format penulisan makalah seminar...
Post on 03-Mar-2019
247 Views
Preview:
TRANSCRIPT
SEMINAR NASIONAL
REKAYASA & DESAIN ITENAS 2017
Seminar Nasional Bidang Desain:
Seminar Desain dalam Industri Kreatif
Desain | 1
Optimalisasi Presentasi Mahasiswa Desain Interior
Dengan Metode Storyboard
Edwin Widia
Jurusan Desain Interior Fakultas Seni Rupa dan Desain
Institut Teknologi Nasional
Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124
E-mail: edwin.widia@itenas.ac.id
ABSTRAK
Presentasi Desain interior, merupakan proses penyampaian produk desain interior yang masih berupa
gagasan yang bertujuan memberikan persamaan persepsi antara perencana dengan audiens, sehingga
gagasan suatu produk desain dari perencana dapat disampaikan dengan efektif dan efisien kepada audiens,
dengan tujuan agar audien paham atas produktivitas kinerja, karya dan ide dari produk desain interior,
baik secara kuantitas maupun kualitas produknya, Namun beberapa mahasiswa masih belum dapat optimal
dalam menyampaikan gagasan tersebut dalam presentasi desain yang dilakukan, walaupun
produktivitasnya tinggi, hal tersebut terjadi karena mahasiswa masih tidak maksimal dalam merangkum
luasnya dari elemen-elemen proyeknya menjadi materi presentasi yang singkat dan padat. Hal tersebut
terjadi karena masalah kesiapan mental untuk berbicara didepan, sehingga membuat mereka berbicara
tidak terstruktur dan cenderung acak sehingga menghabiskan waktu. Namun hal tersebut dapat ditekan
dengan mempersiapkan sketsa struktur presentasi secara berurutan yang bersifat pra-visual struktur
materi presentasi, yaitu dengan menggunakan metode storyboard yang dapat di implementasikan secara
sketsa sehingga mudah dibuat dan membantu memonitor materi secara keseluruhan.
Kata Kunci : Optimalisasi, Presentasi, Storyboard, Desain Interior
ABSTRACT
Presentation Interior design is a process of delivering interior design products that are still ideas, that aims
to provide a shared perception between the planner with the audience, so the idea of a product design of
planners can be delivered effectively and efficiently to the audience, with the aim that audience understand
the productivity of the work, performance and ideas of the interior design products, both in quantity and
quality of the product, but some students still cannot be optimal in conveying the idea in the design
presentation, although high productivity, occurs because the student is still not maximized in summarizing
the extent of the elements of the project into a short presentation material. This happens mainly to the
problem of mental readiness to speak in front of them, thus making them speak unstructured and tend to go
randomly to spend time. However, this can be suppressed by preparing a sketch of the presentation
structure in a sequence that is pre-visual of the structure of the presentation material, by using a storyboard
method that can be implemented in a sketch so that it is easy to create and helps to monitor the material as
a whole.
Keywords: Optimization, Presentation, Storyboard, Interior Design
Desain | 2
Latar Belakang Masalah
Mahasiswa sering tidak mampu menyampaikan idenya secara struktural baik verbal maupun non-verbal
sehingga sering terjebak dengan penjelasan secara acak, yang menghabiskan waktu yang disediakan, tanpa
mampu menjelaskan inovasi, keunikan dan kelebihan dari proyek desainnya, dari latar belakang konsep,
hingga implementasi.
Luasnya kompleksitas produk desain interior terkadang membuat mahasiswa bingung dalam memulai dan
memilih materi yang yang didahulukan atau struktur presentasi antara, pembuka,isi dan penutup, sehingga
inovasi desain yang bersifat kualitatif tidak tersampaikan dengan optimal, namun hanya menjelaskan
kuantitas produktivitas gambarnya saja.
Identifikasi Masalah
Mahasiswa sering tidak terstruktur ketika melakukan presentasi desain interior, sehingga ide dan inovasi
desain sering tidak tersampaikan ketika melakukan presentasi
Batasan Masalah
Presentasi yang dilakukan mahasiswa memiliki durasi 10 -15 menit, waktu tersebut harus dapat
dimanfaatkan seefektif mungkin agar isi dari portofolio dapat disampaikan dengan jelas, namun luasnya
variabel produk desain interior yang harus disampaikan cukup kompleks, sehingga dibutuhkan mekanisme
tentang perangkuman suatu materi presentasi desain interior yang juga dapat mendukung cara berpikir
presenter agar lebih matang.
Maksud dan Tujuan
Mencari metode yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa dalam mendukung proses presentasi yang
merupakan kesatuan dari proses perencanaan desain interior. Membuat alat bantu rencana interaksi
presentasi
Manfaat
Dengan memahami metode ini mahasiswa akan mampu merangkum kompleksitas produk desain interior
mereka menjadi satu kesatuan presentasi yang mudah dipahami, mulai dari latar belakang hingga solusi
desain.
Tinjauan Storyboard dan Presentasi Desain Interior
StoryBoard merupakan bagian dari proses perencanaan pembuatan film, cara tersebut digunakan untuk
mempermudah tim produksi film dalam merencanakan kegiatannya, agar dapat menekan tingkat kerugian
dan kesalahan. Film sendiri juga merupakan suatu produk yang dihasil berdasarkan rencana desain dengan
output suatu karya yang ditampilkan pada layar atau. Hal tersebut berkaitan dengan presentasi desain
interior, dimana produk desain memiliki kompleksitas yang cukup tinggi, namun harus dapat disampaikan
secara jelas dan komprehensif, oleh karena beberapa persamaan pola pikir tersebut dapat diadopsi dalam
perencanaan presentasi desain interior.
“Storyboards serve two purposes: First, they allowed a filmaker to previsualize his ideas and refine them
in the same way writer develops idea through succesive drafts; secondly, they serve as clearest langage to
communicate ideas to the entire production team. Admittedly, the communication value of storyboards
grows with the complexity of the production” Katz, 1991.
Melihat dari kutipan diatas, dengan melalui mekanisme storyboard filmmaker atau yang dianalogikan
sebagai mahasiswa, dapat mempra-visualisasikan proyeknya, sebelum mereka memulai pekerjaannya,
sehingga dengan menggunakan storyboard, mahasiswa sudah bisa mendesain sebagai bahan presentasi
yang menjadi suatu proposal desainnya.
Desain | 3
Bagan 1. Bagan mekanisme dan siklus presentasi
Melihat gambar dari bagan satu, dapat dilihat presentasi merupakan siklus yang sangat terikat dalam proses
perencanaan desain interior, sehingga kegitan presentasi tersebut merupakan bagian dari rencana desain
yang bersifat proses pengembangan rencana desain.
Hal ini juga merupakan akibat dari luasnya kompleksitas produk desain interior yang harus disampaikan
oleh mahasiswa yang seringkali membuat mereka tidak dapat mengoptimalisasikan materi presentasinya,
diluar pekerjaan produksi gambar kerja, konsep, skema dan lainnya.
Perencanaan Presentasi Desain Interior
Presentation ; an activity in which someone shows, describes, or explains something to a group of people
“, merriam-webster.
Presentasi merupakan proses penyampaian materi yang dilakukan presenter kepada audien, dalam rangka
menyampaikan tujuan tertentu. Hal ini merupakan kegiatan yang menjadikan multi persepsi bagi audiens.
Oleh karena itu persepsi sebisa mungkin bagi presenter dapat direncanakan agar meminimalisir terbentuk
banyaknya persepsi.
Komunikasi Produk Desain Interior melalui kompilasi presentasi
Konsep Desain Interior yang dimulai dari latar belakang hingga implementasinya pada gambar kerja yang
diterapkan pada ruang, harus dapat dijelaskan kepada audiens secara komprehensif, yang sangat diperlukan
dalam proses penyampaiannya, sehingga maksud dari tujuan desain baik secara, fungsi, estetis hingga
filosofis dan mudah dicerna oleh audiens. Hal tersebut membutuhkan struktur yang jelas dalam proses
perangkumannya, dimana durasi waktu yang tersedia dapat di manfaatkan dengan maksimal. Oleh karena
itu komunikasi melalui kompilasi presentasi sangatlah penting untuk selalu dikembangkan secara
terstruktur, storyboard merupakan salah satu fasilitas pra visual yang dapat dimanfaatkan guna
meningkatkan kualitas dan kuantitas produk desain interior yang akan disampaikan.
Sidang Evaluasi I -IV
Desain | 4
Bagan 2. Irisan dasar kebutuhan pra-rencana presentasi
Dari Irisan kebutuhan dasar pada bagan dua. Terlihat bahwa presentasi juga membutuhkan dasar rencana
atau sketsa sebagaimana terencananya proses desain, karena kompleksitas dari produk desain interior yang
cukup banyak, dimana batasan durasi menjadi hal penting ketika berpresentasi, sehingga rasionalisasi dan
unity dari antara konsep dan portofolio harus tetap terkendali dan tidak keluar dari konsistensi desain.
Kompilasi skestsa rencana presentasi dibutuhkan sebagai pra-visualisasi yang bertujuan menstimulasi
,narasi dan imajinasi presenter dalam menyampaikan ide yang bersifat abstrak menjadi suatu rencana
produk desain yang konkrit sehingga mendapatkan suatu persepsi bersama dalam rang mencapai kesamaan
visi desain baik secara akademis maupun profesi. Ikatan durasi menjadikan titik penting pada saat
presentasi , dimana waktu yang ditentukan dapat menjadi lama atau sebentar yang menjadi dasar
menariknya suatu presentasi dalam menyampaikan materi yang dapat menjadikan kualitas presntasi
bermakna.
Kuesioner dan tata cara pengisian
Dalam merancang kuesioner yang dijabarkan dalam bentuk angket yang ditujukan kepada para mahasiswa
sebagai obyek penelitian maka peneliti mengangkat pertanyaan berdasarkan, pertanyaan awal yang bersifat
mendasar namun merupakan pertanyaan yang dapat mewakilkan secara umum tentang kesulitan mahasiswa
dalam melakukan presentasi ketika harus memutuskan penentuan desain. Pertanyaan ditujukan kepada
mahasiswa 90 orang mahasiswa desain interior, hal ini dilakukan untuk mengetahui proses dasar hingga
atas tentang pemahaman storyboard dalam mengembangkan desainnya, sehingga peneliti dapat mengetahui
dimana titik kemudahan kerja mahasiswa yang mendukung optimalisasi presentasinya, yang dilanjutkan
dengan implementasi storyboard kepada mahasiswa.
Hasil Dan Pembahasan
Bagan 3. Bagan Storyboard 10 modul
Pada penelitian ini mahasiswa diminta untuk membuat storyboard dari portofolio mata kuliah studio dengan
menggunakan 10 modul storyboard yang didalamnya terdapat rencana presentasi desain interior tersebut.
Desain | 5
Tujuan dari modul tersebut dibuat untuk mengetahui proses implementasi presentasi tersebut dengan
diawali proses perencanaan presentasinya, sehingga kegiatan presentasi tersebut dapat dilaksanakan sesuai
dengan waktu yang ditentukan. Dengan Modul tersebut mahasiswa diminta membuat rencana presentasinya
dengan menggunakan storyboard, kemudian mereka ber-presentasi, setelah itu mereka diminta untuk
mengisi kuesioner, yang berisi tentang, apa yang mereka rasakan ketika berpresentasi menggunakan
storyboard.
Sampel kuesioner
No Pertanyaan Jawaban Analisa
Ya T
1 Apakah dengan storyboard,
anda dapat menyiapkan rencana
konten presentasi sesuai waktu
presentasi?
86 6 93%menjawab ya, kondisi ini adalah
dimana mahasiswa dapat merencanakan
kesesuain waktu dengan isi dari materi
yang akan disampaikan
2 Apakah dengan storyboard,
waktu yang (5menit) dapat
menjelaskan latarbelakang
hingga konsep anda?
71 24 76% Mahasiswa menjawab ya, lima menit
pertama merupalkan waktu krusian dengan
rasio 1 menit latar belakang, 1 menit
tujuan, 1 menit kajian pustaka, dan 2 menit
konsep desain.
3 Apakah dengan storyboard,
dapat menurunkan rasa tidak
percaya diri (grogi) anda ?
60 35 64% menjawab ya, dimana kondisi
mayoritas mahasiswa ketika merasa grogi
mereka hanya membaca struktur
storyboard saja, 35%merasa beberapa
masalah yang bersifat psychosomatis
belum bisa diatasi hanya dengan membaca
struktur storyboard, hanya bisa dilakukan
dengan menambah waktu presentasi atau
beristirahat.
4 Apakah dengan storyboard,
dapat membantu melihat
kekurangan dari materi/konten
desain anda?
84 4 91% menjawab ya, kondisi ini menunjukan
storyboard dapat mendukung mahasiswa
dalam membaca keseluruhan masalah
secara konsisten.
No. Gambar
1.
Contoh sampel yang diambil : Urutan urutan rancangan presentasi dibuat menyesuaikan kerangka
persyaratan konsep desain, dengan begitu mahasiswa dapat merancang konten dari materi
presentasinya hingga sketsa dan durasi presentasi .
Desain | 6
No Pertanyaan Jawaban Analisa
Ya T
5 Apakah dengan storyboard,
anda dapat menjelaskan dan
memahami solusi anda ?
87 8 93% menjawab ya dari kondisi ini
mahasiswa dapat melihat masalah desain
dan mereka dapat memprediksi solusi
desain yang diperlukan
6 Apakah dengan storyboard,
anda dapat membantu dan
mencari inovasi desain anda?
66 29 70% menjawab ya, dengan kondisi ini bisa
melihat karakter masalah yang sama
dengan yang lain namun dapat
memberikan solusi yang berbeda yang
bersifat inovatif
7 Apakah dengan storyboard,
anda dapat merancang
presentasi yang jelas dan
komprehensif?
87 8 93% menjawab ya, kondisi menjelaskan
mahasiswa dapat memahami dalam
membuat urutan dan kerangka presentasi
secara terstruktur.
8 Apakah dengan storyboard,
anda mampu bicara secara
efektif dan lancar
72 23 77% menjawab ya, kondisi ini
menjelaskan bagaimana mahasiswa dapat
mengoptimalisasikan waktu presentasi .
9 Apakah dengan storyboard,
dapat membantu
mengembangkan rancangan
desain anda?
63 32 67% menjawab ya, kondisi ini
menjelaskan bagaimana mahasiswa dapat
meneliti kekuranga pada desainnya.
10 Apakah dengan storyboard,
dapat membuat merencanakan
presentasi yang menarik
89 6 95% menjawab ya, kondisi ini
menjelaskan mahasiswa dapat merancang
bentuk presentasi yang akan ditampilkan
sesuai dengan konsep dari konten
desainnya.
11 Apakah dalam membuat
presentasi desain perlu
menggunakan storyboard
88 7 94% menjawab ya, dengan menggunakan
metode ini mahasiswa dapat merancang
alur presentasi yang dapat disesuiakan
dengan konsep dari konten desain yang
mereka buat.
Kesimpulan
Kegiatan presentasi merupakan bagian penting dari proses pra-produksi desain yang bertujuan mendukung
proses realisasi desain, oleh karena itu perencanaan materi presentasi harus direncanakan dengan baik, salah
satu alat bantunya adalah dengan merancang storyboard. Sehingga dengan mengetahui kondisi kondisi
diatas maka, mahasiswa dapat melihat area desain yang dapat dioptimalisasikan, dalam rangka membangun
arsitektural presentasi untuk mendorang performa presentasi lebih baik. Metode menggunakan storyboard
secara sistem presentasi mendukung mahasiswa berpresentasi lebih terstruktur sehingga, mereka tidak
kehabisan kalimat ketika berpresentasi, Membantu merencanakan durasi presentasi lebih efektif,
Membantu mempersiapkan rancangan kalimat, Membantu meningkatkan daya imajinasi yang bersifat story
telling sehingga konsep desain dapat diceritakan dengan meningkatkan materi baik secara visual, narasi
dan deskripsi, Membantu mempertahankan konsistensi latar belakang masalah terhadap solusi, dan inovasi
desain.
Penelitian ini bertujuan mendapatkan alat bantu, yang dapat mendukung proses evaluasi mahasiswa yang
diterapkan dalam metode presentasi lebih terukur dan terstruktur, sehubungan dengan populasi mahasiswa
yang selalu bertambah setiap tahun-nya. Namun penelitian ini masih jauh dari sempurna sehingga masih
perlu dikembangkan lagi menyesuaikan dengan fenomena-fenomena baru yang terjadi pada lingkungan
desain interior, baik akademis maupun profesi.
Desain | 7
Image : _______
Notes : ________
____________
____________
Durasi : _______
Daftar Pustaka
[1] Widia, Edwin. 2015. Simulasi Ruang pada Desain Interior dengan pendekatan Virtual. Hibah LPPM
Itenas
[2] Widia, Edwin. 2016. Simulasi Rancang bangun pengembangan ruang desain interior pada rumah
tinggal tipe 45. Penelitian , hibah LPPM Itenas.
[3] Katz, Steven D.1991.Film directing. Shot by Shot, Visualisizing from concept to screen
[4] Fiske, John. (1990). Cultural and Communication Studies ( sebuah pengantar paling komprehensif ).
Routledge
[5] Fitzherbert, Nick. Presentation Magic!
[6] Binet,Alfred.2017.The Mind and The Brain
[7] Piliang, Yasraf A. 2010. Tamasya melampaui batas-batas kebudayaan. Dunia yang dilipat.
[8] Virtual, Shields, Rob 2003. Sebuah pengantar komprehensif.
[9] Berger dan Chaffee, (1987). Handbook of Communication series.
[10] Mulyana, Deddy, 2008.Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, PT Remaja Rosdakarya.
[11] William Lidwell, Kritina Holden, Jill Butler (2003). Universal Principles of Design, United States of
America
[12] Norman , Donald A. (2004), Emotional Design, Why We Love (or Hate) Everyday Things.
[13] Papanek. J, Victor. Design For the Real World . (1971). Human Ecology and Social Change, 2nd
Edition.
