faktor-faktor yang berhubungan dengan pencapaian …
Post on 16-Oct-2021
19 Views
Preview:
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN INDIKATOR KAPITASI BERBASIS
KOMITMEN PELAYANAN PADA PUSKESMAS DI WILAYAH DKI JAKARTA TAHUN 2018
TESIS
SAUDATINA ARUM MAUJUDAH
NPM 1606857103
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
DEPOK
JULI 2018
UNIVERSITAS INDONESIA
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN INDIKATOR KAPITASI BERBASIS
KOMITMEN PELAYANAN PADA PUSKESMAS DI WILAYAH DKI JAKARTA TAHUN 2018
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Magister Kesehatan Masyarakat
SAUDATINA ARUM MAUJUDAH
NPM 1606857103
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
DEPOK
JULI 2018
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah atas limpahan rahmat, karunia, dan nikmat-Nya
sehingga penulis bisa menyelesaikan tesis ini. Penulisan skripsi ini dilakukan untuk
mencapai gelar Magister Kesehatan Masyarakat Peminatan Kebijakan dan Hukum
Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Penulis
menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa
perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sulit bagi penulis untuk menyelesaikan
studi ini. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan rasa
hormat dan terima kasih kepada:
1) Prof. dr. Amal C. Sjaaf, SKM., Dr.PH, selaku pembimbing yang telah menyediakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan tesis ini;
2) Prof. dr. Anhari Achadi, SKM, DSc, Bapak Dr. Pujiyanto, SKM, M.Kes, Dr. drg.
Wahyu Sulistiadi, MARS selaku penguji telah meluangkan waktu untuk menguji dan
memberikan saran perbaikan.
3) dr. Monika Saraswati Sitepu, M. Sc, dr Ilmi Tri Indiarto yang telah bersedia hadir
meluangkan waktu dan tenaganya sebagai penguji luar pada seminar tesis dan telah
memberikan bimbingan serta saran untuk perbaikan tesis ini.
4) Haris Kurniawan, Hilmi Ibnu Haris, Jasmine Putri Haris, Daisy Kurniawan yang
selalu menjadi never ending support booster.. I love you all @>>-->>----
5) Orang tua dan keluarga atas kasih sayang dan dukungan serta sahabat yang telah
banyak membantu saya dalam menyelesaikan tesis ini, serta semua pihak yang tidak
bisa saya sebutkan satu per satu.
Akhir kata, saya berharap Allah berkenan membalas segala kebaikan semua pihak
yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu
pegetahuan.
Depok, 4 Juli 2018
Penulis
vii Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Saudatina Arum Maujudah Program Studi : IKM Kebijakan dan Hukum Kesehatan Judul : Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Indikator Kapitasi
Berbasis Komitmen Pelayanan Puskesmas di Wilayah DKI Jakarta tahun 2018
Kecenderungan biaya pelayanan kesehatan yang terus meningkat mendorong
pemerintah untuk mencari alternatif pembiayaan yang dapat mengefisienkan dana tanpa mengurangi mutu pelayanan. Salah satu sistem tersebut adalah dengan dijalankannya konsekuensi kapitasi berbasis komitmen pelayanan dimana puskesmas dibayar berdasar jumlah peserta terdaftar yang menjadi tanggungannya dipantau efektifitasnya dengan melihat kecenderungan angka kontak (≥1500/00), rasio prolanis (≥50%), dan rasio rujukan kasus non spesialistik (<0.5%), sehingga diharapkan moral hazard dari sisi suplai dapat dicegah atau diminimalisir. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan KBK.
Penelitian ini dilakukan di wilayah DKI Jakarta dengan unit analisis Puskesmas, dengan mixed method dengan model sequential (quan QUAL), data kualitatif diambil dengan metode indeph interview kepada informan kunci terkait untuk memvalidasi data yang tidak bisa divalidasi dengan metode kuantitatif.
Hasil penelitian Implementasi KBK selama 2 tahun telah cukup baik dan signifikan meningkatkan rata-rata angka kontak pada tahun 2017 sebesar 192.6 0/00
(target ≥150 0/00), dan rata-rata rasio prolanis sebesar 44.9% (≥50%), dan menurunkan rata-rata rasio rujukan kasus non spesialistik menjadi 0.3% (target <5%). Dari analisis multivariate, didapatkan pemodelan variable didapatkan variable nilai kapitasi, dan kecukupan SDM (dokter, perawat, bidan, tenaga kefarmasian) adalah yang signifikan berpengaruh dominan terhadap capaian indikator komitmen pelayanan (p value <0.05).
Penerapan kompensasi pemotongan kapitasi berdampak positif cukup memberi efek jera bagi puskesmas untuk mengerahkan segala usaha untuk pencapaian indikator komitmen pelayanan, di sisi lain adanya indikasi moral hazard di lapangan, sehingga diperlukan monitoring dan evaluasi dari berbagai pihak tanpa terfragmentasi agar cita-cita implementasi KBK untuk mewujudkan pelayanan yang berkualitas bisa diwujudkan. Kata kunci: implementasi KBK, angka kontak, rasio prolanis, rasio rujukan kasus non spesialistik
viii Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Saudatina Arum Maujudah Program Studi : IKM Kebijakan dan Hukum Kesehatan Judul : Factors related to the indicator achievement of the Capitation
Based on Service Commitment of Primary Health Care Centre in DKI Jakarta 2018
The increasing trend of health care costs has prompted the government to
seek financing alternatives that can streamline funds without reducing the quality of services. One such system is the implementation of the commitment-based capitation consequence where the puskesmas is paid based on the number of registered participants who are responsible for its effectiveness monitoring by looking at the tendency of contact numbers (≥1500/00), prolanis ratio (≥50%), and non-specialist case referral ratio (<0.5%), so it is expected that moral hazard from the supply side can be prevented or minimized. This study aims to determine the factors associated with the implementation of Capitation Based on Service Commitment
This research was conducted in DKI Jakarta area with Puskesmas as analysis unit, with sequential model mixed method (quan QUAL), qualitative data was taken by indeph interview method to key informant related to validate data which can not be validated by quantitative method.
The results of two year implementation significantly increased the average contact rate in 2017 by 192.6 0/00 (target ≥150 0/00), and the average prolanis ratio of 44.9% (≥50%), and lowering the average non-specialist case referral ratio to 0.3% (target <5%). From multivariate analysis, variables modeling related to achievement of service commitment indicator were capitation value, human resources (adequacy of doctor, nurse, midwife, pharmacy) are significant influence dominanly to achievement indicator of service commitment (p value <0.05).
