
yang ada. Potensi untuk terjadi pro dan kotra terhadap katentuan di dalamnya
juga tidak bisa kita tolak karena ketentuan dari regulasi tersebut dapat
berimbas ke bidang kehidupan yang lainnya serta berpotensi mencederai nilai
cita hukum Pancasila yang di miliki bangsa Indonesia.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan di atas,
maka hal yang menjadi pertanyaan kajian ini sebagai berikut:
a. Apakah Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 4 Tahun 2005
Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 tentang
9 Lihta Pasal 2 Perda Kota Banjarmasin Nomor 13 Tahun 2003
Larangan Kegiatan Pada Bulan Ramadhan sesuai dengan cita
hukum Pancasila?
b. Apa implikasi hukum diberlakukannya Peraturan Daerah Kota
Banjarmasin Nomor 4 Tahun 2005 Perubahan Peraturan Daerah
Nomor 3 Tahun 2003 tentang Larangan Kegiatan Pada Bulan
Ramadhan?
c. Bagaimana seharusnya Peraturan Daerah Kota Banjarmasin
Nomor 4 Tahun 2005 Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3
Tahun 2003 tentang Larangan Kegiatan Pada Bulan Ramadhan
yang sesuai dengan cita hukum Pancasila?
1.3. Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari kajian ini adalah
a. Untuk mengetahui dan menganalisis kesesuaian Peraturan Daerah
Kota Banjarmasin Nomor 4 Tahun 2005 Perubahan Peraturan
Daerah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Larangan Kegiatan Pada
Bulan Ramadhan dengan cita hukum Pancasila
b. Untuk mengetahui dan menganalisis implikasi hukum yang terjadi
akibat diberlakukannya Peraturan Daerah Kota Banjarmasin
Nomor 4 Tahun 2005 Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3
Tahun 2003 tentang Larangan Kegiatan Pada Bulan Ramadhan.
c. Untuk mengetahui dan menganalisis solusi yang tepat yang dapat
diberlakukan pada Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 4
Tahun 2005 Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003
tentang Larangan Kegiatan Pada Bulan Ramadhan.
1.4. Metodologi
Metodologi yang digunakan dalam kajian ini adalah Regulatory Impact
Assessment (RIA) yakni sebuah proses yang secara sistematis menilai
signifikansi dampak (baik secara positif maupun negatif) dari sebuah regulasi.
Penilaian ini dapat dilakukan baik untuk mengukur dampak dari regulasi
yang sedang diusulkan (ex ante) maupun dampak nyata dari sebuah regulasi
yang sudah ada dan tengah berjalan (ex pos).
Kajian ini menggunakan metode RIA sebagai Logika Berfikir. Metode
RIA dapat digunakan oleh pengambil kebijakan untuk berfikir logis, mulai
dari identifikasi masalah, identifikasi pilihan untuk memecahkan masalah,
serta memilih satu kebijakan berdasarkan analisis terhadap semua pilihan.
Metode RIA mendorong pengambil kebijakan untuk berfikir terbuka dengan
menerima masukan dari berbagai komponen yang terkait dengan kebijakan
yang hendak diambil.
BAB II
Tinjauan Pustaka
A. Kerangka Konseptual
1. Kegiatan Bulan Ramadhan
Kegiatan menurut kamus besar bahasa Indonesia mempunyai arti
aktifitas, usaha, pekerjaan. Apabila merujuk pada Perda Nomor 13 Tahun
2003 tentang larangan kegiatan pada bulan Ramadhan, yang dimaksud
dengan kegiatan maksudnya adalah kegiatan yang dilarang. Pada Bab 2
Pasal 2 ayat (1) Perda Nomor 13 Tahun 2003 tentang larangan kegiatan
pada bulan Ramadhan disebutkan bahwa:
“Dilarang membuka kegiatan tempat hiburan; restoran, warung,
rombong dan sejenisnya pada bulan Ramadhan.”
Disebutkan dalam Pasal 1 huruf f Perda Nomor 13 Tahun 2003
tentang larangan kegiatan pada bulan Ramadhan pengertian kegiatan tempat
hiburan. Kegiatan tempat hiburan adalah semua kegiatan hiburan baik
dalam bentuk pertunjukan maupun bukan pertunjukan untuk dinikmati oleh
umum dengan atau tanpa peralatan musik, yang diselenggarakan dalam
maupun di luar ruangan dengan maksud untuk bersenang-senang.
Sedangkan Pasal 1 huruf g Perda Nomor 13 Tahun 2003 tentang larangan
kegiatan pada bulan Ramadhan menjelaskan pengertian tentang membuka
restoran, warung, rombong dan sejenisnya. Yang mana pengertian
membuka restoran, warung, rombong dan sejenisnya, adalah kegiatan jual
beli makanan dan/atau minuman yang disediakan untuk disantap secara
langsung di tempat tersebut.
2. Cita Hukum Pancasila
Dijelaskan dalam artikel Hotma P. Sibuea yang mengutip dari
bukunya Moh. Koesnoe, Cita Hukum mempunyai unsur-unsur yang
terkandung di dalamnya. Yang pertama adalah unsur emosional idiil yang
batasan rasionalnya tidak begitu pasti. Unsur emosianal idiil bersumber
pada filsafat hidup yang dianut oleh orang atau suatu masyarakat yang
menuntunnya meyakini tatanan nilai tertentu dan bukan tatanan nilai yang
lain. Yang kedua, cita hukum juga mengandung unsur-unsur rasional yang
memungkinkan disusun suatu pengertian hukum umum (allgemein
Rechtsbegriff) sesuai dengan kandungan rechtsidee yang bersangkutan.
Unsur rasional dalam cita hukum (rechtsidee) bersumber dari akal-budi
yang membuat seseorang atau sekelompok anggota masyarakat membuat
keputusan untuk memilih dan meyakini nilai-nilai tertentu dan bukan nilai-
nilai yang lain sesuai dengan masyarakatnya dan lingkungan alam fisik yang
mengelilinginya. Kedua Cita Hukum tersebut juga terdapat dalam
Pancasila.10
10 Hotma P. SIbuea, Landasan Atau Dasar Dan Arah Pengembangan
Pengajaran Hukum Dan Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta Dalam Perspektif Cita Hukum Pancasila (Suatu angkah Awal), (Jakarta). hlm.7.
