hid roche pal us
Post on 16-Jan-2016
232 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Hidrosefalus masih merupakan suatu masalah penting dalam dunia
kedokteran terutama bila dikaitkan terhadap pertumbuhan dan perkembangan
anak karena terjadinya gangguan pertumbuhan otak, sehingga otomatis bila tidak
ditangani secara cepat dan tepat akan dapat menimbulkan gangguan dalam
pertumbuhan dan perkembangan yang lebih parah lagi, bahkan menjadi kasus
yang lebih berat dan dapat berakibat fatal. Secara statistik ditemukan bahwa
dengan penanganan bedah dan penatalaksanaan medis yang baik sekalipun,
didapatkan hanya sekitar 40% dari penderita hidrosefalus mempunyai kecerdasan
yang normal dan sekitar 60% mengalami cacat kecerdasan dan fungsi motorik
yang bermakna. Dari data statistik tersebut dapat dilihat bahwa walaupun dengan
penanganan bedah saraf dan penatalaksanaan bedah saraf dan penatalaksanaan
medis yang baik ternyata sekitar 60% penderita masih memiliki sekuel gangguan
yang cukup bermakna.
Seorang anak dapat menderita hidrosefalus karena berbagai sebab, baik itu
secara kongenital maupun akuisita. Di Indonesia sendiri kasus hidrosefalus
mencapai kurang lebih dua kasus per seribu kelahiran (Harsono, 1996). Data ini
menunjukan bahwa kasusu hidrosefalus termasuk kasus yang jarang terjadi di
Indonesia. Walaupun demikian kasus hidrosefalus tetap merupakan masalah
dalam dunia kedokteran, baik itu mengenai tumbuh kembang anak, keberhasilan
di dalam terapi bedah, maupun masalah psikologis anak di masa yang akan
datang. Melihat dari manifestasi klinis penyakit ini, masalah yang sering kali
timbul adalah terutama mengenai progresivitas penyakit itu sendiri. Sebagian dari
kasus hidrosefalus dapat berhenti sendiri, dalam arti lingkar kepala tidak
- 1 -
bertambah besar, dan sebagian kasus lainnya mempunyai progresivitas yang
tinggi, dimana lingkar kepala bertambah secara progresif karena terjadi sumbatan
aliran cairan serebrospinal maupun produksinya sendiri yang bertambah. Gejala
klinis anak hidrosefalus dapat bervariasi, mulai dari yang ringan sampai yang
berat, tergantung dari penyebabnya. Gejala permulaan dari hidrosefalus seringkali
tidak diketahui, sehingga seringkali penderita datang ke dokter sudah dalam
keadaan terlambat. Selain itu faktor resiko hidrosefalus seringkali masih
merupakan masalah yang awam bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia.
I.2. Tujuan Penulisan
1. Bagi penulis digunakan sebagai bahan penambah wawasan di bidang ilmu
kedokteran khususnya bidang kajian hidrosefalus, sehingga dapat penulis
terapkan dalam klinis.
2. Dengan mengetahui etiologi, patogenesis, dan manifestasi klinis dari
hidrosefalus maka diagnosis kelainan tersebut dapat ditegakkan secara dini
sehingga dapat dilakukan penanganan yang cepat dan tepat, serta mencegah
komplikasi dan memburuknya kelainan tersebut.
- 2 -
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi
Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan
bertambahnya cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan
intrakranial yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel (Hassan, 1983).
Pelebaran ventrikuler ini akibat ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi
cairan serebrospinal (Huttenlocher, 1983). Hidrosefalus bukan suatu penyakit
yang berdiri sendiri. Sebenarnya, hidrosefalus selalu bersifat sekunder, sebagai
akibat penyakit atau kerusakan otak. Adanya kelainan-kelainan tersebut
menyebabkan kepala menjadi besar serta terjadi pelebaran sutura-sutura dan
ubun-ubun (Wiknjosastro, 1994).
II.2. Epidemiologi
Thanman (1984) melaporkan insidensi hidrosefalus antara 0,2-4 setiap
1000 kelahiran. Raveley (1973) cit Yasa (1983) di Inggris melaporkan bahwa
insidensi hidrosefalus kongenital adalah 0,5-1,8 pada setiap 1000 kelahiran dan
11%-43% disebabkan oleh stenosis aqueductus serebri. Hidrosefalus dengan
meningomielokel, yaitu antara 4 per 1000 kelahiran di beberapa negara bagian
wales dan Irlandia Utara sampai sekitar 0,2 per 1000 kelahiran di Jepang.
Sedangkan insidensi hidrosefalus bentuk lainnya sekitar 1 per 1000 kelahiran.
Stenosis akuaduktus ditemukan pada sekitar sepertiga anak dengan hidrosefalus
(Huttenlocher, 1983).
Tidak ada perbedaan bermakna insidensi untuk kedua jenis kelamin, juga
dalam hal perbedaan ras. Hidrosefalus dapat terjadi pada semua umur. Pada
remaja dan dewasa lebih sering disebabkan oleh toksoplasmosis.
- 3 -
Hidrosefalus infantil; 46% diantaranya adalah akibat abnormalitas
perkembangan otak, 50% karena perdarahan subaraknoid dan meningitis, dan
kurang dari 4% akibat tumor fossa posterior (Harsono, 1996).
II.3. Etiologi
Hidrosefalus terjadi bila terdapat penyumbatan aliran cairan serebrospinal
(CSS) pada salah satu tempat antara tempat pembentukan CSS dalam sistem
ventrikel dan tempat absorbsi dalam ruang subaraknoid. Akibat penyumbatan,
terjadi dilatasi ruangan CSS diatasnya (Hassan et al, 1985). Tempat predileksi
obstruksi adalah foramen Monroe, foramen Sylvi’s, foramen Luschka, foramen
Magendie, sisterna magna dan sisterna basalis (Harsono, 1996). Teoritis
pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan kecepatan absorbsi yang normal
akan menyebabkan terjadinya hidrosefalus, namun dalam klinik sangat jarang
terjadi, misalnya terlihat pelebaran ventrikel tanpa penyumbatan pada adenomata
pleksus koroidalis. Berkurangnya absorbsi CSS pernah dilaporkan dalam
kepustakaan pada obstruksi kronik aliran vena otak pada trombosis sinus
longitudinalis. Contoh lain ialah terjadinya hidrosefalus setelah operasi koreksi
daripada spina bifida dengan meningokel akibat berkurangnya permukaan untuk
absorbsi. Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering terdapat pada bayi dan
anak ialah :
1. Kelainan Bawaan (Kongenital)
a. Stenosis akuaduktus Sylvii
Merupakan penyebab yang terbanyak pada hidrosefalus bayi dan anak (60-
90%). Insidensinya berkisar antara 0,5-1 kasus/1000 kelahiran. Stenosis ini bukan
berasal dari tumor. Ada tiga tipe stenosis :
1. Gliosis akuaduktus: berupa pertumbuhan berlebihan dari glia fibriler yang
menyebabkan konstriksi lumen.
