jaminan kesehatan dalam islam
Post on 05-Dec-2015
21 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Jaminan Kesehatan dalam Islam05 Aug 2015 in Al Islam Leave a comment
[Al-Islam edisi 766, 22 Syawal 1436 H – 7 Agustus 2015 M]Berbagai media memberitakan MUI yang memfatwakan haram sistem BPJS
Kesehatan. Pro-kontra pun muncul. Namun, pemberitaan itu sudah ‘diluruskan’ oleh Ketua MUI Din Syamsudin. Din Syamsudin (Kompas.com, 1/8) menegaskan, tidak ada pernyataan “haram” di dalam hasil kesimpulan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia Tahun 2015 di Tegal terkait BPJS Kesehatan beberapa waktu lalu.
Hasil kesimpulan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V Tahun 2015, Komisi B2 Masail Fiqhiyyah Mu’ashirah (Masalah Fikih Kontemporer) tentang panduan Jaminan Kesehatan Nasional dan BPJS Kesehatan menegaskan dua hal: “1. Penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan, terutama yang terkait dengan akad antar para pihak, tidak sesuai dengan prinsip syariah karena mengandung unsur gharar (penipuan), maysir (judi) dan riba. 2. MUI mendorong Pemerintah untuk membentuk, menyelenggarakan dan melakukan pelayanan jaminan sosial berdasarkan prinsip syariah dan melakukan pelayanan prima.”
Di luar kritik yang disampaikan dalam hasil kesimpulan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa itu sebenarnya ada sejumlah masalah mendasar dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS. Sejumlah masalah itulah yang membuat sistem JKN yang dikelola BPJS saat ini bertentangan dengan syariah Islam.Negara Lepas Tanggung Jawab
Menurut Asih dan Miroslaw dari German Technical Cooperation (GTZ), LSM yang berperan aktif membidani kelahiran JKN: “Ide dasar jaminan kesehatan sosial adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan dari Pemerintah kepada institusi yang memiliki kemampuan tinggi untuk membiayai pelayanan kesehatan atas nama peserta jaminan sosial.” (Lihat: www.sjsn.menkokesra.go.id).Sistem JKN oleh BPJS saat ini mengalihkan tanggung jawab berupa penjaminan kesehatan dari pundak negara ke pundak seluruh rakyat yang memang telah diwajibkan menjadi peserta JKN.
Dengan demikian negara lepas tangan. Pasalnya, jaminan kesehatan yang merupakan hak rakyat dan seharusnya menjadi tanggung jawab negara akhirnya berubah menjadi kewajiban rakyat. Rakyat dipaksa saling membiayai pelayanan kesehatan di antara mereka melalui sistem JKN dengan prinsip asuransi sosial. Saling menanggung itulah yang dimaksudkan dengan prinsip kegotongroyongan.JKN=Asuransi Sosial
Istilah “jaminan kesehatan” ternyata palsu. Pasalnya, yang ada bukan jaminan kesehatan, tetapi asuransi sosial kesehatan. Jaminan dengan asuransi sosial jelas berbeda.Pasal 19 ayat 1 UU SJSN menegaskan sistem JKN diselenggarakan berdasarkan prinsip asuransi sosial yaitu: suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya (Pasal 1 ayat 3).Konsekuensinya, seluruh rakyat wajib membayar iuran/premi bulanan. Meski iuran untuk orang miskin dibayar oleh negara (sebagai penerima bantuan iuran-PBI), hal itu tidak menghilangkan hakikat bahwa seluruh rakyat wajib membayar iuran bulanan. Jadi pada dasarnya JKN sama dengan asuransi pada umumnya. Peserta JKN, yakni seluruh rakyat, baru bisa mendapat pelayanan dari BPJS selama membayar iuran/premi bulanan. Jika tidak bayar, mereka tidak mendapat pelayanan. Jika nunggak membayar, mereka pun dikenai denda 2% perbulan, maksimalnya enam bulan. Lebih dari enam bulan menunggak,
pelayanan dihentikan. Bahkan lebih dari itu, karena wajib, mereka yang tidak membayar iuran akan dijatuhi sanksi, yakni tidak akan mendapat pelayanan administratif seperti pembuatan KTP, KK, paspor, sertifikat dsb.Jadi dalam JKN, rakyat bukan dijamin pelayanan kesehatannya. Faktanya, rakyat diwajibkan membayar iuran tiap bulan, baru mereka mendapat layanan. Jika tidak membayar lebih dari enam bulan, mereka tidak dilayani dan bahkan dijatuhi sanksi.Tidak Adil dan Bernuansa Bisnis