Cita Hukum Pancasila mempunyai peranan yang sangat vital, tidak
hanya sebagai pedoman dalam pembentukan peraturan perundang-undangan
saja, akan tetapi juga berperan penting dalam pengembangan hukum di
Indonesia. Konteks Pancasila sebagai Cita Hukum, Pancasila menuntut
kesesuaian arah pikir serta tujuan yang akan dicapai dari setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan (hukum positif). Abdul Hamid
S. Attamimi mengemukakan, fungsi Pancasila sebagai cita hukum adalah
sebagai bintang pemandu terhadap segenap tatanan hukum yang terdapat di
Indonesia. Fungsi yang dijalankan oleh Cita Hukum Pancasila dilaksanakan
melalui dua sisi sekaligus yaitu pertama, menguji hukum positif yang
berlaku dan yang kedua, mengarahkan hukum positif yang berlaku supaya
hukum positif tersebut mengarah ke suatu tujuan. 11
Bertitik tolak dari nilai-nilai yang dikandungnya, Cita Hukum
Pancasila melakukan kedua fungsi tersebut di atas. Cita Hukum Pancasila
tersebut menjadi penguji bagi setiap peraturan perundang-undangan yang
ada termasuk UUD Republik Indonesia Tahun 1945. Karena sifatnya yang
masih abstrak, nilai-nilai yang terkandung dalam Cita Hukum Pancasila
tidak serta merta dapat memberikan pengarahan terhadap peraturan
perundang-undangan yang dibuat. Agar nilai-nilai tersebut dapat
memberikan arahan terhadap hukum positif terutama dalam hal ini adalah
UUD Republik Indonesia Tahun 1945, maka harus melalui proses
pengolahan terlebih dahulu. Hasil dari proses pengolahan tersebut kemudian
kita dapatkan sesuatu yang lebih konkrit, yaitu prinsip-prinsip hukum atau
asas-asas hukum.
Cita Hukum Pancasila yang sudah mengalami proses pengolahan,
menderivasi (menurunkan) asas-asas dan prinsip-prinsip hukum yang dapat
dijadikan pedoman yang lebih konkrit bagi pembuatan peraturan perundang-
undangan. Asas-asas ini akan senantiasa dipergunakan sebagai arah pikir
11
Tim Fakultas Hukum Universitas !7 Agustus Jakarta mengutip Abdul Hamid S. Attamimi. Pembaharuan Hukum Acara Pidana Dan Jabatan Hakim Pemeriksa Pendahuluan Dalam Perspektif Pancasila, Asas Hukum Hukum dan Politik Hukum Nasional. (Jakarta). hlm. 7.
dari tujuan yang hendak dicapai dari pembentukan peraturan perundang-
undangan itu sendiri.
Konteks problematika kegiatan pada bulan Ramadhan yang akan
dibahas, tidak semua asas-asas yang diderivasi dari Cita Hukum Pancasila
diperbincangkan. Penulis mempunyai pandangan, ada asas-asas hukum
yang relevan yang akan diperbincangkan dan dapat dijadikan pedoman
sekaligus pisau analisis terhadap problematika kegiatan pada bulan
Ramadhan ini. Pisau analisis tersebut yaitu asas negara hukum.
Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa “untuk apa kita terlalu
jauh membahas tentang asas-asas hukum”. Mengapa tidak kita lakukan
kajian secara langsung terhadap norma atau aturan yang ada dan bagaimana
pengaruh norma atau aturan tersebut? Pandangan dan pemikiran tersebut
harus kita singkirkan, karena ini terkait dengan betapa pentingnya peranan
asas-asas hukum dalam pembentukan peraturan perundang-uandangan.
Dalam pokok bahasan yang kita perbincangkan ada asas yang kita gunakan
sebagai acuan. Sebenarnya apa yang menjadi relevansi bahwa pisau anlisis
tersebut, yaitu asas negara hukum dijadikan tolak ukur sekaligus indikator
dalam perbincangan tentang problematika kegiatan pada bulan Ramadhan
ini. Asas tersebut belum dapat dijadikan pedoman dalam problematika
kegiatan pada bulan Ramadhan karena masih abstrak, walaupun sudah lebih
konkrit. Asas negara hukum tersebut harus diproses atau diolah lebih dahulu
untuk dapat memahami makna hakiki dari asas hukum tersebut supaya
kemudian dapat dihasilkan gambaran pemahaman dan atau pengertian yang
lebih jelas tentang asas hukum tersebut. Pemahaman terhadap asas hukum
secara baik akan dapat menghasilkan seperangkat prinsip atau pokok
pendirian yang lebih konkrit. Prinsip atau pokok pendirian itu kemudian
dapat dipakai sebagai pedoman dalam merumuskan kebijakan pembaharuan
hukum yang terkait dengan problematika kegiatan pada bulan Ramadhan.
B. Kerangka Teoritis
1. Grand Theory,
Grand theory pada umumnya adalah teori-teori makro yang
mendasari berbagai teori di bawahnya. Teori negara hukum diambil oleh
penulis sebagai grand theory pada penelitian ini.
Konsepsi negara hukum sudah ada semenjak berkembangnya
pemikiran cita negara hukum itu sendiri. Plato dan Aristoteles merupakan
penggagas dari pemikiran negara hukum. Pemikiran negara hukum
dimunculkan Plato melalui karya monumentalnya yakni Politicos. Plato
dalam buku ini sudah menganggap adanya hukum untuk mengatur warga
negara. Pemikiran ini dilanjutkan tatkala Plato mencapai usia lanjut dengan
memberikan perhatian yang tinggi pada hukum. Menurutnya,
penyelenggaraan pemerintah yang baik ialah yang diatur oleh hukum.
Pemerintah pada dasarnya memang sangat memerlukan peraturan
perundang–undangan untuk dijadikan sebagai pedoman dan landasan dalam
melaksanakan tugas-tugasnya. Hal ini terkait dengan asas legalitas yang
diperlukan pemerintah sebagai pedoman menjalankan kewenangannya.
Akan tetapi sekarang ini, perkembangan masyarakat jauh lebih cepat
dibandingkan dengan pembaharuan peraturan perundang-undangan itu
sendiri. Untuk memberikan solusi akan keberadaan hal tersebut, diperlukan
adanya asas yang diderivasi dari Nilai Cita Hukum Pancasila yang relevan
dan dapat dijadikan pedoman untuk menentukan sebuah arah kebijakan
nasional. Apabila hal ini tidak dilakukan, pemerintah pasti akan kesuitan
apabila ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang
memang sudah tidak relevan di era sekarang ini, terus dijadikan pedoman
dalam mengeluarkan kebijakan.
Pada dasarnya asas legalitas juga sangat penting karena dengan asas
ini pemerintah mempunyai legitimasi untuk melakukan suatu tindakan,
tentunya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini
juga untuk menjamin kepastian hukum dalam suatu negara.
Asas legalitas dan tujuan kepastian hukum tidak boleh dipertahankan
secara kaku. Untuk era konsepsi negara modern sekarang ini tentunya tidak
boleh dilakukan, karena akan mempersulit dari penyelenggaraan
pemerintahan dalam suatu negara itu sendiri. Apabila masih terus
mempertahankan asas legalitas ini secara kaku, pemerintah akan kesulitan
menyelesaikan permasalahan atau problematika yang pada dasarnya juga
terus berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri.
