institutional repository uin syarif hidayatullah jakarta:...
Post on 04-Nov-2020
5 Views
Preview:
TRANSCRIPT
iv
ABSTRAK
Putra Kurnia Pratama (11150450000013) “Tindak Pidana Pencurian
Ikan (Illegal Fishing) di Perairan Indonesia Menurut Perspektif Hukum Positif
dan Hukum Islam (Analisis Putusan Nomor 06.Pid.Sus-
Perikanan/2015/PN,.Jkt.Utr). Program Studi Hukum Pidana Islam (Jinayah),
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
Tahun 2019 M/ 1441 H.
Permasalahan utama yang terdapat di dalam skripsi ini adalah yang berkaitan
dengan tindak pidana pencurian ikan di perairan Indonesia berdasarkan putusan
Nomor 06.Pid.Sus-Perikanan/2015/PN,.Jkt.Utr. bahwasannya di dalam putusan
tersebut majelis hakim menjatuhkan hukuman penjara selama satu tahun dan denda
sebesar Rp. 5.000.0000 (lima juta rupiah). Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan
bagaimana penegakan hukum bagi pelaku pencurian ikan (Illegal Fishing) di perairan
Indonesia serta menjelaskan aturan yang berlaku di Indonesia tentang pencurian ikan
(Illegal Fishing) di perairan Indonesia dan aturan hukum Islam, dan juga penerapan
hukum dan pertimbangan hakim, serta analisa penulis mengenai putusan Nomor
06.Pid.Sus-Perikanan/2015/PN,.Jkt.Utr.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, artinya pengumpulan data ini
dilakukan dengan metode kepustakaan atau menggunakan data tertulis, data tertulis
yang dimaksud disini adalah sumber data primer dan data sekunder. Sumber data
primer adalah Al-Quran, Hadits, putusan pengadilan, Undang-Undang yang terkait,
dan kumpulan hukum Islam. Sedangkan data sekunder meliputi penelitian tentang
pencurian ikan (illegal fishing), pendapat para ahli dan literatur yang terkait di
dalamnya.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dalam Hukum Pidana Islam, sanksi
tindak pidana pencurian ikan (illegal fishing) yaitu dikenakan hukum ta‟zir.
Sedangkan di dalam hukum positif sendiri, berdasarkan analisa penulis hukuman
yang dijatuhkan hakim kepada saudara Abdul Kholik itu sudah benar dan sesuai
dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Sebagaimana yang dituliskan di
dalam putusan No 06.Pid.Sus-Perikanan/2015/PN,.Jkt.Utr jaksa penuntut umum
menjatuhkan tuntutan penajara selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan dan denda
sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) sedangkan hukuman yang dijatuhkan
hakim di persidangan berupa pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sebesar
Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah), apa yang dilakukan hakim semua nya beradasrkan
peritimbangan.
Kata Kunci : Tindak Pidana, Pencurian Ikan, Perairan Indonesia.
Pembimbing : Ria Safitri, S.H., M.Hum dan Abdul Qodir, S.H., M.Hum
Daftar Pustaka : 1992 s.d 2019
v
KATA PENGANTAR
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Segala puji bagi ALLAH SWT yang telah melimpahkan nikmat kesehatan dan
kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam kepada
Nabi Muhammad SAW selaku tokoh reformasi kehidupan beragama manusia yang
menjadikan agama sebagai pendorong kemajuan di berbagai bidang kehidupan termasuk ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Penulisan skripsi yang berjudul “TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN
(ILLEGAL FISHING) DI PERAIRAN INDONESIA MENURUT PERSPEKTIF
HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM (Analisis Putusan Nomor 06/Pid.Sus-
Perikanan/2015/PN.,Jkt.Utr.) secara formal sebagai sebagai salah satu syarat akademis
untuk menyelesaikan program strata satu di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penyelesaian skripsi ini tentu tak lepas dari campur tangan orang-orang di sekitar
penulis baik langsung maupun tidak langsung. Dalam kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas bimbingan, masukan, saran serta
dukungannya baik moril maupun materiil kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A., Selaku Rektor Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., MA., M.H. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. H. Qasim Arsadani, M.A., selaku Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam, dan
Mohamad Mujibur Rohman, M.A., selaku Sekretaris Jurusan Hukum Pidana Islam.
4. Dr. H. Abd. Rahman, M.A., selaku Dosen Penasehat Akademik penulis yang telah
sabra mendampingi penulis hingga akhir dan telah membantu penulis dalam
peruumusan desain judul ini.
5. Ria Safitri, S.H., M.Hum dan Abdul Qadir, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing
I dan Dosen Pembimbing II dalam penulisan skripsi yang telah memberi banyak
vi
masukan dan arahan serta meluangkan waktunya dengan penuh keikhlasan kepada
penulis.
6. Seluruh Dosen dan Civitas Akademik Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
7. Teristimewa kepada kedua orang tua penulis Ayahanda Idrus dan Ibunda Musrayeti
yang telah menjadi motivator dan inspirator utama bagi penulis untuk terus menuntut
ilmu. Kerja dan pengorbanan yang tak terhingga dan tidak akan bisa terbalas hingga
kapan pun.
8. Lara Safitri, adik penulis yang selalu menjadi pemicu semangat untuk menjadi lebih
baik agar bias menjadi contoh baginya.
9. Keluarga besar Bakhtiar Datuak Rangkayo Mulia yang selalu menyemangati penulis
untuk menyelesaikan perkuliahan strata 1 ini.
10. Kepada Zaharatul Fadili seseorang yang juga istemewa bagi penulis, yang selalu
memabantu penulis dalam meneyelsaikan skripsi ini, dan menjadi penyemangat bagi
penulis.
11. Kepada Teman seperjuangan Aidil Syaputra mulai dari awal perkuliahan sampai saat
ini.
12. Kepada Uda-uda Keluarga Mahasiswa Minangkabau (KMM) Ciputat khususnya
Ridwan, Rozi, Rendi, Mak Angkay, Fajri Ilhami, Azmi, Riyandi dan lain-lain.
13. Kepada teman-teman seangkatan Bujang Gadih 15, Fajri, Rusdi, Yori, Nubli, Azka,
Ojik, Halimah, Ana, Hanum, Aisyah Wahyuni, Hasnul, Uput, Irwan, Awe, Aini dan
lain
14. Kepada Adik-adik Keluarga Mahasiswa Minangkabau, Fajar, Fauzi, Hafni, Fefi,
Acim, Aden, Wafid, Fauzan, Rada, Ocha, Ijul, Fathul, Adib, Arif, Deckral dan lain-
lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
15. Kepada adik-adik kelompok 2 Kalikih Santan KMM Ciputat, Zikri, Vivin, Rifqi,
Lastri, Fanji, Atika, Sari, Dila, Afifah, Gusdi.
16. Kepada teman-teman Hukum Pidana Islam 2015, Fahri, Fahmi, Mansur, Dhika,
Oktavian, Fikri, Juliansyah, Rifqi, Burhan, Arkhan, Andi, Dhani, Ibong, Kibo,
Maksum, Wiwi, Syifa, Rara, Salwa dan lain-lain.
vii
17. Teman-Teman KKN 199 SEIHA, Rodi, Faisal, Febi, Akbar, Hafizh, Icha, Naili, Ega,
Peni, Ega, Nabila, Nining, Sulis, Iis, Halimah, Muklis dan lain-lain.
18. Kepada teman-teman ikatan Alumni MAN 2 Payakumbuh (ISCAMDOEPA), Arif,
Andi, Afdal, Afifah, Ratih, Ocha, Febi, adib dan lain-lain.
19. Teman seperjuangan Dino, Dedet, Coki, Defri yang selalu mensupport saya.
Semoga amal baik mereka semua dibalas berlipat ganda oleh Allah SWT.
Akhirnya tiada untaian kata yang berharga selain ucapan Alhamdulillahirabbil
„Alamaiin. Besar harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan
bagi pembaca pada umumnya, Aamin. Sekian dan Terima Kasih.
Jakarta, 05 Desember 2019
Putra Kurnia Pratama
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii
ABSTRAK ........................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ......................................................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................................. 8
C. Pembatasan Masalah ................................................................................. 8
D. Rumusan Masalah ..................................................................................... 9
E. Tujuan Penelitian....................................................................................... 9
F. Manfaat Penelitian..................................................................................... 9
G. Metode Penelitian ...................................................................................... 10
H. Hasil Penelitian Yang Relevan .................................................................. 11
I. Sistematika Penulisan ................................................................................ 12
BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN
IKAN (ILLEGAL FISHING)
A. Teori Pidana Umum .................................................................................. 14
1. Pengertian Tindak Pidana ................................................................... 14
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana ................................................................ 19
3. Jenis-Jenis Tindak Pidana ................................................................... 22
B. Pencurian Ikan (Illegal Fishing) di Perairan Indonesia ............................ 24
1. Dasar Hukum Yang Mengatur Pencurian Ikan (Illegal Fishing) ........ 24
2. Pengertian Tindak pencurian Ikan (Illegal Fishing) ........................... 27
3. Pengertian Pencurian Ikan (Illegal Fishing) ....................................... 31
4. Jenis Tindak Pidana Pencurian Ikan (Illegal Fishing) ........................ 33
5. Kategori Kejahatan Pencurian Ikan (Illegal Fishing) dan Sanksi Pidananya
............................................................................................................. 36
a. Kategori Pelanggaran .................................................................... 36
b. Kategori Kejahatan........................................................................ 38
ix
BAB III ASPEK HUKUM ISLAM DALAM PENCURIAN IKAN (ILLEGAL
FISHING
A. Dasar Hukum Pidana Islam ....................................................................... 42
1. Pengertian Hukum Pidana Islam ......................................................... 42
2. Dalil-Dalil Tentang Hukum Pidana Islam........................................... 45
3. Asas-Asas di Dalam Hukum Pidana Islam ......................................... 46
a. Asas Keadilan................................................................................ 47
b. Asas Kepastian Hukum ................................................................. 49
c. Asas Kemanfaatan ......................................................................... 50
4. Kedudukan Ancaman Hukum di Dalam Hukum Pidana Islam .......... 52
B. Pencurian Ikan (Illegal Fishing) Dalam Hukum Pidana Islam ................. 53
1. Dasar Hukum Yang Mengatur Pencurian Ikan (Illegal Fishing) di Dalam
Islam .................................................................................................... 53
2. Pengertian pencurian Ikan (Illegal Fishing) di Dalam Islam .............. 55
3. Sanksi Pidana Pelaku Pencurian Ikan (Illegal Fishing) di
Dalam Islam ........................................................................................ 57
a. Qisas .............................................................................................. 57
1) Pengertian Qisas...................................................................... 57
2) Pelaksanaan eksekusi .............................................................. 58
3) Kategori Qisas ......................................................................... 60
b. Hudud ............................................................................................ 62
1) Pengertian Hudud .................................................................... 62
2) Macam-macam Hudud ............................................................ 63
c. Ta‟zir ............................................................................................. 64
1) Pengertian Ta‟zir ..................................................................... 64
2) Macam-macam Ta‟zir ............................................................. 66
4. Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Pencurian Ikan (Illegal Fishing) di
Dalam Islam ........................................................................................ 72
BAB IV ANALISIS YURIDIS PUTUSAN DALAM PERKARA No. 06/PID.SUS-
PERIKANAN/2015/PN.,JKT.UTR.
A. Duduk Perkara Dalam Putusan Dalam Perkara No.06/PID.SUS-
PERIKANAN/2015/PN.,JKT.UTR. ......................................................... 74
1. Kronologi Peristiwa Atau Kejadian .................................................... 74
2. Dakwaan dan Tuntutan Jaksa .............................................................. 76
B. Pertimbangan Hakim Pada Putusan Dalam Perkara No. 06/PID.SUS-
PERIKANAN/2015/PN.,JKT.UTR. ......................................................... 77
x
1. Pertimbangan Majelis Hakim .............................................................. 77
2. Amar Putusan ...................................................................................... 88
C. Kajian Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 .......... 90
D. Persamaan dan perbedaan Pada Putusan Dalam Perkara No.06 /PID.SUS-
PERIKANAN/2015/PN.,JKT.UTR dengan hokum Islam. ....................... 98
E. Analisis Penulis Terhadap Putusan No. 06.PID.SUS-
PERIKANAN/2015/PN.,JKT.UTR. ......................................................... 104
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................... 106
B. Saran .......................................................................................................... 107
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 108
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan
yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa,
dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang
termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Kalau di artikan secara luas atau mendalam apa yang ada di seluruh
kawasan Republik Indonesia semua itu termasuk kedalam pembangunan
nasional tak terlepas juga laut. Indonesia sebagai negara kepulauan yang
sebagian besar wilayahnya terdiri dari laut, memiliki potensi perikanan yang
sangat besar dan beragam. 1
Pada penelitian kali ini penulis akan menggali lebih dalam mengenai
kejahatan atau pelanggaran yang terjadi di perairan, untuk memudahakan
penulis, karna laut yang ada di dunia ini sangat luas, sulit rasanya jika yang
dikaji itu adalah laut seluruh dunia, kali ini penulis batasi ruang lingkup
tersebut menjadi lebih kecil, yaitu kejahatan atau pelanggaran yang terjadi di
perairan Indonesia. Sebelum lebih jauh berbicara tentang kejahatan yang ada
di laut tentu kita harus mengatahui secara mendasar mengenai perairan
tersebut.
1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. h.34
2
Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yang menggenangi
permukaan bumi, tetapi defenisi ini hanya bersifat fisik semata. Laut menurut
defenisi hukum adalah keseluruhan air laut yang berhubungan secara bebas di
seluruh permukaan bumi. Jadi laut mati, laut Kaspia dan the great salt lake
yang terdapat di Amerika Serikat dari segi hukum tidak dapat dikatakan laut
karena laut-laut tersebut tertutup dan tidak mempunyai hubungan dengan
bagian-bagian laut lainnya di dunia, walau airnya asin dan menggenangi lebih
dari satu negara pantai seperti dengan halnya laut Kaspia.2
Sesuai dengan ketentuan konvensi, di samping harus menghormati
perjanjian-perjanjian internasional yang sudah ada, Negara kepulauan
berkewajiban pula mengormati hak-hak tradisional penangkapan ikan dan
kegiatan lain yang sah dari negara-negara tetangga yang langsung
berdampingan, serta kabel laut yang telah ada di bagian tertentu perairan
kepulauan yang dahulunya merupakan laut lepas. Hak-hak tradisonal dan
kegiatan lain yang sah tersebut tidak boleh dialihkan kepada atau dibagi
dengan negara ketiga atau warganegaranya.3
Lahirnya konsepsi hukum internasional tersebut tidak dapat dilepaskan
dari sejarah pertumbuhan hukum laut internasional yang mengenal
pertarungan antara dua konsepsi, yaitu :
1. Res Communis, yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik
bersama masyarakat dunia, dan karena itu tidak dapat diambil atau
dimiliki oleh masing-masing negara;
2 Dina Sunyowati dan Enny Narwati,buku ajar hukum laut,(Surabaya: AUP,2013)
h.2 3 Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations
Convention On The Law Of The Sea
3
2. Res Nulius, yang menyatakan bahwa laut itu tidak ada yang
memiliki, dan karena itu dapat diambil dan dimiliki masing-
masing negara.4
Laut terutama sekali merupakan jalan raya yang menghubungkan
seluruh dunia. Melalui laut masyarakat dari berbagai bangsa mengadakan
segala macam pertukaran komoditi perdagangan sampai ilmu pengetahuan.
Dapatlah di mengerti bahwa laut merupakan sarana penting dalam hubungan
politik internasional. Sejarah kaya dengan contoh-contoh kompetisi antar
negara-negara besar untuk menguasai laut karena barangsiapa menguasai laut
akan menguasai lalu lintas laut dan barangsiapa menguasai lalu lintas laut juga
akan menguasai laut.
Disamping mempunyai arti komersil dan strategi, laut juga merupakan
sumber makanan bagi umat manusia karna ikan-ikannya yang kaya dengan
protein. Dari laut setiap tahunnya ditangkap sekitar 65 juta ton dari berbagai
jenis ikan. Bahkan dasar laut juga kaya akan minyak dan gas bumi dan
sumber-sumber mineral lainnya. Sekitar 60% dari minyak bumi berasal dari
landas kontinen. Disamping itu dasar laut juga kaya dengan nodul dan di dasar
lautan Pasifik saja diperkirakan terdapat sekitar 1500 miliar ton nodul yang
mengandung nikel, mangan, tembaga dan kobalt. 5
Laut juga mempunyai arti penting bagi riset mengingat 2/3 dari
permukaan bumi terdiri dari laut. Agar kita dapat mempergunakan kekayaan
laut itu sebaik mungkin maka sudah tentu kita harus mengenal laut secara
mendalam. Dari permukaan bumi yang luasnya 200 mil persegi ini, 70% atau
140 juta mil persegi terdiri atas laut. Dari jumlah 97% terdiri dari air asin atau
4 Didk M Sodik, hukum laut internasional dan pengaturannya di indonesia,
(Bandung, Reflika Aditama,2011) h.2 5 Dina Sunyowati dan Enny Narwati,buku ajar hukum laut,(Surabaya: AUP,2013)
h.2
4
135.800 mil persegi dan 3% air tawar atau 4.200.000 mil persegi. Diantara
lautan-lautan yang tersebar, kita dapat sebutkan bahwa lautan Pasifik
menggenangi permukaan bumi seluas 63.855.000 mil persegi, lautan Atlantik
31.744.000, laut Artik 5.427.000 dan laut Mediterania seluas 967.000 mil
persegi.6
Berbicara tentang Negara Republik Indonesia secara geografis
Indonesia membentang dari 6o
LU sampai 11o LS dan 92
o sampai 142
o BT,
terdiri dari pulau-pulau besar dan kecil yang jumlahnya kurang lebih 17.504
pulau. Tiga perempat wilatahnya adalah laut (5,9 juta km2).
7
Indonesia, dengan panjang garis pantai mencapai 99.093 km,
merupakan negara kepulauan yang memiliki sumber daya kelautan dan
perikanan yang melimpah. Kekayaan sumber daya tersebut sangat rentan
terhadap potensi gangguan di antaranya kegiatan Penangkapan Ikan secara
illegal. Kerugian yang muncul akibat kegiatan illegal tersebut sangat besar
dan berdampak buruk bagi kedaulatan Indonesia, keberlanjutan sumber daya
kelautan dan perikanan Indonesia, serta kesejahteraan rakyat Indonesia.8
Keanekaragaman sumber daya perairan Indonesia meliputi sumber
daya ikan maupun sumber daya terumbu karang. Terumbu karang yang
dimiliki Indonesia luasnya sekitar 7000 km2
dan memiliki lebih dari 480 jenis
terumbu karang yang telah berhasil dideskripsikan. Luasnya daerah karang
yang ada menjadikan Indonesia sebagai Negara yang memiliki
6 Dina Sunyowati dan Enny Narwati,buku ajar hukum laut,(Surabaya: AUP,2013)
h.3 7 Ridwan lasabuda, Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan dalam Perspektif
Negara Kepulauan Republik Indonesia, jurnal Imiah Platax vol.1-2 Januari 2013. h.1 8 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 37/Permen-
KP/2017. h. 5
5
keanekaragaman ikan yang tinggi khususnya ikan-ikan karang yaitu lebih dari
1.650 jenis spesies ikan. 9
Indonesia sebagai negara tropis, kaya akan sumber daya hayati, yang
dinyatakan dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Dari 7000
spesies ikan di dunia, 2000 diantaranya terdapat di Indonesia. Potensi lestari
sumberdaya perikanan laut Indonesia kurang lebih 6,4 juta ton per tahun.10
Kekayaan sumber daya hayati perairan Indonesia yang tinggi akan sangat
bermamfaat jika dilakukan pemamfaatan secara optimal dan bertanggung
jawab.
Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai hukum laut 1982
yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang
pengesahan United Nations Convention on the sea 1982, menempatkan
Indonesia memiliki hak berdaulat (sovereign rigths) untuk melakukan
pemamfaatan, konvensi, dan penegelolaan sumber daya ikan di Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, dan laut lepas yang dilaksanakan
berdasarkan persayaratan atau standar internasional yang berlaku.11
Pemamfaatan sumber daya hayati di perairan ini dapat melalui proses
penangkapan yang bertanggung jawab. Dalam melakukan penangkapan,
nelayan harus mengikuti peraturan yang berlaku. Pencurian ikan (Illegal
Fishing) merupakan penangkapan yang dilakukan bertentangan dengan
peraturan-peraturan yang telah ada serta merupakan kegiatan pelanggaran
hukum yang berlaku, dimana Negara-negara mempunyai teritorial laut
terutama Indonesia.
9 Wiliater Pratomo R.S, tinjauan Krimonologis Terhadap Illegal Fishing yang
Terjadi di Kota Makasar (Studi Kasus Tahun 2010-2013) skripsi S1 Jurusan Hukum Pidana
Fakultas Hukum, (Universitas Hasanu din Makasar), h.1 10
Ridwan lasabuda, Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan Dalam Perspektif
Negara Kepulauan Republik Indonesia, jurnal Imiah Platax vol.1-2 Januari 2013. h.2 11
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. H.34
6
Pada penelitian kali ini tentu berkaitan langsung dengan sumber daya
laut yang terbesar yaitu ikan, ikan-ikan yang ada di laut tidak bisa secara
sembarangan kita mendapatkannya, semuanya tergantung atau sudah diatur
dengan undang-undang atau hukum dimana kita berada, tentu untuk
mendapatkan sumber daya yang ada di laut terutama ikan harus mengikuti
aturan hukum yang ada di negara Indonesia.
Perairan di Indonesia yang sangat luas banyak menimbulkan
permasalahan di daerah laut, yang sudah diketahui oleh masyarakat umum
seperti pencurian ikan atau yang di kenal dengan Illegal Fishing, mengenai ini
semua sudah diatur oleh undang-undang yang berlaku, tetapi dari kebanyakan
orang yang beaktifitas di laut atau yang mencari nafkah di laut banyak yang
menyimpang dari aturan hukum yang ada.
Salah satu permasalahan utama keamanan laut bagi negara di dunia
adalah penangkapan ikan illegal, tidak terlaporkan dan tidak di atur IUU
Fishing di laut. Penangkapan ikan illegal adalah masalah keamanan yang
bersifat non tradisional yang telah menjadi perhatian penting bagi banyak
negara karena berdampak besar terhadap lingkungan, sosial, dan ekonomi
negara pantai.12
Namun pada tahun 2007, sisa potensi perikanan tangkap
hanya tinggal 20%. Hal ini diduga sebagai akibat dari adanya tindakan IUU
Fishing di wilayah perairan Indonesia.13
Mentri kelautan dan perikanan Susi Pudjiastuti yang juga menjabat
sebagai komandan satuan tugas pemberantasan penangkapan ikan secara
illegal menyampaikan sejumlah hasil kinerja Satgas 115 sejak pertengahan
tahun 2017 hingga November 2018. Ia menyebut, Satgas 115 telah menangani
12
Usmawadi Amir, Penegakan Hukum IUU Fishing menurut Unclos 1982 (Studi
Kasus : Volga Case), Jurnal Oplinio Vol.12 Januari Tahun 2013. h. 68 13
Usmawadi Amir, Penegakan Hukum IUU Fishing menurut Unclos 1982 (Studi
Kasus : Volga Case), Jurnal Oplinio Vol.12 Januari Tahun 2013. h.71
7
134 kasus pencurian ikan (Illegal Fishing), dimana 41 kasus telah
mendapatkan keputusan pengadilan yang berkekuatan tetap.14
Selain itu, satgas 115 juga menangkap setidaknya 633 kapal pelaku
pencurian ikan (Illegal Fishing) terhitung sejak januari 2017 – Oktober 2018,
baik yang berbendera asing maupun berbendera Indonesia dengan komposisi
366 kapal ikan berbendera Indonesia dan 267 kapal ikan asing. Sebanyak 488
kapal telah ditenggelamkan berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan.15
Di dalam hukum positif atau hukum yang berlaku di Indonesia sudah
jelas aturan yang di atur di dalam Undang-Undang yang berlaku, cuma yang
menjadi masalah bagaimana penegakan hukum tersebut apakah sudah efektif
atau belum dikarenakan sangat banyak kasus yang terkait dengan pencurian
ikan (Illegal Fishing).