2. Akuaduktus yang berbilah (seperti garpu) menjadi kanal-kanal yang kadang
dapat tersumbat.
- 4 -
3. Obstruksi akuaduktus oleh septum ependim yang tipis (biasanya pada ujung
kaudal).
Akuaduktus dapat merupakan saluran buntu sama sekali atau abnormal
lebih sempit dari biasa. Umumnya gejala hidrosefalus terlihat sejak lahir atau
progresif dengan cepat pada bulan-bulan pertama setelah lahir. Stenosis ini bisa
disebabkan karena kelainan metabolisme akibat ibu menggunakan isotretionin
(Accutane) untuk pengobatan acne vulgaris. Oleh karena itu penggunaan derivat
retinol (vitamin A) dilarang pada wanita hamil. Hidrosefalus iatrogenik ini jarang
sekali terjadi, hal ini dapat disebabkan oleh hipervitaminosis A yang akut atau
kronis, di mana keadaan tersebut dapat mengakibatkan sekresi likuor menjadi
meningkat atau meningkatnya permeabilitas sawar darah otak. Stenosis ini
biasanya dapat bersamaan dengan malformasi lain seperti: malformasi Arnold
chiari, ensefalokel oksipital (Lott et al, 1984).
b. Spina bifida dan kranium bifida
Hidrosefalus pada kelainan ini biasanya berhubungan dengan sindrom
Arnold-Chiari akibat tertariknya medula spinalis dengan medula oblongata dan
serebelum letaknya lebih rendah dan menutupi foramen magnum sehingga terjadi
penyumbatan sebagian atau total. Anomali Arnold-chiari ini dapat timbul bersama
dengan suatu meningokel atau suatu meningomielokel.
c. Sindrom Dandy-Walker
Malformasi ini melibatkan 2-4% bayi baru lahir dengan hidrosefalus.
Etiologinya tidak diketahui. Malformasi ini berupa ekspansi kistik ventrikel IV
dan hipoplasi vermis serebelum. Kelainan berupa atresia kongenital foramen
Luschka dan Magendie dengan akibat hidrosefalus obstruktif dengan pelebaran
sistem ventrikel terutama ventrikel IV yang dapat sedemikian besarnya hingga
merupakan suatu kista yang besar di daerah fosa posterior. Hidrosefalus yang
- 5 -
terjadi diakibatkan oleh hubungan antara dilatasi ventrikel IV dan rongga
subarakhnoid yang tidak adekuat, dan hal ini dapat tampil pada saat lahir, namun
80% kasusnya biasanya tampak dalam tiga bulan pertama. Kasus semacam ini
sering terjadi bersamaan dengan anomali lainnya seperti: agenesis korpus
kalosum, labiopalatoskisis, anomali okuler, anomali jantung, dan sebagainya.
d. Kista araknoid
Dapat terjadi kongenital tetapi dapat juga timbul akibat trauma sekunder
suatu hematoma.
e. Anomali pembuluh darah
Dalam kepustakaan dilaporkan terjadinya hidrosefalus akibat aneurisma
arterio-vena yang mengenai arteria serebralis posterior dengan vena Galeni atau
sinus transversus dengan akibat obstruksi akuaduktus.
2. Infeksi
Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen sehingga dapat terjadi
obliterasi ruangan subaraknoid. Pelebaran ventrikel pada fase akut meningitis
purulenta terjadi bila aliran CSS terganggu oleh obstruksi mekanik eksudat
purulen di akuaduktus Sylvii atau sisterna basalis. Lebih banyak hidrosefalus
terdapat pasca meningitis. Pembesaran kepala dapat terjadi beberapa minggu
sampai beberapa bulan sesudah sembuh dari meningitisnya. Secara patologis
terlihat penebalan jaringan piamater dan araknoid sekitar sisterna basalis dan
daerah lain. Pada meningitis serosa tuberkulosa, perlekatan meningen terutama
terdapat di daerah basal sekitar sisterna kiasmatika dan interpedunkularis,
sedangkan pada meningitis purulenta lokalisasinya lebih tersebar. Selain karena
meningitis, penyebab lain infeksi pada sistem saraf pusat adalah karena
toxoplasmosis (Ngoerah, 1991). Infeksi toxoplasmosis sering terjadi pada ibu
yang hamil atau penderita dengan imunokompeten (Pohan, 1996). Penularan
- 6 -
toxoplasmosis kepada neonatus didapat melalui penularan transplasenta dari ibu
yang telah menderita infeksi asimtomatik. Dalam bentuk infeksi subakut, tetrade
yang menyolok adalah perkapuran intraserebral, chorioretinitis, hidrosefalus atau
mikrosefalus, dan gangguan psikomotor dan kejang-kejang (Pribadi, 1983).
3. Neoplasma
Hidrosefalus oleh obstruksi mekanik yang dapat terjadi di setiap tempat
aliran CSS. Pengobatan dalam hal ini ditujukan kepada penyebabnya dan apabila
tumor tidak mungkin dioperasi, maka dapat dilakukan tindakan paliatif dengan
mengalirkan CSS melalui saluran buatan atau pirau. Pada anak yang terbanyak
menyebabkan penyumbatan ventrikel IV atau akuaduktus Sylvii bagian terakhir
biasanya suatu glioma yang berasal dari serebelum, sedangkan penyumbatan
bagian depan ventrikel III biasanya disebabkan suatu kraniofaringioma.
4. Perdarahan
Telah banyak dibuktikan bahwa perdarahan sebelum dan sesudah lahir
dalam otak, dapat menyebabkan fibrosis leptomeningen terutama pada daerah
basal otak, selain penyumbatan yang terjadi akibat organisasi dari darah itu
sendiri. Hal tersebut juga dapat dipicu oleh karena adanya trauma kapitis (Hassan
et al, 1985).
Selanjutnya hidrosefalus dengan penyebab pertama tersebut diatas
dikelompokan sebagai hidrosefalus kongenitus, sedangkan penyebab kedua
sampai ke empat dikelompokkan sebagai hidrosefalus akuisita. Sebab-sebab
prenatal merupakan faktor yang bertanggung jawab atas terjadinya hidrosefalus
kongenital yang timbul in-utero dan kemudian bermanifestasi baik in-utero
ataupun setelah lahir. Sebab-sebab ini mencakup malformasi (anomali
perkembangan sporadis), infeksi atau kelainan vaskuler. Pada sebagian besar
pasien banyak yang etiologinya tidak dapat diketahui, dan untuk ini diistilahkan
- 7 -
sebagai hidrosefalus idiopatik. Dari bukti eksperimental pada beberapa spesies
hewan mengisyaratkan infeksi virus pada janin terutama parotitis dapat sebagai
faktor etiologi (Ngoerah, 1991).
