konsentrasi logam cu di sedimen dan akar mangrove pada ... · pdf filebiak bagi udang dan ikan...
Post on 06-Feb-2018
220 Views
Preview:
TRANSCRIPT
i
Konsentrasi Logam Cu di Sedimen dan Akar Mangrove Pada
Kerapatan Mangrove Yang Berbeda di Kelurahan Ampallas,
Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat
SKRIPSI
Oleh :
Heri Aprianto
Pembimbing Utama : Dr. Ir. Shinta Werorilangi, M.sc
Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Andi Niartiningsih M.P
DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
ii
ABSTRAK
HERI APRIANTO. L11112281. Konsentrasi Logam Cu di Perakaran dan
Sedimen Mangrove Pada Kerapatan Mangrove Yang Berbeda di Kelurahan
Ampallas, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat Dibimbing oleh SHINTA
WERORILANGI dan ANDI NIARTININGSIH
Mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang mempunyai
peranan penting di daerah estuari. Ekosistem mangrove memiliki tingkat
produktivitas paling tinggi dibandingkan dengan ekosistem pesisir lainnya.
Mangrove juga merupakan tempat mencari makan, memijah dan berkembang
biak bagi udang dan ikan serta kerang dan kepiting. Logam tembaga (Cu)
merupakan logam esensial yang dibutuhkan oleh organisme dalam proses
metabolismenya. Akan tetapi peningkatan logam Cu di lingkungan dapat
berbahaya bagi organisme. Sumber utama logam Cu masuk ke perairan laut
berasal dari penggunaan cat antifouling pada kapal dan penggunaan pestisida
dan fungisida. Tujuan dilakukan penelitian ini untuk menganalisa kandungan
logam Cu di sedimen ekosistem mangrove dan akar mangrove serta
menganalisa keterkaitan konsentrasi logam di sedimen dan akar dengan
parameter fisik-kimia sedimen. Kegunaan dari penelitian ini yaitu sebagai bahan
informasi tambahan untuk kriteria penilaian daerah sedimen yang tercemar
logam. Metodologi penelitian ini meliputi tahap persiapan, penentuan lokasi,
pengambilan dan preparasi sampel akar dan sedimen, analisis karakter sedimen,
pengukuran parameter lingkungan, serta pengukuran konsentrasi logam logam
tembaga (Cu). Konsentrasi logam pada sedimen yang memiliki nilai tinggi ada
pada stasiun padat dengan persen kumulatif 55,29 mg/kg. Sedangkan
konsentrasi rendah pada daerah stasiun jarang dengan nilai 20,13 mg/kg. Untuk
nilai konsentrasi logam pada akar yang tinggi terdapat pada daerah stasiun
jarang dengan nilai 42,45 mg/kg sedangkan pada daerah dengan konsentrasi
logam akar yang rendah ada pada stasiun padat dengan nilai 24,11 %.
Kata Kunci: Logam, Sedimen, Akar, Kerapatan mangrove, Kelurahan Ampallas,
Tembaga (Cu),
iii
Konsentrasi Logam Cu di Sedimen dan Akar Mangrove
Pada Kerapatan Mangrove Yang Berbeda di Kelurahan
Ampallas, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat
Oleh:
HERI APRIANTO
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperolah Gelar Sarjana Pada Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu
Kelautan dan Perikanan
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
iv
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Skripsi : Konsentrasi Logam Cu di Sedimen dan Akar Mangrove
Pada Kerapatan Mangrove Yang Berbeda di Kelurahan
Ampallas, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat
Nam : Heri Aprianto
Nomor Pokok : L 111 12 281
Program StudI : Ilmu Kelautan
Skripsi telah diperiksa
dan disetujui oleh
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Dr.Ir.Shinta Werorilangi, M.Sc Prof.Dr.Ir. Andi Niartiningsih, M.P
NIP. 19670826 199103 2 001 NIP. 19611201 198703 2 002
Mengetahui,
PLH Dekan, Ketua Jurusan Ilmu Kelautan
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Dr. Ir. St. Aisjah Farhum, M.Si Dr. Ir. Mahatma Lanuru, ST. M.Sc NIP. 19690605 199303 2 002 NIP.19701029 199503 1 001
Tanggal Lulus : November 2016
v
RIWAYAT HIDUP
Heri Aprianto dilahirkan pada tanggal 29 April 1994 di
Patila, Kec. Bone-Bone Kabupaten Luwu Utara. Penulis
merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari
pasangan suami istri Legiman dan Mesiatun Nirma.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis yaitu
Tahun 2000-2006 Sekolah Dasar Negeri 191 Banyuurip,
Kecamatan Bone-Bone, Kabupaten Luwu Utara. Penulis
melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Bone-
Bone tahun 2006-2009. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 1 Bone-Bone Kabupaten Luwu Utara hingga
tahun 2012. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa jurusan
Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin
melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi Himpunan
Mahasiswa Ilmu Kelautan (HMIK) Hasanuddin, Juga beberapa
organisasi/komunitas diantaranya Koalisi Pemuda Hijau Indonesia (KOPHI)
regional SulSel, Volunteer Save Street Child Makassar (SSC), Volunteer Sobat
Bumi Makassar, Anggota Youthful Social Makassar dan Young on The Top
Makassar.
Penulis melaksanakan rangkaian tugas akhir seperti Kuliah Kerja Nyata
(KKN) Gelombang 90 di Kelurahan Mangkoso, Kecamatan Soppeng Riaja,
Kabupaten Barru pada tahun 2015, penulis juga melakukan Praktek Kerja
Lapang (PKL) dengan judul “ Pembelajaran Dan Pengalaman Praktik Kerja
Lapang Di Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Selatan, Dinas
Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan.
vi
Berkat petunjuk ALLAH SWT, bimbingan Bapak/Ibu Dosen dan doa
kedua orang tua serta dukungan dari keluarga dan teman-teman, penulis berhasil
menyelesaikan studi dengan judul penelitian “ Konsentrasi Logam Cu di Sedimen
dan Akar Mangrove Pada Kerapatan Mangrove Yang Berbeda di Kelurahan
Ampallas, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat ” di Jurusan Ilmu Kelautan,
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.
vii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, bersyukurlah kita atas
kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “ Konsentrasi
Logam Cu di Sedimen dan Akar Mangrove Pada Kerapatan Mangrove Yang
Berbeda di Kelurahan Ampallas, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat” yang
merupakan salah satu syarat dalam memperoleh gelar kesarjaan strata satu (S1)
pada Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Ucapan terima kasih saya persembahkan kepada kedua orang tuaku
yang tercinta, ayahanda Legiman dan ibunda Mesiatun Nirma yang selama
penulis menjadi mahasiswa selalu memberikan nasehat, bimbingan dan
perhatiannya serta segenap doa dan restunya yang senantiasa ada selalu
mengiringi. Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik berkat arahan, dukungan
dan bimbingan serta partisipasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu
perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Dr. Ir. Shinta Werorilangi, M.Sc sebagai pembimbing utama dan Ibu
Prof.Dr.Ir. Andi Niartiningsih, M.P sebagai pembimbing kedua sekaligus
sebagai pembimbing akademik, yang telah berkorban dalam meluangkan
waktunya untuk membimbing, mengarahkan, serta memberikan saran
menuju kesempurnaan dalam penyelesaian skripsi ini.
2. Kepada para Dosen Penguji , Bapak Dr. Ir. Mahatma Lanuru, ST. M.Sc,
Bapak Dr. Khairul Amri, ST, M.Sc.Stud, Ibu Dr. Rastina, ST, M.Si, yang
telah memberikan saran demi terselesaikannya skripsi ini.
viii
3. Ibu Dr. Rantih Isyrini ST. M.Si , bapak Dr. Supriadi, ST, M.Si, bapak Dr.
Ahmad Faizal, ST, M.Si terima kasih atas bimbingannya selama ini dan
banyak membantu baik saat pengambilan sampel di lapangan maupun saat
pengolahan data.
4. Bapak Trikoco Wibowo (Pak Gatot) Sebagai staf yang telah banyak
membantu saya dalam pengurusan berkas hingga mengejar waktu deadline
5. Seluruh Dosen dan staff/pegawai Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
yang telah banyak membantu dan ikut terlibat dalam penyelesaian berkas.
6. Teman – teman 1 tim perjuangan Muhammad Isman, Muhammad Syukri dan
Hikma Antarini Darpi yang bersama dalam pengambilan sampel di lapangan.
7. Teman – teman seperjuangan akademik mahasiswa Ilmu Kelautan 2012
yang telah bersama selama beberapa tahun dan membuat saya mengenal
lebih banyak karakter. Terima kasih untuk masa-masa kebersamaannya
mulai dari awal menjadi mahasiswa baru hingga penyelesaian tugas akhir.
8. Teman – teman seperjuangan Kuliah Kerja Nyata angkatan 90 Kecamatan
Soppeng Riaja, Kabupaten Barru yang telah menambah luas pertemanan
dan saling berbagi pengalaman saat di lokasi.
9. Hasnawati S. Sos sebagai kakak yang telah membantu saya saat pertama
pendaftaran dan pengurusan berkas serta bersedia meluangkan waktunya
untuk mengantar dalam pengurusan administrasi.
10. Bu Mone, Dg. Bunga, Dg. Biah dan Mace Ardi untuk senantiasa
menyediakan santapan suasana yang nyaman di waktu istirahat bagi
penulis.
