kasus rehabilitasi medik hemiparese sinistra

Post on 27-Dec-2015

279 Views

Category:

Documents

2 Downloads

Preview:

Click to see full reader

DESCRIPTION

Hemiparese Sinistra

TRANSCRIPT

CASE REPORT

SEORANG WANITA UMUR 80 TAHUN DENGAN

HEMIPARESE SINISTRA ET CAUSA STROKE INFARK

OLEH:

NIDA FARADISA, S. Ked J 500090113

AIN FATHMI, S. Ked J 500090040

DHAYU ERPRIDAWATI J 500090017

PEMBIMBING:

dr. LIEM KIEM SAN, Sp. RM

KEPANITERAAN KLINIK ILMU REHABILITASI MEDIK

RSUD DR HARJONO PONOROGO

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2014

CASE REPORT

SEORANG WANITA UMUR 80 TAHUN DENGAN

HEMIPARESE SINISTRA ET CAUSA STROKE INFARK

OLEH:

NIDA FARADISA, S. Ked J 500090113

AIN FATHMI, S. Ked J 500090040

DHAYU ERPRIDAWATI J 500090017

Telah disetujui dan disyahkan oleh bagian Program Pendidikan Fakultas

Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pada hari tanggal 2014

Pembimbing:

dr. Liem Kiem San, Sp. RM ( )

dipresentasikan dihadapan:

dr. Liem Kiem San, Sp. RM ( )

Disahkan Ka. Program Profesi :

dr. Dona Dewi Nirlawati ( )

STATUS PASIEN

I. Anamnesis

A. Identitas Pasien

1. Nama : Ny. K

2. Umur : 80 tahun

3. Jenis Kelamin : Perempuan

4. Alamat : Slahung, Ponorogo

5. Pekerjaan : Ibu rumah tangga

6. Tgl Pemeriksaan : 15 Juni 2014

7. No. RM : 1935xx

B. Keluhan Utama

Lemas di bagian tubuh kiri

C. Riwayat Penyakit Sekarang

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 15 Juli 2014

di Bangsal Aster RSUD dr. Hardjono Ponorogo. Pasien merupakan

konsulan dari saraf dengan diagnosis Stroke Infark. Seorang wanita

berumur 80 tahun datang ke IGD RSUD dr. Hardjono Ponorogo pada

tanggal 08 Juli 2014 dengan keluhan badan terasa lemas dibagian tubuh

kiri. Keluhan tersebut dirasakan pasien tiba-tiba saat bangun tidur pada

pagi harinya sebelum dibawa ke rumah sakit. Pasien merasakan tangan dan

kaki sebelah kiri terasa lemas jika untuk berjalan dan bergerak. Selain itu

pasien juga merasakan kepala pusing, bicara pelo, leher cengeng dan

wajah merot sebagian. Sebelum dan sesudah kaki dan tangannya lemas,

pasien tidak muntah, tidak pingsan dan tidak nyeri kepala. Pasien mengaku

ini pertama kalinya merasakan kaki tangannya lemas.

Aktivitas sehari-hari pasien seperti makan, minum, mandi, menggosok

gigi, berpindah tempat, menyisir, ke toilet dan beribadah terganggu karena

kaki dan tangan sebelah kiri lemas. Pasien memiliki riwayat darah tinggi

sejak 25 tahun yang lalu.

D. Riwayat Penyakit Dahulu

1. Riwayat trauma : diakui, terjatuh 20 tahun yang lalu

2. Riwayat alergi : disangkal

3. Riwayat hipertensi : diakui

4. Riwayat DM : disangkal

5. Riwayat asma : disangkal

6. Riwayat penyakit serupa : disangkal

7. Riwayat pengobatan : disangkal

E. Riwayat Pribadi

1. Riwayat merokok : disangkal

2. Riwayat minum alkohol : disangkal

F. Riwayat Penyakit Keluarga

1. Riwayat DM : disangkal

2. Riwayat hipertensi : disangkal

3. Riwayat alergi : disangkal

4. Riwayat asma : disangkal

5. Riwayat sakit serupa : disangkal

F. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga, sebelumnya pasien

pernah bekerja menjadi buruh tani, tapi karena usia pasien yang sudah tua,

pasien memutuskan untuk berhenti bekerja. Suami pasien sudah meninggal

12 tahun yang lalu. Pasien memiliki 4 anak yang semuanya sudah bekerja.

Anak pertama dan ketiga bekerja di luar kota sebagai buruh pabrik,

sedangkan anak kedua dan keempat bekerja sebagai buruh tani. Pasien

tinggal bersama anak bungsu dan cucu-cucunya yang semuanya sudah

dewasa. Pasien mencukupi kebutuhan hidupnya dari penghasilan anak-

anaknya.

G. Status Fungsional

a. Mobilitas : terganggu

b. Aktifitas sehari-hari: terganggu

c. Kognitif : baik

d. Komunikasi : baik

H. Status Psikososial

a. Status keluarga : Pasien memiliki 4 orang anak yang semuanya

sudah bekerja.

b. Status lingkungan : Kamar tidur pasien terletak di bagian belakang

rumah, toilet berada di luar rumah, menggunakan

wc jongkok, dan tidak ada tangga di dalam

rumahnya.

c. Status pekerjaan dan pendidikan : Pasien sebagai ibu rumah tanga dan

tidak pernah bersekolah.

d. Status psikiatri : Tidak ada riwayat gangguan mental.

II. Pemeriksaan Fisik

A. Status Generalis

1. Keadaan umum : Baik

2. Tinggi Badan : 145 cm

3. Berat Badan : 38 kg

4. Body Mass Index : 18,09

5. Kesadaran : Kualitatif : Compos Mentis

Kuantitatif : GCS (E4V5M6)

6. Vital Sign : a. TD : 150/70 mmHg

b. N : 78 x / menit

c. RR : 18 x / menit

d. S : 36,3 ºC

BATHEL INDEX

Score

Makan (Feeding) 1

Mandi (Bathing) 0

Perawatan diri (Grooming) 0

Berpakaian (Dressing) 1

Buang Air Kecil (Bowel) 0

Buang Air Besar (Bladder) 2

Penggunaan Toilet 0

Transfer 2

Mobilitas 2

Naik turun tangga 1

Interpretasi Hasil: Score 9 (Ketergantungan Sedang)

B. Status Interna

1. Kepala/Leher : CA (-/-), SI (-/-), PKGB (-/-)

2. Jantung : BJ I-II regular, bising jantung (-/-)

3. Paru-paru : simetris, fremitus (n/n), sonor, SDV (+/+), Rh (-/-),

Wh (-/-)

4. Abdomen : simetris, peristaltik usus normal, timpani, NT (–)

5. Ekstremitas : edema (-/-), akral hangat, deformitas ekstremitas

inferior (+/-)

C. Status Neurologis

1. Pemeriksaan Motorik

a. Gerakan : B BT

B BT

b. Kekuatan : 555 444

555 444

L2/L3/L4/L5/S1 L2/L3/L4/L5/S1

5 / 5 / 5 / 5 / 5 4 / 4 / 4 / 4 / 4

c. Tonus : N N

N N

d. Trophy : N N

N N

2. Nervus Cranialis

Nervus Pemeriksaan Dextra Sinistra

I (Olfaktorius) Daya pembau + +

II (Opticus)Visus ≥ 2/60 ≥ 2/60

Pengenalan warna + +

III

(Occulomotorius)

