ijtihad sebagai sumber ajaran islam
Post on 22-Jul-2016
79 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
B A B I
P E N D A H U L U A N
Islam sebagai agama yang berlaku abadi dan berlaku untuk seluruh umat manusia mempunyai sumber yang
lengkap pula. Sebagaimana diuraikan di awal bahwa sumber ajaran islam adalah Al-Qur”an dan Sunnah yang sangat
lengkap.
Seperti diketahui bahwa Al-Qur’an adalah merupakan sumber ajaran yang bersifat pedoman pokok dan global,
sedangkan penjelasannya banyak diterangkan dan dilengkapi oleh Sunnah secara komprehensif, memerlukan
penelaahan dan pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh serta berkesinambungan.
Para ulama bersepakat tentang pengertian ijtihad secara bahasa berbeda pandangan, mengenai pengertiannya
secara istilah muncul belakangan, yaitu pada massa tasyri dan massa sahabat. Ijtihad mempunyai definisi dan
mempunyai landasan serta dasar-dasar dan mempunyai hukum dan mempunyai unsur-unsur.
Dilihat dari fungsinya ijtihad berperan sebagai penyalur kretifitas pribadi atau kelompok dalam merespon
peristiwa yang dihadapi sesuai dengan pengalaman mereka.
Ijtihad juga berperan sebagai interpreter terhadap dalil-dalil yang zhanni al-wurud atau zhanni ad-dalalah.
Ijtihad diperlukan untuk menumbuhkan ruh islam dan berperan sebagai penyalur kretifitas pribadi.
A. LATAR BELAKANG
Mengingat pentingnya dalam syari’at Islam yang disampaikan dalam Al-Qur’an dan Assunah, secara
komprehensif karena memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh serta berkesinambungan.
Oleh karena itu diperlukan penyelesaian secara sungguh-sungguh atas persoalan-persoalan yang tidak ditunjukan secara
tegas oleh nas itu. Maka untuk itu ijtihad menjadi sangat penting. Kata ijtihad terdapat dalam sabda Nabi yang artinya
“pada waktu sujud” bersungguh-sungguh dalam berdo’a.
Dan ijtihad tidak membatasi bidang fikih saja dan banyak para pendapat ulama mempersamakan ijtihad dengan qiyas.
Adapun dasar hukum itu sendiri adalah Al-Qur’an dan Assunah.
Maka dari itu karena banyak persoalan di atas, kita sebagai umat Islam dituntut untuk keluar dari kemelut itu yaitu
dengan cara melaksanakan ijtihad.
BAB II
IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM
Syariah islam yang disampaikan dalam Al-Qur’an dan Sunnah secara komprehensif, memerlukan penelaahan dan
pengkajian ilmiah yang sungguh-sungguh serta berkesinambungan. Didalam keduanya terdapat lafadz yang ‘am-
khash, mutlaq-muqayyad, nasikh mansukh, dan muhkam-mutasyabih, yang memerlukan penjelasan.
Sementara itu, nash Al-Qur’an dan Sunnah telah berhenti, padahal waktu terus berjalan dengan sejumlah
peristiwa dan persoalan yang datang silih berganti (Al-wahyu qad intaha wal Al-Waqa’ ila yantahi). Oleh karena itu,
diperlukan usaha penyelesaian secara sungguh-sungguh atas ijtihad menjadi sangat penting.
A. PENGERTIAN IJTIHAD
Secara bahasa ijtihad berasal dari kata ja-ha-da. Kata inipun berarti kesanggupan (Al-Wus), kekuatan (Al-
Thaqah), dan berat (Al-Masyaqqah). Ahmad bin Ahmad bin Ali Al-Muqri Al-Fayumi.
Kata ijtihad secara bahasa, Ahmad bin Ahmad bin Ali Al-Muqri Al-Fayumi (t.th: 112) menjelaskan bahwa
ijtihad secara bahasa adalah:
نهايته الى ويصل مجهوده ليبلغ فىطلبة وطاقته وسعه بذل
”pengesahan kesanggupan dan kekuatan (mujtahid) dalam melakukan pencarian sesuatu, supaya sampai pada
ujung yang ditujunya.”
