insektisida
Post on 16-Feb-2015
512 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
ISI
A. Pengertian Insektisida
Insektisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun
yang bisa mematikan semua jenis serangga (Wudianto, Rini ,1997). Sedangkan
menurut Soemirat (2003) Insektisida merupakan pestisida atau bagian dari
pestisida yang berfungsi untuk mengendalikan dan mengontrol hama serangga.
Insektisida dapat memengaruhi pertumbuhan, perkembangan, tingkah laku,
perkembangbiakan, kesehatan, sistem hormon, sistem pencernaan, serta
aktivitas biologis lainnya hingga berujung pada kematian serangga pengganggu
tanaman. Insektisida termasuk salah satu jenis pestisida
(http://id.wikipedia.org/wiki/Insektisida).
Insektisida adalah jenis pestisida yang berfungsi sebagai racun
serangga. Berdasarkan cara masuknya ke dalam tubuh serangga (1) racun
perut, yaitu insektisida yang bekerja melalui sistem pencernaan (stomach
poison), dan merupakan insektisida yang dicampurkan pada bahan yang biasa
dimakan serangga; (2) racun kontak, yaitu insektisida yang meresap ke dalam
tubuh serangga melalui permukaan tubuh; dan (3) fumigan, yaitu insektisida
yang masuk ke dalam tubuh melalui alat pernafasan (spiraculum) (Ramulu,
1979).
Metode kimia dengan insektisida sintetis termasuk cara paling umum
yang digunakan dalam praktek sehari-hari. Kelebihan penggunaan insektisida
sintetis selama ini terletak pada kemampuannya untuk mengendalikan serangan
hama pasca panen secara cepat dan efektif. Akan tetapi insektisida sintetis juga
mempunyai beberapa kekurangan yaitu selain biaya yang mahal juga
menimbulkan masalah lain. Akibat dari pemakaian insektisida sintetis antara
lain : 1) adanya bahaya residu dalam lingkungan 2) timbulnya resitensi serangga
terhadap insektisida sintetis; 3) adanya bahaya insektisida bagi organisme bukan
target; dan 4) adanya dampak penurunan populasi biang pengendali hama
seperti parasit dan predator (Hascoet, 1988).
B. Penggolongan Insektisida
Menurut Hoedojo (2000) dan Tarumingkeng (2001), insektisida
berdasarkan macam bahan kimianya dibagi dalam :
1. Insektisida sintetik
1) Anorganik: garam- garam beracun seperti arsenat, flourida,
tembaga sulfat, dan garam merkuri.
2) Organik :
a. Organoklorin:
Insektisida golongan ini dibuat dari molekul organik dengan
penambahan klorin. Insektisida organoklorin bersifat sangat persisten,
dimana senyawa ini mashi tetap aktif hingga bertahun-tahun. Oleh
karena itu, kini insektisida golongan organoklorin sudah dilarang
penggunaannya karena memberikan dampak buruk terhadap
lingkungan.
a) Seri DDT; DDT,DDD, metoksiklor.
b) Seri klorden: klorden, dieldrin, aldrin, endrin,heptaklor,
toksefen.
c) Seri BHC: BHC, linden.
b. Heterosiklik: kepone, mirex,dll
c. Organofosfat
Insektisida golongan ini dibuat dari molekul organik dengan
penambahan fosfat misalnya: malathion, biothion, diazinon,
dll.
d. Karbamat
Insektisida golongan karbamat diketahui sangat efektif mematikan
banyak jenis hama pada suhu tinggi dan meninggalkan residu
dalam jumlah sedang. Namun, insektisida karbamat akan terurai
pada suasana yang terlalu basa, misalnya : furadan, sevin, dll.
e. Dinitrofenol: dinex,dll
f. Thiosianat: Lethane,dll
g. Sulfonat, sulfida, sulfon
h. Lain- lain: methylbromidr, dll
2. Hasil alam: nikotinoida, piretroida, rotenoida, dll.
Insektisida juga dibagi-bagi menurut cara mematikannya atau
melumpuhkan serangga menurut matsumura (1985) dan Tarumingkeng (1992)
sebagi berikut;
a. Racun Fisik
Racun fisk membunuh serangga dengan cara yang tidak khas.
