identifikasi dan inventarisasi potensi dan masalah daerah tertinggal
Post on 03-Jan-2016
906 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 1
BBBAAABBB IIIVVV
IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI
DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL
4.1. TELAAH KONDISI SOSIAL EKONOMI
4.1.1. Desa Tes, Timor Tengah Utara
Letak dan Keadaan Umum
Desa Tes terletak di sebelah utara kabupaten Timor Tengah Utara, sekitar
25 km dari Kefamenanu ibukota kabupaten Timor Tengah Utara, di
perbatasan dengan distrik Oecussi (Ambeno) Negara Timor Leste. Desa
Tes berbatasan di sebelah Utara dengan Napan dan Timor Leste, sebelah
Selatan dengan desa Buk, sebelah Timur dengan desa Sainoni dan
sebelah Barat dengan desa Napan dan Timor Leste.
Secara administratif desa ini masuk dalam wilayah Kecamatan Bikoni
Utara, kecamatan yang baru dimekarkan dari Kecamatan Miomaffo Timur
pada bulan Juli 2008. Salah satu alasan pemekaran Kecamatan Bikoni
Utara adalah mendorong perkembangan wilayah tertinggal terutama
desa-desa yang terletak di perbatasan dengan Timor Leste. Kecamatan
Bikoni Utara terdiri dari 9 desa, yaitu desa Napan, Tes, Sainoni, Fainake,
Haumeni, Baas, Banain A, Banain B, dan Banain C. Enam desa
diantaranya termasuk desa yang berbatasan langsung dengan Timor
Leste, yaitu Napan, Tes, Haumeni, Banain A, B dan C. Pos perbatasan
utama terdapat di Desa Napan yang dilengkapi pos dan asrama TNI,
polisi, dan imigrasi.
Kondisi topografi desa Tes berbukit-bukit dengan ketinggian berkisar 400-
1200 m dpl. Seperti umumnya wilayah pulau Timor, desa Tes mengalami
8 bulan kering (kemarau) dari bulan April –November, dan bulan yang
relatif basah dari bulan Desember hingga Maret.
Demografi
Desa Tes terdiri dari 6 RT, 3 RW yang dibagi dalam 3 dusun dengan
jumlah penduduk menurut data monografi desa tahun 2007 sebanyak 609
jiwa, laki-laki 295 orang, perempuan 314 orang, dengan jumlah rumah
tangga 146. Struktur penduduk didominasi oleh penduduk usia muda
seperti ditunjukkan Tabel 4.1.
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 2
Tabel 4.1. Struktur Penduduk Desa Tes Menurut Kelompok Umur
Kelompok Umur (Tahun) Laki-laki Perempuan Jumlah
0 - 5 38 33 71
6 - 10 36 35 71
11 - 15 30 32 62
16 - 20 17 20 37
21 - 25 26 22 48
26 - 30 14 11 25
31 - 35 16 18 34
36 - 40 9 20 29
41 - 45 18 22 40
46 - 50 15 11 26
51 - 55 14 7 21
56 - 60 9 11 20
61 - 65 13 13 26
66 - 70 17 13 30
>70 23 46 69
Jumlah 295 314 609
Sumber : Profil Desa Tes 2008
Sementara dilihat dari tingkat pendidikan seperti ditunjukkan pada Tabel
4.2., kelihatan bahwa tingkat pendidikan dan tingkat partisipasi
pendidikan (persekolahan) penduduk tergolong sangat rendah. Pada
kelompok usia 7-18 tahun, usia rata-rata SD - SLTA, 68 orang tidak
pernah sekolah sementara yang sedang bersekolah hanya 37 orang.
Secara umum tingkat partisipasi sekolah perempuan lebih tinggi dari laki-
laki.
Tabel 4.2. Struktur Penduduk Menurut Pendidikan Desa Tes
No. Pendidikan Laki-
laki Perempuan Jumlah
1. Usia 0-6 Tahun belum sekolah 38 38 76
2. Usia 7-18 tahun tidak pernah sekolah 34 34 68
3. Usia 7-18 tahun sedang sekolah 16 21 37
4. Usia 18-56 tahun tidak pernah sekolah 30 55 85
5. Usia 18-56 tahun pernah sekolah tidak tamat SD 7 18 25
6. Tamat SD 93 102 195
7. Tamat SMP 32 56 88
8. Tamat SMA 16 17 33
9. Tamat Perguruan Tinggi 1 1 2
Jumlah 267 342 609
Sumber : Profil Desa Tes 2008
Kondisi pendidikan menggambarkan juga kualitas angkatan kerja desa
Tes. Dari total 468 orang yang tergolong usia produktif (usia 18-56
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 3
tahun) di desa Tes, 50 orang tidak memiliki kemampuan baca tulis (buta
aksara), terdiri dari 32 laki-laki dan 18 perempuan. Sementara yang
tidak tamat SD 98 orang, laki-laki 82 orang dan perempuan 16 orang.
Sementara yang tamat SD 195 orang, terdiri dari laki-laki 93 orang,
perempuan 102 orang, dan yang tamat SMP laki-laki 32 dan perempuan
56 orang.
Tabel 4.3. Kualitas Angkatan Kerja (Usia Produktif: 18-56 tahun) Desa Tes
Kaulitas Angkatan Kerja Laki-laki Perempuan Jumlah
Buta Aksara 32 18 50
Tidak tamat SD 82 16 98
Tamat SD 93 102 195
Tamat SMP 32 56 88
Tamat SLTA 18 17 35
Tamat PT 1 1 2
Jumlah 258 210 468
Sumber : Profil Desa Tes 2008
Dari data-data pada Tabel 4.3. kelihatan bahwa kualitas angkatan kerja
perempuan lebih dari laki-laki. Dilihat dari tingkat buta aksara dan tidak
tamat SD, laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Sementara apabila dilihat
dari tingkat partisipasi pendidikan (tamat sekolah) perempuan lebih tinggi
dari laki-laki, terutama untuk tingkat pendidikan dasar. Hal ini menjadi
catatan awal, bahwa dalam kondisi sosial budaya yang menempatkan
laki-laki dalam posisi yang lebih tinggi, perempuan justru memiliki
kecenderungan lebih berhasil dalam pendidikan dibandingkan laki-laki.
Sarana dan Prasarana
Transportasi
Ketersediaan sarana transportasi di desa ini sangat terbatas. Prasarana
penghubung seperti terminal belum ada. Pemilik angkutan (oplet) di desa
hanya satu orang dan yang berprofesi sebagai tukang ojek hanya 2 orang
(2 unit sepedamotor). Mobilitas penduduk tidak terlalu tinggi kecuali
untuk anak sekolah. Karena mereka tidak terlalu tergantung dengan
pasar, dan fasilitas umum lainnya. Sedangkan bagi penduduk yang
bekerja sebagai buruh di luar kota, biasanya tinggal sementara di kota
tersebut.
Untuk jalan penghubung antar kota dan antar desa sudah memadai.
Untuk menghubungkan desa Tes dengan kota Kefamenanu (ibukota
kabupaten) yangberjarak 25 km, dan desa-desa lainnya yang berada satu
jalur beroperasi secara regular oplet setiap setengah jam hingga 1 jam.
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 4
Oplet ini melewati desa Tes dengan rute Kefamenanu – Napan, yang
berujung persis di depan pos perbatasan di Desa Napan.
Tetapi di dalam desanya sendiri sangat sulit menjangkau bebrapa rumah
karena ada di dalam desa. Misalnya untuk menjangkau sekolah Kecil sulit
menggunakan sepeda motor hanya bisa di tempuh dengan jalan kaki.
Sebagain besar kondisi jalan penghubung di dalam desa belum di
perkeras atau diaspal. Jika musim penghujan biasanya di bulan oktober
jalan menjadi becek dan sulit untuk dilalui.
Air Bersih
Ketersediaan air merupakan masalah yang sangat mendasar dan pelik di
desa Tes. Sumber utama air bersih adalah mata air dan sumur gali. Pada
musim kemarau, sumur gali kering dan penduduk harus berjalan cukup
jauh ke sumber air yang tersedia yaitu mata air yang terdapat di 3 lokasi
di sekitar lembah. Untuk menampung air hujan melalui bantuan dari LSM
telah dibangun 2 embung yang tentunya tidak berfungsi pada saat musim
kemarau.
Jumlah prasarana air bersih sangat terbatas, dimana hanya terdapat 9
sumur gali, 3 mata air dan 2 instalasi pipa air yang menghubungkan mata
air dengan penampungan-penampungan air yang lebih dekat dengan
pemukiman penduduk. Sembilan buah sumur yang ada digunakan oleh 14
rumah tangga, sementara mata air digunakan oleh sisanya.
Tabel 4.4. Prasarana Air Bersih di Desa Tes
No. Jenis Prasarana Jumlah Jumlah RMT pengguna
1. Sumur gali 9 14
2. Mata air 3 146
3. Embung 2 (belum berfungsi)
4. Pipa air 2 115
Sumber : Profil Desa Tes 2008
Listrik
Sebagian penduduk telah menikmati listrik yang bersumber dari genset
pembangkit yang penyediaanya dibantu oleh Departemen Sosial yang
dapat dinikmati oleh sekitar 90 rumah tangga atau sekitar 60 persen dari
jumlah rumah tangga yang ada. Listrik menyala dari jam 6 sore hingga
jam 10 malam. Setiap rumah yang mendapatkan sambungan listrik
membayar iuran Rp 95.000 setiap bulannya. Pengelolaan genset dan
penagihan iuran dilakukan oleh masyarakat melalui kesepakatan bersama.
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 5
Keadaan Sosial Ekonomi
Aspek Sosial
Apabila harus bersekolah anak-anak Desa Tes harus ke desa Napan
dimana terdapat 1 buah sekolah tingkat SD (Sekolah Dasar), 1 buah
sekolah untuk tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan belum ada
untuk SLTA dan yang setingkat. Kedua desa harus saling berbagi fasilitas.
Dengan jumlah penduduk 609 dan anak usia sekolah dasar (6-15 tahun)
sebanyak 135 orang, sementara jarak dari Kantor Desa Tes ke Desa
Napan sejauh 7 km. Bisa dibayangkan jarak yang harus ditempuh anak-
anak ke sekolah dengan topografi yang berbukit. Semua lokasi sekolah
ada di Desa Napan, sehingga pemerintah Desa Tes berinisiatif untuk
membangun Sekolah Dasar Kecil yang diperuntukkan khusus bagi siswa-
siswa dari kelas 1 hingga kelas 3. Setelah naik kelas ke kelas 4, maka
semua siswa dialihkan ke SDN Tes yang berlokasi di Desa Napan.
Sebenarnya sekolah ini sudah berdiri sejak tahun 1930an oleh yayasan
katholik (YAPESA) dan kemudian di buat bangunan baru tahun 1980an di
desa Napan tetapi tetap menggunakan SD Tes.
Menurut Bapak Markus yang menjadi Kepala Sekolah SD kecil Tes, setelah
ditinggalkan misionaris, pengelolaan sekolah ini mengalami kemunduran.
Bangunan fisik Sekolah di Napan (SD, SMP dan Pendidikan Anak Usia
Dini/PAUD) sudah bagus dan terdapat ruangan yang cukup untuk
menampung siswa dan kondusif untuk belajar. Sungguh ironis jika
dibandingkan dengan kondisi fisik sekolah yang ada di Desa Tes (SD
Kecil).
Gambar 4-1. Kondisi Gedung SD Negeri Kecil di Desa Tes
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 6
Gambar 4.1. menunjukkan kondisi yang sangat tidak kondusif untuk
belajar. Bangunan yang tidak punya dinding dan berlantai tadah.
Pembatas kelas hanya papan tulis. Dengan kondisi seperti ini apapun
aktivitas dikelas sebelas bisa didengar oleh kelas lain. Sekolah Kecil ini
hanya memiliki 3 ruangan. Kelas satu dan kelas dua berbagi ruangan
dengan sistem shift, kelas 1 masuk pagi hingga jam 10 WIT kemudian
kelas itu digunakan kembali oleh siswa kelas 2 hingga jam 13. 00 WIT.
Ruang guru hanya satu, ruang kepala sekolah berbagi dengan ruang guru
relawan. Guru dengan status PNS hanya satu orang dibantu 3 orang
relawan wanita, seorang dari relawan ini mengajar dengan membawa
anaknya yang masih balita.
Bapak Markus menuturkan seolah-olah pemerintah menutup mata akan
realitas sosial yang ada di Desa Tes. Sekolah-sekolah yang ada sekarang
tidak satu pun dari pemerintah, dan lebih mengandalkan bantuan dari
LSM lokal yang didukung Fund Rising dari luar negeri. Untuk saat ini
mereka berharap pada LSM PLAN untuk penyediaan infrastruktur
bangunan dan lainnya. Di Tahun 2007, sekolah kecil ini mendapat
bantuan untuk pengadaan buku, meja, papan tulis dan kapur. Bantuan ini
pun sangat terbatas.
Tabel 4.5. Kebutuhan dan Permasalan Pendidikan di Desa Tes
No Kebutuhan masyarakat
Permasalahan Rekomendasi Keterangan
1. Bangunan sekolah yang kondusif buat
belajar
Membutuhkan tenaga yang
cukup besar. Belum ada lembaga atau keinginan
pemerintah untuk membuat sekolah.
Pembangunan fisik sekolah
Saat ini sedang mengajukan
proposal ke PLAN.
Masyarakat bersedia
memberi sumbangan waktu dan
tenaga untuk membangun sekolah
2. Tenaga pengajar Dinas pendidikan belum menyediakan tenaga pengajar
yang berkualitas
- Memperkuat status tenaga pengajar
- menyediakan tenaga pengajar PNS
Saat ini ada 3 orang tenaga relawan sebagai
staf pengajar yang tidak diberi honor
3, Sarana pendukung lainnya seperti
buku, kapur
Ketersediaan buku masih sangat
terbatas. Hanya dimiliki oleh guru
Tidak mendukung menumbuhkan minat baca
Kerjasama antara dinas pendidikan
dan LSM lokal untuk menyediakan buku-buku pelajaran
Buku adalah media untuk
mempercepat tansfer ilmu pengetahuan.
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 7
Sedangkan untuk SMP yang ada di Desa Napan baru berdiri tahun 2006
artinya baru berjalan 2 tahun. Dan sekolah ini dinamakan sekolah satu
atap karena masih lingkungan dengan SD. Belum ada pendidikan non
formal di desa ini hanya saja LSM yang bekerja di sini banyak
memberikan pelatihan-pelatihan untuk pemberdayaan masyarakat,
seperti kursus singkat budidaya pertanian dan membuat tenunan kain.
