ii. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · sistem pertanian yang berkembang di daerah jawa...
Post on 10-Mar-2019
215 Views
Preview:
TRANSCRIPT
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lanskap Pertanian
Lanskap dapat didefinisikan sebagai suatu bentang alam yang memiliki
elemen pembentuk, komposisi, dan karakteristik khas yang dapat dinikmati oleh
seluruh indera manusia yang terintegrasi secara harmoni dan alami untuk
memperkuat karakternya sehingga dapat dibedakan dengan bentuk lainnya
(Simonds, 1983). Lanskap didefinisikan pula sebagai proses polarisasi yang tidak
hanya menyebabkan perbedaan tata guna lahan, tetapi juga dalam aspek sosial,
budaya, ekonomi, dan ekologi. Berdasarkan pengaruh interaksi manusia di
dalamnya, lanskap dikategorikan menjadi lanskap alami (natural landscape) dan
lanskap buatan (man-made landscape). Salah satu bentuk dari lanskap buatan
adalah lanskap pertanian.
Pertanian didefinisikan sebagai upaya manusia dalam mengusahakan
sumber daya alam dan lingkungannya guna menghasilkan bahan pangan, bahan
baku industri atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya.
(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997). Pertanian merupakan sistem yang
tumbuh, berproses, dan menyediakan pangan, pakan, serat, tanaman hias, dan
biofuel untuk suatu bangsa. Pertanian mencakup pengelolaan sumber daya alam
seperti air permukaan dan air tanah, hutan dan lahan lain untuk penggunaan
komersial atau rekreasi, pelestarian vegetasi langka dan satwa liar, lingkungan
sosial, fisik, dan biologis, serta isu-isu kebijakan yang berhubungan dengan
keseluruhan sistem (NRC, 2010).
Berdasarkan definisi tersebut, lanskap pertanian dapat didefinisikan sebagai
bentuk lahan yang memiliki komposisi dan karakteristik elemen pembentuk yang
mencerminkan aktivitas pertanian. Aktivitas pertanian tidak hanya dalam konteks
budidaya tanaman, tetapi mencakup kegiatan pembesaran hewan ternak,
pemanfaatan mikroorganisme dan bioenzim pada kegiatan pascapanen, serta
pemanfaatan langsung seperti penangkapan ikan dan pemanfaatan sumber daya
hutan (FAO, 2011). Lanskap pertanian merupakan kumpulan elemen pembentuk
karakter lahan yang merepresentasikan budaya bertani dan konservasi yang
dikelola oleh masyarakat untuk mencapai keberlanjutan produksi pangan,
6
kesejahteraan masyarakat lokal, dan kelestarian ekosistem. Lanskap pertanian
memiliki peranan penting dalam mengakomodasi kebutuhan sosial-ekonomi
masyarakat (Turpin dan Oueslati, 2008) dan sebagai habitat bagi keanekaragaman
hayati (Arifin, 2012; Billeter, 2008).
2.2. Sunda Parahiyangan
Istilah Parahiyangan memiliki arti yang beragam berdasarkan sudut pandang
yang mendefinisikannya. Dalam kepercayaan Sunda kuno, masyarakat percaya
bahwa roh leluhur atau para dewa menghuni tempat-tempat yang luhur dan tinggi
sehingga wilayah pengunungan dianggap sebagai tempat bersemayam. Dengan
kata lain, Parahiyangan dapat diartikan sebagai tempat para Hiyang bersemayam
(Para-hiyang berarti jamak dari Hiyang).
