institutional repository uin syarif hidayatullah jakarta:...
TRANSCRIPT
-
v
ABSTRAK
Muhammad Fadli Amrullah, 1113044000041, “Status Anak Hasil
Perkawinan Konversi Agama dan Relevansinya dengan Ham Anak (Studi Kasus
Putusan Nomor 1370/Pdt.G/2014/Pa.Dpk dan Nomor 217/Pdt.G/2014/Pta.Bdg)”. Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019 M/1440 H, xi + 94 halaman + 2 lampiran.
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk: a). Untuk mengetahui pertimbangan hakim
pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama mengenai status anak hasil perkawinan
konversi agama b). Untuk mengetahui status anak yang lahir pada perkawinan konversi
agama menurut hukum Islam dan Perundang-undangan c). Untuk mengetahui status
anak yang lahir pada perkawinan konversi agama dan relevansinya dengan HAM anak.
Jenis penelitian yang di gunakan yaitu penelitian kualitatif. Pendekatan yang di
gunakan adalah yuridis normatif. Sumber data primer diperoleh dari peraturan
perundang-undangan, Kompilasi Hukum Islam dan Hasil Putusan Nomor
1370/Pdt.G/2014/Pa.Dpk dan Nomor 217/Pdt.G/2014/Pta.Bdg., sumber data sekunder,
yaitu : studi kepustakaan dan situs-situs internet yang dapat dipertanggung-jawabkan
yang tentunya memiliki keterkaitan dengan masalah skripsi, pendapat para ahli atau
sumber data yang lain yang relevan dan berhubungan dengan penelitian ini.
Skripsi ini menyimpulkan: a). Pertimbangan Pengadilan Agama Depok, Majelis
Hakim menilai Penggugat dan Tergugat tidak mempunyai legal standing dalam perkara
ini dan gugatan penggugat tidak dapat di terima, adapun Pertimbangan Pengadilan
Tinggi Agama Bandung terjadi perbedaan pendapat, H.M. Luqmanul Hakim Bastary
dan H. Fathullah Bayumi, Membatalkan Putusan Pengadilan Agama Depok
sebelumnya, Menjatuhkan talak satu ba’in shughra dari Tergugat terhadap Penggugat,
Menetapkan anak kedua dan ketiga dari Penggugat dan tergugat berada dibawah
pemeliharaan Penggugat. Sedangkan Hakim H. Muhammad Basri Nasution, Bila
Penggugat berpegang teguh pada kutipan akta yang dikeluarkan KUA maka berakibat
hukum pada anak yang lahir sebelum akad nikah secara Islam. b). Status Anak yang
lahir Pada Perkawinan pelaku konversi agama (pasangan muallaf) di Indonesia yang
telah melahirkan anak sebelum ia masuk dan akad nikah secara Islam berimplikasi
hukum terhadap status anaknya, yaitu dianggap berstatus anak tidak sah/ anak zina
disebabkan karena hubungan luar nikah ia menjadi kehilangan hubungan nasab
(perdata) dengan sang ayah kandungnya dan hanya berhubungan nasab dengan ibu atau
keluarga dari ibunya. c). Majelis Hakim harus memberikan penegasan dan kepastian
hukum terhadap anak pertama yang lahir sebelum akad nikah secara Islam di dalam
amar putusan. Oleh karena itu sudah semestinya anak selaku tunas bangsa mendapat
perlindungan secara hukum baik dari orang tua, keluarga, masyarakat dan Negara. Hal
tersebut menimbulkan paradoks antara UU perlindungan anak No 23 tahun 2002 dengan
UU No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Disatu sisi adanya
perlindungan terhadap hak hak anak, namun disisi lain justru anak kehilangan haknya
karena perbedaan status yang di anggap anak tidak sah disebabkan karena hubungan
luar nikah ia menjadi kehilangan hubungan nasab (perdata) dengan sang ayah
kandungnya.
Kata kunci : Konversi Agama, Status Anak
Pembimbing : Dr. Azizah, M.A
Daftar Pustaka : 1984-2018
-
vi
بسم اهلل الرحمن الرحيم
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah
memberikan limpahan kekuatan, rahmat, kasih-sayang dan kemudahan serta
nikmat sehingga dengan izin-Nya syukur Alhamdulillah penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi ini sebagai syarat guna memperoleh gelar
Sarjana Hukum (S.H.).
Tak lupa shalawat beriring salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
Baginda Nabi Muhammad Rasulullah SAW. Beserta keluarganya yang telah
menebarkan cahaya Islam keseluruh penjuru dunia sehingga penulis dapat
menikmati indahnya hidup dalam naungan cahaya Islam yang terang benderang
juga semoga syafaat-Nya senantiasa tercurahkan kepada umat manusia.
Dalam proses penulisannya, berbagai hambatan, kesulitan, kebingungan,
dan kebekuan berfikir pernah penulis alami. Akan tetapi, dengan kekuatan yang
Allah SWT berikan pun berhasil menghalau semua hambatan tersebut.
Keberhasilan yang penulis raih tentunya tidak akan terlepas dari peran dan
dukungan serta doa-doa dari orang-tua, keluarga, sahabat, rekan mahasiswa dan
orang-orang yang penulis kasihi maupun yang mengasihi penulis. Oleh karena itu,
penulis hendak menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada para pihak
yang telah mendukung penuh penulis dalam penulisan skripsi ini, diantaranya:
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Karlie S.Ag. M.A. Selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang senantiasa
selalu memberikan pencerahan dan motivasi bagi mahasiswa/i Fakultas
Syariah dan Hukum untuk meraih masa depan yang gemilang dan berani
bersaing dalam kancah perkembangan Indonesia, selain itu beliau pula
selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu membimbing,
mengarahkan, mengajarkan, dan memotivasi penulis dalam penyelesaian
penulisan skripsi ini dari awal hingga akhir penulisan. Jasa-jasa beliau
-
vii
begitu besar dan tiada tara, hanya ucapan terima kasih dan doa yang bisa
penulis sampaikan. Semoga beliau selalu diberikan kesehatan dan terus
membimbing mahasiswa/i kearah yang lebih baik..
2. Ibu Dr. Hj. Mesraini, M.Ag dan Bapak Chairul Hadi, MA. Selaku Ketua
dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga yang telah banyak
meluangkan waktu dan arahannya dalam membimbing penulis selama
perkuliahan hingga penulisan skripsi ini. Semoga beliau senantiasa
diberikan kesehatan oleh Allah SWT.
3. Ibu Dr. Azizah, M.A. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang selalu
membimbing, mengarahkan, mengajarkan, dan memotivasi penulis dalam
penyelesaian penulisan skripsi ini dari awal hingga akhir penulisan. Jasa-
jasa beliau begitu besar dan tiada tara, hanya ucapan terima kasih dan doa
yang bisa penulis sampaikan. Semoga beliau selalu diberikan kesehatan
dan terus membimbing mahasiswa/i kearah yang lebih baik.
4. Bapak-bapak dan ibu-ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang tak
kenal lelah mengajarkan penulis berbagai ilmu, pengalaman hidup, serta
petuah-petuah kepada penulis. Besar harapan penulis semoga ilmu yang
penulis dapatkan dari bapak/ibu dapat bermanfaat bagi penulis khususnya
dan orang banyak pada umumnya serta menjadi bekal amal kebaikan bagi
Bapak dan Ibu.
5. Pimpinan dan segenap Staff Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
khususnya Perpustakaan Syariah dan Hukum yang telah banyak membantu
dalam kelancaran penulisan skripsi ini.
6. Ayahanda dan Ibunda, Bapak Babas, S.Ag, MM.Pd dan Ibu Siti Zahroh,
S.Ag. Adik-adik ku Eva Khoirunnisa dan Muhammad Fauzan Izzul Haq,
serta keluarga besar yang senantiasa selalu menjadi inspirator, motivator,
penyejuk jiwa, penenang hati, dan pendorong semangat serta yang selalu
memberikan kekuatan batin. Dengan segenap jiwa raganya, tetesan
keringat, linangan air mata, teriknya mentari, dinginnya malam dan hujan,
tanpa lelah beliau korbankan demi keluarga hingga sekarang ini penulis
bisa berada di tingkat Universitas. Perjuanganmu tiada tara, kasih
-
viii
sayangmu tak lekang oleh waktu. Semoga Allah SWT selalu membalas,
melindungi dan menjagamu.
7. Sahabatku Luthfan Dimas Pratama yang senantiasa tak henti-henti
menemani, membantu dan memotivasi penulis.
8. Sahabat-sahabatku di Hukum Keluarga, Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia Komisariat Fakultas Syariah dan Hukum, Keluarga Besar Prodi
Ahwal Syakhsiyyah, yang senantiasa selalu membantu dan memotivasi
penulis dalam penulisan skripsi ini.
9. Sahabat-sahabatku yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun
telah memberikan bantuan dan kontribusi yang cukup besar sehingga
penulis dapat lulus menjalani perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Atas segala bantuannya penulis menghaturkan jazakumullah khoiro
katsiro, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan para pembaca tentunya.
Jakarta, Desember 2019
Penulis
-
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................... 7
C. Batasan dan Rumusan Masalah .............................................. 7
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 8
E. Review Studi Terdahulu ......................................................... 9
F. Metode Penelitian................................................................... 10
G. Sistematika Penulisan ............................................................ 13
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG STATUS ANAK DAN
KONVERSI AGAMA
A. Status anak menurut Hukum Islam ........................................ 15
B. Status anak menurut Hukum Positif ....................................... 31
C. Konversi Agama..................................................................... 40
BAB III PUTUSAN PENGADILAN AGAMA DAN PENGADILAN
TINGGI AGAMA TENTANG STATUS ANAK HASIL
PERKAWINAN KONVERSI AGAMA
A. Putusan Pengadilan Agama Nomor 1370/Pdt.G/2014/PA.Dpk 52
-
x
B. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Nomor 217/
Pdt.G//2014/PTA.Bdg ............................................................. 58
BAB IV Analisis Terhadap Status Anak Hasil Perkawinan Konversi
Agama dan Relevansinya dengan HAM Anak
A. Perbandingan pertimbangan Hakim Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama mengenai status anak hasil
perkawinan Koversi Agama ..................................................... 65
B. Persamaan dan Perbedaan Status Anak hasil Perkawinan
Konversi Agama dalam Hukum Islam dan Hukum Positif ...... 67
C. Relevansi Putusan Pengadilan Agama dan Putusan
Pengadilan Tinggi Agama dengan HAM terkait anak ............ 78
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 84
B. Rekomendasi .......................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 87
LAMPIRAN-LAMPIRAN
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat.
