hubungan intertekstual novel misteri cincin yang...
TRANSCRIPT
-
HUBUNGAN INTERTEKSTUAL NOVEL MISTERI CINCIN
YANG HILANG KARYA S. MARA GD DAN NOVEL KUBUR BERKUBAH
KARYA AGATHA CHRISTIE
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Debby Agustini
NIM: 054114020
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2009
-
i
HUBUNGAN INTERTEKSTUAL NOVEL MISTERI CINCIN
YANG HILANG KARYA S. MARA GD DAN NOVEL KUBUR BERKUBAH
KARYA AGATHA CHRISTIE
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Debby Agustini
NIM: 054114020
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2009
-
ii
-
iii
-
iv
A Woman Prayer I pray for a man That will be a part of my life A man that really loves You more than everything A man that will take me in the second place of his heart A man that lives not for his self but for You Face and physical attraction are not important The most important is I want a heart that really loves and thirsty of You And has desire to be like Jesus And he must know for whom and for what he lives So his life is not useless Someone that has a wise heart not only smart brain A man that not only loves me, but also respect me A man that not only can adore me, but can warn me when I am wrong A man that loves me not from my smooth levels but from my heart A man can be my best friend in any time and situation A man that makes me feel a women when I am beside him I am not asking for a perfect he But I ask for an important he So I can make he perfect in Your eyes A man that needs my support for the strength A man that needs my prayer for his life A man that needs my smile to cover his sadness A man that needs my love so he could feel love A man that needs me to make he life
And I also ask Make me women that can made he proud Give me a heart that really love You So I could love him with Your love, not love him with my love Give me Your gentle spirit So my personality does not come from my outside, but came from You Give me Your hands that I always be able to pray for him Give me Your eyes so I could so many good things in him not the bad ones Give me Your mouth that is filled with Your words of wisdom and encourage So I could support him everyday Give me Your lips and I will smile at the every time And I want that when we finally meet both of us can say How great thou art Thank you give me someone that can make me like perfect I know that You want us to meet at the right time Amen
Dedicated for: My lovely husband
My parents My little brothers
-
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 12 Mei 2009
Penulis
Debby Agustini
-
vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Debby Agustini
Nomor Mahasiswa : 054114020
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
”HUBUNGAN INTERTEKSTUAL NOVEL MISTERI CINCIN YANG
HILANG KARYA S. MARA GD DAN NOVEL KUBUR BERKUBAH
KARYA AGATHA CHRISTIE”
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak menyimpan, mengalihkan
dalam bentuk lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan
secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk
kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan
royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 5 Juni 2009
-
vii
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan syukur kepada Tuhan yang Mahaesa karena berkat
kasih-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik untuk memenuhi
dan melengkapi syarat guna mencapai gelar Sarjana Sastra pada Fakultas Sastra
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Besarnya tantangan yang dihadapi menyebabkan penulis memohon
bantuan dari berbagai pihak. Dengan segala hormat, penulis hendak
menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat:
1. Ibu SE. Peni Adji, S.S, M.Hum, selaku dosen pembimbing I yang dengan
kesabaran dan kesungguhan membimbing dan mengarahkan dalam
penyusunan skripsi ini.
2. Ibu Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M.Hum, selaku dosen pembimbing II yang telah
meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan.
3. Bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum, selaku dosen penguji.
4. Para dosen dan staf di Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
5. Mama dan adik-adik yang menjadi motivasi penulis menyelesaikan skripsi.
6. Un_tha, suami tercinta yang selalu memberikan seluruh waktu dan cintanya
untuk mendampingi dan memberi semangat penulis.
7. Pakdhe, Vika, dan Snoopy yang rela meminjamkan komputer dan printer.
8. Seluruh mahasiswa Prodi Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma
angkatan 2005.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
-
viii
Akhirnya, dengan penuh kesadaran penulis menyadari segala kekurangan
yang ada dalam skripsi ini. Untuk itu, demi perbaikan skripsi ini, kritik dan saran
yang membangun akan peneliti terima dengan senang hati. Semoga skripsi ini
dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Penulis
-
ix
ABSTRAK
Agustini, Debby. 2009. Hubungan Intertekstual Novel Misteri Cincin yang Hilang Karya S. Mara Gd dan Novel Kubur Berkubah Karya Agatha Christie. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Prinsip intertekstual didasari asumsi bahwa setiap teks baru akan bermakna penuh jika dihubungkan dengan teks lain. Dalam hal ini, penulis menemukan keterkaitan antara novel Misteri Cincin yang Hilang (MCH) karya S. Mara Gd dan novel Kubur Berkubah (KB) karya Agatha Christie dalam tiga unsur intrinsiknya, yakni plot, tokoh dan penokohan, dan tema. Kajian ini bertujuan menganalisis ketiga unsur tersebut dalam kedua novel dan meneliti bentuk-bentuk hubungan intertekstualnya.
Dalam penelitian ini, digunakan pendekatan objektif dalam menganalisis struktur kedua novel tersebut dan pendekatan intertekstual untuk mengkaji hubungan di antara struktur kedua novel. Dalam menjalankan penelitian ini, penulis menggunakan metode analisis untuk menguraikan objek penelitian dan metode deskriptif untuk menjelaskannya dan menyajikannya.
Analisis struktural terhadap kedua novel tersebut menghasilkan pemahaman yang mendalam tentang struktur yang membangun cerita di dalamnya. Kajian intertekstual pada kedua novel tersebut menunjukkan adanya hubungan intertekstual pada unsur plot yang terdapat dalam lima motif, unsur tokoh dan penokohan yang terdapat dalam empat tokoh yang mempunyai peran yang sama, dan unsur tema dalam empat tema minor dan (satu) tema mayor. Novel MCH telah mentransformasikan novel KB yang menjadi hipogramnya. Dalam transformasi tersebut, terdapat beberapa kesamaan dan perbedaan. Kesamaan yang ada merupakan wujud dari penerusan konvensi, yaitu pola pemplotan yang sama dengan memunculkan beberapa motif yang sama, adanya tokoh pemicu terbongkarnya kasus kejahatan, saksi yang terbunuh, tokoh pemecah masalah, dan pelaku utama kejahatan, serta kesamaan pada tema mayor. Perbedaan yang ada merupakan bentuk penyimpangan yang terkait dengan latar sosial-budaya yang berbeda dan menjadi wujud daya kreativitas dan konsep estetika yang tersendiri. Adapun perbedaan dan variasi itu tampak pada motif pembunuhan saksi-saksi, motif penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah, penokohan pelaku utama kejahatan, tokoh pemecah masalah, serta tema minor.
-
x
ABSTRACT
Agustini, Debby. 2009. Intertextual Relationship Between Novel Misteri Cincin yang Hilang By S. Mara Gd and Novel Kubur Berkubah By Agatha Christie. Thesis. Yogyakarta: Department of Indonesian Literature, Faculty of Literature, Sanata Dharma University.
Concept of intertextuality is build with an assumption that every text will get its significance in relation with other text. In this case, the writer found referentiality between Misteri Cincin yang Hilang (MCH) S. Mara Gd and Kubur Berkubah (KB) Agatha Christie on its three instrinsical elements, which are plot, character and characterization, and theme. This study aims to analyze those three elements in both novels and study the referentiality.
In this study, I use objective approach to analyze structural aspect of both novels and intertextual approach to study the relationship of the structure in both novels. To do this study, I use method of analyze to disentangle the object of the study and descriptive method to explain and deliver the result of analysis.
Structural analysis toward both novels results on deep understanding about the structure constructing story in both novels. The study of intertextuality on both novels shows the intertextual relationship on plot element which is on five motives, character and characterization element on four character which have same function, and theme element which is on four minor themes and (a) major theme. MCH has already transformed KB as its hypogram. In this transformation, there are several similarities and differences. The similarities exist are form of convention continuity (affirmation), that are same plotting model in where several similar motives appear, existing of character of case disclosure’s triggerer, murdered witness, problem solver, and the main criminal, and the same major theme. The differences exist are form of deviation which has relation with different sociological-cultural background and become shape of creativity and apart esthetical concept. While the differences and variations appear on motif of witnesses murder, motif of accession toward unguilty person, characterization of main criminal, character of problem solver, and minor theme.