Ketika dihadapkan dengan hal seperti itu pemerintah tidak dapat berdiam
diri dengan berpedoman bahwa tidak ada peraturan perundang-undangan
yang mengaturnya. Pemerintah harus mempunyai pandangan progresif
bahwa setiap peraturan perundang-undangan mempunyai landasan filosofis
dari pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. Landasan
filosofis dari peraturan perundang-undangan tersebut adalah asas yang telah
diderivasi dari Nilai Cita Hukum Pancasila. Dalam hal ini asas yang
dijadikan pedoman adalah asas negara hukum material atau asas negara
hukum kesejahteraan.
Asas negara hukum material atau asas negara hukum kesejahteraan
merupakan bentuk penyempurnaan dari asas negara hukum formal. Negara
hukum material atau negara hukum kesejahteraan lahir karena adanya
perkembangan tugas-tugas pemerintah yang semakin kompleks dan luas.
Hal ini juga disampaikan oleh Hotma P. Sibuea yang memberikan pendapat
bahwa: “ Kelahiran negara hukum material didorong oleh perkembangan
tugas-tugas pemeritah yang semakin kompleks dan luas, terutama dalam
masalah sosial dan ekonomi. Negara hukum material bukan hanya
berurusan dengan masalah pemberian jaminan kepada individu supaya dapat
melaksanakan hak-hak politisnya sehingga hanya mengandung aspek yang
tidak kompleks seperti negara hukum formal. 12
Dalam bukunya Hotma P. Sibuea yang berjudul Asas Negara
Hukum, Peraturan Kebijakann Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
yang mengutip Azhary menggambarkan kompleksitas negara material,
12 Hotma P. SIbuea mengutip Hadjon. Asas Negara Hukum,
Peraturan Kebijakan Dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.
(Jakarta: Erlangga, 2010), hlm. 37.
mengemukakan “…Negara kesejahteraan (Vergonggingsstaat), yaitu suatu
negara yang selain sebagai penjaga malam, juga ikut serta dalam
penyelenggaraan ekonomi nasional, sebagai pembagi jasa-jasa, penengah
bagi berbagai kelompok yang bersengketa dan ikut aktif dalam berbagai
bidang kehidupan lainnya. Mengutip pendapat Miriam Budiardjo yang
dikutip oleh Hotma P. Sibuea yang memberikan pernyataan yang berbeda
akan tetapi mempunyai maksud yang sama, bahwa: “Pada dewasa ini
dianggap bahwa demokrasi harus meluas mencakup dimensi ekonomi
dengan suatu sistem yang menguasai kekuatan-kekuatan yang menguasai
ekonomi dan yang berusaha memerkecil perbedaan sosial dan ekonomi
terutama perbedaan-perbedaan yang timbul dari distribusi perbedaan yang
tidak merata. Negara seperti ini dinamakan Welfare Staate (Negara
Kesejahteraan) atau social service staate (Negara yang memberikan
pelayanan kepada masyarakat).13
Asas negara hukum material atau negara hukum kesejahteraan yang
diderivasi dari cita hukum Pancasila mengandung makna bahwa dalam
suatu organisasi yang bernama Negara Republik Indonesia kekuasaannya
tunduk kepada hukum, akan tetapi dalam keadaan tertentu ketika situasi dan
kondisi mengharuskan pemerintah bertindak demi menghindari kerugian
yang lebih besar yang secara logis diperkirakan akan terjadi, pemerintah
memiliki kewenangan dan keleluasaan untuk bertindak atas inisiatif sendiri,
meskipun harus menyimpang atau mengabaikan undang-undang. Makna
tersebut menjelaskan, negara hukum material atau negara hukum
kesejahteraan mempunyai dasar filosofis dan tujuan yang jelas. Tujuan
negara hukum material adalah memberikan kesejahteraan kepada segenap
masyarakat (kesejahteraan umum).14
13
Ibid. hlm. 38.
14 Tim Fakultas Hukum Universitas !7 Agustus Jakarta.
Pembaharuan Hukum Acara Pidana Dan Jabatan Hakim Pemeriksa
2. Middle Theori
Middle theory adalah dimana teori tersebut berada pada level mezzo
atau level menengah yang fokus kajiannya makro dan juga mikro. Teori
keadilan dipilih oleh penulis sebagai Middle range theory.
Konsep keadilan pada jaman modern diwarnai dengan
berkembangnya pemikiran-pemikiran tentang kebebasan, antara lain
munculnya aliran liberalisme yaitu suatu aliran yang tumbuh di dunia barat
pada awal abab ke-XVII Masehi. Aliran ini mendasarkan diri pada nilai-
nilai dalam ajaran etika dari mazhab Stoa khususnya individualisme, sanksi
moral dan penggunaan akal. Dalam bidang politik dianut konsepsi tentang
pemerintahan demokrasi yang dapat menjamin tercapainya kebebasan.
Tradisi liberalisme sangat menekankan kemerdekaan individu. Istilah
liberalisme erat kaitannya dengan kebebasan, titik tolak pada kebebasan
merupakan garis utama dalam semua pemikiran liberal.15
Penganut utilitarianisme menolak digunakannya ide hukum alam
dan suara akal dalam teori mereka. Konsep keadilan pada aliran ini
didasarkan pada asas kemanfaatan dan kepentingan manusia. Keadilan
mempunyai ciri sebagai suatu kebajikan yang sepenuhnya ditentukan oleh
kemanfaatannya, yaitu kemampuannya menghasilkan kesenangan yang
terbesar bagi orang banyak.
Teori ini dikritik oleh anti utilitarianisme yang dipelopori oleh
Dworkin dan Nozick. Menurut mereka utilitarianisme yang
memperioritaskan kesejahteraan mayoritas, menyebabkan minoritas atau
individu-individu yang prefensinya tidak diwakili oleh mayoritas di dalam
suatu negara akan dihiraukan dan sebagai akibatnya mereka dirugikan atau
Pendahuluan Dalam Perspektif Pancasila, Asas Hukum Hukum dan Politik
Hukum Nasional. (Jakarta). hlm. 10.
15
Lyman Tower Sargent, Ideologi-Ideologi Politik Kontemporer, (Jakarta: Erlangga,
2001), hlm. 63.
kehilangan hak-haknya 16
. Bagi penentang utilitrian, keadilan menolak
argumen yang menyatakan bahwa hilangnya kebebasan sebagian orang
dapat dibenarkan atas asas manfaat yang lebih besar yang dinikmati oleh
orang-orang lain. Oleh karena itu dalam suatu masyarakat yang adil,
kebebasan warganegara yang sederajat tetap tidak berubah, hak-hak yang
dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar-menawar politik ataupun
pada pertimbangan kepentingan sosial17
.
