implementasi kebijakan bea perolehan hak atas tanah...
Post on 08-Apr-2019
230 Views
Preview:
TRANSCRIPT
97
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN PADA DINAS PENDAPATAN DAN PENGELOLAAN KEUANGAN
KABUPATEN BANDUNG
ACHDIJAT SULAEMAN1 & ASEP SAHRUDIN
2
1Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Al-Ghifari
2 Alumni FISIP Universitas Al-Ghifari
Email: achdijat123@gmail.com / fisip_alghifari@yahoo.co.id
Abstrak Salah satu pajak yang telah diserahkan kepada daerah adalah Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan atau yang disingkat dengan BPHTB, diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu dengan UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangun. Pajak BPHTB di Kabupaten Bandung diatur melalui Peraturan Bupati Bandung Nomor 9 tahun 2011 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kabupaten Bandung. Implementasi kebijakan BPHTB di Kabupaten Bandung telah dijalankan sebagaimana mestinya. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa dimensi yang belum dijalankan sebagaimana mestinya, yakni dimensi sumber daya dan struktur birokrasi. Hambatan-hambatan yang muncul diantaranya hambatan kualitas sumber daya, minimnya dukungan sarana dan prasaran, sistem perencanaan yang belum matang, serta aspek-aspek lainnya. Usaha yang dilakukan diantaranya dengan melakukan analisis kekuatan dan kelemahan DPPK melalui analisis SWOT.
Kata Kunci: Implementasi Kebijakan, Pajak BPHTB
A. Latar Belakang Penelitian
Pelaksanaan otonomi daerah di
beberapa daerah telah diwarnai dengan
kecenderungan Pemda untuk
meningkatkan pendapatan asli daerah
dengan cara membuat Perda yang berisi
pembebanan pajak-pajak daerah. Hal ini
telah mengakibatkan timbulnya ekonomi
biaya tinggi (high cost economy)
sehingga pengusaha merasa keberatan
untuk menanggung berbagai pajak
tersebut. Kebijakan pemda untuk
menaikkan PAD bisa berakibat kontra
produktif karena yang terjadi bukan PAD
yang meningkat, akan tetapi justru
mendorong para pengusaha
memindahkan lokasi usahanya ke
daerah lain yang lebih menjanjikan.
Pemerintah daerah harus
berhati-hati dalam mengeluarkan Perda
tentang pajak daerah, sehingga pelarian
modal ke daerah lain dapat dihindari, dan
harus berusaha memberikan berbagai
kemudahan dan pelayanan untuk
menarik investor menanamkan modal di
daerahnya. Organisasi publik memang
berbeda dengan organisasi bisnis karena
organisasi publik memiliki ciri-ciri bahwa
organisasi publik tidak sepenuhnya
otonomi tetapi dikuasai faktor-faktor
eksternal. Selain itu organisasi publik
secara resmi diadakan untuk pelayanan
masyarakat.
Organisasi publik tidak dimaksudkan
Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 98
ISSN: 873 – 3741-1
untuk berkembang menjadi besar
sehingga merugikan organisasi publik
lain. Kesehatan organisasi publik diukur
melalui kontribusinya terhadap tujuan
politik, kemampuan mencapai hasil
maksimum dengan sumber daya yang
tersedia, kualitas pelayanan masyarakat
yang buruk akan memberi pengaruh
politik yang negatif/merugikan. (Azhar
Kasim, 1993: 20).
Meskipun organisasi publik memiliki
ciri-ciri yang berbeda dengan organisasi
bisnis akan tetapi paradigma beru
Administrasi Publik yang dipelopori oleh
Ted Gabler dan David Osborne dengan
karyanya "Reinventing Government"
telah memberikan inspirasi bahwa
administrasi publik harus dapat
beroperasi layaknya organisasi bisnis,
efisien, efektif dan menempatkan
masyarakat sebagai stakeholder yang
harus dilayani dengan sebaik-baiknya.
Pembangunan daerah mustahil bisa
dilaksanakan dengan baik tanpa adanya
dana yang mencukupi. Dalam pasal 27
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
telah diatur bahwasanya dalam rangka
pembiayaan pelaksanaan desentralisasi,
daerah akan mengandalkan pada
sumber-sumber penerimaan yang terdiri
atas : (1) Pendapatan Asli Daerah – PAD;
(2) Dana Perimbangan; (3) Dana
Pinjaman; dan (4) lain-lain Penerimaan
yang sah. Pendapatan Asli Daerah
merupakan penerimaan yang dihasilkan
dari upaya daerah sendiri yang berasal
dari berbagai sumber, antara lain adalah
dari pajak daerah, retribusi, hasil
keuntungan perusahaan daerah, dan dari
berbagai hasil usaha lainnya yang sah
menurut peraturan. Kemampuan daerah
untuk memperoleh PAD rata-rata sangat
rendah, bahkan untuk menutupi biaya
rutin pun sangat kekurangan. Untuk
daerah otonomi Kabupaten dan Kota
dana yang diperoleh dari PAD hanya
sekitar 13% dari dana yang dimiliki,
sedangkan di daerah otonomi Propinsi
sebanyak 30%. (Deddy Supriadi B. ,
2002).
Dana Perimbangan adalah dana
yang diperoleh pemerintah Daerah dari
pemerintah Pusat, baik yang berasal dari
PBB, Bea Perolehan Hak atas tanah dan
Bangunan, Penerimaan Sumber Daya
Alam, Dana Alokasi Umum, dan Dana
Alokasi Khusus. Penerimaan dari PBB
dibagi dengan imbangan 10% untuk
Pemerintah Pusat dan 90% untuk Daerah;
penerimaan dari BPHTB dibagi dengan
imbangan 20% untuk Pusat, dan 80%
untuk Daerah; penerimaan dari Sumber
Daya Alam dibagi dengan imbangan 20%
bagi pemerintah Pusat dan 80% untuk
Daerah (Profil DPPK, 2011).
