forensik
Post on 14-Oct-2015
37 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
-
26
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Peranan Analisis DNA Pada Penanganan Kasus Forensik
Sebelum kita mengenal lebih dekat DNA dan peranannya, terlebih
dahulu kita harus mengetahui dimana dan dari mana DNA itu berasal. DNA
itu terletak didalam setiap sel-sel tubuh kita yang begitu banyaknya. Dalam
setiap kilogram berat badan kita terdapat satu triliun sel. Oleh karena itu, bayi
yang baru lahir dengan berat badan 3 (tiga) kilogram mempunyai tiga triliun
sel. Jadi jika kita mempunyai berat badan 60 kilogram berarti kita mempunyai
sel sebanyak 60 triliun sel dan di dalam sel itu mengandung gen yang sama.
Dilihat dari struktur sel, di tengah-tengah sel terdapat sebuah nukleus yang
dilapisi oleh membran.21 Gen terletak di dalam nukleus. Asal mula manusia
berasal dari satu buah sel (sebuah sel telur yang telah dibuahi). Satu sel yang
telah dibuahi tumbuh menjadi dua, dua menjadi empat, begitulah seterusnya
berkembang dengan cara membelah dirinya menjadi kelipatan dua di dalam
rahim ibu selama sembilan bulan. Suatu saat dalam proses ini sel-sel tersebut
21 Kazuo Murakami, The Divine Message of The DNA, PT. Mizan Media Utama,
Bandung, 2008, Hal. 31-33.
-
27
mulai berdiferensiasi dan terspesialisasi, sebagian menjadi tangan, sebagian
menjadi kuku, kaki, jantung hati dan sebagainya.
Nukleus sel mengandung asam deoksiribonukleat atau lebih dikenal
dengan istilah deoxyribonucleic acid (DNA), yaitu: yang kita sebut sebagai
gen. DNA terdiri dari dua untai berbentuk spiral yang menjadi permukaan
tempat terdapatnya molekul-molekul yang namanya dapat disingkat menjadi
empat huruf: A,T, C, dan G. Ini adalah kode kode genetik kita dan dipercayai
mengandung semua informasi yang diperlukan untuk membentuk kehidupan.
Nukleus dari satu buah sel manusia memiliki tiga miliar huruf-huruf ini.
Hidup kita benar-benar bergantung pada informasi yang luar biasa banyaknya
yang tersimpan dalam DNA kita itu. (Lihat Gambar 2.1. dan 2.2.).
Semua informasi genetik dalam setiap organisme tertulis dalam heliks
ganda ini di tempat-tempat yang menjadi anak tangga dengan menggunakan
keempat huruf kimia A, T, C, dan G yang merupakan singkatan dari basa
adenin, timin, sitosin (huruf C dari bahasa Inggris: Cytosine), dan guanin.
Keempat zat kimia tersebut berpasang-pasangan dimana Adenin dan timin
sementara itu, sitosin dan guanin. Pasangan ini merekatkan kedua untai gula
fosfat sehingga menghasilkan bentuk heliks ganda. Inilah gen kita, informasi
yang tersimpan di dalam gen kita yang dikenal sebagai infomasi genetik.
Infomasi inilah yang sangat dibutuhkan oleh ilmu kedokteran forensik
didalam menangani semua kasus yang berhubungan dengan proses identifikasi
dalam suatu penegakan hukum.
-
28
Sejak ditemukannya penerapan teknologi DNA dalam bidang
kedokteran forensik, pemakaian analisis DNA untuk penyelesaian kasus-kasus
forensik juga semakin meningkat.22 Penerimaan bukti DNA dalam
persidangan di berbagai belahan dunia semakin memperkokoh peranan
analisis DNA dalam sistem peradilan.
Secara umum teknologi DNA dimanfaatkan untuk identifikasi
personal, pelacakan hubungan genetik (disputed parentaged atau kasus ragu
orang tua), dan pelacakan sumber biologis. Identifikasi personal dilakukan
pada kasus penemuan korban tak dikenal, seperti pada kasus kecelakaan,
pembunuhan, bencana massal, kecelakaan pesawat terbang, dsb. Pelacakan
hubungan orang tua dilakukan pada kasus dugaan perselingkuhan, kasus ragu
ayah, kasus ragu ibu, kasus bayi tertukar, kasus imigrasi dsb. Sedangkan
pelacakan sumber adalah pemeriksaan barang bukti renik (trace evidence)
dalam rangka pencarian pelaku delik susila (pemeriksaan bercak mani, usap
vagina, kerokan kuku), pencarian korban (bercak darah pada pakaian
tersangka, di TKP, dan analisis sel pada peluru bullet cytology) serta analisis
potongan tubuh pada kasus mutilasi.