Implementation of capitation compensation is positive enough to give an effect for all puskesmas efforts to achieve the indicator of service commitment, on the other side of the indication of moral hazard, so monitoring and evaluation is needed to create the quality service.. Keywords: implementation of capitation based on service commitment, communication contact, prolanis ratio, non-specialist case ratio
ix Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii
SURAT PERNYATAAN ...................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................. v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ............................. vi
ABSTRAK ............................................................................................................ vii
ABSTRACT ........................................................................................................... viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL .................................................................................................. xv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xviii
DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xix
PENDAHULUAN ................................................................................. 1
Latar Belakang.......................................................................................... 1
Rumusan Masalah .................................................................................... 4
Pertanyaan Penelitian ............................................................................... 5
Tujuan Penelitian ...................................................................................... 5
Tujuan Umum .................................................................................... 5
Tujuan Khusus ................................................................................... 5
Manfaat Penelitian .................................................................................... 6
Bagi keilmuan .................................................................................... 6
Bagi Puskesmas/institusi .................................................................... 6
Bagi Pemerintah ................................................................................. 6
Bagi FKM .......................................................................................... 6
Bagi Peneliti ....................................................................................... 6
Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................ 7
TINJAUAN LITERATUR .................................................................... 9
Pelayanan Kesehatan ................................................................................ 9
Fasilitas Pelayanan Kesehatan ................................................................ 10
Pembiayaan Kesehatan ........................................................................... 11
Sistem Pembayaran Kapitasi .................................................................. 12
x Universitas Indonesia
Pengertian ......................................................................................... 12
Sejarah Kapitasi ............................................................................... 13
Kapitasi dalam JKN ................................................................................ 13
Manfaat sistem Kapitasi : ....................................................................... 17
Langkah-langkah Menghitung Kapitasi ................................................. 18
Efek Pembayaran Kapitasi ..................................................................... 19
Masalah-masalah dalam pembayaran kapitasi ....................................... 19
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan ............................... 20
Definisi dan Asas BPJS .................................................................... 20
Prinsip BPJS ..................................................................................... 20
Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan pada
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama ................................................................ 20
Prolanis BPJS ...................................................................................... 21
Pengertian Prolanis BPJS ................................................................. 21
Sasaran Prolanis ............................................................................... 22
Mekanisme Prolanis BPJS ............................................................... 22
Langkah-Langkah Pelaksanaan ........................................................ 23
Edukasi Kelompok Peserta Prolanis ................................................ 24
Reminder melalui SMS Gateway ..................................................... 25
Home Visit ........................................................................................ 26
Hubungan Antara Kapitasi dengan Prolanis .................................... 27
Konsep Puskesmas .............................................................................. 28
Pengertian Puskesmas ...................................................................... 28
Wilayah Puskesmas .......................................................................... 32
Prinsip, Penyelenggaraan, Tugas Fungsi dan Wewenang ................ 33
Sumber Daya Puskesmas ................................................................. 36
Upaya Kesehatan .............................................................................. 38
Managed Care .................................................................................... 39
Sistem Rujukan dan Rujuk Balik ........................................................ 41
Sistem Rujukan ................................................................................ 41
Kebijakan Dalam Merujuk dan Merujuk Balik .............................. 41
Tata Cara Pelaksanaan Sistem Rujukan Berjenjang ........................ 42
xi Universitas Indonesia
Tata Cara Pelaksanaan Rujukan ....................................................... 42
Profil Resiko Peserta ........................................................................... 44
Pembayaran Kapitasi di Inggris dan Thailand .................................... 45
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan rujukan pelayanan
kesehatan ........................................................................................................... 45
Implementasi Kebijakan ..................................................................... 48
Implementasi Kebijakan Model Edward III ..................................... 49
Partial Least Square ............................................................................ 54
Model Pengukuran atau Outer Model .............................................. 54
Model Struktural atau Inner model .................................................. 55
Perbandingan antara Soft Modelling dan Hard Modelling .............. 56
Variabel Laten dengan Indikator Reflektif dan Indikator Formatif . 56
Metode Partial Least Square ............................................................ 58
Cara kerja Partial Least Square (PLS) ............................................. 58
Model Spesifikasi dengan PLS ........................................................ 58
Langkah-langkah pemodelan persamaan structural berbasis PLS
dengan software ............................................................................................ 59
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DEFINISI
OPERASIONAL DAN HIPOTESIS ..................................................................... 61
Kerangka Teori ....................................................................................... 61
Kerangka Konsep ................................................................................... 63
Definisi Operasional ............................................................................... 66
Hipotesis ................................................................................................. 73
METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 75
Desain Penelitian .................................................................................... 75
Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 75
Etika Penelitian ....................................................................................... 76
Populasi dan Sampel .............................................................................. 76
Populasi ............................................................................................ 76
Besar Sampel .................................................................................... 76
Kriteria Inklusi dan Eksklusi .................................................................. 77
Kriteria Inklusi ................................................................................. 77
xii Universitas Indonesia
Kriteria Eksklusi .............................................................................. 77
Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 77
Data primer ...................................................................................... 77
Data sekunder ................................................................................... 77
Jenis Data ......................................................................................... 77
Cara Pengumpulan Data ................................................................... 77
Pengolahan Data ..................................................................................... 78
Data kuantitatif ................................................................................. 78
Data kualitatif ................................................................................... 78
Analisis Data .......................................................................................... 78
Analisis Univariat ............................................................................ 78
Analisis Bivariat ............................................................................... 78
Analisis Multivariat .......................................................................... 78