Menurut Asy-Syaukani (t.th:250). Arti etimologi ijtihad adalah:
فعل اي فى الستفراغ عن عبارة
”Pembicaraan mengenai pengarahan kemampuan dalm pekerjaan apa saja secara bahasa, arti ijtihad dalam artian
ja-ha-da terdapat di dalam Al-Qur’an surat An-Nahl (16) ayat 38, surat An-nuur (24) ayat 53 dan surat Fathir (35)
ayat 42.”
Semua kata itu berarti pengerahan segala kemampuan dan kekuatan (badzl al-wusy’i wa al-thaqah), atau juga berarti
berlebihan dalam bersumpah (Al-Muhalaghat fi al-yamin).
Dalam sunnah, kata ijtihad terdapat dalam sabda Nabi yang artinya:
“pada waktu sujud” dan hadist lain yang artinya “rosul Allah SAW para ulama bersepakat tentang pengertian
ijtihad secara bahasa, pengertian ijtihad secara istilah muncul belakangan, yaitu pada masa tasy’i dan masa
sahabat.
Menurut Abu Zahrah secara istilah arti ijtihad adalah:
التفصلية ادلتها من العملية االحكام استنباط فى وسعة الفقيه بذل
”Upaya seseorang ahli fiqih dengan kemamapuannya dalam mewujudkan hukum-hukum amalaiah yang diambil
dari dalil-dalil yang rinci”.
Menurut Al-Amidi yang dikutip oleh Wahbah Al-Zuhaili (1978-480) Ijtihad adalah:
الشرعية االحكام من الظن فىطلب الوسع استفرغ
“Pengerahan segala kemampuan untuk menentukakn sesuatu yang zhoni dari hukum-hukum syara’ ”.
Definisi ijtihad di atas secara tersirat menunjukkan bahwa ijtihad hanya berlaku pada bidang fiqih, bidang hukum
yang berkenaan dengan amal. Bukan bidang pemikiran. Ijtihad berkenaan dengan dalil zhoni berbeda dengan Husen,
Harun Nasution menjelaskan bahwa pengertian ijtihad hanya dalam lapangan fiqh adalah ijtihad daslam pengertian
sempit.
Dalam arti luas menurutnya ijtihad juga berlaku dalam bidang politik, akidah, tasyawuf dan filsafat.
Harun Nasution, Ibrahim Abbas Al-Dzarwi ( 1983 : 9 ) mendefinisikan ijtihad. Menurut Fakhruddin ijtihad
adalah pengarahan kemampuan untuk memikirkan apa saja yang tidak mendatangkan celaan.
Sebagian ulama ada yang memmpersamakan ijtihad dengan Qiyas, ada pula yang mepersamakan dengan ra’y.
Dari definisi ijtihad seperti digambarkan diatas terlihat beberapa persamaan dan perbedaan.
Perbedaanya adalah pertama terletak pada penggunaan bahasa. Kedua, terletak pada subjek ijtihad dinisbatkan
kepada kata mujtahid yang berkonotasi bahwa lapangan ijtihad itu tidak hanya bidang fiqh. Ketiga, terletak pada
metode ijtihad.
Metode mangkuli (dari Al-Qur’an dan Sunnah) yaitu metode yang mengikuti (Ittiba’) sebagian lagi
menggunakan metode ma’kuli (berdasarkan Ra’y dan akal). Metode ini berdasarkan asumsi bahwa Rasulullah SAW.
Adapun persamaannya adalah pertama, hukum yang dihasilkan bersifat Zhanni. Kedua, objek ijtihad berkisar
seputar hukum taklifi yasitu hukum dengan amaliah ibadah.
B. DASAR-DASAR IJTIHAD
Dasar hukum ijtihad adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Diantara ayat Al-Qur’an yang menmmjadi dasar ijtihad:
adapun Sunnah yang menjadi dasar ijtihad diantaranya Hadits Amr bin Ash yang diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari,
Muslim dan Ahmad yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
واحد اجر فله اخطأ ثم فاجتهد حكم واذا اجران فله فاطاب فاجتهد الحاكم حكم اذا
“apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad kemudian dia benar maka ia mendapatkan dua
pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan hukum dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala” . (HR.