Menurut Hampstead18
serangan Nozick terutama ditujukan kepada
rumus bahwa negara diperlukan atau merupakan alat terbaik untuk
melakukan keadilan distributif. Terhadap ini Nozick mengatakan bahwa bila
tiap orang memegang atau mempertahankan haknya yang diperoleh dengan
sah, maka secara total distribusi dari hak-hak itu juga adil. Dalam keadaan
yang demikian sudah barang tentu tidak ada tempat bagi negara melakukan
campur tangan, apalagi memberi rumusan-rumusan atau prinsip-prinsip
yang harus dianut dalam distribusi hak diantara warga negara. Negara cukup
berfungsi sebagai penjaga malam, penjaga terhadap usaha pencurian dan
menjaga hal-hal lain yang berhubungan dengan tindakan untuk
mempertahankan hak-hak warga negara.
Kelemahan teori Nozick yang kental dengan warna indivudualistik
dan liberal ini terletak dalam penerapannya, yaitu sangat sulit untuk
melakukan kontrol baik dalam mengontrol negara minimilis maupun dalam
kegiatan masyarakat. Artinya bagaimana mengontrol para individu yang
sekian banyak dalam suatu negara dan bagaimana mengontrol kegiatan para
16John Rawls dalam Scott Davidson, Hak Asasi Manusia (Jakarta:
Grafiti Press, 2004), hlm. 43.
17
Ibid, hal. 48.
18
Lord Lloyd of Hampstead & MDA Preeman, Introduction to
Jurisprudence, (London: English Language Book Society, Steven, 1985), hlm. 421.
individu di dalam berbagai lapangan usaha. Ini semua tidak bisa diserahkan
kepada kekuatan pasar dan kehendak para individu semata-mata. Teori
Nozick tersebut juga kurang realistis karena memisahkan individu dari
kondisi masyarakat masa kini dengan kondisi kapitalisme dan liberalisme
yang sudah sangat berubah.
Konteks pemikiran modern tentang keadilan dalam kamus Bahasa
Indonesia istilah keadilan berasal darik kata adil, artinya tidak memihak,
sepatutnya, tidak sewenang-wenang. Jadi keadilan diartikan sebagai sikap
atau perbuatan yang adil. Di dalam literatur Inggris istilah keadilan disebut
dengan “justice” kata dasarnya “jus”. Perkataan “jus” berarti hukum atau
hak. Dengan demikian salah satu pengertian dari “justice” adalah hukum.
Makna awal keadilan sebagai hukum, kemudian berkembang arti
dari kata “justice” sebagai “lawfullness” yaitu keabsahan menurut hukum.
Pengertian lain yang melekat pada keadilan dalam makna yang lebih luas
adalah “fairness” yang sepadan dengan kelayakan. Ciri adil dalam arti layak
atau pantas, dapat dilihat dari istilah-istilah yang digunakan dalam ilmu
hukum. Misalnya “priciple of fair play” yang merupakan salah satu asas-
asas umum pemerintahan yang baik, “fair wage” diartikan sebagai upah
yang layak yang sering ditemui dalam istilah hukum ketenagakerjaan. Hal
yang sama dikemukakan dalam konsep keadilan Aristoteles yang disebutnya
dengan “fairness in human action”, Keadilan adalah kelayakan dalam
tindakan manusia.
Bertolak dari peristilahan di atas, di dalam literatur ilmu hukum
konsep keadilan mempunyai banyak pengertian sesuai dengan teori-teori dan
pengertian tentang keadilan yang dikemukakan para ahli. Telaah pustaka
menunjukkan bahwa masalah keadilan sejak dahulu telah menjadi bahan
kajian baik dikalangan ahli filsafat maupun dikalangan agamawan, politikus
maupun para pemikir atau ahli hukum sendiri. Akan tetapi sampai saat ini
apabila timbul pertanyaan tetang keadilan, misalnya apa itu keadilan?
Ukuran apa yang digunakan untuk menentukan sesuatu itu adil atau tidak?
Akan timbul berbagai jawaban dan jawaban itu biasanya tidak pernah atau
jarang memuaskan sehingga terus menjadi perdebatan, dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa berbagai rumusan mengenai keadialn merupakan
rumusan yang relatif. Persoalan ini pada akhirnya mendorong banyak
kalangan untuk mengambil jalan pintas dengan menyerahkan perumusan
keadilan kepada pembentuk undang-undang yang akan merumuskannya
berdasarkan pertimbangan mereka sendiri.
Sekian banyak pengertian dan teori-teori yang dikemukakan para
ahli, pada umumnya menyangkut mengenai hak dan kebebasan, peluang dan
kekuasaan pendapat dan kemakmuran. Berbagai definisi keadilan yang
menunjuk pada hal di atas antara lain dapat dilihat dari pengertian keadilan
sebagai:19
1. “the constant and perpetual disposition to render every man his
due”;
2. “the end of civil society;
3. “the right to obtain a hearing and decision by a court which is
free of prejudice and improper influence”;
4. “all recognized equitable rights as well as technical legal right”;
5. “the dictate of right according to the consent of mankind
generally”;
6. “conformity with the principle of integrity, rectitude and just
dealing”;
Pengertian yang sama dikemukakan oleh Rudolph Heimanson yang
mendefinisikan keadilan sebagai: redressing a wrong, finding a balance
between legitimate but conflicting interest”20
. Definisi ini menggambarkan
bahwa nilai keadilan melekat pada tujuan hukum. Ide keadilan dicerminkan
oleh keputusan yang menentang dilakukannya hukuman yang kejam,
19
The Encyclopedia Americana, Volume 16 (New York: Americana
Corporation, New York, 1972), hlm. 263.
20
Rudolf Heimanson, Dictionary of Political Science and Law, (Massachuttess:
Dobbs Fery Oceana Publication, 1967), hlm. 96.
melarang penghukuman untuk kedua kalinya terhadap kesalahan yang sama.
Menolak diterapkannya peraturan hukum yang menjatuhkan pidana
terhadap tindakan yang dilakukan sebelum ada peraturan yang
mengaturnya, menolak pembentukan undang-undang yang menghapus hak-
hak dan harta benda seseorang. Teori lain yang menyatakan bahwa keadilan
melekat pada tujuan hukum dikemukakan oleh Tourtoulon 21
yang dengan
tegas menyatakan “lex injusta non est lex” yaitu hukum yang tidak adil
bukanlah hukum. sebaliknya ide keadilan itu menuntut pemberian kepada
setiap orang hak perlindungan dan pembelaan diri.
