kajian intertekstual sosial dalam novel hujan ...abstrak intan prasasti nur. 2018.kajian...
Post on 26-Nov-2020
8 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KAJIAN INTERTEKSTUAL SOSIAL DALAM NOVEL HUJAN
BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO DAN
MADRASAH CINTA KARYA AYU NESIA
SKRIPSI
DiajukanSebagai Salah
SatuSyaratuntukMemperolehGelarSarjanaPendidikanBahasadanSastra
Indonesia
Oleh
INTANPRASASTINUR
10533773414
JURUSANPENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2018
vii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak
menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah.
Tiadanya keyakinanlah yang membuat orang takut menhgadapi tantangan dan
saya percaya pada diri sendiri.
Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum jika bukan kaum itu
merubahya sendiri olehnya itu tetaplah berjuang dan berusaha semaksimal
mungkin. Karena, manusia tidak merancang untuk gagal, mereka gagal untuk
merancang.
ABSTRAK
INTAN PRASASTI NUR. 2018.Kajian Intertekstual Sosial dalam Novel
Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono dan Madrasah Cinta Karya Ayu
Nesia. Skripsi. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar.
Dibimbing oleh Andi Sukri Syamsuri dan Syekh Adiwijaya Latief.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui intertekstual sosial dalam novel
“Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono dan Madrasah Cinta karya Ayu
Nesia dan dikemukakan pula persamaan dan perbedaan dalam kedua novel
tersebut. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Data penelitian
ini adalah keterangan yang di jadikan objek kajian baik melalui setiap kata
maupun kalimat ungkapan sebagai pendukung intertekstual sosial dalam novel.
Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono dan Madrasah Cinta karya Ayu
Neisa. Pengumpulan data ini dilakukan dengan teknik pustaka, yaitu mnggunakan
sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam novel Hujan Bulan Juni
ditemukan tujuh kalimat yang termasuk kajian intertekstual sosial dan pada novel
Madrasah Cinta terdapat lima kalimat.
Kata kunci: Struktur Novel, Kajian Intertekstual Sosial, Persamaan dan Perbedan
KATA PENGANTAR
Pujidan syukurpatutlahdipanjatkanataskehadirat Allah Swt yang
telahmelimpahkanrahmatdanhidayah-Nya, sehinggapenulisdapatmenyelesaikan
proposal inidenganjudul “KajianIntertekstualSosial dalamNovel
HujanBulanJuniKaryaSapardiDjokoDamono danMadrasah
CintaKaryaAyuNesia”. Sholawatsertasalamjugasemogasenantiasa Allah
curahkankepadajunjungankitaNabibesar Muhammad SAW
kepadasahabatkeluarga, sertaummat yang istiqomahberada di jalan-Nya.
Penulis
menyadaridalampenyusunanskripsiinihambatandankesulitanselalupenulistemui,
namun hanyaatasizin-Nyasertabimbingan, dorongan,
danbantuandariberbagaipihakakhirnyaskripsiinidapatterselesaikan.Pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada ayahanda Bado bunda Anni yang tulus dan ikhlas membesarkan,
mendidik, membiayai, dan memberikan kasih sayang tiada tara serta selalu
mendoakan demi kesuksesan penulis dalam meraih cita-cita, serta keluarga yang
turut memberikan motivasi dan selalu mendoakan ananda selama proses
pendidikan hingga penyusunan skripsi ini. Tidak lupa pula penulis mengucapkan
banyak terimakasih kepada Bapak Dr. Andi Sukri Syamsuri, M.Hum., selaku
Pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan,
dan memberikan petunjuk sehingga skripsi ini dapat selesai. Kepada
x
BapakSyekhAdiwijaya Latief, S.Pd., M.Pd., II yang telah memberikan bimbingan,
pengarahan, bantuan serta petunjuk dalam penyusunan skripsi ini.
Ucapan terimakasih kepada Dr. H. Abd Rahman Rahim, SE., MM. rektor
Universitas Muhammadiyah Makassar, Erwin Akib, S.Pd., M.Pd., Ph. D. dekan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammdiyah Makassar
dan Dr. Munirah, M.Pd. ketua jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas
Muhammadiyah Makassar.
Teman-teman seperjuangan di Universitas Muhammadiyah Makassar,
FKIP jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2018 kelas E khususnya
Rosita dan Isma Indah yang selama ini membantu peneliti selama menempuh
studi. Ucapan teristimewa kepada sahabatku Nurhazanah Ismail,Ita Wahyuni
Yusuf, Sidratul Muntaha, Mariana,Nurfitri Mahzanah, dan Henny Hardiyantiyang
telah memberikan dukungan, motivasi, dan semangat kepada penulis.
Segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan oleh semua pihak
semoga mendapatkan imbalan dari Allah Swt. Penulis berharap skripsi ini bisa
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Makassar, Juli 2018
PENULIS
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING................................................................. iii
SURAT PENYATAAN .................................................................................. iv
SURAT PERJANJIAN .................................................................................. v
MOTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................... vi
ABSTRAK ...................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
BAB 1 PENDAHULUAN
A. LatarBelakang ...................................................................................... 1
B. FokusPenelitian .................................................................................... 7
C. TujuanPenelitian .................................................................................. 8
D. ManfaatPenelitian ................................................................................ 8
E. PenegasanIstilah ................................................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. TinjauanPustaka ................................................................................... 11
1. PenelitianYang Relevan ................................................................. 11
2. Sastra .............................................................................................. 17
3. PengertianNovel ............................................................................. 18
4. Interstektual .................................................................................... 48
5. Sosial .............................................................................................. 55
B. Kerangkapiker ...................................................................................... 56
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan DesainPenelitian ................................................................... 58
B. Data dan Sumber Data ......................................................................... 58
C. TeknikPengumpulan Data .................................................................... 59
D. TeknikAnalisis Data ............................................................................. 60
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian .............................................................................. 61
B. Pembahasan .................................................................................... 71
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan .............................................................................................. 77
B. Saran .................................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN - LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra adalah suatu hasil karya sastra yang cukup banyak
terdapat di Indonesia.Perkembangan karya sastra di Indonesia bukan hanya
pada saat ini saja, tetapi juga sudah ada sejak lama.Perkembangan ini
membuat karya sastra di Indonesia masih bertahan sampai saat ini. Pradopo
(dalam Salfia, 2015) mengatakan karya sastra adalah termasuk karya seni,
seperti halnya karya-karya seni lainnya: seni musik, seni lukis, seni tari, dan
sebagainya, di dalamnya sudah mengandung penilaian seni. Dan kata seni ini
berhubungan dengan pengertian “indah” atau “keindahan”, kembali pada
karya sastra, karya sastra sebagai karya seni memerlukan pertimbangan,
memerlukan penilaian akan seninya.
Karya sastra mempersoalkan berbagai masalah kehidupan manusia
dalam interaksinya dengan sesama makhluk hidup dan lingkungannya.
Karya sastra merupakan hasil dialog, renungan, dan reaksi pengarang
terhadap lingkungan dan kehidupan. Walau berupa khayalan, tidak benar
jika karya sastra dianggap sebagai hasil kerja lamunanbelaka, melainkan
penghayatan dan perenungan secara intens, perenungan terhadap hakikat
hidup dan kehidupan, perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran
dan tanggung jawab.Karya sastra yang dihasilkan pengarangselalu
menampilkan konflik yang memiliki karakter sehingga karya sastra juga
menggambarkan kejiwaan manusia, walaupun pengarang hanya
2
menampilkan konflik itu secara fiksi.Dengan kenyataan tersebut, karya
sastra selalu terlibat dalam segala aspek hidup dan kehidupan.Salah satu
bentuk karya sastra adalah novel.
Novel merupakan salah satu dari karya sastra bersifat kreatif
imajinatif yang menceritakanpersoalan kehidupan manusia secara kompleks
dengan berbagai konflik, sehingga pembaca memperoleh pengalaman-
pengalaman baru tentang kehidupan.Novel adalah karya fiksi yang dibangun
dari berbagai unsur intrinsiknya.Unsur-unsur tersebut sengaja dipadukan
pengarang dan dibuat mirip dengan duniayang nyata lengkap dengan
peristiwa dan konflik di dalamnya, sehingga tampak seperti sungguh-
sungguh adadan sungguh-sungguh terjadi.Unsur intrinsik sebuah novel
adalah unsur yang membangun sebuah cerita. Novel merupakan gambaran
hidup tokoh yang menceritakan hampir keseluruhan perjalanan hidup
tokoh.Perjalanan tokoh dalam novel digambarkan dengan lengkap atau jelas
oleh pengarang.Setiap tokoh juga diberi gambaran fisik, konflik, dan
kejiwaan yang berbeda-beda sehingga cerita tersebut seperti nyata atau
menjadi hidup.
Alasan memilih judul karena, adanya keterkaitan penulis di bidang
sastra mengarah pada sastra tulisan. Dan luasnya cakupan sastra tulisan,
maka penulis membatasi objek penelitiannya pada sastra tulisan yang
berjenis prosa fiksi, khususnya cerita (novel). Cerita rekaan menawarkan
berbagai permasalahan manusia dan kehidupan yang melingkupinya. Bahan
penciptaan cerita rekaan dapat diambil dari kehidupan sosial masyarakat.
3
Penelitian ini akan mengkaji novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi
Djoko Damono dan Madrasah Cinta karya Ayu Nesia dengan pendekatan
Intertekstual sosail. Penelitian Intertekstual merupakan bagian dari kritik
sastra yang mengakaji hubungan antara karya sastra yang satu dengan yang
lain, serta hubungan antara sastra dengan bidang lainnya sebagai
hipogramnya. Sastra bandingan adalah sebuah studi teks across
cultural.Studi ini merupakan upaya interdisipliner, yakni lebih banyak
memperhatikan hubungan sastra menurut aspek waktu dan tempat.Dari
aspek waktu, sastra bandingan dapat membandingkan dua atau lebih periode
yang berbeda. Sedangkan konteks tempat, akan mengikat sastra bandingan
menurut wilayah geografis sastra. Konsep ini merepresentasikan bahwa
sastra bandingan memang cukup luas. Bahkan, pada perkembangan
selanjutnya, konteks sastra bandingan tertuju pada bandingan sastra dengan
bidang lain.
Sastra perbandingan adalah wilayah keilmuan sastra yang
mempelajari keterkaitan antar sastra dan perbandingan sastra dengan bidang
lain. Jalin-menjalin antar karya sastra sangat dimungkinkan, karena setiap
pengarang menjadi bagian penulisan ini.Ilmu sastra menjadi pijakan sastra
bandingan. Oleh karena, melalui ilmu sastra tersebut akan dilihat apakah
karya satu dengan yang lain saling bersinggungan atau tidak.
Penelitian interteks sebenarnya bagian dari sastra bandingan.Interteks
memang lebih sempit dibandingkan sastra perbandingan.Jika sebagian besar
interteks merupakan gerakan peneliti filoligi baik klasik maupun modern,
4
yang selalu berhubungan dengan teks sastra-sastra bandingan justru lebih
luas lagi. Sastra bandingan dapat melebar ke arah bandingan antara sastra
dengan bidang lain yang mungkin (di luar sastra).
Munculnya studi interteks, sebenarnya lebih banyak dipengaruhi oleh
pembuatan sejarah sastra.karena, melalui pembuatan sejarah sastra, interteks
akan menyumbangkan bahan yang luar biasa pentingnya. Maksudnya, jika
dalam tradisi sastra terdapat pinjam-meminjam (gaduh) antara sastra satu
dengan yang lain, akan terlihat pengaruhnya. Sedangkan munculnya sastra
bandingan dengan bidang lain, kemungkinan besar dipengaruhi oleh
penelitian lintas disiplin ilmu. Lintas disiplin ini akan memandang sebuah
fenomena senada akan memiliki sumbangan penting dan saling terpengaruh.
Pengaruh tersebut akan menjadi lengkap apabila telah dibandingkan secara
cermat satu sama lain.
Studi interteks menurut Frow (1990:45-46) didasarkan beberapa
asumsi kritis : (1) konsep interteks menuntut peneliti untuk memahami teks
tak hanya sebagai isi, melainkan juga aspek perbedaan dan sejarah teks, (2)
teks tak hanya struktur yang ada, tetapi satu sama lain juga saling memburu,
sehingga terjadi perulangan atau transformasi teks, (3) ketidakhadiran
struktur teks dalam rentang teks yang lain namun hadir juga pada teks
tertentu merupakan proses waktu yang menentukan, (4) bentuk kehadiran
struktur teks merupakan rentangan dari yang eksplisit sampai implisit. Teks
boleh saja diciptakan ke bentuk lain : di luar norma idiologi dan budaya, di
luar genre, di luar gaya dan idiom, dan di luar hubungan teks-teks lain, (5)
5
hubungan teks satu dengan yang lain boleh dalam rentang waktu lama,
hubungan tersebut bisa secara abstrak, hubungan interteks juga sering terjadi
penghilangan-penghilangan bagian tertentu, (6) pengaruh mediasi dalam
interteks sering mempengaruhi juga pada penghasilan gaya maupun norma-
norma sastra, (7) dalam melakukan identifikasi interteks diperlukan proses
interprestasi, (8) analisis interteks berbeda dengan melakukan kritik
melainkan lebih terfokus pada konsep pengaruh.
Jika dicermati dari asumsi tersebut,penelitian interteks semula
memang pengembangan dari resepsi sastra, terutama resepsi teks.Asumsi
paham interteks adalah bahwa teks sastra tidak berdiri sendiri. Teks
dibangun atas teks yang lain. Penulis ketika mengekspresikan karyanya,
telah meresepi karya sebelumnya.Hanya saja, terjadinya interteks tersebut
ada yang sangat vulgar dan ada pula yang sangat halus. Semua kasus
interteks tergantung keahlian pengarang menyembunyikan atau sebaliknya
memang ingin menampakkan karya orang lain dalam karyanya.
Pemerhati interteks dan sastra perbandingan sebenarnya kurang lebih
sama. Baik interteks maupun sastra perbandingan, sebenarnya ingin melacak
orisinalitas sebuah teks sastra. Jika karya sastra semakin tidak memuat teks
lain, berarti fungsi kreativitas sangat tinggi. Pencipta telah memanfaatkan
kemampuan berkreasi sehingga seakan-akan tak ada teks lain yang muncul
di dalamnya. Namun, jika peneliti interteks dan atau sastra perbandingan
sangat jali, apa yang disembunyikan pencipta atas teks lain sering terungkap.
6
Penelitian ini tidak hanya akan membahas kajian intertekstual, tetapi
akan membahas tentang sosial.Sosial adalah bagian yang tidak utuh dari
sebuah hubungan manusia sehingga membutuhkan pemakluman atas hal-hal
yang bersifat rapuh di dalamnya.sosial ini merujuk pada hubungan-
hubungan manusia dalam kemasyarakatan, hubungan antar manusia,
hubungan manusia dengan kelompok, serta hubungan manusia dengan
organisasi untuk mengembangkan dirinya. Pengertian sosial ini pun
berhubungan dengan jargon yang menyatakan bahwa manusia merupakan
makhluk sosial.Setiap manusia memang tidak bisa hidup sendirian.
Seseorang membutuhkan orang lain untuk mendukung hidupnya.
penelitian ini sangat menarik untuk di analisis, apalagi objek kajian
dari penelitian ini adalah novel dari dua pengarang yang berbeda namun
memiliki kesamaan genre dalam menuangkan cerita fiksi. Pada penelitian ini
penulis lebih memfokuskan untuk menganalisis kajian interstektual sosial
pada novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono dan Madrasah
Cinta.
Novel Hujan Bulan Juni menceritakan tentang hubungan percintaan
antara Pria sederhana dan kaku bernama Sarwono dengan gadis, yang kalau
boleh saya kategorikan seperti syarat untuk menjadi Miss Universe, Brain,
Beauty dan, Behavior bernama Pingkan. Dia adalah sosok perempuan yang
berdarahblasteran dari dua suku Jawa (Solo) dan Minahasa
(Menado).Sarwono ini adalah seorang Antropolog. Meskipun ia selalu sibuk
dengan pekerjaannya sebagai peneliti, ia tetap berusaha untuk selalu
7
mengabari gadis pujaanya (Pingkan). Singkatnya kemudian, Pingkan dan
Sarwono, sering bertemu maka keduanya saling jatuh cinta, meski
dibenturkan oleh sebuah kendala berbeda agama.Bukan hanya itu, cinta
mereka juga sering dibumbui dengan obrolan yang remeh-temeh setiap kali
sedang jalan bersama.Tetapi, justru sebab obrolan mereka itulah yang
membuatkeromantisan di antara keduanya semakin terbangun.
Novel Madrasah Cinta menceritakan tentang ajaran sebuah cinta
sejati tak pernah mati. Cinta sejati bukan karena cantik dan tahta. Namun,
karena ketulusan dan keimanan. Cinta sejati yang hakiki hanyalah cinta
antara kita dengan Allah Swt. Dan juga cinta yang tidak akan pernah mati
dan tidak akan berakhir hingga akhir masa, baik masa di dunia maupun masa
di akhirat nanti. Allah mencurahkan cinta kita kepada kita dengan luar biasa
tanpa jeda. Tanpanya, kita tidak akan ada di dunia ini. Seperti halnya apabila
hubungan percintaan yang didasari hanya pada materi, ia tidak bertahan lama
pasti akan berujung perpisahan. Akan tetapi, cinta yang tidak disebabkan
karena materi akan terus tumbuh subur, mekar, berkembang, sebagaimana
alami ini akan sempurna menjadi alam Ukhrawi Alam Surgawi.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, fokus penelitian dapat
dirumuskan sebagai berikut.
1. Struktur novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono dan
Madrasah Cinta Karya Ayu Nesia.
8
2. Kajian interstektual sosial dalam novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi
Djoko Damono dan Madrasah Cinta karya Ayu Nesia.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan fokus penelitian yang telah diuraikan tersebut, maka
tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan struktur novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko
Damono dan Madrasah Cinta Karya Ayu Nesia.
2. Dapat mengetahui cara menganalisis kajian interstektual sosial dalam
novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono dan Madrasah
Cinta karya Ayu Nesia.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.
1. Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis penelitian ini dimaksudkan agar dapat memberikan
kontribusi bagi bidang kajian sastra.Dengan demikian, penelitian ini
nantinya berperan untuk memperkaya perkembangan ataupun teehadap
apresiasi sastra itu sendiri.
2. Manfaat Praktis
a) Bagi Pembelajaran Sastra
Di harapkan dengan pendekatan ini dapat memberikan
konstribusi pemikiran yang aplikatif dalam proses pengajaran sastra,
khususnya dalam mempelajari kajian intertekstual dan gaya bahasa
9
repetisi dalam sastra khususya. Hal ini juga menjadi bahan ajar yang
cukup relevan untuk pengapresiasi karya sastra kepada siswa.
b) Bagi Penikmat Sastra
Penelitian ini bermanfaat bagi penikmat sastra guna membantu
dalam mengapresiasikan karya dan petunjuk disaat menghadapi
kesulitan dalam memahami pesan yang terdapat karya sastra,
khususnya dalam novel “Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Djoko
Damono dan “Madrasah Cinta” karya Ayu Nesia.
c) Bagi Peneliti Sastra
Penelitian ini dapat memperkaya wawasan sastra dan
menambah khasanah penelitian sastra Indonesia sehingga bermanfaat
bagi perkembangan sastra Indonesia.
E. Penegasan Istilah
Untuk memudahkan gambaran yang jelas tentang fokus yang diteliti,
penulis merasa perlu mengemukakan definisi berikut ini.
1. Interstektual adalah sebuah pendekatan untuk memahami sebuah teks
sebagai sisipan dari teks-teks lain. Interstektual juga dipahami sebagai
proses untuk menghubungkan teks dari masa lampau dengan teks masa kini.
2. Novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita
kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan
watak dan sifat setiap pelaku.
10
3. Sosial merupakan segala perilaku manusia yang menggambarkan hubungan
individualis. Istilah tersebut sering dibandingkan dengan cabang-cabang
kehidupan manusia dan masyarakat di manapun.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEPTUAL
A. Tinjauan Pustaka
1. Penelitian yang Relevan
Penelitian relevan sebelumnya telah diteliti oleh Atik Hendriyati
Skripsi Kajian Intertekstual Dan Nilai PendidikanNovel Canting Karya
ArswendoAtmowiloto. Dengan Para Priyayi Karya Umar Kayam. Dalam
penelitian ini kemukakan bahwa pertentangan dapat dilihat pula dari
amanat yang terkandung dalam masing-masing novel. Amanat yang
terkadung dalam Cantingmenyaran kepada semangat perubahan zaman
janganlah dilawan karena hanya akan menemui kekalahan. Cara terbaik
untuk menghadapinya adalah dengan meleburkan diri tanpa melupakan
jati diri.
Nilai pendidikan dalam novel Canting dan Para Priyayi
disampikan melalui sikap atau tindakan parah tokohnya. Nilai pendidkan
dalam sikap atau tindakan, yaitu nilai-nilai yang diperoleh dan dapat
dicontoh dari sikap atau tindakan para tokoh dalam cerita.Selain itu, nilai
pendidikan disamapaikan melalui ungkapan atau pepatah dari para
tokohnya yang mengandung ajaran moral yang tinggi.Orang Jawa
sangatlah kaya dengan ungkapan-ungkapan yang mengandung nasihat
yang bijaksana. Melalui ungkapan-ungkapan tersebut mereka berusaha
menanamkan sikap dan moral yang baik, budi pekerti, sopaan santun, dan
12
tata karma kepada keturunannya, sanak saudaranya, dan kepada orang
lain.
Penelitian lain dikemukakan oleh Dayang Atika Kurniawati
dengan judul Kajian Intertekstual Pada Novel Surat Kecil Untuk Tuhan
Dan Novel Air Mata SurgaPenelitian ini bertujuan untuk pendeskripsian
kajian intertekstual pada novel Surat Kecil untuk Tuhan dan novel Air
Mata Surga.Adapun tujuan khusus dari penelitian ini ialah 1)
Pendeskripsian karakter tokoh utama dalam novel Surat Kecil untuk
Tuhan dan novel Air Mata Surga. 2) Pendeskripsian alur cerita dalam
novel Surat Kecil untuk Tuhan dan novel Air Mata Surga.
3)Pendeskripsian latar cerita dalam novel Surat Kecil untuk Tuhan dan
novel Air Mata Surga. 4)Pendeskripsian hubungan intertekstual dalam
novel Surat Kecil untuk Tuhan dan novel Air Mata Surga.
Pada penelitian ini membahas tentang Novel Surat Kecil untuk
Tuhan merupakan sebuah buku yang diangkat dari kisah nyata perjuangan
gadis remaja penderita kanker. Kisah ini sempat diulas dalam acara Kick
Andy , sebelumnya buku ini diterbitkan secara online dan dibaca lebih
dari 350.000 pengunjung. Banyak pembaca yang terinspirasi oleh kisah
novel ini sehingga buku ini dicetak secara luas dan terjual lebih dari
30.000 buku.Buku ini mencetak sukses di Indonesia dan Taiwan dalam
waktu dua bulan.Novel ini menceritakan tentang seorang anak gadis yang
cantik, pintar, baik hati, ceria, penyabar, ikhlas, rajin, penyayang, dan
13
sederhana.Cantika atau biasa dipanggil Keke, berusia 13 tahun yang
menderita kanker jaringan lunak pertama di Indonesia.
Novel Air Mata Surga adalah satu diantara karya sastra yang
diciptakan oleh E. Rokajat Asura.Novel ini sangat menarik karena novel
ini menceritakan tentang seorang anak yang berusia 10 tahun yang terus
berusaha bertahan hidup melawan kanker. Anak itu bernama Baraah, ia
yatim piatu karena ayahnya meninggal tertabrak truk dan tak lama
kemudian ibunya pun meninggal karena kanker. Walaupun dalam kondisi
seperti itu Baraah tetap saja menghafal ayat-ayat suci Alquran dan ia
memiliki cita-cita yang sangat bagus karena ia ingin memberikan selembar
demi selembar hafalan ayat-ayat Alquran yang telah ia hafalkan kepada
seluruh anak-anak muslim di dunia.
Penelitian selanjutnya dikemukakan oleh Roma Nur Asnita Kajian
Intertekstual Dalam Novel Ayat-Ayat Cinta Karya Habiburrahman El
Shirazy Dengan Novel Dzikirdzikir Cinta Karya Anam Khoirul
Berdasarkan uraian pembahasan mengenai hubungan intertekstual novel
Ayat-Ayat Cinta dan novel Dzikir-Dzikir Cinta memiliki beberapa
kesamaan dan perbedaan yang dilihat dari segi tema, alur, tokoh dan
penokohan, sudut pandang, dan latar. 26 Tema dalam novel Dzikir-Dzikir
Cinta memiliki kesamaan dengan tema yang terdapat dalam novelAyat-
Ayat Cinta.Kesamaan itu terutama pada para tokoh utama yang
mengalami konflik percintaan diantara ketiganya.Masuknya Maria
14
ditengah percintaan Fahri dan Aisya.Dan masuknya Fatimah di tengah
percintaan Rusli dan Sukma.
Namun secara keseluruhan tema novel Ayat-Ayat Cinta
bertemakan religius, yang berisikan ajaran-ajaran tentang kehidupan
manusia untuk dapat bersikap dan bertindak sesuai dengan ajaran agama
Islam yang sesunguhnya.Sedangakan tema novel Dzikir-Dzikir Cinta yaitu
bertemakan religius yang berisikan ajaran kehidupan manusia sesuai
dengan tuntunan Agama Islam. Alur novel Dzikir-Dzikir Cinta
menggunakan pola alur yang sama dengan pola alur novel Ayat-Ayat
Cinta. Pada novel Ayat-Ayat Cinta, cerita diawali dengan pelukisan
suasana latar kota, yaitu kota Cairo yang terletak di Mesir. Penggambaran
kota Cairo dengan disertai pelukisan suasana kota yang begitu khas. Sama
halnya dengan alur dalam novel Dzikir-Dzikir Cinta, cerita diawali dengan
pelukisan suasana latar kampung yaitu Kampung Kuning.Penggambaran
suasana latar kampung disertai dengan pelukisan suasana Kampung
Kuning yang begitu khas, serta dengan penceritaan kegiatan rutinitas
masyarakatnya.
Tahap selanjutnya, awal timbulnya konflik dalan novel Ayat-Ayat
Cinta berawal dari pertemuan Fahri dan Aisha di sebuah Metro yang
secara tidak sengaja.Keberanian Fahri yang menolong orang asing dari
makian dan hinaan orang Mesir membuat Aisha jatuh hati padanya. Secara
diam-diam disela keseringan Aisha bertemu Fahri dengan alasan
membantu Alicia, orang asing yang telah ditolong Fahri dan Aisha di
15
dalam sebuah Metro tersebut membuat Aisha tak dapat menahan gejolak
asmara dalam hatinya. Begitu juga halnya dalam novel DzikirDzikir Cinta,
timbulnya konflik berawal dari pertemuan Rusli dan Fatimah yang terjadi
di rumah Fatimah sendiri, yang tidak lain adalah putri Kyai. Seringnya
Fatimah menemani Rusli dalam menjalankan tugas Kiyai Mahfud
membuat Fatimah jatuh hati padanya.Secara diam-diam Fatimah
menyimpan rasa cintannya kepada Rusli.Pada puncak cerita (klimaks)
dalam novel Ayat-AyatCinta konflik yang terjadi, yaitu ujian-ujian yang
datang dalam rumah tangga 27 Aisha dan Fahri hingga pada akhirnya
Fahri masuk penjara karena tuduhan pemerkosaan terhadap Noura. Puncak
konflik dalam novel Dzikir-Dzikir Cinta timbul setelah pernikahan Rusli
dan Fatimah.Konflik yang hadir dalam ceritapun tergambar dari sikap
Rusli yang kian hari kian dingin kepada Fatimah meskipun keduanya telah
lama menikah.Bayangan Sukmah sekan tak pernah hilang dari dalam diri
Rusli.
Adapun penelitian selanjutnya dikemukakan oleh Raraningrum,
(2011) melakukan penelitian dengan judul “Aspek Gender dalam Novel
Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari dan Sintren Karya Dianing
Widya Yudhistira: Kajian Interteks”. Hasil penelitian ini adalah struktur
yang tercipta terjalin sangat bagus.Hubungan antara tokoh yang terdapat
dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan novel
Sintren Karya Dianing Widya Yudhistira sangat kompleks dan rumit.
Struktur yang saling menguatkan satu sama lain dan secara padu
16
membangun peristiwa. Peristiwa dan makna cerita dalam novel.Tema
dalam novel RDP adalah tentang kearifan lokal yang terdapat di Dukuh
Paruk, sedangkan tema dalam novel Sintren adalah kemiskinan.Secara
interteks novel RDP menjadi hipogram dari novel Sintren. Novel RDP dan
Sintren sarat dengan muatan-muatan masalah gender. Aspek gender
dalam novel RDP karya Ahmad Tohari yaitu, Diskriminasi yang terdapat
dalam masyarakat, pelecehan seksual, pemaksaan, cara berpikir dan
penyifatan. Selain itu juga ditemukan aspek gender dari segi kecantikan
dan kekuasaan. Aspek gender dalam Sintren karya Dianing Widya
Yudhistira yaitu, dari masyarakat berupa pengucilan, pelecehan seksual,
pemaksaan, penyifatan, cara berpikir, selain itu juga terjadi dalam dunia
pendidikan, kecantikan dan kekuasaan. Persamaan penelitian Raraningrum
dengan penelitian ini sama-sama menggunakan pendekatan
intertekstual.Perbedaanya terletak pada objek kajian dan aspek kajiannya.
Untuk penelitian selanjutnya dikemukakan oleh Murniati, (2014)
“Analisis Repetisi pada Novel Rembulan Tenggelam di Wajahmu Karya
Tere Liye”.Hasil penelitian ini menunjukkan adanya deskripsi dari jenis
dan bentuk repetisi yang terdapat pada novel Rembulan Tenggelam di
Wajahmu. Jenis repetisi yang ditemukan yaitu epizeuksis terdapat 24 data,
tautotes terdapat 3 data, anafora terdapat 32 data, epistrofa terdapat 14
data, simploke terdapat 5 data, mesodiplosis terdapat 8 data, epanelepsis
terdapat 7 data, dan anadiplosis terdapat 4 data. Sedangkan bentuk repetisi
yang ditemukan yaitu pengulangan penuh terdapat 17 data, pengulangan
17
dengan bentuk lain terdapat 14 data, dan pengulangan dengan penggantian
terdapat 55 data.
Dari beberapa penelitian relevan diatas dapat disimpulkan bahwa
kajian intertekstual pernah diteliti oleh beberapa peneliti sebelumnya
dengan kajian karakter dan pendidikan, maka dari itu saya salaku peneliti
ingin meneliti kajian intertekstual sosial dalam novel Hujan Bulan Juni
Karya Sapardi Djoko Damono Dan Madrasah Cinta Karya Ayu Nesia.
Mengingat kajian sosial belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya.
2. Sastra
Sastra merupakan suatu hasil karya seni yang muncul dari
imajinasi atau rekaan para sastrawan.Kehidupan di dalam karya sastra
adalah kehidupan yang telah diwarnai dengan sikap penulisnya, latar
belakang pendidikan, keyakinan, dan sebagainya.Sedangkan di dalam
karya sastra terkandung suatu kebenaran yang berbentuk keyakinan dan
kebenaran indrawi seperti yang telah telah terbuktidalam kehidupan
sehari-hari.
Melalui karya sastra, pengarang mngungkapkan gagasan tertentu
dalam novelnya berdasarkan lingkungan tertentu, budaya tertentu,
pendidikan tertentu dalam situasi tertentu yang menpengaruhi cara
berpikirnya. Hasil pengaruh itu merupakan faktor kurangnya pendidikan
yang terdapat di kalangan masyarakar menengah.Pentingnya pendidikan
18
tehadap seorang penulis dapat meningkatkan mutu sastra yang ingin
dicapai.
3. Pengertian Novel
Kata novel berasal dari kata Latin novellas yang diturunkan pula
dari kata novies yang berarti “baru”.Dikatakan baru karena jika
dibandingkan dengan jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi, drama, dan
lain-lain, jenis novel ini muncul kemudian (Tarigan, 1984: 164). Dalam
sastra Indonesia, pada angkatan 45 dan seterusnya, jenis prosa fiksi yang
disebut roman lazim dinyatakan sebagai novel (Waluyo, 2006: 2; Tarigan,
1984: 163; Atar Semi, 1993: 32).
Dengan demikian, untuk selanjutnya penyebutan istilah novel di
samping mewakili pengertian novel yang sebenarnya, juga mewakili
roman.Novel hanya mengisahkan salah satu kehidupan seseorang yang
mengakibatkan perubahan nasib. Seperti yang dikemukakan Jassin (dalam
Suroto, 1989: 19) bahwa novel ialah suatu karangan prosa yang bersifat
cerita yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan
orang-orang (tokoh cerita), luar biasa karena dari kejadian ini terlahir
suatu konflik, suatu pertikaian, yang mengalihkan jurusan nasib mereka.
Wujud novel adalah konsentrasi, pemusatan, kehidupan dalam satu saat,
dalam satu krisis yang menentukan.
Pada bagian lain, Jassin (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 16)
menyebutkan bahwa novel dibatasi dengan pengertian suatu cerita yang
bermain dalam dunia manusia dan benda yang ada di sekitar kita, tidak
19
mendalam, lebih banyak melukiskan satu saat dari kehidupan seseorang,
dan lebih mengenai sesuatu episode.Novel adalah salah satu genre sastra
yang dibangun oleh beberapa unsur.Sesuai dengan pendapat Waluyo
(2002: 136) yang menyatakan bahwa cerita rekaan adalah wacana yang
dibangun oleh beberapa unsur.Unsur-unsur itu membangun suatu
kesatuan, kebulatan, dan regulasi diri atau membangun sebuah struktur.
Unsur-unsur itu bersifat fungsional, artinya dicipta pengarang
untuk mendukung maksud secara keseluruhan dan maknanya ditentukan
olehkeseluruhan cerita itu. Pendapat lain yang senada dengan pendapat di
atas, dikemukakan oleh Burhan Nurgiyantoro (2005: 22) bahwa sebuah
novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat
artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-
unsur, yang saling berkaitan secara erat dan saling menggantungkan.Novel
(cerita rekaan) dapat dilihat dari beberapa sisi.Suminto A. Sayuti (1997: 5-
7) berpendapat bahwa jika ditinjau dari panjangnya, novel pada umumnya
terdiri dari 45.000 kata atau lebih. Berdasarkan sifatnya, novel (cerita
rekaan) bersifat expands, „meluas‟ yang menitikberatkan pada complexity.
Sebuah novel tidak akan selesai dibaca sekali duduk, hal ini berbeda
dengan cerita pendek. Dalam novel (cerita rekaan) juga dimungkinkan
adanya penyajian panjang lebar tentang tempat atau ruang.Sementara itu,
menurut Tarigan (1984: 165), jika ditinjau dari segi jumlah kata, biasanya
novel mengandung kata-kata yang berkisar antara 35.000 buah sampai tak
terbatas.Novel yang paling pendek itu harus terdiri minimal 100 halaman
20
dan rata-rata waktu yang dipergunakan untuk membaca novel minimal 2
jam.