HASIL PENELITIAN ......................................................................... 79
Sistematika Penyajian ............................................................................. 79
Gambaran Umum Wilayah ..................................................................... 79
Gambaran Umum Wilayah DKI Jakarta .......................................... 79
Keadaan Penduduk ........................................................................... 80
Gambaran Pelaksanaan Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan .......... 81
Proses Penelitian ..................................................................................... 81
Hasil Penelitian Kuantitatif .................................................................... 82
Variabel Dependen ........................................................................... 82
Variabel Independen ........................................................................ 87
Analisis Bivariat ............................................................................... 96
Analisis Multivariat .......................................................................... 97
Hasil Penelitian Kualitatif .................................................................... 104
Karakteristik Informan ................................................................... 104
Komunikasi .................................................................................... 104
Disposisi ......................................................................................... 108
Sumber Daya .................................................................................. 116
Struktur Birokrasi ........................................................................... 126
PEMBAHASAN ................................................................................ 137
xiii Universitas Indonesia
Sistematika Pembahasan ...................................................................... 137
Keterbatasan penelitian ........................................................................ 137
Angka Kontak ....................................................................................... 138
Rasio Prolanis ....................................................................................... 138
Rasio Rujukan Kasus Non Spesialistik ................................................ 139
Karakteristik Puskesmas ....................................................................... 142
Tingkat Puskesmas ......................................................................... 142
Kategori Puskesmas ....................................................................... 143
Status Akreditasi ............................................................................ 143
Komunikasi .......................................................................................... 144
Transmisi ........................................................................................ 145
Kejelasan ........................................................................................ 147
Konsistensi ..................................................................................... 149
Disposisi ............................................................................................... 152
Sikap pelaksana .............................................................................. 152
Komitmen Pelayanan ..................................................................... 156
Insentif/Kapitasi ............................................................................. 157
Sumber Daya ........................................................................................ 163
SDM ............................................................................................... 163
Kepala Puskesmas .......................................................................... 166
Peserta ............................................................................................ 167
Fasilitas .......................................................................................... 170
Dana ............................................................................................... 173
Struktur Birokrasi ............................................................................. 175
SOP ................................................................................................ 175
Fragmentasi Birokrasi .................................................................... 178
Permasalahan terkait pelaksanaan Kapitasi Berbasis Komitmen
Pelayanan .................................................................................................... 183
Aspek Kebijakan Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan ........... 188
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 210
Kesimpulan ........................................................................................... 210
Saran ..................................................................................................... 211
xiv Universitas Indonesia
Dinas Kesehatan ............................................................................. 211
BPJS ............................................................................................... 212
Kemenkes ....................................................................................... 212
Puskesmas ...................................................................................... 213
Peneliti Selanjutnya ........................................................................ 213
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 214
xv Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Penerapan Kompensasi Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan
Komitmen .............................................................................................................. 28
Tabel 2.2 Perbandingan PLS dengan SEM (Ghozali, 2008). ................................ 55
Tabel 3.1 Definisi Operasional ............................................................................. 66
Tabel 5.1 Luas Wilayah, Jumlah, Laju Pertumbuhan, dan Kepadatan Penduduk
Provinsi DKi Jakarta Tahun 2017 ......................................................................... 80
Tabel 5.2 Distribusi Angka Kontak pasien JKN di Puskesmas di wilayah DKI
Jakarta Tahun 2017 ............................................................................................... 83
Tabel 5.3 Distribusi Angka Kontak pasien JKN berdasarkan Puskesmas Kecamatan
dan Puskesmas Kelurahan di wilayah DKI Jakarta Tahun 2017 .......................... 83
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Angka Kontak Kategori Aman/Tidak Aman
berdasarkan Puskesmas Kecamatan dan Puskesmas Kelurahan Tahun 2017 ....... 83
Tabel 5.5 Distribusi Rasio Prolanis di Puskesmas di wilayah DKI Jakarta Tahun
2017 ....................................................................................................................... 84
Tabel 5.6 Distribusi rasio prolanis pasien JKN berdasarkan Puskesmas Kecamatan
dan Kelurahan di wilayah DKI Jakarta Tahun 2017 ............................................. 84
Tabel 5.7 Distribusi Frekuansi Rasio Prolanis Kategori Aman/Tidak Aman
berdasarkan Puskesmas Kecamatan dan Puskesmas Kelurahan Tahun 2017 ....... 84
Tabel 5.8 Distribusi Rasio Rujukan Kasus Non Spesialistik di Puskesmas di
wilayah DKI Jakarta Tahun 2017 ......................................................................... 85
Tabel 5.9 Distribusi Rasio Rujukan Kasus Non Spesialistik berdasarkan Puskesmas
Kecamatan dan Kelurahan Tahun 2017 ................................................................ 85
Tabel 5.10 Distribusi Frekuansi Rasio Rujukan Kasus Non Spesialistik Kategori
Aman/Tidak Aman berdasarkan Puskesmas Kecamatan dan Puskesmas Kelurahan
Tahun 2017 ........................................................................................................... 86
Tabel 5.11 Distribusi Puskesmas Aman Tiga Indikator Komitmen Pelayanan di
Wilayah DKI Jakarta Per Desember Tahun 2017 ................................................. 86
Tabel 5.12 Distribusi Puskesmas Tidak Aman Tiga Indikator Komitmen Pelayanan
di Wilayah DKI Jakarta Per Desember Tahun 2017 ............................................. 86
xvi Universitas Indonesia
Tabel 5.13 Distribusi variable Karakteristik Puskesmas di Wilayah DKI Jakarta
Tahun 2018 ........................................................................................................... 88
Tabel 5.14 Distribusi besaran kapitasi yang diterima oleh puskesmas di Wilayah
DKI Jakarta tahun 2016 s.d 2017 .......................................................................... 88
Tabel 5.15 Distribusi besaran kapitasi berdasar Puskesmas Kecamatan dan
Kelurahan .............................................................................................................. 89
Tabel 5.16 Statistik jumlah SDM puskesmas di Wilayah DKI Jakarta tahun 2018
............................................................................................................................... 89
Tabel 5.17 Statistik kecukupan SDM dokter puskesmas di Wilayah DKI Jakarta
tahun 2018 ............................................................................................................. 90
Tabel 5.18 Distribusi variable kepala puskesmas di wilayah DKI Jakarta Tahun
2017 ....................................................................................................................... 90
Tabel 5.19 Distribusi variable lama menjabat kepala puskesmas di wilayah DKI
Jakarta Tahun 2017 ............................................................................................... 90
Tabel 5.20 Distribusi kecukupan obat-obatan, sarana prasarana, alat kesehatan
puskesmas di Wilayah DKI Jakarta tahun 2017 ................................................... 91
Tabel 5.21 Distribusi variable pemenuhan waktu praktik di wilayah DKI Jakarta
Tahun 2018 ........................................................................................................... 91
Tabel 5.22 Distribusi variable pengelolaan klub prolanis di wilayah DKI Jakarta
Tahun 2018 ........................................................................................................... 92