-
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...........................................ii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................iii
HALAMAN PERSEMBAHAN........................... ........................................ iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA............ ............................................v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS……...……………… vi
KATA PENGANTAR .................................................................................vii
ABSTRAK…….. .......................................................................................... ix
ABSTRACT…..... ............................................................................................x
DAFTAR ISI.................................................................................................xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .. ........................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian...................................................................... ......4
1.4 Manfaat Penelitian.................................................................... ......4
1.5 Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori ..... ......................................5
1.5.1 Tinjauan Pustaka ... ......................................................................5
1.5.2 Landasan Teori ............................................................................8
1.5.2.1 Analisis Struktural ....................................................................8
1.5.2.1.1 Plot ... .....................................................................................9
1.5.2.1.2 Tokoh dan Penokohan .........................................................11
1.5.2.1.3 Tema ....................................................................................13
1.5.2.2. Kajian Intertekstual .... ...........................................................14
1.6 Metode dan Teknik Penelitian ... ..................................................16
1.6.1 Metode Penelitian ... ..................................................................16
1.6.2 Teknik Pengumpulan Data ... .....................................................17
1.6.3 Sumber Data ..............................................................................18
1.7 Sistematika Penyajian ... ...............................................................18
-
xii
BAB II ANALISIS STRUKTURAL NOVEL MISTERI CINCIN YANG HILANG
KARYA S. MARA GD DAN NOVEL KUBUR BERKUBAH KARYA AGATHA
CHRISTIE
2.1 Pengantar ......................................................................................19
2.2 Analisis Struktural Novel Kubur Berkubah.. ................................19
2.2.1 Analisis Plot Novel Kubur Berkubah.........................................20
2.2.1.1 Tahap Penyituasian .. ..............................................................20
2.2.1.2 Tahap Pemunculan Konflik ... ................................................23
2.2.1.3 Tahap Peningkatan Konflik.. ..................................................27
2.2.1.4 Tahap Klimaks... .....................................................................28
2.2.1.5 Tahap Penyelesaian... ..............................................................28
2.2.1.6 Pembahasan Plot Novel Kubur Berkubah...............................31
2.2.2 Analisis Tokoh dan Penokohan Novel Kubur Berkubah ... .......32
2.2.2.1 Tokoh Protagonis... .................................................................32
2.2.2.2 Tokoh Antagonis... ..................................................................35
2.2.2.3 Tokoh Bawahan... ...................................................................36
2.2.3 Analisis Tema Novel Kubur Berkubah... ...................................41
2.2.3.1 Tema Minor.............................................................................41
2.2.3.1.1 Keserakahan pada Harta Berakibat Buruk... ........................41
2.2.3.1.2 Cinta Sejati Menuntut Kejujuran... ......................................42
2.2.3.1.3 Bangunan Bersejarah Patut Dilestarikan..............................43
2.2.3.1.4 Orangtua Seringkali Membela Anaknya Meski Bersalah... .45
2.2.3.2 Tema Mayor: Kejahatan Walau Ditutup-tutupi akan
Terbongkar Juga......................................................................... 46
2.2.4 Keterkaitan Antarunsur Intrinsik................................................48
2.3 Analisis Struktural Novel Misteri Cincin yang Hilang.................50
2.3.1 Analisis Plot Novel Misteri Cincin yang Hilang .......................51
2.3.1.1 Tahap Penyituasian .. ..............................................................51
2.3.1.2 Tahap Pemunculan Konflik ... ................................................52
2.3.1.3 Tahap Peningkatan Konflik.. ..................................................55
2.3.1.4 Tahap Klimaks... .....................................................................59
-
xiii
2.3.1.5 Tahap Penyelesaian... ..............................................................60
2.3.1.6 Pembahasan Plot Novel Misteri Cincin yang Hilang.. ...........61
2.3.2 Analisis Tokoh dan Penokohan Novel Misteri Cincin yang
Hilang.........................................................................................62
2.3.2.1 Tokoh Protagonis... .................................................................62
2.3.2.2 Tokoh Antagonis... ..................................................................65
2.3.2.3 Tokoh Bawahan... ...................................................................68
2.3.3 Analisis Tema Novel Misteri Cincin yang Hilang.....................72
2.3.3.1 Tema Minor.............................................................................72
2.3.3.1.1 Keserakahan pada Harta Berakibat Buruk... ........................72
2.3.3.1.2 Cinta Sejati Muncul dari Kejujuran... ..................................73
2.3.3.1.3 Hubungan Sesama Jenis Tidak Diterima oleh Masyarakat...76
2.3.3.1.4 Orangtua Seringkali Membela Anaknya Meski Bersalah... .77
2.3.3.1.5 Bangunan Bersejarah Patut Dilestarikan..............................78
2.3.3.2 Tema Mayor: Kejahatan Walau Ditutup-tutupi akan
Terbongkar Juga...................................................................... 79
2.3.4 Keterkaitan Antarunsur Intrinsik................................................81
2.4 Rangkuman... ................................................................................83
BAB III ANALISIS HUBUNGAN INTERTEKSTUAL NOVEL MISTERI
CINCIN YANG HILANG KARYA S. MARA GD DAN NOVEL KUBUR
BERKUBAH KARYA AGATHA CHRISTIE
3.1 Pengantar ......................................................................................84
3.2 Hubungan Intertekstual Unsur Plot .. ............................................85
3.2.1 Motif Perkenalan Antartokoh ....................................................86
3.2.2 Motif Pembunuhan Saksi-saksi .................................................87
3.2.3 Motif Penyelidikan Kasus .. .......................................................88
3.2.4 Motif Penuduhan terhadap Orang yang Tidak Bersalah .. .........89
3.2.5 Motif Pembongkaran Kasus ......................................................90
3.2.6 Kesimpulan .. .............................................................................91
-
xiv
3.3 Hubungan Intertekstual Unsur Tokoh dan Penokohan .. ..............93
3.3.1 Tokoh Pemecah Masalah .. ........................................................93
3.3.2 Tokoh Pelaku Utama Kejahatan.................................................96
3.3.3 Tokoh Saksi yang Terbunuh.. ....................................................97
3.3.4 Tokoh Pemicu Terbongkarnya Kasus.. ......................................99
3.3.5 Kesimpulan.. ............................................................................100
3.4 Hubungan Intertekstual Unsur Tema.. ........................................102
3.4.1 Tema: Orangtua Seringkali Membela Anaknya meski
Anaknya Bersalah .................................................................... 103
3.4.2 Tema: Keserakahan pada Harta Berakibat Buruk....................103
3.4.3 Tema: Bangunan Bersejarah Patut Dilestarikan.. ....................104
3.4.4 Tema: Cinta Sejati Ada dalam Kejujuran.. ..............................105
3.4.5 Tema: Kejahatan Walau Ditutup-tutupi Akhirnya Terbongkar
Juga .......................................................................................... 106
3.4.6 Kesimpulan.. ............................................................................108
3.5 Rangkuman: Kajian Hipogram.. .................................................109
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan .... ............................................................................112
4.2 Saran ...........................................................................................114
DAFTAR PUSTAKA
-
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penulisan sebuah karya sastra tidak lepas dari sejarah sastra pada masa itu
karena tidak ada sebuah karya sastra yang lahir dalam kekosongan situasi (Teeuw,
1980:11). Hal inilah yang mendasari sebuah kajian intertekstual. Hubungan
intertekstual dapat diartikan sebagai keterkaitan sejarah baik berupa pertentangan
maupun persamaan antarsejumlah teks dengan asumsi sebuah teks merupakan
transformasi teks lainnya (Pradopo, 1995: 167). Kajian intertekstual mempunyai
arti penting dalam memberikan makna penuh kepada karya sastra dalam dimensi
yang baru, lebih penuh dari makna yang dapat digali dari unsur-unsur intrinsik
karya itu sendiri (Teeuw, 1983:69). Dengan demikian, kajian intertekstual dapat
dipahami sebagai usaha menemukan makna baru dari karya sastra dengan
membandingkan unsur-unsur yang ada di dalamnya dengan unsur-unsur yang ada
di dalam karya sastra lain yang menjadi latar belakang sejarahnya.
Dalam hal ini, penulis menemukan keterkaitan antara novel Misteri Cincin
yang Hilang (MCH) karya S. Mara Gd dan novel Kubur Berkubah (KB) karya
Agatha Christie dalam beberapa hal, di antaranya adalah unsur-unsur intrinsik
berupa plot, tokoh dan penokohan, serta tema. Kedua novel tersebut mengandung
tema yang sama, yakni kejahatan yang ditutup-tutupi akhirnya terbongkar juga. Di
samping itu, kedua novel itu memunculkan beberapa tokoh yang memiliki
-
2
kesamaan peran dengan beberapa karakterisasi yang mirip. Plot cerita yang ada
dalam kedua novel tersebut juga mengandung beberapa motif yang sama. Oleh
karena itu, penulis akan menganalisis hubungan intertekstual kedua novel tersebut
secara lebih mendalam.
Penulis tertarik mengkaji kedua novel tersebut karena beberapa alasan.
Pertama, penulis menemukan adanya hubungan pada struktur kedua novel
tersebut. Kedua, sepanjang pengamatan penulis terhadap karya-karya ilmiah yang
mengkaji novel Indonesia, penelitian terhadap novel populer, khususnya novel
detektif Indonesia relatif minim. Hal itu bertolakbelakang dengan relatif
banyaknya penelitian terhadap novel berbobot sastra. Ketiga, pengalaman S. Mara
Gd menerjemahkan novel-novel kriminal-detektif karya Agatha Christie
(Kurniawan, 2002) mendukung teori hubungan intertekstual yang mengatakan
bahwa lahirnya sebuah karya sastra tidak lepas dari sejarah sastra dan situasi yang
tidak kosong. Pengalaman S. Mara Gd tersebut mempunyai peran dalam
hubungan intertekstual novelnya dengan novel karya Agatha Christie.
Novel KB menceritakan tentang petualangan seorang detektif dalam sebuah
undangan permainan pelacakan pembunuhan yang diadakan atas nama sepasang
suami-istri di rumahnya. Pada waktu permainan berlangsung, sang pemeran
korban pembunuhan ditemukan dalam keadaan benar-benar mati terbunuh.
Beberapa hari kemudian, kakek sang korban pembunuhan juga tewas terbunuh.
Setelah diselidiki, ternyata kedua korban pembunuhan tersebut merupakan saksi
kunci suatu kasus pembunuhan yang terjadi beberapa tahun sebelumnya yang
belum terungkap. Korban kasus tersebut adalah sang istri pemilik rumah yang
-
3
sebenarnya. Wanita yang berperan sebagai istri pemilik rumah sebenarnya
bukanlah istri yang asli. Akhirnya terungkap bahwa sang suamilah yang
membunuh istrinya yang kemudian dikubur di pekarangan rumah yang kini di
atasnya dibangun sebuah bangunan semacam kuil kecil berpilar persegi empat.
Novel MCH menceritakan petualangan seorang gadis yang ingin
mengungkap kembali sejarah keluarga mendiang ayahnya yang sebelumnya tidak
diketahui olehnya. Ia diundang oleh paman dan bibinya ke rumah mereka yang
dulunya adalah rumah kakeknya. Tanpa diduga, sejarah keluarga dari ayahnya
tersebut menyimpan sebuah kasus pembunuhan yang sudah lama terpendam dan
belum terungkap hingga saat itu. Salah satu saudara ayahnya yang merupakan
anak angkat kakeknya konon telah lama meninggalkan rumah kakeknya. Ternyata
ada sebuah rahasia di balik cerita kaburnya saudara ayahnya tersebut. Gadis itu
semakin tertarik menelusuri kasus tersebut sehingga mengusik ketenangan sang
pelaku pembunuhan yang kemudian membunuh beberapa orang yang merupakan
saksi dan terkait dengan kasus pembunuhan di masa lalu itu. Seorang polisi
bersama sahabatnya membantu mengungkap kasus tersebut. Akhirnya terungkap
bahwa cerita kaburnya saudara ayah gadis itu dari rumah kakeknya ternyata hanya
kabar bohong. Saudara ayahnya telah lama dibunuh dan dikuburkan di kebun
belakang rumah, tepatnya di dalam sebuah kandang kuda yang kemudian diplester
semen. Kasus tersebut telah disembunyikan selama bertahun-tahun.
Dari penjelasan singkat tersebut, dapat dilihat adanya beberapa kesamaan
dalam beberapa unsur. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud mengkaji lebih
lanjut mengenai hubungan intertekstual kedua novel tersebut dengan judul
-
4
“Hubungan Intertekstual Novel Misteri Cincin yang Hilang Karya S. Mara Gd
dan Novel Kubur Berkubah Karya Agatha Christie”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan dalam latar belakang di atas, peneliti merumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana struktur novel Misteri Cincin yang Hilang karya S. Mara Gd
dan novel Kubur Berkubah karya Agatha Christie?
1.2.2 Bagaimana hubungan intertekstual novel Misteri Cincin yang Hilang
karya S. Mara Gd dan novel Kubur Berkubah karya Agatha Christie?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.3.1 Mendeskripsikan unsur-unsur struktural novel Misteri Cincin yang Hilang
karya S. Mara Gd dan novel Kubur Berkubah karya Agatha Christie.
1.3.2 Mendeskripsikan hubungan intertekstual novel Misteri Cincin yang Hilang
karya S. Mara Gd dan novel Kubur Berkubah karya Agatha Christie.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara praktis
maupun teoretis. Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah memperkaya wacana
hubungan intertekstual novel serta mengembangkan apresiasi terhadap novel
kriminal-detektif khususnya yang lahir dari pengarang Indonesia dan pengetahuan
-
5
tentang analisis novel. Manfaat praktis yang diharapkan adalah agar hasil
penelitian ini dapat dijadikan bahan bacaan dalam bidang kajian dan apresiasi
novel terutama novel bergenre kriminal-detektif yang saat ini masih sangat minim.
