lapkas anastesi edit terbaru
Post on 31-Dec-2015
95 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Sel tumor adalah sel tubuh yang mengalami transformasi dan tumbuh secara
otonom, lepas dari kendali pertumbuhan sel normal sehingga sel ini berbeda dari sel
normal dalam bentuk dan strukturnya.1
Tumor adneksa adalah tumbuhnya jaringan abnormal pada sistem reproduksi
yaitu pada tuba fallopi, kemudian pada uterus dan ovarium biasanya terjadi
bersamaan.1
Tumor adneksa adalah tumor ganas di tuba fallopi, lebih sekunder berasal
dari tumor ganas ovarium, atau uterus.1
Peradangan yang terjadi kebanyakan akibat infeksi yang menjalar ke atas dari
uterus, walaupun infeksi ini juga bisa datang dari tempat ekstra-vaginal lewat jalan
darah, atau menjalar dari jaringan-jaringan sekitarnya.2
Kata anestesi diperkenalkan oleh Oliver Wendell Holmes yang
menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian obat
dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Berdasarkan analisis kata
“anestesi” (an = tidak, aestesi = rasa) maka ilmu anestesi adalah cabang ilmu
kedokteran yang mempelajari tatalaksana untuk me”matikan” rasa, baik rasa nyeri,
takut dan rasa tidak nyaman yang lain sehingga pasien nyaman.3,4
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ANESTESI
2.1.1. Definisi Anestesi
Kata anestesi berasal dari bahasa yunani yang berarti keadaan tanpa rasa
sakit. Anestesia adalah suatu keadaan depresi dari pusat - pusat saraf tertentu
yang bersifat reversible, dimana seluruh perasaan dan kesadaran hilang.
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan
yang meliputi pemberian anestesi ataupun analgesi, pengawasan keselamatan
pasien dioperasi atau tindakan lainnya, bantuan hidup (resusitasi), perawatan
intensif pasien gawat, pemberian terapi inhalasi, dan penanggulangan nyeri
menahun.3,4,5
2.1.2. Jenis-jenis anestesi
1. Anestesi umum 4,5
Tindakan menghilangkan rasa nyeri / sakit secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Komponen trias ideal
terdiri dari hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot.
Trias anestesi ini dapat dicapai dengan menggunakan obat yang berbeda
secara terpisah. Teknik ini sesuai untuk pembedahan abdomen yang luas,
intraperitonium, toraks, intrakranial, pembedahan yang berlangsung lama, dan
operasi dengan posisi tertentu yang memerlukan pengendalian pernapasan.4
2
Cara pemberian anestesi umum :
Parenteral (IM/IV). digunakan untuk tindakan yang singkat atau induksi
anestesi. Umumnya diberikan thiopental, namun pada kasus tertentu dapat
digunakan ketamin, diazepam, dll. Untuk tindakan yang lama anestesi
parenteral dikombinasikan dengan cara lain.
Perektal. Dapat dipakai pada anak untuk induksi anestesi atau tindakan
singkat.
Anestesi inhalasi. yaitu anestesi dengan menggunakan gas atau cairan
anesetsi yang mudah menguap sebagai zat anestetik melalui udara
pernafasan. Zat anestetik melalui udara pernapasan. Zat anestetik yang
digunakan berupa campuran gas (dengan O2) dan konsentrasi zat
anestetik tersebut tergantung dari tekanan parsialnya.
Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium
yaitu:
Stadium I
Stadium I (analgesia) dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai
hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti
perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan
pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat
dilakukan pada stadium ini.
Stadium II
Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya
kesadaran dan refleks bulu mata sampai pernafasan kembali teratur. Pada
stadium ini terlihat adanya eksitasi dan gerakan yang tidak menurut
kehendak, pasien tertawa, berteriak, menangis, menyanyi, pernapasan
3
tidak teratur, kadang-kadang apnoe dan hiperpnoe, tonus otot rangka
meningkat, inkotinensia urin dan alvi, muntah, midriasis, hipertensi serta
takikardia. Stadium ini harus cepat dilewati karena dapat menyebabkan
kematian.
Stadium III
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai
pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana, yaitu:
Plana I : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi
gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil miosis, refleks
cahaya ada, refleks lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah
tidak ada, dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna
(tonus otot mulai menurun).
Plana II : Pernapasan teratur, spontan, perut dada, volume tidak
menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di
tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot
sedang dan refleks laring hilang sehingga dapat diketjakan intubasi.
Plana III : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai
paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks
laring dan peritonium tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempurna
(tonus otot semakin menurun).
Plana IV: Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal
paralisis total, pupil sangat midriasis, refleks cahaya hilang, refleks
sfingter ani dan kelenjar air mata tidak ada, relaksasi otot lurik
sempurna (tonus otot sangat menurun).
Stadium IV
4
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya
pernapasan perut dibanding stadium III plana IV. Pada stadium ini
tekanan darah tidak dapat diukur,denyut jantung berhenti, dan akhirnya
terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat
diatasi dengan pernapasan buatan.
2. Anestesi Lokal 5,6,7
Tindakan menghilangkan nyeri/sakit secara lokal tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Pemberian anestetik lokal dapat dengan cara:
Anestesi permukaan
Yaitu pengolesan atau penyemprotan analgetik lokal diatas selaput
mukosa seperti mata, hidung atau faring.
