ii. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · sistem pertanian yang berkembang di daerah jawa...

11
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanskap Pertanian Lanskap dapat didefinisikan sebagai suatu bentang alam yang memiliki elemen pembentuk, komposisi, dan karakteristik khas yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia yang terintegrasi secara harmoni dan alami untuk memperkuat karakternya sehingga dapat dibedakan dengan bentuk lainnya (Simonds, 1983). Lanskap didefinisikan pula sebagai proses polarisasi yang tidak hanya menyebabkan perbedaan tata guna lahan, tetapi juga dalam aspek sosial, budaya, ekonomi, dan ekologi. Berdasarkan pengaruh interaksi manusia di dalamnya, lanskap dikategorikan menjadi lanskap alami (natural landscape) dan lanskap buatan (man-made landscape). Salah satu bentuk dari lanskap buatan adalah lanskap pertanian. Pertanian didefinisikan sebagai upaya manusia dalam mengusahakan sumber daya alam dan lingkungannya guna menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997). Pertanian merupakan sistem yang tumbuh, berproses, dan menyediakan pangan, pakan, serat, tanaman hias, dan biofuel untuk suatu bangsa. Pertanian mencakup pengelolaan sumber daya alam seperti air permukaan dan air tanah, hutan dan lahan lain untuk penggunaan komersial atau rekreasi, pelestarian vegetasi langka dan satwa liar, lingkungan sosial, fisik, dan biologis, serta isu-isu kebijakan yang berhubungan dengan keseluruhan sistem (NRC, 2010). Berdasarkan definisi tersebut, lanskap pertanian dapat didefinisikan sebagai bentuk lahan yang memiliki komposisi dan karakteristik elemen pembentuk yang mencerminkan aktivitas pertanian. Aktivitas pertanian tidak hanya dalam konteks budidaya tanaman, tetapi mencakup kegiatan pembesaran hewan ternak, pemanfaatan mikroorganisme dan bioenzim pada kegiatan pascapanen, serta pemanfaatan langsung seperti penangkapan ikan dan pemanfaatan sumber daya hutan (FAO, 2011). Lanskap pertanian merupakan kumpulan elemen pembentuk karakter lahan yang merepresentasikan budaya bertani dan konservasi yang dikelola oleh masyarakat untuk mencapai keberlanjutan produksi pangan,

Upload: trinhkien

Post on 10-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lanskap Pertanian

Lanskap dapat didefinisikan sebagai suatu bentang alam yang memiliki

elemen pembentuk, komposisi, dan karakteristik khas yang dapat dinikmati oleh

seluruh indera manusia yang terintegrasi secara harmoni dan alami untuk

memperkuat karakternya sehingga dapat dibedakan dengan bentuk lainnya

(Simonds, 1983). Lanskap didefinisikan pula sebagai proses polarisasi yang tidak

hanya menyebabkan perbedaan tata guna lahan, tetapi juga dalam aspek sosial,

budaya, ekonomi, dan ekologi. Berdasarkan pengaruh interaksi manusia di

dalamnya, lanskap dikategorikan menjadi lanskap alami (natural landscape) dan

lanskap buatan (man-made landscape). Salah satu bentuk dari lanskap buatan

adalah lanskap pertanian.

Pertanian didefinisikan sebagai upaya manusia dalam mengusahakan

sumber daya alam dan lingkungannya guna menghasilkan bahan pangan, bahan

baku industri atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya.

(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997). Pertanian merupakan sistem yang

tumbuh, berproses, dan menyediakan pangan, pakan, serat, tanaman hias, dan

biofuel untuk suatu bangsa. Pertanian mencakup pengelolaan sumber daya alam

seperti air permukaan dan air tanah, hutan dan lahan lain untuk penggunaan

komersial atau rekreasi, pelestarian vegetasi langka dan satwa liar, lingkungan

sosial, fisik, dan biologis, serta isu-isu kebijakan yang berhubungan dengan

keseluruhan sistem (NRC, 2010).