Terdapat area untuk menempatkan visualisasi dari
konten desain yang akan dipresentasikan, sehingga
mahasiswa dapat meningkatkan daya imajinasi dan
pengembangan deskripsi dari konten prsentasinya
Area untuk menempatkan judul modul, dengan
menempatkan judul modul, mahasiswa dapat
merencanakan headline dari konten, sehingga
rencana pra-visualisasi konten dan terbantu dalam
menstimulus item yang akan diringkas
Notes, merupakan area untuk memberikan narasi dan
mendeskripsikan secara singkat esensi dari isi materi
presentasi yang merupakan konten utama dalam
desain
Durasi, area untuk menentukan rencana lama bicara
untuk membahas konten tersebut
Desain | 8
Inovasi Desain Furnitur Murah Untuk Pasar Mahasiswa Dengan
Konsep Flatpack
Andika Dwicahyo Aribowo
Jurusan Desain Interior Fakultas Seni Rupa dan Desain
Institut Teknologi Nasional
Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124
E-mail: adwicahyo@gmail.com
ABSTRAK
Para mahasiswa umumnya memiliki kamar dengan ukuran sempit dan mereka kebanyakan hanya memiliki
sepeda motor sebagai alat transportasi, sehingga banyak di antara mereka yang memaksakan dirinya
untuk mengangkut dengan susah payah atau diangkut dengan menyewa kendaraan. Untuk itu, diperlukan
sistem furnitur yang mudah untuk dikemas dan dirangkai kembali dengan teknologi sederhana namun
efektif untuk memecahkan masalah mobilitas dan keterbatasan ruang. Riset Inovasi dan Pengembangan
Bisnis Furnitur Murah Untuk Pasar Mahasiswa Dengan Konsep Flat Pack adalah riset yang bertujuan
untuk membuat penyederhanaan sistem packaging dari produk furniture untuk mencapai tingkat mobilitas
perpindahan produk dari produsen ke konsumen yang lebih efisien.
Metode riset yang akan digunakan adalah observasi, interview dan questionnaire, design thinking,
pembuatan prototype, uji pasar terhadap protoype produk yang dihasilkan dari proses riset dan inovasi,
dan menyimpulkan hasil program ini, sebagai referensi untuk program sejenis berikutnya. Diharapkan
dengan riset ini pasar akan mendapatkan produk yang lebih sesuai dengan kebutuhannya baik secara
fungsional/ tepat guna, estetik (sesuai selera secara proporsional), praktis dan terjangkau.
Kata Kunci : Efisiensi, Furnitur, Mahasiswa, Mobilitas, Lemari
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Tingkat permintaan untuk furnitur murah di kota Bandung semakin tinggi seiring dengan semakin
meningkatnya jumlah mahasiswa yang datang ke kota Bandung. Produk furnitur murah yang laku bagi
kalangan mahasiswa antara lain berupa lemari pakaian, meja tulis, dan rak buku dengan bahan baku dari
kayu kelas 3 ataupun 2 seperti albasia dan borneo ataupun kayu olahan seperti multipleks dan 'blockboard'.
Namun, meningkatnya permintaan akan furnitur murah bukan berarti bahwa pasar merasa puas akan barang
yang dibelinya. Kualitas yang kurang baik dan perkembangan desain yang cenderung lambat, menunjukkan
adanya hambatan dari bahan baku dan juga referensi pengetahuan desain yang kurang baik pada
pengrajinnya.
Bahan dari kayu kelas rendah memiliki kelemahan terhadap kelembaban, sehingga tidak tahan lama.
Problem keterbatasan ruang kerap juga dialami oleh konsumen yang umumnya mahasiswa, dimana furnitur
murah yang dijual umumnya berukuran besar dan juga berat sehingga tingkat mobilitas sangatlah terbatas.
Para mahasiswa umumnya memiliki kamar dengan ukuran sempit dan mereka kebanyakan hanya memiliki
sepeda motor sebagai alat transportasi, sehingga banyak di antara mereka yang memaksakan dirinya untuk
mengangkut dengan susah payah atau diangkut dengan menyewa kendaraan.
Desain | 9
Untuk itu, Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana membuat sistem furnitur
yang mudah untuk dikemas dan dirangkai kembali dengan teknologi sederhana namun efektif untuk
memecahkan masalah mobilitas dan keterbatasan ruang.
Sistem Flat Pack telah berkembang menjadi salah satu sistem yang memudahkan proses produksi,
pengemasan, dan pemasaran. Untuk itu, melalui penelitian ini sistem ini akan dikaji tingkat efektifitasnya
untuk dapat diterapkan pada industri furnitur murah dengan target pasar mahasiswa.
1.2. Rumusan Masalah
Untuk itu, Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana membuat sistem furnitur
yang mudah untuk dikemas dan dirangkai kembali dengan teknologi sederhana namun efektif untuk
memecahkan masalah mobilitas dan keterbatasan ruang.
1.3. Tujuan Penelitian
Mengembangkan desain produk furniture berdasarkan studi karakter pengguna/ pasar potensial melalui
pengembangan Desain dengan melakukan eksplorasi berbagai bentuk dan sistem yang kiranya dapat
diadopsi secara sederhana, mudah untuk di rangkai, diproduksi dan juga mudah untuk dibawa. Selain itu
diharapkan riset ini akan menghasilkan prototype berdasarkan hasil studi, dan menguji secara nyata nilai
komersil dari prototype yang dihasilkan selama riset berlangsung.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dapat dikategorikan sebagai manfaat teoritis dan manfaat praktis. Secara teoritis,
penelitian bermanfaat bagi pengembangan ilmu desain, khususnya desain interior.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan membawa manfaat sebagai berikut:
1. Sebagai bahan masukan bagi pengrajin untuk meningkatkan kualitas dan daya saing produk yang
dihasilkan dari segi desain dan nilai jual.
2. Memberikan kemudahan dari segi mobilitas dan harga beli yang murah bagi pasar, dalam penelitian
ini adalah mahasiswa, untuk membeli produk yang berkualitas
3. Memberikan pemahaman yang tepat tentang kerjasama saling menguntungkan antara perusahaan,
pemerintah dan masyarakat terkait skala produksi dan pemasaran.
2. Tinjauan Pustaka
2.1. Tinjauan Tentang Industri Furnitur di kota Bandung
Haryanto, Eko (2004:17) mengatakan bahwa kata Furniture berasal dari bahasa Perancis Fourniture yang
artinya perabotan rumah tangga. Fourniture mempunyai asal kata Fournir yang artinya Furnish atau
perabot rumah atau ruangan. Furniture pada umumnya adalah istilah yang digunakan untuk perabot
rumah tangga yang berfungsi sebagai tempat penyimpan barang, tempat duduk, tempat tidur, tempat
mengerjakan sesuatu dalam bentuk meja atau tempat menaruh barang di permukaannya.
Kebutuhan akan furniture di masyarakat Kota Bandung sangatlah tinggi. Hal tersebut dapat dlihat dari
banyaknya jumlah toko yang menjual barang berupa furniture, seperti dapat dilihat pada tabel 1 berikut.
Desain | 10
No Lokasi Jumlah
1 Jalan Jenderal Ahmad Yani 25 Toko
2 Jalan Kopo 20 Toko
3 Jalan Soekarno Hatta 14 Toko
4 Jalan Sukajadi 10 Toko
5 Jalan Kiaracondong 8 Toko
6 Jalan Setiabudhi 6 Toko
7 Jalan Braga 5 Toko
8 Jalan Pasir Koja 5 Toko
9 Jalan Pasir Kaliki 5 Toko
10 Jalan Babakan Ciparay 5 Toko
11 Lain-lain 149 Toko
Total 252 Toko
Tabel 1
Data Toko-toko Furniture di Kota Bandung
Tabel 1 diatas menunjukkan penyebaran toko Furniture di kawasan Bandung dan sekitarnya. Berdasarkan
tabel tersebut, dapat diamati bahwa komunitas terbesar toko furniture di Bandung terletak di jalan Jenderal
Ahmad Yani, Bandung. Sayangnya, produk-produk yang ditawarkan kurang sesuai terhadap kebutuhan
masyarakat golongan ekonomi menengah kebawah.
Barang yang umum dijumpai di toko furniture Jalan Ahmad Yani adalah sofa-sofa berukuran besar, lemari
serta perabot lain yang berbahan dasar kayu olahan dan dengan ukuran besar pula. Penulis barasumsi
bahwa hal tersebut dikarenakan anggapan dari produsen dan penjual bahwa selera pasar masih berorientasi
pada kaum menengah keatas. Sedangkan pada kenyataannya di lapangan, masyarakat golongan menengah
kebawah cenderung memiliki keterbatasan ruang yang dimiliki di rumah mereka. Sehingga yang terjadi
pada saat ini adalah masyarakat tidak memiliki pilihan terhadap produk-produk yang dijual dengan harga
murah dan juga sesuai dengan keterbatasan mereka tersebut, dimana umumnya harga adalah tolok ukur
utama bagi mereka dalam menentukan barang yang sesuai.
Gambar 2
Salah satu Furniture yang diproduksi dan dijual di Jalan Jenderal A.Yani. Bandung
(sumber: Dok. Pribadi)
Desain | 11
2.2. Tinjauan tentang Furniture Flat Pack
Jika ditilik dari segi kata, kita menemukan kata “pack” di dalam flatpack. Artinya, pendekatan desain seperti
ini memang menintikberatkan pada masalah bagaimana packaging sebuah produk. Konsep flat pack
ditemukan oleh Gillis Lundgren, seorang drafter asal Swedia yang bekerja di perusahaan perabotan rumah
tangga asal Skandinavia, IKEA. Penemuan konsep ini tidak disengaja, ketika Lundgren kesulitan
memasukkan meja ke dalam mobilnya. Karena ia enggan menggunakan jasa pengiriman atau paket, maka
ia memutuskan untuk mematahkan kaki-kaki meja tersebut agar bisa masuk ke mobilnya, dan merakitnya
kembali sesampainya di rumah.
Dari pengalaman ini ia menyadari bahwa proses pengiriman dari toko atau pabrik menuju rumah konsumen
bukan perkara sepele, dan seharusnya bisa diselesaikan melalui desain. Maka kemudian ia membahas hal
ini kepada atasannya di IKEA. Setelah itu, IKEA pun meluncurkan produk berkonsep flatpack untuk
pertama kalinya tahun 1956 dan terus mengembangkan konsep produknya dengan konsep tersebut sampai
sekarang.
Kesimpulannya, titik berat konsep flatpack lebih terletak pada ruang yang diperlukan dalam proses
berpindahnya produk dari toko atau pabrik ke rumah konsumen, bukan ruang dimana produk ini akan
diletakkan pada akhirnya (rumah konsumen).
3. Metode Penelitian
Gambar 3. Skema Metode Penelitian
Desain | 12
Penelitian ini dilakukan dengan membuat beberapa tahapan. Secara terperinci, dapat diurutkan menjadi
tahap eksplorasi konsep desain, tahap design development, tahap fokus desain tahap pembuatan prototype.
Adapun secara jelasnya dapat dilihat pada Bagan 1 berikut.
4. Hasil dan Pembahasan
4.1 Tahap Eksplorasi Konsep Desain
Tahap Eksplorasi Konsep Desain ini adalah tahap pembuatan model eksplorasi bidang-bidang dengan
menggunakan bahan dasar yang cenderung tidak kaku. Hal ini bertujuan untuk menguji kekuatan konstruksi
dari model furniture yang akan dibuat. Pada proses eksplorasi ini, mahasiswa dilibatkan untuk membuat
model konsep.
Bahan yang dipergunakan untuk tahap awal penelitian ini menggunakan Corrugated Board dengan sistem
double wall yang memiliki ketebalan 12mm, yang kemudian dipola dan dirakit tanpa adanya bahan perekat.
Teknik pemotongan menggunakan cutter dan alat bantu penggaris dari material logam.
Gambar 4.1 Tahap eksplorasi dengan bahan corrugated board
Bahan Corrugated Board dipola dan dirakit tanpa adanya bahan perekat. Bahan ini dipilih karena
karakternya yang mudah untuk dipotong, dipola, kemudian tingkat kekakuan yang rendah (mudah terlipat),
sehingga apabila bahan ini sudah cukup kuat secara konstruksi, maka dapat dipastikan apabila
menggunakan bahan bambu laminasi akan lebih kuat lagi. Model konsep yang sudah jadi kemudian diuji
kekuatan konstruksinya dengan cara diduduki. Model yang kurang kuat kemudian diperbaiki dan kembali
diuji kekuatannya. Hasil dari tahap eksplorasi ini dapat dilihat pada gambar 4.2.
Desain | 13
Gambar 4.2 Tahap Eksplorasi tahap 1
Untuk dapat memfokuskan desain pada tahap selanjutnya, maka dari tahap eksplorasi ini kemudian dibuat
kedalam 2 klasifikasi model, yaitu elemen dan unit. Dari masing-masing klasifikasi model ini akan dibuat
pengembangan desain dengan batasan desain sesuai klasifikasinya.
Gambar 4.3 Rencana Tahapan Design Development dan Prototyping
Desain | 14
Gambar 4.4 Pengelompokan Eksplorasi tahap 1
4.2 Tahap Pengembangan Desain
Para mahasiswa umumnya memiliki kamar dengan ukuran sempit dan mereka kebanyakan hanya memiliki
sepeda motor sebagai alat transportasi, sehingga banyak di antara mereka yang memaksakan dirinya untuk
mengangkut dengan susah payah atau diangkut dengan menyewa kendaraan.
Gambar 4.5 Faktor mobilitas yang kurang pada meubel yang ada di pasaran
Untuk itu, pengembangan desain selanjutnya difokuskan pada sistem furnitur yang mudah untuk dikemas
dan dirangkai kembali dengan teknologi sederhana namun efektif untuk memecahkan masalah mobilitas
dan keterbatasan ruang.
Desain | 15
4.3 Tahap Desain Akhir
Desain Terfokus adalah berupa Modul-modul yang dapat disusun dengan struktur besi, dengan
mempertimbangkan tingkat kekakuan dan kemampuan untuk menopang beban dari benda pengisinya.
Adapun Desain modul dapat dilihat pada Gambar 4.6 dibawah ini.
Gambar 4.6 Sketsa Pengembangan Desain Terfokus
4.4 Kegiatan Pembuatan Prototype
Untuk pembuatan Prototype diperlukan keahlian khusus dari pengrajin Furnitur dan dikerjakan di
workshop. Untuk itu dalam penelitian ini, tim peneliti berkerjasama dengan workshop Bengkel Hijau yang
berlokasi di Pasir Impun, Bandung. Berikut adalah dokumentasi dari proses pembuatan Prototype yang
dilakukan.
1. Proses Pembuatan Alat Bending
Untuk membuat modul pengujian, tim Peneliti mencoba menggunakan bahan bambu laminasi.
Pembuatan dengan teknik ini memerlukan Alat Bending sebagai alat bantu membuat lapisan demi
lapisan bambu. Alat ini sendiri dibuat dari bahan plat besi dengan ketebalan 3mm. Proses produksi
alat bending dilakukan di workshop.
Desain | 16
Gambar 4.7 Alat Bending
2. Proses Pelapisan bambu laminasi
Bambu yang sudah dibuat menjadi lembaran panjang-panjang dipress dan dipola dengan alat
bending serta diberi lem kayu. Kemudian setelah dipola dipress dengan alat press dan dibiarkan
selama 5 menit tiap lapisan. Demikian seterusnya proses tersebut diulang-ulang sehingga
diperoleh ketebalan yang diinginkan. Adapun prosesnya dapat dilihat di Gambar 4.8.
Gambar 4.8 Proses pembuatan Prototype
Pada tahap 2 ini tim menemui kendala dengan bahan baku bambu yang digunakan. Karena sudut dari
bending yang terlalu tegak lurus mengakibatkan terjadi cracking pada modul. Untuk itu prototype dengan
bahan bambu laminasi ini dinilai kurang tepat.
Desain | 17
Gambar 4.9 Cracking pada proses Prototyping
4.5 Tahap Evaluasi
Beberapa catatan sebagai evaluasi dari Penelitian ini antara lain :
- Bahan baku bambu lembaran cenderung mudah patah apabila ditekuk dengan sudut tajam
- Proses pembuatan dengan teknik bambu laminasi masih belum dikuasai oleh pengrajin lokal
karena tingkat kesulitannya cukup tinggi dan rumit dan memakan waktu yang cukup lama untuk
proses pengeringan lapisan demi lapisannya
- Resiko kegagalan cukup tinggi. Apabila diproduksi untuk skala komersil dinilai tidak efektif
- Tingkat kerapihan sulit dicapai karena keterbatasan keahlian dari pengrajin
4.6 Rencana Kelanjutan Kegiatan
Penelitian ini dapat dikembangkan dengan cara :
- Mengganti bahan baku dengan bahan yang lebih kaku dan mudah dalam pembuatannya. Bahan
lain yang dapat dipertimbangkan adalah bahan dasar kayu, baik kayu solid ataupun kayu olahan
(ex. MDF, Multipleks, dll)
- Mengembangkan variasi desain-desain lainnya dengan menggunakan sistem yang sama (flat pack)
- Melakukan riset terhadap kemasan modul dengan menggunakan bahan baku murah
- Melakukan riset terhadap reaksi pasar terhadap produk untuk mencari pendapat mengenai
kekurangan dan kelebihan produk, kemudian melakukan perbaikan terhadap desain
Program ini dapat membuka potensi kerjasama dengan industri bambu yang ada di Jawa Barat khususnya,
serta Indonesia umumnya, dalam kasus ini industri furnitur. Institusi (ITENAS) memiliki sumber daya
kreatif dalam bidang desain, sedangkan industri memiliki tenaga ahli di bidang produksi. Keduanya dapat
bersinergi untuk menghasilkan produk-produk unggulan yang mampu bersaing dengan produk dari negara
lain.
5. Kesimpulan
Tujuan dalam proposal belumlah sepenuhnya tercapai. Hal ini dikarenakan faktor teknis dalam bahan baku
yang belum sepenuhnya dipahami karakternya oleh pengrajin sehingga dalam proses pembuatan prototype
Desain | 18
masih ditemui kendala. Berdasarkan tahap evaluasi sebagaimana disampaikan pada sub-Bab 4.6,
diperlukan penelitian selanjutnya yang dapat memperbaiki kekurangan dari penelitian ini.
