halaman judul faktor-faktor yang berhubungan...
Post on 09-Mar-2019
219 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ii
HALAMAN JUDUL
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
TERDUGA HIPERURISEMIA PADA PRALANSIA DI POS PEMBINAAN
TERPADU (POSBINDU) WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAMULANG
TAHUN 2016
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh:
ARINA KHOIRINA
1112101000098
PEMINATAN GIZI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2016 M
iv
ABSTRAK
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN GIZI
Skripsi, Desember 2016
Nama : Arina Khoirina, NIM : 1112101000098
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia
pada Pralansia di Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang Tahun 2016
xxi + 107 halaman, 17 tabel, 4 gambar, 6 lampiran
Abstrak
Salah satu masalah kesehatan pada pralansia yang perlu mendapat perhatian
khusus adalah hiperurisemia. Dampak dari hiperurisemia adalah nyeri sendi atau
disebut penyakit gout, nefropati gout, batu urat saluran kemih, meningkatkan
risiko kejadian gagal jantung, stroke dan bahkan kematian. Oleh karena itu, perlu
diketahui adanya faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian terduga
hiperurisemia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian terduga hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja
Puskesmas Pamulang tahun 2016. Responden penelitian ini adalah pralansia (45-
59 tahun) yang dipilih melalui metode proportionate random sampling. Penelitian
ini merupakan penelitian epidemiologi observasional analitik dengan desain cross
sectional. Pengumpulan data dengan melakukan pengambilan darah metode stik
dengan Blood Uric Acid Test Strip, metode wawancara dengan kuesioner untuk
mengetahui karakteristik responden, metode GPPAQ untuk mengetahui tingkat
aktivitas fisik dan melakukan wawancara dengan metode Semi Quantitative FFQ
untuk melihat konsumsi fruktosa, purin, dan cairan. Data dilakukan analisis
univariat dan bivariat dengan uji chi square.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi frekuensi dari kejadian terduga
hiperurisemia pada pralansia sebesar 65,6%. Berdasarkan hasil uji bivariat dengan
tingkat kemaknaan 10% dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian terduga hiperurisemia adalah riwayat keluarga, kegemukan,
asupan fruktosa, asupan purin, dan asupan cairan. Sedangkan faktor-faktor yang
tidak berhubungan dengan kejadian terduga hiperurisemia adalah jenis kelamin
dan aktivitas fisik.
Oleh karena itu, perlu diperhatikan adanya riwayat penyakit dalam keluarga
agar lebih berhati-hati dan menjaga pola makan sehat; mengurangi konsumsi
sumber makanan yang mengandung tinggi kalori, misalnya makanan dengan
kandungan lemak tinggi, seperti daging, makanan yang berminyak seperti nasi
goreng, kentang goreng; mengurangi konsumsi daging, jeroan dan seafood;
dianjurkan untuk mengkonsumsi air putih minimal 8 gelas sehari; serta memantau
berat badan normal dan menurunkan berat badan pada pralansia yang mengalami
kegemukan.
Kata kunci : Pralansia, Hiperurisemia, Posbindu
Daftar bacaan : 80 (2001-2016)
v
ABSTRACT
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
DEPARTEMENT OF PUBLIC HEALTH
NUTRITION CONCENTRATION
Undergraduate Thesis, Desember 2016
Name : Arina Khoirina, ID Number: 1112101000098
The Factors Related to Hyperuricemia Suspect in Pre-Elderly at Posbindu in
Coverage Area of Pamulang Community Health Center in 2016
xxi + 107 pages, 17 tables, 4 pictures, 6 attachments
Abstract
One of the health problems in pre-elderly that needs special attention is
hyperuricemia. The impact of hyperuricemia is joint pain (gout), nephropathy
gout, urate stones urinary tract, increasing the risk of incident heart failure, stroke
and even death. Therefore, it is important to know the factors associated with
hyperuricemia suspect.
This study aims to determine the factors related with hyperuricemia suspect in
pre-elderly at Posbindu in coverage area of Pamulang community health center in
2016. Respondents of this study are pre-elderly (45-59 years) were selected
through proportionate random sampling method. This study is an analytic
observational epidemiological study with cross-sectional design. Data is collected
by measuring blood with blood uric acid test strip of stick method, interview
method with questionnaires to determine the respondent characteristics, GPPAQ
method to determine physical activity level, and semi quntitative FFQ to
determine fructose, purine, and liquid intake. Analysis of the data consists of
univariate analysis and bivariate analysis using the chi-square test.
The results showed that total of patients with hyperuricemia suspect in pre-
elderly amounted to 65.6%. Based on the results of the bivariate test with
significance level of 10% can be seen that the factors associated with the
incidence of hyperuricemia is family history, overweight, fructose intake, purine
intake, and liquid intake. While the factors that are not related to the incidence of
hyperuricemia is gender and physical activity.
Therefore, to note the existence of a family history of the disease to be more
cautious and maintain a healthy diet; reducing consumption of foods containing
high calories such as meat, greasy food like fried rice, fried fries; reducing the
consumption of meat, giblets and seafood; recommended to consume at least 8
glasses of water a day; and monitoring of normal weight and weight loss in obese
pre-elderly.
Keywords : Pre-elderly, Hyperuricemia, Posbindu
References : 80 (2001-2016)
viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. DATA PERSONAL
Nama : Arina Khoirina
Jenis kelamin : Perempuan
TTL : Jepara, 28 September 1994
Alamat : RT 004 RW 001 Desa Banjaran Kec. Bangsri Kab. Jepara
No. Telp/HP : 0895327778505
Kebangsaan : Indonesia
Status : Belum Menikah
Email : arinakhoirina2828@gmail.com
B. RIWAYAT PENDIDIKAN FORMAL
2012 – sekarang : Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2009 – 2012 : MA Hasyim Asy’ari Bangsri Jepara
2006 – 2009 : MTsN Bawu Jepara
2000 - 2006 : MI Mabadil Huda Banjaran Bangsri Jepara
1998 - 2000 : TK GUPPI Banjaran Bangsri Jepara
ix
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Shalawat serta salam senantiasa
tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ucapan terima kasih penulis
hanturkan secara ikhlas dan penuh dengan kerendahan hati atas terselesaikannya
skripsi ini kepada :
1. Orang tua tercinta yang telah berikhtiar, sabar, mendidik serta kepada Mbak
Muhimmatul Aliyah dan Nang Miftahul Arzaq al-Jabar yang telah memberi
dukungan serta doa untuk penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
2. Bapak Prof. Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
mengabdikan dirinya untuk dunia pendidikan kesehatan.
3. Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes, Ph.D selaku Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat sekaligus staf dosen yang telah sabar mendidik dan
mengajarkan ilmu pengetahuan yang berguna bagi masa depan penulis.
4. Ibu Febrianti, S.P, M.Si dan Bapak Dr. H. Farid Hamzens, M.Si selaku
pembimbing I dan pembimbing II yang selalu memberikan bimbingan dan
arahan serta mengizinkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
5. Rekan-rekan kesehatan masyarakat peminatan gizi 2012, khususnya Dek
Amay (Aprilita Noor A.) yang telah bersama-sama menuntut ilmu,
membantu, berdiskusi, memberi dukungan serta doa terhadap penelitian ini.
x
6. Rekan-rekan Pesantren Luhur Sabilussalam, khususnya rekan kamar Ikhda
K.M dan Ayu Sajida D.A yang telah memberikan doa dan dukungan terhadap
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
7. Rekan-rekan CSS MoRA UIN Jakarta, khususnya rekan-rekan CSS MoRA
Program Studi Kesehatan Masyarakat angkatan 2012 yaitu Ahmad Faiz,
Ainia Nurul A., Andi Saeful M., Astuti Akin, Ivanullah Anggriawan W.,
Maulida Nella M., Nurmala Saidah dan Suharni yang telah bersama-sama
menuntut ilmu dan menjadi keluarga bagi penulis, memberi doa dan
dukungan sampai penyelesaian penulisan skripsi.
8. Mas Miftachul Huda yang telah mendukung dan mendampingi penulis dalam
penyusunan skripsi ini.
Semoga ilmu yang diajarkan, bimbingan dan arahan yang disampaikan
serta doa dan dukungan yang telah diberikan dari berbagai pihak terhadap penulis
mendapatkan ganjaran pahala dari Allah. Sungguh Maha Sempurna Allah SWT,
kekurangan dan kekhilafan terdapat pada penulis maka dari itu penulis menyadari
dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan
kritik yang membangun dari pembaca sangat diharapkan sebagai bahan masukan
bagi penulis untuk menghasilkan karya yang lebih baik. Semoga Allah SWT
merestui dan memberikan ridho-Nya atas semua amal perbuatan kita, Amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, Desember 2016
Penulis
xi
DAFTAR ISTILAH
Albumin adalah protein darah yang diproduksi oleh hati dan berperan dalam
mempertahankan volume darah normal.
Artritis Gout atau penyakit asam urat adalah peradangan menyakitkan
terutama jempol kaki dan jari-jari kaki yang disebabkan oleh masalah
metabolisme asam urat yang mengakibatkan deposit kristal asam dan garam di
darah dan sendi.
Asam Laktat adalah produk sampingan dari metabolism anaeron glukosa.
Asam Nukleat adalah suatu polimer yang terdiri atas banyak molekul nukleotida.
Asam Urat adalah asam lemah yang pada pH normal akan terionisasi di dalam
darah dan jaringan menjadi ion urat.
Patogenesis adalah mekanisme penyebab penyakit atau penggambaran asal usul
dan perkembangan penyakit (akut, kronis atau berulang).
Hereditas adalah informasi genetik dan sifat-sifat yang diwariskan dari orang tua
kepada keturunannya.
Hiperurisemia adalah gangguan metabolik yang ditandai dengan peningkatan
kadar asam urat lebih dari 5,7 mg/dL pada wanita dan lebih dari 7,0 mg/dL pada
laki-laki.
Hipoksantin adalah sebuah turunan purin yang diubah menjadi xantin oleh enzim
xantin oksidase dan kemudian xantin akan diubah menjadi asam urat.
Glikolisis adalah salah satu metode yang digunakan sel untuk menghasilkan
energi melalui proses pengubahan glukosa menjadi dua molekul asam piruvat
dengan menghasilkan ATP dan NADH.
Glikogen adalah karbohidrat yang tersimpan dalam jaringan tubuh. Hati
mengubah glukosa dari makanan menjadi glikogen dan menyimpannya unuk
digunakan kemudian.
Obesitas adalah kondisi kronis yang ditandai dengan akumulasi lemak tubuh yang
berlebihan.
Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah ukuran berat badan dalam kilogram dibagi
dengan kuadrat tinggi badan dalam meter. Dikategorikan kegemukan jika IMT ≥
25-27 kg/m2 dan obesitas jika IMT ≥ 27 kg/m
2.
xii
Jaringan Adiposa adalah jaringan yang terdiri dari sel-sel adiposit dan tubuh
menyimpan lemak dalam bentuk trigliserida.
Darah Kapiler adalah pembuluh darah mikroskopis kecil antara arteri dan vena
yang mendistribusikan darah yang kaya oksigen ke jaringan tubuh.
Globulin adalah kelompok protein yang digunakan uuntuk produksi antibodi.
Katabolisme adalah pemecahan molekul kompleks menjadi lebih kecil disertai
dengan pelepasan energi.
Kolesterol adalah senyawa berstruktur lembek dan terdapat diantara lemak dalam
aliran darah dan semua sel tubuh. Ada dua jenis kolesterol yaitu Low Density
Lipoporitein (LDL) atau kolesterol jahat dan High Density Lipoprotein (HDL)
atau kolesterol baik.
Leptin adalah hormon yang dilepaskan dari sel-sel lemak dalam jaringan adiposa.
Menopause adalah penghentian tetap menstruasi, baik secara alamiah atau
disebabkan oleh kegagalan ovarium atau akibat operasi pengangkatan indung
telur.
Metabolisme adalah pertukaran zat pada organisme yang meliputi proses fisika
dan kimia; pembentukan dan penguraian zat di dalam badan yang memungkinkan
berlangsungnya hidup.
Nukleoprotein adalah protein yang bergabung dengan asam nukleat.
Nukleosida adalah rangkaian biokimiawi yang terbentuk dari suatu rangkaian
kimiawi deoksiribosa dan basa nitrogen (purin dan pirimidin).
Nukleotida adalah unit struktural dasar asam nukleat (DNA atau RNA)
Penyakit Degeneratif adalah penyakit yang bersifat merusak secara progresif dan
sering ireversibel.
Pirimidin adalah suatu basa nitrogen dalam pita DNA yang terdiri dari sitosin,
timin, dan urasil.
Purin adalah suatu basa nitrogen dalam pita DNA yang terdiri dari adenin dan
guanin yang merupakan komponen dari makanan tertentu yang dimetabolisme
menjadi asam urat dalam tubuh.
Sintesis adalah pembentukan senyawa kimia dari unsur-unsur atau senyawa
prekursor.
Sintesis de novo adalah pembentukan sebuah molekul penting dari molekul
prekursor sederhana.
xiii
Ukuran Rumah Tangga (URT) adalah ukuran takaran makanan yang biasa
digunakan dalam rumah tangga seperti sendok teh, sendok makan, sendok takar,
piring, gelas, botol, kaleng, mangkuk, bungkus, buah, dan biji. URT sering
digunakan dalam survei konsumsi makanan.
Xantin adalah salah satu bentuk purin yang merupakan bentuk antara dari
metabolisme adenine dan guanine menjadi asam urat.
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ............................................................................................ i
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................................. iv
ABSTRACT ............................................................................................................ v
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................ vi
LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI ................................................................ vii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................. viii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix
DAFTAR ISTILAH ............................................................................................... xi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiv
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xviii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xx
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xxi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 5
1.3 Pertanyaan Penelitian ....................................................................................... 5
1.4 Tujuan Penelitian .............................................................................................. 6
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................................................ 7
1.6 Ruang Lingkup .................................................................................................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 9
2.1 Hiperurisemia .................................................................................................... 9
2.1.1 Definisi Hiperurisemia ......................................................................... 9
2.1.2 Patofisiologi Hiperurisemia................................................................ 10
2.1.3 Komplikasi Hiperurisemia ................................................................. 14
xv
2.1.4 Cara Pemeriksaan Kadar Asam Urat Darah pada Hiperurisemia ...... 16
2.2 Konsep Pralansia ............................................................................................. 19
2.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Terduga
Hiperurisemia .................................................................................................. 23
2.3.1 Riwayat Keluarga ............................................................................... 23
2.3.2 Jenis Kelamin ..................................................................................... 25
2.3.3 Aktivitas fisik ..................................................................................... 26
2.3.4 Kegemukan (Overweight) .................................................................. 29
2.3.5 Asupan makanan ................................................................................ 32
2.4 Kerangka Teori ................................................................................................ 42
BAB III KERANGKA KONSEP ......................................................................... 44
3.1 Kerangka Konsep ............................................................................................ 44
3.2 Definisi Operasional ....................................................................................... 46
3.3 Hipotesis Penelitian ........................................................................................ 50
BAB IV METODE PENELITIAN ....................................................................... 51
4.1 Desain Penelitian ............................................................................................ 51
4.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian ........................................................................ 51
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian .................................................................... 51
4.4 Metode Pengumpulan Data ........................................................................... 55
4.5 Instrumen Penelitian ....................................................................................... 58
4.6 Manajemen Data ............................................................................................. 59
4.7 Analisis Data ................................................................................................... 66
4.7.1 Analisis Univariat ............................................................................... 66
4.7.2 Analisis Bivariat ................................................................................. 66
BAB V HASIL ...................................................................................................... 68
5.1 Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016 .................... 68
5.2 Analisis Univariat ........................................................................................... 69
5.2.1 Distribusi Frekuensi Kejadian Terduga Hiperurisemia Pralansia di
Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang ................................. 69
5.2.2 Distribusi Frekuensi Riwayat Keluarga Pralansia di Posbindu Wilayah
Kerja Puskesmas Pamulang ............................................................... 70
xvi
5.2.3 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Pralansia di Posbindu Wilayah
Kerja Puskesmas Pamulang ............................................................... 70
5.2.4 Distribusi Frekuensi Aktivitas Fisik pada Pralansia di Posbindu
Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang ................................................. 71
5.2.5 Distribusi Frekuensi Kegemukan pada Pralansia di Posbindu Wilayah
Kerja Puskesmas Pamulang ............................................................... 71
5.2.6 Dstribusi Frekuensi Asupan Makan (Fruktosa, Purin, Cairan) pada
Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang ............. 72
5.3 Analisis Bivariat .............................................................................................. 73
5.3.1 Hubungan Riwayat Keluarga dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia
pada Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang ..... 73
5.3.2 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia
pada Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang ..... 74
5.3.3 Hubungan Aktifitas Fisik dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia
pada Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang ..... 75
5.3.4 Hubungan Kegemukan dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia pada
Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang ............. 76
5.3.5 Hubungan Asupan Makan (Fruktosa, Purin dan Cairan) dengan
Kejadian Terduga Hiperurisemia pada Pralansia di Posbindu Wilayah
Kerja Puskesmas Pamulang ............................................................... 76
BAB VI PEMBAHASAN ..................................................................................... 79
6.1 Keterbatasan Penelitian .................................................................................. 79
6.2 Gambaran Kejadian Terduga Hiperurisemia ............................................... 80
6.3 Hubungan Riwayat Keluarga dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia 82
6.4 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia ....... 84
6.5 Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia ...... 85
6.6 Hubungan Kegemukan dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia ........... 87
6.7 Hubungan Asupan Makan dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia ..... 90
6.7.1 Hubungan Asupan Fruktosa dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia
............................................................................................................ 90
6.7.2 Hubungan Asupan Purin dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia .. 92
6.7.3 Hubungan Asupan Cairan dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia 94
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 97
7.1 Simpulan .......................................................................................................... 97
xvii
7.2 Saran ................................................................................................................. 99
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 101
LAMPIRAN ........................................................................................................ 107
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Batasan IMT (Indeks Massa Tubuh) Penduduk Dewasa (>18 Tahun) . 29
Tabel 2.2 Kadar Purin dalam Berbagai Makanan ................................................. 35
Tabel 4.1 Nilai P (Proporsi) Variabel Dependen dan Variabel Independen ......... 52
Tabel 4.2 Nilai P1 dan P2 dari Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Hiperurisemia................................................................................................. 53
Tabel 4.3 Jumlah Pralansia pada Tiap Posbindu di Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang dalam Populasi dan sampel ........................................................... 54
Tabel 5.1 Nama-nama Posbindu di Setiap Kelurahan Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2016 ................................................................................... 68
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Kejadian Terduga Hiperurisemia pada Pralansia di
Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016 ........................ 69
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Riwayat Keluarga pada Pralansia di Posbindu
Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016 ........................................ 70
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin pada Pralansia di Posbindu Wilayah
Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016 ....................................................... 70
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Aktivitas Fisik pada Pralansia di Posbindu Wilayah
Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016 ....................................................... 71
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Kegemukan pada Pralansia di Posbindu Wilayah
Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016 ....................................................... 72
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Asupan Makan (Fruktosa, Purin, Cairan) pada
Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016..... 72
Tabel 5.8 Analisis Hubungan antara Riwayat Keluarga dengan Kejadian Terduga
Hiperurisemia pada Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2016 ................................................................................... 74
Tabel 5.9 Analisis Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Kejadian Terduga
Hiperurisemia pada Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2016 ................................................................................... 74
Tabel 5.10 Analisis Hubungan antara Aktifitas Fisik dengan Kejadian Terduga
Hiperurisemia pada Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2016 ................................................................................... 75
xix
Tabel 5.11 Analisis Hubungan antara Kegemukan dengan Kejadian Terduga
Hiperurisemia pada Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2016 ................................................................................... 76
Tabel 5.12 Analisis Hubungan antara Asupan Makan (Fruktosa, Purin dan Cairan)
dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia pada Pralansia di Posbindu Wilayah
Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016 ....................................................... 77
xx
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Patofisiologi Hiperurisemia dan Gout ............................................... 12
Gambar 2.2 Pembentukan Asam Urat dari Nukleosida ........................................ 14
Gambar 2.3 Kerangka Teori .................................................................................. 43
Gambar 3.1 Kerangka Konsep .............................................................................. 45
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Izin Penelitian
Lampiran 2 Kuesioner Penelitian
Lampiran 3 Formulir General Practice Physical Activity Questionnaire
Lampiran 4 Formulir Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire
Lampiran 5 Formulir Kadar Asam Urat Darah
Lampiran 6 Output Analisis Data Software Komputer
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hiperurisemia merupakan gangguan metabolik yang ditandai dengan
peningkatan kadar asam urat lebih dari 5,7 mg/dL pada wanita dan lebih
dari 7,0 mg/dL pada laki-laki (Lang, 2009). Dampak langsung yang sering
dirasa dari hiperurisemia adalah pembengkakan dan nyeri sendi. Persendian
yang terasa nyeri diakibatkan adanya peradangan sendi (Wong, 2011). Nyeri
sendi yang terjadi akibat kadar asam urat tinggi di dalam darah disebut
penyakit gout. Penyakit gout merupakan peradangan terutama pada jempol
kaki dan jari-jari kaki yang disebabkan oleh masalah metabolisme asam urat
yang mengakibatkan deposit kristal asam dan garam di darah dan sendi.
Lebih dari itu, hiperurisemia dapat berdampak lebih besar pada organ
tubuh lain yang selanjutnya dapat berdampak ke seluruh tubuh. Seseorang
yang memiliki hiperurisemia berisiko terhadap nefropati gout. Peningkatan
kadar asam urat di dalam urin menyebabkan pengendapan kristal urat di
ginjal atau kandung kemih, menjadi batu urat saluran kemih (Soeroso,
2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ekundayo (2010),
hiperurisemia juga dapat meningkatkan risiko kejadian gagal jantung, stroke
dan kematian (Kim dkk, 2009).
2
Diketahui dari hasil survei yang dilakukan oleh You dkk (2013) di
populasi Mongolia Asia, prevalensi penderita hiperurisemia pada usia 45-59
tahun sebesar 13,32%. Berdasarkan laporan bidang biomedis, di Indonesia,
prevalensi hiperurisemia pada kelompok usia 45-54 tahun adalah 18,7% dan
pada kelompok usia 55-64 tahun yaitu 20,0% (Kemenkes RI, 2012). Dari
hasil survei tersebut dapat diketahui bahwa prevalensi hiperurisemia pada
pralansia di Indonesia lebih tinggi dibandingkan prevalensi pralansia di
Mongolia Asia.
Prevalensi yang tinggi juga ditunjukkan dalam Riskesdas di Provinsi
Banten tahun 2013. Diketahui bahwa prevalensi penyakit peradangan
sistemik kronik pada sendi tubuh sebagai salah satu tanda hiperurisemia
pada kelompok usia 45-54 tahun adalah 36,1% dan pada kelompok usia 55-
64 tahun yaitu 43,7%. Laporan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan
tahun 2015, diketahui bahwa kejadian terduga hiperurisemia pada kelompok
pra lanjut usia adalah sebesar 22,2%. Prevalensi ini juga lebih tinggi dari
prevalensi nasional pada laporan biomedis Kemenkes tahun 2010.
Di Kota Tangerang Selatan, hiperurisemia merupakan salah satu
masalah kesehatan utama pada pralansia di wilayah kerja Puskesmas (PKM)
Pamulang. Selain itu, wilayah kerja Puskesmas Pamulang memiliki
kelompok pralansia terbanyak di Kota Tangerang Selatan sebesar 11,15%.
Dari laporan kasus baru (LB1) bulan Juli-Desember tahun 2015 PKM
Pamulang, diketahui berturut-turut prevalensi hiperurisemia, hipertensi, dan
diabetes melitus adalah sebesar 0,71%; 0,50%; dan 0,42%. Selanjutnya,
berdasarkan data di Posbindu PTM (Penyakit Tidak Menular) Puskesmas
3
Pamulang bulan Februari tahun 2016, ditemukan bahwa sebesar 64,3%
pralansia hiperurisemia.
Untuk mencegah peningkatan kadar asam urat darah harus diketahui
berbagai faktor yang berhubungan dengan meningkatnya kadar asam urat
dalam darah atau hiperurisemia. Diketahui faktor-faktor yang berhubungan
dengan kadar asam urat darah pada pra lanjut usia adalah riwayat keluarga,
jenis kelamin, aktivitas fisik, kegemukan, asupan fruktosa, purin, dan cairan.
Analisis dari National Heart, Lung, and Blood Institute Family Studies
(2001) menyimpulkan bahwa kadar asam urat berhubungan dengan riwayat
keluarga sebesar 40%. Seseorang dengan riwayat keluarga/keturunan yang
mempunyai hiperurisemia, mempunyai risiko 1-2 kali lipat dibanding pada
seseorang yang tidak memiliki riwayat (Astuti, 2014). Pada kelompok
pralansia, jenis kelamin laki-laki lebih banyak mengalami hiperurisemia.
Dalam penelitian Lina (2014), laki-laki yang mengalami hiperurisemia
sebesar 19,7%, sedangkan pada perempuan sebesar 7,9%. Kadar asam urat
darah pada laki-laki sudah dapat mencapai 5,2 mg/dl saat pubertas dan akan
terus meningkat seiring bertambahnya usia.
Aktivitas fisik juga berhubungan dengan kadar asam urat darah
(Nahariani, 2012). Aktivitas fisik dalam intensitas yang berlebihan dapat
memberikan beban berlebih pada sendi yang dapat menyebabkan
peningkatan asam laktat, sehingga akan menghambat dan menurunkan
pengeluaran asam urat (Xiong dkk, 2013). Orang yang mengalami
kegemukan juga mempunyai risiko mengalami peningkatan kadar asam urat
4
darah. Dari penelitian Setyoningsih (2009) ditemukan bahwa pada orang
gemuk (IMT ≥ 25 kg/m2), kadar leptin dalam tubuh akan meningkat.
Peningkatan kadar leptin seiring dengan meningkatnya kadar asam urat
dalam darah. Orang gemuk mempuyai risiko 2,5 kali untuk mengalami
hiperurisemia dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami gemuk
(Poletto dkk, 2011). Selain itu, dari penelitian Modino dkk (2012) juga
diketahui tingginya prevalensi hiperurisemia dengan kejadian kegemukan.