Makna dari suatu pengertian atau definisi keadilan berupaya
memberi pemahaman untuk mengenal apa itu keadilan. Dari definisi
tersebut akan diketahui ciri-ciri suatu gejala yang memberi identitas atau
tanda tentang keadilan. Akan tetapi tugas untuk menjelaskan apa itu
keadilan? Sifat dasar dan asal mula keadilan, atau mengapa suatu gejala
tertentu disebut keadilan bukan merupakan tugas definisi keadilan,
melainkan hanya dapat diterangkan dengan bantuan teori keadilan.
3. Applied Theory
Applied Theory adalah suatu teori yang berada dilevel mikro dan
siap untuk diaplikasikan dalam konseptualisasi. Teori pemidanaan gabungan
dipilih oleh penulis sebagai Applied Theory. Menurut Satochid Kartanegara
dan pendapat-pendapat para ahli hukum terkemuka dalam hukum pidana,
mengemukakan teori pemidanaan atau penghukuman dalam hukum pidana
dikenal ada tiga aliran yaitu:
a. Absolute atau vergeldings theorieen (vergelden/imbalan)
21 Radbruch & Dabin, The Legal Philosophi, (New YorkHarvard University Press, New York,
1950 hal. 432. Periksa juga Paul Siegart, The Lawfull Right of Mankind an Introduction
to the International Legal Code of Human Right, Oxfort University Press, New York,
1986 hal. 22.
Aliran ini mengajarkan dasar daripada pemidanaan harus
dicari pada kejahatan itu sendiri untuk menunjukkan kejahatan itu
sebagai dasar hubungan yang dianggap sebagai pembalasan,
imbalan (velgelding) terhadap orang yang melakukan perbuatan
jahat. Oleh karena kejahatan itu menimbulkan penderitaan bagi si
korban.
b. Relative atau doel theorieen (doel/maksud, tujuan)
Ajaran ini menganggap dasar hukum dari pemidanaan
adalah bukan velgelding, akan tetapi tujuan (doel) dari pidana itu.
Jadi aliran ini menyandarkan hukuman pada maksud dan tujuan
pemidanaan itu, artinya teori ini mencari mamfaat daripada
pemidanaan (nut van de straf)
c. Vereningings theorieen (teori gabungan)
Teori ini sebagai reaksi dari teori sebelumnnya yang
kurang dapat memuaskan menjawab mengenai hakikat dari tujuan
pemidanaan. Menurut ajaran teori ini dasar hukum dari
pemidanaan adalah terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu
pembalasan atau siksaan, akan tetapi di samping itu diakuinya
pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan daripada hukum.
Teori pemidanaan gabungan paling menggambarkan sistem
pemidanaan yang ada di Indonesia dan bagian dari dareivasi nilai cita
hukum Pancasila. Hal ini terbukti dengan perkembangan sistem
pemenjaraan menuju pemasyarakatan. Pemidanaan yang dianut Indonesia
semata-mata tidak hanya berorientasi pada kejahatan pelaku, akan tetapi
juga tujuan dari hukum itu sendiri, diantarnya kepentingan korban,
masyarakat dan pembangunan hukum.
BAB III
ANALISIS
A. Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 4 Tahun 2005 Perubahan
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Larangan Kegiatan
Pada Bulan Ramadhan
Bagir Manan mengatakan ada lima prinsip yang terkandung dalam
ajaran tentang tata urutan peraturan perundang-undangan, yaitu:22
1. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya
dapat dijadikan landasan atau dasar hukum bagi peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah atau berada di bawahnya.
2. Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus
bersumber atau memiliki dasar hukum dari suatu peraturan
perundang-undangan tingkat lebih tinggi.
3. Isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
tidak boleh menyimpangi atau bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
4. Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut atau
diganti atau diubah dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi atau paling tidak dengan yang sederajat.
5. Peraturan-peraturan perundang-undangan yang sejenis apabila
mengatur materi yang sama, maka peraturan terbaru harus
diberlakukan, walaupun tidak dengan secara tegas dinyatakan
bahwa peraturan yang lama itu dicabut. Selain itu peraturan yang
mengatur materi yang lebih khusus kharus diutamakan dari
peraturan perundang-undangan yang lebih umum.23
22 Abdul Hadi, Study Analisis Keabsahan Perda Syariat Dalam Prespektif Teori
Hirarki Norma Hukum, Jurnal Ummul Qura Vol IV, No. 2, Agustus 2014.
23 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Cetakan kedua, FH UII Press,
yogyakarta, 2004, hlm. 133.
Lima (5) prinsip di atas dapat dikaji apakah Peraturan Daerah
Larangan Kegiatan Pada Bulan Ramadhan memiliki ke-absahan atau tidak,
jika dilihat dari prinsip pertama Peraturan Daerah Larangan Kegiatan Pada
Bulan Ramadhan menjadikan Undang-undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang
Penetapan Undang-undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang
Pembentukan Daerah Tingkat II Kalimantan Lembaran Negara Tahun 1953
Nomor 9 sebagai Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 72,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1820), Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209), Undang-undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839), Peraturan Pemerintah Nomor 25
Tahun 2000 tentang, Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi
sebagai Daerah Otonom.
Beberapa konsideran tersebut sudah menjelaskan tentang sinkronisasi
aturan yang lebih tinggi dengan aturan dibawahnya. Misalnya menjadikan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana sebagai
dasar hukum dianggap tidak tepat dan cacat hukum karena substansi
penegakan oleh pihak terkait terdapat kekeliruan dalam bentuk sanksi dari
hasil penegakannya karena Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 lingkup
sanksi dalam penegakan adalah pidana pokok dalam KUHP sedangkan
Peraturan Daerah Larangan Kegiatan Pada Bulan Ramadhan pada Pasal 6
menyatakan “Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan
daerah ini, selain dikenakan sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal
5 ayat (1) dapat dikenakan sanksi administrasi berupa pencabutan izin usaha”,
lebih lanjut jika diukur dari prinsip ketiga, Isi atau muatan peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh menyimpangi atau
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya.
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dijadikan sebagai
acuan untuk mengukur apakah Perda Larangan Kegiatan Bulan Ramadhan ini
bertentangan atau tidak dengan tata nilai Pancasila maka coba untuk di
lihat dari Pendapat Hans Nawiasky yang menjelaskan bahwa dalam suatu
negara yang merupakan kesatuan tatanan hukum, terdapat suatu kaidah
tertinggi, yang kedudukannya lebih tinggi daripada Undang-Undang Dasar.