Secara etimologi, Parahiyangan merupakan kata serapan dari bahasa Jawa
kuno Parahyangan yang didefinisikan sebagai tempat tertinggi tempat para
Hyang bersemayam. Dalam naskah Nagarakartagama Pupuh 76: 1-12,
Parahyangan disebut sebagai tempat suci Dharma Ipas Pratista Siwa (Lubis et al.,
2003). Berdasarkan hal itu, masyarakat Sunda kuno menggangap jajaran
pegunungan di Jawa Barat sebagai Parahiyangan. Berdasarkan sejarah
perkembangan Kerajaan Sunda, jajaran pengunungan di kawasan tengah Jawa
Barat dianggap sebagai kawasan suci tempat Hyang bersemayam. Legenda Sunda
menceritakan bahwa tanah Parahiyangan tercipta ketika Tuhan tersenyum dan
mencurahkan berkah dan restu-Nya. Kisah ini menunjukkan keindahan dan
kemolekan alam Tatar Sunda yang subur dan makmur (Rosidi, 2000).
Lubis et al. (2003) mendefinisikan Parahiyangan atau lebih dikenal dengan
Priangan sebagai sebutan untuk Kerajaan Sunda (932-1579 M) yang meliputi
wilayah Tatar Sunda sebelah barat (Selat Sunda) hingga timur dan mencakup
sebagian wilayah Jawa Tengah bagian selatan (Sungai Cipamali dan Danau
Segara Anakan). Kerajaan Sunda merupakan gabungan dua kerajaan besar
(Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda) dengan pusat pemerintah yang tidak pernah
menetap. Pemerintahan bermula di Galuh Kawali dan berakhir di Pakuan
Pajajaran hingga berakhir pada tahun 1579 M dan terbagi menjadi empat pusat
kekuasaan (Banten, Cirebon, Sumedanglarang, dan Galuh).
7
Berdasarkan sejarah Kolonial (VOC), sebelum Priangan jatuh ke tangan
VOC, Priangan dibentuk sebagai wilayah politik setingkat kabupaten oleh Sultan
Mataram pada tahun 1641 M. Kekuasaan Mataram di Priangan berakhir
berdasarkan perjanjian dengan VOC pada tahun 1677 dan 1705 M. Dalam
perjanjian pertama disepakati penyerahan kekuasaan Priangan Timur, sedangkan
perjanjian kedua disepakati penyerahan Priangan Tengah dan Barat ke pihak VOC
sebagai balas jasa atas penyelesaian permasalahan dalam kekuasaan Mataram.
Sejarah berlanjut dengan penguasaan Parahiyangan (Priangan) oleh Jenderal
Daendels (1799 M) dengan membagi Pulau Jawa menjadi Sembilan prefecture, di
antaranya, adalah Prefecture Priangan yang terdiri dari Cianjur, Bandung,
Sumedang, dan Parakanmuncang. Pembagian dilakukan berdasarkan kebijakan
Preangerstelsel warisan kompeni yang tetap dipertahankan karena dinilai
menguntungkan. Priangan dalam masa itu dibagi menjadi dua daerah, yaitu daerah
surplus kopi (Cianjur, Bandung, Sumedang, dan Parakanmuncang) dan daerah
minus kopi (Limbangan, Sukapura, dan Galuh).
Pada tahun 1811 M, Priangan jatuh ke tangan Inggris dengan Gubernur
Raffles sebagai pemimpinnya. Priangan dibagi menjadi 16 keresidenan, di
antaranya, adalah Keresidenan Priangan yang meliputi delapan afdeeling (Cianjur,
Sukabumi, Bandung, Cicalengka, Sumedang, Limbangan, Tasikmalaya, dan
Sukapura Kolot). Setelah melalui perkembangan sejarah, wilayah Parahiyangan
saat ini termasuk ke dalam wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat yang terdiri
dari Kabupaten Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis.
Berdasarkan sudut pandang lanskap, Parahiyangan didefiniskan oleh Rigg
(1862) sebagai sebutan bagi daerah di wilayah Tatar Sunda dengan karakteristik
elemen penyusun lanskap yang khas. Rigg (1862) menambahkan istilah Priangan
yang diserap dari bahasa Belanda (Prianger) merupakan nama lokal untuk
wilayah di Jawa Barat dengan karakter alam berupa daratan (dataran tinggi hingga
pegunungan) serta dikelilingi oleh pegunungan dan gunung berapi (ring of fire).