Anestesi infiltrasi
Yaitu penyuntikan larutan analgetik lokal langsung diarahkan di sekitar
tempat lesi, luka atau insisi, Cara infiltrasi yang sering digunakan adalah
blockade lingkar dan obat disuntikkan intradermal atau subkutan.
Anestesi blok
Yaitu penyuntikan analgetika lokal langsung kesaraf utama atau pleksus
saraf. Misalnya anestesi spinal, anestesi epidural, anestesi kaudal.
Anastesi regional intravena
yaitu penyuntikan larutan analgetik lokal intravena. Ekstremitas
dieksanguinasi dan diisolasi bagian proksimalnya dari sirkulasi sistemik
dengan torniquet.
5
2.1.3 Penilaian dan persiapan pra anestesi 4,6
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor
penyumbang sebab-sebab terjadinya kecelakaan anestesi. Dokter spesialis
anestesiologi seyogyanya mengunjungi pasien sebelum pasien dibedah, agar ia
dapat menyiapkan pasien, sehingga pada waktu pasien dibedah dalam keadaan
bugar.
Maksud dan tujuan kunjungan pra anestesi;
1) menentukan keadaan physis penderita
2) Mermilih teknik dan obat-obatan anestesi yang sesuai dengan keadaan
penderita dan macam operasi.
3) Memperhitungkan bahaya/resiko anestesi yang mungkin terjadi.
Penilaian pra bedah :
Anamnesis
identifikasi pasien, keluhan pasien, riwayat penyakit yang sedang atau
pernah diderita yang dapat menjadi penyulit anestesi seperti alergi, DM,
penyakit paru. Riwayat penggunaan obat-obatan. riwayat operasi. Riwayat
kebiasaan seperti merokok. Riwayat penyakit keluarga.
Pemeriksaan fisik
tinggi dan berat badan, vital sign, jalan nafas, jantung, paru-paru, abdomen,
ekstremitas, punggung dan neurologis.
Pemeriksaan laboratorium
Rutin : Darah, urin, foto thorax dan EKG
Khusus : dilakukan bila ada indikasi seperti spirometri pada pasien tumor
paru, fungsi hati pada pasien ikterus dan fungsi ginjal pada pasien hipertensi.
6
Tindakan-tindakan yang dilakukan :
1) Pembersihan dan pengosongan saluran pencernaan :
- Puasa ( 6-10 jam pada dewasa. 2-4 jam pada anak-anak )
- Pemberian laxansia dan clysma
2) Membersihkan jalan nafas
3) Mencegah retensi urin.
2.1.4. Klasifikasi Status fisik 5,6
Berdasarkan American Society of Anesthesiologists ( ASA ) membuat
klasifikasi pasien menjadi kelas-kelas :
1) Pasien normal dan sehat fisis dan mental
2) Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan
fungsional
3) Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang menyebabkan
keterbatasan fungsi
4) Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam hidup dan
menyebabkan keterbatasan fungsi
5) Pasien yang tidak dapat hidup/bertahan dalam 24 jam dengan atau tanpa
operasi
6) Pasien mati otak yang organ tubuhnya dapat diambil
Bila operasi yang dilakukan darurat maka penggolongan ASA diikuti
huruf E.
7
2.1.5. Peralatan 3,4,6
Peralatan anestesi adalah alat-alat anestesi yang digunakan umtuk
menghantarkan oksigen dan obat anastetik inhalasi, mengontrol ventilasi, serta
memonitor fungsi peralatan tersebut.
Mesin anestesi merupakan peralatan anestesi yang sering digunakan.
Secara umum mesin anestesi terdiri dari 3 komponen yang saling berhubungan,
yaitu:
a) Komponen 1. yaitu sumber gas, penunjuk aliran gas (flow meter), dan alat
penguap (vaporizer)
b) Komponen 2. Meliputi sistem napas, yang terdiri dari sistem lingkar dan
sistem magill.
c) Komponen 3. Alat yang menghubungkan sistem napas dengan pasien,
yaitu sungkup muka (face mask), pipa endotrakea (endotrakeal tube).
Semua komponen mesin anestesi harus tersedia tanpa memperhatikan
teknik anestesi yang akan dipakai sebagai persiapan untuk kemungkinan
pemakaian anestesi umum, selain itu sumber oksigen dan peralatan bantu
ventilasi (self- inflating bag seperti ambu bag) harus tersedia untuk semua
prosedur anestesi.
2.1.6. Tahapan anastesi 3,4,6
A. Persiapan Praanestesi
Keadaan fisis pasien telah dinilai sebelumnya pada kunjungan praanestesi
meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dll. Saat masuk ruangan
operasi pasien dalam keadaan puasa. Identitas pasien harus telah ditandatangani
sesuia dengan rencana operasi dan informed consent.
8
Dilakukan penilaian praoperasi. Keadaan hidrasi pasien dinilai, apakah
terdapat hipovolemia, perdarahan, diare, muntah, atau demam. Akses intavena
dipasang untuk pemberian cairan infus, transfusi dan obat-obatan. Dilakukan
pemantauan elektrogradiografi (EKG), tekanan darah (tensi meter), saturasi
oksigen (pulse oxymeter), kadar CO2 dalam darah (kapnograf), dan tekanan
vena sentral (CVP). Premedikasi dapat diberikan oral, rectal, intramuskular, atau
intravena.