Asupan makanan seseorang juga dapat menjadi faktor terjadinya
hiperurisemia. Konsumsi makanan yang mengandung tinggi fruktosa
memiliki peran dalam peningkatan kadar asam urat dalam darah
(Zimmerman, 2009). Selain itu, asupan purin yang tinggi seperti konsumsi
daging dan seafood juga terbukti sebagai faktor risiko yang berhubungan
dengan tingginya prevalensi hiperurisemia sesuai dengan hasil penelitian
Villegas dkk (2012). Kemudian, kurangnya konsumsi cairan yang tidak
beralkohol merupakan salah satu pemicu tingginya kadar asam urat
berdasarkan hasil penelitian Fajarina (2011).
Dari uraian masalah hiperurisemia adalah masalah kesehatan utama pada
pralansia di wilayah kerja puskesmas Pamulang, dampak yang akan terjadi,
maka perlu untuk diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian terduga hiperurisemia untuk mencegah terjadinya hiperurisemia
dan gout pada pralansia. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian
untuk mencari faktor-faktor pencetus dari masalah tersebut, dengan judul
penelitian “Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian Terduga
5
Hiperurisemia pada Pralansia di Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu)
Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016”.
1.2 Rumusan Masalah
Hiperurisemia adalah masalah kesehatan utama pralansia (45-59 tahun)
di wilayah kerja Puskesmas Pamulang, yaitu sebesar 63,4% yang
mempunyai rata-rata kadar asam urat 9,14 mg/dl, sehingga perlu segera
ditangani karena dapat menyebabkan penyakit asam urat (arthritis gout),
dan penyakit degeneratif lain seperti nefropati gout, gagal jantung, stroke,
bahkan kematian. Laporan Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan tahun
2015, diketahui bahwa prevalensi gout pada pralansia adalah sebesar
28,41%. Prevalensi gout ini lebih tinggi dari prevalensi hiperurisemia, yakni
sebesar 22,2%. Sehingga penelitian pada kelompok pralansia dapat
dilakukan untuk mengetahui risiko terjadinya hiperurisemia dan mencegah
dampak dari hiperurisemia tersebut.
Diketahui adanya faktor yang berhubungan dengan kejadian terduga
hiperurisemia adalah riwayat keluarga, jenis kelamin, aktivitas fisik,
kegemukan, asupan fruktosa, asupan purin, dan asupan cairan. Oleh karena
itu, peneliti ingin mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian terduga hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja
Puskesmas Pamulang tahun 2016.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Adapun pertanyan-pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
6
1. Bagaimana distribusi frekuensi kejadian terduga hiperurisemia, riwayat
keluarga, jenis kelamin, aktivitas fisik, kegemukan, asupan makan
(fruktosa, purin, cairan) pada pralansia di Pos Pembinaan Terpadu
wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016?
2. Adakah hubungan antara riwayat keluarga, jenis kelamin, aktivitas
fisik, kegemukan, asupan makan (fruktosa, purin, cairan) dengan
kejadian terduga hiperurisemia pada pralansia di Pos Pembinaan
Terpadu wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016?
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Tujuan umum
Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
terduga hiperurisemia pada pralansia di Pos Pembinaan Terpadu
(Posbindu) wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016.
b. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Diketahuinya distribusi frekuensi kejadian terduga hiperurisemia, riwayat
keluarga, jenis kelamin, aktivitas fisik, kegemukan, asupan makan
(fruktosa, purin, cairan) pada pralansia di Pos Pembinaan Terpadu wilayah
kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016?
2. Diketahuinya hubungan antara riwayat keluarga, jenis kelamin, aktivitas
fisik, kegemukan, asupan makan (fruktosa, purin, cairan) dengan kejadian
7
terduga hiperurisemia pada pralansia di Pos Pembinaan Terpadu wilayah
kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016?
1.5 Manfaat Penelitian
1. Bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
mengenai kasus kadar asam urat darah tinggi dan dapat dijadikan dasar
untuk mencegah dan menanggulangi hiperurisemia pada pralansia di
Posbindu wilayah kerja Puskesmas Pamulang.
2. Bagi Pralansia
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran untuk
menerapkan pola hidup sehat sehingga dapat mencegah kejadian terduga
hiperurisemia bahkan penyakit gout.
3. Bagi Peneliti
Mahasiswa dapat menambah pengetahuan dan mengembangkan
keilmuan gizi, khususnya terkait epidemiologi gizi dan kesehatan
masyarakat, serta penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk melakukan
penelitian lanjutan.
1.6 Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswi peminatan gizi program studi
kesehatan masyarakat untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian terduga hiperurisemia pada pralansia di Pos Pembinaan
Terpadu di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016. Penelitian ini
dilakukan pada bulan Mei hingga bulan Oktober 2016 dengan jenis
8
penelitian epidemiologi observasional analitik dengan desain cross
sectional.
Pengumpulan data primer dengan cara melakukan pengambilan darah
metode stik dengan Blood Uric Acid Test Strip, metode wawancara dengan
kuesioner untuk mengetahui karakteristik responden, metode GPPAQ untuk
mengetahui tingkat aktivitas fisik dan melakukan wawancara dengan metode
Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire untuk melihat konsumsi
fruktosa, purin, dan cairan. Kemudian data dilakukan analisis univariat dan
analisis bivariat dengan uji chi square.
9
2 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hiperurisemia
2.1.1 Definisi Hiperurisemia
Hiperurisemia merupakan gangguan metabolik yang ditandai dengan
peningkatan kadar asam urat dalam tubuh. Untuk laki-laki, ambang batas
normal dalam darah adalah 7,0 mg/dl. Adapun pada perempuan, batas kadar
asam urat darah normal adalah 5,7 mg/dl (Soeroso, 2011). Hiperurisemia
terjadi ketika asam urat serum melebihi batas tinggi (upper limit) dari jarak
yang direkomendasikan. Hiperurisemia dapat berasal dari peningkatan
produksi purin dan/atau penurunan eksresi asam urat di ginjal (Lee, 2009).
Berdasarkan penyebabnya, hiperurisemia dibagi menjadi dua kelompok.
Ketika meningkatnya konsentrasi asam urat merupakan akibat langsung
pembentukan asam urat tubuh yang berlebihan atau akibat penurunan
ekskresi asam urat dan sering tidak diketahui penyebabnya disebut sebagai
hiperurisemia primer. Sedangkan hiperurisemia sekunder terjadi akibat
pembentukan asam urat yang berlebihan atau penurunan eksresi asam urat
akibat beberapa faktor atau dikarenakan adanya penyakit lain dan terapi
obat-obatan tertentu (Price, 2005).
10
2.1.2 Patofisiologi Hiperurisemia
Patofisiologi hiperurisemia disebabkan oleh tiga faktor, yaitu produksi
asam urat berlebih, penurunan eksresi asam urat dan kombinasi peningkatan
produksi asam urat dan penurunan ekskresi asam urat (Utami dkk, 2009).
Proses terjadinya hiperurisemia berawal dari adanya metabolisme purin dan
asam urat. Ketika kadar asam urat serum melebihi batas normal yang
menyebabkan penumpukan kristal monosodium urat di dalam sendi.
Patofisiologi hiperurisemia ini akan dijelaskan secara lebih rinci pada
penjelasan berikut.
A. Metabolisme Purin dan Asam Urat
Menurut Hsu (2006), asam urat merupakan produk terakhir dari
metabolisme purin. Asam urat dihasilkan dari dua hal, yaitu berasal dari
pemecahan dan sisa-sisa pembuangan bahan makanan tertentu yang
mengandung nukleotida purin (eksogen) dan berasal dari tubuh yang
memproduksi nukleotida purin (endogen). Asam urat yang diproduksi
oleh tubuh sebagian besar berasal dari metabolisme nukleotida purin
endogen, adenosin, inosin, guanosin. Prosesnya berlangsung melalui
perubahan intermediet hypoxanthine dan guanine menjadi xanthine dan
dikatalis oleh enzim xanthine oksidase dengan produk akhir berupa asam
urat (Lihat Gambar 2.2 Pembentukan Asam Urat dari Nukleosida)
(Murray, 2009).
Asam urat merupakan asam lemah yang pada pH normal akan
terionisasi di dalam darah dan jaringan menjadi ion urat. Dengan
berbagai kation yang ada, ion urat akan membentuk garam dan 98%
11
asam urat ekstraselular akan membentuk garam monosodium urat (MSU)
(Dalimartha, 2008). Jumlah asam urat dalam tubuh dicerminkan oleh
kadar natruim urat dalam serum darah. Kandungan normal natrium urat
di dalam serum pada suhu 37 derajat celcius kurang dari 7 mg/dl. Pada
wanita, kadar asam urat normal berkisar 2,4-5,7 mg/dl dan untuk pria,
berkisar 3,4-7 mg/dl (Kemenkes, 2007).
Asam urat dari sumber eksogen maupun endogen diekskresikan
melalui gastrointestinal dan ginjal (Hsu, 2006). Jika kadar asam urat
serum melebihi standar disebut dengan hiperurisemia. Ketika asam urat
dalam darah melebihi batas kelarutannya, hal tersebut terjadi karena
adanya mekanisme kelebihan produksi asam urat di dalam tubuh dan
penurunan ekskresi asam urat melalui urin. Terdapat sekitar 20-30%
penderita gout atau hiperurisemia yang mengalami kelainan sintesa purin
dalam jumlah besar sehingga asam urat dalam darah berlebihan.
Sementara itu, sekitar 70-80% penderita hiperurisemia mengalami
kelebihan produksi asam urat karena pengeluaran asam urat yang tidak
sempurna melalui urin (Yenrina, 2014).
Murray (2009) menjelaskan adanya kelebihan produksi asam urat
dalam darah ini, menyebabkan peningkatan produksi asam urat atau
retensi asam urat, sehingga kadar asam urat serum menjadi meningkat.
Masalah akan timbul jika terbentuk kristal-kristal monosodium urat
monohidrat pada sendi-sendi dan jaringan sekitarnya. Kristal-kristal ini
mengakibatkan reaksi peradangan yang dapat berlanjut menimbulkan
nyeri hebat, disebut artritis gout. Jika tidak diobati, endapan kristal akan
12
menyebabkan kerusakan yang hebat pada sendi dan jaringan lunak (Price
dan Wilson, 2005).
Xantin oksidase
Xantin oksidase
Metabolisme purin dan asam urat merupakan hal penting yang
berkaitan dengan hiperurisemia. Kelainan metabolisme purin dan asam
urat dapat menyebabkan penyakit tersebut. Purin merupakan suatu
molekul berbentuk nukleotida yang terdapat di dalam sel. Nukelotida
merupakan unit dasar dalam proses biokimiawi penurunan sifat genetik.
Jenis nukleotida yang paling dikenal peranannya adalah purin dan
pirimidin, berfungsi sebagai pembentuk asam ribonukleat (RNA) dan
asam deoksiribonukleat (DNA) (Murray, 2009).
Diet
Purin
Xantin
Hipoksantin
Asam ribonukleat
dari sel
↑ Asam Urat (Hiperurisemia)
Inflamasi dan
kerusakan jaringan
Fagositosis
kristal leukosit
Kristalisasi
dalam jaringan
Gambar 2.1 Patofisiologi Hiperurisemia dan Gout
13
Di dalam bahan makanan, purin terdapat dalam asam nukleat berupa
nukleoprotein. Ketika masuk ke pencernaan usus, nukleat dilepaskan dari
nukleoprotein oleh enzim pencernaan. Kemudian, asam nukleat ini akan
dipecah lagi menjadi mononukleotida. Dari mononukleotida yang
dihidolisis menjadi nukleosida, tubuh dapat menyerapnya secara
langsung. Sebagian lagi, mononukleotida dipecah menjadi purin dan
pirimidin. Molekul purin kemudian teroksidasi menjadi asam urat
(Murray, 2009).
B. Pembentukan Asam Urat Dalam Tubuh
Asam urat merupakan hasil akhir dari metabolisme purin (adenosine
dan guanosin). Asam urat dapat diabsorpsi melalui mukosa usus dan
diekskresikan melalui urin. (Hsu, 2006). Murray (2009), asam urat
terbentuk dari hasil metabolisme ikatan kimia yang mengandung nitrogen
yang terdapat dalam asam nukleat yang disebut purin.
Pada manusia normal, kurang dari 10% dari asam urat diekskresikan
melalui ginjal (Hsu, 2006). Dalam proses pembentukan asam urat
dibutuhkan enzim untuk sintesis asam urat. Enzim xantin oksidase adalah
enzim yang penting berperan dalam sintesis asam urat. Enzim tersebut
sangat aktif bekerja dalam hati, usus halus, dan ginjal. Tanpa bantuan
enzim ini, asam urat tidak dapat dibentuk (Offermanns, 2008).
Mekanisme turn over dari asam urat (Murray, 2009) adalah sebagai
berikut.
14
Produksi asam urat di dalam tubuh selain sebagai jalur pembuangan
hasil pemecahan purin, pada kadar tertentu asam urat dibutuhkan juga
oleh tubuh sebagai antioksidan. Pada orang normal, jumlah asam urat
kurang lebih 1000 mg dengan kecepatan turn over 600 mg/hari (Yenrina,
2014).
Berdasarkan jumlah asam urat ini, penderita hiperurisemia dapat
dibedakan menjadi dua grup. Grup pertama terdiri dari penderita
hiperurisemia yang mengalami sedikit kenaikan, besarnya total asam urat
yaitu 1300 mg dengan turn over normal 650 mg/hari. Grup kedua,
penderita hiperurisemia denga kenaikan yang jelas, besarnya 2400 mg
dengan turn over 1200 mg (Krisnatuti, 2006).
2.1.3 Komplikasi Hiperurisemia
Kenaikan konsentrasi urat serum yang melebihi upper limit of reference
range, dapat menimbulkan perkembangan tanda-tanda dan gelaja klinis dari
penyakit artritis gout, batu ginjal dan nefropati asam urat. Pada umumnya,
Guanosin
Adenosin
Guanin
Inosin
Xantin
Hipoksantin
Asam Urat
Gambar 2.2 Pembentukan Asam Urat dari Nukleosida
15
penderita hiperurisemia tidak merasakan gejala (asimptomatik). Meskipun
demikian, dalam jangka yang lama, kadar asam urat darah yang sangat
tinggi (≥ 13mg/dL bagi pria dan ≥ 10 mg/dL bagi perempuan) dapat menjadi
faktor predisposisi terjadinya disfungsional ginjal (Lee, 2009).
Komplikasi atau prognosis hiperurisemia diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Kencing batu dan kerusakan ginjal
Hiperurisemia dapat mengendap di ginjal dan saluran kemih dalam
bentuk kristal/batu. Pembentukan batu ginjal tergantung pada kadar asam
urat darah. Semakin tinggi dan semakin lama asam urat berada di dalam
darah, peluang timbulnya batu urat di ginjal semakin tinggi. Adanya
kadar asam urat yang tinggi di urin, menyebabkan kristal urat mudah
mengendap sehingga terbentuk batu urat di ginjal dan saluran urin
(Dalimartha, 2008).
2. Kerusakan jantung dan pembuluh darah (penyakit jantung)
Komplikasi hiperurisemia pada jantung dan pembuluh darah antara
lain terjadinya hipertensi aterosklerotik, kelainan katup jantung dan
penyakit jantung koroner. Hal ini dikarenakan aktivitas peningkatan
xanthine oksidase, yaitu enzim yang mengubah xantin menjadi asam urat,
menghasilkan radikal bebas dan menyebabkan inflamasi serta kerusakan
oksidatif pada dinding arteri (Ekundayo, 2010). Oleh karena itu dapat
terjadi endapan kristal monosodium urat di bagian otot, katup, pembuluh
darah koroner, dan sistem konduksi jantung (Dalimartha, 2008).
16
3. Pembentukan tofus
Gumpalan keras kristal urat terkumpul di bawah kulit sekitar
persendian. Pada persendian yang di tepi, pada umumnya lebih sering
terbentuk kristal karena di bagian ini lebih dingin dari pada bagian
tengah. Asam urat cenderung mengkristal pada suhu dingin. Kristal urat
ini akan terbentuk di ibu jari kaki, telapak kaki, pergelangan kaki, lutut,
siku, dan pergelangan tangan serta di daun telinga yang relatif dingin
(Utami, 2005).
2.1.4 Cara Pemeriksaan Kadar Asam Urat Darah pada Hiperurisemia
Dalam pemeriksaan kadar asam urat, dapat dilakukan pemeriksaan
sebagai berikut (Wijayakusuma, 2006 ):
1. Pemeriksaan kadar asam urat darah dilakukan dengan mengukur kadar
normal asam urat dalam darah untuk laki-laki 3,4-7 mg dl. Sedangkan
pada wanita, kadar normal asam urat dalam darah 2,4-6 mg/dl. Untuk
kestabilan kadar asam urat dalam darah yaitu sekitar 5 mg/dl.
2. Pemeriksaan kadar asam urat dalam urin per 24 jam (kualitatif);
dinyatakan berlebihan jika kadarnya lebih dari 800 mg/24 jam pada diet
biasa atau lebih dari 600 mg/24 jam pada diet bebas purin.
3. Pemeriksaan cairan sendi merupakan pemeriksaan untuk melihat deposit
kristal asam urat (monosodium urat monohidrat) pada sendi yang
mengalami peradangan.
17
4. Pemeriksaan sinar X merupakan pemeriksaan pada penderita kronis
untuk melihat adanya kerusakan pada tulang.
Namun, metode pemeriksaan kadar asam urat dalam darah dapat
dilakukan dengan tiga metode, yaitu (Novia, dkk. 2014):
1. Metode kimia dinilai memiliki presisi yang baik, lebih akurat,
dibandingkan dengan metode yang lain, lebih sensitif, tetapi harganya
lebih mahal.
2. Metode enzimatik
Prinsip pemeriksaan kadar asam urat metode enzimatik adalah asam
urat dioksidasi oleh uricase menjadi allatoin dan hidrogen peroksida.
Dengan adanya peroksidase menghasilkan chromogen berwarna yang
diukur pada panjang gelombang 546 nm yang sebanding dengan kadar
asam dalam sampel. Metode ini memiliki kelebihan lebih spesifik, tetapi
dibutuhkan pengondisian yang tidak mudah.
3. Metode stik
Pemeriksaan kadar asam urat darah dengan menggunakan stik dapat
dilakukan dengan menggunakan alat UASure Blood Uric Meter. Prinsip
pemeriksaan alat tersebut adalah menggunakan katalis yang digabungkan
dengan teknologi biosensor yang spesifik terhadap pengukuran asam urat
darah. Strip pemeriksaan dirancang dengan cara tertentu sehingga saat
darah diteteskan pada zona reaksi dari strip, katalisator asam urat memicu
oksidasi asam urat dalam darah tersebut.
18
Metode ini merupakan pemeriksaan kadar asam urat sederhana. Alat
yang digunakan dalam metode ini dirancang untuk pengambilan sampel
darah kapiler bukan untuk sampel serum atau plasma. Kelebihan dari
metode ini adalah hasil tes dapat diketahui segera, volume darah yang
dibutuhkan sedikit, dapat segera dilakukan tes ulang, tidak memerlukan
tempat khusus, penyimpanan mudah, dan harga lebih murah.
Ketidakakuratan blood uric acid test dapat dilihat dari empat sumber,
yaitu faktor strip, faktor fisik, faktor pasien/penderita, faktor
farmakologis. Terdapat beberapa jenis strip yang dapat mengakibatkan
beberapa ketidakakuratan dalam pembacaan hasil pengukuran asam urat
darah. Pada umumnya, strip asam urat dapat menyebabkan 3% hasil eror.
Hal ini dapat dikarenakan perubahan enzim yang terdapat dalam strip
tersebut (Ginsberg, 2009).
Terdapat beberapa faktor fisik yang dapat mempengaruhi keakuratan
strip, seperti suhu dan ketinggian. Kebanyakan alat ukur mempunyai
sensor dan akan menimbulkan eror pada suhu yang ekstrim sekitar 5-7%.
Pemeriksaan darah pada seseorang yang sedang mendaki gunung juga
dapat menghasilkan eror sekitar 5%. Selanjutnya, faktor pasien pada
beberapa alat ukur ini juga dapat menimbulkan eror sekitar 1-3%.
Sejumlah obat-obatan yang dikonsumsi pasien juga dapat menimbulkan
eror sebesar 5% pada pengukuran ini (Ginsberg, 2009).
19
4. Metode kolorimetri
Jenis spesimen yang diperlukan dalam metode ini adalah serum atau
plasma heparin menggunakan fotometer atau analyzer kimiawi. Sebelum
pengambilan sampel darah, pederita diminta puasa 8-10 jam. Metode ini
dilakukan dalam analisis laboratorium klinis, hasilnya cukup sensitif,
biaya tergolong mahal karena peralatan yang digunakan mahal serta
memerlukan keterampilan teknis yang baik dalam melakukan tes
tersebut. Selain itu, penggunaan serum atau plasma heparin akan
menyakitkan pasien dalam proses pengambilannya.
2.2 Konsep Pralansia
Berdasarkan pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU NO. 13 Tahun 1998 tentang
Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah
mencapai usia lebih dari 60 tahun. Adapun klasifikasi lansia yang
dinyatakan oleh Maryam (2008) adalah sebagai berikut:
1. Pralansia (prasenilis) yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.
2. Lansia yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
3. Lansia risiko tinggi yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/
seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.
4. Lansia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan
dan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa.
5. Lansia tidak potensial adalah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah,
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
20
Sedangkan menurut Kemenkes RI (2012), lanjut usia dikelompokkan
menjadi pra lanjut usia (45-59 tahun), lanjut usia (60-69 tahun), dan lanjut
usia risiko tinggi (≥ 70 tahun atau ≥ 60 tahun dengan masalah kesehatan).
Lanjut usia (lansia) disebut sebagai tahap akhir perkembangan pada daur
kehidupan manusia. Sedangkan menurut Maryam (2008), lanjut usia dapat
dikatakan usia emas, karena tidak semua orang dapat mencapai usia
tersebut. Oleh karena itu, orang yang berusia lanjut memerlukan tindakan
keperawatan, baik yang bersifat promotif maupun preventif, agar mereka
dapat menikmati usia lanjut yang berguna dan bahagia.
Menurut Budi Anna Keliat (1999) dalam Maryam (2008), lanjut usia
memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan pasal 1 ayat (2) No. 13
tentang kesehatan).
2. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit,
dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi
adaptif hingga kondisi maladaptif.
3. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.
Pada masa pralansia merupakan masa persiapan diri untuk mencapai
usia lanjut yang sehat, aktif, dan produktif. Oleh karena pada masa ini
banyak perubahan yang terjadi seperti menopause, puncak karier, masa
menjelang pensiun, dan rasa kehilangan (kedudukan, kekuasaan, teman,
anggota keluarga, pendapatan). Adapun hal-hal yang perlu dipersiapkan
ketika pralansia menjelang masa lansia adalah sebagai berikut:
21
1. Kesehatan
a) Latihan fisik/olahraga secara teratur dan sesuai kemampuan.
b) Pengaturan gizi/diet seimbang
c) Tetap bergairah dan memelihara kehidupan seks yang sehat
d) Melakukan pemeriksaan kesehatan secara teratur (minimal 6 bulan
sekali)
e) Memelihara penampilan diri yang rapi dan bersih
f) Menghindari kebiasaan buruk yang berdampak tidak baik bagi
kesehatan (merokok, minuman keras, malas olahraga, makan
berlebihan, tidur tidak teratur, minum obat tidak sesuai anjuran, dan
hubungan tidak harmonis).
2. Sosial
a) Meningkatkan iman dan takwa
b) Tetap setia dengan pasangan yang sah
c) Mengikuti kegiatan sosial
d) Meningkatkan keharmonisan dalam rumah tangga
e) Menyediakan waktu untuk rekreasi
f) Tetap mengembangkan hobi/bakat.
3. Ekonomi
a) Mempersiapkan tabungan hari tua
b) Berwiraswasta
c) Mengikuti asuransi
Pembinaan kesehatan bagi kelompok usia ini diperlukan dengan tujuan
untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kehidupan untuk mencapai
22
masa tua yang bahagia dan berguna dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat sesuai dengan eksistensinya dalam masyarakat (Depkes RI,
2003 dalam Maryam, 2008).
Seiring dengan bertambahnya usia, seseorang akan mengalami proses
penuaan. Proses penuaan ini menimbulkan berbagai masalah baik secara
fisik, biologis, mental maupun sosial ekonominya. Masalah yang penting
utuk diperhatikan adalah masalah kesehatan pada lansia. Angka kesakitan
pada penyakit tidak menular atau penyakit degeneratif menampilkan adanya
kecenderungan yang semakin meningkat, seperti kanker, penyakit
kardiovaskuler, hipertensi, diabetes melitus, dan hiperurisemia (Lingga,
2012).
Penyakit degeneratif mulai terlihat ketika memasuki pralansia. Seiring
dengan bertambahnya usia, maka fungsi dari tubuh juga akan menurun,
sehingga perlu perhatian khusus untuk masa-masa ini. Pada masa pralansia
merupakan masa persiapan diri untuk mencapai usia lanjut yang sehat, aktif,
dan produktif. Oleh karena pada masa ini banyak perubahan yang terjadi
seperti menopause, puncak karier, masa menjelang pensiun, dan rasa
kehilangan (kedudukan, kekuasaan, teman, anggota keluarga, pendapatan)
(Maryam, 2008). Adanya perubahan pada pralansia, terutama masalah
kesehatan yang sering dialami oleh kelompok pralansia yaitu penyakit
hiperurisemia. Hiperurisemia merupakan gangguan metabolik yang ditandai
dengan meningkatnya kadar asam urat (Lingga, 2012).