Kaidah tertinggi dalam tatanan kesatuan hukum dalam negara disebut
staatsfundamentalnorm, yang untuk Indonesia berupa Pancasila (Riyanto
dalam Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014,
2013: 93-94).24
Dalam hal ini Peraturan daerah yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan di atasnya apa lagi dengan Pancasila sebagai
staatsfundamentalnorm walaupun keberadaan regulasi tersebut bagian dari
implementasisi sila pertama, karena dalam memahami Pancasila sebagai satu
kesatuan sistem bukan hanya berdasarkan pemahaman salah satu sila saja.
Peraturan yang ada memang harus berlandaskan nilai-nilai Pancasila,
maka perasaan adil dan tidak adil dapat diminimalkan. Hal tersebut
dikarenakan Pancasila sebagai dasar negara menaungi dan memberikan
gambaran yang jelas tentang peraturan tersebut berlaku untuk semua tanpa
ada perlakuan diskriminatif bagi siapapun. Oleh karena itulah, Pancasila
memberikan arah tentang hukum harus menciptakan keadaan negara yang
lebih baik dengan berlandaskan pada nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan.25
Dasar Pancasila sebagai sumber dari sumber hukum harus dilihat
sumber yuridisnya adalah berdasarkan Pimpinan MPR dan Tim Kerja
Sosialisasi MPR periode 2009- 2014 menyebutkan Peneguhan Pancasila
sebagai dasar negara sebagaimana terdapat pada pembukaan, juga dimuat
dalam Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998, tentang Pencabutan
Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan ketetapan tentang
Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara. Meskipun status ketetapan MPR
24 Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti RI ,Pendidikan
Pancasila untuk Perguruan Tinggi, cetakan pertama , 2016, hlm. 80.
25
ibid, hlm.83.
tersebut saat ini sudah masuk dalam kategori ketetapan MPR yang tidak perlu
dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final),
telah dicabut maupun telah selesai dilaksanakan.26
Latar belakang terbentuknya regulasi Larangan Kegiatan Pada Bulan
Ramadhan ini adalah karena Kota Banjarmasin sebagai kota yang memiliki
penduduk muslim mayoritas maka dianggap sangat memerlukan suatu
regulasi yang mengatur bagaimana perlindungan dan penertiban dalam
pelaksanaan ibadah pemeluk beragama. Sebagaimana diketahui bahwa ibadah
puasa merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap
muslim dan pelaksanaannya harus dihormati oleh setiap muslim maupun
yang bukan muslim.
Beberapa arti dan makna Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai
berikut :27
a. Mengandung arti pengakuan adanya kuasa prima (sebab pertama)
yaitu Tuhan yang Maha Esa.
b. Menjamin penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan
beribadah menurut agamanya.
c. Tidak memaksa warga negara untuk beragama.
d. Menjamin berkembang dan tumbuh suburnya kehidupan beragama.
e. Bertoleransi dalam beragama, dalam hal ini toleransi ditekankan
dalam beribadah menurut agamanya masing-masing.
f. Negara memberi fasilitator bagi tumbuh kembangnya agama dan
iman warga negara dan mediator ketika terjadi konflik agama.
Makna tersebut tersirat bahwa untuk mengatur ketertiban dalam
menjalankan perintah agama, negara harus hadir untuk memberikan
perlindungan kepada semua pemeluk agama. Rumusan sila Ketuhanan Yang
Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila sangat erat kaitannya dengan masalah
26 ibid, hlm. 85
27 http://www.sangkoeno.com/2013/11/hubungan-pancasila-dan-agama.html
agama, sila ini menerangkan tentang ketuhanan begitu pun ritual keagamaan
yang dimaknai sebagai pengakuan terhadap Tuhan.28
Keberadaan regulasi Peraturan Daerah Kota Banjarmasin tentang
Larangan Kegiatan Pada Bulan Ramadhan dimana terdapat beberapa
kualifikasi tentang hal-hal yang dilarang, yang terdiri dari :
1. Membuka kegiatan tempat hiburan, restoran, warung, rombong dan
sejenisnya pada bulan Ramadhan;
2. Makan, minum dan/atau merokok di restoran, warung, rombong dan
yang sejenisnya di tempat-tempat umum dari masa imsyak (awal
puasa dalam sehari) sampai dengan waktu berbuka puasa, termasuk
juga di tempat hiburan;
Regulasi tersebut pada dasarnya dibentuk untuk memberikan
kenyamanan umat Islam dalam menjalankan ibadah puasa. Ibadah puasa yang
dijalankan oleh umat Islam sebenarnya tidak ada kaitannya secara langsung
dengan keberadaan warung, rombong dan sejenisnya yang disebutkan di Pasal
1 ayat (1) tersebut di atas. Umat Islam diwajibkan menahn lapar, haus dan
hawa nasfunya dari hal-hal yang membatalkan puasa. Ketika terdapat warung
dan sejenisnya pada prinsipnya itu bagian dari cobaan dan tantangan yang
harus dilewati oleh umat Islam. Jadi tidak ada alasan yang benar-benar hakiki
terhadap pelarangan tersebut, bahkan dikhawatirkan justru termasuk ke dalam
pemaksaan keyakinan agama atau kepercayaan kepada orang lain.
Aktifitas makan dan minum di tempat umum sebenarnya sama
dengan topik bahasan di atas. Ketika ada orang makan dan minum di warung
bukan menjadi masalah yang berarti untuk umat muslim yang berpuasa, karena
umat muslim memang diperintahkan untuk menahan lapar, haus dan hawa
nafsunya terhadap tantangan yang demikian. Umat Islam senantiasa dapat
menghormati hak dasar yang dimiliki individu yaitu hak hidup. Hak hidup
tersebut salah satunya adalah memperoleh makan dan minum.
Keadilan justru tercederai pula apabila memaksakan orang lain untuk
berhenti mencari nafkah. Baik untuk orang Islam maupun untuk orang non
28 http://www.sangkoeno.com/2013/11/hubungan-pancasila-dan-agama.html
muslim sama-sama mempunyai hak untuk mencari nafkah. Kegiatan
perekonomian yang efektif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan untuk
menciptakan kemadirian bangsa dan kesejahteraaan rakyat harus senantiasa
kita jaga.
Keberadaan sanksi pidana yang diberikan bagi para pelanggar juga
pada hakekatnya tidak sejalan dengan amanah teori pemidanaan gabungan
yang dianut oleh Indonesia. Alasannya jelas sekali jika sanksi tersebut hanya
momfokuskan pada perbuatan yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana saja
bukan terhadap seluruh aspek pemidanaan beberapa diantaranya masyarakat
dan pembangunan hukum itu sendiri.
