institutional repository uin syarif hidayatullah jakarta:...

47
PEMBARUAN HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA (Studi terhadap Konstruksi Ushul Fikih dalam KHI) DISERTASI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan memperoleh Gelar Doktor dalam Bidang Syariah - Fikih Oleh: Wardah Nuroniyah 11.3.00.0.01.01.0082 Promotor 1. Prof. Dr. H. Said Agil Husain Al-Munawar, MA 2. Prof. Dr. H. Mohammad Atho Mudzhar, MA KONSENTRASI SYARIAH FIKIH-USHUL FIKIH PROGRAM STUDI PENGKAJIAN ISLAM SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016

Upload: others

Post on 08-Nov-2020

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PEMBARUAN HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA

(Studi terhadap Konstruksi Ushul Fikih dalam KHI)

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan memperoleh

Gelar Doktor dalam Bidang Syariah - Fikih

Oleh:

Wardah Nuroniyah

11.3.00.0.01.01.0082

Promotor

1. Prof. Dr. H. Said Agil Husain Al-Munawar, MA

2. Prof. Dr. H. Mohammad Atho Mudzhar, MA

KONSENTRASI SYARIAH FIKIH-USHUL FIKIH

PROGRAM STUDI PENGKAJIAN ISLAM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2016

iii

KATA PENGANTAR

Bismilla>hirrah}ma>nirrah}i>m Puji syukur kehadirat Allah SWT, Yang telah memberikan

pertolongan-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Topik

disertasi ini muncul dari pengamatan penulis tentang Kompilasi Hukum

Islam (KHI), khususnya bidang perkawinan, yang telah berlaku

hampir selama setengah abad tetapi belum ada perubahan, baik dari

sisi materi hukumnya maupun dari sisi bentuknya yang masih berupa

Instruksi Presiden (Inpres). Padahal, Indonesia merupakan negara yang

memiliki penduduk muslim terbesar di dunia, namun perkembangan

bidang hukum keluarganya kalah maju dengan negara-negara muslim

lainnya.

Atas dasar itu, upaya pembaruan terhadap KHI sebenarnya

merupakan sebuah keharusan. Namun demikian, sebelum dilakukan

pembaruan, penulis merasa perlu terlebih dahulu untuk meneliti dan

mengkaji landasan Ushul Fikih dari pembaruan yang telah dilakukan

oleh KHI, khususnya bidang perkawinan. Hasil dari penelitian dan

pengkajian inilah yang terdapat dalam disertasi ini. Disertasi ini tidak

saja mengkaji pembaruan yang telah dilakukan oleh KHI dan landasan

metodologis-Ushul Fikihnya yang digunakan, tetapi juga memaparkan

kritik dan upaya pembaruan terhadap KHI bidang perkawinan tersebut.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini tidak mungkin dapat

diselesaikan tanpa dorongan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh

karena itu, penulis mengucapkan terima kasih terutama kepada Prof

Dr.H. Said Agil Husain Al-Munawar, MA dan Prof. Dr. H. M. Atho

Mudzhar, MA, selaku promotor yang telah memberikan bimbingan,

koreksi dan saran-saran perbaikan yang berharga. Walaupun penulis

telah berusaha untuk mengikuti saran-saran yang diberikan oleh

promotor, namun perbaikan yang dilakukan masih kurang ideal

sebagaimana yang dimaksudkan oleh beliau. Penulis juga berterima

kasih kepada para penguji, yang telah memberikan saran-saran

perbaikan yang berharga selama WIP (work in progress) hingga ujian

promosi ini. Kemudian penulis juga berterima kasih kepada segenap

civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah, khususnya Rektor dan

Direktur Sekolah Pascasarjana, dan kepada para dosen Pasca Sarjana

yang telah memberikan bimbingan dan pendidikan akademis selama

ini, serta tidak lupa juga berterimakasih kepada para karyawan staf tata

usaha yang telah memberikan kemudahan terutama dalam proses

administrasi penyelesaian disertasi ini. Di samping itu, penulis juga

iv

berterima kasih kepada semua teman-teman yang ada di Sekolah

Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah yang namanya tidak mungkin

penulis sebutkan satu persatu.

Penulis tentu saja juga mengucapkan terima kasih yang

mendalam terutama kepada Bapak dan Mimi yang telah banyak

memberikan doa dan selalu memotivasi untuk menyelesaikan studi S3

ini. Penulis juga tentu saja harus berterima kasih kepada Suami dan

Anak tercinta, yang telah banyak memberikan motivasi selama proses

penyusunan disertasi ini. Tanpa doa, cinta dan dorongan mereka,

disertasi ini tidak mungkin dapat diselesaikan.

Akhirnya penulis berharap mudah-mudahan disertasi ini dapat

memberikan manfaat bagi pengembangan pemikiran hukum Islam,

khususnya pemikiran hukum Islam di Indonesia.

Ciputat, 27 Juni 2016

Wardah Nuroniyah

ix

ABSTRAK

Penelitian ini menemukan bahwa KHI Bidang Perkawinan

melakukan pembaruan pada 13 masalah, yang secara metodologis

menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan pada 8 butir pembaruan yaitu

pembatasan poligami, persetujuan rujuk istri, masa berkabung suami, batas

minimal usia nikah, pengasuhan anak, perkawinan wanita hamil, perceraian

diputus oleh pengadilan dan masalah perselisihan perkawinan harus melalui

pengadilan, metode al-Qiya>s pada 3 butir pembaruan yaitu pada persetujuan

kedua calon mempelai, hak gugat cerai oleh istri, dan hak terhadap harta

bersama (gono gini), dan metode yang didasarkan pada mas}lah}ah} sebagai

landasan pertimbangan, yaitu pada 2 butir pembaruan yang digunakan pada

masalah pencatatan perkawinan, cerai dan rujuk dengan menggunakan

metode Istis}la>h}, dan masalah pengertian anak sah dengan menggunakan

metode Istih}sa>n, namun penggunaan kerangka metodologi tersebut belum

dilakukan secara konsisten terhadap seluruh pasal-pasalnya. Pembaruan yang

dilakukan oleh KHI di samping menggunakan takhayyur, sebagaimana

banyak dilakukan di Negara-negara muslim, juga menggunakan metode

interpretasi kebahasaan.

Disertasi ini mendukung pendapat yang disampaikan oleh Wael B.

Hallaq (1997) bahwa pembaruan bidang hukum keluarga yang dilakukan oleh

Negara-negara Muslim, termasuk Indonesia dengan KHI-nya, memiliki

kelemahan dan inkonsistensi metodologi. Walaupun berbeda dengan

umumnya Negara-negara muslim yang banyak menggunakan takhayyur,

interpretasi kebahasaan yang digunakan oleh KHI masih dilakukan hanya

pada masalah-masalah tertentu secara parsial. Dengan demikian, KHI Bidang

Perkawinan ini masih perlu direvisi terutama dalam masalah hak-hak

perempuan dan anak, sebagaimana dinyatakan oleh Euis Nurlaelawati (2010).

Penelitian ini membantah pendapat M.B. Hooker (2008) bahwa KHI

merupakan fikih baru (the new fiqh) sebagai hasil formulasi ijtihad dengan

metodologi yang konsisten yang dilakukan oleh ulama dan pemerintah

Indonesia. Sejalan dengan itu, Ahmad Rofiq (2001), berbeda dengan hasil

penelitian ini, menyatakan bahwa KHI Bidang Perkawinan belum perlu

direvisi, karena masih sesuai dengan konteks Indonesia dan merupakan ijmak

ulama Indonesia. Penelitian ini juga menolak pendapat Tahir Mahmood

(1995) bahwa pembaruan di negara-negara muslim, termasuk di Indonesia,

lebih banyak menggunakan takhayyur, padahal KHI sendiri lebih banyak

menggunakan metode interpretasi kebahasaan terhadap ayat-ayat secara

langsung.

Sumber primer penelitian ini adalah dokumen KHI Bidang

Perkawinan beserta berita acara dan laporan proses penyusunannya saat itu,

di samping juga kitab-kitab Ushul Fikih yang digunakan untuk memotret

bangunan metodologi KHI Bidang Perkawinan tersebut. Sementara sumber

x

sekundernya adalah buku-buku dan pemikiran tokoh tentang pembaruan

perkawinan, baik di dunia Muslim maupun di Indonesia.

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan pendekatan

ushul fikih, khususnya teori Ijtihad, baik ijtiha>d istinba>t}i> yang menggunakan

kaidah kebahasaan dan kaidah makna rasional (maqa>s}id al-shari>’ah) dalam

mendekati nas}s}, maupun ijtiha>d tat}biqi> yang merupakan penerapan hasil

ijtiha>d istinba>t}i> tersebut dalam konteks masyarakat.

Kata Kunci: Pembaruan, Hukum Keluarga, Hukum Perkawinan, Ushul Fikih,

Hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Indonesia.

xi

ABSTRACT

This research revealed that KHI of marriage renewed 13

problems that methodologically used linguistic rules in 8 items of

renewal, i.e. restrictions on polygamy, agreement of wife’s

reconciliation, husband mourning period, minimum age of marriage,

pregnant women marriage, divorce by court, and marital disputes must

go to courts. The method of al-Qiyas in 3 items of renewal are consent

of both brides, right to sue for divorce by wife, and rights to community

properties. Further, method based on maslahah on 2 renewal items used

for recording marriage problems, divorce, reconciliation, and also the

legitimation of children. However, the use of that methodology has not

been done consistently to all the chapters. The renewal made by KHI

used both takhayyur method, as done by most Muslim countries, and

language interpretation method.

This dissertation supported a point of view stated by Wael B.

Hallaq (1997) that renewal in family law done by Muslim countries,

including Indonesia with its KHI, had some weaknesses and

inconsistency methodology. Even though it is different with other

Muslim countries, which generally use takhayyur, language

interpretation employed by KHI was used for particular problems in

partial. Therefore, KHI of marriage needed some revisions especially

on the rights problems of women and children as mentioned by Euis

Nurlaelawati (2010).

This research was against a statement by M.N. Hooker (2008)

that KHI was a new Islamic law (the new fiqh) as a result of ijtihad

(independent reasoning) formulation by using consistent methodology

from Islamic leaders and Indonesian government. In addition, a

research by Ahmad Rofiq (2001) stated that KHI of marriage did not

necessarily need revision since it was still in accordance with

Indonesian context and represented the consensus of Indonesia Islamic

scholars. This research also refused opinion by Tahir Mahmood (1995)

mentioning that renewal in Muslim countries, including in Indonesia,

uses takhayyur more than other methods, whereas KHI used language

interpretation more than others on the articles.

The main sources of this research were documents of KHI of

marriage as well as the news recorded and the reports of forming

process, books of principles of Islamic law used to view KHI of

marriage. The secondary source of data were taken from books and

figures of marriage renewal, both in Muslim worlds and in Indonesia.

xii

This research employed qualitative research method by using

principles of Islamic law approach, especially theory of independent

reasoning, both ijtihād istinbāti with language and rational meaning

rules (maqāsid al-shari’ah) in interpreting naşş and ijtihād tatbiqi as a

result of the implementation of ijtihād istinbāti in society.