Batasan kawasan Sunda Parahiyangan berdasarkan ketinggian tempatnya, dapat
diidentifikasi melalui pendekatan definisi gunung.
8
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) mendifinisikan gunung sebagai
bagian dari muka bumi yang besar dan tinggi dengan ketinggian lebih dari 600
meter di atas permukaan laut (mdpl.). Miskinis (2011) menambahkan definisi
gunung sebagai bagian bumi (relief) yang memiliki ketinggian lebih dari 600
meter di atas permukaan laut, isi, bentuk, ketajaman, dan susunan yang saling
terhubung. Susunan gunung yang membentuk pegunungan merupakan bagian
bumi yang menutupi 24% permukaan bumi dan menjadi rumah bagi 12% populasi
di dunia (Sharma, Chettri, and Oli, 2010; FAO, 2007). Berdasarkan hal itu, daerah
gunung/pegunungan yang berada diketinggian lebih dari 600 mdpl. digolongkan
ke dalam kawasan Parahiyangan.
Masyarakat gunung (mountain people) secara sederhana didefinisikan
sebagai suatu masyarakat yang hidup di daerah gunung atau pegunungan (Rigg,
1862). Masyarakat Sunda Parahiyangan dikenal sebagai masyarakat gunung
(urang gunung) berdasarkan tempat mereka hidup dan hampir seluruh aktivitas
kehidupannya berada di daerah pegunungan. Dengan demikian, masyarakat Sunda
Parahiyangan sangat erat kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya alam untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
FAO (2007), disimpulkan bahwa masyarakat gunung termasuk ke dalam
masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan, dan mengalami
ketidakcukupan pangan (food insecurity).
Kemiskinan yang terjadi pada masyarakat gunung sangat antagonis ketika
melihat fungsi vital dari gunung bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup
lainnya. Gunung berfungsi sebagai penyedia air, udara, penjaga stabilitas
keanekaragaman hayati, dan penyedia komoditas yang bernilai ekologis, sosial,
budaya, dan ekonomi. Namun, kondisi saat ini menunjukkan ekosistem gunung
telah mengalami penurunan kualitas dan kuantitasnya. Degradasi lahan yang
terjadi, di antaranya, adalah semakin berkurang tanah subur, air, dan
keanekaragaman hayati sebagai sumber pangan, papan, sandang, dan energi bagi
masyarakat. Beberapa faktor penyebab terjadinya degradasi lahan di pegunungan
yang berdampak pada meningkatnya kemiskinan dan ketidacukupan pangan
masyarakat, di antaranya, adalah tingginya aktivitas perambahan hutan, konversi
lahan, dan pertumbuhan populasi.
9
2.3. Budaya Pertanian dan Kearifan Lokal
Masyarakat gunung tidak terlepas dari aktivitas pertanian sebagai tempat
mereka menggantungkan hidupnya (FAO, 2007). Berdasarkan sejarah, budaya,
dan karakteristik alam serta lingkungannya, masyarakat gunung Sunda
Parahiyangan memiliki keunikan yang tercermin dalam aktivitas masyarakatnya
seperti dalam hal pertanian (Lubis et al., 2003). Secara umum masyarakat Sunda
memiliki mata pencaharian utama dalam perburuan, pertambangan, perikanan,
perniagaan, pelayaran, pertanian, dan peternakan. Aktivitas pertanian masyarakat
Sunda di pedalaman berdasarkan informasi dalam Sanghyang Siksakandang
Karesian (Danasasmita, 1987) adalah perladangan yang berkembang menjadi
sistem perkebunan. Sistem persawahan baru dikembangkan pada awal abad ke-17
ketika pengaruh Mataram masuk wilayah Tatar Sunda (Lubis et al., 2003).