Satu hasil penelitian yang dilakukan
oleh SMERU dan hasilnya diseminarkan
di Bali pada bulan Juni 2002,
menunjukan bahwa dalam UU Nomor 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan
Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 99
ISSN: 873 – 3741-1
Keuangan Pusat –Daerah tidak diatur
penerimaan dari sektor perkebunan,
sehingga daerah yang memiliki areal
perkebunan merasa dirugikan karena
daerah tidak memperoleh pendapatan
dari sektor tersebut. “ In addition, those
regions with established industries that
make a significant contribution to state
revenue, such as the tobacco industry in
Kabupaten Kudus, do not receive a share
of the profits despite the fact that the
natural resources upon which the
industries are based lies within their
territory. As a result, these regions feel
that they have been treated unfairly by
regional autonomy laws”. Perlu diketahui
yang diatur dalam undang-undang
tersebut hanya mencakup penerimaan
dari sektor minyak bumi, gas alam,
kehutanan, pertambangan umum, dan
perikanan.
Sebagian besar upaya yang
dilakukan daerah untuk bisa mengurangi
dana yang diperoleh dari pemerintah
pusat adalah dengan memacu uapaya
memperoleh Pendapatan Asli Daerah
sebesar mungkin. Metode yang paling
populer sampai dengan saat ini adalah
dengan mengesploitasi Sumber Daya
Alam daerah yang ada, dan melalui
Pajak dan Retribusi Daerah. Cara
pertama sangat mungkin dilakukan
apabila di daerah SDA nya memang
berlimpah, namun bagi daerah yang
miskin akan SDA umumnya mengambil
jalan lain yaitu meningkatkan penerimaan
dengan cara kedua . Terlepas dengan
cara daerah memperoleh PADnya, yang
menjadi pertanyaan “mampukah daerah
menggali dengan bermodalkan sumber
daya manusia yang ada di daerahnya
sendiri?”
Ada slogan yang cukup terkenal
dalam dunia industri “ Assets make
things possible, people make things
happen” . Artinya kekayaan alam, modal,
bahan baku, dan asset-aset lainnya
membuat sesuatu itu mungkin, namun
hanya melalui tangan-tangan manusialah
membuat semuanya itu terjadi. Indonesia
boleh mempunyai laut yang luas penuh
dengan ikan, namun tanpa nelayan yang
baik, ikan tersebut akan tetap menjadi
ikan yang ramai berenang-renang di
dalam lautan. Daerah bisa punya modal
sendiri atau modal asing, atau hasil
penarikan pajak dan retribusi, namun
tanpa manusia yang akhli dan bermoral
dalam mengelola uang tadi, dapat kita
bayangkan bagaimana jadinya.
Demikian pula, daerah boleh mempunyai
kekayaan alam yang berlimpah, namun
tanpa ada sumber daya manusia yang
mengolahnya secara benar, kekayaan
alam tersebut bukannya menjadi sumber
yang bermanfaat, melainkan lebih
banyak mudharatnya.
Mencermati permasalahan tersebut,
maka apa yang sekiranya harus
dilakukan oleh daerah dalam
Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 100
ISSN: 873 – 3741-1
menghadapi otonomi ini. Adhitya
Wardono dan Asep Mulyana dalam
makalah yang yang disampaikan di
Frankrut, berjudul “Sumberdaya Padat
Otak dan Otonomi Daerah” mengutip
buah pikiran seorang ekonom Friedrich
List yang mengemukakan konsep
Pendekatan Tenaga Produktif.
Rekomendasinya adalah kemakmuran
suatu daerah (bangsa) bukan
disebabkan oleh akumulasi harta dan
kekayaan, melainkan dengan cara
membangun lebih banyak tenaga yang
produktif. Dengan pendekatan ini akan
terjadi kekuatan swadaya setempat yang
mampu menunjang kemakmuran
ekonomi suatu daerah atau bangsa. Hal
yang dimaksud oleh Friedrich List
dengan Tenaga Produktif adalah karya
kreatif, inovatif, pemahaman atas
kekuasaan dan hokum, hak dan
kewajiban masyarakat, efektivitas
penyelenggaraan pemerintah, ilmu dan
kebudayaan, dan sikap terhadap hak
asasi manusia serta mentaati norma
agama. (Wardono dan Mulyana, 2001).
Berdasarkan apa yang dikemukakan
oleh Fredrich List tersebut di atas maka
uraian berikutnya berupaya menjelaskan
sejauh mana hubungan antara
kemakmuran daerah yang indkatornya
adalah kemakmuran ekonomi dengan
variabel sumber daya manusia. Dengan
mengetahui hubungan yang terjadi di
antara kedua variabel tersebut penulis
ingin lebih meyakinkan kepada pembaca
betapa pentingnya pemerintah
Daerah/Kota/Propinsi untuk
memfokuskan upayanya pada
peningkatan kualitas sumber daya
manusia di daerahnya masing-masing.
Salah satu pajak yang telah
diserahkan kepada daerah adalah Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan atau yang disingkat dengan
BPHTB, diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan di
Indonesia, yaitu dengan UU No. 21
Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 20 Tahun
2000 tentang Perubahan Atas UU No. 21
Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangun. Dalam UU No.
21 Tahun 1997 sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000
(disebut dengan UU BPHTB),
memberikan pengertian mengenai
BPHTB, yaitu Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan adalah pajak yang
dikenakan atas perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan, yang selanjutnya
disebut pajak. Jadi BPHTB adalah sama
dengan Pajak Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan. Yang dimaksud
dengan Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan, UU BPHTB menyebutkan
bahwa Perolehan Hak atas Tanah dan
atau bangunan adalah perbuatan atau
peristiwa hukum yang mengakibatkan
Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 101
ISSN: 873 – 3741-1
diperolehnya hak atas tanah dan atau
bangunan oleh orang pribadi atau badan.
Adapun Hak atas Tanah dan atau
Bangunan adalah hak atas tanah,
termasuk hak pengelolaan, beserta
bangunan di atasnya, sebagaimana
dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, UU No. 16 Tahun 1985 tentang
Rumah Susun, dan ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya. Fenomena
tersebut terjadi pula pada Dinas
Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan
Kabupaten Bandung. Pajak BPHTB di
Kabupaten Bandung diatur melalui
Peraturan Bupati Bandung Nomor 9
tahun 2011 Tentang Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan Kabupaten
Bandung.