Sistem JKN masih mengadopsi pendekatan diskriminatif alias tidak adil. Contoh: ada pembedaan antara peserta PBI dan non-PBI. Sistem JKN juga mengenal pembagian kelas: kelas III, II dan I; masing-masing dengan iuran bulanan berbeda dan layanan berbeda. Itu artinya, JKN menganut prinsip pemberian pelayanan berdasarkan kemampuan bayar peserta atau status ekonomi peserta. Prinsip ini merupakan watak komersial yang dianut oleh lembaga bisnis.
Watak itu makin kental karena SJSN dan JKN ini menghimpun dana rakyat untuk investasi. Atas nama SJSN dan JKN, ratusan triliun dana rakyat dihimpun atas nama iuran/premi asuransi sosial yang bersiat wajib. Sebagian dana itu wajib diinvestasikan oleh BPJS. Pasalnya, sesuai UU SJSN dan BPJS, investasi dana asuansi sosial itu bersifat mandatori, artinya wajib, tentu dengan segala konsekuensi sebuah investasi. Hingga saat ini saja, total investasi oleh BPJS Kesehatan mencapai lebih dari 10 triliun rupiah.Negara Wajib Menjamin Kesehatan Warganya
Jaminan kesehatan mestinya diberikan oleh negara secara bebas biaya dan berkualitas untuk seluruh rakyat tanpa kecuali dan tanpa diskriminasi. Pertanyaannya, apakah jaminan kesehatan seperti itu mungkin untuk diwujudkan saat ini? Jawabannya, mungkin, bahkan sangat mungkin, apalagi melalui penerapan sistem Islam secara menyeluruh.
Saat ini banyak negara yang bisa memberikan jaminan kesehatan itu. Di antara yang terbaik menurut pengakuan dunia adalah Kuba. Kondisi perekonomian Kuba tidak jauh berbeda dengan negeri ini. Bahkan kekayaan alam Kuba jauh lebih sedikit dibandingkan dengan negeri ini. Namun, meski jauh lebih miskin, Kuba berhasil memberikan jaminan kesehatan untuk seluruh rakyatnya secara gratis dan berkualitas tinggi; jauh lebih baik dari AS, Eropa dan negara-negara yang jauh lebih kaya.Semestinya negara ini jauh lebih bisa memberikan jaminan kesehatan gratis dan berkualitas untuk seluruh rakyat. Yang diperlukan hanyalah kemauan dan komitmen politik serta perhatian sungguh-sungguh Pemerintah untuk memelihara kemaslahatan rakyat.Jaminan Kesehatan dalam Islam
Dalam Islam, kebutuhan akan pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi kewajiban negara. Rumah sakit, klinik dan fasilitas kesehatan lainnya merupakan fasilitas umum yang diperlukan oleh kaum Muslim dalam terapi pengobatan dan berobat. Dengan demikian pelayanan kesehatan termasuk bagian dari kemaslahatan dan fasilitas umum yang harus dirasakan oleh seluruh rakyat. Kemaslahatan dan fasilitas umum (al-mashâlih wa al-marâfiq) itu wajib dijamin oleh negara sebagai bagian dari pelayanan negara terhadap rakyatnya. Dalilnya adalah sabda Rasul saw.:
» �ه�» �ت ي ع� ر� ع�ن ؤ�ول� و�م�س و�ه�و� اع� ر� �م�ام� اإلImam (penguasa) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar ra.).Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw. pun—dalam kedudukan beliau sebagai kepala negara—pernah mendatangkan dokter untuk mengobati salah seorang
warganya, yakni Ubay. Saat Nabi saw. mendapatkan hadiah dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau pun menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi seluruh warganya.Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Anas ra. bahwa serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Lalu mereka jatuh sakit di Madinah. Rasulullah saw. selaku kepala negara saat itu meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola oleh Baitul Mal di dekat Quba’. Mereka dibolehkan minum air susunya sampai sembuh. Al-Hakim meriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khaththab ra. juga pernah memanggil dokter untuk mengobati salah seorang warganya, yakni Aslam.