B. Induksi Anestesi
Premedikasi. Tujuan premedikasi adalah :
Menimbulkan rasa nyaman pada pasien
Memudahkan/memperlancarkan induksi,rumatan, dan sadar dari anestesi
Mengurangi jumlah obat-obatan anestesi
Mengurangi timbulnya hipersalivasi, bradikardi, mual dan muntah
Mengurangi keasaman lambung dan stress fisiologis
Obat-obat yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah:
1. Obat antikholinergik
2. Obat sedatif
3. Obat analgetik narkotik.
Pasien diusahakan tenang dan diberikan oksigen melalui sungkup muka.
Obat-obat induksi diberikan secara intravena seperti tiopental, ketamin,
diazepam, midazolam, dan propofol. Jalan napas dikontrol dengan sungkup
muka atau pipa napas orofaring/nasofaring. Setelah itu dilakukan intubasi
trakea. Setelah kedalaman anestesi tercapai, posisi pasien disesuaikan dengan
9
posisi operasi yang akan dilakukan, misalnya telentang, telungkup, litotomi,
miring, duduk, dll.4
1. Obat golongan antikholinergik
Obat golongan antikholinergik adalah obat-obatan yang berkhasiat
menekan/menghambat aktivitas kholinergik atau parasimpatis.
Tujuan utama pemberian obat antikholinergik untuk premedikasi adalah:
1. Mengurangi sekresi kelenjar:saliva,saluran cerna dan saluran nafas
2. Mencegah spasme laring dan bronkus.
3. Mencegah bradikardi
4. Mengurangi motilitas usus
5. Melawan efek depresi narkotik terhadap pusat nafas.
Obat golongan antikholinergik yang digunakan dalam praktik anastesia
adalah preparat Alkaloid belladonna yang turunnya adalah:
Sulfas atropine
Skopolamin
Mekanisme Kerja : menghambat mekanisme kerja asetil kholin pada
organ yang diinervasi oleh serabut saraf otonom para simpatis atau serabut saraf
yang mempunyai neurotransmitter asetil kolin.
Alkaloid belladona menghambat muskarinik secara kompetitif yang
ditimbulkan oleh asetil kholin pada sel efektor organ terutama pada kelenjar
eksokrin, otot polos dan otot jantung. Khasiat sulfas atropine lebih dominan
pada otot jantung , usus dan bronkus, sedangkan skopolamin lebih dominan
pada iris, korpus siliare dan kelenjar.
Efek terhadap susunan saraf pusat
10
Sulfas atropine tidak menimbulkan depresi susunan saraf pusat, sedangkan
skopolamin mempunyai efek depresi sehingga menimbulkan rasa ngantuk,
euporia, amnesia dan rasa lelah.
Efek terhadap respirasi
Menghambat sekresi kelenjar pada hidung, mulut, faring trakea, dan
bronkus, menyebabkan mukosa jalan nafas kekeringan, relaksasi otot polos
bronkus dan bronkhioli, sehingga diameter lumennya melebar akan
menyebabkan volume ruang rugi bertambah.
Efek terhadap kardiovaskular
Menghamabat aktivitas vagus pada jantung ,sehingga denyut jantung
meningkat,tetapi tidak berpengaruh langsung pada tekanan darah.pada
hipotensi karena reflex vegal, pemberian obat ini akan meningkatkan
tekanan darah.
Efek terhadap saluran cerna
Menghambat sekresi kelenjar liur sehingga mulut terasa kering dan sulit
menelan, mengurangi sekresi getah lambung sehingga keasaman lambung
bisa dikurangi, mengurangi tonus otot polos sehingga motilitas usus
menurun.
Efek terhadap kelenjar keringat.
Menghambat sekresi kelenjar keringat, sehingga menyebabkan kulit kering
dan badan terasa panas akibat pelepasan panas tubuh terhalang melalui
proses evaporasi.
Cara pemberian dan dosis
- Intramuscular dengan dosis 0,01 mg/kg BB, diberikan 30-45 menit
sebelum induksi.
11
- Intravena dengan dosis 0,005 mg/kg BB, diberikan 5-10 menit sebelum
induksi.
Kontraindikasi : Alkaloid belladona ini tidak diberikan pada pasien yang
menderita: demam, takikardi, glaucoma dan tirotoksikasis.
Kemasan dan sifat fisik : Dikemas dalam bentuk ampul 1 ml mengandung
0,25 dan 0,50 mg,tidak berwarna dan larut dalam air.
2. Obat golongan sedatif/trankulizer
Obat golongan sedative adalah obat-obat yang berkhasiat anti cemas dan
menimbulkan rasa kantuk.
Tujuan pemberian obat golongan ini adalah untuk memberikan suasana
nyaman bagi pasien prabedah,bebas dari rasa cemas dan takut, sehingga pasien
menjadi tidak peduli dengan linkungannya.
Untuk keperluan ini, obat golongan sedative/trankulizer yang sering
digunakan adalah:
a. Derivate fenothiazin.
Derivate fenothiasin yang banyak digunakan untuk premedikasi adalah
propetazin.obat ini pada mulanya digunakan sebagai antihistamin.
Khasiat farmakologi.