1.5 Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori
1.5.1 Tinjauan Pustaka
Tidak banyak kajian yang mengulas tentang novel-novel bergenre kriminal-
detektif di Indonesia. S. Mara Gd adalah satu di antara beberapa pengarang cerita
detektif yang muncul pertama kali pada tahun 1985 dengan novelnya berjudul
Misteri Dian yang Padam. Novel tersebut merupakan novel pembuka dari
serialnya yang menampilkan tokoh utama Kapten Polisi Kosasih dan sahabatnya
Gozali yang pintar memecahkan kasus kriminal. Hingga kini telah terbit 30 judul
dari serial tersebut. Menurut Kurniawan (2002), beberapa novel serial Kosasih-
Gozali ini mirip dengan novel-novel serial detektif karya Agatha Christie,
pengarang ternama dari Inggris.
Djokosujatno (1997) pernah meneliti aspek genetik cerita detektif di
Indonesia. Ia menyimpulkan, genre cerita detektif Indonesia, termasuk karya S.
Mara Gd, merupakan hasil pengaruh kebudayaan Barat, atau tepatnya sastra Barat
yang jelas terlihat dalam latar belakang para pengarangnya. Padahal, dalam
beberapa aspek budaya Barat sangat berbeda dengan realitas sosial di Indonesia.
Masyarakat Barat yang rasional dan pragmatis percaya bahwa hukum dan polisi
melindungi mereka, sedangkan di Indonesia hal tersebut tidak sepenuhnya
-
6
terwujud. Adaptasi juga bisa dilihat dari hubungan baik yang selalu terjalin antara
detektif dengan polisi dalam cerita detektif Indonesia jenis manapun.
Knepper (2005) dalam penelitiannya mengenai novel-novel detektif Agatha
Christie menuturkan bahwa novel-novel detektif Agatha Christie memiliki ciri
khas pemplotan yang terjalin secara kreatif sehingga mampu mengecoh pembaca
mengenai siapa pelaku pembunuhan dalam novel tersebut. Agatha Christie juga
mampu membuktikan kelihaiannya dalam mendobrak watak lama yang menjadi
ciri novel detektif klasik. Dalam novel-novel terakhirnya, Agatha Christie
memadukan gaya narasi yang berbeda dan aspek psikologi yang belum pernah ada
pada novel-novel detektif sebelumnya.
Penelitian mengenai hubungan intertekstual novel-novel Indonesia sudah
banyak dilakukan. Indriati (1991) meneliti hubungan intertekstual novel Olenka
dan Di Bawah Lindungan Ka’bah, Atheis, dan Gairah untuk Hidup dan untuk
Mati. Hubungan intertekstual yang ada dalam novel-novel tersebut merupakan
afirmasi, terutama unsur alur dan penokohannya.
Suranto (1991) meneliti hubungan intertekstual roman Melati Van Agam dan
Dian yang Tak Kunjung Padam. Hubungan intertekstual yang ditemukan dalam
novel-novel tersebut dijelaskan dalam beberapa poin sebagai berikut; (1)
penyajian problematika kepangkatan dan pandangan matrealistik sebagai
penghalang percintaan, (2) tema, yaitu kawin paksa berakibat tidak baik bagi sang
tokoh, (3) tersusun atas motif-motif yang sama, yakni motif pertemuan awal,
perkenalan, kawin lari, dan korespondensi.
-
7
Ekasiswanto (1992) dalam penelitiannya mengenai hubungan intertekstual
novel Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Bermandi Cahaya Bulan menemukan
adanya kesamaan dalam unsur alur, penokohan, dan latar.
Umi Mujawazah (1994) meneliti hubungan intertekstual novel Surat-Surat
Cinta dan Helai-Helai Sakura Gugur. Hubungan intertekstual ditemukan dalam
beberapa poin; (1) motif protagonis sudah beristri, protagonis meninggalkan
tempat, pertemuan awal dan perkenalan protagonis, ketidaksetiaan suami,
kebebasan seksual, keterbukaan, sadar diri, dan surat menyurat, (2) unsur alur,
penokohan, dan latar, dan (3) pusat pengisahan dan gaya surat.
Hidayah (1999) meneliti hubungan intertekstual novel Gairah untuk Hidup
dan untuk Mati dan Siti Nurjanah. Hubungan intertekstual ditemukan dalam unsur
alur, penokohan, dan latar cerita.
Rokhami (2003) meneliti hubungan intertekstual novel Tarian Bumi dan
Gadis Pantai. Hubungan intertekstual ditemukan dalam (1) unsur alur dan (2)
motif kondisi kemiskinan, perjodohan, perkawinan dan kemunculan
permasalahan, perbedaan status sosial dan sistem feodalisme, kesulitan
beradaptasi, protagonis melahirkan bayi perempuan, protagonis kehilangan suami,
dan keterasingan dari lingkungan asal.
Sejauh ini, menurut pengamatan penulis belum ada kajian yang secara
khusus mengulas tentang novel Misteri Cincin yang Hilang karya S. Mara Gd dan
novel Kubur Berkubah karya Agatha Christie, begitu pula mengenai hubungan
intertekstual kedua novel tersebut. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
-
8
penelitian ini bukan merupakan pengulangan dari sebuah penelitian dan bisa
dibuktikan keasliannya.
1.5.2 Landasan Teori
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua acuan teoretis, yakni
analisis struktural dan kajian intertekstual.
1.5.2.1 Analisis Struktural
Sebuah karya sastra tersusun atas unsur-unsur intrinsik yang menjadi
pembangunnya. Untuk memahami struktur tersebut, dapat dilakukan analisis
struktural. Analisis struktural merupakan analisis yang mengidentifikasi, mengkaji
dan menggambarkan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik sebuah karya sastra
sehingga membentuk sebuah pemaknaan yang utuh dan terpadu (Nurgiyantoro,
1995: 37). Analisis struktural merupakan usaha menemukan makna intrinsik yang
terlepas dari berbagai unsur di luar teks itu sendiri. Selain itu, dibutuhkan
pemaknaan yang utuh dan terpadu karena pada dasarnya di antara unsur-unsur
pembangun (intrinsik) sebuah karya sastra terdapat hubungan timbal-balik dan
saling terkait erat.
Dalam usaha meneliti hubungan intertekstual novel MCH dan KB, peneliti
akan melakukan analisis struktural terlebih dahulu. Dijelaskan oleh Teeuw (1983:
61), dalam menganalisis suatu karya sastra dari segi manapun, analisis struktural
merupakan tugas prioritas yang oleh karenanya harus dilakukan terlebih dahulu
sebelum analisis lainnya. Dengan kata lain, prinsip intertekstual memerlukan
pendekatan struktural.
-
9
Unsur intrinsik sebuah fiksi meliputi tema, pemplotan, tokoh dan
penokohan, pelataran dan penyudutpandangan. Dalam penelitian ini, penulis
memfokuskan pada plot, tokoh dan penokohan, serta tema karena ketiga unsur
tersebut merupakan unsur-unsur yang paling mendasar dalam pengkajian struktur
sebuah novel. Di samping itu, hubungan intertekstual kedua novel itu tampak
menonjol dalam tiga unsur tersebut. Berikut ini adalah penjelasan ketiga unsur itu.
1.5.2.1.1 Plot
Pengertian plot atau alur menurut Foster (Sudjiman, 1992:30) merujuk pada
deretan peristiwa dalam sebuah penceritaan yang mengandung hubungan
kausalitas. Pengertian ini mengisyaratkan pentingnya aspek sebab-akibat dalam
plot yang dibangun, yang menempatkan plot lebih dari sekadar urutan peristiwa.
Dalam sebuah cerita yang tersusun rapi, hubungan sebab-akibat ini tidak selalu
dapat dilihat secara jelas. Hubungan tersebut mungkin terdapat di dalam urutan
waktu peristiwa yang meloncat-loncat, atau di dalam tindakan atau ucapan tokoh.
Meski demikian, tiap-tiap peristiwa yang ditampilkan dalam sebuah cerita harus
mempunyai arti di dalam hubungan keseluruhan plot.
Rangkaian peristiwa yang ada dalam plot sebuah cerita berasal dari tindakan
atau aksi para tokoh. Dalam melakukan tindakan atau aksi tersebut, para tokoh
mempunyai karakter dan landasan motif yang kemudian mengakibatkan
munculnya suatu peristiwa. Unsur terkecil dalam suatu cerita yang menggerakkan
plot tersebut disebut motif (Pradopo, 1976: 26). Jadi, motif dapat dipahami
sebagai unsur-unsur teks seperti perbuatan, pernyataan yang mengungkapkan
batin, perasaan, tingkah laku, ataupun adegan lingkungan yang digunakan sebagai
-
10
penggerak dalam cerita ke arah peristiwa berikutnya. Kedudukan motif dalam
struktur cerita akan memperlihatkan kausalitas kemunculan motif dan letaknya
dalam kaitan temporal antarmotif yang terbentuk dalam setiap cerita. Dengan
memperhatikan urutan kausal motif akan diketahui hubungan antarmotif yang
menghasilkan pemahaman secara utuh mengenai cerita. Dalam konvensi sastra,
motif berfungsi sebagai tanda pengenal yang tetap dan yang menggerakkan atau
mendorong cerita untuk berkembang (Sulastin, 1983: 204).
Tasrif (dalam Nurgiyantoro, 1995:149) membagi tahapan plot menjadi lima
bagian sebagai berikut. Tahap pertama, penyituasian yang berisi pelukisan dan
pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita serta pemberian informasi awal
yang menjadi landasan cerita. Tahap kedua, pemunculan konflik yang di
dalamnya terdapat masalah-masalah dan peristiwa-peristiwa yang menyulut
konflik dan nantinya akan berkembang pada tahapan berikutnya. Tahap ketiga,
peningkatan konflik yang di dalamnya konflik semakin berkembang dan
menegangkan melalui peristiwa-peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita, dan
di dalamnya mulai muncul akibat dari peristiwa-peristiwa yang terjalin. Tahap
keempat, klimaks atau puncak permasalahan yang menjadi titik balik dalam
sebuah cerita. Tahap kelima, penyelesaian yang di dalamnya ketegangan
mengendur dan jika perlu diberi jalan keluar lalu cerita diakhiri. Penyelesaian ini
dapat berupa akhir yang menyenangkan, menyedihkan, ataupun tetap
menggantung tanpa pemecahan.
Tahapan yang telah disebutkan di atas tidak harus berurutan. Berdasarkan
urutan waktu, plot dapat dibedakan ke dalam dua kategori; plot lurus atau
-
11
progresif dan plot sorot-balik atau flash-back. Plot digolongkan sebagai plot lurus
jika peristiwa pertama diikuti oleh peristiwa-peristiwa selanjutnya secara
kronologis sesuai dengan tahapan plot. Plot digolongkan sebagai plot sorot-balik
jika urutan peristiwa dalam cerita bersifat tidak kronologis, melainkan dari tahap
tengah atau akhir cerita (Nurgiyantoro, 1995:153-154). Dalam sebuah cerita,
terkadang seorang pengarang memasukkan kenangan pada masa lalu yang tidak
dimaksudkan sebagai sorot-balik, melainkan teknik backtracking. Teknik ini
merupakan salah satu teknik pengaluran dengan cara pelaku dalam cerita
mengenangkan apa yang telah terjadi sebelumnya melalui dialog, mimpi, atau
lamunan tokoh (Tasrif lewat Lubis, 1978:10).