Berdasarkan penelusuran awal
(penjajakan), peneliti menemukan
indikasi permasalahan belum optimalnya
implementasi kebijakan Peraturan Bupati
Nomor 9 tahun 2011 Tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan Kabupaten Bandung. Belum
optimalnya implementasi kebijakan
tersebut diindikasikan oleh indikator
masalah rendahnya komunikasi antara
petugas pajak dengan wajib pajak
sehingga menimbulkan keterlambatan
wajib pajak dalam menyampaikan
pembayaran pajaknya. Untuk itu peneliti
tertarik meneliti lebih mendalam dengan
judul IMPLEMENTASI KEBIJAKAN BEA
PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN
BANGUNAN PADA DINAS
PENDAPATAN DAN PENGELOLAAN
KEUANGAN KABUPATEN BANDUNG.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian
tersebut, peneliti merumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana Implementasi Kebijakan
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan pada Dinas Pendapatan
dan Pengelolaan Keuangan
Kabupaten Bandung?
2. Hambatan apa saja yang dihadapi
dalam Implementasi Kebijakan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan pada Dinas Pendapatan
dan Pengelolaan Keuangan
Kabupaten Bandung?
3. Upaya apa saja yang dilakukan
untuk menanggulangi hambatan
Implementasi Kebijakan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan pada Dinas Pendapatan
dan Pengelolaan Keuangan
Kabupaten Bandung?
C. Kerangka Pemikiran
Implementasi merupakan bagian
dari proses suatu kebijakan. Suatu
kebijakan yang dirumuskan bukanlah
suatu proses yang sederhan dan mudah.
Hal tersebut disebabkan karena terdapat
banyak paktor yang berpengaruh
Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 102
ISSN: 873 – 3741-1
terhadap proses pembuatan kebijakan.
Adapun proses atau perumusan
kebijakan menurut Van Meter dan Van
Horn (dalam Wahab, 2008: 65) adalah
“Those action by public or private
individuals (orgroups) that are directed at
the achievement of objectives set forth in
prior policy decisions (Kebijakan adalah
suatu tindakan yang dilakukan baik oleh
individu-individu atau
kelompok-kelompok pemerintah atau
swasta yang diarahkan pada tercapainya
tujuan-tujuan yang telah digariskan
dalam keputusan kebijakan). Mazmanian
dan Sabatier dalam Wahab (2008: 65)
memberikan pendapat mengenai
pengertian implementasi kebijakan
sebagai berikut:
Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan, yakni kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman-pedoman kebijakan-kebijakan negara, yang mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan dampak atau akibat nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian.
Berikut adalah pengertian
implementasi kebijakan publik yang
dikemukakan oleh Sunggono (1994:
137):
Implementasi kebijakan merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu
dengan sarana-sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu. Dengan demikian, yang diperlukan dalam implementasi kebijakan ini adalah tindakan-tindakan yang sah atau implementasi suatu rencana sesuai tujuan.
Sedangkan Maarse dalam
Sunggono (1994: 137) memberikan
pengertian implementasi kebijakan publik,
yaitu bahwa “Implementasi kebijakan
merupakan suatu upaya untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu dengan
saran-saran tertentu dalam urutan waktu
tertentu”. Pendapat Maarse ini
menegaskan bahwa kebijakan dapat
diimplementasikan apabila tujuan-tujuan
kebijakan telah ditetapkan, dengan
didukung sarana dan waktu yang jelas.
Surianingrat dalam Sunggono (1994: 137)
memberikan pengertian Implementasi
kebijakan sebagai berikut:
Pelaksanaan kebijakan adalah upaya untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan dengan mempergunakan sarana dan waktu tertentu. Pelaksanaan kebijakan dapat pula dirumuskan sebagai penggunaan sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Berikut adalah variabel-variabel
proses implementasi kebijakan Van
Meter dan Van Horn dalam Prabukusumo
dan Pramusinto (1994: 19):
a. Standar dan Sasaran Kebijakan
b. Sumber daya
Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 103
ISSN: 873 – 3741-1
c. Komunikasi antar Organisasi dan pengukuhan aktivitas
d. Karakteristik birokrasi pelaksana
e. Kondisi sosial, ekonomi dan politik
f. Sikap pelaksana
Berikut adalah empat faktor yang
sangat menentukan implementasi
kebijakan publik yang dikemukakan oleh
Edwards III dalam Tangkilisan (2003:
12-14):
a. Komunikasi Sebagai syarat pertama agar implementasi kebijakan itu efektif, maka kebijakan harus diserahkan kepada orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk melaksanakannya dengan jelas, tentu saja hal ini memerlukan komunikasi yang tepat dan dilakukan dengan tepat pula oleh pelaksana kebijakan.
b. Sumber Daya Kurangnya sumber daya mengakibatkan tidak efektifnya penerapan kebijakan.Sumber daya yang dimaksud disini mencakup orang-orang yang memadai dari segi jumlah dan kemampuan, informasi yang jelas, sarana dan prasarana dan wewenang.
c. Disposisi/Sikap. Jika pelaksana ingin melaksanakan sebuah kebijakan maka mereka harus dapat melaksanakan apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan, tetapi ketika sikap dan pandangan para pelaksana berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses pelaksanaan sebuah kebijakan menjadi lebih rumit.
d. Struktur Birokrasi.
Para pelaksana kebijakan mungkin telah dapat mengetahui apa yang harus mereka lakukan dan memiliki sikap serta sumber daya yang cukup untuk melaksanakan sebuah kebijakan, tetapi dalam pelaksanaannya mereka mungkin akan terhambat oleh adanya struktur birokrasi dimana dua karakter utama dari birokrasi adalah standar prosedur pelaksanaan dan pembagian tugas.
Teori inilah yang peneliti jadikan
alat ukur untuk meneliti analisis
implementasi kebijakan Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan pada
Dinas Pendapatan dan Pengelolaan
Keuangan Kabupaten Bandung. Alasan
pemilihan teori ini adalah didasarkan
pada kondisi dilapangan yang
mempunyai kesesuaian dengan teori
yang digunakan peneliti, sehingga
peneliti beranggapan teori inilah yang
relevan dengan permasalahan yang akan
diteliti.
D. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode
kualitatif. Sugiyono (2009: 1)
mendefinisikan metode penelitian
kualitatif adalah “metode penelitian yang
digunakan untuk meneliti pada kondisi
objek alamiah (sebagai lawannya adalah
eksperimen) dimana peneliti adalah
instrumen kunci, teknik pengumpulan
Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 104
ISSN: 873 – 3741-1
data dilakukan secara trianggulasi
(gabungan), analisis data bersifat induktif,
dan hasil penelitian kualitatif lebih
menekankan makna daripada
generalisasi. Sejalan dengan pendapat
Moleong (2010: 6), “penelitian kualitatif
adalah penelitian penelitian yang
bermaksud untuk memahami tentang
apa yang dialami oleh subjek penelitian,
misalnya perilaku, persepsi, motivasi,
tindakan dan lain-lain dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
bahasa, pada suatu konteks khusus yang
alamiah dan dengan memanfaatkan
berbagai metode alamiah.
E. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Implementasi Kebijakan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan pada Dinas
Pendapatan dan Pengelolaan
Keuangan Kabupaten Bandung.
Implementasi kebijakan dalam
penelitian ini diukur melalui dimensi
komunikasi, sumber daya, disposisi, dan
struktur birokrasi. Untuk membahasnya,
peneliti akan menyajikan pembahasan
masing-masing dimensi tersebut melalui
studi pustaka, wawancara dan observasi
lapangan. Hasil penelitian dan
pembahasan tersebut peneliti sajikan
sebagai berikut:
1. Dimensi Komunikasi
Dimensi komunikasi sebagai
syarat pertama agar implementasi
kebijakan itu efektif, maka kebijakan
harus diserahkan kepada orang-orang
yang diserahi tanggung jawab untuk
melaksanakannya dengan jelas, tentu
saja hal ini memerlukan komunikasi yang
tepat dan dilakukan dengan tepat pula
oleh pelaksana kebijakan. Dalam hal
Implementasi Kebijakan Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan pada
Dinas Pendapatan dan Pengelolaan
Keuangan Kabupaten Bandung, peneliti
menemukan belum optimalnya dimensi
komunikasi yang dijalankan oleh para
petugas pajak sehingga pembayaran
pajak tersebut senantiasa mengalami
keterlambatan.
Suatu kebijakan yang telah
dirumuskan tentunya memiliki
tujuan-tujuan atau target tertentu yang
ingin dicapai. Pencapaian target baru
akan terealisasi jika kebijakan tersebut
telah diimplementasikan. Oleh karena itu
untuk dapat mengetahui apakah tujuan
kebijakan yang telah dirumuskan
tersebut dapat tercapai atau tidak, maka
kebijakan tersebut harus
diimplementasikan. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa implementasi
kebijakan merupakan tahapan yang
sangat penting dalam proses kebijakan.
Implementasi suatu kebijakan tidak
selalu berjalan mulus, banyak faktor yang
dapat mempengaruhi keberhasilan suatu
implementasi kebijakan. Hal ini
disebabkan karena pada dasarnya
Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 105
ISSN: 873 – 3741-1
implementasi kebijakan tidak selalu
berada pada tempat yang vakum,
sehingga terdapat berbagai macam
faktor disekelilingnya yang turut
mempengaruhi implementasi kebijakan.
Keberhasilan suatu implementasi
kebijakan, membutuhkan adanya
pemahaman standar dan tujuan
kebijakan dari masing-masing individu
yang bertanggung jawab
melaksanakannya. Oleh karena itu
standard dan tujuan kebijakan harus
dikomunikasikan dengan jelas agar tidak
menimbulkan distorsi implementasi. Jika
standart dan tujuan tidak diketahui
dengan jelas oleh pihak-pihak yang
terlibat dalam implementasi kebijakan,
dapat menimbulkan salah pengertian
yang dapat menghambat implementasi
kebijakan. Komunikasi kebijakan
mencakup dimensi transmisi
(transmission), transformasi
(transformation) dan kejelasan (clarity).
Dimensi transformasi
menghendaki agar kebijakan publik
dapat ditransformasikan kepada para
pelaksana, kelompok sasaran dan pihak
lain yang terkait dengan kebijakan.
Dimensi kejelasan menghendaki agar
kebijakan yang ditransmisikan kepada
para pelakana, target group dan pihak
lain yang berpentingan baik secara
langsung maupun tidak langsung
terhadap kebijakan dapat diterima
dengan jelas, sehingga diantara mereka
mengetahui apa yang menjadi maksud,
tujuan dan sasaran serta substansi dari
kebijakan tersebut. Jika mereka tidak
jelas, maka mereka tidak akan tahu apa
yang seharusnya dipersiapkan dan
dilaksanakan agar apa yang menjadi
tujuan kebijakan dapat dicapai secara
efektif dan efisien.
Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB) Kabupaten
Bandung pada 2012 mencapai Rp60
miliar atau meningkat 100% dibanding
tahun sebelumnya Rp30 miliar. Bupati
Bandung Dadang Naser mengatakan
capaian BPHTB bisa besar karena
pengalihan pengelolaan dari pemerintah
pusat ke daerah pada 2011 lalu
(bisnis.com, 2012). Bupati Bandung
menargetkan BPHTB pada 2013 naik
atau tetap di Rp60 miliar karena pajak
tersebut bermanfaat bagi serapan
anggaran publik. Menurutnya, pajak
merupakan salah satu sumber
pendapatan asli daerah (PAD) bagi
pemerintah.
Selain pajak, sumber lain bagi
PAD antara lain dana perimbangan,
pinjaman daerah, hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan, serta
lainnya. Ditanya soal tunggakan pajak
sebesar Rp270 miliar di Kabupaten
Bandung, katanya, pihaknya akan
bekerja sama dengan kejaksaan dan
kepolisian. Hal itu terjadi dikarenakan
petugas kesulitan melacak pajak yang
Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 106
ISSN: 873 – 3741-1
ada di desa karena pemiliknya tidak ada
di wilayah Kabupaten Bandung.
berdasarkan data tersebut maka dapat
dikatakan bahwa dimensi komunikasi
telah dijalankan dengans semestinya
dalam implementasi kebijakan BPHTB di
Kabupaten Bandung.