Terhadap saraf pusat . Menimbulkan depresi saraf pusat, bekerja pada
formasioretikularis dan hipotalamus menekan pusat muntah dan
mengatur suhu obat ini berpotensi dengan sedative lainnya.
Terhadap respirasi. Menyebabkan dilatasi otot polos saluran nafas dan
menghambat sekresi kelenjar.
12
Terhadap kardiovaskular. Menyebabkan vasodilatasi sehingga dapat
memperbaiki perfusi jaringan.
Terhadap saluran cerna efek lain. Menurunkan peristaltik usus,mencegah
spasme mengurangi sekresi kelenjar, efek lainnya adalah menekan
dekresi ketekolamin dan sebagai antikholinergik.
Dengan demekian dapat disimpulkan bahwa khasiat propethazin sebagai
obat premedikasi adalah sebagai sedative, antiemetik, antikhonergik,
antihistamin, bronkodilator dan antipiretika.
Cara pemberian dan dosis
Intramuskular dengan dosis 1 mg/kg BB dan diberikan 30-45 menit
sebelum induksi.
Intravena dengan dosis 0,5 mg/kg BB diberikan 5-10 menit sebelum
induksi.
Kemasan dan sifat fisik. Dikemas dalam bentuk ampul 2 ml mengandung 50
mg tidak berwarna dan larut dalam air.
b. Derivat benzodiazepine
Derivat benzodiazepine yang banyak digunakan untuk premedikasi adalah
diazepam dan midazolam. derivat yang lain adalah klordiazepoksid,
nitrazepam dan oksazepam.
Khasiat farmakologi :
Terhadap saraf pusat dan medulla spinalis.
Mempunyai khasiat sedasi dan anti cemas yang bekerja pada system
limbic dan pada ARAS serta bisa menimbulkan amnesia antero grad.
Sebagai obat anti kejang yang bekerja pada kornu anterior medulla
13
spinalis dan hubungan saraf otot. pada dosis kecil bersifat sedative,
sedangkan dosis tinggi sebagai hipnotik.
Terhadap respirasi
Pada dosis kecil (0,2 mg/kg BB)yang diberikan secara intravena,
menimbulkan depresi ringan yang tidak serius. Bila dikombinasikan
dengan narkotik menimbulkan depresi nafas yang lebih berat.
Terhadap kardiovaskular
Pada dosis kecil,pengaruhnya kecil sekali pada kontraksi maupun denyut
jantung, akan tetapi pada dosis besar menimbulkan hipotensi yang
disebabkan oleh efek dilatasi pembuluh darah.
Terhadap saraf otot
Menimbulkan penurunan tonus otot rangka yang bekerja di tingkat supra
spinal dan spinal, sehingga sering digunakan pada pasien yang menderita
kekakuan otot rangka seperti pada tetanus.
Penggunaan klinis, dalam praktik anastesia obat ini digunakan sebagai:
Premedikasi dapat diberikan intramuscular dengan dosis 0,2 mg/kg BB
atau peroral dengan dosis 5-10 mg.
Induksi diberikan intravena dengan dosis 0,2-0,6 mg/kg BB.
Sedasi pada analgesia regional diberikan intravena.
Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin.
Penggunaan lainnya adalah :
Antikejang pada kasus-kasus epilepsy, tetanus dan eklampsia
Sedasi pasien rawat inap
Sedasi pada tindakan kardioversi atau endoskopi
14
Pada pemberian intramuscular atau intravena, obat ini tidak bisa dicampur
dengan obat lain karena bisa terjadi resipitasi.
Jalur vena yang dipilih sebaiknya melalui vena-vena besar untuk mencegah
flebitis.Pemberian intramuscular kurang disenangi oleh karena menimbulkan
rasa nyeri pada daerah suntikan.
Kemasan injeksi berbentuk larutan emulsi dalam ampul 2 ml yang
mengandung 10 mg ,berwarna kuning, sukar larut dalam air dan bersifat
asam .kemasan oral dalam bentuk tablet 2 dan 5 mg, disamping itu ada
kemasan supositoria atau pipa rectal (rectal tube)yang diberikan pada anak-
anak. sedangkan midazolam yang ada dipasaran adalah hanya dalam bentuk
larutan tidak berwarna, mudah larut dalam air dan kemasan dalam ampul (3
dan 5 ml) yang mengandung 5 mg/ml.
c. Derivat butirofenon
Derivat ini disebut juga obat golongan neroleptika, karena sering digunakan
sebagai nerolitik. derivat butirofenon yang sering digunakan sebagai obat
premedikasi adalah dehidrobenzperidol atau popular disebut DHBP.
Efek farmakologi:
Terhadap saraf pusat
Berkhasiat sebagai sedative atau trankulizer.disamping itu mempunya
khasiat khusus sebagai anti muntah yang bekerja pada pusat muntah di
“chemoreceptor trigger zone”. Efek samping yang tidak dikehendaki
adalah timbulnya rangsangan ekstrapiramidal sehingga menimbulkan
gerakan tak terkendali (Parkinson) yang bisa diatasi dengan pemberian
obat anti Parkinson. 12
15
Terhadap respirasi
Menimbulkan sumbatan jalan nafas akibat dilatasi pembuluh darah
rongga hidung juga menimbulkan dilatasi pembuluh darah paru.
Sehingga kontraindikasi pada pasien asma.