Berdasarkan definisi tersebut, lanskap pertanian dapat didefinisikan sebagai

bentuk lahan yang memiliki komposisi dan karakteristik elemen pembentuk yang

mencerminkan aktivitas pertanian. Aktivitas pertanian tidak hanya dalam konteks

budidaya tanaman, tetapi mencakup kegiatan pembesaran hewan ternak,

pemanfaatan mikroorganisme dan bioenzim pada kegiatan pascapanen, serta

pemanfaatan langsung seperti penangkapan ikan dan pemanfaatan sumber daya

hutan (FAO, 2011). Lanskap pertanian merupakan kumpulan elemen pembentuk

karakter lahan yang merepresentasikan budaya bertani dan konservasi yang

dikelola oleh masyarakat untuk mencapai keberlanjutan produksi pangan,

6

kesejahteraan masyarakat lokal, dan kelestarian ekosistem. Lanskap pertanian

memiliki peranan penting dalam mengakomodasi kebutuhan sosial-ekonomi

masyarakat (Turpin dan Oueslati, 2008) dan sebagai habitat bagi keanekaragaman

hayati (Arifin, 2012; Billeter, 2008).

2.2. Sunda Parahiyangan

Istilah Parahiyangan memiliki arti yang beragam berdasarkan sudut pandang

yang mendefinisikannya. Dalam kepercayaan Sunda kuno, masyarakat percaya

bahwa roh leluhur atau para dewa menghuni tempat-tempat yang luhur dan tinggi

sehingga wilayah pengunungan dianggap sebagai tempat bersemayam. Dengan

kata lain, Parahiyangan dapat diartikan sebagai tempat para Hiyang bersemayam

(Para-hiyang berarti jamak dari Hiyang).

Secara etimologi, Parahiyangan merupakan kata serapan dari bahasa Jawa

kuno Parahyangan yang didefinisikan sebagai tempat tertinggi tempat para

Hyang bersemayam. Dalam naskah Nagarakartagama Pupuh 76: 1-12,

Parahyangan disebut sebagai tempat suci Dharma Ipas Pratista Siwa (Lubis et al.,

2003). Berdasarkan hal itu, masyarakat Sunda kuno menggangap jajaran

pegunungan di Jawa Barat sebagai Parahiyangan. Berdasarkan sejarah

perkembangan Kerajaan Sunda, jajaran pengunungan di kawasan tengah Jawa

Barat dianggap sebagai kawasan suci tempat Hyang bersemayam. Legenda Sunda

menceritakan bahwa tanah Parahiyangan tercipta ketika Tuhan tersenyum dan

mencurahkan berkah dan restu-Nya. Kisah ini menunjukkan keindahan dan

kemolekan alam Tatar Sunda yang subur dan makmur (Rosidi, 2000).

Lubis et al. (2003) mendefinisikan Parahiyangan atau lebih dikenal dengan

Priangan sebagai sebutan untuk Kerajaan Sunda (932-1579 M) yang meliputi

wilayah Tatar Sunda sebelah barat (Selat Sunda) hingga timur dan mencakup

sebagian wilayah Jawa Tengah bagian selatan (Sungai Cipamali dan Danau

Segara Anakan). Kerajaan Sunda merupakan gabungan dua kerajaan besar

(Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda) dengan pusat pemerintah yang tidak pernah

menetap. Pemerintahan bermula di Galuh Kawali dan berakhir di Pakuan

Pajajaran hingga berakhir pada tahun 1579 M dan terbagi menjadi empat pusat

kekuasaan (Banten, Cirebon, Sumedanglarang, dan Galuh).

7

Berdasarkan sejarah Kolonial (VOC), sebelum Priangan jatuh ke tangan

VOC, Priangan dibentuk sebagai wilayah politik setingkat kabupaten oleh Sultan

Mataram pada tahun 1641 M. Kekuasaan Mataram di Priangan berakhir

berdasarkan perjanjian dengan VOC pada tahun 1677 dan 1705 M. Dalam

perjanjian pertama disepakati penyerahan kekuasaan Priangan Timur, sedangkan

perjanjian kedua disepakati penyerahan Priangan Tengah dan Barat ke pihak VOC

sebagai balas jasa atas penyelesaian permasalahan dalam kekuasaan Mataram.