Misalnya minyak bumi dan debu inert dapat menutup lubang-lubang
pernapasan serangga, sehingga serangga mati lemas kekurangan
oksigen. Minyak bumi dapat menutupi permukaan air, sehingga jentik-
jentik nyamuk tidak bisa mengambil udara dan mati karena
kukurangan oksigen. Debu yang higroskopis (misalnya bubuk karbon)
dapat membunuh serangga karna debu yang menempel dikulit
serangga menyerap cairan dari tubuh serangga secara berlebihan.
b. Racun protoplasma
Yang termasuk racun protoplasma dalah logam berat, asam, dan
sebagainya.
c. Penghambat metabolisme
Yang termasuk insektisida penghambat metabolisme adalah sebagai
berikut.
1) Racun pernapasan : HCN, H2S,rotenon dan fumigansia lainnya.
2) Penghambat mixed function oxidase.
3) Penghambat metabolisme amina : klordimefon
4) Penghambat sintesa khitin: lufenuron, dsb
5) Peniru hormon: juvenile hormone, dsb
6) Racun syaraf (neurotoksin), racun syaraf bekerja mempengaruhi
sistem syaraf serangga (menghambat kholinesterase), sehingga
menimbulkan berturut-turut, eksitasi ( kegelisahan), konvulsi
(kekejangan), parilis (kelumpuhan) dan akhirnya kematian.
Misalnya : organofosfat, karbamat, dan piretroid.
d. Peniru hormon :metoprene
e. Racun perut : Bacillus thuringiensis
C. Efek Penggunaan Insektisida
Pada tahun 1960, Rachel Carson menerbitkan buku yang sangat
berpengaruh dalam sejarah penggunaan insektisida berjudul Silent Spring
(Musim Sepi yang Sunyi). Buku tersebut menyorot penggunaan DDT yang
sangat marak di masa itu karena sangat efektif, sekaligus menyadarkan manusia
akan bahaya dari penggunaan pestisida berlebihan. Insektisida yang dipakai
seringkali menyerang organisme non target seperti burung dan makhluk hidup
lainnya. Oleh karena itu, penggunaan insektisida juga dikhawatirkan berpotensi
membahayakan kesehatan manusia. Insektisida seringkali digunakan melebihi
dosis yang seharusnya karena petani beranggapan semakin banyak insektisida
yang diaplikasikan maka akan semakin bagus hasilnya.
http://id.wikipedia.org/wiki/Insektisida
Beberapa petani bahkan mencampurkan perekat pada insektisidanya
agar tidak mudah larut terbawa air hujan. Namun, penggunaan perekat ini justru
mengakibatkan tingginya jumlah residu pestisida pada hasil panen yang nantinya
akan menjadi bahan konsumsi manusia. Menurut data WHO sekitar 500 ribu
orang meninggal dunia setiap tahunnya dan diperkirakan 5 ribu orang meninggal
setiap 1 jam 45 menit akibat pestisida dan/atau insektisida. Penggunaan
insektisida sintetik juga dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan.
Hal ini dikarenakan insektisida tertentu dapat tersimpan di dalam tanah selama
bertahun-tahun, dapat merusak komposisi mikroba tanah, serta mengganggu
ekosistem perairan.
http://id.wikipedia.org/wiki/Insektisida
a. Selektivitas Insektisida
Selektivitas insektisida lebih menekankan kemampuan insektisida
memilih serangga sasaran tanpa merugikan organisme non target, termasuk
musuh alami hama. Idealnya , insektisida adalah insektisida yang efektif untuk
mengendalikan serangga sasaran tanpa merugikan musuh alami serangga
tersebut. Selektivitas insektisida juga dibedakan menjadi empat macam sebagai
berikut (Djojosumarto, 2000).