11. Semua pihak yang turut membantu dalam penyelesaian tugas akhir ini yang
tak dapat disebutkan satu persatu.
ix
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak terdapat
kekeliruan dan kesalahan sehingga dengan segala kerendahan hati penulis
mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca dan ALLAH SWT senantiasa
memberikan rahmat dan karunianya kepada kita semua. Amin
Penulis,
Heri Aprianto
x
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL………………………………………………………………………………….i
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................. iv
RIWAYAT HIDUP ................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................................ vii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ x
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xi
I. PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Tujuan dan kegunaan ................................................................................. 2
C. Ruang Lingkup ............................................................................................ 3
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 4
A. Ekosistem Mangrove ................................................................................... 4
B. Logam Tembaga (Cu) ................................................................................. 5
C. Sumber- sumber Logam Dalam Perairan ................................................... 7
D. Logam Dalam Sedimen ............................................................................... 8
E. Faktor Fisika-Kimia Lingkungan Yang Mempengaruhi Daya Larut Logam 9
1. Suhu .......................................................................................................... 9
2. Eh (Potensial Redoks) ............................................................................ 10
3. Salinitas ................................................................................................... 12
4. Bahan Organik Total ............................................................................... 12
5. Derajat Keasaman (pH) .......................................................................... 13
III. METODE PENELITIAN ................................................................................. 16
A. Waktu dan Tempat .................................................................................... 16
B. Alat dan Bahan .......................................................................................... 16
C. Prosedur Penelitian ................................................................................... 17
D. Analisis Data.............................................................................................. 19
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 20
A. Karakterisitik Fisik-Kimia Sedimen............................................................ 20
B. Kerapatan Mangrove ................................................................................. 21
C. Konsentrasi Logam Cu .............................................................................. 23
xi
D. Keterkaitan Konsentrasi Logam Dengan Parameter Kimia Fisik dan
Kerapatan Mangrove ................................................................................. 26
V. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 29
A. Kesimpulan ................................................................................................ 29
B. Saran ......................................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Gradasi Status Redoks Tanah ............................................................... 11
Tabel 2. Parameter fisik-kimia sedimen ............................................................... 20
Tabel 3. Nilai koefisien korelasi Spearmen Logam dan parameter sedimen ...... 27
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian ........................................................................ 16
Gambar 2. Kerapatan pohon mangrove ............................................................... 22
Gambar 3. Gambar 3. Rata-rata konsentrasi logam Cu di sedimen.................... 23
Gambar 4. Rata-rata konsentrasi Cu di akar mangrove ...................................... 25
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mangrove merupakan salah satu ekosistem pesisir yang mempunyai
peranan penting di daerah estuari. Ekosistem mangrove memiliki tingkat
produktivitas paling tinggi dibandingkan dengan ekosistem pesisir lainnya.
Mangrove juga merupakan tempat mencari makan, memijah dan berkembang
biak bagi udang dan ikan serta kerang dan kepiting.
Selain itu, ekosistem mangrove juga berfungsi sebagai perangkap sedimen
dan mencegah erosi serta penstabil bentuk daratan di daerah estuaria (Harty,
1997). Kegiatan antropogenik seperti reklamasi pantai, pembukaan lahan untuk
pertanian dan perikanan budidaya, industri serta pengembangan perumahan
didaerah pesisir (Eong, 1995) dapat menyebabkan secara langsung masuknya
limbah kedalam ekosistem estuari yang salah satunya adalah logam
(MacFarlane, 2002). Peningkatan kadar logam pada ekosistem mangrove dapat
juga berasal dari perkapalan, wisata, tumpahan minyak, pengolahan limbah
tumbuhan serta peningkatan sampah dan aktivitas pertambangan (Peters et al.,
1997). Masukan dari aktivitas pertanian seperti penggunaaan insektisida dan
pupuk yang berlebihan juga meningkatkan konsentrasi logam berat di estuari
(Alloway, 1994). Logam dikategorikan sebagai polutan yang sangat berbahaya
karena sifatnya yang persisten, bioakumulatif serta memiliiki daya toksisitas yang
tinggi. (Lindsay, et al., 2004).
Logam tembaga (Cu) merupakan logam esensial yang dibutuhkan oleh
organisme dalam proses metabolismenya. Akan tetapi peningkatan logam Cu di
lingkungan dapat berbahaya bagi organisme (Richards et al., 2011). Sumber
utama logam Cu masuk ke perairan laut berasal dari penggunaan cat antifouling
2
pada kapal dan penggunaan pestisida dan fungisida (Canadian Evironmental
Quality Guidelines, 1999).
Beberapa penelitian menyimpulkan sedimen di daerah mangrove dapat
mengikat logam sangat kuat sehingga tidak tersedia bagi biota, akan tetapi dapat
terjadi remobilisasi logam dari sedimen ke kolom air sehingga sedimen di daerah
mangrove dapat menjadi sumber lain polutan logam (Amusan & Adenifi, 2005;
Saenger & McConchie, 2014; Zhenhua, et al., 2015). Bioavailabilitas
(ketersediaan bagi biota) logam di sedimen dipengaruhi oleh beberapa
parameter geokimia sedimen seperti, kondisi potensi redoks, ph, kandungan
bahan organik, ukuran partikel dan tekstur sedimen (Saenger & McConchie,
2014). Proses bioturbasi oleh beberapa burrowing biota juga mempengaruhi
resuspensi logam di sedimen (Yunus, et al., 2011).
Kepadatan mangrove akan mempengaruhi kondisi geokimia sedimen
disekitarnya dengan menambahkan bahan organik dari serasah daun yang jatuh
ke sedimen. Oleh karena itu tujuan penelitian ini akan melihat penyerapan logam
di perakaran mangrove dari sedimen pada berbagai kerapatan mangrove yang
berbeda di Kelurahan Ampallas, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Lokasi
penelitian ini diambil karena pada lokasi ini akan merupakan tempat yang akan
dijadikan wisata baru nantinya. Olehnya itu, analisis mengenai keadaan
lingkungan di tempat tersebut sangat diperlukan
B. Tujuan dan kegunaan
Adapun tujuan dilakukan penelitian ini untuk menganalisa: Logam Cu
sedimen dan akar mangrove serta menganalisa keterkaitan konsentrasi logam di
sedimen dan akar dengan parameter fisik-kimia sedimen. Kegunaan dari
penelitian ini yaitu sebagai bahan informasi tambahan untuk kriteria penilaian
daerah sedimen yang tercemar logam.
3
C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini meliputi pengukuran kandungan logam Cu
pada akar dan sedimen permukaan (0 ‐ 5 cm) serta pengukuran parameter fisika
dan kimia terkait pada sedimen yaitu: pH, potensi redoks, bahan organik dan
butiran sedimen.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Ekosistem Mangrove
Tomlinson (1986) dan Wightman (1989) dalam Arifin (2002) mendefinisikan
mangrove baik sebagi tumbuhan yang terdapat di daerah pasang surut maupun
sebagai komunitas. Mangrove juga didefinisikan sebagai formasi tumbuhan
daerah litoral yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindung
(Saenger et al., 1983).
Adanya peristiwa pasang surut yang berpengaruh langsung pada komunitas
mangrove menyebabkan komunitas ini umumnya didominasi oleh jenis-jenis
pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk
tumbuh pada peraira payau. Frekuensi serta volume air tawar dan air laut yang
bercampur sangat berpengaruh terhadap kondisi kimia-fisika perairan hutan
mangrove. Faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi komunitas mangrove
menurut Nybakken (1992) yaitu: salinitas, suhu, pH, oksigen terlarut, arus,
kekeruhan dan substrat dasar.
Menurut Darsidi (1986), ciri-ciri hutan mangrove adalah tidak terpengaruh
iklim, tidak terpengaruh pasang surut, tanahnya tergenangi air laut, tanahnya
berlumpur atau berpasir terutama tanah liat, struktur hutan tidak tajuk, pohon
mempunyai tinggi 30 meter, jenis- jenis pohon mangrove mulai dari laut ke darat
adalah Rhizophora, Avicennia, Sonneratia, Xylocarpus, Lumnitzera, Bruguiera,
dan Nypa, tumbuhan bawah seperti Acrosticum aureum, Acanthus ilicifolius, dan
Acanthus ebrateatus. Hutan mangrove sering disebut juga sebagai hutan payau
karena tumbuh di dasar air payau, sedangkan hutan mangrove yang didominasii
oleh jenis bakau disebut sebagai hutan bakau.
5
Ekosistem mangrove merupakan subjek dari berbagai aktivitas
pembangunan seperti akuakultur, pertanian, kehutanan dan pembangunan
infrastruktur lainnya. Lebih dari 50% hutan mangrove dunia telah berubah, dan
untuk wilayah Asia-Pasifik laju kerusakan hutan mangrove adalah 1% per tahun.
Hutan mangrove awalnya menempati sekitar 75% teluk-teluk kecil dan pantai
tropis, tetapi sekarang ini mereka tinggal sekitar 25% dari garis pantai tropis di
dunia (World Resources Institute, 1996 dalam Ronnback et al., 1999). Alasan
utama dibelakang kerusakan hutan mangrove adalah ketidakmampuan untuk
menilai sumberdaya alam dan peran ekologis yang dibangkitkan oleh sistem
tersebut (Saenger et al., 1983).
B. Logam Tembaga (Cu)
Logam adalah unsur kimia yang memiliki daya hantar listrik dan panas yang
baik. Logam berat atau heavy metal adalah logam yang memiliki densitas lebih
besar dari 5 g/cm3 (Hutagalung, 1994). Logam berat adalah unsur logam yang
mempunyai massa jenis lebih besar dari 5 g/cm (Subowo et al., 1999). Logam
berat merupakan zat pencemar yang berbahaya karena memiliki sifat tidak dapat
terdegradasi secara alami dan cenderung terakumulasi dalam air, sedimen dasar
perairan, dan tubuh organisme (Harun et al., 2008). Logam mempunyai ciri yang
tidak dapat diuraikan oleh bakteri dan tidak dapat dihilangkan tetapi relative
melalui banyak cara terhadap tumbuhan dan hewan kadang-kadang disertai efek
yang merugikan.
Salah satu bahan penyebab pencemaran air adalah logam berat.
Pencemaran logam berat terhadap lingkungan air merupakan suatu proses yang
erat hubungannya dengan penggunaan logam berat tersebut oleh manusia.