Terhadap sirkulasi
Menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah perifer, sehingga sering
digunakan sebagai anti syok.tekan darah akan turun tetapi perfusi dapat
dipertahankan selama volume sirkulasi adekuat.
Penggunaan klinik
1. Premedikasi diberikan intramuscular dengan dosis 0,1 mg/kg BB.
2. Sedasi untuk tindakan endoskopi dan analgesia regional
3. Anti hipertensi
4. Anti muntah
5. Suplemen anastesia.
Kemasan: Dalam bentuk ampul 2 ml dan 10 ml, mengandung 2,5 mg/ml .
Tidak berwarna dan bisa dicampur dengan obat lain.
d. Derivate barbiturate
Derivate barbiturate yang sering digunakan sebagai obat premedikasi
adalah :pentobarbital dan sekobarbital. Digunakan sebagai sedasi dan
penenang pra bedah, terutama pada anak-anak. Pada dosis lazim dapat
menimbulkan depresi ringan pada respirasi dan sirkulasi.
Sebagai premedikasi diberikan intramuscular dengan dosis 2 mg /kg BB atau
per oral.
16
e. Preparat Antihistamin
Obat golongan ini yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah
derivate defenhidramin. Khasiat yang diharapkan adalah sedative, anti
muntah ringan, dan anti piretik, sedangkan efek sampingnya adalah
hipotensi yang sifatnya ringan.
3. Golongan analgetik narkotik atau opioid
Berdasarkan struktur kimia, analgetik narkotik atau opioid, dibedakan
menjadai 3 kelompok :
1. Alkaloid opium (natural) : morfin dan kodein
2. Derivate semi sintetik : diasetilmorfin (heroin), hidromorfin, oximorfon,
hidrokodon dan oxikodon.
3. Derivate sintetik
o Fenipiperidine : pethidin, fentanil, sulfentanyl dan alfentanyl.
o Benzomorfan : pentazosid, fenazosin dan siklazosin.
o Morfinan : lavorvanol
o Propionanilides : methadone
Sebagai analgetik, opioid bekerja secara sentral pada reseptor-reseptor
opioid yang diketahui ada 4 reseptor, yaitu ;
1. Reseptor Mu
Morfin bekerja secara agonis pada reseptor ini. stimulasi pada reseptor ini
akan menimbulkan analgesia, rasa segar, euphoria, dan depresi respirasi
2. Reseptor Kappa
Stimulasi reseptor ini menimbulkan analgesia, sedasi dan anastesia. Morfin
bekerja pada reseptor ini.
17
3. Reseptor sigma
Stimulasi reseptor ini menimbulkan perasaan disforia, halusinasi, pupil
midriasis, dan stimulasi respirasi.
4. Reseptor delta
Pada manusia reseptor ini belum diketahui dengan jelas.
Golongan narkotik ysng sering digunakan sebagai premedikasi adalah:
pethidin dan morfin. Sedangkan fentanyl digunakan sebagai suplemen
anesthesia. Efek farmakologi:
Terhadap susunan saraf pusat
Sebagai analgetik, obat ini bekerja pada thalamus dan subtansia gelatinosa
medulla spinalis, disamping itu narkotik juga mempunyai efek sedasi.
Terhadap respirasi
Menimbulkan depresi pusat nafas terutama pada bayi dan orang tua. Efek ini
semakin manifest pada keadaan umum pasien yang buruk sehingga perlu
pertimbangan seksama dalam penggunaannya. Namun demikian efek ini
dapat dipulihkan dengan nalorfin atau nalokson.
Terhadap bronkus, pethidin menyebabkan dilatasi bronkus, sedangkan morfin
menimbulkan constriksi akibat pengaruh pelepasan histamine.
Terhadap sirkulasi
Tidak menimbulkan depresi system sirkulasi, sehingga cukup aman diberikan
pada semua pasien kecuali oada bayi dan orang tua.
Pada kehamilan, narkotik dapat melewati barier plasenta sehingga dapat
menimbulkandepresi nafas pada bayi baru lahir.
Terhadap system lain
18
Merangsang pusat muntah, menimbulkan spasme spincter kandung empedu
sehingga menimbulkan kolok abdomen. Morfin merangsang pelepasan
histamine sehingga dapat menimbulkan rasa gatal seluruh tubuh atau minimal
pada daerah hidung, sedangkan pethidin, pelepasan histaminnya bersifat local
ditempat suntikan.
Indikasi kontra : Pemberian narkotik harus hati-hati pada pasien orang tua
atau bayi dan keadaan umum yang buruk. Tidak boleh diberikan pada pasien
yang mendapatkan preparat pengghambat monoamine oksidase, pasien asma
dan penderita penyakit hati.
Efek samping atau tanda-tanda intoksikasi :
1. Memperpanjang masa pulih anesthesia
2. Depresi pusat nafas sehingga pasien bisa henti nafas
3. Pupil miosis
4. Spasme bronkus pada pasien asma terutama akibat morfin
5. Kolik bdomen akibat spasme spingter kandung empedu.
2.1.7. Rumatan Anestesi 3,4,6,7
Selama operasi berlangsung hal-hal yang dipantau adalah fungsi vital,
pernapasan, tekanan darah, nadi dan kedalaman anestesi, misalnya adanya
gerakan, batuk, mengedan, perubahan pola napas, takikardia, hipertensi,
keringat, air mata, midriasis.