Antusias masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya begitu tinggi.
Hal ini berangkat dari kesadaran masyarakat untuk memperbaiki taraf
hidup. Bapak Donotus adalah seorang ayah yang mengkuliahkan anaknya
hingga ke Kediri. Meskipun dari segi pembiayaan tersendat-sendat tetapi
beliau menyakini sesatu yang dimulai dengan niat baik pasti akan diberi
kemudahan. Beliau adalah potret orang tua yang menyadari pentingnya
pendidikan sebagain bagian dari masa depan anak-anaknya.
Ketersediaan fasilitas di desa ini sangat rendah. Satu desa hanya memiliki
satu orang bidan dengan ketersediaan obat-obatan yang sangat terbatas.
Di desa ini banyak dukun yang tidak terlatih untuk membantu
menyembuhkan orang sakit dan persalinan. Menurut Martinus kepala desa
di Desa Tes, pihak desa sudah mengeluarkan peraturan kepada warganya
jika pada saat bersalin hanya dibantu oleh dukun yang tidak terlatih
dikenakan sanksi anaknya tidak mendapat akta lahir dan didenda Rp.
270.000. hal ini dilakukan untuk menekan angka kematian ibu dan bayi.
Pada tahun 2007, desa mengirimkan seluruh dukun untuk memperoleh
pelatihan tentang cara menangani persalinan yang baik. Dan hasil dari
pelatihan ini adalah mereka memiliki sertifikat yang diakui untuk
membantu persalinan. Dukun terlatih ini tetap diawasi oleh bidan
tersebut.
Fasilitas kesehatan yang lengkap ada di ibukota kabupaten yaitu di
Kefamenanu yang berjarak 25 km dari desa Tes. Di Kefamenanu tersedia
puskesmas rujukan bagi orang-orang yang sakit parah. Di sekitar
puskesmas ini terdapat 3 apotik yang berdekatan satu sama lain.
Salah satu yang mengkhawatirkan adalah pola makan yang tidak
seimbang yang menyebabkan kerawanan pangan, termasuk kurangnya
asupan gizi non karbohidarat dan protein terutama bagi ibu dan anak.
Gambaran tingkat kesejahteraan penduduk desa Tes tercermin juga dari
kondisi tempat tinggal mereka. Dari 147 rumah yang ada, hanya 20
rumah berlantai, sisanya 127 rumah berlantai tanah. Rumah yang
memiliki atap seng 65 rumah, sisanya beratap rumbia, illalang dan daun
lontar.
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 8
Aspek Ekonomi
Mata pencaharian utama masyarakat desa Tes adalah pertanian, dari 145
RMT, 129 orang bermatapencaharian utama sebagai petani. Sementara
sebagian lain bekerja sebagai PNS, membuka usaha warung dan
mengerjakan kegiatan-kegiatan buruh dan keterampilan kayu dan tukang
jahit.
Tabel 4.6. Mata Pencaharian dan Usaha yang Ditekuni
I. Mata Pencaharian Utama Jumlah KK
Petani 129
PNS 2
Dukun kampung 2
II. Usaha Perdagangan
Warung 6
III. Usaha Keterampilan
Tukang kayu 9
Tukang batu 23
Tukang jahit 11
Tukang gali sumur 1
Sumber : Profil Desa Tes 2008
Jenis pertanian yang diusahakan dalah pertanian lahan kering sesuai
dengan keadaan lahan dan iklim di wilayah tersebut. Tanaman semusim
hanya dapat diuasahakan pada musim hujan, yang berlangsung singkat
antara bulan November sampai bulan Februari. Sementara sepanjang
musim kemarau penduduk bergantung kepada persediaan hasil panen
dari musim hujan. Tanaman yang disuahakan antara lain padi, jagung,
umbi-umbian dan sayuran dimulai di awal musim hujan. Pola penyiapan
dan pengolahan lahan pertanian masih menggunakan system tebas bakar.
Pola ini digunakan didasari alasan biaya, waktu dan juga faktor kebiasaan
yang telah berlangsung lama.
Tabel 4.7. Jenis Tanaman yang Diusahakan dan Luas Lahan
No. Tanaman yang Diusahakan
Luas Lahan (Ha)
Luas Rata-rata/ RMT (Ha)
1. Padi 45 0.31
2. Jagung 76 0.52
3. Ubi-Ubian 10 0.07
4. Buah-Buahan 5 0.03
5. Sayuran 1 0.01
6. Kelapa 4 0.03
7. Kopi 1 0.01
8. Kemiri 50 0.34
9. Jambu Mete 50 0.34
Sumber : Profil Desa Tes 2008
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 9
Pada musim kemarau, untuk menutupi pengeluaran rumah tangga
masyarakat mengandalkan hasil dari tanaman-tanaman perkebunan
seperti kelapa, kemiri dan jambu mete serta ternak yang dikelola
seadanya. Beberapa keluarga juga memungut buah asam yang banyak
tumbuh di desa.
Dilihat dari luas tanaman yang dikelola (Tabel 4.7.), dan jumlah ternak
yang ada di didesa (Tabel 4.8.) dibandingkan dengan jumlah RMT
kelihatan bahwa produktivitas pertanian sangat rendah. Tanaman padi,
misalnya, dari 45 Ha lahan yang dapat ditanami padi, diratakan dengan
jumlah RMT, setiap rumah tangga hanya mengelola 0,31 Ha, yang
ditanami hanya satu kali satu tahun. Rata-rata luas tanaman jagung per
RMT adalah 0,52 Ha. Sementara tanaman keras yang utama, yaitu jambu
mete dan kemiri diusahakan rata-rata seluas 0,34 per RMT. Angka ini
tentunya sangat rendah, belum lagi apabila mempertimbangkan
penyebarannya.
Tabel 4.8. Populasi, Pemilik Ternak dan Rata-rata jumlah Ternak per RMT
No. Jenis Ternak Pemilik Populasi Rata-rata/RMT
1. Sapi 72 160 1.10
2. Babi 75 125 0.86
3. Kambing 41 76 0.52
4. Kuda 2 2 0.01
Sumber : Profil Desa Tes 2008
.
Gambar 4-1. Penyiapan Lahan Pertanian dengan Pola Tebas Bakar
Sebaran kepemilikan lahan dapat dilihat pada Tabel…. Seluruh RMT
memiliki lahan pertanian. Sepuluh RMT memiliki lahan kurang dari 0,5
Ha, 13 RMT memiliki lahan antara 0,5-1 Ha, dan 122 orang memiliki lahan
lebih dari 1 Ha. Indikator ini apabila dibandingkan dengan daerah intensif
pertanian seperti pulau Jawa misalnya, akan menggambarkan tingkat
kesejahteraan yang cukup baik. Namun dengan pola pertanian campuran
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 10
lahan kering yang hanya dapat ditanami pada musim hujan, dan dengan
topografi berbukit-bukit kepemilikan lahan kurang dari 1 Ha dapat
dikatakan tidak memadai.
Tabel 4.9. Kepemilikan Lahan Pertanian
No. Kepemilikan Lahan Jumlah RMT
1. Tidak memiliki lahan 0
2. <0,5 Ha 10
3. 0,5-1 Ha 13
4. >1Ha 122
Total 145
Sumber : Profil Desa Tes 2008
Gambaran ekonomi desa yang meliputi mata pencaharian, kepemilikan
sumberdaya dan jenis-jenis komoditi yang diusahakan dengan berbagai
karakteristik khas seperti iklim dan topografi, pola pertanian dan sosial
budaya menghasilkan pola kehidupan (relasi sosial ekonomi) yang juga
khas.
Di desa ini tidak ada fasilitas apa pun yang menunjang kegiatan
perekonomian mereka. Pasar hanya ada di Kefamenanu. Begitu juga
dengan fasilitas seperti bank, koperasi dan yang menjual sarana
produksi pertanian. Setelah panen, mereka akan pergi ke Kefamenanu
untuk menggiling padi. Hasil panen ini biasanya mereka simpan hingga
panen berikutnya. Dan setiap rumahtangga pasti memiliki ternak selain
untuk upacara adat juga untuk keperluan makan. Berdasarkan pola dan
aktivitas tersebut maka dapat disimpulkan bahwa mereka tidak terlalu
tergantung terhadap pasar dan fasilitas yang lainnya.
Karena hampir semua penduduk bermata pencaharian sebagai petani,
selama musim kering dan menunggu panen biasanya penduduk dewasa
laki-laki akan bermigrasi ke kota-kota terdekat seperti Atambua dan
Kefamenanu untuk mencari nafkah sebagai buruh kasar, sementara
wanita akan tinggal dirumah untuk melakukan tugas domestik dan
merawat ternak.
Sistem pertanian disini sangat mengandalkan air hujan. Berbagai cara
diupayakan agar masalah air dapat teratasi. Baru-baru ini beberapa warga
desa mendapat pelatihan dari YABIKU tentang pengairan tetes (irigasi
tetes) untuk menghemat penggunaan air dan mengurangi penguapan.
Dan juga pemanfaatan lahan disekitar saluran air permandian umum
untuk digunakan menanam sayuran.
Baru-baru ini telah diterapkan pemisahakan kawasan pertanian dan
peternakan. Karena beberapa kasus menunjukkan hasil panen berkurang
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 11
karena ternak yang dipeliharan di lepas di dekat sawah dan kebun hingga
merusak tanaman. Adapun jenis-jenis ternak yang diusahakan penduduk
adalah ayam, kambing, babi , kuda dan sapi. Menurut penduduk hampir
setiap rumahtangga memilki ternak babi karena memang digunakan
untuk upacara adat. Sedangkan untuk penduduk yang memiliki sapi
banyak digunakan sebagai tabungan untuk sekolah anak, dan juga untuk
upacara adat dan hari besar keagamaan.
Untuk bidang peternakan pada tahun 2007, ada bantuan kambing dari
PLAN 20 ekor per kelompok yang dibina (semuanya berjumlah 6
kelompok ) kemudian ada bantuan kambing lagi dari YABIKU per
rumahtangga (jumlah kurang tahu). Tetapi diawal ada wabah penyakit
kambing dan sebanyak 167 ekor kambing mati. Hingga saat ini belum
diketahui nama penyakit tersebut dan bagaimana cara mengatasinya.
Budidaya ternak dilakukan dengan cara melepas di alam terbuka. Mereka
belum pernah melakukan pengkandangan untuk ternak besar maupun
ternak kecil. Termasuk babi mereka hanya menambatkan ke satu tiang,
agar babi tersebut tidak pergi terlalu jauh.
Dengan hadirkan LSM lokal dengan berbagai program yang dijalankan
adalah penguatan sektor ekonomi rumahtangga. Mereka membuat dana
bergulir yang dimanfaatkan untuk membuka usaha seperti
mengembangkan peternakan mauapun pertanian. Selain itu, para ibu-ibu
memiliki organisasi berbasis ekonomi seperti SPP (Simpan Pinjam
Perempuan), UEP (Usaha Ekonomi Produktif). Kegiatan ekonomi tersebut
antara lain : Koperasi dagang, organisasi tenun ikat, kelompok
peternakan, kelompok tani perempuan dan lain-lain.
Kelembagaan Masyarakat Desa
Kelembagaan petani cukup kuat karena sudah membentuk kelompok-
kelompok sendiri. Kelompok ini digunakan untuk mengakses bantuan
seperti bibit permodalan dan lebih mudah masuknya inovasi. Karena
memang sudah menjadi bagi pemerintahan maupun donatur bahwa setiap
bantuan hanya diberikan kepada kelompok yang sudah berdiri lebih dari
setahun.
Menurut Bapak Juventius Kabelen selaku camat menyatakan kesadaran
untuk pembentukan kelompok merupakan suatu langkah yang positif.
Karena tetesan bantuan lebih mudah dilakukan. Posisi tawar-menawar
bagi petanai/peternak dan penenun menjadi lebih tinggi. Aspek
kelembagaan ini juga dibuat sebagai upaya preventif ketika musim
paceklik karena sebagain kelompok ini membuat simpan pinjam.
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 12
Kelembagaan adat di desa ini sangat kental dan mengintervensi hampir
seluruh kegiatan sehari-hari. Bahkan bisa dikatakan secara administrasi
sistem pemerintahan tertinggi di desa ada pada kepala desa akan tetapi
secara teknis ditentukan oleh adat.
Satu hal yang unik di desa ini adalah pemilihan ‘tua adat’. ‘tua adat’ yang
terpilih boleh yang berasal dari penduduk pendatang. Menurut penduduk
pemilihan ‘tua adat’ bukan berdasakan turun temurun akan tetapi lebih
sikap yang ditampilkan dalam keseharian. Dan hanya orang-orang bijak
yang dipilih. Bijak dalam arti pintar menempatkan diri, mampu menjadi
‘hakim perdamaian’ untuk menangani masalah masyarakat termasuk
hingga ke masalah keluarga dan juga mampu memimpin upacara adat
sudah turun temurun dilakukan.
Di desa Tes terdapat beberapa fam antara lain yang termasuk rumpun
Dawan adalah Sikki, Kolo, dan Nule. Suku-suku ini memiliki tingkatan
tertentu di masyarakat. Suku Sikki adalah suku yang pertama kali tinggal
di Desa Tes sehingga suku ini adalah suku pemilik tanah luas/tuan tanah.
Suku Kolo dan suku Nule adalah suku pendatang yang menikahi penduduk
lokal. Selain rumpun Dawan ada beberapa suku yang mendiami wilayah
ini antara lain suku Flores, Batak dan pengungsin dari Timor Leste. Dan
kesemua suku hidup membaur dan harmonis.
Sekarang ini yang menjadi tua adat adalah orang Flores. Tua adat ini
juga menjadi pengambil keputusan akan pembangunan desa. Misalnya
jika LSM dan masayarakat ingin memperbaiki sumur atau melakukan
pendalam agar air lebih banyak maka harus konsultasi dahulu ke tua
adat. Apabila tua adat tidak berkenan maka pembangunan ini bisa
dibatalkan.
Dari hasil wawancara dengan beberapa penduduk, kekentalan adat saat
ini kadang-kadang menghambat pengembangan sumber daya alam.
Misalnya saja jika ingin memperbaiki sumber air agar pada musim kering
mampu mencukupi kebutuhan air penduduk. Maka setiap rumahtangga
diwajibkan membawa ternak kurban sebagai persembahan. Dan ini
menyulitkan untuk masyarakat. Begitu pun seperti program yang telah
dilakukan oleh PLAN dengan membuat Penambung Air Hujan (PAH) ini
mewajibkan masyarakat membawa kurbanya. Jika ini tidak dipenuhi,
masyarakat percaya pasti ada bencana karena alam tidak menerima.