Sejarah berlanjut dengan penguasaan Parahiyangan (Priangan) oleh Jenderal

Daendels (1799 M) dengan membagi Pulau Jawa menjadi Sembilan prefecture, di

antaranya, adalah Prefecture Priangan yang terdiri dari Cianjur, Bandung,

Sumedang, dan Parakanmuncang. Pembagian dilakukan berdasarkan kebijakan

Preangerstelsel warisan kompeni yang tetap dipertahankan karena dinilai

menguntungkan. Priangan dalam masa itu dibagi menjadi dua daerah, yaitu daerah

surplus kopi (Cianjur, Bandung, Sumedang, dan Parakanmuncang) dan daerah

minus kopi (Limbangan, Sukapura, dan Galuh).

Pada tahun 1811 M, Priangan jatuh ke tangan Inggris dengan Gubernur

Raffles sebagai pemimpinnya. Priangan dibagi menjadi 16 keresidenan, di

antaranya, adalah Keresidenan Priangan yang meliputi delapan afdeeling (Cianjur,

Sukabumi, Bandung, Cicalengka, Sumedang, Limbangan, Tasikmalaya, dan

Sukapura Kolot). Setelah melalui perkembangan sejarah, wilayah Parahiyangan

saat ini termasuk ke dalam wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat yang terdiri

dari Kabupaten Cianjur, Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis.

Berdasarkan sudut pandang lanskap, Parahiyangan didefiniskan oleh Rigg

(1862) sebagai sebutan bagi daerah di wilayah Tatar Sunda dengan karakteristik

elemen penyusun lanskap yang khas. Rigg (1862) menambahkan istilah Priangan

yang diserap dari bahasa Belanda (Prianger) merupakan nama lokal untuk

wilayah di Jawa Barat dengan karakter alam berupa daratan (dataran tinggi hingga

pegunungan) serta dikelilingi oleh pegunungan dan gunung berapi (ring of fire).

Batasan kawasan Sunda Parahiyangan berdasarkan ketinggian tempatnya, dapat

diidentifikasi melalui pendekatan definisi gunung.

8

Kamus Besar Bahasa Indonesia (1997) mendifinisikan gunung sebagai

bagian dari muka bumi yang besar dan tinggi dengan ketinggian lebih dari 600

meter di atas permukaan laut (mdpl.). Miskinis (2011) menambahkan definisi

gunung sebagai bagian bumi (relief) yang memiliki ketinggian lebih dari 600

meter di atas permukaan laut, isi, bentuk, ketajaman, dan susunan yang saling

terhubung. Susunan gunung yang membentuk pegunungan merupakan bagian

bumi yang menutupi 24% permukaan bumi dan menjadi rumah bagi 12% populasi

di dunia (Sharma, Chettri, and Oli, 2010; FAO, 2007). Berdasarkan hal itu, daerah

gunung/pegunungan yang berada diketinggian lebih dari 600 mdpl. digolongkan

ke dalam kawasan Parahiyangan.

Masyarakat gunung (mountain people) secara sederhana didefinisikan

sebagai suatu masyarakat yang hidup di daerah gunung atau pegunungan (Rigg,

1862). Masyarakat Sunda Parahiyangan dikenal sebagai masyarakat gunung

(urang gunung) berdasarkan tempat mereka hidup dan hampir seluruh aktivitas

kehidupannya berada di daerah pegunungan. Dengan demikian, masyarakat Sunda

Parahiyangan sangat erat kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya alam untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh

FAO (2007), disimpulkan bahwa masyarakat gunung termasuk ke dalam

masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan, dan mengalami

ketidakcukupan pangan (food insecurity).

Kemiskinan yang terjadi pada masyarakat gunung sangat antagonis ketika

melihat fungsi vital dari gunung bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup

lainnya. Gunung berfungsi sebagai penyedia air, udara, penjaga stabilitas

keanekaragaman hayati, dan penyedia komoditas yang bernilai ekologis, sosial,

budaya, dan ekonomi. Namun, kondisi saat ini menunjukkan ekosistem gunung

telah mengalami penurunan kualitas dan kuantitasnya. Degradasi lahan yang

terjadi, di antaranya, adalah semakin berkurang tanah subur, air, dan

keanekaragaman hayati sebagai sumber pangan, papan, sandang, dan energi bagi

masyarakat. Beberapa faktor penyebab terjadinya degradasi lahan di pegunungan

yang berdampak pada meningkatnya kemiskinan dan ketidacukupan pangan

masyarakat, di antaranya, adalah tingginya aktivitas perambahan hutan, konversi

lahan, dan pertumbuhan populasi.