1.5.2.1.2 Tokoh dan Penokohan
Tokoh cerita dimaksudkan untuk individu rekaan yang mengalami peristiwa
atau menjadi pelaku di dalam berbagai peristiwa cerita. Tokoh merupakan salah
satu unsur di dalam karya sastra yang memegang peranan penting. Tokoh
melahirkan perilaku dan membawa ide-ide yang ingin disampaikan oleh
pengarang kepada pembaca.
Tokoh dalam sebuah cerita perlu digambarkan ciri-ciri, sifat, serta sikap
batinnya agar wataknya dikenal oleh pembaca. Watak, dalam konteks ini,
mencakup kualitas tokoh, kualitas nalar dan jiwanya yang membedakan dengan
tokoh lain. Usaha menggambarkan watak dan citra tokoh inilah yang disebut
penokohan (Sudjiman, 1992:23). Nurgiyantoro (1995: 166) menjelaskan,
pengertian penokohan meliputi masalah siapa tokoh cerita, perwatakan tokoh
-
12
tersebut, penempatan dan penggambaran tokoh, serta pemunculan dan
pengembangan tokoh dalam sebuah cerita.
Berdasarkan fungsi pemunculannya, tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh
protagonis dan antagonis. Menurut Luxemburg dkk (Nurgiyantoro, 1995:180),
tokoh dapat dikategorikan protagonis jika tokoh tersebut diberi lebih banyak
kesempatan uantuk mengemukakan visi, sikap, atau pandangannya sehingga
kemungkinan besar memperoleh simpati dan empati pembaca. Dengan kata lain,
tokoh protagonis dapat membuat pembaca mengidentifikasikan diri dengannya
dan melibatkan diri secara emosional terhadapnya. Tokoh antagonis adalah tokoh
yang beroposisi dengan tokoh protagonis sehingga memunculkan konflik.
Menghadirkan dan menggambarkan tokoh dalam sebuah karya sastra tidak
dapat dilakukan secara sembarangan dengan mengesampingkan tujuan artistik.
Dibutuhkan sarana pelukisan yang tepat dan mampu menyatu dengan unsur-unsur
lainnya agar tujuan tersebut tercapai (Nurgiyantoro, 1995:194). Sebuah tokoh
dapat dilukiskan dengan menggunakan teknik ekspositori dan dramatik. Teknik
ekspositori merujuk pada pelukisan secara langsung dengan memberikan deskripsi
atau uraian tanpa berbelit-belit (Nurgiyantoro, 1995:195-196). Dengan teknik ini,
pengarang dapat menjelaskan watak dan kedirian tokoh dengan sederhana dan
ekonomis sehingga meminimalkan kesalahan dalam penafsiran. Teknik dramatik
merupakan teknik pelukisan secara tidak langsung baik melalui tindakan, ucapan,
pikiran, maupun kejadian (Nurgiyantoro, 1995:198). Teknik ini memungkinkan
pembaca menggunakan imajinasinya dan menyelami karakter tokoh.
-
13
1.5.2.1.3 Tema
Tema adalah gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya
sastra (Sudjiman, 1992:50). Tema merupakan ide-ide yang ingin disampaikan oleh
pengarang melalui cerita yang dibangun yang menjadi dasar pengembangan cerita
itu sendiri. Dengan demikian, tema mengikat kehadiran berbagai peristiwa,
konflik, serta pemilihan unsur-unsur yang lain seperti penokohan, latar, dan
penyudutpandangan.
Dalam sebuah cerita, tema dapat berjumlah lebih dari satu. Tema dapat
dibagi menjadi dua, yakni tema mayor (tema utama) dan minor (tema tambahan)
(Nurgiyantoro, 1995:82-83). Tema minor sebagai makna-makna tambahan yang
ada dalam sebuah cerita bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri dan tidak berkaitan
dengan makna pokok. Makna-makna tambahan memiliki keterkaitan yang bersifat
mendukung dan mempertegas keberadaan makna pokok. Artinya, tema mayor
dapat dikatakan sebagai rangkuman dari tema-tema minor.
Penentuan tema dapat dilakukan dengan memahami cerita secara
keseluruhan terlebih dahulu, kemudian mencari kejelasan ide-ide perwatakan,
peristiwa-peristiwa dan konflik, dan latar. Tema disaring dari motif-motif yang
ada dalam cerita. Empat kriteria dalam usaha menemukan tema sebuah novel
dikemukakan oleh Stanton (Nurgiyantoro, 1995:87). Pertama, dengan
mempertimbangkan tiap detil cerita yang menonjol. Kedua, tidak bertentangan
dengan tiap detil cerita. Ketiga, tidak mendasarkan pada bukti-bukti yang tidak
dinyatakan baik secara langsung maupun tak langsung dalam novel yang
bersangkutan, dengan kata lain tema tidak dapat ditafsirkan hanya berdasarkan
-
14
perkiraan, imajinasi, atau informasi lain yang diragukan. Keempat, dengan
mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara langsung ada dan atau yang
disarankan dalam cerita.
1.5.2.2 Kajian Intertekstual
Analisis struktural sebagaimana dijelaskan di atas mempunyai dua
kelemahan pokok, yakni melepaskan karya sastra dari rangka sejarah sastra dan
mengasingkan karya sastra dari rangka sosial budaya (Teeuw, 1983:61). Oleh
karena itu, setelah kajian struktural dilakukan, peneliti akan mengkaji hubungan
intertekstual unsur-unsur intrinsik kedua novel tersebut. Prinsip intertekstualitas
pertamakali dikembangkan oleh peneliti Prancis Julia Kristeva yang memandang
setiap teks sebagai mosaik kutipan-kutipan yang diserap dan ditransformasikan
dari teks-teks lain (Teeuw, 1984: 120). Kajian intertekstual menurut Nurgiyantoro
(1995:50) merupakan sebuah analisis terhadap sejumlah teks kesastraan untuk
menemukan adanya hubungan tertentu di antara teks-teks tersebut, misalnya
hubungan dalam unsur-unsur seperti ide, plot, penokohan, latar, gaya bahasa, dan
lain-lain. Kajian ini bertujuan menemukan makna lebih pada karya tersebut terkait
dengan teks-teks terdahulu.
Dalam penulisan sebuah karya sastra, biasanya terdapat karya lain yang
telah muncul sebelumnya yang menjadi latar pewujudan karya tersebut baik
dengan maksud meneruskan, menolak, maupun memutarbalikkan esensi karya
sastra yang menjadi latar tersebut (Nurgiyantoro, 1995: 51). Perhatian utama
kajian intertekstual tertumpu pada keberadaan karya-karya yang
ditransformasikan dalam penulisan karya yang muncul sesudahnya. Karya sastra
-
15
yang menjadi latar dari karya sastra yang muncul kemudian tersebut dinamakan
hipogram (Riffaterre, 1984: 11).
Hipogram, dalam penjelasan Teeuw, mencerminkan sebuah sistem konvensi
atau kode sastra dan budayanya. Konvensi atau kode tersebut bukan merupakan
sistem yang ketat. Inilah yang memungkinkan seorang pengarang dalam
menerapkan sistem itu berhak menyesuaikan, menyimpangi, bahkan
melanggarnya. Dengan demikian, sebuah karya sastra yang dilahirkan oleh
seorang pengarang tetap mengandung dan mencerminkan pandangan dan
kepribadian pengarang tersebut. Hal ini dikarenakan adanya unsur kreativitas dan
konsep estetika yang dimiliki oleh pengarang yang digunakan olehnya dalam
penulisan sebuah karya sastra (Teeuw, 1980:11).
Intertekstualitas berpijak dari dua hal, yakni (1) kesadaran tentang arti
penting teks yang terdahulu yang membuat karya sastra setelahnya mempunyai
arti dan (2) teks terdahulu harus dipertimbangkan sebagai penyumbang kode yang
memungkinkan lahirnya berbagai efek signifikansi (Culler, 1983: 103). Kajian
intertekstual diperlukan untuk mendapatkan pemahaman yang tuntas dari sebuah
karya sastra dalam kontrasnya dengan hipogramnya. Pengertian ini menolak
pemahaman tradisional yang menjalankan prinsip intertekstualitas dengan
melacak sumber-sumber dan pengaruh-pengaruh. Prinsip intertekstual yang
dikemukakan Riffaterre (Pradopo, 1995: 167) mengatakan, sebuah karya sastra
akan mendapat pemaknaan yang menyeluruh ketika dikaitkan dengan sejarah
sastranya.
-
16
Hubungan dalam kerangka intertekstual tidak melulu bermakna jiplakan
ataupun pengaruh, tapi secara lebih luas dapat dimaknai sebagai pemahaman
terhadap sebuah karya sastra secara utuh dalam kaitannya dengan karya lain.
Intertekstualitas tidak berkaitan dengan masalah ada atau tidaknya niat eksplisit
atau kesengajaan seorang pengarang, bahkan seringkali seorang pengarang tidak
sadar akan hipogram yang menjadi latar karyanya. Riffaterre (Teeuw, 1983:70)
menekankan, karya sastra tersusun atas teks, karenanya, data-data di luar teks
umumnya tidak dapat membantu dalam usaha untuk memahami teks dengan latar
intertekstualnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, pendekatan intertekstual dapat dipahami
sebagai cara pandang seorang peneliti terhadap karya sastra yang mendasarkan
pada pemahaman bahwa sebuah karya sastra memiliki keterkaitan dengan karya
sastra lain yang merupakan hipogramnya yang ditandai dengan adanya
transformasi baik dalam bentuk yang sama (meneruskan) maupun berbeda
(menyimpang). Dalam konteks intertekstual ini, yang ditransformasikan adalah
konvensi yang ada dalam karya hipogram. Dalam tradisi novel detektif-kriminal,
konvensi yang umum contohnya adanya pembunuhan, tokoh detektif yang cerdas,
dan pembongkaran kasus.
1.6 Metode dan Teknik Penelitian
1.6.1 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka. Data-data dikumpulkan dari
buku-buku yang bersangkutan dalam penelitian ini. Dalam menganalisis karya
-
17
sastra dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan objektif dan
intertekstual. Pendekatan objektif berpijak dari pandangan yang menekankan
karya sastra sebagai struktur yang sedikit banyak bersifat otonom (Teeuw, 1984:
100). Pendekatan objektif tersebut ditindaklanjuti dengan pendekatan
intertekstual. Pendekatan intertekstual menekankan bahwa dalam usaha
mendapatkan makna penuh dari teks sastra harus didasarkan pada teks sastra lain
yang menjadi latar belakang penciptaannya (Teeuw, 1984: 120).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis dan
deskriptif. Metode analisis merupakan cara membagi suatu subjek yang berupa
gagasan-gagasan, organisasi, makna struktur maupun proses ke dalam komponen-
komponen (Keraf, 1981: 60). Metode ini digunakan untuk menguraikan suatu
pokok permasalahan agar memperoleh pengertian dan pemahaman yang tepat.