Hukum Islam, salah satu alasan penulis sangat tertarik untuk
membahas masalah ini, sesuai dengan judul penelitian penulis “Tindak Pidana
pencurian ikan (Illegal Fishing)) di perairan Indonesia menurut Perspektif
Hukum Positif dan Hukum Islam”. Jadi disni penulis akan mebandingkan
antara hokum positif yang berlaku di Indonesia dengan hokum Islam.
Berdasarkan permasalahan di atas, penulis tertarik menganalisa skripsi
yang berjudul “Tindak Pidana Pencurian Ikan (Illegal Fishing) di
Perairan Indonesia Menurut Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam
(Analisis Putusan Nomor 06/Pid.Sus-Perikanan/2015/PN.,Jkt.Utr.)”
14
Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, pemerintahan tangani
134 kasus pencurian ikan (Illegal Fishing), https://kkp.go.id/artikel/7511-hingga-novemver-
2018-pemerintahan-tangani-134-kasus-illegal-fishing. 15
Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, pemerintahan tangani
134 kasus illegal fishing, https://kkp.go.id/artikel/7511-hingga-novemver-2018-pemerintahan-
tangani-134-kasus-illegal-fishing.
8
B. Identifikasi Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini terarah dan tersusun secara
sistematis di dalam identifikasi masalah ini perlu di tuangkan beberapa
pernyataan yang berkaitan dengan masalah yang akan di angkat, berikut
beberapa identifikasi masalah dalam penelitian ini : .
1. Sanksi yang diterapkan terhadap pelaku pencurian ikan (Illegal
Fishing) terlalu ringan.
2. Belum ada aturan hukum islam terhadap pencurian ikan (Illegal
Fishing) secara mendalam.
3. Aturan yang berlaku di Indonesia terhadap pencurian ikan (illegal
fishing) masih tumpang tindih.
4. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana
pencurian ikan (Illegal Fishing) diantaranya faktor teknologi,
faktor geografis dan faktor sosial.
5. Dampak yang terjadi akibat adanya pelaku pencurian ikan (Illegal
Fishing) adalah rusaknya ekosistem laut.
6. Penegakan hukum pada tindak pidana pencurian ikan (Illegal
Fishing) yang belum merata.
7. Banyaknya pelaku pencurian ikan (Illegal Fishing) di perairan
Indonesia
C. Pembatasan Masalah
Dikarenakan banyaknya permasalahan berkaitan dengan pembahasan
pencurian ikan (illegal fishing), maka perlu penulis batasi masalahnya agar
lebih fokus dan objektif, dalam skripsi ini penulis membatasi, yaitu
banyaknya pelaku pencurian ikan (illegal fishing) di perairan Indoensia.
9
D. Rumusan masalah
Dari latar belakang dan pembatasan masalah di atas maka rumusan
masalahnya adalah mengapa masih banyak terjadi tindak pidana pencurian
ikan (Illegal Fishing) di perairan Indonesia.
Untuk mempermudah penulis, maka rumusan masalah tersebut dibuat
dalam bentuk petanyaan penelitian, sebagai berikut :
1. Bagaimana pandangan hukum positif bagi pelaku tindak pidana
pencurian ikan (illegal fishing) di perairan Indonesia ?
2. Bagaimana aturan hukum Islam terhadap pencurian ikan (illegal
fishing) ?
3. Bagaimana perbandingan hukum Islam dan hokum positif dengan
putusan No 06/Pid.Sus-Perikanan/2015/PN.,Jkt.Utr tentang tindak
pidana pencurian ikan (illegal fishing) ?
E. Tujuan Penelitian.
Dari sebuah penelitian berawal dari identifikasi masalah berikut
kepada pembatasan masalah dan rumusan masalah dari ketiga aspek tersebut
tentu memimiliki tujuan, berikut adalah tujuan dari penelitian ini:
1. Untuk mengetahui penegakan hukum bagi pelaku pencurian ikan (illegal
fishing) di perairan Indonesia
2. Untuk menegetahui pengaturan hukum positif dan hukum Islam mengenai
pencurian (illegal fishing).
F. Manfaat penelitian.
1. Manafaat Teoritis
10
a. Untuk menambah khazanah perpustakaan mengenai pandangan hukum
Islam dan hukum positif mengenai penegakan hukum terhadap pelaku
pencurian ikan (Illegal Fishing) di Indonesia.
b. Untuk menjadi acuan atau pandangan bagi penelitian berikutnya
mengenai pandangan hukum Islam dan hukum positif mengenai
pencurian ikan (Illegal Fishing) di Indonesia.
2. Manfaat praktis.
a. Bagi masyarakat penelitian ini diharapkan mampu memberikan
wawasan dan pengetahuan tentang tindak pidana terhadap pelaku
pencurian ikan (Illegal Fishing) di perairan Indonesia.
b. Bagi penegak hukum, dapat dijadikan masukan ataupun pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada pelaku pencurian ikan
(Illegal Fishing) sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya
berlandaskan undang-undang yang berlaku.
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan penelitian
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode penelitian
normatif, artinya penelitian ini berdasarkan data tertulis, yang berkaitan
dengan aspek norma hukum.
2. Metode Pengumpulan Data
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer meliputi Al-Quran, Hadits, Putusan pengadilan
Nomor 06/Pid.Sus-Perikanan/2015/PN.,Jkt.Utr serta undang-undang yang
berlaku di Indonesia khususnya UU No 45 tahun 2009 tentang Perikanan.
11
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder adalah sejumlah data yang di peroleh dari dokumen-
dokumen berupa catatan formal yang kemudian ditelaah oleh penulis.
Dapat diperoleh dari buku-buku, artikel, jurnal – jurnal dan penelitian
ilmiah terkait pencurian ikan (Illegal Fishing) di laut.
c. Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode library
reseach (pengumpulan data menggunakan studi pustaka) yaitu mencari
informasi atau data melalui analisis dan konsep para ahli yang termuat dari
buku, karya ilmiah dan artikel yang relevan dengan judul.
d. Metode Analisis
Metode analisis data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif,
yaitu selanjutnya akan dibagi kedalam dua tahap yakni tahap pertama
dengan memaparkan terlebih dahulu data-data mengenai aturan-aturan
yang berlaku tentang pencurian ikan (illegal fishing). Tahap kedua
memaparkan pendapat dari pandangan hukum islam. Tentang pencurian
(illegal fishing) dalam bentuk narasi sehingga menjadi sebuah kalimat yang
jelas.
H. Hasil Penelitian Yang Relevan
Melalui penelusuran kepustakaan, penulis mendapati beberapa
penelitian mengenai tentang illegal fishing, yaitu:
12
1. Wiliater Pratomo R.S „Tinjauan Kronologis Terhadap Illegal Fishing yang
Terjadi di Kota Makasar‟ (studi kasus tahun 2010-2013 jurusan Hukum
Pedana Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makasar tahun 2014)
2. Zulkifli Koto „Penegakan Hukum Tindak Pidana Illegal Fishing di
Indonesia (stu di kasus penyalahgunaan metode tangkapan dengan bahan
peledak wilayah perairan Kabupaten Alor) tahun 2015.
Dalam skripsi tersebut diungkapkan bahwa dari pemerintahaan Alor
dalam menangani illegal fishing yaitu represif langkah dari represif itu
yang pertama adalah penyuluhan sosialisasi kepada masyarakat dan patrol
keamanan laut dan membentuk POKMAWAS yaitu sebagai bagian dari
system pencegahan pelanggaran dalam pemamfaatan sumber daya
kelautan dan perikanan dan represif adalah dengan menangkap dan
memeriksa tersangka.
3. Maimuna Renhoran „Strategi Penanganan Illegal, unreported and
enrequited (IUU) di laut arafuru tahun 2012.
Disini penulis skripsi menyimpulkan bahwa undang-undang tahun 2014
dan undang-undang no 45 tahun 2010 tentang perikanan dan mengatur
tentang kewajiban memiliki surat izin usaha perikanan (SIUP) dan surat
izin penangkapan ikan (SIPI) serta kejahatan di laut arafura yaitu illegal
fishing dan unreported fishing jenis illegal fishing di laut arafuru adalah
terjadinya penurunan stok sumber daya ikan, dampak indikasi makin
lamanya rata-rata operasi laut menurunya jumlah hasil.
I. Sistematika Penulisan.
Agar penulisan skripsi ini lebih terarah dan sistematis, maka penulis
membagi menjadi lima bab yang diawali dengan daftar isi dan diakhiri dengan
daftar pustaka. Adapun sistematik penulisan tersebut sebagai berikut:
13
Pada BAB I, pendahuluan, membahas latar belakang masalah
identifikasi pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, kajian pustaka, serta sistematika penulisan.
Pada BAB II, tinjauan umum terhadap tindak pidana pencurian ikan
(illegal fishing), pengertian tindak pidana,unsur-unsur tindak pidana,
pengertian pencurian ikan (illegal fishing), kategori kejahatan pencurian ikan
(illegal fishing).
Pada BAB III, Aspek hukum Islam dalam pencurian ikan (illegal
fishing) di perairan Indonesia. Dasar hokum pidana Islam, pencurian ikan
dalam Islam, penegakan hokum bagi pelaku pencurian ikan di dalam hokum
pidana Islam.
Pada BAB IV, analisis yuridis terhadap putusan No. 06/Pid.Sus-
Perikanan 2015/PN.Jkt.Utr. duduk perkara, pertimbangan hakim, kajian dalam
perspektif UU No 45 tahun 2009, perbedaan dan persamaan putusan
pengadilan dengan hokum pidana Islam, analisis penulis sendiri.
Pada BAB V, penutup merupakan suatu jawaban yang menjawab
perumusan masalah terhadap faktor terjadinya pencurian ikan (Illegal
Fishing) di Indonesia dan hukum islam tentang pencurian ikan (illegal
fishing).
14
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN
(ILLEGAL FISHING)
A. Teori Pidana Umum
1. Pengertian Tindak Pidana
Sebelum lebih jauh masuk kepada pembahasan pidana maupun
pemidanaan tentu dari awal kita harus mengetahui teori-teori yang
terkandung di dalam hukum pidana itu sendiri agar untuk pembahasan
selanjutnya lebih terarah.
Teori-teori hukum pidana ini berhubungan erat dengan pengertian
subjectif strafrecht (jus puniendi) sebagai hak atau wewenang untuk
menentukan dan menjatuhkan pidana terhadap pengertian objectief
strafrecht (jus punale sebagai peraturan hukum positif yang merupakan
hukum pidana). Adanya pengertian subjectief strafrecht dan objectief
strafrecht ini dapat dimungkinkan karenakan kata “recht” mengandung
dua arti, yaitu pertama sebagai hak atau wewenang dan kedua sebagai
peraturan hukum.16
Teori Absolut atau Mutlak, menurut teori Absolut ini, setiap
kejahatan harus diikuti dengan pidana-tidak boleh tidak-tampa tawar-
menawar. Seorang mendapat pidana karena telah melakukan kejahatan.
Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang mungkin timbul dari jatuhnya
pidana. Tidak dipedulikan, apakah dengan demikian masyarakat mungkin
16
Wirjono Prodjodikoro, Asa-Asas Hukum Pidana, (Bandung, PT Reflika Aditama,
2009), h., 22.
15
akan dirugikan. Hanya dilihat ke masa lampau, tidak dilihat ke masa
depan.17
“Pembalasan” (vergelding) oleh banyak orang dikemukakan
sebagai alasan untuk mempidana suatu kejahatan. Kepuasan hatilah yang
dikejar, lain tidak. Apabila ada seorang oknum yang langsung kena dan
menderita karena kejahatan itu, maka kepuasan hati itu terutama pada si
oknum. Dalam hal pembunuhan, kepuasan hati ada pada si korban pada
khusunya dan masyarakat pada umumnya. 18
Teori Relatif atau Nisbi, teori ini mengemukakan suatu kejahatan
tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk ini, tidaklah cukup
adanya suatu kejahatan, tetapi harus dipersoalkan perlu dan mamfaatnya
suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri. Tidaklah saja
dilihat dari masa lampau, tetapi juga pada masa depan. 19
Teori gabungan (verenigings-theorien), di dalam terori ini apabila
terdapat dua pendapat yang diametral berhadapan satu sama lain,
biasanya ada suatu pendapat ketiga yang berbeda ditengah-tengah.
Demikian juga di samping teori-teori absolut dan teori relatif tentang
hukum pidana, kemudian muncul teori ketiga yang satu pihak mengakui
adanya unsur “pembalasan” (vergelding) dalam hukum pidana. Akan
tetapi di pihak lain, mengakui pula unsur prevensi dan unsur memperbaiki
penjahat yang melekat pada tiap pidana.20
17
Wirjono Prodjodikoro, Asa-Asas Hukum Pidana, (Bandung, PT Reflika Aditama,
2009), h.,23 18
Wirjono Prodjodikoro, Asa-Asas Hukum Pidana, (Bandung, PT Reflika Aditama,
2009), h.24 19
Wirjono Prodjodikoro, Asa-Asas Hukum Pidana, (Bandung, PT Reflika Aditama,
2009), h.25 20
Wirjono Prodjodikoro, Asa-Asas Hukum Pidana, (Bandung, PT Reflika Aditama,
2009), h.27
16
Dari pemaparan mengenai teori-teori hukum pidana diatas tentu
akan lebih mempermudah untuk menguraikan mengenai tindak pidana itu
sendiri, berikut dibawah ini penjelasan mengenai tindak pidana.
Hakikat hukum pidana telah dikenal bersamaan dengan manusia
mulai mengenal hukum, walaupun pada saat itu belum dikenal pembagian
bidang-bidang hukum dan sifatnya juga masih tidak tertulis. Adanya
peraturan-peraturan, adanya perbuatan-perbuatan yang tidak disukai oleh
masyarakat, adanya orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan
seperti itu, dan adanya tindakan dari masyarakat terhadap pelaku dari
perbuatan yang sedemikian, merupakan awal lahirnya hukum pidana
dalam masyarakat yang bersangkutan.21
Munculnya kelompok-kelompok masayarakat yang lebih
terorganisasi dengan baik serta kelompok cendekia di dalamnya, yang
pada akhirnya melahirkan negara, makin menegaskan adanya bidang
hukum pidana karena negara membutuhkan hukum pidana di samping
bidang-bidang hukum lainya. Perkembangan hukum pidana mulai dari
masyarakat sederhana sampai pada masyarakat modern sekarang ini
tidaklah mengubah hakikat hukum pidana itu sendiri.22
Oleh karenanya, baik untuk masayarakat dahulu kala maupun
masyarakat sekarang, hukum pidana dapat didefenisikan sebagai
keseluruhan peraturan hukum yang menentukan perbuatan-perbuatan
yang pelaku-pelakunya seharusnya dipidana dan pidana-pidana yang
seharusnya dikenakan. Defenisi ini mencakup empat pokok yang terkait
21
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta, PT
Raja Grafindo Persada, 2013), h., 1. 22
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta, PT
Raja Grafindo Persada, 2013), h., 1.
17
erat satu dengan yang lain, yaitu peraturan, perbuatan, pelaku, dan pidana.
23
Di dalam defenisi lain tindak pidana juga dapat diartikan sebagai
perbuatan yang melanggar larangan yang diatur oleh aturan hukum yang
diancam dengan sanksi pidana. Kata tindak pidana berasal dari istilah
yang dikenal dalam hukum pidana Belanda, yaitu strafbaar feit, kadang-
kadang juga menggunakan istilah delict, yang berasal dari bahasa latin
delictum. Hukum pidana negara anglo saxon menggunakan istilah
offense atau criminal act untuk maksud yang sama.24
Oleh karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia
(KUHP) bersumber pada W.V.S Belanda maka istilah aslinya pun sama,
yaitu stafbaar feit (perbuatan yang dilarang oleh undang-undang yang
diancam dengan hukuman). Dalam hal ini, Satochid Kartanegara,
cendrung untuk menggunakan istilah delict yang telah lazim di pakai.25
Dalam literatul telah banyak dijelaskan pengertian dan makna
hukum pidana sebagai salah satu bidang dalam ilmu hukum.
Pendefenisian hukum pidana harus dimaknai sesuai dengan sudut
pandang yang menjadi acuannya. Pada prinsipnya secara umum ada dua
pengertian tentang hukum pidana, yaitu disebut dengan ius poenale dan
ius puniend. Ius peenale merupakan pengertian hukum pidana objektif.26
23
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta, PT
Raja Grafindo Persada, 2013), h., 1. 24
M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Amzah, 2014), h.,
23. 25
M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Amzah, 2014), h.,
23. 26
Andi Sofian dan Nur Aziza, buku ajar Hukum Pidana, (Makasar, Pustaka Pena
Pres, 2016), h., 2.
18
Banyak dari para ahli hukum pidana yang mengeluarkan argumen
mereka tentang hukum pidana itu sendiri, seperti G.A. van Hamel
berpendapat bahwa hukum pidana itu adalah semua dasar dan aturan yang
dianutoleh suatu negara dalam meneyelenggarakan ketertiban hukum
(rechtsorde) yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum
dan menegnakan suatu nestapa kepada yang melanggar larangan-larangan
tersebut. 27
Menurut D. Simons, hukum pidana adalah keseluruhan perintah
dan larangan, yang pelanggaranya diancam dengan suatu nestapa khusus
berupa, “pidana” oleh negara atau suatu masayarakat hukum publik lain,
keseluruhan peraturan yang menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum
itu, dan keseluruhan ketentuan untuk mengenakan dan menjalankan
pidana tersebut. 28
Hukum pidana ini dalam pengertian menurut Mezgez adalah
“aturan-aturan hukum yang mengikat pada suatu perbuatan tertentu yang
memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.29
Pada
bagian lain Simons merumuskan hukum pidana objektif sebagai “semua
tindakan-tindakan keharusan (gebod) dan larangan (verbod) yang dibuat
oleh negara atau penguasa umum lainya, yang kepada pelanggar
ketentuan tersebut diancam derita khusus, yaitu pidana, demikian juga
peraturan-peraturan yang menetukan syarat bagi aturan hukum itu.30
27
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, 2013), h., 6. 28
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, 2013), h., 6. 29
Ida Bagus Surya Darma Jaya, Hukum pidana Materil dan Formil: pengantar
hukum pidana, (jakarta, USAID-The Asia Fondation-Kemitraan Partnership, 2015), h., 2. 30
Andi Sofian dan Nur Aziza, buku ajar Hukum Pidana, (Makasar, Pustaka Pena
Pres, 2016), h., 2.
19
Sebagimana bahan perbandingan perlu kiranya dikemukakan
pandangan pakar hukum pidana Indonesia tentang apa yang dimaksud
dengan hukum pidana (objektif). Moeljatno memberikan makna hukum
pidana sebagai bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu
negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:31
a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa
pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.
b. Menetukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar
larangan tersebut.
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Pada pembahasan pertama mengenai tindak pidana sudah dijelaskan
bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan tersebut disertai dengan ancaman yang berupa pidana tertentu bagi
pelanggarnya. Sehingga untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka harus
terlebih dahulu dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan pidana
tentang perbuatan yang di larang dan disertai dengan saksi.32
Rumusan-rumusan tersebut menentukan beberapa unsur atau syarat
yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas
31
Andi Sofian dan Nur Aziza, buku ajar Hukum Pidana, (Makasar, Pustaka Pena
Pres, 2016), h., 2 32
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana,
(Jakarta, Kencana, 2014), h., 39.
20
dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang. Perbuatan pidana
menunjuk kepada sifat perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan
ancaman pidana kalau dilanggar.33
Secara sederhana unsur-unsur tindak pidana terdiri atas unsur lahir
atau unsur objektif dan unsur batin atau unsur subjektif. Dalam masalah ini,
Satochid Kartanegara, mengatakan bahwa unsur-unsur delik, tediri dua
golongan yaitu unsur-unsur objektif dan unsur-unsur subjektif. Unsur-unsur
objektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar diri manusia, yaitu berupa
suatu tindak-tanduk, jadi suatu tindakan, suatu akibat tertentu (een bepaalde
gevolh) dan berupa keadaan (omstendingheid) yang semuanya dialarang dan
diancam dengan hukuman oleh undang-undang.34
Adapun unsur subjektif adalah unsur yang terdapat pada diri pembuat
atau in de deder aan wezig. Unusur-unsur subjektif ini berupa hal yang dapat
dipertanggungjawabkan seseorang terhadap perbuatan yang telah dilakukan
(toerekeningsvat baarheid) dan kesalahan seseorang (schuld). Yang dimaksud
dengan toerekeningsvat baarheid adalah hal yang dapat
dipertanggungjawabkan seseorang terhadap perbuatan yang telah dilakukan. 35
Sementara menurut Moeljatno, unsur-unsur perbuatan pidana:
perbuatan (manusia), yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat
formil) dan bersifat melawan hukum (syarat materi) sedangkan unsur-unsur
tindak pidana menurut Moeljatno terdiri dari :
a. Kelakuan dan akibat, dan
33
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana,
(Jakarta, Kencana, 2014), h., 39 34
M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Amzah, 2014), h.,
27. 35
M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Amzah, 2014), h.,
27.
21
b. Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yang
dibagi menjadi
1) Unsur subjektif atau pribadi, yaitu mengenai diri orang yang
melakukan perbuatan, misalnya unsur unsur pegawai negri yang
diperlukan dalam delik jabatan seperti dalam perkara tindak pidana
korupsi. Pasal 418 KUHP jo. Pasal 1 ayat (1) sub c Undang-
undang No. 3 Tahun 1971 atau pasal 11 Undang-undang No. 31
Tahun 1999 jo. No 20 Tahun 2001 tentang pegawai negri yang
menerima hadiah. Kalau yang menerima hadiah bukan pegawai
negri maka tidak mungkin diterapkan pasal tersebut
2) Unsur objektif atau non pribadi yaitu mengenai keadaan diluar
sipembuat misalnya KUHP tentang pengasutan di muka umum
(supaya melakukan perbuatan pidana atau melakukan kekerasan
terhadap penguasa umum) apabila pengasutan tidak dilakukan
dimuka umum maka tidak mungkin diterapkan pasal ini. 36
Unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut :
1. Kelakuan dan akibat (perbuatan)
2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
4. Unsur melawan hukum yang objektif
5. Unsur melawan hukum yang subjektif.37
36
Ismu Gunadi dan Jonaedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana,
(Jakarta, Kencana, 2014), h., 39. 37
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidan dan Acara Pidana, (Jakarta, Ghalia
Indonesia, 2001), h., 30. Menurut pengertian Rancangan KUHP Nasional adalah :
1. Unsur-unsur formil
a. Perbuatan sesuatu;
b. Perbuatan itu dilakukan atau tidak dilakukan;
c. Perbuatan itu oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai
perbuatan terlarang;
d. Peraturan itu oleh peraturan perundang-undangan diancam pidana.