Pada saat wawancara saya menyempatkan untuk bertanya kepada ibu-ibu
yang sedang mengambil air di sumur, mengapa sumur ini tidak
diperdalam. Karena dengan keadaan yang dangkal air sudah banyak,
mungkin jika diperdalam akan mampu memenuhi kebutuhan akan air di
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 13
musim kering. Tetapi ibu-ibu menjawab lebih baik mereka berjalan ke
bukit untuk mengambil air daripada harus memperbaiki sumur. Karena
diwajibkan untuk membawa ternak kurban tiap rumahtangga sementara
tahun ini panen mereka termasuk gagal. Jadi banyak yang menjual
ternaknya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari. Upacaranya sendiri
banyak menghabiskan biaya untuk melakukan ritual.
Selain menghambat ada beberapa yang mendukung mempercepat
pelaksanaan program. Dengan dilibatkannya tua adat dalam program
mampu memobilisasi masyarakat untuk sungguh-sungguh melakukan
program tersebut. Karena masyarakat ini sangat tunduk terhadap tua
adat.
Peran penting yang masih umum ditaati dan berpengaruh posiitif terhadap
kehidupan masyarakat adalah pengaturan hutan larangan yang berfungsi
sebagai wilayah tangkapan air. Walaupun kelihatan meranggas, tetapi
kelihatan ada beberapa bagian dari perbukitan yang tetap terjaga dan
lebih padat vegetasinya dibanding lahan di sekitarnya. Pengenaan denda
dan sangsi adapt yang cukup bagi siapa yang mengambil, memungut dan
menebang pohon atau hasil hutan lain menjaga mata air di desa tetap
menyediakan air walaupun pada musim kemarau yang panjang.
Hubungan Sosial dengan Timor Leste
Masyarakat di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste di wilayah
Timor Tengah Utara umumnya Suku Dawan. Penduduk di bagian
Indonesia dan dibagian Timor Leste di sepanjang perbatasan memiliki
pada umumnya memiliki kaitan kekerabatan. Semenjak pemisahan diri
menjadi negara sendiri, praktis ada hambatan mobilitas dan komunikasi
masyarakat desa Tes dengan masyarakat di wilayah Timor Leste.
Hubungan sosial, budaya dan ekonomi yang berlangsung normal tiba-tiba
mengalami hambatan administrasi mengakibatkan adanya penyesuaian
terhadap pola-pola hubungan antara ke dua wilayah.
Setelah kemerdekaan Timor Leste di sepanjang perbatasan dibangun
check point sebagai pintu perlintasan dan pengawasan antara kedua
negara. Masyarakat dari kedua negara apabila harus bepergian ke bagian
lain harus melaporkan diri dan melengkapi diri dengan surat-surat yang
diperlukan sebagai bukti diri. Namun dengan system administrasi
keimigrasian yang tidak fleksibel, kebutuhan dan kepentingan bepergian
ke wilayah Timor Leste dan sebaliknya, baik untuk alasan sosial dan
ekonomi tidak serta merta dapat terlaksana. Padahal kepentingan itu
adakalanya sangat mendesak, semisal harus menghadiri upacara
kematian kerabat, atau kelahiran sanak keluarga.
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 14
Pada tingkat tetua adat dan masyarakat di kedua wilayah yang memiliki
hubungan kekerabatan dan adat akhirnya muncul semacam kesepakatan
dan cara-cara pertemuan di luar titik perlintasan yang resmi dan tidak
membocorkannya kepada otoritas diperbatasan.
Dampak lain dari pemisahan kedua wilayah adalah banyaknya pengungsi
dari wilayah Timor Leste yang berlindung di wilayah Indonesia. Di desa
Tes sendiri terdapat 39 RMT eks Timor Leste yang akhirnya memilih
menjadi warga negara Indonesia. Mereka ini umumnya adalah
masyarakat yang memiliki hubungan darah langsung dengan masyarakat
di desa Tes.
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 15
4.1.2. Desa (Kepulauan) Marore, Kabupaten Kepulauan Sangihe
Letak dan Keadaan Umum Lokasi
Desa Marore meliputi dua pulau yaitu Pulau Marore dan Pulau Mamanuk,
sebuah pulau yang tidak berpenghuni, yang sering menjadi tempat
persinggahan sementara para nelayan pada musim mencari ikan. Desa ini
terdiri dari 3 dusun dan satu anak kampung, yaitu pulau Mamanuk di
atas. Sehingga dalam pembahasan mengenai desa Marore, selanjutnya
pada bagian ini akan dipakai istilah pulau Marore yang mengacu pada
pengertian yang sama dengan desa Marore.
Berdasarkan Peraturan Presiden RI No. 78 tahun 2005 tgl 29/12/2005,
gugusan pulau-pulau kecil terluar di Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara
yaitu Pulau Marore, Pulau Kawio, dan Pulau Kawaluso. Gugusan pulau-
pulau ini terletak di perairan Laut Sulawesi, dan Pulau Marore dengan
koordinat titik terluar 040
44’ 14’’ U dan 1250
28’ 42’’ T berhadapan
langsung dengan Pulau Balut, Philipina yang jarak tempuh dengan
speedboat sekitar enam jam.
Berkaitan dengan fungsi dan keberadaan pulau-pulau terluar ini, dibentuk
Kecamatan Border Crossing Agrement Marore yang kemudian pada 12
Sebtember 2008 statusnya diresmikan menjadi kecamatan defenitif yang
meliputi Desa Marore, Desa Kawio dan Desa Matutuang. Sebelum
pemekaran, desa Matutuang adalah anak desa Marore, dan Desa Marore
termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Tabukan Utara,
Kabupaten Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara. Luas desa
sebelum pemekaran sekitar 3,16 km2, yang mencakup pulau Marore 1,68
km2, pulau Mamanuk seluas 0,08 km2 (8 ha) dan pulau Matutuang seluas
1,40 km2.
Pulau Marore yang membujur dari barat daya ke arah timur laut
didominasi daerah perbukitan dan daerah pantai yang datar hanya
sebagian kecil saja dari pulau ini. Daerah perbukitan bergelombang
dengan ketinggian antara 0 dpl sampai dengan 110 dpl. Daerah
perbukitan merupakan daerah perkebunan kelapa, cengkeh, mangga,
jambu mete, bambu dan sebagainya yang tidak dikelola dengan baik.
Permukiman penduduk terbanyak berada di daerah pantai barat daya dan
sedikit di pantai timur. Di bagian tengah permukiman barat daya terdapat
daerah rendah/rawa yang ditumbuhi pohon sagu. Hanya sebahagian
kecil dari dataran di pulau Marore yang digunakan sebagai lahan
pemukiman dan berbagai fasilitas kantor dan rumah dinas dari instansi
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 16
yang terkait dengan Border Crossing Agreement serta berbagai fasilitas
umum lainnya.
Demografi
Jumlah penduduk desa Marore berdasarkan data tahun 2007 (sebelum
pemekaran dengan Matutuang) adalah 862 jiwa dengan 219 kepala
keluarga, mencakup pulau Marore 562 jiwa yang terdiri atas 135 KK dan
penduduk pulau Matutuang sejumlah 300 jiwa. Pada tahun 2006
penduduk pulau Marore berjumlah 537 jiwa. Kenaikan jumlah penduduk
pulau yang cukup besar ini disebabkan kepulangan penduduk asal desa
Marore yang tinggal di Filipina. Berdasarkan data tahun 2006, mayoritas
penduduk di pulau Marore adalah pemeluk agama Kristen Protestan, (525
jiwa) Katolik 8 Jiwa dan Islam 1 jiwa. Penduduk di pulau Marore yang
bermata pencaharian sebagai petani/nelayan berkisar 80%, pegawai
negeri sipil 10%, pengusaha 4% dan mata pencaharian lain-lain 6%.
Tingkat pendidikan penduduk di pulau Marore sebagian besar lulusan SLTP
dan hanya sebagian kecil lulusan SLTA dan Sarjana.
Sarana dan Prasarana
Sarana Pendukung Border Crossing Area (BCA)
Sebagai pulau terluar yang merupakan Border Crossing Area (BCA) yang
menangani para pelintas batas dari Indonesia ke Filipina dan sebaliknya,
pulau Marore dilengkapi dengan berbagai prasarana kantor pendukung.
Prasarana kantor yang ada antara lain Kantor Kepala Kampung Marore,
Kantor Camat BCA (menjadi Camat Defenitif), Kantor Border Crossing
Philipina, Dinas Perhubungan & Syahbandar, Bea Cukai, Imigrasi dan Pos
TNI-AL, KORAMIL, Kepolisian. Tugas dan fungsi instansi yang
ditempatkan yang disebutkan diatas adalah untuk mengawasi lalu lintas
manusia dan barang yang keluar dari dan masuk ke wilayah Republik
Indonesia. Selain itu pemerintah juga membentuk satuan Hansip dan
Wanra yang direkrut dari masyarakat setempat untuk memperkuat
pelaksanaan fungsi Hankam di Pulau Marore.
Aksesibilitas dan Sarana Transportasi
Pulau Marore yang berjarak sekitar 206 mil (laut) dari Manado dan 75 mil
dari Tahuna (Ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe), dapat dicapai
dengan kapal perintis (KM Daraki Nusa, KM Daya Sakti) dengan jadwal
dua kali sebulan yang berangkat dari Bitung dengan rute Bitung ke
Tahuna – P. Lipang – P. Kawaluso – P. Matutuang – P. Kawio – P. Marore.
Perjalanan ditempuh sekitar 20 jam yang tergantung dengan lamanya
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 17
penurunan penumpang dan barang di setiap pulau. Alternatif lain adalah
naik pesawat udara dua kali seminggu dari Manado ke Tahuna atau naik
kapal laut cepat setiap hari, kecuali Minggu, berangkat malam hari
dengan lama perjalanan sekitar 12 jam, kemudian dari Tahuna
perjalanan dilanjutkan dengan kapal perintis dari Bitung atau dengan
kapal Fuso/panboat dengan kapasitas sekitar 15 - 50 orang dengan waktu
tempuh sekitar 8-9 jam. Pelayaran dapat dilakukan jika cuaca baik sekitar
bulan April – Agustus. Pada saat cuaca tidak bersahabat dan laut
bergelombang besar, pelayaran hanya dapat dilakukan oleh kapal
berbobot diatas 1.000 DWT.
Gambar 4-3 : Alat Transportasi Masyarakat Di Marore
Terdapat dermaga tempat berlabuh yang mempunyai kedalaman 8,75
meter saat pasang tertinggi dan 6,30 meter saat surut terendah. Dermaga
ini hanya bisa disinggahi oleh kapal-kapal kecil dan kapal nelayan. Kapal
yang cukup besar harus buang sauh sekitar 500 meter dari dermaga dan
penumpang dan barang didiangkut dengan menggunakan perahu-perahu
nelayan.
Untuk menghubungkan lokasi-lokasi pemukiman terdapat jalan darat
yang terdapat sepanjang 300 meter dengan bahan jalan beton cor, yang
terdiri dari jalan di permukiman barat di tengah kampung dengan lebar
3,50 meter, jalan lingkungan dengan lebar 2,5 meter dan jalan
penghubung dari permukiman barat ke permukiman timur selebar 2,00
meter. Kondisi jalan penghubung dari permukiman barat ke timur
sebagian rusak berat karena tergerus oleh ombak dan sebagian lagi rusak
sedang, yang harus ditanggulangi.
Sarana-Prasarana Pendidikan dan Kesehatan dan Sosial Lainnya
Fasilitas umum dan sosial yang terdapat di pulau Marore terdiri dari
fasilitas pendidikan berupa satu buah TK, satu buah SD Negeri Marore dan
satu buah SLTP Negeri Tabukan Utara. Fasilitas kesehatan adalah berupa
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 18
Puskesmas pembantu dengan satu orang tenaga medis. Keberadaan
fasilitas kesehatan ini sangat minim karena persediaan obat-obatan
sangat kurang, sehingga untuk kasus penyakit tertentu/berat
pengobatannya harus dirujuk ke RSU di Kota Tahuna. Di Marore terdapat
satu buah fasilitas peribadatan gereja. Sehubungan dengan ketersediaan
fasilitas perdagangan, di pulau Marore terdapat empat buah kios
penjualan yang menyediakan kebutuhan sehari-hari yang dikelola oleh
KUD dan perorangan.
Sumber Air dan Listrik
Sumber air minum yaitu dari lima buah sumur dangkal yang terletak di
kaki bukit, satu mata air yang terletak di punggung bukit dan 21 unit
tampungan air hujan. Sumur dangkal lainnya yang tersebar di
permukiman tidak digunakan untuk air bersih karena kesadahannya tinggi
sehingga tidak layak minum. Umumnya (sekitar 75 % ) rumah tangga
mempunyai sumur dangkal untuk MCK. Bentuk sumur dangkal bulat dan
persegi. Kedalaman air di sumur berkisar antara 1,0 m sampai dengan 3,0
m. Kedalaman muka air dari muka tanah sekitar 1,50 m.
Sementara kebutuhan listrik pulau Marore dipenuhi oleh listrik PLN yang
menggunakan genset pembangkit yang hanya dinyalakan pada malam
hari dari jam 6 sore hingga jam 12 malam.
Keadaan Sosial Ekonomi
Aspek Sosial: Kesejahteraan
Secara umum berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara dengan
penduduk, kondisi sosial masyarakat pulau Marore dicirikan dengan
kondisi keterbatasan akses terhadap pelayanan sosial ekonomi seperti
pendidikan, kesehatan, listrik, transportasi dan perdagangan. Tingkat
kesejahateraan penduduk pulau Marore secara umum lebih rendah dari
wilayah lain di Kabupaten Kepulauan Sangihe, terutama yang tinggal di
wilayah pulau utama Pulau Sangihe. Hal ini setidaknya ditunjukkan oleh
jumlah keluarga miskin yang mendapatkan bantuan program
penanggulangan kemiskinan, seperti BLT dan raskin dan jamkesmas,
yaitu 60 keluarga dari 135 kepala keluarga di pulau Marore.