Daftar Pustaka
[1] Bamboo Style by Gale Beth Goldberg (Sep 15, 2004)
[2] Design and Manufacture of Bamboo and Rattan Furniture (General Studies) by United Nations
Industrial Development Organization (Jun 1996)
[3] How to Build with Bamboo by Jo Scheer (Jan 3, 2005)
[4] How-to Bamboo: Simple Instructions And Projects by Paul N. Hasluck (Dec 2006)
[5] Indonesia Wood, Bamboo, Furniture, Household Export-import and Business Opportunities
Handbook by IBP USA (Jul 20, 2010)
[6] The Craft & Art of Bamboo, Revised & Updated: 30 Eco-Friendly Projects to Make for Home &
Garden by Carol Stangler (Jan 6, 2009)
[7] Uncovering the Bamboo of Indonesia by Dwinita Larasati. Jurnal Ilmu Desain, FSRD ITB, Vol 1. no
3, 2006, pp.117-190.
Desain | 19
Desain Elemen Interior Ruang dari Limbah Plastik dengan
Pendeketan Eksplorasi 3R (Reduce-Reuse-Recycle)
Iyus Kusnaedi
Jurusan Desain Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain
Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung
Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124
E-mail: iyus_kusnaedi@yahoo.com
ABSTRAK
Di kota-kota besar sampah non organik berupa limbah plastik ternyata masih sangat sulit untuk
dihancurkan dan membutuhkan waktu untuk bisa mengurainya. Eksplorasi limbah plastik menjadi karya
baru yang bermanfaat tanpa harus diurai dan dihancurkan merupakan salah satu solusinya. Di antara
pengolahan limbah plastik yang sudah banyak dilakukan upaya mengolah untuk menjadikan barang desain
untuk interior ruang mulai banyak dilakukan yang membuat alternatif bisa lebih banyak. Dengan
pendekatan konsep 3R (Reduce-Reuse-Recycle) limbah plastik bisa dijadikan produk baru yang berfungsi
baru. Material elemen interior yang bersifat hayati akan habis dan dibutuhkan material baru sebagai
penggantinya. Eksplorasi limbah plastik diharapkan dapat menjawab tantangan untuk melahirkan material
pengganti yang selama ini dipakai di interior yang lebih variatif, mudah didapat dan tentunya memiliki
nilai ekonomis. Melalui ekplorasi dengan pendekatan konsep 3R (Reduce-Reuse-Recycle) secara design by
doing diharapkan bisa menjadi sebuah industry kreatif yang dapat memberdayakan masyarakat khususnya
pengolahan limbah plastik menjadi wall system. Dengan kreatifitas, limbah plastik ternyata dapat
dieksplor menjadi produk dinding untuk interior tuang.
Kata Kunci: plastik, interior, design by doing, dinding
1. Pendahuluan
Pola pengelolaan sampah yang dilakukan di beberapa kota di Indonesia sebagai berikut: diangkut dan
ditimbun di TPA (69%), dikubur (10%), dikompos dan didaur ulang (7%), dibakar (5%), dan sisanya tidak
terkelola (7%). Saat ini lebih dari 90% kabupaten/ kota di Indonesia masih menggunakan sistem open
dumping atau bahkan dibakar. Pada saat ini, upaya pemilahan dan pengolahan sampah masih sangat minim
sebelum akhirnya sampah ditimbun di TPA. Jika kebijakan ‘do nothing’ tetap dilaksanakan, maka
kebutuhan lahan untuk TPA akan meningkat menjadi 1.610 hektar pada tahun 2020. Dilema sulitnya
pengadaan lahan TPA mendorong Pemerintah Indonesia (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
pada tahun 2014 untuk menggagas lahirnya komitmen “Indonesia Bersih Sampah 2020”. Upaya
pengurangan timbulan sampah tanpa menghilangkan nilai guna dan nilai ekonominya menjadi tantangan
pengelolaan sampah ke depan bagi Pemerintah Indonesia.
Sampah yang dihasilkan Indonesia secara keseluruhan mencapai 175.000 ton per hari atau 0,7 kilogram per
orang. Sayangnya, pada 2014, data statistik sampah di Indonesia mencatat bahwa Indonesia menduduki
negara penghasil sampah plastik kedua terbesar di dunia setelah Cina. Jumlah sampah di Indonesia akan
terus meningkat jika penanganan sampah belum serius. Diprediksikan, pada 2019, produksi sampah di
Indonesia akan
Hijrah Putra, 2010 menyimpulkan bahwa sampah plastik memiliki bahaya yang cukup besar bagi
keberlangsungan hidup manusia, oleh karena itu diperlukan suatu usaha yang serius oleh berbagai pihak
untuk mengelolanya. Karena disamping bahaya yang ditumbulkannya, plastik sekaligus memiliki potensi
yang menjanjikan untuk dikembangkan sebagai produk dan jasa kreatif. Belum banyak yang
Desain | 20
mengembangkan produk dari limbah plastik dibanding dengan usaha sebagai pengepul dan dijual kembali
dan kemudian dihancurkan, sedikit yang dikembangkan menjadi produk baru yang bermanfaat.
Safinia & Alkalbani, 2016 menyatakan bahwa hasil penelitian pembuatan bata beton yang terbuat dari botol
plastik selain lebih kuat 57% dari bata beton biasa juga memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena bahan-
bahannya mudah dijumpai, namun masih perlu dikembangkan dari sisi desain apabila penggunaan bata
beton botol plastik ini akan dipakai secara ekspos. Hal ini perlu penelitian lebih lanjut bagaimana
mengeksplorasi sehingga tampilan desain nya bisa lebih baik lagi. Dalam penelitian lain Prochazkova,
2015, menghasilkan produk dinding dari bahan campuran limbah plastik namun membutuhkan ukuran
dinding yang tebal sehingga terkesan berat, dan masih perlu penelitian lanjutan sehingga produk yang
dihasilkan butuh space yang tidak terlalu tebal. Menurut Kusnaedi, 2016, Dengan sentuhan kreativitas,
sampah plastik khususnya botol plastik memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi produk baru yang
lebih bermanfaat. Dalam hal ini potensi untuk Interior bisa jadi berasal dari limbah plastik.
Limbah plastik yang banyak dijumpai di sekitar kita, perlu diolah secara tepat sehingga dapat lebih
bermanfaat lagi dikemudian hari. Banyak upaya untuk mengurangi sampah yang di ataranya mengurangi
(Reduce) , mengunakan kembali (Reuse), dan Recycle (mendaur ulang) sampah.
1.1. Maksud
Sebagai salah satu upaya penanggulangan sampah khususnya limbah plastik yang dikelola dan dieksplor
dan dikembangkan menjadi produk elemen interior secara kreatif dengan pendekatan konsep 3R,
diharapkan dapat memberikan solusi mengurangi jumlah sampah dan dapat memberikan peluang usaha
baru untuk masyarakat.
1.2. Tujuan
- Mengurangi dan memanfaatkan sampah khususnya sampah plastik menjadi bentuk baru yang
bermanfaat khususnya di bidang interior.
- Membuat produk baru yang dapat dimanfaatkan kembali dengan fungsi lain yang bersifat recycle
- Dengan konsep 3R masyarakat sadar akan pentingnya pemanfaatan sampah yang tidak harus selalu
dibuang.
1.3. Manfaat
- Mengurangi dan memanfaatkan sampah khususnya sampah plastik menjadi material baru khususnya
untuk interior ruangan.
- Membuat desain baru yang dapat dimanfaatkan kembali dengan fungsi lain yang dapat diaplikasikan
untuk kebutuhan interior ruangan.
- Membantu membuka peluang usaha baru bagi masyarakat
2. Bahan & Metode Penelitian
Dalam penelitian ini bahan utama yang dijadikan objek penelitian adalah limbah plastik dengan kode : 1
(PET / PETE : Polyethylene Terephthalate), 3 (PVC : Polyvinyl Chloride), 4 (LDPE : Low Density
Polyethylene), 5 (PP : Polypropylene) dan 6 (PS : Polystyrene), di mana selain kuat, anti air, mudah ditemui,
mempunyai desain yang bagus, murah, ringan juga lentur dan mudah dibentuk. Limbah plastik didapat dari
sampah kampus Itenas & dari pengepul yang sudah dipilah dan masih bagus dan baik bentuknya.
Penelitian ini berfokus pada eksplorasi limbah plastik menjadi karya baru khususnya wall system yang
menunjang untuk interior ruang, maka metode pendekatan yang digunakan dengan tahapan sebagai berikut
:
- Identifikasi dan analisa
Desain | 21
- Dilakukan untuk mengklasifikasi jenis dan memilah limbah plastik yang bisa dikembangkan.
- Observasi dan wawancara
- Dilakukan dalam rangka studi banding dan mengetahui sejauh mana dan kemungkinan plastik bisa
dimanfaatkan untuk desain interior wall system
- Workshop/ Pelatihan
- Workshop yang melibatkan 16 partisipan dari mahasiswa Desain Interior Itenas dilakukan dengan
cara praktik langsung design by doing mengeksplor kemungkinan alternatif pengembangan limbah
plastik mulai dari proses pencarian sampai ke sketsa desain.
- Proses Pembuatan Prototype
- Pada tahap ini hasil sketsa desain dikembangakan menjadi beberapa prototype
3. Hasil & Pembahasan
3.1. Eksplorasi dan Potensi Pengembangan
Produk-produk plastik sangat banyak dan bisa diklasifikasi, yang terdiri dari 7 yang dapat disimbolkan
yaitu jenis yang bersimbol 1 (PET / PETE : Polyethylene Terephthalate), 2 (HDPE : High Density
Polyethylene), 3 (PVC : Polyvinyl Chloride), 4 (LDPE : Low Density Polyethylene), 5 (PP : Polypropylene),
6 (PS : Polystyrene) dan 7 other.
Gambar 1. Contoh produk-produk & Simbol-simbol Plastik
(sumber : Pravitasari, 2009)
Limbah plastik yang banyak dijumpai dan diekslpor dalam penelitian ini difokuskan pada kode : 1 (PET /
PETE : Polyethylene Terephthalate), 3 (PVC : Polyvinyl Chloride), 4 (LDPE : Low Density Polyethylene)
& 6 (PS : Polystyrene).
Wokshop
Dalam penelitian ini untuk memudahkan peneliti dalam mengeksplorasi limbah plastik menjadi elemen
interior perlu keterlibatan mahasiswa sebagai partisipan. Partisipan diarahkan untuk mengeksplor limbah
plastik untuk dijadikan elemen interior berupa wall system, Wokshop diselenggarakan pada tanggal 3 Mei
Desain | 22
2017 sebanyak 42 orang. Dalam workshop ini , setelah diberikan materi awal & petunjuk khusus ,
mahasiswa kemudian bereksperimen dan mengeksplor potensi limbah plastik untuk bisa dijadikan wall
system.
Gambar 2. Workshop eksplorasi limbah plastik
Dengan menggunakan bahan limbah plastik dan alat-alat yang disediakan, akhirnya 16 partisipan yang
terbagi menjadi 5 kelompok miminal dapat mengeksplor 2 alternatif pengembangan wall system.
3.2. Pengembangan Desain
Sebagai lanjutan eksplorasi dari workshop limbah plastik, partisipan bersama peneliti bersama-sama
mengembangkan desain yang akan dibuat prototype. Berikut beberapa sketsa awal pembuatan wall system:
Gambar 3 & 4. Beberapa sketsa desain partisi
Desain | 23
Setelah sketsa desain dilakukan, sebelum dilanjutkan dengan pembuatan prototype wall system dilakukan
pembuatan image desain 3D . Berikut contoh pengembangan alternatif wall system yang dalam hal ini
desain partisi yang dipilih.
Gambar 5 & 6. Beberapa alternatif desain partisi
Gambar 7. Beberapa alternatif desain partisi
3.3. Prototype
Setelah image desain 3D, maka dilanjutkan dengan pembuatan prototype wall system. Berikut contoh
pengembangan alternatif wall system yang dalam hal ini desain partisi yang dipilih.
Gambar 8 & 9. Prototype desain partisi dari plastik makanan kode 3 (PVC) dan 6 (PS).
Desain | 24
Gambar 10 Prototype desain desain partisi dari pipa PVC kode 3 (PVC)
Gambar 11 & 12. Prototype desain partisi dari kantong plastik keresek kode 4 (LDPE) & pipa PVC 3
(PVC)
Dalam proses pembuatan prototype interior wall system terdapat pengembangan dari sketsa awal, hal ini
terbentur mengenai teknis, waktu serta tampilan hasil akhir sehingga dapat meningkatkan nilai dari estetika
wall system tersebut, baik nilai ekonomis dan daya jual jika prototype hasil pengembangan ini dipasarkan.
4. Kesimpulan
- Dengan sentuhan kreativitas, limbah plastik memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi produk
baru yang lebih bermanfaat terutama untuk material interior.
- Pengembangan desain wall system yang berbahan dasar limbah plastik ternyata bisa banyak untuk
dikembangkan serta bisa dipadupadankan dengan bahan plstik lainnya.
- Hasil desain pengolahan limbah menjadi wall system tidak hanya befungsi sebagai pembatas ruang,
bisa berfungsi lebih atau juga tematik
Desain | 25
Daftar Pustaka
[1] Halliwelll, J., Lambert, B. 2004. Revise for Product Design: graphics with materials technology.
UK: Heinemann Educational publishers.
[2] Hermono, Ulli. 2009. Inspirasi dari Limbah Plastik. Kawan Pustaka. Jakarta.
[3] Kusnaedi, Iyus.2016. Ekplorasi Sampah Botol Plastik Menjadi Produk Pendukung Interior Ruangan
dengan Pendekatan 3R (Reduce-Reuse-Recycle), Prosiding Seminar Nasional Rekayasa dan Desain
Itenas 2016, ISBN : 978-602-74127-12, LPPM Itenas, hal 28-35
[4] Pamungkas, T.A. 2006. Iswanto: Bukan Membuang tapi Mengelola, dalam Sampah Dilema Manusia
Modern dan Krisis Ekologi. Balairung Jurnal Mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Edisi 39.
Yogyakarta.
[5] Prochazkova, Zdenka, 2015, Recycled plastic material properties defined by nanoindentation,
Research article, Advanced. Mater. Letter. 2016, 7(1),78-82 (diunduh 23 Maret 2017 22:01)
[6] Purnama Putra, Hijrah dan Yebi Yuriandala, 2010, Studi Pemanfaatan Sampah Plastik Menjadi
Produk dan Jasa Kreatif, Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan, ISSN: 2085‐1227 , Volume 2,
Nomor 1, Januari 2010, Halaman 21‐31, Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia.
[7] Puspitawati, Yuni & Mardwi Rahdriawan, 2012. Kajian Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat
dengan Konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle) di Kelurahan Larangan Kota Cirebon, Jurnal
Pembangunan Wilayah dan Kota Biro Penerbit Planologi Undip Volume 8 (4): 349‐359 Desember
2012
[8] Pravitasari, Anita. 2009. Simbol Daur Ulang pada Botol dan Kemasan Plastik, didownload dari
http://majarimagazine.com/2009/02/simbol-daur-ulang-pada-botol-dan-kemasan-plastik/ (diunduh
5 April 2016, 14:10)
[9] Safinia, Sina & Amani Alkalbani, 2016, Use of Recycled Plastic Water Bottles in Concrete Blocks,
Creative International prociding, Construction Conference 2016 (diunduh 24 Maret 2017 17:39)
[10] http://www.menlh.go.id/rangkaian-hlh-2015-dialog-penanganan-sampah-plastik/ (diunduh 6 April
2016, 22:35)
[11] http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2015-02-13/indonesia-nomor-2-terbanyak-membuang-
sampah-plastik-di-lautan/1414921 (diunduh 6 April 2016, 23:45)
[12] http://geotimes.co.id/2019-produksi-sampah-di-indonesia-671-juta-ton-sampah-per-tahun/ (diunduh
6 April 2016, 23:55)
[13] http://regional.liputan6.com/read/2416636/setiap-hari-200-ton-sampah-plastik-banjiri-kota-
bandung (diunduh 8 April 2016, 24:32)
[14] http://regional.liputan6.com/read/2416636/setiap-hari-200-ton-sampah-plastik-banjiri-kota-
bandung (diunduh 8 April 2016, 24:32)
[15] http://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2013/11/Konsp-Bank-Sampah-diterapkan-dalam-
project-B-Indonesia.jpg (diunduh 24 Maret 2017 13:32)
[16] http://media.gettyimages.com/photos/worker-walks-past-a-wall-made-of-recycled-plastic-bottles-
at-the-picture-id98439104 (diunduh 23 Maret 2017 22:50)
[17] http://2.bp.blogspot.com/-iYKXnGF879o/TWCeP-0zF-
I/AAAAAAAAACc/WMHTHygPz3Y/s1600/Flora+Expo+2011+037.JPG (diunduh 23 Maret 2017
22:52)
[18] https://cdn.thinglink.me/api/image/505717954332065792/1240/10/scaletowidth (diunduh 10 Agustus
2017, 20:34)
[19] http://sabangplas.com/media/2016/05/sabang-jenis-plastik.jpg (diunduh 10 Agustus 2017, 20:41
Desain | 26
Peningkatan Kualitas Lingkungan di IKM Alas Kaki Melalui
Perancangan Tata Ruang dan Perbaikan Alat Bantu Produksi Dengan
Konsep Bengkel Sehat
Boyke Arief Taufik Firdaus1, Muhamad Arif Waskito2 1 Jurusan Desain Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITENAS, Bandung 2 Jurusan Desain Produk, Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITENAS, Bandung
Jl. PKH. Mustapha No. 23, Bandung 40124
E-mail: boyke@itenas.ac.id, mawaskito@yahoo.com
ABSTRAK
Kondisi lingkungan kerja di suatu area industri menjadi sangat mempengaruhi kualitas dan produktivitas
kerja dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Adanya keterkaitan antara manusia, aktivitas, sistem,
fasilitas, ruang dan lingkungan tidak bisa dinafikan keberadaannya karena aspek-aspek tersebut akan
selalu saling mempengaruhi seiring perkembangan usaha dari industri yang bersangkutan. Sedangkan
pada kondisi riil dari lingkungan kerja di bengkel-bengkel produksi IKM sektor alas kaki umumnya masih
jauh dari kondisi ideal, khususnya jika dikaitkan dengan aspek kesehatan dan keselamatan kerja. Kondisi
lingkungan yang sangat rentan terhadap kesehatan manusia dan situasi existing ruang yang mengganggu
aktivitas kerja tersebut tentunya sangat mempengaruhi produktivitas industri itu sendiri. Melihat kondisi
tersebut maka diperlukan usaha-usaha khusus yang berkaitan dengan perbaikan secara fisik melalui
perbaikan tata ruang dan fasilitas kerja, maupun perbaikan mental berupa pembentukan sikap, perilaku,
kebiasaan yang dibentuk melalui penerapan sistem regulasi pelaksanaan kegiatan-kegiatan di bengkel
kerja.
Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan deskriptif-partisipatif, dimana kondisi-kondisi riil yang
berkaitan antara ruang dan manusia digambarkan secara komprehensif hingga dapat diidentifikasi
masalah dan solusinya. Untuk mendapatkan konklusinya, pada proses riset ini dilibatkan juga para pelaku
usaha sebagai subjek yang terlibat langsung dalam kondisi ruang kerja tersebut, hingga didapat umpan
balik yang spesifik dari situasi kerja yang menjadi pangkal permasalahannya. Adapun hasil dari penelitian
ini diharapkan dapat memperbaiki kinerja dari para pelaku usaha IKM sektor alas kaki dalam bentuk
peningkatan produktivitas dan perbaikan kualitas hidupnya melalui perbaikan kualitas lingkungan kerja
yang lebih baik.
Kata kunci: ruang kerja, bengkel alas kaki, produktivitas
ABSTRACT
The condition of the working environment in an industrial area greatly affects the quality and work
productivity of the people involved in it. The existence of interconnection between human, activity, system,
facility, space and environment can not be denied existence because of these aspects will always influence
each other as business development of the industry concerned. While in the real condition of the working
environment in SME's production workshops the footwear sector is generally still far from ideal conditions,
especially if associated with aspects of occupational health and safety. Environmental conditions are very
vulnerable to human health and the existing situation of space that interfere with the work activities of
course greatly affect the productivity of the industry itself. Seeing these conditions
Desain | 27
requires special efforts related to physical improvement through improvements in spatial and work
facilities, as well as mental improvement in the form of attitudes, behaviors, habits established through
the implementation of the regulatory system implementation of activities in the workshop.
This research is conducted through a descriptive-participative approach, where the real conditions
relating to space and human are described comprehensively so that problems and solutions can be
identified. To get the conclusions, in this research process involved also the business actors as the
subject directly involved in the condition of the workspace, to obtain specific feedback from the work
situation that became the base of the problem. The results of this study are expected to improve the
performance of SMEs in footwear sector in the form of increased productivity and improvement of
quality of life through improving the quality of work environment better.
Keywords: workspace, footwear workshop, productivity
1. Pendahuluan
Produktivitas manusia yang bekerja dalam sebuah organisasi proses produksi pada sebuah unit kerja
merupakan faktor penting yang selalu dipantau, dievaluasi dan dijaga kualitasnya. Baik atau buruk
produktivitas dari hasil kegiatan tersebut tentunya akan mempengaruhi kinerja unit usaha secara
langsung. Salah satu aspek yang mempengaruhi produkstivitas kerja adalah pengaruh lingkungan dalam
bentuk suasana dan kondisi ruang yang dirancang khusus sesuai dengan bentuk aktivitas didalamnya.
Sehgal mengatakan bahwa sekitar 86% dari masalah produktivitas berada di lingkungan kerja sebuah
organisasi. Lingkungan kerja berpengaruh terhadap kinerja karyawan (2012:1). Dengan demikian jelas
ada keterkaitan yang erat antara suasana lingkungan dengan kinerja manusia yang ada di dalamnya.
Seperti juga lingkungan kerja lainnya, dalam sebuah bengkel (workshop) sepatu terdapat beberapa
elemen yang saling terikat satu dengan lainnya yang kemudian membentuk kinerja lingkungan dalam
bentuk produktivitas kerja. Elemen-elemen yang terdiri dari ruang, aktivitas, manusia, sistem dan
lingkungan tersebut kemudian menghasilkan output yang kualitasnya juga bergantung pada performa
dari elemen-elemen itu sendiri. Namun jika melihat manusia sebagai subjek yang memegang peranan
terpenting dan menentukan hasil dari kinerja sistem tersebut, maka ia juga akan sangat dipengaruhi oleh
elemen-elemen lainnya sebagai objek pendukungnya. Dalam sebuah organisasi bengkel sepatu
sederhana, manusia akan memiliki peranan vital dimana setiap aktivitas yang dilakukannya akan
merujuk pada kondisi lingkungan yang mendukungnya. Tata ruang yang baik akan mempenaruhi
kenyamanan dan daya tahan manusia yang bekerja di dalamnya meskipun beban yang diterimanya
berlangsung dalam kondisi yang terus menerus. Disamping itu peralatan pendukung kerja yang
memadai, kondisi ruangan yang cukup cahaya, cukup udara, ruang gerak yang leluasa tentunya sangat
mempengaruhi kondisi kerja mereka. Namun sayang pada kenyataaannya bengkel-bengkel sepatu/ alas
kaki yang banyak berkembang di Indonesia, khususnya di Bandung memiliki kondisi lingkungan yang
jauh dari kelayakan sebagai area kerja. Seperti halnya di wilayah Cimenyan, bengkel-bengkel sepatu
yang terdapat disana atau pun yang tersebar di sekitar Bandung masuk dalam katagori industri kecil-
menengah (IKM) yang nota bene terbentuk dari industri rumah tangga yang memanfaatkan ruang-ruang
rumah tinggalnya sebagai tempat kerja. Tidak jarang jika kamar tidur menjadi gudang penyimpanan
bahan baku atau pun bahan-bahan perekat, ruang keluarga menjadi area kerja memotong pola dan
menjahit upper, dapur tempat pemasangan sol (lasting) dan pekerjaan-pekerjaan lainnya sehingga
fungsi rumah tinggal di malam hari kemudian beralih fungsi sebagai bengkel kerja pada siang harinya.
Penataan dan menentukan fungsi ruang di bengkel sepatu sudah tidak lagi mengikuti kaidah-kaidah
ideal sebagai tempat kerja atau pun sebagai rumah tinggal yang layak baik dilihat dari sisi fungsi, luasan
area, pencahayaan, sirkulasi udara dan aspek psikologis lainnya agar tempat kerja tersebut dapat terasa
nyaman ketika dipakai bekerja.
Desain | 28
Kondisi bengkel sepatu yang dianggap tidak layak juga tidak hanya dilihat dari faktor teknis saja, tapi
juga kondisi tersebut akan diperparah lagi dengan adanya bahan-bahan yang membahayakan kesehatan
manusia seperti bau menyengat yang berasal dari bahan perekat, bahan pengencer (thiner/ wash banzen),
cat kulit, juga potongan-potongan kulit yang biasanya dimusnahkan dengan cara dibakar. Kondisi
tersebut tentunya sangat membahayakan kesehatan atau pernafasan dari anggota-anggota keluarga yang
tinggal di bengkel, khususnya anak-anak.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka dalam melakukan kegiatan kerjanya sangatlah dibutuhkan fasilitas
ruang beraktifitas yang mampu memfasilitasi budaya kerja serta memberikan kenyamanan ruang yang
berkualitas, yang juga dapat memberikan dampak yang baik bagi kesehatan serta produktifitas kerja
penggunanya. Selanjutnya, penelitian ini akan mengungkap relasi antara elemen pembentuk ruang
secara interpretative sehingga dapat dijadikan sebagai sebuah usuluan dasar kriteria dalam merancang
ruang untuk aktifitas kerja yang ideal dan berkelanjutan pada industri kecil dan menengah.
Beberapa hal yang menjadi tujuan dari penelitian ini antara lain : Mengidentifikasi permasalahan yang
berkaitan dengan kondisi ruang kerja yang efektif untuk menunjang produktivitas para pelaku usaha
industri kecil di sektor alas kaki, Menelaah faktor-faktor yang berpotensi menciptakan bahaya kesehatan
yang dapat terjadi di bengkel-bengkel sepatu, khususnya akibat alih fungsi ruang di tempat tinggal
menjadi ruang kerja, dan Membuat konsep perancangan tata ruang dan alat bantu produksi bengkel alas
kaki yang berorientasi pada kesehatan, keamanan dan keselamatan area kerja (K3).
Adapun yang menjadi Urgensi Penelitian diantaranya; Perlunya ada usaha mengidentifikasi masalah
yang berkaitan dengan kondisi ruang kerja yang efektif untuk menunjang produktivitas para pelaku
usaha industri kecil di sektor alas kaki, Pentingnya menjaga kualitas ruang kerja yang sehat berdasarkan
kriteria keselamatan dan kesehatan kerja untuk menunjang kegiatan di bengkel alas kaki, Penting untuk
membuat strategi pembentukan mentalitas kerja yang berwawasan lingkungan dengan
mengimplementasikan nilai-nilai tersebut melalui perancangan ruang kerja dan alat bantu produksi yang
digunakan di bengkel alas kaki tersebut.
2. Metode Penelitian
Pada penelitian ini akan dilakukan melalui metode kualitatif pastisipatif dimana objek riset akan
dilibatkan dalam merancang dan mengambil keputusan atas tindakan-tindakan desain yang akan
dilakukan agar objek riset dalam hal ini memahami pula keterkaitan antara latarbelakang keputusan dan
tujuannya dalam merancang bengkel produksi yang berkonsep lingkungan sehat ini.
2.1 Kerangka berpikir penelitian
Untuk mempermudah pemetaan jenis kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan dalam penelitian ini, maka
dibuat skema/ bagan alur yang menunjukkan setiap kegiatan terebut beserta dengan target-target
capaainnya. Dalam bagan alur ini ditunjukkan bahwa pendekatan atas permasalahan-permasalahan yang
telah teridentifikasi tersebut dibagi dalam dua kelompok kegiatan penelusuran. Kelompok pertama
adalah kegiatan yang berkaitan dengan penelusuran permasalahan yang masuk dalam ruang lingkup
kondisi-kondisi yang terkait dengan aspek-aspek peningkatan efektifitas kerja. Sedangkan kelompok
kajian lain adalah yang berkaitan dengan permasalahan pengembangan desain ruang kerja yang ideal
secara teknis dan kesehatan kerja
Desain | 29
Pembagian tahapan dalam penelitian ini seperti pada tabel di bawah ini;
Tabel Pembagian Tahapan Penelitian.
No Jenis Kegiatan Metode pencapaian Indikator Keberhasilan
1.
Identifikasi permasalahan-
permasalahan lingkungan
yang berkaitan dengan
kegiatan proses produksi
Melakukan observasi lingkungan kerja
(field study), pengumpulkan data primer
yang berkaitan dengan alur produksi, jenis
kegiatan, perilaku manusia, dan existing
luas ruang kerja
1. Didapatkan kesimpulan tentang masalah-
masalah kerja dan lingkungan yang terjadi di
bengkel produksi alas kaki
2. Dirumuskannya konsep antisipatif untuk
mereduksi permasalahan yang diakibatkan
kompleksitas alur produksi dengan tata ruang
kerja
2.
Mengidentifikasi batasan
masalah yang berkaitan
dengan manusia, aktivitas,
ruang dan sarana kerja,
serta regulasi kesehatan
dan keamanan kerja
Melakukan studi literatur, wawancara
nara sumber, melakukan pengamatan
untuk mengidentifikasi dan
merekapitulasi data.
1. Disusunnya kriteria-kriteria teknis untuk
mendukung terbentuknya lingkungan kerja
dengan standar kesehatan lingkungan yang
lebih layak
2. Dirumuskannya konsep antisipatif untuk
mereduksi permasalahan efektifitas kerja dan
sarana bantu kerja yang mampu mereduksi
polusi akibat debu dan penurunan kualitas
udara dalam ruang
3.
Melakukan proses analisis
terhadap aspek-aspek
desain yang terkait dengan
permasalahan lingkungan
kerja
Melakukan analisis dan sintesis atas
permasalahan yang berkaitan dengan tata
ruang, perumusan kerja efektif, ergonomi
kerja, kualitas lingkungan, kesehatan dan
keselamatan kerja
1. Dihasilkannya alternatif desain tata ruang
kerja yang mengutamakan efektifitas kerja
dan peningkatan kualitas lingkungan
2. Ditentukannya salah satu alat bantu
produksi di industri alas kaki yang
perancangannya memperhatikan perbaikan
kualitas lingkungan kerja
4. Perancangan dan
Implementasi desain
Melakukan proses perancangan ruang
kerja yang berbasis lingkungan dan
pembuatan produk/ sarana kerja yang
berorientasi kesehatan dan keamanan kerja
1. Dibuatnya sketsa dasar pengembangan ruang
kerja dan alat bantu produksi yang akan
dijadikan output penelitian.
Gambar Skema kerangka berpikir penelitian
Desain | 30
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Identifikasi Permasalahan Yang Berkaitan Dengan Kondisi Ruang Kerja dan Kegiatan Proses
Produksi Industri Kecil di Sektor Alas Kaki.
Bengkel IKM Alas Kaki milik pak Dadang adalah salah satu dari beberapa IKM yang sama/sejenis,
yang berada di daerah Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, yang letaknya jauh di luar Sentra
industri Alas kaki Cibaduyut. Dengan berlokasi di Desa Ciparumpung Gunung, bengkelnya bersatu
dengan tempat tinggalnya, sehingga dari luar rumah tidak tampak terlihat bahwa ada aktivitas kerja
bengkel di dalamnya. Hanya pada saat-saat tertentu, seperti saat pesanan banyak, maka sesekali di teras
depan rumahnya tampak kegiatan kerja memproduksi Alas Kaki tersebut.
Luas bengkelnya ditambah ruang display kurang lebih hanya hampir sepertiga (17,2 M2) dari luas
bangunan keseluruhan rumahnya yang kurang lebih sekitar lima puluh delapan koma sembilan enam
meter persegi (58,96 M2). Semua aktivitas proses produksi terjadi di dalamnya, yang dilakukan pak
Dadang bersama dengan dua orang karyawannya. Sementara pada rumah tersebut juga ditinggali oleh
anggota keluarga pak Dadang yang terdiri dari seorang istri, dan tiga orang anaknya yang masih kecil-
kecil.
Seperti halnya yang terjadi pada umumnya di industri kecil dan menengah, yang seringkali
menggunakan rumah tinggal sebagai bengkel kerja, pada bengkel milik pak Dadang pun demikian.
Dimana aktivitas kerja dilakukan menyatu dengan aktivitas keseharian tinggal. Tanpa disadari
seringkali dapat mengganggu kelangsungan dari masing-masing aktivitas tersebut, baik dari sisi
aktivitas kerja yang tampaknya menjadi terbatasi ruang geraknya oleh berbagai aktivitas tinggal,
ataupun sebaliknya, kenyamanan tinggal menjadi terkurangi oleh aktivitas proses produksi yang
membutuhkan area/ruang gerak yang cukup leluasa.
Pada proses perancangan produk alas kaki dilakukan analisis-analisis karakteristik user, visual, serta
material yang ditemukan melalui observasi terhadap latar belakang user kemudian dipecahkan melalui
metoda design by drawing yaitu pengembangan desain melalui pembuatan sketsa-sketsa awal hingga
sketsa rendering sebagai teknik memvisualisasikan gagasan-gagasan yang didapat. Selain itu dilakukan
pula metoda design by doing yaitu mengimplementasikan sketsa-sketsa yang telah dibuat menjadi
produk jadi (prototyping). Untuk mendapatkan produk akhir dengan desain yang paling optimal,
prototype yang telah dibuat kemudian dievaluasi kekurangan-kekurangannya baik dari sisi teknis
maupun sisi desain yang selanjutnya dibuat produk sepatu lagi berdasarkan desain akhir yang telah
ditentukan.
Proses prototyping sebagai proses realisasi gagasan ke dalam bentuk produk riil dilakukan dalam
beberapa tahap pengerjaan, yaitu; Proses Penentuan Bentuk Sol, Proses Pembuatan Shoelas,
Pembuatan Pola Dasar, Perakitan Upper, Proses Tarik, dan Pemasangan Sol.
Dari proses pembuatan prototype ini dihasilkan dua buah sepatu yang bentuknya sesuai dengan desain
yang telah dibuat sebelumnya. Kemudian setelah itu sepatu-sepatu tersebut masuk dalam proses
evaluasi yang dilakukan oleh tim desainer dan didampingi oleh konsultan untuk dikaji bersama hingga
didapat produk yang sesuai dengan konsep pengembangan desain yang telah dirumuskan sebelumnya.
Semua tahapan proses produksi tersebut di atas sebagian besar dilakukan pada ruang dan tempat yang
dapat dikatakan seadanya, tidak dibuat adanya pembagian area yang jelas dan tidak terdapat alat bantu
khusus yang lengkap untuk setiap tahapannya. Selain alat bantu jahit pada tahap perakitan upper,
tahapan lainnya seperti tahap proses penentuan bentuk Sol, proses pembuatan Shoelas, pembuatan pola
dasar, pembuatan bagian-bagian pola sepatu, proses Tarik, maupun pemasangan Sol dilakukan dimana
Desain | 31
saja, bahkan lebih banyak dikerjakan hanya di atas lantai saja tanpa alat bantu khusus untuk setiap
tahapannya.
Dari sisi ketersediaan ruang atau area simpan dan kerja, pada bengkel Alas Kaki milik pak Dadang
tampaknya sangat perlu dibenahi. Walaupun kelihatannya sudah ada upaya pengelompokan tempat
untuk kerja dan menyimpan alat serta bahan, tetapi terlihat dapat dikatakan masih berantakan tidak
tertata dengan baik. Pengelompokan tempat untuk kerja dan simpan alat serta bahan yang dilakukan
belum disesuaikan dengan tahapan alur proses produksinya. Penataan ulang menjadi penting dilakukan
karena dengan tertatanya tempat untuk kerja dan simpan alat serta bahan sesuai dengan alur proses
produksi akan didapatkan adanya keteraturan, sehingga dapat menimbulkan kemudahan kerja dan
mempercepat waktu proses produksi.
Demikian halnya dengan pencahayaan yang digunakan pada area bengkel, terlihat masih kurang terang
untuk menerangi area kerja. Dengan hanya mengandalkan penerangan dari satu buah lampu TL
Daylight 40 Watt yang tertempel pada dinding, yang digunakan untuk penerangan seluruh proses
produksi yang dilakukan di bengkel. Walaupun pada siang hari penerangannya dibantu dengan adanya
bukaan jendela yang agak besar, tetapi tetap masih kurang terang, apalagi pada saat malam hari.