Tabel 5.23 Distribusi Capaian Kinerja KPLDH puskesmas di Wilayah DKI Jakarta
tahun 2017 ............................................................................................................. 92
Tabel 5.24 Distribusi Frekuansi Peserta Terdaftar berdasarkan Puskesmas
Kecamatan dan Puskesmas Kelurahan .................................................................. 93
Tabel 5.25 Distribusi peserta JKN puskesmas di Wilayah DKI Jakarta tahun 2017
............................................................................................................................... 93
Tabel 5.26 Distribusi peserta JKN di Puskesmas di wilayah DKI Jakarta ........... 93
Tabel 5.27 Distribusi proporsi peserta risti puskesmas di Wilayah DKI Jakarta
tahun 2017 ............................................................................................................. 94
Tabel 5.28 Distribusi Proporsi Peserta Risti Puskesmas Wilayah DKI Jakarta tahun
2017 ....................................................................................................................... 94
xvii Universitas Indonesia
Tabel 5.29 Distribusi rasio dokter banding peserta puskesmas di wilayah DKI
Jakarta Tahun 2017 ............................................................................................... 95
Tabel 5.30 Distribusi rasio dokter banding peserta berdasarkan tingkat puskesmas
di wilayah DKI Jakarta Tahun 2017 ..................................................................... 95
Tabel 5.31 Perubahan capaian indikator kapitasi berbasis komitmen pelayanan
tahun 2016 s.d 2017 .............................................................................................. 96
Tabel 5.32 Perubahan kapitasi yang diterima puskesmas di wilayah DKI tahun
2016 s.d 2017 ........................................................................................................ 97
Tabel 5.33 Tabel Konstruk dan Indikator Awal.................................................... 98
Tabel 5.34 Tabel penilaian reliabilitas konstruk ................................................. 100
Tabel 5.35 Tabel Nilai discriminant validity ...................................................... 100
Tabel 5.36 Tabel R-Square ................................................................................. 101
Tabel 5.37 Nilai Koefisien Estimate Antar Variabel dan p value ....................... 101
Tabel 5.38 Karakteristik Informan WM.............................................................. 104
Tabel 6.1 Rincian Implikasi KBK........................................................................ 183
Tabel 6.2 Total Rujukan ke FKRTL di Wilayah DKI Jakarta tahun 2016 s.d tahun
2017 ..................................................................................................................... 184
Tabel 6.3 Total Klaim FKRTL di Wilayah DKI Jakarta .................................... 184
Tabel 6.4 Perbandingan Total Rujukan Puskesmas, FKTP lain wilayah DKI,
Puskesmas dan FKTP luar DKI tahun 2016 s.d tahun 2017 ............................... 184
Tabel 6.5 Total Kapitasi Puskesmas di wilayah DKI Jakarta tahun 2016 s.d tahun
2017 ..................................................................................................................... 185
Tabel 6.6 Kepesertaan JKN di Wilayah DKI Jakarta PBI dan non PBI tahun Tahun
2017 ..................................................................................................................... 186
Tabel 6.7 Prosentase kepesertaan JKN di wilayah DKI Jakarta ......................... 186
Tabel 6.8 Penghitungan besaran premi yang harus dibayarkan oleh pemerintah
daerah untuk peserta PBI (APBD) ...................................................................... 187
xviii Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Bagan Susunan Organisasi Pusat Kesehatan Masyarakat di DKI Jakarta
............................................................................................................................... 31
Gambar 2.2 The Behavioral Model (Weinstein, Blalock, & Weinstein, 2008) .... 46
Gambar 2.3 Teori Implementasi Kebijakan Menurut Edwards III (1980:148) .... 50
Gambar 2.4 Principal Factor (Reflektif) (Gozali, 2008) ....................................... 57
Gambar 2.5 Principal Factor (Formatif) (Gozali, 2008) ....................................... 57
Gambar 3.1 Model Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan (Anderson, 1974) .......... 61
Gambar 3.2 Kerangka Teori .................................................................................. 64
Gambar 3.3 Kerangka Konsep .............................................................................. 65
Gambar 5.1 Peta Wilayah DKI Jakarta ................................................................. 80
Gambar 5.2 Gambar Konstruk Model Awal ......................................................... 99
Gambar 5.3 Pemodelan Akhir ............................................................................. 102
xix Universitas Indonesia
DAFTAR SINGKATAN
AK : Angka KontakAPBD : Anggaran Pendapatan Belanja DaerahAPBN : Anggaran Pendapatan Belanja NegaraAPS : Atas Permintaan PasienASKES : Asuransi KesehatanASPAK : Aplikasi Sarana Prasarana Alat KesehatanBLUD : Badan Layanan Umum DaerahBPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial CM : contigency marginDM : Diabetes Mellitus DPP : Dokter Praktik PeroranganDRG : Diagnosis Related GroupDRG : Diagnosis Related GroupEPO : Exclusive Provider OrganizationEPO : Exclusive Provider OrganizationFFS : Fee For ServicesFFS : Fee For ServicesFKRTL : Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut FKTP : Fasilitas Kesehatan Tingkat PertamaFKTP : Fasilitas Kesehatan Tingkat PertamaGoF : Goodness of Fit HMO : Health Maintenance OrganizationHMO : Health Maintenance OrganizationINA CBGs : Indonesia Case Base GroupsJKN : Jaminan Kesehatan NasionalJKN : Jaminan Kesehatan NasionalJKN : Jaminan Kesehatan NasionalKBK : Kapitasi Berbasis Komitmen PelayananKBK : Kapitasi Berbasis Komitmen PelayananKNS : Kunjungan Non SpesialistikKPLDH : Ketuk Pintu Layani Dengan HatiMANOVA : multivariate analysis of variance NHS : National Health SystemOOP : Out Of PocketOOP : Out Of PocketOOP : Out Of PocketPBI : Penerima Bantuan IuranPergub : Peraturan GubernurPermenkes : Peraturan Menteri KesehatanPHC : Primary Health Care (PHC)PHC : Primary Health Care (PHC)PLS : Partial Least SquerePNPK : Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
xx Universitas Indonesia
POS : Point of ServicePOS : Point of ServicePPK : Pemberi Pelayanan KesehatanPPK : Panduan Praktik KlinisPPK-BLUD : Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah PPO : Preferred Provider OrganizationPPO : Preferred Provider OrganizationPPOK : Penyakit Paru Obstruktif Kronis Prolanis : Program Pengelolaan Penyakit KronisPTM : Penyakit Tidak MenularPuskesmas : Pusat Kesehatan MasyarakatRPPB : Rasio Peserta Prolanis rutin berkunjung ke FKTP RRNS : Rasio Rujukan Rawat Jalan Kasus Non Spesialistik RS : Rumah SakitSDK : Sumber Daya KesehatanSDM : Sumber Daya ManusiaSID : Suply Induce DemandSJSN : Sistem Jaminan Sosial NasionalSJSN : Sistem Jaminan Sosial NasionalSKN : Sistem Kesehatan NasionalSLE : Sistemic Lupus Erythematosus SOP : Standar Operasional ProsedurTACC : Time Age Complication ComorbidityTBC : TuberculosisTKD : Tunjangan Kinerja DaerahUKM : Upaya Kesehatan MasyarakatUKP : Upaya Kesehatan PeroranganUU : Undang-UndangUU : Undang-UndangUUD : Undang-Undang DasarUUD : Undang-Undang Dasar
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konstitusi Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) tahun 1948 menyatakan bahwa
“Health is a fundamental human right”, yang memiliki makna bahwa kesehatan adalah
hak yang sangat mendasar bagi seorang manusia. Sebagai suatu kebutuhan dasar,
pemenuhan kesehatan tidak hanya menjadi tanggung jawab setiap orang, namun juga
menjadi tanggung jawab Pemerintah, karena secara konstitusional, Pemerintah wajib
menjamin seluruh warganya yang berada disetiap wilayah agar mendapatkan pelayanan
kesehatan dengan kualitas dan standar yang sama, sesuai cita-cita bangsa Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 diamandemenkan dengan memasukkan hak jaminan sosial bagi
seluruh rakyat (pasal 28H) dan pada tahun 2002 dengan amandemen keempat UUD 1945
Negara diperintahkan utuk mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (UUD
1945, 2002).
Untuk mewujudkan komitmen konstitusi, pemerintah bertanggung jawab atas
pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
sejak 1 Januari 2014. Dengan diterbitkannya Undang-undang No. 24 tahun 2011
pelaksanaan JKN dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Sebagai upaya untuk dapat membangun pelayanan yang bermutu bagi Peserta
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), perlu memperhatikan adanya aspek kualitas layanan.
Aspek kualitas layanan sangat dipengaruhi oleh besaran pembayaran, perilaku tenaga
kesehatan yang melayani, motif pelayanan kesehatan (pencari laba atau bukan), dan
kecukupan suplai obat dan bahan habis pakai lainnya yang berpengaruh pada kualitas
layanan (Peta Jalan JKN, 2015)
Mutu Pelayanan Kesehatan berorientasi pada aspek keamanan pasien, efektifitas
tindakan, kesesuaian dengan kebutuhan pasien, serta efisiensi biaya. Sistem kendali mutu
pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional dilakukan secara menyeluruh meliputi
pemenuhan standar mutu medik (pelayanan kesehatan), mutu non medik (fasilitas
kesehatan) dan mutu administrasi (pelaporan). Disamping itu perlu dipastikan juga bahwa
proses pelayanan kesehatan berjalan sesuai dengan standar yang ditetapkan dan adanya
2
Universitas Indonesia
pemantauan terhadap luaran kesehatan Peserta. Mutu pelayanan kesehatan yang diberikan
harus dapat terukur dan terstandar.
Berbagai jenis pengukuran, standar dan upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan
telah tersedia dan terus berkembang. Salah satunya adalah dengan metode pembayaran
berbasis komitmen pelayanan, dimana metode ini merupakan salah satu konsep stratejik
yang paling banyak dibahas, bahkan berbagai kalangan di Amerika sejak tahun 2003 telah
mendorong agar pembayaran berbasis komitmen pelayanan atau pay for performance
menjadi prioritas utama nasional dan program asuransi Medicare.
Dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional, Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) akan dituntut untuk dapat melakukan monitoring,
evaluasi dan mendorong mutu pelayanan dan keselamatan pasien (Peserta) yang
diberikan oleh Fasilitas Kesehatan. Perlu dukungan dan komitmen yang tinggi dari
seluruh FKTP utuk menjadikan pelayanan primer berkualitas sehingga menjadi fasilitas
kesehatan yang dipercaya dan memberikan pelayanan terbaiknya. Konsep Primary
Health Care (PHC) dalam penguatan fasilitas pelayanan kesehatan primer dapat
mendorong efisiensi dalam pelayanan kesehatan. Untuk mendapatkan pelayanan yang
kesehatan yang berkualitas dan terjangkau perlu ditunjang oleh sumber daya kesehatan,
kelengkapan sarana dan prasarana, lingkup pelayanan dan komitmen pelayanan.
Berdasarkan hal tersebut diatas, untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan FKTP
pada penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional dilakukan penerapan
pembayaran kapitasi berbasis pemenuhan komitmen pelayanan
Salah satu masalah universal program pemeliharaan kesehatan di berbagai negara
adalah meningkatnya biaya kesehatan secara tajam dari waktu ke waktu. Faktor yang
menyebabkan meningkatnya biaya kesehatan antara lain adalah transisi epidemiologi
yang ditandai oleh perubahan pola penyakit yang menyebabkan Indonesia menghadapi
“Triple Burden”, penggunaan teknologi kesehatan canggih dan mahal serta pemberian
pelayanan kesehatan yang berlebihan (Gani, 1998; dan Azwar, 2002). Meningkatnya
biaya kesehatan yang tidak terkendali ini menyebabkan inflasi di sektor kesehatan di
Amerika 2-3 kali lebih besar daripada inflasi umum (Feldstein, 1998)
Dokter berpendapat bahwa pembayaran kapitasi ini justru berdampak negatif
terhadap pendapatan yang diterimanya. Pendapatan mereka dilaporkan turun sampai
30%. Di Amerika Serikat, 61% peserta Manage Care kecewa atas lebih singkatnya waktu
3
Universitas Indonesia
pelayanan dokter primer dan bertambah lamanya waktu tunggu untuk memperoleh
layanan tersebut (HIAA, 2000). Crowley, Zitner, dan Smith (2001) menyatakan bahwa
tidak ada satupun metode pembayaran kepada fasilitas kesehatan (FFS, kapitasi, dan
sistem gaji) yang dapat memuaskan semua pihak, karena setiap metode pembayaran
memiliki kekuatan dan kelemahannya sendiri. Situasi ini mendorong pengelola MCO
mengembangkan metode pembayaran prospektif lainnya, yaitu: tariff paket, sistem
budget, dan diagnostic related group (DRG), diskon FFS, dll (HIAA 2000, dan Sulastomo
2001)
Implementasi JKN pada pelayanan primer maupun lanjutan menganut prinsip
managed care yang bertumpu pada kendali biaya dan kendali mutu. Kinerja pelayanan
kesehatan dalam era JKN bisa dilihat pada Peraturan Bersama Sekretaris Jenderal
Kementerian Kesehatan RI dan Direktur Utama badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial
Kesehatan No.HK.02.05/III/SK/089/2016 No.3 Tahun 2016 dan diperbarui dengan
Peraturan Bersama Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan RI dan Direktur Utama
badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan No.HK.01.08/III/980/2017 No.2
Tahun 2017 tentang Petunjuk teknis Pelaksanaan Pembayaran Kapitasi Berbasis
Pemenuhan Komitmen Pelayanan pada FKTP dengan berdasarkan pencapaian indikator
yang meliputi indikator (1) Angka Kontak ≥ 150 per mil, (2) Rasio Rujukan Rawat Jalan
Non Spesialistik < 5% dan (3) Rasio Peserta Prolanis Rutin Berkunjung ke FKTP ≥ 50%.
Apabila FKTP dapat memenuhi indikator tersebut termasuk di dalam zona aman.
Dengan tercapainya angka kontak diharapkan upaya Puskesmas dalam menjaga
kesehatan peserta yang ada di wilayahnya lebih optimal karena terjadi peningkatan upaya
promosi kesehatan, preventif dalam upaya menjaga kesehatan, karena kunjungan bukan
hanya kuratif. Dan pencapaian Rasio Rujukan Rawat jalan non spesialistik yang relatif
kecil mengindikasikan pelayanan yang diberikan lebih efektif dan efisien dengan biaya
yang lebih kecil karena telah diselesaikan oleh PPK 1 sebagai gatekeeper dibanding jika
pelayanan tersebut dilakukan di Rumah Sakit, hal ini juga sebagai langkah mengurangi
penumpukan pasien di RS seperti masalah yang selama ini banyak dikeluhkan. Pelayanan
kesehatan diharapkan menjadi terstruktur dan berjenjang, peserta yang memerlukan
pelayanan kesehatan pertama-tama harus memperoleh pelayanan kesehatan pada Fasilitas
kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Bila peserta memerlukan pelayanan kesehatan
4
Universitas Indonesia
tingkat lanjutan, harus dilakukan rujukan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama, kecuali
dalam keadaan kegawatdaruratan medis (Kemenkes RI, 2013).
Melalui pencapaian indikator Prolanis diharapkan pelayanan kesehatan terhadap
usia lanjut melalui pendekatan proaktif yang dilaksanakan secara terintegrasi yang
melibatkan peserta dalam rangka pemeliharaan kesehatan bagi peserta yang menderita
penyakit kronis untuk mencapai kualitas hidup yang optimal dengan biaya pelayanan
kesehatan yang efektif dan efisien (Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan, 2014).
Tujuan program ini dalam JKN adalah untuk mendorong peserta penyandang penyakit
kronis mencapai kualitas hidup optimal dengan indikator 75% peserta terdaftar yang
berkunjung ke Faskes Tingkat Pertama memiliki hasil “baik” pada pemeriksaan spesifik
terhadap penyakit DM Tipe 2 dan Hipertensi sesuai Panduan Klinis terkait sehingga dapat
mencegah timbulnya komplikasi penyakit (Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan,
2014).
JKN telah dilaksanakan sejak 2014, dan Kapitasi berbasis komitmen pelayanan
telah dilaksanakan sejak tahun 2016. Sampai saat ini telah memasuki tahun ketiga, namun
dari 340 Puskesmas yang ada di Jakarta, belum semua Puskesmas yang sudah memenuhi
ketiga indikator komitmen pelayanan yang ditetapkan yaitu sebesar 234 (68.8%)
puskesmas dan belum dilakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi angka kontak,
rasio rujukan kasus non spesialistik, dan rasio prolanis, sehingga bisa diketahui efektifitas
dari kebijakan implementasi KBK, untuk itulah penelitian ini dilakukan.
