kuliah obat anastesi raisya
Post on 11-Apr-2016
13 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Istilah anestesi pertama kali digunakan pada tahun 1846 yang artinya
tidak ada rasa sakit. Anastesi sendiri berasal dari bahasa Yunani an- yang berarti
‘tidak, tanpa’ sedangkan aesthētos yang berarti ‘persepsi, kemampuan untuk
merasa. Secara umum anastesi adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit
ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan
rasa sakit pada tubuh.
Obat anestesi dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu anestesi lokal dan
umum. Anastesi lokal berarti menghilangkan rasa sakit tanpa disertai hilang
kesadaran, sedangkan anestesi umum berarti menghilangkan rasa sakit yang
disertai hilangnya kesadaran.
Selain menghilangkan rasa sakit dari operasi, obat anestasi umum juga
menghilangkan kesadaran. Untuk beberapa operasi, anastesi juga merelaksasikan
otot sehingga dapat memperlancar jalannya operasi. Obat anestesi memiliki trias
yang harus dipenuhi yaitu efek hipnotik, efek analgesia, dan efek relaksasi otot.
Menentukan dosis yang optimal untuk suatu obat, dimana dalam selang
dosis tersebut obat akan mempunyai efek terapi tanpa menimbulkan efek toksik
merupakan hal yang penting dalam anastetik klinis. Besar jumlah yang
diperlukan dengan menentukan tingkat konsentrasi minimal yang dapat
menimbulkan efek terapi yang diharapkan, dan tingkat konsentrasi maksimal
yang umumnya ditentukan pada jumlah konsentrasi obat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Anastesi Intravena
Obat anestesi intravena adalah obat anestesi dengan tujuan hipnotik,
analgetik maupun pelumpuh otot yang diberikan melalui vena lalu akan
diedarkan ke seluruh jaringan tubuh dan menuju target organ masing-masing
melalui sirkulasi sistemik yang akhirnya diekskresikan sesuai dengan
farmakodinamiknya masing-masing. Obat anestesi yang ideal memiliki sifat
hipnotik dengan onset cepat serta mengembalikan kesadaran dengan cepat
segera sesudah pemberian dihentikan; analgetik; amnesia; memiliki antagonis;
cepat dieliminasi; depresi kardiovaskular dan pernafasan tidak ada atau
minimal; farmakokinetik tidak dipengaruhi atau minimal terhadap disfungsi
organ.
1. Propofol
Propofol merupakan kelompok derivat fenol yang sering digunakan
untuk anastesia intravena yang dikemas dalam cairan emulsi berwarna putih
susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg)
Dosis induksi cepat propofol dapat menimbulkan sedasi (30-45 detik)
dengan durasi berkisar antara 20-75 menit tergantung dosis dan redistribusi
dari sistem saraf pusat. Propofol lebih cepat dan sempurna mengembalikan
kesadaran dibandingkan obat anestesia lain yang disuntikan secara cepat
kerena setelah pemberian bolus intravena, konsentrasi dalam plasma
berkurang dengan cepat dalam 10 menit pertama (waktu paruh 1-3 menit)
kemudian diikuti bersihan lebih lambat dalam 3-4 jam (waktu paruh 20-30
menit) yang menunjukkan distribusi dari plasma dan ambilan oleh jaringan
terjadi dengan cepat.
Propofol cepat dimetabolisme di hati melalui konjugasi ke glukuronida
dan sulfat untuk menghasilkan senyawa yang larut dalam air, yang
diekskresikan dalam urin dan feses. Paru-paru bertanggung jawab untuk
sekitar 30% dari serapan dan eliminasi pertama setelah dosis bolus.
Dosis induksi menyebabkan pasien kehilangan kesadaran dengan cepat
akibat ambilan obat lipofilik yang cepat oleh SSP, dimana dalam dosis yang
kecil dapat menimbulkan efek sedasi tanpa disertai efek analgetik. Propofol
dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke otak dan konsumsi oksigen
otak sehingga dapat menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan
intraokular sebanyak 35%. Namun, apnoe sering terjadi pada pemberian
propofol selama 30 detik, tetapi dapat memanjang dengan pemberian opioid
sebagai premedikasi. Penggunaan propofol juga dapat menurunkan frekuensi
pernafasan dan volume tidal sementara.