Ventilasi pada anestesi umum dapat secara spontan, bantu, atau kendali
tergantung jenis lama dan posisi operasi. Cairan infus diberikan dengan
memperhitungkan kebutuhan puasa rumatan perdarahan evaporasi dan lain-lain.
Jenis cairan yang dapat diberikan dapat berupa kristaloid (Ringer Laktat, NaCl,
19
Dextrosa 5%), koloid ( plasma expander, albummin 5%) atau trensfusi darah
bila perdarahan terjadi lebih dari 20% volume darah.
2.1.8. Pemulihan Pasca-Anestesi 3,4,6
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke ruang pemulihan (recovery
room) atau ke ruang perawatan intensif (bila ada indikasi). Secara umum
ekstubasi dilakukan pada saat pasien dalam anestesi ringan atau sadar. Di ruang
pemulihan dilakukan pemantauan keadaan umum, kesadaran, tekanan darah,
nadi, pernapasan, suhu, sensibilitas nyeri, perdarahan dari drainage, dll.
Pemeriksaan tekanan darah, frekuensi nadi dan frekuensi pernapasan
dilakukan paling tidak setiap 5 menit dalam 15 menit pertama atau hingga stabil,
setelah itu dilakukan setiap 15 menit. Pulse oxymetri dimonitor hingga pasien sadar
kembali. Pemeriksaan suhu juga dilakukan.
Seluruh pasien yang sedang dalam pemulihan dari anestesi umum harus
dapat oksigen 30-40% selama pemulihan karena dapat terjadi hipoksemia
sementara. Pasien yang memiliki resiko tinggi hipoksia adalah pasien yang
mempunyai kelainan paru sebelumnya atau yang dilakukan tindakan operasi di
daerah abdomen atau di daerah dada.
2.2. TUMOR ADNEKSA SUSPECT MALIGNANCY 1,2
2.2.1. Definisi
Tumor adneksa adalah tumbuhnya jaringan abnormal pada sistem
reproduksi yaitu pada tuba fallopi kemudianovarium dan uterus yang biasanya
terjadi bersamaan. Tumor adneksa merupakan tumor ganas primer di tuba
fallopi yang lebih sekunder berasal dari tumor ganas ovarium atau uterus.
20
2.2.2. Epidemiologi
Tumor ganas primer di tuba sangat jarang (<0,1%), lebih sering yang
sekunder berasal dari tumor ganas ovarium, uterus, kolorektal, lambung dan
payudara. Ditemukan 1 : 1000 kasus operasi ginekologik abdominal, dapat
dijumpai pada semua umur (dari 19-80 tahun), dengan rata-rata puncaknya pada
usia 52 tahun.
2.2.3. Etiologi
Penyebab tumor adneksa tidak diketahui secara pasti tetapi diduga karena
infeksi yang menjalar ke atas dari uterus, peradangan ini menyebar ke ovarium
dan tuba fallopi yang menyebabkan berbagai gangguan dan terjadi pertumbuhan
jaringan yang abnormal.
2.2.4. Patologi
Hsu, Taymor dan Hertig membagi histologik tumor ini dalam 3 jenis
menurut keganasannya :
1. Jenis papiler; tumor belum mencapai otot tuba dan diferensiasi selnya
masih baik; batas daerah normal dengan tumor masih dapat ditunjukkan
2. Jenis papilo-alveolar (adenomatosa); tumor telah memasuki otot tuba dan
memperlihatkan gambaran kelenjar
3. Jenis alveo-meduler; terlihat mitosis yang atipik dan terlihat invasi sel
ganas ke dalam saluran limfa tuba
21
2.2.5. Penyebaran
Pada umumnya terjadi langsung ke alat sekitarnya, kemudian melalui
pembuluh getah bening ke abdomen, leher, daerah inguinal, vagina, tuba,
ovarium, dan uterus.
2.2.6. Tingkat klinik keganasan
Klasifikasi menurut FIGO
Tingkat klinik Kriteria
I A Pertumbuhan tumor terbatas pada salah satu tuba; tidak ada
asites.
1. Tak ditemukan tumor di permukaan luar, kapsulnya
utuh.
2. Tumor terdapat di permukaan luar, atau kapsulnya
pecah atau kedua-duanya
I B Pertumbuhan tumor terbatas pada kedua tuba; tidak ada asites.
1. Tak ada tumor di permukaan luar, kapsulnya utuh
2. Tumor terdapat di permukaan luar, atau kapsulnya
pecah, atau kedua-duanya
I C Tumor dari tingkatan klinik IA dan IB, tetapi ada asites atau
cucian rongga perut positif
II Pertumbuhan tumor melibatkan satu atau dua tuba, dengan
perluasan ke panggul
II A Perluasan proses dan/atau metastasis ke uterus atau ovarium
II B Perluasan proses ke jaringan panggul lainnya
II C Tumor dari tingkat klinik IIA atau IIB, tetapi dengan asites
22
dan/atau cucian rongga perut positif
III Tumor melibatkan satu atau dua tuba dengan penyebaran
kelenjar limfa intraperitoneal atau kedua-duanya. Tumor
terbatas pada panggul kecil dengan bukti histologik
penyebaran ke usus halus atau omentum
IV Pertumbuhan tumor melibatkan salah satu atau kedua tuba
dengan metastasis berjarakjauh. Bilamana didapatkan efusi
pleural, harus ada sitologi positif untuk menyebutnya sebagai
tingkat klinik IV. Begitu pula ditemukannya metastasis ke
parenkim hati
2.2.7. Gambaran Klinik dan Diagnosis
Pada awal penyakit tidak menimbulkan gejala. Diagnosis sering terlambat
dibuat karena letaknya yang sangat tersembunyi. Biasanya dibuat secara tak
terduga saat laparotomi dan pemeriksaan histologik atas specimen yang dikirim.