Keywords: Renewal, family law, marriage law, principles of Islamic

law, Islamic law, (Kompilasi Hukum Islam/Compilation of Islamic

Law) KHI, Indonesia

xiii

xiv

xv

Transliteration

Table of the system of transliteration of Arabic words and names used

by

the Institute of Islamic Studies, McGill University.

b = ب

t = ت

th = ث

j = ج

h{ = ح

kh = خ

d = د

dh = ذ

r = ر

z = ز

s = س

sh = ش

s{ = ص

d{ = ض

t{ = ط

z{ = ظ

ع = ‘

gh = غ

f = ف

q = ق

k = ك

l = ل

m = م

n = ن

h = ه

w = و

y = ي

Short: a = ´ ; i = ِ ; u = ُ

Long: a< = ا ; i> = ي ; ū = و

Diphthong: ay = ا ي ; aw = ا و

xvii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................. i

KATA PENGANTAR ........................................................................... iii

SURAT PERNYATAAN ...................................................................... v

PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................... vii

ABSTRAK .............................................................................................. ix

PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................ xv

DAFTAR ISI .......................................................................................... xvii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................ 8

C. Tujuan Penelitian ……………………………………………….. 8

D. Manfaat Penelitian ........................................................................ 9

E. Penelitian Terdahulu yang relevan ............................................... 9

F. Kerangka Teori ............................................................................. 21

G. Metodologi Penelitian .................................................................. 26

H. Sistematika Pembahasan .............................................................. 28

BAB II USHUL FIKIH SEBAGAI METODE PENEMUAN HUKUM

ISLAM ......................................................................................... 31

A. Maqa>s}id Shari>’ah Sebagai Landasan Penetapan Hukum Islam ..... 32

B. Relasi antara Maqa>s}id Shari>’ah dan Nas} (Teks Syariah) ................ 36 C. Metode Penemuan Hukum Islam: Antara Pendekatan Bahasa

dan Pendekatan Makna .................................................................... 40

D. Relasi antara Lafaz}, Makna Lafaz} dan Mas}lah}ah} dalam Metode Penetapan Hukum Islam ......................................... 44 1. Relasi antara Lafaz} dan Makna Lafaz}: Lafaz} al-Kha>fi>,

Lafaz} al-Nas}s}, ‘Iba >rah al-Nass}}, Isha>rah al-Nass}} dan Dala>lah al-Nass}} 45

2. Relasi antara Nas} dan Mas}lah}ah}: Al-Qiya>s, Al-Istis}h}a>b, Al-Istis}la>h}, serta Al-Istih}sa>n dan Sadd al-Dhari >’ah .................. 55

BAB III KHI BIDANG PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF

PEMBARUAN HUKUM KELUARGA DI DUNIA ISLAM . 77

A. Sejarah dan Perkembangan Hukum Keluarga di Dunia Islam ....... 77

B. Pembaruan Materi Hukum Perkawinan dalam Aturan

Perundang-Undangan di Negara-Negara Muslim .......................... 87

1. Pencatatan Perkawinan .............................................................. 91

2. Pembatasan Usia Nikah ............................................................. 93

3. Poligami ..................................................................................... 95

xviii

4. Perceraian .................................................................................... 98

5. Perjanjian Perkawinan ................................................................ 101

C. Sejarah dan Proses Pembentukan KHI ............................................ 103

D. Pembaruan Hukum Perkawinan Islam di Indonesia dalam KHI ..... 111

1. Pencatatan Perkawinan ................................................................ 112

2. Pembatasan Usia Nikah dan Persetejuan Mempelai .................... 113

3. Poligami ....................................................................................... 113

4. Perceraian .................................................................................... 114

5. Relasi suami dan Isteri ................................................................. 115

6. Perjanjian Perkawinan ................................................................. 115

BAB IV PEMBARUAN MATERI HUKUM PERKAWINAN KHI DALAM

PERSPEKTIF USHUL FIKIH ................................................... 119

A. Kesetaraan Laki-Laki dan Perempuan ............................................ 120

1. Persetujuan Kedua Calon Mempelai .......................................... 122

2. Mempersulit Poligami ................................................................ 128

3. Hak Bercerai dan Rujuk ............................................................. 133

4. Hak Terhadap Harta Bersama ..................................................... 137

5. Masa Berkabung ........................................................................ 141

B. Perlindungan Hak-Hak Anak .......................................................... 143

1. Batas Minimal Usia Nikah ......................................................... 144

2. Perkawinan Wanita Hamil ......................................................... 146

3. Status Anak Sah ......................................................................... 149

4. Pengasuhan Anak ........................................................................ 151

C. Peran Lembaga Pemerintah dalam Perkawinan .............................. 153

1. Pencatatan Perkawinan, Cerai dan Rujuk .................................. 154

2. Perceraian Melalui Pengadilan ................................................... 158

3. Perselisishan Perkawinan ........................................................... 160

BAB V KERANGKA METODOLOGIS DAN RESPON TERHADAP KHI

BIDANG PERKAWINAN ............................................................. 169

A. Kerangka Metodologis-Ushul Fikih dalam KHI

Bidang Perkawinan ....................................................................... 169

1. Interpretasi Kebahasaan terhadap nas}s} ..................................... 170

2. Analogi (Al-Qiya>s) .................................................................. 182

3. Metode dengan Landasan Mas}lah}ah} ........................................ 187 B. Kritik Metodologis terhadap KHI Bidang Perkawinan ................. 192

C. Respon terhadap KHI Bidang Perkawinan di Indonesia………… 205

1. Poligami ................................................................................... 224

2. Wali Nikah dan Pencatatan Perkawinan .................................. 226

3. Status Hukum Anak ................................................................. 226

xix

BAB VI PENUTUP ..................................................................................... 229

A. Kesimpulan .................................................................................. 229

B. Saran ............................................................................................. 232

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 235

GLOSARIUM………………………………………………………………. 247

INDEX……………………………………………………………………….251

LAMPIRAN I: KOMPILASI HUKUM ISLAM

BIDANG PERKAWINAN

LAMPIRAN II: REALISASI KOMPILASI HUKUM ISLAM

LAMPIRAN III: TABEL TEMUAN PENELITIAN

LAMPIRAN IV: NASH AL-QUR’AN DAN AL-HADITH

PLAGIARISME

BIODATA PENULIS

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum keluarga Islam, berbeda dengan bidang hukum Islam

lain, merupakan hukum yang diberlakukan hampir di seluruh

negara-negara muslim saat ini. Pemberlakuan hukum keluarga Islam

di dunia muslim tersebut umumnya dalam bentuk aturan per-

undang-undangan negara secara formal.1 Negara-negara muslim dari

mulai wilayah Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Selatan sampai

Asia Tenggara hampir seluruhnya memiliki aturan perundang-

undangan hukum keluarga, tidak terkecuali di Indonesia dengan

Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi

Hukum Islam (KHI).2 Ini menunjukkan bahwa bidang hukum

keluarga merupakan bidang hukum Islam yang sangat penting

karena diimplementasikan secara merata di dunia Islam saat ini. Negara-negara muslim secara terus menerus melakukan

upaya pembaruan dan perubahan undang-undang hukum keluarga.

Turki merupakan negara pertama yang melakukan pembaruan

hukum keluarga, yaitu mulai tahun 1917, kemudian diikuti oleh

Mesir pada tahun 1920, Iran tahun 1931, Syria tahun 1953, Tunisia

tahun 1956, Pakistan tahun 1961 dan termasuk Indonesia pada tahun

1974.3 Negara-negara tersebut dan juga negara-negara muslim

lainnya sampai dengan sekarang terus berusaha untuk melakukan

pembaruan undang-undang hukum keluarganya sesuai dengan

tuntutan dan perkembangan zaman kontemporer.4

1Peraturan per-undang-undang-an (qa<<>nu>n, undang-undang) mengenai hukum

keluarga Islam merupakan salah satu produk pemikiran hukum Islam, selain hasil

pemikiran dalam kitab-kitab fikih, fatwa, dan qad}a>̀ (putusan hakim). Mohamad Atho

Mudzhar, Islam and Islamic Law in Indonesia: A Social-Historical Approach

(Jakarta: Office of Religious Research & Development, and Training, Ministry of

Religious Affairs, 2003), 94-104. 2 Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi

Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 3M. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution (Eds.), Hukum Keluarga di

Dunia Islam Modern (Jakarta: Ciputat Press, 2003), 1. 4 Lihat misalnya Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World

(Bombay: N.M. Tripathi PVT. LTD, 1972). Abdullahi A. An-Na‟im (Ed.), Islamic

Family Law in a Changing World: A Global Resource Book (London: Zed books Ltd,

2002).

2

Adanya pembaruan hukum keluarga di negara-negara

muslim tersebut pada awalnya karena dirasa bahwa memegangi

doktrin dari satu mazhab fikih saja tidak lagi memadai. Karena itu

kemudian untuk menyusun materi aturan perundangan hukum

keluarga, banyak negara muslim melakukan takhayyur, yaitu proses

seleksi terhadap pendapat-pendapat ulama dari berbagai mazhab

demi untuk mendapatkan jawaban yang paling sesuai dengan

konteks perubahan masyarakat.5 Takhayyur, bukan ijtihad, dilakukan

sebagai langkah awal umat Islam meninggalkan masa jumud dan

fanatik mazhab yang telah dilaluinya hampir delapan setengah abad

(dari pertengahan abad 4 H sampai dengan akhir abad 13 H).6

Tahap lebih maju dari takhayyur adalah melakukan

interpretasi baru terhadap masalah-masalah tertentu dalam Al-

Qur`an dan Sunnah Nabi SAW sebagai solusi terhadap kebutuhan

masyarakat modern, seperti pembatasan poligami, mempersulit

terjadinya perceraian dan pembatasan usia perkawinan. Interpretasi

seperti itu pada dasarnya hanya merupakan quasi-ijtiha>d, karena belum menggunakan pendekatan yang sistematis dan metoldologi

yang konsisten. Fikih (materi hukum Islam) yang diformulasi

dengan menggunakan takhayyur dan quasi-ijtiha>d memang dapat menghasilkan ketetapan hukum yang sesuai dengan kebutuhan

masyarakat modern, namun keduanya tidak ditopang dan dilandasi

oleh bangunan Ushul Fikih (filsafat dan teori hukum Islam) yang

sistematis dan terpadu sehingga sering menimbulkan inkonsistensi

penalaran dan memberi kesan oportunis yang hanya merupakan

penyelesaian sementara bagi masalah hukum yang dibutuhkan

masyarakat. Atas dasar itu, prinsip takhayyur dan quasi-ijtiha>d ini pada dasarnya memiliki kelemahan Ushul Fikih yang serius.

7

Pembaruan hukum keluarga Islam di negara-negara muslim, dengan

5Untuk melihat tahapan pelaksanaan prinsip takhayyur beserta contoh-contoh

kasusnya dalam beberapa masalah hukum keluarga, lihat misalnya Noel J. Coulson, A

History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1990), 185-201 dan

203. 6Awal munculnya pemikiran hukum Islam pada masa modern ini, menurut

Khalla>f, dimulai pada akhir abad 13 H di Turki Usmani dan kemudian di Mesir. „Abd

al-Wahhab Khalla>f, Khulās}ah Tārīkh al-Tashrī’ al-Islāmiy (Jakarta: al-Majlis al-A‟la

al-Indūnīsi li al-Da‟wah al-Islāmiyyah, 1968), 103-105. 7Noel J. Coulson, A History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh

University Press, 1990), hlm. 185-201 dan 203. Wael B. Hallaq, A History of Islamic

Legal Theories: An Introduction to Sunni Uşūl al-Fiqh (Cambridge: Cambridge

University Press, 1997), 211.

3

demikian, selayaknya berangkat dan diawali dari pembaruan

bangunan Ushul Fikih-nya, tidak terkecuali di Indonesia.