Eksistensi ini adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki
dengan seorang wanita.1Undang-undang perkawinan bertujuan mengatur
pergaulan hidup yang sempurna, bahagia dan kekal di dalam suatu rumah
tangga guna terciptanya rasa kasih sayang dan saling mencintai. Namun
kenyataan sejarah umat manusia telah berusia ratusan tahun telah
membuktikan bahwa tidak selalu itu dapat dicapai, bahkan sebaliknya kandas
ataupun gagal sama sekali ditengah jalan, karena tidak tercapainya kata
sepakat atau karena salah satu pihak/ kedua belah pihak yang berperilaku
bertentangan dengan ajaran agama.
Di Indonesia, Undang-undang yang mengatur kehidupan perkawinan ini
adalah Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Undang-undang
ini bersifat nasional, karena sebelum lahirnya Undang-undang ini terdapat
berbagai macam peraturan perkawinan yang pernah berlaku di Indonesia.2
Dalam pasal 2 ayat (1) Undang–undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974
ditetapkan bahwa : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing–masing agama dan kepercayaannya itu”. Sangatlah jelas
bahwa urgensitas agama berada pada tingkatan tertinggi, hingga kecil
kemungkinan untuk kawin dengan melanggar “hukum agamanya sendiri serta
penafsirannya bahwa perkawinan tidak sah apabila tidak dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Oleh Prof.
Dr. Hazairin, S.H. ditegaskan bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan
1Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana,
2010), h. 99. 2Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal Center
Publishing, 2007), h. 1-2
-
2
untuk kawin dengan melanggar hukum agama sendiri,3 Begitu juga bagi
orang Kristen atau agama lainnya, tidak ada kemungkinan kawin dengan
melanggar hukum agamanya. Bahkan, terkait uji materi Undang-undang
perkawinan pada pasal 2 ayat 1 yang telah diajukan oleh ke lima mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas Indonesia pun ditolak oleh Hakim Mahkamah
Konstitusi, sehingga memberikan keputusan bahwasanya perkawinan beda
agama adalah perkawinan yang inkonstitusional.
Penetapan asal-usul anak dalam berbagai perspektif hukum memiliki arti
yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui
hubungan nasab antara anak dengan ayahnya. Kendatipun pada hakikatnya
setiap anak yang lahir berasal dari sperma seorang laki-laki dan sejatinya
harus menjadi ayahnya, namun perspektif berbagai hukum memberikan
ketentuan lain, seperti halnya hukum Islam dan hukum positif. Masalah anak
sah dalam hukum positif diatur di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 pada pasal 42, 43 dan 44 yang berkenaan dengan pembuktian asal-usul
anak, Undang-undang Perkawinan di dalam pasal 55 menegaskan:
1. Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta
kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang.
2. Bila akta kelahiran tersebut dalam ayat (1) tidak ada, pengadilan
dapat mengeluarkan penetapan asal-usul seorang anak setelah
diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang
memenuhi syarat.
3. Atas dasar ketentuan pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka
instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum pengadilan
yang mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Di dalam pasal-pasal di atas ada beberapa hal yang diatur. Pertama, anak
sah adalah yang lahir dalam dan akibat perkawinan yang sah. Paling tidak ada
dua bentuk kemungkinan: anak sah lahir akibat perkawinan yang sah dan
anak yang lahir dalam perkawinan yang sah. Kedua, lawan anak sah adalah
3Mohammad Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (Suatu Analisis dari Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), (Jakarta: Bumi Aksara, 2004 cet-5), h. 194.
-
3
anak luar perkawinan yang hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya
saja. Sampai disini, agaknya inspirasi Undang-undang Perkawinan adalah
hukum Islam yang mengatur anak zina hanya memiliki hubungan perdata
dengan ibunya. Ketiga, suami berhak melakukan pengingkaran atau
penyangkalan terhadap sahnya seorang anak. Keempat, bukti asal-usul anak
dapat dilakukan dengan akta kelahiran.4
Undang-undang Perkawinan sampai saat ini belum mengatur secara
khusus tentang penguasaan anak bahkan di dalam PP Nomor 9 Tahun 1975
secara luas dan rinci. Sehingga pada waktu itu sebelum tahun 1989, para
hakim masih menggunakan kitab-kitab fiqih. Barulah setelah di
berlakukannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres
No.1 Tahun 1999 tentang penyebar luasan KHI, masalah hadanah menjadi
hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama di beri wewenang untuk
memeriksa dan menyelesaikannya.5
Kendati demikian, secara global sebenarnya Undang-undang Perkawinan
telah memberi aturan pemeliharaan anak tersebut yang dirangkai dengan
akibat putusnya sebuah perkawinan. Di dalam pasal 41 dinyatakan:
Apabila perkawinan putus karena perceraian, maka akibat itu adalah:
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bila mana
ada perselisihan mengenai penguasaan anak pengadilan
memberikan keputusannya.
2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak, bilamana bapak dalam
kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut,
pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut.
4 Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (studi krisis
Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No 1/1974 sampai KHI ), (Jakarta, kencana, 2014 cet
ke-5), h. 301 5 Abdul, Mannan, “Problematika Hadhanah dan Hubungannya dengan Praktik Hukum
Acara di Peradilan Agama, dalam, Mimbar Hukum No. 49 THN. IX 2000, h. 69.
-
4
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu
kewajiban bagian bekas istri.
Menyangkut kewajiban orang tua terhadap anak di muat didalam Bab X
pasal 45 sampai dengan pasal 49. Pasal-pasal tersebut jelas menyatakan
kepentingan anak tetap diatas segala-galanya. Artinya semangat Undang-
undang Perkawinan sebenarnya sangat berpihak kepada kepentingan dan
masa depan anak. Hanya saja Undang-undang Perkawinan hanya menyentuh
aspek tanggung- jawab pemeliharaan yang masih bersifat material saja dan
kurang memberi penekanan pada aspek pengasuhan non materialnya.
Semangat pengasuhan material dan non material inilah yang akan di pertegas
oleh KHI.6
Di dalam pasal 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan
dengan tegas:
Perkawinan dapat di batalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Istilah dapat di batalkan dalam undang-undang ini berarti dapat
difasidkan jadi relative nietig. Dengan demikian perkawinan dapat di
batalkan berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu di batalkan karena
adanya pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu.7
Ada kesan pembatalan perkawinan ini terjadi karena tidak berfungsinya
pengawasan baik dari pihak keluarga atau pejabat berwenang sehingga
perkawinan itu terlanjur terlaksana kendati setelah itu di temukan pelanggaran
terhadap undang-undang perkawinan atau hukum munakahat. Jika ini terjadi
maka pengadilan agama dapat membatalkan perkawinan tersebut atas
permohonan pihak-pihak yang berkepentingan. Adapun pihak-pihak yang
dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah para keluarga dalam garis
6 Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (studi
krisis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No 1/1974 sampai KHI ), (Jakarta, kencana,
2014 cet ke-5), h. 301 7Martiman Prodjohamidjodjo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal
Center Publishing, 2002), h.25.
-
5
keturunan lurus keatas dari suami dan istri dan orang-orang yang memiliki
kepentingan langsung terhadap perkawinan tersebut.8
Sampai disini suatu perkawinan dapat batal demi hukum dan bisa
dibatalkan oleh pengadilan. Secara sederhana ada dua sebab terjadinya
pembatalan perkawinan. Pertama, pelanggaran prosedural perkawinan.
Kedua, pelanggaran terhadap materi perkawinan. Contoh pertama , misalnya
tidak terpenuhinya syarat-syarat wali nikah, tidak di hadiri para saksi dan
alasan prosedural lainnya. Sedangkan yang kedua contohnya adalah
perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman, terjadi salah sangka mengenai
calon suami dan istri.
Untuk lebih rincinya sebab-sebab terjadinya pembatalan perkawinan
tersebut dapat dilihat di bawah ini menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974.
Adapun perkawinan yang dapat di batalkan adalah seperti yang terdapat
di dalam Undang-undang Perkawinan sebagai berikut: pasal 22,24,26,27.
Selanjutnya berkenaan dengan pihak-pihak yang berkualitas sebagai
penggugat dalam perkara pembatalan perkawinan adalah:9 pasal 23. Adapun
menyangkut saat mulai berlakunya pembatalan perkawinan di muat di dalam
pasal 28 ayat 1,10
batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai
kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya
perkawinan.
Menurut perspektif KHI dalam pasal-pasalnya menggunakan istilah
pemeliharaan anak yang di muat di dalam Bab XIV pasal 98-106. Beberapa
pasal yang penting akan di kutipkan disini:
Pada Pasal 98 tertera :
8 Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (studi krisis
Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No 1/1974 sampai KHI ), (Jakarta, kencana, 2014 cet
ke-5), h. 107 9Abdul Mannan dan Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata: wewenang peradilan Agama,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2000), h. 19 10
Lihat lebih rinci pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
-
6
1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21
(dua puluh satu) tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat secara
fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan
hukum di dalam dan diluar pengadilan.
3) Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat
yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang
tua nya tidak mampu.