Semua itu merupakan dalil bahwa pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis dan tanpa diskriminasi.Jaminan kesehatan dalam Islam itu memiliki tiga sifat. Pertama: berlaku umum tanpa diskriminasi, dalam arti tidak ada pengkelasan dan pembedaan dalam pemberian layanan kesehatan kepada rakyat. Kedua: bebas biaya. Rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya apapun untuk mendapat pelayanan kesehatan oleh negara. Ketiga: seluruh rakyat harus diberi kemudahan untuk bisa mendapatkan pelayanan kesehatan oleh negara.
Pemberian jaminan kesehatan seperti itu tentu membutuhkan dana besar. Dana tersebut bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariah. Di antaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum termasuk hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya; dari sumber-sumber kharaj, jizyah, ghanimah, fa’i, ‘usyur; dari hasil pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu akan lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai dan gratis untuk seluruh rakyat, tentu dengan kualitas yang jauh lebih baik dari yang berhasil dicapai saat ini di beberapa negara.
Kuncinya adalah dengan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh. Hal itu hanya bisa diwujudkan di bawah sistem yang dicontohkan dan ditinggalkan oleh Nabi saw. Sistem ini kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin serta dijaga dan dilanjutkan oleh generasi selanjutnya. Itulah sistem Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Inilah yang harus diperjuangkan oleh umat. Umat secara keseluruhan tentu bertanggung jawab untuk menegakkan kembali Khilafah Rasyidah itu. WalLâh a’lam bi ash-shawâb.[] Komentar al-Islam
BPJS Kesehatan melalui Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mengusulkan kenaikan iuran atau premi bagi Penerima Bantuan Iuran (PBI). Usulan ini terkait melonjaknya jumlah klaim, sementara premi yang dibayarkan minim. Akibatnya, BPJS Kesehatan menanggung klaim hingga Rp 42,65 triliun sepanjang tahun 2014 (Finance.cetik.com, 4/8).
1. Sekarang iuran PBI dinaikkan, berikutnya akan merambah iuran peserta non-PBI.
2. Rakyat akan terus ditimpa beban dari pengalihan tanggung jawab negara ke pundak rakyat dan
penghimpunan dana untuk investasi.
3. Sistem JKN harus diganti dengan jaminan kesehatan dalam sistem Islam. Hanya dengan itu
jaminan kesehatan yang sesungguhnya benar-benar bisa terwujud.
Pemimpin Penipu Rakyat Haram Masuk Surga07 May 2015 in Hadis Pilihan (Al Waie), Tsaqofah, Tsaqofah Islam Leave a comment
� �ال إ �ه� �ت ي ع� �ر� ل غ�اش@ و�ه�و� �م�وت� ي �وم� ي �م�وت� ي Fة� ي ع� ر� الله� ه� ي ع� �ر ت �س ي د� ع�ب م�ن م�ا
�ة� ن ج� ال ه� �ي ع�ل الله� م� ح�ر�Tidaklah mati seorang hamba yang Allah minta untuk mengurus rakyat, sementara dia
dalam keadaan menipu (mengkhianati) rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga bagi
dirinya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dalam hadis ini, Rasul saw. mengungkapkan dengan redaksi penafian (kata mâ) yang
dilanjutkan dengan pengecualian (kata illâ) untuk menetapkan. Ini memberi pengertian, tidak
ada seorang pun yang memenuhi deskripsi hadis ini kecuali pasti menghadapi akibat yang
dijelaskan dalam hadis ini.