Ptosis - -

Gerakan mata ke atas + +

Gerakan mata ke

tengah

+ +

Gerakan mata ke

bawah

+ +

Ukuran pupil

-Reflek direct

-Reflek indirect

Isokor

3mm

+

+

Isokor

3mm

+

+

IV (Trochlearis) Gerakan mata medial

ke bawah

+ +

V (Trigeminus)

Menggigit + +

Membuka mulut + +

Sensibilitas wajah

(atas, tengah, bawah)

+ +

VI (Abduccens) Gerakan mata ke

lateral

+ +

VII (Facialis) Mengangkat alis + +

Menutup mata + +

Meringis + -

Menggembungkan + -

pipi

VIII

(Vestibulocochlear)

Mendengarkan suara

bisik

+ +

IX

(Glossopharyngeus)

Arcus faring (dilihat) + +

X (Vagus)Bersuara + +

Menelan + +

XI (Accesorius)Memalingkan kepala + +

Menahan bahu + +

XII (Hypoglosus) Menjulurkan lidah + -

Disartri + +

Kesan N. Cranialis : facial palsy sinistra central, lingual palsy sinistra

dan disartri

3. Pemeriksaan Sensorik

Rangsangan nyeri dan taktil pada dermatom L2-S1 : Normal/Normal

4. Pemeriksaan Fisiologis

BPR +3 +3 KPR +3 +3

TPR +3 +3 APR +3 +3

5. Pemeriksaan Patologis

- Babinski : ( - / - )

- Chaddock : ( - / - )

- Gonda : ( - / - )

- Stransky : ( - / - )

- Mandel B. : ( - / - )

- Rosolimo : ( - / - )

- Oppenheim : ( - / - )

- Gordon : ( - / - )

- Schaffer : ( - / - )

6. Provokasi Nyeri

- Lasseque sign : (-/-)

- Patrick sign : (-/-)

- Kontra patrick : (-/-)

- FNST : (-/-)

7. Flick sign : (-/-)

8. Wrist ektension test: (-/-)

9. Phalen’s test : (-/-)

10. Tinel’s sign : (-/-)

III. Status Lokalis Ekstremitas Superior et Inferior Sinistra

Inspeksi : Ekstremitas superior et inferior tidak tampak edema, tanda

inflamasi, massa, dan deformitas

Palpasi : tidak ada nyeri tekan dan tonus normal

Gerak : tidak ada nyeri gerak, gerakan terbatas

IV. Resume

A. Pasien datang ke IGD dengan keluhan:

1. Lemas di bagian tubuh kiri sejak tanggal 08 juli 2014.

2. Keluhan tersebut dirasakan pasien tiba-tiba saat bangun tidur

3. Pasien merasakan tangan dan kaki sebelah kiri terasa lemas jika

untuk berjalan dan bergerak.

4. Pasien juga merasakan kepala pusing, bicara pelo, leher cengeng dan

wajah merot sebagian.

5. Pasien memiliki riwayat hipertensi.

6. Aktivitas kehidupan sehari-hari pasien terganggu.

B. Dari hasil pemeriksaan didapatkan:

1. Status generalis : TD : 150/70 mmHg, Index Barthle Score 9

(Ketergantungan Sedang)

2. Status internus : dalam batas normal

3. Status neurologis : hemiparese sinistra, lingual palsy sinistra,

disartri, facial palsy sinistra sentral.

4. Pemeriksaan klinis : dalam batas normal

V. Diagnosis Kerja

Hemiparese sinistra

VI. Masalah Rehabilitasi

- Impairment : Hemiparese Sinistra

- Dissabilitas : kemampuan berjalan terganggu, sehingga menggangu

activity of daily living.

- Handicap : menganggu pekerjaan sebagai ibu rumah tangga.

VII.Rencana Pemeriksaan Tambahan

A. Pemeriksaan laboratorium : darah rutin, kimia darah, gula darah

B. Head CT-SCAN

VIII. Penatalaksanaan

A. Medikamentosa :

- Neuciti 2 x 500mg

- Ranitidin 2 x 1 amp

- ASA 1 x 100mg

- Amlodipin 1 x 10 mg

- Captopril 3 x 25 mg

B. Program Rehabilitasi Medis :

- Fisioterapi:

Infra Red ekstremitas superior et inferior

Strengthening exercise

ROM Exercise (Range Of Motion Exercise)

Latihan berdiri dan berjalan

- Okupasional Terapi:

Latihan peningkatan lingkup gerak sendi dengan aktivitas

- Sosial Medis : evaluasi status sosial ekonomi penderita dan

mencari jalan keluar untuk biaya pengobatan karena membutuhkan

waktu yang lama dan kontrol teratur

- Ortotis-Prostatis : Tripod

- Terapi Wicara : Latihan bicara

- Psikolog : Memberi dukungan mental kepada penderita dan

keluarganya

IX. Komplikasi

Spastik

Atrofi otot

X. Prognosis

Quo ad Vitam : dubia ad bonam

Quo ad Functionam : dubia ad bonam

Quo ad Sanationam : dubia ad bonam

Quo ad Cosmetican : dubia ad bonam

XI. Edukasi

a. Menyarankan rutin beraktivitas menggunakan sisi yang sehat dan

mengikutsertakan sisi yang sakit.

b. Sedapat mungkin melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari dilakukan

sendiri.

c. Sedapat mungkin bantu dan arahkan pasien melakukan gerak fungsional

yang normal.

d. Menyarankan pasien untuk menjaga kondisi tubuh dalam keadaan

prima.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

STROKE

A. Definisi

Stroke termasuk penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah otak)

yang ditandai dengan kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi

karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak. Berkurangnya

aliran darah dan oksigen ini bisa dikarenakan adanya sumbatan,

penyempitan atau pecahnya pembuluh darah.

WHO mendefinisikan bahwa stroke adalah gejala-gejala defisit

fungsi susunan saraf yang diakibatkan oleh penyakit pembuluh darah otak

dan bukan oleh yang lain dari itu. Stroke dibagi menjadi dua jenis yaitu:

stroke iskemik maupun stroke hemoragik.

Stroke iskemik yaitu tersumbatnya pembuluh darah yang

menyebabkan aliran darah ke otak sebagian atau keseluruhan terhenti.

80% stroke adalah stroke iskemik. Stroke iskemik ini dibagi menjadi 3

jenis, yaitu :

1. Stroke Trombotik: proses terbentuknya thrombus yang membuat

penggumpalan.

2. Stroke Embolik: Tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah.

3. Hipoperfusion Sistemik: Berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian

tubuh karena adanya gangguan denyut jantung.

Stroke hemoragik adalah stroke yang disebabkan oleh pecahnya

pembuluh darah otak. Hampir 70% kasus stroke hemoragik terjadi pada

penderita hipertensi. Stroke hemoragik ada 2 jenis, yaitu:

1. Hemoragik Intraserebral: pendarahan yang terjadi didalam jaringan

otak.

2. Hemoragik Subaraknoid: pendarahan yang terjadi pada ruang

subaraknoid (ruang sempit antara permukaan otak dan lapisan jaringan

yang menutupi otak).