a) Selektivitas fisiologis atau bawaan
Selektivitas yang menjadi karakter khas insektisida tersebut. Selektivitas
bawaan menjadikan insektisida pada dosis dan konsentrasi tertentu
mampu membunuh serangga tertentu dan tidak merugikan serangga
lainnya. Selektivitas fisiologis berkaitan erat dengan takaran (dosis,
konsentrasi) penggunanya. Artinya, insektisida yang selektif pada
takaran tertentu dapat menjadi tidak selektif bila takaran penggunaanya
dinaikkan.
b) Selektifitas karena sifat atau cara kerja insektisida
Contoh insektisida yang baik adalah insektisida racun perut murni, yang
mungkin secara fisiologis kurang selektif. Namun, karena insektisida
bersifat racun perut, maka hanya serangga yang memakan makanan
khasnya yang akan mati. Sedangkan musuh alami serangga tidak
terganggu
c) Selektivitas karena formulasi
Insektisida yang diformulasikan dalam bentuk butiran mempunyai
selektivitas yang tinggi. Misal: microencapsilated
d) Selektivitas ekologik
Selektivitas yang memanfaatkan teknik aplikasi untuk mengurangi
dampak negatif insektisida terhadap musuh alami serangga sasaran.
Contoh : penyemprotan insektisida secara parsial.
b. Spektrum Pengendalian
Insektisida dikatakan mempunyai spektrum yang luas (broad
spectrum) bila insektisida tersebut dapat mengendalikan banyak jenis serangga
target dari kelompok taksonomi yang berbeda. Pestisida berspestrumsempit
hanya mengendalikan kelompok serangga sasaran tertentu. Insektisida
hidrokarbon berklor dan organofosfat merupakan insektisida berspektrum luas.
Insektisida dari kelompok IGR (insect growth regulator) umumnya berspektrum
pengendalian terbatas. Pada waktu lampau, orang- orang umumnya lebih
menyukai insektisda berspektrum luas. Tetapi karena kelemahan-kelemahan
insektisida berspektrum luas (merugikan organisme non target atau musuh
alami) adn diperkenalkan konsep pengendalian PHP, maka insektisida sekarang
ini cenderung berspektrum sempit bahkan lebih spesifik (Djojosumarto, 2000).
c. Pencampuran Insektisida yang Boleh Dilakukan
Pencampuran pestisida dalam aplikasi boleh dilakukan apabila
(Djojosumarto, 2000):
a) Sasarannya berbeda. Misal ; mencampur fungisida (untuk penyakit)
dengan insektisida (untuk hama) dalam sekali penyemprotan.
b) Insektisida yang dicampur tidak menimbulkan efek buruk. Karena
banyaknya insektisida yang beredar saat ini, maka sulit untuk membuat
daftar pestisida yang dapat atau yang tidak dicampur. Maka harus
dilakukan percobaan terlebih dahulu sebelum pencampuran.
c) Pencampuran dilakukan untuk menimbulkan sinergisme atau
memperkuat efikasi insektisida tersebut
d) Pencampuran juga boleh dilakukan bila bertujuan untuk memecahkan
serangga sasaran yang sudah resisten atau mencegah resisten.
D. Resistensi Serangga Terhadap Insektisida
Resisten adalah kemampuan serangga atau organisme lain untuk
bertahan hidup terhadap pengaruh insektisida. Populasi suatu serangga yang
dikendalikan, pada mulanya rentan terhadap insektisida yang digunakan untuk
memberantasnya. Pada beberapa generasi, keampuhan dari insektisida itu
semakin menurun sebab serangganya semakin toleran terhadap insektisida dan
akhirnya tidak berdayaguna lagi sebab serangga yang diberantas sudah menjadi
resisten terhadap insektisida yang digunakan (Brown dan Pal, 1971).
Menurut Darwin di alam terjadi seleksi alamiah terhadap makhluk hidup,
yang dapat meningkatkan daya penyesuaian populasi terhadap lingkungannya.
Hal ini mungkin terjadi bila faktor-faktor yang menentukan daya penyesuaian itu
mempunyai keragaman. Darwin mengatakan bahwa faktor-faktor itu juga
diwariskan kepada keturunannya. Mendel menyatakan bahwa hanya karakter
yang diatur oleh gen yang dapat diwariskan. Fisher menyatakan bahwa laju
pertambahan daya penyesuaian sebanding dengan keragaman genetik yang
mengatur daya penyesuaian itu (Villee, 1957; Bishop, 1982).