23
2.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Terduga
Hiperurisemia
Peningkatan kadar asam urat atau hiperurisemia disebabkan adanya
peningkatan produksi asam urat atau penurunan ekskresi asam urat. Menurut
Lee (2009) menyatakan bahwa hiperurisemia dihubungkan dengan faktor
eksogen yaitu diet makanan, obat-obatan tertentu dan faktor endogen yaitu
adanya penyakit dan abnormalitas genetik. Selanjutnya, terdapat faktor usia,
penambahan berat badan, riwayat keluarga dan jenis kelamin menjadi faktor
risiko dari hiperurisemia (Mahan, 2008). Diet tinggi purin, minum alkohol,
dan sejumlah obat-obatan juga dianggap dapat memicu terjadinya
hiperurisemia (Price dan Wilson, 2005). Ditambahkan dari Krisnatuti (2006)
bahwa aktivitas fisik yang berat berperan dapat meningkatkan kadar asam
urat darah.
2.3.1 Riwayat Keluarga
Berdasarkan kuesioner kohort PTM Kemenkes RI tahun 2014
dinyatakan bahwa keluarga dekat yang dapat membawa sifat herediter atau
riwayat penyakit yaitu ayah, ibu, saudara kandung, kakek nenek, saudara
kandung ayah/ibu. Riwayat keluarga dekat yang mengalami hiperurisemia
mempertinggi risiko terjadinya asam urat semakin tinggi. Hal ini
dikarenakan dalam proses biokimiawi penurunan sifat genetik, nukleotida
purin dan asam amino dijadikan sebagai unit dasar dalam proses biokimiawi
tersebut. Nukleotida berperan menjadi penyandi asam nukleat yang bersifat
esensial dalam pemeliharaan dan pemindahan informasi genetik. Sedangkan
24
asam amino merupakan unit pembangun protein yang dibutuhkan untuk
ekspresi informasi genetik (Leninger, 1991 dalam Krisnatuti, 2006).
Produksi asam urat berlebihan karena kelainan herediter/pembawa sifat
atau gen/keturunan yaitu terjadi karena menurunan kadar HGPRT
(hypoxanthine guanine phosphoribosyl transferase) mencapai 2-5% dari
kadar normal; aktivitas berlebih dari enzim phosphoribosyl pyrophosphate
(PRPP) synthetase dalam pengaturan biosintesis purin yang menyebabkan
peningkatan sintesis de novo purin; tidak sensitifnya PRPP aminotranferase,
suatu enzim yang mengontrol kecepataan sintesis purin sehingga
menyebabkan over produksi purin. Kelebihan produksi purin dalam kondisi
tertentu dipecah menjadi asam urat, yang menyebabkan hiperurisemia (Lim,
2007).
Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan antara riwayat
keluarga dengan kadar asam urat menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara riwayat keluarga dengan kadar asam urat pada staf dosen
dan pegawai Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi
Manado (Lande’eo, 2014). Hiperurisemia bersifat herediter, yakni adanya
kelainan metabolik sehingga terjadi peningkatan biosintesis asam urat
tersebut terjadi karena adanya perubahan genetik sehingga mekanisme
kontrol sintesis purin menjadi terganggu (Dalimartha, 2008).
Namun, hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Astuti (2014) yang menemukan bahwa ada hubungan antara faktor riwayat
keluarga dengan kadar asam urat pada lelaki dewasa. Penelitian ini
25
menunjukkan bahwa orang-orang dengan riwayat genetik/keturunan yang
mempunyai hiperurisemia, mempunyai risiko 1-2 kali lipat dibanding pada
penderita yang tidak memiliki riwayat/keturunan (Purwaningsih, 2009).
Seperti hasil penelitian Sukarmin (2015) yang menunjukkan responden
penelitian yang memiliki riwayat keluarga dengan hiperurisemia
mempunyai risiko mengalami hiperurisemia dibandingkan dengan yang
tidak memiliki riwayat. Hal ini dikarenakan adanya metabolisme purin yang
berlebihan dan kondisi ini dapat diturunkan dari orang tua ke anaknya.
2.3.2 Jenis Kelamin
Laki-laki memiliki risiko mengalami hiperurisemia lebih besar dari pada
perempuan. Dalam NHANES III, perbandingan jenis kelamin antara laki-
laki dan perempuan yang mengalami hiperurisemia adalah 4:1 pada usia
kurang dari 60 tahun. Hal ini memperlihatkan bahwa pada usia dewasa ke
atas laki-laki memiliki kadar asam urat lebih tinggi dari pada perempuan.
Setelah menopause, kadar asam urat perempuan akan meningkat, seimbang
dengan laki-laki pada usia yang sama (Luk, 2005).
Dalam keadaan normal kadar urat serum pada pria mulai meningkat saat
pubertas. Pada wanita, kadar asam urat dalam serum tidak meningkat
sampai setelah menopause karena estrogen membantu meningkatkan
ekskresi asam urat melalui ginjal. Setelah menopause, kadar asam urat
serum meningkat seperti pada pria (Sylvia dkk, 2006). Hiperurisemia
cenderung dialami laki-laki, sebab pada perempuan memiliki hormon
estrogen yang ikut membantu pembuangan asam urat lewat urin (Price,
2006). Berdasarkan penelitian Poletto dkk (2011) juga diketahui bahwa laki-
26
laki lebih berisiko 2 kali lipat mengalami hiperurisemia dibandingkan
dengan perempuan.
Menurut hasil penelitian Lina (2014), tidak ada hubungan antara jenis
kelamin dengan kejadian hiperurisemia pada dosen dan tenaga pendidikan
Universitas Siliwangi. Laporan dalam penelitian ini menyampaikan bahwa
laki-laki lebih banyak yang mengalami hiperurisemia (sebesar 19,7 %)
dibanding dengan perempuan (sebesar 7,9%) dengan rata-rata usia yaitu
46,32 tahun. Penelitian sebaliknya yang dilakukan oleh Setyoningsih
(2009), yakni terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian
hiperurisemia. Hiperurisemia lebih banyak terjadi pada laki-laki yaitu
sebesar 80% dan hanya sebesar 20% pada perempuan.
2.3.3 Aktivitas fisik
Aktivitas fisik yang dilakukan oleh usia yang mulai kanjut dapat
bermanfaat untuk kesehatan jantung dan kebugaran tubuh. Sel-sel otot pada
pralansia melai menurun seiring dengan usia yang lanjut. Kontraksi dan
relaksasi otot menjadi berkurang, sehingga sering menyababkan kekakuan
otot pada usia lanjut. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk melakukan
aktivitas fisik yang ringan seperti berjalan, bersepeda, berkebun, yoga, dan
senam secara teratur yang dapat membantu kelenturan otot dan relaksasi
otot (Kemenkes, 2014).
Salah satu metode pengukuran aktivitas fisik dapat menggunakan
metode GPPAQ 2009 (General Practice Physical Activity Questionnaire)
yang dikembangkan oleh NHS (National Health Service). GPPAQ
27
digunakan sebagai kuesioner untuk mengukur tingkat aktivitas fisik
pralansia (usia 45-59 tahun) dengan jenis aktivitas fisik bejalan, bersepeda,
berkebun, senam, dan lain-lain. Terdapat 4 tingkat indeks aktivitas fisik atau
PAI (Physical Activity Index) yang dikategorikan sebagai aktif, cukup aktif,
kurang aktif, dan tidak aktif. Metode ini dapat digunakan sebagai program
pemeriksaan kesehatan bagi orang-orang yang berisiko penyakit jantung,
stroke, penyakit ginjal, dan diabetes (NHS, 2009).
Dari penelitian Nahariani (2012) menyatakan bahwa aktivitas fisik yang
teratur dapat memelihara kesehatan tubuh, tetapi aktivitas fisik dalam
intensitas yang berlebihan dapat memberikan beban berlebih pada sendi.
Aktivitas fisik yang berlebihan akan menyebabkan peningkatan asam laktat.
Asam laktat tersebut akan menghambat dan menurunkan pengeluaran asam
urat. Asam laktat diproduksi dari hasil glikolisis yang akan membuat
penumpukan asam urat di sambungan-sambungan tulang (Xiong dkk, 2013).
Selain itu, pada perempuan yang mulai masuk usia lanjut terjadi
penurunan hormon estrogen yang mengakibatkan tulang mudah rapuh dan
berkurangnya pengeluaran asam urat darah. Semakin berkurang hormon
estrogen, maka semakin berkurang massa otot dan terganggunya
pengeluaran asam urat sehingga terjadi penumpukan asam urat dalam darah
yang dapat mengakibatkan hiperurisemia (Nahariani, 2012).
Terdapat penelitian Xiong dkk (2013) menyatakan adanya hubungan
antara aktivitas fisik dengan kadar asam urat darah. Aktivitas fisik termasuk
pekerjaan di rumah maupun luar rumah, rekreasi, dan bepergian dapat
28
mempercepat penurunan purin (penurunan adenin nukleotida) di otot,
meningkatkan produksi hipoksantin, sehingga menurunkan produksi purin.
Hipoksantin ditransportasikan ke hati dan usus halus melalui darah dan
kemudian diubah menjadi asam urat oleh xanthine dehydrogenase.
Selanjutnya, olahraga atau aktivitas fisik yang berlebihan akan
menyebabkan peningkatan asam laktat. Asam laktat tersebut akan
menghambat dan menurunkan pengeluaran asam urat. Asam laktat
diproduksi dari hasil glikolisis yang akan membuat penumpukan asam urat
di sambungan-sambungan tulang (Xiong dkk, 2013).
Namun, ketika kenaikan asam laktat tersebut hanya berlangsung
sebentar saja, maka kadar asam urat akan kembali normal dalam beberapa
jam kemudian (Yenrina, 2014). Terdapat penelitian yang menyatakan bahwa
tidak ada hubungan antara aktivitas dengan kadar asam urat pada pekerja
kantor di Desa Karang Turi Kecamatan Bumiayu Kabupaten Brebes (Andry,
2009) dan juga penelitian Villegas dkk (2010) yang menyatakan tidak ada
hubungan antara aktivitas fisik dengan hiperurisemia, namun diketahui
adanya hubungan dosis-respon antara aktivitas fisik dengan hiperurisemia.
Menurut pendapat Mayers (2003) dalam Andry (2009) mengatakan
bahwa asam laktat terbentuk dari proses glikolis yang terjadi di otot. Jika
otot berkontraksi secara anaerob, yakni media yang tidak memiliki oksigen
maka glikogen yang menjadi produk akhir glikolisis akan menghilang dan
muncul laktat sebagai produk akhir utama. Sehingga dapat terjadi
peningkatan asam laktat dalam darah yang akan menyebabkan penurunan
pengeluaran asam urat oleh ginjal.
29
2.3.4 Kegemukan (Overweight)
Kegemukan (overweight) adalah akumulasi lemak yang abnormal dan
dapat berisiko terhadap kesehatan (WHO, 2016). Definisi overweight
(kegemukan) atau kelebihan berat badan adalah keadaan ketika berat badan
seseorang melebihi normal. Kegemukan terjadi akibat ketidakseimbangan
antara energi yang masuk dan keluar. Masalah gizi berlebih atau kegemukan
pada usia lanjut dapat memicu timbulnya berbagai penyakit degeneratif
seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes melitus, batu empedu,
gout (hiperurisemia), ginjal, sirosis hati, dan kanker (Maryam, 2008).
Pengukuran antropometri untuk kegemukan yang paling sering
digunakan adalah indeks massa tubuh/IMT, yaitu berat badan seseorang
(dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat dari tinggi badannya (dalam meter).
Nilai IMT tidak tergantung pada jenis kelamin dan umur. Keterbatasan IMT
adalah tidak dapat digunakan bagi anak-anak dalam masa pertumbuhan,
wanita hamil, dan orang yang sangat berotot/atlit (Harahap, 2005).
Dapat dilihat klasifikasi dari batas IMT yang digunakan untuk menilai
status gizi penduduk dewasa menurut Petunjuk Teknis Posbindu PTM
Kemenkes (2012) adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1 Batasan IMT (Indeks Massa Tubuh) Penduduk Dewasa (>18
Tahun)
Keadaan Gizi IMT (kg/m2)
Kurus < 18,5
Normal ≥ 18,5 - < 24,9
Kegemukan/BB lebih ≥ 25,0 - < 27,0
Obesitas ≥ 27,0
30
Masalah kegemukan dapat disebabkan oleh pola konsumsi yang
berlebihan terutama makan yang banyak mengandung lemak, protein,dan
karbohidrat yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Perubahan fisik dan
penurunan fungsi organ tubuh akan mempengaruhi konsumsi dan
penyerapan zat gizi. Proses metabolisme yang menurun pada usia lanjut jika
tidak diimbangi dengan peningkatan aktivitas fisik atau penurunan jumlah
makanan, maka kalori yang berlebih akan diubah menjadi lemak yang
mengakibatkan kegemukan (Maryam, 2008).
Ada beberapa kondisi yang memungkinkan seseorang lebih mudah
memiliki kadar asam urat darah yang tinggi, seperti seseorang yang
mengalami kegemukan (Wijayakusuma, 2006). Kadar asam urat yang tinggi
dapat berhubungan dengan kejadian kegemukan. Diketahui tingginya
prevalensi hiperurisemia dengan kejadian kegemukan (Modino dkk, 2012).
Penelitian menyatakan bahwa ada hubungan antara kegemukan dengan
kejadian hiperurisemia (Setyoningsih, 2009). Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Poletto dkk (2011) menyatakan bahwa seseorang yang
gemuk mempunyai risiko 2,5 kali untuk mengalami hiperurisemia
dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami gemuk.
Sebagaimana penelitian Poletto dkk (2011), penelitian Sun (2010) juga
menyatakan bahwa seseorang yang mengalami kegemukan (IMT ≥ 25
kg/m2) berisiko 2,5 kali lipat terjadi hiperurisemia dari pada seseorang yang
memiliki IMT kurang dari 25 kg/m2. Berat badan berhubungan dengan
kadar asam urat darah. Adanya penurunan berat badan dapat membantu
31
untuk menurunkan kadar asam urat darah. Pada seseorang dengan
hiperurisemia dapat memiliki kadar asam urat normal setelah mengalami
penurunan berat badan (Grassi, 2013).
Kegemukan terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara asupan
energi dan keluaran energi sehingga terjadi penimbunan lemak dalam sel
lemak membentuk jaringan lemak (adiposa). Pada umumnya, orang yang
gemuk (IMT ≥ 25 kg/m2) mengalami peningkatan massa jaringan adiposa
yang akan mensekresi kadar leptin lebih banyak. Leptin adalah asam amino
yang disekresikan oleh jaringan adiposa yang berfungsi sebagai suatu sensor
massa lemak tubuh pada sistem saraf pusat, sehingga otak dapat melakukan
penyesuaian yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan energi yang masuk
dan energi yang keluar. Selain itu, leptin berperan dalam perangsangan saraf
simpatis, meningkatkan sensitivitas insulin, natriuresis, diuresis, dan
angiogenesis. Namun, keadaan tingginya kadar leptin pada orang gemuk
dapat mengakibatkan resistensi leptin.
Resistensi leptin terjadi karena adanya penurunan sensitivitas leptin
eksogenus maupun endogenus. Hal ini dikarenakan peningkatan protein
pengikat leptin yang menyebabkan penurunan transportasi leptin ke kelenjar
hipotalamus di otak atau gangguan reseptor leptin. Jika resistensi leptin
terjadi di ginjal maka akan menyebabkan gangguan diuresis dan natriuresis.
Selanjutnya dapat mengakibatkan gangguan pengeluaran urin berupa retensi
urin atau penurunan ekskresi urin (Choi, 2005).
32
Urin yang memliki pH sangat asam dapat mengakibatkan pengendapan
dalam konsentrasi yang tinggi membentuk sodium urate. Tingginya
konsentrasi tersebut dapat meningkatkan kadar asam urat dalam tubuh
seseorang. Tingkat asam urat dalam serum yang tinggi atau hiperurisemia
dapat mengakibatkan penyakit gout (Lim, 2007). Sehingga peningkatan
kadar leptin seiring dengan meningkatnya kadar asam urat dalam darah. Hal
tersebut dikarenakan adanya gangguan proses reabsorpsi asam urat pada
ginjal.
Namun, hasil penelitian diatas tidak sesuai dengan hasil penelitian
lainnya. Terdapat penelitian yang mengemukakan bahwa tidak ada
hubungan antara kegemukan dengan kejadian hiperurisemia pada dosen dan
tenaga pendidikan Universitas Siliwangi (Lina, 2014). Selanjutnya,
penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2014) juga menyatakan bahwa tidak
ada hubungan antara obesitas dengan kadar asam urat pada lelaki dewasa di
RT 04 RW 03 Simomulyo Baru Surabaya.
2.3.5 Asupan makanan
Kelainan metabolisme protein menyebabkan kadar asam urat dalam
darah meningkat. Penumpukan asam urat di persendian dapat menyebabkan
rasa nyeri dan bengkak sendi. Dalam kasus ini, penderita perlu untuk
membatasi konsumsi fruktosa dan purin untuk menurunkan kadar asam urat.
Faktor makanan berkontribusi terhadap hiperurisemia termasuk konsumsi
tinggi alkohol, konsumsi makanan tinggi purin seperti daging merah dan
seafood, fruktosa (Luk, 2005). Berdasarkan penelitian ditemukan bahwa
33
terdapat hubungan antara pola makan dengan kadar asam urat darah pada
wanita menopause di posyandu lansia Puskesmas Dr. Soetomo Surabaya
pada bulan Juni 2010. Hasil ini menjelaskan bahwa pengontrolan kadar
asam urat dalam batas normal dapat memiliki pengaruh terhadap kadar asam
urat darah pada wanita postmenopause, apabila pola makan dan asupan
makanan diatur dengan baik (Festy, 2010).
A. Jenis Asupan Makanan
Adapun asupan makanan yang dapat mempengaruhi kadar asam urat
dalam darah adalah sebagai berikut:
1) Asupan Fruktosa
Fruktosa adalah jenis gula paling manis yang dinamakan juga
levulosa atau gula buah. Fruktosa banyak terdapat dalam madu, buah,
nektar bunga, sayur dan juga di dalam minuman ringan (Almatsier,
2001). Asupan fruktosa seharusnya dibawah 25 gram atau 100 kalori
per hari (Jaminet, 2012). Fruktosa termasuk jenis karbohidrat
sederhana atau monosakarida yang mudah dicerna dan cepat
menghasilkan energi dan mudah meningkatkan gula darah. Asupan
karbohidrat relatif menurun pada lanjut usia karena kebutuhan energi
juga menurun. Lanjut usia disarankan mengonsumsi karbohidrat
kompleks daripada karbohidrat sederhana (Kemenkes, 2014).
Konsumsi makanan yang mengandung tinggi fruktosa memiliki
peran dalam peningkatan kadar asam urat dalam darah (Zimmerman,
2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Setyoningsih
bahwa terdapat hubungan asupan karbohidrat dengan kejadian
34
hiperurisemia. Asupan karbohidrat yang tinggi, yaitu lebih dari 60%
dari kebutuhan energi, terutama berasal dari fruktosa mempunyai efek
langsung terhadap metabolisme asam urat (Setyoningsih, 2009).
Fruktosa secara cepat dapat meningkatkan asam urat. Luk (2005)
menyatakan bahwa fruktosa dapat menyebabkan hiperurisemia karena
dapat meningkatkan katabolisme nukleotida adenin. Cirillo dkk (2006)
menjelaskan bahwa fruktosa difosforilasi oleh enzim fruktokinase atau
biasa disebut ketoheksokinase (KHK) menjadi fructose-1-phosphate,
yang menggunakan ATP (adenosine triphosphate) sebagai phosphate
donor dan ATP berubah menjadi AMP. Tingkat fosfat intraseluler
yang menurun, menstimulasi aktivitas AMP (adenosine
monophosphate) deaminase 2 untuk mengonversi AMP menjadi
inosine monophpsphate (IMP). IMP kemudian dimetabolisme menjadi
inosin, yang selanjutnya diubah menjadi hipoksantin dan xantin
dengan enzim xantin oksidase menjadi asam urat (Johnson dkk, 2013).
Adapun komponen utama fruktosa yaitu gula seperti di dalam teh
manis, softdrink, kopi susu, dan bahan makanan lainnya.
Mengonsumsi karbohidrat sederhana dalam bentuk fruktosa juga
dapat meningkatkan kadar asam urat dalam serum (Nakagawa dkk,
2005). Sebaliknya, konsumsi karbohidrat kompleks, seperti nasi, roti,
singkong, ubi jalar, dan talas dapat memacu pembuangan kelebihan
asam urat di dalam darah (Yenrina, 2014).
35
2) Asupan Purin
Diet tinggi purin dapat memicu terjadinya hiperurisemia. Biasanya
terjadi pada orang yang memiliki kelainanan bawaan dalam
metabolisme purin sehingga terjadi peningkatan produksi asam urat
(Price dan Wilson, 2005). Asupan purin dalam makanan normal
selama sehari direkomendasikan kurang dari 500 mg. Makanan yang
mengandung kadar purin tinggi adalah organ-organ dalam dari hewan,
termasuk hati dan ginjal, kulit unggas, sarden, dan lain sebagainya
(Talati, 2012). Adapun kadar purin dalam berbagai makanan adalah:
Tabel 2.2 Kadar Purin dalam Berbagai Makanan
No Makanan Kandungan Purin (mg/100 g)
1 Sarden 480
2 Daging sapi 385
3 Daun melinjo 366
4 Kangkung 290
5 Bayam 290
6 Hati ayam 243
7 Ikan teri 239
8 Udang 234
9 Biji melinjo 222
10 Kacang panjang 190
11 Daging ayam 169
12 Ikan basah 160
13 Tempe 141
14 Daging bebek 138
15 Kerang 136
16 Tahu 108
Sumber: Cahanar dan Suhanda (2006) dan Herliana (2013)
Penelitian tentang tidak adanya hubungan antara variabel asupan
makanan sumber purin telah didapatkan (Adieni, 2008). Selain itu,
penelitian lain juga menyatakan tidak ada hubungan antara intake
purin dengan kadar asam urat pada pekerja kantor di Desa Karang
36
Turi Kecamatan Bumiayu Kabupaten Brebes (Andry, 2009). Hal ini
diduga karena bioavailabilitas kandungan purin pada makanan tertentu
untuk berubah menjadi asam urat tergantung pada selularitas relatif
dan aktifitas transkripsi serta metabolik selular makanan tersebut
(Choi, 2005a).
Namun, terdapat juga penelitian yang mengatakan sebaliknya,
bahwa asupan purin berpengaruh terhadap kadar asam urat (Diantari,
2012). Penelitian lain yang sesuai yaitu ada hubungan antara konsumsi
makanan sumber purin dengan kadar asam urat pada wanita usia 45-
59 tahun di Desa Sanggrahan Kecamatan Kranggan Kabupaten
Temanggung (Lestari, 2014). Asupan purin yang tinggi seperti
konsumsi daging dan seafood juga terbukti sebagai faktor risiko yang
berhubungan dengan tingginya prevalensi hiperurisemia sesuai dengan
hasil penelitian Villegas dkk (2012). Peningkatan produksi asam urat
dapat disebabkan oleh tingginya konsumsi bahan pangan yang
mengandung purin. Bahan pangan dengan kandungan purin tinggi
dapat meningkatkan kadar asam urat dalam urin sekitar 0,5-0,75 gr/ml
purin yang dikonsumsi (Yenrina, 2014). Semakin tinggi pemasukan
zat purin maka produksi asam urat juga semakin meningkat.
Molekul purin yang dibentuk menjadi asam urat sebagian besar
dari metabolisme nukleotida purin endogen, yaitu guanosine
monophosphate (GMP), inosine monophosphate (IMP), dan adenosine
monophosphate (AMP). Selanjutnya enzim xanthine oxidase
37
mengkatalis hypoxanthine dan guanine menjadi xanthine, kemudian
xanthine dikatalis oleh enzim xanthine oxidase dengan produk akhir
asam urat. Asam urat yang terbentuk diekskresikan melalui urin. Urin
yang memliki pH sangat asam dapat mengakibatkan pengendapan
dalam konsentrasi yang tinggi membentuk sodium urate. Tingkat
asam urat dalam serum yang tinggi atau hiperurisemia dapat
mengakibatkan penyakit gout (Lim, 2007).
Banyak teori dan penelitian untuk mengetahui asupan makanan
sumber purin terhadap kejadaian hiperurisemia. Didapatkan hubungan
antara konsumsi makan tinggi purin dengan kejadian hiperurisemia
pada dosen dan tenaga pendidikan Universitas Siliwangi (Lina, 2014).
Di samping itu, terdapat penelitian juga yang menyatakan ada
hubungan antara diet tinggi purin dengan kadar asam urat pada lelaki
dewasa di RT 04 RW 03 Simomulyo Baru Surabaya (Astuti, 2014).
3) Asupan Cairan
Total jumlah cairan yang terdapat dalam tubuh cukup besar
dibandingkan dengan zat padat pembentuk tubuh lainnya. Secara
umum, konsentrasi cairan dalam tubuh sekitar 60%. Proporsi ini dapat
berbeda-beda bergantung pada kondisi individu masing-masing
(Tamsuri, 2008). Dalam keseharian, tubuh manusia mendapatkan
banyak suplai cairan berasal dari air putih yang dikonsumsi.
Dalam proses metabolisme yang terjadi di dalam tubuh air
mempunyai dua fungsi utama (Irawan, 2007) yaitu sebagai pembawa
38
zat-zat nutrisi seperti karbohidrat, vitamin, dan mineral serta juga akan
berfungsi sebagai pembawa oksigen (O2) ke dalam sel-sel tubuh.
Selain itu, air juga akan berfungsi untuk mengeluarkan produk
samping hasil metabolisme seperti karbondioksida (CO2) dan juga
senyawa nitrat.
Konsumsi cairan yang tinggi, terutama dari minuman, dapat
membantu mengeluarkan asam urat sehingga dapat menurunkan kadar
asam urat dalam darah. Selain dari minuman, kandungan cairan yang
banyak juga dapat diperoleh dari sayuran dan buah yang banyak
mengandung air seperti semangka, melon, blewah, bengkuang,
belimbing, jambu air, maupun buah lainnya (Yenrina, 2014). Menurut
Kemenkes RI (2012), konsumsi cairan pada lanjut usia antara 1,5-2
liter per hari (6-8 gelas). Selain itu, pada lanjut usia terdapat
mekanisme rasa haus dan menurunnya cairan tubuh total (penurunan
massa lemak).