Metode deskriptif adalah metode melukiskan atau membeberkan sesuatu dengan
memindahkan hasil pengamatan kepada pembaca (Keraf, 1981: 93). Teknik ini
digunakan untuk memaparkan secara keseluruhan hasil analisis yang dilakukan.
1.6.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan untuk penelitian ini adalah
kartu data. Penulis mengumpulkan data dengan cara membaca serta mempelajari
buku-buku yang bersangkutan. Data-data yang ditemukan dituliskan dalam kartu-
kartu data yang kemudian diklasifikasikan sesuai jenisnya untuk mempermudah
analisis terhadap data tersebut. Klasifikasi data antara lain berupa data internal
yaitu unsur intrinsik kedua novel dan semua data yang berhubungan dengan
penelitian. Pencatatan dilakukan sesuai dengan unit analisis yang telah dibuat.
-
18
1.6.3 Sumber Data
Ada dua buah sumber data dalam penelitian ini, yaitu:
1. Judul novel : Kubur Berkubah (judul asli: Dead Man’s Folly)
Pengarang : Agatha Christie
Tahun terbit : 1984 dalam bahasa Indonesia (naskah asli pada 1956)
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
2. Judul Novel : Misteri Cincin yang Hilang
Pengarang : S. Mara Gd.
Tahun terbit : 1995
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
1.7 Sistematika Penyajian
Laporan hasil penelitian ini terdiri dari empat bab. Bab satu adalah
pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.
Bab dua berisi analisis struktural novel KB karya Agatha Christie dan MCH karya
S. Mara Gd yang meliputi unsur plot, tokoh dan penokohan, serta tema. Bab tiga
membahas hubungan intertekstual ketiga unsur dalam kedua novel. Bab empat
berisi kesimpulan dan saran. Di akhir laporan dicantumkan daftar pustaka.
-
BAB II
ANALISIS STRUKTURAL
NOVEL MISTERI CINCIN YANG HILANG KARYA S. MARA GD DAN
NOVEL KUBUR BERKUBAH KARYA AGATHA CHRISTIE
2.1 Pengantar
Melalui bab ini, penulis akan menjawab rumusan masalah pertama yang
telah disebutkan dalam bab sebelumnya, yakni mengenai struktur novel Kubur
Berkubah karya Agatha Christie dan novel Misteri Cincin yang Hilang karya S.
Mara Gd. Analisis struktural merupakan kajian untuk mendeskripsikan unsur-
unsur intrinsik yang ada dalam sebuah karya sastra dan menggambarkan
hubungan antarunsur tersebut untuk mendapatkan kesatuan makna. Penulis akan
menganalisis struktur novel KB terlebih dahulu. Hal ini didasari alasan bahwa
novel KB terbit lebih dahulu dibandingkan dengan novel MCH. Berikut uraian
hasil analisis struktural kedua novel.
2.2 Analisis Struktural Novel Kubur Berkubah
Unsur-unsur intrinsik merupakan unsur-unsur pembangun sebuah cerita
yang antara lain terdiri dari plot, tokoh dan penokohan, tema, latar,
penyudutpandangan, gaya bahasa, dan judul. Analisis struktural sebuah novel
setidaknya dilakukan pada tiga unsur utama, yakni plot, tokoh dan penokohan,
serta tema agar didapatkan pemahaman yang utuh. Dalam penelitian ini, analisis
-
20
dilakukan pada ketiga unsur tersebut yang diduga memiliki hubungan
intertekstual. Untuk menganalisis penokohan, sebelumnya kita harus menganalisis
plot agar kita dapat memahami jalinan cerita yang ada. Analisis plot dan
penokohan akan membantu dalam analisis tema. Oleh karena itu, analisis ini akan
dibahas secara berurutan mulai dari plot, tokoh dan penokohan, serta tema agar
didapatkan pemahaman yang sistematis dan efisien.
2.2.1 Analisis Plot Novel Kubur Berkubah
Novel KB menceritakan petualangan detektif terkenal Hercule Poirot dalam
menyelidiki kasus pembunuhan di Nassecombe, Inggris. Novel ini terdiri atas 286
halaman yang dibagi dalam 20 bab. Berikut uraian plot yang dibagi menjadi lima
tahapan sesuai urutan cerita beserta motif-motif cerita yang ada.
2.2.1.1 Tahap Penyituasian
Tahap penyituasian terdiri dari bab satu hingga bab enam. Bab satu
menjelaskan awal mula keterlibatan seorang detektif swasta Hercule Poirot dalam
cerita yang berlangsung. Hercule Poirot ditelepon oleh sahabatnya bernama
Ariadne Oliver, seorang penulis cerita detektif terkenal yang sedang berada di
daerah Nassecombe. Oliver memintanya segera datang ke tempat itu karena
Oliver sangat membutuhkan Poirot. Oliver tidak dapat menjelaskan masalahnya
kepada Poirot di telepon. Karena penasaran, Poirot menuruti permintaan Oliver.
Ketika Poirot tiba di Nassecombe, Oliver menjelaskan duduk persoalannya.
Oliver sedang bekerja untuk merancang permainan pelacakan pembunuhan yang
diadakan esok hari di Nasse House, rumah mewah milik Sir George. Permainan
-
21
tersebut merupakan acara utama, di samping permainan-permainan lain yang ada
dalam acara yang terbuka untuk umum itu. Acara itu bertujuan meningkatkan
daya tarik wisata daerah tersebut. Oliver merasa ada sesuatu yang aneh akhir-
akhir ini dan mendapatkan firasat akan terjadi pembunuhan sungguhan pada acara
tersebut (motif firasat buruk). Oliver sendiri tidak mengerti mengapa firasat itu
muncul. Ia meminta Poirot menyelidiki hal itu.
Oliver menjelaskan orang-orang yang terlibat dalam penyelenggaraan acara
itu, yakni Sir George Stubbs dan istrinya Lady Hattie Stubbs, Nyonya Amy Folliat
pemilik Nasse House sebelumnya yang kini tinggal di dekat rumah itu, Marlene
pemeran korban pembunuhan, Amanda Brewis sekretaris Sir George, arsitek yang
sedang bekerja pada Sir George bernama Michael Weyman, pasangan suami-istri
Alec-Peggy Legge yang sedang menyewa rumah kecil di kompleks Nasse House
untuk berlibur, anggota Dewan Perwakilan setempat bernama Wilfrid Masterton
beserta istri dan pengawalnya yang bernama Kapten Jim Warburton. Kepada
Poirot, Oliver bercerita bahwa ia telah menawarkan diri kepada orang-orang itu
untuk mengundang Poirot sebagai tamu kehormatan agar acara semakin menarik
dan dikunjungi banyak pengunjung. Poirot akan diberi tugas menyerahkan hadiah
kepada para pemenang.
Bab dua hingga bab lima menceritakan perkenalan dan perbincangan Poirot
dengan orang-orang yang terlibat dalam penyelenggaraan acara itu satu persatu.
Mula-mula dalam perjalanan menuju Nasse House ia bertemu dengan Michael
Weyman di bangunan kecil berkubah, lalu Nyonya Amy Folliat. Setibanya di
Nasse House, Poirot berkenalan dengan Sir George, Hattie, Brewis, Alec, Peggy,
-
22
Nyonya Masterton, dan Kapten Jim Warburton (motif perkenalan antartokoh).
Semua orang sedang sibuk mempersiapkan acara untuk besok, kecuali Hattie yang
hanya duduk bermalas-malasan. Poirot memperhatikan situasi sambil berbincang-
bincang dengan orang-orang. Beberapa orang membicarakan Hattie. Sosok Hattie
sempat menarik perhatian Poirot. Poirot juga mempelajari skenario acara secara
detil, tetapi ia tidak juga menemukan petunjuk yang dapat menjelaskan firasat
aneh Oliver. Untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak, Poirot
memutuskan untuk menemui Nyonya Folliat, mengingat ia adalah mantan pemilik
Nasse House yang pasti mengenal orang-orang yang ada di situ. Poirot mendapat
banyak cerita tentang sejarah Nasse House dan bagaimana rumah itu berpindah ke
tangan Sir George.
Dengan hasrat menjelajahi daerah sekitar, Poirot berjalan keluar dari
kompleks Nasse House. Langkahnya terhenti di dermaga kecil di pinggir sungai.
Poirot berkenalan dengan lelaki tua petugas penyebrangan bernama Merdell yang
ternyata bekas mandor pengurus kebun Nasse House. Merdell bercerita banyak
hal tentang keluarga Folliat dan Sir George.
Esok paginya, beberapa jam menjelang penyelenggaraan acara tersebut,
dalam acara makan bersama, Hattie mendapatkan surat dari Etienne De Sousa
sepupunya. De Sousa sudah lama tidak bertemu Hattie dan sekarang ia dalam
perjalanan untuk mengunjunginya. Hattie tampak kaget dan gelisah, lalu berkata
bahwa De Sousa itu orang jahat. Poirot semakin penasaran dengan sosok Hattie.
Beberapa orang membicarakannya, juga membicarakan Nyonya Folliat, dan Sir
George. Pagi itu Poirot juga dikenalkan dengan Marlene.
-
23
Bab enam menceritakan ketika acara dimulai pada siang harinya. Nasse
House ramai dikunjungi orang-orang sekitar dan wisatawan dari luar daerah.
Ketika acara perlombaan busana anak-anak dimulai, hal yang janggal terjadi.
Hattie tiba-tiba menghilang, padahal ia bertugas menjadi juri lomba busana anak-
anak. Tidak lama kemudian De Sousa datang (motif kedatangan tokoh pemicu
terbongkarnya kasus). Ia mencari-cari Hattie, tetapi tidak dapat menemukannya.
Oliver mengajak Poirot mengecek sejauh mana pengunjung berhasil menemukan
petunjuk-petunjuk pelacakan. Oliver dan Poirot kemudian mendatangi gudang
tempat Marlene bertugas sebagai korban pembunuhan.
2.2.1.2 Tahap Pemunculan Konflik
Konflik mulai muncul pada akhir bab enam ketika Poirot dan Oliver yang
telah tiba di gudang dan mendapati Marlene benar-benar tewas terbunuh (motif
pembunuhan). Berita ini segera tersebar ke semua orang di acara tersebut. Tidak
diketahui siapa yang telah membunuh Marlene.
Bab tujuh hingga bab sebelas menceritakan sesaat setelah terjadinya
pembunuhan atas Marlene polisi datang menyelidiki kasus tersebut (motif
penyelidikan). Polisi kemudian meminta informasi awal dari Sir George sebagai
pemilik rumah. Sir George tampak risau karena istrinya menghilang. Usai
diperiksa, Sir George menyarankan polisi menanyakan informasi yang lebih detil
tentang acara yang diadakan di rumahnya tersebut kepada Nona Brewis,
sekretarisnya. Brewis menjelaskan detil acara tersebut dan orang-orang yang
terlibat. Brewis juga mengatakan, ia sempat mengantarkan makanan kepada
-
24
Marlene sesaat sebelum Marlene tewas. Ia tidak melihat sesuatu yang aneh pada
waktu itu dan tidak ada siapa-siapa di sekitar gudang.