Short Tandem Repeats (STR) adalah bagian DNA yang pendek dan
bersifat polimorfik sehingga dijadikan lokus pilihan untuk penyelesaian kasus-
kasus forensik. Lokus STR memiliki keistimewaan karena memiliki jenis alel
yang banyak, tetapi rentang yang sempit sehingga memungkinkan
diperbanyak secara multiplex dalam suatu tabung reaksi. Dengan melakukan
22 Djaja Surya Atmadja, Evi Untoro, Peranan Analisis DNA Pada Penanganan Kasus Forensik,
FKUI, Jakarta, 2007, hal. 2.
-
29
pemeriksaan pada lokus STR, identifikasi individu dapat dilakukan dengan
ketepatan yang amat tinggi.
STR merupakan core-DNA sehingga ia diturunkan menurut hukum
Mendel dari kedua orang tua. Pada setiap lokus STR, setiap anak memiliki
dua buah alel, dimana satu alel berasal dari ayahnya (DNA paternal), satu alel
berasal dari ibunya (DNA maternal).
Teknologi STR digunakan untuk menganalisis wilayah tertentu dari sel
DNA. Variasi hasil dari STR dapat digunakan untuk membedakan profil
DNA satu dengan yang lain. Badan investigasi Federal Amerika (FBI)
menggunakan standar satuan sebanyak 13 STR untuk CODIS, CODIS adalah
piranti lunak yang digunakan untuk mengoperasikan pusat data DNA lokal,
negara bagian maupun nasional di Amerika dari para tersangka kejahatan.
Bukti-bukti kejahatan yang tidak terpecahkan serta orang hilang.
Kemungkinan dari dua orang yang memiliki 13 Loci DNA yang sama adalah
1 banding 1 miliyar.
Analisis STR dalam bidang forensik dapat dilakukan dengan dua
pendekatan, yaitu: analisis ayah-anak-ibu (FCM analysis) dan analisis
pembandingan (matching analysis).
Pada analisis FCM dilakukan perbandingan alel STR tersangka ayah
(F), anak (C), dan ibu (M). Dicari apakah DNA paternal anak ada padanannya
atau tidak dengan salah satu DNA tersangka ayah. Adanya kesesuaian pada
semua lokus STR yang diperiksa menunjukkan bahwa tersangka ayah adalah
AYAH BIOLOGIS dari anak tersebut.
-
30
Pada analisis perbandingan (matching analysis) dilakukan
perbandingan antara dua set profil DNA dari dua buah sampel. Atas dasar
ketentuan bahwa semua sel dari individu yang sama memiliki profil DNA
yang sama, dua sampel yang memiliki profil DNA yang sama pastilah berasal
dari individu yang sama.
Jadi, pada saat ini, identifikasi individu, penentuan hubungan genetik,
dan pelacakan bahan biologis dalam kasus forensik telah dapat dipecahkan
secara akurat melalui pemeriksaan DNA. Analisis DNA dapat dilakukan pada
kasus-kasus ini adalah analisis kasus ayah-anak-ibu dan analisis perbandingan.
Data frekuensi alel lokus DNA dari populasi yang sama amat diperlukan
untuk mempertajam hasil penyimpulan analisis DNA. Untuk kasus forensik
saat ini, pemeriksaan DNA yang dianjurkan dilakukan adalah pemeriksaan 13
lokus STR yang dikenal sebagai CODIS 13. Dengan melakukan analisis DNA
pada lokus yang dianjurkan FBI, hasil pemeriksaan DNA di Indonesia dapat
dibandingkan dengan analisis DNA di laboratorium manapun di dunia.23
Peranan tes DNA dalam mengungkap identitas korban pembunuhan
khususnya terhadap korban yang sudah dalam keadaan rusak dan tidak dapat
di ident visual lagi sangatlah penting.
DNA forensic is the most powerful tool for identification in contemporary society. The future of DNA as evidence is firmly set as a standard tool criminal inverstigators.24
23 Daniel Drell, Using DNA to Solve Cold Cases, a special report from the National Institute of
Justice, U.S. DOE Human Genome Program, July, 2002.24 Christopher D. Duncan., op.cit.
-
31
Forensik DNA merupakan alat pengidentifikasian yang terkini. Dimasa
yang akan datang, DNA adalah merupakan alat bukti yang pasti dijadikan
standar utama oleh team investigasi dalam mengungkap siapakah korban
maupun pelaku tindak pidana.