B. Tanda dan Gejala-gejala Stroke

Berdasarkan lokasinya di tubuh, gejala-gejala stroke terbagi menjadi

berikut:

1. Bagian sistem saraf pusat : Kelemahan otot (hemiplegia), kaku,

menurunnya fungsi sensorik Batang otak, dimana terdapat 12 saraf

kranial: menurun kemampuan membau, mengecap, mendengar, dan

melihat parsial atau keseluruhan, refleks menurun, ekspresi wajah

terganggu, pernafasan dan detak jantung terganggu, lidah lemah.

2. Cerebral cortex: aphasia ( kehilangan kaemampuan memakai atau

memahami kata-kata),apraxia (tidak mampu melaksanakan instruksi-

instruksi), verbal apraxia (lupa membentuk mulut , bibir dan lidah agar

dapat mengeluarkan kata secara baik dan benar), daya ingat menurun,

hemineglect, kebingungan.

Jika tanda-tanda dan gejala tersebut hilang dalam waktu 24 jam,

dinyatakan sebagai Transient Ischemic Attack (TIA), dimana merupakan

serangan kecil atau serangan awal stroke.

C. Letak Kelumpuhan Akibat Serangan Stroke

1. Kelumpuhan sebelah kiri (Hemiparesis sinistra)

Kerusakan pada sisi sebelah kanan otak yang menyebabkan kelemahan

tubuh bagian kiri. Pasien dengan kelumpuhan sebelah kiri sering

memperlihatkan ketidakmampuan persepsi visuomotor, kehilangan

memori visual dan mengabaikan sisi kiri. Penderita mamberikan

perhatian hanya kepada sesuatu yang berada dalam lapang pandang

yang dapat dilihat (Harsono, 1996).

2. Kelumpuhan sebekah kanan (Hemiparesis Dextra)

Kerusakan pada sisi sebelah kiri otak yang menyebabkan kelemahan

atau kelumpuhan tubuh bagian kanan. Penderita ini biasanya

mempunyai kekurangan dalam kemampuan komunikasi verbal.

Namun persepsi dan memori visuomotornya sangat baik, sehingga

dalam melatih perilaku tertentu harus dengan cermat diperhatikan

tahap demi tahap secara visual. Dalam komunikasi kita harus lebih

banyak amenggunakan body language ( bahasa tubuh) (Harsono,

1996).

3. Kelumpuhan kedua sisi ( Paraparesis)

Karena adanya sclerosis pada banyak tempat, penyumbatan dapat

terjadi pada dua sisi yang mengakibatkan kelumpuhan satu sisi dan di

ikuti satu sisi lain. Timbul gangguan pseudobulber (biasanya hanya

pada vaskuler) dengan tanda-tanda hemiplegic dupleks, sukar menelan,

sukar berbicara dan juga mengakibatkan kedua kaki sulit untuk

digerakkan dan mengalami hiperaduksi (Markam, 1992).

D. Faktor Penyebab Stroke.

1. Faktor yang tidak dapat dikontrol

a. Usia

Setiap manusia akan bertambah umurnya, dengan demikian

kemungkinana terjadinya stroke semakin besar. Pada umumnya resiko

terjadinya stroke mulai usia 35 tahun dan akan meningkat dua kali

dalam tahun berikutnya.

b. Jenis kelamin

Pria memiliki kecenderungan lebih besar terkena serangan stroke

dibandingkan dengan wanita, dengan perbandingan 2:1.

c. Ras/suku bangsa

Para pria kulit hitam lebih cenderung lebih rawan daripada para pria

kulit putih.

d. Faktor keturunan

Seseorang yang mempunyai riwayat stroke dalam keluarganya,

menjadi seseorang yang beresiko tinggi terkena serangan stroke.

2. Faktor yang dapat di kontrol

a. Hipertensi

Faktor ini merupakan resiko utama terjadinya stroke ekkemik dan

pendarahan, yang sering disebut the silent killer, karena hipertensi

meningkatkan terjadinya stroke sebanyak 4-6 kali. Makin tinggi

tekanan darah kemungkinan stroke semakin besar karena terjadinya

kerusakan pada dinding pembuluh darah sehingga memudahkan

terjadinya penyumbatan/perdarahan otak.

b. Diabetes mellitus

Diabetes mellitus atau kencing manis sama bahayanya dengan

hipertensi, yaitu sering menjadi salah satu penyebab timbulnya stroke.

Gula darah yang tinggi dapat menimbulkan kerusakan endotel

pembuluh darah yang berlangsung secara progresif. Pada pria yang

menderita diabetes mellitus, cenderung berada pada posisi yang

beresiko tinggi akan terkena serangan stroke daripada mereka yng

tidak menderita diabetes mellitus, sekalipun penyakit mereka dibawah

pengawasan. Pada orang yang menderita diabetes mellitus, resiko

untuk terkena stroke 1,5-3 kali lebih besar.

c. Penyakit jantung

Hubungan kausal antara beberapa jenis penyakit jantung dan stroke

telah dapat dibuktikan. Gagal jantung kongestif dan penyakit jantung

koroner mempunyai peranan penting dalam terjadinya stroke. Dua

pertiga dari orang yang mengidap penyakit jantung kemungkinan akan

terkena serangan jantung.

d. Merokok

Merokok meningkatkan terjadinya stroke hampir dua kali lipat.

Adapun perokok pasif beresiko terkena stroke 1,2 kali lebih besar.

Nikotin dan karbondioksida yang ada pada rokok menyebabkan

kelainan pada dinding pembuluh darah, disamping itu juga

mempengaruhi komposis darah sehingga mempermudah terjadinya

proses penggumpalan darah (stroke non haemoragik)

e. Obesitas

Obesitas merupakan predisposisi penyakit jantung koroner dan stroke.

Berat badan yang terlalu berlebihan menyebabkan adanya tambahan

beban ekstra pada jantung dan pembuluh-pembuluh darah, hal ini akan

semakin meningkatkan terkena stroke.

f. Alkohol

Konsumsi alkohol dapat menggangu metabolisme tubuh, sehingga

terjadi diabetes mellitus, mempengaruhi berat badan dan tekanan

darah, dapat merusak sel-sel darah tepi, saraf otak dan lain-lain.

Peminum berat alkohol dapat meningkatkan resiko terkena stroke 1-3

kali lebih besar

g. Hipekolesterolemik

Kondisi ini dapat merusak pembuluh darah dan juga menyebabkan

jantung koroner. Kolesterol yang tinggi akan membentuk plak didalam

pembuluh darah dan dapat menyumbat pembuluh darah baik di jantung

maupun diotak (Shimberg, 1998).

E. Akibat Stroke

Penurunan parsial total gerakan lengan dan tungkai, 90%

bermasalah dalam berpikir dan mengingat, 70% menderita depresi, 30 %

mengalami kesulitan bicara, menelan, membedakan kanan dan kiri. Stroke

tak lagi hanya menyerang kelompok lansia, namun kini cenderung

menyerang generasi muda yang masih produktif. Stroke juga tak lagi

menjadi milik warga kota yang berkecukupan , namun juga dialami oleh

warga pedesaan yang hidup dengan serba keterbatasan. Hal ini akan

berdampak terhadap menurunnya tingkat produktifitas serta dapat

mengakibatkan terganggunya sosial ekonomi keluarga. Selain karena

besarnya biaya pengobatan paska stroke , juga yang menderita stroke

adalah tulang punggung keluarga yang biasanya kurang melakukan gaya

hidup sehat, akibat kesibukan yang padat (Pinzon, 2009).