2. Dimensi Sumber Daya
Kurangnya sumber daya
mengakibatkan tidak efektifnya
penerapan kebijakan.Sumber daya yang
dimaksud disini mencakup orang-orang
yang memadai dari segi jumlah dan
kemampuan, informasi yang jelas,
sarana dan prasarana dan wewenang.
Sumber daya yang ada di DPPK
Kabupaten Bandung terdiri dari sumber
daya manusia berdasarkan tingkat
pendidikan, jenis pendidikan yang diikuti
baik pendidikan formal maupun non
formal, sarana dan prasarana yang
mendukung penyelenggaraan kegiatan
pengelolan keuangan seperti gedung
beserta ruang rapat yang memadai,
Fasilitas komputer, meja kursi, peralatan
kantor dan lain-lain.
Sumber daya merupakan
variable yang sangat penting dalam
implementasi kebijakan. Meskipun
kebijakan sudah dikomunikasikan
dengan jelas kepada aparat pelaksana,
tetapi jika tidak didukung oleh
tersedianya sumber daya secara
memadai untuk pelaksanaan
kebijakan,maka efektivitas kebijakan
akan sulit dicapai. Sumber daya dalam
hal ini meliputi: dana, sumber daya
manusia (staf) dan fasilitas lainnya. Oleh
karena itu agar sumber daya yang ada
dapat menunjang keberhasilan
implentasi kebijakan, maka sumberdaya
harus dipersiapkan sedini mungkin
sehingga pada saat dibutuhkan sudah
tersedia sesuai kebutuhan.
a. Sumber Daya Manusia
Jumlah sumber daya manusia
yang ada di Dinas Pendapatan dan
Pengelolaan Keuangan sebanyak 228
orang dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 4.1
Jumlah PNS berdasarkan golongan
No. Golongan Jumlah
1. IV 7 Orang
2. III 90 Orang
3. II 123 Orang
4 I 8 Orang
Jumlah 228 Orang Sumber: DPPK Kabupaten Bandung, 2012
Berdasarkan tabel tersebut
dapat diketahui bahwa SDM di DPPK
Kabupaten Bandung bervariasi ditinjau
dari aspek golongan. Meskipun demikian,
kerjasamanya semua golongan mampu
membangkitkan semangat untuk
merealisasikan kebijakan BPHTB
Kabupaten Bandung.
Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 107
ISSN: 873 – 3741-1
Tabel 4.2
Jumlah PNS berdasarkan Tingkat
Pendidikan
No. Tingkat
Pendidikan Jumlah
1. Sarjana Strata
2 10 orang
2. Sarjana Strata
1 47 orang
3. D3 17 orang
4 D2 1 orang
5. D1 1 orang
6. SLTA 134 orang
7. SLTP 10 orang
8. SD 8 orang
Jumlah 228 orang Sumber: DPPK Kabupaten Bandung, 2012
Berdasarkan tabel tersebut
dapat diketahui bahwa masih
dominannya SDM yang berpendidikan
SMA ke bawah. Untuk itu DPPK terus
berupaya untuk mendorong SDM
mekanjutkan studi ke jenjang yang lebih
tinggi.
Tabel 4.3
Jumlah PNS yang telah mengikuti
Diklat Struktural
No. Tingkat
Pendidikan & Latihan
Jumlah
1. Diklatpim III 15 orang
2. Diklatpim IV 6 orang
3. Adum 17 orang
Jumlah 38 orang Sumber: DPPK Kabupaten Bandung, 2012
Berdasarkan tabel tersebut
dapat diketahui bahwa masih
dominannya SDM yang belum mengikuti
diklat struktural. Untuk itu DPPK terus
berupaya untuk mendorong SDM
mengikuti diklat-diklat yang
diselenggarakan Pemda Kabupaten
Bandung..
Tabel 4.4
Jumlah pegawai yang menduduki
eselon
No. Eselon Jumlah
1. Eselon II b 1 orang
2. Eselon III a 1 orang
3. Eselon III b 5 orang
4. Eselon IV a 24 orang
5. Eselon IV b 9 orang
Jumlah 40 orang Sumber: DPPK Kabupaten Bandung, 2012
Berdasarkan tabel tersebut
dapat diketahui bahwa masih
dominannya SDM yang belum
menduduki eselon. Untuk itu DPPK terus
berupaya untuk mendorong SDM
meningkatkan kemampuan dengan
mengikuti diklat-diklat yang
diselenggarakan Pemda Kabupaten
Bandung..
Tabel 4.5
Jumlah Kontrak Kerja berdasarkan
tingkat pendidikan
No. Pendidikan Jumlah
1. Sarjana 2 Orang
2. SLTA 2
Orang
3. SD 1 Orang
Jumlah 5 Orang Sumber : Kepegawaian DPPK, 2012
Berdasarkan tabel tersebut
dapat diketahui bahwa masih adanya
pegawai dengan status kontrak.
Meskipun demikian, pegawai tersebut
turut berkontribusi bagi terselenggaranya
kebijakan BPHTB di Kabupaten
Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 108
ISSN: 873 – 3741-1
Bandung.