Muslim, 11,t.th :62).
C. SYARAT-SYARAT MUJTAHID
Syarat-syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad melalui cara
istimbath (mengeluarkan hukum dari sumber hukum syari’at dan tathbiqh / penerapan hukum)
Syarat-syarat mujtahid, ada baiknya dijelaskan dulu menurut hukum ijtihad, yaitu sebagai berikut:
1. Al-Waqi’ yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi yang tidak diterangkan oleh nas
2. Mujtahid yaitu orang yang melakukan ijtihad yang mempunyai kemampuan intuk berijtihad dengan syarat-syarat
tertentu
3. Mujtahid fih ialah hukum-hukum syari’ah yang bersifat amali (taqlifi).
4. Dalil syara’ untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fih (Nadiah Syafari al-umari t.tth:199-200)
Menurut fakkhr ad-din, Muhammad bin Umar bin Al Husin Ar Razi (1988:496-7) syarat-syarat adalah sebagai
berikut:
1. Mukalaf, karena hanya mukalaflah yang mungkin dapat melakukan penerapan hukum.
2. Mengetahui makna-makna lafadz dan rahasianya.
3. Mengetahui keadaan mukhatab yang merupakan sebab pertama terjadinya perintah atau larangan.
4. Mengetahui keadaan lafadz, apakah memiliki Qorinah atau tidak.
Berbeda dengan syarat-syarata terdahulu, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad As Syaukani (t.th: 250-252)
menyodorkan syarat-syarat mujtahid sebagai berikut.
1. Mengetahui Al-Qur’an dan Sunnah yang berkaitan dengan masalah-masalah hukum. Jumlah ayat-ayat hukum
didalam Al-Qur’an sekitar 500 ayat.
2. Mengetahui ijma’ sehingga tidak berfatwa atau berpendapat yang menyalahi ijma ulama.
3. Mengetahui bahasa arab karena Al-Qur’an dan Sunnah disusun dalam bahasa arab.
4. Mengetahui ilmu Ushul Fiqh, membahas dasar-dasar serta hal-hal yang berkaitan dengan ijtihad.
5. Mengetahui nasikh-mansukh sehingga tidak berfatwa berdasarkan dalil yang sudah mansukh.
Adapun syarat-syrat mujtahid yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah (t.th: 250-2) adalah sebagai
berikut:
1. Mengetahui bahasa arab karena Al-Qur;an diturunkan dalam bahasa arab, As Sunnah, sebagai penjelasn Al-Qur’an
juga ditulis dalam bahasa arab.
2. Mengetahui nasikh-mansukh dalam Al-Qur’an.
3. Mengetahui Sunnah, baik perbuatan, perkataan maupun penetapan.
4. Menegtahui ijma’ dan iktilaf.
5. Menegetahui kiyas .
6. Mengetahui maqoshid As Syariah.
7. Memilki pemahaman yang tepat (Syihah Al Fahm) yang karenanya mujtahid dapat memahami ilmu Mantiq.
8. Memilki niat.
Syarat-syarat yang diajukan oleh Abu Zahrah, Wahbah Al Juhaili (1977 : 487-492) mengajukan syarat-syasrat
mujtahid sebasgai berikut:
1. Mengetahui makna ayat-ayat hukum yang terdapat didalam Al-Qur’an baik secara bahasa maupun secara istilah.
2. Mengetahui makna hadits-hadits hukum secara bahasa maupun istilah.
3. Mengetahui nasikh-mansukh baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah.
4. Mengetahui ijma’ sehingga tidak berfatwa atau berpendapat yang menyalahi ijma’ terdahulu.
5. Mengetahui kiyas dan syarat-syarat yang disepakati karenas kiyas merupakan salah satu metode ijtihad, rincian
hukum banyak dijelaskan dengan cara tersebut.
6. Mengetahui ilmu bahasa arab, seperti nahwu, sharaf, ma’ani, dan bayan, karena Al-Qur’an dan Sunnah disusun
dalam bahasa arab.
7. Mengetahui ilmu Ushul Fiqh karena didalamnya dibahas dasar-dasar dan rukun-rukun ijtihad.
8. Mengetahui maqoshid As Syariati dalam penerapan hukum, karena mujtahid wajib menetahui rahasia-rahasia
hukum disamping dilalat Al-Alfazh (penunjukan makna-makna lafadz).