Upaya pembaruan dan reformulasi fikih dalam bidang

hukum keluarga (al-ahwāl al-shakhs}iyyah) di Indonesia secara lengkap sesungguhnya baru dilakukan pada tahun 1991, yaitu

dengan munculnya KHI yang memuat bidang hukum perkawinan,

kewarisan dan perwakafan.8 Sementara UU Nomor 1 Tahun 1974

hanya memuat hukum perkawinan yang tidak saja diberlakukan bagi

warga negara muslim tetapi juga warga negara lainnya. Penyusunan

KHI berlangsung selama enam tahun, yaitu dari tahun 1985 sampai

tahun 1991,9 dan setelah mendapat masukan dari berbagai pihak dan

sosialisasi kepada masyarakat luas, pada tanggal 10 Juni 1991 KHI

ditetapkan menjadi Instruksi Presiden (Inpres) No.1 Tahun 1991

untuk dijadikan sebagai pedoman dalam bidang hukum keluarga

bagi masyarakat luas, termasuk para hakim di lingkungan Peradilan

Agama di seluruh Indonesia.10

Dengan munculnya KHI ini para

hakim Pengadilan Agama memiliki pedoman yang sama dan

keputusan-keputusannya dapat diseragamkan, sehingga hal ini

kemudian dapat menghilangkan keresahan di tengah masyarakat

akibat beragamnya keputusan Pengadilan Agama untuk suatu kasus

yang sama. Keragaman keputusan hakim Pengadilan Agama

tersebut disebabkan karena beragamnya sumber pengambilan hukum

yang berasal dari kitab-kitab fikih klasik yang jumlahnya banyak.11

KHI ini, walaupun berupa Inpres, sampai saat ini menjadi pedoman,

8 Khusus tentang perwakafan sudah diterbitkan undang-undang, yaitu

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. 9 KHI ini disusun secara resmi berdasarkan keputusan bersama antara Ketua

Mahkamah Agung dan Menteri Agama yang ditandatangani pada tanggal 21 Maret

1985. 10

Bandingkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 154 Tahun 1991

tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. 11

Menurut Surat Edaran Biro Peradilan Agama Tanggal 18 Pebruari 1958

Nomor B/I/735, terdapat 13 kitab klasik yang menjadi sumber hukum materil

Peradilan Agama saat itu, dan semuanya dari mazhab Syafi‟i. Kitab-kitab tersebut

adalah al-Bajuri, fath} al-Mu‘in, Sharqawi ‘ala al-Tah}rīr, Qalyubi, Fath } al-Wahhāb,

Tuh}fah al-Muhtāj, Tadrīb al-Mustaghfirīn, Qawanīn Shar’iyyah li Sayyid Yahya,

Qawānīn Shar’iyyah Li Sayyid S}adaqah Dahlan, Shamsuri fī al-Farāid, Bughyatul

Mustarshidīn, al-Fiqh ‘alā al-Madhāhib al-Arba’ah dan Mughni > al-Muhtāj. Lihat

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan

Agama, 1993/1994), 129-130.

4

rujukan dan sumber hukum materil bagi para hakim pengadilan

agama dalam memutuskan perkara hukum keluarga di Indonesia.12

Penyusunan materi KHI di samping bersumber dari beberapa

kitab fikih klasik juga dari hasil studi banding ke Mesir, Maroko dan

Turki yang telah lebih dahulu mengkodifikasikan hukum keluarga

secara formal.13

Oleh karena itu, dalam KHI terdapat beberapa

pembaruan materi hukum yang berbeda dengan pandangan fikih

klasik, misalnya tentang pencatatan nikah,14

batas usia pernikahan,15

adanya izin pengadilan agama untuk melakukan poligami,16

ahli

waris pengganti,17

dan wasiat wajibah bagi anak dan orang tua

angkat.18

Namun demikian, apabila dicermati, KHI dan juga UU

Perkawinan yang merupakan hukum materil di Pengadilan Agama

tersebut memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut antara

lain masih banyaknya aturan-aturan hukum yang hanya berupa

anjuran moral dan bukan berupa norma hukum yang mengikat dan

mengandung adanya sanksi secara positif. Aturan seperti ini

12 Di dalam kenyataan, sesungguhnya para hakim Peradilan Agama dalam

memeriksa dan memutuskan perkara-perkara perkawinan, tidak hanya mengacu

kepada UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tetapi juga UU No. 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama yang kemudian diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan

UU No. 50 Tahun 2011 dan Peraturan Perundangan terkait lainnya. Selain itu terdapat

pula naskah Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dinilai sebagai ijma‟ (consensus)

ulama Indonesia yang kemudian menjadi lampiran Instruksi Presiden No. 1 Tahun

1991 tentang sosialisasi dan penerapannya. Isi KHI terkadang memperkuat isi UU

No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, terkadang menyandarkan diri pada UU itu,

terkadang menjelaskannya, dan terkadang pula memperkenalkan pemikiran baru yang

boleh jadi dalam masyarakat menjadi bahan ikhtilaf. KHI itu sendiri terdiri atas tiga

buku, yaitu Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan,

dan Buku III tentang Hukum Perwakafan. KHI ini unik, pertama karena bentuknya

seperti UU disusun dengan urutan Bab dan Paalnya, dan Kedua karena KHI

sesungguhnya bukanlah UU dan tidak pernah melalui pembahasan di Parlemen, tetapi

isinya dapat menjadi hukum positif yang mengikat ketika digunakan oleh Hakim

Peradilan Agama dalam putusannya. Lihat M Atho Mudzhar, Pembaharuan Hukum

Perkawinan Di Indonesia, makalah disajikan dalam Forum Diskusi Hukum Direktorat

Jenderal Peradilan Agama, Mahkamah Agung RI, pada Tanggal 4 Agustus 2015 di

Kantor Ditjen Badilag, Jalan Jenderal Ahmad Yani Kav. 58 Bypass, Jakarta. 13

Abdurrahman, Kompilasi hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika

Pressindo, 1992), 105 14

Pasal 5 dan 6, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Depag RI,

1998/19999), 15 15

Pasal 15 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 19 16

Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 34 17

Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 86 18

Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 94

5

kemudian menimbulkan pandangan sebagian ahli hukum umum

bahwa hukum Islam hanya mengatur hubungan antara individu

manusia dengan Tuhannya, karena perintah dan larangan yang ada

hanya bersifat anjuran moral, dan bukan berupa norma hukum yang

positif. Oleh karena itu, muncul pemahaman bahwa hukum Islam

hanya sesuai untuk mengatur individu supaya menjadi manusia

sempurna dan tidak sesuai untuk mengatur ketertiban dan

ketentraman masyarakat secara umum.19

Dalam masalah pencatatan perkawinan, misalnya, dinyatakan

bahwa setiap perkawinan harus dicatatkan sehingga pelaksanaannya

harus dilakukan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah, dan karena itu

perkawinan yang tidak dicatatkan tidak memiliki kekuatan hukum.20

Pasal ini bertujuan untuk menertibkan administrasi perkawinan,

karena perkawinanan merupakan perbuatan hukum yang mempunyai

banyak relasi dan implikasi hukum, terutama antara suami-istri dan

orang tua-anak. Dengan adanya pencatatan ini, di samping untuk

ketertiban administrasi, juga pada gilirannya untuk melindungi hak-

hak hukum, terutama istri dan anak, seperti dalam masalah nafkah,

harta warisan, serta kejelasan status dan nasab. Hanya saja KHI

ataupun UUP, dengan pasal-pasal yang ada, tidak secara tegas

mengharuskan adanya pencatatan tersebut dalam setiap perkawinan,

sehingga masih banyak masyarakat yang melangsungkan

perkawinan tanpa dicatat, dan ini dianggap sebagai hal yang biasa

serta tidak melanggar hukum.

Tidak adanya ketegasan sebagai aturan hukum yang positif

tersebut juga terjadi pada pasal-pasal yang lain, seperti keharusan

adanya izin dari pengadilan bagi suami yang akan melakukan

poligami, adanya kemampuan berlaku adil terhadap istri-istri dan

anak-anak,21

pemberian mut‟ah oleh suami kepada istri yang dicerai,

pemberian nafkah oleh suami kepada isteri yang ada dalam masa

„iddah, dan pemberian biaya h}aḍānah (pemeliharaan) oleh bapak

untuk anak-anaknya, termasuk anak-anak yang tinggal bersama

19

Samsul Wahidin dan Abdurrahman, Perkembangan Ringkas Hukum Islam

di Indonesia, Cet. 1 (Jakarta: Akademika Pressindo, 1984), 83-86. 20

Pasal 5, 6, dan 7 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan pasal 2 ayat (2)

Undang-Undang Perkawinan (UUP). 21

Pasal 55, 56, 58, dan 82 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 33-34. Pasal

4, 5, dan 65 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, (Surabaya: Gita

MediaPress,tt), 2,3 dan 20 .

6

mantan istri sampai umur 21 tahun.22

Dalam KHI dan UUP, aturan-

aturan tersebut sama sekali tidak diikuti oleh sanksi apabila

kemudian dilanggar. Ini berarti aturan-aturan tersebut hanya berupa

anjuran kepada masyarakat tanpa memberikan penegasan sebagai

aturan hukum yang positif bahwa aturan-aturan tersebut harus

dilaksanakan. Karena itu, sering kali putusan-putusan pengadilan

agama yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hal-hal di atas

kurang dapat terlaksana secara efektif, dan kemudian pada umumnya

yang banyak dirugikan oleh ketidaktegasan aturan yang ada dalam

KHI dan UUP tersebut adalah perempuan dan anak-anak.

Atas dasar itu, setelah berjalan selama hampir dua belas

tahun, aturan perundang-undangan hukum keluarga di Indonesia,

khususnya KHI, dirasa masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,

pada tahun 2003 muncul RUU HTPA (Hukum Terapan Peradilan

Agama) dan tahun 2004 muncul CLD KHI (Counter Legal Draft

Kompilasi Hukum Islam) yang berusaha menawarkan upaya

pembaruan untuk memperbaiki dan menyempurnakan aturan hukum

keluarga Islam yang ada. RUU HTPA yang kemudian menjadi RUU

HMPA (Hukum Materil Peradilan Agama) sejak tahun 2003 sampai

dengan saat ini masih dalam tahap pembahasan dan sosialisasi serta

belum diproses untuk menjadi undang-undang. RUU HMPA ini

hanya memuat bidang perkawinan, bukan keseluruhan bidang

hukum keluarga Islam. Sementara itu, CLD KHI merupakan tawaran

pemikiran yang langsung dimaksudkan untuk melakukan pembaruan

terhadap KHI. Oleh karena itu, format dan materi bahasan CLD KHI

hampir sama dengan KHI, yaitu tentang hukum perkawinan,

kewarisan dan perwakafan, hanya saja berbeda dalam hal pendapat

dan pemikiran yang dikandungnya. CLD KHI ini dibentuk karena

memandang bahwa KHI sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan

saat ini. KHI dipandang tidak saja tidak sesuai dengan masyarakat

modern yang egaliter, pluralis, dan demokratis tetapi juga beberapa

pasalnya bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam.23

Oleh karena itu, CLD KHI ini hendak membaca ulang KHI dan

menyusunnya kembali dalam perspektif baru yang lebih sesuai

dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini.24

22

Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 69. 23

Tim Pengarusutamaan Gender, Pembaruan Hukum Islam Counter Legal

Draft Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 2004), 7 dan 9. 24

Tim Pengarusutamaan Gender, Pembaruan Hukum Islam Counter Legal

Draft Kompilasi Hukum Islam, 8.

7

Di sinilah letak signifikansi dari adanya penelitian yang

hendak melakukan upaya pengembangan dan pembaruan yang

berangkat dari aturan hukum keluarga yang telah ada dan sedang

berlaku, sehingga hasil penelitiannya dapat memberikan kontribusi

dan masukan bagi RUU HMPA secara khusus, atau bagi

pengembangan hukum materil peradilan agama di Indonesia secara

umum. Atas dasar itu, penelitian ini hendak berupaya melakukan

kajian materi hukum keluarga, khususnya bidang perkawinan, yang

terdapat dalam KHI, serta berusaha menelusuri Ushul Fikih (filsafat

serta teori dan metodologi hukum Islam) yang dijadikan landasan

oleh KHI. Dengan diketahui landasan Ushul Fikih yang digunakan,

pada gilirannya akan dapat dikembangkan konstruksi Ushul Fikih

seperti apa yang dapat dibangun sehingga dapat memberikan

kontribusi bagi upaya pembaruan hukum perkawinan di Indonesia,

khususnya hukum materil perkawinan yang akan diberlakukan di

lingkungan peradilan agama.25

Dengan demikian, upaya pembaruan materi hukum

perkawinan Islam perlu diawali oleh pengkajian teori dan

metodologi hukum Islam yang sistematis, bahkan juga landasan

filsafat hukum Islamnya, sehingga pembaruan hukum perkawinan

tersebut secara epistemologis dapat dipertanggung jawabkan serta

memiliki pijakan yang kuat. Kemudian, dengan mengkaji Ushul

Fikih bagi upaya pembaruan hukum perkawinan ini dimungkinkan

pembaruan tersebut dilakukan secara konsisten dan sistematis serta

selalu dapat menjawab tantangan masyarakat modern. Dalam

diskursus pemikiran hukum Islam kontemporer dinyatakan bahwa

problem yang dihadapi sebenarnya adalah bukan hanya pada materi

hukum Islam seperti apa yang sesuai dengan konteks masyarakat

saat ini, tetapi lebih dari itu adalah formulasi teori dan metodologi

(Ushul Fikih) seperti apa yang digunakan supaya hukum Islam yang

bersumber dari Al-Qur`an dan Sunnah Nabi SAW tersebut sesuai

25

Aturan perundangan yang mengatur Peradilan Agama adalah Undang-

Undang RI Nomor 7 Tahun 1989, yang kemudian ada amandemen terhadap beberapa

pasal sehingga menjadi Undang-Undang Peradilan Agama Nomor 3 Tahun 2006.