Logam tembaga (Cu) merupakan salah satu logam yang mencemari lingkungan
6
perairan. Logam Cu dapat menyebabkan pengaruh negatif atau bersifat toksit
terhadap organisme air dan manusia pada batas konsentrasi tertentu.
Pencemaran yang dihasilkan dari logam berat sangat berbahaya karena
bersifat toksik ,logam berat juga akan terakumulasi dalam sedimen dan biota
melalui proses gravitasi (Rochayatun dkk, 2006:36). Salah satu logam berat yang
termasuk bahan beracun dan berbahaya adalah tembaga (Cu), merupakan salah
satu logam berat yang banyak dimanfaatkan dalam industri, terutama dalam
industri elektroplating, tekstil dan industri logam (alloy). Ion Cu (II) dapat
terakumulasi di otak, jaringan kulit, hati, pankreas dan miokardium. Oleh karena
itu, proses penanganan limbah menjadi bagian yang sangat penting dalam
industri. Sebagai logam, Cu berbeda dengan logam-logam lainnya seperti Hg
(merkuri), Cd (kadmium), dan Cr (krom). Logam Cu digolongkan dalam logam
esensial, artinya meskipun logam tembaga merupakan logam beracun, unsur
logamnya ini dibutuhkan oleh tumbuhan meskipun dalam jumlah sedikit.
Toksisitas yang dimiliki logam Cu baru akan bekerja dalam memperlihatkan
pengaruhnya tidak terlalu masuk dalam tubuh organisme dalam jumlah besar
atau melebihi batas toleransi organisme tersebut (Palar, 1994).
Tembaga (Cu) yang digunakan dalam pabrik biasanya berbentuk organik
dan anorganik. Logam banyak di gunakan pada pabrik yang memproduksi alat-
alat listrik, gelas dan zat warna yang biasanya bercampur dengan logam lain
sebagai alloi dengan perak (Ag), cadmium (Cd), timah putih (Sn) dan seng (Zn).
Sedangkan garam tembaga banyak digunakan dalam bidang pertanian, misalnya
larutan Bordeaux yang mengandung 1-3 % tembaga sulfat (CuSO4) digunakan
untuk membasmi jamur pada pohon buah-buahan. Tembaga sulfat ini juga serin
gdigunakan untuk membasmi siput sebagai inang dari parasite cacing, juga untuk
mengobati penyakit kuku pada domba (Darmono,1995).
7
Keberadaan unsur tembaga di alam dapat ditemukan dalam bentuk logam
bebas, akan tetapi lebih banyak ditemukan dalam bentuk persenyawaan. Cu
termasuk ke dalam kelompok logam essensial, dimana dalam kadar yang rendah
dibutuhkan oleh organisme sebagai koenzim dalam proses metabolisme tubuh,
sifat racunnya baru muncul dalam kadar yang tinggi (Rochayatun.,dkk.
2003:5171). Menurut Palar (2004) pada konsentrasi 0,01 ppm fitoplankton akan
mati karena Cu menghambat aktivitas enzim dalam pembelahan sel fitoplankton.
Konsentrasi Cu dalam kisaran 2,5-3,0 ppm dalam badan perairan akan
membunuh ikan-ikan. Logam berat yang masuk ke dalam lingkungan perairan
akan mengalami pengendapan, kemudian diserap oleh organisme yang hidup di
perairan tersebut. Logam berat memiliki sifat yang mudah mengikat bahan
organik dan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen
sehingga kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan dalam air.
Mengendapnya logam berat bersama dengan padatan tersuspensi akan
mempengaruhi kualitas sedimen di dasar perairan dan juga perairan sekitarnya.
C. Sumber- sumber Logam Dalam Perairan
Pencemaran laut didefinisikan sebagai perubahan kondisi lingkungan laut
yang tidak menguntungkan akibat masuknya atau dimasukkanya makhluk hidup,
zat, energi atau komponen lain ke dalam laut oleh kegiatan manusia sehingga
menyebabkan tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Bahan pencemar
adalah material atau energi yang dibuang ke lingkungan yang bentuk larutannya
secara umum berbentuk ion atau kelat organologam atau kompleks, banyaknya
logam yang larut pada permukaan air kontrolnya dikuasai melalui pH air, tipe dan
konsentrasi ligan yang mana logam dapat diserap, dan keadaan oksida dari
komponen mineral dan sistem redoks lingkungan (Connel et.al., 1995). Sifat
logam dalam air secara alami berfungsi sebagai substrat sedimen, mensuspensi
8
dalam sedimen dan kimia air. Sedimen terdiri dari pasir halus dan lumpur yang
secara umum mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menyerap logam dari
pada kuarts dan sedimen yang kaya akan karbonat. Logam juga mempunyai
afinitas atau gaya yang tinggi terhadap tanah liat.
D. Logam Dalam Sedimen
Sedimen terdiri atas pasir, tanah liat dan substansi organik. Kelimpahan
relatif dari komponen sangat bervariasi dengan berbagai tipe sedimen. Setiap
komponen mempunyai karakterisitik partikel fisika kimia. Interaksi logam berat
dengan sedimen bergantung kepada komposisi sedimen. Konsentrasi logam
berat yang tinggi umumnya ditemukan pada lumpur, lanau, dan pasir berlumpur
dan campuran ketiganya daripada pasir (Geyer, 1981).
Menurut Mance (1990) penambahan logam kedalam air tawar maupun air
laut cenderung dipindahkan oleh penyerapan terhadap partikel-partikel atau oleh
transformasi kimia. Sedimen pada keadaan normal mempunyai konsentrasi
logam yang lebih tinggi daripada kolom air. Selanjutnya dikatakan logam dapat
diukur didalam air, endapan sedimen ataupun pada biota yang menetap secara
permanen dalam sedimen dan biota mempunyai kandungan logam dengan
konsentrasi yang lebih tinggi.
Komponen hidrofobik secara khusus cenderung menyerap fraksi organik
dari bahan-bahan sedimen yang ditemukan dalam sistem perairan. Logam berat
yang dilimpahkan ke perairan baik di sungai maupun di laut, akan dipindahkan
dari badan airnya melalui dua proses yaitu pengendapan dan adsorbsi oleh
organisme-organisme perairan. Logam-logam selain memenuhi berbagai
kegiatan manusia, juga mengakibatkan pencemaran lingkungan. Logam berat
yang masuk ke lingkungan tidak selamanya berasal dari kegiatan manusia,
misalnya adanya daur alamiah dapat memindahkan logam berat dari batuan-
9
batuan ke tanah dan organisme hidup lalu ke air terus mengendap dalam
sedimen kemudian kembali lagi ke batuan (Thamrin, 1996).
Sedimen laut mengandung tanah liat yang merupakan lapisan yang kaya
akan logam berat dan dikhawatirkan dengan cepat logam tersebut dapat
dilepaskan ke air dan diserap oleh plankton. Selain itu, pecahan nodul dapat juga
menghasilkan logam runut yang bila terlepas dari sedimen akan diambil oleh
fitoplankton dan di akumulasikan. Beberapa dari logam runut bersifat esensial
bagi fungsi biokimia dan diperkirakan melampuai batas normal yang mungkin
terdapat di laut. Logam runut ini dengan konsentrasi tinggi atau logam beracun
akan menjadi efek inhibitor bagi pertumbuhan fitoplankton dan akan
mengakumulasikan serta membuka jalan masuk bagi logam berat ke dalam
rantai makanan di laut (Geyer, 1981).
E. Faktor Fisika-Kimia Lingkungan Yang Mempengaruhi Daya Larut Logam
Parameter kimia dan fisika yang turut mempengaruhi kandungan logam
berat dalam perairan adalah suhu, salinitas, oksigen terlarut, potensial redox dan
pH.
1. Suhu
Suhu air merupakan faktor yang banyak berpengaruh terhadap
lingkungan laut. Suhu mempengaruhi laju reaerasi oksigen dimana laju reaerasi
dalam perairan akan menurun seiring dengan peningkatan suhu (Dojlido dan
Best, 1993).
Suhu air laut terutama dipengaruhi oleh sinar matahari, pengaruh ini
terutama sampai dengan kedalaman sekitar 100 meter kemudian menurun
sampai 200 meter, karena pengaruh tekanan arus air dan sebagainya, maka
timbul lapisan-lapisan air yang suhunya berbeda-beda sehingga suhu gradiennya
tidak tetap, bisa positif bisa negatif. Selain itu, karena panas matahari selama 24
10
jam tiap saat berubah bergantung pada musim dan pergantian siang malam
(Connel, 1995).
Sumber panas utama suhu air laut adalah sinar matahari. Daerah yang
paling banyak menerima sinar matahari adalah daerah yang terletak pada garis
khatulistiwa. Suhu air laut mempengaruhi tingkat toksisitas logam berat (Mance,
1987).
2. Eh (Potensial Redoks)
Potensial redoks (Eh) merupakan indeks yang menyatakan kuantitas
elektron dalam suatu sistem (Syekhfani, 2014a). Oksidasi-reduksi merupakan
reaksi pemindahan elektron dari donor elektron kepada aseptor elektron. Donor
elektron akan teroksidasi karena pelepasan elektron, sedangkan aseptor elektron
akan terduksi karena penambahan elektron. Proses ini berlangsung secara
simultan, sehingga sering disebut sebagai reaksi redoks (Kyuma 2004a).
Potenisial redoks juga dipengaruhi oleh aktivitas mikro organisme, dimana
menurut Yoshida (1978), aktivitas mikro organisme tidak hanya mempengaruhi
proses transformasi senyawa-senyawa organik dan anorganik, tetapi juga
mempengaruhi kemasaman dan potensial redoks tanah. Menurut Tan (1982),
keseimbangan redoks biasanya dinyatakan dengan konsep potensial redoks
(Eh).