Menurut Muhaimin dkk (1994: 198-199) mujtahid terbagi menjadi beberapa tingkatan:
Mujtahid Mutlaq dan Mujtahid Mazhab
Mujtahid mutlaq ialah mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum agama dari sumbernya
Mujtahid mutlaq terbagi menjadi beberapa tingkatan, tingkatan itu ialah mujtahid mutlaq mustaqil dan mujtahid
madzhab.
Mujtahid mutlaq mustaqil yaitu mujtahid yang dalam ijtihadnya menggunakan metode dan dasar yang ia susun
sendiri.
Empat tokoh madzhab fiqh terkenal seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Kedua
mujtahid mutlaq muntasib yaitu mujtahid yang telah mencapai derajat mutlaq mustaqil tetapi ia tidak menyusun
metode tersendiri, ia menggunakan keterangan imammnya untuk meneliti dalil-dalil dan sumber-sumber
pengambilannya. Contoh, Al- Muzami dari madzhab Syafi’i dan Al-Hasan bin Ziad dari madzhab Hanafi mujtahid fi –
al madzhab ialah mujtahid yang mampu mengeluarkan hukum-hukum agama yang tidak atau belum di keluakan oleh
madzhabnya itu. Contohnya, Abu Jafar al tahtawi dalam madzhab Hanafi. Kelompok mujtahid ini terbagi dua:
1. Mujtahid tahkrij, dan
2. Mujtahid tarjih atau bisa disebut dengan mujtahid fatwa.
Tampaknya untuk masa sekarang ini akan sulit terpenuhi, oleh kaena itu ijtihad tidak hanya dapat di lakukan oleh
perorangan (ijtihad faridah), tetapi juga dapat dilakukan secara kelompok (ijtihad jama’i). Artinya sekelompok ulama
dengan disiplin ilmu yang berbeda secara bersama-sama melakukan ijtihad.
D. LAPANGAN IJTIHAD (MAJAL AL-IJTIHAD)
Wilayah ijtihad atau majal al ijtihad adalah masalah yang diperbolehkan penetapan hukumnya dengan cara
ijtihad itu.
Adapun hukum yang diketahui dari agama secara dharudoh dan bid’ah (pasti benar berdasarkan pertimbangan
akal). Dalil qoth’i al subut wal dalalah tidaklah termasuk lapangan ijtihad, persoalan-persoalan yang tergolong
ma’ulima min ad din bi ‘al dhoruroh diantaranya kewajiban shalat lima waktu, puasa pada bulan Ramadhan.
Secara lebih jelas, Wahbah az zuhaili (1978:497) menjelaskan bahwa lapangan ijtihat itu ada dua. Pertama,
sesuatu yang tidak dijelaskan samasekali oleh Allah dan Nabi dalam Al-Qur’an dan Sunnah (ma la nasha fi ashlain).
Kedua, sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil zhanni Ats-Tsubut wa Al-Adalah atau salah satunya (Zhanni Ats
Tsubut atau Zhanni Al Adalah).
E. HUKUM IJTIHAD
Ulama berendapat, jika seorang muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah
yang berkaitan dengan hukum Syara’, maka hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib ‘ain, wajib kifayat, sunnat atau
haram, tergantung pada kapasitas orang tersebut.
Pertama, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa
yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akasn hilang begitu saja tanpa kepastian hukumnya maka hukum ijtihad
menjadi wajib ‘ain.
Kedua, bagi seorang muslim yang memenuhi kriteria mutahid yang dimintai fatwa hukum atas suatu peristiwa
yang terjadi maka hukum ijtihad menjadi wajib kifayat. Artinya, jika semua mujtahid tidak ada yang melakukan ijtihad
atas kasus tersebut, maka semuanya berdosa. Sebaliknya jika salah seorang dari mereka melakukan ijtihad atas kasus
tersebut maka yang lainnya tidak berdosa.
Ketiga, hukum berijtihad menjadi sunnat jika dilakuakn atas persoalan atau kejadian yang tidak atau belum
terjadi.