Lebih lanjut dikemukakan oleh Burhan Nurgiyantoro (2005: 11) ,
jika dilihat dari segi panjang cerita, novel (jauh) lebih panjang daripada
cerpen. Oleh karena itu, novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas,
menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detil, dan lebih
banyak melibatkan permasalahan yang lebih kompleks. Brooks et al
(dalam Tarigan, 1984: 165) berpendapat bahwa: Novel bergantung pada
tokoh; Novel menyajikan lebih dari satu impresi; c. Novel menyajikan
lebih dari satu efek; Novel menyajikan lebih dari satu emosi. Berdasarkan
beberapa pendapat di atas, cerita rekaan atau novel adalah salah satu genre
sastra yang dibangun oleh beberapa unsur.Unsur-unsur itu membangun
sebuah struktur.Unsur-unsur tersebut saling berkaitan secara erat dan
saling menggantungkan untuk membangun kesatuan makna.Bahasa
digunakan sebagai media penyampai gagasan seluk beluk
kehidupan manusia.9
1). Struktur Novel
Cerita rekaan (novel) adalah sebuah struktur yang diorganisasikan
oleh unsur-unsur fungsional yang membangun totalitas karya.Unsur-unsur
pembangun novel memiliki banyak aspek. Menurut Hudson (dalam
Waluyo, 2002: 137), unsur-unsur tersebut adalah: plot; pelaku;
dialog dan karakterisasi; setting yang meliputi timing dan action;
gaya penceritaan (style), termasuk point of view; dan filsafat hidup
21
pengarang. Sementara itu, Waluyo (2006: 4) menyebutkan bahwa unsur-
unsur pembangun novel meliputi: tema cerita;
plot atau kerangka cerita; penokohan dan perwatakan; setting atau latar;
sudut pandang pengarang atau point of view; latar belakang atau
background; dialog atau percakapan; gaya bahasa atau gaya bercerita;
waktu cerita dan waktu penceritaan; dan amanat.
Elemen-elemen pembangun fiksi meliputi fakta cerita, sarana
cerita, dan tema (Stanton dalam Suminto A. Sayuti, 1997: 18). Fakta cerita
merupakan halhal yang akan diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Fakta
cerita dalam karya fiksi meliputi plot, tokoh, dan latar. Sarana cerita
merupakan hal-hal yang dimanfaatkan oleh pengarang dalam memilih dan
menata detil-detil cerita. Sarana cerita meliputi unsur judul, sudut
pandang, gaya dan nada. Tema merupakan makna cerita, gagasan sentral,
atau dasar cerita. Ada di bagian lain dinyatakan bahwa unsur-unsur
pembangun fiksi, yaitu: tokoh; alur; latar; judul; sudut pandang; gaya
dan nada; dan tema (Stanton dalam Wiyatmi, 2006: 30).
Taylor (dalam Harris Effendi Thahar, 2006: 712) mengemukakan
tiga unsur konseptual dalam novel, yaitu action (tindakan: peristiwa dan
urutan kejadian), character (watak: agen yang memotivasi dan memberi
reaksi terhadap peristiwa), dan setting (referensi bagi karakter dan
tindakan tokoh). Sementara itu, tema dan amanat merupakan simpulan
dari jalinan ketiga unsur yang dikemukakan di atas, sedangkan sudut
22
pandang (point of view) dan gaya bahasa adalah kulit luar yang berfungsi
sebagai sarana untuk membungkus karya sastra fiksi naratif. 10 Secara
garis besar berbagai macam unsur pembangun fiksi secara tradisional
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, walau pembagian ini tidak
benar-benar pilah, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
Unsur intrinsik meliputi peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema,
latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain.
Unsur ekstrinsik meliputi keyakinan, pandangan hidup, psikologi,
lingkungan, dan sebagainya (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 23; Atar Semi,
1993: 35). Sejalan dengan pendapat di atas, dikemukakan oleh Zulfahnur
Z. F., Sayuti Kurnia, dan Zuniar Z. Adji (1997: 24) bahwa unsur yang
membangun struktur fiksi ialah unsur ekstrinsik dan unsur intrinsik. Unsur
ekstrinsik, yaitu permasalahan kehidupan, falsafah, cita-cita, ide-ide,
gagasan, serta latar budaya yang menopang kisahan cerita.Unsur intrinsik,
yaitu unsur dalam dari fiksi. Unsur intrinsik ini terdiri dari tema dan
amanat, alur, perwatakan, sudut pandang, latar, dan gaya bahasa.
Sementara itu, Kenney (1966: 8) menyebutkan bahwa unsur
pembangun fiksi, meliputi: plot (alur); character (perwatakan); setting
(latar); point of view (sudut pandang pengarang); style and tone (gaya
bercerita dan nada); structure and technique (struktur dan teknik); dan
theme (tema). Berdasarkan beberapa pendapat di atas, secara garis besar
struktur novel meliputi: tema; alur/plot; penokohan dan perwatakan;
23
latar/setting; sudut pandang pengarang/point of view; dan amanat.
Berikut diuraikan satu per satu mengenai struktur novel.
a. Tema
Setiap novel mengandung gagasan pokok yang lazim disebut tema.
Tema adalah gagasan pokok dalam sebuah cerita. Tema cerita mungkin
dapat diketahui oleh pembaca melalui judul atau petunjuk setelah judul,
namun yang banyak ialah melalui proses pembacaan karya sastra yang
mungkin perlu dilakukan beberapa kali karena belum cukup dilakukan
dengan sekali baca. Tema selalu berkaiatan dengan pengalaman hidup
manusia.
Sejalan dengan pendapat Burhan Nurgiyantoro (2005: 25) bahwa
tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan
dengan berbagai pengalaman 11 kehidupan, seperti masalah cinta,
kasih, rindu, takut, maut, religius, dan sebagainya. Dalam hal tertentu,
tema dapat disinonimkan dengan ide atau tujuan utama cerita.
Sementara itu, Brook dan Warren (dalam Tarigan, 1984: 125)
menyatakan bahwa tema adalah pandangan hidup yang tertentu yang
membangun gagasan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-
nilai tertentu yang membangun gagasan utama dari suatu karya sastra.
Tema adalah makna cerita. Seperti yang dikemukakan Kenney
(1966: 88) bahwa “theme is the meaning of the story” (“tema adalah
makna cerita”). Lebih lanjut dijelaskan oleh Kenney (1966: 91), “…
theme is not the moral, not the subject, not a “hidden
24
meaning”illustrated by the story, what is it? Theme is meaning, but it is
not “hidden,” itis not illustrated. Theme is the meaning the story
releases; it may be themeaning the story discovers. By theme we mean
the necessary implications ofthe whole story, not a separable part of a
story” (“… tema bukan nasihat, bukan subjek, bukan sebuah “makna
yang disembunyikan” dari cerita, apakah tema? Tema adalah makna,
tetapi tidak “disembunyikan”, tidak dilukiskan. Tema adalah makna
yang tersirat; mungkin makna untuk mengetahui cerita. Dengan tema,
kita memaknai implikasi penting dari keseluruhan cerita, bukan suatu
bagian yang dapat dipisahkan dari sebuah cerita”).
Dengan demikian, untuk menemukan tema sebuah karya fiksi
haruslah disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan
bagianbagian tertentu cerita. Tema, walau sulit ditentukan secara pasti,
bukanlah makna yang „disembunyikan‟, walau belum tentu juga
dilukiskan secara eksplisit. Tema sebagai makna pokok sebuah karya
fiksi tidak (secara sengaja) disembunyikan karena justru hal inilah yang
ditawarkan kepada pembaca. Namun demikian, tema merupakan makna
keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan
„tersembunyi‟ di balik cerita yang mendukungnya. Setiap karya fiksi
pasti mengandung tema, namun untuk mengetahui suatu tema cerita
harus dipahami atau ditafsirkan terlebih dahulu melalui cerita-cerita
atau unsur-unsur pengembang cerita lainnya. Tema dapat ditafsirkan
melalui sejumlah kriteria. Pertama, penafsiran hendaknya
25
mempertimbangkan tiap detil cerita yang dikedepankan. Kedua,
penafsiran hendaknya tidak bertentangan dengan tiap detil cerita.
Ketiga, penafsiran hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti
yang tidak dinyatakan 12 baik secara langsung maupun tidak langsung.
Keempat, penafsiran tema haruslah mendasarkan pada bukti yang
secara langsung ada atau yang diisyaratkan dalam cerita (Suminto A.
Sayuti, 1997: 123; Stanton dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 87;
Waluyo, 2006: 5). Sementara itu, menurut Zulfahnur Z. F., Sayuti
Kurnia, dan Zuniar Z. Adji (1997: 25), tema mempunyai tiga fungsi,
yaitu sebagai pedoman bagi pengarang dalam menggarap cerita,
sasaran/tujuan penggarapan cerita, dan mengikat peristiwaperistiwa
cerita dalam suatu alur.
Tema dapat diklasifikasikan menjadi lima jenis, yaitu: tema yang
bersifat fisik; tema organik; tema sosial; tema egoik (reaksi probadi);
dan tema divine (Ketuhanan). Tema yang bersifat fisik menyangkut
inti cerita yang bersangkut paut dengan kebutuhan fisik manusia,
misalnya tentang cinta, perjuangan mencari nafkah, hubungan
perdagangan, dan sebagainya.
Tema yang bersifat organik atau moral, menyangkut soal hubungan
antara manusia, misalnya penipuan, masalah keluarga, problem politik,
ekonomi, adat, tata cara, dan sebagainya. Tema yang bersifat sosial
berkaitan dengan problem kemasyarakatan. Tema egoik atau reaksi
individual, berkaitan dengan protes pribadi kepada ketidakadilan,
26
kekuasaan yang berlebihan, dan pertentangan individu, sedangkan tema
divine atau ketuhanan menyangkut renungan yang bersifat religius,
yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (Waluyo, 2006: 4; Suminto A.
Sayuti, 1997: 122). Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat
disimpukan bahwa tema adalah ide pokok, gagasan utama, inti
persoalan yang akan diungkapkan oleh pengarang melalui karya sastra
baik secara eksplisit maupun implisit. Tema selalu berkaitan dengan
pengalaman hidup manusia. Tema digunakan pengarang sebagai
pedoman dalam mengerjakan cerita.
b. Alur/Plot
Alur adalah faktor yang sangat penting dalam sebuah prosa fiksi.
Seperti yang diungkapkan oleh Kenney (1966: 23) bahwa “…an
understanding of plot is the most important factor in the understanding
offiction. Plot, says Aristotle, is the soul of tragedy. It may well be the
soul of 13fiction, too” (“…pemahaman plot adalah faktor yang sangat
penting dalam pemahaman prosa fiksi. Plot, kata Aristoteles, adalah
jiwa dari tragedi. Ini berarti juga jiwa dari prosa fiksi”). Alur atau plot
cerita sering juga disebut kerangka cerita, yaitu jalinan cerita yang
disusun dalam urutan waktu yang menunjukkan hubungan sebab akibat
dan memiliki kemungkinan agar pembaca menebak-nebak peristiwa
yang akan datang (Waluyo, 2006: 5).
Sejalan dengan pendapat di atas, dikemukakan oleh Atar Semi
(1993: 43) bahwa alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian
27
dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi fungsional yang
sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi.
Dengan demikian, alur merupakan perpaduan unsur-unsur yang
membangun cerita sehingga merupakan kerangka utama cerita. Dalam
pengertian ini, alur merupakan suatu jalur tempat lewatnya rentetan
peristiwa yang merupakan rangkaian pola tindak tanduk yang berusaha
memecahkan konflik yang terdapat di dalamnya. Peristiwa-peristiwa
dalam cerita disusun berdasarkan hubungan kausalitas atau sebab
akibat. Sama halnya yang diungkapkan Suminto A. Sayuti (1997: 19)
bahwa plot sebuah cerita akan membuat pembaca sadar terhadap
peristiwa-peristiwa yang dihadapi atau dibacanya, tidak hanya sebagai
elemen-elemen yang jalin-menjalin dalam rangkaian temporal, tetapi
juga sebagai suatu pola yang majemuk dan memiliki hubungan
kausalitas atau sebab akibat. Lebih lanjut dipaparkan bahwa plot atau
alur fiksi hendaknya diartikan tidak hanya sebagai peristiwa-peristiwa
yang diceritakan dengan panjang lebar dalam suatu rangkaian tertentu,
tetapi lebih merupakan penyusunan yang dilakukan oleh penulisnya
tentang peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan hubungan
kausalitasnya. Struktur plot sebuah fiksi dapat dibagi secara kasar
menjadi tiga bagian, yaitu awal, tengah, dan akhir.
Bagian awal meliputi eksposisi dan instabilitas, bagian tengah
meliputi konflik, komplikasi, dan klimaks, sedangkan bagian akhir
meliputi denouement (Suminto A. Sayuti, 1997: 20). Sejalan dengan
28
pendapat di atas, Kenney (1966: 19) menyebutkan bahwa “…14 the
beginning takes us from exposition to the initial statement of conflict;
themiddle, from conflict through complication to climax; and the end,
fromclimax to denouement” (“… bagian awal kita ambil dari eksposisi
menuju pernyataan awal konflik; tengah, dari konflik lanjut komplikasi
menuju klimaks; dan akhir, dari klimaks menuju penyelesaian”).
Rangkaian kejadian yang menjalin plot secara lebih rinci, yaitu
meliputi: eksposisi, paparan awal cerita; inciting moment, mulainya
problem cerita itu muncul; rising action, konflik dalam cerita
meningkat; complication, konflik semakin ruwet; climax, puncak
penggawatan;falling action, peleraian; dan denouement, penyelesaian
(Waluyo, 2006: 5).
Sementara itu, Tasrif (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 149-
150) membedakan tahapan plot menjadi lima bagian, yaitu:Tahap
Situation (tahap penyituasian) Tahap pembuka cerita, pemberian
informasi awal yang terutama berfungsi untuk melandasi cerita yang
dikisahkan pada tahap berikutnya.Tahap Generating Circumstances
(tahap pemunculan konflik) Tahap awal munculnya konflik, konflik itu
sendiri akan berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-
konflik pada tahap berikutnya. Tahap Rising Action ( tahap peningkatan
konflik) Tahap pada saat konflik yang muncul mulai berkembang dan
dikembangkan kadar intensitasnya. Konflik-konflik yang terjadi,
internal,eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan,
29
benturan-benturan antarkepentingan, masalah, dan tokoh yang
mengarah ke klimaks semakin tidak dapat dihindari.Tahap Climax
(tahap klimaks) Konflik dan atau pertentangan-pertentangan yang
terjadi, yang dilakui dan atau dilimpahkan kepada para tokoh cerita
mencapai titik intensitas puncak. Sebuah fiksi yang panjang mungkin
saja memiliki lebih dari satu klimaks.Tahap Denouement (tahap
penyelesaian) Konflik yang telah mencapai klimaks diberi
penyelesaian, ketegangan dikendorkan. Konflik-konflik yang lain, sub-
subkonflik, atau konfliktambahan jika ada, juga diberi jalan keluar dan
cerita diakhiri.
Plot dapat dikategorikan dalam beberapa jenis yang berbeda
berdasarkan sudut tinjauan atau kriteria yang berbeda pula.
Berdasarkan kriteria urutan waktu, plot dibedakan menjadi tiga, yaitu:
Plot Lurus (progesif) Plot dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa
yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa-peristiwa yang pertama
diikuti oleh atau menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa yang
kemudian. 2) Plot Sorot-balik (flash-back) Urutan kejadian yang
dikisahkan dalam karya fiksi yang beralur regresif tidak bersifat
kronologis. Cerita tidak dimulai dari tahap awal (yang benarbenar
merupakan awal cerita secara logika), tetapi mungkin dari tahap tengah
atau bahkan tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita dikisahkan.
3) Plot Campuran Barangkali tidak ada novel yang secara mutlak
beralur lurus-kronologis atau sebalinya sorot-balik. Secara garis besar,
30
plot sebuah novel mungkin progresif, tetapi di dalamnya betapapun
kadar kejadiannya, sering terdapat adegan-adegan sorot-balik.
Demikian pula sebaliknya, bahkan sebenarnya boleh dikatakan tidak
mungkin ada sebuah ceritapun yang mutlak flashback. Hal itu
disebabkan jika yang demikian terjadi, pembaca akan sangat sulit
mengikuti cerita yang dikisahkan yang secara terus-menerus dilakukan
secara mundur (Burhan Nurgiyantoro, 2005: 153-157; Waluyo, 2006:
6). Berdasarkan fungsinya, plot dibedakan menjadi dua, yaitu: Plot
Utama Plot yang berisi cerita pokok, dibentuk oleh peristiwa
pokok/utama. Plot ini juga disebut dangan plot tunggal.Plot Sampingan
(subplot) Kejadian-kejadian kecil menunjang peristiwa-peristiwa pokok
sehingga cerita tambahan tersebut berfungsi sebagai ilustrasi alur
utama. Jenis plot ini juga disebut plot bawahan (Atar Semi, 1993: 44;
Burhan Nurgiyantoro, 2005: 157-159; Zulfahnur Z. F., Sayuti Kurnia,
dan Zuniar Z. Adji, 1997: 27). Berdasarkan tokohnya atau kepadatan
cerita, plot dibedakan menjadi dua, yaitu: Plot Erat Plot erat dijumpai
pada cerita yang memiliki pelaku lebih sedikit sehingga hubungan
antarpelaku erat. Selain itu, cerita disajikan secara cepat, peristiwa-
peristiwa fungsional terjadi susul-menyusul dengan cepat, dan
hubungan antarperistiwa juga terjalin secara erat. Plot ini juga disebut
dengan plot padat.Plot Longgar Hubungan tokoh-tokoh longgar, karena
banyak pelaku. Selain itu, pergantian peristiwa demi peristiwa penting
berlangsung lambat (Atar Semi, 1993: 44; Burhan Nurgiyantoro, 2005:
31
159-161; Zulfahnur Z. F., Sayuti Kurnia, dan Zuniar Z. Adji, 1997: 27).
Ada beberapa faktor penting dalam alur. Kenney (1966: 19)
menyebutnya dengan tiga hukum alur. Tiga hukum ini diharapkan ada
dalam alur. Pertama adalah kebolehjadian (plausibility). Cerita harus
meyakinkan, meyakinkan tidak mensyaratkan cerita yang realistis,
tetapi yang masuk akal. Kenney (1966: 20) mengatakan bahwa ”a story
has plausibility is simply tosay that it’s convincing on its own term”
(“kebolehjadian dalam sebuah cerita harus dinilai berdasarkan ukuran
yang ada dalam karya itu sendiri”). Adanya kebolehjadian itu dapat
juga diartikan bahwa penyelesaian masalah pada akhir cerita
sesungguhnya sudah terbayang di awal cerita dan biasanya sudah
terbayang pada waktu titik klimaks tercapai. Hukum alur yang kedua
adalah kejutan (surprise). Tanpa kejutan sebuah cerita akan
membosankan.