Pasal yang secara eksplisit mengatur masalah kewajiban pemeliharaan
anak dan harta jika terjadi perceraian hanya terdapat di dalam pasal 105 dan
106. Pasal-pasal KHI tentang hadhanah menegaskan bahwa kewajiban
pengasuhan material dan non material merupakan dua hal yang tidak dapat di
pisahkan. Lebih dari itu, KHI malah membagi tugas-tugas yang harus di
emban kedua orang tua kendatipun mereka berpisah. Anak yang belum
mumayyiz tetap di asuh oleh ibunya, sedangkan pembiayaan menjadi
tanggung jawab ayahnya. KHI juga menentukan bahwa anak yang belum
mumayyiz atau yang belum berumur 12 tahun adalah hak bagi ibu untuk
memeliharanya, sedangkan apabila anak tersebut sudah mumayyiz, ia dapat
memilih antara ayah dan ibunya untuk bertindak sebagai pemeliharaannya.11
Menarik mencermati dari pembahasan hak asuh anak atau hadhanah dari
kasus perkawinan yang terjadi di Kota Depok ini, penulis menemukan
kejanggalan terkait keputusan yang diambil oleh Majelis Hakim baik
ditingkat Pengadilan Agama Kota Depok maupun pada Tingkat Pengadilan
Tinggi Agama Kota Bandung.
Terkait hasil amar putusan dari Pengadilan Tinggi Agama Bandung yang
mana menurut asumsi penulis perlu dianalisis secara lebih mendalam, dalam
membahasperihal hak asuh anak yang ditetapkan oleh Majelis Hakim
terhadap pasangan tersebut.
11
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (studi krisis
Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No 1/1974 sampai KHI ), (Jakarta, kencana, 2014 cet
ke-5), h. 302.
-
7
Hal tersebutlah yang membuat penulis tertarik untuk melakukan
penelitian hukum yang berjudul STATUS ANAK HASIL PERKAWINAN
KONVERSI AGAMA DAN RELEVANSINYA DENGAN HAM ANAK
(Studi Putusan Pengadilan Agama Nomor 1370/Pdt.G/2014/PA.DPK
dan Pengadilan Tinggi Agama Nomor 217/Pdt.G/2014/Pta.Bdg)”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah terdahulu dapat dipetik beberapa
persoalan yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, hak asuh anak
serta penyelesaian perkara perkawinan lainnya bagi persoalan tersebut
diantaranya adalah:
a. Bagaimana Hukum Pelaku Perkawinan Konversi Agama ?
b. Bagaimana status anak yang lahir pada perkawinan konversi agama
menurut hukum Islam ?
c. Bagaimana status anak yang lahir pada perkawinan konversi agama
menurut Perundang-undangan di Indonesia?
d. Bagaimana status anak yang lahir pada perkawinan konversi agama dan
relevansinya dengan HAM anak ?
e. Apa pertimbangan hakim pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama
mengenai status anak hasil perkawinan konversi agama?
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Untuk menghindari meluasnya pembahasan dan agar terkait langsung
pada titik utama permasalahan, maka dalam penulisan skripsi ini dibatasi
terhadap penelitian pada kasus yang sudah diputuskan pada putusan
pengadilan agama depok Nomor 1370/Pdt.G/2014/PA.DPK dan Putusan
Pengadilan Tinggi Agama Nomor 217/PDT.G/2014/PTA.BDG. dikarenakan
menurut asumsi penulis, penulis melihat terjadinya kealpaan majelis hakim
dalam mempertimbangkan hukum di Pengadilan agama depok dan
pengadilan Tinggi Agama Bandung, lebih dalam lagi penulis tertarik untuk
menilik lebih lanjut bagaimana status anak pertama yang lahir dari pasangan
penggugat dan tergugat yang sangat menarik untuk diteliti.
-
8
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka penyusun dapat
merumuskan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut:
a. Apa pertimbangan hakim pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama
mengenai status anak hasil perkawinan konversi agama?
b. Bagaimana status anak yang lahir pada perkawinan konversi agama
menurut hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia?
c. Bagaimana status anak yang lahir pada perkawinan konversi agama dan
relevansinya dengan HAM anak ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini yaitu terjawabnya
semua permasalahan yang dirumuskan antara lain :
a. Untuk mengetahui pertimbangan hakim pengadilan agama dan
pengadilan tinggi agama mengenai status anak hasil perkawinan
konversi agama?
b. Untuk mengetahui status anak yang lahir pada perkawinan konversi
agama menurut hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia?
c. Untuk Mengetahui status anak yang lahir pada perkawinan konversi
agama dan relevansinya dengan HAM anak ?
2. Manfaat Penelitian
Diharapkan dengan adanya penelitian inidapat memberikan kontribusi
positif dan manfaat dalam segi akademik maupun praktik, yaitu:
a. Secara Akademis
Dapat menjadi aspek pendukung dalam pengembangan ilmu
pengetahuan yang berkaitan dengan Hukum Keluarga, serta agar
penelitian ini dapat menjadi bahan bacaan bagi kalangan akademisi,
praktisi, dan masyarakat terutama dalam persoalan perkawinan
inkonstitusional.
-
9
b. Secara Praktis
Syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Program Studi
Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta 2017.
E. Review Studi Terdahulu
Review studi terdahulu ini akan memaparkan beberapa penelitian yang
sudah dilakukan, baik berupa skripsi, tesis, ataupun penelitian-penelitian
lainnya yang pernah membahas atau berkaitan dengan pemutusan perkawinan
bagi pasangan yang tercatat dalam dua lembaga perkawinan. Sepanjang
pengetahuan penulis topik yang penulis teliti baik dalam katalog perpustakaan
universitas lain, perpustakaan utama UIN Jakarta ataupun perpustakaan
Fakultas Syariah dan Hukum, belum pernah di teliti oleh peneliti lainnya,
namun ada beberapa judul skripsi yang mendekati permasalahan bahasan
yang penulis teliti, diantaranya :
1. Skripsi dengan judul : Penetapan Hak Asuh Anak Kepada Ibu Non
Muslim (Studi Analisis putusan Pengadilan Agama Jakarta
PusatOleh: Fauzan Kuswara (104044101430) skripsi ini membahas
tentang masalah penetapan hak asuh anak oleh majelis hakim pengadilan
agama Jakarta pusat tentang hak asuh anak yang di berikan kepada ibu,
meskipun si ibu diketahui beragama non-muslim, perbedaan nya perkara
perceraian antara pasangan beda agama dengan menetapkan hak asuh
anak yang jatuh kepada ibu non muslim. Dalam putusan perkara No.
433/PDT.G/2007/PAJP, yang menetapkan hak asuh anak kepada ibu non
muslim dan hal apa yang menjadi dasar pertimbangan hakimdalam
menetapkan hak asuh anak dalam perkara cerai gugat.
2. Skripsi dengan judul Hak Asuh Anak Terhadap Orang Tua yang
Bercerai Karena Berbeda Agama (Analisis Keputusan ijtima’ulama
komisi fatwa se indonesia V Tahun 2015)oleh : Masrur Rahmansyah
(1110043100048) Konsentrasi Perbandingan Madzhab Fiqih Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2016)Skripsi ini membahas tentang pandangan MUI
-
10
3. Jurnal denga judul : Komparasi Hak Asuh dan Hak Nafkah Anak
dalam putusan-putusan perceraian di pengadilan agama kota
Surakarta, Oleh: Anjar S C Nugraheni, Diana Tantri C, Zeni Luthfiyah,
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, jurnal ini membahas tentang
perlindungan hukum hak-hak anak pasca perceraian kedua orangtuanya
baik hak asuh maupun hak nafkah anak, penelitian ini termasuk
penelitian sosiologis. Data primer diperoleh melalui wawancara dan data
sekunder diperoleh melalui studi pustaka putusan-putusan hakim di PN
dan PA Kota Surakarta. Teknik analisis menggunakan analisis data
kualitatif khususnya dengan metode dedukatif. Hasil penelitian
menunjukan sebagian besar putusan tidak mengandung amar putusan
tentang hak asuh dan hak nafkah baik putusan perceraian di PN maupun
di PA, hal ini berarti masih kurangnya perlindungan hukum terhadap
hak-hak anak pasca perceraian kedua orangtuanya. Perbedaan
perlindungan hukumyang di identifikasi antara di PA dan PA, kuasa hak
asuh di seyogyakan adalah ibu jika anak belum berumur 12 tahun
(mumayyiz) dan setelah berumur lebih dari 12 tahun, anak dapat memilih
siapa yang memegang hak asuh atas dirinya serta serta umur kedewasaan
adalah 21 tahun. Sementara di PN tidak ada ketentuan yang jelas siapa
kuasa hak asuh, tidak dikenal istilah mumayyiz dan umur kedewasaan
ada yang mengganggap sampai berumur 18 tahun tapi ada juga yang
sampai berumur 21 tahun.
F. Metode Penelitian
Penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk
memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan yang merupakan pengetahuan yang tersusun secara sistematis
dengan menggunakan kekuatan pemikiran, pengetahuan mana senantiasa
dapat diperiksa dan di telaah secara kritis, akan berkembang terus atas dasar
penelitian-penelitian yang dilakukan.12
12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta; UI Press, 1986), cet. Ke-3, Ed.
Revisi, h. 3,
-
11
Apabila seorang peneliti akan melakukan kegiatan-kegiatan penelitian,
maka sebelumnya dia perlu memahami metode dan sistematika penelitian.
Tanpa metode atau metodologi, seorang peneliti tak akan mampu untuk
menemukan, merumuskan, menganalisa, maupun memecahkan masalah-
masalah tertentu, untuk mengungkapkan kebenaran. Dan memang metodologi
timbul dari karakteristik-karakteristik tertentu dari masalah-masalah yang
khusus.13
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian
kualitatif. Kualitatif berasal dari konsep kualitas “Mutu” atau bersifat
mutu. Kualitatif adalah upaya menemukan kebenaran dalam wilayah-
wilayah konsep mutu.14
Kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian
misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain yang
menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata tertulis atau lisan dari oran-
orang dan perilaku yang diamati.15
2. Pendekatan penelitian
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif, yakni penerapan yang difokuskan untuk mengkaji
penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum
positif.16
Dalam kaitannya pendekatan yuridis normatif disini akan
digunakan beberapa pendekatan turunan yaitu :
a. Pendekatan kasus (case approach).17Pendekatan kasus ini
bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah
13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta; UI Press, 1986), cet. Ke-3, Ed.