Rumusan Masalah
Puskesmas sebagai penyedia pelayanan kesehatan di lini terdepan diharapkan
dapat memberikan pelayanan primer berkualitas sehingga menjadi fasilitas kesehatan
yang dipercaya dan memberikan pelayanan terbaiknya. peningkatan kinerja puskesmas
dalam penerapan kapitasi berbasis komitmen ini dilihat dari tiga indikator yaitu (1) Angka
Kontak ≥ 150 per mil, (2) Rasio Rujukan Rawat Jalan Non Spesialistik < 5% dan (3)
Rasio Peserta Prolanis Rutin Berkunjung ke FKTP ≥ 50%.
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
implementasi KBK di Puskesmas di wilayah diharapkan dapat meningkatkan angka
kontak, menurunkan rasio rujukan kasus non spesialistik, dan meningkatkan rasio
prolanis. Dari 340 Puskesma (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014), belum
5
Universitas Indonesia
semua Puskesmass yang sudah memenuhi ketiga indikator komitmen pelayanan yang
ditetapkan yaitu sebesar 234 (68.8%) puskesmass, karena itu kami ingin mengetahui
gambaran faktor-faktor dan faktor dominan yang mempengaruhi pencapaian indikator
komitmen pelayanan
Pertanyaan Penelitian
Dari rumusan masalah diatas, maka pertanyaan penelitian dapat dirumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1) Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian indikator komitmen
pelayanan Puskesmas?
2) Bagaimana hubungan faktor-faktor yang berpengaruh dengan pencapaian
indikator komitmen pelayanan Puskesmas?
3) Apa faktor dominan yang mempengaruhi pencapaian indikator komitmen
pelayanan Puskesmas?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran dan faktor dominan yang berpengaruh terhadap
pencapaian indikator komitmen pelayanan Puskesmas.
Tujuan Khusus
a. Diketahuinya gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian angka
kontak, rasio peserta prolanis rutin berkunjung ke puskesmas, dan rasio rujukan
kasus non spesialistik, dan
b. Dibuktikannya hubungan antara karakteristik Puskesmas dengan pencapaian
indikator komitmen pelayanan
c. Dibuktikannya hubungan antara nilai kapitasi dengan pencapaian indikator
komitmen pelayanan
d. Dibuktikannya hubungan antara sumber daya dengan pencapaian indikator
komitmen pelayanan
e. Dibuktikannya hubungan antara pengelolaan pelayanan dengan pencapaian
indikator komitmen pelayanan
6
Universitas Indonesia
f. Dibuktikannya hubungan proporsi risiko tinggi peserta dengan pencapaian
indikator komitmen pelayanan
g. Dibuktikannya faktor yang paling dominan yang mempengaruhi pencapaian
indikator komitmen pelayanan
Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk memberi khasanah ilmu pengetahuan terkait
implementasi KBK
Bagi keilmuan
Memberikan sumbangan pada khasanah pengetahuan tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi indikator pencapaian KBK (angka kontak, rasio rujukan kasus non
spesialistik, rasio prolanis) dalam penerapan kapitasi berbasis komitmen pelayanan,
khususnya di wilayah perkotaan.
Bagi Puskesmas/institusi
Dapat mengetahui kekurangan dan penyempurnaan yang perlu dilakukan
Puskesmas dalam menerapkan KBK, dan dapat mengembangkan kebijakan Puskesmas
yang berkaitan dengan pelaksanaan JKN
Bagi Pemerintah
Bisa diketahui masalah-masalah yang ada dalam penerapan Kapitasi Berbasis
Komitmen pelayanan sebagai masukan untuk mengembangkan kebijakan yang berkaitan
dengan JKN
Bagi FKM
Menambah wawasaan keilmuan di lingkungan fakultas Kesehatan Masyarakat,
khususnya Program Studi AKK terhadap implementasi Kapitasi Berbasis Komitmen
Pelayanan
Bagi Peneliti
Pengalaman melakukan penelitian terkait pelaksanaan kebijakan di lapangan,
yang bisa dipakai dan diaplikasikan setelah kembali di dunia kerja.
7
Universitas Indonesia
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitaian ini dilaksanakan dengan mengumpulkan data primer dan data
sekunder. Untuk mengetahui faktor yang berpengaruh dilakukan dengan mengumpulkan
data primer dari seluruh bagian Puskesmas yang menjadi sampel pada Januari s.d Maret
2017
8
Universitas Indonesia
Halaman ini sengaja dikosongkan
9 Universitas Indonesia
TINJAUAN LITERATUR
Pelayanan Kesehatan
Sehat merupakan kebutuhan dasar manusia, dengan sehat memungkinkan
seseorang dapat memenuhi kebutuhan hidup lainnya yang harus dipenuhi. Sayangnya
gangguan kesehatan atau sakit bisa mengancam manusia setiap saat, karena sakit
merupakan peristiwa yang tidak pasti. Menurut Thabrani (1998) kebutuhan pelayanan
kesehatan mempunyai 3 ciri yang unik yaitu Uncertainty, Asymetry of information,
Externality.
Uncertainty atau ketidakpastian menunjukkan bahwa kebutuhan akan pelayanan
kesehatan tidak bisa dipastikan, baik waktunya, tempatnya, maupun besarnya biaya yang
dibutuhkan. Sifat inilah yang menyebabkan timbulnya respon penyelenggaran
mekanisme asuransi di dalam pelayanan kesehatan.
Sifat kedua, asymetry of information menunjukkan bahwa konsumen pelayanan
kesehatan berada pada posisi yang lebih lemah sedangkan provider (dokter dll)
mengetahui lebih banyak tentang manfaat dan kualitas pelayanan yang diberikannya.
Akibat dari ciri ini pasien individu mudah menjadi “mangsa” provider. (Thabrani, 2000)
Sedangkan externality menunjukkan bahwa konsumsi pelayanan kesehatan tidak
saja mempengaruhi pembeli tetapi juga bukan pembeli (Thabrani, 2000). Hal ini adalah
akibat efek eksternalitas dalam pelayanan kesehatan yaitu dampak yang dialami orang
lain sebagai akibat perbuatan seseorang. Sebagai contoh misalnya pengobatan TBC tidak
saja bermanfaat bagi si pasien tapi juga bagi masyarakat di sekitarnya yang terhindar dari
penularan TBC. Akibat dari ciri ini, pelayanan kesehatan membutuhkan subsidi dalam
berbagai bentuk. Oleh karenanya, pembiayaan kesehatan tidak saja menjadi tanggung
jawab diri sendiri, akan tetapi menjadi tanggung jawab bersama (publik)
Masih ada ciri khusus pelayanan kesehatan (Gani, 1994) yaitu:
- Sehat sebagai hak azasi: adanya persepsi bahwa sehat adalah hak azasi manusia,
sehingga distribusi pelayanan kesehatan harus berdasarkan distribusi kebutuhan
(need), bukan berdasarkan kemampuan membayar (demand)
10
Universitas Indonesia
- Kecenderungan padat karya: Perkembangan teknologi tidak menyebabkan
otomatisasi (karenanya pengurangan manusia), melainkan justru mengembangkan
cabang-cabang spesialisasi baru yang makin sempit, sehingga industry kesehatan
bersifat padat karya.
- Suply Induce Demand, provider sangat mudah mendorong penggunaan pelayanan
yang disesabkan oleh ketersediaan alat ketimbang indikasi medis pasien, yang
dimungkinkan karena sifat ignorance dari pasien.