Makna yastar’îhilLâhu ra’iyyat[an] maksudnya, Allah mendelegasikan pengaturan urusan
rakyat kepada dia, dengan menobatkan dia untuk mengurus berbagai kemaslahatan rakyat
dan mengendalikan urusan mereka. Ar-Râ’iy adalah penjaga yang diberi amanah atas
pengaturan urusan rakyat.
Kata ghâsysy[in] maknanya khâ‘in (khianat) atau khâdi’ (penipu). Artinya, dia mengelabui
rakyat atau mengkhianati amanah yang dipercayakan kepada dirinya untuk mengurus
urusan rakyat, memelihara berbagai kemaslahatan rakyat dan semua kewajiban dan
tanggung jawab ri’ayah.
Frasa yawma yamûtu wa huwa ghâsysy[in] bermakna: saat ajal menghampiri dia dan tobat
sudah tidak lagi bisa diterima, sementara pada waktu itu dia seorang ghâsysy[in].
Adapun sabda Rasul saw, illâ harramallâh ‘alayhi al-jannata, maksudnya dijelaskan dalam
riwayat lain: lam yadkhul ma’ahum al-jannata (tidak masuk surga bersama mereka). Artinya,
dia tidak masuk surga bersama rakyatnya yang masuk surga, sebab dia harus mendapat
hukuman karena mengkhianati amanah ri’ayah itu. Jadi, maknanya bukan dia kekal di
neraka.
Jadi, hadis ini seperti dijelaskan oleh Ibn Bathal di dalam Syarh Ibn Bathal, merupakan
penjelasan dan ancaman keras terhadap para pemimpin keji (a’immah al-jûr). Jadi, siapa
yang menelantarkan orang-orang yang urusan mereka Allah percayakan kepada dia atau
dia mengkhianati mereka atau menzalimi mereka, maka kepada dia diarahkan tuntutan atas
kezaliman-kezaliman terhadap hamba pada Hari Kiamat kelak.
Qadhi ‘Iyadh mengatakan seperti dikutip oleh an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim li
an-Nawawi, “Maknanya jelas dalam hal peringatan dari menipu (mengkhianati) kaum Muslim
, peringatan untuk orang yang kepada dia didelegasikan sesuatu dari urusan mereka, dia
diminta mengurusi mereka dan dia diangkat untuk mengurusi kemaslahatan mereka dalam
hal agama dan dunia mereka. Jika dia berkhianat dalam apa yang dipercayakan
(diamanahkan) kepada dia dan dia tidak menasihati dalam apa yang didelegasikan kepada
dia yang kadang itu dengan tidak memberitahu mereka apa yang harus mereka pegang
teguh dan mereka ambil dari agama mereka, dan kadang dengan tidak melakukan apa yang
telah ditentukan untuknya berupa menjaga syariah mereka dan membela/mempertahankan
syariah dari setiap penentang yang akan memasukkan sesuatu di dalamnya atau
memalingkan makna-maknanya, atau mengabaikan hudud mereka, atau menelantarkan
hak-hak mereka atau tidak melindungi/menjaga apa yang mereka peroleh dan tidak
menghadapi musuh-musuh mereka, atau meninggalkan langkah keadilan di tengah mereka,
maka sungguh dia telah menipu mereka.”
Qadhi ‘Iyadh mengatakan, “Sungguh Allah SWT telah memperingatkan bahwa hal demikian
termasuk dosa besar yang berakibat menjauhkan dari surga. WalLah a’lam.”