Revisi, h. 13, 14
Ipah Farihah, Buku Panduan Penelitian Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: Uin
Jakarta Press), Cet I, h. 37 15
Lexy J. Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2013), Cet. Ke 31, Ed. Revisi, h. 4 16
Sebagai konsekuensi pemilihan topik permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian yang
objeknya adalah permasalahan hukum (sedangkan hukum adalah kaidah atau norma yang
ada dalam masyarakat), maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis
normatif. Lihat Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:
Bayumedia, 2008), h. 295 17
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:
Bayumedia,
2008), h. 302
-
12
hukum yang dilakukan dalam praktek hukum. Terutama mengenai
kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat
dalam yurisprudensi terhadap perkara-perkara yangmenjadi fokus
penelitian.
b. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach), Pendekatan
perundang-undangan (statute approach) adalah suatu pendekatan
yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang berkaitan
dengan perkawinan konversi agama, seperti: Undang-
UndangPerkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
c. Pendekatan konsep (conceptual approach) digunakan untuk
memahami konsep-konsep tentang: konversi agama, pencatatan
perkawinan, perceraian serta penyelesaian perkara perkawinan
lainnya. Dengan didapatkan konsep yang jelas maka diharapkan
penormaan dalam aturan hukum kedepan tidak lagi terjadi
pemahaman yang kabur dan ambigu.
3. Sumber data
Sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian terbagi menjadi
dua sumber, yaitu:
a) Sumber data primer, yaitu:
- Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Nomor 32 Tahun
1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah
Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Perkawinan, Keputusan Pemerintah tentang Kantor Urusan Agama
dan Kantor Catatan Sipil, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
221 A tahun 1975, Kompilasi Hukum Islam (KHI).
- Putusan Pengadilan Agama Depok Nomor 1370/Pdt.G/2014
dan Pengadilan Tinggi Agama Bandung Nomor
217/Pdt.G/2014/PTA.Bdg
b) Sumber data sekunder, yaitu:
- Studi kepustakaan yang berupa buku-buku, Al-quran, As-Sunnah,
jurnal, skripsi, artikel, ensiklopedia, dan situs-situs internet yang
-
13
dapat dipertanggung-jawabkan yang tentunya memiliki keterkaitan
dengan masalah skripsi, pendapat para ahli atau sumber data yang
lain yang relevan dan berhubungan dengan penelitian ini.
4. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah:
a) Studi Pustaka
Dilakukan untuk mendapatkan data tentang teori-teori yang
berkaitan dengan konversi agama, pencatatan perkawinan,
perceraian serta penyelesaian perkara perkawinan lainnya.
b) Dokumentasi
Dokumentasi digunakan untuk mendapatkan data-data yang
dibutuhkan dalamskripsi yang berjudul “Status Anak Hasil
Perkawinan Konversi Agama (Studi Putusan Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama )”.
5. Teknik penulisan
Teknik penulisan skripsi ini telah berdasarkan pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi” yang dikeluarkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syraif Hidayatullah Jakarta, 2017.
6. Metode Analisa Data
Deduktif, yakni dengan menilik semua aturan yang terkait dalam
pembahasan penelitian yaitu Undang-undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, Keputusan Menteri dan juga
Kompilasi Hukum Islam yang berlaku untuk menelaah peraturan
mengenai Status Anak Hasil Perkawinan Konversi Agama dan
relevansinya dengan ham anak (Analisis Putusan Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama)”.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan skripsi ini, penulis membagi
pembahasan menjadi beberapa bab yang diuraikan dalam sistematika sebagai
berikut:
-
14
BAB I Merupakan Pendahuluan yang memuat tentang latar belakang
masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan dan Rumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Review Studi
Terdahulu, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan dan
Daftar Pustaka Sementara.
BAB II Berisikan Tinjauan umum tentang perkawinan, perceraian, Status
anak, dimana tinjauan umum dari masing masing sub
menguraikan pengertian, dasar hukum, macam-macam, sebab-
sebab terjadinya, akibat hukum.
BAB III Berisikan Putusan Pengadilan Tentang status anak hasil
perkawinan konversi agama di Pengadilan Agama dan pengadilan
Tinggi Agama Bandung, dimana masing-masing sub menjelaskan
duduk perkaranya, amar putusannya dan pertimbangan hakimnya.
BAB IV Berisikan tentang analisa terhadap status anak hasil perkawinan
konversi agama, dimana masing-masing sub berisikan jawaban
dari rumusan masalah.
BAB V Berisi tentang penutup yang meliputi kesimpulan dari
permasalahan yang telah dibahas pada bab-bab sebelumnya dan
saran-saran sebagai solusi dari permasalahan.
-
15
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG STATUS ANAK
A. Status Anak Menurut Hukum Islam
1. Pengertian Anak
Berdasarkan kamus besar bahasa indonesia (KBBI), anak adalah
keturunan kedua. Dalam konsideran UU No. 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak adalah amanah dan karunia tuhan yang maha Esa, yang
di dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.
Lebih lanjut dikatakan bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi
muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan
mempunyi ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi
bangsa dan negara pada masa depan. Oleh karena itu agar setiap anak
kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat
kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara
optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu
dilakukam upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan
anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta
adanya perlakuan tanpa diskriminasi.1
Menurut pengetahuan umum, yang di maksud dengan anak adalah
seseorang yang lahir dari hubungan pria dan wanita. Sedangkan yang di
artikan dengan anak-anak atau juvenale, adalah seorang yang masih di
bawah usia tertentu dan belum dewasa serta belum kawin. Pengertian
dimaksud merupakan pengertian yang sering kali dijadikan pedoman
dalam mengkaji berbagai persoalan tentang anak.2
Secara yuridis kedudukan seorang anak menimbulkan akibat hukum.
Dalam lapangan hukum keperdataan, akibat hukum terhadap kedudukan
seorang anak menyangkut kepada persoalan-persoalan hak dan kewajiban,
seperti masalah kekuasaan orang tua, pengakuan sahnya anak,
1 M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk di Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h. 8
2 Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional
Perlindungan Anak serta Penerapannya, (Bandung: Graha Ilmu, 2013), h.1
-
16
penyangkalan sahnya anak, perwalian, pendewasaan serta masalah
pengangkatan anak dan lain-lain.3
Anak merupakan amanah sekaligus karunia Allah SWT., bahkan anak
di anggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan
kekayaan harta benda lainnya. Anak sebagai amanah Allah harus
senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat,
martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus di junjung tinggi. Hak
asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam
Undang-undang Dasar 1945 dan Konvensi perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hak-hak Anak. Dilihat dari sisi kehidupan berbangsa dan
bernegara, anak adalah pewaris dan sekaligus potret masa depan bangsa di
masa datang, generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi
serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta
hak sipil dan kebabasan.4
Anak menurut istilah hukum islam adalah keturunan kedua yang
masih kecil.5 Sifat kecil kalau dihubungkan dengan perwalian, hak milik
dan larangan bertindak sendiri, terbagi menjadi dua tingkatan yaitu :
a. Kecil dan belum mumayyiz. Dalam hal ini, anak sama sekali tidak
memiliki kemampuan untuk bertindak sendiri. Segala perkataan dan
perbuatannya tidak bisa dijadikan pegangan. Jika anak tersebut
membeli atau memberikan sesuatu kepada orang lain, perbuatannya
tidak sah secara hukum. Oleh karen itu, segalanya berada dibawah
tanggung jawab wali anak itu.
b. Kecil dan sudah mumayyiz, dalam hal ini, anak memiliki kemampuan
untuk bertindak meskipun kemampuannya terbatas dan perkataannya
3 Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional
Perlindungan Anak serta Penerapannya, (Bandung: Graha Ilmu, 2013), h.4 4 Andi Syamsu Alam, M fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta,
Kencana, 2008 cet-1), h. 1 5 Abdul Aziz Dahlan, et al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeven 1997, h.112
-
17
sudah dapat dijadikan pegangan. Apabila ia membeli atau menjual
sesuatu kepada orang lain tindakannya sudah di anggap sah.6
Anak dapat di kategorikan mumayyiz , biasanya telah mencapai usia
tujuh tahun dan anak tersebut telah mengerti akad transaksi secara
kesuluruhan. Ia memahami perkataan yang di ucapkannya, bahwa membeli
itu menerima barang sedang menjual itu memberikan barang. Anak itu
juga mengerti tentang untung rugi.
Jikalau usianya masih kurang dari tujuh tahun, maka anak itu
hukumnya belum mumayyiz, walaupun ia mengerti tentang istilah-istilah
menjual dan membeli. Sebaliknya, terkadang anak sudah berusia lebih
tujuh tahun akan tetapi masih belum mengerti tentang jual beli dan
sebagainya, maka belum dapat dikategorikan mumayyiz.7
Hukum kecil terhadap seorang anak tetap berlaku sampai anak itu
dewasa. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur‟an surat an-Nisa
ayat 6 yakni :
Artinya: “ dan hendaklah kamu menguji anak yatim itu sampai
mereka cukup umur untuk menikah, kemudian jika kamu berpendapat
bahwa mereka sudah cerdas sudah pandai memelihara harta, maka
hendaklah kamu serahkan kepada mereka itu harta-hartanya” (Q.S. an-
Nisa : )
Dalam ayat di atas, yang di maksudkan dengan “cukup umur” adalah
seseorang yang telah di pandang dewasa secara fisik dan mampu untuk
menikah atau menghasilkan keturunan. Bagi laki-laki telah berumur 12
tahun, sudah mimpi basah atau terlihat munculnya tanda-tanda lelaki
dewasa pada pria seperti kumis dsb. Begitu juga bagi seorang wanita telah
berumur 9 tahun, telah haid, dan nampak perubahan bentuk tubuh sebagai
tanda-tanda wanita dewasa.