Sistem pertanian yang berkembang di daerah Jawa Barat pada umumnya
adalah sistem agroforestri berupa kebun-talun dan pekarangan (Soemarwoto dan
Conway, 1992), serta sistem padi sawah (Christanty, Abdoelah, Marten, dan
Iskandar, 1986). Sistem pertanian tersebut merupakan modifikasi dari sistem
pertanian tradisional Jawa (Christanty et al., 1986). Iskandar dan Iskandar (2011)
menambahkan bahwa dalam perkembangan sejarah masyarakat Sunda, sistem
ekologi pertanian (agroekosistem) yang dijalankan terdiri dari lima
agroekosistem, yaitu huma, kebun-talun, sawah, kebun sayuran, dan pekarangan
(Gambar 2). Perkembangan agroekosistem dipengaruhi oleh perkembangan
kebutuhan masyarakat terhadap sumber daya pertanian yang tidak hanya untuk
pemenuhan kebutuhan fisik, tetapi meningkat ke arah pemenuhan kebutuhan
sosial-ekonomi dan spiritual-budaya.
Soemarwoto (1984) mendefinisikan kebun-talun sebagai sistem rotasi antara
kebun campuran dan tanaman kayu yang merupakan sistem pertanian tradisional
untuk meningkatkan produksi dan menyediakan banyak fungsi serta manfaat.
Berdasarkan masa perkembangannya, Iskandar dan Iskandar (2011) menjelaskan
bahwa awal pembentukan sistem pertanian kebun-talun dimulai dengan
pembukaan talun tua menjadi kebun. Selanjutnya kebun berkembang dan
diberakan hingga menjadi talun kembali. Dengan demikian rotasi
perkembangannya adalah talun-kebun-talun.
10
Dibangun Rumah
Kebun Campuran Kebun
Talun
Huma
Leuweung Kolot
Reuma KolotReuma Ngora
Tegalan
Sistem Huma
Sistem Kebun-Talun
Sistem Pekarangan
Dikonversi
Dibera
DiberaDibuka
Dibera
Dibuka
Dibangun Rumah
Sistem Sawah
Dibangun Rumah
Dibangun Rumah
IrigasiNon-Irigasi
Non-Irigasi
DibukaDibera
Gambar 2. Perkembangan Lanskap Pertanian (Agroekosistem) Masyarakat Sunda
(Sumber: Iskandar dan Iskandar, 2011)
Pekarangan didefinisikan Soemarwoto dan Conway (1992) sebagai sistem
pertanian di sekitar rumah. Pekarangan merupakan sistem tradisional yang
berlokasi di sekitar permukiman yang menyediakan produk kebutuhan dasar bagi
pemiliknya serta produk komersial dengan mengkombinasikan pertanian pangan,
pohon, dan hewan ternak. Sistem pertanian yang terbentuk merupakan hasil
interaksi masyarakat Sunda terhadap kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan
lingkungannya yang didasarkan pada ragam kebutuhan mendasar (based needs).
Kearifan lokal masyarakat pertanian telah membentuk budaya pertanian
(agriculture) yang sulit dipisahkan dalam praktik kehidupan sehari-hari
masyarakatnya (Becker dan Ghimire, 2003). Dalam budaya Sunda dikenal adanya
tiga hubungan yang harus saling terkait satu dengan yang lainnya, yaitu manusia,
11
alam, dan tuhan. Berdasarkan etimologinya1, kata Sunda berasal dari Sun-Da-Ha
yang mengandung arti Sun adalah Diri, Da adalah Alam, dan Ha adalah Tuhan.
Berdasarkan hal ini, kearifan lokal dapat digambarkan dengan mengidentifikasi
tiga ranah tempat kearifan lokal tersebut berlaku.
Ranah pertama adalah Diri, yaitu hubungan antara manusia dengan manusia.