Potensial redoks mempengaruhi status N dalam tanah, ketersediaan P dan
Si, kadar Fe2+, Mn2+, dan SO42- secara langsung dan kadar Ca2+, Mg2+, Cu2+,
Zn2+ dan MoO42- secara tidak langsung, dan dekomposisi bahan organik dan
H2S. Pengukuran Eh pada tanah-tanah reduktif memiliki beberapa keterbatasan.
Sistem tanah sangat heterogen dan sulit untuk memperoleh potensial
keseimbangan yang tepat. Selain itu, beberapa pasangan redoks yang penting,
seperti NO3-/NH4+, SO4
2-/S2-, CO2/CH4, dan pasangan redoks organik, tidak
bersifat elektroaktif, tetapi dapat mengganggu pengukuran Eh dengan
11
menghasilkan potensial campuran (Kyuma 2004a). Menurut Stumm dan Morgan
(1970) dalam Kyuma (2004a), pengukuran Eh hanya dapat dilakukan dengan
tepat untuk pasangan Fe3+/Fe2+ dan Mn4+/Mn2+ dengan kadar lebih tinggi dari 10-
5 M dalam air alami. Menurut Lindsay (1979), elektroda platina biasa digunakan
untuk pengukuran potensial redoks dalam tanah. Akan tetapi, elektroda tersebut
tidak berfungsi dengan baik pada tanah yang berada pada kondisi oksidatif.
Reaksi redoks terjadi pada hampir semua tanah. Biasanya, reaksi oksidasi
berkaitan dengan kondisi tanah berdrainase baik, sedangkan proses reduksi
berkaitan dengan kondisi tanah berdrainase buruk atau apabila terdapat air
berlebih. Kondisi redoks tanah mempengaruhi stabilitas senyawa-senyawa besi
dan mangan. Nilai Eh merupakan penciri paling penting dalam evaluasi status
unsur dalam tanah. Berdasar pada hubungan antara sifat-sifat tanah dan
pertumbuhan tanaman, maka status redoks dikelaskan ke dalam empat
kategori: oksidasi, reduksi lemah, reduksi sedang, dan reduksi kuat. Dapat
dilihat pada table berikut ini :Tabel 1. Gradasi Status Redoks Tanah (Liu, 1985
dalam Syekhfani, 2014a)
Tabel 1. Gradasi Status Redoks Tanah
Status Redoks Kisaran
Eh (mV)
Reaksi
Oksidasi >400 O2 berlebih, material dalam bentuk oksidasi
Reduksi rendah 400-200
O2 ,NO3- dan
Mn4+direduksi
Reduksi sedang 00-(-100)
Fe3+ direduksi; senyawa organik direduksi
Reduksi <(-100) CO2 dan H+ direduksi
12
3. Salinitas
Salinitas adalah jumlah garam-garam anorganik yang terlarut dalam
satuan gram yang terkandung dalam 1 kg air laut, dimana semua karbonat telah
diubah menjadi oksida dan ion-ion bromin serta iodin digantikan oleh klorin dan
semua senyawa dioksidasi secara sempurna (Miller, 1992).
Menurut Supardi (1984), salinitas adalah jumlah total zat terlarut dalam air
larut. Di perairan samudera, salinitas biasanya berkisar antara 34 0/00 – 35 0/00.
Sebaran salinitas di laut di pengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi
air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai (Nontji, 1993).
Faktor yang bereaksi pada daerah intertidal adalah salinitas yang dapat
menimbulkan tekanan osmotik. Penurunan salinitas terjadi pada daerah intertidal
karena tumpahan air tawar ke pantai pada saat surut karena turunnya hujan
lebat. Namun perubahan ini terbatas pada lapisan atas pantai, karena lapisan
bawah melalui daya kapiler mampu mempertahankan tingkat air asin yang lebih
tinggi, karena air tawar lebih ringan daripada air asin maka air tawar tidak dapat
menembus ke bawah titik dimana air laut ditahan oleh daya kapiler ini berarti
hanya lapisan yang paling atas mengalami perubahan salinitas (Nybakken,
1996).
Salinitas mempengaruhi toksisitas logam dimana pada salinitas yang
tinggi toksisitas logam akan rendah (Mance, 1990).
4. Bahan Organik Total
Kandungan bahan organik yang tinggi akan mempengaruhi tingkat
keseimbangan perairan. Menurut Zulkifli et.al,, (2009) tingginya kandungan
bahan organik akan mempengaruhi kelimpahan organisme, dimana terdapat
organisme-organisme tertentu yang tahan terhadap tingginya kandungan bahan
organik tersebut, sehingga dominansi oleh spesies tertentu dapat terjadi. Pada
ini parameter kandungan bahan organik yang diukur adalah Total Organic Matter
13
(TOM), TOM menggambarkan kandungan bahan organik total dalam suatu
perairan yang terdiri dari bahan organik terlarut, tersuspensi, dan koloid (Hariyadi
et. al., dalam Hamsiah, 2000).
Kandungan bahan organik di perairan akan mengalami fluktuasi yang
disebabkan bervariasinya jumlah masukan baik dari domestik, pertanian, industry
maupun sumber lainnya. Kandungan bahan organik dalam perairan akan
mengalami peningkatan yang disebabkan buangan dari rumah tangga, pertanian,
industri, hujan, dan aliran air permukaan. Pada musim kemarau kandungan
bahan organik akan meningkat sehingga akan meningkatkan pula kandungan
unsur hara perairan dan sebaliknya pada musim hujan akan terjadi penurunan
karena adanya proses pengenceran (Wardoyo dalam Hadinafta 2009). Pada
perairan mengalir, jumlah kandungan bahan organik penting diketahui untuk
menentukan sumber dan peluruhan bahan organik tersebut, mengingat kondisi
ekosistem perairan mengalir yang sangat dinamis. Bahan organik di perairan
mengalir dapat bersumber dari lingkungan teresterial di sekitarnya dan akibat
transportasi dari angin, air dan pengendapan langsung (Hauer dan Lamberti,
dalam Hadinafta, 2009).
5. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman atau pH suatu ukuran dari konsentrasi ion Hidrogen
dan menunjukkan suasana air tersebut apakah bereaksi asam atau bereaksi
basa (Boyd, 1988). pH adalah logaritma negatif dari konsentrasi ion-ion hydrogen
yang terlepas dalam suatu cairan dan merupakan indikator baik atau buruknya
air (Sastrawijaya, 1991).
Pada umumnya air laut bersifat katalis (pH bersifat8,2) kecuali dekat
pantai yang sering mendapatkan tumpahan air laut dari darat. Kadar pH yang
konstan dikarenakan laut merupakan larutan penyangga yang baik terhadap
keadaan asam basa (Dojlido dan Best, 1993).
14
Kenaikan pH pada badan perairan biasanya akan diikuti dengan semakin
kecilnya larutan dari senyawa-senyawa logam. Perubahan tingkat stabil dari
kelarutan tersebut biasanya terlihat dalam bentuk pergeseran persenyawaan.
Umumnya pada pH yang semakin tinggi, maka kestabilan akan bergeser dari
karbonat ke hidroksida. Hidroksida ini mudah sekali membentuk ikatan
permukaan dengan partikel-partikel yang terdapat pada badan perairan, lama
kelamaan persenyawaan yang terjadi antara hiroksida dengan partikel-partikel
yang ada di badan perairan akan mengendap membentuk lumpur (Palar, 1994).
Derajat keasaman ini dalam sistem perairan, merupakan suatu peubah
yang sangat penting karena mempengaruhi konsentrasi logam berat perairan.
Pada perairan estuaria kandungan logam berat lebih tinggi dibandingkan
perairan lainnya, hal ini disebabkan oleh kelarutan logam berat lebih tinggi pada
pH rendah.
Derajat keasaman mempengaruhi toksisitas logam suatu senyawa kimia.
pH di suatu perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain aktifitas
fotosintesa, suhu dan salinitas. pH perairan yang stabil adalah 6,5-8,5. Menurut
Sastrawijaya (1991) bahwa pada umumnya pH untuk perairan alami berkisar
antara 4-9 dan kadang-kadang bersifat agak katalis, karena adanya karbonat dan
bikarbonat. Penyimpangannya yang cukup besar dari pH yang semestinya, dapat
dipakai sebagai petunjuk akan adanya buangna industri yang bersifat
asam/basa.
Tingginya curah hujan ini mampu mengimbangi kandungan mineral yang
terdapat pada perairan ini disamping itu daerah ini merupakan perairan estuaria,
seperti diketahui perairan estuaria, air laut merupakan buffer yang baik terhadap
masukan air tawar dari sungai yang cenderung bersifat asam atau basa. Nilai pH
sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi
15
akan berakhir jika pH rendah. Toksisitas logam memperlihatkan peningkatan
pada pH rendah (Novotny dan Olem, 1994)
16
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada Mei 2016 bertempat di
Kelurahan Ampallas, Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat. Preparasi sampel
akan dilakukan di Laboratorium Ekotoksikologi Laut dan Kimia Oseanografi,
Departemen Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, sedangkan
pengukuran konsentrasi logam dilakukan di Laboratorium Balai Besar Teknik
Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLP), Jakarta.
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
B. Alat dan Bahan
1. Alat
Adapun alat-alat yang akan digunakan untuk penelitian ini yaitu : Transek
10 x 10 m2 digunakan pengambilan sampel pada mangrove, Botol sampel untuk
menyimpan sampel air, pH meter untuk mengukur tingkat keasamaan air,
Salinometer dipakai sebagai pengukur kandungan garam air , Sediment corer
17
sebagai alat untuk mengambil sampel sedimen, Ice box untuk menyimpan
sampel dan peralatan yang akan dipakai, Eh meter sebagai pengukur keadaan
elektron dalam sedimen.