F. Pasca Stroke.

Setelah stroke, sel otak mati dan hematom yang terbentuk akan

diserap kembali secara bertahap. Proses alami ini selesai dalma waktu 3

bulan. Pada saat itu, 1/3 orang yang selamat menjadi tergantung dan

mungkin mengalami komplikasi yang dapat menyebabkan kematian atau

cacat. Hanya 10-15 % penderita stroke bisa kembali hidup normal seperti

sedia kala, sisanya mengalami cacat, sehingga banyak penderita Stroke

menderita stress akibat kecacatan yang ditimbulkan setelah diserang stroke

(Pinzon, 2006).

G. Upaya Pencegahan Stroke

1. Pencegahan primordial

Upaya pencegahan primordial adalah upaya yang dimaksudkan

memberikan kondisi pada masyarakat yang memungkinkan penyakit

stroke tidak meningkat dengan adanya dukungan dasar dari kebiasaan,

gaya hidup dan faktor resiko lainnya, misalnya kebersihan lingkungan,

yaitu terbebas dari polusi seperti asap rokok yang dapat menimbulkan

penyempitan pembuluh darah. Hal ini didukung dengan peraturan

pemerintah tentang bahaya rokok bagi kesehatan, seperti dilarang

merokok ditempat umum terutama ruangan ber-AC dan pada bungkus

rokok.

Hal ini juga bisa dimulai dari membiasakan anak-anak untuk lebih

memilih makanan-makanan tradisonal yang lebih aman dari zat-zat

pengawet dan membatasi mengkonsumsi makanan-makanan siap saji

sehingga dapat mengurangi resiko stroke.

2. Pencegahan primer

Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor

resiko stroke bagi individu yang belum ataupun mempunyai faktor

resiko dengan cara melaksanakan gaya hidup sehat bebas stroke, antara

lain :

a. Gaya hidup : Bebas rokok, stress mental, alkohol, kegemukan,

konsumsi garam yang berlebihan, obat-obat golongan amfetamin,

kokain dan sejenisnya.

b. Lingkungan : kesadaran atas stress kerja, kemungkinan gangguan

Pb,

c. Biologi : perhatian terhadap faktor resiko biologis ( jenis kelamin,

riwayat keluarga) efek aspirin.

d. Palayanan kesehatan : health education dan pemeriksaan tensi,

mengendalikan hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung dan

penyakit vaskuleraterosklerotik.

3. Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder ditujukan bagi mereka yang pernah

menderita stroke. Pada tahap ini ditekankan pada pengobatan

terhadap penderita stroke agar stroke tidak berlanjut menjadi kronik.

Tindakan yang dilakukan adalah :

a. Gaya hidup : manejemen stress, makanan rendah garam, berhenti

merokok, penyesuaian gaya hidup

b. Lingkungan : penggantian kerja jika diperlukan, family

counseling

c. Biologio : pengobatan yang patuh dan cegah efek samping

d. Pelayanan kesehatan : pendidikan pasien dan evaluasi penyebab

sekunder

4. Pencegahan tersier

Tujuan pencegahan adalah untuk mereka yang telah

menderita stroke agar kelumpuhan yang dialami tidak bertambah

berat dan mengurangi ketergantungan pada orang lain dalam

melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Pencegahan dapat

dilakukan dalam bentuk rehabilitasi. Rehabilitasi merupakan

pencegahan tersier yang bertujuan untuk menjaga atau

meningkatkan kemampuan fisik, ekonomi dan kemampuan untuk

bekerja seoptimal mungkin (Thomas, 1995).

REHABILITASI MEDIS PADA STROKE

A. Intervensi Rehabilitasi Medis pada Stroke

Secara umum rehabilitasi pada stroke dibedakan dalam beberapa fase.

Pembagian ini dalam rehabilitasi medis dipakai sebagai acuan untuk

menentukan tujuan (goal) dan jenis intervensi rehabilitasi yang akan

diberikan, yaitu:

1. Stroke fase akut: 2 minggu pertama pasca serangan stroke

2. Stroke fase subakut: antara 2 minggu-6 bulan pasca stroke

3. Stroke fase kronis: diatas 6 bulan pasca stroke

Rehabilitasi Stroke Fase Akut

Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien belum stabil, umumnya

dalam perawatan di rumah sakit, bisa di ruang rawat biasa ataupun di unit

stroke. Dibandingkan dengan perawatan di ruang rawat biasa, pasien yang di

rawat di unit stroke memberikan outcome yang lebih baik. Pasien menjadi

lebih mandiri, lebih mudah kembali dalam kehidupan sosialnya di masyarakat

dan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik. Rehabilitasi pada fase itu tidak

akan di bahas lebih lanjut dalam makalah ini, karena memerlukan penanganan

spesialistik di rumah sakit.

Rehabilitasi Stroke Fase Subakut

Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien umumnya sudah stabil dan

diperbolehkan kembali ke rumah, kecuali bagi pasien yang memerlukan

penanganan rehabilitasi yang intensif. Sebagian kecil (sekitar 10%) pasien

pulang dengan gejala sisa yang sangat ringan, dan sebagian kecil lainnya

(sekitar 10%) pasien pulang dengan gejala sisa yang sangat berat dan

memerlukan perawatan orang lain sepenuhnya. Namun sekitar 80% pasien

pulang dengan gejala sisa yang bervariasi beratnya dan sangat memerlukan

intervensi rehabilitasi agar dapat kembali mencapai kemandirian yang optimal.

Rehabilitasi pasien stroke fase subakut dan kronis mungkin dapat ditangani

oleh pelayanan kesehatan primer. Rehabilitasi fase ini akan dibahas lebih rinci

terutama mengenai tatalaksana sederhana yang tidak memerlukan peralatan

canggih.

Pada fase subakut pasien diharapkan mulai kembali untuk belajar

melakukan aktivitas dasar merawat diri dan berjalan. Dengan atau tanpa

rehabilitasi, sistim saraf otak akan melakukan reorganisasi setelah stroke.

Reorganisasi otak yang terbentuk tergantung sirkuit jaras otak yang paling

sering digunakan atau tidak digunakan. Melalui rehabilitasi, reorganisasi otak

yang terbentuk diarahkan agar mencapai kemampuan fungsional optimal yang

dapat dicapai oleh pasien, melalui sirkuit yang memungkinkan gerak yang

lebih terarah dengan menggunakan energi/tenaga se-efisien mungkin. Hal

tersebut dapat tercapai melalui terapi latihan yang terstruktur, dengan

pengulangan secara kontinyu serta mempertimbangkan kinesiologi dan

biomekanik gerak.

Prinsip-prinsip Rehabilitasi Stroke:

1. Bergerak merupakan obat yang paling mujarab. Bila anggota gerak sisi

yang terkena terlalu lemah untuk mampu bergerak sendiri, anjurkan pasien

untuk bergerak/beraktivitas menggunakan sisi yang sehat, namun sedapat

mungkin juga mengikutsertakan sisi yang sakit.Pasien dan keluarga

seringkali beranggapan salah, mengharapkan sirkuit baru di otak akan

terbentuk dengan sendirinya dan pasien secara otomatis bisa bergerak

kembali. Sebenarnya sirkuit hanya akan terbentuk bila ada “kebutuhan”

akan gerak tersebut. Bila ekstremitas yang sakit tidak pernah digerakkan

sama sekali, presentasinya di otak akan mengecil dan terlupakan.