Ketertinggalan dan kesenjangan pembangunan dengan wilayah lain
tercermin juga dari keluhan masyarakat yang merasa ditelantarkan oleh
Pemerintah Kabupaten Sangihe. Masyarakat Marore merasa pemerintah
(Pemkab Sangihe) kurang berupaya meningkatkan derajat ekonomi di
daerah perbatasan ini. Beberapa persoalan yang terungkap paling tidak
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 19
dijadikan alasan dibalik keluhan dan kekecewaan masyarakat di pulau
Marore. Usaha penjualan keripik maupun abon, sebenarnya dapat
menunjang perekonomian di Marore, tetapi tidak ada upaya dan program
membantu pengembangan dan pemasaran. Saluran telepon yang hingga
kini dalam keadaan rusak dan hanya dibiarkan oleh Pemerintah Sangihe.
Ketersediaan alat-alat penunjang pendidikan seperti buku, papan tulis dan
kapur tidak sangat terbatas. Keterbatasan obat dan sarana lain di
puskesmas pembantu sangat minim. Termasuk juga penanganan 3 orang
penderita kusta yang ada di pulau Marore yang dilakukan seadanya oleh
tenaga 3 perawat kesehatan yang ada.
Mata Pencaharian
Sebagian besar dari penduduk di pulau Marore bekerja sebagai nelayan.
Hal ini didasarkan atas kondisi geografis wilayahnya yang merupakan
daerah kepulauan. Namun demikian terdapat juga masyarakat yang
memiliki mata pencaharian sebagai petani. Nelayan merupakan pekerjaan
yang utama bagi penduduk di Kampung Marore dalam membiayai
kebutuhan keluarga dan kebutuhan pendidikan. Penangkapan ikan oleh
para nelayan dilakukan oleh suatu tumah tangga sendiri dengan alat-alat
yang disiapkan sendiri walaupun ada aktifitas-aktifitas penangkapan ikan
yang dilakukan oleh kelompok-kelompok.
Mata pencaharian sampingan penduduk Kampung Marore adalah
berkebun dengan tanaman kelapa, cengkeh, mangga, jambu mete, dan
bambu yang umumnya ditanam di perbukitan, sementara lahan datar ada
hanya ditanami dengan umbi-umbian. Di samping itu, ada pula usaha lain
di bidang peternakan yaitu beternak ayam, kambing, babi, dan
sebagainya, tetapi hanya sebagai hewan peliharaan saja.
Walaupun penduduk memiliki mata pencaharian yang bervariasi seperti
nelayan, petani, pegawai negeri, buruh, dan lain-lain. Namun demikian
masyarakat Kampung Marore memiliki suatu kekhususan yakni
masyarakatnya digolongkan masyarakat nelayan.
Hubungan Sosial dengan Filipina
Jauh sebelum perjanjian lintas batas antara pemerintah Indonesia dengan
Filipina dan kemerdekaan yang dicapai oleh kedua negara, penduduk di
kepulauan Sangihe dan Talaud menjalin hubungan dengan penduduk di
Kepulauan Filipina bagian Selatan khususnya di Pulau Balut, Pulau
saranggani, dan Pulau Mindanau. Hubungan ini dapat terjadi karena faktor
geografis yakni jarak yang berdekatan antara beberapa pulau di
perbatasan sangihe dan Talaud dengan Filipina bagian selatan seperti
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 20
antara Pulau Marore dengan Pulau Balut dan Saranggani, antara Pulau
Mianggas dengan St.Agustin yang berjarak ± 40 mil. Sedangkan jarak
Pulau Marore dan Miangas dengan ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe
kurang lebih 3-4 kali lebih jauh.
Selain faktor geografis, hubungan lintas batas antara kedua penduduk di
daerah perbatasan Indonesia dan Filipina disebabkan kepentingan
pemasaran hasil perikanan dan pertanian. Hasil pertanian khususnya
kopra dijual ke Filipina bagian selatan melalui sistem barter dengan
barang-barang keperluan rumah tangga lainnya.
Faktor lain, kondisi tanah pulau-pulau di wilayah ini terdiri atas tanah
karang dan berbatu sehingga gersang dan kurang subur. Pada musim
angin utara dan barat yang dibarengi dengan ombak besar dan arus yang
deras, pada musim angin selatan yang diikuti dengan musim kemarau
mengakibatkan penduduk di perbatasan terutama di pulau Miangas,
Marore, dan Kawio mengalami kekurangan bahan makanan. Untuk
mengatasi hal itu,mereka mengusahakan makanan dari luar.
Akibat intensitas hubungan di wilayah perbatasan kedua negara
berlangsung perkawinan antara penduduk warga negara Indonesia
dengan penduduk warga negara Filipina yang berada di pulau-pulau
perbatasan sehingga terjalin hubungan berdasarkan ikatan kekeluargaan.
Sehingga umum terjadi saling berkunjung di tempat-tempat bersejarah
seperti makam pahlawan dan nenek moyang serta leluhur mereka di
kedua negara.
Dari beberapa faktor yang melatarbelakangi saling berkunjungnya
penduduk di wilayah Sangihe dan Talaud dengan Filipina bagian Selatan,
mengakibatkan ada penduduk yang berasal dari Sangihe dan Talaud yang
telah menetap baik secara tetap maupun musiman terutama di Pulau
Balut dan Pulau Saranggani.
Berdasarkan data tahun data tahun 1980, kurang lebih 40.000 WNI
menetap di wilayah Mindanao, belum termasuk pelintas batas musiman.
Pada tahun 2005, diperkirakan sekitar 25.000 WNI menetap di wilayah
tersebut, dan banyak dari mereka yang telah memiliki anak dan cucu hasil
perkawinan dengan penduduk Mindanao dan pulau-pulau perbatasan.
Ketergantungan Ekonomi dengan Filipina
Perairan di sekitar Pulau Marore dan pulau-pulau sekitar merupakan
perairan yang kaya akan berbagaijenis ikan dan hasil laut yang bernilai
tinggi seperti cakalang, tuna, ikan batu, ikan bobara, kerapu, dan
baronang. Namun Transaksi hasil perikanan nelayan di wilayah
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 21
perbatasan sepenuhnya bergantung dengan penampung dari Filipina.
sepenuhnya dikuasai Filipina. Tidak satupun pengusaha perikanan berasal
dari Indonesia yang melirik hasil tanggapan ikan nelayan di Pulau Marore.
Transaksi penjualan ikan ini sudah berlangsung bertahun-tahun, sejak
pulau Marore ditetapkan sebagai pulau BCA (Border Crossing Agremeent).
Harga ditentukan oleh penampung, nelayan Filipina yang datang
seminggu dua hingga tiga kali dengan membayar ikan segar seperti jenis
ikan bobara, kerapu, dan baronang dengan harga paling tinggi per kg Rp
6000-8000. Umumnya nelayan Filipina itu berasal dari Filipina Selatan,
Pulau Balut dan Batu Ganding. Sebab, jarak tempuh berlayar dari Filipina
Selatan ke Pulau Marore 3-4 jam, sedangkan Marore ke Tahuna, Ibukota
Kabupaten Kepulauan Sangihe bisa mencapai 8-9 jam dengan perahu
nelayan pamboat dalam keadaan cuaca yang baik.
Kesulitan lain yang dialami nelayan di Marore tidak memiliki tempat
penampung ikan hasil tangkapan, sekalipun pemerintah Provinsi Sulawesi
Utara telah berupaya membantu membangun gudang pendingin, tetapi,
ikan yang disimpan dalam gudang tersebut tak bisa bertahan lama karena
es dalam gudang itu cepat sekali mencair, paling lama daya tahannya 5
jam. Sementara es yang dibawah oleh nelayan Filipina bisa bertahan
sampai 15 jam, dan es itupun diberikan cuma-cuma kepada nelayan
Marore.
Menurut Dinas Perikanan Sulawesi Utara, besar kemungkinan para
nelayan Filipina yang beroperasi membeli hasil tanggapan nelayan di
Marore tidak dilengkapi izin. Karena, terhitung sejak Desember 2005 lalu
hubungan kerjasama Filipina dan Indonesia sektor penangkapan ikan
sudah berakhir.
Namun permasalahannya apabila nelayan Filipina dilarang dalam kegiatan
transaksi perikanan di Pulau Marore, dampak buruknya hasil tanggapan
ikan oleh nelayan di Pulau Marore sulit dipasarkan. Sebab, selama ini para
pengusaha perikanan Indonesia sendiri terkesan tak berminat membeli
ikan di nelayan pulau itu. Sebab disamping jaraknya jauh, jumlahnyapun
terbatas.
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 22
4.1.3. Desa Mapur, Kabupaten Bintan
Letak dan Keadaan Umu Lokasi
Desa yang dipilih sebagai lokasi penelitian di Kepulauan Riau adalah desa
Mapur. Letaknya di gugusan luar kepulauan Bintan dan adanya
keterbatasan sarana transportasi menjadi pertimbangan. Selain itu, dari
data yang diperoleh dari Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa
kepulauan Riau, desa ini termasuk desa kategori desa tertinggal dan
masuk juga dalam program Percepatan Pembangunan Desa/Kelurahan
tertinggal tahun 2006, PNPM 2007/2008 dan dikategorikan sebagai
pulau/desa perbatasan.Desa Mapur terletak di gugus luar Kepulauan
Bintan yang berbatasan ke Utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan,
ke Selatan berbatasan dengan Laut Kelong, sebelah Timur dengan Laut
Cina Selatan, dan sebelah Barat dengan Laut Kawal. Desa ini merupakan
gugus kepulauan yang terdiri dari 16 pulau dengan luas total daratan
sekitar 44 km2 (4.400 Ha). Hanya dua diantara gugusan pulau ini dihuni
oleh penduduk desa, yaitu Pulau Mapur dan Pulau Merapas.
Pulau Mapur merupakan pulau terbesar mencakup lebih dari 95 % luas
wilayah daratan Desa Mapur, pulau Merapas yang dihuni oleh 5 KK
merupakan pulau memiliki luas hanya sepersepuluh luas pulau Mapur.
Selebihnya adalah pulau-pulau kecil yang masing-masing seluas 100 m2
hingga 1 Ha.
Tabel 4.10. Pulau-pulau di Kepulauan Desa Mapur
No. Nama Pulau Keterangan
1. P. Mapur Pusat pemukiman
2. P. Merapas Berpenghuni (<5% penduduk desa); Pengambilan telur penyu
3. P. Bayan Tidak dihuni; Kebun kelapa
4. P. Air Tidak dihuni
5. P. Sentut Tidak dihuni
6. P. Jeraha Tidak dihuni
7. P. Larang Tidak dihuni
8. P. Putang Tidak dihuni ;Pengambilan telur penyu
9. P. Berias Tidak dihuni
10. P. Malang Elang Tidak dihuni
11. P. Melibun Tidak dihuni ; Atol karang
12. P. Malang Nangka Tidak dihuni
13. P. Sama Tidak dihuni
14. P. Busung Mentigi (P. Dalas) Tidak dihuni; Pengambilan telur penyu
15. P. Ledang Tidak dihuni; Pengambilan telur penyu
16. P. Gegal Tidak dihuni
Sumber : Wawancara Lapangan
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 23
Demografi
Wilayah Desa Mapur dibagi dalam 2 RW (Kampung Bebak dan kampung
Nendyang), dan 6 RT. Berdasarkan data desa tahun 2007, jumlah
penduduk desa Mapur sebanyak 802 orang, terdiri dari 414 orang laki-laki
dan 388 orang dengan jumlah rumah tangga 180. Pada tahun 2008,
jumlah penduduk desa Mapur mengalami peningkatan menjadi 846 orang,
terdiri dari laki-laki 450 orang, perempuan 396 orang, dengan jumlah
rumah tangga 211.
Perkembangan jumlah penduduk ini, selain disebabkan oleh kelahiran,
terutama akibat perpindahan penduduk ke desa Mapur. Perpindahan
penduduk terdiri dari penduduk Mapur yang pindah di luar desa kembali
ke desa Mapur, penduduk pendatang dan juga adanya penduduk yang
tidak terdata pada tahun sebelumnya, terutama penduduk yang
bermukim sementara di luar desa. Mereka ini terutama penduduk yang
bekerja dan sedang menempuh pendidikan di kota-kota di Pulau Bintan,
seperti di Kijang, Tanjung Pinang dan kota lainnya.
Tabel 4.11. Perkembangan Jumlah Penduduk Desa Mapur Tahun 2007-2008
Tahun Laki-laki
(jiwa)
Perempuan
(Jiwa)
Jumlah
(Jiwa)
Jumlah
KK
2007*) 414 388 802 180
2008**) 450 396 846 211
*) Keadaan Januari 2007 **) Keadaan April 2008
Bila dilihat dari struktur usia , desa Mapur didominasi oleh penduduk usia
muda. Penduduk yang berusia dibawah 10 tahun mencapai 28,37 persen
dari seluruh penduduk, penduduk berusia10-17 tahun mencapai 15,01
persen, usia 18-25 tahun 10,28 persen dan penduduk berusia 26-40
tahun mencakup 27,66 persen. Sementara penduduk yang berusia lebih
dari 40 tahun hanya sekitar 18,68 persen dari jumlah penduduk desa
Mapur. Hal ini berarti ke depannya, akan terjadi pertumbuhan penduduk
yang pesat di desa Mapur. Implikasinya, akan ada tekanan yang lebih
besar pada daya dukung wilayah desa kepulauan ini.
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 24
Tabel 4.12. Struktur Penduduk Berdasarkan Usia Desa Mapur
No. Umur
(Tahun)
Laki-laki Perempuan Jumlah
(Jiwa)
Persentase
(%)
1. 0 - 9 132 108 240 28.37
2. 10 - 17 62 65 127 15.01
3. 18 - 25 43 44 87 10.28
4. 26 - 40 133 101 234 27.66
5. > 40 80 78 158 18.68
Jumlah 450 396 846 100.00
Sumber : Data Desa Mapur, 2008
Salah satu karakteristik yang umum ditemui pada desa tertinggal adalah
tingkat pendidikan yang rendah dari penduduknya. Hal ini juga ditemui di
desa Mapur. Dari pendataan penduduk usia 18-40 tahun, sekitar 79
orang tidak sekolah, atau 24,61 persen dari kelompok usia 18-40 tahun
dan 9,34 persen dari jumlah penduduk desa, dan 39 orang diantaranya
masih buta huruf. Sementara yang tidak tamat SD mencakup 13,08
persen dari kelompok usia 18-40 tahun dan 4,96 persen dari jumlah
penduduk. Penduduk usia 18-40 tahun yang tamat SD sebanyak 160
orang (49,84 persen) atau 18,91 persen dari jumlah penduduk desa.
Penduduk usia 18-40 tahun yang tamat SMP 10 orang (3,12 persen), 1,18
persen dari jumlah penduduk dan tamat SLTA 30 orang (9,35 persen)
atau 3,55 persen dari jumlah penduduk.