22
Unsur-unsur apa yang ada dalam tindak pidana adalah melihat
bagaimana bunyi rumusan yang dibuatnya. Tindak pidana itu terdiri dari
unsur-unsur yang dapat dibedakan atas unsur yang bersifat obyektif dan unsur
yang bersifat subyektif.38
3. Jenis-Jenis Tindak Pidana
Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar, sebagai berikut :
a. Menurut Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) dibedakan antara lain
kejahatan yang dimuat dalam buku II dan pelanggaran yang dimuat dalam
buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran” itu
bukan hanya merupakan dasar bagi KUHP kita menjadi buku ke II dan Buku
ke III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem bukum pidana di
dalam perundang-undangan secara keseluruhan.
b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil
(formeel Delictum) dan tindak pidana materil (materil Delictum). tindak
pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan yang
dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya pasal 362
KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak pidana materil inti laranganya adalah
pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan
akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana.
2. Unsur-unsur materil
Perbuatan itu harus bersifat bertentangan dengan hukum, yaitu harus benar-
benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan.
38 Andi Sofian dan Nur Aziza, buku ajar Hukum Pidana, (Makasar, Pustaka Pena
Pres, 2016), h., 100.
23
c. Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak
pidana sengaja (dolus delictum) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose
delictu). Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur dalam KUHP
antara lain sebagai berikut : pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan
sengaja menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, pasal 354 KUHP yang
dengan sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga
dapat dipidana jika ada kesalahan, misalnya pasal 359 KUHP yang
menyebabkan matinya seseorang.
d. Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan
aktif juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya
diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya
pencurian (pasal 362 KUHP) dan penipuan pasal 378 KUHP. Tindak pidana
positif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni.39
Berdasarkan hal tersebut di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis
tindak pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana
pelanggaran, tindak pidana formil dan tindak pidana materil, tindak pidana
sengaja dan tindak pidana tidak sengaja serta tindak pidana aktif dan tindak
pidana pasif.
Klasifikasi tindak pidana menurut system KUHP dibagi menjadi dua
bagian, kejahatan yang diatur dalam buku II KUHP dan pelanggaran yang
diatur dalam bukum III KUHP, pembagian perbedaan kejahatan dan
pelanggaran didasarkan atas perbedaan prinsipal, yaitu :
a. kejahatan (techtdelicten) ialah perbuatan yang bertentangan dengan
keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu
39
Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidan dan Acara Pidana, (Jakarta, Ghalia
Indonesia, 2001), h., 25-27.
24
undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan oleh
masyarakat sebagai berte ntangan dengan keadilan.40
b. Pelanggaran (Wetsdelicten) ialah perbuatan-perbuatan yang didasari oleh
masyarakat sebagai suatu tindak pidana karena undang-undang
menyebutkan sebagai delik.
B. Pencurian Ikan (Illegal Fishing) Di Perairan Indonesia
1. Dasar Hukum Yang Mengatur Pencurian Ikan (Illegal Fishing)
Illegal fishing di dalam pengaturannya sering disandingkan dengan
tidak pidana perikanan lainnya, yaitu unreported dan unregulated (IUU)
Fishing yang secara harfiah dapat diartikan sebagai kegiatan perikanan yang
tidak sah, kegiatan perikanan yang tidak diatur oleh peraturan yang ada, atau
aktivitasnya tidak dilaporkan kepada suatu institusi atau lembaga pengelola
perikanan yang tersedia. 41
UNCLOS 1982 menjadi dasar acuan wilayah kedaulatan Indonesia dan
perairan Zona Ekonomi Eklusif (ZEE). Melalui Undang-Undang tersebutdan
undang-undang lainnya yang terakit, diharpakan dapat mengoptimalkan
pengelolaan , pengawasan, dan peningkatan system penegakan hokum pidana
di bidang perikanan. Berikut dalam hukum Nasional terdapat beberapa aturan
hukum yang mengatur tindak pidana perikanan (Illegal Fishing) yaitu :
a. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan perubahannya Undang-
Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perikanan,
40
Ismu Gunadi dan Jonedi Efendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana,
(Jakarta, Kencana, 2014), h., 44. 41
Ismala Dewi, Penegakan Hukum Tindak Pidana di Bidang Perikanan, (Jakarta,
Badan Keahlian DPR RI, 2016), h.,110
25
b. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil serta aturan pelaksanaanya lainnya seperti : Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Usaha perikanan,
c. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi
Sumberdaya Ikan,
d. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008 tentang Penyelengaraan
Penelitian dan Pengembangan Perikanan,
e. Peraturan Mentri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005
tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang
Perikanan,
f. Peraturan Mentri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.14/MEN/2005
tentang Komisi Nasional Pengakajian Sumber Daya Ikan,
g. Peraturan Mentri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.15/MEN/2005
tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pembudidayaan Ikan Di Wilayah
Pengolaan Perikanan Republik Indonesia Yang Bukan Untuk Tujuan
Komersil,
h. Peraturan Mentri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008
tentang Usaha Perikanan Tangkap, Peraturan Mentri Kelautan dan
Perikanan Nomor PER.06/MEN/2008/ tentang Penggunaan Pukat Hela
di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara, Peraturan Mnetri Kelautan
dan Perikanan Nomor PER.08/MEN/2008 tentang Penggunaan Alat
Penangkap Ikan Jaring Ingsang (Gill Net) di Zona Ekonomi Eklusif
Indonesia (ZEEI).42
42
Ismala Dewi, Penegakan Hukum Tindak Pidana di Bidang Perikanan, (Jakarta,
Badan Keahlian DPR RI, 2016), h.,110-111. Dilihat dari apa yang di jabarkan diatas
mengenai dasar hukum atau aturan-aturan yang mengatur berkaitan dengan Illegal Fishing,
ada delapan dasar hukum yang telah mengaturnya, namun kenyataannya Illegal Fishing
masih saja marak terjadi di perairan Indonesia baik itu dari nelayan asing maupun nelayan
lokal sekalipun. Seolah-olah aturan tersebut tidak ada, apa yang salah ?, bisa jadi dari delapan
aturan tersebut hanyalah teori semata dan penerapan nya masih kurang, atau memang ada
beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut contohnya faktor ekonomi yang
mengharuskan para nelayan melakukan itu.
26
Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya laut di bidang perikanan
tersebut memerlukan aturan-aturan yang mendasarinya. Sebagaimana yang
telah disebutkan diatas, Pada saat ini, Indonesia telah memiliki Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Khusus mengenai pengolaan
sumber daya perikanan, sudah ada aturannya pula yaitu Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 Tentang perikanan yang kemudian mengalami
perubahaan dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang
perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang perikanan.
Keberadaan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan
merupakan langkah positif dan merupakan landasan atau aturan dalam
memutuskan persoalan hukum yang terkait dengan Illegal Fishing. Undang-
undang Perikanan mengadopsi beberapa ketentuan hukum internasional
tentang kelautan yang salah satunya adalah Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the
Sea/ UNCLOS) 1982 dan Indonesia telah meratifikasi UNCLOS tersebut
melalui Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985.43
UNCLOS 1982 menempatkan Indonesia memiliki hak berdaulat
(savereign rights) untuk melakukan pemanfaatan konservasi pengolaan
sumberdaya ikan di Zona Ekonomi Eklusif Indonesia (selanjutnya disingkat
dengan ZEE) dan laut lepas yang dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau
standar internasional yang berlaku. 44
Melalui undang-undang ini tersebut dan
undang-undang lainnya yang terkait, diharapkan dapat mengoptimalkan
43
Ismala Dewi, Penegakan Hukum Tindak Pidana di Bidang Perikanan, (Jakarta,
Badan Keahlian DPR RI, 2016), h.,99-100. 44
Ismala Dewi, Penegakan Hukum Tindak Pidana di Bidang Perikanan, (Jakarta,
Badan Keahlian DPR RI, 2016), h., 100
27
pengelolaan, pengawasan, dan peningkatan sistem penegakan hukum tindak
pidana di bidang perikanan.
UNCLOS 1982 secara garis besar membedakan wilayah laut menjadi 2
(dua) kategori wilayah laut dimana negara dapat menegakan hukumnya
terhadap IUU Fishing, yaitu wilayah laut yang berada di bawah kedaulatan
dan wilayah laut dimana suatu negara memiliki yurusdiksi. Kawasan laut yang
yang tunduk di bawah kedaulatan suatu negara pantai/kepulauan adalah
perairan pedalaman dan laut teritorial atau perairan kepulauan dan laut
tertorial.45
UNCLOS 1982 tidak mengatur tentang IUU Fishing secara khusus,
namun UNCLOS 1982 hanya mengatur secara umum tentang penegakan
hukum dilaut teritorial maupun di ZEE suatu negara. Jika pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai terjadi di laut tertorial
ataupun perairan pedalaman suatu negara, maka sesuai dengan kedaulatan
yang diberikan oleh pasal 2 UNCLOS 1982, negara pantai dapat
memberlakukan aturan hukumnya terhadap kapal tersebut. 46
2. Pengertian tindak Pidana Illegal Fishing
Tindak pidana perikanan, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan
the criminal act fisheries, sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut dengan
het strafbare feit visserij merupakan salah satu tindak pidana yang dikenal
45
Ismala Dewi, Penegakan Hukum Tindak Pidana di Bidang Perikanan, (Jakarta,
Badan Keahlian DPR RI, 2016), h.,106 46
Ismala Dewi, Penegakan Hukum Tindak Pidana di Bidang Perikanan, (Jakarta,
Badan Keahlian DPR RI, 2016), h.,107
28
dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. 47
Ada dua konsep yang terkandung dalam tindak pidana perikanan, yang
meliputi :
a. Tindak pidana; dan
b. Perikanan
Tindak pidana dikonsepkan sebagai perbuatan yang dilakukan oleh
pelaku yang berkaitan dengan kejahatan. Pengertian perikanan dapat dianalisis
dari pengertian yang tercamtum dalam Undang-Undang dan pandangan ahli.
a. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
perikanan. Perikanan adalah:
“semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan
pemamfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari
praproduksi, produksi, pengelolaan sampai dengan pemasaran,
yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan”.
Ada tiga unsur yang tercantum, meliputi:
1) Adanya kegiatan;
2) Berhubungan dengan;
(a) Pengelolaaan;
(b) Pemamfaatan sumber daya ikan; dan
(c) Lingkungannya; dan
3) Pelaksanaannya didasarkan pada sistem bisnis perikanan. 48
47
Rodliyah dan Salim HS, Hukum Pidana Khusus Unsur dan Sanksi Pidananya,
(Depok, Rajawali Pers, 2017), h., 171. 48
Rodliyah dan Salim HS, Hukum Pidana Khusus Unsur dan Sanksi Pidananya,
(Depok, Rajawali Pers, 2017), h., 172.
29
b. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan, perikanan adalah :
“semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan
pemamfaatan sumber daya ikan dan lingkungan mulai dari
praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang
dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan”.
Defenisi perikanan dalam defenisi ini sama dengan defenisi yang
tercantum dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan. 49
Bertitik tolak dari konsep perikanan yang tercantum dalam berbagai
pengaturan Perundang-undangan diatas, maka berikut ini disajikan pengertian
tindak pidana perikanan. Tindak pidana perikanan adalah :
“perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku yang berkaitan dengan
kejahatan di dalam pengelolaan, pemamfaatan sumber daya ikan dan
lingkungannya yang pelaksanaannya didasarkan pada sistem bisnis
perikanan”.
Ada tiga unsur yang tercantum dalam defenisi tindak pidana perikanan
diatas, yang meliputi :
a. Adanya perbuatan pidana;
b. Adanya subjek pidana; dan
c. Jenis perbuatan pidananya. 50
49
Rodliyah dan Salim HS, Hukum Pidana Khusus Unsur dan Sanksi Pidananya,
(Depok, Rajawali Pers, 2017), h., 172 50
Rodliyah dan Salim HS, Hukum Pidana Khusus Unsur dan Sanksi Pidananya,
(Depok, Rajawali Pers, 2017), h., 173
30
Perbuatan pidana merupakan perbuatan atau tindakan yang dilakukan
oleh pelaku yang bertentangan dengan undang-undang. Subjek pidana dalam
tindak pidana perikanan, yaitu orang atau badan hukum. Jenis perbuatan
pidana yang dilakukan oleh pelaku, yaitu tidak melakukan:
a. Pengelolaan;
b. Pemamfaatan sumber daya ikan; dan
c. Lingkunagan sebagaimana mestinya.51
Pengelolaan perikanan dikonsepkan :
“semua upaya, termasuk proses yang terintegritas dalam pengumpulan
informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi
sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan
perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah
atau otoritas lain yang diarahakan untuk mencapai kelangsungan produktivitas
sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati”.52
Defenisi pengelolaan perikanan diatas, sangat luas, karena mencakup
tiga hal, yang meliputi:
a. Perencanaan;
b. Pelaksanaan; dan
c. Penegakan hukum
Kegiatan perencanaan terdiri atas kegiatan:
a. Pengumpulan informasi;
b. Analisis;
c. Perencanaan;
51
Rodliyah dan Salim HS, Hukum Pidana Khusus Unsur dan Sanksi Pidananya,
(Depok, Rajawali Pers, 2017), h.,173 52
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan
31
d. Konsultasi;
e. Pembukaan keputusan; dan
f. Alokasi sumber daya ikan.53
3. Pengertian Pencurian Ikan (Ilegal Fishing)
Ada sejumlah terminologi yang bisa digunakan untuk menjelaskan hal
ihwal yang berkaitan dengan kegiatan penangkapan ikan secara ilegal, yakni
illegal (ilegal), unreported (tidak dilaporkan) dan unregulated (tidak diatur)
atau bisa disingkat dengan IUU Fishing.54
Beberapa terminologi tersebut memiliki pengertiannya sendiri-sendiri
dan bisa digunakan di kalangan pemerhati, pengkaji, dan lembaga-lembaga
internasional, seperti FAO (Food and Agreculture Organization), yang
menaruh perhatian besar terhadap keberadaan dan kelestarian sumber daya
perikanan laut.55
Di dalam peraturan Undang-Undang yang berkaitan dengan kelautan,
terutama menyangkut bidang perikanan, kategori tindak pidana dibedakan
menjadi “kejahatan” serta “pelanggaran”. Namun, baik dalam tindak
kejahatan maupun tindak pelanggaran terdapat istilah pencurian ikan (illegal
fishing). Istilah ini terdapat dalam penejelasan Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31Tahun 2004
53
Rodliyah dan Salim HS, Hukum Pidana Khusus Unsur dan Sanksi Pidananya,
(Depok, Rajawali Pers, 2017) h. 174 54
Simela Viktor Muhama, Illegal Fishing di Perairan Indonesia, Permasalahan dan
Upaya Penanganan Secara Bilateral di Kawasan, Politica Vol. 3, No. 1, Mei 2012. h., 62. 55
Simela Viktor Muhama, Illegal Fishing di Perairan Indonesia, Permasalahan dan
Upaya Penanganan Secara Bilateral di Kawasan, Politica Vol. 3, No. 1, Mei 2012. h., 62.
32
tentang Perikanan, tetapi tidak diberikan defenisi ataupun penjelasan lebih
lanjut tentang pencurian ikan (illegal fishing).56
Illegal fishing, mungkin ini adalah istilah yang bisa di katakan tabu
bagi masyarakat awam, tidak semua orang dapat memahami illegal fishing,
istilah ini biasanya di pakai oleh penegak hukum dan di populerkan melalui
media massa. Secara umum Illegal fishing adalah suatu bentuk tindak pidana
yang dilakukan oleh seseorang yang terjadi di laut.
Illegal Fishing berasal dari kata Illegal yang berarti tidak sah atau
tidak resmi. Fishing merupakan kata benda yang berarti perikanan, dari kata
fish dalam bahasa inggris yang berarti ikan, mengambil, merogoh, mengail,
atau memancing.57
Illegal fishing diartikan sebagai kegiatan penangkapan ikan yang
dilakukan oleh orang atau kapal asing pada suatu perairan yurisdiksi suatu
negara tampa izin negara tersebut, atau bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, bertentangan dengan peraturan nasional
dan/atau kewajiban internasional.58
Illegal fishing telah menjadi perhatian dunia karena kegiatan ilegal ini
telah berlangsung di berbagai kawasan dan dianggap dapat mengancam
56
Nunung Mahmuda, Ilegal Fishing (Pertanggung Jawaban Pidana di Wilayah
Perairan Indonesia).(Jakarta, Sinar Grafika,2015), h.,79. 57
Nunung Mahmuda, Ilegal Fishing (Pertanggung Jawaban Pidana di Wilayah
Perairan Indonesia).(Jakarta, Sinar Grafika,2015), h., 77 58
Simela Viktor Muhamad, Illegal Fishing di Perairan Indonesia, Permasalahan
dan Upaya Penanganan Secara Bilateral di Kawasan, Politica Vol. 3, No. 1, Mei 2012. h.,
62.
33
keberadaan dan kelestarian sumber daya perikanan laut global jika tidak
ditangani secara serius oleh masyarakat internasional.59
Praktek penangkapan ikan secara illegal merupakan tindak kriminal
yang terorganisir dan telah menyebabkan kerusakan serius bagi perairan di
Indonesia dan negara-negara di kawasan lainnya. Selain merugikan secara
ekonomi, sosial, dan ekologi, praktik ini merupakan tindakan yang
melemahkan kedaulatan wilayah suatu negara.60
Tindakan seperti ini hanya akan memberikan dampak yang kurang
baik bagi ekosistem perairan, akan tetapi memberikan keuntungan yang besar
bagi nelayan. Kegiatan yang umumnya dilakukan nelayan dalam melakukan
penangkapan dan termasuk kedalam tindakan illegal fishing adalah
penggunaan alat tangkap yang dapat merusak ekositem seperti penangkapan
dengan pemboman, penangkapan dengan racun, serta penggunaan alat
tangkap trawl pada daerah karang.61
4. Jenis-Jenis Tindak Pidana Illegal Fishing
Industri perikanan merupakan industri strategis yang terus
berkembang seiring dengan naiknya permintaan suplai kebutuhan makanan
baik di level lokal maupun internasional. Dalam teori ekuilibrium jika
permintaaan naik maka akan membutuhkan pasokan yang dapat
59
Simela Viktor Muhamad, Illegal Fishing di Perairan Indonesia, Permasalahan
dan Upaya Penanganan Secara Bilateral di Kawasan, Politica Vol. 3, No. 1, Mei 2012. h., 63 60
Institute Teknologi Sepuluh Nopember, Illegal Fishing dan Kedaulatan Laut
Indonesia, (Surabaya,, Institu Teknologi Sepuluh Nopember,2016,) h.1 61
Sulwafiani, Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana di Bidang Perikanan (studi
kasus putusan No.28/Pid.Sus/2016/PN.Wtp) Skripsi S1 Jurusan Ilmu Hukum Fakultas
Hukum, (Universitas Hasan udin Makasar), h., 31.
34
mengimbangi, hal ini mendorong eksploitasi berlebihan terhadap
penangkapan hasil laut.62
Jenis tindak pidana perikanan, yang dalam bahasa Inggris, disebut
dengan the types of fishery crime, sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut
het strafbare feit visserij merupakan penggolongan pidana yang dikenal
dalam.63
a. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan; dan
b. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Analisis terhadap kedua undang-undang itu, maka dikenal 19
(sembilan belas) jenis tindak pidana perikanan, yang meliputi : 64
1) Melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan
menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara
dan/atau bangunan;
2) Penggunaan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan;
3) Melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau
kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya;
4) Merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan;
5) Memasukan, mengeluarkan, mengedarkan, dan/atau memelihara ikan
yang merugikan masyarakat;
62
Ika Riswati Putranti, Community Fisheries Legal Framework: Penanganan IUU
Fishing di bawah Konstruksi ASEAN Economic Community, (Yogyakarta, Deepublish, 2017),
h., 1. 63
Rodliyah dan Salim HS, Hukum Pidana Khusus Unsur dan Sanksi Pidananya,
(Depok, Rajawali Pers, 2017), h., 180-181. 64
Rodliyah dan Salim HS, Hukum Pidana Khusus Unsur dan Sanksi Pidananya,
(Depok, Rajawali Pers, 2017), h., 182-183
35
6) Melakukan penanganan dan pengelolaan ikan yang tidak memenuhi dan
tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolhan ikan, sistem jaminan
matu, dan kemanan hasil perikanan;
7) Melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/atau hasil perikanan
dari dan/atau ke wilayah Republik Indonesia yang tidak dilengkapi sertifikat
kesehatan untuk komsumsi manusia;
8) Menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong
dan/atau yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan;
9) Melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan, pembudidayaan,
pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan, yang tidak memiliki SIUP;
10) Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan tidak memiliki
SIPI;
11) Mengoperasikan kapal penaangkap ikan yang tidak membawa SIPI asli;
12) Penggunaan SIUP, SIPI, dan SIKPI palsu;
13) Membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan yang tidak
mendapat persetujuan terlebih dahulu;
14) Mengoperasikan kapal perikanan di wilayah pengolaan perikanan
Republik Indonesia yang tidak mendaftarkan kapal perikanannya sebagai
kapal perikanan Indonesia;
15) Nahkoda yang mengoperasikan kapal penangkapan ikan berbendera asing
yang tidak memiliki izin penangkapan ikan;
16) Nahkoda tidak memiliki surat persetujuan berlayar;
17) Melakukan penelitian perikanan di wilayah pengolahan perikanan
Republik Indonesia yang tidak memiliki izin;
18) Pelibatan pejabat dalam Pemalsuan Persetujuan dan Pendaftaran, dan
19) Tindak pidana yang dilakukan oleh nelayan kecil dan/atau pembudidaya
ikan kecil.
36
5. Kategori Kejahatan Pencurian Ikan (Illegal Fishing) dan Sanksi
Pidananya
Tindak pidana di bidang perikanan yang diatur dalam UU No. 31
Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009 (UU
No. 31 Tahun 2004) ada dua macam, yaitu kejahatan dan pelanggaran.
Disebut kejahatan karena perbuatan pelaku bertentangan dengan kepentingan
hukum, sedangkan pelanggaran merupakan perbuatan yang tidak mentaati
larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa negara.65
Tindak pidana perikanan yang termasuk dalam kejahatan adalah tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 84, pasal 85, pasal 86, pasal 88,
pasal 91, pasal 92, pasal 83, dan pasal 94, sedangkan tindak pidana di bidang
perikanan yang termasuk pelanggaran adalah tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam pasal 87, pasal 89, pasal 90, pasal 95, pasal 96, pasal 97,
pasal 98, pasal 99, dan pasal 100.66
Tindak pidana yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Kategori Pelanggaran
1) Kesengajaan merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber
daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
sebagaimana di maksud dalam Pasal 14 ayat (4),
2) Kelalaian mengakibatkan rusaknya plasma utfah yang berkaitan
dengan sumber daya ikan di wilayah peneglolaan perikana Republik
Indonesia sebagimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4),
65
Gatot Supramono, Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana di Bidang Perikanan,
(Jakarta, Rineka Cipta, 2011), h., 153. 66
Ismala Dewi, Penegakan Hukum Tindak Pidana di Bidang Perikanan, (Jakarta,
Badan Keahlian DPR RI, 2016), h.,185.