B. Proses Identifikasi
Proses identifikasi dimulai dari pemeriksaan tempat kejadian perkara
(crime scene investigation).25 Tempat kejadian perkara (crime scene) adalah
sangat penting bagi seorang penyidik. Jika di dalam menangani identifikasi
tersebut menemukan mayat yang sudah sulit untuk diidentifikasi secara visual,
kondisi mayat sudah rusak berat maka penyidik harus memanggil seorang ahli
forensik atau ahli lainnya sesuai dengan Pasal 7 KUHAP ayat (1) huruf h :
Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemerikasaan perkara dan Pasal 133 KUHAP ayat (1) : Dalam hal penyidik
untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan
ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia
berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan ahli lainnya, ayat (2) : Permintaan keterangan
ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang
dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk memeriksa luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
25 Koesparmono Irsan, Ilmu Kedokteran Kehakiman, op.cit., hal. 53.
-
32
Di tempat kejadian perkara dapat ditemukan bukti-bukti yang relevan,
khususnya bukti-bukti fisik sehubungan dengan terjadinya suatu tindak
pidana. Menemukan bukti fisik mempunyai dua kepentingan: Pertama, yang
paling penting adalah merupakan faktor yang menentukan dalam memastikan
salah atau tidaknya seseorang. Keterangan seorang ahli forensik dapat
digunakan untuk menentukan suatu keputusan akhir di pengadilan. Untuk itu,
harus dapat disajikan fakta-fakta yang benar dan tepat. Kedua, pemeriksaan
bukti fisik dapat merupakan bantuan materiil dalam menggiring pelaku
kejahatan. Bukti-bukti fisik sering merupakan bahan yang sangat berguna bagi
penyidik sebelum melakukan penangkapan seseorang yang melakukan tindak
pidana bahkan sebelum ia mempunyai kecurigaan terhadap pelaku kejahatan
sesuai dengan bunyi Pasal 17 KUHAP : Perintah penangkapan dilakukan
terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan
bukti permulaan yang cukup.
Dalam kasus mayat yang sudah dalam kondisi rusak berat, semua
bukti-bukti fisik yang dapat ditemukan di jalan yang menuju tempat si mayat
harus dikumpulkan, seperti track jejak ban kendaraan yang diperkirakan
untuk mengangkut jenasah atau pernik-pernik dari pakaian yang
tertinggal/tercecer yang mungkin dipakai oleh korban atau pelaku yang
tercecer harus difoto in situ (ditempat aslinya).
Di dalam Ilmu Kedokteran Kehakiman diterangkan bahwa ada dua
macam pengidentifikasian mayat/korban pembunuhan, yaitu: melalui
Identifikasi Primer seperti:
-
33
1. Daktiloskopi (sidik jari forensik);
2. Odeontologi (gigi geligi forensi); dan
3. DNA Forensik;
Sedangkan Identifikasi sekunder terdiri dari:
1. Administrasi berupa identitas, catatan-catatan diri seorang/dokumen dan
lain-lain;
2. Identifikasi visual berupa pengenalan kembali oleh seseorang;
3. Patologi forensik berupa mengenali luka yang terjadi pada seseorang
akibat suatu kejadian dan;
4. Antropologi forensik berupa mengenali bekas-bekas luka seseorang yang
ada sebelum kejadian.26
Setelah pemeriksaan yang dilakukan oleh seorang ahli forensik
terhadap mayat di tempat TKP maka akan didapat Visum et Repertum (VER),
yaitu: keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang
berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup
atau mati ataupun bagian yang diduga bagian dari tubuh manusia berdasarkan
keilmuan di bawah sumpah untuk kepentingan peradilan.27 VER menguraikan
segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik dan dianggap sebagai
pengganti benda bukti/barang bukti. Hal ini tertuang di dalam bagian
kesimpulan dari isi VER.
Hasil dari identifikasi yang berupa VER tersebut nantinya akan
dijadikan sebagai alat bukti bagi Penuntut Umum untuk mengajukan dakwaan
26 Ibid, hal. 86-87.27 Ibid, hal. 35.
-
34
kepada tersangka. Oleh sebab itu, penyidik mempunyai suatu tugas berat di
dalam sistem peradilan pidana tersebut, yaitu: mengumpulkan alat-alat bukti
yang cukup guna mendapatkan kebenaran material.