Swaiman and Wright (1981) mengelompokkan etiologi hidrosefalus
berdasarkan proses kejadiannya sebagai berikut :
1. Kongenital
Agenesis korpus kalosum, stenosis akuaduktus serebri, anensefali dan
disgenesis serebral, genetis.
2. Degeneratif
Histiositosis, inkontinensia pugmenti, dan penyakit Krebbe.
3. Infeksi
Post meningitis, TORCH, kista-kista parasit, lues kongenital.
4. Kelainan metabolisme
Penggunaan isotretionin (Accutane) untuk pengobatan akne vulgaris, antara
lain dapat menyebabkan stenosis akuaduktus, sehingga terjadi hidrosefalus pada
anak yang dilahirkan. Oleh karena itu penggunaan derivat retinol (vit. A) dilarang
pada wanita hamil (Lott et al, 1984).
5. Trauma
Seperti pada perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak dapat
menyebabkan fibrosis leptomeningen terutama pada daerah basal otak, disamping
organisasi darah itu sendiri yang mengakibatkan terjadinya sumbatan yang
mengganggu aliran CSS.
6. Neoplasma
Terjadinya hidrosefalus disini oleh karena obstruksi mekanis yang dapat
terjadi di setiap aliran CSS, antara lain tumor ventrikel III, tumor fossa posterior,
papilloma pleksus koroideus, leukemia, dan limfoma.
7. Gangguan vaskuler
Dilatasi sinus dural, trombosis sinus venosa, malformasi v. Galeni,
malformasi arteriovenosa.
- 8 -
II.4. Patofisiologi dan Patogenesis
Ruangan CSS mulai terbentuk [ada minggu kelima masa embrio, terdiri
dari sistem ventrikel, sisterna magna pada dasar otak dan ruang subarakhnoid
yang meliputi seluruh susunan saraf. CSS yang dibentuk dalam sistem ventrikel
oleh pleksus khoroidalis kembali ke dalam peredaran darah melalui kapiler dalam
piamater dan arakhnoid yang meliputi seluruh susunan saraf pusat (SSP). Cairan
likuor serebrospinalis ini terdapat dalam suatu sistem yang terdiri dari dua bagian
yang berhubungan satu sama lainnya : (1) Sistem internal terdiri dari dua
ventrikel lateralis, foramen-foramen interventrikularis (Monroe), ventrikel ke-3,
akuaduktus Sylvii dan ventrikel ke-4. (2) Sistem eksternal terdiri dari ruang-ruang
subaraknoid, terutama bagian-bagian yang melebar disebut sisterna. Hubungan
antara sistem internal dan eksternal ialah melalui kedua apertura lateralis ventrikel
ke-4 (foramen Luschka) dan foramen medialis ventrikel ke-4 (foramen
Magendie).
Pada orang dewasa normal jumlah CSS 90-150 ml, anak umur 8-10 tahun
100-140 ml, bayi 40-60 ml, neonatus 20-30 ml dan pada prematur kecil 10-20 ml
(Harsono, 1996). Cairan yang tertimbun dalam ventrikel biasanya antara 500-
1500 ml, akan tetapi kadang-kadang dapat mencapai 5 liter (Wiknjosastro, 1994).
Aliran CSS yang normal ialah dari ventrikel lateralis melalui foramen
monroe ke ventrikel III, dari tempat ini melalui saluran yang sempit akuaduktus
Sylvii ke ventrikel IV dan melalui foramen Luschka dan Magendie ke dalam
ruang subarakhnoid melalui sisterna magna. Penutupan sisterna basalis
menyebabkan gangguan kecepatan resorbsi CSS oleh sistem kapiler.
Dalam keadaan normal tekanan likuor berkisar antara 50-200 mm, praktis
sama dengan 50-200 mmH2O. Ruang tengkorak bersama dura yang tidak elastis
merupakan suatu kotak tertutup yang berisikan jaringan otak dan medula spinalis
sehingga volume otak total (kraniospinal) ditambah dengan volume darah dan
likuor merupakan angka tetap (Hukum Monroe Kellie). Bila terdapat peningkatan
volume likuor akan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Keadaan ini
- 9 -
terdapat pada perubahan volume likuor, pelebaran dura, perubahan volume
pembuluh darah terutama volume vena, perubahan jaringan otak (bagian putih
otak berkurang pada hidrosefalus obstruktif). Pada umumnya volume otak serta
tekanan likuor berubah oleh berbagai pengaruh sehingga volume darah selalu
akan menyesuaikan diri (Harsono, 1996).
Hidrosefalus secara teoritis hal ini terjadi sebagai akibat dari tiga
mekanisme yaitu :
1. Produksi likuor yang berlebihan
2. Peningkatan resistensi aliran likuor
3. Peningkatan tekanan sinus venosa
Sebagai konsekuensi dari tiga mekanisme di atas adalah peningkatan
tekanan intrakranial sebagai upaya mempertahankan keseimbangan sekresi dan
absorbsi. Mekanisme terjadinya dilatasi ventrikel masih belum dapat dipahami
secara terperinci, namun hal ini bukanlah hal yang sederhana sebagaimana
akumulasi akibat dari ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi.
Mekanisme terjadinya dilatasi ventrikel cukup rumit dan berlangsung berbeda-
beda tiap saat selama perkembangan hidrosefalus. Dilatasi ini terjadi sebagai
akibat dari :
1. Kompresi sistem serebrovaskuler
2. Redistribusi dari likuor serebrospinalis atau cairan ekstraseluler atau
keduanya di dalam sistem susunan saraf pusat
3. Perubahan mekanis dari otak (peningkatan elastisitas otak, gangguan
viskoelastisitas otak, kelainan turgor otak)
4. Efek tekanan denyut likuor serebrospinalis (masih diperdebatkan)
5. Hilangnya jaringan otak
6. Pembesaran volume tengkorak (pada penderita muda) akibat adanya
regangan abnormal pada sutura kranial.
Produksi likuor yang berlebihan hampir semua disebabkan oleh karena
tumor pleksus khoroid (papiloma atau karsinoma). Adanya produksi yang
- 10 -
berlebihan akan menyebabkan tekanan intrakranial meningkat dalam
mempertahankan keseimbangan antara sekresi dan resorbsi likuor, sehingga
akhirnya ventrikel akan membesar. Adapula beberapa laporan mengenai produksi
likuor yang berlebihan tanpa adanya tumor pada pleksus khoroid, di samping juga
akibat hipervitaminosis A.
Gangguan aliran likuor merupakan awal dari kebanyakan kasus
hidrosefalus. Peningkatan resistensi yang disebabkan oleh gangguan aliran akan
meningkatkan tekanan likuor secara proporsional dalam upaya mempertahankan
resorbsi yang seimbang.