Toleransi suatu spesies serangga terhadap insektisida sangat beragam,
dapat terbukti dengan terjadinya berbagai presentasi kematian bila beberapa
kelompok serangga dari spesies yang sama, dipaparkan dengan berbagai dosis
atau konsentrasi insektisida. Toleransi itu berkisar antara 0 dan 100% yang
merupakan distribusi kumulatif normal yang disebut sebaran toleransi sedangkan
Macnair (1981) menyebut differential susceptibility. Teori Darwin (dalam Villee,
1957) menyatakan bahwa seleksi alam menyebabkan punahnya individu-individu
yang daya penyesuainnya lemah, sedangkan yang daya penyesuainnya baik
akan terus mempertahankan eksistensi populasinya. Seperti halnya dengan gen
(+) yang (+) akan punah sedangkan gen RR akan mampu hidup bila kontak
dengan insektisida. Untuk gen R(+) keadaannya tergantung kepada dominasi
gen R, bila gen R dominan maka R(+) akan terus hidup bersama-sama RR,
sedang bila gen R resesif maka R(+) akan punah bersama-sama (+)(+). Bila gen
R bersifat intermediate maka nasib R(+) tergantung pada dosis yang digunakan
(Villee, 1957).
E. Jenis – jenis Resisten
Menurut Soedarto (2008), resistensi dibagi menjadi resistensi bawaan
(natural resistancy) dan resistensi yang didapat (acquired resistancy).
1. Resistensi bawaan
Serangga yang secara alami sensitif terhadap suatu insektisida akan
menghasilkan secara alami keturunan yang juga sensitif terhadap insektisida
tersebut. Sedangkan serangga yang secara alami sudah resisten terhadap
suatu insektisida, keturunannya juga akan resisten terhadap insektisida
bersangkutan. Selain itu, serangga yang sensitif terhadap suatu insektisida
jika mengalami mutasi (yang terjadi satu kali setiap beberapa ratus atau ribu
tahun) dapat berkembang menjadi serangga yang resisten terhadap
insektisida tersebut.
2. Resistensi didapat
Akibat pemberian dosis insektisida yang di bawah dosis lethal dalam
waktu yang lama, serangga target yang sebelumnya sensitif dapat
menyesuaikan diri berkembang menjadi resisten terhadap insektisida
tersebut. Berdasar atas jenis insektisida yang tidak lagi peka terhadap
serangga, resistensi dibedakan menjadi resistensi silang (cross resistance)
dan resistensi ganda (double resistance) (Hoedojo & Zulhasril, 2000;
Soedarto, 2008).
3. Cross resistance
Resistensi serangga yang terjadi terhadap dua insektisida yang satu
golongan atau satu seri, misalnya resisten terhadap malathion dan diazinon
(satu golongan) atau kebal terhadap DDT dan metoksiklor (satu seri).
4. Double resistance
Resistensi serangga yang terjadi terhadap dua insektisida yang
berbeda golongannya atau serinya, misalnya resisten terhadap malathion dan
DDT (beda golongan) atau DDT dan dieldrin (beda seri).
Jika satu jenis serangga telah resisten terhadap suatu insektisida,
maka dosis insektisida harus dinaikkan. Jika dosis insektisida terus-menerus
dinaikkan, maka pada dosis tertentu akan dapat membahayakan kesehatan
manusia dan hewan serta berdampak buruk pada lingkungan hidup. Karena
itu, insektisida harus diganti dengan jenis atau golongan lain atau diciptakan
insektisida baru untuk memberantas serangga tersebut (Soedarto, 2008).
F. Penyebab Resistensi
Faktor – faktor yang menyebabkan berkembangnya resisten adalah
sebagai berikut (Djojosumarto, 2000) ;
1. Faktor genetik, yakni adanya gen pembawa dasar sifat “resisten” pada
suatu populasi sasaran. Semakin banyak individu pembawa gen
pembawa dasar sifat “resisten”, semakin cepat populasi tersebut.