Keempat, hukum ijtihad menjadi haram jika dilakukan atas peristiwa yasng sudah jelas hukumnya secara qath’i, baik
dalam Al-Qur’an maupun Sunnah, atau ijtihad atas peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan secara ijma’. (Wahbah
Al Juhaili 1978:498-9 dan Muhaimin dkk, 1994:189).
F. IJTIHAD NABI MUHAMMAD SAW
Pembicaraan mengenai ijtihad Rasululloh SAW di kalangan para ulama ternyata sangat pelik dan berbelit-belit.
Secara umummereka menyepakati dalam urusan keduniawiyaan (al mashalih ad dunyawiyati) pengaturan taktik dan
keputusan yang berhubungan dengan persengketaan (al aqdiah wa al kushumah). Akan tetapi perbedaan pendapat
mereka mengenai ijtihaj Rasulullah SAW dalam hukum agama (wahbah al zuhaili 1978:499, asy syaukani, t.th:234).
Dalam menanggapi ijtihad dalam hukum agama ulama berbeda pendapat.
Pertama, ahli ushul fiqh membolehkan karena ini pernah di lakukan oleh Rasulullah SAW.
Kedua, pengikut Hanifah berpendapat Rasulullah SAW diperintah untuk berijtihad setelah beliau menunggu
wahyu untuk menyelesaikan peristiwa yang terjadi, beliau khawatir peristiwa itu lenyap begitu saja.
Ketiga, kebanyakan pengikut As Syariah, ahli kalam, kebasnyakan pengikut uktazilah tidak setuju ijtihad
Rasulullah daslam urusan hukum agama.
Berikut dalil-dalil yang dikemukakan kelompok pertama, sesungguhnya pada yang dmikian itu terdapat pelajaran bagi
orang-orang yang mempunyai mata hati (QS. Al-Imran {3}: 13).
Maka ambilah (kejadian itu) untuk menjadi pejaran bagi orang-orang yang mempunyai pandangan (QS. Al-
Hayr{59}: 2).
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal (QS.
Yusuf {12}: 111).
Kata-kata ulul Al-Abshar ulu al albab, ibram pada ayat terdahulu tidak hanya berlaku bagi khitab ketika ayat itu
diturunkan tetapi berlaku bagi khitab ketika ayat itu diturunkan tetapi berlasku juga bagi Rasulullah SAW karena
sesungguhnya beliaulah yang lebih tepast disebut ulul abshar dan ulul al basb. Kata –kata tersebut menggambarkan
suatu perintah memprediksi masa depan cara perbandingan dengan cara istilah ushul adalah Qiyas adalah bagian dari
kegiatan ijtihad.
Dalam surat Al-Imrasn {3}: 159, Allah SWT berfirman:
Maka disebabkan rahmat dari Allah SWT kamu belaku lemah lembut terhadap mereka sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, karenas itu maafkanlah mereka , mohon
ampun bagi merekas dan bermusyawarahlah dengasn mereka daslam urusan itu, kemudian aspabila kamu telah
membulatkan tekasd, maka bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal
kepadanya.
Menurut kelompok ini ayat diatas mengisyaratkan adanya ijtihad karena musyawarah hanya berlaku
menyelesaikan urusan yang hukumnya tidak ditunjuk secara jelas jelas oleh Nas. Ulama yangmenolak adanya ijtihad
Rasulullah SAW juga menjadikan Al-Qur’an sebagai dalil :
Dan tidaklah yang diucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapkanlah itu tiadas hanyalah wahyu yang
di wahyukan (kepadanya) (QS An-Najm {53}: 3 - 4).
Katakanlah, “tiada patut bagiku menggantkannya dari pihak diriku sendiri aku tidak mengikuti kecuali apa yang
diwahyukan kepadaku”. (QS. Yunus {10}: 15).
G. IJTIHAD: SUMBER DINAMIKA
Dewasa ini umat islam dihadapkasn dengan sejumlah peristiwa yang menyangkut aspek kehidupan. Di balik itu
kata Roter Garaudy, yang di kutip oleh Jalaluddin Rahmat (1983:39) tantangan umat sekarang ada dua macam, taqlid
kepada barat dan taqlid kepada masa lalu.