Tabel 4.13. Struktur Penduduk Perdasarkan Tingkat Pendidikan
(Usia 18-40 Tahun) Desa Mapur
No. Tingkat Pendidikan Jumlah
(Jiwa)
(%) thd
Usia 18-40
Tahun
(%) thd
Jlh.
Penduduk
1. Tidak sekolah/Buta Huruf 79 24.61 9.34
2. Tidak Tamat SD 42 13.08 4.96
3. Tamat SD 160 49.84 18.91
5. Tamat SLTP 10 3.12 1.18
7. Tamat SLTA 30 9.35 3.55
Jumlah Usia 18-40 Tahun 321 100.00 37.94
Sumber : Data Desa Mapur, 2008
Layaknya wilayah kepulauan, mata pencaharian utama penduduk desa
Mapur adalah sektor perikanan. Sebanyak 199 rumah tangga, 94,31
persen, bekerja sebagai nelayan, 5 rumah tangga (3,32 persen) bekerja
sebagai petani, 7 rumah tangga (3,32 persen) bermatapencaharian
dagang, 4 RMT (1,90 persen) buruh/tukang, sisanya 5 RMT (2,37 persen)
merupakan PNS. Jumlah RMT terdata menurut mata pencaharian adalah
220, atau 104,31 persen dari jumlah rumah tangga, 211 rumah tangga,
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 25
hal ini sebagai menunjukkan adanya sumber mata pencaharian
sampingan yang ditekuni oleh rumah tangga. Rumah tangga tangga
petani dan pedagang umumnya juga melakukan kegiatan perikanan
(nelayan).
Tabel 4.14. Struktur Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Desa Mapur
No. Mata Pencaharian Jumlah (RMT) Persentase (%) thd
Jumlah RMT
1 Nelayan 199 94.31
2 Petani 5 2.37
3 Dagang 7 3.32
4 Buruh/Tukang 4 1.90
5 PNS 5 2.37
6 Lain-Lain -
Jumlah 220 104.27
Sumber: Data Desa Mapur, 2008
Desa Mapur dihuni oleh berbagai kelompok etnis. Dari data tahun 2007,
terdapat 9 kelompok etnis yang mendiami desa kepulauan ini, yaitu
Melayu, Bugis, Flores, Buton, Jawa, Minang, Batak, Bawean dan Tionghoa.
Mayoritas penduduk adalah etnis Melayu, mencakup 66,08 persen dari
jumlah penduduk tahun 2007. Etnis kedua terbanyak adalah Bugis
mencakup 12,29 persen dari penduduk desa, diikuti oleh Jawa, 7,21
persen, Bawean 5,08 persen, Buton 3,55 persen, Flores 2,84 persen,
Tionghoa, 1,54 persen dan Batak 0,35 persen.
Tabel 4.15. Struktur Penduduk Berdasarkan Etnis Desa Mapur
No
.
Etnis Laki-Laki Perempuan Jumlah (Jiwa) Persentase
1 Melayu 290 269 559 66.08
2 Bugis 52 52 104 12.29
3 Flores 19 5 24 2.84
4 Buton 26 4 30 3.55
5 Jawa 24 37 61 7.21
6 Minang 5 4 9 1.06
7 Batak 2 1 3 0.35
8 Bawean 22 21 43 5.08
9 Tionghoa 9 4 13 1.54
Jumlah 449 397 846 100.00
Sumber : Data Desa Mapur, 2008
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 26
Sementara, dilihat dari agama yang dianut oleh penduduk desa, 97,63
persen menganut agama Islam, 1,87 persen beragama Budha (etnis
Tionghoa), dan 0,5 persen penganut Katholik. Secara umum, hubungan
sosial diantara masyarakat dari berbagai etnis dan agama di desa ini
cukup baik.
Tabel 4.16. Struktur Penduduk Berdasarkan Agama Desa Mapur
No. Agama Jumlah (Jiwa) Persentase (%)
1. Islam 783 97.63
2. Kristen Katolik 4 0.50
3. Kristen Protestan - -
4. Budha 15 1.87
5. Hindu - -
802 100.00
Sumber: Data desa Mapur, Januari 2007
Sarana dan Prasarana
Aksesibilitas dan Sarana Transportasi
Desa Mapur berjarak sekitar 16 mil laut dari Kijang, ibukota kecamatan
Bintan Timur, yang merupakan pusat kegiatan administrasi dan ekonomi
terdekat. Tidak ada sarana transportasi rutin yang menghubungkan desa
dengan Kijang atau dengan wilayah pulau-pulau sekitarnya. Untuk
menuju desa, hanya dapat ditempuh dengan menumpang pompong
(sejenis perahu bermotor kecil) yang kebetulan hendak menuju desa
untuk membawa pedagang dan nelayan yang baru belanja atau menjual
hasil tangkapan di Kijang. Kalau tidak harus dengan mencarter pompong
dengan harga yang cukup mahal antara 500-800 ribu pulang pergi. Dan
apabila ombak sedang tinggi, tidak ada perahu yang berani mengarungi
laut menuju desa.
Ketiadaan sarana transportasi yang rutin dan akibatnya, tingginya biaya
transportasi, merupakan hambatan mobilitas penduduk desa Mapur. Hal
ini mengakibatkan lebih mahalnya barang-barang kebutuhan masyarakat
yang didatangkan dari luar desa.
Bagi penduduk desa yang ingin bepergian ke Kijang, penduduk menyewa
pompong secara berkelompok atau menumpang perahu yang sedang
membawa ikan untuk dijual ke tauke di sekitar Kijang. Biasanya mereka
dikenai tarif antara Rp 20-30 ribu sekali jalan. Berkaitan dengan
keterbatasan sarana transportasi ini, penduduk mengusulkan kepada
pemerintah kabupaten Bintan dan kepada PNPM penyediaan pompong.
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 27
Sebagai ”pelabuhan” utama, di desa Mapur (di Pulau Mapur), terdapat
jalur tambatan perahu sepanjang 500 meter menjorok dari bibir pantai
menuju gapura sebagai gerbang utama desa. Tetapi pada masing masing
cluster rumah yang ada dipantai memiliki tambatan atau ”labuhan”
sendiri-sendiri.
Gambar 4-4. Pemukiman Masyarakat Nelayan Desa Mapur
Menjorok ke Pantai dengan Lajur Tambatan Perahu
Sementara di dalam pulau utama, pulau Mapur, penduduk dengan cukup
mudah menempuh dari satu sisi pulau ke sisi lainnya dengan berjalan
kaki. Namun demikian terdapat juga 12 sepeda motor dan 40 sepeda di
desa. Kedua jenis sarana ini dipakai juga sebagai sarana transportasi
lanjutan di daratan pulau Bintan dengan menumpankannya pada perahu
menuju Kijang.
Sarana- Prasarana Pendidikan dan Kesehatan dan Sosial Lainnya
Sarana pendidikan yang ada di desa Mapur 1 SD Negeri, dan 1 SMP
terbuka. Sebagian penduduk yang kemampuan ekonominya relatif lebih
baik, memilih menyekolahkan anak setelah lulus SD ke Kijang, ibukota
kecamatan Bintan Timur, yang berjarak sekitar 16 mil laut. Penduduk
yang kurang mampu akan menyekolahkan anaknya ke SMP terbuka yang
ada di desa. Untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTA, tidak ada
pilihan selain menyekolahkan anaknya ke Kijang. Anak yang sekolah di
Kijang atau di kota sekitarnya harus menetap di lokasi sekitar sekolah,
karena jarak dan tidak ada sarana transportasi yang rutin ke wilayah
kepulauan Mapur.
Sebagai pusat pelayanan kesehatan desa, terdapat 1 puskemas
pembantu, yang baru berdiri kurang dari satu tahun yang kadang
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 28
dikunjungi dokter PTT secara tidak teratur. Pelayanan kesehatan di desa
pada dasarnya berpusat pada kehadiran seorang bidan desa dan poliklinik
desa (polindes) yang melayani tidak hanya masalah kesehatan ibu dan
anak tetapi juga masalah-masalah kesehatan lainnya. Sarana pelayanan
kesehatan lain adalah pelayanan pos yandu yang dikelola oleh wanita
desa sendiri dengan bimbingan dari bidan desa.
Gambar 4-5. Bangunan Pos Yandu “Nyiur Melambai” di Desa Mapur
Sarana Perdagangan
Untuk mendapatkan kebutuhan barang sehari-hari, di desa terdapat 7
warung yang menjual berbagai barang dari kebutuhan rumah tangga,
bahan bakar bahkan air galon yang semuanya didatangkan dari Kijang.
Sesekali datang juga pedagang keliling yang menjajakan berbagai
keperluan seperti pakaian, peralatan dapur dan barang lain. Dalam skala
yang kecil terdapat 2-3 orang nelayan yang cukup sejahtera yang
bertindak sebagai tengkulak bagi hasil-hasil perikanan dari nelayan kecil.
Kelembagaan Masyarakat Desa
Kelembagaan Sosial Kemasyarakatan
Kelembagaan sosial yang cukup kuat dalam kehidupan sosial masyarakat
desa adalah pemerintahan desa. Selain itu terdapat Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Badan Perwakilan desa yang
menjadi bagian dari system pemerintahan desa. Secara umum tingkat
partisipasi masyarakat desa dalam kegiatan sosial dan perencanaan
pengembangan desa cukup tinggi. Dalam perencanaan dan pengambilan
keputusan program desa dilakukan juga rapat yang melibatkan tidak
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 29
hanya pengurus BPD dan LPMD tetapi juga menyertakan utusan
masyarakat desa.
Salah satunya, berkaitan dengan keluhan dan keresahan masyarakat soal
pengambilan kayu hutan dan mangrove yang telah sampai pada tingkat
mengkhawatirkan, melalui rapat desa yang dirumuskan dalam rapat
lembaga pemerintahan desa telah dikeluarkan Surat Keputusan Kepala
Desa yang melarang penebangan kayu baik oleh pengusaha ataupun
perorangan. Pengelolaan genset sebagai sumber listrik penduduk desa
berjalan dengan cukup baik melalui pengelolaan masyarakat desa.
Melalui rapat desa telah dibentuk pengurus yang bertugas dalam
pengelolaan operasi genset bantuan dari PT. Aneka Tambang. Tahun
2006, oleh PT. Aneka Tambang memberikan bantuan genset untuk
sumber tenaga listrik di desa Mapur berdaya sekitar 5.000 Volt Amperet
(Watt), yang dapat dapat menjangkau 93 rumah (KK) dengan daya
masing-masing rumah maksimal sekitar 450 Watt yang beroperasi dari
pukul 18.00 sampai 22.00. Tahun 2008, oleh PT. Aneka Tambang daya
genset ditambah menjadi 10.000 watt dan dapat mengalirkan tenaga
listrik untuk 125 pelanggan (rumah tangga) dengan daya sekitar 4
ampere (sekitar 900 watt). Sekitar 13 rumah yang tidak mampu
membayar iuran mendapat sambungan dari pelanggan,sehingga total
genset melayani 138 rumah. Setiap rumah dikenakan iuran listrik sebesar
Rp 93.000 per bulannya.
Pengurus pengelola genset terdiri dari ketua, bendahara dan operator
sebagai pengurus tetap dan tenaga pembantu teknis yang tenaganya
dapat dipakai sewaktu-waktu. Ketua bertanggung jawab terhadap
pengelolaan dan bertugas dalam pembelian bahan bakar. Bendahara
mengurus penagihan iuran, operator bertugas untuk menghidupkan dan
mematikan mesin setiap waktu yang telah disepakati dan memantau
jalannya mesin, dan tenaga pembantu teknis membantu operator dalam
pemeliharaan dan perbaikan mesin apabila dibutuhkan. Setiap bulannya,
pengurus mendapatkan honor yang jumlah ala kadarnya, ketua mendapat
honor Rp 100.000, bendahara Rp 100.000, operator karena bertugas lebih
banyak mendapatkan honor Rp 300.000, dan pembantu teknis diberikan
honor berdasarkan keperluan sesuai dengan bantuan yang diberikan.
Namun ditemui juga kasus ,dimana proses pelibatan masyarakat yang
cukup baik tidak diikuti pengambilan keputusan yang mencerminkan
kebutuhan masyarakat desa. Dalam pembangunan sarana pompa dan
penampungan air bersih, bantuan dari program COREMAP tahun 2007,
penentuan lokasi sumber air bersih pada lokasi dimana air berasa payau
membuat dana pembangunan intalasi ini mubazir karena air tidak dapat
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 30
dimanfaatkan masyarakat untuk air minum. Padahal di desa terdapat
titik-titik sumber air tawar yang berjarak tidak terlalu jauh dari pusat
pemukiman.
Kelembagaan masyarkat lain yang terdapat di desa adalah kelompok
pengajian, himpunan nelayan dan pengurus mesjid.
Kelembagaan Ekonomi
Tidak terdapat pasar di desa, pasar terdekat berada di Kijang,ibukota
kecamatan Bintan Timur. Semua kebutuhan barang didatangkan dari
Kijang. Dengan adanya tambahan biaya transportasi yang cukup besar
mengakibatkan harga-harga di desa lebih tinggi dari Kijang. Bank, kantor
pos dan sarana pendukung ekonomi lainnya terdapat di Kijang.
Pada tingkat desa, terdapat lembaga keuangan mikro berupa kelompok
simpan pinjam ibu-ibu yang dinamai “Koperasi PKK”. Walaupun diberi
nama Koperasi, kelompok ini belum berebentuk koperasi. Kelompok ini
beranggotakan 60 orang wanita ibu rumah tangga. Modal yang dikelola
oleh kelompok saat ini berkisar Rp 25.000.000 yang bergulir dalam
bentuk pinjaman anggota dengan maksimal pinjaman Rp 2 juta. Biaya
pinjaman ditetapkan 5 persen setiap bulannya. Mekanisme pinjaman dan
cicilan diatur dengan cara yang fleksibel. Tingkat perguliran dan
pengembalian dana pinjaman cukup tinggi. Bahkan kelompok ini
mengharapkan adanya bantuan permodalan untuk dapat memenuhi
kebutuhan anggotanya. Selain itu kelompok juga membina pembuatan
kerupuk, abon ikan dan kue kering. Produk kerupuk “Cahaya Mapur”
telah dikenal dan dipasarkan di Kijang. Pinjaman dana kelompok
umumnya digunakan untuk usaha kecil rumah tangga dan dana mendesak
seperti biaya sekolah, biaya perbaikan rumah dan pengobatan.