Ayat tersebut juga menerangkan ketika seorang anak yatim benar-
benar telah dewasa, maka sebagai wali atau orang yang diberi tanggung
6 Zakaria Ahmad Al-barry, Al-Ahkamul Aulad, alih bahasa Chadidjah Nasution, Hukum
Anak-anak dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997, h. 113 7 Zakaria ahmad al-barry, Al-Ahkamul Aulad, h. 114
-
18
jawab untuk merawat harta-harta anak yatim, hendaknya memberikan
harta tersebut kepada anak yatim itu sebagai haknya.8
Jika dicermati, terdapat pluralitas kategori anak pada peraturan
perundang-undangan di indonesia, hal itu di sebabkan beberapa undang-
undang mengatur secara tersendiri mengenai kriteria tentang anak.
Berikut uraian tentang kriteria anak dalam perundang-undangan :9
a. Undang-undang pengadilan anak (undang-undang No.3 tahun
1997) pasal 1(2) merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam
perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum
mencapai 18 tahun dan belum pernah menikah.
b. Pasal 1 (1) undang-undang pokok perburuhan (undang-undang No.
12 tahun 1948) mendefinisikan anak adalah orang laki-laki atau
perempuan berumur 14 tahun kebawah.10
c. Pasal 45 K.U.H.P mendefinisikan anak yang belum dewasa apabila
berumur 18 tahun.
d. Pasal 330 K.U.H Perdata mengatakan, orang belum dewasa adalah
mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahu dan tidak lebih
dahulu telah kawin.11
e. Pasal 7 (1) Undang-undang pokok perkawinan (UU No. 1 Tahun
1974) mengatakan seorang pria hanya di izinkan kawin apabila
telah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita telah mencapai
umur 16 tahun. Penyimpangan atas hal tersebut hanya dapat di
mintakan dispensasi ke pengadilan agama.12
8 Zakaria Ahmad Al-barry, Al-Ahkamul Aulad, h. 114
9 Darwan Prints, Hukum Anak indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung;2003 h.2
10 Lies Sugondo, Pengangkatan Anak menurut Hukum Perdata Nasional yang
Berprespektif HAM, dalam jurnal mimbar hukum, X, edisi 03 Maret, 2007, h. 48 11
Muhammadiyah Amin, Kedudukan Anak diluar Nikah (Sebuah Analisis Perbandingan
Menurut KUH Perdata, Hukum Islam dan KHI), dalam jurnal mimbar hukum, X, edisi 42 Mei-
Juni, 1999, h.20 12
M Ahmad Tihani dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat (Kajian Fiqih Nikah Lengkap),
Jakarta: Rajawali Press, 2009, h.46
-
19
f. Pasal 1 UU Perlindungan Anak (UU No.23 Tahun 2002)
menyebutkan anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
2. Definisi anak sah
Definisi anak sah dalam hukum islam yaitu anak-anak yang lahir dari
perkawinan yang sah, yang nanti anak tersebut menyandang nama
ayahnya.13
Atau dapat dikatakan bahwa anak sah adalah anak yang
mempunyai hubungan kebapakan dengan seorang lelaki yang berstatus
sebagai suami dari wanita yang melahirkannya (ibunya).14
Menurut imam syafi‟i barang siapa yang kawin dengan seorang
wanita, lalu wanita itu melahirkan anak, maka anak tersebut bertemu
nasabnya dengannya, dan tidak terhapus nasab (keturunannya) itu kecuali
dengan li‟an. Hal ini berarti, anak sah menurut imam syafi‟i adalah anak
yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah, kecuali apabila suami
melakukan pengingkaran terhadap anak, melalui lembaga li‟an.
Dalam pandangan hukum islam, ada empat syarat supaya nasab anak
itu di anggap sah, yaitu :
1) Kehamilan bagi seorang istri bukan hal yang mustahil, artinya normal
dan wajar untuk hamil. Imam hanafi tidak mensyaratkan seperti ini,
menurut beliau meskipun suami isteri tidak melakukan hubungan
seksual, apabila anak lahir dari seorang istri yang dikawini secara sah,
maka anak tersebut adalah anak sah;
2) Tenggang waktu kelahiran dengan pelaksanaan perkawinan sedikit-
dikitnya enam bulan sejak perkawinan dilaksanakan. Tentang ini
terjadi ijmak para fukaha sebagai masa terpendek dari suatu
kehamilan;
3) Anak yang lahir itu terjadi dalam waktu kurang dari masa sepanjang
kehamilan. Tentang hal ini masih di perselisihkan oleh para fukaha;
13
Abdur Rahman I. Doi, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1996, h.342 14
Ichtijanto, Status Hukum dan Hak-hak Anak Menurut Hukum Islam, Mimbar Hukum,
No 46 Th, XI, Jakarta: Al-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, 2000, h.12
-
20
4) Suami tidak mengingkari anak tersebut melalui lembaga lian. Jika
seorang laki-laki ragu tentang batas minimal tidak terpenuhi dalam
masa kehamilan atau batas maksimal kehamilan terlampaui, maka ada
alasan bagi suami untuk mengingkari anak yang dikandung oleh
istrinya dengan cara lian.15
Pernikahan merupakan satu-satunya jalan untuk mendapatkan anak
yang sah menurut hukum islam dan legal menurut hukum positif. Maka
anak kandung adalah keturunan yang mempunyai hak penuh menerima
seluruh hak ayah ibu. Hubungan ini di dasarkan kepada tali
penghubungnya yang datang dari allah sebagai pencipta.
Anak yang sah mempunyai kedudukan tertentu terhadap keluarganya,
orang tua berkewajiban untuk memberi nafkah. Anak yang sah merupakan
tumpuan harapan orang tuanya dan sekaligus menjadi penerus
keturunannya.
3. Status dan Kedudukan Anak Sah
Penetapan asal usul anak dalam perspektif hukum islam memiliki arti
yang sangat penting, karena ada penetapan itulah dapat di ketahui
hubungan nasab antara anak dengan ayahnya. Kendatipun pada hakikatnya
setiap anak lahir berasal dari sperma seorang laki-laki dan sejatinya harus
menjadi ayahnya, namun hukum islam memberikan ketentuan lain.
Seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan
ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang lahir
diluar perkawinan yang sah, tidak dapat di sebut dengan anak yang sah,
biasa di sebut anak zina atau anak diluar perkawinan yang sah dan ia
hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya.
Asal-usul anak adalah dasar untuk menunjukan adanya hubungan
nasab (kekerabatan) dengan ayahnya. Kebanyakan ulama berpendapat
bahwa anak yang lahir sebagai akibat zina dan/lian, hanya mempunyai
hubungan kekerabatan dengan ibu yang melahirkannya menurut
15
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2006), cet.1 , h.79
-
21
pemahaman kaum sunni. Lain halnya pemahaman kaum syiah, anak zina
dan lian tidak mempunyai hubungan kekerabatan baik ayah maupun ibu
yang melahirkannya, sehingga tidak dapat menjadi ahli waris kedua orang
tuanya. Namun demikian, di negara republik indonesia tampak
pemberlakuan berbagai sistem hukum dalam masyarakat muslim.16
Ada beberapa istilah yang berkaitan dengan anak dalam islam, di
antaranya adalah :
1. Anak kandung
Anak kandung berarti anak sendiri yakni anak yang di lahirkan
oleh seorang ibu dari suaminya yang sah berdasarkan perkawinan
yang memenuhi syarat. Anak kandung mempunyai kedudukan tertentu
terhadap keluarga. Orang tua berkewajiban atas nafkah hidup,
pendidikan, pengawasan dalam ibadat dan akhlak anak dalam
kehidupan sampai ia dewasa. Setelah anak itu dewasa, anak harus
dapat berdiri sendiri. Apabila anak masih sekolah, maka ia di biayai
orang tuanya sampai pendidikannya selesai. Disamping itu anak
mendapat warisan dari orang tuanya.17
Adapun hak hak anak kandung, sebagai berikut:
a. Keutamaan/ Prioritas dalam menerima harta warisan, dengan
pengertian bahwa anak kandung adalah manusia-manusia yang
paling dekat kepada ibu bapak mereka dan tidak terdapat
manusia lainnya yang dapat menggeser hak mereka. Ketentuan
ini di dapatkan antara lain dalam Qs. Al-Nisa (4) : 11-12 dan
ayat 176. Namun hak anak kandung untuk mendapatkan warisan
dan hak atas wasiat dapat terhalang apabila terjadi pembunuhan
yang dilakukan anaknya terhadap orang tuanya. Hilangnya hak
mendapat warisan bagi pembunuh yang membunuh pewarisnya
di dasarkan pada sebuah hadist, yaitu : “tidak ada hak
16
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), cet.I,
h.62 17
Fuad Mohd. Fachruddin, Masalah Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: CV. Pedoman
Ilmu Jaya, 1991), cet ke-2, h.36
-
22
sedikitpun bagi pembunuh dari harta warisan” dalam hadist
nabi yaitu “ tidak ada hak atas wasiat bagi seorang
pembunuh”. Dalam madzhab syafii, pembunuhan yang
menghalangi hal waris adalah semua jenis pembunuhan, baik
langsung maupun dengan sebab. Dengan alasan bahwa
menghalangi hak waris si pembunuh itu di maksudkan untuk
syadz al-dzariah (menutup jalan kejahatan) dan untuk
menghalangi si pewaris mempercepat dalam mendapatkan
warisan.18
Begitu pula, apabila si anak berpindah agama
(murtad) maka hilanglah hak warisnya berdasarkan hadist
bahwa “orang kafir tidak dapat mewarisi harta pusaka orang
muslim dan orang muslim tidak dapat mewarisi harta pusaka
orang kafir” (H.r. Muslim dari Usamah Ibn Zayd).
b. Anak-anak kandung mempunyai kedudukan yang sama dalam
arti kasih sayang ibu bapak terhadap mereka hendaklah sama.
Yakni jangan melebihkan yang satu dari yang lain hingga
menimbulkan dengki dan hasut antara mereka bahkan akan
menjelmakan benci sebahagian dari mereka terhadap ibu bapak
mereka sendiri. Oleh sebab itu pula tidak boleh memberikan
wasiat kepada salah satu anak. Namun ada sesuatu sebab
umpamanya seorang anak itu gila atau cacat boleh di berikan
wasiat kepadanya bila di setujui oleh anak-anak yang lain.
c. Jangan di bunuh anak-anak kandungmu itu karena takut lapar
atau tidak mendapatkan makanan untuk mereka. Allah
mneyertai lahirnya seorang makhluk itu dengan memberinya
rezekinya yang berarti allah tidak melepaskan perhatian kepada
siapa pun walaupun makhluk yang melata. Tetapi manusia juga
harus mempunyai tanggung jawab dalam arti harus berusaha,
berfikir, bekerja dan tolong menolong dalam segi kehidupan,
18
Abu Ishaq Al-Syirazi, Al-Muhadzab Fi Fiqh al-Syafi‟i, jilid II, (Mesir; t.p., t.th), h. 24-
25.