Berbeda dengan sebuah penelitian yang menyatakan bahwa asupan
cairan tidak berpengaruh terhadap kadar asam urat (Diantari, 2012).
Penelitian tersebut bertentangan dengan teori bahwa cairan merupakan
salah satu media pembuangan hasil metabolit tubuh, termasuk asam
urat. Jika seseorang mengonsumsi cairan dalam jumlah tinggi,
reabsorpi air di ginjal menurun dan ekskresi zat terlarut air meningkat
(Chernoff, 2014). Selanjutnya, konsumsi cairan merupakan salah satu
pemicu kadar asam urat berdasarkan hasil penelitian Fajarina (2011).
Semakin banyak jumlah konsumsi air minum seseorang maka kadar
39
asam urat dalam darah semakin kecil. Luk (2005) menyatakan bahwa
konsumsi cairan beralkohol dapat meningkatkan kadar asam urat
karena dapat meningkatkan produksi purin dan menurunkan ekskresi
asam urat. Dijelaskan dalam sebuah penelitian tentang konsumsi
alkohol yang didapatkan hasil adanya hubungan alkohol dengan kadar
asam urat pada lelaki dewasa di RT 04 RW 03 Sidomulyo Baru
Surabaya (Astuti, 2014). Minum alkohol dapat meningkatkan
produksi asam urat karena kadar laktat meningkat sebagai akibat
produk sampingan dari metabolisme normal alkohol. Sifat asam laktat
menghambat ekskresi asam urat oleh ginjal sehingga terjadi
peningkatan kadar asam urat dalam serum (Price dan Wilson, 2005).
B. Metode Penilaian Konsumsi Makanan
Menurut Supariasa (2002), survei makanan atau penilaian konsumsi
makanan adalah salah satu metode yang digunakan dalam penentuan
status gizi perorangan atau kelompok. Di Indonesia, penilaian konsumsi
makanan digunakan sebagai salah satu penelitian di bidang gizi, namun
survei makanan tidak dapat menentukan status gizi seseorang atau
masyarakat secara langsung. Hasil penilaian konsumsi makanan ini
hanya dapat digunakan sebagai bukti awal akan kemungkinan terjadinya
kekurangan atau kelebihan gizi pada seseorang.
Secara umum, tujuan penilaian konsumsi makanan adalah untuk
mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan
makanan dan zat gizi pada tingkat kelompok, rumah tangga, dan
40
perorangan serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi
makanan tersebut. Berdasarkan jenis data yang diperoleh, metode untuk
mengukur konsumsi makanan untuk perorangan dibagi menjadi dua yaitu
kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif untuk mengetahui jumlah
makanan yang dikonsumsi, sedangkan metode kualitatif digunakan untuk
mengetahui frekuensi makan (Supariasa, 2002).
a) Metode Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ)
SQ-FFQ merupakan bentuk FFQ yang telah dimodifikasi dengan
memperkirakan atau estimasi URT dalam gram. Pada SQ-FFQ, skor
zat gizi yang terdapat di setiap subyek dihitung dengan cara
mengkalian frekuensi setiap jenis makanan yang dikonsumsi yang
diperoleh dari data komposisi makanan. Metode SQ-FFQ dapat
memberikan informasi mengenai data asupan gizi secara umum
dengan cara memodifikasi berdasarkan metode FFQ.
Metode FFQ tidak terdapat standar ukuran porsi, namun yang
digunakan hanya frekuensi berapa sering responden mengonsumsi
makanan tersebut dan juga tidak dilakukan penimbangan makanan
untuk setiap ukuran porsinya. Sedangkan SQ-FFQ digunakan untuk
menerangkan ukuran porsi yang dikonsumsi seseorang dan frekuensi
makan dalam waktu tahun, bulan, minggu, dan hari makanan yang
dikonsumsi oleh responden dalam bentuk porsi besar, sedang dan
kecil. Bahan makanan yang ada dalam daftar kuesioner tersebut
41
adalah bahan makanan yang dikonsumsi dalam frekuensi cukup sering
oleh responden (Gibson, 2005).
Adapun prosedur penggunaan SQ-FFQ adalah sebagai berikut
(Fahmida, 2007):
1. Subyek diwawancarai mengenai frekuensi mengkonsumsi jenis
makana sumber zat gizi yang ingin diketahui, apakah harian,
mingguan, atau bulanan.
2. Subyek diwawancarai mengenai ukuran rumah tangga dan
porsinya.
3. Mengestimasi ukuran porsi yang dikonsumsi subyek ke dalam
ukuran berat (gram).
4. Mengkonversi semua frekuensi daftar bahan makanan untuk
perhari.
Misalnya: Nasi putih dikonsumsi 3x perhari, ekuivalen dengan 3
Tahu dikonsumsi 4x perminggu, ekuivalen dengan 4/7
perhari = 0,57
Es krim dikonsumsi 5x perbulan, ekuivalen dengan 5/30
perhari = 0,17
5. Mengalikan frekuensi perhari dengan ukuran porsi (gram) untuk
mendapatkn berat yang dikonsumsi dalam gram/hari.
6. Hitung semua daftar bahan makanan yang dikonsumsi subyek
penelitain sesuai dengan yang terisi di dalam form.
42
7. Setelah semua bahan makanan diketahui berat yang dikonsumsi
dalam gram/hari, maka semua berat item dijumlahkan sehingga
diperoleh total asupan zat gizi dari subyek.
8. Cek dan teliti kembali untuk memastikan semua item bahan
makanan telah dihitung dan hasil penjumlahan berat (gram) bahan
makanan tidak terjadi kesalahan.
2.4 Kerangka Teori
Asam urat merupakan hasil metabolisme purin yang mengalami proses
biokimia menjadi oksida purin dan menghasilkan produk asam urat dengan
bantuan suatu enzim (Utami, 2005). Menurut Lee (2009) menyatakan bahwa
hiperurisemia dihubungkan dengan faktor eksogen yaitu diet makanan
purin, obat-obatan tertentu dan faktor endogen yaitu adanya penyakit dan
abnormalitas genetik. Terdapat faktor usia, penambahan berat badan,
riwayat keluarga dan jenis kelamin menjadi faktor risiko dari hiperurisemia
(Mahan, 2008). Ditambahkan dari Krisnatuti (2006) bahwa aktivitas fisik
yang berat berperan dapat meningkatkan kadar asam urat darah.
Asupan purin serta asupan fruktosa yang tinggi menjadi faktor risiko
hiperurisemia (Prakash, 2012). Selanjutnya, diet tinggi purin, minum
alkohol, dan sejumlah obat-obatan juga dianggap dapat memicu terjadinya
hiperurisemia (Price dan Wilson, 2005). Sedangkan konsumsi cairan tidak
beralkohol yang tinggi dapat menurunkan kadar asam urat darah (Hall,
2006). Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Lee (2009), Mahan
(2008), Krisnatuti (2006), Prakash (2012), Price dan Wilson (2005), dan
Hall (2006) mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan
43
hiperurisemia, maka peneliti menyusun kerangka teori seperti dapat dilihat
pada Gambar 2.3 Kerangka Teori berikut ini.
Sumber: Adopsi Teori Lee (2009), Mahan (2008), Krisnatuti (2006),
Prakash (2012), Price dan Wilson (2005), dan Hall (2006)
HIPERURISEMIA
Faktor Endogen:
Riwayat Keluarga
Usia
Jenis Kelamin
Aktivitas Fisik
Kegemukan
Faktor Eksogen:
Asupan Fruktosa
Asupan Purin
Asupan Cairan
Obat-obatan tertentu
Gambar 2.3 Kerangka Teori
44
3 BAB III
KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Konsep
Berdasarkan tinjauan pustaka yang terdapat pada bab II maka peneliti
dapat menyimpulkan faktor-faktor yang dapat berhubungan langsung
dengan kadar asam urat dalam darah pada pralansia, yaitu riwayat keluarga,
usia, jenis kelamin, aktivitas fisik, kegemukan, asupan fruktosa, asupan
purin dan asupan cairan. Adapun dalam penyusunan kerangka konsep
penelitian, peneliti mengadaptasi dari kerangka teori yang terdiri dari teori
Lee (2009), Mahan (2008), Krisnatuti (2006), Prakash (2012), Price dan
Wilson (2005), dan Hall (2006) untuk mengetahui hubungan riwayat
keluarga, jenis kelamin, aktivitas fisik, kegemukan, asupan fruktosa, asupan
purin dan asupan cairan dengan kejadian terduga hiperurisemia pada
pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016.
Pada penelitian ini, semua faktor-faktor langsung yang berhubungan
dengan hiperurisemia diteliti, kecuali faktor usia dan obat-obatan. Faktor
usia tidak diteliti karena adanya sifat homogenitas. Subjek dalam penelitian
ini berada di dalam kelompok umur yang sama, yaitu pra lanjut usia yang
berusia antara 45-59 tahun. Obat-obatan tidak diteliti dan merupakan salah
satu kriteria eksklusi dalam pengambilan sampel.
45
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
KEJADIAN
HIPERURISEMIA
Riwayat Keluarga
Jenis Kelamin
Kegemukan
Aktivitas Fisik
Asupan Fruktosa
Asupan Purin
Asupan Cairan
46
46
3.2 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Variabel Dependen
1. Kejadian
terduga
hiperurisemia
Peningkatan kadar asam urat
dalam tubuh yang melebihi
ambang batas normal dalam
darah adalah 7,0 mg/dl pada
laki-laki dan pada perempuan
adalah 5,7 mg/dl
Metode stik Easy Touch
Blood Uric
Acid Test
Meter.
0. Hiperurisemia, jika kadar asam
urat > 5,7 mg/dl pada wanita; >
7 mg/dl pada pria.
1. Normourisemia, jika kadar asam
urat 2,6-5,7 mg/dl pada wanita;
3,4-7 mg/dl pada pria.
(Kemenkes, 2012)
Ordinal
Variabel Independen
2. Riwayat
Keluarga
Keluarga dekat (ayah, ibu,
saudara kandung, kakek, nenek,
Wawancara Kuesioner 0. Ya, jika ada riwayat keluarga
dengan hiperurisemia
Nominal
47
No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
saudara kandung ayah atau ibu)
yang mengalami hiperurisemia
berdasarkan diagnosis tenaga
kesehatan yang dapat diturunkan
kepada keturunannya
1. Tidak, jika tidak ada riwayat
keluarga dengan hiperurisemia
3. Jenis
Kelamin
Perbedaan tanda seks yang
terlihat dari individu yang
dibedakan antara laki-laki dan
perempuan
Wawancara Kuesioner 0. Laki-laki
1. Perempuan
Nominal
4. Aktivitas
Fisik
Kegiatan fisik yang dilakukan
meliputi olahraga, transportasi,
pekerjaan, rekreasi dalam
keluarga, maupun masyarakat.
Wawancara Kuesioner 0. Aktivitas fisik berat
1. Aktivitas fisik sedang-ringan
Ordinal
48
No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
5. Kegemukan Akumulasi lemak berlebih
dengan Indeks Massa Tubuh
(IMT) sama dengan atau lebih
dari 25,0
Antropometri Timbangan
berat badan
dan
microtoise
0. Ya, jika IMT ≥ 25,0
1. Tidak, jika IMT < 25
Ordinal
6. Asupan
fruktosa
Jumlah asupan fruktosa dari
makananan yang dikonsumsi
dalam satu hari
Wawancara Semi
Quantitative
FFQ
0. Berisiko, jika asupan fruktosa ≥
25 gram per hari
1. Tidak berisiko, jika asupan
fruktosa < 25 gram per hari
(Jaminet, 2012)
Ordinal
7. Asupan Purin Jumlah asupan purin dari
makanan yang dikonsumsi
dalam satu hari
Wawancara Semi
Quantitative
FFQ
0. Berisiko, jika asupan purin ≥
500 mg per hari
1. Tidak berisiko, jika asupan
purin < 500 mg per hari
(Talati, 2012)
Ordinal
49
No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
8. Asupan
Cairan
Jumlah asupan cairan dari
minuman atau makanan yang
dikonsumsi dalam satu hari
Wawancara Semi
Quantitative
FFQ
0. Berisiko, jika asupan cairan <
2300 ml pada wanita; < 2600 ml
pada laki-laki
1. Tidak berisiko, jika asupan ≥
2300 ml pada wanita; ≥ 2600 ml
pada laki-laki
(AKG, 2012)
Ordinal
50
50
3.3 Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. Ada hubungan antara riwayat keluarga dengan kejadian terduga
hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas
Pamulang tahun 2016.
2. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian terduga
hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas
Pamulang tahun 2016.
3. Ada hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian terduga
hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas
Pamulang tahun 2016.
4. Ada hubungan antara kegemukan dengan kejadian terduga hiperurisemia
pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun
2016.
5. Ada hubungan antara asupan makan (fruktosa, purin dan cairan) dengan
kejadian terduga hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja
Puskesmas Pamulang tahun 2016.
51
4 BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi observasional
analitik dengan desain studi cross sectional yang dilakukan untuk
mengetahui hubungan antara variabel dependen dan variabel independen.
Adapun variabel dependen penelitian ini yaitu kejadian terduga
hiperurisemia. Sedangkan variabel independen dalam penelitian ini yaitu
riwayat keluarga, jenis kelamin, aktivitas fisik, kegemukan, asupan makan
(fruktosa, purin dan cairan. Pengumpulan data dan informasi antara variabel
dependen dan variabel independen dilakukan dalam waktu yang sama.
4.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan di Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu)
wilayah kerja Puskesmas Pamulang pada bulan Mei sampai Oktober tahun
2016.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pralansia (45-59 tahun) yang
tidak mengkonsumsi obat-obatan diuretik di Posbindu wilayah kerja
Puskesmas Pamulang. Sedangkan sampel adalah bagian dari populasi.
Perhitungan besar sampel dengan menggunakan rumus estimasi proporsi
adalah sebagai berikut.
52
⁄ (
Ket :
n = jumlah sampel minimal yang dibutuhkan
Z1-α/2 = derajat kepercayaan = 1,64
P = Proporsi dari penelitian sebelumnya
d = Presisi mutlak = 10%
Tabel 4.1 Nilai P (Proporsi) Variabel Dependen dan Variabel Independen
No Variabel P n Sumber
1. Hiperurisemia 64,3% 63 Posbindu PTM, 2016
2. Riwayat Keluarga 71,4% 56 Sukarmin, 2015
2. Jenis Kelamin 61,7% 64 Setyoningsih, 2009
3. Aktivitas Fisik 22,15% 47 Xiong dkk, 2013
4. Kegemukan 55% 67
Setyoningsih, 2009 5. Asupan Fruktosa 66,7% 61
6. Asupan Purin 38,8% 65
7. Asupan Cairan 50% 68 Fajarina, 2011
Adapun rumus penghitungan jumlah sampel dengan menggunakan rumus
uji hipotesis estimasi beda 2 proporsi sebagai berikut:
{
⁄√ ̅( ̅ √ ( ( }
(
Ket :
n = jumlah sampel minimal yang dibutuhkan
Z1-α/2 = derajat kepercayaan = 1,64
Z1-β = kekuatan uji
P1 = Proporsi kasus berisiko
P2 = Proporsi kasus tidak berisiko
Ᵽ = rata-rata proporsi; (P1 + P2)/2
53
Penelitian terdahulu mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan
hiperurisemia diperoleh nilai P1 dan P2 sebagai berikut:
Tabel 4.2 Nilai P1 dan P2 dari Faktor-faktor yang Berhubungan dengan
Hiperurisemia
No Variabel
Independen
P1 P2 n nx2 Sumber
1. Riwayat Keluarga 88% 40% 12 24 Sukarmin, 2015
2. Jenis Kelamin 80% 43,3% 21 42 Setyoningsih, 2009
3. Aktivitas Fisik 21,9% 78,0 9 18 Villegas dkk, 2010
4. Kegemukan 70% 40% 33 66
Setyoningsih, 2009 5. Asupan Fruktosa 83,3% 50% 24 48
6. Asupan Purin 70 % 6,7 % 7 14
7. Asupan Cairan 64,3% 37,5% 42 84 Fajarina, 2011
Berdasarkan hasil perhitungan besar sampel, didapatkan besar sampel
minimum yang paling besar yaitu dari rumus uji hipotesis 2 proporsi
dengan CI 90% serta kekuatan uji (1-β) 80% sebesar 42 orang. Karena uji
yang digunakan adalah uji hipotesis dua proporsi, maka jumlah sampel
dikalikan 2 (dua), sehingga didapatkan jumlah sampel sebanyak 84
pralansia. Untuk menghindari sampel yang tidak bersedia menjadi
responden penelitian, maka sampel ditambahkan 10% dari jumlah sampel
minimal sehingga menjadi 93 sampel.
Penggunaan rumus ini dimaksudkan untuk perbandingan dua proporsi
antara masing-masing variabel dependen dengan variabel independen,
seperti contoh, perbandingan proporsi antara kejadian terduga hiperurisemia
dengan asupan fruktosa berisiko (≥ 25 gram per hari) dan kejadian terduga
54
hiperurisemia dengan asupan fruktosa yang tidak berisiko, begitupun
variabel-variabel penelitian yang lainnya.
Pada penelitian ini, pengambilan sampel dilakukan secara acak
(probability sampling) dengan proportionate random sampling. Cara ini
dilakukan dengan mengambil sampel berdasarkan alokasi dari tiap posbindu
yang ada di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016. Adapun rumus
yang digunakan dalam menentukan proporsi setiap posbindu adalah:
Keterangan:
jumlah anggota sampel tiap posbindu
jumlah anggota populasi tiap posbindu
jumlah anggota populasi seluruh posbindu
jumlah anggota sampel seluruh posbindu
Wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016 mempunyai 17 Pos
Pembinaan Terpadu (Posbindu) yang tersebar pada 4 (empat) kelurahan.
Berikut adalah tabel yang menunjukkan jumlah sampel yang diambil sesuai
proporsi yang ditetapkan dari setiap Posbindu di wilayah kerja Puskesmas
Pamulang tahun 2016.
Tabel 4.3 Jumlah Pralansia pada Tiap Posbindu di Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang dalam Populasi dan sampel
No Kelurahan Nama Posbindu Populasi Sampel
1
Pamulang Barat
Cemara 20 6
2 Edelweis 23 7
3 Anggrek 26 8
55
No Kelurahan Nama Posbindu Populasi Sampel
4 Chlaudiol 36 11
5 Setiabudi 6 2
6
Pamulang Timur
Melati 21 7
7 Lele Dumbo 17 5
8 Gurame 10 3
9
Pondok Cabe Ilir
Akasia 11 3
10 Lamtoro 7 2
11 Beringin 16 5
12
Pondok Cabe Udik
Kurma 20 6
13 Sawo 23 7
14 Anggur 14 4
15 Merah Delima 21 7
16 Kiwi 11 3
17 Cherry 16 5
TOTAL 298 93
Berdasarkan jumlah sampel dari setiap posbindu tersebut didapatkan
bahwa total sampel berjumlah 93 orang. Dari masing-masing posbindu telah
diambil sampel penelitian sesuai dengan proporsi yang ditetapkan.
4.4 Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data
sekunder. Dalam pengumpulan data primer, peneliti dibantu oleh 3 orang
enumerator (seorang bidan atau perawat atau dokter dan dua mahasiswi
kesehatan masyarakat). Metode yang digunakan untuk memperoleh data
primer dalam penelitian ini adalah metode stik, metode wawancara
sederhana, metode GPPAQ (General Practice Physical Activity
Questionnaire), metode pengukuran antropometri dan metode semi
56
quantitative FFQ. Metode stik digunakan untuk mengukur kadar asam urat
darah. Kemudian, metode wawancara dengan kuesioner untuk mendapatkan
data riwayat keluarga dan jenis kelamin. Metode GPPAQ untuk
pengambilan data aktivitas fisik, dan pengukuran antropometri untuk
mendapatkan data kegemukan. Kemudian metode FFQ semi kuantitaif
dilakukan untuk mengukur asupan makan (fruktosa, purin, dan cairan).
1) Metode stik
Metode stik adalah pemeriksaan kadar asam urat yang menggunakan
bahan pemeriksaan darah kapiler sehingga pemeriksaan ini lebih praktis
karena dapat dikerjakan sendiri di rumah dan lebih ekonomis. Metode ini
merupakan salah satu metode yang hanya menggunakan 1-2 tetes whole
blood. Metode ini juga dapat digunakan sebagai diagnosis awal dan cepat
karena tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan hasil pengukuran.
Sebelum digunakan, masukkan chip warna kuning ke dalam alat
untuk cek alat. Strip tes diletakkan di alat (Blood Uric Acid Meter) yang
mempunyai layar untuk menampilkan hasil pemeriksaan. Kemudian
darah diteteskan pada zona reaksi strip tes (Blood Uric Acid Strip).
Pengambilan sampel darah dengan menggunakan jarum (Lancing Device
atau Lancet). Selanjutnya, hasil tes akan terlihat di layar alat. Pengukuran
kadar asam urat dalam penelitian ini, dilakukan langsung oleh tenaga
kesehatan Puskesmas Pamulang, yaitu bidan, perawat dan dokter.
2) Metode Wawancara
Metode yang digunakan untuk memperoleh data primer dalam
penelitian ini adalah metode angket/kuesioner, yaitu daftar-daftar
57
pertanyaan/pernyataan mengenai variabel riwayat keluarga dan jenis
kelamin yang terdapat dalam penelitian ini. Kuesioner digunakan untuk
memberikan atau menyebarkan daftar pertanyaan/pernyataan kepada
responden dengan harapan responden akan memberikan respon atas
daftar tersebut. Dalam penelitian ini, seluruh responden memberikan
respon dengan menjawab seluruh pertanyaan yang diajukan oleh peneliti
dan enumerator.
3) Metode GPPAQ
Metode ini digunakan untuk memperoleh data aktivitas fisik
responden dengan cara memberikan daftar-daftar pertanyaan/pernyataan
mengenai variabel aktivitas fisik yang dilakukan selama satu minggu
terakhir dengan menggunakan indeks aktivitas fisik.
4) Pengukuran Antropometri
Pengukuran antropometri digunakan untuk mengukur status
kegemukan responden dengan melihat Indeks Massa Tubuh (IMT)
responden. Adapun pengukuran yang dilakukan yaitu berat badan (BB)
dan tinggi badan (TB). Angka IMT didapatkan dari pembagian antara
berat badan (kg) dengan tinggi badan (m) yang dikuadratkan. Kemudian
hasil pengukuran dibandingkan dengan z-score IMT berdasarkan
Petunjuk Teknis Posbindu PTM Kemenkes tahun 2012.
5) Metode SQ-FFQ
Data asupan makanan fruktosa, purin, dan cairan diperoleh dengan
wawancara menggunakan metode SQ-FFQ. Untuk menganalisis nilai gizi
fruktosa dan cairan menggunakan software Nutrisurvey. Analisis jumlah
58
makanan sumber purin meggunakan tabel grup bahan makanan (BM)
purin. Rata-rata konsumsi per hari dimasukkan sesuai dengan grup. Rata-
rata konsumsi per hari makanan sumber purin dibagi seratus kemudian
dikalikan dengan kandungan purin sesuai dengan jenis bahan makanan
yang ada dalam Tabel 2.2 Kadar Purin dalam Berbagai Makanan. Jumlah
asupan makanan sumber purin didapat dengan menjumlahkan nilai pada
setiap kelompok dan dalam bentuk gram.
Data yang didapatkan melalui data sekunder antara lain gambaran umum
Posbindu di wilayah kerja Puskesmas Pamulang dan data jumlah pra lanjut
usia yang mengunjungi Posbindu di wilayah kerja Puskesmas Pamulang
sebagai kerangka sampel untuk menentukan sampel dalam penelitian ini.
4.5 Instrumen Penelitian
Adapun instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1) Kuesioner penelitian yang berisi lembar persetujuan, kolom identitas diri,
dan kolom hasil pengukuran antropometri (lampiran 2).
2) Kuesioner GPPAQ untuk menilai tingkat aktivitas fisik yang dilakukan
selama satu minggu terakhir dengan menggunakan indeks aktivitas fisik.
Dalam penelitian ini, kuesioner aktivitas fisik GPPAQ yang digunakan
merupakan kuesioner GPPAQ yang telah diuji validitas dan
reliabilitasnya oleh Ahmad dkk (2015) dan diadaptasi ke dalam bahasa
Indonesia oleh Rizky (2011) (lampiran 3).
59
3) Formulir FFQ semi kuantitatif untuk mengumpulkan data asupan makan
(lampiran 4). Responden akan diminta untuk memilih semua makanan
dan minuman yang sering dikonsumsi. Wawancara asupan makanan yang
dikonsumsi oleh responden dilakukan oleh pengumpul data. Formulir
SQ-FFQ yang digunakan dalam penelitian ini merupakan formulir SQ-
FFQ yang telah dimodifikasi dari penelitian Erniati (2013) dan telah
disesuaikan dengan bahan makanan yang sering dikonsumsi oleh
masyarakat di lokasi penelitian.
4) Formulir kadar asam urat darah (lampiran 5).
5) Blood Uric Acid Test Strip merek Easy Touch GCU dengan tingkat eror
± 17% dan presisi ≤ 7,6% (Dai dkk, 2005) yang telah dikalibrasi terlebih
dahulu sebelum digunakan.
6) Timbangan injak berat badan dengan kapasitas 0-120 kg dengan
ketelitian 0,5 kg dan timbangan digital berat badan kapasitas 0-120 kg
dengan ketelitian 0,1 kg yang telah dikalibrasi terlebih dahulu sebelum
digunakan.
7) Alat pengukur tinggi badan atau microtoise dengan kapasitas ukur 2
meter dan ketelitian 0,1 cm.
4.6 Manajemen Data
Semua data dari kuesioner yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah
melalui tahap-tahap sebagai berikut sehingga siap untuk dianalisis:
1. Penyuntingan data (Data editing)
Penyuntingan data dilakukan setelah data telah terkumpul di lapangan
dan sebelum peneliti atau pengumpul data meninggalkan lapangan.