Pentingnya memantapkan kedudukan Pancasila, maka Pancasila pun
mengisyaratkan bahwa kesadaran akan adanya Tuhan milik semua orang dan
berbagai agama. Tuhan menurut terminologi Pancasila adalah Tuhan Yang
Maha Esa, yang tak terbagi, yang maknanya sejalan dengan agama Islam,
Kristen, Budha, Hindu dan bahkan juga Animisme.29
Artinya disini negara
sangat dituntut peran aktifnya dalam implementasi tata nilai Pancasila yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dalam hal apapun khususnya kenyaman,
keamanan dan ke-khusuk-an pemeluk agama untuk menjalankan syariat
agamanya masing-masing, seperti kenyamanan dan keamanan dalam
menjalankan ibadah puasa Ramadhan bagi pemeluk agama Islamdengan tanpa
mengesampingkan pemeluk agama atau kepercayaan yang lain.
B. Implikasi Hukum Diberlakukannya Peraturan Daerah Kota Banjarmasin
Nomor 4 Tahun 2005 Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003
tentang Larangan Kegiatan Pada Bulan Ramadhan
Otonomi daerah yang diberlakukan setelah reformasi memaksa setiap
daerah mengakomodir masukan masyarakat di daerah. Akibatnya muncul
perturan daerah atu perda yang hanya cocok dengan berlaku di
29 https://edukasismn.blogspot.com/2017/11/hubungan-pancasila-dan-agama-
dalam.html
wilayahnya.Namun sebagian perda tersebut cenderung diskriminatif dan tidak
sesuaai dengan cita hukum Pancasila.
Peraturan yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan yng berada di atasnya. Artinya secara umum baik peraturan
pemerintah pusat maupun peraturan pemerintah daerah tidak boleh
bertentangan dengan cita hukum Pancasila. Apabila prinsip ini dilanggar, maka
peraturan tersebut akan batal demi hukum atau dapat dibatalkan melalui upaya
hukum judicial review ke Mahkamah Agung..
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin tentang Larangan Kegiatan Pada
Bulan Ramadhan pada kenyataanya tetap dan selalu disosialisasikan sebelum
masuk bulan ramadhan, bahkan Walikota terus melaksanakan perda tersebut, pada
tahun 2016 Walikota Banjarmasin Ibnu Sina menegaskan akan terus menerapkan
Perda tentang Larangan Kegiatan Selama Ramadhan dan siap berada terdepan
untuk tetap menegakkan perda tersebut karena yang bersangkutan menganggap
perda ini sebagai refresentasi keinginan sebagian besar masyarakat Banjarmasin
dan harus terus dipertahankan dan ditegakkan.30
C. Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 4 Tahun 2005 Perubahan
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Larangan Kegiatan Pada
Bulan Ramadhan yang sesuai dengan Cita Hukum Pancasila
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 4 Tahun 2005 Perubahan
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Larangan Kegiatan Pada Bulan
Ramadhan pada tahap perencanaanya harusnya melibatkan peran serta semua
pihak khususnya masyarakat dalam bentuk aspirasi. Hal ini ada pada Pasal 35
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang menyebutkan bahwa:
“Dalam penyusunan Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (1), penyusunan daftar rancangan peraturan daerah
provinsi didasarkan atas:
30 https://banjarmasin.tribunnews.com/2016/06/24/wali-kota-banjarmasin-siap-melawan-jika-perda-ramadan-dianulir
a. perintah Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi
b. rencana pembangunan daerah;
c. penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan
d. aspirasi masyarakat daerah.”
Keterlibatan semua pihak terkait dalam tahap penyusunan, pembahasan
dan penetapan serta pengundangan Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor
4 Tahun 2005 Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 tentang
Larangan Kegiatan Pada Bulan Ramadhan telah diamanatkan dalam Pasal 60
Ayat (1), Pasal 75 Ayat (1) (2) (3), Pasal 78, Pasal 79 Ayat (1) dan (2), Pasal
86 Ayat (1) dan Pasal 87 UU No.12 tahun 2011. Selanjutnya Peran serta
masyarakat diatur dalam Pasal 96 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berisi hak untuk
memberikan masukan secara lisan dan/atau tulisan dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan yang dilakukan melalui rapat dengar pendapat
umum, kunjungan kerja, sosialisasi, seminar lokakarya dan diskusi. Beberapa
dasar hukum tentang partisipasi masyarakat dalam perencanaan, penyusunan,
pembahasan, penerapan dan pengundangan suatu regulasi khususnya yang
termuat dalam Pasal 96 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak disebutkan secara ekplisit
bagaimana masyarakat dapat menyampaikan masukan, hanya saja aspirasi
tersebut ternyata dapat ditampung sejak tahapan perencanaan dalam
penyusunan prolegda.
Ketentuan di atas harusnya dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya
pada Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 4 Tahun 2005 Perubahan
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Larangan Kegiatan Pada Bulan
Ramadhan sehingga benar-benar mencerminkan Indonesia merupakan negara
yang menganut asas negara hukum kesejahteraan. Yang mana negara
kesejahteraan (Vergonggingsstaat), yaitu suatu negara yang selain sebagai
penjaga malam, juga ikut serta dalam penyelenggaraan ekonomi nasional,
sebagai pembagi jasa-jasa, penengah bagi berbagai kelompok yang
bersengketa dan ikut aktif dalam berbagai bidang kehidupan lainnya.
Perspektif keadilan alangkah lebih baik ketika memandang konteks
agama dalam ruang lingkup yang lebih luas yaitu cita hukum Pancasila. Hal ini
dilakukan agar terjadi keseimbangan dalam menjalankan syariat agama dan
menjalankan kehidupan beragama dengan umat yang lain.
Teori pemidanaan gabungan yang pada hakekatnya sudah disepakati
juga harusnya dapat dijadikan pedoman dan acuan dalam menentukan suatu
kebijakan. Menentukan sanksi pidana dalam Peraturan Daerah Kota
Banjarmasin Nomor 4 Tahun 2005 Perubahan Peraturan Daerah Nomor 3
Tahun 2003 tentang Larangan Kegiatan Pada Bulan Ramadhan merupakan
suatu yang bertentangan dengan nilai cita hukum Pancasila. Ketentuan sanksi
pidana harus ditinjau ulang.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan bab-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan :
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 4 Tahun 2005 Perubahan
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Larangan Kegiatan Pada
Bulan Ramadhan belum sesuai dengan cita hukum Pancasila. Dalam
perspektif negara hukum kesejahteraan yang tujuan akhirnya adalah
kesejahteraan bagi masyarakat sudah jelas bahwa bagi umat non muslim hal
ini sangat bertolak belakang. Dari perspektif keadilan pastinya tidak
memenuhi keadilan bagi setiap masyarakat yang mempunyai usaha warung,
baik itu masyarakat muslim maupun masyarakat non muslim. Perspektif teori
pemidanaan gabungan juga tidak memenuhi harapan karena titik fokusnya
hanya ke tindakan yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana dan pelakunya
bukan ke pembangunan hukumnya.