Pasal 49 Undang-Undang Peradilan Agama (UUPA) Nomor 3 Tahun 2006

menyatakan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang untuk memeriksa,

memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam dalam

bidang hukum keluarga, yaitu masalah perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,

zakat, infaq, shadaqah, dan juga bidang ekonomi syariah.

8

dengan konteks masyarakat kontemporer.26

Dengan demikian,

berangkat dari penelusuran terhadap Ushul Fikih yang menjadi

landasan KHI bidang perkawinan ini, pembaruan hukum perkawinan

Islam dapat diformulasi secara lebih sistematis dan kontekstual.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, ada beberapa masalah yang

dapat diidentifikasi, yaitu sebagai berikut:

a. Bagaimana sejarah dan perkembangan hukum keluarga,

khususnya hukum perkawinan didunia muslim?.

b. Apa saja produk-produk materi pembaruan hukum

perkawinan di dunia muslim?.

c. Bagaimana landasan metodologis-ushul fikih bagi

pembaruan hukum perkawinan di dunia muslim tersebut?

d. Bagaimana pandangan dan pemikiran para ahli Islam

terhadap hukum perkawinan di dunia muslim?

e. Bagaimana sejarah dan perkembangan hukum keluarga,

khususnya KHI bidang perkawinan di Indonesia?

f. Bagaimana posisi KHI bidang perkawinan tersebut dalam

kaitannya dengan pembaruan hukum keluarga di dunia

muslim?.

g. Bagaimana landasan metodologis-ushul fikih bagi

pembaruan KHI bidang perkawinan?

h. Bagaimana respon yang ada terhadap pembaruan yang

dilakukan KHI bidang perkawinan?

2. Pembatasan Masalah

Menyadari luasnya ruang lingkup dan banyaknya masalah-

masalah penelitian sebagaimana yang teridentifikasi di atas, penulis

membatasi penelitian ini yaitu konstruksi ushul fikih yang menjadi

landasan bagi pembaharuan KHI bidang perkawinan, respon dan

tawaran masyarakat terhadapnya. Serta posisi KHI bidang

perkawinan dalam prespektif pembaruan hukum keluarga di dunia

muslim.

26

Untuk mencapai tujuan terbentuknya hukum Islam modern, hal pertama

yang harus dilakukan adalah mereformulasi teori hukum Islam (Ushul Fikih) supaya

sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat kontemporer. Ratno Lukito, Hukum

Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum

Indonesia (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2008), 110.

9

3. Rumusan Masalah

Setelah menelaah identifikasi dan pembatasan masalah

tersebut serta berkaitan dengan kebutuhan pendekatan yang tepat

untuk mengurangi objek penelitian, maka penelitian ini dititik

beratkan kajiannya pada rumusan masalah yang dapat dirumuskan

dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut;

1. Bagaimana konstruksi ushul fikih yang menjadi landasan bagi

pembaruan KHI bidang Perkawinan di Indonesia?

2. Bagaimana respon pembaruan terhadap KHI Bidang

Perkawinan?

3. Bagaimana posisi KHI Bidang Perkawinan dalam prespektif

pembaruan hukum keluarga di dunia muslim?

4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini berusaha untuk melakukan penelusuran

bangunan Ushul Fikih dari KHI, serta melihat kekuatan dan

kelemahannya, sehingga diharapkan dapat dilihat kemungkinan

pengembangan dan pembaruan hukum perkawinan Islam di

Indonesia. Dalam konteks upaya pembaruan tersebut, KHI bidang

perkawinan ini akan dilihat juga dari perspektif pembaruan hukum

perkawinan di dunia Islam. Adapun tujuan penelitian ini secara

berurutan adalah:

1. Menganalisis bangunan metodologi-ushul fikih yang menjadi

landasan bagi pembaruan KHI bidang Perkawinan di Indonesia.

2. Menelusuri respon pembaruan terhadap KHI Bidang

Perkawinan.

3. Menggambarkan posisi KHI Bidang Perkawinan di tengah

pembaruan hukum keluarga yang dilakukan di dunia muslim.

5. Manfaat Penelitian

Dengan tujuan penelitian di atas, hasil penelitian ini

diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:

1. Memberikan tawaran pengembangan bagi hukum

perkawinan Islam di Indonesia yang telah ada, terutama

dalam tataran ushul fikih-nya, sehingga hukum perkawinan

Islam nantinya dapat diformulasi lebih sesuai dengan konteks

masyarakat Indonesia kontemporer. Dengan adanya

pengembangan pada tataran Ushul Fikih ini, tawaran hukum

10

perkawinan Islam tersebut secara epitemologis akan lebih

jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.

2. Memberikan alternatif dan kontribusi pemikiran bagi upaya

pembaruan materi hukum perkawinan Islam di Indonesia,

sehingga hasilnya dapat memberikan kontribusi awal bagi

upaya selanjutnya, yaitu pembentukan hukum materil bidang

perkawinan di lingkungan Peradilan Agama yang sampai

sekarang belum juga selesai dibahas dan disosialisasikan

dalam masyarakat.

3. Memberikan kejelasan kerangka metodologi bagi upaya

pembaruan hukum perkawinan secara khusus dan hukum

keluarga Islam secara umum, sehingga hasil penelitian ini

tidak hanya bermanfaat bagi pembaruan hukum keluarga di

Indonesia tetapi juga di setiap negara muslim yang

memberlakukan hukum keluarga Islam. Hal ini penting,

mengingat pembaruan hukum keluarga yang ada secara

epistemologis kurang dapat dipertanggungjawabkan sehingga

dapat dikatakan kurang progresif dalam merespon

perkembangan zaman kontemporer yang cepat berubah.

6. Penelitian Terdahulu yang Relevan Terdapat beberapa karya ilmiah yang membahas tentang

pembaruan hukum keluarga di dunia muslim, termasuk di Indonesia.

Untuk menyebutkan sebagiannya adalah Family Law Reform in the

Muslim World karya Tahir Mahmood27

dan Islamic Family Law in a

Changing World: A Global Resource Book karya Abdullahi Ahmed

An-Na‟īm, dua buku yang merupakan buku sumber mengenai

hukum keluarga di dunia muslim.28

Dua buku tersebut menjelaskan

secara umum mengenai adanya upaya-upaya pembaruan yang terjadi

di negara-negara muslim, tidak terkecuali di Indonesia. Hanya saja

buku tersebut tidak menyebutkan dan mengkaji tentang KHI, yang

menjadi fokus kajian dari penelitian ini. Hal ini dapat dimengerti

karena buku yang disebut pertama ditulis sebelum KHI muncul,

sementara buku yang disebut kedua hanya membahas secara

sepintas dan implisit. Dengan menggunakan pendekatan yuridis,

27

Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World (Bombay: N.M.

Tripathi PVT. LTD., 1972). Indonesia dibahas pada halaman 192-197. 28

Abdullahi A. An-Na‟im (Ed.), Islamic Family Law in a Changing World:

A Global Resource Book (London: Zed books Ltd, 2002). Indonesia dibahas pada

halaman 263-267.

11

Mahmood membahas upaya-upaya pembaruan hukum keluarga di

negara-negara muslim sebagaimana yang tercantum dalam aturan-

aturan perundangan yang diberlakukan. Sementara An-Na‟īm dalam

kajiannya menggunakan pendekatan socio-legal, yaitu mengkaji

pembaruan hukum keluarga yang berlaku di negara-negara muslim

dan mengkaitkannya dengan konteks sosial kultural serta pemikiran-

pemikiran yang berkembang, terutama dengan meningkatnya

kesadaran umat Islam akan perlunya peningkatan hak-hak kaum

wanita.

Kajian mengenai hukum keluarga di dunia muslim

merupakan kajian yang selalu menarik perhatian sampai dengan

sekarang. Ini terlihat dari banyaknya buku-buku dan artikel yang

mengkaji mengenai hal ini secara terus menerus. Lynn Welchman,

misalnya, menulis dua buku mengenai hukum keluarga Islam, yaitu

Women’s Rights and Islamic Family Law: Perspectives on Reform

dan Women and Muslim Family Laws in Arab States: A

Comparative Overview of Textual Development and Advocacy.

Buku pertama dengan menggunakan studi kawasan (area study)

membahas tentang praktek hukum keluarga di Mesir, Palestina pada

masa transisi, hukum keluarga bagi muslim di Amerika Serikat, serta

tinjauan umum tentang hukum keluarga Islam di Timur Tengah,

Afrika dan juga Asia. Dalam buku ini dijelaskan juga pembaruan-

pembaruan yang diupayakan di beberapa Negara muslim.29

Kemudian buku kedua, dengan menggunakan pendekatan studi

kawasan dan juga yuridis, membahas tentang proses kodifikasi

hukum keluarga di negara-negara Arab serta upaya reformasi yang

dilakukan, serta membahas topik-topik khusus seperti pencatatan

nikah dan nikah di bawah tangan (unregistered and ‘urfi marriage),

umur minimal untuk nikah, wali nikah, poligami, masalah hubungan

suami isteri sampai dengan masalah perceraian dan pemeliharaan

anak. Dalam buku ini yang dimaksud dengan negara-negara Arab

adalah negara yang berbahasa Arab sehingga meliputi Afrika Utara

dan Timur Tengah.30

Kemudian Raffia Arshad juga menulis buku yang berjudul

Islamic Family Law. Buku ini bersifat deskriptif dalam membahas

29

Lynn Welchman (ed.), Women’s Rights and Islamic Family Law:

Perspectives on Reform (New York: Zed Books Ltd., 2004) 30

Lynn Welchman, Women and Muslim Family Laws in Arab States: A

Comparative Overview of Textual Development and Advocacy (Amsterdam: ISIM and

Amasterdam University Press, 2007).

12

hukum keluarga Islam baik secara normatif maupun pelaksanaannya

baik di beberapa negara muslim seperti Pakistan maupun di

beberapa negara eropa seperti Inggris, Wales dan Irlandia Utara.31

Sementara itu, Maaike Voorhoeve menulis buku yang berjudul

Family Law In Islam: Divorce, Marriage and Women In The Muslim

World.32

Dengan menggunakan pendekatan yuridis, buku ini berisi

delapan artikel mengenai beberapa masalah hukum keluarga Islam

yang ada di Yaman, Libanon, Mesir, Iran, Syria dan juga Tunisia. Di

samping itu, terdapat buku antologi yang dieditori oleh Shamil

Jeppie, Ebrahim Moosa, dan Richard L. Roberts. Buku yang

berjudul Muslim Family Law in Sub-Saharan Africa ini berisi

sebelas artikel tentang hukum keluarga pada Masa Kolonial dan

Pasca Kolonial di Afrika Serlatan, Sudan, Kenya, Senegal, Nigeria,

Tanzania. Buku ini menggunakan pendekatan sejarah yang berupaya

melihat perkembangan hukum keluarga yang ada pada negara-

negara tersebut.33

Di samping itu terdapat cukup banyak artikel-artikel yang

membahas tentang pembaruan hukum keluarga Islam. Artikel-artikel

tersebut secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi dua

kelompok, yaitu artikel yang membahas tentang pembaruan hukum

keluarga secara umum tidak dikaitkan dengan suatu negara tertentu

dan artikel yang membahas pembaruan hukum keluarga di suatu

negara. Untuk menyebutkan sebagian dari kelompok pertama adalah

artikel yang ditulis oleh Zainah Anwar Jana S. Rumminger dengan

judul “Justice and Equality in Muslim Family Laws: Challenges,

Possibilities, and Strategies for Reform”. Artikel ini menyatakan

bahwa dalam hukum keluarga masih terdapat diskriminasi terhadap

kaum perempuan dan ini sangat mungkin untuk diperbarui melalui

pemikiran progresif mengenai keadilan, kesetaraan dan juga

konstruksi gender dalam Islam. Menurut penulis artikel, upaya

pembaruan ini semakin gencar dilakukan seiring dengan banyaknya

gerakan-gerakan masyarakat yang memperjuangkan hak-hak wanita

dan hak asasi manusia secara umum.34

31

Raffia Arshad, Islamic Family Law (London: Sweet & Maxwell, 2010). 32

Maaike Voorhoeve, Family Law In Islam: Divorce, Marriage and Women

in The Muslim World (New York: I.B. Tauris & Co. Ltd, 2012). 33

Shamil Jeppie, Ebrahim Moosa, Richard L. Roberts (Eds.), Muslim Family

Law in Sub-Saharan Africa (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2010). 34

http:// Zainah Anwar and Jana S. Rumminger, “Justice and Equality in

Muslim Family Laws: Challenges, Possibilities, and Strategies for Reform”, 64

13

Javaid Rehman dalam artikelnya yang berjudul “The Sharia,

Islamic Family Laws and International Human Rights Law:

Examining the Theory and Practice of Polygamy and Talaq”

menyatakan bahwa pada prinsipnya syariah yang merupakan nilai-

nilai Al-Qur`an menjadi dasar bagi pembentukan hukum keluarga

Islam. Hasil formulasi hukum keluarga Islam oleh ulama dahulu saat

ini perlu direformulasi sesuai dengan konteks kontemporer, karena

para ulama dahulu pun ketika membentuk hukum keluarga

dipengaruhi oleh konteks sosio-ekonomi, politik dan kebiasaan lokal

masyarakat saat itu. Sebagai contoh kasus penulis artikel membahas

permasalahan poligami dan talak yang diformulasi ulama dahulu

sesuai dengan konteksnya dan untuk saat ini perlu dilakukan

reformulasi supaya sesuai dengan konteks masyarakat

kontemporer.35

Moors juga menulis artikel dengan judul “Public Debates On

Family Law Reform: Participants, Positions, and Styles of

Argumentation in The 1990s”.36

Artikel ini mengkaji tentang

perdebatan di seputar pembaruan hukum keluarga pada tahun

1990an. Para pemikir sepakat pentingnya pembaruan dalam hukum

keluarga, hanya saja mereka berbeda pendapat mengenai

kecenderungan pemikiran dan bentuk reformasinya. Kemudian

terdapat juga tulisan dengan judul “Family Law Reform and

Women‟s Rights in Muslim Countries: Perspectives and Lessons

Learned”. Tulisan ini merupakan laporan seminar dari International

Centre for Human Rights and Democratic Development, Kanada.

Tulisan ini berupaya untuk mencari upaya pembaruan hukum

keluarga yang menjunjung tinggi prinsip kesetaraan dalam

perkawinan. Secara umum, dengan bercermin kepada Maroko dan

Mesir, tulisan ini menekankan perlunya metodologi yang jelas untuk

WASH. & LEE L. scholarlycommons.law.wlu.edu/wlulr/vol64/iss4/12. (accessed

Pebruary, 22, 2013). 35

Javaid Rehman, “The Sharia, Islamic Family Laws and International

Human Rights Law: Examining the Theory and Practice of Polygamy and Talaq”,

International Journal of Law, Policy dan Family , volume 21, Number 1 (2007), 108-

127. 36

Moors A “Public Debates On Family Law Reform Participants, Positions,

And Styles Of Argumentation In The 1990s”, Islamic Law And Society, Volume 10,

Number 1 (2003), 1-11.

14

menafsirkan Al-Qur`an dalam rangka menerapkan prinsip

kesetaraan tersebut.37

Mohammad Hashim Kamali juga menulis artikel dengan

judul “Islamic Family Law Reform: Problems and Prospects”.38

Dalam artikel tersebut Kamali menegaskan pentingnya dilakukan

pembaruan hukum keluarga Islam di negara-negara muslim.

Walaupun telah dilakukan beberapa pembaruan, namun menurutnya

hukum keluarga Islam masih banyak didasarkan pada aturan-aturan

dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah yang spesifik sehingga belum

banyak meningkatkan hak-hak kaum perempuan dan anak. Menurut

Kamali, pembaruan tersebut perlu didasarkan pada nilai-nilai

universal dari Al-Qur`an dan As-Sunnah (Maqa>s}id al-shari >’ah) yang mengandung nilai persamaan, keadilan dan menjunjung martabat

kemanusiaan. Upaya takhayyur dalam arti memilih pendapat yang

sesuai dari pendapat-pendapat ulama klasik terkadang masih

memadai, namun upaya ijtihad merupakan solusi yang perlu

ditempuh, misalnya dengan menggunakan metode istih}sa>n yang fleksibel dalam menetapkan hukum. Kamali memang menganjurkan

upaya pembaruan hukum keluarga Islam, yaitu dengan mendasarkan

diri pada Maqa>s}id al-shari >’ah, namun tidak menjelaskan bagaimana metodologi yang lengkap bagi upaya pembaruan tersebut. Di sinilah

perbedaannya dengan penelitian ini yang berupaya menawarkan

metodologi yang sistematis serta aplikasinya secara langsung pada

penetapan hukum material dalam hukum keluarga, khususnya di

Indonesia.

Sementara artikel kelompok kedua yang mengkaitkan dengan

pembaruan di suatu negara antara lain adalah tulisan Ali yang

berjudul “Rights of the Child under Islamic Law and Laws of

Pakistan: a Thematic Overview”.39

Tulisan ini berupaya melihat

secara komparatif hak-hak anak di hadapan hukum keluarga Islam

dan hukum Pakistan. Kemudian Buskens menulis artikel “Recent

37

Centre for Human Rights and Democratic Development, Kanada, “Family

Law Reform and Women‟s Rights in Muslim Countries: Perspectives and Lessons

Learned”. Seminar Report (June, 2010). 38

Mohammad Hashim Kamali, “Islamic Family Law Reform: Problems and

Prospects”, Islam and Civilisational Renewal Volume 3, Number 1 (Oktober, 2011),

37-52. 39

Ali S „Rights of the Child under Islamic Law and Laws of Pakistan: a

Thematic Overview‟ Journal of Islamic State Practices in International Law Volume

2 (2006):1-16.

15

Debates on Family Law Reform in Morocco: Islamic Law as Politics

in an Emerging Public Sphere” yang berupaya memotret pembaruan

hukum keluarga di Maroko dari perspektif kajian politik hukum.40

Sementara Farah Deeba menulis artikel “Dowry, Women, and Law

in Bangladesh” yang membahas hak perempuan dalam hukum

keluarga Islam di Bangladesh.41

Archer, berbeda dengan artikel di atas, berusaha

membandingkan pembaruan hukum keluarga yang ada di Maroko

dan Malaysia, khususnya sejauhmana peran gerakan feminisme

dalam mendorong upaya pembaruan hukum keluarga di kedua

negara tersebut.42

Sementara khusus yang membahas pembaruan

hukum keluarga di Malaysia ditulis oleh Zanariah Noor dengan

judul “Gender Justice and Islamic Family Law Reform in Malaysia”.

Tulisannya ini, sebagaimana terlihat dari judulnya menggunakan

pendekatan gender dalam melihat pembaruan hukum keluarga yang

telah dilakukan di Malaysia.43

Sementara itu, artikel-artikel yang membahas pembaruan

hukum keluarga di Indonesia umumnya tidak hanya membahas KHI,

tetapi juga CLD KHI-nya. Artikel-artikel tersebut antara lain adalah

artikel Ade Fariz Fahrullah yang berjudul “Counter Legal Draft

Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI): Produk Fikih Liberal”. Dalam

tulisan ini CLD KHI dipandang sebagai produk fikih yang

menggunakan pendekatan hermeneutika sehingga menghasilkan

fikih liberal. Penurut penulisnya, CLD KHI ini berpotensi

menimbulkan perpecahan di kalangan umat Islam karena muatannya

berbeda dengan apa yang telah dipahami dan diberlakukan dalam

masyarakat muslim Indonesia.44

Kemudian tim IMPOWR

(International models projrct on women‟s rights) menulis artikel

40

Buskens L., “Recent Debates On Family Law Reform In Morocco: Islamic

Law As Politics In An Emerging Public Sphere”, Islamic Law and Society,Volume

10, Number 1(2003), 70-131. 41

Farah Deeba Chowdhury, “Dowry, Women, and Law in Bangladesh”,

International Journal of Law, Policy and Family, Volume 24 Number 2 (2010), 198-

221. 42

Brad Archer, “Family Law Reform and the Feminist Debate: Actually-

Existing Islamic Feminism in the Maghreb and Malaysia”, Journal of International

Women's Studies, Volume 8 Number 4 (2007), 49-59. 43

Zanariah Noor, “Gender Justice and Islamic Family Law Reform in

Malaysia”, Kajian Malaysia, Jld. XXV, No. 2, Desember 2007, 121-156. 44

Ade Fariz Fahrullah, “Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD

KHI): Produk Fikih Liberal”, Hukum Islam, Vol. VII No. 5. Juli 2007, 460-478.

16

dengan judul “Law Reform Efforts: Marriage or Child Marriage in

Indonesia” yang beirisi ringkasan tentang upaya pembaruan hukum

perkawinan di Indonesia sampai dengan adanya UU perkawinan dan

KHI, kemudian adanya upaya revisi terhadap KHI dan juga usaha

untuk meningkatkan hak-hak perempuan melalui jalur pengadilan.45

Kajian mengenai hukum keluarga Islam ini tidak hanya

membahas pelaksanaan dan praktek yang ada di negara-negara

muslim, tetapi juga yang ada di negara-negara sekuler. Misalnya

Andrea Büchler dari Universitas Zurich menulis artikel dengan judul

“Islamic family law in Europe? From dichotomies to discourse – or:

beyond cultural and religious identity in family law”. Dalam artikel

ini dikaji penyelesaian konflik hukum di beberapa negara eropa

antara hukum yang berlaku di negara tersebut dengan hukum

keluarga Islam. Hal ini terjadi karena banyaknya migran muslim

yang hidup di negara-negara eropa dan menuntut adanya hak

penghormatan terhadap identitas budaya dan agama mereka,

termasuk dalam menjalankan hukum keluarga Islam. Tulisan ini

menekankan perlunya pendekatan terhadap proses penyelesaiannya

dari pada pembentukan adanya institusi khusus untuk mengatur

masalah ini.46

Di samping itu, Tim dari Hephaestus Books membuat

terobosan dengan menulis buku antologi yang berisi artikel-artikel

online mengenai hukum keluarga Islam yang berasal dari Wikipedia

dan sumber-sumber lain. Buku antologi ini berjudul Articles on

Islamic Family Law. Buku ini berisi pembahasan seputar tema-tema

pernikahan, perceraian, nikah mut‟ah, kemudian juga posisi hukum

keluarga Islam dalam tata hukum Negara, baik Negara muslim

maupun Negara sekuler.47

Berbeda dengan yang lain, Wael B. Hallaq dalam bukunya A

History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Usûl al-

Fiqh menyoroti aspek metodologi hukum Islam, termasuk

metodologi yang digunakan dalam pembaruan hukum keluarga di

45

http://www.impowr.org/content/law-reform-efforts-marriage-or-child-

marriage-indonesia. (accessed pebruary, 22, 2013). 46

Andrea Büchler, “Islamic family law in Europe? From dichotomies to

discourse – or: beyond cultural and religious identity in family law”, dalam

International Journal of Law in Context , Volume 8 , Special Issue 02 , June 2012,

196-210. 47

Tim dari Hephaestus Books, Articles on Islamic Family Law (Singapura:

Hephaestus Books, 2011).