Kalau sudah ada keluhan, biasanya sudah terlambat. Deteksi dini tumor ganas
tuba Fallopii sukar diupayakan. Perlu dapat perhatian khusus bila wanita berusia
(45-55 tahun), ditemukan tumor adneksa disertai rasa nyeri dan adanya getah
vagina yang semula kekuning-kuningan kemudan bercampur darah, perlu
dicurigai kemungkinan adanya tumor ganas tuba terutama biasanya oleh karena
mengalami infeksi gonokokus yang menimbulkan peradangan tuba dan menjadi
buntu. Perasaan nyeri ini dapat intermitten atau terus-menerus dan menjalar ke
pangkal paha dan punggung bagian bawah (regio sakro-koksigeal). Rasa sakit
ini yang menyebabkan penderita datang ke dokter.
23
Pemeriksaan sitologi usapan serviks tidak banyak membantu. Akan tetapi
bilamana hasilnya sel ganas positif, sedangkan di serviks maupun di kavum uteri
dapat dinyatakan tidak ada keganasan, maka perlu dipikirkan kemungkinan
keganasan di tuba atau ovarium, lebih lebih jika ada masa tumor pada adneksa.
Histero-salpingografi (HSG) tidak dianjurkan karena dapat berakibat meluasnya
proses ganas/radang. Kuldoskopi dan laparoskopi juga tak banyak berarti karena
sulit membedakan tumor ganas tuba dari tumor radang, kecuali bilamana
pemeriksaan tersebut disertai tindakan biopsi. Transvaginal/transrektal USG
dapat membantu untuk menegakkan diagnosis.
2.2.8. Penanganan
Penanganan utama yang dianjurkan adalah TAH + BSO + OM + APP
(Total Abdominal Hiterektomy + Bilateral Salphingo-Oophorectomy +
Omentectomy + Appendectomy). Dapat dipertimbangkan instilasi Phosphor-32
radioaktif atau khemoterapi profilaksis. Sayatan dinding perut harus longitudinal
di linea mediana, cukup panjang untuk memungkinkan mengadakan eksplorasi
secara gentle (lembut) seluruh rongga perut dan panggul, khususnya di daerah
subdiafragmatika dan mengirimkan sampel cucian rongga perut untuk
pemeriksaan sitologi eksfoliatif. Bila perlu dapat dilakukan biopsi pada jaringan
yang dicurigai.
2.2.9. Prognosis
24
Tergantung dari tingkatan klinik dan jenis histologik tumor. Karena
umumnya penyakit ditemukan terlambat maka AKH-5 tahun tidak seberapa baik
(34,4%).
Menurut Sedlis, dengan menggunakan klasifikasi FIGO Angka
Ketahanan Hidup 3 tahun adalah sebagai berikut.
Tingkat klinik Ketahanan 3 tahun
I 60%
II 40%
III 10%
IV 0%
BAB III
LAPORAN KASUS PASIEN
25
CATATAN PRE OPERASI
ANAMNESA PRIBADI
Nama : Nurleli
Umur : 35 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Berat Badan : 58 kg
MR : 90.24.81
ANAMNESA PENYAKIT
Keluhan Utama : Teraba benjolan di perut kiri bawah
Telaah : Hal ini dialami os sejak ± 1 tahun yang lalu. Awalnya
benjolan teraba sebesar bola kasti dan makin lama semakin membesar sebesar
kepala bayi. Nyeri pada perut kiri bawah dirasakan os hilang timbul. Riwayat
perdarahan diluar siklus haid (+), nyeri haid (+).
BAB : dalam batas normal
BAK : dalam batas normal
RPT : DM (+) 5 tahun
RPO : metformin, namun tidak teratur
KEADAAN PASIEN SEBELUM OPERASI
B1 (Breath)
Airway : clear
26
Frekuensi Nafas : 18 x/i
Suara pernafasan : vesikuler
Suara tambahan : -
Riw.asma/sesak/batuk/alergi : -/-/-/-
Foto thorax : tidak tampak kelainan
B2 (Blood)
Akral : Hangat/Merah/Kering
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Frekuensi nadi : 88x/i
Temperatur : 36,8⁰C
Riwayat Hipertensi : -
Riwayat DM : + selama 5 tahun
B3 (Brain)
Sensorium : Compos mentis (E:4, V:5, M:6)
Refleks Cahaya : +/+
Pupil : isokor, Ø3mm
Riwayat kejang : -
B4 (Bladder)
Urine : +
Volume : cukup
27
Warna : kuning
B5 (Bowel)
Abdomen : soepel
Peristaltik : +
Mual/muntah : -/-
BAB/flatus : +/+
B6 (Bone)
Fraktur : -
Oedem : -
Luka : -
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hb : 10,8
Ht : 30,0
Leukosit : 15.600
Trombosit : 334.000
Ureum : 18
Creantinin :0,85
KGD puasa : 121
KGD 2jam PP : 138
SGOT : 15
SGPT : 14
28
Diagnosa : Tumor Adnexa Suspect Malignancy + DM tipe 2
PS ASA : II
Rencana Tindakan : Laparotomy Surgical Staging
Rencana Anestesi : GA-ETT
Posisi : Supine
a. Persiapan Operasi
Sio
Pemasangan iv line dan three way
Puasa 6-8 jam sebelum operasi
Hygiene dan berdoa
b. Persiapan alat
Mesin anestesi: aliran O2, N2o, agen inhalasi, soda lime masih baik,
test kebocoran bagging, test ventilator.