Konsep Sun yang merupakan Diri, terwujud dalam hubungan individu dengan
individu atau individu dengan masyarakat. Beberapa kearifan lokal masyarakat
Sunda dalam konteks Sun, di antaranya, adalah hade ku omong, goreng ku omong
(segala hal sebaiknya dibicarakan) yang maksudnya bahwa keterbukaan dalam
hubungan bermasyarakat sebaiknya dibudayakan.
Kedua adalah konsep Da yang merupakan hubungan manusia dengan alam
yang banyak terlihat dalam aktivitas masyarakat adat Sunda yang sangat
memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Dasar dalam melakukan
pengabdian pada alam diungkapkan dalam ungkapan suci ing pamrih rancage
gawe yang maksudnya bahwa antara manusia dan alam adalah bagian yang
menyatu dan tidak terpisah. Masyarakat adat Sunda beranggapan bahwa mereka
hidup bersama alam, dan bukan hidup di alam. Dengan kata lain, ketika mereka
merusak alam sama halnya dengan merusak diri sendiri dan masyarakat, seperti
dalam ungkapan leuweung ruksak, cai beak, ra’yat balangsak (hutan rusak, air
habis, dan rakyat sengsara).
Ketiga adalah konsep Ha yang merupakan hubungan manusia dengan
Tuhan. Konsep Ha diungkapkan dalam perilaku masyarakat yang
mengharmoniskan antara perilaku sesama manusia dan alamnya atas dasar
kepercayaan terhadap Tuhan YME. Berdasarkan hal itu, secara turun-temurun
masyarakat Sunda terus mengaplikasikan kearifan lokal dalam kehidupannya guna
tetap terjaganya keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhannya.
Keagungan nilai kearifan lokal tersebut masih dijaga eksistensinya oleh
beberapa masyarakat adat Sunda. Kawasan Sunda Parahiyangan memiliki
masyarakat yang secara adat masih memegang teguh budaya Sunda sebagai
warisan dari para leluhurnya (Suryani, 2011), seperti Kampung Gentur di
1 Informasi diperoleh dari hasil wawancara dengan beberapa budayawan dan sejarawan Sunda.
12
Kabupaten Cianjur (850 mdpl.2), Kampung Cikondang di Kabupaten Bandung
(1.100 mdpl.3), Kampung Rancakalong di Kabupaten Sumedang (727 mdpl.4),
Kampung Pulo di Kabupaten Garut (700 mdpl.5), Kampung Naga di Kabupaten
Tasikmalaya (1.200 mdpl.6), dan Kampung Ciomas di Kabupaten Ciamis (700
mdpl.7).
Kampung adat di kawasan Sunda Parahiyangan masih memegang konsep-
konsep penataan ruang termasuk didalamnya ruang pertanian, seperti luhur-
handap, kaca-kaca, dan lemah-cai (Purnama, 2007). Konsep luhur-handap
didasarkan pada pemaknaan Sunda (Sun-Da-Ha) sebagai gambaran hubungan
antara manusia dengan sesama manusia, manusia dengan alam, dan manusia
dengan Tuhan. Kebun-talun merupakan manifestasi dari konsep luhur (atas) yang
banyak diinterpretasikan sebagai kawasan keramat (kabuyutan). Implementasi
dari konsep ini terlihat pada pemanfaatan di kawasan hulu yang sangat terbatas
hingga adanya kawasan keramat berupa leuweung larangan dan/atau leuweung
tutupan (hutan larangan dan/atau hutan tutupan) yang tidak bisa diakses dengan
mudah oleh masyarakat. Pengkeramatan dilakukan sebagai penghormatan
terhadap para leluhur (karuhun) yang telah berjasa dalam menjaga stabilitas
kehidupan antara manusia, alam, dan Tuhannya.
