ki hadi sugito
Post on 27-Oct-2015
46 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Ki Hadi Sugito, Dalang Jenaka Nan CerdasDiterbitkan 2 November 2011 Budaya 5 Komentar Kaitkata:Dalang, Ki Hadi Sugito, Wayang
In Memoriam Ki Hadi Sugito
Dalang Jenaka Nan Cerdas
Sangat kehilangan, itulah dua kata yang bisa mewakili
perasaan ribuan atau puluhan ribu bahkan (mungkin) ratusan
ribu Pandemen (penggemar) kesenian Wayang Kulit –
khususnya pakem pakeliran Yogyakarta – atas meninggalnya
dalang kondang Ki Hadi Sugito, dari Toyan, Wates, DIY.
Bersama Ki Timbul Hadiprayitno, Ki Hadi Sugito merupakan
seniman di bidang pedalangan yang mampu mengangkat
wayang kulit gagrak Yogyakarta menuju ketenaran di jagad
pewayangan Tanah Jawa.
Sosok Ki Hadi Sugito merupakan tipikal dalang yang mampu
diterima secara luas pada berbagai level
kalangan pandemen kesenian wayang kulit, mulai dari
penggemar wayang kulit kelas berat, sedang, maupun para
penikmat wayang kulit kelas pemula. Berbagai kalangan
masyarakat mulai dari kaum marginal di pelosok-pelosok desa
seperti, para buruh tani, nelayan, tukang batu, penarik becak
dll, hingga kaum intelektual di perkotaan dari Guru Besar,
Mahasiswa hingga para pelajar, jika secara kebetulan maupun
dengan sengaja menyaksikan atau cukup mendengarkan
(melalui siaran radio) lakon wayang kulit yang dibawakan Ki
Hadi Sugito dipastikan akan terkesima. Penulis sendiri mulai
menggemari Wayang Kulit yang dibawakan oleh Ki Hadi
Sugito, sejak penulis masih berstatus sebagai mahasiswa baru
di UGM hingga kini (hampir dua dasa warsa). Bukannya tanpa
alasan jika sampai mengidolakan Ki Hadi Sugito sebagai dalang
favorit. Berdasarkan pengalaman penulis sendiri, daya tarik
lakon wayang yang dibawakan oleh Ki Hadi Sugito setidaknya
meliputi beberapa hal :
Pertama, Selera humor yang tinggi dari Ki Hadi Sugito.
Dalam semua lakon wayang yang dibawakan oleh Ki Hadi
Sugito, hampir sepanjang perhelatan – dari awal sampai
“tancep kayon” yang menyudahi pertunjukan – tidak pernah
luput sedikitpun dari banyolan-banyolan yang khas ala Ki Hadi
Sugito. Dalam pertunjukan wayang kulit secara umum,
Biasanya para pandemen pertunjukan wayang kulit bisa
merasa terpuaskan rasa dahaganya akan candaan, lelucon
atau dagelan hanya pada saat pagelaran wayang memasuki
fragmen “Goro-goro”, yang menyajikan “adegan” dialogis yang
sarat dengan bumbu-bumbu humor dari keluarga Ki Lurah
Semar Bodronoyo yang bermukim di Karang Tumaritis, beserta
anak-anaknya yaitu, Gareng, Petruk “kantong bolong” dan
Bagong. Sering kali fragmen “Goro-goro” tadi dianggap sebagai
klimaks dari keseluruhan pertunjukan wayang. Bahkan tidak
jarang para penikmat pertunjukan wayang (terutama para
pemula yang sekedar iseng), khusus hanya melihat atau
mendengarkan (jika siaran pertunjukan wayang via radio)
ketika lakon sudah sampai ke babak “Goro-goro”, dengan kata
lain mereka hanya mau menikmati pertunjukan wayang hanya
pada bagian “goro-goro” saja, yang memang sarat dengan
“guyonan”. Tetapi, ditangan kreatif Ki Hadi Sugito, hal yang
kerap terjadi pada pertunjukan wayang seperti tersebut diatas
tidak akan berlaku lagi. Ditangan Ki Hadi Sugito, sebuah lakon
wayang bagaikan “super magnet” yang mampu menyihir para
pandemennya untuk tidak beranjak sekejap pun sebelum
pertunjukan disudahi oleh sang dalang. Bagaimana mau
melewatkan adegan demi adegan lakon yang disajikan, jika
hampir seluruh pertunjukannya yang digelar “full humor”.