Dengan dosis induksi dapat menyebabkan depresi pada jantung dan
tekanan pembuluh darah dapat turun namun biasanya tidak disertai
peningkatan denyut nadi. Hal ini disebabkan karena propofol menurunkan
resistensi vaskular sistemik sebanyak 30%. . Pemberian drip melalui infus
(dibandingkan dengan pemberian melalui bolus) mengurangi depresi
jantung. Sedangkan usia berbanding lurus dengan efek depresi jantung
Dosis yang dianjurkan untuk induksi pada pasien lebih dari 3 tahun dan
kurang dari 55 tahun adalah 2-2.5 mg/kgBB dan untuk pasien lebih dari 55
tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 1-1.5 mg/kgBB. Untuk
pemeliharaan dosis yang dianjurkan pada pasien lebih dari 3 tahun dan
kurang dari 55 tahun adalah 0.1-0.2 mg/menit/kgBB dan untuk pasien lebih
dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 0.05-0.1
mg/menit/kgBB
Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik
sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2mg/kgBB intravena. Insidens nyeri
lebih sedikit didapatkan pada penyuntikan di vena yang lebih besar seperti di
fossa antecubiti. Bradikardi serta hipotensi kadang didapatkan setelah
penyuntikan propofol, namun dapat diatasi dengan penyuntikkan obat
antimuskarinik, misalnya: atropin. Efek samping eksitatorik seperti
myoclonus, opisthotonus serta konvulsi kadang dihubungkan dengan
pemberian propofol dan dapat terjadi pada masa pemulihan.
2. Ketamin
Onset pada pemberian intravena adalah 30 detik dengan durasi kerja
didapatkan lebih singkat yakni 5-10 menit. Metabolisme terjadi di hepar
dengan bantuan sitokrom P450 di reticulum endoplasma halus menjadi
norketamine yang kemudian mengalami konjugasi oleh glukoronida menjadi
senyawa larut air untuk selanjutnya diekskresikan melalui urin. Ketamin
kurang digemari untuk induksi anesthesia karena sering menimbulkan
takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anesthesia dapat
menimbulkan mual muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk.
Ketamine memiliki efek analgetik yang kuat tapi efek hipnotiknya
kurang dan anestesia disosiasi. Bila diberikan intravena maka dalam 30 detik
akan mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas pada
mata berupa kelopak mata terbuka spontan, dilatasi pupil dan nistagmus.
Kadang-kadang juga dijumpai gerakan yang tidak disadari (cataleptic
appearance), seperti gerakan mengunyah, menelan, tremor dan kejang. Pada
pasien yang diberikan ketamin juga mengalami amnesia anterograde. Sering
mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi pada periode pemulihan
sehingga pasien mengalami agitasi. Selain itu, ketamin menyebabkan
peningkatan aliran darah ke otak, konsumsi oksigen otak, dan tekanan
intrakranial. Tekanan darah akan naik dengan rerata antara 20-25% dan akan
turun kembali dalam 15 menit kemudian. Denyut jantung juga meningkat
karena adanya aktivitas saraf simpatis yang meningkat dan depresi
baroreseptor. Dapat dicegah dengan pemberian premedikasi opioid. Ketamin
menyebabkan dilatasi bronkus dan bersifat antagonis terhadap efek
konstriksi bronkus oleh histamin, sehingga baik untuk penderita asma dan
untuk mengurangi spasme bronkus pada anesthesia umum yang masih
ringan.
Dosis yang dianjurkan untuk induksi pada pasien dewasa adalah 1-
4mg/kgBB. Ketamin dapat diberikan bersama dengan diazepam atau
midazolam dengan dosis 0.1mg/kgBB intravena dan untuk mengurangi
salvias dapat diberikan sulfas atropine 0.01mg/kgBB. Ketamin dipakai untuk
prosedur dimana pengendalian jalan nafas sulit, misalnya pada koreksi
jaringan sikatriks daerah leher, prosedur diagnostic pada bedah saraf atau
radiologi (radiografi), tindakan ortopedi, misalnya reposisi, pada pasien
dengan resiko tinggi karena ketamin yang tidak mendepresi fungsi vital,
untuk tindakan operasi kecil, di tempat dimana alat-alat anestesi tidak ada,
dan pada pasien asma. Sebaliknya tidak dianjurkan pada pasien hipertensi
(>160mmHg/100mmHg), pasien dengan riwayat CVD, dan hati-hati pada
pasien dengan riwayat kelainan jiwa & operasi-operasi pada daerah faring
karena reflex masih baik.
3. Petidin atau meperidin
Secara kimia petidin adalah etil-1metil-fenilpiperidin-4-karboksilat.