Melihat persoalan-persoalan diatas, uamt islam dituntut untuk keluar dari kemelut itu dengan cara melakukan
ijtihad. Ijtihad itu penting meskipun tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Kepentingannya disebabkan oleh hal-hal
berikut:
1. Jarak entara kita antara kita dengan masa tasyiri semakin jauh. Jarak yang jauh ini memungkinkan terlupakan
beberapa nass, khsusunya dalam as-sunnah yaitu masuknya hadist-hadist palsu dan perubahan pemahaman
terhadap nass. Oleh karena itu pera mujtahid dituntut secara bersungguh-sungguh menggali ajaran agama islam
yang sebenarnya melalui kerja ijtihad.
2. Syariat disampaikan dalam Al-Qur’an dan sunnah secara komprehensif: memerlukan penelaahan dan pengkajian
yang sungguh-sungguh. Didalamnya terdapat yang ‘am dan khas, mutlaq da muqayyad, hakim dan mahkum,
nasikh dan mansukh, serta yang lainya yang memerlukan penjelasan rapa mujtahid.
Dilihat dari fungsinya, ijtihad berperan sebagai penyalur kreatifitas pribadi atau kelompok dalam merespon
peristiwa yang di hadapi sesuai dengan pengalaman mereka. Dalil-dalil Qully dan maqasyid as-syari’at yang
merupakan aturan-aturan pengarah dalam hidup.
Ijtihad diperlukan untuk menumbuhkan kembali ruh islam yang dinamis menerobos kejumudan dan kebekuan
memperoleh manfaat yang besar dari ajaran islam mencari pemecahan islami dari masalah kehidupan kontemporer.
Ijtihad juga adalah saksi bagi kehidapan islam atas agama-agama lainnya (ya’lu wala yu’la ‘alaih)
H. IJTIHAD
Islam sebagai agama yang adil dan berlaku untuk seluruh umat manusia. Sumber ajaran islam adalah Al-Qur’an
dan sunnah yang sangat lengkap. Pertanyaan timbul mengapa ijtihad dijadikan sebagai sumber hukum atas sumber
ajaran agama islam, padahal Al-Qur’an dan sunnah sudah cukup lengkap.
Seperti diketahui bahwa Al-Qur’an adalah merupakan sumber ajaran yang bersifat pedoman pokok dan global,
sedangkan penjelasannya banyak diterangkan dan dilengkapi oleh sunnah, karena perkembanganya zaman banyak
masalah yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan as-sunnah.
Sebagai contoh akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, timbul masalah bayi tabung,
pemindahan kornea mata. Semua itu memerlukan jawaban apakah dibolehkan atau tidak, bagaimana sebenarnya
menurut konsep ajaran agama islam. Jawabanya bagaimana dan sejauh mana islam secara tegas menetapkan dan
menyelesaikan persoalan. Demikian ijtihad dibutuhkan sebagai metode menerangkan suatu persoalan yang tidak ada
atau secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah.
I. PENGERTIAN IJTIHAD
Ijtihad menurut bahasa ialah percurahan segenap kesanggupan untuk mendatangkan sesuatu dari berbagai urusan
atau perbuatan. Berasal dari kata ja-ha-da yang artinya berusaha keras atau berusaha sekuat tenaga: ijtihad secara
harfiah mengndung arti yang sama.
Menurut Muhammad Syaltut, ijtihad artinya sama dengan ar-ra’yu yang perinciannya berarti:
a. Pemikiran arti yang mengandung oleh Al-Qur’an dan sunnah.
b. Mendapat ketentuan hukum sesuatu yang tidak diajukan oleh nass dengan suatu masalah yang hukumnya
ditetapkan oleh nass.
c. Pencerahan seganap kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara’ amali tentang masalah yang tidak ditunjukan
hukunya oleh suatu nass secara langsung.