Peningkatan tekanan sinus vena mempunyai dua konsekuensi, yaitu
peningkatan tekanan vena kortikal sehingga menyebabkan volume vaskuler
intrakranial bertambah dan peningkatan tekanan intrakranial sampai batas yang
dibutuhkan untuk mempertahankan aliran likuor terhadap tekanan sinus vena
yang relatif tinggi.
Konsekuensi klinis dari hipertensi vena ini tergantung dari komplians
tengkorak. Bila sutura kranial sudah menutup, dilatasi ventrikel akan diimbangi
dengan peningkatan volume vaskuler; dalam hal ini peningkatan tekanan vena
akan diterjemahkan dalam bentuk klinis dari pseudotumor serebri. Sebaliknya,
bila tengkorak masih dapat mengadaptasi, kepala akan membesar dan volume
cairan akan bertambah.
Derajat peningkatan resistensi aliran cairan likuor dan kecepatan
perkembangan gangguan hidrodinamik berpengaruh pada penampilan klinis.
II.5. Klasifikasi
Klasifikasi hidrosefalus bergantung pada faktor yang berkaitan dengannya.
Menurut Harsono (1996), klasifikasi hidrosefalus berdasarkan :
- 11 -
1. Gambaran klinis
Dikenal hidrosefalus yang manifes (overt hydrocephalus) dan hidrosefalus
yang tersembunyi (occult hydrocephalus). Hidrosefalus yang tampak jelas dengan
tanda-tanda klinis yang khas disebut hidrosefalus yang manifes. Sementara itu,
hidrosefalus dengan ukuran kepala yang normal disebut sebagai hidrosefalus yang
tersembunyi.
2. Waktu pembentukan
Dikenal hidrosefalus kongenital dan hidrosefalus akuisita. Hidrosefalus
yang terjadi pada neonatus atau yang berkembang selama intra uterin disebut
hidrosefalus kongenital. Hidrosefalus yang terjadi karena cedera kepala selama
proses kelahiran disebut hidrosefalus infantil. Hidrosefalus akuisita adalah
hidrosefalus yang terjadi setelah masa neonatus atau disebabkan oleh faktor-
faktor lain setelah masa neonatus (Harsono, 1996).
3. Proses terbentuknya hidrosefalus (waktu/onzet)
Dikenal hidrosefalus akut dan hidrosefalus kronik. Hidrosefalus akut adalah
hidrosefalus yang terjadi secara mendadak sebagai akibat obstruksi atau gangguan
absorbsi CSS (berlangsung dalam beberapa hari). Disebut hidrosefalus kronik
apabila perkembangan hidrosefalus terjadi setelah aliran CSS mengalami
obstruksi beberapa minggu (bulan-tahun). Dan diantara waktu tersebut disebut
hidrosefalus subakut.
4. Sirkulasi CSS (cairan serebrospinal)
Dikenal hidrosefalus komunikans dan hidrosefalus non komunikans.
Hidrosefalus non komunikans berarti CSS sistem ventrikulus tidak berhubungan
dengan CSS ruang subaraknoid (adanya blok), misalnya terjadi pada:
- 12 -
a. Kelainan perkembangan akuaduktus Silvius kongenital (disebabkan oleh gen
terangkai X resesif), infeksi virus, tertekannya akuaduktus dari luar karena
hematoma atau aneurisma kongenital
b. Atresia foramen Luschka dan Magendie (sindroma Dandy-Walker)
c. Berhubungan dengan keadaan-keadaan meningokel, ensefalokel, hipoplastik
serebelum.
Hidrosefalus komunikans adalah hidrosefalus yang memperlihatkan adanya
hubungan antara CSS sistem ventrikulus dan CSS dari ruang subaraknoid otak
dan spinal. Gangguan absorbsi CSS dapat disebabkan sumbatan sistem
subaraknoid disekeliling batang otak ataupun obliterasi ruang subaraknoid
disekeliling batang otak ataupun obliterasi ruang subaraknoid disekeliling
konveksitas otak. Disini seluruh sitem ventrikuli terdistensi (Huttenlocher, 1983).
Hal ini terjadi pada keadaan-keadaan:
a. Malformasi Arnold-Chiari dimana terjadi hambatan CSS di ruang
subaraknoid sekitar batang otak akibat berpindahnya batang otak dan
serebelum ke kanalis servikalis
b. Sekunder akibat infeksi piogenik dan meningitis sehingga terjadi fibrosis
dan perlekatan
c. Fibrosis akibat perdarahan subaraknoid
5. Pseudohidrosefalus dan hidrosefalus tekanan normal (normal pressure
hydrocephalus). Pseudohidrosefalus adalah disproporsi kepala dan badan bayi.
Kepala bayi tumbuh cepat selama bulan kedua sampai bulan ke delapan.
Selain itu ada beberapa istilah lainnya yang dipakai dalam klasifikasi
maupun sebutan diagnosis kasus hidrosefalus. Hidrosefalus interna menunjukkan
adanya dilatasi ventrikel; sedangkan hidrosefalus eksternal cenderung
menunjukkan adanya pelebaran rongga subarakhnoid di atas permukaan korteks.
Hidrosefalus obstruktif menjabarkan kasus yang mengalami obstruksi pada aliran
- 13 -
likuor; dan hal ini dijumpai pada sebagian besar kasus. Berdasarkan gejala yang
ada dibagi menjadi hidrosefalus simptomatik dan asimptomatik. Hidrosefalus
arrested menunjukan keadaan di mana faktor-faktor yang menyebabkan dilatasi
ventrikel pada saat tersebut sudah tidak aktif lagi.Hidrosefalus ex-vacuo adalah
sebutan bagi kasus ventrikulomegali yang diakibatkan oleh atrofi otak primer,
yang biasanya terdapat pada orang tua.
II.6. Manifestasi Klinis
Tanda awal dan gejala hidrosefalus tergantung pada awitan dan derajat
ketidakseimbangan kapasitas produksi dan resorbsi CSS (Huttenlocher, 1983).
Selain itu gambaran klinik hidrosefalus dipengaruhi oleh umur penderita,
penyebab, dan lokasi obstruksi. Gejala-gejala yang menonjol merupakan refleksi
adanya hipertensi intrakranial (Harsono, 1996). Manifestasi klinis dari
hidrosefalus pada anak dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu :
1. Awitan hidrosefalus terjadi pada masa neonatus
Meliputi pembesaran kepala abnormal yang merupakan gambaran tetap
hidrosefalus kongenital dan pada masa bayi. Pada kasus hidrosefalus kongenital
yang berat dimana kepala bayi yang besar dapat mempersulit proses kelahiran,
sedangkan pada bentuk yang lebih ringan, kepala berukuran normal saat lahir,
tetapi kemudian tumbuh dengan laju berlebihan (Huttenlocher, 1983). Lingkaran
kepala neonatus biasanya adalah 35-40 cm, dan pertumbuhan ukuran lingkar
kepala terbesar adalah selama tahun pertama kehidupan. Pada anak hidrosefalus,
umur satu tahun lingkaran kepala itu menjadi 45 cm (Ngoerah, 1991). Pada masa
neonatus, pengukuran lingkar kepala setiap harinya penting dalam menentukan
proresivitas dari hidrosefalus. Kranium terdistensi dalam semua arah, tetapi
terutama pada daerah frontal (Huttenlocher, 1983). Tampak dorsum nasi lebih
besar dari biasa. Fontanella terbuka dan tegang, sutura masih terbuka bebas.