2. Terapi latihan gerak yang diberikan sebaiknya adalah gerak fungsional

daripada gerak tanpa ada tujuan tertentu. Gerak fungsional misalnya

gerakan meraih, memegang dan membawa gelas ke mulut. Gerak

fungsional mengikutsertakan dan mengaktifkan bagian– bagian dari otak,

baik area lesi maupun area otak normal lainnya, menstimulasi sirkuit baru

yang dibutuhkan. Melatih gerak seperti menekuk dan meluruskan

(fleksiekstensi) siku lengan yang lemah menstimulasi area lesi saja.

Apabila akhirnya lengan tersebut bergerak, tidak begitu saja bisa

digunakan untuk gerak fungsional, namun tetap memerlukan terapi latihan

agar terbentuk sirkuit yang baru.

3. Sedapat mungkin bantu dan arahkan pasien untuk melakukan gerak

fungsional yang normal, jangan biarkan menggunakan gerak abnormal.

Gerak normal artinya sama dengan gerak pada sisi sehat. Bila sisi yang

terkena masih terlalu lemah, berikan bantuan “tenaga” secukupnya dimana

pasien masih menggunakan ototnya secara “aktif”. Bantuan yang

berlebihan membuat pasien tidak menggunakan otot yang akan dilatih

(otot bergerak pasif). Bantuan tenaga yang kurang menyebabkan pasien

mengerahkan tenaga secara berlebihan dan mengikutsertakan otot-otot

lain. Ini akan memperkuat gerakan ikutan ataupun pola sinergis yang

memang sudah ada dan seharusnya dihindari. Besarnya bantuan “tenaga”

yang diberikan harus disesuaikan dengan kemajuan pemulihan pasien.

4. Gerak fungsional dapat dilatih apabila stabilitas batang tubuh sudah

tercapai, yaitu dalam posisi duduk dan berdiri. Stabilitas duduk dibedakan

dalam stabilitas duduk statik dan dinamik. Stabilitas duduk statik tercapai

apabila pasien telah mampu mempertahankan duduk tegak tidak bersandar

tanpa berpegangan dalam kurun waktu tertentu tanpa jatuh/miring ke salah

satu sisi. Stabilitas duduk dinamik tercapai apabila pasien dapat

mempertahankan posisi duduk sementara batang tubuh doyong ke arah

depan, belakang, ke sisi kiri atau kanan dan atau dapat bertahan tanpa

jatuh/miring ke salah satu sisi sementara lengan meraih ke atas, bawah,

atau samping untuk suatu aktivitas. Latihan stabilitas batang tubuh

selanjutnya yaitu stabilitas berdiri statik dan dinamik. Hasil latihan ini

memungkinkan pasien mampu melakukan aktivitas dalam posisi berdiri.

Kemampuan fungsional optimal dicapai apabila pasien juga mampu

melakukan aktivitas sambil berjalan.

5. Persiapkan pasien dalam kondisi prima untuk melakukan terapi latihan.

Gerak fungsional yang dilatih akan memberikan hasil maksimal apabila

pasien siap secara fisik dan mental. Secara fisik harus diperhatikan

kelenturan otot-otot, lingkup gerak semua persendian tidak ada yang

terbatas, dan tidak ada nyeri pada pergerakan. Secara mental pasien

mempunyai motivasi dan pemahaman akan tujuan dan hasil yang akan

dicapai dengan terapi latihan tersebut. Kondisi medis juga menjadi salah

satu pertimbangan. Tekanan darah dan denyut nadi sebelum dan sesudah

latihan perlu dimonitor. Lama latihan tergantung pada stamina pasien.

Terapi latihan yang sebaiknya adalah latihan yang tidak sangat

melelahkan, durasi tidak terlalu lama (umumnya sekitar 45-60 menit)

namun dengan pengulangan sesering mungkin.

6. Hasil terapi latihan yang diharapkan akan optimal bila ditunjang oleh

kemampuan fungsi kognitif, persepsi dan semua modalitas sensoris yang

utuh. Rehabilitasi fisik dan rehabilitasi fungsi kognitif tidak dapat

dipisahpisahkan. Mengembalikan kemampuan fisik seseorang harus

melalui kemampuan kognitif, karena rehabilitasi pada prinsipnya adalah

suatu proses belajar, yaitu belajar untuk mampu kembali melakukan suatu

aktivitas fungsional dengan segala keterbatasan yang ada.

Intervensi rehabilitasi pada stroke fase subakut ditujukan untuk:

a. Mencegah timbulnya komplikasi akibat tirah baring

b. Menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memungkinkan pemulihan

fungsional yang paling optimal

c. Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari

d. Mengembalikan kebugaran fisik dan mental

B. Mencegah Komplikasi Akibat Tirah Baring

Pasien yang pulang ke rumah sebelum mencapai kemampuan duduk stabil

serta mulai belajar berdiri dan jalan, cenderung akan lebih lama masa tirah

baringnya di rumah. Keluarga seringkali “memanjakan” pasien dengan

membantu secara berlebihan dan menjadikan pasien terbaring pasif

“menunggu kondisi menjadi lebih baik, dan gerak menjadi lebih mudah”.

Akan tetapi tirah baring lama menyebabkan pasien bertambah lemah, lebih

cepat lelah karena stamina makin rendah, gerak semakin bertambah berat

karena semua anggota gerak menjadi kaku dan timbul komplikasi-komplikasi

lain. Keluarga dan pasien harus disadarkan bahwa tirah baring berkelanjutan

akan lebih banyak membawa dampak buruk dari pada baik.

Selain itu pemulihan fungsional mempunyai “periode emas” yang terbatas

waktunya; stimulasi yang diberikan pada 3 bulan pertama akan lebih

memberikan hasil dibandingkan fase kronis, dan tentu tidak boleh disia-

siakan. Pasien harus diberikan motivasi untuk selalu aktif melakukan aktivitas

sesuai dengan kemampuan yang ada. Terapi latihan diprogramkan dengan

durasi dan frekuensi latihan secara bertahap ditingkatkan.

Menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memungkinkan pemulihan

fungsional yang paling optimal Berbagai komplikasi dapat timbul setelah

stroke yang dapat membatasi pemulihan kemampuan fungsional yang

seharusnya dapat dicapai. Karena kondisi tersebut sebagian besar dapat

dicegah, maka meningkatkan pemahaman keluarga dan pasien sangat penting

dan krusial.

1. Mencegah pemendekan otot dan kontraktur sendi

Fungsi otot bergerak (berkontraksi) memendek dan memanjang. Bila otot

diam pada satu posisi tertentu dalam waktu lama kelenturannya akan

hilang. Otot akan kaku pada posisi tersebut, sulit dan memerlukan tenaga

lebih besar untuk kontraksi memendek ataupun memanjang. Demikian

pula berlaku pada sendi, yang akan menjadi kering dan kaku. Kedua

kondisi ini membuat pasien yang karena kelumpuhannya sudah sulit

bergerak menjadi tambah tidak mungkin bergerak. Latihan mencapai

lingkup gerak penuh pada semua persendian disertai latihan regangan otot

sedikitnya 2 kali per hari diperlukan.