9

2.3. Budaya Pertanian dan Kearifan Lokal

Masyarakat gunung tidak terlepas dari aktivitas pertanian sebagai tempat

mereka menggantungkan hidupnya (FAO, 2007). Berdasarkan sejarah, budaya,

dan karakteristik alam serta lingkungannya, masyarakat gunung Sunda

Parahiyangan memiliki keunikan yang tercermin dalam aktivitas masyarakatnya

seperti dalam hal pertanian (Lubis et al., 2003). Secara umum masyarakat Sunda

memiliki mata pencaharian utama dalam perburuan, pertambangan, perikanan,

perniagaan, pelayaran, pertanian, dan peternakan. Aktivitas pertanian masyarakat

Sunda di pedalaman berdasarkan informasi dalam Sanghyang Siksakandang

Karesian (Danasasmita, 1987) adalah perladangan yang berkembang menjadi

sistem perkebunan. Sistem persawahan baru dikembangkan pada awal abad ke-17

ketika pengaruh Mataram masuk wilayah Tatar Sunda (Lubis et al., 2003).

Sistem pertanian yang berkembang di daerah Jawa Barat pada umumnya

adalah sistem agroforestri berupa kebun-talun dan pekarangan (Soemarwoto dan

Conway, 1992), serta sistem padi sawah (Christanty, Abdoelah, Marten, dan

Iskandar, 1986). Sistem pertanian tersebut merupakan modifikasi dari sistem

pertanian tradisional Jawa (Christanty et al., 1986). Iskandar dan Iskandar (2011)

menambahkan bahwa dalam perkembangan sejarah masyarakat Sunda, sistem

ekologi pertanian (agroekosistem) yang dijalankan terdiri dari lima

agroekosistem, yaitu huma, kebun-talun, sawah, kebun sayuran, dan pekarangan

(Gambar 2). Perkembangan agroekosistem dipengaruhi oleh perkembangan

kebutuhan masyarakat terhadap sumber daya pertanian yang tidak hanya untuk

pemenuhan kebutuhan fisik, tetapi meningkat ke arah pemenuhan kebutuhan

sosial-ekonomi dan spiritual-budaya.

Soemarwoto (1984) mendefinisikan kebun-talun sebagai sistem rotasi antara

kebun campuran dan tanaman kayu yang merupakan sistem pertanian tradisional

untuk meningkatkan produksi dan menyediakan banyak fungsi serta manfaat.

Berdasarkan masa perkembangannya, Iskandar dan Iskandar (2011) menjelaskan

bahwa awal pembentukan sistem pertanian kebun-talun dimulai dengan

pembukaan talun tua menjadi kebun. Selanjutnya kebun berkembang dan

diberakan hingga menjadi talun kembali. Dengan demikian rotasi

perkembangannya adalah talun-kebun-talun.

10

Dibangun Rumah

Kebun Campuran Kebun

Talun

Huma

Leuweung Kolot

Reuma KolotReuma Ngora

Tegalan

Sistem Huma

Sistem Kebun-Talun

Sistem Pekarangan

Dikonversi

Dibera

DiberaDibuka

Dibera

Dibuka

Dibangun Rumah

Sistem Sawah

Dibangun Rumah

Dibangun Rumah

IrigasiNon-Irigasi

Non-Irigasi

DibukaDibera

Gambar 2. Perkembangan Lanskap Pertanian (Agroekosistem) Masyarakat Sunda

(Sumber: Iskandar dan Iskandar, 2011)

Pekarangan didefinisikan Soemarwoto dan Conway (1992) sebagai sistem

pertanian di sekitar rumah. Pekarangan merupakan sistem tradisional yang

berlokasi di sekitar permukiman yang menyediakan produk kebutuhan dasar bagi

pemiliknya serta produk komersial dengan mengkombinasikan pertanian pangan,

pohon, dan hewan ternak. Sistem pertanian yang terbentuk merupakan hasil

interaksi masyarakat Sunda terhadap kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan

lingkungannya yang didasarkan pada ragam kebutuhan mendasar (based needs).