Kadar puncak dalam plasma biasanya dicapai dalam 45 menit dan
sangat bervariasi antar individu. Ketika pemberian intravena, dalam 1-2 jam
pertama kadar dalam plasma menurun secara cepat, kemudian berlanjut
lambat. Petidin dimetabolisme didalam hati, dan mengalami konjugasi
setelah dihidrolisis menjadi asam meperidinat.
Bekerja sebagai agonis reseptor m (mu). Dosis toksik petidin
menimbulkan perangsangan SSP, berupa tremor, kedutan otot, dan konvulsi.
Pemberian petidin tidak mempengaruhi kardiovaskular pada pasien
berbaring. Menyebabkan penurunan tidal volume dan depresi nafas dimana
menurunkan kepekaan pusat nafas terhadap CO2 dan mempengaruhi pusat
pengatur irama nafas di pons. Dosis terapi saat partus tidak mengubah
kontraksi uterus dan tidak menambah frekuensi perdarahan pasca persalinan.
Sediaan intravena 1ampul 2cc = 100 mg dengan dosis 1-2 mg/kgBB.
Sebagian besar pasien tertolong dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis
untuk bayi dan anak ; 1-1,8 mg/kg BB.
Beberapa efek samping yang ditimbulkan pada penggunaan petidin
yakni pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual, muntah, perasaan
lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan sedasi. Kurangi
dosis pada pasien penyakit hati, geriatri, penggunaan bersama antipsikosis,
hipnotik sedatif.
4. Fentanil
Fentanil merupakan opioid sintetik dari fenilpiperedin yang lebih larut
lemak dan lebih mudah menembus sawar jaringan.
Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi.
Setelah pemberian didapatkan di darah dalam 1-2 menit. Sisa metabolisme
dieksresikan di urin dalam beberapa hari.
Fentanil bekerja dalam mengurangi nyeri dan respon emosional
terhadap nyeri pada reseptor spesifik di otak dan medulla spinalis. Kadang
dalam dosis besar dapat menyebabkan bradikardi sehingga memerlukan
terapi atropin. Fentanil juga memiliki efek depresi pernafasan yang
berlangsung lebih lama bergantung dosis pemberiannya.
Dosis 1-3µgr/kgBB dengan analgesia hanya berlangsung 30 menit
hanya digunakan dalam pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.
Efek samping yang ditimbulkan adalah kekakuan otot punggung yang
dapat dicegah dengan pemberian.
5. Sedative (midazolam)
Diazepam (valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Miloz)
merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan. Bekerja sebagai
hipnotik, sedative, amnestik, antikonvulsan, pelumpuh otot yang bekerja
sentral pada reseptor GABAA. Reseptor spesifiknya akan berikatan pada
komponen gamma yang terdapat pada reseptor GABA. Midazolam (short-
lasting) merupakan benzodiazepin yang larut air yang tersedia dalam larutan
dengan PH 3,5.
Rasio bersihan midazolam cukup besar berkisar antara 6-11
ml/kg/menit sehingga setelah anastesi atau pemberian berulang kadar
midazolam dalam darah turun lebih cepat. Midazolam diubah menjadi
hydroxymidazolam yang lebih poten melalui biotransformasi. Metabolit-
metabolit ini diekskresikan melalui urin dan dapat menyebabkan sedasi yang
dalam pada pasien dengan gangguan ginjal. Pada pasien dengan kebiasaan
mengkonsumsi alkohol klirens midazolam akan mengalami percepatan.
Onset midazolam adalah 30-60 detik dan waktu paruh berkisar antara
2-3 menit. Efek yang ditimbulkan pada penggunaan obat ini adalah amnesia,
anti kejang, hipnotik, relaksasi otot, sedasi tanpa efek analgetik, efek
proteksi dari hipoksia serebral.
Midazolam dapat menimbulkan depresi pernafasan, menurunkan
frekuensi nafas serta volume tidal. Puncak depresi setelah pemberian 0.13-
0.2 mg/kg dalam 3 menit selama 60-120 menit. Semakin cepat obat
diberikan, semakin cepat terjadi depresi pernafasan. Depresi pernafasan akan
tampak lebih nyata dan berlangsung lebih lama pada pasien PPOK.
Dosis yang digunakan adalah 0,07-0,1 mg/kgBB dengan tujuan sebagai
premedikasi, selama pembedahan atau pun untuk pasca operasi. Selain itu
digunakan juga untuk mengurangi kecemasan dan efek amnesia. Namun
dapat menyebabkan depresi pernafasan.