Al-Amir ash-Shan’ani di dalam Subul as-Salâm menjelaskan, “Sabda Rasul saw., ‘yawma
yamûtu (hari ketika dia mati),’ maksudnya bahwa dia dihampiri kematian dalam keadaan
menipu rakyatnya tanpa bertobat dari hal itu. Al-Ghisyyu adalah lawan dari an-
nushhu (nasihat). Ghissyu itu terjadi dengan kezaliman dia terhadap rakyat dengan
mengambil harta mereka, menumpahkan darah mereka, melanggar kehormatan mereka,
menghalangi diri dari keperluan dan kebutuhan mereka, menahan dari mereka harta Allah
SWT yang Allah tetapkan menjadi milik mereka yang ditentukan untuk pengeluaran-
pengeluaran, tidak memberitahu mereka apa yang wajib atas mereka baik perkara agama
dan dunia mereka, mengabaikan hudud, tidak menghalangi orang-orang yang membuat
kerusakan, menelantarkan jihad dan lainnya yang di dalamnya terdapat kemaslahatan
hamba. Termasuk dalam hal itu adalah mengangkat orang yang tidak melingkupi mereka
dan tidak memperhatikan perintah Allah tentang mereka dan mengangkat orang yang mana
Allah lebih meridhai orang lainnya. Padahal orang lain yang lebih diridhai oleh Allah itu ada.
Banayak hadis menunjukkan keharaman al-ghisyyu (penipuan/khianat) dan bahwa itu
termasuk dosa besar karena adanya ancaman terhadap al-ghisyyu itu sendiri.”
Rasul saw. bersabda:
خ�ان� ف�ق�د ه� ع�ن الله� ض�ي ر� أ ه�و� م�ن ه�م و�ف�ي �ة� ع�ص�اب ع�ل�ى F ج�ال ر� �عم�ل� ت اس م�ن�
ن� �ي م�ؤم�ن و�ال �ه� ول س� و�ر� الله�Siapa saja yang mengangkat seorang laki-laki terhadap suatu kelompok, sementara di
tengah mereka ada orang yang lebih diridhai Allah dari laki-laki itu maka sungguh dia telah
mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan kaum Mukmin.” (HR Ahmad dan al-Hakim. Al-Hakim
berkata, “Ini hadis shahîhul isnâd tetapi beliau berdua [al-Bukhari dan Muslim] tidak
mengeluarkan hadis tersebut.”).
Di antara bentuk spesifik al-ghisysyu terhadap rakyat itu adalah mempercayakan urusan
rakyat kepada orang yang tidak amanah, tidak layak atau yang lemah untuk mengemban
amanah ri’ayah. Biasanya hal itu dilakukan karena kedekatan, kecintaan, kekerabatan dan
semacamnya, atau yang disebut nepotisme. Adapun jika orang itu memang orang terbaik,
amanah dan layak mengemban tanggung jawab ri’ayah, maka tidak termasuk al-ghisysyu.
Rasul saw. memperingatkan hal itu:
الله� �ة� �عن ل ه� �ي ف�ع�ل Fاة� اب م�ح� ح�دFا ه�م �ي ع�ل م�ر�� ف�أ Fا ئ ي ش� ن� �م�ي ل م�س ال مر�
� أ م�ن �ي� و�ل م�ن
�م� ه�ن ج� �ه� ل �دخ� ي ح�تى� F ع�دال � و�ال فFا ص�ر ه� م�ن الله� �ل� �قب ي � … ال
Siapa saja yang mengurusi urusan kaum Muslim, lalu ia menjadikan seorang yang dia cintai
sebagai pemimpin mereka, maka bagi dia laknat Allah. Allah tidak menerima dari dia tobat
dan tebusan sampai Allah masukkan dia ke dalam Jahanam (HR Ahmad, al-Hakim. Al-
Hakim berkata, “Ini hadis shahîhul isnâd tetapi beliau berdua [al-Bukhari dan Muslim] tidak
mengeluarkan hadis tersebut.”).
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto)]
top related