J. LANDASAN IJTIHAD
Dalam islam akal sangat dihargai. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menagtaka suruhan untuk mempergunakan
akal, sebagaimana dapat dilihat dari terjemaahan ayat-ayat ini:
“Sesungguhnya pencptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang
yang berakal” (Q.S 8:22)
“Sesungguhnya bunatang (makhluk) yang seburuk-buruknya disisi Allah ialah orang yang peka dan tuli yang
mengerti apapun” (Q.S 8:22)
Untuk memberikan bukti bahea ijtihad pernah dilakukan para sahabat, pada massa nabi sekalipun hadist yang di
riwayatkan oleh Al-Baghawi dari Mu’adz bin Jabal yang artinya sebagai berikut:
رسول : : : به قضى بما اقضى قال الله؟ كتاب فى تجد لم فان قال الله، كتاب فى بما قال تقضى؟ بم
رسول : : : وفق الذى لله الحمد قال برأيى، اجتهد قال الله؟، رسول به قضى فيما تجد لم فان قال الله،
رسوله
“Pada waktu Rosulullah SAW mengutusnya (Mu’adz bin Jabal) ke Yaman, Nabi Mahammad SAW berkata:
‘bagaimana jika engkau diserahi urusan peradilan?’, jawabnya: ‘saya menetapkan perkara berdasarkan Al-
Qur’an’, nabi berkata: ‘bagaimana kalau kau tidak mendapati dalam Al-Qur’an?’, jawabnya: ‘dengan sunnah
nabi’, selanjutnya nabi berkata: ‘bila dalam sunnah pun tidak kau dapati?’, jawabnya: ‘saya akan mengerahkan
kesanggupan saya untuk menetapkan hukum dengan pikiran saya’, akhirnya nabi Muhammad SAW menepuk dada
dengan mengucapkan segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq (kecocokan) pada utusan Rosulullah
(Mu’adz)
Sebagai bukti bahwa ijtihad yang dilakukan para sahabat adalah ketika Abu Bakar menjadi khalifah, waktu itu
terdapat sekelompok yang tidak mambayar zakat fitrah. Abu Bakar bertindak memerangi mereka. Tidakan Abu
Bakar tidak disetujui oleh Umar bin Khatab dengan alasan menggunakan sabda Nabi SAW yang artinya:
“Saya diperintahkan untuk memerangi orang banyak (yang mengganggu islam) sehingga mereka mau mengucapkan
syahadat. Kalau mereka telah mengucapkannnya, terjagalah darah dan harta mereka, kecuali dengan cara yang
benar”
Dalam peristiwa itu Abu Bakar berargumen berdasarkan sabda nabi SAW, ILLAHI HAQQIKA. Dalam kata-kata
itu menunaikan zakat adalah sebagaimana mengerjakan shalat termasuk haq.
Dalam hal itu Umar berpendirian bahwa merupakan suatu kebaikan bagi kepentingan umat islam dan umat
mukmin.
K. MACAM-MACAM IJTIHAD
Ditinjau dari segi pelakunya ijtihad dibagi menjadi dua, yaitu: ijtihad perorangan dan ijtihad jam’i. Ijtihad
perorangan yaitu suatu ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid dalam suatu persoalan hukum. Sedangkan ijtihad
jam’i atau ijtihad kelompok adalah ijtihad yang dilakukan oleh sekelompok mujtahidin dalam menganalisa suatu
masalah untuk menentukan suatu hukum.
Dilihat dari lapangannya ijtihad dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Ijtihad pada masalah-masalah yang ada nassnya tapi bersifat zhanni.
b. Ijtihad untuk mencapai suatu hukum syara’ dengan penetapan kaidah kulliyah yang bisa diterapkan tanpa adanya
suatu nass.
c. Ijtihad bi ar-ra’i yaitu ijtihda yang berpegang pada tanda-tanda dan wasilah yang telah ditetapkan syara’ untuk
menunjuk pada suatu hukum.