Apabila dijabarkan, fungsi mencari dan menemukan kebenaran ini
haruslah didukung oleh adanya alat-alat bukti yang sah sesuai ketentuan
hukum yang berlaku (pasal 184 ayat 1) dan selaras dengan ketentuan Pasal
183 KUHAP.
C. Alat Bukti
Dalam keseharian kita sering berhadapan dengan bukti, alat bukti, dan
pembuktian. Terlebih lagi ketika bukti, alat bukti dan pembuktian itu terkait
dengan persidangan suatu perkara baik pidana maupun perdata, tata usaha
negara maupun peradilan agama.28
Acara pembuktian menempati posisi penting dari jalannya
peradilan/persidangan tersebut. Hakim dalam menjatuhkan vonis/putusan akan
selalu berpedoman kepada hasil pembuktian ini. Pengertian yang terkait
dengan bukti, membuktikan, dan pembuktian adalah sebagai berikut:
a. Bukti adalah sesuatu hal (peristiwa dan sebagainya) yang cukup untuk
memperlihatkan kebenaran sesuatu hal (peristiwa dan sebagainya);
b. Tanda bukti, barang bukti adalah apa-apa yang menjadi tanda sesuatu
perbuatan (kejahatan dan sebagainya);
c. Membuktikan mempunyai pengertian-pengertian:
28 Koesparmono Irsan, 2008, hal. 90.
-
35
1). Memberi (memperlihatkan) bukti;
2). Menandakan, menyatakan (bahwa sesuatu benar);
3). Meyakinkan, menyaksikan.
4). Pembuktian adalah perbuatan (hal dan sebagainya) membuktikan.29
Dalam pengertian yuridis, tentang bukti dan alat bukti dapat disimak
pendapat Soebekti yang menyatakan, bukti adalah sesuatu untuk meyakinkan
akan kebenaran sesuatu dalil atau pendirian. Alat bukti, alat pembuktian,
upaya pembuktian, bewijsmiddel adalah alat-alat yang dipergunakan untuk
dipakai membuktikan dalil-dalil suatu pihak di muka pengadilan, misalnya
bukti-bukti tulisan, kesaksian, persangkaan, sumpah dan lain-lain. 30
Pengertian membuktikan dalam arti yuridis menurut Sudikno
Mertokusumo, tiada lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada
hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan
kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Menurutnya, bahwa
membuktikan itu mengandung tiga pengertian yaitu membuktikan dalam arti
logis, membuktikan dalam arti konvensional dan membuktikan dalam hukum
acara mempunyai arti yuridis.31
Jadi, alat bukti adalah sesuatu hal (barang dan bukan barang) yang
ditentukan oleh undang-undang yang dapat dipergunakan untuk memperkuat
dakwaan, tuntutan atau gugatan.
29 Ibid, mengutip W.J.S. Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka.30 Ibid, mengutip Soebekti dan Tjitrosoedibio R., Kamus Hukum, Pradnya Paramitra, Jakarta, 1980,
hal. 21.31 Ibid, hal. 91, mengutip Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum - Suatu Pengantar,
Yogyakarta: Liberty , 1986 hal. 91.
-
36
Barang bukti adalah bukti dalam perkara pidana, yaitu: mengenai
mana delik dilakukan (obyek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan,
misalnya pisau, pistol, kapak atau benda-benda lainnya.32
Barang bukti dapat diperoleh dari:
a. Obyek delik/tindak pidana;
b. Alat yang dipakai untuk melakukan delik/tindak pidana;
c. Barang-barang tertentu yang mempunyai hubungan langsung dengan
delik/tindak pidana yang terjadi.
Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah:
1. Keterangan Saksi adalah seorang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. (Pasal1
angka 26 KUHAP).
2. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian-keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang (Pasal 1
angka 28 KUHAP), seperti Visum et Repertum yang dibuat oleh dokter
atau dokter spesialis forensik. Keterangan ahli adalah apa yang seorang
ahli nyatakan disidang pengadilan. (Pasal 186 KUHAP).
32 Ibid, hal. 94, mengutip Andi Hamzah, op.cit, hal. 100.
-
37
3. Surat sebagai dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c dibuat atas
sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah (Pasal 187 KUHAP)
adalah:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau
yang dialami sendiri, disertai alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangan itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termaksud
dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang
diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta
secara resmi dari padanya.
4. Petunjuk (Pasal 188 ayat (1) KUHAP) adalah perbuatan, kejadian atau
keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang
lain, maupun tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
tindak pidana dan siapa pelakunya pasal 188 ayat (2). Petunjuk sebagai
mana dimaksud ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:
1) Keterangan saksi;
2) Surat;
3) Keterangan terdakwa.
-
38
Pasal 188 ayat (3) : Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu
petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif
lagi bijaksana, setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh
kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.