Tahun 2008 ini, oleh program PNPM dibentuk satu kelompok UEP Kenanga
yang beranggotakan 10 orang dengan dana yang dikelola Rp 10 juta.
Dana bergulir ini telah habis dibagi oleh 10 anggota kelompok yang
digunakan untuk usaha pembuatan kerupuk, warung, dan biaya sekolah.
Direncanakan akan dibentuk 2 kelompok lagi.
Sementara dalam kegiatan perikanan ditemui adanya hubungan ekonomi
antara nelayan desa dengan tauke berupa hubungan permodalan.
Umumnya nelayan desa Mapur (juga desa-desa lain di sekitar) adalah
nelayan dengan modal kecil. Armada tangkap yang dipakai adalah
perahu motor kecil dengan daya paling besar 22 PK, sebagian lagi
menggunakan perahu motor yang lebih kecil dan sampan tanpa mesin.
Untuk melengkapi armada dan memenuhi kebutuhan logistik dan
kebutuhan hidup nelayan bergantung pada “kesediaan” tauke untuk
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 31
memberikan pinjaman modal kerja. Sebelum melaut, seluruh kebutuhan
logistik dipenuhi oleh tauke yang nantinya akan diperhitungkan dari hasil
penjualan ikan. Apabila hasil tangkapan tidak mencukupi pembayaran
pinjaman, maka sisa pinjaman akan diperhitungkan sebagai hutang yang
akan dibayar pada periode melaut berikutnya. Dan pola ini berlangsung
berulang sehingga membuat semacam ikatan ketergantungan nelayan
terhadap tauke berupa kewajiban untuk menyetorkan hasil tangkapan
pada satu tauke yang telah memberikan mereka pinjaman.
Umumnya tauke-tauke penampung hasil perikanan di sekitar Bintan Timur
(Kijang) adalah warga Singapura atau yang memiliki hubungan dagang
langsung dengan Singapura.
Ada kebiasaan yang makin melanggengkan hubungan ini yang dikenal
dengan istilah masyarakat setempat sebagai “hutang buang laut”. Istililah
ini bermakna penghapusan hutang yang oleh tauke dipandang tidak
terlalu besar yang biasanya dilakukan pada hari raya Imlek.
Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam
Potensi sumber daya laut dan pesisir di wilayah perairan sekitar
kepulauan Desa Mapur cukup melimpah, hamparan terumbu karang di
wilayah ini cukup luas dan kaya akan berbagai jenis ikan dan biota laut
lainnya. Pulau ini juga mempunyai pantai yang cukup indah dan
berpotensi untuk dikembangkan sebagai aset wisata. Selain itu, Pulau
Mapur juga menyimpan potensi sumber daya alam wilayah daratan
berupa hutan dan ladang perkebunan kelapa dan cengkeh.
Kepulauan Mapur yang kaya akan potensi sumber daya laut yang bernilai
ekonomi tinggi menjadi wilayah tangkap nelayan-nelayan dari berbagai
daerah di Kabupaten Kepulauan Riau, bahkan nelayan dari Thailand dan
Philipina. Sebagai daerah tangkapan nelayan dari berbagai wilayah,
perairan Desa Mapur rawan terhadap penggunaan jenis-jenis alat tangkap
yang merusak (bom, potas dan trawl). Di samping itu, karena letaknya di
jalur pelayaran internasional perairan Desa mapur juga rawan terhadap
terjadinya pencurian ikan.
Sebagai wilayah kepulauan kehidupan penduduk Desa Mapur bertumpu
pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Sekitar 94 persen dari
rumah tangga bermata pencaharian sebagai nelayan penangkap ikan.
Armada penangkapan penduduk setempat umumnya sejenis pompong
kecil bermesin 22 PK dan perahu sampan. Dengan armada tangkap yang
kecil, daya jangkau dan kemampuan nelayan penduduk desa Mapur dan
sekitarnya terbatas hanya pada perairan sekitar kepulauan Mapur. Pada
musim utara yaitu pada bulan November – Januari biasanya angin bertiup
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 32
kencang dan ombak cukup tinggi, nelayan Mapur hanya beroperasi sekitar
pesisir kepulauan. Pada musim seperti ini, mobilitas penduduk ke Kijang
juga berkurang.
Selain penangkapan ikan, pada bulan Mei – September, sebagian dari
penduduk desa memungut telur penyu pada pulau-pulau di desa Mapur.
Terdapat 4 pulau yang menjadi tempat bertelur penyu. Kegiatan ini
dilakukan hanya sebagai mata pencaharian sampingan dan kelihatannya
pengambilan telur penyu belum pada tingkat yang membahayakan
kelestarian penyu di wilayah ini.
Walaupun memiliki potensi pengembangan yang masih cukup luas,
pertanian belum dikembangkan menjadi usaha tani yang intensif.
Budidaya tanaman pangan dan hortikultura dilakukan dalam bentuk yang
sangat sederhana dan seadanya. Dari FGD, menurut penduduk desa
gangguan hama babi, monyet dan tupai menjadi kendala dalam budidaya
pertanian,selain juga harga-harga faktor produksi seperti pupuk dan
bibit/benih. Namun kelihatannya, persoalan utamanya bersumber dari
belum tumbuhnya budaya bercocok tanam, karena kebutuhan masih
dapat diperoleh dari laut.
Beberapa isu pokok yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya
alam di kepulauan dan perairan sekitar Pulau Mapur diantaranya adalah:
Pertama, peningkatan pemanfaatan sumber daya alam (pesisir, laut dan
daratan) di wilayah Mapur mulai mengancam kelestarian potensi sumber
daya laut, termasuk terumbu karang yang ada di Desa Mapur. Kondisi
terumbu karang telah mengalami kerusakan. Hasil studi dari P2O-LIPI
tahun 2004 dan studi yang dilakukan COREMAP 2006 serta pengamatan
nelayan setempat menunjukkan bahwa di beberapa tempat terumbu
karang telah mengalami kerusakan yang parah.
Penggunaan bom, bius/potas dan beroperasinya trawl dalam menangkap
ikan diklaim sebagai penyebab utama kerusakan terumbu karang di
perairan Mapur. Penggunaan bom masih tetap berlangsung meskipun
telah berkurang intensitasnya sejak akhir tahun 1990-an. Kegiatan
penangkapan ikan hidup dengan menggunakan bius/potas dengan
memakai kompresor yang umumnya dilakukan oleh pengusaha bermodal
besar masih berlangsung. Kegiatan ini makin marak karena permintaan
pasar internasional terhadap ikan hidup yang cukup tinggi. Sementara itu,
nelayan lokal mulai intensif menangkap ikan hidup dengan menggunakan
bubu. Dalam lima tahun terakhir penggunaan bubu oleh nelayan Desa
Mapur meningkat cukup tajam. Penggunaan bubu yang intensif dan
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 33
massive ini dalam jangka panjang dikhawatirkan juga akan merusak
terumbu karang.
Selain terumbu karang, potensi sumber daya pesisir Desa Mapur yang
sudah berkurang karena eksploitasi berlebih adalah hutan mangrove.
Sebelum dieksploitasi, seluruh pantai Pulau Mapur dikelilingi oleh hutan
mangrove. Pada saat ini mangrove hanya dapat ditemui di pantai sebelah
Timur dan beberapa tempat yang kondisinya sudah menipis. Kayu
mangrove oleh penduduk setempat digunakan untuk membuat arang. Di
desa dapat ditemui tungku pembakaran arang kayu mangrove yang sudah
tidak dioperasikan karena ketersediaan bahan baku yang sudah menipis.
Bersamaan dengan eksploitasi mangrove, hutan yang ada di Pulau Mapur
juga sudah mengalami penggundulan karena pembalakan yang dilakukan
oleh para pengusaha kayu. Rusaknyan eksosistem mangrove di
kepulauan desa ini telah mulai berakibat pada ancaman abrasi pantai di
desa Mapur. Kekhawatiran ini juga disuarakan oleh penduduk pada FGD
yang dilaksanakan di kantor desa Mapur.
Kedua, penggunaan berbagai jenis alat tangkap yang merusak dalam
pemanfaatan sumber daya laut berpotensi menimbulkan konflik. Konflik
dalam pemanfaatan sumberdaya laut antara nelayan lokal dengan nelayan
pendatang yang menggunakan bom, bius dan trawl sudah mulai timbul.
Penggunaan bom yang umumnya dilakukan oleh nelayan dari luar desa
telah menimbulkan keresahan nelayan lokal. Selama ini nelayan lokal
telah berpartisipasi melakukan pengawasan dengan melapor kepada
petugas keamanan laut (KAMLA) jika melihat kegiatan pengeboman.
Karena melakukan pelaporan ini masyarakat Desa Mapur sering mendapat
ancaman dari para pengebom. Konflik antara nelayan lokal dengan
pengusaha trawl terjadi karena kapal-kapal trawl yang beroperasi di
wilayah perairan Mapur sering menabrak rumpon-rumpon milik nelayan
lokal. Sementara itu, peningkatan penggunaan bubu yang cukup tajam,
terutama pada musim angin Timur berpotensi menimbulkan konflik
wilayah tangkap di antara nelayan lokal. Pada saat ini, konflik tersebut
belum muncul. Akan tetapi dengan semakin tingginya persaingan untuk
mendapatkan hasil tangkapan, di masa datang potensi konflik wilayah
tangkap kemungkinan bisa terjadi.
Selain konflik berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut, konflik
internal juga terjadi dalam pemanfaatan sumber daya alam di darat.
Hutan di Pulau Mapur telah rusak dikarenakan pembalakan yang
dilakukan oleh penguasaha maupun oknum masyarakat. Upaya
penyelamatan hutan sudah dilakukan, diantaranya adalah adanya Surat
Keputusan Kepala Desa yang melarang penebangan kayu baik oleh
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 34
pengusaha ataupun perorangan. Lemahnya pengawasan dan tidak
konsistennya aparat dalam menerapkan aturan tersebut telah
menimbulkan konflik antara penduduk desa dengan pengusaha
penebangan kayu dan oknum perambah hutan lainnya.
Ketiga, pemanfatan sumberdaya laut Desa Mapur oleh masyarakat Desa
belum mempunyai dampak yang signifikan terhadap peningkatan
kesejahteraan penduduk. Secara umum potret kesejahteraan penduduk
Desa Mapur masih memprihatinkan. Rata-rata pendapatan rumah tangga
penduduk Desa Mapur sekitar Rp 720.000. Seperti kehidupan nelayan
pada umumnya di mana pendapatan masyarakatnya tidak menentu dan
sangat tergantung sekali pada musim. Pendapatan penduduk Desa Mapur
sangat tidak menentu, pada musim ikan rata-rata pendapatannya sekitar
Rp. 1.507.000 per bulan. Sebaliknya pada musim paceklik (kurang ikan)
pendapatannya hanya sekitar Rp 201.000 per bulan. Pada musim sulit
ikan tidak jarang rumah tangga nelayan berhutang pada tauke untuk
memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya. Sebaliknya, pada musim banyak
ikan di mana pendapatan mereka meningkat mereka tidak menyisihkan
penghasilannya untuk ditabung yang dapat digunakan menutupi
kebutuhan hidup di masa paceklik. Dari segi pendidikan, mayoritas
penduduk masih berpendidikan SD ke bawah dan keterampilan yang
dimiliki umumnya juga terbatas pada jenis-jenis keterampilan yang
berkaitan dengan kegiatan kenelayanan.
Keempat, rencana pengembangan wilayah Bintan sebagai kawasan
pariwisata telah mendorong pengusaha-pengusaha nasional dan dari
negara tetangga untuk berinvestasi di wilayah ini. Model pengembangan
wisata bahari yang menjual pesona laut dan pulau telah menjadikan
wilayah kepulauan Bintan (dan Kepualaun Riau) menjadi kavling-kavling
pengusaha besar. Di desa Mapur sendiri, semenjak tahun 1997 telah
terjadi perpindahan hak kepemilikan tidak kurang dari 700 ha lahan darat
kepulauan kepada investor. Namun sampai saat ini lahan tersebut belum
dikembangkan dan menjadi lahan yang tidak dapat dimanfaatkan oleh
penduduk setempat.
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 35
4.2. TELAAH POTENSI DAN PERMASALAHAN WILAYAH TERTINGGAL
Telaah terhadap potensi dan permasalahan dilihat dari aspek kewilayahan
dan persoalan ketertinggalan dan kemiskinan di tingkat desa. Dalam
tingkat strategi dan kebijakan, pembangunan wilayah tertinggal berbeda
dengan penanggulangan kemiskinan. Penanggulangan kemiskinan
ditujukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga
melampaui garis kemiskinan. Pembangunan wilayah tertinggal juga
bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun dengan
fokus wilayah yang terisolir, tertinggal, terpencil dan masyarakatnya
miskin. Telaah terhadap potensi dan masalah pada ketiga desa,
selanjutnya dikembangkan ke tingkat wilayah, didekati dari pengertian di
atas tersebut.
Berdasarkan data status Kabupaten perbatasan dari Kementerian
Pengembangan Daerah Tertinggal tahun 2007, dari tiga kabupaten yang
menjadi lokasi studi, Kabupaten Bintan tergolong sebagai kabupaten yang
sudah sangat maju, sementara kabupaten Kepulauan Sangihe tergolong
maju. Akan tetapi kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) digolongkan
sebagai kabupaten sangat tertinggal.
Sementara dilihat dari tingkat kersejahteraan penduduk, dengan mengacu
pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masing-masing wilayah
diperoleh gambaran perkembangan ketiga wilayah. Berdasarkan data
dathun 2006, Kabupaten Kepulauan Sangihe memiliki IPM 73,4 urutan ke
4 Provinsi Sulut dan 64 dari sekitar 400 kabupaten/kota di Indonesia.
Untuk tingkat provinsi, Suluwesi Utara berada pada urutan ke 2 nasional
dengan IPM 74,8. Kabupaten Bintan memiliki IPM 70,9 berada pada
urutan ke 4 dari 6 kabupaten/kota di Provinsi Kepulauan Riau dan urutan
137 untuk tingkat kabupaten/kota secara nasional. Sementara Propvinsi
Kepulauan Riau berada pada urutan ke 7 tingkat provinsi secara nasional.
Provinsi NTT dengan IPM 64,8 berada pada urutan ke 31 dari 33 provinsi
di Indonesia. Gambaran yang kurang lebih sama untuk kabupaten TTU.