Faktor kejutan tampaknya bertentangan 17 dengan faktor
kebolehjadian, namun keduanya bersama-sama terdapat dalam cerita.
Hal tersebut dapat dilihat dalam cerita detektif, seperti yang
dikemukakan Kenney (1966: 21), ”an answer may be suggested by the
simple example of the pure
detective story. When, at the end of the second-to-last chapter in a
novelbyJohn Dickson Carr or Agatha Christie, the murderer’s identity
is revealed, wewant to be surprised. Indeed, if we are not surprised we
quite rightly considerthis a flaw in the novel” (“jawaban mungkin
32
menyaran pada contoh sederhana dari cerita detektif murni. Ketika,
pada akhir bab kedua sampai terakhir dalam sebuah novel oleh John
Dickson Carr atau Agatha Christie, identitas pembunuh tidak
diungkapkan, kita hendak dikejutkan. Tentu saja, jika kita tidak
dikejutkan kita sungguh sadar dengan benar bahwa ini sebuah
kekurangan dalam novel”).
Dengan demikian, pemecahan misteri secara mengejutkan tetap
berada dalam batas-batas kebolehjadian. Hukum alur yang ketiga
adalah tegangan (suspense). Tegangan ialah ketidakpastian yang
berkepanjangan dan semakin menjadi-jadi. Adanya ketegangan cerita
menimbulkan rasa ingin tahu yang sangat besar bagi pembaca untuk
mengetahui lanjutan cerita. Kenney (1966: 21) menyebutkan bahwa “by
suspense we mean an expectant uncertainty as to the outcome ofthe
story. True suspense is more than a matter of not knowing how things
willturn out” (“dengan tegangan, kita memaknai ketidakpastian yang
mengandung harapan mengenai hasil cerita. Sebenarnya tegangan lebih
daripada sebuah masalah dari ketidaktahuan sesuatu akan berakhir”).
Dalam menumbuhkan tegangan ini pengarang sering menciptakan
beberapa regangan, yaitu proses penambahan ketegangan emosional,
dan beberapa susutan, yaitu proses pengurangan ketegangan emosional.
Hal itu sering disebut dengan istilah toppings and droppings.
Menurut Waluyo (2006: 7), toppings and droppings berfungsi agar
dapat ditimbulkan konflik yang lebih besar lagi. Sarana lain yang dapat
33
digunakan untuk menciptakan tegangan ialah foreshadowing,
pengarang memasukkan butir-butir cerita yang membayangkan akan
terjadinya sesuatu atau seolah-olah mempersiapkan peristiwa yang akan
datang. Menurut Waluyo (2006: 7), istilah foreshadowing
memperhidup cerita dengan melukiskan kejadian yang akan datang. 18
Istilah lain yang muncul dalam alur antara lain dues ex machine
danhappy ending.
Menurut Waluyo (2006: 7-8), istilah dues ex machine (pengarang
seolah-olah Tuhan), berarti bahwa ada kejadian dalam cerita yang
mendadak sekali dan tidak menunjukkan hubungan sebab akibat
dengan cerita sebelumnya (misalnya dalam Layar Terkembang, Maria
yang dilukiskan periang dan sehat mendadak diceritakan sakit TBC dan
setelah dirawat di Sanatorium Pacet, ia meninggal dunia). Sementara
itu, istilah happy ending artinya kisah akhir yang bahagia. Berdasarkan
beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa plot atau alur
adalah jalinan peristiwa yang membentuk sebuah cerita baik secara
lurus, sorot-balik, maupun keduanya. Secara umum alur terdiri dari tiga
tahap, yaitu awal, tengah, dan akhir. Alur merupakan faktor penting
dalam sebuah karya fiksi.
c. Penokohan dan Perwatakan
Penokohan dan perwatakan adalah lukisan tokoh/pelaku cerita
melalui sifat-sifat, sikap, dan tingkah lakunya dalam cerita (Zulfahnur Z.
F., Sayuti Kurnia, dan Zuniar Z. Adji, 1997: 29). Istilah kebolehjadian
34
(plausibility) dan menyerupai kehidupan nyata (lifelikeness) merupakan
istilah penting bagi pengarang untuk memaparkan tokoh-tokohnya
(Waluyo, 2006: 9; Suminto A. Sayuti, 1997: 43; Kenney, 1966: 24).
Tokoh dapat dibedakan menurut peranannya terhadap jalan cerita dan
peranan serta fungsinya dalam cerita (Waluyo, 2002: 16).
Berdasarkan peranannya terhadap jalan cerita, tokoh dibedakan
menjadi tiga, yaitu: Tokoh protagonis, yaitu tokoh yang mendukung
cerita. Biasanya ada satu atau dua figur tokoh protagonis utama, yang
dibantu oleh tokoh-tokoh lainnya yang ikut terlibat sebagai pendukung
cerita. Tokoh antagonis, yaitu tokoh penentang cerita. Biasanya ada
seorang tokoh utama yang menentang cerita dan beberapa figur
pembantu yang ikut menentang cerita. Tokoh triagonis, yaitu tokoh
pembantu, baik untuk tokoh protagonis maupun untuk tokoh triagonis.
19 Sementara itu, berdasarkan peranan dan fungsinya dalam cerita,
tokoh dibedakan menjadi tiga, yaitu: Tokoh sentral, yaitu tokoh-tokoh
yang paling menentukan gerak cerita. Tokoh sentral merupakan pusat
perputaran cerita. Dalam hal ini, tokoh sentral adalah tokoh protagonis
dan tokoh antagonis.Tokoh utama, yaitu tokoh pendukung atau
penentang tokoh sentral. Dapat juga sebagai medium atau perantara
tokoh sentral. Dalam hal ini adalah tokoh triagonis.Tokoh pembantu,
yaitu tokoh-tokoh yang memegang peran pelengkap atau tambahan
dalam mata rangkai cerita. Kehadiran tokoh pembantu ini menurut
kebutuhan cerita saja. Tidak semua cerita menampilkan kehadiran tokoh
35
pembantu. Berdasarkan cara menampilkan tokoh dalam cerita, tokoh
dibedakan menjadi dua, yaitu:Tokoh Bulat (round character) Tokoh
bulat adalah tokoh yang berwatak unik dan tidak bersifat hitam putih.
Watak tokoh jenis ini tidak segera dapat ditafsirkan oleh pembaca
karena pelukisan watak tidak sederhana. Setiap manusia ada unsur baik
dan buruknya, ada unsur jahat dan baiknya, dan berbagai kekacauan
watak yang lain. Tokoh Pipih (flat character) Tokoh pipih adalah tokoh
yang wataknya sederhana. Dalam penggambaran watak hitam putih
dapat dihayati pelukisan watak secara sederhana. Tokoh ini sering pula
disebut dengan tokoh datar (Shanon Ahmad dalam Waluyo, 2006: 8;
Shanon Ahmad dalam Panuti Sudjiman, 1988: 20; Kenney, 1966: 28-
29). Setiap pengarang ingin para pembaca memahami tokoh atau
perwatakan tokoh-tokoh yang ditampilkannya. Menurut Atar Semi
(1993: 39- 40), ada dua macam cara memperkenalkan tokoh dan
perwatakannya, yaitu:Secara analitik, yaitu pengarang langsung
memaparkan tentang watak atau karakter tokoh, pengarang
menyebutkan bahwa tokoh tersebut keras hati, keras kepala, penyayang,
dan sebagainya.Secara dramatis, yaitu penggambaran perwatakan yang
tidak diceritakan langsung, tetapi hal ini disampaikan melalui: (a)
pilihan nama tokoh, misalnya nama Mince untuk gadis yang agak genit
atau Bonar untuk nama tokoh yang garang; (b) melalui penggambaran
fisik atau postur tubuh, cara berpakaian, tingkah laku terhadap tokoh-
tokoh lain, lingkungannya, dan sebagainya; (c) melalui dialog, baik
36
dialog tokoh yang bersangkutan maupun dalam interaksinya dengan
tokoh-tokoh lain.
Waluyo (2002: 19) mengemukakan cara pelukisan watak pelaku
dalam karya prosa secara lebih rinci, yaitu: Physical Description:
pengarang menggambarkan watak pelaku cerita melalui pemerian atau
deskripsi bentuk lahir atau temperamen pelaku.Portrayal of Thought
Stream or of Conscious Thought: pengarang melukiskan jalan pikiran
pelaku atau sesuatu yang terlintas dalam pikirannya. Reaction to Events:
pengarang melukiskan reaksi pelaku terhadap peristiwa tertentu. Direct
Author Analysis: pengarang secara langsung menganalisis atau
melukiskan watak pelaku.Discussion of Environment: pengarang
melukiskan keadaan sekitar pelaku sehingga pembaca dapat
menyimpulkan watak pelaku tersebut. Reaction of Others to Character:
pengarang menuliskan pandanganpandangan tokoh atau pelaku lain
(tokoh bawahan) dalam suatu cerita tentang pelaku utama. Kenney
(1966: 34-36) membagi metode penggambaran karakter menjadi tiga,
yaitu: Discursive Method (metode diskursif/perian) Dalam metode ini,
pengarang memaparkan secara langsung watak tokohtokohnya. Cara ini
bersifat mekanis, sederhana dan hemat, tetapi tidak 21 menggalakkan
imajinasi pembaca. Pembaca tidak dirangsang untuk membentuk
gambarannya tentang si tokoh.The Dramatic Method (metode dramatik)
Metode ini juga disebut metode tidak langsung atau metode ragaan.
Watak tokoh dapat disimpulkan pembaca dari pikiran, cakapan, dan
37
lakuan tokoh yang disajikan pengarang, bahkan juga dari penampilan
fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh. Cakapan
atau lakuan tokoh demikian pula pikiran tokoh yang dipaparkan oleh
pengarang dapat menyiratkan sifat wataknya.
Metode dramatik menyiratkan watak tokoh dalam lakuan dan dialog
si tokoh. Tidak jarang lakuan dan cakapannya ini mengungkapkan pula
watak tokoh yang lain. Oleh Kenney (1966: 35) disebut dengan istilah
“characters on other characters” (penggambaran karakter oleh tokoh
yang lain). Misalnya, dari cara tokoh A menghadapi tokoh B atau dari
cara ia berbicara tentang atau dengan tokoh B, dapat disimpukan
bagaimana watak tokoh B itu. Walaupun demikian, masih harus
diperiksa informasi yang kita peroleh tentang tokoh lain itu benar atau
salah.The Contextual Method (metode kontekstual) Dengan metode ini,
watak tokoh dapat disimpulkan dari bahasa yang digunakan pengarang
dalam mengacu pada tokoh. Pengarang mempertimbangkan tiga dimensi
watak dalam menggambarkan tokoh.
Waluyo (2002: 17-19; 2006: 9) menyebutkan bahwa watak para
tokoh dalam fiksi digambarkan dalam tiga dimensi., yaitu:Dimensi
Fisiologis Keadaan fisik tokoh misalnya umur, jenis kelamin, ciri-ciri
tubuh, cacat jasmaniah, ciri khas yang menonjol, suku, bangsa, raut
muka, kesukaan, tinggi/pendek, kurus/gemuk, suka senyum/cemberut,
dan sebagainya.Dimensi Psikologis Keadaan psikis tokoh meliputi
watak, kegemaran, mentalitas, standar moral, temperamen, ambisi,
38
kompleks psikologis yang dialami, keadaan emosinya, dan sebagainya.
Dimensi Sosiologis Keadaan sosiologis tokoh meliputi pekerjaan, kelas
sosial, ras, agama, ideologi, latar belakang kekayaan, pangkat, dan
jabatan. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan
bahwa penokohan dan perwatakan adalah proses pemberian watak,
karakter, sifat pada setiap tokoh yang ada dalam cerita. Pemberian watak
oleh pengarang memiliki kemungkinan sungguh-sungguh ada di
masyarakat. Pengarang dalam menggambaran watak tokoh
mempertimbangkan tiga dimensi, yaitu dimensi fisiologis, psikologis,
dan sosiologis.
d. Latar/Setting
Peranan setting bukan hanya menunjukkan tempat kejadian dan
waktu terjadinya, namun juga harus ada suasana atau kondisi tertentu
yang membentuk keutuhan sebuah struktur novel. Seperti halnya yang
diungkapkan oleh Panuti Sudjiman (1988: 44) bahwa segala
keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang,
dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra membangun
latar cerita. Dalam cerita fiksi, gambaran tokoh akan lebih nyata dan
hidup bila didukung oleh gambaran berupa segala keterangan, petunjuk,
pengacuan, yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana
terjadinya peristiwa-perisiwa dalam karya tersebut.
Pendapat lain yang senada dengan pendapat di atas, dikemukakan
oleh Zulfahnur Z. F., Sayuti Kurnia, dan Zuniar Z. Adji (1997: 37)
39
bahwa latar adalah situasi tempat, ruang, dan waktu terjadinya cerita.
Tercakup di dalamnya lingkungan geografis, rumah tangga, pekerjaan,
benda-benda dan alat-alat yang berkaitan dengan tempat terjadinya
peristiwa, cerita waktu, suasana, dan periode sejarah.Setting adalah
tempat kejadian cerita. Tempat kejadian cerita dapatberkaitan dengan
dimensi fisiologis, sosiologis, dan psikologis. Setting juga dapat
dikaitkan dengan tempat dan waktu (Waluyo, 2006: 10).
Lebih lanjut dipaparkan bahwa setting berkaitan dengan
pengadegan, latar belakang, waktu cerita, dan waktu penceritaan.
Pengadegan artinya penyusunan adegan-adegan dalam cerita. Tidak
semua kejadian dalam kehidupan sang tokoh dilukiskan 23 dalam
adegan-adegan. Adegan yang dipilih yang benar-benar mewakili cerita.
Latar belakang (background) dalam menampilkan setting dapat berupa
latar belakang sosial, budaya, psikis, dan fisik yang kira-kira dapat
memperhidup cerita itu. Dengan deskripsi dan narasi, latar belakang
dapat muncul dan jika diperkaya dengan latar belakang lain, cerita akan
lebih hidup. Waktu cerita ialah lamanya waktu penceritaan tokoh utama
dari awal hingga akhir cerita, sedangkan waktu penceritaan ialah waktu
pembacaan, biasanya lamanya jam. Setting adalah elemen yang
dominan. Seperti yang dikemukakan oleh Kenney (1966: 44) bahwa
“… setting may be the dominant element in a workof fiction. Still
setting never exists by itself. It is always part of an artisticwhole and
must be understood as such” (“… setting mungkin elemen dominan
40
dalam karya fiksi. Bahkan setting tidak pernah hidup oleh dirinya
sendiri. Setting selalu bagian dari keseluruhan artistik dan harus
dipahami begitu saja”).
Sementara itu, elemen fiksi yang menunjukkan kepada kita tempat
dan waktu kejadian-kejadian dalam cerita berlangsung disebut setting
„latar‟ (Suminto A. Sayuti, 1997: 79). Selanjutnya, dikatakan bahwa
deskripsi latar fiksi secara garis besar dapat dikategorikan dalam tiga
bagian, yakni latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Senada dengan
pendapat di atas, Burhan Nurgiyantoro (2005: 227) menyebutkan
bahwa unsur latar dapat dibedakan dalam tiga unsur pokok, yaitu
tempat, waktu, dan sosial. Unsur itu walau masing-masing menawarkan
permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada
kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Berikut
rincian unsur-unsur latar.Latar Tempat Latar tempat menyaran pada
lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat
dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa
nama jelas. Penggunaan latar dengan namanama tertentu haruslah
mencerminkan atau paling tidak, tidak bertentangan dengan sifat atau
keadaan geografis tempat yang 24 bersangkutan. Masing-masing
tempat tentu saja memiliki karakteristiknya sendiri yang membedakan
dengan tempat lain. Penggunaan banyak atau sedikitnya latar tempat
tidak berhubungan dengan kadar kelitereran karya yang bersangkutan.
41
Keberhasilan latar tempat lebih ditentukan oleh ketepatan deskripsi,
fungsi, dan keterpaduannya dengan unsur latar lain sehingga semuanya
bersifat saling mengisi. Keberhasilan penampilan unsur latar itu sendiri
antara lain dilihat dari segi koherensinya dengan unsur fiksi lain dan
dengan tuntutan cerita secara keseluruhan.Latar Waktu Latar waktu
berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-petistiwa
yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut
biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya
atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Pengetahuan dan
persepsi pembaca terhadap waktu sejarah itu kemudian digunakan
untuk mencoba masuk dalam suasana cerita. Latar waktu dalam fiksi
dapat menjadi dominan dan fungsional jika digarap secara teliti,
terutama jika dihubungkan dengan waktu sejarah. Pengangkatan unsur
sejarah dalam karya fiksi akan menyebabkan waktu yang diceritakan
menjadi bersifat khas, tipikal, dan dapat menjadi sangat fungsional
sehingga tidak dapat diganti dengan waktu yang lain tanpa
mempengaruhi perkembangan cerita. Latar waktu menjadi amat
koheren dengan unsur cerita yang lain. Latar Sosial Latar sosial
berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu
tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial
masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup
kompleks. Tata cara tersebut dapat berupa kebiasaan hidup, adat
42
istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan
bersikap, dan sebagainya.
Di samping itu, latar sosial juga berhubungan 25 dengan status
sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau kaya.
Latar sosial berperan menentukan sebuah latar, khususnya latar tempat,
akan menjadi khas dan tipikal atau hanya bersifat netral. Dengan kata
lain, untuk menjadi tipikal dan lebih fungsional, deskripsi latar tempat
harus sekaligus disertai deskripsi latar sosial, tingkah laku kehidupan
sosial masyarakat di tempat yang bersangkutan. Berdasarkan beberapa
pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa setting atau latar adalah
penggambaran ruang, waktu, dan keadaan sosial dalam cerita.