37
3) Melakukan penanganan dan pengolahan ikan yang tidak memenuhi
dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pegolahan ikan, sistem
jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan sebagimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (3)
4) Kesengajaan melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/atau
hasil perikanan dari dan/atau ke wilayah Republik Indonesia yang
tidak dilengkapi sertifikat kesehatan untuk komsumsi manusia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21,
5) Membangun, mengimpor dan memodifikasi kapal perikanan yang
tidak dapat persetujuan terlebih dahulu sebagimana dimaksud dalam
Pasal 35 ayat (1),
6) Mengoperasikan kapal perikanan di wilayah pengolahan perikanan
Republik Indoensia yang tidak mendaftarkan kapal perikannya
sebagai kapal perikanan Indonesia sebagimana dimaksud dalam Pasal
36 ayat (1)
7) Mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang tidak
memiliki izin penangkap ikan, yang selama berada di wilayah
pengolahan perikanan Republik Indonmesiatidak menyimpan alat
penangkap ikan di dalam palka sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38 ayat (1),
8) Mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah
memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkap
ikan tertentu pada bagian tertentu di ZEEI yang membawa alat
penangkap ikan lainya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat
(2),
9) Mengoperasikan kapal penanghkap ikan berbendera asing yang telah
memiliki izin penangkapan ikan, yang tidak menyimpan alat
penagkapan ikan di dalam palka selama berada di luar daerah
38
penangkapan ikan yang diizinkan di wilayah pengolahan perikanan
Republik Indonesia sebagimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (3),
10) Berlayar tidak memilik surat izin berlayar kapal perikanan yang
dikeluarkan oleh syahbandar sebagimana dimaksud dalam Pasal 42
ayat (2),
11) Melakukan penelitian perikanan di wilayah pengolahan perikanan
Republik Indonesia yang tidka memiliki izin dari pemerintah
sebagimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1),
12) Pelanggaran ketentuan yang ditetapkan sebagimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (2).67
b. Kategori Kejahatan
1) Kesengajaan melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan
ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan bilogis, bahan
peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan
dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau
lingkungannya di wilayah pengolahan perikanan Republik Indonesia
sebagaimana di maksud dalam Pasal 8 ayat (1),
2) Kesengajaan melakukan penangkapan ikan menggunakan bahan
kimia, bahan bilogis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau
bangunan yang dapat merugikan dan/atau menbahayakan kelstarian
sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengolahan
perikanan Republik Indonesia sebagimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (2),
3) Kesengajaan melakukan penangkapan ikan menggunakan bahan
kimia, bahan bilogis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau
bangunan yang dapat merugikan dan/atau menbahayakan kelstarian
67
Ismala Dewi, Penegakan Hukum Tindak Pidana di Bidang Perikanan, (Jakarta,
Badan Keahlian DPR RI, 2016), h., 185-187.
39
sumber daya ikan dan/atau lingkungannya di wilayah pengolahan
perikanan Republik Indonesia sebagimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (3),
4) Kesengajaan melakukan usaha pembudidayaan ikan di wilayah
Republik Indonesia menggunakan bahan kimia, bahan bilogis, bahan
peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan
dan/atau menbahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau
lingkungannya di wilayah pengolahan perikanan Republik Indonesia
sebagimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4),
5) Kesengajaan memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan
alat penagkapan ikan dan/atau alat bantu penagkapan ikan yang
berada di kapal penangkap ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang
ditetapkan, alat penagkapan ikan yang tidak sesuai dengan
persyaratan, atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu
dan/atau alat penagkapan ikan yang dilarang di wilayah pengolahan
perikanan Republik Indonesia sebagimana dimaksud dalam Pasal 9,
6) Kesengajaan melakukan perbuatan yang menagkibatkan pencemaran
dan/atau kerusakan sumber daya lingkungannya di wilayah Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2),
7) Kesengajaan melakukan perbuatan yang menagkibatkan pencemaran
dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia di
wilayah pengelolaan perikanan di wilayah Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2),
8) Kesengajaan membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang
dapat mebahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan sumber
daya ikan dan/atau kesehatan manusia di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia sebagimana dimaksud dalam Pasal 12
(3),
40
9) Kesengajaan menggunakan obat-obat dalam pembudidayaan ikan
yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan/atau lingkungan
sumber daya ikan dan/atau kesehatan manusia di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indoensia sebagimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (4),
10) Kesengajaan memasukkan, mengeluarkan, mengadakan,
mengedarkan, dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat,
pembudidayaan ikan, sumber daya ikan,, dan/atau lingkungan sumber
daya ikan ke dalam dan/atau ke luar wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonseia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1),
11) Kesengajaan menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan,
bahan penolong, dan/atau alat yang mebahayakan kesehatan manusia
dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan da pengolahan
ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1),
12) Kesengajaan melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan,
pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran ikan,
yang tdiak meiliki SIUP di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1),
13) Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penagkap ikan berbendera
Indonesia melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak
memilik SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1),
14) Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penagkap ikan berbendera
asing melakukan penagkapan ikan di wilayah pengelolaan Republik
Indonesia, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana di maksud dalam
Pasal 27 ayat (2),
15) Memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan di wilayah
pengelolaan Republik Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan
41
atau kegiatan yang terkait yang tidak memiliki SIKPI sebagimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1).68
Klasifikasi kejatan dan pelanggaran dalam tindak pidana perikanan
tersebut sesuai dengan rumusan hukum pidana dari Moelyatno, yang
menyatakan hal-hal sebagai berikut:
a. Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku
di suatu negara,
b. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan
pidana,
c. Hukum pidana menentukan perbuatan mana yang dipandang
sebagai perbuatan pidana,
d. Barang siapa melakukan pidana diancam dengan pidana,
e. Hukum pidana mengatur tentang pertanggungjawaban hukum
pidana (criminal liability atau criminal responsibility),
f. Beberapa pendapat tentang pengertian hukum pidana,
g. Hal-hal yang perlu ditegaskan sehubungan pengertian kita kepada
hukum pidana.69
Berdasarkan rumusan dari Moelyatno, dalam tindak pidana perikanan
dapat dengan jelas terlihat apakah itu berupa kejahatan ataupun pelanggaran
yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana pencurian ikan dan pidana apa yang
akan diberikan kepada pelanggar peraturan perikanan yang ada.70
68
Ismala Dewi, Penegakan Hukum Tindak Pidana di Bidang Perikanan, (Jakarta,
Badan Keahlian DPR RI, 2016), h., 187-190 69
Ismala Dewi, Penegakan Hukum Tindak Pidana di Bidang Perikanan, (Jakarta,
Badan Keahlian DPR RI, 2016), h.,190-191 70
Ismala Dewi, Penegakan Hukum Tindak Pidana di Bidang Perikanan, (Jakarta,
Badan Keahlian DPR RI, 2016), h.,191
42
BAB III
ASPEK HUKUM ISLAM DALAM PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING)
A. Dasar Hukum Pidana Islam
1. Pengertian Hukum Pidana Islam
Secara garis besar, pembahasan hukum pidana Islam dapat
dibedakan menjadi dua. Ada yang menyebutnya fiqh jinayah dan ada pula
yang menjadikan fiqh jinayah sebagai sub bagian yang terdapat di bagian
akhir isi sebuah kitab fiqh atau kitab hadis yang corak pemaparannya
seperti kitab fiqh. Kitab yang secara khusus dinamakan sebagai fiqh
jinayah memiliki sistematika pembahasan yang lebih terperinci, aktual dan
akomodatif. 71
Sebaliknya, kitab yang belum secara khusus dinamakan sebagai
kitab fiqh jinayah, sistematika pembahasannya masih sederhana. Di
bagian pertengahan atau akhir pembahasannya, fiqh jinayah dijelaskan
dalam subjudul الجناياتكتاب dan كتاب الحدود . Di samping itu, ada yang hanya
dengan memberikan judul كتاباالجنايات atau yang memerincikan dengan
subjudul كتاب الديات كتاب الجراح dan كتاب دعوي الدم والقسامة 72
Dari bentuk-bentuk kitab fiqh diatas, antara keduanya saling
melengkapi. Dari bentuk yang pertama sudah dapat diketahui tentang
unsur-unsur jarimah, jinayah, atau tindakan pidana. Sementara itu, dari
dibentuk kedua dapat diketahui tentang materi-materi subtansial.
71
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jianayah (Jakarta, Amzah, 2013), h., 1. 72
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jianayah (Jakarta, Amzah, 2013), h., 2
43
Walaupun demikian, bukan berarti materi ini tidak terdapat di dalam kitab
fiqh jinayah bentuk pertama.73
Hal-hal yang tercantum diatas sedikit gambaran umum mengenai
hukum pidana Islam, untuk lebih jelasnya mengenai hukum pidana Islam
itu sendiri dibawah akan kita kupas secara mendalam apa itu yang di
maksud dengan hukum pidana Islam itu sendiri.
Hukum pidana Islam sering disebut dilam fiqh dengan istilah
jinayat atau jarimah. Jinayat dalam istilah hukum disebut dengan delik
atau tindak pidana. Jinayah merupakan bentuk verbal noun (masdar) dari
kata jana. Secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan
jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah.
Secara terminologi kata jinayat mempunyai beberapa pengeritan,
seperti yang diungkapkan oleh Abd AL Qadir Awdah bahwa jinayat
adalah perbuatan yang dilarang oleh syara‟ baik perbuatan itu mengenai
jiwa, harta benda, atau lainnya. Fiqh jinayah adalah segala ketentusn
hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan
oleh orang-orang mukhallaf sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil
hukum yang terperinci dari Al-Qur‟an dan Hadits.74
الجناية أوالجريمة لغة : هي الذنب أولمعصية أو كل ما يجني المرأ من شر اكتسبه Artinya : “Jinayah atau jarimah, secara bahasa berarti dosa, kemaksiatan,
atau senua jenis perbuatan manusia berupa kejahatan yang dilakukan”
73
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jianayah (Jakarta, Amzah, 2013), h., 2 74
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta, Lembaga Studi Islam
dan Kemasyarakatan, 1992). h., 86.
44
Hukum pidana Islam merupakan syariat Allah yang mengandung
kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Syariat Islam dimaksud secara materil mengandung kewajiban asasi bagi
setiap manusia untuk melaknsakannya. Konsep kewajiban asasi syariat
yaitu menempatkan Allah sebagai pemegang segala hak, baik yang ada
pada diri sendiri maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya
pelaksana, yang berkewajiban memenuhi perintah Allah. Perintah Allah
dimaksud, harus ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain. 75
Menurut A.Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah
mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut
terbatas pada perbuatan yang dialarang. Di kalangan fuqaha‟, perkataan
jinayat berarti perbuatan yang dialarang oleh syara‟, meskipun demikian,
pada umumnya fuqaha‟ menggunakan istilah tersebut hanya untuk
perbuatan-perbuatan yang terlarang menurut syara‟. Meskipun demikian,
pada umumnya fuqaha‟ menggunakan istilah tersebut hanya untuk
perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan,
pembunuhan dan sebagainya.
Sebagian fuqaha menggunakan kata jinayah untuk perbuatan yang
berkaitan dengan jiwa atau anggota badan. Seperti membunuh, melukai
dan lain sebaginya. Dengan demikian istilah fiqh jinayat sama dengan
hukum pidana. Secara umum, pengertian jinayat sama dengan hukum
pidana pada hukum positif, yaitu hukum yang mengatur perbuatan yang
berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai
dan lain sebagainya. Jarimah (kejahatan) dalam hukum pidana Islam
jinayat meliputi, jarimah hudud, qisas, diyat, dan ta‟zir.
75
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam (Jakarta, Sinar Grafika, 2007). h., 1.
45
2. Dalil-Dalil Tentang Hukum Pidana Islam
Hukum pidana Islam yang diterjemahkan dari istilah fiqh jinayah,
apabila didefenisiskan secara lengkap meliputi dua kata pokok, yaitu fiqh
dan jinayah. Secara etimologis, fiqh berasal dari kata faqiha-yafqahu yang
berarti memahami ucapan secara baik, seperti firman Allah berikut :76
Q.s. Hud (11): 91:
ك فب ظؼفب ونىل قبنىا ب تقىل وإب نشى ت يب فقه كثشا ي شؼ
ب ثؼضض ك ويب أت ػه ١سهطك نشج
Artinya: “Mereka berkata: "Hai Syu´aib, kami tidak banyak mengerti
tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar
melihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena
keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamu pun
bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami"
Sementara itu, secara terminologis, fiqh didefenisiskan oleh
Wahbah Al-Zuhaili, Abdul Karim Zaidan, dan Umar Sulaiman dengan
mengutip defenisi AL-Syafi‟i dan Al-Amidi sebagai berikut :77
العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسبة من أدلتها التفصلية Artinya : “Ilmu tentang hokum-hukum syariyah yang bersifat amaliah
yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang terperinci”
76
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Amzah, 2016). h., 2-3. 77
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Amzah, 2016). h., 3
46
Dalam defenisi ini, fiqh diibaratkan dengan ilmu karena memang
semacam ilmu pengetahuan. Kata hukum dalam defenisi ini menjelaskan
bahwa hal-hal yang berada di luar hukum. Seperti zat, tidaklah termasuk
kedalam pengertian fiqh. Penggunaan kata syariah dalam defenisi ini
menejelaskan bahwa fiqh itu menyangkut ketentuan yang bersifat syar‟i,
yaitu segala sesuatu yang berasal dari kehendak Allah.78
Adapun istilah jinayah yang berasal dari bahasa Arab, berasal dari
kata jana-yajni-janyan-jinayatan yang berarti adznaba (berbuat dosa)
atau tanawala (menggapai atau memetik dan mengumpulkan) seperti dari
kalimat jana al-dzahaba ( seseorang mengumpulkan emas dari
penambangan). Dalam menerangkan makna kata jinayah ini, Louis
Ma‟luf mengatakan bahwa kata jana‟ berarti irtakaba dzanban
(melakukan dosa). Pelakunya disebut janin bentuk jamaknya adalah
janatan.79
3. Asas-Asas di Dalam Hukum Pidana Islam
Seperti layaknya hukum pidana di dalam hukum positif ataupun
hukum manapun, hukum pidana Islam juga memiliki asas-asas. Asas-
asas keadilan, asas kepastian hukum, dan asas kemamfaatan, nah di dalam
asas kemamfaatan ini akan terbagi lagi kedalam beberapa asas seperti
asas legalitas, asas tidak berlaku surut, asas praduga tidak bersalah, asas
larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain, asas keharusan
membatalkan hukum akibat unsur keraguan, dan asas kesamaan di mata
hukum. Semua itu telah dikenal oleh para ahli huku, bahkan para ahli
78
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Amzah, 2016). h., 3 79
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Amzah, 2016). h., 3
47
hukum Barat mengklaim bahwa asas-asas tersebut berasal dari sistem
hukum mereka.
Klaim sepihak dari dari para ahli hukum Barat ini tidak mengurangi
mutu dari keadilan hukum pidana Islam. Jauh dari sebelum para ahli
hukum Barat mengklaim asas-asas tersebut, hukum pidana Islam telah
menerapkannya. Sejak empat belas abad yang lalu hukum pidana Islam
telah menjadi pionir dalam penerapan asas-asas hukum yang kemudian
diadopsi oleh barat. 80
Banyak yang menganggap bahwa hukum pidana Islam ini adalah
hukum yang kuno atau sudah ketinggalan zaman, namun pemahaman itu
adalah pemahaman yang salah. Asas-asas hukum pidana Islam telah
dikenal sejak hukum Islam diberlakukan dan itu sudah berlaku sejak abad
ke-7. Di antara asas-asas hukum pidana Islam adalah sebagai berikut:
a. Asas keadilan
Asas keadilan adalah asas yang penting dan mencakup semua
asas dalam bidang hukum Islam, akibat dari pentingnya azas yang
dimaksud, sehingga Allah SWT mengungkapkan di dalam Al-
Quran lebih dari 1000 kali.81
Mengenai asas keadilan, banyak
sekali ayat dan hadits Nabi yang memerintahkan agar seorang
muslim menegaskan keadilan sekalipun terhadap keluarga dan
karib kerabat terdekat.82
Q.s. An-Nisa” (4): 135:
80
Asdulloh Al Faruq, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, (Bogor, Ghalia
Indonesia, 2009). h., 6. 81
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar Grafika, 2012). h., 2. 82
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Amzah, 2016). h., 12-13.
48
هب أ ٱ۞ ث نز ي نقغػ ٱءايىا كىىا قى ونى ػه شهذاء لل
ٱأفغكى أو نذ ٱو نى غب أو فقشا ف لقشث ٱإ ك ب لل ثه أون
أ تؼذن ىي نه ٱفل تتجؼىا ا ۥوإ تهى ىا ٱأو تؼشظىا فإ ب لل ث كب
خجشا هى تؼ
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang
yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah
biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum
kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar
balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang
kamu kerjakan”
Ayat lain yang terkait asas keadilan ini selalu dibacakan oleh
khatib pada akhir khutbah Jumat. Ayat yang dimaksaud terdapat di
(Q.S Al-Nahl (16): 90)
ٱ۞إ ٱو نؼذل ٱأيش ث لل حغ ر ل ٱوإتب نقشث ػ ه و
كش ٱو نفحشبء ٱ ٱو ن نجغ شو ١ؼظكى نؼهكى تزك
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran”
selanjutnya, diantara hadis Nabi yang terkait dengan asas
keadilan adalah sebagai berikut :
49
عدلوا بين أبنائكم, إعدلوا بين أبنائكم Artinya : “Berlakulah adil diantara anak-anak kalian,berlakulah
adil diantara anak-anak kalian” (HR. Abu Daud dan Al-Nasa‟I
dari Al-Nu‟man bin Basyir)
b. Asas kepastian hukum
Asas kepastian hukum artinya tidak ada satu perbuatan pun
yang dapat dihukum kecuali atas kekuatan kepastian hukum atau
aturan hukum berupa ayat ayat Al-Quran, hadis, atau fatwa para
ulama.83
Diantara ayat Al-Quran yang bisa diajdikan argumentasi
kuat adalah Q.S Al-Isra‟ (17) : 15) :
ب هتذ نفغه هتذي ٱ ي هب ول تضس ۦفإ ب عم ػه وي ظم فإ
جؼث سعىل حت ث ويب كب يؼز واصسح وصس أخشي
Artinya : “Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah
(Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan)
dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya
dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang
berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan
mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul”
Bukti lain bahwa dalam hukum Islam terdapat asas kepastian
adalah larangan untuk menikahi saudara kandung kecuali apa
yang terjadi antara putra-putri Nabi Adam. Mengenai hal ini, Al-
Quran menerapkan kalimat illa ma qad salafa (kecuali yang telah
lewat). Artinya, yang sudah terlanjur terjadi pada masa lampau.84
83
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Amzah, 2016). h., 14 84
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Amzah, 2016). h., 14
50
c. Asas kemanfaatan
Asas kemanfaatan adalah asas yang mengiringi asas keadilan
dan asas kepastian hukum. Dalam melakasanakan asas keadilan
dan kepastian hukum, seyogyanya dipertimbangkan asas
kemamfaatannya, baik bagi yang bersangkutan maupun orang lain.
Dalam menerapkan hukuman mati terhadap seorang yang
melakukan pembunuhan misalnya, dapat dipertimbangkan
kemamfaatan penjatuhan hukuman itu bagi diri terdakwa sendiri
dan bagi masayarakat. 85
Kalau hukuman mati itu yang akan dijatuhkan itu lebih
bermamfaat bagi kepentingan masyarakat, hukuman itulah yang
akan dijatuhkan. Kalau tidak menjatuhkan hukuman mati lebih
bermafaat bagi terdakwa, keluarga, atau saksi korban; ancaman
hukuman mati dapat diganti dengan hukuman denda yang
dibayarkan kepada keluarga pembunuh. Asas ini ditarik dari Q.s.
Al-Baqarah (2) 178.86
:
أهب ٱ كى نز ٱف نقصبص ٱءايىا كتت ػه نحش ٱث نحش ٱ نقته
ٱو نؼجذ ٱث نؼجذ ٱو ٱث لث نه لث ػف ء ف ۥف أخه ش تجبع ٱي
ؼشوف ٱث ن ن ر ه ثإحغ ك وأداء إن ف
خ ثكى وسح س تخفف ي
نك فهه ػتذي ٱ ٧١ػزاة أنى ۥثؼذ ر
Artiny: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang
merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan
85
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Amzah, 2016). h., 14 86
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Amzah, 2016). h., 14
51
dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan
cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat)
kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu
rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka
baginya siksa yang sangat pedih”
Selanjutnya, terkait dengan asas-asas hukum pidana Islam
terdapata enam asas pokok, yaitu asas legalitas, asas tidak berlaku
surut, asas praduga tak bersalah, asas wajib dibatalkan hukuman
apabila terdapat keraguan, asas tidak ada pelimpahan kesalahan
kepada pihak lain, dan asas kesamaan di hadapan hukum.87
4. Kedudukan Ancaman Hukum di Dalam Hukum Pidana Islam
Hukuman dibagi menjadi beberapa macam sesuai dengan tindak
pidana yang dituangkan dalam syara‟ ataupun yang tidak terdapat nash
hukumannya. Ditinjau dari segi ada dan tidak ada nashnya dalam Al-
Quran dan Al-Hadis, hukuman dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Hukuman yang ada nashnya, yaitu hudud, qisas, diyat, dan kaffarah.
Misalnya, hukuman bagi pezina, pencuri, perampok, pemberontak,
pembunuh, dan orang yang mendzihar istrinya;
b. Hukuman yang tidak ada nashnya, yang disebut hukuman ta‟zir,
seperti percobaan melakukan tindak pidana, tidak melaksanakan
87
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Amzah, 2016). h., 14
52
amanah, bersaksi palsu, dan pencurian yang tidak sampai batas jumlah
yang ditetapkan, misalnya mencuri beras satu kilo gram.88
Ditinjau dari segi hubungan anatar hukuman dengan hukuman yang
lain, ada empat macam hukuman, yaitu :
a. Hukuman pokok ( al-uqubat al-ashiliyah), yaitu hukuman asal (asli)
bagi kejahatan, seperti hukuman mati bagi pembunuh dan hukuman
jilid seratus kali bagi pezina ghayr muhshan:
b. Hukuman pengganti (al-uqubat al-badaliyah), yaitu hukuman yang
menempati empat pokok apabila hukuman pokok itu tidak dapat
dilaksanakan karena alasan hukuman diyat bagi pembunuh yang sudah
dimaafkan qisas nya oleh keluarga korban atau hukuman ta‟zir apabila
karena satu hal, hukuman had tidak dapat dilaksanakan.
c. Hukuman tambahan (al-uqubat al-thaba‟iyah), yaitu hukuman yang
dijatuhkan pada pelaku atas dasar mengikuti hukuman pokok, seperti
terhalangnya seorang pembunuh untuk mendapat waris dari harta
terbunuh;
d. Hukuman pelengkap (al-uqubat al-takmiliyat), yaitu hukuman yang
dijatuhkan sebagai pelengkap terhadap hukuman yang telah
dijatuhkan.89
B. Illegal Fishing (Pencurian Ikan) Dalam Hukum Pidana Islam
1. Dasar Hukum Yang Mengatur Pencurian Ikan (Illegal Fishing) di
dalam Islam
88
Mustafa Hasan dan Beni Ahmad Saebeni, Hukum Pidana Isla, Fiqh Jinayah,
Dilengkapi Dengan Kajian Dalam Hukum Pidana Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2013). h.,
45. 89
Mustafa Hasan dan Beni Ahmad Saebeni, Hukum Pidana Isla, Fiqh Jinayah,
Dilengkapi Dengan Kajian Dalam Hukum Pidana Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2013). h.,
45-46
53
Berbicara tentang illegal fishing di dalam Islam, mungkin ini adalah
hal yang baru bagi kita semua, selama ini kita mengenal illegal fishing
tersebut hanya di dalam hukum positif Indonesia, yang mana yang
dimaksud dengan Iillegal fishing disini adalah pencurian ikan di laut.