Dalam memproduksi alas kaki tidak akan terlepas dari adanya penggunaan bahan-bahan yang
membahayakan kesehatan manusia seperti bahan perekat, bahan pengencer (thiner/ wash banzen), dan
cat kulit. Bahan-bahan tersebut dapat menimbulkan bau yang menyengat, dan terhirup setiap saat oleh
setiap orang yang berada disekitarnya. Upaya untuk menghindarinya adalah dengan menyediakan
tempat khusus untuk proses kerja pengeleman, pencampuran, maupun pengecatan yang terpisah dengan
aktivitas kerja lainnya. Juga dengan membuat media pertukaran udara yang cukup, misalnya dengan
terdapatnya lubang-lubang ventilasi dan pemasangan kipas angin, agar bengkel tidak terasa pengap. Hal
ini juga masih terlihat kurang diperhatikan pada bengkel pak Dadang. Tidak terdapat kipas angin, dan
lubang ventilasi yang ada kurang besar serta kurang banyak.
Berdasarkan paparan di atas maka masalah-masalah yang ditemukan pada Bengkel Alas Kaki milik pak
Dadang diantaranya;
a) Masih belum terpisahnya secara jelas antara ruang-ruang dan area untuk melakukan aktivitas kerja
memproduksi alas kaki, dengan ruang-ruang dan area untuk aktivitas tinggal, guna mendapatkan
kondisi lingkungan ruang yang tidak saling mengganggu,
b) Masih kurangnya kelengkapan ruang untuk media pertukaran udara dan pencahayaan ruang kerja
agar dapat terciptanya bengkel yang sehat,
c) Fasilitas kerja dan tempat penyimpanan alat dan bahan belum tertata dengan baik, yang dapat
menimbulkan keteraturan sesuai dengan alur proses kerja memproduksi alas kaki,
d) Belum lengkapnya fasilitas kerja dan tempat simpan alat serta bahan yang khusus untuk setiap
tahapan proses produksi alas kaki guna mempermudah kerja dan meningkatkan produkvitas kerja.
3.2 Analisis Aspek-Aspek Desain Yang Terkait Dengan Permasalahan Lingkungan Kerja.
Berdasarkan dari hasil identifikasi, pada umumnya masalah-masalah tersebut akan dapat mempengaruhi
tingkat kenyamanan aktivitas kerja dan tinggal, baik secara fisik maupun psikologis. Dalam jangka yang
cukup lama sangat memungkinkan timbulnya hal-hal seperti ; saling terganggunya aktivitas kerja
dengan aktivitas tinggal, tidak sehatnya udara yang dihirup oleh setiap individu yang berada
dilingkungan rumah dan bengkel, kelelahan mata karena kurang terang, lamanya pekerjaan yang
dikarenakan oleh aktivitas mencari tempat mengerjakan proses produksi dan mencari alat dan bahan,
Desain | 32
serta tidak nyamannya posisi kerja karena tidak terdapatnya alat bantu kerja yang lengkap dan
ergonomis. Pada akhirnya akan dengan cepat memunculkan keletihan kerja yang dapat mengurangi
tingkat produktivitas kerja dan kesehatan tinggal.
Masalah-masalah tersebut perlu kiranya ditangani dengan baik. Apabila mengacu pada laporan kegiatan
ILO yang berkaitan dengan permasalahan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di sektor alas kaki
“Improving Safety, Health and the Working Environment in the Informal” (2003), menyatakan bahwa
terdapat beberapa faktor yang penting untuk ditangani yaitu permasalahan fisik lingkungan, kondisi
ruangan, ergonomi kerja, fasilitas pendukung kenyamanan kerja, perlengkapan perlindungan diri, dan
perlengkapan kesehatan, maka yang harus dilakukan pada Bengkel milik pak Dadang disamping yang
berhubungan dengan penyediaan perlengkapan perlindungan diri dan perlengkapan kesehatan, adalah
perbaikan lingkungan kerja, kondisi ruang, ergonomi kerja, dan fasilitas pendukung kenyamanan kerja
yang terbagi kedalam dua bagian yaitu; Penataan interior ruang yang sesuai dengan kebutuhan aktivitas
kerja dan tinggal, dan Pembuatan desain alat bantu kerja yang sesuai dengan masing-masing tahap
proses produksi.
Dalam penanganan untuk penataan interior ruang kerja, yang sangat diperlukan adalah ketepatan
penyelesaian masalah desain ruang sebagai bentuk dari perbaikan fungsi, pengayaan estetika, serta
peningkatan nilai psikologis dari ruang interior (Francis DK Ching : 2011: 46). Dimulai dengan
memecahkan masalah tentang belum terpisahnya secara jelas antara ruang-ruang dan area untuk
melakukan aktivitas kerja memproduksi alas kaki sebagai fungsi ruang kerja, dengan ruang-ruang dan
area untuk aktivitas tinggal sebagai fungsi ruang hunian. Upaya yang dilakukan adalah dengan cara
memperjelas pemisahan ruang-ruangnya, untuk mendapatkan kondisi lingkungan ruang yang nyaman
untuk aktivitas masing-masing agar tidak saling mengganggu.
Berikutnya adalah menentukan bentuk yang efektif untuk menciptakan terjadinya sirkulasi udara dari
luar ke dalam ruang dan sebaliknya. Juga menentukan titik lampu dan besaran cahaya lampu maupun
cahaya matahari yang dapat masuk ke dalam ruang kerja, selain menentukan warna dinding, lantai,
ceiling, dan furnitur yang dapat membantu ruang menjadi terasa lebih terang. Hal ini dilakukan sebagai
pemecahan dari masalah kekurangan kelengkapan ruang untuk media pertukaran udara dan
pencahayaan ruang kerja agar dapat terciptanya bengkel yang sehat, dengan udara baik dan pencahayaan
yang cukup sesuai untuk aktivitas kerja di bengkel alas kaki.
Upaya lainnya adalah penataan dan penyediaan fasilitas kerja dan tempat penyimpanan alat dan bahan
yang sesuai dengan kebutuhan, sebagai penyelesaian dari masalah belum tertatanya dengan baik fasilitas
kerja dan tempat penyimpanan alat dan bahan. Dengan penataan ini diharapkan dapat menciptakan
keteraturan yang sesuai dengan alur proses kerja memproduksi alas kaki, serta dapat menimbulkan nilai-
nilai estetika ruang disamping dapat meningkatkan nilai psikologis ruangnya.
Sementara untuk penanganan dari masalah belum lengkapnya fasilitas kerja dan tempat simpan alat
serta bahan yang khusus untuk setiap tahapan proses produksi alas kaki, diperlukan upaya perencanaan
desain yang khusus pula untuk masing-masing tahap, yang disesuaikan dengan kebutuhan aktivitas kerja
yang dilakukan saat bekerja. Desain yang dibuat harus dapat memberikan pengaruh yang dapat
mempermudah kerja dan meningkatkan produkvitas kerja.
Desain dari alat bantu tersebut harus memiliki bentuk yang telah disesuaikan dengan kebutuhannya
seperti; luas area kerja, perletakan alat dan bahan, material yang mendukung proses pekerjaan, serta
menerapkan dimensi yang sesuai dengan faal tubuh dan posisi gerak pengguna saat bekerja, harus
Desain | 33
menerapkan nilai-nilai ergonomi. Dimensi yang diterapkan mengacu pada dimensi tubuh penggunanya
dengan berdasarkan pada standar antropometri, agar alat bantu yang didesain menjadi terasa ergonomis.
Daftar Pustaka
[1] Ballast David K., AIA. 1992.Interior Design Reference Manual. Ca. Profesional Publications Inc.,
Belmont.
[2] Ching, Francis D.K. Corky Binggeli. 2011. Desain Interior dengan ilustrasi. PT Indeks, Jakarta.
[3] ILO. 2013. Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Tempat Kerja: Sarana untuk Produktivitas.
International Labour Office, Jakarta.
[4] Mathis Robert L, dan Jackson John H.2006, Human Resource Management, alih bahasa. Salemba
Empat. Jakarta.
[5] Refika Aditama Rivai, Veltzhal. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan.
[6] Sehgal, Shruti. 2012. Relationship between Environmental and productivity. International Journal
of Engineering Research and Application (IJERA). Vol. 2. Issue 4.
[7] Thurman, J.E., Louizine, A.E. Kogi,K., 1988. Higer Productivity and a better place to work,
Geneva, International Labour Office
Desain | 34
Potensi Bambu untuk Pengembangan Armatur Lampu dari Produk
Budaya Lokal
Bambang Arief Ruby RZ
Program Studi Desain Interior, FSRD,ITENAS Bandung
Email : barz.goief@gmail.com
ABSTRAK
Berdasarkan pada kondisi saat ini, telah banyak usaha untuk mengurangi pemakaian kayu pada produk
industri mebel, ke bahan dasar bambu, baik dalam bidang seni rupa maupun desain. Namun dari hasil
yang didapat masih jauh minat masyarakat seni rupa dan desain pada bahan bambu tersebut, hal ini
disebabkan nilai jual bahan bambu masih dibawah standar. Disamping harga jual, teknik pengolahan
bambu cukup sulit untuk dijadikan bahan funitur termasuk dalam armatur lampu, sedangkan
ketersediaan untuk mendapatkan ukuran ketebalan dan lebar yang luas, sangat sulit didapat di pasaran.
Potensi bambu sangat mudah didapat dan pertumbuhannya sangat cepat serta dapat tumbuh
diberbagai daerah terutama pada area berudara hangat dan sedang atau dingin dengan laju
pertumbuhan tertinggi, diperkirakan dapat tumbuh 100 cm (39 in) dalam satu hari namun sangat
ditentukan oleh jenis tanah, kondisi geografis dan jenis bambu. Laju pertumbuhan yang paling umum
adalah sekitar 3–10 cm (1,2–3,9 in) per hari. tumbuh hingga mencapai tinggi maksimum dalam satu
musim tumbuh (sekitar 3 sampai 4 bulan). (https://id.wikipedia.org/wiki/Bambu)
Selain bahan kayu, penggunaan berbahan bambu, sangat dimungkinkan dapat dijadikan sebagai bahan
dasar menjadi produk desain armatur lampu. Pada era post-modern / kontemporer dalam isu global
seperti green-design atau desain ramah lingkungan pada masa kini dan kedepan, bahan bambu sangat
dimungkinkan sebagai sebuah bahan pengganti kayu, yang dapat digunakan pada berbagai produk,
terutama pada produk desain armatur lampu.
Penelitian ini merupakan studi rancang bangun armatur lampu dari modifikasi atau pengembangan
potensi bentuk dasar produk kerajinan tradisional bambu, dalam masyarakat Sunda. Hal ini
dikarenakan produk armatur lampu berbahan bambu masih sangat kurang dikembangkan atau
terperhatikan. Hal ini dapat dilihat dari produk-produk yang ada di pasar lokal maupun nasional,
hanya beberapa saja yang dapat kita temukan, hal itupun masih belum ada kemajuan, berbeda halnya
dengan produk wadah anyaman bambu, perkembangannya cukup baik. Disamping itu upaya ini
dimaksudkan untuk membantu keberlanjutan terhadap pengembangan dan peningkatan potensi
sumberdaya pengrajin bambu (produk vernakular), ke arah peningkatkan dan pengembangan kearah
ilmu desain khususnya dalam ilmu desain Interior.
Penelitian ini meliputi analisa bentuk dan penyeleksian produk produk bambu tidak beranyam dan
beranyam. Perencanaan dan perancangan desain Armatur Lampu tersebut mengambil dari empat jenis
produk bambu, yang akan dikembangkan dari bentuk dasarnya dan dikombinasikan dengan material
pabrikan, sebagai konstruksi dan aksen bentuk yang memberikan citraan modern. Sedangkan
pembuatan prototip armatur lampu produk penelitian ini, dibuat di sentra kerajinan bambu
Tasikmalaya.
Kata Kunci: Bambu, Produk Budaya, Desain, Armatur Lampu
Desain | 35
1. Pendahuluan
Perkembangan industri modern dalam memenuhi kebutuhan alat atau tempat kegunaan lainnya yang
bersifat praktis dan ekonomis, telah merambah ke dalam kebutuhan rumah tangga di Indonesia. Mulai
dari alat dan wadah untuk kebutuhan menananak nasi hingga peralatan tradisional telah merubah pola
pikir, cara pandang, pola kerja dan pola prilaku yang serba praktis.
Akibat dari hal tersebut peralatan produk kriya bambu dan lainnya tergeser oleh produk industri.
Berkurangnya penggunaan peralatan anyaman bambu dalam rumah tangga, kini telah beralih pangsa
pasar ke pada restauran atau kafe di Bandung dan Jakarta, mengakibatkan persaingan para pengrajin
semakin tidak sehat. Hal ini di utarakan dalam hasil wawancar dengan salah satu pengrajin di desa
Maniis, Singaparna, Tasikmalaya.
Keunikan bentuk serta keanekaan produk kerajinan bambu yang telah lama diwariskan kepada kita
mempunyai nilai yang sangat tinggi, baik dari segi bentuk, corak anyaman, teknik, citraan, serta Filosofi
pada setiap produknya. Disamping nilai produk, kemampuan para pengrajin sangat terampil dan
mempunyai kemampuan yang luas dalam pengolahan anyaman bambu, dan telah dikembangkan pada
produk anyaman yang modern dan sudah dieksport ke beberapa negara maju. Sehingga sangat
disayangkan apabila kriya bambu tersebut semakin terpuruk dan memungkinkan hilang begitu saja
tanpa ada upaya untuk membuatnya tetap hadir di dalam kehidupan kita sehari-hari.
Melalui pengembangan dan kreativitas dari keilmuan akademik, memungkinkan upaya untuk
mentransformasikan produk kriya kedalam dunia desain dengan sentuhan inovasi dan material modern,
serta teknik finishing yang lebih baik dan berkualitas, sehingga dapat bersaing lebih baik pasar lokal
maupun internasioaonal. Melalui salah satu gagasan sederhana ini diarahkan dapat merubah,
menggubah dan mengembangkan bentuk dasar produk budaya tradisi bambu serta dapat meningkatkan
citraan atau image kriya yang murah tersebut menjadi sebuah desain lampu yang lebih modern dan
kontemporer dengan harga yang lebih tinggi.
2. Permasalahan terhadap Produk Kerajinan teradap Produk Kerajinan dan Pengrajin
Pengembangan dan peningkatan kerajinan produk tradisional bambu yang dianggap mempunyai fungsi
dan nilai yang rendah dalam pandangan masyarakat modern, berdampak pada keterpurukan para
pengrajin anyaman bambu. Penghargaan terhadap nilai kerajinan harus dilihat dari sudut pandangan
kebutuhan akan kualitas masyarakat modern pada kelas ekonomi menengah, sehingga produk tersebut
dapat diterima dan sesui dengan cara dan tuntutan nilai kualitas lingkungan dan gaya hidupnya. Dalam
pendekatan tersebut perlu digaris bawahi bahwa nilai kualitas estetik, kualitas material, kualitas teknik
dan finishing terhadap suatu produk kerajinan, harus dilihat dari sudut pandang seorang desainer
terhadap tuntutan pasar konsumen, mengingat kajian nilai dalam keilmuan desain harus dilihat dari
berbagai sudut pandang, untuk menghasilkan kualitas estetik yang ideal.
Faktor kendala kebiasaan yang ada pada pengrajin, mempunyai pertanggungjawaban yang kurang baik,
sehingga kondisi produk yang ada masih terdapat kekurangan dalam kualitas, serta kurang adanya minat
mengerjakan kerajinan yang menuntut kualitas yang sangat baik. Hal ini dijelaskan oleh saudara
Nuryana pengrajin anyaman bambu di kampung Paniis, bahwa masyarakat pengrajin disana lebih
menyukai pekerjaan yang bersifat masal, tanpa harus memikirkan kualiti kontrol yang ideal.
Desain | 36
3. Pendekatan Pengembangan Desain Terhadap Permasalahan Sumberdaya Pengarajin
Berdasarkan hasil analisa lapangan, peneliti mencoba menerapkan sebuah desain yang sederhana dan
mengikuti pola pikir yang mudah dapat dipahami oleh para pengrajin. Hal ini didasari oleh pola pikir
dan faktor kebiasaan cara kerja yang bersifat spontan dengan pola kerja motorik yang berulang. Desain
yang dikerjakan, masih menggunakan bentuk-bentuk yang mudah dan bisa dikenal dengan teknik yang
dipahami oleh pengrajin, melalui analisa kolaboratif bersama pengrajin, dari hasil dialog, dibuat suatu
gambaran kemungkinan-kemungkinan untuk bisa dikuasai dalam pengerjaan prototip desain armatur
lampu. Setelah hasil pembicaraan penulis membuat sebuah gambar desain sederhana yang
memungkinkan dapat dipahami oleh pengrajin, dan selanjutnya gambar tersebut dilakukan uji coba oleh
pengrajin.
4. Pengembangan Desain dari Anyaman Bentuk Dasar Produk Lokal
Pada tahap pertama, desain yang diberikan untuk dibuat prototip adalah mengambil bentuk dasar dari
topi petani atau dudukuy ctok, yang dibentuk dari dua susunan. Dalam proses pada tahap pertama
pengrajin mengalami kesulitan terhadap ukuran dan proporsi yang ditentukan, hal ini berkaitan dengan
keterbatasan ruas bambu tali yang mempunyai ukuran standar 60 cm dan kini sangat jarang
mendapatkan ukuran 70cm hingga 75 cm, sehingga ukuran mengalami perobahan. Bentuk dari anyaman
sangat ditentukan oleh ukuran ruas bambu dan berbanding diameter dan ketinggian. Bentuk kerajinan
anyaman pada topi petani atau dudukuy cetok, menggunakan panjang ruas bambu 60cm dan dapat
dibentuk diameter 40cm (tanpa anyaman sambungan) kecuali anyaman yang menggunakan sistem
anyam sambung ( baha Sundanya anyaman sambung disebut sarungsum) seperti boboko, tolombong
biasanya menggunakan anyam sambung. Sehingga dalam proses adaptasi pengerjaan bentuk baru,
pengerjaan perlu dibuat beberapa kali, untuk menghasilkan produk kerajinan yang baik
Gambar 1. Bentuk topi petani / dudukuy ctok dan Desain Armatur Lampu dari Bentuk dasar topi
petani / Dudukuy cetok, pada gambar 1 desain awal dan gambar 2 meperlihatkan desain armatur yang
sudah di rubah ukurannya
Pembuatan prototip mengalami perubahan pada pola susun bagian bawah, perubahan tersebut dicoba
digeser atau direnggangkan antara armatur kerucut atas dengan kerucut bagian bawah, dimana dalam
desain awal, kerucut atas dengan kerucut bawah mrapat atau menempel, sehingga ukuran diameter pada
bagian bawah dirobah atau ditambah yang semula ukuran 21cm menjadi 30cm. Dapat dilihat pada
gambar 10 di bawah.