2. Bahan
Bahan-bahan yang akan digunakan untuk penelitian ini yaitu : Sedimen
mangrove, akar mangrove, larutan aquabides dan aquades,
C. Prosedur Penelitian
1. Prosedur sampling dan pre analisis
a. Penentuan Stasiun
Penentuan stasiun dilakukan berdasarkan densitas mangrove (gambar 1)
dengan menggunakan transek 10 x 10 m2 dan berdasarkan ketentuan
Kementrian Lingkungan Hidup No. 21 Tahun 2004 yaitu : Densitas tinggi (stasiun
I), Densitas sedang (stasiun II), Densitas rendah (stasiun III), dan Tidak ada
mangrove (stasiun IV). Pada setiap stasiun ditentukan 6 substasiun dengan
Rhizophora sp. sebagai titik sampling. Kemudian pengambilan sampel sedimen
dan pengukuran parameter dilakukan pada substasiun.
b. Pengambilan sampel
Pada setiap stasiun, sebanyak 6 (enam) pohon mangrove Rhizophora sp.
berukuran sama baik tinggi dan diameternya serta kesehatan visual yang sama
ditentukan sebagai objek penelitian. Sampel sedimen diambil sedalam 30 cm dari
tanah berjarak maksimum 2 meter dari pohon mangrove yang dijadikan objek
penelitian. Akar nutritife mangrove (akar serabut kecil) diambil dari setiap pohon
mangrove. Sampel akar dimasukkan ke dalam plastik yang telah diberi label.
Seluruh sampel dimasukkan ke dalam box berisi es dan dimasukkan ke lemari es
setelah sampai di laboratorium.
18
2. Perlakuan sebelum analisis
Akar dipisahkan dari sedimen dan dibilas dengan menggunakan air
distilasi kemudian dibilas lagi dengan menggunakan aquabides. Sampel sedimen
diambil langsung pada permukaan oksik 0-5 cm. Pengukuran pH dan Eh pada
core sampel dilakukan langsung di lapangan pada bagian-bagian sedimen
dengan menggunakan pH dan Eh meter. Sedimen diayak melewati mesh size 1
mm, batu dan sisa tumbuhan dipisahkan. Sampel sedimen dan akar dikeringkan
di dalam oven pada suhu 60oC selama 24 jam hingga kering secara menyeluruh
(MacFarlane et al., 2003, Defew et al., 2005).
3. Analisis ukuran butir sedimen
100 gr sedimen diayak dengan menggunakan ukuran mesh 50 μm untuk
menganalisis persentase pasir, sementara persentase lempung dan liat diukur
untuk butiran yang kurang dari 50 μm (Otero 2006).
c. Analisis bahan organik
Analisis bahan organik dilakukan dengan menggunakan metode Loss on
Ignition (Heiri et al., 2001) dengan sedikit modifikasi. Pada metode ini, sampel
tidak dipanaskan dengan suhu 550oC melainkan dengan suhu 450 °C untuk
menghindari rusaknya beberapa mineral.
d. Analisis logam Cu pada akar dan Sedimen
Sampel sedimen dan jaringan tumbuhan mangrove (akar) yang telah
dikeringkan dan ditumbuk hingga tidak bergumpal. Kemudian, 0.5 gr sampel
didekstruksi dengan 10 ml konsentrat HNO3 yang dilakukan pada tabung
digestion block pada suhu sekitar 100oC selama kurang lebih 2 jam. Untuk
sampel sedimen, sebelum didekstruksi, sampel dicampur pada air distilasi
sebanyak 0.5 ml untuk menghindari percikan air dan untuk mempermudah reaksi
yang cepat dengan asam. Setelah didinginkan selama kurang lebih 15 menit,
19
sebanyak 3 ml H2O2 30% dimasukkan pada larutan campuran tadi sedikit demi
sedikit dan dipanaskan lagi di digestion block selama kurang lebih 1 jam
(Khrisnamurty et al., 1976). Hasil digestasi di saring dan ditambahkan dengan air
distilasi sebanyak 50 ml untuk sedimen dan akar, (MacFarlane et al., 2003).
Kandungan total logam dari sedimen dan akar ditentukan dengan menggunakan
ICP-OES.
D. Analisis Data
Perbedaan rata-rata konsentrasi logam Cu pada akar mangrove dan
sedimen pada kepadatan mangrove yang berbeda dianalisis menggunakan One
Way Anova, dan jika terdapat perbedaan yang nyata (α = 0.05) maka dilakukan
uji lanjut. Selanjutnya, untuk melihat hubungan antara kepadatan mangrove,
dengan konsentrasi Cu di akar dan sedimen, serta parameter sedimen lainnya
digunakan analisis Spearmen correlation.
20
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakterisitik Fisik-Kimia Sedimen
Berdasarkan dari letak geografis letak Kabupaten Mamuju merupakan
daerah yang terluas di Provinsi Sulawesi Barat. Secara geografis Kabupaten
Mamuju terletak di posisi : 118°45‟21,55” – 119°45‟46,79” Bujur Timur dan
2°12‟25,47” –2°55‟28,1” Lintang Selatan. Berdasarkan lokasi tersebut keadaan
tekstur dan ukuran butir sedimen serta parameter lainnya memiliki keragamaan
berbeda yang ada di setiap stasiun tempat pengambilan sampel (Tabel 2).
Tabel 2. Parameter fisik-kimia sedimen
Parameter Sedimen
Satuan Stasiun
Rendah Sedang Tinggi Kontrol
Eh (redoks)
mV 15,8±43,81 -13,42±30,57 -73,15±46,36 -23±27,08
pH 6,83±0,10 6,89±0,08 6,71±0,01 7,14±0,13
BOT % 3,23±1,04 3,06±0,61 12,97±2,69 1,41±0,31
Lumpur % 37±6,68 13,17±0,83 47±13,53 12±0,44
Pasir % 62,83±6,71 86,83±0,90 52,8±14,22 61,67±0,33
(Nilai rata-rata ± Standar Error)
Potensial redoks (Eh) yang ada pada daerah stasiun tinggi memiliki nilai -
73,15 sangat rendah dibandingkan dengan Eh yang ada di stasiun rendah 15,8.
Sedangkan kandungan pH basa ada di stasiun kontrol dengan nilai 7,14 dan pH
asam ada di daerah stasiun tinggi yang memiliki nilai 6,71. Berdasarkan tabel 1
tentang Gradasi Status Redoks Tanah (Liu, 1985,) nilai Eh yang ada
menunjukkan reaksi reduksi sedang.
Hasil dari konsentrasi BOT juga dapat dilihat bahwa persen kumulatif
yang paling banyak terkandung ada pada daerah yang memiliki kerapatan
21
mangrove yang tinggi dengan persen kumulatif 12,97 dan kandungan BOT
terendah ada pada daerah tanpa mangrove (stasiun kontrol) dengan nilai 1,41.
Hasil dari tabel 2 diatas menunjukkan bahwa pada daerah stasiun rendah
memiliki 62,83 % pasir, sedangkan daerah stasiun sedang memiliki persen
kumulatif pasir 86,83 % daerah ini memiliki tingkat sedimen pasir tertinggi dan
pada daerah stasiun densitas tinggi memiliki persen 52,8 % dan daerah ini
memiliki tingkat pasir yang terendah dibandingkan stasiun-stasiun sebelumnya.
Sedangkan persen kandungan lumpur tertinggi ada pada daerah padat dengan
persen kumulatif 47 %, dan kandungan lumpur terendah ada pada stasiun
densitas sedang dan kontrol dengan selisih persen kumulatif yang tidak terlalu
jauh berbeda yaitu 13,17 % dan 12 %.
Tingkat potensi redoks yang rendah umumnya akan mengakibatkan
semakin tingginya tingkat akumulasi logam pada akar dan sedimen mangrove.
Sedangkan dari nilai pH yang telah diuji lanjut menunjukkan nilai signifikansi
yang besar terhadap tingkat kerapatan mangrove dimana apabila kerapatan
mangrove tinggi maka akan menurunkan nilai pH dan apabila nilai pH turun maka
kandungan logam dalam akar mangrove akan meningkat. Sesuai dengan
pernytaan Wardaya dalam Ewusie,(1990) pH pada permukaan tanah lebih tinggi
dari pada lapisan dibawahnya akibat dari serasah yang mengalami dekomposisi
pada permukaan lebih banyak sehingga tanah mempunyai kandungan bahan
organik yang tinggi yang menyebabkan sedimen tanah menjadi masam.
B. Kerapatan Mangrove
Hasil dari kerapatan mangrove dan kelimpahan spesies dalam tiap lokasi
disajikan pada gambar 2.
22
Gambar 2. Kerapatan pohon mangrove
Dari hasil persen penutupan pohon mangrove dengan jenis yang paling
mendominasi adalah Rhizophora sp. terutama pada daerah yang densitas tinggi
Berdasarkan Kepmen LH No. 201 Tahun 2004 tentang kriteria baku kerusakan
mangrove dari hasil ketiga daerah tersebut pada stasiun densitas rendah
tergolong daerah dengan penutupan mangrove yang kurang karena di bawah 50
% (1000 pohon/ha), sedangkan densitas sedang memiliki penutupan dengan
persen penutupan > 50 – < 75 % (1000-1500 pohon/ha), dan pada daerah
stasiun densitas tinggi memiliki persen penutupan di atas dari 75 % (>1500
pohon/ha) dan tergolong daerah dengan penutupan mangrove yang padat.
Gambar 2 menunjukkan bahwa tingkat kerapatan pohon mangrove yang
ada pada daerah stasiun densitas rendah memiliki penutupan dengan jumlah 580
pohon yang terdiri dari beberapa spesies yaitu Rhizophora sp., Sonneratia alba,
dan Bruguiera gymnorhiza.
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000
Jarang Sedang Padat
Ke
rap
ata
n P
oh
on
/Ha
Stasiun
Rhizopora sp. Sonneratia alba Avicennia alba
Avicennia marina Bruguiera gymnorizha
23
Tingkat kerapatan mangrove di stasiun densitas sedang menunjukkan
tingkat penutupan yang lebih banyak dengan jumlah pohon sebanyak 1100 terdiri
dari 2 spesies yaitu Rhizophora sp. dan Sonneratia alba.