Di tangan Ki Hadi Sugito, seluruh “actor” yang terlibat dalam
suatu lakon pertunjukan wayang dibuatnya mampu menguras
tawa para pandemen pertunjukan. Mulai dari para raja, (seperti
Kresna, Baladewa, Yudistira dll), para satria (seperti Arjuna,
Bratasena, Setyaki, Sadewa, Wisanggeni dll) hingga para dewa
(seperti Betara Manikmaya, Betara Kanekaputro dll) di tangan
Ki Hadi Sugito semua “actor” tadi tanpa terkecuali mampu
melucu semuanya, walaupun tanpa harus keluar dari pakem.
Bahkan tokoh-tokoh antagonis di jagad pewayangan seperti
para Raksasa, Begawan Durna, Patih Harya Sangkuni,
Dursasana, Durmagati dll (yang punya tabiat keras, jahat dan
bengis) jika disandingkan dengan para pengiringnya – Togog
dan Mbilung – maka yang muncul adalah kelucuan-kelucuan
yang sarat dengan kecerdasan.
Hal Kedua yang menjadi ciri khas dalang Ki Hadi Sugito adalah
kesan hangat dan akrab dari diri beliau terhadap para Niyaga
(para penabuh gamelan), Sinden (penembang) serta seluruh
crew pendukung pertunjukan begitupun terhadap para
pandemennya. Semua elemen yang mendukung pertunjukan
wayang beliau, harus bersiap-siap jika suatu waktu dijadikan
bahan olok-olokan atau disindir secara jenaka oleh sang
dalang, melalui “celoteh” dari tokoh wayang yang sedang
dimainkan beliau, tentunya disini tidak ada yang sampai sakit
hati ketika “dikerjain”. Gaya lelucon yang dilontarkan
sepanjang pertunjukan pun sangat khas dengan memotret sisi-
sisi kecil dari kehidupan kaum marginal.
Ketiga, Beliau pun secara tidak langsung memberi pelajaran
kepada kita tentang prinsip-prinsip Egalitarianisme (kesetaraan
dalam perikehidupan). Ini bisa kita dapatkan pada fragmen-
fragmen dialogis antara para Raja, Satria, Dewa maupun para
Begawan ketika berhadapan dengan para Punakawan (Semar,
Gareng, Petruk , Bagong) dari golongan protagonis, atau pada
waktu para pembesar dari golongan antagonis ketika
bersanding dengan Ki Lurah Togog dan Mbilung. Seperti contoh
kasus berikut ini: Bagaimana mungkin seorang Raja Gung
Binatara seperti Prabu Kresna – yang merupakan penjelmaan
Sang Wisnu – harus “mundhuk-mundhuk” dan merajuk untuk
memohon maaf atas “keluputannya” pada seorang dari
golongan sudra semacam Bagong, itupun biasanya dalam
lakon, Prabu Kresna dibuat dengan sedikit bersusah payah
dalam mendapatkan permaafan dengan “dikerjain” terlebih
dulu oleh Bagong. Begitupun dalam fragmen-fragemen yang
lain, seperti misalnya dialog antara Begawan Durna ataupun
Patih Sangkuni dengan Togog ataupun Mbilung, dimana dalam
setiap kesempatan Togog dan Mbilung senantiasa mencemooh
dan mengejek secara cerdas dan lugas kedua tokoh yang
berada pada kelas sosial yang tidak sebanding dengan mereka
berdua tanpa rasa takut dan “ewuh-pakewuh”.
Ketiga hal tersebut di atas menjadi “trade mark” tersendiri dari
seorang Ki Hadi Sugito dan seringkali mengilhami banyak
dalang muda untuk mencontohnya. Bahkan, Ketiga ciri yang
khas dari seorang Ki Hadi Sugito, seperti tersebut di atas,
sekaligus juga bisa untuk mengidentifikasi bahwa Ki Hadi
Sugito bukan hanya seorang dalang otodidak yang mumpuni
dalam memainkan wayang tapi beliau juga seorang dalang
yang cerdas melalui olah kata dan olah rasa dalam setiap
pertunjukan wayangnya. Semoga di waktu yang akan datang
akan muncul lagi Ki Hadi Sugito-Ki Hadi Sugito yang lain.
Semoga.
Medio : Januari 2008
top related