Artinya, dari sisi pembangunan manusia, yang dilihat dari tingkat
kesejahteraan yang meliputi aspek pendidikan, kesehatan dan
pendapatan, Kabupaten Kepulauan Sangihe lebih sejahtera dari
Kabupaten Bintan, dan kabupaten TTU terburuk dari ketiganya.
Gambaran tingkat wilayah ini kita menjadi titik tolak telaah terhadap
kondisi wilayah desa tertinggal pada masing-masing kabupaten. Dari
aspek pembangunan dan pengembangan wilayah secara umum Tabel
4.17. menunjukkan ketimpangan pembangunan pada ketiga desa
(wilayah) yang menjadi lokasi studi.
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 36
Tabel 4.17. Matriks Gambaran Umum Keadaan Wilayah Ketiga Lokasi Studi
Wilayah/desa Pusat Kegiatan
Ekonomi dan
Administrasi
Type
Wilayah
Aksesibilitas
(Transportasi)
Keterkaitan
dengan Pusat
Kegiatan
Ekonomi
Lokal
Keterkaitan
dengan Pusat
Kegiatan
Ekonomi
Negara
Tetangga
Potensi
Wilayah
Mata
Pencaharian
Utama
Wilayah
Perbatasan RI-
Filipina,
Kepulauan
Sangihe
Tahuna (Ibukota
Kabupaten); Manado
(Ibukota Propinsi);
Bitung (Perlabuhan
Utama), Mindanao
Kepulauan
terluar,
sangat
terpencil
Reguler, jarang:
Sulit/Biaya
Tinggi,
tergantung
cuaca,
Rendah,
aksesibilitas
rendah dan
biaya tinggi
Tinggi,
aksesibilitas
lebih lancar;
pemasaran
hasil perikanan
dan pertanian
Potensi
perikanan tinggi
Perikanan
Wilayah Pulau-
Pulau Terluar,
Bintan
Kijang (Ibukota
Kecamatan), Tanjung
Pinang, Batam dan
Singapura.
Kepulauan,
terpencil
Tidak reguler;
tersedia
cukup/biaya
tinggi
Tinggi,
aksesibilitas
Tinggi Potensi
perikanan
tinggi, potensi
wisata tinggi,
pertambangan
cukup tinggi
(bauksit, pasir)
Perikanan
Wilayah
Perbatasan RI-
Timor Leste,
TTU
Kefamenanu Daratan,
berbukit-
bukit,
tandus,
cukup
terpencil
Relatif
lancar/reguler,
biaya rendah
Tinggi Sangat rendah Potensi
pertanian
rendah,
pertambangan
diperkirakan
cukup tinggi.
Pertanian
lahan kering
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 37
Dari simpulan yang ditunjukkan dalam Tabel 4.17., potensi dan
permasalahan perkembangan wilayah secara umum yang dihadapi oleh
masing-masing desa (wilayah) adalah sebagai berikut:
1. Pulau Marore dan pulau terluar dan terpencil di perbatasan RI-Filipina
Sebagai pulau-pulau terpencil dan berada di perbatasan, walapupun
memiliki potensi perikanan yang cukup tinggi, dengan aksesibilitas
yang sulit, perekonomian wilayah tertinggal dari wilayah-wilayah di
pulau utama dan daratan utama Sulawesi Utara. Potensi perikanan
dan potensi daratan dengan tanaman kelapa dan tanaman keras
lainnya, kebutuhan ekonomi dasar dapat dipenuhi dengan cukup
memadai, namun pengembangan ekonomi yang lebih maju
terkendala pemasaran dan akses terhadap sarana ekonomi lainnya.
Ketergantungan ekonomi dengan Mindanao, dalam sudut pandang
nasional dapat merugikan namun dalam pengembangan ekonomi
lokal justru menguntungkan.
2. Desa Mapur dan pulau-pulau terpencil di kabupaten Bintan dan Kepulauan Riau
Wilayah ini berada pada segitiga pertumbuhan ekonomi paling
pesat di Asia Tenggara. Interaksi perdagangan antara warga ketiga
negara, terutama yang digerakkan oleh keturunan Cina menjadi
factor pendorong perkembangan. Wilayah ini juga diproyeksikan
menjadi kawasan industri terpadu dan resort wisata bertaraf
internasional. Manfaat perkembangan ini dirasakan juga oleh
penduduk Mapur yang mayoritas nelayan. Secara ekonomi
masyarakat Mapur memiliki potensi pengembangan yang sangat
besar. Kendala yang dihadapi adalah sulitnya sarana transportasi
regular yang menghubungkan mereka dengan wilayah sekitar.
Dalam hal pemasaran hasil perikanan tidak menemui kesulitan,
karena telah tercipta pola hubungan nelayan dengan tauke yang
telah berjalan puluhan tahun.
Namun dengan keterbatasan kapasitas dan daya armada
penangkapan nelayan di wilayah ini sangat tergantung kepada pola
ketergantungan yang diciptakan oleh system tauke yang ada.
Permasalahan potensial yang akan dihadapi terkait dengan rencana
pengembangan resort wisata, terutama di pulau-pulau kecil di
Bintan (Mapur dan sekitarnya), tersingkirnya masyarakat sebagai
“pemilik” wilayah pulau-pulau mereka. Gejala ini telah mulai
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 38
kelihatan terutama di Mapur, sekitar 700 ha dari wilayah kepulauan
yang kecil ini telah dikuasai oleh pemodal.
Permasalahan lain adalah kegiatan penambangan pasir laut dan
darat serta bauksit yang telah berlangsung lama di wilayah ini telah
mengakibatkan kerusakan pada wilayah daratan dan laut yang
mengakibatkan kerapuhan wilayah pulau-pulau lebih lanjut. Daya
dukung pulau-pulau kecil yang sangat terbatas akan
membahayakan di masa depan apabila kebijakan penambangan
tetap berlangsung seperti saat ini.
Dalam hal perikanan, bebasnya nelayan-nelayan asing, atau
nelayan besar yang dimodali asing dan pemodal lainnya akan
mengurangi kesempatan nelayan kecil untuk berkembang.
Maraknya praktek pemboman ikan dan penggunaan trawl telah
mulai berakibat berkurangnya hasil tangkapan ikan nelayan-
nelayan kecil. Selain itu, pemanfaatan dan perusakan mangrove
yang ditemui di Mapur dan pulau-pulau lainnya menjadi ancaman
kelangsungan hidup masyarakat di pulau-pulau kecil.
Secara umum, wilayah Mapur dan pulau-pulau terpencil lainnya
berpotensi besar. Ancaman terbesar yang mereka hadapi justru
berasal dari pengembangan wilayah itu sendiri, yaitu pengembanga
industri pertambangan dan pariwisata serta persaingan yang tidak
seimbang dengan nelayan besar. Dan tentu saja hubungan
ketergantungan dengan tauke.
3. Desa Tes dan wilayah perbatasan RI-Timor Leste di TTU
Dari sudut pandang pengembangan wilayah, kombinasi yang
ditemui dari berbagai faktor di desa Tes dan wilayah perbatasan
dengan Timor Leste, tidak menyediakan banyak pilihan dalam
pengembangan. Sebagai perbatasan yang menuai berbagai
persoalan dari kekisruhan Timor Leste, ditambah dengan kondisi
alam dan sosial budaya setempat, pengembangan kebutuhan
dasar dan sarana-prasarana pendukung menjadi realistis.
Wilayah dimana penyediaan sumber kehidupan yang hakiki masih
menjadi persoalan klasik, yaitu pangan dan air, pengembangan
pola pertanian yang benar-benar berkelanjutan dan dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat setempat tidak hanya pada
musim hujan menjadi benar-benar dibutuhkan.
Ppotensi tambang ditengarai terdapat cukup besar di wilayah ini,
walaupun saat ini masih pada tahap eksplorasi awal. Namun
menjadi pertanyaan besar, apabila potensi pertambangan benar-
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 39
benar aktual bagaimana dampaknya terhadap masyarakat
setempat.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari gambaran umum ketiga wilayah diatas
adalah : Keterpencilan dan aksesibilitas menjadi hambatan utama bagi
dua wilayah kepulauan yaitu pulau-pulau kecil di kabupaten Bintan
(Kepulauan Riau) dan pulau-pulau terluar di kabupaten Kepulauan
Sangihe. Potensi perikanan dan keuntungan dari kemudahan pemasaran
hasil perikanan dialami oleh nelayan pulau Mapur dan sekitarnya. Namun
mengalami hambatan transportasi namun lebih ke mobilitas penduduk
dan distribusi kebutuhan pokok. Sementara pulau Marore dan sekitarnya
mengalami persoalan kesulitan aksesibilitas baik secara ekonomi dan
maupun sosial. Ketergantungan perdagangan dengan Filipina pada
dasarnya menempatkan mereka lebih sebagai subordinatt. Wilayah
perbatasan TTU dengan Timor Leste memiliki karakteristik yang jauh
berbeda dengan dua wilayah kepulauan di atas. Faktor-faktor iklim dan
topografi berbukit dengan tingkat kesuburan tanah yang rendah menjadi
salah satu faktor penghambat di wilayah ini. Kelangkaan sumberdaya dan
rendahnya tingkat pendidikan ditambah dengan aspek budaya yang lebih
menjadi penghambat ketimbang menjadi pendukung.
Dengan gambaran keadaan tiga wilayah di atas, gambaran yang lebih
lengkap diperoleh dengan menelaah derajat keterpenuhan kebutuhan
penduduk pada tingkat desa (Tabel 4.8). Secara umum keterpenuhan
kebutuhan dasar pada ketiga desa relatif rendah, namun dengan tingkat
yang berbeda. Kecukupan pangan dapat dipenuhi secara memadai di
Marore dan Mapur, dipengaruhi oleh ketersediaan sumber alam di kedua
wilayah desa yaitu perikanan. Ketersediaan pangan bermakna adanya
pendapatan yang dapat dipergunakan secara berkelanjutan untuk
memenuhi kebutuhan dasar hidup seperti beras, bahan bakar dan
pendukung pangan lainnya. Selain itu tersedia ikan dan hasil laut yang
lain yang cukup melimpah setidaknya untuk dikonsumsi sendiri.
Sementara di TTU, terdapat kondisi ketidakpastian sepanjang tahun dari
hasil pertanian setempat. Musim kemarau yang lebih panjang dari
biasanya sudah cukup mengancam tidak saja pendapatan tetapi
kebutuhan bahan makanan dasar. Komoditi pertanian pangan seperti
jagung, padi dan ubi-ubian secara ekonomis juga tidak memiliki nilai tukar
yang memadai untuk menunjang kebutuhan lain. Walaupun setiap rumah
tangga memelihara hewan ternak seperti babi, sapi, ayam dan kambing,
budidayanya masih sangat subsisten.
Ketersediaan air bersih menjadi masalah bagi penduduk ketiga wilayah.
Di desa Mapur, tersedia sumber air bersih yang cukup namun kualitasnya
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 40
umumnya tidak layak minum. Terdapat sumber air minum yang baik
tetapi terbatas. Di desa ini sebenarnya telah dibangun sarana
penampungan dan kran air bersih namun perencanaan dan penempatan
pada lokasi sumber air payau mengakibatkan fasilitas ini tidak
dimanfaatkan. Persoalan yang sama ditemui juga di Marore. Sementara
di Tes, kelangkaan air menjadi masalah yang sangat mendasar terutama
pada musim hujan.
Terdapat dua type pemukiman di Mapur, pemukiman darat dan
pemukiman yang menjorok ke laut. Kondisi pemukiman penduduk di
darat lebih bersih, sementara pemukiman yang menjorok kelaut walaupun
kelihatan lebih bagus tapi kelihatan kumuh. Pemukiman di Marore
umumnya berada ditepi pantai, tetapi berbeda dengan Mapur, di Marore
terdapat ruang kosong pantai antara laut dengan pemukiman. Rumah
penduduk umumnya telah berbahan beton dan kayu namun kelihatan
kurang bersih dan tidak terawat. Sementara di Tes, pemukiman
didominasi rumah dengan dinding pelepah lontar dan atap rumbia, ilalang
dan lontar.
Tabel 4.18. Matriks Keterpenuhan Kebutuhan Dasar
Wilayah/ Desa
Pangan Air Bersih Perumahan Listrik Kesehatan Pendidikan
Marore Ketersediaan
pangan cukup,
terutama
sumber protein
(ikan); bahan
pangan lain
didatangkan
dari luar pulau
Tersedia
cukup,
kualitas
kurang
Secara umum
kualitas
perumahan
kurang baik
Dipenuhi
pembangkit
PLN di tingkat,
diakses kurang
dari 50%
(hanya menyala
malam dari)
Tidak ditemui
masalah
kesehatan
yang serius;
fasilitas
puskesmas
pembantu
SD, SMP
(tingkat
partisipasi
pendidikan
cukup
tinggi,angka buta
aksara rendah)
Mapur Ketersediaan
pangan cukup,
terutama
sumber protein
(ikan); bahan
pangan lain
didatangkan
dari luar pulau
Tersedia
cukup,
kualitas
kurang baik
untuk
diminum;
Secara umum
kualitas
perumahan
cukup baik,
tetapi rentan
terhadap
gelombang
Tersedia dari
genset bantuan
dana CSR;
diakses lebih
dari 50%;
hanya menyala
pada malam
hari
Malaria
(endemik),
diare terkait
dengan
sanitasi;
puskesmas
pembantu,
polindes
SD, SMP
terbuka (tingkat
pendidikan
penduduk
rendah, angka
buta aksara
cukuptinggi)
Tes Ketersediaan
pangan rendah,
rentan terhadap
kerawanan
pangan
Tersedia
cukup hanya
pada musim
hujan,
kualitas baik
Secara umum
kualitas buruk
Tersedia dari
genset bantuan
LSM; diakses
lebih dari 50 %
Malaria
(endemik),
diare, kolera;
rawan gizi
buruk pada
anak; polindes
SD Kecil,
bangunan
darurat (tingkat
pendidikan
sangat rendah,
terutama laki-
laki, angka buta
aksara sangat
tinggi)
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 41
Penyediaan tenaga listrik di ketiga desa bersumber dari genset
pembangkit. Di Mapur, pembangkit tersedia dari bantuan Aneka Tambang
dan dikelola oleh masyarakat setempat, hal sama ditemui di Tes. Genset
yang diperoleh dari bantuan LSM dikelola oleh masyarakat setempat. Di
Pulau Marore, listrik dipasok oleh PLN terutama untuk melayani
kebutuhan instansi pemerintahan berkaitan dengan fungsi Border
Crossing Agreement di sana.