2. Mencegah spastisitas dan pola gerak sinergis berlebihan

Setelah stroke akan terbentuk spastisitas dan pola gerak khas yaitu pola

sinergis fleksor atau ekstensor (Tabel 6). Pada umumnya, akan terbentuk

pola sinergis fleksor pada ekstremitas atas sedangkan pada ekstremitas

bawah pola sinergis ekstensor. Spastisitas dan pola gerak sinergis tidak

dapat dihilangkan akan tetapi perlu dikontrol agar tidak berlebihan dan

mengganggu gerak fungsional yang akan dilatih. Pemberian posisi yang

tepat sebagai antisipasi sudah harus dimulai sejak awal dan diterapkan

dalam seluruh aktivitas.

Posisi antisipasi adalah posisi sebaliknya dari pola gerak yang akan

timbul. Pada ekstremitas atas misalnya, cenderung timbul spastisitas

fleksor, maka lengan diupayakan selalu dalam posisi ekstensi apabila tidak

sedang latihan. Pasien diberikan motivasi secara sadar menggunakan

posisi antisipasi pada saat tidur, duduk serta berdiri dan bergerak. Pasien

seringkali lebih memilih posisi yang menyenangkan baginya. Posisi yang

menyenangkan dan terasa nyaman belum tentu merupakan posisi yang

baik untuknya.

3. Mencegah timbulnya nyeri.

Nyeri sering terjadi setelah stroke dan sangat mengganggu terapi latihan.

Nyeri dapat merupakan akibat atau komplikasi dari stroke. Lesi yang

mengenai area talamus seringkali menimbulkan nyeri yang disebut sebagai

thalamic pain syndrome. Nyeri jenis itu disebabkan oleh gangguan

sensorik sentral dimana interpretasi stimulus yang datang dari luar

diterima sebagai rasa nyeri di otak. Sayangnya nyeri tersebut tidak selalu

mudah diatasi, namun dapat dicoba dengan pemberian trisiklik

antidepresan atau antikonvulsan. Sebagian besar nyeri pasca stroke

merupakan nyeri muskuloskeletal, terutama pada bahu sisi yang terkena.

Penyebab utamanya seringkali adalah penanganan bahu yang salah atau

kurang tepat, seperti dalam penempatan bahu saat tidur miring ke sisi sakit

sehingga bahu tertindih tubuh, atau saat duduk bahu tidak tersanggah

dengan baik. Saat membantu pasien pindah tempat (transfer) dan saat

membantu dalam aktivitas sehari-hari, misalnya berpakaian (Gambar 3),

ataupun cara melatih yang salah pada bahu sisi yang lumpuh,

menyebabkan terjadinya tendinitis, kapsulitis, cedera otot-otot gelang

bahu, nyeri miofascial, dan atau nyeri neuropatik. Kontraktur sendi dan

spastisitas juga dapat menimbulkan nyeri saat otot digerakkan.

Pencegahan merupakan upaya utama daripada mengobati yang telah

terjadi. Edukasi untuk mencapai pemahaman mengenai pemberian posisi

yang tepat, cara membantu pasien dalam transfer atau aktivitas sehari-hari

serta cara berlatihan oleh karena itu sangat penting diberikan pada pasien

dan keluarganya.

C. Terapi Latihan untuk Kemandirian dalam Melakukan Aktivitas Sehari-

hari

Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari

setelah stroke merupakan fokus utama rehabilitasi stroke fase subakut. Terapi

latihan dan remediasi yang diberikan merupakan paduan latihan sederhana dan

latihan spesifik menggunakan berbagai metode terapi dan melibatkan berbagai

disiplin ilmu. Menentukan jenis, metode pendekatan, waktu pemberian,

frekuensi dan intensitas terapi yang tepat harus disesuaikan dengan kondisi

medis pasien.

Selain itu terapi latihan fungsional baru efektif apabila terpenuhi

beberapa kondisi yaitu:

1. Tidak ada nyeri, keterbatasan gerak sendi atau pemendekan otot. Apabila

ada, maka kondisi tersebut perlu diatasi terlebih dahulu.

2. Pasien memahami tujuan dan hasil yang akan dicapai melalui latihan yang

diberikan. Kesulitan pemahaman terjadi pada pasien afasia sensorik dan

gangguan kognitif. Pemberian stimulasi untuk kemampuan pemahamanan

bahasa dan persepsi pasien diintegrasikan ke dalam terapi latihan.

Gangguan Komunikasi

Kemampuan manusia berkomunikasi satu sama lain melibatkan

bermacam-macam fungsi, yang utama adalah kemampuan berbahasa dan

berbicara. Gangguan fungsi bahasa disebut sebagai afasia sedangkan

gangguan fungsi bicara disebut disartria.

1. Afasia

Afasia didefinisikan sebagai gangguan untuk memformulasikan dan

menginterpretasikan simbol bahasa. Afasia terjadi sebagai akibat adanya

lesi pada mekanisme bahasa di sistem saraf pusat, umumnya di hemisfer

dominan. Kemampuan berbahasa seseorang dibedakan antara lain:

a. kemampuan mengekspresikan bahasa verbal (bicara spontan)

b. kemampuan memahami bahasa verbal (pemahaman auditori)

c. kemampuan mengekspresikan bahasa melalui tulisan (bahasa simbol)

d. kemampuan memahami bahasa tulisan/membaca (pemahamanan visual)

e. menamakan

f. meniru

Stroke dapat mengakibatkan gangguan pada salah satu beberapa atau

bahkan semua kemampuan berbahaya (afasia global). Secara umum afasia

dibedakan menjadi afasia motorik, afasia sensorik, afasia transkortikal

sensorik, afasia transkortikal motorik, afasia anomik dan afasia global.

Kemampuan pemahaman bahasa menjadi indikator penting untuk

kemandirian aktivitas fungsional, artinya semakin berat gangguan afasia

sensorik yang diderita, semakin sulit tercapai kemandirian dalam aktivitas

sehari-hari.

Pasien afasia harus diajak berbicara dengan suara biasa afasia bukan

gangguan pendengaran, jadi tidak perlu berteriak keras). Selain itu, jangan

terlalu cepat dan dengan kalimat pendek yang mengandung satu informasi

saja dalam setiap kalimat. Akan lebih bermanfaat apabila stimulasi

auditori (bahasa verbal) yang diberikan secara simultan dengan stimulasi

visual (bahasa tulisan atau gambar-gambar). Pasien afasia jangan diajarkan

mengeja huruf, karena akan membuat pasien frustasi. Mengeja merupakan

fungsi hemisfer kiri yang justru terganggu. Stimulasi melalui lagu,

menyanyikan dan menyuarakan syair lagu yang sudah pasien kenal

sebelum sakit akan lebih bermanfaat.

2. Disartria

Disartria didefinisikan sebagai gangguan dalam mengekspresikan

bahasa verbal, akibat kelemahan, spastisitas dan atau gangguan koordinasi

pada organ bicara dan artikulasi. Parameter bicara yang terkena pada

disatria antara lain respirasi, fonasi/suara, artikulasi, resonansi dan prosodi.