Walaupun illegal fishing tidak ada dalam Islam, namun Islam tidak
sedangkal itu walau pun demikian sebenarnya di dalam Islam itu dasar-
dasar menenai illegal fishing dapat merujuk kepada kerusakan
lingkungan. Antara lain sebgai berikut :
a. Ar-Rum Ayat 41
ذ نجحش ٱو نجش ٱف نفغبد ٱ ظهش ب كغجت أ نزٱنزقهى ثؼط نبط ٱث
هىا نؼههى شجؼى ػ
Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar)”.
b. Q.s. Al-Qasas (28): 77:
ك ثتغ ٱو ب ءاتى ٱف لخشح ٱ نذاس ٱ لل ب ٱول تظ صجك ي ب نذ وأحغ ك
ٱأحغ ك ول تجغ لل لسض ٱف نفغبد ٱإن ٱإ ٱل حت لل فغذ ٧٧ ن
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
54
c. Q.s. An-Nahl (16): 14:
ش نزٱ وهى ه حهخ نجحش ٱعخ ب وتغتخشجىا ي ب غش ه نح نتأكهىا ي
ۦيىاخش فه ونتجتغىا ي فعهه نفهك ٱتهجغىهب وتشي ونؼهكى تشكشو
Artinya: “Dan Dialah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar
kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu
mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu
melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari
(keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.”
d. Q.s. Saad (38): 27:
بء ٱخهقب ويب لسض ٱو نغ نك ظ طل ر ب ث ه ٱويب ث نز كفشوا
كفشوا ي م نهز ٧ نبس ٱفى
Artinya: “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada
antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan
orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka
akan masuk neraka”.
2. Pengertian Pencurian Ikan (Illegal Fishing) di Dalam Islam
Pencurian ikan (Illegal Fishing) secara harfiah dapat diartikan
sebagai kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan yang tidak
diatur oleh peraturan yang ada, atau aktifitas yang tidak dilaporkan kepada
suatu instiusi atau lembaga pengola perikanan yang tersedia. Termasuk
kegiatan yang mrnggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,
55
menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau
mengawetkan.90
Semua kegiatan penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia
tentu harus mengacu kepada aturan Undang-Undang yang berlaku. Jika
tidak mengikuti atau mematuhi aturan yang ada maka penangkapan ikan
tersebut dinyatakan sebagai perampokan aset negara. Firman Allah SWT
di dalam Q.s. An-Nahl (16): 14 :
ش نزٱ وهى ه نجحش ٱعخ ب وتغتخشجىا ي ب غش ه نح نتأكهىا ي
ونؼهكى ۦيىاخش فه ونتجتغىا ي فعهه نفهك ٱحهخ تهجغىهب وتشي
تشكشو
Artinya: “Dan dialah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar
kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu
mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu
melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan)
dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur”
Sesuai penjelasan dari ayat diatas yang menyebutkan bahwa Allah
SWT telah menyediakan bagi hambanya daging yang segar, dan tah hanya
itu di dalam laut tersebut Allah juga menyediakan perhiasan yang bisa kita
pakai, apa yang Allah SWT berikan kepada kita semua itu adalah nikmat
yang sangat luar biasa bisa kita terima.
Siapa saja yang ada di bumi Allah ini tentu semuanya berhak
mendaptkan nikmat tersebut. Tentu selain itu kita sebagai manusia yang
90
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim, Politik H ukum Pidana, Kajian Kebijakan
Kriminalisasi dan Dekriminminalasi, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005). h., 143-145.
56
tinggal di negara hukum seperti Indonesia pada saat sekarang ini
pemamfaatan tersebut harus sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.
Sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kita kepada Allah SWT kita
harus mentaati atau mengikuti atauran yang telah diberlakukan tersebut,
dan semua itu tujuannya adalah untuk kemaslahatan kita bersama.
Sedangkan Illegal Fishing ada sebuah bentuk kejahatan yang sangat jauh
dari rasa syukur tersebut, karena Illegal Fishing tersebut telah menyalahi
aturan yang berlaku.
3. Sanksi Pidana Pelaku Illegal Fishing di dalam Islam
Ruang lingkup hukum pidana Islam meliputi tiga bagian pokok,
yaitu tindak pidana qisas, hudud, dan ta‟zir. Ada juga penulis yang hanya
membagi menjadi dua bidang pokok, yaitu tindak pidana hudud dan ta‟zir.
Pembagian versi kedua ini disebabkan oleh asumsi bahwa hudud adalah
semua jenis tindak pidana yang secara tegas diatur dalam Al-Quran dan
Hadis, baik sifat perbuatan pidananya maupun sanksi hukumnya.
Sehingga tindak pidana qisas masuk ke dalam ranah hudud. Sementara itu,
semua jenis tindak pidana yang tidak masuk ke dalam ranah hudud berarti
masuk ke dalam wilayah ta‟zir.91
Sebelum lebih jauh menentukan apa hukuman bagi pelaku
pencurian ikan (illegal fishing) di dalam hukum Islam, tentu kita harus tau
ruang lingkup dari hukum pidana Islam tersebut, sebagaimana yang telah
dijabarkan diatas bahwa ruang lingkup hukum pidana Islam terbagi
91
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Amzah, 2016). h., 24
57
menjadi tiga bagian pokok, yaitu tindak pidana qisas, hudud, dan ta‟zir.
Berikut penjabarannya :
a. Qisas
1) Pengertian qisas
Secara bahasa, qisas berasal dari kata qashsha-yaqushshu-
qishashan berarti mengikuti dan menelusuri jejak kaki. Makna
qisas secara bahasa ini ada kaitannya dengan kata kisah. Qisas
berarti menelurusuri jejak kaki manusia atau hewan, dimana
anatara jejak kaki dan telapak kaki pasti memiliki kesamaan
bentuk. semenatara itu kisah mengandung makna bahwa ada
hubungan antara kisah asli dan kisah yang ditulis atau yang
diceritakan oleh generasi berikutnya. 92
Arti qisas secara terminologi antara lain dikemukakan oleh Al-
Jurjani, yaitu mengenakan sebuah tindakan (sanksi hukum) kepada
pelaku persis seperti tindakan yang dilakukan pelaku terhadap
korban. Dari defenisi ini jelas ada keterkaitan makna antara makna
qisas secara bahasa dengan istilah. Lebih jelas lagi, dalam Al-
Mu‟jam Al-Wasith qisas diartikan dengan menjatuhkan sanksi
hukum kepada pelaku tindak pidana sama persis dengan tindak
pidana yang dilakukan, nyawa dengan nyawa dan anggota tubuh
dibalas dengan anggota tubuh.93
2) Pelaksanaan Eksekusi Qisas
Hukuman secara setimpal ini tidak dibenarkan kalau
dilakukan secara individu dan tidak melibatkan Negara, jika qisas
dilaksanakan secara bebas, dipastikan akan terjadi kekacauan dan
92
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Amzah, 2016). h., 30 93
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Amzah, 2016). h., 30
58
perang saudara antara kelompok suku, atau golongan, hal ini dapat
dilihat dalam (Q.S Al-Baqarah (2): 178)
أهب كى ٱنز ف ٱنقصبص ءايىا كتت ػه ٱنحش ٱنقته
و ٱنؼجذ ث ٱنؼجذ و ٱنحش ث ث ٱلث نه ٱلث ػف أخه ۥف ي
ء ف ؼشوف ث ٱتجبع ش ن ٱن ر ه ثإحغ تخفف ي ك وأداء إن
فخ ثكى وسح نك فهه ٱػتذي س ٧١ػزاة أنى ۥثؼذ ر
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang
merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan
wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu
pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara
yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”
Pada ayat tentang qisas pembunuhan, tampak jelas bahwa
Allah memerintahkan secara umum kepada orang-orang yang
beriman. Ini berarti dalam pelaksanaanya perlu melibatkan otoritas
berwenang, yaitu ulil amri atau pemerintah. Demikian halnya
dengan ayat tentang perintah puasa Ramadhan. Untuk bisa
melaksanakannya, harus ada campur tangan pemerintah, terutama
mengenai penetapan awal Ramadhan.
Dengan demikian, pelaksanaan eksekusi qisas, penganiayaan
maupun pembunuhan, harus melibatkan pemerintah melalui
59
mekanisme persidangan majelis hakim di pengadilan. Dalam hal
ini Indonesia sebagai Negara hukum, dipastikan memiliki hukum
acara, baik bidang perdata maupun pidana, hanya saja bidang
pidana Islam hingga kini belum bisa dilaksanakan sebagaimana
yang diterapkan oleh Al-Quran dan hadis.
3) Kategori qisas
Dalam kajian hukum pidana Islam sanksi qisas ada dua
kategori, yaitu qisas karena melakukan pembunuhan dan
penganiayaan.
a) Pembunuhan
Sanksi hukum qisas diberlakukan terhadap pelaku
pembunuhan sengaja dan terencana sebagaimana firman Allah
dalam (QS Al-Baqarah (2) 178) :
أهب كى ٱنز ف ٱنقصبص ءايىا كتت ػه ٱنقته
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh”
Ayat ini berisi tentang hukuman qisas bagi pelaku
pembunuhan sengaja dan terencana serta apabila pihak keluarga
korban tidak memaafkan pelaku. Kalau keluarga korban
memberikan maaf kepada pelaku, sanksi qisas turun dan beralih
menjadi diat.
Dengan demikian, tidak setiap pelaku tindak pidana
pembunuhan pasti diancam sanksi qisas, tetapi harus diteliti
mengenai motivasi, cara, faktor pendorong, dan teknis melakukan
pembunuhan. Hal ini sangat penting dilakukan karena jarimah
60
pembunuhan oleh para ulama fiqh dibedakan menjadi tiga
kategori, yaitu :
(1) Pembunuhan sengaja
(2) Pembunuhan semi sengaja, dan
(3) Pembunuhan tersalah. 94
b) Penganiayaan
Qisas yang disyaratkan karena melakukan jarimah pelukaan
atau penganiayaan secara eksplesit dijelaskan oleh Allah dalam
(QS Al-Maidah (5) 45) :
وكتجب هى فهب أ و ٱنفظ ث ٱنفظ ػه ث ٱنؼ ٱلف و ٱنؼ
و ٱلف ث ث ٱلر و ٱلر ث ٱنغ قصبص ٱنجشوح و ٱنغ
تصذق ثه ب أضل ۥ فهى كفبسح نه ۦف وي نى حكى ث ٱلل
ئك هى فأون ى ه
ٱنظ
Artinya : “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya
(At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan
mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan
gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang
melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu
(menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang zalim”
Kalau di teliti dengan seksama, redaksi ayat diatas memang
tidak secara tegas menyatakan bahwa hukum qisas dalam
94
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Amzah, 2016). h., 36
61
penganiayaan itu dinyatakaan berlaku bagi umat Islam, tetapi juga
tidak terdapat pernyataan lain yang menunjukan bahwa
ketetapatan hukumnya telah terhapus dan tidak berlaku lagi bagi
umat Islam.
Menurut jumhur ulama, Hanafiyah, Malikiyah, sebagian
Syafi‟iyah, dan sebuah riwayat Ahmad dimana pendapat ini dinilai
sebagai yang paling tepat bahwa ayat-ayat tentang qisas terhadap
anggota badan tetap berlaku bagi umat Islam. Sementara itu
menurut ulama kalangan Asy‟ariyah bahwa hal ini tidak berlaku
bagi orang Islam. Sementara itu, Ibnu Al-Qusyairi dan Ibnu
Burhan bersikap diam sampai terdapat dalil sahih yang
menegaskan. 95
Dengan demikian pendapat jumhur ulama lebih kuat dari pada
pendapat lainnya sehingga qisas terhadap anggota badan masih
tetap berlaku dengan sanksi yang beragam sesuai dengan jenis,
cara, serta di bagian tubuh sebelah mana jarimah penganiayaan
dilakukan pelaku kepada korban.
b. Hudud
1) Pengertian Hudud
Hudud merupakan bentuk jamak dari kata had yang secara
etimologi berasal dari kata ح dan د yang mempunyai dua makna
asal yaitu larangan dan batas (tepi) sesuatu. Dalam makna leksikal
had (hudud) bias dimaknai dengan ta‟rif, atau undang-undang.
Membuat ta‟rif atau defenisi berarti memberikan batasan
95
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Amzah, 2016). h., 40
62
pengertian sebuah istilah sehingga term lain tidak termasuk
didalamnya. Kaitannya dengan undang-undang sebab undang-
undang meberikan batasan aturan terhadap sesuatu atau orang
sehingga tidak boleh melanggarnya. 96
Menurut istilah syara‟, sebab bagaimana dinyatakan oleh Abd
al-Qadir Awdah , jarimah hudud yaitu jarimah yang diancam
dengan hukuman had, dan had adalah ancaman hukuman yang
telah ditentukan macam dan jumlahnya dan menjadi hak Allah.
Demikian juga yang dinyatakan Muhammad Abu Syuhbah bahwa
had merupakan hak mutlak bagi Allah. Tidak boleh ditunda
tampa alasan yang jelas, ditambah dan dikurangi. Penguasa dalam
hal ini berhal melaksanakan sebagaimana ketentuan yang terdapat
di dalam syara‟.97
2) Macam-macam jarimah hudud
Kalau ditinjau dari segi dominasi hak yang terdapat pada
pensyariatan hukum hudud terbagi menjadi dua kategori, yaitu
hudud yang termasuk ke dalam wilayah hak Allah dan hak
manusia. Ada perbedaan mendasar antara hak Allah dan hak
manusia. Hak Allah adalah hak masyarakat yang luas yang
dampaknya dapat dirasakan oleh banyak orang, sedangkan hak
manusia adalah hak yang terkait dengan manusia sebagai individu,
bukan sebagai masyarakat.98
berikut adalah macam-macam
jarimah hudud:
96
Dasrul S. Puyu, Konsep Pidana Hudud Menurut Al-Quran, Jurnal Al-Audaulah,
Vol. 1 / No. 1/ Desember 2012, h., 134 97
Reni Surya, Klasifikasi Tindak Pidana Hudud dan Sanksinya dalam Perspektif
Hukum Islam, Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, Vol 2 No.2. Juli-Desember 2018,
h., 531-532 98
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Amzah, 2016). h., 48-49
63
a) Jarimah perzinaan,
b) Jarimah penuduhan zina dan pencemaran nama baik,
c) Jarimah meminum khamar dan penyalahgunaan narkoba,
d) Jarimah pemberontakan,
e) Jarimah murtad,
f) Jarimah pencurian, dan
g) Jarimah perampokan.
c. Ta’zir
1) Pengertian ta’zir
Secara terminologis ta‟zir berasal dari kata „azar‟yang berati
mencegah, menghormati, dan membentuk. Selain itu pengertian
ta‟zir ialah memberikan pengajaran (at-ta‟dib).99
Dalam fiqh
jinayah, pengertian ta‟zir adalah bentuk hukuman yang tidak
disebutkan ketentuan kadar hukumannya oleh syara‟ dan
penentuan hukuman menjadi kekuasaan hakim. 100
Banyak yang memberikan defenisi berkaitan dengan ta‟zir ini,
secara bahasa ta‟zir berasal dari kata az-zara („azzaraa yang
bermakna ar-raddu yang bermakna menolak dan juga alman‟u
yang bermakna mencegah dan disebut juga ta‟zir adalah menolak
pelakunya dari mencegahnya dari mengerjakan jarimah. 101
99
Mardani, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Kencana, 2019). h., 12. 100
Mustafa Hasan dan Beni Ahmad Saebeni, Hukum Pidana Isla, Fiqh Jinayah,
Dilengkapi Dengan Kajian Dalam Hukum Pidana Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2013). h.,
593. 101
Zahratul Idami, Prinsip Pelimpahan Kewenangan Kepada Ulil Amri Dalam
Penentuan Hukuman Ta‟zir, macamnya dan tujuanya. Jurnal Hukum Samudra, Vol. 10 No.
Januari-juni 2015. h., 26.
64
Secara istilah dalam ilmu Fiqh, kata ta‟zir itu bermakna:
„Uquubatun ghairu muqaddatun syar‟an tajbu haqqan lillahi au
liadamii fii kulli ma‟shiatin laisa fiihs haddun walaa kaffarata
ghaaliban. Artinya „Hukuman yang tidak ditetapkan ketentuan
secara syar‟i baik terkait hak Allah atau hak adami, umumnya
yang berlaku pada setiap maksiat yang tidak ada hukuman hudud
atau kaffarah. 102
Sebagian ulama mengartikan ta‟zir sebagai hukuman yang
berkaitan dengan pelanggaran terhadap Allah SWT dan hak hamba
yang tidak ditentukan Al-Quran dan Hadis. Ta‟zir berfungsi
memberikan pengajaran kepada pelaku sekaligus mencegahnya
untuk tidak mengulangi hal serupa. 103
Ta‟zir pada hakikatnya adalah sebuah pendidikan. Sampai
disini, ta‟zir kendati masuk dalam lingkup pidana Islam tidaklah
dimaknai sebagai proses pemabalasan apalagi penyiksaan. Lebih
tepat ta‟zir dipahami sebagai prose penyadaran. 104
Dalam melakukan proses penyadaran tersebut para ulama
telah merumuskan setidaknya dua bentuk hukuman yang dapat
diterapkan. Pertama, melalui perkataan seperti mencegah,
mencela, dan menasehati. Kedua, ta‟zir juga dapat dilakukan
dengan perbuatan seperti, memukul, mencambuk, menahan di
102
Zahratul Idami, Prinsip Pelimpahan Kewenangan Kepada Ulil Amri Dalam
Penentuan Hukuman Ta‟zir, macamnya dan tujuanya. Jurnal Hukum Samudra, Vol. 10 No.
Januari-juni 2015. h.,26 103
Zahratul Idami, Prinsip Pelimpahan Kewenangan Kepada Ulil Amri Dalam
Penentuan Hukuman Ta‟zir, macamnya dan tujuanya. Jurnal Hukum Samudra, Vol. 10 No.
Januari-juni 2015. h., 593-594 104
Azhari Akmal Tarigan, Ta‟zir dan Kewenagan Pemerintah Dalam Penerpannya,
Jurnal Ilmu Syariah, VOL 17, Number 1, 2017. h., 161.
65
dalam penjara, mengikat dan juga bisa dibunuh kendatipun
masalah ini masih diperdebatkan. 105
2) Macam-macam sanksi ta’zir
Jarimah ta‟zir adalah hukuman jarimah yang hukumannya
diserahkan kepada hakim atau penguasa. Hakim dalam hal ini
diberi kewenangan untuk menjatuhkan hukuman secara umum
untuk kejahatan yang dapat digolongkan dalam hukuman ta‟zir
adalah segala bentuk perbuatan yang mengandung unsur
pelanggaran terhadap jiwa, harta dan kehormatan, akal atau agama
yang tidak diancam dengan hukuman had.106
Dengan demikian sanksi ta‟zir tergolong ke beberapa macam
sebagai berikut :
a) Sanksi ta‟zir yang berkaitan dengan badan
Dalam sanksi ini ada jua jenis hukuman, yaitu hukuman mati
dan hukuman cambuk, berikut ini uraiannya.
(1) Hukuman mati
Mazhab hanafi membolehkan sanksi ta‟zir dengan
hukuman mati dengan syarat perbuatan itu dilakukan
berulang-ulang dan akan membawa kemaslahatan bagi
masyarakat. Contohnya, pencurian yang berulang-ulang
dan menghina Nabi yang dilakukan oleh kafir dzimmi
meskipun telah masuk Islam.107
105
Azhari Akmal Tarigan, Ta‟zir dan Kewenagan Pemerintah Dalam Penerpannya,
Jurnal Ilmu Syariah, VOL 17, Number 1, 2017. h., 161. 106
Zahratul Idami, Prinsip Pelimpahan Kewenangan Kepada Ulil Amri Dalam
Penentuan Hukuman Ta‟zir, macamnya dan tujuanya. Jurnal Hukum Samudra, Vol. 10 No.
Januari-juni 2015. h., 28. 107
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Amzah, 2016). h., 96.
66
Mazhab Maliki dan sebagian ulama Hambilah juga
membolehkan hukuman mati sebagai sanksi ta‟zir
tertinggi. Contohnya sanksi ta‟zir bagi mata-mata dan
orang melakukan kerusakan di muka bumi. Demikian juga
sebagian ulama Syafi‟iyah membolehkan hukuman mati
dalam kasus homo seksual dan penyebaran aliran-aliran
sesat yang menyimpang dari Al-Quran dan sunah.108
(2) Hukuman cambuk
Hukuman ini cukup efektif dalam meberikan efek jera
bagi pelau jarimah ta‟zir. Jumlah cambukan dalam jarimah
hudud zina ghairu muhsan dan penuduhan zina telah
dijelaskan di dalam nash keagamaan. Namun dalam
jarimah ta‟zir penguasa atau hakim diberikan kewenangan
untuk menetapkan jumlah cambukan yang disesuaikan
dengan bentuk jarimah, kondisi pelaku, dan efek jera bagi
masyarakat. 109
b) Sanksi ta‟zir yang berkaitan dengan kemerdekaan
seseorang.