Polisi lalu menemui ibu Marlene tetapi tidak mendapatkan sesuatu yang
berarti. Tiba giliran Oliver diperiksa, ia tampak gelisah dan mengungkapkan
khayalannya yang beragam tentang motif pembunuhan gadis itu. Salah satunya,
kemungkinan Marlene waktu itu melihat seseorang di perahu sedang
melemparkan seseorang ke dalam sungai di dekat gudang itu dan orang itu
melihat Marlene menyaksikannya, lalu Marlene dibunuh. Dari keterangan Oliver
ini, polisi mendapat informasi tentang kemungkinan keterkaitan De Sousa dengan
kasus itu. Polisi juga meminta keterangan Poirot sebagai saksi.
Polisi kemudian menginterogasi De Sousa dan menanyakan tujuan
kedatangannya dan hal-hal yang diketahuinya tentang Hattie. Polisi tidak
menemukan bukti. Polisi lalu kembali menemui Brewis dan menanyakan tentang
keberadaan Hattie. Brewis tidak percaya jika Hattie hilang seperti kabar yang
berkembang. Menurut dugaannya, Hattie menyelinap keluar rumah dengan laki-
laki lain. Sir George menyela perkataan Brewis dan menceritakan ketakutan
Hattie ketika mendapat kabar De Sousa akan mengunjunginya karena De Sousa
suka membunuh orang. Keterangan Sir George mengarahkan kecurigaan polisi
kepada De Sousa (motif penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah). Polisi
juga menginterogasi Michael Weyman, tetapi Michael mengaku tidak tahu apa-
apa tentang pembunuhan tersebut.
Sebagai seorang detektif, Poirot pun turut tertarik menyelidiki kasus ini
(motif penyelidikan). Poirot memulai penyelidikannya dari Nyonya Folliat. Di
-
25
tengah pembicaraannya dengan Nyonya Folliat, polisi datang dan turut meminta
keterangan dari Nyonya Folliat. Nyonya Folliat tidak mengerti mengapa Marlene
dibunuh. Polisi kemudian menemui Peggy dan menanyakan di mana ia berada
ketika pembunuhan itu terjadi. Peggy mengatakan, ia sedang istirahat di tenda
tempat minum teh, lalu kembali ke tenda ramalan tempat ia bertugas. Polisi
kemudian berdiskusi dengan Poirot dan memberikan semua informasi yang telah
didapatkan oleh polisi kepadanya. Poirot heran, Peggy mengatakan sempat pergi
ke tempat acara minum teh, padahal Nyonya Folliat tidak melihatnya saat itu.
Bab duabelas menceritakan pada keesokan harinya Poirot mendapati Sir
George tampak gelisah karena istrinya belum ditemukan. Brewis berkata pada
Poirot, Hattie itu sebenarnya licik dan mungkin Hattie pergi dengan laki-laki lain.
Brewis sering melihat Hattie menyelinap keluar rumah sendirian. Brewis juga
menduga, Hattie suka pada Michael, tetapi Michael tidak menyukainya karena ia
lebih menyukai Peggy. Michael bekerja pada Sir George karena
direkomendasikan oleh Peggy yang mengenalnya sejak Peggy belum menikah.
Nyonya Masterton datang dan mengungkapkan kepada Poirot mengenai
dugaannya bahwa Marlene dibunuh setelah ia menyaksikan pembunuhan Hattie.
Bab tigabelas. Poirot pusing mendengar semua perkataan itu. Poirot lalu
keluar berjalan-jalan sambil mengamati setiap sudut di halaman Nasse House
yang begitu luas. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang pemuda asing
dari Wisma Remaja. Pemuda itu terperanjat melihat Poirot lalu segera pergi.
Poirot berjalan lagi dan ketika tiba di bangunan berkubah, Poirot menemukan
gelang yang kemarin dipakai Peggy ketika acara berlangsung. Tidak lama
-
26
kemudian Peggy muncul, dan Poirot menyerahkan gelang itu kepadanya. Poirot
juga menanyakan beberapa hal kepada Peggy. Akhirnya Poirot mengetahui
masalah rumah tangga Peggy. Peggy tertekan dengan sikap Alec yang sering
marah-marah dan menutup diri. Alec juga sering menerima telepon dan pesan
yang aneh-aneh. Alec tidak mau menceritakan hal itu pada Peggy.
Sesaat setelah Peggy pergi, Poirot mendengar jejak kaki. Poirot menduga itu
pemuda asing yang ditemuinya tadi yang ingin menemui Peggy, tetapi ternyata
Alec yang muncul. Poirot bertanya apakah Alec sedang mencari seorang pemuda
dari Wisma Remaja. Alec kaget dan heran mengapa Poirot bisa menebaknya. Alec
akhirnya mencurahkan kegalauan hatinya, ia telah terperangkap tanpa bisa lepas
dalam suatu hal dan diperalat. Poirot semakin bingung dan bertanya-tanya apakah
Alec dan Peggy terkait dengan kasus tersebut.
Bab empatbelas menceritakan penyelidikan polisi di sungai yang diduga
sebagai tempat De Sousa menenggelamkan Hattie. Diceritakan pula secara singkat
mengenai sidang kasus itu yang tidak membuahkan hasil sehingga sidang harus
ditunda. Poirot juga melakukan penyelidikan di taman tempat acara kemarin
berlangsung, tetapi tidak memperoleh hasil. Poirot sedih karena ia tidak dapat
mencegah terjadinya pembunuhan itu.
Bab limabelas. Dua minggu berlalu tanpa perkembangan yang berarti. Polisi
belum dapat menemukan petunjuk yang mengarah kepada pembunuh. Keesokan
harinya polisi mendapatkan kabar bahwa Merdell ditemukan tewas di sungai
(motif pembunuhan). Sidang pemeriksaan kematiannya memutuskan, Merdell
-
27
tewas karena kecelakaan tunggal yang disebabkan faktor usia yang sudah lanjut
dan kondisinya yang sedang mabuk.
2.2.1.3 Tahap Peningkatan konflik
Konflik mulai meningkat pada bab enambelas. Sebulan setelah peristiwa
pembunuhan, polisi menemui Poirot untuk mendiskusikan penemuan masing-
masing. Mereka juga mengemukakan segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Dari pembicaraan tersebut, Poirot menyadari bahwa Nyonya Folliat pasti
mempunyai banyak informasi yang berkaitan dengan kasus ini. Maka Poirot pun
kembali bersemangat untuk melanjutkan penyelidikannya. Poirot lalu menemui
Nyonya Folliat, tetapi tetap tidak mendapatkan informasi yang berarti, hanya
keanehan pada sikap Nyonya Folliat yang tampak pasrah dan penuh ketakutan.
Lalu Poirot menemui ibu Marlene. Darinya, Poirot baru mengetahui bahwa
Merdell yang baru saja meninggal ternyata kakek Marlene. Ibu Marlene berkata,
anaknya sering diberi alat kosmetik dan aksesoris oleh Peggy. Marylin, adik
Marlene mengatakan, ibunya salah, Marlene tidak mendapatkan barang-barang itu
dari Peggy, melainkan membelinya sendiri dari uang yang diberikan oleh
seseorang. Marlene sering mengintip orang, lalu orang itu memberinya hadiah
agar Marlene menutup mulut.
Poirot telah mendapatkan banyak informasi yang semakin menguatkan
dugaannya. Untuk meyakinkan dirinya, ia lalu menelepon polisi untuk
menanyakan sesuatu. Poirot mendapatkan jawaban yang semakin membuka titik
terang atas kasus itu.
-
28
2.2.1.4 Tahap Klimaks
Klimaks dapat dipahami sebagai konflik yang memuncak dan akan
mengakibatkan terjadinya penyelesaian yang tidak dapat dihindari. Klimaks dalam
novel ini terdapat di akhir bab enambelas ketika Poirot menelepon Oliver untuk
menanyakan beberapa hal yang akan menjadi ganjalan terakhirnya dalam
mengungkapkan kasus tersebut. Poirot menanyakan bagaimana Oliver
mendapatkan ide dalam merancang permainan pelacakan pembunuhan itu, siapa
orang yang ditugaskan berperan sebagai tokoh yang dikambinghitamkan dalam
permainan itu, siapa yang mempunyai ide menjadikan gudang sebagai tempat
pemeran korban terbunuh, dan tentang ransel yang ditemukan di gudang. Jawaban
Oliver benar-benar membuat Poirot semakin yakin tentang kuatnya insting Oliver
ketika Oliver mendapat firasat akan terjadi pembunuhan. Naluri Oliver dalam
merancang permainan pelacakan itu sesuai dengan kenyataan yang tersembunyi di
balik watak orang-orang yang terlibat dalam penyelenggaraan acara tersebut.
Keterangan dari Oliver telah menjadi benang merah atas semua keterangan
yang dikumpulkan Poirot. Poirot berteriak girang ketika berhasil menemukan
jawaban atas pembunuhan kasus Marlene yang berhubungan dengan tewasnya
Merdell dan suatu pembunuhan yang telah terpendam bertahun-tahun. Peristiwa
tersebut akan diikuti penyelesaian atas konflik yang muncul sebelumnya.
2.2.1.5 Tahap Penyelesaian
Tahap penyelesaian terdapat pada bab delapanbelas hingga bab terakhir,
yakni bab duapuluh. Tahap penyelesaian dalam novel ini memberikan jalan keluar
bagi permasalahan yang ada, yakni kasus pembunuhan dan masalah rumah tangga
-
29
Alec. Tokoh Poirot berperan dominan dalam menyelesaikan permasalahan itu.
Diceritakan dalam tahap ini Poirot menemui Alec untuk membicarakan masalah
rumah tangga yang dihadapi pasangan Alec-Peggy. Poirot akhirnya mengetahui
bahwa Alec tidak terlibat dalam kasus pembunuhan tersebut dan persoalan yang
menyelimuti rumah tangga Alec tidak ada kaitannya dengan kasus itu. Poirot
kemudian membantu Alec untuk merenungkan hal-hal yang tanpa disadarinya
telah menyebabkan rumah tangganya hampir bubar. Masalah yang menyelimuti
rumah tangga Alec selama ini, menurut Poirot, tidak lain karena kesalahan Alec
sendiri. Alec akhirnya menyadari kesalahannya. Poirot menyarankan Alec segera
menemui istrinya dan meminta maaf atas kesalahannya selama ini. Peristiwa ini
menjadi penyelesaian atas masalah rumah tangga Alec yang sebelumnya menjadi
misteri dan sempat memunculkan kecurigaan Poirot bahwa masalah rumah tangga
Alec berkaitan dengan kasus pembunuhan itu.
Poirot kemudian menemui polisi untuk memberitahukan hasil penemuannya
berkaitan dengan pemecahan atas kasus pembunuhan yang terjadi. Poirot
mengatakan bahwa sang pembunuh yang sebenarnya adalah Sir George. Bab
terakhir menceritakan Poirot menemui Nyonya Folliat untuk memberitahukan
hasil pemecahan kasus itu yang melibatkan anak Nyonya Folliat sebagai tersangka
utamanya (motif pembongkaran kasus). Anaknya tidak lain adalah Sir George
yang selama ini menutupi identitas jatidirinya sebagai James.