Tergantung letak lesi disatria dibedakan atas disatria flaksid, spastik,

ataksik, hipokinetik dan hiperkinetik.

Terapi latihan diberikan sesuai dengan penyebab disatria, antara lain

untuk memperbaiki kontrol pernapasan, meningkatkan kelenturan dan

penguatan organ bicara dan artikulasi termasuk otot wajah, otot leher dan

otot pernapasan.

Gangguan Fungsi Luhur

Fungsi kortikal luhur merupakan fungsi yang paling luhur pada manusia,

yang membedakan manusia dengan mahkluk Tuhan lainnya. Kerja fungsi ini

melibatkan jaringan yang rumit dan kompleks serta sulit untuk dipisahkan

karena saling terkait satu sama lain. Untuk memudahkan pemahaman, fungsi

kortikal luhur dibedakan menjadi fungsi berbahasa, fungsi memori, fungsi

visuospasial, fungsi emosi dan fungsi kognisi. Fungsi kognisi seseorang

memerlukan intaknya fungsi kortikal luhur yang lain. Fungsi kognisi antara

lain kemampuan atensi, konsentrasi, registrasi, kategorial, kalkulasi, persepsi,

proses pikir, perencanaan, tahapan serta pelaksanaan aktivitas/tugas,

pertimbangan baik buruk, bahaya tidak bahaya, pemecahan masalah dan lain

sebagainya.

Pasien stroke disertai gangguan fungsi luhur memerlukan rehabilitasi

spesifik. Rehabilitasi untuk mengembalikan kemampuan fungsional (karena

ada gangguan fungsi kognisi) tersebut lebih sulit dan memerlukan waktu lebih

lama. Salah satu yang perlu mendapat perhatian adalah hemi-neglect. Pasien

dengan gangguan hemi-neglect umumnya mempunyai lesi di hemisfer kanan

dan mengabaikan semua yang berada di sisi kirinya. Pasien tersebut seringkali

berjalan menabrak pintu yang ada di sebelah kiri, jatuh tersandung benda yang

berada di sisi kiri, atau tidak menyadari ada makanan atau minuman yang

diletakkan di sisi kirinya. Gangguan hemi-neglect paling parah adalah ia tidak

mengenali tangan kirinya sebagai bagian dari tubuhnya. Gangguan ini tidak

sama dengan hemianopsia, dimana lapang pandang pasien menjadi terbatas.

Gangguan Menelan

Gangguan menelan disebut sebagai disfagia. Insiden gangguan menelan

akibat stroke cukup banyak berkisar antara 30-65%.2,11,12 Sekitar 30% akan

pulih dalam 2 minggu, sisanya akan pulih dalam bulan-bulan berikutnya.

Disfagia merupakan gejala klinis penting karena menempatkan pasien pada

risiko aspirasi dan pneumonia, selain dehidrasi dan malnutrisi. Suara pasien

yang serak basah perlu dicurigai adanya gangguan menelan. Mendeteksi

adanya disfagia dapat dilakukan melalui pemeriksaan sederhana sebagai

berikut:

a. Pasien mampu memahami tujuan tes ini dan kooperatif.

b. Posisikan pasien duduk tegak. Apabila belum ada keseimbangan duduk,

perlu diberikan tunjangan bantalan agar dapat mempertahankan posisi

duduk dengan baik.

c. Berikan satu sendok teh (5 ml) air dingin, minta pasien untuk menelan

dengan kepala sedikit menunduk.

d. Perhatikan apakah pasien mampu menutup bibir saat mencoba menelan.

e. Lihat atau lakukan palpasi dengan meletakan jari pada laring, rasakan

apakah terjadi elevasi laring yang menunjukan terjadinya proses menelan.

Monitor apakah ada keterlambatan atau terjadi proses menelan yang

inkomplit.

f. Minta pasien untuk menyuarakan huruf “aaaa.....” Monitor suara yang

terdengar kering atau basah/serak.

g. Minta pasien berusaha membatukkan lendir, ulangi menyuarakan huruf

aaa.... Monitor kembali bagaimana suara yang terdengar. Apabila ternyata

pasien tidak dapat menelan atau suara menjadi basah, maka makan dan

minum per oral harus dihentikan. Pasien memerlukan pemeriksaan fungsi

menelan lebih lanjut dengan VFSS (video fluorosgraphic swallow study)

atau FEES (fiberoptic endoscopic evaluation of swallowing)

Gangguan Fungsi Miksi dan Defekasi

Gangguan miksi yang terjadi pada stroke umumnya adalah uninhibited

bladder yang menimbulkan inkontinensia urin. Walaupun pasien kelihatannya

mampu miksi, namun harus tetap dievaluasi apakah urin keluar tuntas, artinya

residu sisa dalam kandung kemih setelah miksi kurang dari 50-80 ml. Sisa

urin yang terlalu banyak akan menyebabkan timbulnya infeksi kandung

kemih. Pasien inkontinensia karena uninhibited bladder dapat diatasi dengan

manajemen waktu berkemih. Catat waktu serta jumlah minum dan urine pada

voiding diary selama minimal 3 hari berturut-turut. Berdasarkan voiding diary

tersebut dapat ditentukan kapan pasien setiap kali harus berkemih dengan

pengaturan minum yang sesuai. Apabila frekuensi miksi terlalu sering, obat

seperti antikolinergik dapat membantu, namun hati-hati dengan risiko

timbulnya retensio urin.

Gangguan defekasi pada stroke fase subakut pada umumnya adalah

konstipasi akibat immobilisasi. Perlu diingat bahwa diare yang timbul

kemudian selain gastroenteritis juga bisa disebabkan oleh adanya skibala,

terutama bila didahului oleh obstipasi lama sebelumnya. Sarankan pasien

untuk banyak bergerak aktif, berikan cukup cairan (sekitar 40 ml/kg BB

ditambah 500 ml air/cairan bila tidak ada kontraindikasi), serta makan

makanan berserat tinggi. Bila perlu obat laksatif dapat diberikan.

Gangguan Berjalan

Ambulasi jalan merupakan suatu aktivitas komplex yang memerlukan

tidak hanya kekuatan otot ekstremitas bawah saja, tetapi juga kemampuan

kognitif, persepsi, keseimbangan dan koordinasi. Terapi latihan menuju

ambulasi jalan perlu diberikan bertahap, dimulai dari kemampuan

mempertahankan posisi duduk statik dan dinamik, keseimbangan berdiri statik

dan dinamik kemudian latihan berjalan. Dalam latihan berdiri perlu selalu

diperhatikan bahwa panggul harus pada posisi ekstensi 00, lutut mengunci

pada posisi ekstensi 00 sedangkan pergelangan kaki dalam posisi netral 900 .

Pastikan berat badan tertumpu juga pada tungkai sisi yang sakit. Paralel bar

yaitu palang dari besi, kayu atau bambu yang dipasang sejajar merupakan

tempat latihan jalan yang paling baik. Letakan kaca setinggi tubuh di depan

paralel bar agar pasien dapat melihat sendiri postur berdiri serta jalannya dan

melakukan koreksi secara aktif. Apabila jalan sudah cukup stabil di dalam

paralel bar, maka latihan jalan dapat dilanjutkan dengan memakai tripod, yaitu

tongkat yang ujung bawahnya bercabang tiga. Untuk memperbaiki stabilitas

jalan, tidak jarang diperlukan perespon splint kaki (dynamic foot orthosis) atau

sepatu khusus.