Peraturan yang berada di bawah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan yng berada di atasnya. Artinya secara umum baik peraturan
pemerintah pusat maupun peraturan pemerintah daerah tidak boleh
bertentangan dengan cita hukum Pancasila. Apabila prinsip ini dilanggar,
maka peraturan tersebut akan batal demi hukum atau dapat dibatalkan melalui
upaya hukum judicial review ke Mahkamah Agung termasuk Peraturan
Daerah Kota Banjarmasin Nomor 4 Tahun 2005 Perubahan Peraturan Daerah
Nomor 3 Tahun 2003 tentang Larangan Kegiatan Pada Bulan Ramadhan.
Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Nomor 4 Tahun 2005 Perubahan
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Larangan Kegiatan Pada
Bulan Ramadhan harus mencrminkan asas negara hukum kesejahteraan, teori
keadilan daan teori pemidanaan gabungan yang mana asas dan teori ini
merupakan derivasi nilai cita hukum Pancasila.
B. Rekomendasi
Kita sepakat bahwa Pancasila dijadikan sebagai grundnorm bagi
bangsa Indonesia. Agar hal di atas dapat diaplikasiakan dengan optimal
dalam kehidupan berbangsa dan dalam kehidupan sehari-hari maka
diperlukan standarisasi terkait pembentukan peraturan perundang-undangan
yang akan diberlakukan secara definitif. Menurut kami diperlukan adanya
lembaga yang bertugas dalam menyaring peraturan perundang-undangan
yang akan diberlakukan. Tidak hanya sekedar apakah itu merupakan
kewenangan pmerintah pusat atau bukan, tapi juga harus menyentuh apakah
peraturan yang akan diberlakukan bertentangan dengan nilai cita hukum
Pancasila atau tidak.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Cetakan kedua, FH UII Press,
Yogyakarta, 2004.
Barda Nawawi Arief, ,Pembangunan Sistem Hukum Nasional, Semarang,
Penerbit Pustaka Magister Semarang, 2012.
Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Cetakan Ketiga, Jakarta, Sinar
Grafika, 2004.
Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti RI ,Pendidikan
Pancasila untuk Perguruan Tinggi, cetakan pertama , 2016.
Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara,suatu studi analisis mengenai
Keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan dalam kurun waktu PELITA
I-PELITA IV, Jakarta, Sekretariat Negara RI, 1990.
Hotma P. SIbuea, Landasan Atau Dasar Dan Arah Pengembangan Pengajaran Hukum
Dan Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta
Dalam Perspektif Cita Hukum Pancasila (Suatu angkah Awal), (Jakarta).
Jimly Asshiddiqie,Perihal Undang-Undang di Indonesia, Sekretariat Jenderal
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006.
Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Cetakan
Pertama, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2010.
Tim Fakultas Hukum Universitas !7 Agustus Jakarta mengutip Abdul Hamid S.
Attamimi. Pembaharuan Hukum Acara Pidana Dan Jabatan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan Dalam Perspektif Pancasila, Asas Hukum Hukum
dan Politik Hukum Nasional. (Jakarta)
Jurnal
Abdul Hadi, Study Analisis Keabsahan Perda Syariat Dalam Prespektif Teori
Hirarki Norma Hukum, Jurnal Ummul Qura Vol IV, No. 2, Agustus 2014.
Rumadi, Perda Syariat Islam: Jalan Lain Menuju Negara Islam?, Journal
Tashwirul Afkar, Edisi No. 20 Tahun 2006, Lakpesdam NU, Jakarta, 2006
Internet
http://www.sangkoeno.com/2013/11/hubungan-pancasila-dan-
agama.html
https://edukasismn.blogspot.com/2017/11/hubungan-pancasila-dan-agama-
dalam.html
https://mediaindonesia.com/read/detail/50850-kalsel-tetap-terapkan-perda-ramadn
https://banjarmasin.tribunnews.com/2016/06/24/wali-kota-banjarmasin-siap-
melawan-jika-perda-ramadan-dianulir
LAPORAN MATRIK
KAJIAN DAN EVALUASI
KAJIAN PERSPEKTIF CITA HUKUM PANCASILA TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 4 TAHUN 2005 PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 3 TAHUN 2003 TENTANG LARANGAN KEGIATAN PADA BULAN RAMADHAN
TIM PENYUSUN
Ketua : Dr. Faisal, S.H., M.H.
Anggota : Toni, S.H., M.H.
Ndaru Satrio, S.H., M.H.
A. Cery Kurnia, S.H., M.H
.
Kerjasama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Dengan Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung (FH
UBB) Desember 2019
MATRIK
PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 4 TAHUN 2005
TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH
KOTA BANJARMASIN NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG LARANGAN KEGIATAN PADA BULAN
RAMADHAN
No. Materi Perda Hasil Analisis dan Evaluasi Keterangan
Dikaitkan Dengan
Indikator Nilai-Nilai
Pancasila
1. Pasal 1 Bertentangan dengan sila Poin ke 6 yaitu
ke-2 Pancasila Perlindungan kepada setiap
orang dalam
memperjuangkan kebenaran
dan keadilan demi martabat
kemanusiaan tidak terwujud
dengan adanya regulasi
pada Pasal 1.
Lebih spesifik lagi harus
disesuaikan dengan teori
tujuan pemidanaan
gabungan yang kita anut.
Bertentangan dengan sila Poin ke 4 yaitu Kegiatan
ke-5 Pancasila perekonomian yang efektif,
berkeadilan dan
berwawasan lingkungan
untuk menciptakan
kemadirian bangsa dan
kesejahteraaan rakyat.
Apabila ditelaah lebih lanjut
regulasi tersebut justru
berpotensi menghambat
perkembngan dari
perekonomian itu sendiri.
MATRIK
PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG LARANGAN KEGIATAN PADA BULAN RAMADHAN
No. Materi Perda Hasil Analisis dan Evaluasi Keterangan
Dikaitkan Dengan
Indikator Nilai-Nilai
Pancasila
1. Pasal 2 Bertentangan dengan sila Poin ke 4 yaitu pelarangan
ke-1 Pancasila perbuatan kekerasan dan
pemaksaan keyakinan
agama dan kepercayaan
kepada orang lain tidak
terwujud dengan adanya
regulasi pada Pasal 2.
Lebih spesifik lagi harus
disesuaikan dengan teori
negara hukum kesejahteraan
dan teori keadilan
Bertentangan dengan sila Poin ke 5 yaitu
ke-2 Pancasila Penghormatan terhadap
hak dasar manusia baik
sebagai individu, maupun
sebagai warga masyarakat.
Hak dasar tersebut adalah
hak hidup yang dipada
kenyatannya didapat setelah
mencari nafkah
top related