Tulang-tulang kepala menjadi sangat tipis. Vena-vena di sisi samping kepala
- 14 -
tampak melebar dan berkelok. Sering terjadi retraksi kelopak mata yang terus-
menerus (Sidharta, 1995). Pada hidrosefalus infantil yang berat, tampak suatu
fenomena “matahari terbenam” (sunset phenomenon) pada bola mata. Fenomena
ini timbul karena tekanan intrakranial yang tinggi dapat menekan tulang atap
orbita yang sangat tipis. Tulang atap orbita ini lantas menekan pada bola mata
sehingga bola-bola mata itu terputar ke bawah (Huttenlocher, 1983). Dengan
kedudukan mata demikian, banyak putih sklera terlihat diantara limbus atas dari
kornea dan tepi kelopak mata atas. Tanda tersebut bisa dikorelasikan dengan
dilatasi ventrikel ke-3 atau akuaduktus Sylvii yang sekaligus melumpuhkan
gerakan elevasi bola mata (Sidharta, 1995). Pada funduskopi dapat tampak suatu
atrofi papil primer akibat kompresi saraf optikus dan kiasma, terjadi pada kasus
kronik yang tidak diterapi. Disamping itu dapat terlihat adanya anosmi kanan dan
kiri. Mungkin pula terdapat strabismus karena adanya paralise dari satu atau
beberapa nervi kranialis. Penderita memperlihatkan pula adanya retardasi mental
dan konvulsi. Sewaktu-waktu tampak nistagmus. Bila dilakukan perkusi sedikit di
belakang tempat pertemuan os frontale dengan os temporale maka dapat timbul
resonansi seperti bunyi kendi retak (“cracked pot resonance”). Tanda ini dinamai
Macewen’s sign. Tidak jarang dijumpai tanda-tanda paraparesis spastik dengan
reflek tendon lutut atau Achilles yang meningkat serta dengan Babinski yang
positif kanan dan kiri.
Menurut Harsono (1996), pada neonatus gejala yang paling umum dijumpai
adalah iritabilitas. Sering kali anak tidak mau makan dan minum, dan kadang-
kadang kesadaran menurun ke arah letargi. Anak kadang-kadang muntah, jarang
yang bersifat proyektil. Pada masa neonatus ini gejala-gejala lainnya belum
tampak. Kecurigaan akan hidrosefalus bisa berdasarkan gejala-gejala tersebut di
atas, sehingga dapat dilakukan pemantauan secara teratur dan sistemik.
- 15 -
2. Awitan hidrosefalus terjadi pada akhir masa kanak-kanak
Jika hidrosefalus terjadi pada akhir masa kanak-kanak, maka pembesaran
kepala tidak bermakna, tetapi pada umumnya anak mengeluh nyeri kepala sebagai
manifestasi hipertensi intrakranial. Lokasi nyeri kepala tidak khas atau tidak
menentu. Kadang-kadang anak muntah di pagi hari. Dapat disertai keluhan
penglihatan ganda (diplopia) dan jarang diikuti penurunan visus.
Gangguan motorik dan koordinasi dikenali melalui perubahan cara berjalan.
Hal demikian ini disebabkan oleh peregangan serabut kortikospinal korteks
parietal sebagai akibat pelebaran ventrikulus lateral. Serabut-serabut yang lebih
kecil yang melayani tungkai akan terlebih dahulu tertekan, sehingga
menimbulkan pola berjalan yang khas (Harsono, 1996). Kombinasi spastisitas dan
ataksia yang lebih mempengaruhi tungkai daripada lengan sering ditemukan,
demikian pula inkontinensia urin (Huttenlocher, 1983).
Anak dapat mengalami gangguan dalam hal daya ingat dan proses belajar,
terutama dalam tahun pertama sekolah. Apabila dilakukan pemeriksaan
psikometrik maka akan terlihat adanya labilitas emosional dan kesulitan dalam
hal konseptualisasi (Harsono, 1996). Fungsi bicara seringkali masih baik,
sehingga bermanifestasi sebagai ocehan kosong yang agak karakteristik
(Huttenlocher, 1983).
Secara umum gejala yang paling umum terjadi pada pasien-pasien
hidrosefalus di bawah usia dua tahun adalah pembesaran abnormal yang progresif
dari ukuran kepala. Makrokrania mengesankan sebagai salah satu tanda bila
ukuran lingkar kepala lebih besar dari dua deviasi standar di atas ukuran normal,
atau persentil 98 dari kelompok usianya. Makrokrania biasanya disertai empat
gejala hipertensi intrakranial lainnya yaitu:
1. Fontanel anterior yang sangat tegang. Biasanya fontanel anterior
dalam keadaan normal tampak datar atau bahkan sedikit cekung ke
dalam pada bayi dalam posisi berdiri (tidak menangis).
- 16 -
2. Sutura kranium tampak atau teraba melebar.
3. Kulit kepala licin mengkilap dan tampak vena-vena superfisial
menonjol. Perkusi kepala akan terasa seperti kendi yang rengat
(cracked pot sign).
4. Fenomena ‘matahari tenggelam’ (sunset phenomenon). Tampak kedua
bola mata deviasi ke bawah dan kelopak mata atas tertarik. Fenomena
ini seperti halnya tanda Perinaud, yang ada gangguan pada daerah
tektam. Estropia akibat parese n. VI, dan kadang ada parese n. III,
dapat menyebabkan pengelihatan ganda dan mempunyai resiko bayi
menjadi ambliopia.
Gejala hipertensi intrakranial lebih menonjol pada anak yang lebih besar
dibandingkan dengan bayi. Gejalanya mencakup: nyeri kepala, muntah, gangguan
kesadaran, gangguan okulomotor, dan pada kasus yang telah lanjut ada gejala
gangguan batang otak akibat herniasi tonsiler (bradikardia, aritmia respirasi).
Gejala lainnya yang dapat terjadi adalah; spastisitas yang biasanya
melibatkan ekstremitas inferior (sebagai konsekuensi peregangan traktus
piramidal sekitar ventrikel lateral yang dilatasi) dan berlanjut sebagai gangguan
berjalan, gangguan endokrin (karena distraksi hipotalamus dan ‘pituitari stalk’
oleh dilatasi ventrikel III.