Dalam hal yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang
disini terdapat dua jenis hukuman, yaitu hukuman penjara dan
hukuman pengasingan. Dibawah ini akan dikabarkan :
(1) Hukuman penjara
108
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Amzah, 2016). h., 96 109
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Amzah, 2016). h., 98
67
Dalam bahasa Arab ada dua istilah untuk hukuman
penjara, yaitu 1) al-habsu yang berarti al-man‟u
(pencegahan atau penahanan ); dan 2) al-sijnu yang artinya
sama dengan al-habsu. Dengan demikian, kedua kata
tersebut mempunyai arti yang sama dan ulama juga
menggunakan keduanya. 110
Menurut Ibnu Qayyim, al-habsu bermakna menahan
seseorang untuk tidak melakukan perbuatan hukum, baik
tahanan itu ditahan di rumah, di masjid, maupun di tempat
lain. Demikianlah yang dimaksud dengan al-habsu pada
masa Nabi dan Abu Bakar. Akan tetapi , setelah Islam
bertambah banyak dan wilayah Islam bertambah luas pada
masa pemerintahan Umar, ia membeli rumah Syafwan bin
Umayyah dengan harga empat ribu Dirham untuk
dijadikan penjara. 111
(2) Hukuman pengasingan
Hukuman pengasingan (buang) termasuk hukuman had
untuk pelaku tindak pidana perampokan. Allah
berfirman,112
Q.s. Al-Maidah (5): 33:
ب ؤا إ ٱجض نز ف ۥوسعىنه لل ٱحبسثى وغؼى
ذهى لسض ٱ ا أ قتهىا أو صهجىا أو تقطغ أ فغبد
ف أو فىا ي خه لسض ٱوأسجههى ي نك نهى خض ر
ٱف ػزاة ػظى لخشح ٱب ونهى ف نذ
110
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Amzah, 2016). h., 100-101 111
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Amzah, 2016). h., 101 112
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Amzah, 2016). h., 104
68
Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang
yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat
kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau
disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan
bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka
beroleh siksaan yang besar”
Meskipun hukuman pengasingan itu merupakan
hukuman had, dalam prakteknya, hukuman tersebut
hukuman tersebut diterapkan juga dalam hukuman ta‟zir.
Di antara jarimah ta‟zir yang dikenakan hukuman
pengasingan adalah orang yang berprilaku mukhannats
(waria) yang pernah dilaksanakan oleh Nabi dengan
mengasingkannya ke luar dari Madinah. Demikian pula
tindakan Khalifah Umar yang mengasingkan Nashr bin
Hajjaj karena banyak wanita yang tergoda olehnya,
walaupun sebenarnya ia tidak melakukan jarimah.113
c) Sanksi ta‟zir yang berkaitan dengan harta.
Fuqaha berbeda pendapat tentang dibolehkannya
hukuman ta‟zir dengan cara mengambil harta. Menurut Imam
Abu Hanifah dan diikuti oleh muridnya, Muhammad bin
Hasan bahwa hukuman ta‟zir dengan cara mengambil harta
113
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Amzah, 2016). h., 105
69
tidak dibolehkan. Akan tetapi, Imam Malik, Imam Syafi‟i,
Imam Ahmad bin Hambal, serta Imam Abu Yusuf
membolehkannya apabila dipandang memabwa maslahat. 114
Hukuman ta‟zir dengan mengambil harta bukan berarti
mengambil harta pelaku untuk diri hakim atau khas negara.
Melainkan hanya untuk sementara waktu. Apabila ada pelaku
tidak bisa diharapkan untuk bertobat, hakim dapat men-
tasharruf-kan (memanfaatkan) harta tersebut untuk
kepentingan yang mengandung maslahat.115
c) Sanksi ta‟zir dalam bentuk lain
Selain hukuman-hukuman ta‟zir yang telah disebutkan
diatas, ada beberapa bentuk sanksi ta‟zir lainnya, yaitu
(1) Peringatan keras,
(2) Dihadirkan di hadapan sidang,
(3) Nasihat,
(4) Celaan,
(5) Pengucilan,
(6) Pemecatan, dan
(7) Pengumuman kesalahaan secara terbuka, seperti
diberitakan di media cetak dan elektronik.116
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sanksi ta‟zir sangat
beragam, mulai yang paling ringan, seperti pemecatan, hingga paling
berat, seperti hukuman mati. Oleh sebab itu, tindakan korupsi termasuk
114
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Amzah, 2016). h., 107 115
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Amzah, 2016). h., 107 116
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Amzah, 2016). h., 110
70
ke dalam ranah jarimah ta‟zir agar dapat disesuaikan dengan besar atau
kecilnya harta yang dikorupsi dan seberapa banyak kerugian negara.117
Setelah dilihat ketiga ruang lingkup hukum pidana Islam, yaitu
jarimah qisas, hudud, dan ta‟zir, ketiga itu memiliki porsi masing-masing,
dilihat dari pengertiannya qisas adalah menjatuhkan sanksi hukum kepada
pelaku tindak pidana sama persis dengan tindak pidana yang dilakukan,
dan yang dikategorikan kedalam qisas yaitu pembunuhan dan
penganiayaan.
Selanjutnya adalah jarimah hudud , jarimah hudud diartikan sebagai
jarimah yang diancam dengan hukuman had, dan had adalah ancaman
hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlahnya, serta menjadi hak
Allah, tidak boleh ditunda tampa alasan yang jelas , ditambah atau
dikurangi, dan terdapat tujuh macam jarimah yang diberlakukan kedalam
hukuman hudud, diantaranya, zina, menududuh orang lain berzina,
khamar, pemberontakan, murtad, pencurian dan perampokan.
Terakhir yaitu jarimah ta‟zir berbeda dengan qisas dan hudud,
bentuk sanksi ta‟zir tidak disebutkan secara tegas di dalam Al-Quran dan
hadis. Untuk menentukan jenis dan ukurannya menjadi wewenang hakim
atau penguasa dan yang tergolong kedalam jarimah ta‟zir ini sangat
banyak sesuai dengan pemasalahan yang terjadi seiring dengan
perkembangan zaman.
Berkenaan dengan permasalahan yang penulis angkat yaitu
pencurian ikan (illegal fishing), dalam penjatuhan hukumannya, setelah
dilihat dari ketiga ruang lingkup hukum pidana Islam diatas, pencurian
ikan (illegal fishing) digolongkan kepada jarimah ta‟zir. Karena secara
tegas tidak diatur di dalam Al-Quran dan Hadis.
117
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Amzah, 2016). h., 110
71
4. Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Illegal Fishing di dalam Islam
Lautan dengan segala isinya adalah karunia dan anugerah yang
sangat besar diberikan tuhan kepada manusia di atas bumi ini, dan tentu
itu sangat beragam baik itu makanan yang mengandung gizi tinggi
ataupun benda-benda lain yang bisa di mamfaatkan. Apapun yang ada di
dalam laut Allah tentu itu semuanya sangat berharga, mutiara misalnya
yang mempunyai nilai perhiasan sangat mahal. Firman Allah SWT di
dalam Q.s. Al-Maidah (5): 96 :
ذ أحم ذ ۥوغؼبيه نجحش ٱنكى ص كى ص و ػه بسح وحش ؼب نكى ونهغ يب نجش ٱيت
ٱ تقىا ٱديتى حشيب و ٱ لل نز ه تحششو ١إن
Artinya : “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang
berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-
orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap)
binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah
kepada Allah Yang kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan”.
Tidak berlebihan dan juga tidak merusak apa yang Allah berikan.
Bahkan Allah juga memberikan kemudahan untuk menangkap hewan
yang dikehendakinya dan kemudian menguji manusia dengan sesuatu dari
hewan yang ditangkapnya, padahal hewan itu sangat mudah didapatkan
oleh tangan manusia atau tombak yang dimiliki, tapi semua itu
mempunyai aturan yang sudah berlaku dan tidak bisa dilakukan
seenaknya.
72
Seperti yang telah dijelaskan bahwa Illegal Fishing adalah suatu
kegiatan penangkapan ikan yang telah melanggar ketentuan yang berlaku,
seperti undang-undang No 45 Tahun 2009 tentang perikanan yang
menyebutkan bahwa penangkapan ikan adalah kegiatan untuk
memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan
dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan menggunakan kapal
untuki memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani,
mengolah, dan/atau mengawetkan. 118
Jadi semua mekanisme penangkapan ikan di wilayah hukum
perairan Indonesia harus sesuai dengan UU, jika tidak kegiatan
penangkapan ikan itu bisa disebut dengan perampokan, yaitu
perampokan aset negara.
118
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. h., 3.
73
BAB IV
ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN DALAM PERKARA No.
06/PID.SUS-PERIKANAN/2015/PN.,JKT.UTR.
A. Duduk Perkara Dalam Putusan Dalam Perkara No 06/Pid.Sus-
Perikanan/2015/PN.,Jkt.Utr.
1. Kronologi Peristiwa Atau Kejadian
Dalam perkara ini, kasus Illegal Fishing bukan permasalahan
baru yang terjadi di perairan indonesia, dan itu berbagai macam ada yang
dilakukan oleh nelayan asing dan ada juga dilakukan oleh nelayan yang
berasal dari Indonesia sendiri. Pada kali ini dari putusan yang di ambil
tindak pidana ini dilakukan oleh nelayan yang berasal dari Negara
Indonesia sendiri.
Berawal dari hari Sabtu tanggal 19 Maret 2015 sekitar pukul
16.30 WIB atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Maret
2015. Bertempat di perairan Tanjung Sedari (Laut Jawa) pada posisi 05°
53 02..0” LS-107° 22‟ 29.7” BT, atau setidak-tidaknya wilayah Hukum
Pengadilan Perikanan Jakarta Utara, yang berwenang untuk mengadili
perkara ini, melakukan tindak pidana “memiliki dan atau mengoperasikan
kapal penangkap ikan berbendera Indonesia, melakukan penangkapan
ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dan atau di
laut lepas, yang tidak memiliki SIPI”, yang dilakukan dengan cara
sebagai berikut ; 119
119
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor: 06/Pid.Sus
Perikanan/2015/PN.Jkt.Utr. h.3
74
Bermula dari saksi Agung Yanuar Priambodo bersama-sama
dengan anggota timnya yang lain (saksi Surono dan Bambang
Priambodo), yang merupakan pengawas sumber daya kelautan dan
perikanan di daerah operasi laut Utara jawa dan lampung, melaksanakan
operasi rutin pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan dengan
menggunakan kapal pengawas Takalamungan. Pada saat melakukan
pengawasan tersebut, KM Takalamungan mendeteksi KM ulam Sari pada
posisi 5° 53‟ 05.3” LS - 107° 10.0” BT dengan arah baringan 97° pada
tanggal 19 Maret 2015 sekitar pukul 15.30 WIB. Pada pukul 16.00 KP
Takalamungan melakukan pengejaran terhadap KM Ulam Sari dan
berhasil melakukan penghentian terhadap KM Ulam Sari pada waktu dan
tempat kejadian. Setelah melakukan penghentian terhadap KM Ulam Sari,
saksi melakukan pemeriksaan terhadap terhadap KM Ulam Sari yang
merupakan kapal penangkap ikan berbahan dasar kayu dengan berat kotor
18 GT dan tertulis nama Wisma Karya di badan kapal yang dinahkodai
oleh Abdul Kholik dengan membawa 12 (dua belas) Anak Buah Kapal
(ABK). Dari hasil pemeriksaan terhadap dokumen KM Ulam Sari
tersebut, para saksi hanya menemukan PAS Tahunan kapal penangkap
ikan an KM Ulam Sari, Sertifikat Kelaikan dan pengawakan kapal
penangkap ikan No. PK 674/I/9/KPL.BRS.2011 an. KMN Ulam Sari,
surat ketatapan kecakapan 30 mil No.684/I/09/Kpl-Pak-2007 an Abdul
Kholik bin Daurip, Gross Akte an KM Ulam Sari. Adapun surat izin
penangkapan ikan merupakan persyaratan wajib yang harus dimiliki kapal
ikan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia tidak ada. Tidak hanya itu
pada saat melakukan pemeriksaan Nahkoda dan ABK dari kapal KM
Ulam Sari menggunakan 1 (satu) unit alat penangkap ikan Jaring
Cantrang untuk melakukan penangkapan ikan, terhintung sejak tahun
2015 alat tangkap yang digunakan atau di pakai oleh nahkoda saat
75
menangkap ikan itu sudah dilarang digunakan dalam menangkap ikan di
wilayah perairan Indonesia, karena alat tersebut dapat merusak
keberlanjutan sumber daya ikan yang ada di laut, dan dari keterangan
yang diambil bahwa alat penangkap ikan jenis Cantrang itu sudah
digunakan KM Ulam Sari sejak 12 Maret 2015 dan telah menghasilkan
kurang lebih 2 (dua) ton ikan dengan jenis Kurisi, Kakap merah, ikan
Buntal, ikan Gerok, Petek, Kembung, Layur dan Cucut. Disaat
pemeriksaan berlangsung para petugas hanya menemukan PAS Tahunan
kapal penangkap ikan KM Ulam Sari, sertifikat kelaikan, dan
pengawakan kapal penangkap ikan, surat kecakapan 30 mil, bahwa
ternyata selain tidak membawa dan memiliki SIPI, terdakwa tidak juga
mempunyai surat persetujuan berlayar (SPB) dari Syahbandar pelabuhan
perikanan Blanakan, tempat dimana berangkatnya KM Ulam Sari padahal
surat persetujuan berlayar merupakan syarat yang mutlak yang harus
dimiliki Nahkoda kapal penangkap ikan jika berlayar melakukan
penangkapan ikan di pelabuhan perikanan.
2. Dakwaan dan Tuntutan Jaksa
Bahwa terdakwa Abdul Kholik didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum
karena telah terbukti melakukan tindak pidana di bidang perikanan yang
melanggar beberapa pasal diantaranya adalah dalam Pasal 93 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, Pasal 85 Undang-
Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan Jo pasal 2 Peraturan Mentri
Kelautan dan Perikanan Nomor 2/PERMEN-KP/2015 Tentang
Penggunaan Alat Penangkap Ikan Pukat Hela (trawls) dan Pukat Tarik
(seine nets) di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
76
Indonesia, dan Pasal 98 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang
Perikanan.
Dari ketiga pasal yang yang dituntutkan Jaksa Penuntut Umum kepada
terdakwa semuanya sudah dipastikan jaksa penuntut Umum bahwa
terdakwa Abdul Kholik melakukan tindak pidana tersebut dan dinyatakan
bersalah. Sebagaimana tuntutan Jaksa Penuntut Umum tersebut dan
haruslah dijatuhi hukuman kepada terdakwa atas perbuatan yang telah
dilakukannya, dengan adil, rasa kemanusian dan kepastian hakim.
B. Pertimbangan Hakim Pada Putusan Dalam Perkara No 06/Pid.Sus-
Perikanan/2015/PN.,Jkt.Utr.
1. Pertimbangan Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang berwenang mengadili kasus ini,
yaitu dalam perkara No 06/Pid.Sus-Perikanan/2015/PN.,Jkt.Utr. dari awal
perkara ini masuk kedalam ranah pengadilan sampai kepada proses
persidangan, setelah mendengar pembacaan surat dakwaan, keterangan
saksi-saksi dan terdakwa dan juga melihat dan mengamati barang bukti
yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, menimbang, selanjutnya
Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah berdasrkan fakta-fakta
hukum tersebut diatas, pelaku dinyatakan telah melakukan tindak pidana
perikanan sesuai yang didakwakan kepadanya.
Menimbang selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan
apakah berdasarkan fakta-fakta hukum yang diuraikan diatas, terdakwa
melakukan perbuatan sebagaimana diuraikan dalam surat dakwaan
Penuntut Umum dan akan mempertimbangkan sebagai berikut;
77
Menimbang, bahwa terdakwa telah didakwa Penuntut Umum dengan
dakwaan komulatif, yaitu;
a. Dakwaan kesatu melanggar Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004;
b. Dakwaan kedua melanggar pasal 85 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan Jo Pasal 2
Peraturan Mentri Kelautan dan Perikanan Nomor 2/PERMEN-
/KP2015 Tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan
Pukat Hela (trawls) dan Pukat Tarik (seines nets) di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.
c. Dakwaan ketiga melanggar Pasal 98 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004.120
Menimbang, bahwa dakwaan kesatu melanggar Pasal 93 ayat (1)
Undang-Undang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun
2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004,
yang unsur-unsurnya sebagai berikut :
a. Setiap orang;
b. Memiliki dan/atau mengoprasikan kapal penangkap ikan
berbendera Indonesia;
c. Melakukan penangkapan ikan;
120
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor: 06/Pid.Sus
Perikanan/2015/PN.Jkt.Utr. h. 15
78
d. Di wilayah pengelolaan Perikanan Republik Indonesia dan/atau
laut lepas;
e. Tidak memiliki SIPI;
Menimbang, bahwa terhadap unsur-unsur tersebut di atas Majelis
Hakim mempertimbangkan sebagai berikut:
Ad.1 Unsur “setiap orang”;
Menimbang bahwa yang dimaksud dengan setiap orang adalah siapa
saja sebagai subyek hukum yang mengemban hak dan kewajiban baik
perorangan maupun badan hukum yang telah melakukan suatu perbuatan
pidana dan diancam dengan Undang-Undang yang dapat dimintakan
pertanggungjawabannya di hadapan hukum.
Menimbang bahwa selama pemeriksaan di persidangan terdakwa
mengaku dalam keadaan sehat, baik jasmani maupun rokhani, serta
Majelis Hakim tidak menemukan alasan pembenar dan alasan pemaaf
atas perbuatan terdakwa, oleh karenanya Majelis Hakim memandang
bahwa terdakwa dapat dimintakan pertanggungjawabannya di hadapan
hukum atas perbuatannya. Menimbang bahwa demikian unsur “setiap
unsur” telah terpenuhi sah menurut hukum;
Ad.2 Unsur “memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkapan ikan
berbendera Indonesia”:
Menimbang bahwa dalam unsur ini terdapat sub unsur memiliki
dan/atau mengoperasikan dan sub unsur ini bersifat alternatif (dan/atau)
artinya salah satu sub unsur tersebut dapat terpenuhi maka unsur tersebut
terpenuhi. Menimbang bahwa KM ULAM SARI adalah kapal perikanan
jenis kapal penangkap ikan berukuran 18 GT dan berbendera Indonesia
sebagaimana tertera dalam Surat Pas Tahunan dan Surat Kelaikan dan
79
Pengawakan Kapal atas nama KM ULAM SARI yang ditertibkan
Syahbandar.
Menimbang bahwa terdakwa ABDUL KHALIK selaku nahkoda telah
malakukan penangkapan ikan dengan mengoperasikan KM ULAM SARI,
berangkat dari pangkalan pendaratan ikan (PPI) Blanakan, Indramayu
Jawa Barat, menuju perairan Tanjung Sedari Perairan Utara Laut Jawa.
Menimbang bahwa KM ULAM SARI dalam pelayaran dalam
penagkapan ikan menggunakan alat penangkapan ikan jenis jaring
cantrang, dengan anak buah kapal sebanyak 12 (dua belas) orang,
termasuk Nahkoda. Menimbang bahwa dengan demikian unsur
mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia digunakan
untuk melakukan penangkapan ikan telah terpenuhi secara sah menurut
hukum.121
Ad.3 unsur melakukan penangkapan ikan:
Menimbang bahwa yang dimaksud dengan “melakukan penangkapan
ikan” adalah kegiatan untuk memperoleh ikan diperairan yang tidak
dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk
kegaiatan dengan menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,
menyimpan, mendinginkan, menangani, mengelola, dan atau
mengawetkannya. Menimbang bahwa KM Ulam Sari saat ditangkap KP
Takalamunga, pada hari kamis 19 maret 2015 pukul 16.30 WIB, sedang
melakukan kegiatan penangkapan ikan berupa Jaring Cantrang yang mana
pada saat ditangkap sedang diturunkan oleh anak buah kapal (ABK) KM
Ulam Sari.
Menimbang bahwa berdasarkan keterangan saksi, terdakwa bahwa
ikan yang telah berhasil dijaring KM ULAM SARI jenis campuran
121
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor: 06/Pid.Sus Perikanan/2015/PN.Jkt.Utr. h. 17
80
seberat 2 ton. Menimbang bahwa barang bukti berupa ikan telah dijual
lelang oleh Penyidik dan laku sejumlah Rp.2.750.000 (dua juta tujuh ratus
lima puluh ribu rupiah), dan alat penangkapan ikan jenis cantrang,
Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa telah terbukti melakukan
penangkapan ikan. Menimbang bahwa dengan demikian unsur
“melakukan penangkapan ikan” telah terpenuhi secara hukum.
Ad.4 Unsur “di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
dan/laut lepas”
Menimbang bahwa dalam unsur pengelolaan perikanan Republik
Indonesia dan/atau laut lepas terdiri dari dua sub unsur yang bersifat
alternatif (dan/atau) artinya salah satu sub unsur merupakan bagian dari
unsur tersebut dapat terpenuhi maka unsur tersebut cukup terpenuhi.
Menimbang bahwa yang akan dibuktikan dalam unsur ini adalah sub
unsur Wilayah Pengolaan Perikanan Republik Indonesia.
Menimbang bahwa KM Ulam Sari yang di nahkodai oleh terdakwa
melakukan penangkapan ikan di perairan Utara laut Jawa dan pada saat
ditangkap Kapal Pengawas Perikanan KP Takalamungan di perairan
Utara Laut Jawa pada posisi koordinat 05° 53‟ 02,0” LS-107° 22‟ 29,7”
BT.
Menimbang, bahwa perairan Utara Laut Jawa pada lokasi/posisi
koordinat 05° 53‟ 02,0” LS-107° 22‟ 29,7” BT tempat ditangkap KM
Ulam Sari adalah termasuk laut jawa yang merupakan Wilayah
Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPPRI) sebagaimana pasal
1 angka 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009
tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan Jo pasal 5 ayat 1 huruf b Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan, dan
81
peraturan menteri kelautan Nomor PER.01/MEN/2009 tentang wilaayah
pengelolaan perikana Republik Indonesia, termasuk wilayah perikanan
republik Indoensia 712.122
Menimbang bahwa dengan demikian unsur
wilayah pengelolaan perikana Republik Indonesia dan/atau telah
terpenuhi secara sah menurut hukum.
Ad.5 Unsur “tidak memiliki SIPI”
Menimbang, bahwa dari keterangan para saksi penangkap ikan dan
terdakwa pada saat KM Ulam Sari diadakan pemeriksaan terhadap
kelengkapan dokumen, ternyata KM Ulam Sari tidak memiliki SIPI
sebagai kapal penangkap ikan yang melakukan kegiatan perikanan di
Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Menimbang bahwa
dengan demikian unsur “tidak memiliki SIPI” telah terpenuhi secara sah
menurut hukum.
Menimbang, bahwa berdasarkan rangkaian peritmbangan hakim
tersebut, ternyata seluruh unsur dari Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan
sebagaimana dakwaan kesatu tersebut telah terpenuhi secara sah menurut
hukum, oleh karenanya Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan
penangkapan ikan di wilayah perikanan Republik Indonesia, tidak
memiliki surat izin penangkapan ikan (SIPI).
122
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor: 06/Pid.Sus
Perikanan/2015/PN.Jkt.Utr. h. 18
82
Menimbang, bahwa selanjutnya majelis hakim akan
mempertimbangkan dakwaan kedua melanggar pasal 85 Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan Jo pasal 2
peraturan menteri kelautan dan perikanan Nomor 2/PERMEN-KP/2015
Tentang Larangan penggunaan Alat penangkapan ikan Pukat Hela
(trawlsi) dan Pukat Tarik (seines nets) di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia yang unsur-unsurnya sebagi berikut :
a. Setiap orang;
b. Memiliki, menguasai, dan/atau menggunakan alat tangkap dan/atau
alat bantu penangkap ikan yang mengganggu dan merusak
keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan;
c. Di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia.