17

Negara-negara muslim. Menurutnya, pembaruan hukum keluarga

Islam secara umum dilakukan dengan metode takhayyur, yaitu

menyeleksi dan memilih pendapat ulama mazhab yang dianggap

paling sesuai. Kemudian, digunakan juga interpretasi baru terhadap

ayat atau hadis secara parsial untuk menyesuaikan dengan

perkembangan zaman. Walaupun ada upaya untuk melakukan

interpretasi langsung terhadap nas}s}, namun menurut Hallaq ini belum disebut ijtihad dan baru merupakan quasi-ijtihad. Hal ini

karena interpretasi baru tersebut dilakukan secara parsial dan hanya

untuk memenuhi kebutuhan sesaat dalam rangka menyesuaikan

dengan kebutuhan masyarakat. Pembaruan hokum keluarga Islam

tersebut, baik dengan takhayyur maupun interpretasi baru terhadap

ayat atau hadis, menurutnya memiliki kelemahan metodologis yang

serius karena dilakukan tidak secara komprehensif dan hanya untuk

memenuhi kebutuhan sesaat, sehingga terkesan dilakukan secara

arbitrer dan bersifat oportunis.48

Sementara itu, pembahasan mengenai KHI sendiri telah

dilakukan oleh beberapa penulis, misalnya Abdurrahman dalam

karyanya yang berjudul Kompilasi hukum Islam di Indonesia.49

Dalam buku ini, penulis dengan menggunakan sejarah hukum

berupaya memaparkan proses pembentukan KHI, dari awal

pembentukan draft sampai dengan diformalkan menjadi Inpres

Nomor 1 tahun 1991. Buku ini hanya memberikan informasi tentang

tahap-tahap pembentukan KHI tanpa membahas secara mendalam isi

yang dikandungnya. Kemudian Abdul Gani Abdullah juga menulis

buku Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum

Indonesia.50

Dalam buku yang merupakan hasil dari kumpulan

tulisannya tersebut, Abdul Gani mengkaji dan meninjau KHI dari

segi keilmuan hukum umum serta memposisikannya dalam tata

hukum yang berlaku di Indonesia. Pendekatan yang digunakan

dalam buku tersebut adalah pendekatan yuridis, yaitu melihat

kedudukan KHI apabila ditinjau dari tata hukum Indonesia.

Di samping di kaji secara khusus, KHI juga dikaji sebagai

bagian dari pembahasan tentang pembaruan hukum Islam di

48 Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to

Sunni Usûl al-Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997). 49

Abdurrahman, Kompilasi hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika

Pressindo, 1992). 50

Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata

Hukum Indonesia (Jakarta: Gema Insani Press, 1994).

18

Indonesia, seperti karya Ahmad Rofiq yang berjudul Pembaharuan

Hukum Islam di Indonesia. Dalam buku tersebut dibahas tentang

sejarah KHI dan materi bahasannya sebagai upaya pembaruan yang

dilakukan di Indonesia dalam bidang hukum keluarga, yaitu hukum

perkawinan, hukum kewarisan dan hukum perwakafan. Buku

tersebut menyatakan bahwa KHI dan pembaruan hukum Islam yang

ada di dalamnya merupakan produk fikih Indonesia yang dapat

dipandang sebagai hasil Ijmak dan kesepakatan para ulama

Indonesia.51

Kemudian M.B. Hooker, dalam Indonesian Syariah:

Defining a National School of Islamic Law, menyatakan bahwa KHI

dapat dipandang sebagai fikih baru (the new fiqh) yang merupakan

hasil ijtihad dari ulama dan pemerintah Indonesia. Di sebut sebagai

fikih baru karena KHI tidak saja merupakan formulasi fikih yang

memadukan antara fikih konvensional dengan konteks masyarakat

Indonesia saat ini, tetapi juga kemudian menjadi hokum positif yang

berlaku secara formal di Pengadilan Agama.52

Apabila karya-karya di atas mengkaji KHI itu sendiri, maka

ada beberapa karya yang berusaha mengkaitkan KHI ini dengan

Peradilan Agama. Misalnya adalah buku yang berjudul

Modernization, Tradition and Identity: The Kompilasi Hukum Islam

and Legal Practice in The Indonesian Religious Courts, yang ditulis

oleh Euis Nurlaelawati.53

Buku ini, sebagaimana terlihat dari

judulnya, menggunakan pendekatan socio-legal, yaitu tidak saja

melihat secara yuridis kandungan KHI tetapi juga implementasinya

di lembaga-lembaga peradilan agama. Di samping itu, dalam buku

ini juga disinggung mengenai perdebatan tentang CLD KHI baik

dari pihak yang mendukung atau menolaknya.54

Sebelumnya, Sidik

Tono dan Amir Mu‟allim telah menulis buku yang berjudul

Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum

51

Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Yogyakarta:

Gama Media Offset, 2001). 52 M.B. Hooker, Indonesian Syariah: Defining a National School of Islamic

Law (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2008). 53

Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Identity: The Kompilasi

Hukum Islam and Legal Practice in The Indonesian Religious Courts (Amsterdam:

University Press, 2010). 54

Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Identity: The Kompilasi

Hukum Islam and Legal Practice in The Indonesian Religious Courts (Amsterdam:

University Press, 2010), 125-129.

19

Indonesia.55

Dalam buku ini, seperti juga buku karya Cik Hasan

Basri yang berjudul Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama

dalam Sistem Hukum Nasional,56

digunakan pendekatan yuridis,

dalam arti melihat kedudukan Peradilan Agama dan KHI sebagai

hukum materilnya secara yuridis formal dalam tata hukum di

Indonesia. Karya-karya di atas walaupun dalam kajiannya

membahas KHI dan peradilan agama, namun tidak berusaha untuk

melakukan pembaruan KHI yang selanjutnya ditawarkan sebagai

kontribusi bagi pembaruan hukum materil di lingkungan peradilan

agama sebagaimana fokus dari penelitian ini.

Berbeda dengan pendekatan di atas, Marzuki Wahid dan

Rumadi dalam buku Fiqh Mazhab Negara, Kritik atas Politik

Hukum Islam diIndonesia57

menggunakan pendekatan politik hukum,

yaitu mengkaji proses pembentukan KHI yang dikaitkan dengan

konteks politik saat itu. Buku ini menyatakan bahwa KHI

merupakan produk dari politik hukum negara, dalam hal ini adalah

produk pemerintahan orde baru yang berupaya untuk mengikat umat

Islam dalam satu aturan hukum keluarga yang sama, di samping

untuk mendekatkan umat Islam dengan pemerintah saat itu.

Sementara itu, Marzuki Wahid juga menulis hasil penelitian yang

berjudul Counter Legal Draft Komplilasi Hukum Islam (CLD KHI)

Dalam Perspektif Politik Hukum Di Indonesia.58

Dengan

menggunakan pendekatan politik hukum, sebagaimana tercantum

dalam judulnya, tulisan ini berusaha untuk melihat respon tokoh-

tokoh Islam terhadap CLD KHI serta menjelaskan kenapa kemudian

CLD KHI ini sampai dibekukan oleh Menteri Agama.

Di samping itu, CLD KHI juga dikaji oleh Muhammad Zain

dan Mukhtar Alshodiq dalam tulisannya yang berjudul Membangun

Keluarga Humanis: Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam

55

Sidik Tono dan Amir Mu‟allim, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum

Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 1999). 56

Cik Hasan Basri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam

Sistem Hukum Nasional (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999). 57

Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, Kritik atas Politik

Hukum Islam diIndonesia (Yogyakarta: LKiS, 2001). 58

Marzuki Wahid, Counter Legal Draft Komplilasi Hukum Islam (CLD KHI)

Dalam Perspektif Politik Hukum Di Indonesia, dalam http://ern.pendis.depag.go.id/

DokPdf/ern-vi-03.pdf.(accessed Pebruari 05, 2013).

20

yang Kontroversial itu.59

Tulisan ini berusaha melihat CLD KHI

dari sisi normatifnya, yaitu mengkaji isi dari CLD KHI dalam upaya

untuk membentuk keluarga yang harmonis dengan didasarkan pada

prinsip kesetaraan antara laki-laki dan wanita. Apabila dua tulisan

tentang CLD KHI di atas berusaha mengkaji dan pembahasannya

cenderung tidak menolaknya, maka terdapat juga karya berusaha

untuk menolak isi dari CLD KHI tersebut. Karya tersebut

merupakan antologi tulisan yang berjudul Membendung

Liberalisme.60

Dalam tulisannya di buku tersebut, misalnya,

Huzaemah menyatakan bahwa CLD KHI merupakan pembaruan

liberal yang perumusannya tidak sesuai dengan kaidah-kaidah

penetapan hukum Islam. Namun karena tulisan tersebut singkat

maka tidak dijelaskan lebih lanjut kaidah seperti apa yang

bertentangan dengan CLD KHI.61

Di samping itu, terdapat karya dalam bentuk tesis yang

berusaha membahas baik KHI maupun CLD KHI, yaitu yang ditulis

oleh Muhammad Latif Fauzi dengan judul “Islamic Law in

Indonesia: Debates on Islamic Family Law in the Reformasi Era”.

Tesis di Leiden Universitytersebut dengan menggunakan pendekatan

sejarah pemikiran menggambarkan kemunculan KHI sebagai

langkah maju dalam hukum keluarga Islam di Indonesia walaupun

masih bersifat konvensional. Langkah progresif kemudian terjadi

setelah adanya CLD KHI. Namun demikian, menurut tesis ini,

pemberlakuan hukum Islam, termasuk di Indonesia, adalah

tergantung pada kebijakan penguasa secara politis.62

59

Muhammad Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis:

Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam yang Kontroversial itu (Jakarta: Graha

Cipta, 2005). 60

Huzaemah Tahido Yanggo dkk, Membendung Liberalisme (Jakarta:

Penerbit Republika, 2004). 61

Huzaemah Tahido Yanggo dkk, Membendung Liberalisme, 66-67. 62

Muhammad Latif Fauzi, “Islamic Law in Indonesia: Debates on Islamic

Family Law in the Reformasi Era”. Tesis pada Leiden University Tahun 2008. Di

samping CLD KHI, progresifitas hukum di Indonesia ditandai dengan kemunculan

Fikih Lintas Agama. Fikih Hubungan antar Agama ini, meminjam istilah Said Agil

Husin Al Munawar, memerlukan keterbukaan masing-masing agama terhadap agama

lainnya untuk berdialog dan berkomunikasi. Dengan berpegang pada prinsipnya

masing-masing, para pemeluk agama dapat saling berinteraksi untuk kemudian

melakukan kerjasama dalam masalah sosial kemasyarakatan sehingga tercipta

kedamaian dan keamanan. Dengan suasana yang damai dan aman ini, masing-masing

pemeluk agama dapat menjalakan ajaran agamanya dan meningkatkan nilai-nilai

spirituanyal sehingga dapat mencapai tingkat kehidupan yang lebih baik. Said Agil

21

Kajian dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini,

dengan demikian, memiliki perbedaan dengan kajian-kajian yang

sudah ada, sehingga dapat mengisi kekosongan dalam kajian hukum

perkawinan Islam di Indonesia. Penelitian ini, sebagaimana

dikemukakan, berusaha untuk mengkaji KHI bidang perkawinan

dari sisi teori dan metodologi serta bangunan filsafat hukum

Islamnya serta berusaha melakukan kajian kritis sehingga kemudian

pada gilirannya akan dapat menawarkan alternatif pembaruan bagi

hukum materil peradilan agama bidang perkawinan yang sampai

dengan sekarang masih membutuhkan masukan dari berbagai pihak.

Kontribusi penelitian ini berarti tidak hanya menyangkut materi

hukum perkawinan Islam saja, namun juga mengenai bangunan teori

dan metodologinya sehingga nantinya tawaran pembaruan hukum

perkawinan tersebut memiliki landasan dan pijakan yang kokoh.

Pendekatan penelitian ini, berbeda dengan pendekatan yang

digunakan oleh karya-karya sebelumnya, adalah pendekatan Ushul

Fikih (filsafat dan metodologi hukum Islam) untuk mengkaji,

mengkritisi dan mengembangkan KHI bidang perkawinan. Namun

demikian, sebagaimana pendekatan-pendekatan yang lain,

pendekatan yang digunakan ini juga memiliki keterbatasan.

Penelitian ini, misalnya, tidak dapat mengungkap pengaruh konteks

sosial politik di seputar pembentukan KHI, sebagaimana dapat

diungkap oleh tulisan yang menggunakan pendekatan socio-legal

atau pendekatan politik hukum.