II.7. Diagnosis
Prosedur dari diagnosis suatu penyakit didasarkan atas suatu anamnesa
yang cermat, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Gejala hidrosefalus
sebelum menunjukan manifestasi klinis adalah sangat bervariasi sehingga
anamnesis memerlukan pengetahuan dan pengalaman yang cukup luas dalam
praktek, tetapi hal tersebut tidak selalu mudah dicapai. Dilain pihak, pemberi
informasi (penderita dan atau keluarganya) juga sangat berperan dalam proses
anamnesis. Apabila informasi tidak jelas atau tidak lengkap maka diagnosis akan
sulit ditegakkan. Kekeliruan atau kesalahan dalam menegakkan diagnosis dapat
- 17 -
terjadi di seluruh disiplin kedokteran, baik preklinik, paraklinik, maupun klinik.
Kesalahan diagnosis secara umum dapat disebabkan oleh karena, (a) kurangnya
pengetahuan dan atau pengertian tentang penyakit, (b) kurangnya pengalaman
menangani kasus penyakit, (c) keterbatasan informasi dari penderita atau
keluarganya, dan (d) belum berfungsinya sistem rujukan secara optimal sehingga
belum menunjukan interaksi yang baik antara puskesmas atau rumah sakit umum
kabupaten atau dokter praktek swasta (dokter umum) dengan RSUP rujukan atau
dokter spesialis (Harsono, 1994).
Upaya penegakan diagnosis suatu kelainan dalam hal ini hidrosefalus dapat
dilakukan dengan melakukan skrining atau deteksi dini gangguan tumbuh
kembang anak. Skrining terdiri dari penemuan faktor resiko dan deteksi adanya
kelainan. Faktor resiko adalah faktor-faktor atau keadaan yang mempengaruhi
perkembangan suatu penyakit atau status kesehatan tertentu. Istilah
mempengaruhi mengandung pengertian menimbulkan resiko lebih besar pada
individu atau masyarakat untuk terjadinya status kesehatan atau kelainan tertentu
(Pratiknya, 1986). Faktor resiko ini mungkin baru dalam tahap kecurigaan,
perkiraan atau memang sudah terbuktikan kebenarannya.
Disamping dari pemeriksaan fisik, gambaran klinik yang samar-samar
maupun yang khas seperti yang telah diterangkan di atas, maka kepastian
diagnosis hidrosefalus dapat ditegakkan dengan menggunakan alat-alat radiologik
yang canggih. USG adalah pemeriksaan penunjang yang mempunyai peranan
penting dalam mendeteksi adanya hidrosefalus pada periode prenatal dan
pascanatal selama fontanelnya tidak menutup. Pada neonatus, USG dapat cukup
bermanfaat, untuk anak yang lebih besar, umumnya diperlukan CT scanning. CT
scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) dapat memastikan diagnosis
hidrosefalus dalam waktu yang relatif singkat (Harsono, 1996). Pemeriksaan
dengan CT scan ini dapat memperlihatkan susunan ventrikel yang membesar
secara simetris (Ngoerah, 1991). Dengan CT scan ini sistem ventrikel dan seluruh
isi intrakranial dapat tampak lebih terperinci, serta dalam memperkirakan
- 18 -
prognosa kasus tersebut di masa depan. CT scan merupakan cara yang aman dan
dapat diandalkan untuk membedakan hidrosefalus dari penyakit lain yang juga
menyebabkan pembesaran kepala abnormal, serta untuk identifikasi tempat
obstruksi aliran CSS. MRI sebenarnya juga merupakan pemeriksaan diagnostik
terpilih untuk kasus-kasus yang efektif. Namun, mengingat waktu
pemeriksaannya yang cukup lama sehingga pada bayi perlu dilakukan pembiusan.
Untuk menentukan apakah seorang bayi dalam kandungan adalah hidrosefal atau
tidak, adalah suatu tugas yang tidak mudah, namun pemeriksaan dengan USG
sudah sangat dapat membantu (Ngoerah, 1991).
II.8. Diagnosis banding
Pembesaran kepala dapat terjadi pada hidrosefalus, makrosefali, tumor
otak, abses otak, granuloma intrakranial, dan hematoma subdural perinatal,
hidranensefali. Hal-hal tersebut dijumpai terutama pada bayi dan anak-anak
berumur kurang dari 6 tahun (Harsono, 1996).
II.9. Terapi
Pada dasarnya ada tiga prinsip dalam pengobatan hidrosefalus, yaitu :
1. Mengurangi produksi CSS dengan merusak sebagian pleksus khoroidalis
dengan tindakan reseksi (pembedahan) atau koagulasi, akan tetapi hasilnya
kurang memuaskan. Obat-obatan yang berpengaruh disini antara lain ; diamox
(asetazolamid), isosorbit, manitol, urea, kortikosteroid, diuretik dan
fenobarbital,
2. Mempengaruhi hubungan antara tempat produksi CSS dengan tempat absorbsi
yakni menghubungkan ventrikel dengan ruang subaraknoid. Misalnya
Torkildsen ventrikulosisternostomi pada stenosis akuaduktus Silvius. Pada
anak hasilnya kurang baik karena sudah ada insufisisensi fungsi absorbsi
3. Pengeluaran likuor (CSS) kedalam organ ekstrakranial dengan cara ;
ventrikuloperitoneal drainage, ventrikulopleural drainage, lumboperitoneal
- 19 -
drainage, ventrikuloretrostomi, mengalirkan kedalam antrum mastoid,
mengalirkan CSS kedalam vena jugularis melalui kateter berventil (Hoten-
velve) (Hassan, 1985).
Penanganan hidrosefalus juga dapat dibagi menjadi :
1. Penanganan Sementara
Terapi konservatif medikamentosa ditujukan untuk membatasi evolusi
hidrosefalus melalui upaya mengurangi sekresi cairan dari pleksus khoroid
(asetazolamid 100 mg/kg BB/hari; furosemid 2 mg/kg BB/kali) atau upaya
meningkatkan resorbsinya (isorbid). Terapi di atas hanya bersifat sementara
sebelum dilakukan terapi definitif diterapkan atau bila ada harapan kemungkinan
pulihnya gangguan hemodinamik tersebut; sebaliknya terapi ini tidak efektif
untuk pengobatan jangka panjang mengingat adanya resiko terjadinya gangguan
metabolik.
Drainase likuor eksternal dilakukan dengan memasang kateter ventrikuler
yang kemudian dihubungkan dengan suatu kantong drain eksternal. Tindakan ini
dilakukan untuk penderita yang berpotensi menjadi hidrosefalus (hidrosefalus
transisi) atau yang sedang mengalami infeksi. Keterbatasan tindakan semacam ini
adalah adanya ancaman kontaminasi likuor dan penderita harus selalu dipantau
secara ketat. Cara lain yang mirip dengan metode ini adalah punksi ventrikel yang
dilakukan berulang kali untuk mengatasi pembesaran ventrikel yang terjadi.