Kearifan lokal masyarakat pertanian telah membentuk budaya pertanian

(agriculture) yang sulit dipisahkan dalam praktik kehidupan sehari-hari

masyarakatnya (Becker dan Ghimire, 2003). Dalam budaya Sunda dikenal adanya

tiga hubungan yang harus saling terkait satu dengan yang lainnya, yaitu manusia,

11

alam, dan tuhan. Berdasarkan etimologinya1, kata Sunda berasal dari Sun-Da-Ha

yang mengandung arti Sun adalah Diri, Da adalah Alam, dan Ha adalah Tuhan.

Berdasarkan hal ini, kearifan lokal dapat digambarkan dengan mengidentifikasi

tiga ranah tempat kearifan lokal tersebut berlaku.

Ranah pertama adalah Diri, yaitu hubungan antara manusia dengan manusia.

Konsep Sun yang merupakan Diri, terwujud dalam hubungan individu dengan

individu atau individu dengan masyarakat. Beberapa kearifan lokal masyarakat

Sunda dalam konteks Sun, di antaranya, adalah hade ku omong, goreng ku omong

(segala hal sebaiknya dibicarakan) yang maksudnya bahwa keterbukaan dalam

hubungan bermasyarakat sebaiknya dibudayakan.

Kedua adalah konsep Da yang merupakan hubungan manusia dengan alam

yang banyak terlihat dalam aktivitas masyarakat adat Sunda yang sangat

memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Dasar dalam melakukan

pengabdian pada alam diungkapkan dalam ungkapan suci ing pamrih rancage

gawe yang maksudnya bahwa antara manusia dan alam adalah bagian yang

menyatu dan tidak terpisah. Masyarakat adat Sunda beranggapan bahwa mereka

hidup bersama alam, dan bukan hidup di alam. Dengan kata lain, ketika mereka

merusak alam sama halnya dengan merusak diri sendiri dan masyarakat, seperti

dalam ungkapan leuweung ruksak, cai beak, ra’yat balangsak (hutan rusak, air

habis, dan rakyat sengsara).

Ketiga adalah konsep Ha yang merupakan hubungan manusia dengan

Tuhan. Konsep Ha diungkapkan dalam perilaku masyarakat yang

mengharmoniskan antara perilaku sesama manusia dan alamnya atas dasar

kepercayaan terhadap Tuhan YME. Berdasarkan hal itu, secara turun-temurun

masyarakat Sunda terus mengaplikasikan kearifan lokal dalam kehidupannya guna

tetap terjaganya keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhannya.

Keagungan nilai kearifan lokal tersebut masih dijaga eksistensinya oleh

beberapa masyarakat adat Sunda. Kawasan Sunda Parahiyangan memiliki

masyarakat yang secara adat masih memegang teguh budaya Sunda sebagai

warisan dari para leluhurnya (Suryani, 2011), seperti Kampung Gentur di

                                                                                                               1 Informasi diperoleh dari hasil wawancara dengan beberapa budayawan dan sejarawan Sunda.

12

Kabupaten Cianjur (850 mdpl.2), Kampung Cikondang di Kabupaten Bandung

(1.100 mdpl.3), Kampung Rancakalong di Kabupaten Sumedang (727 mdpl.4),

Kampung Pulo di Kabupaten Garut (700 mdpl.5), Kampung Naga di Kabupaten

Tasikmalaya (1.200 mdpl.6), dan Kampung Ciomas di Kabupaten Ciamis (700

mdpl.7).

Kampung adat di kawasan Sunda Parahiyangan masih memegang konsep-

konsep penataan ruang termasuk didalamnya ruang pertanian, seperti luhur-

handap, kaca-kaca, dan lemah-cai (Purnama, 2007). Konsep luhur-handap

didasarkan pada pemaknaan Sunda (Sun-Da-Ha) sebagai gambaran hubungan

antara manusia dengan sesama manusia, manusia dengan alam, dan manusia

dengan Tuhan. Kebun-talun merupakan manifestasi dari konsep luhur (atas) yang

banyak diinterpretasikan sebagai kawasan keramat (kabuyutan). Implementasi

dari konsep ini terlihat pada pemanfaatan di kawasan hulu yang sangat terbatas

hingga adanya kawasan keramat berupa leuweung larangan dan/atau leuweung

tutupan (hutan larangan dan/atau hutan tutupan) yang tidak bisa diakses dengan

mudah oleh masyarakat. Pengkeramatan dilakukan sebagai penghormatan

terhadap para leluhur (karuhun) yang telah berjasa dalam menjaga stabilitas

kehidupan antara manusia, alam, dan Tuhannya.