Fasilitas kesehatan puskesmas pembantu terdapat di Mapur dan Marore,
sementara di penduduk Tes harus menempuh perjalanan sekitar 7 km
untuk dapat dilayani puskesmas pembantu. Secara umum, ketersediaan
tenaga kesehatan di ketiga desa terbatas. Masalah kesehatan yang
menonjol ditemui di Tes yaitu malaria, kolera dan diare. Selain itu, tingkat
gizi buruk dan kesehatan ibu dan anak menjadi persoalan serius didesa
ini. Malaria, dan diare juga sering ditemui di Mapur. Sementara di
Marore tidak terdapat kasus-kasus kesehatan yang menonjol.
Tingkat pendidikan di ketiga desa secara umum rendah, namun di Marore
tingkat partisipasi pendidikan hingga SLTP dan SLTA tergolong tinggi.
Tingkat pendidikan di Mapur masih rendah, dan tingkat buta aksara juga
masih cukup tinggi. Kondisi yang jauh lebih buruk ditemui di Tes. Sekitar
9 persen dari jumlah penduduk buta aksara, dan tingkat partisipasi
pendidikan anak usia sekolah sangat rendah. Tingkat partisipasi
pendidikan perempuan lebih tinggi dari laki-laki.
Analisis SWOT terhadap Kondisi Potensi dan Permasalahan
Dari telaah terhadap kondisi potensi dan permasalahan dari ketiga daerah
tertinggal dilakukan identifikasi faktor-faktor internal yang menjadi
pendukung dan penghambat dan faktor-faktor eksternal yang dapat
menjadi peluang dan ancaman dalam pengembangan daerah tersebut ke
depan.
Pada Tabel 4.19. dibawah ini disajikan faktor-faktor internal yang
menjadi kekuatan dan kelemahan yang bersumber dari dalam masyarakat
itu sendiri. Sementara pada Tabel 4.10. disajikan faktor-faktor eksternal
yaitu kondisi dan perkembangan dari luar termasuk di dalamnya
kebijakan dan program pembangunan yang berpotensi menjadi peluang
atau sebaliknya sebagai ancaman dalam upaya pengembangan wilayah
dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 42
Tabel 4.19. Faktor-faktor Internal Pengembangan Daerah Tertinggal
WILAYAH/DESA STRENGTH (KEKUATAN) WEAKNESS (KELEMAHAN)
MAPUR Potensi perikanan yang cukup melimpah
Berada pada jalur
perdagangan yang ramai
Heterogen dan terbuka terhadap masyarakat luar
Tingkat bertahan hidup
tinggi
Lingkungan yang indah
dan eksotik
Tingkat pendidikan yang rendah
Ketersediaan sarana-
prasarana rendah
Cepat berpuas diri
Permodalan rendah: armada
penangkapan ikan sederhana
Terpencil: mobilitas rendah
MARORE Potensi perikanan yang cukup melimpah
Berada pada jalur
perdagangan antar negara
Terbuka terhadap
masyarakat luar
Posisi sebagai check point
antar negara
Memiliki hubungan yang
erat dengan Mindanao
Tingkat pendidikan yang rendah
Ketersediaan sarana-
prasarana rendah
Cepat berpuas diri
Permodalan rendah: armada
penangkapan ikan kecil
Terpencil: mobilitas rendah
Transportasi dan aktivitas nelayan tergantung cuaca
TES Tingkat bertahan hidup tinggi
Sadar dan
mengkonservasi sumber air
Posisi sebagai check point
antar negara
Potensi tanaman keras dan peternakan
Budaya patrinial sangat kuat
dan Pengeluaran dan
kebutuhan adat sangat
tinggi
Kurang terbuka terhadap inovasi
Pendidikan dan kesehatan
rendah
Ketersediaan sarana-prasarana rendah
Wilayah terpencil, tandus
dan berbukit-bukit
Pola pertanian tebas bakar
dan subsisten
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 43
Tabel 4.20. Faktor-faktor Eksternal Pengembangan Daerah Tertinggal
WILAYAH/DESA OPPORTUNITY (PELUANG) THREAT (ANCAMAN)
MAPUR Perkembangan wilayah
Bintan sebagai kawasan
industri dan pariwisata
Kebijakan dan program
pengembangan pulau-pulau
terpencil dan perbatasan
Pasar yang besar dan
potensial:Singapura dan
Malaysia
Kebijakan penambangan
pasir dan bauksit yang
tidak terkendali
Perkembangan wilayah
Bintan sebagai kawasan
industri dan pariwisata
Kegiatan Nelayan Asing
dan penggunaan Trawl
Hubungan
ketergantungan modal
dengan tauke
Perubahan iklim/cuaca:
perubahan pola
transportasi dan nelayan
MARORE Perkembangan wilayah
Kapet Bitung dan jalur
Pasifik
Kebijakan dan program
pengembangan pulau-pulau
terpencil dan perbatasan
Hubungan sosial, ekonomi
dan budaya yang erat
dengan Mindanao
Perlintasan pendatang
gelap dari Mindanao
Ketergantungan
perdagangan dengan
Filipina
Perubahan iklim/cuaca:
perubahan pola
transportasi dan nelayan
Prosedur imigrasi yang
tidak berorientasi kondisi
lokal
TES Kebijakan dan program
pengembangan daerah
perbatasan
Pengembangan wilayah
Timur Indonesia dan
kedekatan ke Australia
Hubungan sosial budaya
yang erat dengan Timor
Leste
Potensi pertambangan
Kondisi Timor Leste yang
tidak berkembang dan
cenderung rawan
Perubahan iklim:
perubahan pola pertanian,
ketersediaan air
Rencana pengembangan
pertambangan
Prosedur imigrasi yang
tidak berorientasi kondisi
lokal
Selanjutnya dari identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi, baik
internal maupun eksternal, dapat ditentukan posisi dan selanjutnya
dirumuskan berbagai alternatif sebagai dasar bagi strategi dan
pengembangan masing-masing desa/wilayah tertinggal. Perumusan
dilakukan dengan menyusun matriks SWOT untuk masing-masing
desa/wilayah dengan menggabungkan faktor-faktor tadi diperoleh empat
kombinasi strategi (Tabel 4.21., 4.22., dan 4.23.)
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 44
Tabel 4.21. Perumusan Alternatif Strategi dengan Matriks SWOT untuk Desa
Mapur dan Wilayah Sekitarnya
INTERNAL
FAKTOR
EKSTERNAL
FAKTOR
Kekuatan (S)
Potensi perikanan yang cukup melimpah
Berada pada jalur perdagangan yang ramai
Heterogen dan terbuka terhadap masyarakat luar
Tingkat bertahan hidup
tinggi
Lingkungan yang indah dan eksotik
Kelemahan (W)
Tingkat pendidikan yang rendah
Ketersediaan sarana-prasarana rendah
Cepat berpuas diri
Permodalan rendah: armada
penangkapan ikan sederhana
Terpencil: mobilitas rendah
Peluang (O)
Perkembangan wilayah
Bintan sebagai kawasan industri dan pariwisata
Kebijakan dan program
pengembangan pulau-pulau terpencil dan perbatasan
Pasar yang besar dan
potensial:Singapura dan Malaysia
S-O Strategi
Mengaitkan
pengembangan wilayah dengan potensi lokal dan
memperhatikan keterlibatan masyarakat lokal dalam kegiatan dan proses ekonomi
Peningkatan kapasitas dan
kemampuan masyarakat untuk dapat mengakses pasar
W-O Strategi
Peningkatan kualitas SDM
melalui pendidikan berbasis masyarakat
(formal/informal) untuk meningkatkan kemampuan dan akses terhadap pasar dan perkembangan regional
Pengembangan prasarana dan sarana transportasi
Peningkatan kapasitas permodalan
Ancaman (T)
Kebijakan
penambangan pasir dan bauksit yang tidak terkendali
Perkembangan wilayah
Bintan sebagai kawasan industri dan pariwisata
Kegiatan Nelayan Asing dan penggunaan Trawl
Hubungan
ketergantungan modal dengan tauke
Perubahan iklim/cuaca:
perubahan pola transportasi dan nelayan
S-T Strategi
Kebijakan penambangan
yang memperhatikan daya dukung pulau-pulau kecil
dan kelangsungan hidup masyarakat
Pengawasan dan penindakan praktek
penangkapan ikan yang ilegal
Peningkatan kapasitas permodalan dan manajerial usaha
Peningkatan kapasitas armada penangkapan
W-T Strategi
Peningkatan kualitas SDM
melalui pendidikan berbasis masyarakat dan
mengaitkannya dengan pengembangan wilayah (industri dan pariwisata)
Pengembangan industri dan
pariwisata yang berbasis pada potensi lokal dan menempatkan masyarakat lokal sebagai subyek dan bernilai tambah bagi masyarakat setempat
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 45
Tabel 4.22. Perumusan Alternatif Strategi dengan Matriks SWOT untuk Desa
Marore dan Wilayah Sekitarnya
INTERNAL
FAKTOR
EKSTERNAL
FAKTOR
Kekuatan (S)
Potensi perikanan yang cukup melimpah
Berada pada jalur perdagangan antar negara
Terbuka terhadap masyarakat luar
Posisi sebagai check point
antar negara
Memiliki hubungan yang erat dengan Mindanao
Kelemahan (W)
Tingkat pendidikan yang rendah
Ketersediaan sarana-prasarana rendah
Cepat berpuas diri
Permodalan rendah: armada penangkapan ikan kecil
Terpencil: mobilitas rendah
Transportasi dan aktivitas nelayan tergantung cuaca
Peluang (O)
Perkembangan wilayah
Kapet Bitung dan jalur Pasifik
Kebijakan dan program
pengembangan pulau-pulau terpencil dan perbatasan
Hubungan sosial,
ekonomi dan budaya yang erat dengan Mindanao
S-O Strategi
Mengaitkan
pengembangan wilayah dengan potensi lokal dengan melibatkan masyarakat lokal dalam
kegiatan dan proses ekonomi
Peningkatan kapasitas dan
kemampuan masyarakat
untuk dapat mengakses pasar
Memanfaatkan kedekatan hubungan dengan Filipina
sebagai faktor pendorong pengembangan wilayah
Penyederhanaan prosedur lintas batas untuk
keuntungan wilayah dan masyarakat lokal
W-O Strategi
Peningkatan kualitas SDM
melalui pendidikan berbasis masyarakat (formal/informal) untuk meningkatkan kemampuan
dan akses terhadap pasar dan perkembangan regional
Pengembangan prasarana
dan sarana transportasi
Peningkatan kapasitas permodalan
Pengembangan pusat
kegiatan ekonomi dan adminsitrasi di wilayah terluar
Ancaman (T)
Perlintasan pendatang gelap dari Mindanao
Ketergantungan
perdagangan dengan Filipina
Perubahan iklim/cuaca:
perubahan pola transportasi dan nelayan
Prosedur imigrasi yang
tidak berorientasi kondisi lokal
S-T Strategi
Pengawasan dan
penindakan praktek ilegal sekaligus juga pengembangan prosedur
hubungan ekonomi antar negara konteks lokal
Peningkatan kapasitas permodalan dan manajerial usaha
Peningkatan kapasitas armada penangkapan
W-T Strategi
Peningkatan kualitas SDM
melalui pendidikan berbasis masyarakat dan mengaitkannya dengan
pengembangan wilayah (industri dan pariwisata)
Penyediaan dan pengembangan sarana dan
prasarana pendukung yang dapat diakses oleh masyarakat
Penyederhanaan prosedur
imigrasi konteks setempat
untuk tujuan keuntungan wilayah dan masyarakat setempat
Laporan Akhir Studi Identifikasi & Inventarisasi
Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal
Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan
HARDIMAN SIAGIAN IV - 46
Tabel 4.23. Perumusan Alternatif Strategi dengan Matriks SWOT untuk Desa
Tes dan Wilayah Sekitarnya
INTERNAL
FAKTOR
EKSTERNAL
FAKTOR
Kekuatan (S)
Tingkat bertahan hidup tinggi
Sadar dan mengkonservasi sumber air
Posisi sebagai check point antar negara
Potensi tanaman keras dan
peternakan
Kelemahan (W)
Budaya patrinial kuat dan
pengeluaran adat sangat tinggi
Kurang terbuka terhadap
inovasi
Pendidikan dan kesehatan
rendah
Ketersediaan sarana-
prasarana rendah
Wilayah terpencil, tandus dan
berbukit-bukit
Pola pertanian tebas bakar dan
subsisten
Peluang (O)
Kebijakan dan
program pengembangan daerah perbatasan
Pengembangan
wilayah Timur
Indonesia dan kedekatan ke Australia
Hubungan sosial
budaya yang erat dengan Timor Leste
Potensi pertambangan
S-O Strategi
Pengembangan program
berbasis pembuhan dasar dan pengelolaan usaha pertanian dan peternakan yang berkelanjutan
Pengembangan komoditi
perkebunan dan peternakan khas lokal
Penyederhanaan prosedur
lintas batas untuk keuntungan masyarakat lokal
Kebijakan penambangan
yang memperhatikan tata air dan tidak mengurangi kemampuan produksi lahan pertanian dan masyarakat lokal
W-O Strategi
Peningkatan kualitas SDM
melalui pendidikan berbasis masyarakat (formal/informal) dan penyelarasan praktek adat dengan kesejahteraan sosial ekonomi
Pengembangan prasarana dan
sarana dasar (pendidikan, kesehatan, listrik dan komunikasi)
Ancaman (T)
Kondisi Timor Leste
yang tidak berkembang dan cenderung rawan
Perubahan iklim:
perubahan pola pertanian, ketersediaan air
Rencana
pengembangan pertambangan
Prosedur imigrasi
yang tidak
berorientasi kondisi lokal
S-T Strategi
Hubungan masyarakat
antar negara: Pengawasan dan penindakan praktek ilegal sekaligus juga pengembangan prosedur
hubungan sosial antar negara disesuaikan dengan kondisi lokal
Pengembangan komoditas
yang adaptif terhadap kondisi alam setempat dan
bernilai ekonomi dan konservasi
Pengembangan
pertambangan yang tidak merusak tata air dan daya dukung lahan pertanian
yang sudah rendah
W-T Strategi
Peningkatan kualitas SDM
melalui pendidikan berbasis masyarakat dan mengaitkannya dengan kesehatan masyarakat, pemenuhan kebutuhan dasar, gender dan
Penyediaan dan
pengembangan sarana dan prasarana pendukung yang dapat diakses oleh masyarakat
Penyederhanaan prosedur
imigrasi konteks setempat
untuk tujuan keuntungan wilayah dan masyarakat setempat
top related