B. Anastesi Inhalasi
Obat anestesia inhalasi adalah obat anestesia berupa gas atau cairan
mudah menguap, yang diberikan melalui pernafasan pasien. Campuran gas
atau uap obat anestesia dan oksigen masuk mengikuti udara inspirasi, mengisi
seluruh rongga paru, selanjutnya mengalami difusi dari alveoli ke kapiler
sesuai dengan sifat fisik masing-masing gas.
Anestesi inhalasi adalah obat yang paling sering digunakan pada anestesia
umum. Penambahan sekurang-kurangnya 1% anestetik volatil pada oksigen
inspirasi dapat menyebabkan keadaan tidak sadar dan amnesia, yang
merupakan hal yang penting dari anestesia umum. Bila ditambahkan obat
intravena seperti opioid atau benzodiazepin, serta menggunakan teknik yang
baik, akan menghasilkan keadaan sedasi/hipnosis dan analgesi yang lebih
dalam.
Obat anestesi inhalasi biasanya dipakai untuk pemeliharaan pada anestesi
umum, akan tetapi juga dapat dipakai sebagai induksi, terutama pada pasien
anak-anak. Gas anestesi inhalasi yang banyak dipakai adalah isofluran dan dua
gas baru lainnya yaitu sevofluran dan desfluran. sedangkan pada anak-anak,
halotan dan sevofluran paling sering dipakai. Walaupun dari obat-obat ini
memiliki efek yang sama (sebagai contoh : penurunan tekanan darah
tergantung dosis), namun setiap gas ini memiliki efek yang unik, yang menjadi
pertimbangan bagi para klinisi untuk memilih obat mana yang akan dipakai.
Perbedaan ini harus disesuaikan dengan kesehatan pasien dan efek yang
direncanakan sesuai dengan prosedur bedah.
Sebagai anastesi inhalasi digunakan gas dan cairan terbang yang masing –
masing sangat berbeda dalam kecepatan induksi, aktivitas, sifat melemaskan
otot maupun menghilangkan rasa sakit. Untuk mendapatkan reaksi yang
secepat – cepatnya, obat ini pada permulaan harus diberikan dalam dosis
tinggi, yang kemudia diturunkan sampai hanya sekadar memelihara
keseimbangan antara pemberian dan pengeluaran (ekshalasi). Keuntungan
anastetika-inhalasi dibandingkan dengan anastesi-intravena adalah
kemungkinan untuk dapat lebih cepat mengubah kedalaman anastesi dengan
mengurangi konsentrasi dari gas/uap yang diinhalasi. Kebanyakan anastesi
umum tidak di metabolisasikan oleh tubuh, karena tidak bereaksi secara
kimiawi dengan zat-zat faali. Mekanisme kerjanya berdasarkan perkiraan
bahwa anastetika umum di bawah pengaruh protein SSP dapat membentuk
hidrat dengan air yang bersifat stabil. Hidrat gas ini mungkin dapat merintangi
transmisi rangsangan di sinaps dan dengan demikian mengakibatkan anastesia.
Hampir semua anastetika inhalasi mengakibatkan sejumlah efek samping
dan yang terpenting adalah :
1. Menekan pernapasan, yang ada pada anastesi dalam terutama ditimbulkan
oleh halotan, enfluran dan isofluran. Efek ini paling ringan pada N2O dan
eter.
2. Sistem kardiovaskuler, terutama oleh halotan, enfluran dan isofluran. Efek ini
juga ditimbulkan oleh eter, tetapi karena eter juga merangsang SS simpatis,
maka efek keseluruhannya menjadi ringan.
3. Merusak hati (dan ginjal), terutama senyawa klor, misalnya kloroform.
4. Oliguri (reversibel) karena berkurangnya pengaliran darah di ginjal, sehingga
pasien perlu dihidratasi secukupnya.
5. Menekan sistem regulasi suhu, sehingga timbul perasaan kedinginan
(menggigil) pasca-bedah.
1. Nitrous Oksida
Nitrous oksida merupakan gas inhalan yang digunakan sebagai agen
pemelihara anestesi umum dimana penggunaannya bersamaan dengan
oksigen atau udara. Efek anestesi nitrous oksida ini menurun bila digunakan
secara tunggal, sehingga perlu pula penambahan agen anstetik lainnya
dengan dosis rendah. Nitrous oksida memiliki efek analgetik yang baik.