2. Faktor operasional yang bertindak sebagai tekanan seleksi (selection
pressure). Salah satu faktor yang mempengaruhi laju perkembangan
resistensi adalah tingkat tekanan seleksi yang diterima oleh suatu
populasi serangga. Pada kondisi yang sama, suatu populasi yang
menerima tekanan yang lebih keras akan berkembang menjadi
populasi yang resisten dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan
populasi hama yang menerima tekanan seleksi yang lemah.
Semakin besar tekanan seleksi, semakin cepat resistensi terjadi.
Penggunaan satu produk insektisida secara terus menerus dengan
frekuensi tinggi merupakan suatu tekanan seleksi yang sangat besar,
sehingga dapat mempercepat terjadinya resistensi. Jenis, dosis, dan
formulasi insektisida juga mempengaruhi penurunan kepekaan.
3. Faktor biologi sasaran, misalnya dinamika populasi, penyebaran,
kecepatan berkembang biak, dan tingkat isolasi sangat mempengaruhi
kecepatan prose terjadinya resistensi.
4. Cara kerja (mode of action) insektisida sendiri juga mempengaruhi
terjadinya kecepatan resistensi. Insektisida yang bekerja hanya pada
satu lokasi dalam sistem fisiologi serangga (monosite inhibitor) akan
lebih cepat menyebabkan resistensi daripada insektisida yang bekerja
dibanyak tempat (multisite inhibitor).
Penurunan kepekaan serangga terhadap insektisida antara lain
disebabkan oleh adanya individu-individu serangga hama yang secara
alami yang tahan terhadap insektisida tertentu, meskipun jumlahnya
kecil sekali. Oleh karena itu, setiap penyemprotan insektisida tidak
pernah mematikan serangga hama semuanya. Serangga – serangga
yang tidak mati mungkin karena telah membawa gen resisten atau
tidak terkena insektisida. Serangga yang membawa sifat resisten
memiliki keturunan yang mempunyai sifat tahan terhadap insektisida
juga. Bila penyemprotan dengan insektisida yang sama atau sama
kelompok kimianya dilakukan secara terus-menerus, maka jumlah
individu yang tahan terhadap insektisida tersebut makin lama akan
makin bertambah banyak dan akhirnya akan dapat mendominasi
populasi serangga hama tersebut (Panut Djojosumarto, 2000).
Menurut Kasumbogo Untung (1993), mekanisme resistensi suatu
serangga terhadap insektisida dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Peningkatan detoksifikasi (menjadi tidak beracun) insektisida oleh
karena bekerjanya ensim-ensim tertentu seperti ensim
dehidroklorinase (terhadap DDT), ensim mikrosomal oksidase
(terhadap karbamat, OP, piretroid), glutation transferase (terhadap
OP), hidrolase dan esterase (terhadap OP).
2. Penurunan kepekaan tempat sasaran insektisida pada tubuh
serangga seperti asetilkolinesterase (terhadap OP dan karbamat),
sistem syaraf (Kdr) seperti terhadap DDT dan piretroid.
3. Penurunan laju penetrasi insektisida melalui kulit atau
integumentum seperti yang terjadi pada ketahanan terhadap
kebanyakan insektisida.
Ketahanan serangga terhadap suatu jenis atau beberapa jenis
insektisida disebabkan oleh lebih dari satu penyebab dan mekanisme
ketahanan. Ada beberapa jenis serangga yang cepat membentuk
populasi yang resisten tetapi ada yang lambat, ada juga jenis-jenis
insektisida yang cepat menimbulkan reaksi ketahanan dari banyak
jenis serangga.
G. Strategi Pengelolaan Resistensi Insektisida
Untuk memperlambat timbul dan berkembangnya populasi
resisten menurut Georghiou (1993) dapat dilakukan dengan 3 strategi
yaitu :
1) sikap sedang (moderation), Pengelolaan dengan moderasi bertujuan
mengurangi tekanan seleksi terhadap hama antara lain dengan
pengurangan dosis, dan frekuensi penyemprotan yang lebih jarang.