Pekarangan merupakan manifestasi dari konsep tengah (tengah) yang

diinterpretasikan sebagai permukiman (Purnama, 2007). Selain memiliki fungsi

produksi bagi pemiliknya, pekarangan dapat menyediakan fungsi sosial di antara

masyarakatnya. Pekarangan dimanfaatkan sebagai ruang sosial yang

mengakomodasi aktivitas sosial-ekologi, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya.

Sistem pertanian sawah yang banyak dibudidayakan di kawasan hilir merupakan

manifestasi dari konsep handap (bawah) yang diinterpretasikan sebagai kawasan

perekonomian (Purnama, 2007).

                                                                                                               2 http://cianjurkab.go.id/Daftar_Kecamatan_Nomor_10.html. Diunduh pada Senin, 07 November 2011. 3 http://bpsnt-bandung.blogspot.com/2009/08/kepercayaan-religi-masyarakat-adat.html. Diunduh pada Senin, 07 November 2011. 4 http://repository.upi.edu/operator/upload/s_b025_0603328_chapter4.pdf. Diunduh pada Senin, 07 November 2011. 5 http://sikec.garutkab.go.id/UserFiles/File/leles2009.pdf. Diunduh pada Senin, 07 November 2011. 6 http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/10/kampung_naga_tasikmalaya_dalam_mitologi.pdf. Diunduh pada Senin, 07 November 2011. 7 http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Panjalu_Ciamis. Diunduh pada Senin, 07 November 2011.

13

Konsep kaca-kaca merupakan gambaran dari batasan ruang lingkup

kehidupan manusia yang tidak selamanya berada dalam kebebasan. Dalam hal ini

kehidupan manusia dibatasi oleh aturan dan norma yang mengikat serta menjadi

pembatas dalam berperilaku dan bertindak. Dengan demikian kehidupan akan

berjalan selaras baik secara vertikal maupun horizontal (Purnama, 2007). Konsep

lemah-cai merupakan gambaran dari sumber kehidupan manusia yang berasal dari

tanah dan air. Dengan demikian, dalam budaya Sunda elemen tanah dan air

menjadi elemen penting dalam sebuah kawasan permukiman dan pertanian.

Kearifan lokal merupakan aktualisasi dari sistem pengetahuan masyarakat

dalam mengkonseptualisasikan interakasi budaya lokal masyarakatnya dengan

alam. Hal tersebut diistilahkan oleh Becker dan Ghimire (2003) dengan

traditional ecological knowledge/TEK yang selanjutnya digunakan pengetahuan

ekologik tradisional/PET. Sistem pengetahuan tersebut menjadi bagian tak

terpisahkan dari kerangka etnografi sebagai keilmuan yang mengkaji kebudayaan

suatu masyarakat. Kajian sistem pengetahuan dalam ranah etnografi dapat

ditelusuri lebih lanjut berdasarkan unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal

(Koentjaraningrat, 1990). Koentjaraningrat (1990) menyusun kerangka etnografi

berisi tujuh unsur kebudayaan universal yang terdiri dari bahasa, sistem teknologi,

sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, kesenian, dan

sistem religi (spiritual) yang didahului dengan pendeskripsian lokasi, lingkungan

alam, dan demografi masyarakatnya.

2.5. Pertanian Bekelanjutan

Sistem pembangunan pertanian konvensional yang masih berorientasi untuk

memaksimalkan perolehan ekonomi tanpa memperdulikan aspek kelestarian

lingkungan perlu ditinggalkan dan diganti dengan sistem pembangunan pertanian

ramah lingkungan yang mengacu pada pencapaian pembangunan pertanian

berkelanjutan. Pertanian berkelanjutan didefinisikan sebagai usaha pertanian yang

mampu memaksimalkan sumber daya alam dan lingkungan untuk pemenuhan

kebutuhan masyarakat tidak hanya pada masa sekarang, tetapi untuk masa yang

akan datang (FAO, 2010).