Kepada Nyonya Folliat, Poirot menceritakan awal mula peristiwa
pembunuhan Hattie hingga terjadinya tragedi pembunuhan Marlene. Pembunuhan
yang terjadi beberapa tahun yang lalu itu diawali dari kembalinya James ke
-
30
Nassecombe setelah melarikan diri dari wajib militer bersama istrinya seorang
wanita Italia. Saat itu Nyonya Folliat sedang diberi pekerjaan oleh pemerintah
untuk merawat Hattie, gadis sebatang kara yang baru saja mengalami musibah
karena seluruh keluarganya tewas terkena gempa bumi. Pekerjaan itu diterima
Nyonya Folliat untuk membayar hutangnya yang telah menumpuk. Hattie saat itu
menjadi gadis yang sangat kaya karena mewarisi seluruh harta keluarganya. Ingin
memanfaatkan situasi tersebut, James kemudian menyamar dengan menjadi
pribadi baru bernama Sir George, seorang bujangan kaya. Ia lalu menikahi Hattie,
membunuhnya, lalu memunculkan istri Italianya yang menyamar sebagai Hattie..
James dan istrinya berhasil menutup kasus kejahatan mereka dan menikmati
kekayaan Hattie hingga bertahun-tahun. Kedatangan De Sousa nyaris
membongkar penyamaran Hattie palsu. Sir George telah membuat sandiwara.
Hattie disuruh menyelinap keluar dari Nassecombe, lalu Marlene dibunuh. Sir
George mengatakan bahwa De Sousa suka membunuh agar orang-orang mengira
Hattie telah dibunuh oleh De Sousa, lalu Marlene juga dibunuhnya karena
menyaksikan pembunuhan itu. Tidak lama kemudian Sir George juga membunuh
Merdell agar tidak membuka mulut.
Poirot mengatakan, polisi sekarang sedang membongkar bangunan berkubah
yang di bawahnya terkubur mayat Hattie asli. Nyonya Folliat akhirnya mengakui
kejahatan yang dilakukan oleh anaknya dan menantunya. Ia menyesali
keputusannya menuruti kemauan anaknya dan tidak melaporkan anaknya kepada
polisi. Ia melakukan semua itu karena ia mencintai anaknya.
-
31
2.2.1.6 Pembahasan Plot
Dari uraian di atas, ditemukan beberapa motif yang menggerakkan plot,
yakni motif firasat buruk, perkenalan antardftokoh, kedatangan tokoh pemicu
terbongkarnya kasus, pembunuhan, penyelidikan, penuduhan terhadap orang tidak
bersalah, dan motif pembongkaran kasus. Hubungan kausalitas antarmotif tidak
selalu dapat dilihat dalam peristiwa yang berlangsung. Peristiwa-peristiwa yang
dimunculkan tidak selalu menunjukkan keterkaitan seketika itu juga. Hubungan
kausalitas itu dapat dilihat di akhir cerita ketika tokoh protagonis menceritakan
hasil pemecahannya atas kasus tersebut. Hal ini merupakan ciri khas dalam cerita
detektif yang betujuan memberikan efek kejutan bagi pembaca.
Berdasarkan kriteria urutan waktunya, plot novel KB tergolong plot lurus.
Tahap demi tahap berurutan mulai dari awal hingga akhir cerita. Kedatangan
Poirot di Nassecombe disusul dengan tewasnya Marlene, lalu polisi dan Poirot
melakukan penyelidikan, kemudian Merdell terbunuh, dan akhirnya Poirot
berhasil membongkar kasus pembunuhan Marlene dan Merdell yang terkait
langsung dengan kasus pembunuhan Hattie yang terpendam selama bertahun-
tahun. Kisah terbunuhnya Hattie yang diceritakan oleh Poirot di akhir cerita tidak
dimaksudkan sebagai sorot balik melainkan sebagai teknik backtracking. Teknik
penceritaan masa lalu itu dimunculkan dalam bentuk dialog untuk
mengungkapkan hasil penyelidikan tokoh Poirot dalam membongkar kejahatan
yang dilakukan oleh tokoh Sir George.
-
32
2.2.2 Analisis Tokoh dan Penokohan Novel Kubur Berkubah
2.2.2.1 Tokoh Protagonis
Novel KB menampilkan Hercule Poirot sebagai tokoh protagonis yang
membuat plot cerita terjalin melalui pengalamannya menelusuri kasus
pembunuhan di Nassecombe. Poirot seorang lelaki lajang asal Belgia yang sudah
lama tinggal di Inggris dan berprofesi sebagai detektif. Secara fisik Poirot
digambarkan bertubuh gemuk, pendek, dan berkumis tebal. Poirot adalah tipe
orang yang mudah beradaptasi dengan lingkungan dan bergaul dengan orang-
orang sekitar. Ia mengenal watak orang-orang Inggris yang penuh dengan basa-
basi dan kesopanan ala bangsawan. Ia menyadari keberadaan dirinya di negeri
tersebut sebagai orang asing sehingga ia harus dapat beradaptasi dengan karakter
orang-orang sekitar. Dalam perkenalannya dengan orang-orang di Nasse House,
Poirot berbasa-basi secukupnya dan bersikap sopan. Karena itu, Poirot mudah
diterima oleh orang-orang dan dapat menggali berbagai keterangan melalui
perbincangan mereka. Seperti yang dilakukannya ketika Oliver mengenalkannya
pada Nyonya Folliat yang akhirnya bercerita panjang lebar tentang Nasse House.
Wajah wanita tua itu berseri-seri. ”Oh, ini rupanya M. Poirot yang terkenal itu! Anda baik sekali mau datang untuk membantu kami besok. Wanita cerdas ini telah merencanakan suatu permainan pemecahan perkara yang hebat. Pasti akan luar biasa.” Poirot agak heran melihat keanggunan wanita kecil itu. Sepantasnya wanita inilah yang menjadi nyonya rumah. ”Nyonya Oliver kenalan lama saya,” kata Poirot dengan sopan. ”Saya senang bisa memenuhi permintaannya. Tempat ini betul-betul indah, bangunannya anggun dan sempurna sekali.” Nyonya Folliat mengangguk membenarkan. ”Ya. Rumah ini didirikan oleh kakek buyut suami saya dalam tahun 1790...” (Christie, 1984:35)
-
33
Ia mempunyai kepercayaan diri yang kuat dan wibawa yang muncul karena
keahliannya dalam memecahkan kasus pembunuhan. Poirot adalah detektif yang
terkenal karena keberhasilannya dalam memecahkan setiap kasus yang
ditanganinya. Keberhasilannya terwujud karena sifatnya yang gigih tanpa putus
asa dalam menelusuri sebuah kasus. Kegigihannya digambarkan oleh pengarang
dengan teknik pelukisan dramatik melalui ucapan dalam dialog antara Poirot
dengan Nyonya Folliat.
Poirot bangkit dan memandangi wanita tua itu. Dan wanita tua itu berkata dengan kesal, ”Mengapa Anda ribut-ribut, sedang polisi saja sudah menyerah.” Poirot menggeleng. ”Oh, tidak, Nyonya, Anda keliru. Polisi tidak menyerah. Dan saya,” sambungnya lagi, ”juga tidak menyerah. Ingat itu. Saya, Hercule Poirot, tidak menyerah.” Suatu kalimat penutupan yang khas dari Hercule Poirot. (Christie, 1984:242)
Ia juga seseorang yang mempunyai rasa ingin tahu yang besar. Sahabatnya,
Oliver tahu persis watak Poirot. Karena itu pula, Oliver memintanya datang ke
Nassecombe tanpa memberitahukan alasan dari permintaannya tersebut dan
Oliver yakin bahwa Poirot akan datang. Rasa ingin tahu yang besar itu berkaitan
dengan kecintaannya pada kejujuran. Sesuatu yang tampak ditutup-tutupi dengan
kebohongan membuat naluri detektifnya muncul untuk menguak fakta di balik
kebohongan itu. Dalam berbicara dengan orang lain pun, Poirot selalu memancing
lawan bicaranya untuk menceritakan semua yang diketahui orang itu dengan terus
memberikan pertanyaan-pertanyaan dan ucapan-ucapan yang memancing reaksi.
Terkadang ia harus berbohong untuk memancing pengakuan seseorang. Seperti
yang dilakukannya pada Peggy Legge.
-
34
”Bukankah Anda tadi sedang mencari-cari sesuatu? Mungkinkah ini barang itu?” Diperlihatkannya jimat emas yang kecil itu. ”Saya—oh, ya—. Terimakasih, M. Poirot. Di mana Anda menemukannya?” ”Di sini, di celah lantai itu.” ”Entah kapan jatuhnya.” ”Kemarin barangkali?” ”Bukan, bukan kemarin. Sebelum itu.” ”Bagaimana mungkin, Nyonya. Saya ingat benar melihat benda ini di pergelangan Anda waktu Anda sedang meramalkan nasib saya.” Tak ada orang yang berbohong sepandai Hercule Poirot. Dia berbicara dengan keyakinan penuh dan Peggy Legge pun tertunduk. (Christie, 1984:202) Meskipun Poirot mempunyai komitmen pada kejujuran, Poirot terkadang
merasa harus berbohong. Hal itu tidak berarti Poirot suka berbohong. Poirot
melakukan kebohongan hanya dalam situasi yang menurutnya tidak bijaksana jika
mengungkapkan kejujuran apa adanya. Kebijaksanaan Poirot kadang bertujuan
untuk menjaga perasaan lawan bicaranya. Seperti yang dilakukannya ketika
mengamati tatanan rambut dan penampilan Oliver yang menurutnya kampungan
dan wajah Nyonya Masterton yang mirip anjing pelacak. Ia hanya menyimpan
pengamatannya tersebut dalam hati dan tidak membicarakannya. Kadang Poirot
juga tidak tulus dalam melakukan sesuatu untuk menghormati orang lain.
Misalnya ketika sedang mengantar Poirot menuju Nasse House dari stasiun kereta
api, sopir Nasse House itu membicarakan beberapa tempat yang sedang
dilewatinya. Poirot kemudian memuji tempat yang dimaksud oleh sopir. Meski
hal itu sebenarnya tidak menarik baginya, ia melakukan itu untuk membesarkan
hati lawan bicaranya.
”Ini Sungai Helm, Tuan,” katanya. ”Yang jauh di sana itu Dartmoor.” Poirot menyadari bahwa dia harus menyatakan kekagumannya. Maka dia pun lalu berdecak dan bergumam, ”Sungguh Indah!” beberapa kali. Sebenarnya alam tidak begitu menarik perhatiannya. (Christie, 1984:16)
-
35
Poirot juga selalu memperhatikan hal-hal yang ditemuinya seremeh apa pun.
Karena kepekaannya ini, Poirot berhasil memecahkan kasus pembunuhan tersebut
melalui hal-hal remeh yang tidak diperhatikan oleh orang lain, bahkan oleh polisi.