Dengan adanya penyerahan
pajak BPHTB dari pusat ke daerah, maka
pegawai pun merasakan kewalahan
dalam mengelola BPHTB tersebut. Hal ini
dikarenakan pajak yang tadinya dikelola
oleh dua KPP, saat ini dikelola satu atap
oleh DPPK, dengan demikian pekerjaan
pun tidak optimal dilaksanakan oleh
pegawai dikarenakan keterbatasan SDM
serta pekerjaan yang begitu menumpuk.
b. Sarana dan prasarana pada DPPK
Kabupaten Bandung
DPPK Kabupaten Bandung
memiliki gedung kantor berlantai 2 (dua)
dengan luas sebesar 2554,03.m2 dan 90
m2, Kendaraan dinas roda 4 sebanyak
12 unit dan roda 2 sebanyak 65. unit,
saluran telepon sebanyak 14 line,
fasilitas komputer terdiri dari PC 90 unit,
laptop 74 whiteboard electric 2 unit,
infocus 2 unit, aplikasi SIPKD wireless
yang dapat diakses dari seluruh ruangan,
Aplikasi Gaji, DPPK memiliki ruang rapat
yang refresentatif dengan kapasitas 100
orang, serta peralatan lainnya. 64 (enam
puluh empat) jenis barang inventaris aset
tetap.
c. Dimensi Disposisi
Jika pelaksana ingin
melaksanakan sebuah kebijakan maka
mereka harus dapat melaksanakan apa
yang diinginkan oleh pembuat kebijakan,
tetapi ketika sikap dan pandangan para
pelaksana berbeda dengan pembuat
kebijakan, maka proses pelaksanaan
sebuah kebijakan menjadi lebih rumit.
Dispositions atau sikap pelaksana juga
menjadi faktor yang mempengaruhi
implementasi kebijakan. Dispositions
dimaksudkan sebagai kecenderungan,
keinginan atau kesepakatan para
pelaksana (implementor) untuk
melaksanakan kebijakan.
Pelaksana kebijakan tidak
hanya dituntut kemampuan dan
kemauannya secara sungguh-sungguh
dalam melaksanakan kebijakan,
tetapi juga dituntut untuk mampu
membawa kebijakan tersebut kearah
yang diinginkan atau diharapkan. Semua
itu dapat terwujud jika
pelaksana mendukung tujuan kebijakan.
Sebaliknya sikap pelaksana yang
cenderung menolak kebijakan, akan
menyebabkan mereka gagal
melaksanakan kebijakan.
d. Dimensi Struktur Birokrasi
Para pelaksana kebijakan
mungkin telah dapat mengetahui apa
yang harus mereka lakukan dan memiliki
sikap serta sumber daya yang cukup
untuk melaksanakan sebuah kebijakan,
tetapi dalam pelaksanaannya mereka
mungkin akan terhambat oleh adanya
struktur birokrasi dimana dua karakter
utama dari birokrasi adalah standar
prosedur pelaksanaan dan pembagian
tugas. Adapun struktur birokrasi pada
Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 109
ISSN: 873 – 3741-1
Dinas Pendapatan dan Pengelolaan
Keuangan Kabupaten adalah sesuai
dengan Peraturan Daerah Kabupaten
Bandung No 20 tahun 2007 tentang
Pembentukan Organisasi Dinas Daerah
Kabupaten Bandung.
Struktur organisasi DPPK ini
perlu mendapat perhatian lebih, terkait
dengan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB) telah diserahkan
ke kabupaten Bandung menjadi pajak
daerah, selain itu Pajak Bumi dan
Bangunan akan diserahkan kepada
daerah menjadi pajak daerah pada tahun
2013. Sehubungan dengan hal tersebut,
maka perlu dipertimbangkan untuk
diadakan perubahan perda SOTK, untuk
mengakomodir bidang yang mengelola
BPHTB dan PBB.
Meskipun sumber-sumber
untuk mengimplementasikan suatu
kebijakan tersedia secara memadai, dan
para pelaksana (implementor)
mengetahui dan memahami apa yang
menjadi standar dan tujuan kebijakan
serta memiliki kemampuan
mengimplementasikannya secara
sungguh-sungguh, bisa jadi implementasi
masih belum bisa efektif disebabkan
ketidakefisienan struktur birokrasi.
Struktur birokrasi (bureaucratic structure)
mencakup dimensi fragmentasi
(fragmentation) dan standart prosedur
operasi (standart operating procedure).
Dimensi fragmentasi menegaskan
bahwa struktur birokrasi yang
terfragmentasi (terpecah-pecah) dapat
mengakibatkan gagalnya implementasi,
karena fragmentasi birokrasi akan
membatasi kemampuan para pejabat
puncak untuk mengkoordinasikan semua
sumber daya yang relevan dalam suatu
yuridiksi tertentu yang berakibat lebih
lanjut adalah ketidakefeisienan dan
pemborosan sumber daya langka.
Dimensi standart prosedur operasi akan
memudahkan dan menyeragamkan
tindakan dari pada pelaksana kebijakan
dalam melaksanakan apa yang menjadi
bidang tugasnya.
3. Hambatan yang dihadapi dalam
Implementasi Kebijakan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan pada Dinas
Pendapatan dan Pengelolaan
Keuangan Kabupaten Bandung
Kebutuhan dana untuk
pembangunan di Kabupaten Bandung
setiap tahun terus meningkat dan masih
tingginya ketergantungan dana dari
Pemerintah Pusat, adalah suatu
tantangan bagi DPPK selaku SKPD
pemungut pendapatan untuk terus
meningkatkan pendapatan asli daerah
dan selaku PPKD terus berupaya untuk
mengoptimalkan pendapatan dana
perimbangan melalui koordinasi kepada
Pemerintah Pusat dan Provinsi.
Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 110
ISSN: 873 – 3741-1
Peningkatan kualitas pelayanan yang
akan dilaksanakan DPPK Kabupaten
Bandung lima tahun kedepan,
diidentifikasi dari
permasalahan-permasalahan yang
terjadi yaitu:
1. Belum optimalnya kualitas SDM,
yang sesuai standar kebutuhan unit
kerja dan belum optimalnya
penempatan SDM pada
masing-masing Unit kerja DPPK
sesuai dengan kualifikasi pendidikan
dan kompetensi;
2. Belum optimalnya dukungan sarana
dan prasarana, baik dari segi
kuantitas maupun kualitas;
3. Belum optimalnya kualitas
pelayanan pajak daerah dan
pelayanan administrasi
perbendaharaan;
4. Belum optimalnya perencanaan,
pengendalian, operasional pajak
daerah;
5. Belum optimalnya sistem
pengendalian intern pengelolaan
keuangan daerah;
6. Belum optimalnya kualitas laporan
keuangan;
7. Belum adanya Jabatan Fungsional
Pengelola Keuangan (Akuntan,
Penilai PBB P2, Juru Sita Pajak);
8. Belum optimalnya intensifikasi dan
ekstensifikasi sumber-sumber
pendapatan daerah;
9. Belum optimalnya penerimaan pajak
daerah ;
10. Belum optimalnya pengelolaan
TP/TGR sebagaimana peraturan
perundang-undangan.