2) penjenuhan ( saturation ), Pengelolaan dengan saturasi bertujuan
memanipulasi atau mempengaruhi sifat pertahanan serangga terhadap
insektisida baik yang bersifat biokimiawi maupun genetik.
3) serangan ganda ( multiple attack), Pengelolaan dengan serangan
ganda antara lain dilakukan dengan cara mengadakan rotasi atau
pergiliran kelompok dan jenis insektisida yang mempunyai cara kerja
atau mode of action yang berbeda.
4) pencampuran pestisida, jangan mencampur insektisida yang tidak jelas
tujuannya. Ada pendapat bahwa pencampuran insektisida dapa
mencegah atau menunda resistensi serangga terhadap insektisida.
Tetapi pendapat lain menyatakan bahwa pencampuran justru akan
merangsang timbulnya resistensi silang (cross resistance)
Pengelolaan resistensi pestisida bertujuan melakukan kegiatan
yang dapat menghalangi, menghambat, menunda atau membalikkan
pengembangan resistensi. Untuk membuat keputusan pengelolaan
resistensi sangat diperlukan pengetahuan dasar tentang faktor-faktor
yang mendorong timbul dan berkembangnya resistensi, dan pendugaan
frekuensi genotipe resisten. Program pengelolaan resistensi menjadi
sangat sulit dilaksanakan tanpa pengetahuan komprehensif tentang
mekanisme suatu jenis serangga atau organisme lain menjadi resisten
terhadap pestisida (http://cdsindonesia.wordpress.com/2008/04/08/.
a. Deteksi dan Monitoring Resitensi
Penerapan program pengelolaan resistensi perlu dilakukan sedini
mungkin. Apabila kegagalan pengendalian hama dengan pestisida telah terjadi
karena berkembangnya populasi resisten, mungkin tingkat resistensi sudah
sangat tinggi sehingga sulit untuk diturunkan kembali sampai ke tingkat yang
rendah. Karena itu perlu dikembangkan metode pendeteksian yang mudah,
cepat, murah dan akurat sehingga adanya perubahan sifat populasi yang
mengarah ke resistensi dapat diketahui lebih awal. Tersedianya metode
pendeteksian resistensi yang standar akan menunjang kegiatan monitoring yang
terprogram.
Metode tersebut diperlukan juga untuk memonitor penyebaran dan tingkat
keparahan resistensi secara spasial dan temporal dan melakukan pendugaan
mengenai lebar atau panjang “jendela waktu†� yaitu sejak resistensi
terdeteksi sampai ke tingkat keparahan resistensi yang tidak dapat dikelola lagi
tersebut. Untuk mendukung program ini ilmu-ilmu dasar seperti immunologi,
biokimia dan genetika molekuler diharapkan mempunyai peran penting dalam
mengembangkan metode deteksi tersebut.
Langkah yang perlu dilakukan adalah pengembangan dan penggunaan
metode deteksi yang cepat, dapat dipercaya untuk mendeteksi tingkatan rendah
terjadinya resistensi di populasi hama. Metode deteksi dan monitoring resistensi
yang sudah lama digunakan adalah dengan teknik bioassay. Pengujian biokimia
untuk mengidentifikasikan aktifitas ensim yang diduga terkait dengan mekanisme
resistensi pada organisme yang diuji juga telah banyak dikembangkan. Namun
metode biokimia menuntut lebih banyak peralatan yang lebih canggih dan lebih
mahal daripada metode bioassay. Di samping itu para pakar bioteknologi juga
sedang mengembangkan teknik molekul untuk mendeteksi keberadaan gen
resisten (http://cdsindonesia.wordpress.com/2008/04/08/ )
b. Pengendalian Serangga Pengganggu Terpadu
Pada dasarnya PHT adalah pengendalian populasi serangga agar tetap
berada di bawah satu tingkatan atau kerugian ekonomi. Jadi strategi PHT
bukanlah pembasmian, pemusnahan atau pemberantasan, melainkan
pembatasan dan mengurangi penggunaan pestisida khususnya insektisida.