7. Kerangka Teori

Fikih (hukum Islam) merupakan produk pemikiran dan

interpretasi manusia terhadap sumber hukum Islam, sehingga fikih

memiliki sifat fleksibel dan bahkan dapat berubah sesuai dengan

konteks tempat dan waktu. Dengan demikian, dalam fikih selalu

diperlukan adanya perubahan yang terus menerus dan

berkesinambungan sesuai dengan perkembangan masyarakat.63

Namun demikian, pembaruan fikih ini selayaknya diawali dengan

pembaruan, atau setidaknya reformulasi, Ushul Fikih (Metodologi

Penetapan Hukum Islam)-nya. Dengan landasan metodologi hukum

Husin Al Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama (Jakarta: Ciputat Press, 2005), 17-

20. 63

M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, antara Tradisi dan

Liberasi (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), 101-102.

22

Islam tersebut, fikih atau produk hukum Islam akan dapat

diformulasi sesuai dengan konteks sosial kultural masyarakat yang

akan diterapi hukum, tidak terkecuali masyarakat Indonesia yang

memiliki tradisi dan budaya sendiri yang berbeda dengan budaya

Arab.

Fikih, walaupun sumbernya sama, yaitu al-Qur`an dan

Sunnah Nabi, dapat berbeda dan terus berkembang apabila didekati

dengan us}ūl al-fiqh yang berbeda. Ini berarti perbedaan fikih dipengaruhi oleh perbedaan ushul fikih.

64 Dalam sejarah hukum

Islam, Ushul fikih satu mazhab dengan ushul fikih mazhab yang lain

bisa berbeda-beda; antara mazhab Hanafi dan mazhab Syafi‟i,

misalnya, memiliki konstruksi Ushul Fikih yang berbeda satu sama

lain. Ushul Fikih ini dalam perkembangannya kemudian dapat

dipilah menjadi dua bidang, yaitu bidang filsafat hukum Islam dan

bidang teori hukum Islam yang di dalamnya memuat juga tentang

metode penetapan hukum Islam. Perbedaan teori dan bangunan

metodologi hukum Islam yang dipegangi adalah disebabkan oleh

perbedaan struktur berfikir dan ide-ide fundamental yang

mendasarinya, sehingga konstruksi metodologi hukum Islam

sesungguhnya dipengaruhi oleh landasan filsafat hukum Islamnya.

Filsafat hukum Islam ini membahas pertanyaan-pertanyaan: apa

hakekat hukum Islam (ontologi), bagaimana hukum Islam

ditemukan dari sumber-sumbernya (epistemologi), dan apa nilai

fungsional dan tujuan dari keberadaan hukum Islam (aksiologi).

Dengan kata lain, perbedaan konstruksi metodologi, yang

menyebabkan perbedaan fikih, tersebut dipengaruhi oleh perbedaan

filsafat hukum yang dipegangi. Di sinilah letak perbedaan antara

Filsafat Hukum Islam (falsafah al-tashri >’ al-islami >’), teori dan metodologi hukum Islam (“ushul fikih” dalam arti sempit), dan fikih

(materi hukum), yaitu Filsafat Hukum Islam yang dipegangi

mempengaruhi bangunan metodologi yang digunakan, dan bangunan

metodologi pada gilirannya mempengaruhi produk fikih yang

dihasilkan. Dengan demikian, Filsafat Hukum Islam pada dasarnya

merupakan disiplin ilmu yang mengkaji tentang ide-ide dasar

(fundamental ideas) dari hukum Islam, yang tidak tersentuh oleh

wilayah kajian metodologi hukum Islam dan fikih, sementara

64

Mus}t}afa> Sa‟id al-Khi>nn, karena itu, menulis buku Athar al-Ihktila>f fi al-

Qawa >’id al-Us}u>liyyah fi> ikhtila>f al-fuqaha>̀ yang menggambarkan implikasi

perbedaan bangunan Ushul Fikih tersebut terhadap perbedaan produk fikih yang

dihasilkan oleh para fuqaha mazhab.

23

metodologi hukum Islam merupakan disiplin ilmu yang membahas

tentang metode-metode yang digunakan dalam proses penetapan dan

penemuan hukum Islam, serta fikih adalah disiplin ilmu yang

membahas tentang produk dan materi-materi hukum Islam itu

sendiri dengan berbagai bidangnya.65

Sebagai metode penetapan hukum Islam, metode hukum

Islam (manhaj al-ijtiha>d) –yang didasarkan pada landasan filsafat hukum Islamnya- selayaknya tidak hanya bermanfaat bagi

pembentukan fatwa hukum Islam tetapi juga bagi proses perumusan

aturan perundang-undangan dalam suatu negara. Dengan demikian,

Ushul Fikih seharusnya tidak kehilangan signifikansinya dalam

dunia kontemporer dewasa ini, sebuah kritik yang sering

dikemukakan.Selama ini terdapat pandangan bahwa Ushul Fikih

dipandang telah menjadi ilmu baku yang tidak dapat

dioperasionalisasikan dalam menetapkan hukum. Kalaupun dapat

digunakan, maka hanya menetapkan hukum bagi masalah-masalah

lama.Sementara untuk menjawab tantangan dunia kontemporer,

ushul fikih dipandang tidak dapat digunakan, apalagi kemudian

untuk memenuhi kebutuhan akan adanya pembaruan hukum Islam

dalam bentuk undang-undang yang diberlakukan dalam suatu

negara.66

Oleh karena itu, fungsi ushul fikih tersebut harus

dikembalikan kepada asalnya ketika diformulasi oleh para imam

mujtahid, yaitu merupakan alat untuk menetapkan hukum Islam

yang timbul, baik bagi masalah-masalah lama maupun kontemporer,

termasuk dalam meformulasi hukum Islam dalam bentuk undang-

undang.

Dalam teori dan metodologi hukum Islam, proses berijtihad

dapat dilakukan baik dengan menggunakan pendekatan kebahasaan

maupun pendekatan makna rasional. Pendekatan bahasa dilakukan

untuk menelaah dan menganalisis teks sumber hukum (nas}s} Al-Qur`an dan As-Sunnah) dengan menggunakan kaidah-kaidah

bahasa, sehingga dari pemahaman bahasa tersebut dapat

disimpulkan suatu penetapan materi hukum. Sementara pendekatan

makna rasional merupakan upaya untuk menetapkan hukum tidak

dari pemahaman bahasa tetapi dari makna rasional yang dikandung

oleh muatan nas}s}. Makna rasional ini menurut para ulama ahli Ushul

65

Agus Moh Najib, “Reformulasi Ushul Fikih”, Modul Mata Kuliah Ushul

Fikih pada Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Tahun 2011, 1-3. 66

Bandingkan Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, 211.

24

Fikih adalah berupa ‘illat (causa legis, illat hukum) dan juga

mas}lah}ah (kemaslahatan).67

Pendekatan makna rasional secara umum digunakan oleh para ulama untuk menjangkau masalah-

masalah yang tidak disebutkan dalam nas}s} Al-Qur`an dan As-Sunnah.

68 Hanya saja, ada juga ulama yang berpendapat bahwa

pemahaman makna rasional ini dalam kondisi tertentu lebih penting

dan dapat didahulukan dari pemahaman kebahasaan.69

Upaya melakukan penyimpulan hukum dari sumber-

sumbernya (Al-Qur`an dan as-Sunnah), baik secara kebahasaan

maupun makna rasional sebagaimana di atas, disebut dengan ijtiha>d

istinba>t}i>, yang masih memerlukan upaya penerapannya sesuai dengan konteks masyarakat. Upaya penerapan hasil pemahaman

secara deduktif tersebut dikenal dengan ijtiha>d tat}biqi>.70 Langkah

penerapan ini tentu saja harus mengkaitkan dan mempertimbangkan

konteks sosial, sehingga hukum yang dihasilkan dapat sesuai dengan

kondisi masyarakat yang akan diterapi hukum.71

Ijtihad seharusnya merupakan gabungan antara penalaran

deduktif dan induktif sebagaimana di atas. Mengutamakan penalaran

deduktif dan mengabaikan penalaran induktif akan menghasilkan

produk materi hukum yang kaku dan hanya bersifat ideal namun

terlepas dari realitas sosial yang dihadapi masyarakat. Sebaliknya,

mengutamakan penalaran induktif dan mengabaikan penelaran

deduktif dalam penyimpulan hukum Islam akan melahirkan produk

hukum yang positivis dan sekuler karena landasannya hanya realitas

sosial yang empiris dan tidak menempatkan teks wahyu sebagai

dasar dalam menyelesaikan persoalan hukum. Dengan demikian,

metodologi ijtihad dalam menetapkan hukum Islam seharusnya

melibatkan dan mengkombinasikan dua penalaran di atas, baik

penalaran deduktif maupun induktif, sehingga dalam waktu yang

bersamaan dapat direalisasikan pesan-pesan ilahiah dan sekaligus

67

Muhammad Mus}t}afa> Shalabi>, Ta’līl al-Ah}kām (Beirut: Dār al-Nahd}ah al-

„Arabiyyah, 1981), 13. 68

„Alī H}asaballāh, Us}ūl al-Tashri’ al-Islāmi (Kairo: Dār al-Ma‟arif, 1971),

293. 69

„Alī H}asaballāh, Us}ūl al-Tashri >’ al-Islāmi, 177-178. 70

Satria Effendi M. Zein, "Metodologi Hukum Islam", dalam Amrullah

Ahmad, SF, et.al. (eds.), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional

(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 118-119. 71

Ijtihad Tat}biqi> ini dapat dikatakan sebagai penalaran empiris-historis-

induktif. Lihat Akh. Minhaji, "Reorientasi Kajian Ushul Fiqh", dalam al-Jami'ah

Journal of Islamic Studies, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, No. 63/VI/1999, 16.

25

juga memenuhi tuntutan masyarakat sesuai dengan tempat dan

masa.72

Dengan dua model penalaran tersebut, ijtihad yang dibangun

tidak hanya memiliki koherensi dalam penalarannya yang

argumentatif, sistematis, dan konsisten, tetapi juga memiliki

korespondensi dengan realitas empiris masyarakat yang akan

diterapi hukum. Teori kombinasi penalaran deduksi-induksi seperti

inilah yang seharusnya dipegangi dalam setiap melakukan

penyimpulan hukum, apalagi hukum itu akan diterapkan secara

formal dalam suatu masyarakat.

Proses ijtihad dengan menggunakan teori kombinasi deduksi-

induksi tersebut, secara epistemologis menggambarkan adanya

dialektika hermeneutis antara teks dan realitas. Dialektika antara

teks dan realitas ini merupakan hal yang dimungkinkan bahkan

sudah seharusnya, karena sifat dasar shari >’ah (ketetapan dan muatan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah) sendiri mengandung "ketetapan"

(al-thabāt), "kelenturan" (al-murūnah) dan “keluasan” (al-sa’ah)

dalam waktu yang sama. Syariah Islam, menurut Yu>suf al-Qard}a>wi>, pada satu sisi bersifat tetap pada tujuan, ajaran dasar yang universal,

dan pada nilai-nilai etikanya, serta pada sisi lain lentur dan fleksibel

pada sarana-sarana untuk mencapai tujuan, ajaran derivatif dan

partikular, dan pada masalah-masalah kehidupan praktis. Sifat dasar

syariah Islam ini, menurutnya, selaras dan sejalan dengan sifat dasar

yang dimiliki oleh manusia dan alam semesta. Manusia dan alam

semesta secara esensial dan universal memiliki sifat dasar yang tetap

selama eksistensi keduanya, tetapi sekaligus juga berubah dan

berkembang pada hal-hal yang spesifik dan bersifat fisik.73

Oleh karena syariah yang mengandung sifat dualitas di atas,

maka adanya ketentuan-ketentuan universal (al-kulliyyah) dan

ketentuan-ketentuan partikular (al-juz`iyyah) dalam syariah Islam

bukan berarti keduanya bertentangan, tetapi justru selaras dan saling

berdialog. Karena itu, sebuah proses ijtihad harus memperhatikan

dan mendialogkan antara keduanya. Suatu ijtihad tidak dapat

dilakukan hanya dengan mendasarkan pada nas}s} partikular dan bertentangan dengan nilai-nilai universal syariah, begitu pula

72

Akh. Minhaji, “Hukum Islam antara Sakralitas dan Profanitas”, Pidato

Pengukuhan Guru Besar dalam bidang Sejarah Sosial Pemikiran Hukum Islam pada

Fakultas Syari‟ah di hadapan Rapat Senat Terbatas UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,

25 September 2004, 40-46. 73

Yūsuf al-Qard}āwī, Madkhal li Dirāsah al-Sharī’ah al-Islāmiyyah, Cet. 4

(Kairo: Maktabah Wahbah, 2001), 243-245.