N2O nerupakan zat anestesi lemah, menimbulkan efek analgesia dan
hipnotik lemah. Efek kardiovaskular minimal, sehingga perubahan pada
frekuensi jantung, irama dan curah jantung maupun EKG juga minimal.
Pernapasan tidak banyak dipengaruhi. Depresi napas terjadi pada pemakaian
N2O tanpa oksigen. Sensitivitas laring dan trakea terhadap manipulasi
menurun.
2. Isofluran
Seperti anestesi inhalasi yang lain, isofluran juga mendepresi
napas.Volume tidal dan frekuensi napas dapat menurun menimbulkan
dilatasi bronkus, sehingga baik untuk kasus penyakit paru obstruksi
menahun.
Depresi terhadap jantung minimal dibandingkan enfluran dan halotan.
Pada beberapa kasus dapat menyebabkan takikardi. Isofluran memiliki efek
relaksasi otot yang baik dan berpotensiasi dengan obat relaksan otot, namun
tidak terlalu merelaksasi otot uterus pada kasus obstetri.
Berbeda dengan enfluran, obat ini tidak menimbulkan perubahan
gambaran epileptiform pada EEG, serta tidak begitu mempengaruhi aliran
darah otak. Metabolisme yang minimal menyebabkan obat ini aman bagi
fungsi hepar dan ginjal.
3. Sevofluran
Penggunaan sevofluran dapat diberikan bersama oksigen dan N2O.
Onset kerja obat sangat cepat, dan konsentrasinya dalam darah relatif
rendah.
Sevofluran dapat membentuk 2 senyawa hasil degradasi selama
anestesi dilakukan, yaitu senyawa A dan senyawa B, yang pembentukannya
akan meningkat terutama bila suhu terlalu tinggi atau sodalime telah rusak.
Senyawa A dapat menyebabkan nekrosis renal pada tikus, sedangkan pada
manusia, derajat kerusakan jaringan ginjal masih sedang dalam penelitian.
Dengan memperhatikan hal ini, sevofluran dianjurkan diberikan dengan
minimum aliran gas 2 liter/menit, karena aliran yang rendah akan memicu
peningkatan temperatur sodalime.
C. Anastesi Lokal
nestesi lokal adalah hilangnya sensasi pada bagian tubuh tertentu tanpa
kehilangan kesadaran atau kerusakan fungsi kontrol saraf pusat dan bersifat
sementara. Obat anestesi lokal pertama yang ditemukan pada tahun 1860 oleh
Albert Neimann adalah kokain.
Obat anestesi lokal diklasifikasikan menjadi dua golongan, yaitu
golongan amida dan ester. Golongan ester dihidrolisis dalam plasma dan hepar
oleh enzim kolinesterase dan diekskresikan melalui ginjal, sedangkan golongan
amida dihidrolisis oleh enzim mikrosom hepar dan diekskresikan melalui
ginjal.
Mekanisme kerja obat anestesi lokal adalah melalui hambatan hantaran
dan konduksi impuls saraf. Obat anestesi lokal menghambat kanal natrium dan
mencegah depolarisasi membran sel. Terdapat dua teori tentang cara kerja obat
pelali lokal dalam menghambat kanal natrium, yaitu pertama bekerja melalui
reseptor spesifik, dan kedua terjadi akibat penyempitan kanal natrium.
Efek samping obat anestesi lokal dapat mempengaruhi beberapa organ,
misalnya sistem saraf pusat, kardiovaskuler, otot polos, dan neuromuscular
junction, selain dapat menyebabkan reaksi hipersentivitas dan refleks
vasovagal. Teknik anestesi lokal yang sering digunakan adalah teknik infiltrasi
1. Lidokain
Lidokain (Xilokain) adalah anestetik lokal yang kuat yang digunakan
secara luas dengan pemberian topical dan suntikan. Anestesi terjadi lebih
cepat, lebih kuat, lebih lama dan lebih ekstensif daripada yang
ditimbulkan oleh prokain. Lidokain merupakan aminoetilamid. Pada
larutan 0,5% toksisitasnya sama, tetapi pada larutan 2% lebih toksik
daripada prokain.