5. Keterangan Terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang
tentang perbuatan yang ia lakukan atau apa yang ia ketahui sendiri atau
alami sendiri (Pasal 189 ayat (1) KUHAP). Pasal 189 ayat (2) :
Keterangan terdakwa yang berikan di luar sidang dapat digunakan untuk
membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung
oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan
kepadanya. Pasal 189 ayat (3) : Selanjutnya keterangan terdakwa hanya
dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
Dalam KUHAP tidak diberikan pengertian khusus tentang mengenai
apa yang diartikan dengan keterangan terdakwa. Namun demikian, di dalam
KUHAP terdapat dua definisi yang berkaitan dengan terdakwa, yaitu: Pasal 1
angka 15 tentang terdakwa dan apa yang tertuang dalam Pasal 189 ayat (1),
(2), dan (3) KUHAP sebagaimana diuraikan diatas. Berdasarkan Pasal 1 angka
15 KUHAP pengertian terdakwa adalah seorang tersangka, yang dituntut,
diperiksa dan diadili di sidang Pengadilan.
Keterangan terdakwa tidaklah sama dengan pengakuan
terdakwa.33Karena pengakuan terdakwa sebagai alat-alat bukti mempunyai
syarat-syarat, yaitu:
33 Ibid, hal. 123.
-
39
1. Mengakui ia yang melakukan delik yang didakwakan.
2. Mengaku bahwa ialah yang bersalah.
Dua macam pengakuan terdakwa tersebut masih harus disertai syarat-
syarat yaitu bahwa keterangan yang berisi pengakuan yang diberikan
oleh terdakwa tersebut harus diberikan dalam keadaan bebas, tanpa
adanya tekanan atau paksaan dalam bentuk apapun, sebagaimana
ditentukan dalam pasal 153 ayat (2) huruf b jo. Pasal 117 ayat (1)
KUHAP.
D. Hukum Pembuktian
Tugas hakim dalam memeriksa perkara pada sidang Pengadilan
adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran, yaitu: Tindak pidana yang
didakwakan terhadap terdakwa benar-benar telah terjadi dan ia dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatan tersebut, ia memiliki kesalahan dalam
melakukan perbuatan tersebut.
Dalam pemeriksaan perkara pidana, Hakim mencari dan menemukan
kebenaran yang sesungguhnya, kebenaran riil atau kebenaran materiil.
Berbeda dengan proses perkara perdata, hakim hanya mencari dan
menemukan kebenaran formal, ia hanya menilai hal-hal atau bukti-bukti yang
diajukan oleh pihak-pihak (penggugat atau tergugat) tanpa harus meneliti isi
alat bukti mengandung kebenaran atau tidak. Sedangkan dalam proses perkara
pidana, hakim mencari kebenaran materiil, yaitu: Tidak hanya percaya pada
bukti-bukti yang diajukan secara formal oleh Penuntut Umum maupun
terdakwa, tetapi dikejar sampai diketemukan kebenaran yang sesungguhnya.
-
40
Oleh karena itu, dalam sidang Pengadilan perkara pidana, hakim
mengali dan menilai bukti-bukti yang diajukan dalam rangka membuktikan
bahwa apa yang didakwakan kepada terdakwa adalah benar.
Hukum pembuktian yang mengatur dalam proses perkara pidana
tersebut meliputi hal-hal:
1. Cara Penggunaan dan dengan alat bukti apa agar dapat dibuktikan
sesuatu perbuatan.
Hal ini adalah mengenai Alat bukti (bewijsmiddelen). Undang-undang
akan menentukan alat bukti apa saja yang boleh dipergunakan dalam
pembuktian, misalnya: keterangan saksi, keterangan ahli, termasuk hasil
tes DNA, surat-surat, dan sebagainya. Alat bukti menurut KUHAP diatur
dalam pasal 184.
2. Persoalan kekuatan apa yang harus diberikan kepada masing-masing
alat bukti.
Hal ini adalah mengenai kekuatan bukti (bewijskracht). Aturan tentang
hal ini misalnya, Apakah keterangan terdakwa saja yang berisi
pengakuan sudah cukup membuktikan perbuatan pidana yang
didakwakan? Menurut ketentuan pasal 189 ayat (4) keterangan
terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah
melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus
disertai dengan alat bukti yang lain. Alat bukti surat yang bagaimanakah
-
41
yang mempunyai kekuatan bukti penuh? Apakah keterangan saksi di luar
sidang dengan disumpah memiliki kekuatan pembuktian yang penuh?
3. Mengenai persoalan tentang siapa yang harus mengajukan bukti
tentang perbuatan yang dilakukan.