60
Penyuntingan data dalam penelitian ini dilakukan oleh peneliti yang
bertujuan untuk memeriksa kelengkapan data dan kesalahan dalam
pengisian kuesioner, serta memastikan data yang telah diperoleh dapat
dibaca dengan baik oleh peneliti. Apabila terdapat data yang kurang
lengkap, maka peneliti bersama enumerator mengambil data kembali
secara lengkap.
2. Data skoring
Sebelum pengkodean atau memberikan kode atas jawaban-jawaban
yang telah dijawab oleh responden, peneliti melakukan penghitungan
skor terhadap jawaban yang menyangkut variabel aktivitas fisik,
kegemukan, dan asupan makan (asupan fruktosa, purin, dan cairan).
1) Variabel aktivitas fisik
Pertanyaan A (pertanyaan jenis pekerjaan) terdiri dari satu
pertanyaan dan lima pilihan jawaban dengan memilih satu jawaban.
Masing-masing jawaban memiliki skor berturut-turut 1-5 (lampiran 3).
Kelompok pertanyaan B (pertanyaan latihan fisik dan/atau bersepeda)
mempunyai lima pertanyaan dan masing-masing pertanyaan terdiri
dari empat pilihan jawaban dengan memilih satu jawaban. Masing-
masing jawaban memiliki skor berturut-turut 1-4.
Pemberian skor untuk aktivitas fisik dibagi ke dalam dua tahap.
Tahap pertama, menghitung pertanyaan A dan pertanyaan B. Karena
pertanyaan B memiliki lima pertanyaan, maka diberikan nilai skor dari
hasil rata-rata. Berikut adalah penjelasan dalam pemberian skor
pertanyaan B:
61
1) Jika hasil rata-rata bernilai ≤ 0,5 maka skor adalah 1, artinya
latihan fisik dan/atau bersepeda tidak dilakukan;
2) Jika hasil rata-rata bernilai 0,6 – 1,5 maka skor adalah 2, artinya
latihan fisik dan/atau bersepeda dilakukan selama < 1 jam
3) Jika hasil rata-rata bernilai 1,6 – 2,5 maka skor adalah 3, artinya
latihan fisik dan/atau bersepeda dilakukan selama 1 - < 3 jam;
4) Jika hasil rata-rata bernilai 2,6 – 4 maka skor adalah 4, artinya
latihan fisik dan/atau bersepeda dilakukan selama ≥ 3 jam.
Tahap kedua, dari skor pertanyaan A dan skor pertanyaan B
selanjutnya akan dilakukan penghitungan skor aktivitas fisik dalam
software komputer. Adapun cara untuk menghitung skor aktivitas fisik
(Physical Activity Index/PAI) dari pertanyaan A (pertanyaan
pekerjaan) dan pertanyaan B (pertanyaan latihan fisik dan/atau
bersepeda) adalah sebagai berikut:
a) Tingkat active jika pekerjaan yang duduk terus menerus dan latihan
fisik dan/atau bersepeda ≥ 3 jam per minggu; ATAU pekerjaan
yang berdiri dan latihan fisik dan/atau bersepeda 1-2,9 jam per
minggu; ATAU pekerjaan dengan fisik dan latihan fisik dan/atau
bersepeda < 1 jam per minggu; ATAU pekerjaan yang memerlukan
tenaga berat.
b) Tingkat moderately active jika pekerjaan yang duduk terus menerus
dan latihan fisik dan/atau bersepeda 1-2,9 jam per minggu; ATAU
pekerjaan berdiri dan < 1 jam latihan fisik dan/atau bersepeda per
62
minggu; ATAU pekerjaan dengan fisik dan tidak ada latihan fisik
atau bersepeda.
c) Tingkat moderately inactive jika pekerjaan yang duduk terus
menerus dan latihan fisik dan/atau bersepeda < 1 jam per minggu;
ATAU pekerjaan yang berdiri dan tidak ada latihan fisik atau
bersepeda.
d) Tingkat inactive jika pekerjaan yang duduk terus menerus, tidak
ada latihan fisik atau bersepeda.
Dalam penelitian ini, dari total skor didapatkan tingkat aktivitas fisik
responden dalam tingkat aktif, cukup aktif, dan kurang aktif. Dari tiga
tingkatan tersebut, peneliti mengatagorikan tingkat aktivitas responden
menjadi dua tingkatan, yaitu aktivitas berat meliputi aktivitas fisik
responden tingkat aktif; dan aktivitas ringan meliputi aktivitas fisik
responden tingkat cukup aktif dan aktivitas fisik responden kurang aktif.
2) Variabel kegemukan
Pemberian skor data kegemukan didapatkan dari penghitungan
IMT (Indeks Massa Tubuh) yaitu berat badan (kg) dibagi dengan
tinggi badan (m) yang dikuadratkan.
3) Variabel asupan makan
Pemberian skor asupan makan melalui beberapa tahap yaitu
sebagai berikut:
a) Mengestimasi ukuran porsi yang dikonsumsi subyek ke dalam
ukuran berat (gram).
b) Mengkonversi frekuensi daftar bahan makanan untuk perhari.
63
Misalnya: Nasi putih dikonsumsi 3x perhari, ekuivalen dengan 3
Tahu dikonsumsi 4x perminggu, ekuivalen dengan 4/7
perhari = 0,57
Es krim dikonsumsi 5x perbulan, ekuivalen dengan 5/30
perhari = 0,17
c) Mengalikan frekuensi perhari dengan ukuran porsi (gram) untuk
mendapatkan berat yang dikonsumsi dalam gram/hari.
d) Untuk asupan fruktosa dan asupan cairan, setelah semua bahan
makanan diketahui berat yang dikonsumsi dalam gram/hari, maka
semua berat item bahan makanan diolah dengan menggunakan
nutrisurvey sehingga diperoleh total asupan fruktosa dan cairan dari
subyek.
e) Berbeda dengan penghitungan asupan fruktosa dan asupan cairan,
untuk asupan purin perlu dilakukan penghitungan lanjutan. Rata-
rata konsumsi per hari makanan sumber purin dibagi seratus
kemudian dikalikan dengan kandungan purin sesuai dengan jenis
bahan makanan yang ada dalam Tabel 2.2 Kadar Purin dalam
Berbagai Makanan. Jumlah asupan makanan sumber purin didapat
dengan menjumlahkan nilai pada setiap kelompok dan dalam
bentuk gram.
3. Pengodean data (Coding)
Mengkode yaitu membuat klasifikasi data dan memberi kode pada
jawaban dari setiap pertanyaan dalam kuesioner.
64
1) Variabel dependen, kejadian terduga hiperurisemia diberikan kode
dengan dua kategori yaitu dengan kode “0” untuk “Hiperurisemia”,
yaitu apabila kadar asam urat > 5,7 mg/dl pada wanita; > 7 mg/dl
pada pria; dan kode “1” untuk “Normourisemia”, apabila kadar asam
urat 2,6-5,7 mg/dl pada wanita; 3,4-7 mg/dl pada pria.
2) Variabel independen, riwayat keluarga diberikan kode dengan dua
kategori dengan kode “0” jika “Ya”, yaitu ada riwayat keluarga
dengan hiperurisemia dan kode “1” jika “Tidak”, yaitu tidak ada
riwayat keluarga dengan hiperurisemia.
3) Variabel independen jenis kelamin dikategorikan menjadi 2 yaitu
dengan kode “0” untuk “Laki-laki” dan kode “1” untuk”Perempuan”.
4) Variabel aktivitas fisik dikategorikan 2 yaitu kode “0” untuk
“Aktivitas Fisik Berisiko” yang berarti aktivitas fisik berat dan kode
“1” untuk “Aktivitas Fisik Tidak Berisiko” yang berarti aktivitas fisik
sedang sampai ringan.
5) Variabel kegemukan diberi kode “0” jika “Ya” yang berarti IMT ≥
25,0 dan kode “1” jika “Tidak” yang berarti IMT < 25,0 kg/m2.
6) Variabel asupan fruktosa dikategorikan menjadi 2 dengan kode “0”
jika “Asupan Berisiko” yaitu asupan fruktosa ≥ 25 gram per hari dan
kode “1” jika “Asupan Tidak Berisiko” yaitu asupan fruktosa < 25
gram per hari.
7) Variabel asupan purin dikategorikan menjadi 2 dengan kode “0” jika
“Asupan Berisiko”, yaitu asupan purin ≥ 500 mg per hari dan kode
65
“1” jika “Asupan Tidak Berisiko”, yaitu asupan purin < 500 mg per
hari.
8) Variabel asupan cairan dikategorikan menjadi 2 dengan kode “0” jika
“Asupan Berisiko”, yaitu asupan cairan < 2300 ml pada wanita; <
2600 ml pada laki-laki dan kode “1” jika “Asupan Tidak Berisiko”,
yaitu asupan ≥ 2300 ml pada wanita; ≥ 2600 ml pada laki-laki.
4. Pemasukan data (Data Entry)
Setelah data kasar terkumpul dari lapangan, kemudian data disunting,
dihitung skor dan diberikan kode, maka semua data yang telah lengkap
diberikan kode, selanjutnya dimasukkan ke dalam aplikasi atau perangkat
software komputer.
5. Pembersihan data (Data cleaning)
Tahap ini dilakukan untuk mengecek kembali data yang telah
dimasukkan ke dalam perangkat software komputer. Data yang telah di
entry, kemudian dicek kembali dengan untuk memastikan bahwa tidak
ada kesalahan data, baik kesalahan pengkodean maupun kesalahan dalam
membaca kode. Misalnya untuk variabel kejadian terduga hiperurisemia
hanya ada 2 (dua) kategori yaitu 0 = Hiperurisemia dan 1 =
Normourisemia. Pembersihan data juga dilakukan dengan mengetahui
ada tidaknya missing data dengan memeriksa distribusi frekuensi dari
setiap variabel. Dengan demikian, selanjutnya dilakukan analisis data
dari setiap variabel penelitian.
66
4.7 Analisis Data
4.7.1 Analisis Univariat
Analisis ini digunakan untuk mendapatkan gambaran distribusi atau
distribusi frekuensi masing-masing variabel penelitian. Analisis univariat
digunakan untuk menjelaskan atau mendiskripsikan variabel dependen,
yaitu kejadian terduga hiperurisemia, dan variabel independen, yaitu riwayat
keluarga, jenis kelamin, aktivitas fisik, kegemukan, asupan fruktosa, asupan
purin, dan asupan cairan.
4.7.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk membuktikan hipotesis dalam
penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan antara variabel dependen
(hiperurisemia) dengan masing-masing variabel independen (riwayat
keluarga, jenis kelamin, aktivitas fisik, kegemukan, asupan fruktosa, asupan
purin, asupan cairan). Adapun uji statistik yang digunakan yaitu chi-square
karena variabel dependen dan variabel independen berbentuk data kategorik.
Berikut rumus chi-square:
X2
= Ʃ (
df = (b-1) (k-1)
Keterangan:
X2
= nilai chi-square
E = nilai harapan
O = nilai observasi
df = degree of freedom
b = jumlah baris
k = jumlah kolom
67
Untuk menguji kemaknaan digunakan nilai p-value dengan
menggunakan tingkat kemaknaan 10% dan derajat kepercayaan 90%.
Sehingga jika p-value ≤ 0,05 maka menunjukkan ada hubungan antara
variabel dependen dan variabel independen sedangkan jika p-value > 0,05
maka menunjukkan tidak ada hubungan antara variabel dependen dan
variabel independen.
68
5 BAB V
HASIL
5.1 Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016
Posbindu yang berada di wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016
berjumlah 17 Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) yang tersebar pada 4
kelurahan. Kegiatan pelayanan kesehatan di posbindu dilakukan sekali
dalam satu bulan sesuai dengan jadwal yang telah disepakati bersama
dengan petugas kesehatan di Puskesmas Pamulang. Adapun posbindu yang
berada di 4 kelurahan tersebut dijelaskan dalam tabel berikut.
Tabel 5.1 Nama-nama Posbindu di Setiap Kelurahan Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang Tahun 2016
Kelurahan Pamulang
Barat
Pamulang
Timur
Pondok Cabe
Ilir
Pondok Cabe
Udik
Nama
Posbindu
Cemara Melati Akasia Kurma
Edelweis Lele Dumbo Lamtoro Sawo
Anggrek Gurame Beringin Anggur
Chlaudiol Merah Delima
Setiabudi Kiwi
Cherry
Total 5 3 3 6
Dari tabel diatas diketahui bahwa total keseluruhan posbindu yang
berada di wilayah kerja Puskesmas Pamulang adalah 17 posbindu. Adapun
dalam penelitian ini dilakukan di 17 posbindu tersebut dengan responden
yang berpartisipasi sebanyak 93 orang.
69
5.2 Analisis Univariat
Analisis univariat menggambarkan distribusi frekuensi dari masing-
masing variabel yang diteliti, baik variabel dependen (kejadian terduga
hiperurisemia) maupun variabel independen (riwayat keluarga, jenis
kelamin, aktivitas fisik, kegemukan, asupan makan (fruktosa, purin dan
cairan.
5.2.1 Distribusi Frekuensi Kejadian Terduga Hiperurisemia Pralansia di
Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang
Seseorang dikategorikan mengalami kejadian terduga hiperurisemia
dapat diketahui dari kadar asam urat darah. Kadar asam urat darah
responden diukur sebanyak satu kali pengukuran menggunakan strip tes
yang diletakkan di alat blood uric acid meter untuk menampilkan hasil
pemeriksaan. Pengambilan sampel darah dengan jarum di salah satu ujung
jari tangan responden. Gambaran distribusi frekuensi kejadian terduga
hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas
Pamulang tahun 2016, disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Kejadian Terduga Hiperurisemia pada
Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun
2016
Kejadian Terduga
Hiperurisemia
Frekuensi (n) Persen (%)
Hiperurisemia 61 65,6
Normourisemia 32 34,4
TOTAL 93 100
Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa dari 93 pralansia di Posbindu
wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016, sebagian besar pralansia di
70
posbindu mengalami hiperurisemia atau kadar asam urat darah tinggi yaitu
sebesar 65,6%.
5.2.2 Distribusi Frekuensi Riwayat Keluarga Pralansia di Posbindu Wilayah
Kerja Puskesmas Pamulang
Adapun distribusi frekuensi riwayat keluarga atau riwayat keluarga pada
pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016,
disajikan dalam bentuk tabel 5.3 berikut ini:
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Riwayat Keluarga pada Pralansia di
Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016
Riwayat Keluarga Frekuensi (n) Persen (%)
Ya 51 54,8
Tidak 42 45,2
TOTAL 90 100
Berdasarkan tabel 5.3 diketahui bahwa dari 93 pralansia di Posbindu
wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016, sebagian besar pralansia
memiliki riwayat keluarga dengan hiperurisemia yaitu sebesar 54,8%.
5.2.3 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Pralansia di Posbindu Wilayah
Kerja Puskesmas Pamulang
Data jenis kelamian diperoleh dari hasil wawancara dengan kuesioner
kepada setiap responden. Gambaran distribusi frekuensi jenis kelamin pada
pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016,
disajikan dalam bentuk tabel 5.4 berikut ini:
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin pada Pralansia di
Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016
Jenis Kelamin Frekuensi (n) Persen (%)
Laki-laki 12 12,9
Perempuan 81 87,1
TOTAL 93 100
71
Berdasarkan tabel 5.4 diketahui bahwa dari 93 pralansia di Posbindu
wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016, sebagian besar pralansia
memiliki jenis kelamin perempuan sebesar 87,1%.
5.2.4 Distribusi Frekuensi Aktivitas Fisik pada Pralansia di Posbindu
Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang
Aktivitas fisik responden dalam seminggu diukur dengan menggunakan
kuesioner GPPAQ tahun 2009. Kemudian hasil yang diperoleh
dikategorikan ke dalam aktivitas fisik berisiko (aktivitas berat) dan aktivitas
fisik tidak berisiko (aktivitas sedang-ringan). Berikut gambaran aktivitas
fisik responden:
Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Aktivitas Fisik pada Pralansia di
Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016
Aktivitas Fisik Frekuensi (n) Persen (%)
Berat 14 15,1
Sedang-Ringan 79 84,9
TOTAL 93 100
Berdasarkan tabel 5.5 diketahui bahwa dari 93 pralansia di Posbindu
wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016, sebagian besar pralansia
(84,9 %) memiliki aktivitas fisik sedang-ringan.
5.2.5 Distribusi Frekuensi Kegemukan pada Pralansia di Posbindu Wilayah
Kerja Puskesmas Pamulang
Data kegemukan diperoleh dari pengukuran berat badan dan tinggi
badan dengan perhitungan IMT (Indeks Massa Tubuh). Gambaran distribusi
frekuensi kegemukan pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas
Pamulang tahun 2016 disajikan dalam tabel berikut.
72
Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Kegemukan pada Pralansia di Posbindu
Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016
Kegemukan Frekuensi (n) Persen (%)
Ya 49 52,7
Tidak 44 47,3
TOTAL 93 100
Berdasarkan tabel 5.6 diketahui bahwa dari 93 pralansia di Posbindu
wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016, sebagian besar pralansia
(52,7 %) mengalami kegemukan (IMT ≥ 25,0).
5.2.6 Dstribusi Frekuensi Asupan Makan (Fruktosa, Purin, Cairan) pada
Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang
Gambaran distribusi frekuensi asupan makan (fruktosa, purin, cairan)
pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016,
disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Asupan Makan (Fruktosa, Purin,
Cairan) pada Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas
Pamulang Tahun 2016
Asupan Fruktosa Frekuensi (n) Persen (%)
≥ 25 gram per hari 22 23,7
< 25 gram per hari 71 76,3
Asupan Purin
≥ 500 mg per hari 44 47,3
< 500 mg per hari 49 52,7
Asupan Cairan
< 2300 ml pada wanita;
< 2600 ml pada laki-laki 71 76,3
≥ 2300 ml pada wanita;
≥ 2600 ml pada laki-laki 22 23,7
TOTAL 93 100
Berdasarkan tabel 5.5 diketahui bahwa dari 93 pralansia di Posbindu
wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016, sebagian besar pralansia
(76,3 %) memiliki asupan fruktosa tidak berisiko yaitu asupan fruktosa <
25 gram per hari; sebagian besar pralansia (47,3%) memiliki asupan purin
73
tidak berisiko yaitu asupan purin < 500 mg per hari; dan sebagian besar
pralansia (76,3%) memiliki asupan cairan berisiko yaitu asupan cairan <
2300 ml pada wanita; < 2600 ml pada laki-laki.
Data asupan makan (fruktosa, purin dan cairan) diperoleh dari hasil
wawancara FFQ semi kuantitatif yang dilakukan dalam satu kali
wawancara. Untuk data asupan fruktosa dan asupan cairan langsung
dianalisis dengan software nutrisurvey. Sedangkan asupan purin tidak
dianalisis dalam nutrisurvey, namun dianalisis dengan menghitung kadar
purin dalam setiap bahan makanan yang mengandung purin dari FFQ semi
kuantitatif (lihat Tabel 2.2 Kadar Purin dalam Berbagai Makanan).
5.3 Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunkaan untuk mengetahui hubungan antara variabel
dependen dengan variabel independen yang dilakukan dengan menggunakan
uji chi square. Dikatakan berhubungan secara signifikan jika didapatkan
nilai p ≤ 0,05 dan dikatakan tidak berhubungan secara signifikan jika
diperoleh nilai p > 0,05. Adapun hasil bivariat dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
5.3.1 Hubungan Riwayat Keluarga dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia
pada Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang
Hasil analisis bivariat antara riwayat keluarga dengan kejadian terduga
hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas
Pamulang tahun 2016, dapat dilihat pada tabel 5.10 berikut ini.
74
Tabel 5.8 Analisis Hubungan antara Riwayat Keluarga dengan
Kejadian Terduga Hiperurisemia pada Pralansia di Posbindu Wilayah
Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016
Riwayat
Keluarga
Kejadian Terduga Hiperurisemia Total
p-value Hiperurisemia Normourisemia
n (%) n (%) n (%)
Ya 40 (78,4) 11 (21,6) 51 (100) 0,008
Tidak 21 (50,0) 21 (50,0) 42 (100)
Total 61 (65,4) 32 (34,4) 93 (100)
Berdasarkan tabel 5.10, diketahui bahwa responden yang memiliki
riwayat keluarga dan mengalami hiperurisemia ada 40 dari 51 orang
(78,4%). Sedangkan responden yang tidak memiliki riwayat keluarga dan
mengalami hiperurisemia ada 21 dari 42 orang (50,0%). Dari hasil uji
statistik diperoleh nilai probabilitasnya sebesar 0,008 (p-value ≤ 0,05),
artinya pada alpha 10% terdapat hubungan antara riwayat keluarga dengan
kejadian terduga hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja
Puskesmas Pamulang tahun 2016.
5.3.2 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia
pada Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang
Hasil analisis bivariat antara jenis kelamin dengan kejadian terduga
hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas
Pamulang tahun 2016, dapat dilihat pada tabel 5.11 berikut ini:
Tabel 5.9 Analisis Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Kejadian
Terduga Hiperurisemia pada Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang Tahun 2016
Jenis
Kelamin
Kejadian Terduga Hiperurisemia Total
p-value Hiperurisemia Normourisemia
n (%) n (%) n (%)
Laki-laki 8 (66,7) 4 (33,3) 12 (100) 1,000
Perempuan 53 (65,4) 28 (34,6) 81 (100)
Total 61 (65,6) 32 (34,4) 93 (100)
75
Berdasarkan tabel 5.11, diketahui bahwa jenis kelamin responden laki-
laki yang mengalami kejadian terduga hiperurisemia ada 8 dari 12 orang
(66,7%). Sedangkan jenis kelamin responden perempuan yang mengalami
hiperurisemia ada 53 dari 81 orang (65,4%). Dari hasil uji statistik diperoleh
nilai probabilitasnya sebesar 1,000 (p-value > 0,05), artinya pada alpha 10%
tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian terduga
hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas
Pamulang tahun 2016.
5.3.3 Hubungan Aktifitas Fisik dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia
pada Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang
Hasil analisis bivariat antara aktivitas fisik dengan kejadian terduga
hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas
Pamulang tahun 2016, dapat dilihat pada tabel 5.12 berikut.
Tabel 5.10 Analisis Hubungan antara Aktifitas Fisik dengan Kejadian
Terduga Hiperurisemia pada Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang Tahun 2016
Aktifitas Fisik
Kejadian Terduga Hiperurisemia Total
p-value Hiperurisemia Normourisemia
n (%) n (%) n (%)
Berat 8 (57,1) 6 (42,9) 14 (100) 0,677
Sedang-Ringan 53 (67,1) 28 (32,9) 79 (100)
Total 61 (65,6) 32 (34,4) 93 (100)
Berdasarkan tabel 5.12, diketahui bahwa responden yang memiliki
aktifitas fisik berat dan mengalami kejadian terduga hiperurisemia ada 8 dari
14 orang (57,1%). Sedangkan responden yang memiliki aktifitas fisik
sedang-ringan dan mengalami hiperurisemia ada 53 dari 79 orang (67,1%).
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai probabilitasnya sebesar 0,677 (p-value
<0,05), artinya pada alpha 10% tidak terdapat hubungan antara aktifitas fisik
76
dengan kejadian terduga hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah
kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016.
5.3.4 Hubungan Kegemukan dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia pada
Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang
Hasil analisis bivariat antara kegemukan dengan kejadian terduga
hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas
Pamulang tahun 2016, dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 5.11 Analisis Hubungan antara Kegemukan dengan Kejadian
Terduga Hiperurisemia pada Pralansia di Posbindu Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang Tahun 2016
Kegemukan
Kejadian Terduga Hiperurisemia Total
p-value Hiperurisemia Normourisemia
n (%) n (%) n (%)
Ya 38 (77,6) 11 (22,4) 49 (100) 0,019
Tidak 23 (52,3) 21 (47,7) 44 (100)
Total 61 (65,6) 32 (34,4) 93 (100)
Berdasarkan tabel 5.13, diketahui bahwa responden yang gemuk (IMT ≥
25,0) dan mengalami hiperurisemia ada 38 dari 49 orang (77,6%).
Sedangkan responden yang tidak gemuk dan mengalami hiperurisemia ada
23 dari 44 orang (52,3%). Dari uji statistik diperoleh nilai probabilitasnya
sebesar 0,019 (p-value ≤ 0,05), artinya pada alpha 10% terdapat hubungan
antara kegemukan dengan kejadian terduga hiperurisemia pada pralansia.
5.3.5 Hubungan Asupan Makan (Fruktosa, Purin dan Cairan) dengan
Kejadian Terduga Hiperurisemia pada Pralansia di Posbindu Wilayah
Kerja Puskesmas Pamulang
Hasil analisis bivariat antara asupan makan (fruktosa, purin dan cairan)
dengan kejadian terduga hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah
kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016, dapat dilihat pada tabel berikut ini.
77
Tabel 5.12 Analisis Hubungan antara Asupan Makan (Fruktosa, Purin
dan Cairan) dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia pada Pralansia
di Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016
Asupan Makan
Kejadian Terduga Hiperurisemia Total
p-value Hiperurisemia Normourisemia
n (%) n (%) n (%)
Asupan Fruktosa
≥ 25 gram/hari 19 (86,4) 3 (13,6) 22 (100) 0,037
< 25 gram/hari 42 (59,2) 29 (40,8) 71 (100)
Asupan Purin
≥ 500 mg/hari 35 (79,5) 9 (20,5) 44 (100) 0,014
< 500 mg/hari 26 (53,1) 23 (46,9) 49 (100)
Asupan Cairan
Wanita :<2300 ml
Laki-laki:<2600 ml 51 (71,8) 20 (28,2) 71 (100)
0,044 Wanita: ≥2300 ml
Laki-laki:≥2600 ml 10 (45,5) 12 (54,5) 22 (100)
Berdasarkan tabel 5.14, diketahui bahwa asupan fruktosa responden
yang berisiko (≥ 25 gram per hari) dan mengalami hiperurisemia ada 19 dari
22 orang (86,4%). Sedangkan asupan fruktosa responden yang tidak
berisiko dan mengalami hiperurisemia ada 42 dari 71 orang (59,2%).
Selanjutnya diketahui bahwa asupan purin responden yang berisiko (≥ 500
mg per hari) dan mengalami hiperurisemia ada 35 dari 44 orang (79,5%).