Desain | 37
Gb. 2 Sebelah Kiri Desain Armatur Lampu Lantai dan Sebelah Kanan Hasil Prototipe
Inovasi yang signifikan adalah dengan menyusun bentuk tudung kepala petani yang dipotong bagian
runcingnya, dimasukan atau dikunci menggunakan fiting lampu pada kerucut bagian bawah, fiting
tersebut disambungkan kepada kaki pipa alumunium 1/2 inc. Sedangkan kerucut bagian atas tersambung
pipa drat 1/4 inc. dan diberi sanggahan dari bahan akrilic bening untuk memperkokoh dan menghindari
benturan dan kemiringan. Bentuk tudung kepala atau dudukuy ctok yang dibentuk tersebut sudah tidak
dapat dikenali dari bentuk aslinya. Dengan demikian penerapan yang dilakukan, tidak membuat
pengrajin anyaman harus melakukan proses perubahan dalam pembentukan atau pembuatan armatur
tersebut.
5. Prototip Lampu Gantung (Pendant Lamp)
Pembuatan prototip Lampu Gantung mengambil bentuk dasar dari topi petani atau dudukuy ctok
dikombinasikan dengan bentuk boboko pada bagian atasnya menjadi dua susunan. Sama halnya dengan
bentuk standing lamp, anyaman boboko tersebut dianyam hampir menyerupai pola dan teknik anyaman
pada kukusan nasi (aseupan), hanya bentuk anyaman pada boboko mempunyai pola lebih rumit yang
dikenal dengan teknik anyaman kepang tanjeur dan kepang biasa. Bentuk kerucut dudukuy cetok
mengarah ke atas, sehingga lubang yang terbuka lebar mengarah ke bawah. Pada bagian sudut kerucut
dipotong, dan disambung dengan bentuk boboko yang berukuran kecil.
Pembuatan prototip pada ukuran bentuk boboko, mengalami perubahan. Perubahan tersebut
dikarenakan adanya kendala pembentukan dalam teknik anyaman. Sehingga helai anyam bambu
mengalami kerusakan pecah dan tidak rapih. Untuk itu bentuk dan ukuran harus menyesuaikan dengan
pola dan teknik bentukan anyaman yag dihasilkan pengrajin. Penulis hanya memberikan arahan bentuk
dasar ukuran wengku kontruksi pengikat anyaman pada bagian bibir atau lubang boboko mengalami
perubahan, yang semula berukuran 4 cm menjadi 2 cm dan sedangkan ukuran soko sebelumnya
berukuran 16cm x 16cm, menjadi 10cm x 10cm. sedangkan ukuran tinggi mengikuti pembentukan yang
dihasilkan oleh bentukan pola anyaman, yang semula dalam desain ukuran tingginya 5 cm menjadi
8,5cm. Hal ini dapat dilihat pada gambar 12, halaman 28 dengan ukuran prototip pada gambar 13 di
bawah
Untuk penerapan fiting dan kabel pada armatur lampu gantung cukup praktis dan mudah dikerjakan.
Pengikatan fiting pada boboko, cukup hanya melubangi bagian tengah anyaman yang ada sokonya
tersebut, dan fiting tersebut dikunci dengan mur topi yang terbuat dari plastik, yang sudah ada tersedia
Desain | 38
dalam satu set. Sedangkan pengikat kuncian pemasangan kabel ke permukaan atas atau plapon dipasang
sebuah plat yang merbentuk U dan menggunakan skrup pada kuking plat tersebut dan diberi tutup
mangkuk dengan sistem kunci baut dan mur yang berbentuk krucut, terbuat dari plastik, sehingga dapat
mengunci atau menjepit kabel.
Gb. 3 sebelah kiri Desain Armatur lampu Gantung dan sebelah kanan hasil Prototipe Armatur
lampu Gantung
6. Prototip Lampu Dinding (Sconce Lamp)
Pembuatan prototip lampu Dinding yang semula mengambil bentuk Boboko atau Tempat nasi. Di rubah
menjadi desain armatur lampu dari bentuk Aseupan. hal ini dikarenakan pembuatan teknik anyaman
pemotongan dan rajitan dari bentuk dasar boboko tersebut masih perlu di kaji ulang. Pola dan teknik
perlu disesuaikan kembali pada batasan kemampuan pengrajin dan teknik anyaman yang membentuk
armatur tersebut. Disamping itu adanya keterbatasan waktu dan adanya keterlambatan produksi prototip
dari pihak pengrajin akibat hal pekerjaan rutinitas pesanan tahunan.
Perubahan desain tersebut diganti dengan desain armatur lampu dinding yang terbuat dari bentuk dasar
Aseupan yang dipotong terbagi dua, dan disusun rangkap dua. Pada pola susun bagian bawah, bentuk
setengah krucut aseupan tersebut lebih bersifat utuh, sedangkan pola aseupan bagian atas sudut
kerucutnya dipangkas atau dipotong untuk memberi luasan posisi lampu yang berada pada susunan atas
bagian tengah. Sehingga fiting lampu berada pada sudut kerucut bagian bawah yang diberi ambalan plat
besi sebagai dudukan fiting lampu.
Gambar 4. Desain armatur lampu Dinding dengan posisi pemasangan yang berbeda
Desain armatur lampu dinding yang terbuat dari bentuk dasar Aseupan tersebut mempunyai dua pungsi
penyinaran atau arah pencahayaan. Posisi armatur tersebut dapat dipasang dalam posisi lubang yang
mengarah ke atas, sehingga sorot lampu mengarah ke atas. Disamping pemasangan tersebut diatas,
pemasangan armatur lampu dapat dipasang terbalik, yaitu pola arah sinar menyorot ke bawah. Inovasi
bentuk susunan kerucut tersebut tampak terlihat tidak lagi memperlihatkan image aseupan, atau bentuk
Desain | 39
tersebut sudah tidak dapat dikenali dari bentuk aslinya. Sama halnya dengan penerapan pembentukan
anyaman lampu lain yang dibuat, dapat memudahkan pembuatan anyaman oleh pengrajin, tanpa harus
melakukan proses perubahan atau pembentukan terlalu sulit dalam pembentukan atau pembuatan
armatur tersebut.
Gambar 5. Prototip lampu dinding, dengan pemasangan berbeda
7. Prototip Lampu meja atau Table Lamp
Desain armatur lampu meja atau Table Lamp masih harus banyak penyesuaian dan perbaikan dalam
produksi prototip. Pembuatan prototip lampu meja tersebut, dibangun dengan bentuk dasar boboko yang
tinggi dari ukuran proporsi pada umumnya. Penerapan awal dalam desain sebelumnya terbentuk dari
tiga susunan, namun adanya kendala kesulitan dalam membuat bentuk aseupan yersebut,
mengakibatkan percepatan produksi prototip tidak bisa dilakukan dengan baik. Sehingga bentuk
armatur lampu meja tersebut dibangun dengan dengan satu bentuk boboko yang ditutup dengan
anyaman ayakan atau tutup alumunium. Sehingga sebaran sinar atau cahaya dipantulkan ke arah bawah.
Gambar. 6 Desain Armatur lampu dari bentuk boboko yamg bersusun 3 yang tidak dapat
diproduksi dengan baik (mengalami perubahan)
8. Analisis hasil Pencahayaan
Cahaya yang tembus dari armatur atau tabir lampu dari anyaman bambu dalam tingkat transparansinya
tidak sama, hal ini diakibatkan dari beragam tebal tipis helai atau pita anyaman bamboo yang di raut
atau diserut secara manual. Secara umum, ketebalan pita anyaman bambu tidak sama tebalnya dan
karakter ini menghasilkan garis pita yang mempunyai sifat tranfaran yang sangat beragam dari cahaya
lampu, namun tidak mengurangi nilai estetik bayangan yang dihasilkannya. Atas hal tersebut perlu
adanya penelitian lebih lanjut agar dapat menghasilkan anyaman pita bambu yang lebih baik dalam
pembuatan pita bambu pada masa datang.
Desain | 40
9. Kesimpulan
Dengan sentuhan kreativitas, desain armatur berbahan bambu memiliki potensi untuk dikembangkan
menjadi produk baru yang lebih bermanfaat. Keunikan armatur atau tudung lampu yang dihasilkan
cahaya lampu menghasilkan sebaran dan redaman cahaya yang sangat menarik. Sifat lembaran pita
bambu yang dianyaman menghasilkan efek tembus cahaya memberikan karakteristik pendaran cahaya
yang menarik karena menghasilkan intensitas cahaya yang berbeda disetiap pola atau helayan pita
anyaman bambu. Berbeda halnya dengan armatur lampu yang terbuat dari produk pabrikan, yang
biasanya menggunakan bahan plastik mika atau kain, yang menghasilkan bayangan atau sebaran cahaya
yang rata.
Cahaya yang tembus dari tudung lampu dari anyaman bamboo, mempunyai transparansi yang tidak
sama, hal ini diakibatkan dari keberagaman tebal dan tipis helai atau pita anyaman bamboo yang di raut
atau diserut secara manual. Secara umum, ketebalan pita anyaman bambu tidak sama tebalnya dan
karakter ini menghasilkan garis pita yang mempunyai sifat tranfaran yang sangat beragam dari cahaya
lampu. Hasil pencahayaan yang didapatkan tidak mengurangi nilai estetik, terhadap bayangan yang
dihasilkannya. Atas hal tersebut perlu adanya penelitian lebih lanjut agar dapat menghasilkan anyaman
pita bambu yang lebih baik dalam pembuatan pita bambu pada masa datang.
Daftar Pustaka
[1] Primadi Tabrani, Bahasa Rupa, Kelir, 2012
[2] July Hidayat, Jurnal Ilmu Desain, ITB, Vol. 1-2 2006
[3] Dormer, Peter, 1982, Post-war craft, Marxism Today, http://www.unz.org/Pub/MarxismToday-
1982jul-00036?View=PDF. Diakses 18 November 2015.
[4] Rosidi, Ajip, dkk, 2000, Ensiklopedia Sunda, alam, manusia, dan budaya, termasuk budaya
Cirebon dan Betawi Pustaka Jaya, Jakarta
[5] Jamaludin dan Bambang Arief, Rancang Bangun Desain Armatur Lampu Berbasis Diversifikasi
Fungsi Produk Budaya Lokal, ITENAS,2016
[6] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, kbbi.web.id/
[7] https://id.wikipedia.org/wiki/Desain
[8] http://rumahbacabukusunda.blogspot.co.id/2012/07/nganyam-jeung-ragam-anyaman.html
Desain | 41
Makna Penerapan Elemen Pembentukan Interior sebagai
Konsep Tanda pada Rancang Interior Tematis Mal Boemi Kedaton
di Lampung
Novrizal Primayudha
Jurusan Desain Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain
Institut Teknologi Nasional
Email: novrizalprimayudha@gmail.com
ABSTRAK
Bangsa Indonesia memiliki Heterogenitas kultural yang sangat banyak mempengaruhi pertumbuhan
dan perkembangan perancangan Arsitektural inter ior, hingga melahirkan berbagai bentuk dan
ornamen budaya yang memiliki makna sebagai komunikasi non verbal dari populasi sosio kultural
masyarakatnya. Objek rancangan interior merupakan manifestasi dari interaksi tanda-tanda sebagai
sistem komunikasi antara desainer yang membuat pesan dalam rancangan interior bangunan, dan
pengamat/masyarakat awam untuk menginterpretasi atau mempersepsikannya sesuai dengan latar
belakang budaya dan tingkat pemahamannya. Fokus dari penelitian ini bertujuan untuk mengungkap
hubungan penerapan elemen interior sebagai tanda pada rancangan interior food court dan
department store di Mal Boemi Kedaton Lampung, melalui analisa Tanda dan klasifikasi elemen
rancangan interiornya. Interpretasi terhadap makna Tanda diperlukan untuk memperoleh sebuah
kesepakatan penafsiran, sebagai sebuah usulan untuk memperoleh konsep desain yang memberikan
makna baru bagi pengamatnya.
Kata kunci: semiotika arsitektural interior, analisa tanda arsitektural interior, makna tanda pada
rancangan interior mal boemi kedaton
ABSTRACT
The Heterogeneity of Indonesian cultures has influenced Architectural design development for many
decades. These unique cultural forms and non verbal symbolize must be interpreted as a meaningful
Interior Architectural sign. The implementation of interior design objects yields many sign interaction
as a communicational system between designer-the messages- with their design approach and the
observers to feel or perceive-able by their cultural background and interpretation. The vocal purpose
of this research is to unleash a relation of interior elements implementation on the interior food court
and department store mall boemi kedaton Lampung. This observation will explore all of interior signs
through signage analyze and interior elements classification. At the end, the Interpretation of those sign
needs to gain a conceive meaning, which can deliver as an alternative of making a design concept and
give a new meaning to their observers.
Keywords: architectural interior semiotics, architectural sign analyze, meaning of signification in
interior mal boemi kedaton
Desain | 42
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Fenomena rancangan interior department store saat ini sangat mempengaruhi citra dari corporate dalam
upaya memberikan pelayanan terbaik bagi konsumennya, tidak terbatas hanya menyediakan produk dan
jasa saja. Rancangan interior ini secara tidak langsung memberikan kenyamanan kerja, kemudahan
display, kenyamanan visual, kemudahan orientasi dan pencapaian serta eksplorasi tema-tema rancangan
yang menarik secara konseptual. Kualitas ruang sebuah pusat perbelanjaan saat ini menjadi elemen
penting yang diperhitungkan dalam bisnis retail yang berkelanjutan.
Pusat perbelanjaan yang akan dijadikan objek penelitian ini adalah Chandra Dept. Store Lampung yang
memiliki program pengembangan desain interiornya setiap kurun waktu 4 hingga 5 tahun. Sama seperti
fenomena rancangan interior pusat perbelanjaan di atas, Chandra dept. store memberikan fasilitas ruang
belanja yang terencana meliputi rancangan pola lantai, rencana ceiling, backwall display, kolom display,
Meja kasir, hingga fixture displaynya.
Hal yang menjadi kajian penelitian adalah mengenai relasi elemen-elemen interior tersebut sebagai
sebuah tanda yang memiliki makna bagi pengamatnya. Lebih lanjut lagi, penelitian ini bertujuan untuk
menghasilkan sebuah regulasi penataan ruang dalam yang merepresentasikan sebuah pusat perbelanjaan
terbaik di kota Lampung yang dicintai konsumennya dalam konteks belanja nyaman belanja hemat
sesuai visi bisnis corporatenya.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengungkap relasi tanda-tanda pada
rancangan interiornya untuk dijadikan sebagai dasar penentuan kriteria konsep rancangan pusat
perbelanjaan yang ideal dengan re-interpretasi makna yang senantiasa berkelanjutan. Metoda penelitian
yang dipakai adalah kualititatif interpretatif dengan analisa semiotika secara etnografi berdasarkan
fenomena yang diamati sebagai proses peng-identifikasian permasalahan yang kemudian diinterpretasi
dengan acuan landasan teoritis dan dire-interpretasi dengan hasil responden untuk menghasilkan makna
baru sebagai dasar perencanaan konsep interior retail yang dapat berguna bagi akademisi maupun
praktisi.
1.2. Review Penelitian Terdahulu
No Judul penelitian Peneliti Publish Abstrak
1 Kajian Semiotika pada Interior
Gereja Santo Yakobus Surabaya
Rezca
Navtalia
Sutiono
Universitas
Kristen Petra
Penelusuran makna tanda
pada interior gereja,
dengan metoda analisis
teks
2 Makna Tanda dalam Interior
Ruang Tamu: Studi Semiotika
Sistem Tertutup Pada Interior
Ruang Tamu Lima Status Sosial
di Yogyakarta.
Artbanu
Wishnu AJi
ISI
yogyakarta
Penelusuran makna tanda
pada interior ruang tamu
berdasarkan tingkatan
status sosial
3 Kajian Semiotik Ornamen
Interior Pada Lamin Dayak
Kenyah ( Studi Kasus Interior
Lamin Di Desa Budaya
Pampang)
Maria
Sicilia
Mayasari
Universitas
Kristen Petra
Penelusuran makna tanda
pada interior lamin,
dengan metoda analisis
teks
Desain | 43
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud
Maksud dari dilakukannya Penelitian ini adalah untuk memperoleh keberagaman kajian pemaknaan
tanda yang dapat dijadikan sebuah usulan perancangan yang objektif secara berkelanjutan.
Tujuan
1. Melakukan identifikasi ruang dalam secara menyeluruh terhadap objek penelitian untuk
memperoleh data lapangan yang orisinal dan objektif untuk dijadikan base data pengembangan
penelitian.
2. Mengungkap relasi dan klasifikasi antara elemen-elemen pembentuk rancangan ruang sebagai
tanda yang menghasilkan kesepakatan penafsiran makna.
3. Menghasilkan pandangan bermanfaat yang dapat mempermudah perancangan interior retail shop
bagi akademisi maupun praktisi desain/ pengembang.
2. Tinjauan Pustaka
Hasil karya rancangan interior merupakan sebuah sistem komunikasi tanda yang terdiri melalui
kompleksivitas populasi tanda, wujud ini memuat mengenai tanda dan makna yang dikomposisikan
secara estetis dalam perancangannya. Interpretasinya sebagai sebuah fisik yang terukur, dengan material
dan warna pelingkupnya merupakan sebuah upaya interaksi perancang -dalam memuat pesan atau
makna karyanya- dengan lingkungannya.