Alat suction.
Monitor EKG: EKG, tekanan darah berfungsi dengan baik, setting
monitor dan elektroda
Intubasi : Stetoskop, ETT no 7, laringoskop, Stillet, Forcep magil,
Xylocain spray, jelly, plester, spuit 3cc, 5cc, 10cc.
c. Persiapan obat
1. Premedikasi
- Phetidin 100mg
29
- Miloz 5mg
2. Medikasi
- Propofol 150mg
- Ecron 6mg
- Dexametahson 5mg
- Ketorolac 30mg
- Transamin 500mg
3. Persiapan cairan
- WIDA : 1 fls@500 cc
- HES : 1 fls@500cc
- Transfusi PRC 1bag
CATATAN ANESTESI
Nama : Nurleli
Jenis Kelamin : Perempuan
30
Umur : 35tahun
Diagnosa Pra Bedah : Tumor Adnexa Suspect Malignancy + DM tipe 2
Jenis Pembedahan : Laparotomy Surgical Stagging
Diagnosa Pasca Bedah : Post Laparotomy Surgical Staging a/i Tumor Adnexa
Suspect Malignancy + DM tipe 2
Lama Anestesi :09.30 - selesai
Lama Operasi : 10.00- 12.15
Jenis Anestesi : GA-ETT
Anestesi dengan : N2o; O2 = 2l/i: 2l/i
Isofluran MAC 0,5-1,5%
Teknik Anestesi : posisi kepala Head Up premedikasi
preoksigenasi 5’-10’ eyelid reflex negative
test ventilasi positif sleep non apnoe inj.
Propofol 150mg sleep apnoe intubasi ETT
no.7,5 cuff (+) SP kanan=kiri fiksasi
Respirasi : terkontrol dengan ventilator
Posisi : supine
Infus : RL o/t region dorsum manus sinistra
Premedikasi Medikasi
- Pethidin 100mg
- Miloz 5mg
- Propofol 150mg
- Ecron 6mg
31
- Dexametahson 5mg
- Ketorolac 30mg
- Transamin 500mg
Perdarahan:
Kassa basah = II x 10 = 20 cc
Kassa ½ basah = IIII x 5 = 25 cc
Handuk = II x50 =100 cc
Suction = 3500 ( dibasuh dengan 2000ml WIDA) = 1500 cc
Total = 1645 cc
Cairan Masuk:
PO : WIDA I x 350 : 350cc
DO: WIDA II x 500cc : 500cc
HES I x 500cc : 500cc
Transfusi darah 1bag PRC @100 cc
Cairan keluar
32
PO: -
DO: 500ml
Catatan
EBV: 65 x 58 = 3770
10%= 377
20%= 754
30%= 1131
Post operasi pasien dipindahkan ke Ruangan Recovery:
- 02 2-3l/i
- IVFD Ringer Laktat 20gtt/i
- Kalau mual muntah di suction
- Antibiotik dan obat lainnya sesuai dengan bagian TS Bagian Obgyn
- Anjuran Cek Darah rutin Post Operasi
33
BAB IV
KESIMPULAN
Tumor adneksa adalah tumbuhnya jaringan abnormal pada sistem reproduksi
yaitu pada tuba fallopi kemudian ovarium dan uterus yang biasanya terjadi
bersamaan. Tumor ganas primer di tuba sangat jarang (<0,1%), lebih sering yang
sekunder berasal dari tumor ganas ovarium, uterus, kolorektal, lambung dan
payudara. Penyebab tumor adneksa tidak diketahui secara pasti tetapi diduga karena
infeksi yang menjalar ke atas dari uterus.
Penanganan utama yang dianjurkan adalah TAH + BSO + OM + APP (Total
Abdominal Hiterektomy + Bilateral Salphingo-Oophorectomy + Omentectomy +
Appendectomy). Bila perlu dapat dilakukan biopsi pada jaringan yang dicurigai.
Untuk melakukan pembedahan diperlukan pertimbangan pembiusan yang
tepat. Agar dokter bedah nyaman untuk melakukan operasi.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonym. Tumor Adneksa. 2012. Available at http://www.scribd.com/mobile/
doc/110510710?width=400
2. Wiknjosastro, Hanifa. Ilmu Kandungan. Edisi 2. 2007. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo
3. Latief, Said A., et al. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi 2. 2009. Jakarta :
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI
4. Mangku, Gde, et al. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. 2010. Jakarta : PT
Macanan Jaya Cemerlang
5. Oloan S.M. Anestesi Umum dan Anestesi Lokal. 2012. Medan : FK UMI
6.
7.
35
top related