Sedangkan asupan purin responden yang tidak berisiko dan mengalami
hiperurisemia ada 26 dari 49 orang (53,1%). Kemudian diketahui bahwa
asupan cairan responden yang berisiko (< 2300 ml pada wanita; < 2600 ml
pada laki-laki) dan mengalami hiperurisemia ada 51 dari 71 orang (71,8%).
Sedangkan asupan cairan responden yang tidak berisiko dan mengalami
hiperurisemia ada 10 dari 22 orang (45,5%).
78
Dari hasil uji statistik diperoleh nilai probabilitas untuk asupan fruktosa,
purin dan cairan berturut-turut sebesar 0,037; 0,014; 0,044 (p-value < 0,05),
artinya pada alpha 10% terdapat hubungan antara asupan makan (fruktosa,
purin dan cairan) dengan kejadian terduga hiperurisemia pada pralansia di
Posbindu wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016.
79
6 BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
Pada penelitian ini terdapat beberapa kelemahan yang menjadi
keterbatasan penelitian. Instrumen untuk pengambilan darah yang dengan
blood uric acid meter memiliki kelemahan antara lain presisi kurang baik,
kurang akurat, dan memiliki tingkat eror yang cukup tinggi.
Instrumen penelitian yang berupa kuesioner mengenai ada tidaknya
riwayat keturunan yang mengalami hiperurisemia tergantung dari
sepengetahuan pralansia. Sehingga pralansia hanya menjawab sesuai
perkiraan dan kemungkinan yang mereka ketahui. Hal tersebut menjadi
keterbatasan dikarenakan adanya bias infromasi yang terjadi.
Selain itu, adanya kemungkinana bias the flat slope syndrome, yakni
kecenderungan bagi responden yang kurus melaporkan konsumsi makanan
dengan berlebih sedangkan responden yang gemuk cenderung melaporkan
konsumsi makanan dengan lebih sedikit. Sehingga diperlukan kejujuran dan
motivasi yang tinggi dari setiap responden.
80
6.2 Gambaran Kejadian Terduga Hiperurisemia
Hiperurisemia merupakan gangguan metabolik yang ditandai dengan
peningkatan kadar asam urat dalam tubuh. Untuk laki-laki, ambang batas
normal dalam darah adalah 7,0 mg/dl. Adapun pada perempuan, batas kadar
asam urat darah normal adalah 5,7 mg/dl (Soeroso, 2011). Hiperurisemia
terjadi ketika asam urat serum melebihi batas tinggi (upper limit) dari jarak
yang direkomendasikan. Hiperurisemia dapat berasal dari peningkatan
produksi purin dan/atau penurunan eksresi asam urat di ginjal (Lee, 2009).
Berdasarkan hasil penelitian pada pralansia (45-59 tahun) di Posbindu
wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016 diperoleh bahwa sebagian
besar pralansia mengalami hiperurisemia, yaitu sebesar 65,6% (Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Kejadian Terduga Hiperurisemia pada Pralansia di
Posbindu Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang Tahun 2016). Persentase
kejadian terduga hiperurisemia tersebut hampir sama besar dengan data di
Posbindu PTM (Penyakit Tidak Menular) Puskesmas Pamulang bulan
Februari tahun 2016 yang diketahui bahwa sebesar 64,3% pralansia
hiperurisemia.
Dari data di atas dapat diketahui bahwa pada pralansia kejadian terduga
hiperurisemia lebih tinggi. Hiperurisemia disebabkan oleh produksi asam
urat berlebih, penurunan eksresi asam urat, atau kombinasi peningkatan
produksi asam urat dan penurunan ekskresi asam urat (Utami dkk, 2009).
Proses terjadinya hiperurisemia berawal dari adanya metabolisme purin dan
asam urat. Ketika kadar asam urat serum melebihi batas normal akibat
pembentukan asam urat tubuh yang berlebihan dan/atau akibat penurunan
81
ekskresi asam urat yang menyebabkan penumpukan kristal monosodium
urat di dalam sendi, maka akan timbul rasa nyeri pada sendi (Price, 2005).
Kenaikan konsentrasi urat serum yang melebihi upper limit of reference
range, dapat menimbulkan perkembangan tanda-tanda dan gejala klinis dari
penyakit artritis gout, batu ginjal dan nefropati asam urat. Pada umumnya,
penderita hiperurisemia tidak merasakan gejala (asimptomatik). Meskipun
demikian, dalam jangka yang lama, kadar asam urat darah yang sangat
tinggi (≥ 13mg/dL bagi pria dan ≥ 10 mg/dL bagi perempuan) dapat menjadi
faktor predisposisi terjadinya disfungsional ginjal (Lee, 2009).
Mengetahui cukup tingginya prevalensi hiperurisemia di Posbindu
wilayah kerja Puskesmas Pamulang dan bahaya dari penyakit hiperurisemia,
maka perlu segera diadakan upaya pencegahan dan penanggulangan dalam
mengatasi masalah tersebut.
Upaya pencegahan dan penanggulangan dapat dilakukan dengan cara
mengajak masyarakat yang sudah mengalami hiperurisemia untuk selalu
mengontrol kadar asam urat (pemeriksaan teratur) ke posbindu setempat
atau ke Puskesmas. Selain itu, perlu dibiasakan juga melakukan pola makan
sehat dan berolahraga secara teratur. Dari pemeriksaan tersebut, pralansia
dapat mengetahui kadar asam uratnya sehingga dapat lebih berhati-hati
dalam menjaga pola makannya dan dapat meminimalisir risiko komplikasi
hiperurisemia.
82
6.3 Hubungan Riwayat Keluarga dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia
Riwayat keluarga memiliki peran penting dalam metabolisme tubuh
seseorang. Riwayat Keluarga adalah penurunan sifat genetik dari orang tua
ke anak atau riwayat keturunan. Produksi asam urat berlebihan karena
kelainan herediter atau pembawa sifat atau gen/keturunan yaitu terjadi
karena penurunan kadar HGPRT (hypoxanthine guanine phosphoribosyl
transferase) mencapai 2-5% dari kadar normal; aktivitas berlebih dari enzim
phosphoribosyl pyrophosphate (PRPP) synthetase dalam pengaturan
biosintesis purin yang menyebabkan peningkatan sintesis de novo purin;
tidak sensitifnya PRPP aminotranferase, suatu enzim yang mengontrol
kecepataan sintesis purin sehingga menyebabkan over produksi purin.
Kelebihan produksi purin dalam kondisi tertentu dipecah menjadi asam urat,
yang menyebabkan hiperurisemia (Lim, 2007).
Pada penelitian ini, yang dianggap sebagai pembawa sifat herediter
hanyalah keluarga dekat seperti ayah, ibu, saudara laki-laki dan saudara
perempuan, kakek, nenek, saudara kandung ayah/ibu. Jika salah satu
anggota keluarga tersebut memiliki riwayat hiperurisemia atau asam urat,
maka terdapat risiko seseorang tersebut mengalami hiperurisemia.
Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara
riwayat keluarga dan kejadian terduga hiperurisemia pada pralansia di
Posbindu wilayah kerja Puskesmas Pamulang dengan jumlah pralansia yang
mengalami hiperurisemia dan memiliki riwayat keluarga lebih banyak
(78,4%) daripada pralansia yang mengalami hiperurisemia dan tidak
memiliki riwayat keluarga (50,0%).
83
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Sukarmin (2015) yang
rata-rata umur respondennya 56,24 tahun dengan sebagian besar responden
adalah perempuan (68,6%), menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
riwayat keluarga dengan kejadian terduga hiperurisemia. Sehingga
dinyatakan bahwa responden yang memiliki riwayat keluarga dengan
hiperurisemia mempunyai risiko mengalami hiperurisemia dibandingkan
dengan yang tidak memiliki riwayat.
Hal ini dikarenakan hiperurisemia bersifat herediter, yakni adanya
kelainan metabolik sehingga terjadi peningkatan biosintesis asam urat
tersebut terjadi karena adanya perubahan genetik sehingga mekanisme
kontrol sintesis purin menjadi terganggu (Dalimartha, 2008). Dalam proses
biokimiawi penurunan sifat genetik, nukleotida purin dan asam amino
dijadikan sebagai unit dasar dalam proses biokimiawi tersebut. Nukleotida
berperan menjadi penyandi asam nukleat yang bersifat esensial dalam
pemeliharaan dan pemindahan informasi genetik. Sedangkan asam amino
merupakan unit pembangun protein yang dibutuhkan untuk ekspresi
informasi genetik (Leninger, 1991 dalam Krisnatuti, 2006).
Berdasarkan hal tersebut, perlu diperhatikan adanya riwayat penyakit
dalam keluarga agar lebih berhati-hati dan menjaga pola makan sehat
sehingga dapat melakukan tindakan pencegahan dan pengobatan dini agar
terhindar dari risiko hiperurisemi, terutama bagi pralansia yang sudah
memiliki riwayat keluarga hiperurisemia karena mereka merupakan
kelompok yang memiliki risiko lebih besar untuk terkena hiperurisemia
84
dibandingkan dengan pralansia lainnya yang tidak memiliki riwayat
keluarga hiperurisemia.
6.4 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia
Jenis kelamin dianggap sebagai salah satu faktor risiko hiperurisemia.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa pralansia dengan jenis
kelamin perempuan (87,1%) lebih banyak daripada pralansia dengan jenis
kelamin laki-laki (12,9%). Hal ini dikarenakan responden jenis kelamin
laki-laki lebih jarang mengikuti kegiatan di posbindu karena banyak peserta
posbindu laki-laki yang sedang bekerja sehingga sampel jenis kelamin laki-
laki juga lebih sedikit daripada jenis kelamin perempuan. Untuk pralansia
perempuan, sebagian besar melaksanakan pekerjaan rumah tangga sehingga
persentase pralansia perempuan di posbindu lebih banyak.
Dari hasil uji chi-square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
antara jenis kelamin dengan kejadian terduga hiperurisemia pada pralansia
di Posbindu wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016. Hasil
penelitian ini selaras dengan penelitian Lina (2014) yang menyatakan bahwa
tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dan kejadian
terduga hiperurisemia. Dalam keadaan normal kadar urat serum pada pria
mulai meningkat saat pubertas. Sedangkan pada wanita, kadar asam urat
dalam serum tidak meningkat sampai setelah menopause karena estrogen
membantu meningkatkan ekskresi asam urat melalui ginjal. Setelah
menopause, kadar asam urat serum meningkat seperti pada pria (Sylvia dkk,
2006). Karena responden dalam penelitian ini adalah pralansia (45-59
85
tahun), sehingga masih banyak diantara responden perempuan yang belum
mengalami menopause.
Selain itu, tidak ditemukannya hubungan antara jenis kelamin dan
kejadian terduga hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja
Puskesmas Pamulang tahun 2016 dikarenakan pada responden perempuan
lebih banyak yang memiliki faktor-faktor risiko lain seperti kegemukan,
asupan fruktosa dan purin yang tinggi, serta asupan cairan yang kurang,
sehingga hal tersebut dapat mempengaruhi kejadian terduga hiperurisemia.
6.5 Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia
Aktivitas fisik dapat membantu seseorang untuk mencapai derajat
kesehatan yang tinggi dan mendapatkan hidup yang lebih sejahtera, tidak
tergantung dengan usia. Aktivitas fisik yang tinggi berkaitan dengan
beberapa upaya pencegahan penyakit kronik dan dapat memperbaiki
kualitas hidup seseorang. Manfaat kesehatan yang didapatkan dari aktivitas
fisik secara teratur seperti berjalan, dapat menghasilkan manfaat pada
kesehatan termasuk penurunan penyakit jantung koroner dan obesitas,
hipertensi, depresi dan rasa gelisah (NHS, 2009).
Aktivitas fisik pralansia dianggap turut berperan dengan terjadinya
hiperurisemia pada pralansia. Dalam penelitian ini menggambarkan bahwa
pralansia yang memiliki aktivitas fisik berisiko (aktivitas fisik berat) yaitu
sebesar 15,1%. Angka ini lebih sedikit dibandingkan dengan penelitian
Andry (2009) yang menunjukkan persentase aktivitas fisik berisiko sebesar
46,0%. Hal ini dikarenakan responden yang sudah berusia lanjut tidak
86
melakukan pekerjaan berat lagi dan sebagian besar hanya melakukan
pekerjaan rumah dan menjaga toko.
Lebih banyaknya pralansia yang memiliki aktivitas fisik tidak berisiko
(aktivitas fisik sedang-ringan) disebabkan karena di Posbindu wilayah kerja
Puskesmas Pamulang dilaksanakan senam ringan atau senam lansia sebelum
kegiatan posbindu berlangsung. Selain itu, senam rutin setiap minggu juga
dilaksanakan. Sehingga didapatkan hasil penelitian bahwa sebagian besar
pralansia melakukan aktivitas fisik sedang-ringan.
Berdasarkan analisis bivariat antara aktivitas fisik dengan kejadian
terduga hiperurisemia didapatkan hasil bahwa jumlah pralansia yang
mengalami hiperurisemia lebih banyak terjadi pada pralansia yang aktivitas
fisiknya berisiko (57,1%) daripada pralansia yang aktivitas fisiknya tidak
berisiko (67,1%). Namun, dari hasil uji statistik dinyatakan bahwa tidak
terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian terduga
hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas
Pamulang tahun 2016. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian
Andry (2009) dan Villegas dkk (2012) yang menyatakan bahwa tidak ada
hubungan aktivitas fisik dengan kejadian terduga hiperurisemia.
Beberapa pendapat menyampaikan bahwa olahraga atau aktivitas fisik
yang berlebihan akan menyebabkan peningkatan asam laktat. Asam laktat
tersebut akan menghambat dan menurunkan pengeluaran asam urat. Namun,
ketika kenaikan asam laktat tersebut hanya berlangsung sebentar saja, maka
kadar asam urat akan kembali normal dalam beberapa jam kemudian
87
(Yenrina, 2014). Dalam penelitian ini, hal ini bisa terjadi karena pengukuran
asam urat dilakukan waktu pagi hari dan sebelum melakukan aktivitas berat,
sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa kadar asam urat normal
meskipun dalam aktivitas yang dilakukan dalam satu minggu terakhir
tercatat dalam kategori aktivitas berat.
6.6 Hubungan Kegemukan dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia
Kegemukan (overweight) adalah akumulasi lemak yang abnormal dan
dapat berisiko terhadap kesehatan (WHO, 2016). Definisi overweight
(kegemukan) atau kelebihan berat badan adalah keadaan ketika berat badan
seseorang melebihi normal. Kegemukan terjadi akibat ketidakseimbangan
antara energi yang masuk dan keluar. Masalah gizi berlebih atau kegemukan
pada usia lanjut dapat memicu timbulnya berbagai penyakit degeneratif
seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes melitus, batu empedu,
gout (hiperurisemia), ginjal, sirosis hati, dan kanker (Maryam, 2008). Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar pralansia mengalami
kegemukan (IMT ≥ 25) yaitu 52,7%.
Masalah kegemukan dapat disebabkan oleh pola konsumsi yang
berlebihan terutama makan yang banyak mengandung lemak, protein,dan
karbohidrat yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Perubahan fisik dan
penurunan fungsi organ tubuh akan mempengaruhi konsumsi dan
penyerapan zat gizi. Proses metabolisme yang menurun pada usia lanjut jika
tidak diimbangi dengan peningkatan aktivitas fisik atau penurunan jumlah
makanan, maka kalori yang berlebih akan diubah menjadi lemak yang
mengakibatkan kegemukan (Maryam, 2008).
88
Berdasarkan analisis bivariat antara kegemukan dengan kejadian terduga
hiperurisemia didapatkan hasil bahwa pralansia yang mengalami
hiperurisemia lebih banyak terjadi pada pralansia yang gemuk (77,6%)
daripada pralansia yang tidak gemuk (52,3%). Dari hasil uji statistik
diketahui bahwa terdapat hubungan antara kegemukan dengan kejadian
terduga hiperurisemia. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian
(Wijayakusuma, 2006), Modino dkk (2012), Setyoningsih (2009), Poletto
dkk (2011), Sun dkk (2010), dan Grassi dkk (2013).
Kegemukan terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara asupan
energi dan keluaran energi sehingga terjadi penimbunan lemak dalam sel
lemak membentuk jaringan lemak (adiposa). Pada umumnya, orang yang
gemuk (IMT ≥ 25 kg/m2) mengalami peningkatan massa jaringan adiposa
yang akan mensekresi kadar leptin lebih banyak. Leptin adalah asam amino
yang disekresikan oleh jaringan adiposa yang berfungsi sebagai suatu sensor
massa lemak tubuh pada sistem saraf pusat, sehingga otak dapat melakukan
penyesuaian yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan energi yang masuk
dan energi yang keluar. Selain itu, leptin berperan dalam perangsangan saraf
simpatis, meningkatkan sensitivitas insulin, natriuresis, diuresis, dan
angiogenesis. Namun, keadaan tingginya kadar leptin pada orang gemuk
dapat mengakibatkan resistensi leptin.
Resistensi leptin terjadi karena adanya penurunan sensitivitas leptin
eksogenus maupun endogenus. Hal ini dikarenakan peningkatan protein
pengikat leptin yang menyebabkan penurunan transportasi leptin ke kelenjar
hipotalamus di otak atau gangguan reseptor leptin. Jika resistensi leptin
89
terjadi di ginjal maka akan menyebabkan gangguan diuresis dan natriuresis.
Selanjutnya dapat mengakibatkan gangguan pengeluaran urin berupa retensi
urin atau penurunan ekskresi urin (Choi, 2005).
Urin yang memliki pH sangat asam dapat mengakibatkan pengendapan
dalam konsentrasi yang tinggi membentuk sodium urate. Tingginya
konsentrasi tersebut dapat meningkatkan kadar asam urat dalam tubuh
seseorang. Tingkat asam urat dalam serum yang tinggi atau hiperurisemia
dapat mengakibatkan penyakit gout (Lim, 2007). Sehingga peningkatan
kadar leptin seiring dengan meningkatnya kadar asam urat dalam darah. Hal
tersebut dikarenakan adanya gangguan proses reabsorpsi asam urat pada
ginjal.
Kegemukan sebagai akibat gangguan keseimbangan zat gizi dapat dilihat
dari indikator berat badan normal, yaitu berat badan yang sesuai untuk
tinggi badannya. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk memantau berat
badan normal setiap melakukan kunjungan ke posbindu, sehingga dapat
mencegah penyimpangan berat badan dan melakukan penanganannya.
Selain itu, dianjurkan juga untuk melakukan aktivitas fisik yang ringan
seperti berjalan, bersepeda, berkebun, dan melakukan olahraga ringan
seperti yoga dan senam yang dapat membantu menyeimbangkan zat gizi
yang keluar dan yang masuk ke dalam tubuh.
90
6.7 Hubungan Asupan Makan dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia
6.7.1 Hubungan Asupan Fruktosa dengan Kejadian Terduga
Hiperurisemia
Fruktosa adalah jenis gula paling manis yang dinamakan juga levulosa
atau gula buah. Fruktosa banyak terdapat dalam madu, buah, nektar bunga,
sayur dan juga di dalam minuman ringan (Almatsier, 2001). Asupan
fruktosa seharusnya dibawah 25 gram atau 100 kalori per hari (Jaminet,
2012). Fruktosa termasuk jenis karbohidrat sederhana atau monosakarida
yang mudah dicerna dan cepat menghasilkan energi dan mudah
meningkatkan gula darah. Asupan karbohidrat relatif menurun pada lanjut
usia karena kebutuhan energi juga menurun (Kemenkes, 2014).
Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa hanya sebagian kecil yaitu
sebesar 23,7% pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas Pamulang
tahun 2016 yang memiliki asupan fruktosa berisiko. Asupan fruktosa
berisiko yaitu apabila konsumsi fruktosa lebih dari sama dengan 25 gram
per hari (Jaminet, 2012). Berdasarkan analisis bivariat antara variabel
asupan fruktosa dengan kejadian terduga hiperurisemia menunjukkan bahwa
jumlah pralansia yang mengalami hiperurisemia dan asupan fruktosa yang
berisiko lebih banyak yaitu sebesar (86,4%) dari pada kelompok pralansia
yang mengalami hiperurisemia dan asupan fruktosanya tidak berisiko
(59,2%).
Hasil uji statistik antara asupan fruktosa dengan kejadian terduga
hiperurisemia diperoleh nilai p-value 0,037. Dengan demikian p-value <
0,05 yang berarti terdapat hubungan antara asupan fruktosa dengan kejadian
91
terduga hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas
Pamulang tahun 2016. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian
Zimmermans (2009), Setyoningsih (2009), Luk (2005), dan Nakagawa dkk
(2005) yang menyatakan adanya hubungan asupan fruktosa dengan kejadian
terduga hiperurisemia. Di samping itu, disebutkan bahwa semakin banyak
asupan fruktosa maka kejadian terduga hiperurisemia semakin meningkat.
Karbohidrat sederhana bila dikonsumsi akan segera meningkatkan kadar
glukosa darah dan dapat menyebabkan peningkatan kadar asam urat. Luk
(2005) menyatakan bahwa fruktosa dapat menyebabkan hiperurisemia
karena dapat meningkatkan katabolisme nukleotida adenine. Cirillo dkk
(2006) menjelaskan bahwa fruktosa difosforilasi oleh enzim fruktokinase
atau biasa disebut ketoheksokinase (KHK) menjadi fructose-1-phosphate,
yang menggunakan ATP (adenosine triphosphate) sebagai phosphate donor
dan ATP berubah menjadi AMP. Tingkat fosfat intraseluler yang menurun,
menstimulasi aktivitas AMP (adenosine monophosphate) deaminase 2 untuk
mengonversi AMP menjadi inosine monophpsphate (IMP). IMP kemudian
dimetabolisme menjadi inosin, yang selanjutnya diubah menjadi hipoksantin
dan xantin dengan enzim xantin oksidase menjadi asam urat (Johnson dkk,
2013).
Adapun komponen utama fruktosa yaitu gula seperti di dalam buah, teh
manis, softdrink, kopi susu, pemanis sirup dan bahan makanan manis
lainnya. Mengonsumsi karbohidrat sederhana fruktosa seperti gula, permen,
harum manis, dan gulali juga dapat meningkatkan kadar asam urat dalam
serum (Yenrina, 2014). Pada penelitian ini, ditemukan hasil bahwa asupan
92
fruktosa yang tinggi tersebut (>25 gram per hari) lebih banyak dihasilkan
dari sumber fruktosa yang berasal dari buah-buahan.
Berdasarkan penelitian Rizkalla (2010), asupan kalori yang tinggi dapat
dihasilkan dari asupan fruktosa yang tinggi. Jadi, ketika seseorang memiliki
asupan fruktosa yang tinggi, maka jumlah kalori yang dihasilkan akan
semakin meningkat sehingga dapat mengakibatkan penambahan berat
badan. Oleh karena itu, perlu untuk mengurangi konsumsi sumber makanan
yang mengandung tinggi kalori, misalnya makanan dengan kandungan
lemak tinggi, seperti daging, makanan yang berminyak seperti nasi goreng,
kentang goreng dan makanan bersantan.
6.7.2 Hubungan Asupan Purin dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia
Purin banyak diperoleh dari makanan yang kemudian akan dipecah
menjadi asam urat. Diet tinggi purin dapat memicu terjadinya hiperurisemia.
Biasanya terjadi pada orang yang memiliki kelainanan bawaan dalam
metabolisme purin sehingga terjadi peningkatan produksi asam urat (Price
dan Wilson, 2005). Asupan purin dalam makanan normal selama sehari
direkomendasikan kurang dari 500 mg. Makanan yang mengandung kadar
purin tinggi adalah organ-organ dalam dari hewan, termasuk hati dan ginjal,
kulit unggas, sarden, dan lain sebagainya (Talati dkk, 2012).
Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa jumlah pralansia yang
memiliki asupan purin berisiko atau kurang dari 500 mg (47,2%) hampir
sama dengan jumlah pralansia yang asupan purinnya tidak berisiko (52,7%).
Berdasarkan analisis bivariat antara variabel asupan purin dengan kejadian
93
terduga hiperurisemia menunjukkan bahwa jumlah pralansia yang
mengalami hiperurisemia dan asupan purin yang berisiko (kurang dari 500
mg) lebih banyak yaitu sebesar (79,5%) dari pada kelompok pralansia yang
mengalami hiperurisemia dan asupan purinnya tidak berisiko (53,1%).
Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan terdapat hubungan yang
signifikan antara asupan purin dengan kejadian terduga hiperurisemia. Hasil
penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Diantari (2012), Lestari (2014),
Villegas dkk (2012), Lina (2014), dan Astuti (2014) yang menemukan
bahwa asupan purin atau diet purin tinggi berperan dalam peningkatan kadar
asam urat darah atau kejadian hiperurisemia. Semakin tinggi pemasukan zat
purin maka produksi asam urat juga semakin meningkat.
Di dalam bahan makanan, purin terdapat dalam asam nukleat berupa
nukleoprotein. Ketika masuk ke pencernaan usus, nukleat dilepaskan dari
nukleoprotein oleh enzim pencernaan. Kemudian, asam nukleat ini akan
dipecah lagi menjadi mononukleotida oleh enzim ribonuklease,
deoksiribonuklease, dan polinukleotidase. Dari mononukleotida yang
dihidolisis menjadi nukleosida oleh enzim nukleotidase dan fosfatase, tubuh
dapat menyerapnya secara langsung. Sebagian lagi, mononukleotida dipecah
menjadi purin dan pirimidin. Molekul purin kemudian teroksidasi menjadi
asam urat (Murray, 2009).
Molekul purin yang dibentuk menjadi asam urat sebagian besar dari
metabolisme nukleotida purin endogen, yaitu guanosine monophosphate
(GMP), inosine monophosphate (IMP), dan adenosine monophosphate
94
(AMP). Selanjutnya enzim xanthine oxidase mengkatalis hypoxanthine dan
guanine menjadi xanthine, kemudian xanthine dikatalis oleh enzim xanthine
oxidase dengan produk akhir asam urat. Asam urat yang terbentuk
diekskresikan melalui urin. Urin yang memliki pH sangat asam dapat
mengakibatkan pengendapan dalam konsentrasi yang tinggi membentuk
sodium urate. Tingkat asam urat dalam serum yang tinggi atau
hiperurisemia dapat mengakibatkan penyakit gout (Lim, 2007).