Pekarangan merupakan manifestasi dari konsep tengah (tengah) yang
diinterpretasikan sebagai permukiman (Purnama, 2007). Selain memiliki fungsi
produksi bagi pemiliknya, pekarangan dapat menyediakan fungsi sosial di antara
masyarakatnya. Pekarangan dimanfaatkan sebagai ruang sosial yang
mengakomodasi aktivitas sosial-ekologi, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya.
Sistem pertanian sawah yang banyak dibudidayakan di kawasan hilir merupakan
manifestasi dari konsep handap (bawah) yang diinterpretasikan sebagai kawasan
perekonomian (Purnama, 2007).
2 http://cianjurkab.go.id/Daftar_Kecamatan_Nomor_10.html. Diunduh pada Senin, 07 November 2011. 3 http://bpsnt-bandung.blogspot.com/2009/08/kepercayaan-religi-masyarakat-adat.html. Diunduh pada Senin, 07 November 2011. 4 http://repository.upi.edu/operator/upload/s_b025_0603328_chapter4.pdf. Diunduh pada Senin, 07 November 2011. 5 http://sikec.garutkab.go.id/UserFiles/File/leles2009.pdf. Diunduh pada Senin, 07 November 2011. 6 http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/kampung_naga_tasikmalaya_dalam_mitologi.pdf. Diunduh pada Senin, 07 November 2011. 7 http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Panjalu_Ciamis. Diunduh pada Senin, 07 November 2011.
13
Konsep kaca-kaca merupakan gambaran dari batasan ruang lingkup
kehidupan manusia yang tidak selamanya berada dalam kebebasan. Dalam hal ini
kehidupan manusia dibatasi oleh aturan dan norma yang mengikat serta menjadi
pembatas dalam berperilaku dan bertindak. Dengan demikian kehidupan akan
berjalan selaras baik secara vertikal maupun horizontal (Purnama, 2007). Konsep
lemah-cai merupakan gambaran dari sumber kehidupan manusia yang berasal dari
tanah dan air. Dengan demikian, dalam budaya Sunda elemen tanah dan air
menjadi elemen penting dalam sebuah kawasan permukiman dan pertanian.
Kearifan lokal merupakan aktualisasi dari sistem pengetahuan masyarakat
dalam mengkonseptualisasikan interakasi budaya lokal masyarakatnya dengan
alam. Hal tersebut diistilahkan oleh Becker dan Ghimire (2003) dengan
traditional ecological knowledge/TEK yang selanjutnya digunakan pengetahuan
ekologik tradisional/PET. Sistem pengetahuan tersebut menjadi bagian tak
terpisahkan dari kerangka etnografi sebagai keilmuan yang mengkaji kebudayaan
suatu masyarakat. Kajian sistem pengetahuan dalam ranah etnografi dapat
ditelusuri lebih lanjut berdasarkan unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal
(Koentjaraningrat, 1990). Koentjaraningrat (1990) menyusun kerangka etnografi
berisi tujuh unsur kebudayaan universal yang terdiri dari bahasa, sistem teknologi,
sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, kesenian, dan
sistem religi (spiritual) yang didahului dengan pendeskripsian lokasi, lingkungan
alam, dan demografi masyarakatnya.
2.5. Pertanian Bekelanjutan
Sistem pembangunan pertanian konvensional yang masih berorientasi untuk
memaksimalkan perolehan ekonomi tanpa memperdulikan aspek kelestarian
lingkungan perlu ditinggalkan dan diganti dengan sistem pembangunan pertanian
ramah lingkungan yang mengacu pada pencapaian pembangunan pertanian
berkelanjutan. Pertanian berkelanjutan didefinisikan sebagai usaha pertanian yang
mampu memaksimalkan sumber daya alam dan lingkungan untuk pemenuhan
kebutuhan masyarakat tidak hanya pada masa sekarang, tetapi untuk masa yang
akan datang (FAO, 2010).