Sebab tidak selalu serangga di lingkungan selalu berbahaya, bahkan kadang
juga berguna bagi kehidupan manusia. Untuk melaksanakan program ini semua
teknik pengendalian dikombinasikan secara terpadu dalam satu kesatuan
pengolahan. Jadi PHT adalah pengendalian secara multilateral, bukan unilateral.
Tidak cukup hanya dengan pestisida (Rini Wudianto,1997).
Masalah resistensi harus ditanggulangi secara terpadu, lintas disiplin dan
lintas sektor, mengikutsertakan semua stakeholders, tidak hanya pemerintah dan
petani tetapi terutama industri pestisida dengan para petugasnya yang
beroperasi di lapangan. Salah satu program yang dapat dilaksanakan oleh
stakeholders secara bersama adalah memberikan penjelasan, penyuluhan dan
pelatihan pada para petani agar mereka dapat ditingkatkan pengetahuan dan
ketrampilannya dalam menggunakan pestisida secara bijaksana sehingga dapat
memperlambat terjadinya populasi resisten. Petani terutama petani hortikultura
harus mengubah perilaku dan kebiasaan mereka dalam menggunakan dan
mengaplikasikan pestisida sehingga sesuai dengan strategi pengelolaan
resistensi pestisida.
Pengelolaan resistensi pestisida sangat komplementer dan mendukung
prinsip dan strategi PHT. Pengelolaan resistensi pestisida merupakan kombinasi
teknik pengendalian dengan pestisida dan pengendalian tanpa pestisida
sedemikian rupa sehingga frekuensi individu-individu resisten dalam populasi
hama tetap dalam tingkatan yang dapat dikelola dan secara ekonomis layak.
Penggunaan pestisida agar dilaksanakan secara selektif dengan memperhatikan
hasil monitoring dan analisis data populasi hama dan musuh alaminya. Semakin
kecil paparan populasi hama terhadap pestisida kimia tertentu diharapkan dapat
memperlambat timbulnya populasi resisten. Penerapan PHT akan mengurangi
tekanan seleksi terhadap organisme perusak tanaman serta dapat
memperlambat atau menunda pengembangan populasi resisten yang merugikan
semua pihak (http://cdsindonesia.wordpress.com/2008/04/08/ ).
Pada pelaksanaan PHT ini ada beberapa tahapan pengendalian, yaitu (Rini
Wudianto,1997):
1. Pengendalian kultur teknik
Inti dari pengendalian ini ialah memodifikasi lingkungan agar
lingkungan menjadi sangat buruk bagi perkembangan dan
perbanyakan serangga pengganggu. Misalnya dengan pengolahan
tanah, sanitasi, dll
2. Pengendalian hayati
Pengendalian hayati ialah pengendalian hama dengan cara biologi,
yaitu memanfaatkan musuh alami yang berupa parasitoid dan
predator, patogen : jamur, bakteri virus dan nematoda, serta hewan
vertebrata. Misal : ikan Peocilia reticulata efektif memangsa jentik
nyamuk malaria.
Pengendalian ini mempunyai beberapa keuntungan dan kelemahan :
- Tidak mencemari lingkungan,
- Musuh alami yang dipilih biasanya sudah mengkhususkan diri
terhadap serangga sasaran dan tidak atau sedikit sekali berdampak
negatif pada organisme lainnya,
- Petugas ataupun petani tidak perlu melakukan tindakan apa pun
- Lebih murah biayanya dibanding pestisida
Kelemahannya diantaranya :
-Tingkat keberhasilan sekitar 10%
3. Pengendalian Mekanik dan Fisik
Tujuan dari pengendalian ini adalah mengubah faktor lingkungan fisik
menjadi di atas atau dibawah batas toleransi serangga sasaran. Pada
pengendalian ini target di berantas atau dipindahkan secara langsung oleh
manusia dengan bantuan alat. Diantara beberapa caranya dalah memasang
perangkap, dan membunuh langsung telur, larva, pupa dan imago serangga
sasaran yang ditemui.