Cara-cara untuk mengatasi dilatasi ventrikel di atas dapat diterapkan pada
beberapa situasi tertentu yang tentu pelaksanaannya perlu dipertimbangkan secara
masak (seperti pada kasus stadium akut hidrosefalus pasca perdarahan).
2. Penanganan Alternatif (Selain Shunting)
Tindakan alternatif selain operasi “pintas” (shunting) diterapkan khususnya
bagi kasus-kasus yang mengalami sumbatan di dalam sistem ventrikel termasuk
juga saluran keluar ventrikel IV (misal: stenosis akuaduktus, tumor fossa
- 20 -
posterior, kista arkhnoid). Dalam hal ini maka tindakan terapeutik semacam ini
perlu dipikirkan lebih dahulu, walaupun kadang lebih rumit daripada memasang
shunt, mengingat restorasi aliran likuor menuju keadaan atau mendekati normal
selalu lebih baik daripada suatu drainase yang artifisial.
Terapi etiologik. Penanganan terhadap etiologi hidrosefalus merupakan
strategi yang terbaik, seperti antara lain misalnya : pengontrolan kasus yang
mengalami intoksikasi vitamin A, reseksi radikal lesi massa yang mengganggu
aliran likuor atau perbaikan suatu malformasi. Memang pada sebagian kasus perlu
menjalani terapi sementara dahulu sewaktu lesi kausalnya masih belu dapat
dipastikan atau kadang juga masih memerlukan tindakan operasi pintas karena
kasus yang mempunyai etiologi multifaktor atau mengalami gangguan aliran
likuor sekunder.
Penetrasi membran. Penetrasi dasar ventrikel III merupakan suatu tindakan
membuat jalan alternatif melalui rongga subarakhnoid bagi kasus-kasus stenosis
akuaduktus atau (lebih umum) gangguan aliran pada fosa posterior (termasuk
tumor fosa posterior). Selain memulihkan sirkulasi secara pseudo-fisiologis aliran
likuor, ventrikulostomi III dapat menciptakan tekanan hidrostatik yang uniform
pada seluruh sistem susunan saraf pusat sehingga mencegah terjadinya perbedaan
tekanan pada struktur-struktur garis tengah yang rentan. Saat ini cara terbaik
untuk melakukan perforasi dasar ventrikel III adalah dengan teknik bedah
endoskopik, dimana suatu neuroendoskop (rigid atau fleksibel) dimasukkan
melalui burrhole koronal (2-3 cm dari garis tengah) ke dalam ventrikel lateral,
kemudian melalui foramen Monro (diidentifikasi berdasarkan pleksus khoroid
dan vena septalis serta vena talamostriata) masuk ke dalam ventrikel III. Batas-
batas ventrikel III dari posterior ke anterior adalah korpus mamilare, percabangan
a. basilaris, dorsum sella dan resesus infundibularis. Lubang dibuat di depan
percabangan arteri basilaris sehingga terbentuk saluran antara ventrikel III dengan
sisterna interpedunkularis. Lubang ini dapat dibuat dengan memakai laser,
monopolar koagulator, radiofrekuensi, dan kateter balon.
- 21 -
3. Operasi Pemasangan ‘Pintas’ (Shunting)
Sebagian besar pasien memerlukan tindakan operasi pintas, yang bertujuan
membuat saluran baru antara aliran likuor (ventrikel atau lumbar) dengan kavitas
drainase(seperti: peritoneum, atrium kanan, pleura). Pemilihan kavitas untuk
drainase dari mana dan kemana, bervariasi untuk masing-masing kasus. Pada
anak-anak lokasi drainase yang terpilih adalah rongga peritoneum, mengingat ia
mampu menampung kateter yang cukup panjang sehingga dapat menyesuaikan
pertumbuhan anak serta resiko terjadinya infeksi berat relatif lebih kecil
dibandingkan dengan rongga atrium jantung. Lokasi drainase lain seperti: pleura,
kandung empedu dan sebagainya, dapat dipilih untuk situasi kasus-kasus tertentu.
Biasanya cairan serebrospinalis didrainase dari ventrikel, namun kadang pada
hidrosefalus komunikans ada yang didrain ke rongga subarakhnoid lumbar.
Belakangan ini drainase lumbar jarang dilakukan mengingat ada laporan bahwa
terjadi herniasi tonsil pada beberapa kasus anak.
Dalam melakukan tindakan operasi pintas, banyak pertimbangan yang
harus dipikirkan dan sifatnya sangat subyektif bagi dokter ahli bedahnya. Ada
berbagai jenis dan merek alat shunt yang masing-masing berbeda bahan, jenis,
mekanisme maupun harga serta profil bentuknya. Pada dasarnya alat shunt terdiri
dari tiga komponen yaitu: kateter proksimal, katup (dengan/tanpa reservoir), dan
kateter distal. Komponen bahan dasarnya adalah elastomer silikon. Pemilihan
shunt mana yang akan dipakai dipengaruhi oleh pengalaman dokter yang
memasangnya, tersedianya alat tersebut, pertimbangan finansial serta latar
belakang prinsip-prinsip ilmiah. Ada beberapa bentuk profil shunt (tabung, bulat,
lonjong, dan sebagainya) dan pemilihan pemakaiannya didasarkan atas
pertimbangan mengenai penyembuhan kulit yang dalam hal ini sesuai dengan usia
penderita, berat badannya, ketebalan kulit dan ukuran kepala. Sistem
hidrodinamik shunt tetap berfungsi pada tekanan yang tinggi, sedang, dan rendah,
- 22 -
dan pilihan ditetapkan sesuai dengan ukuran ventrikel, status pasien (vegetatif,
normal), patogenesis hidrosefalus, dan proses evolusi penyakitnya.
Penempatan reservoir shunt umumnya dipasang di frontal atau di temporo-
oksipital yang kemudian disalurkan dibawah kulit. Teknik operasi penempatan
shunt didasarkan oleh pertimbangan anatomis dan potensi kontaminasi yang
mungkin terjadi (misalnya: ada gastrostomi, trakheostomi, laparostomi, dan
sebagainya). Ada dua hal yang perlu diperhatikan pada periode pasca operasi,
yaitu: pemeliharaan luka kulit terhadap kontaminasi infeksi dan pemantauan
kelancaran dan fungsi alat shunt yang dipasang. Secara umum tidak ada batasan
untuk posisi baring dari penderita, namun biasanya penderita dibaringkn
terlentang selama 1-2 hari pertama.