-
23
hingga islam mengatakan jika terdapat seorang muslim
kelaparan maka tanggunh jawabnya adalah atas pundak seluruh
masyarakat. Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam Qs Al-
An‟am (6): 151 dan Qs. Al-Isra (17):31
d. Anak kandung berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang
dan mendapatkan nafkah hidup, pendidikan dan bimbingan
sebagai hak asasi mereka yang di bebankan atas ibu bapak
mereka namun sesuai kesanggupan mereka. Anak-anak terlepas
dari status mereka, tetap memiliki hak-hak mereka yang termuat
dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan
anak yaitu pada bab III mengenai hak dan kewajiban anak pasal
4 sampai dengan pasal 19.
e. Anak kandung merupakan mahram yang tidak boleh dikawini
bagi ibu bapaknya dan ia boleh hidup bersama di dalam satu
rumah, sebab batas aurat antara mereka sesama mereka tetap
berlainan dengan ketentuan aurat antara mereka dengan orang
lain/yang tidak mahram. Sang anak bisa memakai nama
bapaknya.
f. Ketentuan mengenai perkawinan, perceraian dan adanya anak
dengan segala aspeknya dijelaskan Allah Swt secara mendetail
dalam Qs. Al-Baqarah (2) : 221-224.
g. Ayah, ibu dan anak merupakan pokok dasar dari masyarakat
terutama masyarakat islam yakni anak adalah tangga pertama di
dalam menyusun ummat. Dari sang anak timbulnya kekuatan
islam, menjadi pondasi untuk menegakkan islam. Hendaklah
pada diri anak-anak itu terdapat lima kekuatan yang berupa;
kekuatan jasmani, harta benda, ilmiah, rohaniah dan
persatuan/persaudaraan.19
19
Masyrofah, Status Anak Menurut Perspektif Hukum Islam, Ahkam No. 1, Vol. XI 2011, h. 123
-
24
2. Anak angkat
Adopsi adalah pengangkatan anak oleh seseorang dengan
maksud untuk menganggapnya sebagai anaknya sendiri. Syariat
islam mengharamkan adopsi anak yang dahulu berlaku pada masa
jahiliyah. Rasulullah SAW sebelum diutus menjadi nabi pernah
mengadopsi Zaid bin Haritsah sehingga panggilannya menjadi
Zaid bin Muhammad. Akan tetapi pengadopsian ini di batalkan
setelah Allah SWT berfirman dalam Q.S Al Ahzab ayat 4 dan 5
yang berbunyi :
Artinya : Allah sekali kali tidak menjadikan bagi seseorang
dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan isrti-
istrimu yang kamu zhihar20
itu debagai ibumu, dan dia tidak
menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu
(sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu
saja. Dan allah mengatakan yang sebenarnya dan dia
menunjukan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak
angkat itu) dengan (memakai) nama bapa-bapa mereka; itulah
yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui
bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-
saudaramu seagama dan maula-maulamu.21
Dan tidak ada dosa
atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada
dosanya) apa yang di sengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah
maha pengampun lagi maha penyayang.
Hak keperdataan yang di miliki anak adopsi terhadap orang
tuanya hanya sebatas hak nafkah dan pemeliharaan, tidak
termasuk hak nasab dan hak waris. Hak nasab anak adopsi adalah
20
Zhihar adalah perkataan seseorang suami kepada istrinya: punggungmu haram bagiku
seperti punggung ibuku atau perkataan lain yang sama maksudnya. Adalah menjadi adat kebiasaan
bagi orang arab jahiliyah bahwa bila dia berkata demikian kepada Istrinya maka Istrinya itu haram
baginya untuk selama lamanya. Tetapi setelah islam datang, maka yang haram umtuk selama-
lamanya itu dihapuskan dan istri-istri itu kembali halal baginya dengan membayar kifarat (denda) 21
Maula-maula ialah seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang yang
telah dijadikan anak angkat, seperti salim anak angkat Huzaifah, dipanggil maula Huzaifah.
-
25
kepada orang tua kandungnya, sekalipun anak tersebut telah di
adopsi oleh keluarga lain melalui perantara pengadilan, namun
tidak dapat menciptakan hubungan nasab baru atau menghapus
nasabnya, sebagaimana yang dijelaskan pada ayat di atas.
Demikian pula halnya dengan hak waris, hanya saja anak adopsi
memiliki peluang mendapat wahiat wajibah dari orang tua yang
mengadopsinya, sebagaimana yang diatur dalam pasal 209 ayat
(2) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi; terhadap anak angkat
yang tidak menerima warisan diberi washiyat wajibah sebanyak-
banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
3. Anak temuan atau anak pungut (al-laqith);
Menurut Bahasa al-laqith disebut juga al-manbuz yaitu
seorang anak yang di tinggalkan orang tua nya dijalan. Sa‟id Abu
jaib mengartikan al-laqith adalah seorang anak yang ditemukan
dijalan, dan tidak diketahui orang tuanya.22
Sedangkan menurut
istilah ada beberapa definisi yang diberikan oleh para fuqaha,
yaitu :
Menurut ulama mazhab syafi‟I al-laqith adalah : seseorang
anak yang dalam keadaan hidup dibuang keluarganya karena
takut kemiskinan atau menghindari dari tuduhan zina”. Imam
nawawi dalam kitab Raudhatu ath-Tahlibin mendefinisikan anak
temuan adalah “anak-anak kecil (belum baligh berakal ) yang
disia-siakan oleh orang tua tanpa mengasuhnya (bapak, ibu, kakek
atau kerabat)”. Malikiyah mendefinisikan “seorang anak kecil
yang tidak di ketahui orang tuanya dan kerabatnya.” Dan
Hanabilah mendefinisikan al-laqith adalah “seorang anak yang
22
Ahmad Kamil dan Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di
Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h.168
-
26
tidak diketahui nasabnya atau anak yang tersesat dijalan, diantara
masa kelahirannya sampai masa mumayyiz.23
Secara sederhana dapat dipahami bahwa al-laqith adalah
seorang anak yang hidup, yang dibuang keluarganya karena
merasa takut akan kemiskinan, atau karena lari karena tuduhan.
Pengertian ini dilhat sebab anak dibuang. Anak tersebut dibuang
disebabkan dua hal. Pertama, karena tidak sanggup mendidik dan
menafkahinya. Dan yang kedua, karena takut adanya tuduhan
yang menyangkut harga dirinya. Dari definisi ini para fuqaha
sepakat bahwa anak yang tidak diketahui keberadaan keluarganya
adalah kategori al-laqith, sedangkan Hanabilah dan Syafi‟iyah
menambahkan Batasan umur, yaitu di mulai sejak ia lahir sampai
masa tamyiz24
.
Rukun al-laqith ada tiga yaitu; mengambil anak yang
dibuang, anak yang dibuang, orang yang menemukan dan
mengambil anak tersebut. Imam Nawawi mengemukakan anak
tersebut agar dia bisa mengasuhnya yaitu:25
1. Orang tersebut harus cakap hukum (taklif)
2. Merdeka, maka budak tidak diperbolehkan kecuali dapat
izin dari tuannya
3. Islam (seagama) antara anak tersebut dengan pengasuhnya
4. Adil
Memelihara kehidupannya, berarti menghilangkan
kesulitan semua orang, karena para fuqaha telah sepakat bahwa
hukum seseorang yang menemukan anak kemudian
mengambilnya adalah wajib kifayah. Selain itu, anak adalah
23
Mumayyiz adalah anak yang sudah mencapai usia dimana seorang anak sudah mulai
bisa membedakan mana hal yang bermanfaat baginya dan mana hal yang membahayakan dirinya,
sebagian ulama menyatakan bahwa pada usia ini seorang anak memiliki kemampuan dalam
otaknya untuk bisa menggali arti suatu hal. 24
Tamyiz adalah seorang anak dapat membedakan (antara yang baik dan yang buruk dan
sebagainya) 25
Ahmad kamil dan Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h.169-170.
-
27
seorang manusia yang wajib dijaga jiwanya, seperti ketika ada
orang yang sangat membutuhkan makanan, kita wajib
membantunya. Maka hal ini sama dengan kaitannya dengan Al-
laqith, ulama sepakat bahwasanya mewajibkan bagi yang
menemukannya untuk mengambil jika tidak ada orang lain selain
dia.26
4. Anak Syubhat
Adapun yang dimaksud dengan percampuran syubhat adalah
adalah seorang laki-laki mencampuri seorang wanita lantaran
tidak tahu bahwa wanita tersebut haram di campuri. Hubungan
syubhat ini ada dua macam : syubhat dalam akad dan syubhat
dalam tindakan (perbuatan). Anak yang dilahirkan melalui
hubungan syubhat merupakan anak yang sah sebagaimana halnya
dengan anak yang lahir dalam perkawinan yang sah, tanpa ada
perbedaan sedikitpun, baik itu syubhat akad maupun syubhat
tindakan. Jadi, siapa saja yang mencampuri seorang wanita dalam
keadaan mabuk, mengigau, gila, dipaksa, atau melakukannya
sebelum usia baligh atau mengira bahwa wanita itu istrinya
ternyata bukan , lalu wanita itu melahirkan seorang anak, maka
anak itu dikaitkan dengan laki-laki yang mencampuri perempuan
tersebut.27
Berbeda dengan penjelasan di atas, dalam kitab al-Ahwal al-
Ayakhsiyyah karangan Muhyidin sebagaimana dikutip oleh
Muhammad Jawad Mughniyah di sebutkan bahwa nasab tidak
bisa di tetapkan dengan jenis ke-syubhat-an manapun kecuali
apabila laki-laki yang melakukan hubungan syubhat mengakui
anak tersebut sebagai anaknya. Sebab dialah yang paling tau
26
Ahmad kamil dan Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h.169-170. 27
Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab; Ja‟fari, Hanafi, Syafi‟I, Hambali
(terjemahan Masykur A. B, dkk) (Jakarta:Lentera,1999), h.390.