Oleh karena itu, perlu menghindari dan membatasi makanan tinggi purin
seperti konsumsi daging, jeroan dan seafood bagi seseorang yang telah
mengalami hiperurisemia atau kadar asam urat yang tinggi untuk membantu
menurunkan kadar asam.
6.7.3 Hubungan Asupan Cairan dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia
Total jumlah cairan yang terdapat dalam tubuh cukup besar
dibandingkan dengan zat padat pembentuk tubuh lainnya. Secara umum,
konsentrasi cairan dalam tubuh sekitar 60%. Proporsi ini dapat berbeda-beda
bergantung pada kondisi individu masing-masing (Tamsuri, 2008). Dalam
keseharian, tubuh manusia mendapatkan banyak suplai cairan berasal dari
air putih yang dikonsumsi.
Sistem hidrasi pada pra lanjut usia sudah mulai menurun sehingga
kurang sensitif terhadap kekurangan maupun kelebihan cairan. Akibat
dehidrasi pada pralansia adalah demensia, mudah lupa, kandungan natrium
darah menjadi naik sehingga berisiko terjadi hipertensi. Oleh karena itu
kelompok pralansia perlu asupan cairan yang cukup. Menurut Angka
95
Kecukupan Gizi (AKG) 2012, asupan cairan yang dianjurkan untuk
kelompok pralansia (45-59 tahun) adalah 2600 mL pada laki-laki dan 2300
mL pada perempuan (Kemenkes, 2014).
Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa jumlah pralansia yang
memilki asupan cairan berisiko (76,3%) lebih banyak daripada jumlah
pralansia yang asupan cairannya tidak berisiko (23,7%). Berdasarkan
analisis bivariat antara variabel asupan cairan dengan kejadian terduga
hiperurisemia menunjukkan bahwa jumlah pralansia yang mengalami
hiperurisemia dan asupan cairan yang berisiko atau kurang dari 2600 mL
pada laki-laki dan kurang dari 2300 mL pada perempuan lebih banyak yaitu
sebesar (71,8%) daripada kelompok pralansia yang mengalami
hiperurisemia dan asupan cairannya tidak berisiko (45,5%).
Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan terdapat hubungan yang
signifikan antara asupan cairan dengan kejadian terduga hiperurisemia.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Fajarina (2012) yang
menemukan bahwa asupan cairan berperan dalam penurunan kadar asam
urat darah atau kejadian terduga hiperurisemia. Semakin tinggi pemasukan
cairan maka ekskresi kadar asam urat juga semakin tinggi.
Cairan merupakan media semua reaksi kimia di dalam sel (Almatsier,
2001). Dalam proses metabolisme yang terjadi di dalam tubuh air
mempunyai dua fungsi utama (Irawan, 2007) yaitu sebagai pembawa zat-zat
nutrisi seperti karbohidrat, vitamin, dan mineral serta juga akan berfungsi
sebagai pembawa oksigen (O2) ke dalam sel-sel tubuh. Selain itu, air juga
96
akan berfungsi untuk mengeluarkan produk samping hasil metabolisme
seperti karbondioksida (CO2) dan juga senyawa nitrat.
Konsumsi cairan yang tinggi, terutama dari minuman, dapat membantu
mengeluarkan asam urat sehingga dapat menurunkan kadar asam urat dalam
darah. Selain dari minuman, kandungan cairan yang banyak juga dapat
diperoleh dari sayuran dan buah yang banyak mengandung air seperti
semangka, melon, blewah, bengkuang, belimbing, jambu air, maupun buah
lainnya (Yenrina, 2014).
Cairan merupakan salah satu media pembuangan hasil metabolit tubuh,
termasuk asam urat. Jika seseorang mengonsumsi cairan dalam jumlah
tinggi, reabsorpsi air di ginjal menurun dan ekskresi zat terlarut air
meningkat (Chernoff, 2014). Selanjutnya, konsumsi cairan merupakan salah
satu pemicu kadar asam urat berdasarkan hasil penelitian Fajarina (2011).
Semakin banyak jumlah konsumsi air minum seseorang maka kadar asam
urat dalam darah semakin kecil.
Oleh karena itu, dianjurkan untuk mengkonsumsi air putih minimal 8
gelas sehari untuk membantu ekskresi asam urat lewat urin. Konsumsi
cairan terutama dari air putih harus sesuai kebutuhan, tidak boleh
kekurangan dan tidak boleh kelebihan cairan. Hal ini berhubungan dengan
sistem hidrasi pada usia lanjut yang mulai menurun sehingga kurang sensitif
terhadap kekurangan maupun kelebihan cairan.
97
7 BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan tentang kejadian terduga
hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas
Pamulang tahun 2016, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Sebagian besar pralansia (65,6%) di Posbindu wilayah kerja Puskesmas
Pamulang tahun 2016 mengalami hiperurisemia.
2. Berdasarkan riwayat keluarga, sebagian besar pralansia (54,8%)
memiliki riwayat keluarga yang mengalami hiperurisemia.
3. Berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar pralansia (87,1%) memiliki
jenis kelamin perempuan.
4. Berdasarkan aktivitas fisik, sebagian besar pralansia (84,9%) memiliki
aktivitas fisik sedang-rendah.
5. Berdasarkan kegemukan, sebagian besar pralansia (52,7%) mengalami
kegemukan.
6. Berdasarkan asupan fruktosa, sebagian besar pralansia (76,3 %)
memiliki asupan fruktosa tidak berisiko yaitu asupan fruktosa < 25
gram per hari.
7. Berdasarkan asupan purin, sebagian besar pralansia (47,3%) memiliki
asupan purin tidak berisiko yaitu asupan purin < 500 mg per hari.
98
8. Berdasarkan asupan cairan, sebagian besar pralansia (76,3%) memiliki
asupan cairan berisiko yaitu asupan cairan < 2300 ml pada wanita; <
2600 ml pada laki-laki.
9. Terdapat hubungan antara faktor riwayat keluarga, kegemukan, asupan
makan (fruktosa, purin dan cairan) dengan kejadian terduga
hiperurisemia pada pralansia di Posbindu wilayah kerja Puskesmas
Pamulang tahun 2016.
10. Tidak terdapat hubungan antara faktor jenis kelamin dan aktivitas fisik
dengan kejadian terduga hiperurisemia pada pralansia di Posbindu
wilayah kerja Puskesmas Pamulang tahun 2016.
99
7.2 Saran
Saran yang dapat diberikan oleh peneliti berdasarkan hasil penelitian
yang diperoleh adalah sebagai berikut:
A. Bagi Puskesmas Pamulang
Memfasilitasi pelaksanaan pemeriksaan kadar asam urat di setiap
posbindu untuk dapat mendeteksi lebih awal kejadian hiperurisemia
atau gout.
B. Bagi Pralansia di Posbindu di Wilayah Kerja Puskesmas Pamulang
1) Perlu diperhatikan adanya riwayat penyakit dalam keluarga agar
lebih berhati-hati dan menjaga pola makan sehat sehingga dapat
melakukan tindakan pencegahan dan pengobatan dini agar terhindar
dari risiko hiperurisemia.
2) Bagi pralansia yang memiliki asupan fruktosa dan asupan purin
lebih, perlu untuk mengurangi konsumsi sumber makanan yang
mengandung tinggi kalori, misalnya makanan dengan kandungan
lemak tinggi, seperti daging, makanan yang berminyak seperti nasi
goreng, kentang goreng dan makanan bersantan; dan mengurangi
konsumsi daging, jeroan dan seafood untuk menurunkan kadar asam
urat. Kemudian dianjurkan untuk mengkonsumsi air putih minimal
8 gelas sehari untuk membantu ekskresi asam urat lewat urin.
3) Memantau berat badan normal dan menurunkan berat badan pada
pralansia yang mengalami kegemukan karena penurunan berat
badan secara signifikan juga akan menurunkan kadar asam urat
darah.
100
C. Bagi Peneliti Lain
1) Penggunaan metode FFQ semi kuantitatif mampu menggabungkan
kelebihan dari metode food recall dan FFQ kualitatif sehingga
menjadi salah satu pilihan yang baik bagi penelitian lebih lanjut
untuk menjawab hubungan asupan makan terhadap kejadian
hiperurisemia.
2) Pengukuran variabel obat-obatan tertentu yang dapat berhubungan
dengan kejadian hiperurisemia dapat memperkaya hasil dan
pembahasan penelitian, sehingga penelitian lebih lanjut terhadap
variabel obat-obatan tertentu sangat dianjurkan.
3) Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan untuk mengetahui hubungan
variabel riwayat keluarga, jenis kelamin, aktivitas fisik, kegemukan,
dan asupan makan terhadap penyakit yang disebabkan oleh
hiperurisemia, yaitu gout. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut
tentang gout sangat dianjurkan.
101
DAFTAR PUSTAKA
Adieni, H. 2008. Asupan Karbohidrat, Lemak, Protein, Makanan Sumber Purin
dan Kadar Asam Urat pada Vegetarian. Skripsi. Program Studi Ilmu Gizi
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Semarang
Ahmad, A. 2016. Sudahkan Anda Mengukur Kadar Asam Urat Anda? (Online).
Tersedia :
http://www.mengobatiasamurat.com/?m=6&id=10&i=Sudahkah%20Anda%
20mengukur%20kadar%20asam%20urat%20Anda%20 (5 Februari 2016)
Ahmad, S., dkk. 2015. Evaluation of Reliability and Validity of the General
Practice Physical Activity Questionnaire (GPPAQ) in 60-74 Years Old
Primary Care Patients. Journal BMC Family Practice, 16(113) : 1-9
Almatsier, S. 2001. Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Jakarta: EGC
Andry, S. dan A. S. Upoyo. 2009. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Kadar Asam Urat Pada Pekerja Kantor di Desa Karang Turi, Kecamatan
Bumiayu, Kabupaten Brebes. Jurnal Keperawatan Soedirman, 4(1): 26-31
Astuti, S. & Tjahjono, H. 2014. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kadar Asam
Urat (Gout) Pada Laki-Laki Dewasa Di Rt 04 Rw 03 Simomulyo Baru
Surabaya. Program Sarjana Keperawatan.
Cirillo, P., dkk. 2006. Uric Acid, The Metabolic Syndrome, and Renal Disease.
Journal of American Society Nephrology, 17(12) : 165-168
Chernoff, R. 2014. Geriatric Nutrition the Health Professional’s Handbook
Fourth Edition. Boston: Jones and Bartlett Publishers
Choi, H.K, Mount DB, dan Reginanto AM. 2005. Pathogenesis of Gout: Annals
of Internal Medicine, 143(7) : 499-516
Choi, H.K, Simin L., dan Gary C. 2005. Intake of Purine-Rich Foods, Protein, and
Dairy Products and Relationship to Serum Levels of Uric Acid. Arthritis
and Rheumatism, 52(1) : 283-289
Dai K.S., dkk. 2004. An Evaluation of Clinical Accuracy of The EasyTouch
Blood Uric Acid Self-Monitoring System. Journal of Clinical Biochemistry,
38(2005) : 278-281
Dalimartha, S. 2008. Resep Tumbuhan Obat Untuk Asam Urat. Jakarta: Penebar
Swadaya
102
Diantari, E. 2012. Pengaruh Asupan Purin dan Cairan Terhadap Kadar Asam Urat
Pada Wanita Usia 50-60 Tahun di Kecamatan Gajah Mungkur, Semarang.
Skripsi. Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro. Semarang
Ekundayo, O.J. 2010. Association between Hyperuricemia and Incident Heart
Failure Among Older Adults: A Propensity-Matched Study. International
Journal Cardiol, 142(3) : 279-287
Erniati. 2013. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Diabetes Melitus Tipe 2
pada Lanjut Usia di Pos Pembinaan Terpadu Kelurahan Cempaka Putih
Tahun 2012. Skripsi. Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta
Fahmida, U. dan Drupadi HS Dillon. 2007. Handbook Nutritional Assessment.
Jakarta: SEAMEO-TROPMED RCCN UI
Fajarina, E. 2011. Analisis Pola Konsumsi dan Pola Aktivitas dengan Kadar Asam
Urat Pada Lansia Wanita Peserta Pemberdayaan Lansia di Bogor.
Departemen Gizi Mayarakat, Institut Pertanian Bogor
Festy, P., Anis R.H., Afnan A. 2012. Hubungan Antara Pola Makan dengan Kadar
Asam Urat Darah Pada Wanita Post Menopause di Posyandu Lansia
Wilayah Kerja Puskesmas Dr. Soetomo Surabaya. Skripsi. Keperawatan
UM Surabaya Fakultas Ilmu Kesehatan UM Surabaya
Gibson, RS. 2005. Principle of Nutritional Assesment. New York: Oxford
University Press
Ginsberg, B.H. 2009. Factors Affecting Blood Glucose Monitoring: Sources of
Errors in Measurement. Journal of Diabetes Scienceand Technology, 3(4) :
903-913
Grassi, D., dkk. 2013. Chronic Hyperuricemia, Uric Acid Deposit and
Cardiovascular Risk. Current Pharmaceutical Design, 19(13) : 2432-2438
Harahap, H., Yekti W., dan Sri M. 2005. Penggunaan Berbagai Cut-off Indeks
Massa Tubuh Sebagai Indikator Obesitas Terkait Penyakit Degeneratif di
Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes
Hsu, C.H. 2006. Calcium and Phosphate Metabolism Management in Chronical
Renal Disease. Michigan: Medical Center The University of Michigan
Hutajulu, H. Mey Sartika. 2012. Hubungan Asupan Makanan dan Faktor Lain
dengan Obesitas pada Pegawai Unit Pelayanan Gizi Pelayanan Kesehatan
St. Carolus Jakarta Tahun 2012. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat
Program Studi Sarjana Gizi Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia. Depok
103
Irawan, M. Anwari. 2007. Cairan Tubuh, Elektrolit & Mineral. Polton Sport
Science and Performance Lab. Journal, 01(01) : 1-6
Jaminet, P. dan Shou-Ching Jaminet. 2012. Perfect Health Diet: Regain Health
and Lose Weight by Eating the Way You Were Meant to Eat.
Johnson, R.J., dkk. 2013. Sugar, Uric Acid, and the Etiology of Diabetes and
Obesity. Journal of Diabetes 62(-) : 3307-3315
Kemenkes RI. 2012. Laporan Riskesdas Tahun 2007 Bidang Biomedis. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI
___________. 2012. Pedoman Pelayanan Gizi Lanjut Usia. Jakarta: Direktorat
Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak
___________. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan
___________. 2013. Pokok-pokok Hasil Riskesdas Provinsi Banten 2013. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
___________. 2014. Pedoman Gizi Seimbang. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina
Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak
Kertia. 2009. Asam Urat. Yogyakarta: Bintang Pustaka
Kim, S.Y., dkk. 2009. Hyperurisemia and Risk of Stroke: A Systematic Review
and Meta-Analysis. Arthritis Rheum, 61(7) : 885-8892
Krisnatuti, Rina Yenrina. 2006. Perencanaan Menu untuk Penderita Gangguan
Asam Urat. Jakarta: Penebar Swadaya
Lande’eo, L.R., Nita Momonga, dan A. J. M. Rattu. 2014. Hubungan Antara
Asupan Protein dan Riwayat Keluarga Dengan Kadar Asam Urat Pada Staf
Dosen dan Pegawai Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam
Ratulangi Manado. Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Sam Ratulangi. Manado
Lang, Florian. 2009. Encyclopedia of Molecular Mechanism of Disease.
Teubingen: Springer
Lee, Mary. 2009. Basic Skills in Interpreting Laboratory Data. Bethesda:
American Society of Helth-System Pharmacists
Lestari, E., Sugeng M. dan Meilita Dwi Paundrianagari. 2014. Hubungan
Konsumsi Makanan Sumber Purin Dengan Kadar Asam Urat Pada Wanita
Usia 45-59 Tahun di Desa Sanggrahan Kecamatan Kranggan Kabupaten
Temanggung. Skripsi. Program Studi Gizi STIKes Ngudi Waluyo
104
Lim, M.Y. 2007. Crash Course Third Edition: Metabolism and Nutrition. UK:
Elsevier
Lina, N. dan Andik Setiyono. 2014. Analisis Kebiasaan Makan yang
Menyebabkan Peningkatan Kadar Asam Urat. Jurnal Kesehatan Komunitas
Indonesia, 10(2) : 1004-1016
Lingga, L. 2012. Bebas Penyakit Asam Urat Tanpa Obat. Jakarta: AgroMedia
Pustaka
Luk, A.J. dan Peter A.S. 2005. Epidemiology of Hyperuricemia and Gout. The
American Journal of Managed Care. 11(15) : 435-442
Mahan, L.K dan Sylvia Escott-Stump. 2008. Krause’s Food & Nutrition Therapy,
International Edition, 12th
ed. USA: Saunders Elsevier
Maidelwita, Y. 2012. Pengaruh Faktor Genetik, Pola Konsumsi dan Aktivitas
Fisik dengan Kejadian Obesitas pada Anak Kelas 4-6 SD SBI Percobaan
Ujung Gurun Padang. Skripsi. Program Studi DIII Kebidanan STIKes
MERCUBAKTIJAYA Padang
Marks, Dawn B. Biokimia Kedokteran Dasar: Sebuah Pendekatan Klinis. Jakarta:
EGC
Maryam, dkk. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba
Medika
Modino, Soralla C., dkk. 2015. Hyperuricemia and Metabolic Syndrome in
Children with Overweight and Obesity. Endrocinology Nutrition, 59(9) :
533-538
Murray, Robert K., Daryl K.G., dan Victor W.R. 2009. Biokimia Harper Edisi 27.
Jakarta: EGC
Nahariani, Pepin, Puput Lismawati, Heri Wibowo. 2012. Hubungan antara
Aktivitas Fisik dengan Intensitas Nyeri Sendi pada Lansia di Panti Werdha
Mojopahit Kabupaten Mojokerto. Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang
Nakagawa, Takahiko, dkk. 2005. Fructose-Induced Hyperuricemia as A Casual
Mechanism for The Epidemic of The Metabolic Syndrome. Nature Clinical
Practice Nephrology, 1(2) : 80-86
Nengsi, S.W., Burhanuddin Bahar dan Abdul Salam. 2014. Gambaran Asupan
Purin, Penyakit Atritis Gout, Kualitas Hidup Lanjut Usia di Kecamatan
Tamalanrea. Skripsi. Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Hasanuddin. Makassar
Novia, Yayu, dkk. 2014. Laporan Praktikum Kimia Klinik Pemeriksaan Kadar
Asam Urat. Program Studi Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Islam. Bandung
105
Offermanns, Stefan dan Walter Rosenthal. 2008. Encyclopedia of Molecular
Pharmacology Second Edition. New York: Springer
Poletto, J., dkk. 2011. Hyperuricemia and Associated Factors: A Cross-Sectional
Study of Japanese-Brazilians. Cad. Saude Publica, 27(2) : 369-378
Prakash, Jai. 2012. Hyperuricemia: A Renal Perspective. India: Elsevier
Price, S. A. dan Wilson L. M. 2006. Patofisiologi – Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC
Purwaningsih, Tinah. 2009. Faktor-Faktor Risiko Hiperurisemia (Studi Umum di
Rumah Sakit Umum Kardinah Kota Tegal). Tesis. Program Mstudi Magister
Epidemiologi Universitas Diponegoro. Semarang
Rizkalla, S.W. 2010. Health Implication of Fructose Consumption: A Review of
Recent Data. Journal of Nutrition & Metabolism, 7(82) : 1-17
Rizky, M.S. 2011. Hubungan Tingkat Pendidikan dan Aktivitas Fisk dengan
Fungsi Kognitif pada Lansia di Kelurahan Darat. Tesis. Program Magister
Kedokteran Klinik-Spesialis Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara Medan
Setyoningsih, Rini. 2009. Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian
Hiperurisemia Pada Pasien Rawat Jalan RSUP Dr. Kariadi Semarang.
Skripsi. Program Sarjana Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro. Semarang
Soeroso, Juwono. 2011. Asam Urat. Jakarta: Penebar Plus
Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Siwijaya. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Jakarta: EGC
Sukarmin. 2015. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kadar Asam Urat
dalam Darah Pasien Gout di Desa Kedungwinong Sukolilo Pati. The 2nd
University Research Coloquium 2015 STIKES Muhammadiyah. Kudus
Sylvia, Anderson, dkk. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Jakarta: EGC
Sun, Sam Z, dkk. 2010. Lack of Association Between Dietary Fructose and
Hyperuricemia Risk in Adults. Nutrition and Metabolism, 7(16) : 1-12
Supariasa, I Dewa Nyoman, Bachyar Bakri, Ibnu Fajar. 2001. Penilaian Status
Gizi. Jakarta: EGC
Talati, J.J, dkk. 2012. Urolithiasis: Basic Science and Clinical Practice.London:
Springer
106
Tamsuri, Anas. 2008. Klien Gangguan Keseimbangan Cairan & Elektrolit.
Jakarta EGC
Utami, Prapti dan Tetty Yulia. 2005. Tanaman Obat Untuk Mengatasi Rematik
dan Asam Urat. Jakarta: AgroMedia Pustaka
Utami, Prapti, dkk. 2009. Solusi Sehat Asam Urat dan Rematik. Jakarta:
Agromedia Pustaka
Villegas, Raquel, dkk. 2012. Prevalence and Determinants of Hyperuricemia in
Middle-Aged, Urban Chinese Men. Metabolic Syndrome and Related
Disorders, 8(3) : 263-270
Villegas, Raquel, dkk. 2012. Purine-rich Foods, Protein Intake, and The
Prevalence of Hyperuricemia: The Sanghai Men’s Health Study. Nutrition
Metabolism Cardiovascular Disease, 22(5) : 409-416
Wijayakusuma, Hembing. 2006. Atasi Rematik dan Asam Urat ala Hembing.
Jakrta: Puspa Swara
WHO. 2016. Obesity. (Online). Tersedia : http://www.who.int/topics/obesity/en/
(26 Februari 2016)
Wong, Ferry. 2011. Panduan Lengkap Pijat. Jakarta: Penebar Plus
Xiong, Z, dkk. 2013. Serum Uric Acid is Associated with Dietary and Lifestyle
Factors in Elderly Women in Sub-Urban Guangzhou in Guangdong
Province of South China. The Journal of Nutrition, Health and Aging,
17(1): 30-34
Yenrina, Rina, Diah Krisnatuti, dan Dini Rasjmida. 2014. Diet Sehat Untuk
Penderita Asam Urat. Jakarta: Penebar Swadaya
You, Lili, dkk. 2014. Prevalence of Hyperuricemia and The Relationship between
Serum Acid Uric and Metabolic Syndrome in The Asian Mongolian Area.
Journal of Atherosclerosis and Thrombosis 21(4) : 355-365
Zimmermans. 2009. Hyperuricemia and Gout. Medicine Health Rhode Island,
92(11) : 350-390
107
LAMPIRAN
Lampiran 2
KUESIONER PENELITIAN
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
TERDUGA HIPERURISEMIA PADA PRALANSIA DI POS PEMBINAAN
TERPADU (POSBINDU) WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAMULANG
TAHUN 2016
Assalamu’alaikum,
Perkenalkan saya Arina Khoirina Mahasiswi Program Studi Kesehatan
Masyarakat Peminatan Gizi 2012, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya bermaksud melakukan penelitian mengenai
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia
pada Pralansia di Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) Wilayah Kerja
Puskesmas Pamulang Tahun 2016.
Kami berharap Bapak/Ibu bersedia untuk menjadi responden dalam
penelitian ini. Semua informasi yang Bapak/Ibu berikan terjamin kerahasiaannya.
Setelah Bapak/Ibu membaca maksud penelitian di atas, maka saya mohon untuk
mengisi nama dan tanda tangan di bawah ini sebagai persetujuan.
Setelah menandatangani pernyataan di atas, saya mohon kesediaan
Bapak/Ibu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan jujur dan
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Wassalamu’alaikum.
Dengan ini saya bersedia mengikuti penelitian ini dan bersedia mengisi
lembar kuesioner yang telah disediakan di bawah ini.
Tertanda,
(............................................)
No. Responden (diisi oleh peneliti) :
IDENTITAS RESPONDEN Diisi
peneliti
IR1 Nama Lengkap
IR2 Jenis Kelamin
(lingkari salah satu)
0. Laki-laki
1. Perempuan
IR3 Usia
IR4 Pekerjaan
IR5 Alamat Rumah
IR6 Pengukuran
Antropometri
BB = (kg) IMT =
TB = (cm)
IR7 Apakah Bapak/Ibu mempunyai Ayah Ibu/saudara kandung
yang terdiagnosis memiliki penyakit asam urat oleh
dokter/tenaga kesehatan?