4. Upaya yang dilakukan untuk
menanggulangi hambatan
Implementasi Kebijakan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan pada Dinas
Pendapatan dan Pengelolaan
Keuangan Kabupaten Bandung
Walaupun terdapat berbagai
kekurangan, DPPK terus berupaya untuk
memperbaiki segenap kekuatan yang
merupakan suatu keharusan dan menjadi
perhatian yang besar. Dalam upaya
mencapai tujuan dan sasaran yang telah
ditetapkan, DPPK Kabupaten Bandung
menyusun strategi yang mengacu pada
faktor kekuatan dan kelemahan pada
lingkungan internal serta faktor peluang
dan ancaman pada lingkungan eksternal.
Faktor kekuatan yang ada pada
lingkungan internal sebagai berikut :
1. Jumlah SDM cukup memadai;
2. Sarana dan prasarana yang dimiliki
sekarang ;
3. Komitmen pimpinan dalam
meningkatkan kualitas SDM;
4. Adanya regulasi pengelolaan
keuangan daerah;
5. Adanya tugas pokok dan fungsi
yang jelas;
Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 111
ISSN: 873 – 3741-1
6. Tersedianya anggaran untuk
pelaksanaan tugas pokok dan
fungsi.
Faktor kelemahan merupakan
permasalahan-permasalahan pada
lingkungan internal yang perlu
ditingkatkan sebagai berikut:
1. Kualitas SDM belum sepenuhnya
sesuai dengan kebutuhan standar
kerja organisasi;
2. Masih adanya pegawai yang kurang
memiliki tanggung jawab terhadap
tugas pokok dan fungsinya;
3. Belum meratanya
pengetahuan/pemahaman aparat
terhadap pengelolaan keuangan
daerah;
4. Belum optimalnya dukungan sarana
dan prasarana, baik dari segi
kuantitas maupun kualitas.
Faktor peluang yang perlu
dimanfaatkan pada lingkungan eksternal
DPPK Kabupaten Bandung adalah
sebagai berikut :
1. Adanya potensi pendapatan yang
cukup besar di Kabupaten Bandung;
2. Adanya pengalihan beberapa jenis
pajak pusat dan provinsi menjadi
pajak daerah, yaitu BPHTB, PBB-P2
dan Pajak Air Tanah;
3. Pemanfaatan teknologi informasi
dalam pengelolaan, pelaporan dan
informasi keuangan daerah;
4. Adanya reformasi birokrasi disegala
bidang, termasuk pengelolaan
keuangan;
5. Terbukanya kesempatan mengikuti
pendidikan formal dan informal
untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia;
6. Adanya perkembangan
pembangunan, dan pertumbuhan
ekonomi di Kabupaten Bandung.
Faktor ancaman yang perlu
ditekan pada lingkungan eksternal yaitu :
1. Pelanggaran terhadap ketentuan
perundang-undangan dibidang
pendapatan dan pengelolaan
keuangan;
2. Masih rendahnya kesadaran wajib
pajak dalam memenuhi
kewajibannya membayar pajak ;
3. Wajib pajak tidak memberikan
informasi pendapatannya secara
jujur.
Faktor-faktor tersebut dianalisis
dengan menggunakan pendekatan
SWOT (strengths, weaknesses,
opportunities, threats). Dari hasil analisis
SWOT kemudian disusun strategi
perencanaan, pengendalian dan evaluasi
pembangunan dalam lima tahun ke
depan sebagai berikut:
1. Peningkatan kualitas dan
profesionalisme SDM;
2. Peningkatan kapasitas SDM
aparatur sesuai peran dan
fungsinya;
Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 112
ISSN: 873 – 3741-1
3. Peningkatan ketaatan pada
peraturan dan
perundang-undangan;
4. Peningkatan kualitas pelayanan
dengan pola pendekatan pelayanan
Prima;
5. Peningkatan kesejahteraan
aparatur;
6. Peningkatan sarana dan prasarana
pengelolaan keuangan;
7. Peningkatan pemanfaatan teknologi
pengolahan data dan informasi;
8. Peningkatan Pemahaman bersama
tentang proses dan mekanisme
dalam pengelolaan keuangan;
9. Terjalinnya komunikasi dan
sinkronisasi dalam mensinergiskan
perencanaan pembangunan dengan
keuangan;
10. Meningkatnya sistem pengendalian
intern;
11. Meningkatkan pengawasan Melekat;
12. Penerapan sistem reward and
punishment yang berkeadilan.
13. Meningkatnya sosialisasi pajak
daerah kepada masyarakat.
Dari beberapa strategi di atas,
kemudian ditetapkan prioritas strategi
yang akan ditempuh dalam upaya
mencapai tujuan dan sasaran
menggunakan analisis tapisan
berdasarkan 8 (delapan) indikator, yaitu:
1. waktu pelaksanaan strategi;
2. Besar pengaruhnya dalam
mencapai tujuan dan sasaran;
3. Biaya yang diperlukan;
4. Pelaksanaan strategi
memerlukan pengembangan
baru, perubahan yang
konsekuen, dan komitmen;
5. Penyesuaian terhadap
perundang-undangan,
penambahan dan renovasi
sarana dan prasarana dan
peningkatan kualitas SDM;
6. Akibat yang ditimbulkan apabila
salah dalam melaksanakan
strategi;
7. Dampak yang timbul terhadap
SKPD lainnya;
8. Sensitivitas strategi terhadap
aspek sosial, ekonomi dan
politik
Berdasarkan hasil analisis
tapisan yang telah dilakukan,
menghasilkan rumusan 7 (tujuh) strategi
utama dari 13 alternatif rencana strategi
DPPK Tahun 2010-2015 yaitu :
1. Peningkatan kualitas dan
profesionalisme SDM;
2. Peningkatan kapasitas SDM
aparatur sesuai peran dan
fungsinya;
3. Peningkatan kualitas pelayanan
dengan pola pendekatan
pelayanan Prima;
4. Peningkatan kualitas
pengelolaan keuangan, baik
Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 113
ISSN: 873 – 3741-1
pendapatan, belanja dan
pembiayaan;
5. Penerapan sistem reward and
punishment yang berkeadilan,
baik bagi pegawai DPPK
maupun kepada Wajib Pajak;
6. Peningkatan pemanfaatan
teknologi data dan informasi ;
7. Peningkatan sarana dan
prasarana.