-
28
tentang dirinya. Hal ini juga di ungkapkan oleh Abdul Manan,
bahwa anak syubhat tidak memiliki nasab kepada laki-laki yang
menghamili ibunya kecuali laki-laki tersebut tidak mengingkari
atau mengakui sebagai anaknya. Jika hal itu terjadi, maka nasab
anak itu terhubung kepada laki-laki tersebut.28
5. Anak zina dan anak lian
Dalam kitab ahkamul-Mawaarits fil-Fiqhil-Islami disebutkan :
أةغٛر َكبح شرعٙ, أ ثًرة انعال قت االثًت بٍٛ انرجم ٔانًر ٔنذ انسَبْٕ انًٕنٕد يٍ
“Anak yang lahir karena perbuatan zina adalah anak yang
dilahirkan bukan dari hubungan nikah yang sah secara syar‟i
atau dengan kata lain, buah dari hubungan haram antara laki-
laki dan wanita.”
Senada dengan pengertian diatas, dalam tulisan yang
berjudul Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Abdul Manan menjelaskan bahwa :
“anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan oleh seorang
perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan
perkawinan yang sah dengan pria yang menyutubuhinya.
Sedangkan pengertian diluar kawin adalah hubungan seorang
pria dengan seoramng wanita yang dapat melahirkan keturunan,
sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan
yang sah menurut hukum positif dan agama yang di peluknya.”29
Jika wanita yang melakukan perbuatan zina tersebut tidak
memiliki suami atau tidak sedang dalam masa “iddah, ada
beberapa pendapat mengenai nasab dari anak yang dikandung
oleh wanita tersebut. Pendapat pertama mengatakan bahwa anak
28
Abdul Manan, Mimbar Hukum: Masalah Pengakuan Anak dalam Hukum Islam dan
Hubungannya dengan Kewenangan Pengadilan Agama, No. 59 THN.XIV (Jakarta:Yayasan al-
Hikmah, 2003), h. 113. 29
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Penerbit Kencana, Jakarta, 2008, h.80
-
29
tersebut dapat dinasabkan kepada laki-laki yang datang dan
mengakuinya sebagai anak dan bukan hasil dari perbuatan zina
dengan ibu si anak. Sebaliknya, jika laki-laki itu berkata dan
mengakui bahwa bahwa anak itu adalah anaknya dari perbuatan
zina dengan ibu si anak, jumhur ulama berpendapat, anak itu tidak
bisa di nasabkan kepadanya. Sebab, nasab atau keturunan adalah
sebuah karunia, dan itu tidak bisa diperoleh dari perbuatan tercela.
Akan tetapi, balasan yang sesuai untuk perbuatan zina adalah
azab.
Sedangkan Ishaq bin Rahawaih, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul
Qayyim berpendapat bahwa anak yang lahir karena perbuatan
zina adalah keturunan orang yang mengaku, sebab pada
kenyataanya ia memang berbuat zina dengan ibu si anak,
sebagaimana penetapan nasab anak itu kepada ibunya. Penetapan
itu dimaksudkan agar si anak tidak terlantar, tidak mendapat
mudharat, dan tidak terkena aib karena perbuatan yang tidak ia
lakukan. Sebab, orang yang tidak berdosa tidak akan memikul
dosa orang lain.30
Hukum islam menjelaskan bahwa melakukan hubungan
kelamin antara laki-laki dengan perempuan tanpa ada ikatan
perkawinan yang sah disebut zina. Hubungan kelamin tersebut
tidak dibedakan antara belum menikah, sudah bercerai ataupun
masih dalam ikatan perkawinan dengan orang lain. Hal ini
berbeda dengan apa yang diatur dalam hukum perdata, namun
dalam hukum islam ada istilah dan hukuman yang berbeda antara
pelaku zina yang sudah menikah dengan pelaku zina yang belum
menikah.
Zina yang dilakukan oleh orang yang telah atau pernah
menikah disebut dengan zina muhsan dan hukumnya di ranjam
30
Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Hukum Waris, Penerbit Senayan Abadi Publishing, Jakarta Cet. III 2011, h.402
-
30
sampai mati. Zina yang dilakukan oleh orang yang belum
menikah disebut dengan zina ghairu muhsan. Hukum islam tidak
menganggap bahwa zina ghairu muhsan yang dilakukan oleh
orang yang belum menikah itu sebagai perbuatan biasa,
melainkan tetap di anggap sebagai perbuatan zina yang harus
dikenakan hukuman, dan hukumannya adalah dicambuk 100 kali.
Anak yang dilahirkan akibat zina ghairu muhsan disebut anak luar
perkawinan atau anak zina.31
Dalam pasal 100 KHI telah dijelaskan tentang nasab anak
diluar perkawinan, yang berbunyi :
Pasal 100
Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Anak Li’an
Al-li‟an berasal dari kata al-la‟n. ini karena orang yang
melakukan li‟an berkata pada kali kelima, “sesungguhnya laknat
Allah SWT menimpanya, jika ia termasuk orang-orang yang
berdusta.” Tapi ada juga yang mengartikannya dengan al-ib‟ad
(menjauhkan). Kedua pihak yang saling melaknat disebut al-
ib‟ad, karena li‟an berdampak dosa dan menjauhkan, selain
karena salah satu pihak pasti berdusta sehingga dia terlaknat. Ada
juga yang menyimpulkan karena setiap pihak menjauhi
pasangannya dengan status haram (berpasangan lagi) selama-
lamanya.32
Prof. Dr. Ahmad Syarifuddin menyebutkan bahwa Li‟an
adalah sumpah yang diucapkan seorang suami yang menuduh
isterinya melakukan zina dan tidak mendatangkan empat orang
saksi selain dirinya sendiri, sumpah tersebut dilakukan sebanyak
31
Neng Djubaedah, Perzinaan dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
ditinjau dari Hukum Islam (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h.131-137. 32
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, jilid 2 (terjemahan asep sobari, dkk), (Jakarta: Al-
I‟tishom, 2008), h.483
-
31
empat kali dan dikali ke-5 diiringi dengan ucapan “laknat Allah
atasku jika sumpah yang aku lakukan adalah dusta”dan sang
isteri juga di beri kesempatan menolak li‟an suaminya dengan
bersumpah sebanyak empat kali dan di kali ke-5 diiringi dengan
ucapan “laknat Allah atasku jika kesaksian dan sumpah yang
dilakukan suamiku adalah benar.”Apabila kesaksian itu telah
dilaksanakan maka hakim akan menceraikan mereka, menafikan
ikatan nasab anak itu dari suaminya, dan menjadikan anak itu
bernasab pada ibunya.33
Sumpah li‟an adalah sumpah yang diucapkan oleh suami
setelah menuduh istrinya berzina, sebanyak empat kali bahwa
dirinya benar, dan disusul dengan sumpah kelima bahwa laknat
Allah SWT akan menimpanya jika dia berdusta. Di pihak lain istri
juga bersumpah jika menolak tuduhan suami tersebut, dengan
empat kali sumpah bahwa suaminya benar benar berdusta, dan
disusul sumpah kelima, bahwa dia bersedia dimurkai Allah SWT
jika suaminya benar. Ayah yang tidak mengakui anaknya, dan itu
merupakan dampak langsung dari li‟an, maka putuslah nasab
anak tersebut dari ayahnya, sehingga gugurlah hak nafkah darinya
dan tidak lagi saling mewarisi. Anak tersebut dinasabkan kepada
ibunya, sehingga anak dan ibu tersebut saling mewarisi.34
B. Status anak menurut Hukum Positif
1. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dalam sejarah perkembangan hukum islam di indonesia, kompilasi
hukum islam (KHI) sebagai realisasi mazhab indonesia. Fiqh ini sebagai
hasil dari pembaruan hukum islam di indonesia dan muncul karena adanya
pandangan bahwa ada pemaksaan adat istiadat yang tidak cocok dengan
33 https://www.academia.edu/3790881/makalah_hukum_waris_anak_zina_dan_lian
diakses pada pukul 20.51 Hari Sabtu, 24 Agustus 2019 34
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, jilid 2 (terjemahan asep sobari, dkk), (Jakarta: Al-
I‟tishom, 2008), h.483
https://www.academia.edu/3790881/makalah_hukum_waris_anak_zina_dan_lian
-
32
kepribadian bangsa indonesia adalah sebuah kesalahan.35
Oleh karenanya,
Hukum Islam di nyatakan sebagai hukum yang hidup di masyarakat Islam
Indonesia.
Dalam pasal 99 Kompilasi Hukum islam (KHI) dinyatakan bahwa
anak yang sah adalah :
a. Anak yang di lahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah
b. Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan di lahirkan
oleh istri tersebut.36
Berdasarkan pasal tersebut bahwa anak yang sah memiliki dua sifat;
pertama anak sah adalah anak berdasarkan pembuahan antara suami istri
secara alami (hubungan suami istri) dan anak yang dilahirkan berdasarkan
pembuahan suami istri diluar rahim dengan mediasi ilmu kedokteran.