Penggambaran latar ini biasanya disesuaikan dengan cerita, waktu, dan
suasana serta sosial budaya tempat cerita berlangsung. Hal ini bertujuan
agar pesan yang ingin disampaikanpengarang dapat sampai pada
pembaca.
e. Sudut Pandang Pengarang/Point of View
Sudut pandang pengarang adalah cara pandang pengarang dalam
sebuah karya fiksi. Sesuai dengan pendapat Abrams dalam Burhan
Nurgiyantoro (2005: 248) yang menyebutkan bahwa sudut
pandang/point ofview menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia
merupakan cara dan atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai
sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa
yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.
43
Sudut pandang kiranya dapat disamakan artinya, bahkan dapat
memperjelas, dengan istilah pusat pengisahan. Atar Semi (1993: 57)
berpendapat bahwa pusat pengisahan adalah posisi dan penempatan diri
pengarang dalam ceritanya, atau “dari mana" ia melihat peristiwa-
peristiwa yang terdapat dalam ceritanya itu.
Terdapat beberapa jenis pusat pengisahan, yaitu:Pengarang sebagai
tokoh cerita Pengarang sebagai tokoh cerita bercerita tentang
keseluruhan kejadian atau peristiwa, terutama yang menyangkut diri
tokoh. Pengarang sebagai tokoh sampingan Orang yang bercerita dalam
hal ini adalah seorang tokoh sampingan yang menceritakan peristiwa
yang bertalian, terutama dengan tokoh utama cerita. Pengarang sebagai
orang ketiga (pengamat) Pengarang sebagai orang ketiga berada di luar
cerita bertindak sebagai pengamat sekaligus sebagai narator yang
menjelaskan peristiwa yang berlangsung serta suasana perasaan dan
pikiran para pelaku cerita.Pengarang sebagai pemain dan narator
Pengarang yang bertindak sebagai pelaku utama cerita sekaligus
sebagai narator yang menceritakan tentang orang lain di samping
tentang dirinya, biasanya keluar masuk cerita.
Harry Shaw (dalam Panuti Sudjiman, 1988: 76) menyatakan bahwa
point of view dalam kesusastraan mencakup: Sudut pandang fisik, yaitu
posisi dalam waktu dan ruang yang digunakan pengarang dalam
pendekatan materi cerita; Sudut pandang mental, yaitu perasaan dan
sikap pengarang terhadap masalah dalam cerita; Sudut pandang pribadi,
44
yaitu hubungan yang dipilih pengarang dalam membawakan cerita,
sebagai orang pertama, orang kedua, atau orang ketiga.Point of view
dinyatakan sebagai sudut pandang pengarang, yaitu teknik yang
digunakan oleh pengarang untuk berperan dalam cerita itu. Shipley
menyebutkan adanya dua jenis point of view, yaitu internal point ofview
dan external point of view. Internal point of view ada empat macam,
yaitu: tokoh yang bercerita; pencerita menjadi salah seorang pelaku;
sudut pandang akuan; dan pencerita sebagai tokoh sampingan dan
bukan tokoh hero.
Sementara untuk gaya eksternal, dikemukakan ada dua, yaitu: gaya
diaan; dan penampilan gagasan dari luar tokoh-tokohnya (Waluyo,
2006: 11). 27 Sudut pandang pengarang dibedakan menjadi dua, yaitu
sudut pandang akuan dan diaan. Sejalan dengan pendapat Maman S.
Mahayana (2007: 291) bahwa bentuk penceritaan dalam novel atau
cerita rekaan lainnya, secara umum terdiri atas pencerita akuan (first
person narrator) dan pencerita diaan (third person narrator). Pencerita
akuan juga terdiri atas dua pencerita, yaitu pencerita akuan sertaan (first
person participant) dan pencerita akuan tak sertaan (first person non-
participant). Sama halnya dengan penceritaan akuan, pencerita diaan
juga terdiri atas dua pencerita, yaitu pencerita diaan semestaan (third
person omniscient narrator) dan pencerita diaan amatan atau terbatas
(third person observer narrator).
45
Secara lebih rinci, Suminto A. Sayuti (1997: 101) berpendapat
bahwa sudut pandang yang umum digunakan pengarang dibagi menjadi
empat jenis, yakni:sudut pandang first-person-central atau akuan-
sertaan (tokoh sentral cerita adalah pengarang yang secara langsung
terlibat dalam cerita); sudut pandang first-person-peripheral atau
akuan-taksertan (tokoh “aku” pengarang biasanya hanya menjadi
pembantu atau pangantar tokoh lain yang lebih penting); sudut pandang
third-person-omniscient atau diaan-mahatahu (pengarang berada di luar
cerita, biasanya pengarang hanya menjadi seorang pengamat yang
mahatahu dan bahkan mampu berdialog langsung dengan pembaca);
dan sudut pandang third-person-limited atau diaan-terbatas (pengarang
menggunakan orang ketiga sebagai pencerita yang terbatas hak
berceritanya). Di pihak lain, Burhan Nurgiyantoro (2005: 256-271)
menyebutkan bahwa sudut pandang dapat dibedakan menjadi tiga,
yaitu: sudut pandang persona ketiga: “dia” (“dia” mahatahu dan “dia”
terbatas atau sebagai pengamat); sudut pandang persona pertama: “aku”
(“aku” tokoh utama dan “aku” tokoh tambahan); dansudut pandang
campuran (dapat berupa penggunaan sudut pandang persona ketiga
dengan teknik “dia” mahatahu dan “dia” sebagai pengamat, persona
pertama dengan teknik “aku” sebagai tokoh utama dan “aku” tambahan
atau sebagai saksi, bahkan dapat berupa campuran antara persona
pertama dan ketiga, antara “aku” dan “dia” sekaligus). 28 Berdasarkan
beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa sudut pandang
46
pengarang adalah strategi atau teknik yang digunakan pengarang untuk
menempatkan dirinya dalam sebuah cerita. Sudut pandang dapat pula
diartikan sebagai pusat pengisahan. Berdasarkan pandangan pengarang
ini pulalah pembaca mengikuti jalannya cerita dan memahami temanya.
f. Amanat
Karya sastra adalah karya seni yang bersifat dulce et utile,
menyenangkan dan bermanfaat. Selain bertujuan untuk menghibur para
pembaca, karya sastra juga memiliki banyak manfaat yang dapat
diambil oleh pembaca. Suatu karya sastra dapat diambil suatu ajaran
moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarangnya, inilah yang
disebut dengan amanat. Amanat merupakan unsur cerita fiksi yang
mempunyai hubungan erat dengan tema. Amanat berarti apabila ada
dalam tema, sedangkan tema akan sempurna apabila di dalamnya ada
amanat sebagai pemecah atau jalan keluar bagi tema tersebut. Karya
sastra menampilkan suatu peristiwa yang dilandasi suatu tema lengkap
dengan permasalahannya.
Seperti yang dikemukakan oleh Panuti Sudjiman (1988: 57) bahwa
jika permasalahan yang diajukan dalam cerita juga diberi jalan
keluarnya oleh pengarang, jalan keluarnya itulah yang disebut amanat.
Apabila tema karya sastra berhubungan dengan arti (meaning) dari
karya sastra itu, amanat berhubungan dengan makna (significance) dari
karya itu. Tema bersifat sangat lugas, objektif, dan khusus, sedangkan
amanat bersifat kias, subjektif, dan umum. Setiap pembaca dapat
47
berbeda-beda menafsirkan makna karya itu bagi dirinya dan semuanya
cenderung dibenarkan (Waluyo, 2002: 28). Amanat dalam karya sastra
sebaiknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungannya.
Wujud amanat dapat berupa kata-kata mutiara, nasihat, firman Tuhan,
dan sebagainya.
Amanat merupakan bagian integral dari dialog dan tindakan tokoh
cerita. Jadi, amanat bukan merupakan bagian 29 yang seakan-akan
lepas dari kedua unsur tersebut, yaitu unsur dialog dan tindakan tokoh
cerita. Penyampaian amanat pada sebuah karya sastra tidak secara
nyata, walaupun ada pula yang benar-benar tersurat. Jika amanat itu
disampaikan oleh pengarang secara tersirat, akan dibutuhkan ketelitian
dalam menikmati dan menelaah karya sastra agar dapat memahami
amanat tersebut. Amanat itu biasanya memberikan manfaat dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, setiap karya sastra akan
memberikan manfaat kepada pembaca, jika pembaca mampu memetik
manfaatnya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada
pembaca. Amanat yang dipetik oleh pembaca dapat digunakan sebagai
teladan bagi kehidupan manusia. Amanat tersebut disampaikan
pengarang melalui ceritanya baik secara tersurat maupun tersirat
48
4. Intertekstual
a. Teori intertekstual
Secara luas interks diartikan sebagai jaringan hubungan antara
satu teks dengan dengan teks yang lain. Penelitian dilakukan dengan
cara melakukan hubungan-hubungan bermakna diantara dua teks atau
lebih. Hubungan yang dimaksudkan tidak semata-mata sebagai
persamaan, melaingkan juga sebaliknya sebagai pertentangan, baik
sebagai parodi maupun negasi.
Menurut Riffaterre (1978: 5) pendekatan suatu karya sastra di
satu pihak adalah dialektik antara teks dan pembaca, dan di pihak lain
adalah dialektik antara tataran mimetik dan tataran semiotik. Lebih
jauh Riffaterre menjelaskan bahwa pembaca sebagai pemberi makna
harus mulai dengan menemukan arti (meaning) unsur-unsurnya, yaitu
kata-kata berdasar fungsi bahasa sebagai alat komunikasi yang
mimetik (mimeticfunction), tetapi kemudian harus ditingkatkan ke
tataran semiotik, yaitu kode karya sastra harus dibongkar secara
struktural (decoding) atas dasar signifinance, yang hanya dapat
dipahami dengan kompetensi linguistik (linguisticcompetence),
kompetensi kesastraan (literarycompetence), dan terutama dalam
hubungannya dengan teks lain. Hal ini disebabkan oleh karena
membaca karya sastra pada dasarnya adalah membina atau
membangun acuan.
49
Adapun acuan itu didapat dari pengalaman membaca teks-teks
lain dalam sistem konvensi kesastraan. Dengan demikian suatu sajak
(karya sastra) baru bermakna penuh dalam hubungannya atau
pertentangannya dengan karya sastra lain. Karya sastra lain yang
menunjukkan hubungan antar teks yang menjadi acuannya disebut
hipogram (hipogram). Dalam hubungan antar tesk tersebut terdapat
dua hal yang dikemukakan oleh Riffaterre (1978: 5), yaitu : (1)
ekspansi (expansion), dan (2) konversi (conversion). Ekspansi adalah
perluasan atau pengembangan dari hipogram atau
matriksnya.Menurut teori interteks, pembacaan yang berhasil justru
apabila didasarkan atas pemahaman terhadap karya-karya terdahulu.
Oleh karena itulah, secara praktis aktivitas interteks terjadi dua cara
yaitu: (a) membaca dua teks atau lebih secara bedampingan pada saat
yang sama, (b) hanya membaca sebuah teks tetapi dilatarbelakangi
oleh teks-teks yang lain yang sudah pernah dibaca sebelumnya.
b. Kajian Interteks
Kajian intertekstualitas dimaksud sebagai kajian terhadap
sejumlah teks (sastra), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk
hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan
unsur-unsur intrinsik seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan,
(gaya) bahasa, dan lainnya, di antara teks yang dikaji. Secara khusus
dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-
50
aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada
karya yang muncul lebih kemudian.
Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan
makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut. Penulisan dan atau
pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur
kesejarahannya sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap
jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu (Teeuw, 1983: 66).
Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun
karya tulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya.
Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di masyarakat,
dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastraan yang
ditulis sebelumnya.
Penulisan suatu karya sastra tak mungkin dilepaskan dari unsur
kesejarahan, dan pemahaman terhadapnya pun haruslah
mempertimbangkan unsur kesejarahan itu. Makna keseluruhan
sebuah karya, biasanya secara penuh baru dapat digali dan diungkap
secara tuntas dalam kaitannya dengan unsur kesejarahan tersebut.
Karya sastra yang ditulis lebih kemudian, biasanya
mendasarkan diri pada karya-karya lain yang telah ada sebelumnya,
baik secara langsung maupun tidak langsung, baik dengan cara
meneruskan maupun menyimpang (menolak, memutarbalikkan
esensi) konvensi. Riffaterre mengatakan bahwa karya sastra selalu
merupakan tantangan, tantangan yang terkandung dalam
51
perkembangan sastra sebelumnya, yang secara konkret mungkin
berupa sebuah atau sejumlah karya. Hal itu, sekali lagi, menunjukkan
keterikatan suatu karya dari karya-karya lain yang
melatarbelakanginya.
Adanya karya –karya yang ditransformasikan dalam penulisan
karya sesudahnya ini menjadi perhatian utama kajian intertekstual
misalnya lewat pengontrasan antara sebuah karya dengan karya lain
yang diduga menjadi hipogramnya. Adanya unsur hipogram dalam
suatu karya, hal itu mungkin disadari mungkin tidak disadari oleh
pengarang. Kesadaran pengarang terhadap karya yang menjadi
hipogramnya, mungkin berwujud dalam sikapnya yang meneruskan
atau sebaliknya menolak, konvensi yang berlaku sebelumnya.
Dalam kaitannya dengan hipogram itu, Julia Kristeva
mengemukakan bahwa tiap teks merupakan sebuah mosaik kutipan-
kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-
teks lain. Hal itu berarti, bahwa tiap teks yang lebih kemudian
mengambil unsur-unsur tertentu yang dipandang baik dari teks
sebelumnya yang kemudian diolah dalam karya sendiri berdasarkan
tanggapan pengarang yang bersangkutan. Dengan demikian, walau
sebuah karya berupa dan mengandung unsur ambilan dari berbagai
teks lain karena telah diolah dengan pandangan dan daya
kreativitasnya sendiri dengan konsep estetika dan pikiran-pikirannya
52
karya yang dihasilkan tetap mengandung dan mencerminkan sifat
kepribadian penulisanya.
Sebuah teks kesastraan yang dihasilkan dengan kerja yang
demikian dapat dipandang sebagai karya yang baru. Pengarang
dengan kekuatan imajinasi, wawasan estetika, dan horison
harapannya sendiri, telah mengolah dan mentrasformasikan karya-
karya lain ke dalam karya sendiri. Namun unsur-unsur tertentu dari
karya-karya lain tersebut yang mungkin berupa konvensi, bentuk
formal tertentu, gagasan, tentulah masih dapat dikenali (Pradopo
1987: 228).
Prinsip intertekstualitas yang utama adalah prinsip memahami
dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya itu
diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari
karya yang lain. Masalah intertekstual lebih dari sekadar pengaruh,
ambilan atau jiplakan, melainkan bagaimana kita memperoleh makna
sebuah karya secara penuh dalam kontrasnya dengan karya yang lain
yang menjadi hipogramnya, baik berupa teks fiksi maupun puisi.
Adanya hubungan intertekstual dapat dikaitkan dengan teori
resepsi. Pada dasarnya pembacalah yang menentukan ada atau tidak
adanya kaitan antara teks yang satu dengan teks yang lain itu, unsur-
unsur hipogram itu, berdasarkan persepsi, pemahaman, pengetahuan,
dan pengalamannya membaca teks-teks lain sebelumnya. Penunjukan
terhadap adanya unsur-unsur hipogram pada suatu karya dari karya-
53
karya lain pada hakikatnya merupakan penerimaan atau reaksi
pembaca.
c. Pendekatan Intertekstual
Interteks berdasarkan pada asumsi kritis. Asumsi tersebut
yakni :
1. Konsep interteks menuntut peneliti untuk memahami teks tak
hanya sebagai isi, melainkan aspek perbedaan sejarah teks.
2. Teks tak hanya struktur yang ada, tetapi satu sama lain juga saling
memburu, sehingga terjadi perulangan atau transformasi teks.
3. Ketidakhadiran struktur teks dalam rentang teks yang lain namun
hadir juga dalam teks tertentu yang ditentukan oleh proses waktu.
4. Bentuk kehadiran struktur teks merupakan rentangan dari yang
eksplisit sampai implicit.
5. Hubungan teks satu dengan teks yang lain boleh dalam rentang
waktu lama, hubungan tersebut dapat secara abstrak dan juga
sering terdapat penghilangan-penghilangan bagian tertentu.
6. Pengaruh mediasi dalam interteks sering berpengaruh terhadap
penghilangan gaya maupun norma-norma sastra.
7. Dalam melakukan identifikasi interteks diperlukan proses
interprestasi.
8. Analisis interteks berbeda dengan melakukan kritik, melainkan
lebih terfokus pada pengaruh.
54
Untuk mengungkap adanya hubungan interteks dalam
penelitian ini diasumsikan pada resepsi aktif pengarang dan
resepsi pembaca sebagai pengkaji (penulis). Pengkaji pada
dasarnya adalah juga pembaca yang dengan bekal ilmu
pengetahuan dan pengalamannya berada dalam rangkaian
pembacaan yang terakhir. Dengan demikian, latar belakang
pengetahuan dan pengalaman pembaca akan memengaruhi makna
yang diungkapkannya.
d. Hubungan Intertekstual
Dalam hal hubungan sejarah antarteks itu, perlu diperhatikan
prinsip intertektualitas. Hal ini ditunjukkan oleh Rifaterre dalam
bukunya Semiotics of Poetry (1978) bahwa sajak baru bermakna
penuh dalam hubungannya dengan sajak lain. Hubungan ini dapat
berupa persamaan atau pertentangan.
Dalam kesusasteraan indonesia, hubungan intertekstual antara
satu karya dengan karya yang lain baik antara karya sezaman maupun
zaman sebelumnya.
e. Analisis Intertekstual
Berdasarkan realitasnya maka sifat hipogram dapat
digolongkan menjadi tiga macam, yakni : (1) Negasi, artinya karya
sastra yang tercipta kemudian melawan hipogram, (2) Afirmasi, yakni
sekedar mengukuhkan hampir sama dengan hipogram, dan (3)
55
Inovasi, artinya karya sastra yang kemudian memperbarui apa yang
ada dalam hipogram (Ali Imron : 2005:80).