2.1. Semiotika dalam Arsitektur Interior
Semiotika didefinisikan oleh Ferdinand de Saussure dalam Course in General Linguistics, sebagai “ilmu
yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial” (Saussure, 1990) implisit dalam
definisi Saussure adalah prinsip bahwa semiotika sangat menyandarkan dirinya pada aturan main atau
kode sosial yang berlaku di dalam masyarakat, sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara
kolektif. [1]
Arsitektur dan Desain Interior menghasilkan sebuah karya rancang dalam wujud fisik sebagai sebuah
teks yang memuat ide-ide rancangannya. Teks ini menjadi kajian dalam Semiotika arsitektur yang
membahas mengenai identifikasi, interpretasi, serta relasi tanda-tanda terhadap konteks perancangan
fisik, tata ruang, pola, ukuran, proporsi, jarak, bahan, warna dan lain sebagainya. Sementara, tanda
mampu memberikan aksi dan reaksi tertentu (pragmatis) berupa penanda dan petanda dalam sistem
arsitektur yakni gaya bangunan pada elemen arsitektural (paradigmatik) dan detail dari keseluruhan
bangunannya (sintagmatis) [2] ataupun pendekatan empiris berupa representament (fungsi), objek
(bentuk), dan interpretant [3]
Berdasarkan pada ilmu tanda triadic yang dikembangkan oleh Charles sander peirce, pada setiap benda
selalu ada tiga pokok penting, yaitu Representamen merupakan sesuatu yang merepresentasikan
sesuatu yang lain, Objek adalah sesuatu yang direpresentasikan, dan interpretan sebagai interpretasi
seseorang terhadap tanda sebagai trikotomi elemen tanda.
Melalui uraian di atas kemudian dihasilkan tiga trikotomi: trikotomi pertama adalah qualisign, sinsign,
dan legisign. Trikotomi kedua adalah ikonis, indeks, simbol; trikotomi ketiga adalah terms (rheme),
proposisi (dicent), dan argumen. Relasi ini dielaborasi berdasarkan klasifikasi sepuluh tanda utama
Peircean [4]
Desain | 44
Representamen (visualisasi fisikal):
Kepertamaan/firstness: memuat mengenai subjek: nama ruang.
Keduaan/ secondeness: memuat mengenai fungsi: Peruntukkan aktifitas.
ketigaan/ thirdness: memuat mengenai identitas fisikal: unsur visual yang dapat terbaca.
Objek (perbandingan dengan benda lain) :
Kepertamaan/firstness: memuat mengenai tanda Icon yang muncul karena keserupaannya dengan benda
lain
Keduaan/ secondeness: memuat mengenai tanda Indeks yang muncul karena sebab akibat dan saling
berhubungan
ketigaan/ thirdness: memuat mengenai tanda Symbol yang muncul merupakan tanda yang disepakati
secara sosial/umum.
Interpretant (Penafsiran objek berdasarkan pengalaman pengamat):
Kepertamaan/firstness: memuat mengenai penafsiran awal
Keduaan/ secondeness: memuat mengenai kesesuaian penafsiran
ketigaan/ thirdness: memuat mengenai kesepakatan penafsiran secara umum
2.2. Analisis Tanda dan Makna
Charles W. Morris dalam The Pragmatic Movement in American Philosophy, (1970), bahwa Makna
Tanda dapat di representasikan menjadi tiga tipe pemaknaan, yaitu:
1) Makna Sintaktik, adalah sebuah kajian pemaknaan yang diperoleh berdasarkan hubungan Struktur
Tanda dan Kombinasinya, mengacu pada kedekatan eksistensi tanda. 2) Makna Pragmatis, adalah
sebuah kajian pemaknaan yang diperoleh berdasarkan hubungan Tanda dan pengamatnya, bersifat
memberi penekanan pada dampak Tanda terhadap perilaku manusia, dan berdasarkan atas kemiripan
terhadap sesuatu. 3) dan Makna Semantik, sebagai sebuah kajian pemaknaan yang diperoleh dari
Makna dan Tandanya, bersifat mewakili terhadap sesuatu atas dasar hubungan konvesi sosial. [5]
3. Metode Penelitian
3.1 Jenis dan Rangkaian Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif interpretatif dengan analisis
semiotika empiris secara etnografi, dimana objek riset akan melibatkan responden dengan quisioner dan
observasi sebagai pengontrol analisa integrasi untuk menentukan temuan penelitian.
3.2. Lokasi Penelitian
Penelitian akan dilakukan di Mal Boemi Kedaton (MBK) jl. Teuku Umar/ Sultan Agung Kedaton,
Bandar Lampung.
3.3. Tahapan Penelitian
Tahapan-tahapan yang dilakukan antara lain:
4. Melakukan observasi lapangan dengan mengidentifikasi elemen-elemen pembentuk ruang
objek kajian penelitian.
5. Mengambil sample kajian penelitian untuk di interpretasi dengan pendekatan keilmuan guna
memperoleh landasan teoritis sebagai upaya penyelesaian masalah.
6. Melakukan analisa semiotika secara interpretatif dengan mengungkap relasi tanda dan makna
yang muncul dalam elemen-elemen pembentuk ruangnya
Desain | 45
7. Membuat kesimpulan terhadap hasil penelitian dan pengembangan perancangan interior retail
shop yang terencana secara konseptual yang berkelanjutan.
4. Hasil dan Pemabahasan
Penelitian ini dilakukan di provinsi Lampung, tepat nya di mal boemi kedaton untuk mengungkap relasi
tanda-tanda yang membentuk konsep sebuah karya rancangan interior, dengan melakukan klasifikasi
penanda-petandanya serta pemaknaannya. Hal ini diperoleh dari hasil quesioner penelitian berdasarkan
pengelompokkan kriteria dan jenis tanda yang diberikan kepada 3 kelompok responden profesi, antara
lain: umum, user, dan arsitek/ designer.
4.1. Identifikasi Permasalahan-Permasalahan Lingkungan yang Berkaitandengan Kegiatan
Penelitian
Penelitian dimulai dengan melakukan objektifikasi dan identifikasi ruang pada mal boemi kedaton
melalui area-area yang ramai dikunjungi pengunjung juga lama waktu pengunjung untuk berdiam diri
di sana. Hal ini ditelusuri dengan mengamati aktifitas pengunjung pada weekhour dan weekend serta
menyebarkan quesioner kepada pengunjung untuk memperoleh data-data yang dijadikan acuan
instrumen penelitian.
4.2. Mennetapkan Instrumen-Instrumen Penelitian pada Objek Studi Penelitian
Objek penelitian yang diambil menghasilkan beberapa instrumen penelitian dan kriteria pendukung
datanya yang selanjutnya direkapitulasi dan dieksplorasi berdasarkan substansi kajiannya. Pada fase ini
langkah-langkah pencapaian yang dilakukan adalah dengan melakukan studi literatur, wawancara
narasumber, melakukan pengamatan untuk mengidentifikasi dan merekapitulasi data, serta
pengelompokkan komponen tanda sebagai dan klasifikasinya untuk menghasilkan analisa tanda
diperoleh melalui kajian teoritis.
4.3. Melakukan Proses Analisis Secara Empirik dengan Mengungkap Relasi Tanda dan Makna
pada Objek Penelitian
Analisa makna dan konsep tanda pada rancangan interior yang dijadikan objek penelitian pada Mal
boemi kedaton, Lampung adalah sebagai berikut:
Desain | 46
5. Kesimpulan
Melalui serangkaian penelitian yang dilakukan, dapat diambil kesimpulan bahwa Proses
pengidentifikasian setiap elemen interior dalam bangunan ini memberikan pemahaman tentang konsep
rancangan interior ruang publik kompleksitas tinggi yang menghasilkan elemen-elemen olahan yang
mampu mendukung aktifitas manusia dalam ruang serta ekspresi yang tertata secara teratur dan estetis
Pemahaman selanjutnya adalah, bahwa makna tanda pada karya rancangan interior dapat dieksplorasi
dengan menguraikan relasi komponen tanda yang muncul dalam rancangan. Penguraian ini merupakan
proses memaknai tanda untuk menghasilkan penafsiran yang mendukung rancangan interior sebuah
bangunan.
Semoga hasil pembahasan ini dapat memberikan wawasan baru yang dapat digunakan dalam merancang
interior bangunan publik kompleksitas tinggi.
Daftar Pustaka
[1] Ferdinand De Saussure, Course in General Linguistics, 1990. Duckworth, London, 1990, hlm. 15.
[2] Piliang, Yasraf Amir. 2012. Semiotika dan Hipersemiotika. Bandung, Matahari, hlm. 303
[3] Salura, Purnama. 2010. Arsitektur yang Membodohkan. Bandung, CSS Publishing, Hlm. 82
[4] Noth, Winfried. 1995. Handbook of Semiotics. Indiana University Press.
[5] Morris, Charles William. 1970. The Pragmatic Movement in American Philosophy. Routledge.
Desain | 47
Revitalisasi Tatanen Huma Sunda melalui Penerapan Iptek Aero-
hidroponik pada Desain Produk Pertanian Kawasan Desa Hutan
Edi Setiadi Putra
Jurusan Desain Produk, Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung
e-mail: jadsanaira@gmail.com
ABSTRAK
Di beberapa kawasan desa-hutan di Jawa Barat, terjadi peningkatan kesadaran petani rakyat terhadap
pentingnya pelestarian ekosistem hutan. Para petani tidak lagi merambah hutan untuk membuka lahan
pertanian. Hutan menjadi sumber kehidupan yang layak dijaga dari eksploitasi yang berlebihan. Petani
hanya mengelola lahan seadanya di kawasan desa, yang semakin mengecil karena terjadi pembagian
waris dan alih pekerjaan. Adanya fenomena kebutuhan peningkatan produktivitas hasil pertanian,
menjadikan petani rakyat semakin tertekan dan frustasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
kemungkinan menerapkan iptek aerohidroponik (konsep urban farming aeroponic-hydroponic-
aquaponic) di kawasan desa-hutan. Penelitian ini mempergunakan pendekatan deskriptif kualitatif
melalui analisis eksplorasi etnografis dan partisipatori masyarakat dalam mewujudkan sarana kerja
bertani yang relevan dengan situasi dan kondisi lingkungan desa-hutan. Upaya ini menghasilkan
kesimpulan adanya potensi kuat dari desain produk aerohidroponik yang dirancang, sebagai sarana
kerja yang efektif dalam menghasilkan hasil pertanian yang produktif di kawasan desa-hutan.
Kata kunci : desain produk, aerohidroponik, desa-hutan, pertanian rakyat
ABSTRACT
In some areas of the forests-villages in West Java, there is an increasing awareness of smallholder
farmers on the importance of conserving forest ecosystems. The farmers no longer penetrated the forest
to open agricultural land. Forests become a viable source of life guarded from excessive exploitation.
The farmers only manage the soil in the village area, which is getting smaller because of the division
of inheritance and the transfer of jobs. The existence of a phenomenon of increasing needs of
agricultural productivity, making peasants increasingly depressed and frustrated. This study aims to
examine the possibility of applying aerohidroponic science (urban farming aeroponic-hydroponic-
aquaponic concept) in the forest villages. This study used a qualitative descriptive approach through
ethnographic exploration and community participatory analysis in realizing farming facilities relevant
to the situation and environmental conditions of the villages. These efforts result in the conclusion of
the strong potential of the designed aerohidroponic, as an effective means of working in producing
productive agricultural yields in the forest-villages.
Keywords: product design, aerohidroponics, forest-villages, folk agriculture
Desain | 48
1. Penadahuluan
Pembangunan pedesaan di Jawa Barat berkembang sangat pesat di segala bidang. Selain penguatan
dalam infrastruktur prasarana pedesaan, juga mencakup sikap mentalitas masyarakat desa dalam
memahami situasi dan kondisi lingkungan hidupnya.i
Desa Cibeureum Kecamatan Sukamantri Kabupaten Ciamis Propinsi Jawa Barat, merupakan salah satu
contoh desa yang berkembang sangat pesat. Di bidang pertanian, pada tanggal 9 November 2006 Desa
Cibeureum dicanangkan oleh Menteri Pertanian RI sebagai kawasan agropolitan yang ditandai dengan
peresmian P4S (Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya) Karangsari, sebagai pusat kegiatan
perkembangan agribisnis dan agroforesty. Di bidang kebudayaan, salah satu kesenian khas Kecamatan
Sukamantri yaitu “bebegig’ telah memenangkan kontes parade di karnaval internasional di Kota Rio De
Jainero Brazilia. Di bidang sosial kemasyarakatan, Desa Cibeureum memiliki LMDH (Lembaga
Masyarakat Desa Hutan), yang sangat memperhatikan kelestarian hutan di sekitar lingkungan desa.
Hutan belantara di lingkungan desa pada dasarnya sangat terancam oleh perkembangan agribisnis yang
membutuhkan lahan pertanian homogen yang sangat luas. Beberapa kawasan hutan yang telah digunduli
menjadi lahan kebun bisnis sayuran, menimbulkan dampak buruk kepada masyarakat, dimana sumber-
sumber air yang terdapat di kawasan hutan tercemari pestisida, yang mengakibatkan gangguan
kesehatan yang meluas terhadap warga desa. Kawasan desa dihantui kemungkinan munculnya erosi,
longsor dan gempa bumi. Semua warga desa sangat mempercayai keyakinan tentang prinsip
keseimbangan alam yang diatur alamiah, sehingga jika struktur ekosistem terganggu atau berubah, maka
alam akan berupaya menyusun kembali dengan sendirinya. Hakikat keseimbangan alam ini sangat
berpengaruh dalam kehidupan masyarakat di kawasan desa-hutan, menyebabkan tingginya tingkat
kesadaran masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan ini.
Masyarakat petani Desa Cibeureum sangat ingin meningkatkan produktifitas pertanian tanpa harus
melakukan penggundulan hutan desa. Petani membutuhkan lahan pertanian yang cukup besar untuk
meningkatkan produktivitasnya, namun lahan yang dimiliki pada umumnya semakin menyempit karena
terjadi perubahan jumlah lahan akibat pembagian waris. Di kawasan desa, petani hanya dapat
menggarap kebun kecil di pekarangan rumah, kolam ikan dan sawah dalam luas yang terbatas.
Keterbatasan lahan dan tuntutan produktivitas tani merupakan permasalahan umum yang dialami setiap
petani rakyat di kawasan desa hutan. Pekarangan dapat diberdayakan untuk pemenuhan gizi keluarga.ii
Prinsip pertanian masa kini yang sedang marak di wilayah perkotaan di berbagai negara maju, adalah
apa yang disebut dengan urban farming, yaitu cara bertani modern dengan memanfaatkan lahan sempit
di pekarangan sebagai lahan pertanian hidroponik yang dinilai sangat praktis dan produktif.iii Namun
sistem hidroponik yang dirintis oleh masyarakat pencinta tanaman di beberapa kota di Indonesia,
ternyata kurang berkembang di masyarakat umum, dan berkecenderungan hanya hidup di lingkungan
komunitas pencinta hidroponik.
Prinsip dan sistem kerja hidroponik, aeroponik dan akuaponik yang diperkenalkan aktivis petani kota
di berbagai media sosial ke masyarakat Indonesia, pada dasarnya telah cukup dikenal warga pedesaan,
namun karena tidak berasal dari akar budayanya, maka petani desa tidak antusias untuk menyambut
sistem baru tersebut.
Desain | 49
2. Metodologi
Dalam mengkaji data-data yang sifatnya deskriptif kualitatif, dilaksanakan upaya pemahaman melalui
cara pengamatan (observasi) dan pendalaman wawasan, melalui proses metodologi penelitian etnografi
yang dikembangkan Spradley (1985), M.Agar (1996) dan Fatterman (1998). Dalam rangka memperoleh
data komprehensif yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan terintegrasi, digunakan metode
deskripsi karena masalah yang diteliti terkait dengan konsep perilaku (human behavior) dan kehidupan
manusia (urban culture) di kawasan Kota Bandung. Pengumpulan data menggunakan teknik observasi
(field work observation) dan wawancara etnografis (ethnographic interviews) dengan menggunakan
pedoman pengumpulan data.iv
Metode etnografi dari Spradley, seperti tampak pada skema berikut :
Gambar 1
Konsep kajian etnografi pada sektor budaya yang melibatkan aplikasi iptek
Adaptasi dari Spradley-Agar-Fatterman
Implementasi etnografi dalam dunia Desain Produk, adalah mengenai pengamatan tentang perilaku
kerja manusia (observing what people do) sebagai suatu sudut pandang sosio-cultural yang berpengaruh
dalam keputusan desain. Sudut pandang lain yang terlibat dalam pembentukan produk adalah paradigma
aplikasi teknologi berupa desain partisipatori (participatory design) berupa kompetensi dalam berkreasi
dan berproduksi (what people make) yang terpadu dengan unsur ilmu pengetahuan berbasis kearifan
lokal, yang dapat diserap melalui wawancara langsung (traditional interviewing) mengenai kemampuan
mendasar yang dimiliki masyarakat budaya tertentu (what people say they do). v
3. Hasil dan Pembahasan
Struktur masyarakat Indonesia menurut Wertheim (1954) pada umumnya terdiri dari masyarakat
peladang yang berada di kawasan pedalaman dan dataran tinggi, masyarakat petani sawah yang
bermukim di kawasan aliran sungai, danau dan rawa, serta masyarakat pelaut (nelayan) yang bermukim
di kawasan pesisir pantai.vi Edi S Ekajati (2005) menunjukkan bahwa masyarakat suku Sunda terdiri
dari tiga kelompok besar, yaitu masyarakat pahuma yang hidup berladang di dataran tinggi dan kawasan
gunung berapi, masyarakat panyawah yang bermukim di dataran rendah dimana terdapat sumber air,
mata air, aliran sungai, danau dan rawa-rawa, serta masyarakat pamayang yang bermukim di pesisir
pantai dan muara.
Desain | 50
Masyarakat pahuma tinggal di kawasan hutan pegunungan dataran tinggi dengan pola hidup nomadik.
Mereka melakukan penjelajahan di pedalaman rimba sebagai paninggaran (pemburu) dan bertani umbi-
umbian dan sayuran. Masyarakat panyawah bermukim secara permanen di suatu kawasan subur yang
memiliki sumber air untuk bercocok tanam padi, palawija, sayuran, memelihara kolam ikan dan hewan
ternak. Masyarakat pamayang bermukim di kawasan subur yang memiliki sumber air untuk bercocok
tanam palawija, buah-buahan, dan peternakan. Masyarakat pamayang ini memiliki kemampuan
membuat perahu dan mencari ikan laut di kawasan pesisir.