Hal ini adalah mengenai beban pembuktian (bewijslast). Sesuai dengan
asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) beban pembuktian
dalam perkara pidana adalah kewajiban penuntut umum. Sebagaimana
dapat dibaca pada pasal 66 KUHAP : Tersangka atau terdakwa tidak
dibebani kewajiban pembuktian. Hanya dalam undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi (Undang-undang No. 31 tahun 1999
jo Undang-undang No. 20 tahun 2001) pasal 12 B tentang gratifikasi,
pemberian hadiah kepada penyelenggara Negara, yang nilainya lebih dari
Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) diterapkan beban pembuktian
terbalik. Artinya terdakwa yang harus membuktikan bahwa pemberian
atau hadiah itu bukan suap. Penerapan beban pembuktian terbalik dalam
perkara tindak pidana korupsi hanya dilakukan di pemeriksaan sidang
Pengadilan, bukan pada pemeriksaan di tingkat penyidikan.
Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada, dikenal
beberapa sistem atau teori pembuktian.34 Pembuktian tentang benar atau
tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan merupakan
bagian yang terpenting dalam acara pidana dimana hak asasi manusia
34 Andi Hamzah, op.cit., hal. 251.
-
42
dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya manakala hakim berdasarkan
keyakinannya dan adanya alat bukti yang tidak benar menyatakan bahwa
terdakwa terbukti bersalah telah melakukan tindakan yang didakwakan
kepadanya. Hukum acara pidana selalu mencari kebenaran materiil.35
Pembuktian adalah suatu proses bagaimana alat-alat itu dipergunakan,
diajukan atau dipertahankan sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Dari
sudut hukum acara pidana, arti pembuktian adalah antara lain:
1. Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari
dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa
atau penasehat hukum masing-masing terikat pada ketentuan tata cara
dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang;
2. Majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan
dijatuhkan dalam putusan harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah
ditentukan undang-undang secara limitatif sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 184 KUHAP.
Pasal 183 KUHAP : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Dalam menilai kekuatan pembuktian dari alat-alat pembuktian yang ada
dikenal beberapa sistem atau teori, yaitu:
35 Koesparmono Irsan, 2008, hal. 124.
-
43
1. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara
positif (Positief wettelijk bewijstheorie), yaitu: Pembuktian yang
didasarkan hanya pada alat-alat pembuktian yang disebut undang-
undang. Biasanya disebut sebagai teori atau sistem pembuktian
berdasarkan undang-undang secara positif.
Dikatakan secara positif, disebabkan pembuktian ini hanya didasarkan
pada alat-alat bukti tertentu yang disebut dalam undang-undang. Dengan
memberi kekuatan bukti yang penuh, jika suatu perbuatan telah terbukti
sesuai dengan alat bukti yang disebut oleh undang-undang, maka hakim
harus menyatakan kebenaran atau terbuktinya dakwaan. Keyakinan
hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini juga disebut sebagai
pembuktian formal (formele bewijstheorie).
Indonesia tidak menganut sistem ini, karena tidak sesuai dengan Pasal
183 KUHAP, terdapat kalimat yang maknanya, Harus ada keyakinan
hakim bahwa terdakwalah yang bersalah.
2. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan hanya pada kayakinan
hakim semata. Teori ini adalah merupakan kebalikan dari teori
pembuktian menurut undang-undang secara positif. Sistem atau teori
pembuktian semacam ini sering disebut sebagai conviction intime.
Bagaimana caranya hakim mendapat keyakinan tersebut apakah dengan
adanya saksi atau alat bukti lain, tidaklah penting. Dengan teori ini
-
44
dimungkinkan hakim menjatuhkan pidana tanpa didasarkan kepada alat-
alat bukti dalam undang-undang.
Sistem ini memberikan kepada hakim kebebasan terlalu besar, hal ini pun
tidak sesuai dengan Pasal 183 KUHAP yang kalimatnya menyiratkan,
Sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ditambah dengan
keyakinan hakim.
3. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan kayakinan hakim atas
alasan yang logis (La conviction raisonnee). Ini adalah sistem atau teori
berdasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu. Menurut teori atau
sistem ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah atau tidak
berdasarkan keyakinan. Akan tetapi keyakinan tersebut harus didasarkan
kepada alasan-alasan yang menjadi dasar keyakinannya. Alasan-alasan
tersebut harus berlandaskan ilmu pengetahuan dan logika. Hakim wajib
mempertanggungjawabkan cara, bagaimana ia memperoleh keyakinan
tersebut. Sistem ini disebut juga sebagai sistem atau teori vrij
bewijstheorie atau sistem pembuktian bebas. Hakim bebas untuk
meyebutkan alasan-alasan yang logis untuk memperoleh keyakinannya
tersebut.
4. Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif
(negatief wettelijk bewijstheorie). Manakala kita membahas teori-teori
pembuktian. Dapat dipastikan bahwa Pasal 183 KUHAP menganut teori
-
45
pembuktian negatif atau disebut sebagai pembuktian berdasarkan
undang-undang secara negatif.