0. Ya
1. Tidak
Lampiran 3
General Practice Physical Activity Questionnaire
A. Sebutkan jenis dan jumlah aktivitas fisik yang melibatkan pekerjaan
Bapak/Ibu (Tandai satu kotak saja)
A1 Pernyataan
1 Saya tidak bekerja (misalnya pensiun karena alasan kesehatan,
menganggur, dll)
2 Saya habiskan seluruh waktu bekerja saya dengan duduk (seperti
dalam sebuah kantor)
3
Saya habiskan seluruh waktu bekerja saya dengan berdiri atau
berjalan. Namun pekerjaan saya tidak memerlukan kerja fisik yang
menegangkan (misalnya penjaga toko, tukang pangkas, satpam,
pengasuh anak, dll)
4
Pekerjaan saya melibatkan pekerjaan fisik, termasuk menangani
benda-benda yang berat dan menggunakan alat-alat (misalnya
tukang pipa, tukang listrik, tukang kayu, perawat rumah sakit,
tukang kebun, pengantar paket pos, dll)
5
Pekerjaan saya melibatkan aktivitas fisik yang berat, termasuk
menangani alat-alat berat (misalnya pekerja bangunan, pengumpul
sampah, dll)
B. Pada minggu lalu, berapa jam Bapak/Ibu menghabiskan waktu di setiap
aktivitas berikut? (Tandai hanya satu kotak pada setiap baris)
B Pernyataan Tidak < 1
jam
1 - < 3
jam
≥3
jam
B1 Gerak badan seperti berenang,
jogging, aerobic, bola kaki, tenis,
berlatih senam
1 2 3 4
B2 Bersepeda, termasuk bersepeda ke
tempat kerja dan di waktu senggang 1 2 3 4
B3 Jalan kaki, termasuk berjalan ke
tempat kerja, jalan-jalan, dll 1 2 3 4
B4 Bekerja di rumah/menjaga anak 1 2 3 4
B5 Berkebun 1 2 3 4
Lampiran 4
Formulir Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire
Bahan Makanan
Ber
at
(g)
Pors
i S
Frekuensi Porsi
Rata
-
rata
Ber
at
x/H
x/M
x/B
Tid
ak
Per
nah
K S B x/H
g/H
Sumber Zat Gizi Makro dan Mikro
Makanan Pokok
Nasi putih 200 1 prg sdg
Bubur 400 1 prg sdg
Kentang 200 2 bh sdg
Jagung 50 ½ bh sdg
Roti putih 80 4 iris
Mie basah 80 1 gls
Mie kering 50 1 gls
Bihun 50 ½ gls
Ubi 120 1 prg sdg
Singkong 120 1 prg sdg
Lain-lain:
…………
Lauk Pauk
Daging sapi 35 1 ptg sdg
Daging ayam 45 1 ptg sdg
Telur ayam 55 1 butir
Ikan asin 25 1 ptg sdg
Ikan basah 45 1/3 ekor
Cumi-cumi 45 ½ ekor
Udang segar 35 4 ekor
Kerang 34 4 ekor
Sarden 50 1 ptg sdg
Ati ampela usus 60 1 ptg sdg
Tempe 50 2 ptg sdg
Tahu 110 1 ptg bsr
Lain-lain:
Bahan Makanan
Ber
at
(g)
Pors
i S
Frekuensi Porsi
Rata
-
rata
Ber
at
x/H
x/M
x/B
Tid
ak
Per
nah
K S B x/H
g/H
Sayuran
Buncis 50 7 bh
Kacang panjang 50 3 bh
Bayam 50 1 prg
Kangkung 50 1 prg
Sawi putih 50 1 prg
Daun singkong 50 1 prg
Daun melinjo 20 ½ prg
Biji melindo 50 1 prg
Ketimun 50 3 iris
Wortel 50 ½ bh
Terong 50 ½ bh
Labu siam 50 1 ptg sdg
Nangka mentah 50 8 ptg kcl
Kembang kol 100 1 gelas
Kol 50 ⁄ ptg sdg
Lain-lain:
…………
Buah
Alpukat 50 ½ bh bsr
Apel 75 ½ bh bsr
Jeruk manis 107 1 bh sdg
Mangga 90 ½ bh sdg
Melon 75 1 ptg sdg
Nanas 95 ¼ bh sdg
Pepaya 110 1 ptg sdg
Semangka 180 2 ptg
Anggur 125 11 bh
Pir 85 ½ bh
Pisang 60 1 bh
Salak 80 1 bh
Durian 50 3 biji
Lain-lain:
…………
Bahan Makanan
Ber
at
(g)
Pors
i S
Frekuensi Porsi
Rata
-
rata
Ber
at
x/H
x/M
x/B
Tid
ak
Per
nah
K S B x/H
g/H
Minyak 5 ½ sdm
Garam 2 ½ sdt
Gula 40 2 sdm
Santan 50 ¼ gls
Minuman
Air putih 200 1 gls sdg
Susu 200 1 gls sdg
Teh 200 1 gls sdg
Kopi 150 1 cgkr
Soft drink 250 1 klg
Lain-lain:
…………
Lampiran 5
Formulir Kadar Asam Urat Darah
NO Nama L/P Usia Kadar Asam Urat Ket
Lampiran 6
(Output Analisis Data Software Komputer)
1. Gambaran Kejadian Terduga Hiperurisemia
Statistics
Kejadian_Hiperurisemia
N Valid 93
Missing 0
Kejadian_Hiperurisemia
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Hiperurisemia 61 65.6 65.6 65.6
Normourisemia 32 34.4 34.4 100.0
Total 93 100.0 100.0
2. Gambaran Riwayat Keluarga Responden
Statistics
RiwayatKeluarga
N Valid 93
Missing 0
RiwayatKeluarga
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Ya 51 54.8 54.8 54.8
Tidak 42 45.2 45.2 100.0
Total 93 100.0 100.0
3. Gambaran Jenis Kelamin Responden
Statistics
JK
N Valid 93
Missing 0
JK
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Laki-laki 12 12.9 12.9 12.9
Perempuan 81 87.1 87.1 100.0
Total 93 100.0 100.0
4. Gambaran Aktivitas Fisik Statistics
Aktivitas_Fisik_
N Valid 93
Missing 0
Aktivitas_Fisik_
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Berisiko 14 15.1 15.1 15.1
Tidak Berisiko 79 84.9 84.9 100.0
Total 93 100.0 100.0
5. Gambaran Kegemukan
Statistics
Kegemukan
N Valid 93
Missing 0
Kegemukan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Ya 49 52.7 52.7 52.7
Tidak 44 47.3 47.3 100.0
Total 93 100.0 100.0
6. Gambaran Asupan Fruktosa
Statistics
Asupan_fruktosa
N Valid 93
Missing 0
Asupan_fruktosa
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Berisiko 22 23.7 23.7 23.7
Tidak Berisiko 71 76.3 76.3 100.0
Total 93 100.0 100.0
7. Gambaran Asupan Purin
Statistics
Asupan_purin
N Valid 93
Missing 0
Asupan_purin
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Berisiko 44 47.3 47.3 47.3
Tidak Berisiko 49 52.7 52.7 100.0
Total 93 100.0 100.0
8. Gambaran Asupan Cairan Statistics
Asupan_cairan
N Valid 93
Missing 0
Asupan_cairan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent
Valid Berisiko 71 76.3 76.3 76.3
Tidak Berisiko 22 23.7 23.7 100.0
Total 93 100.0 100.0
9. Hubungan Riwayat Keluarga dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia
RiwayatKeluarga * Kejadian_Hiperurisemia Crosstabulation
Kejadian_Hiperurisemia
Total Hiperurisemia Normourisemia
RiwayatKeluarga Ya Count 40 11 51
% within RiwayatKeluarga 78.4% 21.6% 100.0%
Tidak Count 21 21 42
% within RiwayatKeluarga 50.0% 50.0% 100.0%
Total Count 61 32 93
% within RiwayatKeluarga 65.6% 34.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided) Exact Sig. (2-
sided) Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 8.249a 1 .004
Continuity Correctionb 7.038 1 .008
Likelihood Ratio 8.323 1 .004
Fisher's Exact Test .005 .004
Linear-by-Linear Association 8.161 1 .004
N of Valid Casesb 93
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.45.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for RiwayatKeluarga
3.636 1.478 8.950
For cohort Kejadian_Hiperurisemia = Hiperurisemia
1.569 1.122 2.193
For cohort Kejadian_Hiperurisemia = Normourisemia
.431 .236 .790
N of Valid Cases 93
10. Hubungan Jenis Kelamin dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia
JK * Kejadian_Hiperurisemia Crosstabulation
Kejadian_Hiperurisemia
Total Hiperurisemia Normourisemia
JK Laki-laki Count 8 4 12
% within JK 66.7% 33.3% 100.0%
Perempuan Count 53 28 81
% within JK 65.4% 34.6% 100.0%
Total Count 61 32 93
% within JK 65.6% 34.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided) Exact Sig. (2-
sided) Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square .007a 1 .933
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .007 1 .933
Fisher's Exact Test 1.000 .604
Linear-by-Linear Association .007 1 .933
N of Valid Casesb 93
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.13.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for JK (Laki-laki / Perempuan)
1.057 .292 3.818
For cohort Kejadian_Hiperurisemia = Hiperurisemia
1.019 .663 1.567
For cohort Kejadian_Hiperurisemia = Normourisemia
.964 .410 2.266
N of Valid Cases 93
11. Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia
Aktivitas_Fisik_ * Kejadian_Hiperurisemia Crosstabulation
Kejadian_Hiperurisemia
Total Hiperurisemia Normourisemia
Aktivitas_Fisik_ Berisiko Count 8 6 14
% within Aktivitas_Fisik_ 57.1% 42.9% 100.0%
Tidak Berisiko Count 53 26 79
% within Aktivitas_Fisik_ 67.1% 32.9% 100.0%
Total Count 61 32 93
% within Aktivitas_Fisik_ 65.6% 34.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Value Df
Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .521a 1 .470
Continuity Correctionb .174 1 .677
Likelihood Ratio .508 1 .476
Fisher's Exact Test .546 .332
Linear-by-Linear Association .516 1 .473
N of Valid Casesb 93
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.82.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Aktivitas_Fisik_ (Berisiko / Tidak Berisiko)
.654 .205 2.082
For cohort Kejadian_Hiperurisemia = Hiperurisemia
.852 .527 1.375
For cohort Kejadian_Hiperurisemia = Normourisemia
1.302 .658 2.575
N of Valid Cases 93
12. Hubungan Kegemukan dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia
Kegemukan * Kejadian_Hiperurisemia Crosstabulation
Kejadian_Hiperurisemia
Total Hiperurisemia Normourisemia
Kegemukan Ya Count 38 11 49
% within Kegemukan 77.6% 22.4% 100.0%
Tidak Count 23 21 44
% within Kegemukan 52.3% 47.7% 100.0%
Total Count 61 32 93
% within Kegemukan 65.6% 34.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided) Exact Sig. (2-
sided) Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 6.564a 1 .010
Continuity Correctionb 5.491 1 .019
Likelihood Ratio 6.636 1 .010
Fisher's Exact Test .016 .009
Linear-by-Linear Association 6.493 1 .011
N of Valid Casesb 93
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.14.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Kegemukan (Ya / Tidak)
3.154 1.289 7.716
For cohort Kejadian_Hiperurisemia = Hiperurisemia
1.484 1.077 2.043
For cohort Kejadian_Hiperurisemia = Normourisemia
.470 .257 .862
N of Valid Cases 93
13. Hubungan Asupan Fruktosa dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia
Asupan_fruktosa * Kejadian_Hiperurisemia Crosstabulation
Kejadian_Hiperurisemia
Total Hiperurisemia Normourisemia
Asupan_fruktosa Berisiko Count 19 3 22
% within Asupan_fruktosa 86.4% 13.6% 100.0%
Tidak Berisiko Count 42 29 71
% within Asupan_fruktosa 59.2% 40.8% 100.0%
Total Count 61 32 93
% within Asupan_fruktosa 65.6% 34.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided) Exact Sig. (2-
sided) Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 5.509a 1 .019
Continuity Correctionb 4.370 1 .037
Likelihood Ratio 6.171 1 .013
Fisher's Exact Test .021 .015
Linear-by-Linear Association 5.450 1 .020
N of Valid Casesb 93
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.57.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Asupan_fruktosa (Berisiko / Tidak Berisiko)
4.373 1.184 16.148
For cohort Kejadian_Hiperurisemia = Hiperurisemia
1.460 1.132 1.884
For cohort Kejadian_Hiperurisemia = Normourisemia
.334 .112 .991
N of Valid Cases 93
14. Hubungan Asupan Purin dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia
Asupan_purin * Kejadian_Hiperurisemia Crosstabulation
Kejadian_Hiperurisemia
Total Hiperurisemia Normourisemia
Asupan_purin Berisiko Count 35 9 44
% within Asupan_purin 79.5% 20.5% 100.0%
Tidak Berisiko Count 26 23 49
% within Asupan_purin 53.1% 46.9% 100.0%
Total Count 61 32 93
% within Asupan_purin 65.6% 34.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-
sided) Exact Sig. (2-
sided) Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 7.205a 1 .007
Continuity Correctionb 6.079 1 .014
Likelihood Ratio 7.401 1 .007
Fisher's Exact Test .009 .006
Linear-by-Linear Association 7.127 1 .008
N of Valid Casesb 93
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.14.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Asupan_purin (Berisiko / Tidak Berisiko)
3.440 1.367 8.656
For cohort Kejadian_Hiperurisemia = Hiperurisemia
1.499 1.107 2.030
For cohort Kejadian_Hiperurisemia = Normourisemia
.436 .227 .838
N of Valid Cases 93
15. Hubungan Asupan Cairan dengan Kejadian Terduga Hiperurisemia
Asupan_cairan * Kejadian_Hiperurisemia Crosstabulation
Kejadian_Hiperurisemia
Total Hiperurisemia Normourisemia
Asupan_cairan Berisiko Count 51 20 71
% within Asupan_cairan 71.8% 28.2% 100.0%
Tidak Berisiko Count 10 12 22
% within Asupan_cairan 45.5% 54.5% 100.0%
Total Count 61 32 93
% within Asupan_cairan 65.6% 34.4% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig.
(2-sided) Exact Sig. (2-
sided) Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 5.177a 1 .023
Continuity Correctionb 4.075 1 .044
Likelihood Ratio 4.988 1 .026
Fisher's Exact Test .038 .023
Linear-by-Linear Association 5.122 1 .024
N of Valid Casesb 93
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.57.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Asupan_cairan (Berisiko / Tidak Berisiko)
3.060 1.142 8.200
For cohort Kejadian_Hiperurisemia = Hiperurisemia
1.580 .977 2.555
For cohort Kejadian_Hiperurisemia = Normourisemia
.516 .303 .880
N of Valid Cases 93
125
No Nama JK IMT Kegemukan Riwayat
Keluarga A B
Aktivitas
Fisik Fruktosa Asupan
Fruktosa Purin Asupan
Purin Cairan Asupan
Cairan
Kadar
Asam
Urat
Kejadian
Hiperurisemia
1 Ponirah 1 30.8 0 0 3 2 1 30.2 0 640.7 0 2202.9 0 7.3 0
2 ati s 1 26.9 0 1 3 2 1 20.5 1 500.0 0 2642.3 1 4.7 1
3 sapni 0 19.2 1 1 1 2 1 22.5 1 638.7 0 2105.1 0 5.9 1
4 ina agus 1 24.0 1 1 3 3 0 16.3 1 442.1 1 2528.5 1 3.1 1
5 djoko M 0 22.9 1 1 4 3 0 16.5 1 438.1 1 2268.6 0 3.4 1
6 lurina 1 22.1 1 0 1 2 1 37.3 0 632.5 0 2289.6 0 12.2 0
7 nani mul 1 21.8 1 0 3 3 0 26.8 0 636.2 0 2587.3 1 5.9 0
8 masitoh 1 21.0 1 1 3 3 0 26.4 0 403.6 1 2388.7 1 4.8 1
9 titi tab 1 24.0 1 0 3 3 0 28.6 0 491.6 1 2533.1 1 7.6 0
10 mariah 1 26.6 0 1 1 2 1 19.8 1 537.8 0 2327.3 1 5.7 1
11 saribano 1 16.0 1 1 1 2 1 23.1 1 805.2 0 2806.9 1 4.9 1
12 sri budi 1 20.7 1 1 3 2 1 25.3 0 541.9 0 2880.4 1 3.2 1
13 mulyani 1 22.5 1 0 3 2 1 9.8 1 612.6 0 1805.8 0 8.1 0
14 simpen 0 26.2 0 0 1 2 1 22.1 1 348.4 1 2622.3 1 10.3 0
15 ati 1 25.3 0 0 1 2 1 17.2 1 394.6 1 2695.3 1 8.7 0
No Nama JK IMT Kegemukan Riwayat
Keluarga A B
Aktivitas
Fisik Fruktosa Asupan
Fruktosa Purin Asupan
Purin Cairan Asupan
Cairan
Kadar
Asam
Urat
Kejadian
Hiperurisemia
16 suprihat 1 26.6 0 0 1 2 1 10.1 1 522.9 0 1632.5 0 7.3 0
17 sumiati 1 25.6 0 0 3 2 1 20.7 1 694.1 0 1879.5 0 7.7 0
18 rubiyem 1 23.1 1 1 3 3 0 22.0 1 577.2 0 1843.5 0 5.8 0
19 muminatu 1 21.1 1 0 3 2 1 30.6 0 498.1 1 1978.1 0 7.9 0
20 wati 1 26.0 0 0 3 3 0 15.7 1 368.3 1 2480.2 1 8.8 0
21 yeyet su 1 21.8 1 1 1 2 1 24.3 1 409.1 1 2305.6 1 4.9 1
22 nuning 1 20.8 1 1 3 2 1 18.0 1 630.4 0 1940.1 0 9.1 0
23 umar 0 25.6 0 0 3 2 1 25.5 0 542.8 0 1932.0 0 8.2 0
24 sukatmi 1 21.9 1 0 1 2 1 20.4 1 474.5 1 1919.4 0 13.8 0
25 asiah 1 23.7 1 1 1 2 1 15.5 1 398.9 1 2071.9 0 5.6 1
26 hirni 0 24.0 1 0 1 2 1 17.3 1 579.7 0 1917.4 0 8.2 0
27 nani 1 27.8 0 0 3 2 1 16.0 1 389.1 1 2230.4 0 8.8 0
28 samiyah 1 27.1 0 0 3 2 1 18.1 1 448.7 1 1872.0 0 7.5 0
29 poniati 1 31.2 0 0 3 2 1 16.4 1 675.3 0 1992.3 0 7.0 0
30 heriyant 1 25.7 0 0 1 3 1 15.3 1 465.5 1 1866.4 0 9.2 0
No Nama JK IMT Kegemukan Riwayat
Keluarga A B
Aktivitas
Fisik Fruktosa Asupan
Fruktosa Purin Asupan
Purin Cairan Asupan
Cairan
Kadar
Asam
Urat
Kejadian
Hiperurisemia
31 erpi 1 24.9 1 0 1 2 1 15.3 1 353.7 1 1766.3 0 7.3 0
32 nafsiah 1 29.1 0 1 1 2 1 16.4 1 487.8 1 1917.5 0 7.9 0
33 karnilaw 1 23.1 1 1 3 2 1 12.8 1 369.1 1 2176.8 0 4.6 1
34 sudarman 0 25.0 0 1 3 3 0 12.4 1 490.8 1 2727.0 1 6.5 1
35 harti 1 35.6 0 1 1 2 1 20.4 1 487.0 1 1969.2 0 11.3 0
36 aminah 1 21.9 1 1 3 2 1 14.6 1 556.5 0 1672.5 0 8.4 0
37 purwanit 1 22.2 1 1 1 2 1 15.8 1 424.7 1 1738.7 0 5.6 1
38 gunawan 0 24.0 1 1 3 2 1 15.0 1 2051.0 0 2130.9 0 9.9 0
39 asnih 1 22.1 1 1 1 2 1 14.9 1 425.0 1 2649.5 1 5.3 1
40 mahdi 0 30.5 0 0 3 2 1 19.2 1 378.5 1 2085.5 0 10.9 0
41 salbiah 1 26.2 0 1 1 2 1 22.6 1 328.5 1 1899.9 0 7.9 0
42 sopiah 1 21.1 1 0 3 2 1 19.2 1 431.3 1 1704.3 0 6.3 0
43 maman z 0 25.7 0 0 4 2 0 17.1 1 481.4 1 1849.9 0 12.1 0
44 Fahyati 1 27.8 0 1 3 2 1 18.0 1 409.7 1 1685.7 0 5.2 1
45 Marsinah 1 27.9 0 0 3 2 1 15.1 1 550.8 0 1730.2 0 9.7 0
No Nama JK IMT Kegemukan Riwayat
Keluarga A B
Aktivitas
Fisik Fruktosa Asupan
Fruktosa Purin Asupan
Purin Cairan Asupan
Cairan
Kadar
Asam
Urat
Kejadian
Hiperurisemia
46 sakem 1 21.1 1 1 3 2 1 18.2 1 512.5 0 1800.8 0 4.3 1
47 asep 0 26.4 0 0 4 1 1 17.3 1 410.9 1 1793.4 0 9.7 0
48 namio 0 29.4 0 0 3 2 1 14.9 1 337.7 1 2113.3 0 8.2 0
49 maya 1 19.5 1 0 1 2 1 19.1 1 484.4 1 1867.5 0 7.9 0
50 eka yuni 1 26.4 0 0 1 2 1 21.6 1 463.9 1 2197.1 0 9.4 0
51 halimah 1 20.8 1 1 2 2 1 14.2 1 395.1 1 1861.3 0 3.2 1
52 nurhayat 1 26.2 0 1 1 2 1 20.0 1 599.1 0 1868.8 0 9.6 0
53 jelita 1 23.9 1 1 1 2 1 26.0 0 539.1 0 2098.0 0 3.1 1
54 sulastri 1 27.4 0 0 3 2 1 18.1 1 482.1 1 2318.5 1 3.4 1
55 ivon 1 34.4 0 1 1 2 1 26.9 0 516.4 0 2086.6 0 12.7 0
56 nani 1 26.2 0 0 3 3 0 22.0 1 425.8 1 2034.5 0 5.4 1
57 nurhayat 1 21.8 1 0 1 2 1 19.0 1 465.1 1 2378.9 1 4.9 1
58 syarif 0 18.9 1 0 3 2 1 21.7 1 547.6 0 2523.5 0 5.7 1
59 zailis 1 21.8 1 1 3 2 1 25.0 0 553.5 0 2125.6 0 7.6 0
60 sukartin 1 26.3 0 0 2 2 1 19.7 1 427.7 1 2401.2 1 4.9 1
No Nama JK IMT Kegemukan Riwayat
Keluarga A B
Aktivitas
Fisik Fruktosa Asupan
Fruktosa Purin Asupan
Purin Cairan Asupan
Cairan
Kadar
Asam
Urat
Kejadian
Hiperurisemia
61 rahani 1 21.0 1 1 1 2 1 26.1 0 518.6 0 2111.9 0 7.3 0
62 sumiyati 1 24.7 1 0 3 2 1 20.4 1 381.5 1 2007.9 0 4.7 1
63 surip 1 16.6 1 1 1 2 1 25.9 0 578.8 0 2078.8 0 8.2 0
64 nurul 1 20.8 1 1 3 3 0 25.1 0 558.2 0 2153.0 0 11.3 0
65 wice 1 27.8 0 0 3 2 1 25.8 0 529.3 0 2204.1 0 9.4 0
66 kasidh 1 27.1 0 1 3 2 1 11.1 1 564.2 0 1763.7 0 5.9 0
67 surani 1 23.1 1 0 1 2 1 16.6 1 602.0 0 2218.0 0 6.5 0
68 yanti 1 29.2 0 0 3 2 1 17.1 1 511.5 0 2222.6 0 7.4 0
69 isah 1 27.6 0 1 3 3 0 28.7 0 571.8 0 2687.5 1 8.0 0
70 asmi 1 31.2 0 0 3 3 0 21.9 1 468.2 1 2036.4 0 4.1 1
71 rustiah 1 30.4 0 0 1 2 1 27.5 0 586.8 0 2133.3 0 8.2 0
72 bonita 1 24.9 1 1 3 2 1 26.1 0 521.0 0 2482.3 1 12.1 0
73 saimah 1 28.9 0 0 3 2 1 21.4 1 474.0 1 2047.0 0 4.8 1
74 nunung 1 25.8 0 1 3 3 0 25.7 0 542.8 0 2636.0 1 9.7 0
75 juju 1 24.4 1 0 3 2 1 16.4 1 438.7 1 2287.6 0 5.2 1
No Nama JK IMT Kegemukan Riwayat
Keluarga A B
Aktivitas
Fisik Fruktosa Asupan
Fruktosa Purin Asupan
Purin Cairan Asupan
Cairan
Kadar
Asam
Urat
Kejadian
Hiperurisemia
76 sartini 1 23.7 1 0 3 2 1 11.7 1 394.5 1 2151.4 0 5.7 1
77 Ita 1 24.4 0 1 1 2 1 25.3 0 600.4 0 2109.9 0 11.2 0
78 sadiyah 1 30.1 0 0 1 2 1 25.0 0 518.5 0 2156.8 0 10.7 0
79 tahyati 1 28.4 0 0 3 2 1 22.6 1 619.3 0 2412.4 1 11.5 0
80 marsinem 1 27.8 0 0 1 2 1 23.7 1 623.7 0 1888.7 0 12.2 0
81 atik 1 22.5 1 1 3 2 1 21.7 1 436.8 1 1803.6 0 3.2 1
82 halimah 1 26.8 0 0 3 2 1 15.5 1 416.2 1 1640.5 0 6.7 0
83 sopiah 1 25.9 0 0 3 2 1 14.0 1 416.6 1 1622.4 0 6.4 0
84 mariah 1 26.9 0 1 3 2 1 23.8 1 350.7 1 1898.2 0 12.1 0
85 purwanit 1 21.9 1 1 3 2 1 21.9 1 431.5 1 1932.6 0 4.0 1
86 zahara 1 26.8 0 1 3 2 1 9.7 1 473.7 1 1542.0 0 8.8 0
87 maryam 1 23.1 1 0 3 2 1 15.9 1 602.0 0 1619.7 0 10.7 0
88 suprihat 1 27.9 0 1 3 2 1 17.1 1 428.7 1 2222.6 0 7.7 0
89 salbiah 1 21.2 1 0 3 2 1 28.7 0 571.8 0 2287.5 0 8.2 0
90 rubiyah 1 25.3 0 1 1 2 1 10.3 1 643.0 0 1775.6 0 4.6 1
No Nama JK IMT Kegemukan Riwayat
Keluarga A B
Aktivitas
Fisik Fruktosa Asupan
Fruktosa Purin Asupan
Purin Cairan Asupan
Cairan
Kadar
Asam
Urat
Kejadian
Hiperurisemia
91 mariah 1 28.3 0 0 3 2 1 14.8 1 465.6 1 2050.2 0 5.7 1
92 karni 1 27.0 0 0 1 2 1 15.0 1 408.6 1 2257.9 0 7.1 0
93 jahara 1 20.0 1 0 3 2 1 17.8 1 584.2 0 2369.9 1 7.8 0
top related