Gambar tentang kosmologi Sunda di bawah ini menunjukkan adanya konsep trigatra dalam struktur
masyarakat Sunda. Gatra pahuma (peladang) yang hidup di dataran tinggi atau kawasan gunung berapi
merupakan kawasan yang memiliki derajat tinggi sebagai kaum yang sakral, karena memungkinkan
terjadinya hubungan yang harmonis antara manusia dengan kekuatan alam. Pahuma ini berfungsi
sebagai penjaga alam.vii
Gambar 2
Gambaran Kosmologi Sunda
(sumber: elaborasi penulis)
Kehidupan pahuma yang memiliki tugas menjaga alam berada dalam wilayah sakral yang disebut
mandala (kawasan suci). Karena memiliki sifat yang dinamis, pahuma tidak berada di suatu tempat
secara permanen. Pahuma selalu bergerak dan berpindah. Proses pergerakan ini sering disebut dengan
jarambah atau merambah hutan sampai ke pedalaman hutan. Dengan demikian, pahuma memiliki
pengetahuan yang banyak dan unik terkait hubungannya dengan alam lingkungan. Banyak pengetahuan
tentang gejala alam dan petunjuk alam yang berasal dari pengalaman pahuma dalam menjelajah atau
ngumbara ngalalana. Kehidupan pahuma, perkakas kerja dan lingkungan huma, membentuk konsep
pemeriharaan alam lingkungan dalam bentuk aturan adat tentang pendayagunaan lingkungan hutan
untuk penopang kehidupan. Seperti gambar berikut :
Desain | 51
Gambar 3
Lingkaran kehidupan pahuma
(sumber: elaborasi penulis)
Pada masa awal peradaban manusia Sunda, kehidupan nomaden yang dinamis merupakan pilihan yang
sangat efektif untuk mengenal alam lingkungannya. Para orang tua membawa anak-anaknya ke hutan
untuk diperkenalkan dan diajari bagaimana memahami alam lingkungannya. Pola ini menjadikan
pengetahuan tentang alam sangat terjaga dan semakin bertambah.
Kehidupan pahuma yang harmonis dengan alam, telah menempatkan mereka pada posisi yang sangat
dihormati masyarakat Sunda lainnya (panyawah dan pamayang). Pahuma dianggap sebagai masyarakat
yang sakral, karena hidup di kawasan mandala di puncak suatu bukit atau pegunungan. Gunung-gunung
berapi yang menjulang tinggi, merupakan tonggak alam yang disakralkan oleh semua lapisan
masyarakat Sunda, juga oleh para pembaharu yang membawa risalah Islam. Gunung secara fisik disebut
Giri, sedangkan secara filosofis gunung diartikan sebagai Guru nu Agung (Guru besar). Pahuma sering
disebut jalma gunung atau tiyang gunung oleh masyarakat lain. Tempat pahuma bermukim di sebut
padukuhan atau padesaan mandala.
Filosofi ini mengantarkan adanya visi mulasara buana dan misi Ngertakeun Bumi Lamba, yang
mempengaruhi tiga aspek tanda kesundaan yang dibentuk oleh unsur Rama (rakyat, petani), Resi
(rohaniwan, pendeta), Ratu (raja, bangsawan). Seperti berikut :
Gambar 4
Visi Misi Masyarakat Sunda Buhun
(sumber: elaborasi penulis)
Desain | 52
Kehidupan masyarakat pahuma yang lestari hingga kini, sangat penting untuk dimaknai dan diapresiasi,
karena mereka mampu hidup mandiri, mampu harmonis dengan alam lingkungannya, dan tidak pernah
menimbulkan kerusakan ekosistem yang berdampak bencana alam. Prinsip hidup dengan mengikuti
pikukuh (kepatuhan) terhadap karuhun (leluhur) untuk tugas mulia mulasara buana (memelihara alam
semesta).
Masyarakat pahuma memiliki aturan adat atau pikukuh karuhun yang dimaknai sebagai patikrama, yaitu
pati (jiwa) dan krama (tatakrama, prosedur), yang menjadi hukum adat yang menjiwai seluruh
kehidupan manusia pahuma. Patikrama Tatanen Huma Sunda (prosedur adat untuk berhuma secara
Sunda), diyakini merupakan sumber jawaban terhadap beberapa masalah yang sulit dihadapi
masyarakat desa di kawasan hutan, yang memerlukan cara bertani tanpa melakukan perusakan hutan
atau penebangan pohon di kawasan hutan lindung maupun hutan produktif. Sayangnya Patikrama
tatanen huma Sunda tidak ditemukan dalam bentuk referensi tertulis.
Beberapa hal yang terkait Patikrama Tatanen Sunda, tampak dalam Sanghyang Siksa Kandang Karesian
(Petunjuk menjadi resi), yaitu: penggunaan perkakas pahuma yang diatur penggunaanya dalam gatra
ganggaman wong tani,viii sebagai berikut :
Gambar 5
Perkakas Pahuma menurut Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian
Prinsip kerja pahuma yang mempergunakan alat-alat kerja sederhana, menunjukkan adanya pembatasan
dalam pengolahan tanah, dan lingkungan hutan. Tidak terdapat cangkul karena mereka tidak boleh
merubah komposisi tanah, seperti muncul dalam ajaran amanat buyut dan implementasinya dalam
menjaga ekosistemix. Proses ngahuma berdasarkan Patikrama huma sebagai berikut :
Gambar 7
Proses ngahuma menurut cara adat
(sumber: elaborasi penulis)
Desain | 53
Pengaturan waktu untuk melaksanakan aktivitas itu, diatur dalam titimangsa yang disebut dengan
Pranatamangsa Sunda yang berlaku di bidang pertanian :
Gambar 8
Kalender waktu pelaksanaan proses ngahuma
(sumber: elaborasi penulis)
Petani kawasan desa hutan dapat melihat Patikrama Tatanen Huma Sunda sebagai acuan atau referensi
dalam memahami situasi dan kondisi dengan alam sekitarnya. Petani desa hutan dapat melakukan
aktivitas tani tanpa menggunduli hutan, merubah struktur tanah gunung, dan semua hal yang sudah
teratur oleh kuasa Ilahiah. Konsep bertani tanpa mencangkul tanah dan membabad pepohonan di hutan
adalah diantaranya dengan mempergunakan teknologi dan pengetahuan hidroponik yang berkembang
pesat.
Pada mulanya, kegiatan membudidayakan tanaman tanpa tanah ditulis pada buku Sylvia Sylvarum oleh
Francis Bacon pada Tahun 1627x. Teknik budidaya tanaman dengan menggunakan air menjadi
penelitian yang sangat populer. Pada Tahun 1699 John Woodward(1665-1728) menerbitkan percobaan
budidaya air dengan sprearmint. John Woodward menemukan bahwa tanaman dalam sumber-sumber
air yang tidak murni ternyata tumbuh lebih baik dari tanaman yang menggunakan air murni. Penelitian
Woodward meruapakan pengembangan dari Johann Baptista van Helmont (1577-1644) yang
menemukan teori humus dan proses fisiologi tanaman yang disebut photosysnthesis. xi
Gambar 9
Beberapa prinsip hidroponik dan aeroponik
(sumber: herb.co & www.linkedin.com)
Desain | 54
Riset ahli botani Jerman Julius Von Sach dan Wilhelm Knop, pada tahun 1859 – 1865 yang
mengembangkan teknik budidaya tanaman tanpa media tanah, telah menyimpulkan pentingnya
pemenuhan kebutuhan nutrisi mineral bagi tanaman, Riset keduanya pada masa kini disebut solution
culture, dianggap sebagai jenis hidroponik tanpa media tanam inert, yang merupakan media tanam yang
tidak mengandung unsur hara. Penelitian Sach sangat populer dengan nama percobaan sach yang
bertujuan untuk membuktikan bahwa proses fotosintesis menghasilkan karbohidrat.xii
Pada Tahun 1929 William Frederick Gerickle dari Universitas California mempromosikan secara
terbuka tentang solution culture yang digunakan untuk menghasilkan tanaman pertanian. Peneliti ini
merupakan pioner dalam pertanian hidroponik dan mengklaim bahwa hidroponik akan merevolusi
pertanian tanaman pangan. Pada tahun 1940 peneliti Hoagland dan Amon dari Universitas California
menyusun ulang formula Gerickle dan menerbitkan buku berjudul Complete Guide to Soiless
Gardening (Petunjuk berkebun tanpa media tanah), yang kemudian dikenal dengan hidroponik (dalam
bahasa Yunani hydro berarti air dan ponos yang artinya daya).xiii
James S Douglas (1975) menyusun buku berjudul ‘Hydroponics’, yang berhasil mengubah beberapa
lahan kosong di area perkotaan di Kota London berubah menjadi kawasan pertanian hidroponik yang
subur. Beberapa lahan pertanian yang tanahnya tidak subur, telah berhasil dikembangkan menjadi lahan
pertanian hidroponik yang produktif di Inggris.
Bambi Turner (2012) merilis artikel online berjudul ‘How Hydroponics Works’, yang memberikan
inspirasi bagi para petani di kawasan perkotaan untuk mengembangkan sistem tanam hidroponik dengan
berbagai cara yang ditawarkannya. Konsep pertanian budidaya hidroponik yang berkembang luas
adalah static solution culture dan wick system.xiv Di Indonesia static solution culture lebih dikenal
dengan istilah teknik apung atau teknik rakit apung, sedangkan wick sytem dikenal dengan istilah sistem
sumbu, keduanya merupakan jenis paling sederhana dari semua jenis hidroponik.
Kajian Richard Stoner (1983) yang bertajuk sistem pertanian aeroponik, yang berupa sistem pertanian
akar menggantung, yaitu sistem yang akar tanaman secara berkala dibasahi dengan butiran larutan
nutrien yang sangat halus. Metode ini tidak memerlukan media tanah atau genangan air, namun
memerlukan jenis tanaman yang tumbuh dengan akar yang menggantung di udara atau pertumbuhan
ruang yang luas secara berkala. Akar tanaman yang dibasahi dengan kabut halus dari larutan nutrisi
dapat menumbuhkan tanaman dengan sempurna dan sehat. Sistem aerasi (pembasahan akar dengan
larutan nutrisi) merupakan kelebihan utama dari aeroponik.xv
Peneliti Anna Heiney dari NASA pada tahun 2004 merilis artikel berjudul ‘Farming For The Future’
yang mempromosikan sistem aeroponik untuk konsep kehidupan di masa depan.xvi Beberapa
eksperimen perkebunan di luar angkasa telah membuktikan kemungkinan potensi budidaya tanaman di
berbagai lahan atau ruang terbuka. Pada konsep ini, pertanian meliputi segala jenis kegiatan penanaman
tumbuhan yang tidak tergantung pada keberadaan tanah pertanian yang subur.
Pinus Lingga (2009) mempopulerkan hidroponik di Indonesia dengan menerbitkan buku petunjuk untuk
melaksanakan kegiatan pertanian hidroponik dengan judul ‘Hidroponik: Bercocok tanam tanpa tanah’.
Pengalamannya dalam kegiatan pertanian hidroponik memberikan inspirasi bagi para petani hidroponik
untuk mencoba berbagai cara untuk membuat beragam media dan sarana budidaya hidroponik, termasuk
dengan penggunaan berbagai barang bekas.xvii
Kunto Herwibowo dan N.S Budiana (2014) mengembangkan sistem hidroponik sayuran tanpa
mempergunakan greenhouse untuk kalangan penggemar dan pebisnis tanaman. Reno Suryani (2015)
Desain | 55
mengembangkan sistem hidroponik untuk pertanian kota. Situasi dan kondisi perkotaan dengan lahan
sempit dan mahal, dapat dikembangkan menjadi lahan pertanian hidroponik yang produktif.
Fathulloh A.S dan N.S Budiana (2015), mengembangkan sistem budidaya tanaman dan ikan,
memperkenalkan konsep “Bos Letong” yang berarti Bikin Orang Sejahtera dengan Lele Gentong.
Prinsip percobaan budidaya ikan dan sayuran dikembangkan dari sistem akuaponik, dimana terjadi
siklus cairan nutrisi yang mutualistik antara tanaman hidroponik dan ikan dalam kolam.xviii Upaya
memasyarakatkan pemeliharaan tanaman dengan cara aerohidroponik, berkembang dalam berbagai
buku, media massa dan media sosial. Aplikasi sistem ini kepada masyarakat petani rakyat belum pernah
dilakukan oleh peneliti lain, padahal terdapat banyak permasalahan di pedesaan terkait dengan
berkurangnya fasilitas lahan tani.
4. Kesimpulan
Melalui kajian terhadap patikrama tatanen huma Sunda yang lestari di kawasan padukuhan atau
pedesaan adat, diperoleh gambaran pentingnya manusia memahami situasi dan kondisi alam
lingkungannya. Seperti halnya pahuma yang berkewajiban mulasara buana atau memelihara alam
sekitar, maka petani di kawasan desa hutan memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga ekosistem
hutan dari kerusakan dan eksploitasi yang berlebihan.
Visi mulasara buana dan visi ngertakeun bumi lamba yang dipegang teguh oleh masyarakat kabuyutan,
dapat dipahami sebagai dasar dalam melestarikan hutan, baik dalam katagori hutan garapan, hutan
lindung maupun hutan larangan. Pemanfaatan lahan hutan dan kolam ikan sebagai kebun sayuran yang
produktif dapat mempergunakan prinsip huma, yaitu melakukan proses pemeliharaan tanaman tanpa
merubah struktur lingkungan. Tidak melakukan penebangan pohon, penggalian dan pencangkulan tanah
serta pekerjaan lain yang membuat kondisi bumi berubah. Prinsip ini memiliki kesamaan dengan prinsip
hidroponik yang memanfaatkan aliran air bernutrisi tanpa media tanah.
Pemanfaatan kolam ikan menjadi kebun sayur dapat mempergunakan prinsip akuaponik, dimana terjadi
proses mutualisma antara tanaman dan ikan, melalui sirkulasi nutrisi dari kolam menuju media tanam
sayuran yang berada diatas kolam, dan dari tanaman menuju kolam. Prinsip kerjanya berbeda dengan
akuaponik dalam urban farming yang harus mempergunakan energi listrik untuk menggerakan pompa
air, pada desain akuponik kolam ikan ini, diperoleh cara yang lebih ekonomis dan praktis, yaitu
memanfaatkan aliran air ke kolam sebagai suplai nutrisi tak terbatas kepada tanaman sayuran yang
berada diatas kolam ikan.
Prinsip kerja aeroponik yang terkait suplai nutrisi melalui kabut nutrisi yang diserap akar tanaman yeng
menggantung, dapat diterapkan ke dalam desain produk aeroponik yang mempergunakan pohon sebagai
bagian konstruktif dari produk media tanam. Di hutan setiap pagi dan sore muncul kabut (fog) yang
memberikan suplay nutrisi pada tanaman yang berada diatas permukaan tanah. Prinsip ini dipergunakan
untuk membangun kebun sayuran diantara pepohonan besar di kawasan hutan.
Ujicoba implementasi prinsip kerja akuaponik-hidroponik-aeroponik dalam sistem pertanian tanpa
tanah di lahan desa yang terbatas, memperlihatkan gejala yang menimbulkan kegairahan baru bagi
petani rakyat yang tidak memiliki lahan tani yang luas.
Desain | 56
Gambar 10
Produk aeroponik untuk kawasan hutan
(sumber: elaborasi penulis)
Gambar 11
Produk hidroponik-akuaponik dari bambu untuk kawasan desa hutan
(sumber: elaborasi penulis)
5. Daftar Pustaka
[1] i Bachrein, Saeful.2010. Pendekatan Desa Membangun Di Jawa Barat: Strategi dan kebijakan
Pembangunan Perdesaan. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, Vol 6 No 2 p.133-149
[2] ii Riah. 2005. Pemanfaatan Lahan Pekarangan. Penebar Swadaya. Jakarta
[3] iii Tim Karya Tani Mandiri. 2010. Pedoman Budi Daya Secara Hidroponik. Nuansa Aulia.
Bandung
[4] iv Agar, M. 1996. Professional Stranger: An Informal Introduction To Ethnography, (2nd ed.).
Academic Press
[5] v Fetterman. 1998. Ethnography (2nd edition). Thousand Oak CA: Sage Publication
[6] vi Ekajati, Edi S. 2005. Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah, Jakarta: Pustaka Jaya
[7] vii Darsa, A.Undang. 2006. Gambaran Kosmologi Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama
[8] viii Danasamita, Saleh. Dkk.1987. Sewaka Darma Sanghyang Siksakandang Karesian Amanat
Galunggung. Bandung: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda. Direktorat Jenderal
Kebudayaan. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
[9] ix Jamaludin.2012. Makna Simbolik Huma (ladang) di Masyarakat Baduy. Mozaik Journal of
Humanism, Vol: 11/Nomor 1/2012-06, 1-8. FIB Universitas Airlangga Surabaya. ISSN: 1412-
Desain | 57
999x.
[10] x Situs: A.P. manuscripts : Sylva Sylvarum: A Natural History, In ten Centuries. 1627 Bacon.
Http://www.apmanuscripts.com/leonardo-da-vinci-collection/sylva diunduh 10 Mei 2017
[11] xi Situs: www.cropsreview.com/van-helmont.html : Contribution to the History of Photosynthesis:
Johann Baptista Van Helmont and John Woodward. Diunduh 15 Mei 2017
[12] xii Situs: Percobaan Sach. Gurusemesta.blogspot.co.id/2012/12/percobaan-sach.html. Minggu 30
Desember 2012. Diunduh pada 15 mei 2017.
[13] xiii Situs: Edwards,Jeff. Hydroponics History parts 2: The Birth of Hydroponic.
http//hydroponicgardening.com/history-0f-hydroponics/the-birth-of-hydroponics. Diunduh 17
Juni 2017.
[14] xiv Bambi, Turner. 2012. How Hydroponics Works. HowStuffWorks.com. Retrieved: 21-02-2016
[15] xv Stoner, R. 1983. Aeroponics Versus Bed and Hydroponic Propagation. Florist Review, Vol 173
No 4477 September 22, 1983.
[16] xvi Heiney, Anna. 2004. Farming For The Future. NASA .Gov. Retrieved: 20-03-2016
[17] xvii Lingga, Pinus. 2009. Hidroponik: Bercocok Tanam Tanpa Tanah. Jakarta: Penerbit Niaga
Swadaya
[18] xviii Budiana, N.S & Fathulloh,A.S. 2015. Akuaponik: Panen Sayur Bonus Ikan. Jakarta: Penebar
Swadaya.
top related