L. KEDUDUKAN IJTIHAD
a. Hasil ijtihad tidak mutlak/relatif bisa berubah bahwa ijtihad tidak mutlak karena mengingat hasil ijtihad
merupakan analisa akal, maka sesuai dengan sifat dari akal manusia sendiri yang relatif, maka hasilnya relatif
pula. Pada saat sekarang bisa berlaku dan pada saatnya yang lain bisa tidak berlaku.
b. Hasil ijihad tidak berlaku umum, dibatasi oleh tempat, ruang dan waktu. Dalam ketentuan ini generasi terhadap
suatu masalah tidak dapat dilakukan. Umat islam bertebaran diseluruh dunia dalam berbagai situasi dan kondisi
alamiah yang berbeda. Lungkungan sosial dan budayanya pun sangan beraneka ragam. Ijtihad suatu daerah
belum tentu berlaku di daearah lain.
c. Proses ijtihad harus mempertimbangkan motifasi, akibat dan permasalahan umum (umat)
d. Hasil ijtihad tidak boleh berlaku untuk masalah ibadah mahdhlah, sebab masalah tersebut telah ada ketetapannya
dalam Al-Qur’an dan sunnah. Dengan demikian kaidah yang penting dalam melakukan ijtihad adalah bahwa
ijtihad tersebut tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah.
M. METODE IJTIHAD
a. QIYAS. Qiyas artinya reasoning by analogy. Makna aslinya adalah mengukur atau membandingkan atau
menimbang dengan menimbangkan sesuatu. Contoh: pada masa nabi ada belum ada permasalahan padi. Dengan
demikian diperlukan ijtihad dengan jalan qiyas dalam menentukan zakat.
b. Ijma’ atau konsensus. Kata ijma’ berasal dari kata jam’un yang artinya menghimpun atau mengumpulkan. Ijma’
mempunyai dua makna, yaitu menyusun dan mengatur sesuatu hal yang tidak teratur. Oleh sebab itu, ia berarti
menetapkan dan memutuskan suatu perkara, dan berarti pula sepakat atau bersatu dalam pendapat. Persetujuan
pendapat berdasarkan dengan hasil ijma’ ini contohnya bagaimana masalah kelurga berencana.
c. ISTIHSAN, istihsan artinya preference, makna aslinya ialah menganggap baik suatu barang atau menyukai barang
itu menurut terminlogi para ahli hukum, berarti didasarkan atas kepentingan umum atau kepentingan keadilan,
sebagai cotoh adalah peristiwa Ummar bin hatab yang tidak melaksanakan hukum potong tangan kepada seorang
pencuri pada masa peceklik.
d. MASLAHAT AL-MURSALAT artinya : keputusan yang berdasarkan guna dan manfaat sesuai dengan tujuan
hukum syara’. Kepentingan umum yang menjadi dasar pertimbangan maslahat dari suatu peristiwa. Contoh
metode ini adalah tentang khamar dan judi. Dala ketentuan nash bahwa khamar dan judi itu manfaat bagi
manusia, tetapi bahayanya lebih besar daripada manfaatnya. Dari sebuah nash dapat dilihat bahwa suatu masalah
yang mengandung masalahat dan manfaat, di dahulukan menolak mafsadat. Untuk ini terdapat kaidah,
“menolak kerusakan lebih diutamakan dari pada menarik kemaslahatannya, dan apabila berlawanan antara
mafsadat dan maslahat dahulukanlah menolak mafsadat”.
Disamping itu masih terdapat metode ijtihad yang lain, seperti istidlal, Al-Urf dan Istishab.
B A B III
K E S I M P U L A N
Ijtihad merupakan suatu proses pengadilan hukum islam yaqng berkaitan erat dengan bidang fiqih, bidang hukum
yasng berkenaan dengan amal atau perbuatan. oleh karena itu, menurut ulama fiqih, ijtihad tidak terdapat dalam ilmu
kalam dan tasawuf, karena ijtihad hanyas berkenaan dengasn dalil-dalil zhanni, sedangka ilmu kalam menggunakan
dalil yasng qhati’, baik dalam Al-Qur’an mapun Sunnah.
Ijtihad digambarkan ada beberapa persamaan dan perbedaan dan adapun yang menjadi dasar hukum ijtihad ialah
Al-Qur’an dan Sunnah.
Hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib ‘ain, wajib kifayat, Sunat atau haram, bergantung pada kapasitas orang
tersebut.
Dewasa ini umat islam dihadapkan kepada sejumlah peristiwa keinginan yang menyangkut berbagai aspek
kehidupan.
Melihat persoalan-persoalan diatas umat islam dituntut untuk keluar dari kemelut itu. Karena itu ijtihad menjadi
sangat penting meskipun tidask bisa dilakukan oleh setiap orang.
top related