- Pembatasan terhadap kompetisi: perwujudan kompetisi dalam commercial marketing
(iklan) sangat dibatasi dalam sector kesehatan. Misalnya pemberian diskon, perang
harga, pemberian bonus yang lazim didunia bisnis komoditi lain, tidak etis untuk
dilakukan dalam industry pelayanan kesehatan.
- Barrier to entry, salah satu asumsi dalam mekanisme pasar adalah mudahnya
supplier bereaksi terhadap perubahan demand dan harga. Hal ini tidak terjadi dalam
industry kesehatan, terlebih lebih di negara sedang berkembang dimana tenaga
professional kesehatan sangat terbatas. Seorang investor misalnya bisa dengan
mudah mendirikan rumah sakit dan menyediakan alat-alatnya, namun semua itu
belum bisa berfungsi kalau tidak ada tenaga medis dan para medisnya yang untuk
saat ini di Indonesia sebagian besar adalah pegawai pemerintah.
Ciri-ciri khusus yang disebutkan diatas menyebabkan mekanisme pasar yang
sesungguhnya menguntungkan konsumen dalam hal ini pasien, tidak dapat terjadi. Hal
ini menyebabkan pelayanan kesehatan menjadi mahal sehingga sangat dirasakan menjadi
beban bagi individu yang sakit.
Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/ atau tempat yang digunakan
untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif
maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/ atau
masyarakat. (Kemenkumham, 2016)
Fasilitas Pelayanan Kesehatan menyelenggarakan pelayanan kesehatan berupa
pelayanan kesehatan perseorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat. Jenis Fasilitas
Pelayanan Kesehatan terdiri atas:
a. tempat praktik mandiri Tenaga Kesehatan
11
Universitas Indonesia
b. pusat kesehatan masyarakat;
c. klinik;
d. rumah sakit;
e. apotek;
f. unit transfusi darah;
g. Iaboratorium kesehatan;
h. optika
i. fasilitas pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum; dan
j. Fasilitas Pelayanan Kesehatan tradisional.
Fasilitas Pelayanan Kesehatan memiliki tingkatan pelayanan yang terdiri atas
Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama, tingkat kedua, dan tingkat ketiga.
Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama memberikan pelayanan kesehatan dasar.
Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat kedua memberikan pelayanan kesehatan
spesialistik. Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat ketiga memberikan pelayanan
kesehatan subspesialistik. Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat kedua dan tingkat ketiga
dapat memberikan pelayanan yang diberikan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat
di bawahnya.(Kemenkumham, 2016)
Pembiayaan Kesehatan
Pembiayaan kesehatan adalah tatanan yang menghimpun berbagai upaya
penggalian, pengalokasian, dan pembelanjaan sumber daya keuangan secara terpadu dan
saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya. Menurut RPJPK tahun 2004, pembiayaan kesehatan bagi
pembangunan kesehatan di Indonesia berasal dari dua sumber yaitu pemerintah dan
masyarakat. Sumber biaya pemerintah berasal dari pemerintah pusat, provinsi,
kabupaten/kota. Sumber biaya masyarakat dan swasta berasal dari pengeluaran rumah
tangga atau perorangan (out of pocket), perusahaan swasta/BUMN untuk membiayai
karyawannya dan lembaga non pemerintah yang umumnya digunakan untuk kegiatan
kesehatan yang bersifat sosial kemasyarakatan. (SKN, 2012b)
Metode Pembayaran yang dipilih oleh suatu negara bisa dipergunakan sebagai
alat kendali Moral Hazard. Metode pembayaran kepada fasilitas kesehatan pada dasarnya
bisa dibagi menjadi dua, yaitu pembayaran secara retrospektif dan pembayaran secara
12
Universitas Indonesia
prospektif. Pembayaran secara retropetif biasanya berbasis FFS. Pembayaran FFS dapat
merupakan OOP, dimana pasien langsung membayar dokter sesuai jumlah dan jenis
pelayanan kesehatan dari kantong sendiri, atau dapat juga melalui pihak ketiga melalui
sistem asuransi kesehatan atau jaminan oleh majikan. Pembayaran perspektif dapat
berupa (1) diskon FFS, (2) kapitasi, (3) buget, (4) Diagnosis Related Group (DRG)
(Kongstvedt, 2013)
Pembayaran kapitasi dapat dengan atau tanpa “withhold”. Pembayaran dengan
“withhold” mendorong dokter dalam proses kendali biaya dan kendali mutu. Jika angka
rujukan ke spesialis dan rumah sakit dibawah standar yang ditetapkan, maka dokter akan
memperoleh insentif dari dana withhold. Sebaliknya jika angka rujukan diatas standar
yang disepakati, dokter akan terkena sanksi berupa kehilangan seluruh atau sebagian dana
withhold. Dengan model withhold dokter terpacu menjadi gatekeeper yang efektif dengan
memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas agar pasien cepat sembuh. Dengan
withhold moral hazard demand dari sisi suplai dapat dicegah atau diminimalisir.
Sistem Pembayaran Kapitasi
Pengertian
Sistem pembayaran kapitasi adalah suatu mekanisme pembayaran kepada
pemberi pelayanan kesehatan (PPK) yang diberikan dalam jumlah yang tetap sesuai
dengan penduduk atau peserta yang menjadi tanggung jawab PPK yang memberikan
pelayanan kesehatan.
Capitation is a set amount money received or paid out, it based on membership
rather than on services delivered and usually is expressed in units of per member per
month; may be varied by such factors as age and sex of the enrolled member (Kongstvedt,
2013). Definisi tersebut menunjukkan bahwa sistem kapitasi adalah sejumlah uang yang
dibayarkan dimuka atau lebih didasarkan pada jumlah anggota daripada pelayanan yang
diberikan. Besarnya biaya kapitasi ini bervariasi oleh karena beberapa faktor yang
mempengaruhi besarnya kapitasi sepeti umur dan jenis kelamin.
13
Universitas Indonesia
Sejarah Kapitasi
Menurut Azwar (2000) konsep kapitasi ini sudah diperkenalkan jauh sebelum era
Otto Von Bismarc, yaitu pada jaman Yunani kuno. Pada era tersebut pemimpin agama
membayar di muka sejumlah uang kepada tabib (pemberi pelayanan kesehatan) sebagai
biaya pemeliharaan kesehatan untuk sejumlah jemaat gereja. Masyarakat Cina kuno
membayar uang dikala sehat (pra-upaya) kepada tabib dan mereka tidak perlu membayar
lagi pada saat mereka sakit dan memerlukan pelayanan kesehatan (HIAA, 2000). Menurut
Thabrany (1998) awal pembayaran pra-upaya dengan kapitasi dimulai di Belanda pada
tahun 1863. Sulastomo (2001), melaporkan bahwa konsep kapitasi sebenarnya mulai
dirintis secara sistematis pada tahun 1940-an oleh Badan Penyelenggaran Pemeliharaan
Kesehatan (Bapel) yang terkenal di San Fransisco, Amerika, yaitu “Kaiser Permanente”
Kapitasi dalam JKN
Kapitasi berasal dari kata kapita yang berarti kepala atau jiwa. Pembayaran
dengan sistem kapitasi adalah sebuah metode pembayaran untuk pelayanan kesehatan di
mana penyedia layanan dibayar dalam jumlah tetap per pasien tanpa memperhatikan
jumlah atau sifat layanan yang sebenarnya diberikan. Hal ini dipertegas dengan Pasal 1
angka (6) Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa dana
kapitasi merupakan besaran pembayaran per-bulan yang dibayar dimuka kepada FKTP
berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah
pelayanan kesehatan yang diberikan. (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2014)
Pembayaran bagi pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) dengan Sistem Kapitasi
adalah pembayaran yang dilakukan oleh suatu Lembaga kepada PPK atas jasa pelayanan
kesehatan yang diberikan kepada anggota lembaga tersebut, yaitu dengan membayar di
muka sejumlah dana sebesar perkalian anggota dengan satuan biaya (Unit cost) tertentu.