Pada stasiun densitas tinggi memiliki tingkat penutupan yang lebih banyak
dari stasiun-stasiun sebelumnya dengan jumlah 1750 pohon dengan beberapa
spesies seperti Rhizophora sp, Sonneratia alba, Avicennia marina dan Bruguiera
gymnorhiza.
C. Konsentrasi Logam Cu
1. Konsentrasi Logam Cu di Sedimen
Tembaga (Cu) adalah salah satu logam esensial yang dibutuhkan biota laut
untuk pertumbuhan yang normal. Hasil konsentrasi Cu di sedimen disajikan
dalam Gambar 3.
Gambar 3. Rata-rata konsentrasi logam Cu di sedimen
(huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan rata-rata pada α = 0,05)
Gambar 3 menunjukkan keberadaan logam Cu yang terakumulasi di
sedimen yang berada pada kerapatan mangrove yang berbeda. Konsentrasii
logam Cu di sedimen terlihat paling tinggi pada stasiun densitas tinggi, walaupun
hasil analisis ragam (one way ANOVA) menunjukkan perbedaan konsentrasii
a
ab
b
ab
0
10
20
30
40
50
60
70
Jarang Sedang Padat Kontrol
Ko
nse
ntr
asi C
u (
mg
/kg
)
Stasiun
24
logam Cu yang nyata atau signifikan diantara 3 daerah tersebut. Hasil yang
signifikan tersebut selanjutnya dilakukan uji lanjut Tukey dan Post Hoc Test.
Tingginya konsentrasi logam pada daerah stasiun densitas tinggi
kemungkinan disebabkan oleh adanya aliran kanal kecil yang berada di
sekitarnya yang diduga aliran tersebut membawa senyawa yang menyebabkan
meningkatnya logam. Selain itu, terdapatnya beberapa pemukiman penduduk
yang berada dekat dengan sungai yang membuang langsung limbah ke perairan.
BOT pada daerah tersebut juga terhitung tinggi yang menyebabkan perikatan
kuat terjadi di daerah sedimen tersebut. Selain itu, sedimen halus yang ada pada
stasiun densitas tinggi juga memiliki persen kumulatif yang tinggi sehingga ini
juga menambah perikatan yang semakin kuat antara logam dengan sedimen di
daerah tersebut. Menurut RNO dalam Thayib dan Razak (1981) kadar normal
Cu dalam sedimen yang tidak terkontaminasi adalah 5 ppm. Dengan demikian
bila mengacu pada RNO di atas, dapat dikatakan bahwa kualitas sedimen di
kelurahan Ampallas oleh Cu termasuk kategori tercemar berat.
Konsentrasi Cu yang tinggi juga dipengaruhi adanya aktifitas manusia
seperti adanya pelabuhan, aktifitas kapal, pembuangan limbah rumah tangga,
dan pengawetan kayu. Sumber utama yang mengakibatkan tingginya Cu adalah
korosi tembaga, lapisan rem dan cat antifouling (Walker et al, 1998). Cu
merupakan logam berat yang cenderung mudah untuk terendapkan dalam
sedimen, sehingga akumulasi logam Cu pada sedimen akan lebih tinggi
dibandingkan akumulasi pada kolom air. Hal tersebut juga dipertegas oleh
Andarani dan Roosmini (2010) yang mengemukakan bahwa konsentrasi logam,
termasuk Cu, pada sedimen jauh lebih besar dibandingkan kolom air
2. Konsentrasi Logam Cu di Akar
Data konsentrasi logam dalam perakaran mangrove dapat dilihat pada
gambar 4.
25
Gambar 4. Rata-rata konsentrasi Cu di akar mangrove
Hasil analisis ragam (one-way ANOVA) tidak menunjukkan adanya
perbedaan rata-rata konsentrasi logam Cu di perakaran mangrove lokasii
penelitian (p<0,05), akan tetapi berdasarkan dari hasil analisis pada sampel di
perakaran mangrove terlihat bahwa rata-rata konsentrasi logam pada akar yang
tertinggi dengan nilai 42,55 mg/kg ada di daerah stasiun densitas rendah, daerah
dengan konsentrasi logam terendah 24,11 mg/kg di stasiun densitas tinggi dan
pada stasiun densitas sedang memiliki konsentrasi logam 29,80 mg/kg. Logam
yang ada di daerah stasiun densitas tinggi sangat rendah diduga karena pada
daerah tersebut tingkat kerapatan mangrovenya juga tinggi sehingga kompetisii
akar dalam menyerap logam Cu juga bertambah mengingat logam Cu
merupakan logam esensial yang artinya sangat diperlukan oleh tumbuhan dalam
melakukan fotosintesa. Selain itu, tingginya kandungan BOT bisa menyebabkan
logam Cu akan terikat kuat pada matriks sedimen sehingga tidak tersedia
(bioavailable) untuk diserap oleh perakaran mangrove (Werorilangi, 2012).
Menurut Simpson, et al. (2011), logam Cu memiliki keterikatan yang kuat dengan
bahan organik di sedimen dan pada kondisi anoksik (reduksi), akan berikatan
sangat kuat pada matriks sedimen. Jika terjadi perubahan potensi redoks menuju
oksidasi maka logam Cu mudah dilepaskan dari perikatannya di sedimen
42.45
30 24
0
10
20
30
40
50
60
Jarang Sedang Padat
Ko
nse
ntr
asi C
u (
mg
/kg
)
Stasiun
26
sehingga akan tersedia bagi biota. Sejalan dengan penelitian ini dimana, logam
Cu ditemukan rendah pada perakaran mangrove di stasiun padat yang memiliki
sedimen dengan kandungan bahan organik (BOT) yang tinggi dan potensi redoks
yang cenderung rendah (potensi reduksi), demikian sebaliknya pada stasiun
jarang dengan kondisi redoks yang tinggi dan penyerapan logam Cu yang tinggi
pada sistem perakaran mangrove. Tingginya konsentrasi logam di perakaran
stasiun jarang juga diduga karena kerapatan mangrove di daerah tersebut
rendah sehingga mengurangi tingkat kompetisi atau persaingan dalam
penyerapan logam.
Selain penyerapan logam pada sedimen, akar-akar mangrove juga dapat
menyerap logam di kolom perairan, mengingat akar mangrove akan terendam
saat air pasang. Mekanisme ini secara terperinci dijelaskan oleh Hardiani (2009),
dimana secara umum tumbuhan melakukan penyerapan oleh akar , baik yang
berasal dari sedimen maupun air kemudian terjadi translokasi ke bagian
tumbuhan yang lain dan lokalisasi atau penimbunan logam pada jaringan
tertentu. Pada tumbuhan secara umum logam Cu merupakan logam esensial
yang dibutuhkan tumbuhan untuk pertumbuhannya, yaitu sebagai aktivator enzim
(Palar, 2004).
D. Keterkaitan Konsentrasi Logam Dengan Parameter Kimia Fisik dan
Kerapatan Mangrove
Sedimen merupakan bahan yang berasal dari organik dan anorganik yang
bisa mempengaruhi kualitas air. Bahan organik berasal dari pembusukan
organisme atau tanaman yang kemudian tenggelam ke dasar perairan dan
bercampur di sungai. Proses yang terjadi bisa disebabkan oleh proses anorganik,
seperti curah hujan dan pembilasan dengan hidroksida oleh Fe dan Mn
27
(Balachandran et al., 2005). Adapun hasil korelasi antara paramater kimia fisik
dan kerapatan mangrove dengan konsentrasi logam disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Nilai koefisien korelasi Spearmen Logam dan parameter sedimen
Parameter Cu
Sedimen
Cu
Akar
Kerapatan
mangrove Pasir Lumpur Eh pH BOT
Cu
Sedimen 1 -0.49* 0.56* 0.27 -0.07 -0.30 0.12 0.42
Cu Akar
-0.49*
1 -0.68** 0.07 0.03 0.41 0.16 -0.50*
Kerapatan
Mangrove 0.56* -0.68** 1 -0.19 -0.15 -0.31 -0.26 0.65**
Pasir 0.27 0.07 -0.19 1 -0.68** 0.35 0.20 -0.54*
Lumpur -0.07 0.03 -0.15 -0.68** 1 -0.10 -0.13 0.48*
Eh -0.30 0.41 -0.31 0.35 -0.10 1 -0.35 -0.39
pH 0.12 0.16 -0.26 0.20 -0.13 -0.35 1
-0.06
BOT 0.42 -0.50* 0.65** -0.54* 0.48* -0.39 -0.06 1
*. Korelasi signifikan pada α = 0,05 (2-tailed). **. Korelasi signifikan pada α = 0.01 (2-tailed).
Adapun keterkaitan konsentrasi logam Cu di sedimen dan perakaran yang
telah dilakukan uji korelasi menggunakan Spearmen’s correlation dapat dilihat
pada tabel dengan hasil uji yang menunjukkan konsentrasi logam Cu di sedimen
terlihat dipengaruhi oleh parameter kerapatan mangrove yang memiliki tingkat
kepadatan yang tinggi sangat mempengaruhi konsentrasi logam Cu, semakin
padat tingkat kerapatan mangrove maka akumulasi logam dalam sedimen juga
akan naik. Ini mengindikasikan bahwa sumber logam Cu di sedimen adalah
berasal dari serasah pohon mangrove. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Allen
28
et al (1976) yang mengatakan bahwa seresah ( reruntuhan daun\dahan\ranting
) yang mengalami proses dekomposisi hanya terjadi pada bagian permukaan
tanah sedangkan pada kedalaman lebih dari 20 cm pengaruh dari proses ini tidak
nyata. Selain itu, konsentrasi logam di sedimen juga memiliki korelasi negatif
signifikan dengan perakaran yang artinya tingginya konsentrasi logam di sedimen
akan menurunkan konsentrasi logam di perakaran.