14
Pertanian berkelanjutan akan terwujud dengan mengkombinasikan empat
kunci keberlanjutan USDA yang saling terkait (USDA-NAL, 2007), yaitu (1)
menyediakan kebutuhan pangan, pakan, dan serat, serta berkontribusi dalam
penyediaan biofuel, (2) memperkaya kualitas lingkungan dan sumber daya, (3)
mempertahankan kelangsungan ekonomi pertanian, dan (4) meningkatkan kualitas
hidup bagi petani, buruh tani, dan masyarakat secara keseluruhan. Dengan konsep
pertanian berkelanjutan, fungsi utama pertanian sebagai penyedia kebutuhan
pangan yang diperlukan masyarakat untuk menjamin ketahanan pangan dapat
tercapai. Pemenuhan pangan sebagai hak dasar inilah yang menjadi permasalahan
mendasar dari permasalahan kemiskinan di Indonesia.
Food and Agriculture Organization (2010) mendefinisikan ketahanan
pangan sebagai askes bagi semua penduduk atas makanan yang cukup untuk
hidup sehat dan aktif. Definisi lain yang dikemukakan oleh Machmur (2010)
berdasarkan amanat UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan adalah kondisi
terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan
yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Dengan
demikian, ketahanan pangan nasional merupakan agregat dari ketahanan pangan
rumah tangga dan pengertian inilah yang dapat dijadikan sebagai dasar strategi
pembangunan pertanian berkelanjutan.
Ketahanan pangan dapat tercapai setidaknya mengandung dua unsur pokok,
yaitu ketersediaan pangan dan aksesibilitas masyarakat terhadap bahan pangan
tersebut. Jika salah satu unsur tidak terpenuhi, suatu negara belum dapat
dikategorikan mempunyai ketahanan pangan yang baik. Ketahanan pangan
dikatakan rapuh jika akses individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak
merata, meskipun stok pangan cukup tersedia. Ketahanan pangan erat kaitannya
dengan kemandirian, tetapi kemandirian dalam konsep ketahanan pangan bukan
kemandirian dalam keterisolasian (Machmur, 2010). Dalam konteks kekinian,
kemandirian menuntut adanya kondisi saling tergantung (interdependency) antara
lokal dan global, tradisional dan modern, desa dan kota, rakyat dan pemerintah,
dan sebagainya. Kemandirian dalam konteks ini berarti kemandirian dalam paham
pro-aktif yang saling tergantung dan bukan reaktif atau bahkan defensif
(Kartasasmita, 2005).
15
Salah satu bentuk implementasi kemandirian pro-aktif adalah kemandirian
pembangunan pertanian dan perdesaan sebagai kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan (Harianto, 2007). Perdesaan merupakan basis praktik pembangunan
pertanian, sedangkan pertanian menjadi komponen utama yang menopang
kehidupan perdesaan di Indonesia. Kemandirian pembangunan perdesaan sebagai
bagian dari strategi ketahanan pangan nasional hanya dapat terwujud jika kondisi
saling tergantung tersebut dibangun atas dasar kekuatan modal fisik/alam, SDM,
sosial, dan finansial yang tinggi.
Budaya Sunda sangat erat kaitannya dalam hal tersebut, ungkapan silih-asih
(saling mengasihi), silih-asah (saling menasihati), silih-asuh (saling mengayomi),
ulah pareumeun obor (jangan memutuskan tali silaturahmi), cikaracak ninggang
batu laun-laun jadi legok (sesuatu yang dijalani pasti akan menghasilkan
meskipun sedikit demi sedikit), kudu nyaah ka sasama (harus menyayangi
sesama), ulah poho ka karuhun jeung ka anak incu (jangan melupakan para
pendahulu dan anak cucu), serta ngajaga amanat (menjaga amanah/kepercayaan)
merupakan nilai-nilai dalam transformasi sistem pembangunan pertanian yang
lebih holistik dan berkelanjutan.
top related