Seperti yang disampaikan oleh Abram (Pradopo) ada empat
orientasi sastra berdasarkan sejarah dan dialetikanya. Empat orientasi
itu adalah orientasi mimetik yang menganggap karya sastra sebagai
tiruan alam ide dan kehidupan; kritik pragmatik yang menggap karya
sastra sebagai sarana atau alat untuk menyampaikan tujuan tertentu
kepada pembaca; kritik ekspresif mengganggap karya sastra sebagai
luapan perasaan dan pikiran pengarang; kritik objektif berorientasi
pada karya sastra itu sendiri.
Klau kita lihat dari kritik kedua bahwa karya sastra sebagai
sarana atau alat untuk menyampaikan tujuan pertentu kepada
pembaca. Menurut kritik pragmatik semakin mendidik semakin karya
sastra itu bernilai tinggi.
5. Sosial
Sosial adalah bagian yang tidak utuh dari sebuah hubungan
manusia sehingga membutuhkan pemakluman atas hal-hal yang bersifat
rapuh di dalamnya.sosial ini merujuk pada hubungan-hubungan manusia
dalam kemasyarakatan, hubungan antar manusia, hubungan manusia
dengan kelompok, serta hubungan manusia dengan organisasi untuk
mengembangkan dirinya. Pengertian sosial ini pun berhubungan dengan
jargon yang menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk
56
sosial.Setiap manusia memang tidak bisa hidup sendirian. Seseorang
membutuhkan orang lain untuk mendukung hidupnya.
Kata sosial berasal dari bahasa latin yaitu ‟socius‟ yang berarti
segala sesuatu yang lahir, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan
bersama (Salim, 2002: 2). Sudarno (dalam Salim, 2002: 5) menekankan
pengertian sosial pada strukturnya, yaitu suatu tatanan dari hubungan-
hubungan sosial dalam masyarakat yang menempatkan pihak-pihak
tertentu (individu, keluarga, kelompok, kelas) didalam posisi-posisi
sosial tertentu berdasarkan suatu sistem nilai dan norma yang berlaku
pada suatu masyarakat pada waktu tertentu.
Menurut Alfred Vierkandt dalam Soekanto (2001:449) setiap
masyarakat merupakan suatu kebulatan di mana masing-masing unsur
saling mempengaruhi. Dasar semua unsur sosial adalah ikatan
emosional, tak ada konflik antara individual dengan kelompok, oleh
karena individu tunduk kepada tujuan kelompoknya.
B. Kerangka Konseptual
Pada penelitina ini penulis akan menyajikan bagaimana kajian
interstektual sosial dalam novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko
Damono dan Madrasah Cinta karya Ayu Nesia. Karya sastra merupakan
kekayaan budaya yang perlu dilestarikan dan pahami keberadaannya, karena
sastra dan budaya merupakan hal yang saling terikat dan memengaruhi.
57
Karya sastra
Kajian Interstektual
Sosial
Novel hujan bulan juni
karya sapardi djoko damono
Novel Madrasah Cinta
Karya Ayu Nesia
Sosial
Temuan
Hasil
BAB III
METODOLIGI PENELITIAN
A. Jenis Dan Desain Penelitian
1. Jenis penelitian
Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bentuk
kualitatif. Bentuk ini digunakan karena dalam data penelitian ini berupa
kutipan kata-kata, frasa, kalimat dan tidak mengutamakan pada angka-
angka.
2. Desain penelitian
Desain penelitian pada hakikatnya merupakan strategiyang mengatur
ruang dan teknis penelitian agar memperoleh data maupun kesimpulan
penelitian. Menurut jenisnya, penelitian ini adalah penelitian deskritif
kualitatif. Oleh karena itu, dalam penyusunan desain harus dirancang
berdasarkan pada prinsip metode deskriptif kualitatif, yang mengumpulkan,
mengolah, mereduksi, menganalisis, dan menyajikan data secara objektif,
atau sesuai dengan nyata yang ada dilapangan untuk memperoleh
data.Untuk itu, peneliti dalam menjaring data mendeskripsikan kajian
intertekstual sosial dalam novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko
Damono dan Madrasah Cinta karya Ayu Nesia.
B. Data dan Sumber Data
1. Data
Data merupakan semua informasi yang disediakan oleh alam yang
harus dicari dan dikumpulkan oleh peneliti sesuai dengan masalah yang
59
dihadapi. Data merupakan bagian dari keseluruhan proses pengumpulan
data harus benar-benar dipahami oleh setiap peneliti. Adapun data dalam
penelitian ini berupa data lunak yang berwujud kata, kalimat, ungkapan
yang terdapat dalamnovel Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono
dan Madrasah Cinta karya Ayu Nesia.
2. Sumber Data
Dalam sebuah penelitian, sumber data adalah subjek dari mana data
diperoleh. Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah novel Hujan
Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono yang diterbitkan oleh Gramedia
(Jakarta) pada tahun 2015 dan Madrasah Cinta Karya Ayu Nesia yang
diterbitkan oleh Citra Media Pustaka (Yogyakarta) pada tahun 2015.
C. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data yang berupa kata, kalimat, ungkapan
yang terdapat dalam novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono dan
Madrasah Cinta karya Ayu Nesia maka pengumpulan datanya dilakukan
dengan teknik pustaka, yaitu menggunakan sumber-sumber tertulis untuk
memperoleh data. Sumber-sumber tersebut dapat berupa majalah, surat kabar,
karya sastra, karya ilmiah, dan sebagainya. Adapun data-data pengumpulan
datanya, yaitu: (1) membaca novel Hujan Bulan Junidan Madrasah
Cintasecara berulang-ulang; dan (2) mencatat kata, kalimat, ungkapan yang
berkaitan dengan struktur novel, dan kajian intertekstual sosial yang terdapat
dalam kedua novel.
60
D. Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
analisis mengalir (fow model of analysys) yang meliputi tiga komponen, yaitu:
1. Reduksi Data (Data Reduction)
Pada bagian ini, langkah yang dilakukan yaitu mencatat data yang
diperoleh dalam bentuk uraian secara rinci.Data yang diambil berupa kata,
kalimat, ungkapan yang terdapat dalam novel Hujan Bulan Junikarya
Sapardi Djoko Dmono dan Madrasah Cintakarya Ayu Nesia yang
mengungkapkan informasi tentang kedua novel tersebut.
2. Sajian Data (Data Display)
Data yang telah terkumpul dikelompokkan dalam beberapa bagian
sesuai dengan jenis permasalahannya agar mudah untuk dianalisis. Lagkah
ini telah memasuki analisis data yang kemudian dijabarkan dan
dibandingkan antara data yang satu dan data yang lain. Hal ini bertujuan
untuk menemukan persamaan dan perbedaan kedua novel.
3. Penarikan Simpulan (Conclution Drawing)
Pada tahap ini penelitian telah memasuki tahap pembuatan simpulan
dari data yang telah diperoleh sejak awal penelitian. Simpulan ini masih
bersifat sementara maka akan tetap diverifikasi (diteliti kembali tentang
kebenaran laporan) selama penelitian berlangsung. Kegiatan yang dilakukan
dalam tahap ini, yaitu data yang diperoleh dari novel Hujan Bulan Juni
karya Sapardi Djoko Damono dan Madrsah Cinta karya Ayu Nesia
disimpulkan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil penelitian
Pada bab ini akan diuraikan secara rinci hasil penelitian terhadap novel
Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono dan novel Madrasah Cinta karya
Ayu Nesia menggunakan analisis deslriptif kualitatif. Dalam penelitian ini
dikemukakan beberapa data yang diperoleh sebagai bukti hasil penelitian.
Penelitian ini dilakukan dengan mengkaji novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi
Djoko Damono dan novel Madrasah Cintakarya Ayu Nesia. Dalam hal ini akan
ditampilkan struktur novel Hujan Bulan Juni, struktur novel Madrasah Cinta,
kajian intertekstual sosial yang terdapat dalam novel Hujan Bulan Juni dan
Madrasah Cinta, persamaan dan perbedaan antara novel Hujan Bulan Juni dan
Madrasah Cinta.
Berdasarkan analisis yang digunakan peneliti dalam menganalisis novel
Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono dan Madrasah Cinta karya Ayu
Nesia, maka diharapakan dapat mengungkapkan kajian intertekstual sosial dalam
novel seara terperinci dan jelas.
1. Struktur novel hujan bulan juni
a. Tema : pencintaan sepasang kekasih yang berbeda agama dan
budaya.
62
1) Data :
Jawa hehehe.”“Tapi..”“Meskipunkitab berbeda.”
2) Kitab boleh berbeda. Tetap“apa dosa dan salahku maka
aku telah mencintai laki-laki Jawa yang sering zadul
mikrnya ini?”
(Hujan Bulan Juni:36).
3) Keterangan : Pingkan sangat mencintai Sarwono. Tetapi
gejolak hati pingkan yang terus bertanya bagaimana
mungkin bisa mempertahankan hubungannya dengan
Sarwono sementara itu banyak likuan hidup yang dihadapi
oleh Sarwono dan Pingkan.
Mengenai tema hubungan cinta beda agama juga
mempresentasikan keadaan sosial budaya masyarakat Indonesia.
Pernikahan bukan hanya terpautnya hati dua insan, tapi lebih dari itu.
Pernikahan sebagai leburnya dua keluarga dan kebudayaan.
b. Tokoh dan penokohan
1) Tokoh utama (Sarwono dan Pingkan)
a) Data : “Sar kamu ini sudah sekolah tinggi-tinggi
tapi otakmu masih juga ngelesot di bawah pohon
sawo kecil di halaman keraton itu”. (Hujan Bulan
Juni : 13).
b) Keterangan : no adalah seorang yang sangat lugu.
Tergambar dari kutipan tersebut Sarwono yang
tidak mengetahui manusia jenis apa ronin itu.
Pingkan pun menjelaskan bahwa ronin itu samurai
yang tak punya tuan, karena tuannya mati atau
meninggalkan tuannya dan karenanya dijuluki
ksatria gentayangan hidupnya bagaikan ombak yang
tidak jelas wujud dan wataknya.
2) Tokoh tambahan (Toar, Ibu Hadi, Pak Hadi, dan Ibu
Hartini)
a) Data : “itu sebabnya ia memilih sekolah Akademi Bank
saja agar cepat selesai tanpa membebani ibunya. Kalau
bisa malah bisa membantu biaya kuliah pingkan.
Ternyata tidak hanya kerajinannya, tetapi juga
tampangnya, telah membantunya cepat mendapat posisi
63
baik di bank tempatnya bekerja”. (Hujan Bulan Juni :
106).
b) Keterangan : Toar adalah salah satu tokoh yang
memiliki sifat baik dan perhatian. Sebagai kakak dari
Pingkan, Toar sangat bertanggung jawab menjaga dan
menyayangi adiknya. Terlebih dia harus menjadi kepala
keluarga menggantikan Ayahnya yang sudah
meninggal.
c. Alur
1) Alur campuran
a) Data : “Ya dianggapnya menggelikan konsep itu, Kali
Code kab di tengah-tengah kota, kok diaggap dihuni
masyarakat pinggiran, katanya kepada atasannya waktu
pertama kaali dulu diajak merancang proyek itu”.
(Hujan Bulan Juni : 2)
“Dan memang benar. Ada puisinya di koran, tiga buah, di sudut
halaman yang pasti kalah meriah dibanding berita politik, kriminal,
gambar-gambar yang semakin lama semakin berdesa-desak, dan iklan”.
(Hujan Bulan Juni : 4)
b) Keterangan : alur yang terdapat dalam novel “Hujan
Bulan Juni” adalah alur campuran atau alur maju
mundur. Novel „
“Hujan Bulan Juni” terdiri dari 5 (lima) bab yang diawali dengan
pengenalan situasi. Pada bab satu cerita diawali dengan pengenalan
kejadian yang menceritakan tokoh Sarwono yaitu seorang dosen UI yang
diperintahkan oleh Kaprodinya di FISIP-UI untuk menuntaskan
penelitiannya tentang daerah pinggiran Kali Code. Permasalahan yang
muncul dari penelitian tersebut mengenai masalah sosial yaitu kedudukan
sosial masyarakat di daerah tersebut.
Pada tahap pengenalan diceritakan juga bahwa Sarwono selain
bekerja sebagai dosen di UI juga seorang penyair.
d. Latar
1) Latar tempat
a) Data : “ kali ini ia sedang di Yogya untuk kesekian kalinya
atas perintah Kaprodinya di FISIP-UI yang disampaikan
ketika ia baru saja pulang dari peneliti yang menguras
pikiran, perasaan, tenaga, dan entah apa lagi.”
(Hujan Bulan Juni : 1)
64
b) Keterangan : Sarwono sedang berada di Yogyakarta untuk
melakukan penelitian. Latar tempat selanjutnya yaitu
Jakarta yang sangat padat dan mulai tidak nyaman dengan
asap knalpot yang ditimbulkan oleh kendaraan bemotor.
2) Latar waktu
a) Data : “Eric Patiasiana yang lebih Betawi dari Betawi yang
tinggal di kampung Ambon Rawamangn itu mengirim sms
memintanya untuk membuka e-mail.” Ada tugas mendadak
umtukmu, “ pesannya”. (Hujan Bulan Juni : 27)
b) Keterangan : kutipan tersebut menunjukkan bahwa masa
sekarang komunikasi dapat dilakukan dengan mudah yaitu
dengan e-mail, beda dengan masa dulu yaitu alat
komunikasinya menggunakan surat.
3) Latar sosial budaya
a) Data : Dalam dongeng Toar, Hartini tidak menjawab
sepatah kata pun, sampai hari ini pun tidak pernah. Namun,
laki-laki Manado yang ejak pertama kali bertemu diam-
diam mengagumi kecantikannya itu menganggap bahwa
bahwa diam, bagi orang Jawa, berarti „ya‟ atau „mau‟
pokoknya jawaban positif.” (Hujan Bulan Juni : 23)
b) Keterangan : Budaya Jawa yang identik diam yang berarti
setuju. Dalam hal ini pepatah Jawa mengatakan bahwa
orang pendiam yang punya perilaku “anteng, meneng,
jatmika” akan lebih bijak. Diam adalah emas.
e. Sudut pandang
1) Persona ketiga
a) Data : “ketika turun dari lantai tiga sebuah hotel di
Bulaksumur, dekat kampus UGM, yang ada di kepala
Sarwono hanya satu: ke Malioboro mencari kios majalah.
Kali ini ia sedang di Yogya untuk kesekian kalinya atas
perintah kaprodinya di FSIP-UI yang disampaikan ketika ia
baru saja pulang dari penelitian yang meguras pikiran,
perasaan, tenaga, dan entah apa lagi.”
(Hujan Bulan Juini : 1)
b) Keterangan : pengisahan cerita yang mempergunakan sudut
pandang persona ketiga, gaya “dia”, narator adalah seorang
yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh
cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia,
mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama,
65
kerap atau terus-menerus disebut, dan sebagai variasi
dipergunakan kata ganti. Hal ini akan mempermudah
pembaca atau siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang
bertindak.
f. Amanat
1) Toleransi antar umat beragama
a) Data : “kata Ibu, kita harus empan mapan. Meskipun tidak
suka, harus bertata cara sesuai dengan tempatnya.”
“Tapi ini kan bukan Manado.”Pokoknya begini, Manado dan
Gorontalo kan bersekutu menghadapi i kenyataanya perut Manado dan
Gorontalo menyukai msakan yang boleh dibilang sama.
(Hujan Bulan Juni : 47)
b) Keterangan : Dimanapun kita berada, kita harus bertindak
dan bersikap sesuai dengan aturan yang ada di daerah
tersebut. Setiap orang mmiliki prinsip hidup yang berbeda-
beda oleh karena itu kita harus menghargai prinsip hidup
orang lain, menghargai pendapat orang lain, serta menaatai
aturan-aturan atau norma yang berlaku di daerah tersebut.
2) Toleransi budaya dan suku
a) Data : “selama mendengarkan khotbah di Mesjid Gedhe ia tetap
mendengar kata demi kata Pingkan di sela-sela seruan
pengkhotbah untuk tidak memanfaatkan agama sebagai alat
untuk mencapai apa pun, kecuali untuk mendekatkan diri
dengan Allah. Itu perintah Allah, itu perintah Muhammad
SAW, itu yang menjadi dasar keyakinannya sebagai orang
yang harus menghargai keyakinan orang lain, yang selalu
mengingatkannya untuk mengharamkan kata „ilyan‟ dalam cara
berpikirnya, biarlah kata itu tetap ada di kamus, tetapi tidak
perlu digunakan untuk mencibir, apa lagi menyiksa orag lain.”
(Hujan Bulan Juni : 76)
b) Keterangan : dalam menjalani kehidupan sosial tidak bisa di
pungkiri akan ada masalah-masalah yang akan dapat terjadi
antar kelompok masyarakat, baik yang berkaitan dengan agama
atau ras. Dalam rangka menaga persatuan dan kesatuan dalam
masyarakat maka diperlukan sikap saling menghargai dan
menghormati, sehingga tidak terjadi masalah-masalah yang
dapat menimbulkan pertikaian.
66
3) Kesetiaan cinta sepasang kekasih
a) Data : “karepku ngene, lho sar. Kowe rak bocah ontang
anting, yen milih bojo sing ati-ati supaya tembe mburine
ora ngrusuhi aku lan ibumu, “kata ayahnya.”
(Hujan Bulan Juni : 90)
(keinginanku begini sar. Kamu kan anak satu-satunya, kalau milh
isteri harus hati-hati supaya tidak menyesal dibelakang tidak mengganggu
aku dan ibumu,”)
b) Keterangan : Ayah menasehati Sarwono bahwa dalam
memilih pendamping hidup harus hati-hati supaya tidak
menyesal. Ada beberapa faktor yang lebih penting
didahulukan untuk memilih pendamping hidup. Misalnya
taat beragama, dari lingkungan yang baik, penyabar,
amanah, dan lain-lain.
2. Struktur novel Madrasah Cinta
a. Tema : pencarian cinta seseorang yang terlambat menikah karena
terlalu fokus dengan jenjang akademis.
b. Alur : alurnya maju-mundur, kemudian maju (persilangan). Cerita
diawali dengan kunjungan Zahrana ke China untuk menerima
penghargaan dari Universitas ternama. Setelah itu Flash Back
(mundur) ke kehidupan Zahrana ketika asyik mengejar prestasi
akademik. Setelah itu alur maju samapi tamat.
c. Sudut pandang : novel ini menggunakan sudut pandang orang
ketiga (Dia).
d. Tokoh dan penokohan :
1) Dewi Zahrana : cantik, pintar, berorientasi Akademik,
egois, berpendirian kukuh pada awalnya kemudian menjadi
orang yang tawakkal di tenagh cerita.