Konsentrasi logam diperakaran juga dipengaruhi oleh keberadaan
kandungan BOT yang apabila konsentrasinya tinggi maka akan menurunkan
perikatan akar terhadap logam. Umumnya kerapatan mangrove yang tinggi akan
membuat kandungan BOT semakin tinggi pula dan akan membuat perikatan
logam yang kuat di dalam sedimen. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya
yang mengatakan logam Cu sangat terkait dgn bahan organik di sedimen
sehingga menurunkan potensi penyerapan bagi biota (Werorilangi, 2012 dan
Simpson et al., 2011).
Pasir dan lumpur memiliki korelasi yang saling timbal balik, dimana jika
keadaan sedimen kebanyakan mengandung lumpur maka akan menurunkan
kandungan pasir di sedimen dan kandungan lumpur yang tinggi akan
mengandung bahan organik yang tinggi pula dan ini terjadi di daerah yang
memiliki tingkat kerapatan mangrove yang padat. Strom et al. (2011)
menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar lanau dalam sedimen, maka
kandungan Cu juga semakin tinggi.
29
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Konsentrasi logam sedimen yang memiliki nilai tinggi ada pada stasiun
densitas tinggi dengan persen kumulatif 55,29 mg/kg. Sedangkan
konsentrasi logam yang sedikit di daerah stasiun densitas rendah dengan
nilai 20,13 mg/kg.
2. Nilai konsentrasi logam akar yang tinggi terdapat di daerah stasiun
densitas rendah dengan nilai 42,45 mg/kg sedangkan daerah dengan
konsentrasi logam akar yang rendah ada di stasiun densitas tinggi
dengan nilai 24,11 %.
3. Konsentrasi logam Cu di sedimen menunjukkan korelasi yang kuat
dengan tingkat kerapatan pohon mangrove yang tinggi. Sedangkan logam
Cu pada akar berkorelasi negative terhadap kerapatan mangrove dan
konsentrasi BOT pada sedimen.
B. Saran
Penelitian lebih lanjut tentang logam di porewater dan kolom air sehingga
bisa mendapat gambaran yang lebih jelas tentang keberadaan logam Cu di
sedimen dan perakaran mangrove.
30
DAFTAR PUSTAKA
Allen, S.E., Grimshaw,H.M, Parkinson, J.A., Qurnely. C. 1976. Analysis of Soil in Chemical Analysis of EcologicalMaterials. Oxford, Blackwell Scientific Pub.
Alloway, B.J. 1994. Toxic metals in soil–plant systems. Chichester, UK: John
Wiley and Sons.
Amin, B. 2001. Akumulasi dan Distribusi Logam Berat Pb Dan Cu pada Mangrove Avicennia marina di Perairan Pantai Dumai, Riau, 85 hal.
Andarani P dan Roosmini D. 2010. Profil Pencemaran Logam Berat (Cu, Cr, Dan Zn) Pada Air Permukaan Dan Sedimen Di Sekitar Industri Tekstil PT X (Sungai Cikijing).
Arifin, 2002. Struktur Komunitas Pasca Larva Udang Hubungannya Dengan Karakteristik Habitat Daerah Asuhan Pada Ekosistem Mangrove Dan Estuaria Teluk Cempi. Tesis Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Balachandran, K. K., Lalu Raj, C. M., Nair, M., Joseph, T., Sheeba, P. &
Venugopal, P. (2005). Heavy metal accumulation in a flow restricted,
tropical estuary. Estuarine, Coastal and Shelf Science, 65, 361–370.
Boyd, C. E. 1998. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Fourth Printing.
Auburn University Agricultural Experiment Station, Alabama, USA. 359 p.
Burton, G. Allen Jr. 2002. Sediment quality criteria in use around the world. The
Japanese Society of Limnology 2002. http://jlakes.org/web/sedimentquality-
criteria-inworld-L2002.pdf
Canadian Environmental Quality Guidelines. 1999. Copper. Canadian Soil
Quality Guidelines for the Protection of Environmental and Human Health.
Canadian Council of Ministers of the Environment.
Connel, D.W dan J.M. Gregory. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Universitas Indonesia Press. Jakarta
Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologis Makhluk Hidup. Penerbit
Universitas Indonesia. Jakarta
Darsidi, A., 1986. Perkembangan Pemanfaatan Hutan Mangrove Indonesia. Jurnal Seminar Ekosistem Mangrove III, Denpasar-Bali. 5-8 Agustus 1986. Departemen Kehutanan Jakarta
Defew, L.H., J.M. Mair dan H. M. Gusman. 2005. An assessment of metal contamination in mangrove sediments and leaves from Punta Mala Bay, Pacific Panama. Marine Pollution Bulletin, 50, 547-552.
Dojilido, Jan.R dan A. Best Gerald. 1993. Chemistry of Water and Water Polution. Ellis Horwood. Limited. England
31
Eong, O.J. 1995. The ecology of mangrove conservation and management. Hydrobiologia, 295:343–351.
Geyer, R.A., 1981. Marine Enviromental Polution 2. Elseiver Scientific Publishing Company. Amsterdam Oxford. New York
Hadinafta, R. 2009. Analisis Kebutuhan Oksigen Untuk Dekomposisi Bahan Organik Di Lapisan Dasar Perairan Estuari Sungai Cisadane, Tangerang.
Skripsi Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hamsiah, 2000. Peranan Keong Bakau (Telescopium telescopium) Sebagai Biofilter Limbah Budidaya Tambak Udang Intensif. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Harun, N.H., Tuah P.M., Markom M.Z., Yusof M.Y. 2008. Distribution Of Heavy Metals In Monochoria hastata and Eichornia crassipes In Natural Habitats. Environmental Science Programme School of Science and Technology, University of Malaysia.
Harty, C. 1997. Mangroves in New South Wales and Victoria. Vista Publications, Melbourne, 47 pp.
Heiri, O. A. F. Lotter dan G. Lemcke. 2001. Loss on ignition as a method for estimating organic and carbonate content in sediments: reproducibility and comparability of results. Journal of Paleolimnology, 25, 101-110.
Hutagalung, H.P. 1994. Metode Analisis Air Laut, Sedimen Dan Biota. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta
Khrisnamurty, K. V., E. Shprirt dan M.M. Reddy .1976. Trace metal extraction of soils and sediments by nitric acid-hydrogen peroxide. Atomic Absorption Newsletter, 15, 68 - 70.
Kyuma, K. 2004a. Paddy Soil Science. Kyoto University Press and Trans Pasific
Press, Tokyo and Melbourne.
Lindsay, W. L., 1979. Chemical Equilibria in Soils. John Wiley & Sons, New York.
Lindsay, H.D., M.M. James, and M.G. Hector. 2004. An Assessment of Metal Contamination in MangroveSediments and Leaves from PuntaMala Bay, Pacific Panama. MarinePollution Bulletin., 50:, 547-552.
MacFarlane, G.R. 2002. Leaf biochemical parameters in Avicennia marina (Forsk.) Vierh as potential biomarkers of heavy metal stress in estuarine ecosystems.Mar. Pollut.Bull, 44: 244–256.
Macfarlane, G. R., A. Pulkownik dan M. D. Burchett. 2003. Accumulation and distribution of heavy metals in the grey mangrove, Avicennia marina (Forsk.)Vierh.: biological indication potential. Environmental Pollution, 123, 139-151.
Mance, G. 1990. Threat of Heavy Metal in Aquatik Environment. Occorance Analysis and Biologycal Relevance. New York
32
Miller, G. T. 1992. Living in the Environment. Seventh edition. Wadsworth Publishing Company, California. 705 p.
Nath, B., G. Birch, dan P. Chaudhuri. 2013. Trace metal biogeochemistry in mangrove ecosystems: A comparative assessment of acidified (by acid sulfate soils) and non-acidified sites. Science of the Total Environment, 463–464, 667–674.
Nontji.,A, 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta
Novontny, V and H. Olem. 1994. Water Quality, Prevention, Identification and Management of Diffuse Pollution. Van Nostrans Reinhold, New York. 1054 p.
Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut. Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia Jakarta.
Nybakken, J. W, 1996. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Penerbit Gramedia. Jakarta.
Otero, X.L., T.O. Ferreira, P. Vidal-Torrado dan F. Macı´as. 2006. Spatial variation in pore water geochemistry in a mangrove system (Pai Matos island, Cananeia-Brazil). Applied Geochemistry, 21, 2171–2186.
Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. PT Bhineka Cipta.
Jakarta
Panjaitan, G. Y., 2009. Akumulasi Logam Berat Tembaga (Cu) Dan Timbal (Pb) Pada Pohon Avicennia marina Di Hutan Mangrove. Skripsi. Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan. 58hal.
Peters, E.C., N.J. Gassman, J.C. Firman, R.H. Richmond, and E.A. Power.1997. Ecotoxicology of tropicalmarine ecosystems. EnvironmentalToxicology and Chemistry, 16:12–40.
Ponnamperuma, F. N. 1978. Electrochemical Changes in Submerg Soil. In IRRI,
Soil and Rice. IRRI, Los Banos, Philipines.
Richards, R., M. Chaloupk, M. Sanòa, and R. Tomlinsona. 2011. Modelling the effects of „coastal‟ acidification on copper speciation. Ecological Modelling 222 : 3559– 3567
Ronnback, P., M. Troell, N. Kautsky and J.H. Primavera, 1999. Distribution Pattern of Shrimp and Fish Among Avicennia and Rhizopora Microhabitats in the Pagbilao Mangroves, Philippines. Estuarine, Coastal and Shelf Science.
Saenger, P., E.J. Hegerl and J.D.S. Davie, 1983. Global status of Mangrove Ecosystem. IUCN Commission on Ecology Papers.