Dengan kata lain, bayi tabung.37
Oleh karena itu, untuk membuktikan bahwa itu adalah anak yang sah
maka diperlukan bukti otentik sebagai asal usul anak. Dalam hal ini,
pengadilan memiliki andil untuk menetapkan status anak trsebut setelah di
verifikasi dan di teliti dengan berbagai bukti lainnya. Hal ini di jelaskan
dalam pasal 103 KHI sebagai berikut :
a. Asal usul seorang anak hanya dapat di buktikan dengan akta kelahiran
atau bukti lainnya;
b. Bila akta kelahiran atau bukti lainnya yang tersebut dalam ayat 1 tidak
ada, maka pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang
asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti
berdasarkan bukti-bukti yang sah;
c. Atas dasar ketetapan pengadilan agama yang tersebut dalam ayat 2,
maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum
35
Nourrouzzaman Shiddiqie, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, (Yogyakarta:
Pustaka pelajar, 1997), cet I, h. 231 36
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di indonesia, (jakarta: akademika pressindo,
1995), Cet II, h. 137 37
Dedi Supriyadi, dan Mustofa, Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam,
(Bandung: Pustaka Al-Fikriis, 2009), cet 1, h.119
-
33
pengadilan agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak
yang bersangkutan.38
Rumusan anak sah bagian kedua merupakan pembaharuan hukum
dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya bayi tabung, ketentuan ini
merupakan legitimasi kebolehan menggunakan teknologi kedokteran
dalam hal konsepsi (pembuahan) janin (anak) dalam kandungan. Menurut
ketentuan ini dapat diketahui bahwa:
a. Pembuahan anak diluar rahim itu sah di bolehkan
b. Pembuahan itu berasal dari sperma suami istri yang sah dan di
lahirkan oleh istri itu sendiri
c. Tidak di benarkan menggunakan atau menyewa rahim perempuan
lain.39
Adapun rumusan anak sah dalam point a sama persis dengan rumusan
dalam undang-undang perkawinan, yang dapat di tarik pengertian,
bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan dan
sebagai akibat perkawinan yang sah.
2. Menurut kitab Undang-undang Hukum Perdata
Di jelaskan dalam pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum perdata,
mengatakan orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai
umur 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Jadi anak adalah setiap
orang yang belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Seandainya
seorang anak telah menikah sebelum umur 21 tahun kemudian bercerai
atau ditinggal mati oleh suaminya sebelum genap umur 21 tahun, maka ia
tetap dianggap sebagai orang yang telah dewasa bukan anak-anak.40
3. Menurut Undang-undang Hak Asasi Manusia Anak
Menurut pasal 1 butir 5 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia adalah sebagai berikut :
38
Dedi supriyadi h.119-120 39
Sidik Tono, dan Amir Mualim, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam
tata Hukum Indonesia,(yogyakarta: UI Press, 1999), cet II, h.106 40
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta : PT.
Pradnya Paramita, 2002), h.90
-
34
“Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas)
tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan
apabila hal tersebut demi kepentingannya”.41
Di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 terdapat sepuluh
macam HAM yang ada dan berlaku di Indonesia pada umumnya dan
merupakan penegasan bermacam HAM yang sebelumnya tercantum
didalam UUD 1945, macam-macam HAM tersebut ialah:42
a. Hak Hidup (Pasal 9)
b. Hak Berkeluarga dan melanjutkan keturunan (Pasal 10)
c. Hak Mengembangkan diri (Pasal 11-16)
d. Hak Memperoleh Keadilan (17-19)
e. Hak Atas Kebebasan Pribadi (Pasal 20-27)
f. Hak Atas Rasa Aman (Pasal 28-35)
g. Hak Atas Kesejahteraan (Pasal 36-42)
h. Hak Turut Serta Dalam Pemerintahan (Pasal 43-44)
i. Hak Wanita (Pasal 45-51)
j. Hak Anak (Pasal 52-66)
Diantara sepuluh macam HAM diatas ada satu HAM yang
memiliki porsi perhatian yang lebih banyak dari yang lain, yaitu Hak
Anak. Hak anak diberikan porsi sebanyak 14 pasal yang mengatur dan
melidungi Hak anak tersebut.
Sebagaimana yang tercantum didalam UU Nomor 39 Tahun 1999,
pada Pasal 52 Tentang Hak Anak, yang dimaksud Hak anak ialah “Hak
anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu
diakui dan dilindungi oleh hukum sejak anak dalamkandungan”. Di
Indonesia definisi Hak Anak itu sendiri diperjelas di dalam UU Nomor
39 Tahun 1999 Pasal 1, butir 12 Tentang Perubahan UU Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak, yaitu: Hak Anak adalah bagian
dari Hak Asasi Manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi
41
Undang-undang HAM Nomor 39 tahun 1999, (Jakarta : Asa Mandiri, 2006), h. 5 42
M. Nasir Djamil, Anak bukan untuk di Hukum, (jakarta : sinar grafika, 2013), h.8
-
35
orang tua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintahan, dan
pemerintahan daerah.
Definisi dari kata anak itu sendiri menurut Konvensi Hak Anak
yang disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa, pada
tanggal 20 November 1989 didefiinisikan sebagai berikut, sebagaimana
yang tercantum didalam Pasal 1 Konvensi Hak Anak yaitu: “Yang
dimaksud anak dalam konvensi ini adalah setiap manusia yang berusia
dibawah delapan belas tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang
berlaku bagi anak-anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih
awal”. Bahkan menurut UU No 23 Tahun 2002 seseorang didefinisikan
sebagai anak dimulai dari sejak didalam kandungan.
Hak Anak yang sekarang kita rasakan tidaklah muncul begitu saja,
butuh proses yangcukup panjang hingga menjadi Hak Anak yang kita
rasakan sekarang. Proses yang panjang tersebut dapat berupa
pertemuan, ataupun konvensi tingkat dunia, yang diadakan oleh tokoh,
organisasi dunia bahkan PBB sendiri. Terkadang bahkan butuh jatuh
korban anak yang cukup banyak barulah terpikirkan oleh tokoh dan
organisasi dunia.
Pertemuan besar dan kecil menjadi batu lompatan penegakan Hak
Anak diseluruh dunia, termasuk Indonesia. Setelah diperjuangkan
secara Internasional para aktivis dan pejuang ham lalu membuat
rancangan aturan dan Undang-undang yang mereka buat untuk
melindungi Hak Anak di negara mereka masing-masing. Sehingga
setiap negara memiliki sejarah Hak Anak yang berbeda. Secara umum
dikarenakan kita berada di Indonesia maka sejarah Hak Anak yang
mempengaruhi kita ialah sejarah Hak Anak Internasional dan sejarah
Hak Anak nasional.
Indonesia sebagai salah satu pihak yang turut melakukan
penandatanganan KHA di PBB turut mengembangkan danmenerapkan
Hak Anak dan menyadurkannya kedalam konstitusi nasional. Berikut
-
36
rangkaian peristiwa yang merupakan reaksi Indonesia setelah turut
menandatangani KHA di PBB: 43
1. 1979 : Indonesia mengeluarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun
1979 Tentang Kesejahteraan Anak;
2. 1990 : Indonesia menandatangani KHA di markas besar PBB di
New York;
3. 1990 : Indonesia meratifikasi KHA melalui Kepres No. 36 Tahun
1990 tanggal 25 Agustus 1990;
4. 1990 : 2 September 1990, KHA disepakati sebagai hukum
international;
5. 1997 : Indonesia mengeluarkan UU No. 3/1997 Tentang
Pengadilan Anak;
6. 1999 : Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 Tentang Ratifikasi
Konvensi ILO 138 tentang Usia Minimum untuk diperbolehkan
Bekerja;
7. 1999 : Indonesia mengeluarkan UU No. 30 Tahun 1990 oleh Ham;
8. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Ratifikasi Konvensi
ILO 182 Tentang Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan
Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
9. 2002 Indonesia mengeluarkan UUPA (Undang-undang
Perlindungan Anak) No. 23 Tahun 2002 yang terdiri dari 14 Bab
dan 93 Pasal;
10. Keppres Nomor 87 Tahun 2002 Tentang Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (RAN-PESKA);
11. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
12. Undang-undang Nomor 20 Tahun Tentang Sistem Pendidikan
Nasional;
13. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan dalam rumah tangga;
43
https://www.academia.edu/31133505/Pengertian_Anak_Hak_Anak_dan_Peraturan_Ten
tang_Hak_Anak diakses pada pukul 20.51 Hari Sabtu, 24 Agustus 2019
https://www.academia.edu/31133505/Pengertian_Anak_Hak_Anak_dan_Peraturan_Tentang_Hak_Anakhttps://www.academia.edu/31133505/Pengertian_Anak_Hak_Anak_dan_Peraturan_Tentang_Hak_Anak
-
37
14. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006: Tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia;
15. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang;
16. Undang!undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan;
17. 2014 : Indonesia mengeluarkan UU Nomor 35 Tahun 2014 yang
merupakan perubahan dan penyempurnaan UU No 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak.
Anak adalah orang yang berumur 18 tahun kebawah termasuk yang
masih berada dalam kandungan (UU No 23 tahun 2002, perlindungan
Anak).
10 Hak Mutlak Anak :
1. Hak Gembira
Setiap anak berhak atas rasa gembira, dan kebahagian seorang anak
itu harus dipenuhi
2. Hak Pendidikan
Setiap anak berhak memperoleh pendidikan yang layak.
3. Hak Perlindungan
Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan, dilindungi dari
segala tindak kekerasan dan penganiyaan
4. Hak Untuk memperoleh Nama
Setiap Anak berhak memperoleh nama, sebagai salah satu identitas
anak
5. Hak atas Kebangsaan
Setiap anak berhak diakui sebagai warga negara dan memiliki
kebangsaan, anak tidak boleh apatride (tanpa kebangsaan)
6. Hak Makanan
Setiap anak berhak memperoleh makanan untuk tumbuh kembang
dan mempertahankan hidupnya
7. Hak Kesehatan
-
38
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang layak,
tanpa diskriminasi, anak harus dilayani dalam kesehatan
8. Hak Rekreasi
Setiap anak berhak untuk rekreasi untuk refreshing, dam anak harus
dilibatkan dalam memilih tempat rekreasi yang mereka inginkan
9. Hak Kesamaan
Setiap anak berhak di perlakukan sama dimanapun dan kapanpun,
tanpa tindak diskrimanasi.
10. Hak Peran dalam Pembangunan
Setiap anak berhak dilibatkan dalam pembangunan negara, karena
anak adalah masa depan bangsa
4 Hak Dasar Anak :
1. Hak hidup
2. Hak Tumbuh Kembang
3. Hak Partisipasi
4. Hak Perlindungan.44
Hak asasi adalah hak-h