Komplikasi shunt dikategorikan menjadi tiga kelompok yaitu: infeksi,
kegagalan mekanis, dan kegagalan fungsional, yang disebabkan jumlah aliran
yang tidak adekuat. Infeksi pada shunt meningatkan resiko akan kerusakan
intelektual, lokulasi ventrikel dan bahkan kematian. Kegagalan mekanis
mencakup komplikasi-komplikasi seperti: oklusi aliran didalam shunt (proksimal,
katup atau bagian distal), diskoneksi atau putusnya shunt, migrasi dari tempat
semula, tempat pemasangan yang tidak tepat. Kegagalan fungsional dapat berupa
drainase yang berlebihan atau malah kurang lancarnya drainase. Drainase yang
terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi lanjutan seperti terjadinya efusi
subdural, kraniosinostosis, lokulasi ventrikel, hipotensi ortostatik.
II.10. Prognosis
Prognosis hidrosefalus dipengaruhi oleh tindakan pencegahan yang
diupayakan, faktor resiko, komplikasi, progresifitas dan tindakan operatif yang
dikerjakan. Hidrosefalus yang tidak diterapi akan menimbulkan gejala sisa,
gangguan neurologis serta kecerdasan. Dari kelompok yang tidak diterapi, 50-
70% akan meninggal karena penyakitnya sendiri atau akibat infeksi berulang, atau
oleh karena aspirasi pneumonia. Namun bila prosesnya berhenti (arrested
- 23 -
hidrosefalus) sekitar 40% anak akan mencapai kecerdasan yang normal
(Thanman, 1984). Pada kelompok yang dioperasi, angka kematian adalah 7%.
Setelah operasi sekitar 51% kasus mencapai fungsi normal dan sekitar 16%
mengalami retardasi mental ringan.
Prognosis ini juga tergantung pada penyebab dilatasi ventrikel dan bukan
pada ukuran mantel korteks pada saat dilakukan operasi. Anak dengan
hidrosefalus meningkat resikonya untuk berbagai ketidakmampuan
perkembangan. Rata-rata quosien intelegensi berkurang dibandingkan dengan
populasi umum, terutama untuk kemampuan tugas sebagai kebalikan dari
kemampuan verbal. Kebanyakan anak menderita kelainan dalam fungsi memori.
Masalah visual adalah lazim, termasuk strabismus, kelainan visuospasial, defek
lapangan penglihatan, dan atrofi optik dengan pengurangan ketajaman akibat
kenaikan tekanan intrakranial.Bangkitan visual yang kemungkinan tersembunyi
tertunda dan memerlukan beberapa waktu untuk sembuh pasca koreksi
hidrosefalus. Meskipun sebagian anak hidrosefalus menyenangkan dan bersikap
tenang, ada anak yang mememperlihatkan perilaku agresif dan melanggar.Adalah
penting sekali anak hidrosefalus mendapat tindak lanjut jangka panjang dengan
kelompok multidisipliner.
BAB III
- 24 -
KESIMPULAN
Hidrosefalus secara umum adalah kelebihan cairan serebrospinalis di
dalam kepala, biasanya di dalam sistem ventrikel; walaupun pada kasus
hidrosefalus eksternal pada anak-anak cairan akan berakumulasi di dalam rongga
arakhnoid. Implikasi dari istilah hidrosefalus adalah gangguan hidrodinamik
cairan likuor sehingga menimbulkan peningkatan volume intraventrikel
(ventrikulomegali).
Keadaan patologis dari hidrosefalus adalah bertambahnya cairan
serebrospinalis (CSS) sebagai akibat terganggunya absorbsi, adanya sumbatan
aliran CSS atau terjadi kelebihan sekresi dari cairan serebrospinalis.
Di dalam memahami kelainan hidrosefalus terlebih dahulu kita harus
mengetahui tentang kausa/penyebab dari kelainan tersebut (seperti; anomali
Arnold-Chiari, malformasi Dandy-Walker, Kiste subarakhnoida, aneurisma vena
serebri magna galeni, tumor dll.) serta faktor-faktor resiko yang ada (seperti;
trauma kapitis, perdarahan subarakhnoidal, infeksi sistem saraf pusat
(bakterial/virus), dll.). Dari hal tersebut kita dapat menentukan bahwa
hidrosefalus termasuk dalam kelompok kongenital ataupun akuisita yang akan
memberikan gambaran klinis tertentu. Setelah diagnosis hidrosefalus ditegakkan
baru kita dapat menentukan penatalaksanaan selanjutnya, apakah dilakukan
penanganan sementara, penanganan alternatif atau bahkan dilakukan operasi
pemasangan pintas (shunting). Dari terapi yang telah dilaksanakan pada penderita
hidrosefalus akan didapatkan hasil berupa sembuh/normal, cacat ataupun
meninggal.
DAFTAR PUSTAKA
- 25 -
Anatole, D.M. 1970 Neurology of Early Childhood, The William and Willins Co., Baltimore, pp: 202-6
Anonim, 1985 Hidrosefalus dalam Hassan, R., Alatas, H. (editor) Kumpulan Kuliah Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, cetakan ke IV, Jakarta. Hal : 874-8
Anonim, 1996, Kelainan Neurologi Hidrosefalus dalam Harsono (editor) Buku Ajar Neurologi Klinis dan Kapita Selekta, Gadjah Mada University Press, Bulaksumur, Yogyakarta. Hal 45-8
Ceddia A, Di Rocco C, Tanelli A, Lauretti L. 1992 Non Tumoral Neonatal Hydrocephalus, Result of Surgical Treatment in Firs Month of Live in Minerva-Pediatrics. 49(9) : 445-50
Fletcher J.M, Francis D.J, Thompson N.M, Davidson K.C, Miner M.E, 1992 Verbal and Non Verbal Skill Discrepancies in Hydrocephalus Children, in J Clin Exp Neuropsycho, 14(4) : 596-602
Harsono, 1994, Masalah Diagnosis Epilepsi, Lab. Ilmu Penyakit Sraf Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hal : 8-11
Holtz, B.J. and Mancuso, 1985, The Infant and Family in Hayman, L.L., Sporing, E.M. (editor) Handbook of Pediatrics Nursing, Wiley Medical Publication, New York
Huttenlocher, P.R. 1983 Hydrocephalus in Behrman, R.E. and Vaughan, V.C. (editor) Nelson : Textbook of Pediatrics, 12th ed, W.B. Saunders, Philadelphia.
Ismail, D. 1986 Kebutuhan Anak Untuk Mencapai Tumbuh Kembang yang Optimal, Kumpulan Makalah Temu Wicara, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hal : 56-8
Lott, I. T., Bocian, M., and Leitner, M. 1984 Fetal Hydrocephalus and Ear Anomalies, J pediatrics. 11 (3) : 173-5
Ngoerah, I. Gst. Ng. Gd., 1991, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf, Airlangga University Press, Surabaya. Hal : 45-9
- 26 -
Swaiman, K.F., and Wright, F.S. 1975 Hydrocephalus, in Farmer, T.W. (editor) Practice of Pediatrics Neurology, vol II, C.V Mosby Co., Saint Louis, 11(2) : 111-4
- 27 -
top related