Dengan penjelasan, bahwa
sesuai visi dan misi DPPK Kabupaten
Bandung untuk 5 (lima) tahun kedepan,
perlunya memanfaatkan teknologi data
dan informasi yang sedang
dikembangkan seperti pengelolaan
keuangan dengan menggunakan
program aplikasi pengelolaan keuangan
yang terintegrasi dengan seluruh SKPD
berbasis web (internet) yang digunakan
sebagai sarana entri data dan
menghasilkan informasi keuangan yang
dihasilkan dari seluruh SKPD pada saat
penyusunan RKA/DPA dan rancangan
perda APBD, rancangan perda
perubahan APBD, pelaksanaan
(penatausahaan), akuntansi dan
pelaporannya yang memiliki karakteristik
kualitatif laporan keuangan yang relevan,
andal, dapat dibandingkan; dapat
dipahami, transparan, dan dapat
dipertangunggjawabkan.
Dalam meningkatkan kualitas
pelayanan DPPK, perlu dilakukan
pendekatan pelayanan prima yang
handal (reliability), tanggap (responsif),
dengan keyakinan (confidence), peduli
(empaty), dan berwujud (tangible). Untuk
mewujudkan itu semua, perlu ditunjang
dengan kapasitas sumber daya manusia
sesuai tugas dan fungsinya dan
profesionalitas serta penerapan sistem
penghargaan dan hukuman yang
berkeadilan.
F. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian
dan pembahasan, peneliti memberikan
simpulan sebagai berikut:
1. Implementasi kebijakan BPHTB
di Kabupaten Bandung telah
dijalankan sebagaimana
mestinya. Meskipun demikian,
masih terdapat beberapa
dimensi yang belum dijalankan
sebagaimana mestinya, yakni
dimensi sumber daya dan
struktur birokrasi.
2. Hambatan-hambatan yang
muncul diantaranya hambatan
kualitas sumber daya, minimnya
dukungan sarana dan prasaran,
sistem perencanaan yang belum
matang, serta aspek-aspek
lainnya.
3. Usaha yang dilakukan
diantaranya dengan melakukan
analisis kekuatan dan kelemahan
DPPK melalui analisis SWOT.
Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 114
ISSN: 873 – 3741-1
DAFTAR PUSTAKA
Amy Y.S. Rahayu, 1977, Fenomena
Sektor Publik dan Era Service
Quality, dalam Bisnis dan
Birokrasi No. 1/Vol.
III/April/1997.
Azhar Kasim 1993, Pengukuran
Efektifitas dalam Organisasi,
Lembaga Penerbit FEUI
bekerjasama dengan Pusat
antar universitas Ilmu-ilmu
Sosial UI.
Brotodihardjo, Santoso, 2003, Pengantar
Ilmu Hukum Pajak, Edisi
Keempat, Refika Aditama,
Bandung.
Edwards III, George C. 1980.
Implementing Public Policy.
Washington: Congressional
Quarterly Press.
Pantius D Soeling 1997, Pemberdayaan
SDM untuk peningkatan
pelayanan, dalam Bisnis
Birokrasi No. 2/Vol
III/Agustus/1997.
Martani Huseini, 1994 Penyusunan
Strategi Pelayanan Prima
dalam suatu perspektif
Reengineering, dalam Bisnis
dan Birokrasi. No. 3/Vol
IV/September 1994.
Penghargaan Abdi Satyabakti dalam
manajemen pembangunan, Info
Pan 1995 No. 13/IV /
Oktober/1995
Karim, Abdul Gaffar, (Amirudin, Mada
Sukmajati, Nur Azizah), 2003,
Kompleksitas Persoalan
Otonomi Daerah, Cetakan I,
Pustaka Pelajar.
Kelly, Roy, 1989, Keuangan
Pemerintah Daerah di
Indonesia (Keuangan
Pemerintah Daerah di
Indonesia), UI Press, Jakarta.
Islamy, M. Irfan. 1988. Prinsip-Prinsip
Perumusan Kebijaksanaan
Negara, Jakarta: Bina
Aksara
Mustopadidjaja, 1999, Pedoman
Penyusunan Pelaporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah, Jakarta. LAN.RI
Nugroho, Riant. 2008. Public Policy,
Jakarta: PT. Elek Media
Komputindo
Supriatna, Tjahya. 1996. Sistem
Administrasi Pemerintahan
di Daerah. Jakarta: Bina
Aksara
Sutopo dan Sugiyanto, 2001. Analisis
Kebijakan Publik. Jakarta :
LAN.RI
Wahab, Solichin Abdul. 1997. Analisis
Kebijakan, Edisi Kedua.
Malang: Bumi Aksara
-----------------------------. 2002. Analisis
Kebijakan Dari Formulasi ke
Implemetasi Kebijakan
Jurnal Ilmiah “POLITEA” FISIP Universitas Al-Ghifari, Volume 10 Nomor 5, Januari 2013 115
ISSN: 873 – 3741-1
Negara, Jakarta: Bumi
Aksara
Williams, W. and R. F. Elmore. 1971.
Social Program
Implementation. New York:
Academic
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985
tentang Rumah Susun
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah
Peraturan Bupati Bandung Nomor 9
tahun 2011 Tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan Kabupaten Bandung
Harian Umum Republika edisi 22
November 2000, 10 Januari
2001, 9 Maret 2001 dan 20
Maret 2001
LAKIP DPPK Kabupaten Bandung, 2012
top related