Saeni, 1989. Kimia Lingkungan. PAV Ilmu Hayat. IPB. Bogor
Sastrawijaya, T.A, 1991. Pencemaran Lingkungan. Penerbit PT Rineka Cipta.
Jakarta
33
Simpson, S.L., G. E. Batley, I. L. Hamilton, and D. A. Spadaro. Guidelines for
copper in sediments with varying properties. Chemosphere 85 : 1487–1495
Sposito, G. 2008. The Chemistry of Soils. Second Edition. Oxford University Press, Inc. New York, USA.
Strom, D., S.L. Simpson, G.E. Batley dan D.F. Jolley. 2011. The Influence of Sediment Particle Size and Organic Carbon on Toxicity of Copper to Benthic Invertebrates in Oxic/Suboxic Surface Sediments. Environmental Toxicology and Chemistry 30(7): 1599 – 1610.
Subowo, M.S., Widodo, dan A. Nugraha.1999. Status dan Penyebaran Pb, Cd, dan Pestisida pada Lahan Sawah Intensifikasi di Pinggir Jalan Raya. Prosiding. Bidang Kimia dan Bioteknologi Tanah, Puslittanak, Bogor.
Supardi, I., 1984. Lingkungan Hidup dan Kelestariannya. Penerbit Alumni Supriharyono, 1986. Tropical marine Polution. MSC. Report. Dept. upon Tyne New Castle Upon Tyne, U. K. Pustaka. Jakarta
Syekhfani 2014a. Potensi Oksidasi-Reduksi. Bahan Ajar. Pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. Diunduh dari :http://syekhfanismd.lecture.ub.ac.id/2014/03/potensi-oksidasi-reduksi-eh/. Tanggal akses : 17 Maret 2014.
Tan, K. H., 1982. Principles of Soil Chemistry. Marcel Dekker, Inc., New York.
Thayib, S.S. dan Razak, H. 1981. Pengamatan kandungan bakteri indikator, logam berat dan pestisida di perairan Pantai Teluk Ambon, Teluk Banten dan Teluk Jakarta. Prosiding: Seminar dan Kongres Nasional Biologi VI,
Surabaya: 196-217.
Thamrin, A., 1996. Skripsi. Uji Efek Lethal Logam Berat Cadmium (Cd) dengan Variasi Suhu dan Salinitas terhadap Kepiting Bakau. Jurusan Ilmu Kelautan. Unhas. Makassar
Yoshida, T. 1978. Mictobial Metabolism In Rice Soil. In : E. A. Paul and A.D Maclaen (eds). Soil and Rice. Los Banos, Laguna : The Internasional Rice Institute. 445-465p.
Yunus, K., N.M. Yusuf, N.A.M. Shazili, O.M. Chuan, S. Saad, A.J.K. Chowdhury dan J. Bidai. 2011. Heavy Metal Concentration in the Surface Sediment of Tanjung Lumpur Mangrove Forest, Kuantan, Malaysia. Sains Malaysiana 40(2): 89 – 92.
Zulkifli, H., Z. Hanafiah., D. A. Puspitawati. 2009. Struktur dan Fungsi Komunitas Makrozoobenthos di Perairan Sungai Musi Kota Palembang: Telaah Indikator Pencemaran Air. Jurusan FMIPA. Universitas Sriwijaya.
Walker, W. J., Mc Nut, R. P. & Ann, C. (1998). The Potential Contribution of
Urban Runoff to Surface Sediment of Passaic River Sources and Chemical
Characteristics. Geomega. Chemical Land Holding Inc.
Werorilangi, S., 2012. Spesiasi Logam : Bioavailabilitas bagi Biota Bentik Dan Pola Sebaran Spasial Di Sedimen Perairan Pantai Kota Makassar.
Universitas Hasanuddin. Makassar
34
LAMPIRAN - LAMPIRAN
35
Lampiran 1
Descriptives
CuAkar
N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
1 6 42.4548 14.69577 5.99952 27.0325 57.8770 28.47 63.84
2 6 29.7956 5.85434 2.39002 23.6519 35.9394 21.91 37.16
3 6 24.1157 5.72184 2.33593 18.1110 30.1204 17.52 34.14
Total 18 32.1221 12.06005 2.84258 26.1247 38.1194 17.52 63.84
ANOVA
CuAkar
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 1057.671 2 528.835 5.606 .015
Within Groups 1414.892 15 94.326
Total 2472.562 17
36
2. Hasil uji lanjut
Multiple Comparisons
Dependent Variable:CuAkar
(I)
Stasiun
(J)
Stasiun
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Tukey HSD 1 2 12.65914 5.60732 .094 -1.9057 27.2240
3 18.33904* 5.60732 .013 3.7742 32.9039
2 1 -12.65914 5.60732 .094 -27.2240 1.9057
3 5.67990 5.60732 .580 -8.8849 20.2448
3 1 -18.33904* 5.60732 .013 -32.9039 -3.7742
2 -5.67990 5.60732 .580 -20.2448 8.8849
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
37
Lampiran 2
Descriptives
Cu
N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
Jarang 6 20.1350 20.43365 8.34200 -1.3088 41.5788 1.33 47.94
Sedang 6 47.7017 12.23374 4.99440 34.8631 60.5402 24.91 58.81
Padat 6 55.2950 27.95882 11.41414 25.9540 84.6360 17.97 95.44
Kontrol 6 39.7100 19.81985 8.09142 18.9103 60.5097 16.83 69.93
Total 24 40.7104 23.61302 4.81999 30.7395 50.6813 1.33 95.44
Multiple Comparisons
Dependent Variable:Cu
(I) Stasiun (J) Stasiun
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Tukey HSD Jarang Sedang -27.56667 12.04755 .134 -61.2870 6.1536
Padat -35.16000* 12.04755 .039 -68.8803 -1.4397
Kontrol -19.57500 12.04755 .388 -53.2953 14.1453
Sedang Jarang 27.56667 12.04755 .134 -6.1536 61.2870
38
Padat -7.59333 12.04755 .921 -41.3136 26.1270
Kontrol 7.99167 12.04755 .910 -25.7286 41.7120
Padat Jarang 35.16000* 12.04755 .039 1.4397 68.8803
Sedang 7.59333 12.04755 .921 -26.1270 41.3136
Kontrol 15.58500 12.04755 .577 -18.1353 49.3053
Kontrol Jarang 19.57500 12.04755 .388 -14.1453 53.2953
Sedang -7.99167 12.04755 .910 -41.7120 25.7286
Padat -15.58500 12.04755 .577 -49.3053 18.1353
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Descriptives
KerapatanTotal
N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
Jarang 6 5.83 1.329 .543 4.44 7.23 4 7
Sedang 6 11.00 2.608 1.065 8.26 13.74 7 14
Padat 6 17.50 2.074 .847 15.32 19.68 15 20
Total 18 11.44 5.283 1.245 8.82 14.07 4 20
39
Hasil Uji Lanjut
ANOVA
Cu
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 4115.618 3 1371.873 3.151 .048
Within Groups 8708.601 20 435.430
Total 12824.218 23
ANOVA
KerapatanTotal
Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Between Groups 410.111 2 205.056 47.811 .000
Within Groups 64.333 15 4.289
Total 474.444 17
40
Multiple Comparisons
Dependent Variable:KerapatanTotal
(I) Stasiun (J) Stasiun
Mean Difference
(I-J) Std. Error Sig.
95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Tukey HSD Jarang Sedang -5.167* 1.196 .002 -8.27 -2.06
Padat -11.667* 1.196 .000 -14.77 -8.56
Sedang Jarang 5.167* 1.196 .002 2.06 8.27
Padat -6.500* 1.196 .000 -9.61 -3.39
Padat Jarang 11.667* 1.196 .000 8.56 14.77
Sedang 6.500* 1.196 .000 3.39 9.61
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
41
Lampiran 3
Correlations
CuSedimen CuAkar Kerapatan Pasir Lumpur Eh pH BOT
Spearman's rho CuSedimen Correlation Coefficient 1.000 -.494* .560
* .271 -.073 -.304 .124 .422
Sig. (2-tailed) . .037 .016 .277 .774 .219 .624 .081
N 18 18 18 18 18 18 18 18
CuAkar Correlation Coefficient -.494* 1.000 -.679
** .066 .031 .408 .160 -.498
*
Sig. (2-tailed) .037 . .002 .794 .902 .093 .526 .036
N 18 18 18 18 18 18 18 18
Kerapatan Correlation Coefficient .560* -.679
** 1.000 -.189 -.149 -.308 -.263 .650
**
Sig. (2-tailed) .016 .002 . .454 .556 .214 .292 .003
N 18 18 18 18 18 18 18 18
Pasir Correlation Coefficient .271 .066 -.189 1.000 -.677** .351 .197 -.541
*
Sig. (2-tailed) .277 .794 .454 . .002 .154 .433 .020
N 18 18 18 18 18 18 18 18
Lumpur Correlation Coefficient -.073 .031 -.149 -.677** 1.000 -.099 -.134 .478
*
Sig. (2-tailed) .774 .902 .556 .002 . .697 .597 .045
N 18 18 18 18 18 18 18 18
42
Eh Correlation Coefficient -.304 .408 -.308 .351 -.099 1.000 -.353 -.388
Sig. (2-tailed) .219 .093 .214 .154 .697 . .150 .111
N 18 18 18 18 18 18 18 18
pH Correlation Coefficient .124 .160 -.263 .197 -.134 -.353 1.000 -.058
Sig. (2-tailed) .624 .526 .292 .433 .597 .150 . .818
N 18 18 18 18 18 18 18 18
BOT Correlation Coefficient .422 -.498* .650
** -.541
* .478
* -.388 -.058 1.000
Sig. (2-tailed) .081 .036 .003 .020 .045 .111 .818 .
N 18 18 18 18 18 18 18 18
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
43
Lampiran 4. Foto kegiatan pengambilan sampel dan perlakuan
top related