Gangguan Melakukan Aktivitas Sehari-hari

Pasien yang telah kembali ke rumah seharusnya di motivasi untuk

mengerjakan semampunya aktivitas perawatan dirinya sendiri. Apabila sisi

kanan yang terkena, pasien dapat diajarkan untuk menggunakan tangan

kirinya untuk semua aktivitas. Pastikan juga tangan yang sakit diikutsertakan

dalam semua kegiatan (Gambar 4). Semakin cepat dibiarkan melakukannya

sendiri, semakin cepat pula pasien menjadi mandiri. Hanya aktivitas yang

dapat menimbulkan risiko jatuh atau membahayakan pasien sendiri yang perlu

ditolong oleh keluarga.

Mengembalikan Kebugaran Fisik dan Mental

Pasien stroke seringkali mengeluh cepat lelah. Ia selalu berupaya untuk

sedikit bergerak dan lebih banyak istirahat. Keluarga seringkali membenarkan

perilaku seperti itu, menganggap biasa karena pasien baru pulang rawat dan

mengharapkan kondisi seperti ini akan bertambah baik. Kenyataannya pasien

akan semakin cepat lelah bahkan untuk aktivitas yang kecil sekalipun, seperti

misalnya duduk beberapa menit di kursi roda. Hal tersebut disebabkan oleh

endurans pasien menjadi rendah karena immobilisasi lama. Selain itu, adanya

kelemahan otot menyebabkan tenaga yang diperlukan untuk bergerak lebih

besar dari biasanya. Kedua kondisi tersebut menyebabkan pasien menjadi

cepat lelah. Terapi yang terbaik adalah biasakan pasien sejak awal aktif

semampunya. Pasien jangan dibiarkan istirahat berkepanjangan. Pasien

dianjurkan agar sering duduk, bukan duduk di tempat tidur melainkan duduk

di kursi di luar kamar tidur. Waktu aktif dan istirahat dijadwalkan secara

proporsional sesuai dengan kondisi pasien. Pasien dimotivasi untuk selalu

makan di kamar makan bersama keluarga dan dibiarkan untuk mengambil

makananan pilihannya sendiri. Pasien selalu dilibatkan dalam aktivitas

keluarga bahkan bagi pasien dengan afasia. Pasien diajak berlatih yang

bertargetkan hasil misalnya melempar bola masuk ke keranjang, bowling

kecil, main catur atau halma. Kegiatan tersebut awalnya mungkin hanya

sebentar, namun bila dilakukan sesering mungkin akan memperbaiki/

meningkatkan endurans pasien. Latihan endurans dengan beban ringan

selanjutnya dapat dimulai misalnya dengan latihan mengayuh sepeda statik

atau menggunakan theraband atau karet ban dalam bekas.

Suasana hati yang murung juga membuat pasien merasa cepat lelah dan

bosan. Berikan sedikit demi sedikit peran dan tanggung jawab serta

ungkapkan selalu bahwa peran serta pasien sangat dibutuhkan oleh keluarga.

Dengan demikian pasien akan merasa dirinya masih berharga dan berguna

bagi orang lain.

Rehabilitasi Stroke Fase Kronis

Program latihan untuk stroke fase kronis tidak banyak berbeda dengan

fase sebelumnya. Hanya dalam fase ini sirkuit-sirkuit gerak/aktivitas sudah

terbentuk, membuat pembentukan sirkuit baru menjadi lebih sulit dan lambat.

Hasil latihan masih tetap dapat berkembang bila ditujukan untuk

memperlancar sirkuit yang telah terbentuk sebelumnya, membuat gerakan

semakin baik dan penggunaan tenaga semakin efisien. Latihan endurans dan

penguatan otot secara bertahap terus ditingkatkan, sampai pasien dapat

mencapai aktivitas aktif yang optimal. Tergantung pada beratnya stroke, hasil

luaran rehabilitasi dapat mencapai berbagai tingkat seperti (a) Mandiri penuh

dan kembali ke tempat kerja seperti sebelum sakit, (b) Mandiri penuh dan

bekerja namun alih pekerjaan yang lebih ringan sesuai kondisi, (c) Mandiri

penuh namun tidak bekerja, (d) Aktivitas sehari-hari perlu bantuan minimal

dari orang lain atau (e) Aktivitas sehari-hari sebagian besar atau sepenuhnya

dibantu orang lain.

DAFTAR PUSTAKA

1. De Freitas GR, Bezerra DC, Maulaz AB, Bogousslavsky J. Stroke:

background, epidemiology, etiology and avoiding recurrence. In: Barnes M,

Dobkin B and Bogousslavsky J. (ed.) Recovery after Stroke. Cambridge,

Cambridge University Press, 2005:1-46.

2. Brammer CM, Herring GM. Stroke Rehabilitation. In: Brammer CM, Spires

MC. (ed). Manual of Physical Medicine and Rehabilitation. Philadelphia,

Hanley & Belfus, Inc., 2002:139-66.

3. Bronstein SC, Popovich JM, Stewart-Amidei C. Promoting Stroke Recovery.

A Research-Based Approach for Nurses. St.Louis, Mosby-Year Book, Inc.,

1991:13-24.

4. Bartels MN. Pathophysiology and Medical Management of Stroke. In: Gillen

G, Burkhardt A.(ed). Stroke Rehabilitation. A Functional-Based Approach. St.

Louis, Mosby-Year Book, Inc., 1998:1-30.

5. Graham A. Measurement in stroke: activity and quality of life. In: Barnes M,

Dobkin B and Bogousslavsky J. (ed.) Recovery after Stroke. Cambridge,

Cambridge University Press, 2005:135-60.

6. O’Dell MW, Lin CD, Panagos A and Fung NQ. The Physiatric History and

Physical Examination. In: Braddom RL (ed). Physical Medicine &

Rehabilitation. 3rd. Edition. Elsevier, WB Saunders Company, 2007:1-36.

7. Granger CV, Black T and Braun SL. Quality and Outcome Measures for

Medical Rehabilitation. In: Braddom RL (ed). Physical Medicine &

Rehabilitation. 3rd. Edition. Elsevier, WB Saunders Company, 2007:151-64.

8. Wade DT. Measurement in Neurological Rehabilitation. Oxford, Oxford

University Press, 1994:3-14,26-34.

9. Wood-Dauphinee S, Kwakkel G. The impact of rehabilitation on stroke

outcomes: what is the evidence? In: Barnes M, Dobkin Band Bogousslavsky J.

(ed.) Recovery after Stroke. Cambridge, Cambridge University Press,

2005:161-88.

10. Tong HC, Brammer CM. Deconditioning and Bed Rest. In: Brammer CM,

Spires MC.(ed). Manual of Physical Medicine and Rehabilitation.

Philadelphia, Hanley & Belfus, Inc., 2002:221-9.

11. Harvey RL, Roth EJ, Yu D. Rehabilitation in Stroke Syndromes. In: Braddom

RL (ed). Physical Medicine & Rehabilitation. 3rd. Edition. Elsevier, WB

Saunders Company, 2007:1175-212.

12. Harwood R. Huwez F, Good D. Stroke Care. A Practical Manual. Oxford,

Oxford University Press, 2005.

top related