26

sebaliknya, ijtihad tidak dapat dilakukan hanya dengan mendasarkan

pada nilai-nilai universal syariah dengan mengabaikan ketentuan-

ketentuan syari‟ah yang partikular.74

Ijtihad yang hanya merujuk

pada nas}s} partikular akan cenderung menghasilkan pemahaman tekstualis, namun sebaliknya, ijtihad yang hanya mendasarkan pada

nilai-nilai universal syariah akan cenderung menghasilkan corak

hukum yang rasional-liberal. Oleh karena itu, keduanya, antara nas}s} partikular (alfāz}) dan nilai-nilai universal (ma’āni), harus diperhatikan dan didialektikakan ketika menetapkan hukum.

75

Di samping itu, hukum Islam juga memberikan perhatian

yang besar terhadap ‘urf yang merupakan realitas kebiasaan dan

tradisi yang ada dalam masyarakat. Sejak awal, hukum Islam pada

dasarnya menghormati keberadaan ‘urf Arab yang berbeda-beda.

Hukum Islam mengakui semua ‘urf yang ada sepanjang ‘urf tersebut

selaras dan sesuai dengan tujuan dan prinsip-prinsip syara‟, di

samping juga memperbaiki dan meluruskan sebagian ‘urf yang ada

sehingga ‘urf tersebut menjadi sejalan dengan arah dan sasaran

syara‟. Hukum syara‟ secara umum membiarkan masalah-masalah

muamalah kemasyarakatan dengan tidak memberikan aturan dan

batasan yang baku dan terinci, sehingga lapangan gerak hukum

Islam menjadi luas melalui proses ijtihad. Dalam proses ijtihad,

dengan demikian, ‘urf memiliki peranan yang penting, bersama-

sama dengan nas}s}, untuk menentukan batasan dan rincian masalah-masalah yang sesuai dengan hukum syara‟.

76

Dengan menggunakan teori-teori di atas, khususnya teori

kombinasi deduksi-induksi, penelitian ini mengkaji dan

menganalisis bangunan filsafat dan metodologi dari KHI bidang

perkawinan. Kemudian dengan teori ini pula bangunan filsafat dan

metodologi KHI tersebut berusaha dikritisi sehingga pada gilirannya

akan dapat dijadikan pijakan bagi pengembangan materi hukum

perkawinan Islam di lingkungan Peradilan Agama, khususnya

bidang perkawinan yang sampai sekarang masih dalam tahap

pembahasan dan sosialisasi. Di samping itu, pengembangan hukum

keluarga Islam di Indonesia ini juga perlu dikaitkan dengan adat dan

konteks sosial kultural masyarakat Indonesia. Hal ini dimungkinkan

karena dalam hukum Islam adat kebiasaan (al-‘urf, al-‘ādah) adalah

74

Al-Shāt}ibī, al-Muwāfaqāt, III: 7-10. 75

Al-Shāt}ibī, al-Muwāfaqāt, II: 273-275. 76

Yūsuf al-Qarad}āwī, Keluasan dan Keluwesan Hukum Islam, alih bahasa

Said Agil Husin Al Munawar (Semarang: Dina Utama, 1993), 19.

27

salah satu sumber dan dasar pertimbangan hukum.77

Hukum Islam

dan adat dengan demikian tidak selayaknya dipertentangkan, tetapi

dapat berjalan seiring bahkan keduanya saling menyapa dan

berdialektika. Oleh karena itu, penalaran induktif yang dimaksud di

sini juga mencakup penalaran yang mempertimbangkan realitas adat

istiadat dan kebiasaan yang ada di tengah masyarakat Indonesia.

8. Metodologi Penelitian

Penelitian ini berusaha membedah dan menganalisis KHI

bidang perkawinan, tidak hanya materi hukumnya tetapi justru

yang menjadi fokus adalah tataran filsafat hukum dan metodologi

penetapan hukum yang digunakan. Oleh karena itu, secara

metodologis, penelitian ini menggunakan pendekatan Ushul Fikih

(Metodologi Penetapan Hukum Islam). Dengan pendekatan

tersebut, di samping dikaji pemikiran yang ada dalam KHI, juga

dikritisi sehingga dapat diketahui kekuatan dan kelemahannya. Hal

ini kemudian pada gilirannya dapat menjadi jalan dan pijakan bagi

upaya pembaruan dan tawaran metodologi baru bagi pengembangan

hukum keluarga Islam di Indonesia, sehingga diharapkan materi

hukum yang didapat nantinya dapat berkontribusi bagi pembaruan

hukum materil yang berlaku di lingkungan peradilan agama,

khususnya dalam bidang perkawinan.

Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka, terutama

pustaka yang berkaitan dengan pembahasan Ushul Fikih serta

pustaka yang membahas tentang KHI. Ushul Fikih ini, sebagaimana

dikemukakan pada perkembangannya memuat bidang filsafat

hukum Islam serta bidang teori dan metodologi hukum Islam. Oleh

karena itu, sumber data primernya adalah buku-buku Ushul Fikih

dari berbagai mazhab dan kecenderungan pemikiran, baik yang

klasik maupun kontemporer. Antara lain; Ali> H}asaballah, Us}ūl at-Tashri’ al-Isla>mi>, Abdul Karim Zaidan, al-Waji>z fi> Us}ūl al-Fiqh. Di

samping itu, buku-buku hukum perkawinan Islam juga menjadi

sumber data primer, baik buku-buku klasik maupun buku

kontemporer yang umumnya berperspektif keadilan gender.

Sementara itu, sumber sekundernya adalah buku-buku lain

mengenai hukum perkawinan Islam di negara-negara muslim, yang

77

Salah satu kaidah hukum Islam menyatakan al-‘ādah muh}akkamah (adat

kebiasaan merupakan dasar bagi penetapan hukum). Ah}mad az-Zarqā, Shari >’ al-

Qawā’id al-Fiqhiyyah (Damaskus: Dār al-Qala>m,1989), 219.

28

ada kaitannya dengan pokok masalah baik langsung maupun tidak

langsung.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bersifat

deskriptif-analitis, yaitu berusaha mendeskripsikan secara lengkap

muatan KHI bidang perkawinan, baik dalam bidang filsafat dan

metodologinya maupun materi hukumnya, kemudian isi dari data

yang diperoleh tersebut dianalisis dan diinterpretasi untuk

memetakan dan mengklasifikasi muatan yang ada pada KHI bidang

perkawinan. Di samping itu, penelitian ini juga bersifat preskriptif,

karena tidak hanya mendeskripsikan muatan hukum yang ada,

tetapi juga mengkritisi dan berusaha menempatkannya dalam

perspektif pembaruan hukum perkawinan di dunia Islam. Dengan

kajian seperti itu, hasil penelitian ini pada gilirannya dapat

dikembangkan dan kemudian diaplikasikan pada pembentukan

materi-materi hukum perkawinan Islam sebagai tawaran dan

kontribusi bagi pembaruan hukum materil bidang perkawinan bagi

peradilan agama di Indonesia.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara dokumentasi,

yaitu penelusuran terhadap pasal demi pasal dalam KHI bidang

perkawinan untuk dapat mengkaji landasan filosofis dan

metodologi seperti apa yang dipegangi oleh KHI tersebut, dan juga

ditelusuri data tentang pembaruan hukum perkawinan yang ada di

negera-negara muslim sehingga kemudian dapat menempatkan

posisi KHI di dalamnya. Di samping itu, digunakan juga metode

interview atau wawancara. Informan yang dijadikan sumber data

adalah tokoh-tokoh yang memahami proses pembentukan KHI dan

isi materi hukum yang dikandungnya. Kemudian, dalam

menganalisis data yang terkumpul, dipergunakan metode induksi,

yaitu data parsial dari berbagai sumber mengenai muatan pemikiran

hukum perkawinan dalam KHI dikumpulkan, diklasifikasikan, dan

digeneralisir untuk mendapatkan kesimpulan yang berupa landasan

filosofis dan bangunan metodologi yang ada yang kemudian

dikembangkan supaya dapat memberikan kontribusi secara

maksimal bagi pembaruan hukum perkawinan di Indonesia. Di

samping itu, metode komparatif juga digunakan untuk

membandingkan beberapa hal yang berkaitan antara KHI dengan

upaya pembaruan hukum keluarga lain di Indonesia dan juga antara

KHI dengan hukum perkawinan di negara-negara muslim. Untuk

melakukan kajian kritis terhadap filsafat dan metodologi hukum

29

Islam yang ada juga dilakukan pengumpulan data secara induktif

dari berbagai buku-buku Uṣul Fikih, dengan memperhatikan

keberlanjutan dari pemikiran filsafat dan metodologi yang telah ada

serta mempertimbangkan juga fleksibilitas bangunan metodologi

yang diformulasi supaya dapat sesuai dengan konteks masyarakat

Indonesia saat ini.

9. Sistematika Pembahasan

Dalam melakukan pembahasan, penelitian ini disistematisasi

menjadi enam bab sebagai berikut. Bab pertama dibahas

pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pokok masalah,

tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka, kerangka teori yang

digunakan, metode penelitian serta sistematika pembahasan.

Dengan menggunakan pendekatan, kerangka teori dan metode

penelitian yang telah ditentukan, bab-bab selanjutnya dari

penelitian ini mengkaji permasalahan-permasalahan pokok yang

menjadi fokus kajian.

Pada bab kedua ditelusuri kerangka ushul fikih sebagai

metode penemuan hukum Islam. Bab ini memuat bahasan tentang

maqashid syariah sebagai landasan penetapan hukum Islam, relasi

antara maqashid syariah dan nas}s} (teks syariah), serta metode

Penemuan Hukum Islam antara pendekatan bahasa dan pendekatan

makna rasional. Selanjutnya bab ketiga dikaji hukum perkawinan di

Indonesia dilihat dari perspektif pembaruan hukum keluarga di

dunia Islam. Bab ini pertama membahas sejarah dan perkembangan

hukum keluarga di dunia Islam, kemudian berturut-turut dikaji

tentang pembaruan materi hukum perkawinan dalam aturan

perundang-undangan di negara-negara Islam, sejarah dan

perkembangan hukum perkawinan di Indonesia serta terakhir

dianalisis pembaruan Hukum Perkawinan Islam di Indonesia dalam

KHI.

Kemudian pada bab keempat diuraikan pembaruan KHI

bidang perkawinan dalam prespektif ushul fikih. Kajian ini dengan

melakukan penelusuran materi-materi pembaruan yang ada dalam

KHI bidang perkawinan yang dikelompokkan menjadi tiga tema

besar yaitu relasi antara laki-laki dan perempuan, perlindungan hak-

hak anak dan peran lembaga pemerintah dalam perkawinan. Dengan

menelusuri dan menganalisis dasar ist}imba>t} hukum atau dasar

30

metodologis-ushul fikih yang digunakan oleh KHI dan juga

perbandingannya dengan negara lain.

Selanjutnya pada bab kelima adalah penyimpulan dari

analisis konstruksi ushul fikih KHI bidang perkawinan serta upaya

pembaruannya. Bab ini berisi nalar hukum perkawinan Islam dalam

KHI, kemudian nas}s} dan mas}lah}ah sebagai sumber penetapan

hukum perkawinan Islam dalam KHI, didalamnya juga dilakukan

kritik metodologis-Ushul Fikihnya dan terakhir dikaji respon dan

tawaran pembaruan terhadap KHI bidang perkawinan di Indonesia,

yang menyangkut topik-topik tentang relasi antara laki-laki dan

perempuan, perlindungan hak-hak anak dan peran lembaga

pemerintah dalam perkawinan.

Pembahasan ini kemudian diakhiri dengan penutup pada bab

keenam yang berisi kesimpulan sebagai hasil dari penelitian ini dan

saran sebagai tawaran tindak lanjut yang perlu dilakukan.