Menimbang bahwa terhadap unsur-unsur tersebut, Majelis hakim
akan mempertimbangkannya sebagai berikut :
Ad 1 unsur “setiap orang”
Menimbang bahwa yang dimaksud “setiap orang” telah diuraikan,
dipertimbangkan dalam dakwaan kesatu, maka pertimbangan tersebut
berlaku pula dalam mempertimbangkan pembuktian unsur setiap orang
(mutatis metandis) terhadap dakwaan kedua ini. Menimbang bahwa
berdasarkan pertimbangan dalam uraian tersebut maka Majelis Hakim
berpendapat bahwa unsur setiap orang telah terpenuhi dan terbukti secara
sah menurut hukum.
83
Ad 2. Unsur “memiliki, menguasai, membawa, dan atau menggunakan
alat penangkap dan atau alat bantu penangkap ikan yang mengganggu dan
merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan”.
Menimbang bahwa dari keterangan para saksi, sejak tiba di perairan
Tanjung sedari sampai dengan ditangkap oleh KP Takalamungan, KM
ULAM SARI telah melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan
menggunakan alat penangkap ikan Jaring Cantrang. Menimbang bahwa
berdasarkan peraturan menteri kelautan dan perikanan Nomor
2/PERMEN-KP/2015, Tentang larangan penggunaan alat penangkap ikan
Pukat Hela (trawls) dan Pukat Tarik (seince nets) di wilayah pengelolaan
negara Republik Indonesia.
Menimbang bahwa peraturan menteri kelautan dan perikanan nomor
42/PERMEN-KP/2013 perubahan keempat peraturan menteri kelautan
dan perikanan Nomor PER.02/MEN/2011 Tentang jalur penangkapan
ikan dan penempatan alat bantu penangkapan ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Republik Indonesia. Menimbang bahwa peraturan
menteri kelautan dan perikanan Nomor 18/PERMEN-KP/2013
merupakan perubahan ketiga atas peraturan mentri kelautan dan
perikanan Nomor PER.02/MEN/2011 tentang jalur penangkapan ikan dan
penempatan alat bantu penangkapan ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Republik Indonesia.
Menimbang bahwa peraturan menteri kelautan dan perikanan nomor
PER.05/MEN/2012 merupakan perubahan kedua atas peraturan Menteri
Kelautan dan perikanan Nomor PER.02/MEN/2011 tentang jalur
penangkapan ikan dan penempatan alat bantu penangkapan ikan di
wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Menimbang
bahwa dalam peraturan mentri kelautan dan perikanan nomor
84
02/MEN/2011 tersebut di atas yang telah 4 (empat) kali dirubah, Pukat
Tarik (seine nets) berkapal dalam jenis : Dogol, Scottish seines, Pai
seines, Payang, Cantrang, dan Lampara dasar, bukan tergolong yang
merusak sumber daya ikan karena di beberapa tempat diijinkan di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Menimbang bahwa
berdasrkan pertimbangkan pertimbangan tersebut diatas, maka unsur ad.2
“menggunakan alat penangkap ikan yang mengganggu dan merusak
keberlanjutan sumber daya ikan” telah terpenuhi secara sah menurut
hukum.
Ad 3 Unsur “di wilayah pengelolaan perikanan Republik indonesia”.
Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan
mempertimbangkan dakwaan ketiga melanggar pasal 98 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 Tentang perikanan, yang unsur-
unsurnya adalah sebagai berikut :
a. Nahkoda Kapal Perikanan
b. Tidak memiliki surat persetujuan berlayar
Ad 1. Unsur “nahkoda kapal perikanan”:
Menimbang, bahwa dari keterangan para saksi terdakwa, serta
diperkuat pula dengan adanya barang berupa dokumen yang ada di atas
kapal KM Ulam Sari bahwa benar terdakwa Abdul Kholik adalah
Nahkoda kapal perikanan. Menimbang, dengan demikian unsur nahkoda
kapal perikanan telah terpenuhi secara sah menurut hukum.
Ad 2. Unsur “tidak memiliki surat persetujuan berlayar”
Menimbang bahwa dari keterangan para saksi dan terdakwa pada saat
ditangkap dan setelah pemeriksaan ternyata KM Ulam Sari dengan
85
nahkoda terdakwa Abdul Kholik, ternyata tidak dilengkapi dengan surat
persetujuan berlayar. Menimbang, bahwa dari pertimbangan tersebut di
atas ternyata semua unsur dakwaan ketiga telah terpenuhi secara hukum.
Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hakim dakwaan
ketiga tersebut, maka terdakwa harus dinyatakan telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “nahkoda kapal
perikanan yang tidak memiliki surat persetujuan berlayar” telah terpenuhi
secara sah menurut hukum. Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa
telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana, di persidangan majelis
hakim tidak mendapatkan alasan pemaaf maupun pembenar yang dapt
menghapuskan kesalahan terdakwa, maka terdakwa haruslah
mempertanggung-jawaban secara hukum, untuk terdakwa haruslah
dijatuhi pidana yang setimpal sesuai dengan kesalahannya.
Menimbang bahwa majelis hakim berpendapat bahwa hukuman
berupa pidana penjara dan pidana denda yang akan dijatuhkan terhadap
terdakwa adalah jenis pidana yang patut dan wajar serta setimpal dengan
pelanggaran yang dilakukan terdawa dan sesuai dengan rasa keadilan.
Menimbang, bahwa lamanya pidana penjara dan besarnya denda yang
akan dijatuhkan kepada terdakwa, majelis hakim tidak sepakat dengan
tuntuan Jaksa Penuntu Umum, sehingga majelis hakim akan menjatuhkan
pidana penjara dan denda sesuai dengan tingkat kesalahan terdakwa
dengan mengingat hal-hal yang meringankan terdakwa.
Menimbang, bahwa dalam perkara ini terhadap terdakwa pernah
dikenakan penahanan kota, maka masa penahanan tersebut harus
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Menimbang, bahwa
barang bukti dalam perkara terdakwa, Majelis Hakim tidak sepenuhnya
86
sepakat dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, dan akan
mempertimbangkan sendiri terhadap barang bukti.
Menimbang, bahwa barang bukti berupa kapal KM ULAM SARI yang
merupakan alat untuk mencari nafkah satu-satunya bagi terdakwa dan
para anak buah kapal (ABK), karena terdakwa dengan mandiri
menyiapkan lapangan kerja bagi nelayan yang berarti pula memberantas
kemiskinan bagi nelayan serta menumbuhkan kesejahteraan nelayan,
maka ditetapkan agar bukti tersebut diserahkan kembali kepada
pemiliknya dalam hal ini adalah terdakwa Abdul Kholik. Menimbang
bahwa barang bukti berupa uang hasil penjualan lelang sejumlah
Rp.2.750.000 (dua juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) harus
dinyatakan dirampas untuk negara.
Menimbang bahwa barang bukti jenis alat penangkap ikan yang
digunakan oleh KM ULAM SARI adalah Jaring Cantrang, termasuk jenis
alat penangkap ikan yang dilarang digunakan untuk menangkap ikan
berdasarkan peraturan menteri kelautan dan perikanan nomor
2/PERMEN-KP/2015, maka harus dimusnahkan. Menimbang bahwa
barang berupa surat keterangan kecakapan (SKK) 30 Mil atas nama
Abduk Kholik merupakan Sertifikat Kecakapan/keahlian yang dimiliki
terdakwa selaku nahkoda kapal penangkap ikan, maka SKK tersebut
dikembalikan kepada Nahkoda Kapal.
Menimbang, sebelum pengadilan menjatuhkan pidana terhadap
terdakwa, perlu dipertimbangkan terlebih dahulu hal-hal yang meberatkan
dan hal-hal yang meringankan terdakwa:
Terdakwa;
Hal-hal yang memberatkan:
87
a. Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah
dalam memberantas Illegal Fishing.
Hal-hal yang meringankan:
a. Terdakwa sudah berusaha untuk mengurus surat izin
penangkapan ikan;
b. Terdakwa yang melakukan pekerjaan sebagai nelayan,
merupakan pekerjaan satu-satunya bagi terdakwa dan
keluarganya;
c. Terdakwa bisa menampung tenaga kerja 11 (sebelas) orang;
d. Terdakwa sopan dan mengakui terus terang perbuatanya;
e. Terdakwa belum pernah dihukum.
Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa dijatuhi pidana maka
haruslah dibebani pula untuk membayar biaya perkara. Memperhatikan
pasal 93 ayat (1), pasal 85, dan pasal 98 dan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan, Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang kitab Undang-
Undang Hukum acara Pidana serta peraturan perundang-undangan lain
yang bersangkutan.
2. Amar Putusan
Dalam amar putusan Nomor 06/Pid.Sus-Perikanan/2015/PN.Jkt.Utr
mengenai tindak pidana perikanan atau Illegal Fishing adalah sebagai
berikut :
88
MENGADILI
1. Menyatakan Abdul Kholik, terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana perikanan yaitu pertama :
“mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia
melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia tidak memiliki surat izin penangkapanan ikan
(SIPI)”, kedua: “dengan sengaja menggunakan alat penangkap
ikan yang dilarang yang mengakibatkan menurunnya sumber daya
ikan dan mengancam kelestarian lingkungan sumber daya ikan di
kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan Republik Indonesia”
dan ketiga: “nahkoda kapal perikanan yang tidak memiliki surat
persetujuan berlayar (SPB);
2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Abdul Kholik oleh karena
itu dengan pidana penajara selama 1 (satu) tahun dan pidana denda
sejumlah Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah), dengan ketentuan
apabila pidana denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan
kurungan selama 1 (satu) bulan;
3. Menetapkan masa penahanan kota yang telah dijalani terdakwa
dikurangi seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan;
4. Menetapkan barang bukti berupa :
a. 1 (satu) unit KM Ulam Sari ukuran 18 (delapan belas) GT,
bahan Kasko Kayu;
b. Surat-surat dokumen kapal KM Ulam Sari yaitu :
1). 1 (satu) lembar asli pas tahunan kapal perikanan a.n KM
ULAM SARI Nomor Unit 341 Kantor ADPEL Cirebon Nomor
Folio 128 Buku Register III;
2). 1 (satu) lembar sertifikat kelaikan dan pengawakan kapal
penangkap ikan Nomor: PK.647/I/9/KPL.BRS.2011UUP;
89
3). 1 (satu) buah Gros Akte pendaftaran kapal Nomor 1211 a.n
Daurip bin Bakti :
Dikembalikan kepada pemiliknya Daurip bin Bakti melalui
terdakwa Abdul Kholik
c. 1 (satu) lembar asli surat keterangan kecakapan (30 mil) atas
nama Abdul Kholik Nomor.PK.684/I/II/Kplk-pmk-10, tanggal
17 Februari 2010. Dikembalikan kepada terdakwa yaitu Abdul
Kholik.
d. 1 (satu) unit Jaring Cantrang.
Dirampas untuk dimusnahkan
e. Uang tunai sejumlah Rp 2.750.000,00 (dua juta tujuh ratus
lima puluh ribu rupiah).
Dirampas untuk negara.
5. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara
sejumlah Rp. 5.000,00 (lima ribu rupiah).
C. Kajian dalam Perspektif Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009
Indonesia sebagai negara kepulauan, sehingga Indonesia juga termasuk negara
maritim karena memiliki laut yang begitu luas. Sebagai negara kepualauan jadi
masyarakat terkhusus yang tinggal di daerah pesisir sudah tidak asing lagi
dengan lautan, begitu juga dengan historis masyarakat Indonesia yang sangat
terkenal sebagai bangsa pelaut, dengan laut negara kita yang begitu luas dapat
dimanfaatkan lautan tersebut demi mencapai kemakmuran negara.
Kekayaan alam juga terdapat di laut termasuk di dasar laut. Namun sayangnya
kekayaan alam tersebut belum dapat dimanfaatkan dan dikelola secara maksimal.
Seperti dikatakan oleh Susanto Zuhdi seorang guru besar fakultas Ilmu Budidaya
UI, bahwa Indonesia saat ini belum memakai potensi kelautan secara optimal,
90
karena pembangunan yang dilakukan pemerintah selama ini masih berorientasi
pada daratan dan belum memandang laut sebagai komponen utama.123
Dari sedikitnya persentase masyarakat Indonesia yang memanfaatkan sumber
daya yang ada di laut Indonesia namun tidak sedikit yang melakukan tindak
pidana di bidang perikanan. Tindak pidana ini tidak hanya dilakukan oleh
nelayan asing memalinkan dari nelayan lokal sekalipun juga banyak. Jadi apa
yang dikatakan oleh Susanto Zuhdi diatas tidak menjadi hambatan bagi mereka
yang beraktifitas di lautan.
Pembahasan diatas sedikit pengantar bagaimana daerah laut yang ada di
Indonesia. Untuk bidang perikanan, negara telah membentuk peraturan atau
pembahasan undang-undang sejak tahun 1985. Kemudian peraturan tersebut
diganti pada tahun 2004 dan dilakukan perubahan lagi pada tahun 2009 dengan
mengikuti perkembangan zaman dan kemajuan IPTEK (ilmu pengetahuan dan
teknologi) agar dapat dilaksanakan.124
Hukum yang baik ialah dapat diterima masyarakat dan sebaliknya masyarakat
akan melaksankan hukum sesuai dengan kesadaran hukumnya. Diharapkan
dengan peraturan tersebut dapat mengatasi persoalan-persoalan yang ada di
Indonesia.125
Apabila telah terlaksanakannya hal demikian dengan sebaik-
baiknya tentu tidak akan terjadi lagi tindak pidana dalam bidang apapun
terkhusus tindak pidanan bidang perikanan.
123
Gatot Supramono, Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana Bidang Perikanan,
(Jakarta, Rineka Cipta, 2011), h., 2 124
Gatot Supramono, Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana Bidang Perikanan,
(Jakarta, Rineka Cipta, 2011), h., 4 125
Gatot Supramono, Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana Bidang Perikanan,
(Jakarta, Rineka Cipta, 2011), h., 4
91
Terhadap pelanggaran-pelanggaran perikanan terutama dalam bidang pidana,
berdasarkan peraturan perikanan telah dibentuk pengadilan khusus mengenai
perikanan yang berada di pengadilan negeri dan saat ini sudah sebanyak tujuh
pengadilan perikanan, yaitu pengadilan negeri (PN) Jakarta Utara, PN Pontianak,
PN Medan, PN Belitung, PN Tual, PN Tanjung Pinang, dan PN Ranai.
Pengadilan perikanan dibentuk dengan tujuan untuk mempercepat penyelesaian
perkara dan yang mengadili adalah hakim-hakim khusus yang menguasai hukum
perikanan.126
Terdapat 3 jenis kejahatan di bidang perikanan lainnya yang saling berkaitan,
yakni pasal 92, 93, dan 94 UU Perikanan. Ketiga jenis kejahatan ini berkaitan
dengan izin di bidang perikanan, yakni SIUP, SIPI dan SIKPI. Pasal 92 mengatur
perbuatan pidana bagi “setiap orang‟ yang dengan “sengaja” melakukan usaha
perikanan tanpa SIUP. Kemudian, pasal 93 UU Perikanan mengatur perbuatan
pidana bagi “setiap orang” yang dengan kapal penangkap ikan di Wilayah
Perairan Perikanan Negara Republik Indonesia tanpa SIPI atau dengan
menggunakan SIPI Palsu. Kemudian pasal 94 mengatur mengenai kapal
pengangkut yang mengangkut ikan tanpa SIKPI.127
Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya laut di bidang perikanan tersebut
memerlukan aturan-aturan yang mendasarinya. Pada saat ini, Indonesia telah
memiliki Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan khusus
mengenai pengelolaan sumber daya perikanan, sudah ada aturanya pula yaitu
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan yang kemudian
mengalami perubahan dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009.
126
Michael Barama, Menuju Efektivitas UU No. 45 Tahun 2009 Perikanan Dalam
pelaksanaannya. Jurnal Hukum Unsrat, vol.22/No.6/ 2006. h,. 3 127
Muhammad Fatahillah Akbar, Koherensi Pengaturan Illegal, Unreported, and
Unregulated Fishing di Indonesia. Jurnal Rechts Vinding, Vol 8, Nomor 2, Agustus 2019, h,.
256.
92
Munculnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan yang
kemudian mengalami perubahan dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009
itu tidak terlepas dari pemasalahan kerugian negara yang begitu besar setiap
tahunnya akibat maraknya tindak pidana perikanan, dan terutama sekali adanya
praktik Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUU Fishing). Melihat
dari masalah tersebut maka muncul lah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
Tentang Perikanan yang kemudian mengalami perubahan dengan Undang-
Undang Nomor 45 Tahun 2009.
Uraian tentang urgensi perubahan UU No 31 Tahun 2004 menjadi UU No 49
Tahun 2009, sesuai pertimbangan dari UUD 1945, ada beberapa pasal yang
dirubah, tentu dalam hal ini yang berkaitan dengan masalah yang penulis angkat,
salah satu nya terdapat dalam pasal 9 yaitu mengenai memiliki, menguasai,
membawa alat penangkap ikan.
Di dalam pasal 9 UU No 45 Tahun 2009 ini terdapat dua ayat, yang mana
pasal 9 ayat (1) berbunyi, “setiap orang dilarang memiliki, menguasai,
membawa, dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak
keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Republik Indonesia”, ayat (2) ketentuan mengenai alat
penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan
merusak keberlanjutan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan peraturan menteri.128
Undang-Undang No 45 Tahun 2009 pasal 9 diatas sedikit pengantar mengenai
perubahan dari UU No 31 Tahun 2004 menjadi UU No 45 Tahun 2009 yang lebih
tepatnya pasal tersebut membahas tentang alat tangkap yang digunakan saat
merampas ikan. Pada permasalahan ini yang tertuang di dalam putusan No
06/Pid.Sus-Perikanan/2015/PN.,Jkt.Utr. disisni hakim memutus perkara
128
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.
93
berdasarkan tiga pasal yang dilanggar, yaitu, pasal 93 ayat (1), pasal 85 dan pasal
98, yang mana ketiga pasal tersebut lebih menekankan sanksi pidana bagi pelaku
Illegal Fishing.
Secara substansial, perubahan yang signifikan pada Undang-undang RI No.
45 tahun 2009 dibandingkan dengan Undnag-undang RI No. 31 tahun 2004 yang
terdahulu, adalah penekanan pada ketentuan sanksi pidana berat terhadap kapal
asing yang melakukan tindak pidana pencurian din Zona Ekonomi Ekslusif
Indonesia. Sejarah lainnya Undang-Undang RI No. 45 Tahun 2009 ini ada
tersirat bahwa undang-undnag terdahulu dirubah karena terdapat kekurangan.
Beberapa hal yang dapat kita cermati tentang perubahan-perubahan substansial
antara undnag-undnag nomor 31 tahun 2004 dengan Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 antara lain pada :129
1. Hal pembatasan penangkapan kapal penangkap ikan berbendera asing
tidak diperbolehkan menangkap ikan di Zona Ekonomi Eklusif Indonesia
tanpa memiliki Surat Izin Penangkapan ikan (SIPI) yang dikeluarkan oleh
pemerintahan Indonesia.
2. Zona Ekonomi Eklusif Indonesia (ZEEI). Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 93 tidak menyebutkan secara jelas
mengenai Zona Ekonomi Eklusif Indonesia (ZEEI), melainkan wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia. Melalui Undang-Undang RI
No.45 tahun 2009, penyebutan Zona Ekonomi Eklusif Indonesia sudah
sangat tegas dan jelas. Penegasan itu dapat dilihat pada Bab XV Ketentuan
Pidana Pasal 93 ayat (2) menyatakan, “setiap orang yang memiliki
dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing
melakukan penangkapan ikan di ZEEI yang tidak memiliki SIPI
sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (2), dipidana dengan penajara
129
Supriadi, Hukum Perikanan di Indonesia, (Jakarta, Sinar Grafika, 2011), h., 462
94
paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp.
20.000.000.000,- (dua puluh miliyar rupiah).
3. Hal kewenangan penyelididkan dan penyididkan yang di emban TNI-AL
dan Pegawai Negri Sipil Kementrian Kelautan dan perikanan.
Kewenangan besar bagi TNI-AL dan Penyidik Pegawai Negri Sipil
Kementrian Kelautan dan Perikanan yang diberikan Undang-Undang RI
No. 45 Tahun 2009 untuk mencegah dan memberantas pencurian ikan di
Zona Ekonomi Eklusif Indonesia (ZEEI), perairan Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia merupakan salah satu tugas berat yang
harus dilaksanakan. Dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya, penyidik
dan pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa
pembakaran dan atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera
asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
4. Putusan perampasan benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam
dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana pencurian ikan. Pasal 104 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan aras
undang-undang Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan digunakan untuk
menempatkan benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau
yang dihasilkan dari tindak pidana pencurian ikan menjadi rampasan
melalui putusan pengadilan.
5. Peran serta masyarakat diperlukan. Selain TNI-AL da n penyidik pegawai
negeri sipil kelautan dan perikanan dan penegak hukum lainnya, Undang-
undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perub ahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan, juga diikutsertakan masyarakat
untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eklusif Indonesia.
6. Tidak mementingkan unsur kesengajaan. Tindak pidana pencurian ikan di
perairan Zona Ekonomi Eklusif Indonesia “setiap orang memiliki dan/atau
mengoperasikan “dalam beberapa pasal Undang-undang Nomor 45 Tahun
95
2009 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang perikanan dengan tidak mempedulikan unsur kesengajaan, dapat
menjerat orang-orang yang memang sebenarnya tidak mempunyai niat
melakukan tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eklusif
Indonesia.
7. Penggunaan sistem pidana, penggunaan sistem pidana penajara terhadap
pelaku tindak pidana, pencurian ikan oleh nelayan asing di Zona Ekonomi
Eklusif Indonesia (ZEEI), wilayah pengelolaan Republik Indonesia tidak
diberlakukan. Penahanan pun tidak boleh dilakukan oleh penyidik. Ketika
ditangkap di tempat kejadian perkara, selanjutnya tersangka dibawa untuk
di proses dengan membuat berita acara pemeriksaan (BAP). Setelah
selesai diperiksa, tersangka harus secepatnya dipulangkan ke negara
asalnya tampa ditahan terlebih dahulu.
8. Persaman hukuman bagi percobaan dan tindak pidana sesuai Undang-
undang RI No. 25 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang RI
No. 31 tahun 2004 tentang perikanan menyamakan hukuman pidana bagi
pelaku tindak pidana selesai dengan palaku tindak pidana percobaan.
Tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eklusif Indonesia (ZEEI)
adalah suatu kejahatan karena perbuatan tersebut memiliki efek yang
sangat besar yaitu merugikan Negara lebih kurang 30 triliun rupiah per
tahun.
Dan ketentuan pidana yang diatur dalam Bab XV Undang-Undnag No
mor 45 Tahun 2009 tentang perubahan Undang-undang No 31 Tahun 2004
tentang perikanan dapat dikelompokan dari segi bentuk perbuatannya yaitu
kejahatan dan pelanggaran 1) bentuk perbuatan yang dikategorikan kejahatan
sebagaimana diatur dalam Pasal 84, 85, 86, 88, 91, 92, 93, dan 94A. 2) Bentuk
perbuatan yang dikategorikan pelanggaran sebagaimana diatur dalam pasal
87, 89, 90, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 100A, 100B, 100C, dan 100D. Klasifikasi
96
kejahatan dan pelanggaran dalam tindak pidana perikanan tersebut di atas
sesuai rumusan hukum pidana yang menyatakan hal-hal sebagai berikut:130
1. Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di
suatu Negara.
2. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana.
3. Hukum pidana menentukan perbuatan mana yang dipandang sebagai
perbuatan pidana
4. Beberapa pendapat tentang pengertian hukum pidana
5. Hal-hal yang perlu ditegaskan sehubungan pengertian kita kepada hukum
pidana. Berdasarkan rumusan tersebut, dalam tindak pidana perikanan
dapat dengan jelas terlihat apakah itu berupa kejahatan ataupun
penyelenggaraan yang dilakukan oleh pelaku tindak perikanan dapat
dengan jelas terlihat apakah itu berupa kejahatan ataupun pelanggaran
yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana pencurian ikan dan pidana apa
yang akan diberikan kepada pelanggar peraturan perikanan yang ada.
Untuk jenis hukuman pidana di bidang perikanan hanya mengenal pidana
pokok, sedangkan pidana tambahan tidak diatur di dalam UU Perikanan.
Mengenai pidana pokok yang dapat dijatuhkan hakim dalam perkara
perikanan berupa pidana penjara dan pidana denda. Meskipun UU Perikanan
tidak mengatur secara khusus pidana tambahan, namun hakim perikanan tetap
dapat menajtuhkan pidana tambahan berdasarkan pasal 10 KUHP tersebut.131
Hukuman pidana di bidang perikanan sebagian besar kumulatif, baik
ditujukan terhadap delik kejahatan maupun delik pelanggaran. Dalam
hukuman komulatif pidana badan (penjara) dengan pidana denda diterapkan
130
Michael Barama, Menuju Efektivitas UU No. 45 Tahun 2009 Perikanan Dalam
pelaksanaannya. Jurnal Hukum Unsrat, vol.22/No.6/ 2006. h,. 7-8 131
Michael Barama, Menuju Efektivitas UU No. 45 Tahun 2009 Perikanan Dalam
pelaksanaannya. Jurnal Hukum Unsrat, vol.22/No.6/ 2006. h,. 8
97
sekaligus. Di sini tidak ada alasan bagi hakim untuk tidak menjatuhkan kedua
pidana tersebut, juga hakim tidak dapat memilih salah satu hukuman untuk
dijatuhkan, melainkan wajib menjatuhkan pidana pokok kedua-duanya.132
D. Persamaan dan Perbedaan Putusan Dalam Perkara No 06/Pid.Sus-
Perikanan/2015/PN.,Jkt.Utr Dengan Hukum Islam
Syariat Islam telah mengatur bahwa seseorang yang telah melakukan
suatu tindak pidana, maka sanksi dan hukumannya harus dijatuhkan kepada
pelaku yang bersangkutan dan tidak dapat dikaitkan atau ditanggungkan
dengan siapapun baik itu keluarga, kerabat atau saudara. Hal ini sebagimana
Allah swt terangkan dalam (QS Al-Baqarah (2) 286) :
كهف ل هب يب ٱلل ب إل وعؼهب نهب يب كغجت وػه ٱكتغجت فغ
Artinya : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya
dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”
Dari ayat yang telah disebutkan diatas dapat kita pahami bahwa
hukuman pidana tidak dapat dialihkan kepada orang lain ataupun keluarga
terdakwa, sanksi hanya diberikan kepada pelaku yang melakukan perbuatan
pidana yang melanggar hukum. 133
Dibawah ini akan dijelaskan persamaan dan perbedaan antara Putusan
Pengadilan dan Hukum pidana Islam.
132
Michael Barama, Menuju Efektivitas UU No. 45 Tahun 2009 Perikanan Dalam
pelaksanaannya. Jurnal Hukum Unsrat, vol.22/No.6/ 2006. h,. 8 133
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 2005),
h., 87
98
1. Persamaan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan Hukum Pidana
Islam
Dalam agama Islam sendiri tindak pidana pencurian ikan (illegal
fishing) adalah perbuatan yang bertentangan dengan syara‟. Karena perbuatan
tersebut tergolong kepada perbuatan yang tercela. Tindak pidana pencurian
ikan (illegal fishing) sendiri di dalam Islam penajatuhan hukumannya
digolongkan kedalam ta‟zir. Berbeda dengan jarimah hudud dan qisas yang
kadar berat dan ringan hukumannya sudah di atur dalam nash Al-Quran dan
hadis. Akan tetapi tetap saja perbuatan pencurian ikan (illegal fishing)
termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama. Sesuai dengan tindak pidana
dalam putusan No 6/Pid.sus-Perikanan/2015.,PN.Jkt.Utr bentuk kejahatan
yang dilakukan yaitu menangkap ikan dengan menggunakan jaring Cantrang.
Jaring Cantrang yang dimaksud disini adalah alat tangkap yang
menyerupai kantong besar yang semakin mengerucut yang dioperasikan di
dasar perairan dengan target catch Ikan Demersal, ikan jenis ini memiliki
nilai ekonomis yang tinggi. Cantrang merupakan hasil modifikasi dari alat
tangkap jenis trawl. 134
yang mana alat tangkap ini mengakibatkan rusaknya
ekosistem dasar laut dan terhitung semenjak tahun 2015 Jaring Cantrang ini
sudah dilarang penggunaannya. Berbicara tentang kerusak ekosistem dasar
laut Allah menyebutkandi dalam (QS Ar-rum 41) :
ذ ث ٱنجحش و ٱنجش ف ٱنفغبد ظهش ب كغجت أ نزقهى ثؼط ٱنبط
ٱنز هىا نؼههى شجؼى ػ
134
Lukman Hakim nurhasanah, Cantrang, Masalah dan Solusinya, SeminarNasional
Riset Inovatif (SENARI), 2016, h., 217
99
Artinya : “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena
perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian
dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”
Berdasarkan ayat diatas bahwasanya kerusakan yang terjadi di darat
dan di laut diakibatkan oleh ulah tangan manusia, dalam hal ini merusak
ekosistem laut melalui penangkapan secara illegal. Secara Islam ini tidak
dapat di hukum hudud karena ruang lingkupnya berbeda. Dalam putusan No.
06/Pid.Sus-Perikanan/2015/PN.,Jkt,Utr pasal yang dilanggar tidak hanya satu
melainkan ada tiga pasal. Jadi dalam penjatuhan hukuman atau sanksi pidana
pencurian ikan diserahkan kepada hakim yang mengadili.
Sedangkan dalam putusan pengadilan No. 06/Pid.Sus-
Perikanan/2015/PN.,Jkt,Utr terhadap tindak pidana pencurian ikan (illegal
fishing) digolongkan ke dalam tindak pidana khusus. Semuanya terdapat
dalam dakwaan pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomoe 31 Tahun 2004, dakwaan kedua melanggar pasal 85 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomoe 31 Tahun 2004 tentang perikanan jo pasal
2 peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2/PERMEN-/KP/2015
Tentang larangan penggunaan Alat penangkapan ikan Pukat Hela (trawls) dan
Pukat Tarik (seines nets) di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia, dan dakwaan ketiga melanggar pasal 98 Undang-Undang Republik
Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomoe 31 Tahun 2004
tentang Perikanan.
100
Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan penjelasan diatas menunjukan
antara Putusan Mahkamah Agung dan Hukum pidana Islam memiliki
persamaan terhadap tindak pidana pencurian ikan di perairan Indonesia. Yaitu
sama-sama memiliki sanksi hukuman dan dasar hokum atas segala tindak
pidana pencurian ikan.
Dari ayat yang telah disebutkan di atas dapat kita Pahami bahwa
hukuman pidana tidak dapat dialihkan kepada orang lain ataupun keluarga
terdakwa, sanksi hanya diberikan kepada pelaku tindak pidana atau yang
melakukan perbuatan melawan hukum.135
Dan kali ini saudara Abdul Kholik
lah yang harus menjalankan hukuman tersebut.
2. Perbedaan Putusan Pengadilan dan Hukum Pidana Islam.
Dapat diketahui bahwa perbedaan yang ditemukan mengenai
perbuatan pencurian ikan (illegal fishing) dalam putusan pengadilan dengan
hukum pidana Islam adalah ketentuan sanksi hukuman walaupun keduanya
sama-sama menentang perbuatan perbuatan pidana.
Dalam hukum pidana Islam sendiri tidak mengenal istilah pencurian
ikan (illegal fishing), dilihat dari syarat-syaratnya pencurian ikan (illegal
fishing) tidak bisa disamakan dengan sariqah. Tindak pidana pencurian ikan
(illegal fishing) merupakan jarimah ta‟zir. Mengenai tindak pidana ini, hhkum
pidana Islam tidak mengatur secara spesifik, tidak secara spesifik yang
dimaksud disisni adalah tidak ditentukannya kadar sanksi bagi pelaku,
melainkan menyerahkan sepenuhnya kepada kekuasaan hakim untuk
memberikan hukum/sanksi.
135
Ahmad Hanafi, Asas-AsasHukum Pidana Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 2005), h., 87
101
Sedangkan pada putusan pengadilan terdakwa dihukum berdasarkan
dakwaan yang diajukan Penuntut Umum yang memiliki acuan mengenai
kadar sanksi terhadap tindak pidana pencurian ikan (illegal fishing).
dakwaan pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomoe 31 Tahun 2004,
(1) “setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap
ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Negara republic Indonesia dan/atau di laut lepas,
yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda
paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)
dakwaan kedua melanggar pasal 85 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan jo pasal 2
peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2/PERMEN-/KP/2015
Tentang larangan penggunaan Alat penangkapan ikan Pukat Hela (trawls) dan
Pukat Tarik (seines nets) di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia
“setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan atau
menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang
mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal
penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 di pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)”
102
Dakwaan ketiga melanggar pasal 98 Undang-Undang Republik
Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan.
“Nahkoda kapal perikanan yang tidak memiliki surat persetujuan berlayar
sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 ayat (3) di pidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”
Dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara anatara putusan
pengadilan dan hukum pidana Islam untuk kasus pencurian ikan (illegal
fishing), masing-masing dari keduanya berbeda pendapat dalam kadar
hukuman/sanksi yang diberikan terhadap pelaku. Dalam putusan pengadilan
No 06/Pid.Sus-Perikanan/2015/PN.,Jkt.Utr. sudah memiliki kadar
sanksi/hukuman terhadap tindak pidana pencurian ikan (illegal fishing).
Sedangkan dalam hukum pidana Islam sendiri tidak memiliki ketentuan kadar
sanksi/hukuman terhadap pelaku pencurian ikan (illegal fishing), melainkan
diserahkan sepenuhnya kepada kekuasaan hakim dalam menjatuhkan
sanksi/hukumannya hal ini dikarenakan tindak pidana pencurian ikan (illegal
fishing) dalam hukum pidana Islam tergolong dalam kategori ta‟zir.
A. Analisis Penulis Terhadap Putusan No 06/Pid.Sus-
Perikanan/2015/PN.,Jkt.Utr.
Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan baik itu berupa
saksi, saksi ahli, barang bukti, maupun keterangan terdakwa sendiri serta
103
barang bukti yang diajukan di persidangan, satu unit kapal ikan KM Ulam
Sari, satu pas tahunan kapal perikanan KM Ulam Sari No. Urut 341 kantor
ADPEL Cirebon Nomor folio 128 BUKN Register III, satu sertifikat Kelaikan
dan Pengawakan Kapal Ikan No PK 674/1/9.KPL.BRS, 2011, satu buah Gros
Aket Nomor 1211 an, Daurip Bin Bakti, Uang tunai Rp. 2.750.000, satu unit
penangkap ikan Jaring Cantrang, satu surat keterangan kecakapan (30 MIL).
Setelah melihat semua fakta yang terjadi di pesidangan telah terbukti
secara sah saudara Abdul Kholik melakukan tindak pidana Illegal Fishing.
Namun dalam hal ini hukuman yang diberikan oleh hakim di persidangan
berbeda dengan apa yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum, yang mana
berdasarkan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum menjatuhkan pidana terhadap
saudara Abdul Kholik berupa pidana penjara selama 2 tahun 6 bulan dikurangi
selama terdakwa berada di dalam tahanan, dan denda Rp 50.000.000,- dengan
ketentuan apabila tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3
bulan.
Dari apa yang ditunut oleh Jaksa Penuntut Umum diatas semua itu
dilakukan bukan tanpa adanya hukum yang mengaturnya, yang mana tuntutan
tersebut diberikan Jaksa Penuntut Umum berdasarkan pasal-pasal yang di
langgar oleh terdakwa yang di atur dalam Undang-Undang No 45 Tahun 2009
Tentang Perikanan, yang terdapat pada pasal 93 ayat (1), pasal 85, dan pasal
98.
Namun kali ini hakim di persidangan berkata lain, berbeda dengan apa
yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum, pasal-pasal yang dijatuhkan
kepada terdakwa memang benar adanya dan tuntutan yang diberikan Jaksa
sesuai dengan aturan yang berlaku, namun itu di dalam persidangan tidak
bersifat mutlak dan hakim sendiri mempunyai kewenangan untuk
menjatuhkan hukum tersebut dengan berbagai pertimbangan.
104
Dari pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan oleh majelis hakim
di persidangan, pihak pengadilan atau hakim menjatuhkan hukuman kepada
saudara Abdul Kholik berupa pidana penjara selama satu tahun dan denda Rp.
5.000.000 dengan ketentuan jika saudara Abdul Kholik tidak mampu mebayar
denda diganti dengan satu bulan kurungan penajara.
Menurut penulis sendiri, apa yang dilakukan oleh majelis hakim,
majelis hakim sudah menerapkan keadilan dan kepastian hukum, yang mana
apa yang dilakukan majelis hakim tersebut itu semua berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan di dalam persidangan. Sesuai dengan apa yang di
tuliskan dalam putusan No 06/Pid.Sus-Perikanan/2015/PN.,Jkt.Utr. disitu
terdapat hal-hal yang memberatkan dan meringankan dalam penjatuhan
hukuman saudara Abdul Kholik. Yaitu sebagai berikut :
Hal-hal yang memberatkan:
1. Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam
memberantas Illegal Fishing.
Hal-hal yang meringankan:
1. Terdakwa sudah berusaha untuk mengurus surat izin penagkapan
ikan;
2. Terdakwa yang melakukan pekerjaan sebagai nelayan, merupakan
pekerjaan satu-satunya bagi terdakwa dan keluarganya;
3. Terdakwa bisa menampung tenaga kerja 11 (sebelas) orang;
4. Terdakwa sopan dan mengakui terus terang perbuatanya;
5. Terdakwa belum pernah dihukum.
Dari poin-poin yang dituliskan diatas, semua itu merupakan
pertimbangan yang dilakukan hakim di dalam persidangan, yang mana
saudara Abdul Kholik hanya ada 1 poin yang meberatkan dan 5 poin yang
105
meringankan hukumannya. Jadi sudah dirasa pantas saudara Abdul Kholik
mendapatkan hukuman penjara 1 tahun dan denda Rp. 5.000.000.
106
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Laut Indonesia yang begitu luas mengakibatkan banyak nya tindak pidana
yang terjadi di perairan Indonesia. Dalam hal ini berkaitan dengan
masalah perikanan, mengenai perikanan ini sendiri sudah ada aturan yang
mengikatnya yaitu di atur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
jo Undang-Undang No 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan. Namun aturan
yang sudah dibuat terkadang banyak dilanggar oleh mereka atau nelayan
penangkap ikan, salah satunya permasalahan yang terdapat di dalam
putusan No.06/PID.SUS-PERIKANAN/2015/PN.,JKT.UTR. di dalam
putusan ini saudara Abdul Kholik telah terbukti secara sah melakukan
tindak pidana bidang perikanan. Apa yang dilakukan oleh saudara Abdul
Kholik semata-mata hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga namun
semua itu ditempuh nya dengan cara yang salah sehingga dia sendiri
menjerumuskan dirinya kedalam jeruji besi.
2. Pandangan hukum positif mengenai sanksi tindak pidana Illegal Fishing
dalam putusan No.06/PID.SUS-PERIKANAN/2015/PN.,JKT.UTR. apa
yang dilakukan hakim sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku, yang
mana hakim dalam menajtuhkan hukuman dengan mempertimbangkan
banyak hal, dari keterangan terdakwa mulai dari pertama persidangan
hakim sendiri sudah melihat apa-apa saja yang akan memberatkan dan
meringankan dalam penjatuhan hukuman. Apa yang telah didakwakan
oleh Jaksa Penuntut Umum itu menjadi bahan acuan bagi hakim yang
mana jaksa penuntut Umum menuntut dakwaan hukuman penjara selama
2 tahun 6 bulan dan denda sebesar Rp 50.000.000 namun hakim
menjatuhkan hukuman penjara selama 1 tahun dan denda sebesar Rp
107
3. 5.000.000, semua itu dilakukan hakim dengan pertimbangan yang matang
dan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
4. Di dalam hukum Islam tentang Illegal Fishing tidak diatur secara jelas,
namun di lihat dari bentuk kejahatannya, jenis hukuman yang menyangkut
tindak pidana kriminal dalam hukum pidana Islam terbagi menjadi dua,
yaitu ketentuan hukuman yang sudah pasti kadar berat dan ringannya itu
tergolong kedalam qisash dan diyat, dan ketentuan hukuman yang dibuat
oleh hakim atau penguasa melalui putusanya yang disebut dengan
hukuman ta‟zir. Illegal Fishing apabila penajtuhan hukumnya di dalam
hukum Islam akan diberikan hukuman sesuai dengan ketentuan ta‟zir.
B. Saran
1. Bagi aparat pemerintahan terkhusus kepada menteri kelautan agar lebih
meningkatkan upaya dalam pemberantasan Illegal Fishing dan itu dapat
dilakukan dengan berbagai cara salah satunya yaitu membentuk forum
koordinasi dan menyatukan persepsi dalam penegakan hukumnya dan
untuk lebih membantu kerja dari pemerintahan itu sendiri memberikan
peranan penting kepada masyarakat terkhusus masyarakat pantai dalam
pemberantasan Illegal Fishing.
2. Agar lembaga pemerintahan atau aparat hukum mensosialisasikan kepada
masyarakat bagaimana dampak dari Illegal Fishing, sehingga hal tersebut
membuat masyarakat sadar dan takut untuk melakukan tindak pidana
Illegal Fishing.
3. Memberikan atau menjatuhkan hukuman yang akan membuat para pelaku
jera.
108
Daftar Pustaka
BUKU:
Ali, Zainudin. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2007.
Al Faruq, Asdulloh. Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam. Bogor:
Ghalia Indonesia. 2009.
Dewi, Ismala. Penegakan Hukum Tindak Pidana di Bidang Perikanan.
Jakarta: Badan Keahlian DPR RI. 2016.
Gunadi, Ismu dan Jonaedi Efendi. Cepat dan Mudah Memahami Hukum
Pidana. Jakarta: Kencana. 2014.
Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
2005.
Hasan, Mustafa dan Beni Ahmad Saebeni. Hukum Pidana Islam, Fiqh
Jinayah, Dilengkapi Dengan Kajian Dalam Hukum Pidana Islam.
Bandung: Pustaka Setia. 2013.
Institute Teknologi Sepuluh Nopember. Illegal Fishing dan Kedaulatan Laut
Indonesia. Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember. 2016.
Irfan, M. Nurul dan Musyarofah. fiqih jinayah. Jakarta:Amzah. 2013.
Irfan, M. Nurul. Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta: Amzah. 2014.
Jaya, Ida Bagus Surya Darma. Hukum Pidana Materil dan Formil: Pengantar
Hukum Pidana. Jakarta: USAID-The Asia Fondation-Kemitraan
Partnership. 2015.
Mahmuda, Nunung. Ilegal Fishing. Pertanggung Jawaban Pidana di Wilayah
Perairan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2015.
Maramis, Frans. Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada. 2013.
Mardani. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Kencana. 2019.
109
Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
M Sodik, Didik. Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia.
Bandung: Reflika Aditama. 2011.
Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim. Politik H ukum Pidana, Kajian Kebijakan
Kriminalisasi dan Dekriminminalasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005
Prodjodikoro, Wirjono. Asas-Asas Hukum Pidana. Bandung: PT Reflika
Aditama. 2009.
Riswati Putranti, Ika. Community Fisheries Legal Framework: Penanganan
IUU Fishing di bawah Konstruksi ASEAN Economic Community.
Yogyakarta: Deepublish. 2017.
Rodliyah dan Salim HS. Hukum Pidana Khusus Unsur dan Sanksi Pidananya.
Depok: Rajawali Pers. 2017.
Rosyada, Dede. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: Lembaga Studi
Islam dan Kemasyarakatan. 1992.
Sofian, Andi dan Nur Aziza. Buku Ajar Hukum Pidana. Makasar: Pustaka
Pena Pres. 2016.
Sunyowati, Dina dan Enny Narwati. Buku Ajar Hukum Laut..Surabaya: AUP.
2013.
Supramono, Gatot. Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana di Bidang
Perikanan. Jakarta: Rineka Cipta. 2011.
Supriadi. Hukum Perikanan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. 2011.
JURNAL:
Amir, Usmawadi. Penegakan Hukum IUU Fishing menurut Unclos 1982
(Studi Kasus : Volga Case). Jurnal Oplinio. Vol.12, ( 2013).
Barama, Michael. Menuju Efektivitas UU No. 45 Tahun 2009 Perikanan
Dalam pelaksanaannya. Jurnal Hukum Unsrat. Vol.22 (2006).
Darwis, Muhammad. Pengaruh Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Hukum
Laut di Indonesia. Hukum Islam. Vol.16 (2016).
110
Idami, Zahratul. Prinsip Pelimpahan Kewenangan Kepada Ulil Amri Dalam
Penentuan Hukuman Ta‟zir, macamnya dan tujuanya. Jurnal Hukum
Samudra. Vol. 10 (2015).
Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, pemerintahan
tangani 134 kasus pencurian ikan (Illegal Fishing),
https://kkp.go.id/artikel/7511-hingga-novemver-2018-pemerintahan-
tangani-134-kasus-illegal-fishing.
Lasabuda, Ridwan. Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan dalam
Perspektif Negara Kepulauan Republik Indonesia. Jurnal Imiah Platax
vol.1-2 Januari 2013.
Mardani. Sanksi Potong Tangan Bagi Pelaku Tindak Pidana Pencurian dalam
Perspektif Hukum Islam. Jurnal Hukum. Vol 15 (2008).
Muhama, Simela Viktor. Illegal Fishing di Perairan Indonesia,
Permasalahan dan Upaya Penanganan Secara Bilateral di Kawasan.
Politica Vol. 3, ( 2012).
Tarigan, Azhari Akmal. Ta‟zir dan Kewenagan Pemerintah Dalam
Penerpannya. Jurnal Ilmu Syariah. VOL 17 (2017).
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PERATURAN
MENTERI:
Peraturan Mentir Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor
37/Permen-KP/2017.
Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations
Convention On The Law Of The Sea
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan.
111
SKRIPSI:
Pratomo R.S, Wiliater. Tinjauan Krimonologis Terhadap Illegal Fishing yang
Terjadi di Kota Makasar (Studi Kasus Tahun 2010-2013) skripsi S1
Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum, Universitas Hasanu din
Makasar, 2013.
Sulwafiani, Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana di Bidang Perikanan
(studi kasus putusan No.28/Pid.Sus/2016/PN.Wtp) Skripsi S1 Jurusan
Ilmu Hukum Fakultas Hukum, Universitas Hasan udin Makasar.
top related