2) Pak Munajib : keras, kuat memegang prinsip, disiplin.
67
3) Bu Nuriyah : keibuan, sedikit gamang.
4) Pak Sukarman : otoriter, ingin menang sendiri, amoral.
5) Lina : pengertian, setia menolong.
6) Hasan : dewasa, mandiri, pantang menyerah, optimis.
7) Rahmat : rendah hati, sedikit minder, tipe pekerja keras.
8) Pak didik : perhatian.
9) Bu Merlin : baik hati, sedikit penakut.
10) Bu Zulaikha : pengertian, perhatian.
e. Amanat : amanat dari novel ini seperti yang disampaikan
penulisnya (Habiburrahman El Shirazy) adalah, bahwa hidup kita
harus ditata rapi, direncanakan. Bolehlah kita mengejar prestasi
akademis, tapi jangan sampai melupakan hal lain, termasuk
menikah. Menikah adalah sunnah Nabi. Jangan sampai menunda-
nunda jika waktunya tiba.
3. Kajian intertekstual sosial dalam novel Hujan Bulan Juni
a. “Ia mencintai gadis itu, tetapi tidak mampu brrbuat apa pun tak
terkecuali menulis puisi kalau sedang dalam keadaan puyeng
memikirkannya. Ia harus menimbang-nimbang cintanya, atau
hanya mampu menimbang-nimbangnya, kalau dalam keadaan
tenang-setenang-tenangnya menghadapinya agar bisa di ajak
berbicara yang kemudian diselipkannya di antara larik-larik
sajaknya.
(Hujan Bulan Juni, 2015: 25).
Kutipan di atas menggambarkan bahwa Sarwono pandai memanfaatkan
potensi yang dimilikinya untuk menafkahi diri sendiri selama berada di Jakarta.
Sarwono pandai menulis, dengan kemampuannya membuat puisi, artikel, opini,
68
atau apapun yang layak diterbitkan di koran atau majalah Sarwono mampu hidup
mandiri karean ia tidak ingin menyusahkan kedua orang tuanya.
b. “Rupanya tante-tante itu membawa amanat kaumnya agak
membujuk Bu Palenkahu mengawasi anak perempuannya,
khawatir kalau jatuh ke tangan si Jawa itu, ya Sarwono itu. (Hujan
Bulan Juni, 2015:85).
Kutipan diatas menggambarkan bahwa selain permasalahan keyakinan dan
agama, faktor lain yang menimnulkan kecemasan pada Sarwono yang menjadi
tokoh utama adalah ketika Pingkan harus diutus ke Jepang oleh Kaprodi tempat
Pingkan bekerja.
c. “Kamu menantuku, Matindas.” Sarwono diam lagi beberapa detik,
lalu mencium tangan bu pelenkahu. Ia harus segera melaporkan
segalanya kepada keluarganya. (Hujan Bulan Juni, 2015:85)
Kutipan di atas menunjukkan sikap terbuak dari Hartini. Sebagai
perempuan Jawa ia tentu dianggap terlalu berani untuk meminta seorang lelaki
meminang anaknya. Keterusterangan tersebut dipengaruhi oleh pola pikir budaya
Manado yang lebih terbuka.
d. “Ya jangan bingung. Kalian berdua itu Indonesia Raya,” komentar
Sarwono waktu itu .” (Hujan Bulan Juni, 2015:18)
Kutipan di atas mendeskripsiken mengenai tema hubungan cinta beda
agama juga merepresentasi keadaan sosial budaya masyarakat Indonesia.
Pernikahan bukan hanya terpautnya hati dua insan, tapi lebih dari itu. Pernikahan
sebagai leburnya dua keluarga dan kebudayaan.
e. “kata Ibu, kita harus empan mapan. Meskipun tidak suka, harus
bertata cara sesuai dengan tempatnya.”“Tapi ini kan
bukanManado.”Pokoknya begini, Manado dan Gorontalo kan
bersekutu menghadapi Jawa hehehe.”“Tapi..”“Meskipunkitab
69
berbeda.”Kitab boleh berbeda. Tetapi kenyataanya perut Manado
dan Gorontalo menyukai msakan yang boleh dibilang sama.
(Hujan Bulan Juni : 47)
Kutipan di atas menggambarkan bahwa dimanapun kita berada, kita harus
bertindak dan bersikap sesuai dengan aturan yang ada di daerah tersebut. Setiap
orang mmiliki prinsip hidup yang berbeda-beda oleh karena itu kita harus
menghargai prinsip hidup orang lain, menghargai pendapat orang lain, serta
menaatai aturan-aturan atau norma yang berlaku di daerah tersebut.
f. “Sar, ini kan jam setengah 12, jumat. Pergi sana kamu ke Mesjid
Gedhe. Nanti telat lho. Yen kowe telat, dongan ora bakal ditampa.
Naik becak yang tadi dipakai aja, biar cepat.” (Hujan Bulan
Juni,2015:74)
Amanat yang terkandung dari kutipan tersebut adalah tentang toleransi
antar umat beragama, terbukti dengan Pingkan yang bergama Kristen,
mengingatkan Sarwono untuk melakukan sholat Jumat. Manusia merupakan
makhluk individu sekaligus juga sebagai makhluk sosial.
g. “Hanya ada gereja dan mesjid, Meneer, “kata si mahasiswa.
Sarwono dan pingkan tidak kaget lagi mendengar sapaan itu sebab
ketika memberikan ceramah di kampus kemarin mahasiswa yang
bertanya selalu menyapanya „Meneer‟. Begitu keluar dari kota
kedua orang muda Jakarta itu menyaksikan adegan yang biasa
mereka saksikan di Jakarta: beberapa kelompok orang mencegat
mobil untuk mengumpulkan dana bagi pembangunan Rumah
Tuhan. Bedanya adalah, di Jakarta Rumah Tuhan itu mesjid , di
Menado tentu saja gereja.” (Hujan Bulan Juni,2015:30)
Kutipan di atas menggambarkan kehidupan sosial masyarakat di Manado
dan Jakarta dan Manado membuat tempat ibadah dengan cara bergotong royong,
dan dana yang digunakan untuk membat rumah ibadah pun usaha sendiri. Tidak
menggunakan dana dari pemerintah. Hal tersebut menggambarkan bahwa
masyarakat Manado masih erat dengan kerja sama.
70
4. Kajian intertekstual sosial dalam novel Madrasah Cinta
a. “Lelaki itu mangguk-mangguk percaya. Dengan segera ia
memberikan uang kepada si dukun. Dan ia pun kemudian pulang
ke rumah. Esok harinya, ia berniat untuk pergi bertamu ke rumah
wanita. Ia mengambil mantra dan mengucapkannya dengan hati-
hati”.
(Madrasah Cinta : 82)
Pada kutipan tersebut menggambarkan bagaimana cara seorang laki-laki
agar bisa mendapapatkan seorang perempuan yang selama ini telah di idam-
idamkan dengan cara mempercayai kekuatan dukun daripada Allah.
b. “Ali bin Abi Thalib pun bergegas pun bergegas pergi. Tak lama
kemudian, ia datang ke rumah janda beranak tiga itu dengan
membawa banyak makanan. Ia memberikannya kepada ibu
keluarga miskin tersebut. “Berikan makan segera anak-anakmu.
Pergunakan makanan pokok itu untuk kalian. Dan gunakan sedikit
uang ini untuk membeli kabutuhan kalian lainnya.” (Madrasah
Cinta : 91)
Kutipan tersebut menggambarkan tentang seseorang yang sangat baik dan
mempunyai hati suci untuk saling menolong terhadap sesama manusia ciptaan
Allah.
c. “Dekati dan cinta orang-orang miskin di sekitar kita. Tebarkan
empati dan doa untuk mereka. Semoga mereka diberikan kekuatan
dan kesabaran menjalani kehidupan ini. Berikanlah hak mereka dan
sedikit rezeki yang kita punya. Ingat, semua ini bkan milik kita
seutuhnya. Semua ini hanya titipan ilahi.” (MadrasaH Cinta : 92)
Kutipan tersebut menggambarkan tentang bagaimana kita di ajarkan untuk
saling menyayangi terhadap sesama manusia.
d. “Ibu, yang membersihkan halaman masjid adalah kami semua.
Kami ingin membantu ibu yang selalu kecapaian setiap pagi untuk
membersihkan halaman seluas ini.” (Madrasah Cinta : 100)
71
Kutipan tersebut menggambarkan tentang seseorang yang sangat berbakti
kepada orang tua meskipun bukan orang tua kandung mereka sendiri.
e. “Dengan penyebutan waktu yang tepat, kita akan bisa memprediksi
segala sesuatunya berdua. Seperti biaya yang bakal di habiskan
untuk biaya pernikahan dan keluarga ke depan. Jadi, kita bisa
mempersiapakan secara matang mulai dari sekarang. “ (Madrasah
Cinta : 113)
Kutipan tersebut menggambarkan bagaimana cara kita di ajarkan tentang
kehidupan yang lebih sempurna dn bisa membahagiakan keluarga.
B. Pembahasan
a. Sinopsis novel Hujan Bulan Juni
Sosok Sarwono adalah dosen muda yang mengajar Antropolog
yang lihai dalam membuat baitan puisi memenuhi sudut surat kabar ini
menjalin hubungan dengan Pingkan, Pingkan sendiri merupakan dosen
muda di prodi Jepang. Padadasarnyamerekasudahkenalsejak lama,
apalagiSarwonosendiriadalahtemandarikakakPingkan, Toar.Mereka pun
bingungsampaikapanhubunganinidapatberlanjutkepernikahan.Sebuahprose
si yang
membutuhkanpemikirandantahaplebihdewasa.Sementarapadasaatini,
merekamasihasyikdengan status pacaransekarang.Adabanyaklikuanhidup
yang dihadapiSarwonodenganPingkan.Terlebihmerekaadalahsosok yang
berbedadarikota, budaya, suku, bahkan agama.Sarwono yang
darikecilhidup di Solo, sudahpasti orang Jawa.
SedangkanPingkanadalahcampuranantaraJawadenganMenado.IbuPingkan
72
adalahketurunanJawa yang lahir di Makassar,
sedangkanbapakPingkanberasaldariMenado.Di
sinimerekaberduatidakmempersoalkanapaitusukubeda, atapunkeyakinan
yang berbeda.YaSarwono yang sangattaatpadaagamanya (Islam),
dansosokPingkan yang jugameyakini agama (Kristen)
sepenuhhati.Permasalahantentang agama
inidikuatkanolehkeluargabesarPingkan yang di
Menado.DenganberbagaicaramerekaselalubertanyapadaPingkantentanghub
ungannyadenganSarwono.Pertanyaan yang terlihatberniatmenyudutkan,
berharapPingkantidakmelanjutkanhubungandenganSarwono.Harapankelua
rgabesarnyaadalahdiamenikahisosokdosenmuda yang pernahkuliah di
Jepangdansekarangmengajar di Menado.Sosokpemuda yang
daridulujugamenaksirPingkan.Namundenganberbagaiupaya,
Pingkantetapbersikukuhmempertahankanhubunganitudenganserius.Bahka
n,
diaberencanakalaumenikahakanmeninggalkanManadodantinggalselamany
a di Jakarta.
Tempatdiaberkerjasebagaidosen.HubunganasmaraPingkandanSarwonoiniti
dakhanyamendapatkanarah darikeluargabesarPingkansaja.
KetikaPingkanberhasilmendapatkanbeasiswakeJepang,
Sarwonomerasakehilangandanketakutan.Ketakutannyabukandarikeraguann
yaatascintaPingkan, namunlebihpadakehidupandan orang yang ada di
Jepang.Yah, di
73
JepangadasosoksontoloyoKatsuo.KatsuosendiriadalahdosenJepang yang
pernahkuliah di UI,
tempatSarwonodanPingkanmengajarsekarang.Danselama di Indonesia,
KatsuosangatdekatdenganPingkan.TidakhanyaalurtentangbagaimanaSarwo
nomenahandiridanmeyakinkandirinyasendirikalauPingkantetap
setiapadanya.Di
sinijugaadaceritabagaimanaSarwonoharuskuatmelawanbatuk yang
tidakberkesudahan.Batuk yang padaakhirnyamembuatdiaharusterkapar di
pembaringanRumahSakit.Ada jugakisahtentangartidaripenamaanPingkan,
yanamaPingkandiambildarisebuahcerita yang sudahmelegenda di Menado.
b. Sisnopsis novel Madrasah Cinta
Cinta sejati adalah sebuah jalan terang dan bahagia bagi diri kita.
Karena ia menenagkan, mampu menentramkan, penuh cinta dan kasih
sayang. Ia tidak pernah menyakiti, apalagi melukai. Ia selalu melindungi
dan membimbing kita untuk menuju rahmat ilahi. Cinta penuh keberkahan
tumbuh dari sikap yang benar dan tepat. Madrasah Cinta ini membimbing
kita untuk bersikap yang benar dan tepat dalam mewarnai cinta. Dari ulai
memaknai cinta dan mengenal jenis cinta, bangkit karena kekecewaan
terhadap cinta, membimbing diri kita ketika jatuh cinta, menunggu jodoh
dengan baik, memilih pasangan dengan cermat dan tepat, hingga akhirnya
berujung pada kehalalan dan kebaikan. Semoga dengan semuai ini, kita
bisa menemukan cita sejati kita hingga akhir masa in, kita bisa
74
menemukan cinta sejati kelak hingga akhir masa dan bahkan hingga surga
kelak amin.
Buku ini tidakmhanya mencerahkan pikiran, tetapi juga
menyeegarkan jiwa. Terutama bagi para pemuja cinta agar tidak sesat di
jalan. Maka masukkan dalam madrsah cinta dapat memancrkan
kemurniannya dengan begitu indah. Agar cinta tak jadi musibah. Agar
cinta benar-benar berbuah berkah.
c. Perbandingan antara novel Hujan Bulan Juni dan Madrasah Cinta
a) Persamaan
1) Tema
Tema pada novel Hujan Bulan Juni dan Madrasah
Cintamempunyai persamaan, yaitu tentang bagaimana cara
menjalani hubungan cinta kehidupan. Pada novel Hujan Bulan Juni
yang menceritakan tentang pencintaan seorang kekasih yang
berbeda agama dan budaya, dan pada novel Madrasah
Cintapencarian cinta seseorang yang terlambat menikah karena
terlalu fokus dengan jenjang akademis. Dalam penggunaan
bahasanya menggunakan bahasa sehari-hari (bahasa Indonesia)
namun terdapat campuran bahasa daerah.
2) Alur
Novel Hujan Bulan Junidan Madrasah Cinta sama-sama
menggunakan alur campuran.
3) Sudut pandang
75
Novel Hujan Bulan Juni dan Madrasah Cinta sama-sama
menggunakan sudut pandang orang ketiga.Pada kedua novel
tersebut, penulis sering menggunakan kata ganti “Dia” sebagai
tokoh utama.
b) Perbedaan
Perbedaan anatara novel Hujan Bulan Juni dan Madrasah Cinta.
Selain memiliki persamaan, juga memiliki perbedaan. Perbedaan pada
aspek latar yang ditunjukkan dalam novel Hujan Bulan Juni lebih
kompleks daripada pada novel Madrasah Cinta, baik dari segi latar
tempat, waktu, maupun suasana. Amanat yang terkandung dalam novel
hujan bulan juni yaitu adanya toleransi antar umat beragama. Seperti pada
kutipan di bawah ini: “kata Ibu, kita harus empan mapan. Meskipun tidak
suka, harus bertata cara sesuai dengan tempatnya.”
“Tapi ini kan bukan Manado.”Pokoknya begini, Manado dan
Gorontalo kan bersekutu menghadapiJawa hehehe.”“Tapi..”“Meskipun
kitab berbeda.”Kitab boleh berbeda. Tetapi kenyataanya perut Manado dan
Gorontalomenyukai msakan yang boleh dibilang sama.
(Hujan Bulan Juni : 47)
selanjutnya adanya toleransi budaya dan suku, seperti pada kutipan
di bawah ini.
“selama mendengarkan khotbah di Mesjid Gedhe ia tetap
mendengar kata demi kata Pingkan di sela-sela seruan pengkhotbah untuk
tidak memanfaatkan agama sebagai alat untuk mencapai apa pun, kecuali
untuk mendekatkan diri dengan Allah. Itu perintah Allah, itu perintah
Muhammad SAW, itu yang menjadi dasar keyakinannya sebagai orang
76
yang harus menghargai keyakinan orang lain, yang selalu
mengingatkannya untuk mengharamkan kata „ilyan‟ dalam cara
berpikirnya, biarlah kata itu tetap ada di kamus, tetapi tidak perlu
digunakan untuk mencibir, apa lagi menyiksa orag lain.”
(Hujan Bulan Juni : 76)
Sedangkan amanat yang terkandung dalam novel madrasah cinta
seperti yang disampaikan penulisnya (Habiburrahman El Shirazy) adalah,
bahwa hidup kita harus ditata rapi, direncanakan. Bolehlah kita mengejar
prestasi akademis, tapi jangan sampai melupakan hal lain, termasuk
menikah. Menikah adalah sunnah Nabi. Jangan sampai menunda-nunda
jika waktunya tiba.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di simpulkan bahwa
novel Hujan Bulan Juni dan Madrasah Cinta merupakan novel yang berlatar
belakang tentang kehidupan sebuah cinta, dengan struktur persamaan dan
perbedaan, serta kajian intertekstual sosial yang terdapat dalam kedua novel
tersebut.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini memberikan saran berikut:
1. Kepada para siswa yang membaca novel Hujan Bulan Juni dan
Madrasah Cinta , hendaknya mengambil nilai-nilai positif dan dapat
menghindari nilai-nilai negatif bai yang tersurat maupun yang yang
tersirat dalam cerita kedua novel tersebut.