4. Pengendalian Secara Kimiawi
Pengendalian dengan cara ini tidak hanya dengan menggunakan pestisida ,
tetapi masih banyak bahan kimia yang bisa digunakan untuk pengendalian.
Misalnya penggunaan feromon dan repellant (penolak serangga).
a. Feromon adalah senyawa kimia yang dikeluarkan oleh hewan yang
menyebabkan rangsangan khas pada individu dari satu spesies yang
menerimanya yaitu menunjukkan perilaku tertentu atau menentukan
perkembangan fisiologi. Sebagai misal feromon seks, feromon
pengumpulan, feromon jejak.
b. Repellant adalah senyawa yang menyebabkan serangga menjauh
dengan cara membuat tanaman menjadi tidak menarik, tidak enak, atau
menjijikkan. Misal ; kayu pinus dan kayu jati mengandung senyawa
penolak alamiah sehingga tahan terhadap serangga rayap.
c. Pestisida
Memang diakui bahwa pestisida telah menjadi bagian dalam
pengendalian vektor maupun binatang pengganggu di Indonesia. Bahkan
dalam keadaan panik strategi ini merupakan satu-satunya cara yang
sangat diharapkan membantu memecahkan masalah vektor maupun
binatang pengganggu. Namun, seperti telah dibahas sebelumnya, dibalik
efektifitasnya yang tinggi pestisida banyak menimbulkan efek negatif
yang merugikan.
Dalam pengendalian dengan pestisida ini sebaiknya pengguna
mengetahui sifat kimia dan sifat fisik pestisida, biologi dan ekologi
organisme pengganggu, serta mush alaminya. Prinsip berikut perlu
diperhatikan untuk menghindari efek yang tidak diinginkan (Rini
Wudianto,1997).
1. Gunakan pestisida bila populasinya telah mencapai tingkat
kerusakan atau ambang ekonomi.
2. Gunakan pestisida yang berspektrum sempit, mempunyai
selektivitas tinggi dengan konsentrasi dosis yang tepat.
3. Gunakan pestisida yang residunya pendek dan mudah
terdekomposisi oleh faktor lingkungan.
4. Gunakan pestisida pada saat serangga sasaran berada pada
titik terlemah.
5. Gunakan pestisida bila cara pengendalian lain sudah tidak
efektif dan efisien lagi.
d. Insektisida yang ideal
Kemajuan telah banyak diperoleh, tetapi sebegitu jauh, pestisida yang benar
– benar ideal belum ada. dari berbagai sumber (dalam al.Fischer et al.,1990;
Natawigena, 1985, sifat- sifat ideal yang seharusnya dipunyai pestisida
adalah sebagi berikut;
1. Sifat biologi
a. Efektif
b. Takaran aplikasi rendah
c. Toksisitas rendah (LD50 tinggi) sehingga tidak berbahaya bagi
manusia maupun lingkungan.
d. Sasarannya spesifik
e. Selektif
f. Tidak cepat menimbulkan resisten.
2. Sifak kimia
a. Tidak persisten
b. Tidak mudah menembus kulit manusia.
3. Formulasi
a. Diformulasi dalam bentuk mendukung keselamatan manusia
b. Formulasinya cukup stabil
c. Mudah diaplikasikan
DAFTAR PUSTAKA
Djojosumarto, Panut. 2000. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Yogyakarta;
KANISIUS.
Wudianto, Rini. 1997. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Jakarta; Penebar
Swadaya.
http://cdsindonesia.wordpress.com/2008/04/08/manajemen-resistensi-pestisida-sebagai-penerapan-pengelolaan-hama-terpadu/
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/119/jtptunimus-gdl-ayuyulisty-5930-3-babii.pdf
http://fk.uwks.ac.id/archieve/jurnal/vol1.no2.Juli2011/RESISTENSI%20SERANGGA%20TERHADAP%20DDT.pdf
http://id.wikipedia.org/wiki/Insektisida
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/56009/BAB%20II%20Tinjauan%20Pustaka.pdf?sequence=4
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/3493/F06dso.pdf
.
top related