Dalam menentang atau menyangkal sesuatu yang tidak sesuai dengan
pendapatnya, Poirot cenderung menahan diri untuk mengungkapkan
ketidaksetujuannya secara lugas. Ia lebih suka mengajak lawan bicaranya untuk
mempertimbangkan kembali pendapatnya yang dianggapnya keliru dengan
mempertanyakan pendapat tersebut.
Konflik yang muncul antara tokoh protagonis dan antagonis dalam cerita ini
tidak lepas dari penokohan kedua tokoh yang saling bertentangan. Watak Poirot
yang cinta pada kebenaran dan kejujuran bertolakbelakang dengan watak tokoh
antagonis yang jahat dan suka menutupi kejahatannya dengan berbagai
kebohongan.
2.2.2.2 Tokoh Antagonis
Tokoh antagonis dalam novel ini adalah Sir George. Sir George
digambarkan sebagai orang kaya yang penuh akal licik dan kejam, tetapi pintar
dalam menyembunyikan kejahatannya dan ahli berakting serta mempengaruhi
orang dengan kata-katanya. Ia menutupi kejahatannya dengan sikap sopan, ramah,
dan terbuka. Meskipun sopan, Sir Goerge juga digambarkan berpembawaan kasar,
mudah marah, dan mata keranjang. Sir George selalu marah jika ada orang asing
yang melintasi halamannya tanpa izin.
Dari jendela kamar Lady Stubbs, Sir George bersandar keluar dan berteriak dengan marah pada mereka. ”Kalian memasuki daerah terlarang,” katanya. ”Apa?” kata gadis yang berkerudung kepala hijau.
-
36
”Ini daerah pribadi! Kalian tak boleh lewat di sini.” Gadis yang seorang lagi, yang memakai kerudung biru muda berkata, “Tolong? Dermaga Nassecombe--,” kata-kata itu dilafalkan dengan berhati-hati. ”Inikah jalannya?” ”Kalian masuk daerah orang!” bentak Sir George. ”Apa?” ”Melanggar daerah pribadi! Tak boleh lewat di sini. Kalian harus kembali. Kembali ke tempat kalian tadi!”(Christie, 1984:85) Ia pintar bergaul dan memanfaatkan keahliannya ini untuk mendekati
wanita-wanita cantik yang ditemuinya. Meskipun sudah beristri, Sir George dalam
suatu kesempatan dengan sembunyi-sembunyi menggoda Peggy Legge, istri Alec
Legge.
Dari jarak yang lebih dekat, terdengar suara Sir George yang lembut dan penuh birahi. ”Pantas benar kau memakai cadar itu. Maunya kau berada dalam haremku, Peggy. Aku akan datang dan banyak-banyak minta nasibku diramalkan besok. Apa yang kau ramalkan?” Terdengar bunyi kaki yang bergeser dan suara Peggy Legge terengah berkata, ”George, jangan.” (Christie, 1984:63) Karakter tokoh antagonis tersebut bertolakbelakang dengan karakter tokoh
protagonis. Pertentangan inilah yang akhirnya memunculkan konflik, meskipun
tidak secara langsung, dalam arti kejahatan yang dilakukan tokoh antagonis tidak
menimpa tokoh protagonis maupun orang yang terkait langsung dengan tokoh
protagonis, tetapi kejahatan tersebut bertentangan dengan watak tokoh protagonis
yang cinta kebenaran dan kejujuran.
2.2.2.3 Tokoh Bawahan
Tokoh bawahan adalah tokoh yang dianggap tidak sentral. Beberapa tokoh
bawahan yang muncul dalam novel ini antara lain Nyonya Amy Folliat, Hattie,
Ariadne Oliver, Etienne De Sousa, Merdell, Marlene, dan Alec Legge. Nyonya
-
37
Amy Folliat dikisahkan sebagai wanita tua yang lemah dan penuh kepasrahan
setelah ia ditinggal seluruh keluarganya, yakni suaminya dan kedua anaknya, dan
mengalami kebangkrutan hingga akhirnya ia harus menjual rumahnya kepada Sir
George. Ia juga berpandangan sinis pada hidup. Suatu ketika ia berkata pada
Poirot bahwa dunia ini jahat dan banyak pula orang yang jahat sekali di dunia ini.
Di akhir cerita, dijelaskan bahwa Nyonya Folliat sebenarnya adalah ibu dari tokoh
Sir George yang sebenarnya bernama James. Tokoh Amy Folliat merupakan
tokoh bawahan yang berpihak pada tokoh antagonis karena ia membela dan
menutupi tindak kejahatan yang dilakukan oleh tokoh antagonis.
Lady Stubbs alias ”Hattie” palsu digambarkan sebagai wanita yang lugu,
manja, suka kemewahan, dan kekanak-kanakan. Ia juga seorang pemalas yang
lebih suka menyuruh pembantunya melakukan semua pekerjaan rumah tangga.
Hattie Stubbs menggeleng. ”Ah, tidak. Saya rasa itu membosankan sekali dan bodoh sekali. Bukankah ada para pelayan dan tukang-tukang kebun? Mengapa bukan mereka saja yang disuruh menyiapkannya?” (Christie, 1984:44) Hattie juga dikenal tertutup dan jarang bergaul dengan orang-orang. Dalam
beberapa kesempatan digambarkan bahwa Hattie hanya sibuk memandangi cincin
barunya, tidur di kamar, dan hanya keluar kamar ketika makan bersama.
Meskipun demikian, beberapa orang mempunyai pandangan lain tentang
Hattie palsu ini. Brewis berpendapat, meski tampak lugu dan bodoh, Hattie
sebenarnya cerdik dan licik.
”Licik,” kata Nona Brewis lagi. ”Penipu! Selalu berpura-pura bodoh—lebih-lebih bila ada orang—. Saya rasa karena pikirnya suaminya senang kalau dia begitu!” (Christie, 1984:185)
-
38
Di akhir cerita, karakter Hattie ”palsu” tersebut ditunjukkan. Ia sebenarnya
adalah istri pertama James yang berasal dari Itali dan berkomplot dengan James
melakukan pembunuhan atas Hattie ”asli” dan merebut hartanya. Hattie ”palsu”
tersebut berpura-pura bodoh dan lugu, padahal sebenarnya ia kejam dan licik.
Tokoh Hattie ”palsu” merupakan tokoh bawahan yang berpihak pada tokoh
antagonis.
Ariadne Oliver, sahabat Poirot adalah tokoh yang mengantarkan dan
membawa Poirot memasuki cerita dalam novel ini. Oliver adalah seorang janda
tua yang telah menerbitkan banyak buku cerita detektif. Oliver digambarkan
sebagai wanita yang ramah, baik hati, dan percaya diri baik dengan
penampilannya maupun keahliannya. Ia adalah pengarang cerita yang cerdas dan
mempunyai daya imajinasi yang tinggi tetapi sulit menjelaskan sesuatu kepada
orang lain. Ia menganggap dirinya mempunyai insting wanita yang kuat sehingga
ia merasa mendapatkan firasat bahwa akan ada sesuatu yang aneh terjadi dalam
permainan tersebut. Sisi buruknya, ia terkadang terburu-buru dalam mengambil
keputusan. Contohnya, ketika ia dengan asal berimajinasi tentang motif
pembunuhan tersebut.
”Saya tak bisa membayangkan siapa yang mungkin melakukannya. Atau sekurang-kurangnya saya bisa berprasangka—saya bisa mengkhayalkan apa saja! Itulah sulitnya dengan saya. Sekarang saja—pada saat ini saya sudah bisa mengkhayalkan beberapa hal. Saya bahkan bisa membuatnya agar kelihatan seperti benar. Maksud saya, bisa saja dia dibunuh oleh orang yang suka membunuh anak-anak gadis (tetapi itu terlalu mudah)—dan apalagi kebetulan sekali orang yang suka membunuh anak-anak gadis itu berada dalam keramaian hari ini. Lalu bagaimana dia tahu bahwa Marlene berada di gudang kapal itu? Atau mungkin gadis itu mengetahui tentang rahasia cinta seseorang, atau mungkin dia telah melihat seseorang yang menguburkan mayat malam hari, mungkin pula dia telah mengenali seseorang yang selama ini menyembunyikan dirinya—atau mungkin dia telah mencium rahasia
-
39
tentang tempat tersembunyinya harta karun selama perang. Atau seseorang di perahu telah melemparkan seseorang ke dalam sungai dan gadis itu telah melihatnya dari jendela gudang kapal—atau dia bahkan telah menemukan suatu pesan yang amat penting, tertulis dengan kode rahasia dan dia sendiri tak tahu apa itu.” (Christie, 1984:126) Oliver adalah tipe orang yang mudah gelisah. Setelah ia mengetahui
Marlene terbunuh, ia tampak syok dan kacau. Karena itu, Poirot menyarankannya
minum obat agar lebih tenang. Oliver suka memperhatikan penampilannya,
termasuk rambutnya. Ia suka sekali mengubah-ubah tatanan rambutnya. Oliver
merupakan tokoh bawahan yang berpihak pada tokoh protagonis. Tokoh Oliver
menghubungkan tokoh protagonis dengan tokoh antagonis dan mendukung usaha
tokoh protagonis dalam membongkar kejahatan tokoh antagonis dengan
menyampaikan dugaan dan semua informasi yang diketahuinya.
Etienne De Sousa, sepupu jauh Hattie, adalah lelaki kaya yang ramah dan
berwibawa. Pembawaannya tenang, sopan dan penuh percaya diri. Ia tidak terlalu
suka bergaul dengan orang-orang. Ia berperan sebagai pemicu konflik yang
membuat Sir George dan Hattie palsu takut jika kejahatannya terbongkar.
Merdell, mantan mandor tukang kebun Nasse House, adalah lelaki tua yang
telah berusia 92 tahun dan sekarang bekerja di dermaga penyebrangan di sungai
dekat Nasse House. Ia selalu berpikiran sederhana dan menghindari konflik.
Merdell juga suka meminum minuman keras. Ia terkadang berbicara dengan nada
sinis ketika membicarakan sesuatu yang menurutnya pantas diejek, seperti yang
tampak dalam dialog antara Merdell dengan Poirot ketika membicarakan tentang
Sir George. Merdell yang mengetahui kebusukan Sir George bercerita kepada
Poirot dengan sinis. Merdell menjadi korban pembunuhan karena ia pernah
-
40
melihat mayat perempuan di hutan sekitar Nasse House dan mengetahui
penyamaran Sir George.
Marlene Tucker, cucu Merdell, adalah gadis lugu yang bodoh dan mudah
disuap. Marlene suka mengintai dan mengintip orang-orang. Ia sering
mendapatkan uang suap dari orang yang diintipnya agar ia menutup mulut. Ia
senang mendapatkan uang suap itu dan membelanjakannya untuk membeli
peralatan kosmetik dan aksesoris pakaian. Secara fisik Marlene tidak cantik dan
wajahnya agak bopeng. Marlene dibunuh karena ia mengetahui kejahatan sang
pembunuh dari cerita kakeknya.
Alec Legge adalah orang luar daerah y