P.A.F. Lamintang menuliskan bahwa:
a. Disebut wettelijk atau menurut undang-undang karena untuk
pembuktian, undang-undanglah yang menentukan tentang jenis dan
banyaknya alat bukti yang harus ada, dan
b. Disebut negatif, adanya jenis-jenis dan banyaknya alat bukti yang
ditentukan oleh undang-undang itu belum membuat hakim harus
menjatuhkan pidana bagi seorang terdakwa apabila jenis-jenis dan
banyaknya alat-alat bukti itu belum dapat menimbulkan keyakinan
pada dirinya bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar telah
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.36
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa negatief wettelijk bewijs
theorie pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif,
mensyaratkan bahwa minimal dua alat bukti yang sah harus dipenuhi oleh
penuntut umum untuk meyakinkan hakim bahwa suatu tindak pidana telah
terjadi, akan tetapi kalau memang hakim tidak mendapat keyakinan akan
kesalahan terdakwa maka pidana tidak dapat dijatuhkan.
36 Koesparmono Irsan, 2008, hal. 130, mengutip P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir,
Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1983, hal. 421.
-
46
E. Tindak Pidana
1. Istilah Dan Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum
pidana Belanda, yaitu: strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS
Belanda, dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak
ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu.
Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari
istilah itu. Sayangnya, sampai kini belum ada keseragaman pendapat.
Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan
yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari
istilah strafbaar feit adalah sebagai berikut:
a. Tindak pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-
undangan pidana kita. Ahli hukum yang mengunakan istilah ini seperti
Wirjonoprodjodikoro (lihat buku Tindak-tindak Pidana Tertentu di
Indonesia).
b. Peristiwa pidana, digunakan oleh beberapa Pokok-pokok Hukum
Pidana yang ditulis oleh M. H. Tirtaamidjaja.
c. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin delictum juga
digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan
Strafbaar feit.
d. Pelanggaran pidana, dapat dijumpai dalam buku.
-
47
e. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Karni dalam
buku Ringkasan tentang Hukum Pidana. Begitu juga Schravendijk
dalam buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia.
f. Perbuatan yang dapat dihukum.
g. Perbuatan pidana, digunakan oleh. Moelyatno dalam berbagai tulisan
beliau, misalnya dalam buku Asas-asas Hukum Pidana.
Nyatalah kini setidaknya-tidaknya dikenal ada tujuh istilah dalam
bahasa kita sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit, terdiri dari tiga kata,
yakni straft, baar, dan feit. Dari tujuh istilah yang digunakan sebagai
terjemahan dari strafbaar feit , ternyata sraft diterjemahkan dengan pidana
dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh.
Sementara itu, untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa,
pelangaran, dan perbuatan.
Sementara itu, untuk kata peristiwa menggambarkan pengertian
yang lebih luas dari perkataan perbuatan karena peristiwa tidak saja menunjuk
pada perbuatan manusia, melainkan mencakup pada seluruh kejadian yang
tidak saja disebabkan oleh adanya perbuatan manusia semata tetapi juga oleh
alam. Seperti matinya seseorang karena tersambar petir atau tertimbun tanah
longsor dimana dianggap tidak penting dalam hukum pidana. Baru menjadi
penting dalam hukum pidana apabila kematian orang itu diakibatkan oleh
perbuatan manusia (pasif maupun aktif).
Untuk istilah tindak memang telah lazim digunakan dalam peraturan
perundang-undangan kita walaupun masih dapat diperdebatkan juga
-
48
ketepatannya. Tindak menunjuk pada hal kelakuan manusia dalam arti positif
(bandelen) semata, dan tidak termaksud kelakuan manusia dalam arti positif
(handelen). Padahal, pengertian yang sebenarnya dalam istilah feit itu adalah
termasuk baik perbuatan pasif atau negatif (nalaten) tersebut. Perbuatan aktif,
artinya: Suatu bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya
diperlukan/diisyaratkan adanya suatu gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh
atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil (pasal 362 KUHP) atau
merusak (pasal 406 KUHP). Sementara itu, perbuatan pasif, Suatu bentuk
tidak melakukan suatu bentuk perbuatan fisik apapun yang oleh karenanya
seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misalnya
perbuatan tidak menolong (pasal 531 KUHP) atau perbuatan membiarkan
(pasal 304 KUHP).
Sementara itu, istilah delik secara literlijk sebetulnya tidak ada
kaitannya dengan istilah strafbaar feit karena istilah ini berasal dari kata
delictum (latin), yang juga dipergunakan dalam perbendaharaan hukum
belanda; delict, namun isi pengertiannya tidak ada perbedaan prinsip dengan
istilah strafbaar feit.
Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yaitu: Perbuatan
yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman
(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan
tersebut. 37
37 Adam Chazawi, Pelajaran hukum Pidana, bagian I, PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 67-71.
-
49
Vos merumuskan bahwa strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia
yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan (martiman P.2,
1996 :16).
Sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana dalam bahasa
Belanda adalah strafbaarfeit, kata tersebut merupakan istilah resmi yang
digunakan dalam KUHP yang pada saat ini berlaku di Indonesia. Tindak
pidana juga merupakan suatu perbuatan yang dapat dikenakan hukuman
pidana.
Menurut Pompe strafbaar feit (tindak pidana) itu secara teoritis
dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap
tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah
dilakukan oleh seorang pelaku dimana penjatuhan hukuman dan terjaminnya
kepentingan umum atau sebagai de normovertreding (verstoring der
rechtsorde), waaraan de overtreder schuld heeft en waaraan de bestrafing
dienstig is voor den handhaving der rechts orde en de behartiging van het
algemeen welzijn.38
Sebagai contoh telah dikemukakan oleh Pompe, suatu pelanggaran
norma seperti yang telah dirumuskan di dalam Pasal 338 Kitab Undang-
undang Hukum Pidana yang berbunyi: Barang siapa dengan sengaja
menghilangkan nyawa orang lain karena bersalah telah melakukan
pembunuhan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas
tahun. Menurut hukum positif kita, suatu strafbaar feit itu sebenarnya
38 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bandung, 1997, hal.
39, mengutip Pompe, Handoek.
-
50
adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan
undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.
Simons telah merumuskan bahwa strafbaar feit itu adalah Suatu
tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun
tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu
tindakan yang dapat dihukum.39
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
E. Y. Kanter dan SR Sianturi, memberikan pengertian Tindak Pidana
sebagai Suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang
dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,
bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang
(yang mampu bertanggung jawab).
Dari uraian tersebut diatas secara ringkas dapatlah disusun unsur-unsur
dari tindak pidana, yaitu:
a. Subyek;
b. Kesalahan;
c. Perbuatan yang melawan hukum (dari tindakan);
d. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang
/perundangan dan terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana;
39 Ibid, hal. 185, mengutip Simons, Leerboek I, hal. 122.
-
51
e. Tempat, waktu, dan keadaan. (unsur obyektif lainnya).40
Pada bab pertanggungjawaban dalam hukum pidana menjelaskan
pada waktu membicarakan pengertian perbuatan pidana telah diajukan bahwa
dalam istilah tersebut tidak termasuk pertanggung jawaban. Perbuatan pidana
hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu
pidana.
Apakah orang yang melakukan perbuatan (pidana) kemudian juga
dijatuhi pidana, sebagaimana telah diancamkan, ini tergantung dari soal
apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan. Sebab asas
dalam pertanggung jawaban dalam hukum pidana ialah: Tidak dipidana jika
tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi men
sit rea) asas ini tidak tersebut dalam hukum tertulis tapi dalam hukum yang
tidak tertulis yang juga berlaku di Indonesia.41
Subyek dari suatu tindak pidana adalah manusia. Pada dasarnya
manusia mempunyai akal dan kehendak, yang dapat pula membedakan mana
yang salah dan mana yang benar.
Pengertian kesalahan adalah ada atau tidak adanya kesalahan pada
seseorang yang nantinya akan menentukan seseorang itu dapat atau tidaknya
dipidana atau berat ringannya hukuman seseorang.
Sifat melawan hukum ini biasa dikenal oleh para sarjana hukum
dengan istilah wederrechtelijk, yaitu: Suatu perbuatan yang bersifat melawan
hukum berarti suatu perbuatan yang sangat bertentangan dengan ketentuan
40 E. Y. Kanter, Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni PHM-
PTHM, Jakarta, 1982, hal. 211. 41 Moeljatno, op.cit., hal. 53.
-
52
peraturan perundang-undangan yang berlaku atau merugikan kepentingan
orang lain.
Tempat, dan waktu kejadian, berarti perbuatan itu pasti dilakukan pada
satu tempat dalam waktu tertentu. Pihak penyidik dan juga Jaksa Penuntut
Umum dalam menyusun surat dakwaan akan menentukan sebagai tempat
kejadian perkara (TKP), juga untuk mengetahui kapan tindak itu terjadi dan
kapan daluarsanya suatu ancaman pidana. Dari keadaan korban di tempat
kejadian perkara akan ditentukan seberapa berat atau ringannya hukuman
yang akan diberikan kepada pelaku.
top related