2. Konflik yang terjadi dalam novel ini dapat di jadikan pedoman hidup
tentang bagaimana cara tokoh utama mengatasi berbagai permasalahan
yang menimpanya, bercerita tentang ketegaran yang memperkaya dunia
batin kita.
3. Bagi pembaca, harapan penulis adanya penelitian ini diharaoakan dapat
meningkatkan apresiasi pembaca terhadap karya sastra karena penelitian
78
yang dilakukan dengan memakai objek karya sastra sebagai
penelitiannya sering kali dapat bermanfaat bagi para pembaca.
79
DAFTAR PUSTAKA
Anam, Anam Khoirul. 2008. Dzikir-Dzikir Cinta. Yogyakarta: DivaPress.
Atmowiloto. 2007. Canting. Jakarta: Gramedia.
Dhika Dyah Ayu, Raraningrum. 2011. “Aspek Gender dalam Novel Ronggeng
Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari dan Sintren Karya Dianing
Widya Yudhistira: Kajian Interteks”. Jurnal Pendidikan dan
Pembelajaran, (online), (https://media.neliti.com/, di akses 28
Desember 2017).
F, Zulfahnur Z., Sayuti Kurnia, dan Zuniar Z. Adji. 1997. Teori Sastra. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Gifford, Henry. 1995. Comparative Literature: A Critical Introduction. USA:
Black-well Oxford UK & Canbridge.
Imron, Ali. 2005. Sifat Hipogram. Yogyakarta: UGM Press.
Kenney, William . 1966. How To Analyze Fiction. New York: Monarch Press.
Mahayana, Maman S.2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:Gadjah Mada
University Press.
Pradopo, Djoko Rachmat. 1987. Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan
Analisis Strktural Dan Semiotik. Yogyakarta: UGM Press.
Riffaterre, Michael. 1978. Semiotic Of Poetry. London: Indiani of University
Press.
RP Murniati. 2014. Analisis Repetisi Pada Novel Rembulan Tenggelam di
Wajahmu Karya Tere Liye. Jurnal Pendidikan, (Oline),
(http://eprints.ums.ac.id>NASKAH_PUBLIKASI, diakses 2 Januari
2018.
Salfia, Nining. 2015. Nilai Moral Dalam Novel 5 Cm Karya Donny
Dhirgantoro(online).http://ois.uho.ac.id/indexphp/HUMANIKA/artic
le/download/595/pdf(diakses 06 Januari 2018).
80
Salim, A. (2002).Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sayuti, Suminto A. 1997. Apresiasi Prosa Fiksi. Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Semi, Atar. 1993. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.
Soekanto.2001.Teori
Sosial(online).https://www.google.com/search?q=pengertian+sosial&i
e=utf-8&oe=utf-8&client=firefox-b-ab/449/pdf(diakses 11 Januari
2018).
Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Raya.
Tarigan. 1984. Pengertian Novel. Bandung: Angkasa.164.
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung:
Angkasa.137.
Teeuw, A. 1983.“Teori Sastra Dan Penelitian Sastra”. Yogyakarta: Makalah
Proyek Peningkatan Pengembangan Perguruan Tinggi UGM.
Thahar, Haris Effendi. 2006. “Kekerasan Dalam Cerpen-cerpen Koran Pilihan
KOMPAS 1992-1993: Suatu Tinjauan Struktural Genetik” dalam
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan No. 062 Tahun Ke-12. Halaman
707-736.
Umar Kayam. 2001. Para Priyayi. Jakarta: Grafiti.
Waluyo.2002. Pengkajian Sastra Rekaan. Salatiga: Widyasari Press.
Waluyo, Herman J. 2002. Drama: Teori Dan Pengajarannya. Yogyakarta:
Hanindita Graha Widya.
Waluyo, Herman J. 2006. Pengkajian Dan Apresisai Prosa Fiksi. Surakarta:
Sebelas Maret University Press.
Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: pustaka.
L
A
M
P
I
R
A
N
82
KORPUS DATA
A. Novel Hujan Bulan Juni
Jawa hehehe.”“Tapi..”“Meskipun kitab berbeda.”Kitab boleh berbeda. Tetap“apa
dosa dan salahku maka aku telah mencintai laki-laki Jawa yang sering zadul
mikrnya ini?”
(Hujan Bulan Juni:36).
“Sar kamu ini sudah sekolah tinggi-tinggi tapi otakmu masih juga ngelesot di
bawah pohon sawo kecil di halaman keraton itu”.
(Hujan Bulan Juni : 13).
“itu sebabnya ia memilih sekolah Akademi Bank saja agar cepat selesai tanpa
membebani ibunya. Kalau bisa malah bisa membantu biaya kuliah pingkan.
Ternyata tidak hanya kerajinannya, tetapi juga tampangnya, telah membantunya
cepat mendapat posisi baik di bank tempatnya bekerja”.
(Hujan Bulan Juni : 106).
“Ya dianggapnya menggelikan konsep itu, Kali Code kab di tengah-tengah kota,
kok diaggap dihuni masyarakat pinggiran, katanya kepada atasannya waktu
pertama kaali dulu diajak merancang proyek itu”.
(Hujan Bulan Juni : 2)
“Dan memang benar. Ada puisinya di koran, tiga buah, di sudut halaman yang
pasti kalah meriah dibanding berita politik, kriminal, gambar-gambar yang
semakin lama semakin berdesa-desak, dan iklan”.
(Hujan Bulan Juni : 4)
“ kali ini ia sedang di Yogya untuk kesekian kalinya atas perintah Kaprodinya di
FISIP-UI yang disampaikan ketika ia baru saja pulang dari peneliti yang menguras
pikiran, perasaan, tenaga, dan entah apa lagi.”
(Hujan Bulan Juni : 1)
83
“Eric Patiasiana yang lebih Betawi dari Betawi yang tinggal di kampung Ambon
Rawamangn itu mengirim sms memintanya untuk membuka e-mail.” Ada tugas
mendadak umtukmu, “ pesannya”.
(Hujan Bulan Juni : 27)
Dalam dongeng Toar, Hartini tidak menjawab sepatah kata pun, sampai hari ini
pun tidak pernah. Namun, laki-laki Manado yang ejak pertama kali bertemu diam-
diam mengagumi kecantikannya itu menganggap bahwa bahwa diam, bagi orang
Jawa, berarti „ya‟ atau „mau‟ pokoknya jawaban positif.”
(Hujan Bulan Juni : 23)
“ketika turun dari lantai tiga sebuah hotel di Bulaksumur, dekat kampus UGM,
yang ada di kepala Sarwono hanya satu: ke Malioboro mencari kios majalah. Kali
ini ia sedang di Yogya untuk kesekian kalinya atas perintah kaprodinya di FSIP-
UI yang disampaikan ketika ia baru saja pulang dari penelitian yang meguras
pikiran, perasaan, tenaga, dan entah apa lagi.”
(Hujan Bulan Juini : 1)
“kata Ibu, kita harus empan mapan. Meskipun tidak suka, harus bertata cara
sesuai dengan tempatnya.”“Tapi ini kan bukan Manado.”Pokoknya begini,
Manado dan Gorontalo kan bersekutu menghadapi i kenyataanya perut Manado
dan Gorontalo menyukai msakan yang boleh dibilang sama.
(Hujan Bulan Juni : 47)
“selama mendengarkan khotbah di Mesjid Gedhe ia tetap mendengar kata demi
kata Pingkan di sela-sela seruan pengkhotbah untuk tidak memanfaatkan agama
sebagai alat untuk mencapai apa pun, kecuali untuk mendekatkan diri dengan
Allah. Itu perintah Allah, itu perintah Muhammad SAW, itu yang menjadi dasar
keyakinannya sebagai orang yang harus menghargai keyakinan orang lain, yang
selalu mengingatkannya untuk mengharamkan kata „ilyan‟ dalam cara
berpikirnya, biarlah kata itu tetap ada di kamus, tetapi tidak perlu digunakan untuk
mencibir, apa lagi menyiksa orag lain.”
(Hujan Bulan Juni : 76)
“Ia mencintai gadis itu, tetapi tidak mampu brrbuat apa pun tak terkecuali
menulis puisi kalau sedang dalam keadaan puyeng memikirkannya. Ia harus
menimbang-nimbang cintanya, atau hanya mampu menimbang-nimbangnya,
kalau dalam keadaan tenang-setenang-tenangnya menghadapinya agar bisa di ajak
berbicara yang kemudian diselipkannya di antara larik-larik sajaknya.
84
(Hujan Bulan Juni, 2015: 25).
“Rupanya tante-tante itu membawa amanat kaumnya agak membujuk Bu
Palenkahu mengawasi anak perempuannya, khawatir kalau jatuh ke tangan si
Jawa itu, ya Sarwono itu.
(Hujan Bulan Juni, 2015:85).
“Kamu menantuku, Matindas.” Sarwono diam lagi beberapa detik, lalu mencium
tangan bu pelenkahu. Ia harus segera melaporkan segalanya kepada keluarganya.
(Hujan Bulan Juni, 2015:85)
“Ya jangan bingung. Kalian berdua itu Indonesia Raya,” komentar Sarwono
waktu itu .”
(Hujan Bulan Juni, 2015:18)
“kata Ibu, kita harus empan mapan. Meskipun tidak suka, harus bertata cara
sesuai dengan tempatnya.”“Tapi ini kan bukan Manado.”Pokoknya begini,
Manado dan Gorontalo kan bersekutu menghadapi Jawa
hehehe.”“Tapi..”“Meskipun kitab berbeda.”Kitab boleh berbeda. Tetapi
kenyataanya perut Manado dan Gorontalo menyukai msakan yang boleh dibilang
sama.
(Hujan Bulan Juni : 47)
“Sar, ini kan jam setengah 12, jumat. Pergi sana kamu ke Mesjid Gedhe. Nanti
telat lho. Yen kowe telat, dongan ora bakal ditampa. Naik becak yang tadi dipakai
aja, biar cepat.”
(Hujan Bulan Juni,2015:74)
“Hanya ada gereja dan mesjid, Meneer, “kata si mahasiswa. Sarwono dan
pingkan tidak kaget lagi mendengar sapaan itu sebab ketika memberikan ceramah
di kampus kemarin mahasiswa yang bertanya selalu menyapanya „Meneer‟.
Begitu keluar dari kota kedua orang muda Jakarta itu menyaksikan adegan yang
biasa mereka saksikan di Jakarta: beberapa kelompok orang mencegat mobil
untuk mengumpulkan dana bagi pembangunan Rumah Tuhan. Bedanya adalah, di
Jakarta Rumah Tuhan itu mesjid , di Menado tentu saja gereja.”
85
B. Novel Madrasah Cinta
“Lelaki itu mangguk-mangguk percaya. Dengan segera ia memberikan uang
kepada si dukun. Dan ia pun kemudian pulang ke rumah. Esok harinya, ia berniat
untuk pergi bertamu ke rumah wanita. Ia mengambil mantra dan mengucapkannya
dengan hati-hati”.
(Madrasah Cinta : 82)
“Ali bin Abi Thalib pun bergegas pun bergegas pergi. Tak lama kemudian, ia
datang ke rumah janda beranak tiga itu dengan membawa banyak makanan. Ia
memberikannya kepada ibu keluarga miskin tersebut. “Berikan makan segera
anak-anakmu. Pergunakan makanan pokok itu untuk kalian. Dan gunakan sedikit
uang ini untuk membeli kabutuhan kalian lainnya.”
“Dekati dan cinta orang-orang miskin di sekitar kita. Tebarkan empati dan doa
untuk mereka. Semoga mereka diberikan kekuatan dan kesabaran menjalani
kehidupan ini. Berikanlah hak mereka dan sedikit rezeki yang kita punya. Ingat,
semua ini bkan milik kita seutuhnya. Semua ini hanya titipan ilahi.”
(Madrasah Cinta : 92)
“Ibu, yang membersihkan halaman masjid adalah kami semua. Kami ingin
membantu ibu yang selalu kecapaian setiap pagi untuk membersihkan halaman
seluas ini.”
(Madrasah Cinta : 100)
“Dengan penyebutan waktu yang tepat, kita akan bisa memprediksi segala
sesuatunya berdua. Seperti biaya yang bakal di habiskan untuk biaya pernikahan
dan keluarga ke depan. Jadi, kita bisa mempersiapakan secara matang mulai dari
sekarang. “
(Madrasah Cinta : 113)
86
SINOPSIS
Identitas Buku
Judul : Hujan Bulan Juni
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Penerbi : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : Juni 2015
Tebal Buku : 135 Halaman
Sosok Sarwono adalah dosen muda yang mengajar Antropolog
yang lihai dalam membuat baitan puisi memenuhi sudut surat kabar ini
menjalin hubungan dengan Pingkan, Pingkan sendiri merupakan dosen
87
muda di prodi Jepang. Padadasarnyamerekasudahkenalsejak lama,
apalagiSarwonosendiriadalahtemandarikakak Pingkan, Toar. Mereka pun
bingungsampaikapanhubunganinidapatberlanjut kepernikahan.
Sebuahprosesi yang
membutuhkanpemikirandantahaplebihdewasa.Sementarapadasaatini,
merekamasihasyikdengan status pacaransekarang.Adabanyaklikuanhidup
yang dihadapiSarwonodengan Pingkan. Terlebihmerekaadalahsosok yang
berbedadarikota, budaya, suku, bahkan agama.Sarwono yang
darikecilhidup di Solo, sudahpasti orang Jawa.
SedangkanPingkanadalahcampuranantaraJawadenganMenado.IbuPingkan
adalahketurunanJawa yang lahir di Makassar,
sedangkanbapakPingkanberasaldariMenado.Di
sinimerekaberduatidakmempersoalkanapaitusukubeda, atapun keyakinan
yang berbeda.YaSarwono yang sangattaatpadaagamanya (Islam),
dansosokPingkan yang jugameyakini agama (Kristen)
sepenuhhati.Permasalahantentang agama ini
dikuatkanolehkeluargabesarPingkan yang di
Menado.DenganberbagaicaramerekaselalubertanyapadaPingkantentanghub
ungannyadenganSarwono.Pertanyaan yang terlihatberniatmenyudutkan,
berharapPingkantidakmelanjutkanhubungandenganSarwono.Harapankelua
rgabesarnyaadalahdiamenikahisosokdosenmuda yang pernahkuliah di
Jepangdansekarangmengajar di Menado.Sosokpemuda yang
daridulujugamenaksirPingkan.Namundenganberbagaiupaya,
88
Pingkantetapbersikukuhmempertahankanhubunganitudenganserius.Bahka
n, diaberencanakalaumenikahakanmeninggalkan
Manadodantinggalselamanya di Jakarta.
Tempatdiaberkerjasebagaidosen.HubunganasmaraPingkandanSarwonoiniti
dakhanyamendapatkan arah darikeluargabesarPingkansaja.
KetikaPingkanberhasilmendapatkanbeasiswakeJepang,
Sarwonomerasakehilangandanketakutan.Ketakutannyabukandarikeraguann
yaatascintaPingkan, namunlebihpadakehidupandan orang yang ada di
Jepang.Yah, di
JepangadasosoksontoloyoKatsuo.KatsuosendiriadalahdosenJepang yang
pernahkuliah di UI,
tempatSarwonodanPingkanmengajarsekarang.Danselama di Indonesia,
KatsuosangatdekatdenganPingkan.TidakhanyaalurtentangbagaimanaSarwo
nomenahandiridanmeyakinkandirinyasendirikalauPingkan tetap
setiapadanya.Di
sinijugaadaceritabagaimanaSarwonoharuskuatmelawanbatuk yang
tidakberkesudahan.Batuk yang padaakhirnyamembuatdiaharusterkapar di
pembaringanRumahSakit. Ada jugakisahtentangartidaripenamaanPingkan,
yanamaPingkandiambildarisebuahcerita yang sudahmelegenda di Menado.
89
Identitas Buku
Judul : Madrasah Cinta
Penulis : Ayu Nesia
Penerbit : Citra Media
Tahun Terbit : Juni 2015
90
Tebal Buku :166 Halaman
Berat Buku : 180 gr
Cinta sejati adalah sebuah jalan terang dan bahagia bagi diri kita.
Karena ia menenagkan, mampu menentramkan, penuh cinta dan kasih
sayang. Ia tidak pernah menyakiti, apalagi melukai. Ia selalu melindungi
dan membimbing kita untuk menuju rahmat ilahi. Cinta penuh keberkahan
tumbuh dari sikap yang benar dan tepat. Madrasah Cinta ini membimbing
kita untuk bersikap yang benar dan tepat dalam mewarnai cinta. Dari ulai
memaknai cinta dan mengenal jenis cinta, bangkit karena kekecewaan
terhadap cinta, membimbing diri kita ketika jatuh cinta, menunggu jodoh
dengan baik, memilih pasangan dengan cermat dan tepat, hingga akhirnya
berujung pada kehalalan dan kebaikan. Semoga dengan semuai ini, kita
bisa menemukan cita sejati kita hingga akhir masa in, kita bisa
menemukan cinta sejati kelak hingga akhir masa dan bahkan hingga surga
kelak amin.
Buku ini tidakmhanya mencerahkan pikiran, tetapi juga
menyeegarkan jiwa. Terutama bagi para pemuja cinta agar tidak sesat di
jalan. Maka masukkan dalam madrsah cinta dapat memancrkan
kemurniannya dengan begitu indah. Agar cinta tak jadi musibah. Agar
cinta benar-benar berbuah berkah.
91
92
RIWAYAT HIDUP
Intan Prasasti Nur, lahir di Malino pada tanggal 11
Juli 1996. Anak ke empat dari empat bersaudara,
merupakan buah cinta dari pasanagan Ayahanda
Bado dengan Ibunda Anni. Peneliti mulai memasuki
jenjang pendidikan sekolah dasar inpres kampung
baru pada tahun 2002 dan tamat pada tahun 2008,
kemudian melanjutkan pendidikan SMP Negeri 1
Tinggimoncong pada tahun 2009 dan tamat pada tahun 2011, pada tahun yang
sama penulis melanjutkan pendidikan SMA Negeri 1 Tinggimoncong dan tamat
pada tahun 2014. Pada tahun 2014 penulis kemudian terdaftar sebagai mahasiswa
jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Muhammadiyah Makassar.
top related