14

Pertanian berkelanjutan akan terwujud dengan mengkombinasikan empat

kunci keberlanjutan USDA yang saling terkait (USDA-NAL, 2007), yaitu (1)

menyediakan kebutuhan pangan, pakan, dan serat, serta berkontribusi dalam

penyediaan biofuel, (2) memperkaya kualitas lingkungan dan sumber daya, (3)

mempertahankan kelangsungan ekonomi pertanian, dan (4) meningkatkan kualitas

hidup bagi petani, buruh tani, dan masyarakat secara keseluruhan. Dengan konsep

pertanian berkelanjutan, fungsi utama pertanian sebagai penyedia kebutuhan

pangan yang diperlukan masyarakat untuk menjamin ketahanan pangan dapat

tercapai. Pemenuhan pangan sebagai hak dasar inilah yang menjadi permasalahan

mendasar dari permasalahan kemiskinan di Indonesia.

Food and Agriculture Organization (2010) mendefinisikan ketahanan

pangan sebagai askes bagi semua penduduk atas makanan yang cukup untuk

hidup sehat dan aktif. Definisi lain yang dikemukakan oleh Machmur (2010)

berdasarkan amanat UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan adalah kondisi

terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan

yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Dengan

demikian, ketahanan pangan nasional merupakan agregat dari ketahanan pangan

rumah tangga dan pengertian inilah yang dapat dijadikan sebagai dasar strategi

pembangunan pertanian berkelanjutan.

Ketahanan pangan dapat tercapai setidaknya mengandung dua unsur pokok,

yaitu ketersediaan pangan dan aksesibilitas masyarakat terhadap bahan pangan

tersebut. Jika salah satu unsur tidak terpenuhi, suatu negara belum dapat

dikategorikan mempunyai ketahanan pangan yang baik. Ketahanan pangan

dikatakan rapuh jika akses individu untuk memenuhi kebutuhan pangannya tidak

merata, meskipun stok pangan cukup tersedia. Ketahanan pangan erat kaitannya

dengan kemandirian, tetapi kemandirian dalam konsep ketahanan pangan bukan

kemandirian dalam keterisolasian (Machmur, 2010). Dalam konteks kekinian,

kemandirian menuntut adanya kondisi saling tergantung (interdependency) antara

lokal dan global, tradisional dan modern, desa dan kota, rakyat dan pemerintah,

dan sebagainya. Kemandirian dalam konteks ini berarti kemandirian dalam paham

pro-aktif yang saling tergantung dan bukan reaktif atau bahkan defensif

(Kartasasmita, 2005).

15

Salah satu bentuk implementasi kemandirian pro-aktif adalah kemandirian

pembangunan pertanian dan perdesaan sebagai kesatuan yang tidak dapat

dipisahkan (Harianto, 2007). Perdesaan merupakan basis praktik pembangunan

pertanian, sedangkan pertanian menjadi komponen utama yang menopang

kehidupan perdesaan di Indonesia. Kemandirian pembangunan perdesaan sebagai

bagian dari strategi ketahanan pangan nasional hanya dapat terwujud jika kondisi

saling tergantung tersebut dibangun atas dasar kekuatan modal fisik/alam, SDM,

sosial, dan finansial yang tinggi.

Budaya Sunda sangat erat kaitannya dalam hal tersebut, ungkapan silih-asih

(saling mengasihi), silih-asah (saling menasihati), silih-asuh (saling mengayomi),

ulah pareumeun obor (jangan memutuskan tali silaturahmi), cikaracak ninggang

batu laun-laun jadi legok (sesuatu yang dijalani pasti akan menghasilkan

meskipun sedikit demi sedikit), kudu nyaah ka sasama (harus menyayangi

sesama), ulah poho ka karuhun jeung ka anak incu (jangan melupakan para

pendahulu dan anak cucu), serta ngajaga amanat (menjaga amanah/kepercayaan)

merupakan nilai-nilai dalam transformasi sistem pembangunan pertanian yang

lebih holistik dan berkelanjutan.