Larutan lidokain 0,5% digunakan untuk anesthesia infiltrasi,
sedangkan larutan 1,0-2% untuk anesthesia blok dan topical. Anesthesia
ini efektif bila digunakan tanpa vasokonstriktor, tetapi kecepatan absorbs
dan toksisitasnya bertambah dan masa kerjanya lebih pendek. Lidokain
merupakan obat terpilih bagi mereka yang hipersensitif terhadap prokain
dan juga epinefrin. Lidokain dapat menimbulkan kantuk sediaan berupa
larutan 0,5%-5% dengan atau tanpa epinefrin. (1:50.000 sampai 1:
200.000).
2. Bupivakain
Struktur mirip dengan lidokain, kecuali gugus yang mengandung
amin dan butyl piperidin. Merupakan anestetik lokal yang mempunyai
masa kerja yang panjang, dengan efek blockade terhadap sensorik lebih
besar daripada motorik. Karena efek ini bupivakain lebih popular
digunakan untuk memperpanjang analgesia selama persalinan dan masa
pascapembedahan. Suatu penelitian menunjukan bahwa bupivakain dapat
mengurangi dosis penggunaan morfin dalam mengontrol nyeri pada pasca
pembedahan Caesar. Pada dosis efektif yang sebanding, bupivakain lebih
kardiotoksik daripada lidokain.
Lidokain dan bupivakain, keduanya menghambat saluran Na+
jantung (cardiac Na+ channels) selama sistolik. Namun bupivakain
terdisosiasi jauh lebih lambat daripada lidokain selama diastolic, sehingga
ada fraksi yang cukup besar tetap terhambat pada akhir diastolik.
Manifestasi klinik berupa aritma ventrikuler yang berat dan depresi
miokard. Keadaan ini dapat terjadi pada pemberian bupivakain dosis
besar. Toksisitas jantung yang disebabkan oleh bupivakain sulit diatasi
dan bertambah berat dengan adanya asidosis, hiperkarbia, dan
hipoksemia. Ropivakain juga merupakan anestetik lokal yang mempunyai
masa kerja panjang, dengan toksisitas terhadap jantung lebih rendah
daripada bupivakain pada dosis efektif yang sebanding, namun sedikit
kurang kuat dalam menimbulkan anestesia dibandingkan bupivakain.
Larutan bupivakain hidroklorida tersedia dalam konsentrasi 0,25% untuk
anestesia infiltrasi dan 0,5% untuk suntikan paravertebral. Tanpa
epinefrin, dosis maksimum untuk anesthesia infiltrasi adalah sekitar 2
mg/KgBB.
BAB III
KESIMPULAN
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Katzung, Bertram G. Basic and Clinical Pharmacology 10 th edition.
Singapore : Mc Graw Hill Lange. 2007.
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology. 4th edition.
2006. USA: McGraw-Hill Companies, Inc
3. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
kedua. 2001. Jakarta: FKUI
4. Miller Ronald D. Miller’s Anasthesia. 7th edition. Volume 1. 2010. USA:
Churchill Livingstone
5.
6.
7. Mangku, Gde.; Senapathi, Tjokorda Gde Agung Senaphati. Obat-obat
anestetika. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi. Jakarta : Indeks Jakarta.
2010.
8. Barash, Paul G.; Cullen, Bruce F.; Stoelting, Robert K. Basic principles of
clinical pharmacology. Dalam Clinical Anesthesia 5th edition. Lippincott
Williams & Wilkins. 2006.
1. Dachlan R. Farmakologi obat-obat anestesia. Dalam Anestesiologi FKUI.
Editor: Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dachlan R. Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI, Jakarta, 1989
2. Santoso S, Hadi RD. Farmakologi dan Terapi, Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Indonesia., Jakarta, 1995.
3. Kedokteran dan Linux. Barbiturat. 2007. (Diakses dari
www.medlinux.blogspot.com, tanggal 6 November 2015)
4. Tjay TH, Rahardja K. Sedativa dan Hipnotika. In : Obat-obat Penting Edisi
Ke-5. Jakarta : Gramedia; 2002.
5. Kedokteran dan Linux. Ketamin. 2009. (Diakses dari
www.medlinux.blogspot.com, tanggal 6 November 2015)
6. Stoelting RK, Hillier SC. Nonbarbiturate Intravenous Anesthetic Drugs. In :
Pharmacology & Physiology in Anestetic Practice 4th Edition. Philadelphia :
Lipincott William & Wilkins; 2006.
7. Stoelting RK, Hillier SC. Opioid Agonists and Antagonists. In :
Pharmacology & Physiology in Anestetic Practice 4th Edition. Philadelphia :
Lipincott William & Wilkins; 2006.
top related