Yang dimaksud dengan Lembaga diatas adalah Badan Penyelenggara JPKM
(Bapel). Sedangkan yang dimaksud dengan Satuan Biaya (Unit cost) adalah harga rata-
rata pelayanan kesehatan perkapita (disebut juga Satuan Biaya Kapitasi) yang disepakati
kedua belah pihak (PPK dan Lembaga) untuk diberlakukan dalam jangka waktu tertentu.
Dua hal pokok yang harus diperhatikan dalam menentukan kapitasi adalah akurasi
prediksi angka utilisasi (penggunaan pelayanan kesehatan) dan penetapan biaya satuan.
Besaran angka kapitasi ini sangat dipengaruhi oleh angka utilisasi pelayanan kesehatan
14
Universitas Indonesia
dan jenis paket (benefit) asuransi kesehatan yang ditawarkan serta biaya satuan
pelayanan.
Angka utilisasi dapat diketahui dari berbagai laporan yang ada, umpamanya
Susenas, atau dari Dinas Kesehatan setempat.
Angka utilisasi dipengaruhi oleh:
1. Karakteristik Populasi
2. Sifat Sistem Pelayanan
3. Manfaat yang ditawarkan
4. Kebijakan asuransi
Utilisasi adalah tingkat pemanfaatan fasilitas pelayanan yang dimiliki sebuah
klinik/praktik. Angkanya dinyatakan dalam persen (prosentase). Utilisasi merupakan
jumlah kujungan per 100 orang di populasi tertentu (jumlah kunjungan/total populasi x
100%). Utilisasi dapat memberikan gambaran tentang kualitas pelayanan dan risiko suatu
populasi (angka kesakitan). Apabila utilisasi tinggi berarti menunjukkan kualitas
pelayanan buruk atau derajat kesehatan peserta buruk.
Unit cost adalah biaya rata-rata untuk setiap jenis pelayanan rata-rata pada kurun
waktu tertentu. Unit cost hanya dapat dihitung bila administrasi keuangan rapi
(sistematis), sehingga dapat melihat pemasukan untuk setiap jenis pelayanan.
Unit cost = Jumlah pendapatan untuk setiap jenis pelayanan/jumlah kunjungan untuk
pelayanan tersebut.
Unit cost identik dengan tarif atau harga jual (harga pokok ditambah margin)
dapat memberikan gambaran tentang efisiensi pelayanan dan risiko biaya suatu populasi
(beban biaya). Angka Unit cost yang tinggi menunjukkan pelayanan tidak efisien atau
populasi memiliki risiko biaya tinggi (banyak penyakit degeneratif). Hal ini penting untuk
menghitung tarif atau kapitasi dan untuk mengontrol biaya dan ketaatan tim terhadap SOP
yang telah disepakati.
Dalam menentukan tarif puskesmas diatur berdasarkan Permenkes No 52 tahun
2016 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program
Jaminan Kesehatan adalah sebagai berikut:
Kapitasi = Angka utilisasi x Biaya satuan/unit cost (Budiarto & Kristiana, 2015)
15
Universitas Indonesia
1. Penetapan besaran Tarif Kapitasi di FKTP dilakukan berdasarkan kesepakatan
bersama antara BPJS Kesehatan dengan Asosiasi Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama
2. Standar Tarif Kapitasi di Puskesmas atau fasilitas kesehatan yang setara sebesar
Rp3.000,00 (tiga ribu rupiah) sampai dengan Rp6.000,00 (enam ribu rupiah) per
peserta per bulan
3. Besaran tarif kapitasi yang diterima oleh FKTP ditentukan melalui proses seleksi dan
kredensial yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan melibatkan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dan/atau Asosiasi Fasilitas Kesehatan dengan mempertimbangkan
sumber daya manusia, kelengkapan sarana dan prasarana, lingkup pelayanan, dan
komitmen pelayanan.
4. Penggunaan kriteria dalam pertimbangan penetapan besaran Tarif Kapitasi
berdasarkan seleksi dan kredensial dilakukan secara bertahap, yang untuk pertama
kali menggunakan pertimbangan kriteria sumber daya manusia.
5. Kriteria sumber daya manusia sebagaimana dimaksud meliputi ketersediaan dokter
dan ketersediaan dokter gigi. Bagi puskesmas atau fasilitas kesehatan yang setara:
a. kapitasi sebesar Rp3.000,00 (tiga ribu rupiah) per peserta per bulan apabila tidak
memiliki dokter dan tidak memiliki dokter gigi;
b. kapitasi sebesar Rp3.500,00 (tiga ribu lima ratus rupiah) per peserta per bulan
apabila memiliki dokter gigi dan tidak memiliki dokter;
c. kapitasi sebesar Rp4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah) per peserta per bulan
apabila memiliki 1 (satu) orang dokter, tetapi tidak memiliki dokter gigi;
d. kapitasi sebesar Rp5.000,00 (lima ribu rupiah) per peserta per bulan apabila
memiliki 1 (satu) orang dokter dan memiliki dokter gigi;
e. kapitasi sebesar Rp5.500,00 (lima ribu lima ratus rupiah) per peserta per bulan
apabila memiliki paling sedikit 2 (dua) orang dokter, tetapi tidak memiliki dokter
gigi; dan
f. kapitasi sebesar Rp6.000,00 (enam ribu rupiah) per peserta per bulan apabila
memiliki paling sedikit 2 (dua) orang dokter, dan memiliki dokter gigi.
(Permenkes, 2016a)
Permenkes No. 52 tahun 2016 ini terdapat dua Permenkes Perubahan untuk
beberapa tarif terkait tarif untuk FKRTL yaitu Permenkes No. 64 tahun 2016 tentang
16
Universitas Indonesia
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 Tahun 2016 Tentang Standar
Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan
(Permenkes, 2016b) dan Permenkes No 4 tahun 2017 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 Tahun 2016 Tentang Standar Tarif Pelayanan
Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan (Permenkes, 2017)
Satuan biaya kapitasi ditetapkan berdasarkan perkiraan besarnya resiko gangguan
kesehatan yang memerlukan pelayanan kesehatan di kalangan anggota lembaga
pendanaan kesehatan tersebut dalam waktu tertentu.
Faktor-faktor yang menentukan satuan biaya kapitasi:
1. Bentuk-bentuk gangguan/masalah kesehatan yang umumnya dialami anggota beserta
prevalensi nya.
2. Jenis-jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan untuk mengatasi gangguan
kesehatan tersebut beserta tarifnya.
3. Tingkat penggunaan pelayanan kesehatan oleh peserta
Dari setiap pelayanan kesehatan, dihitung angka/biaya kapitasi dengan
mengalikan angka utilisasi tersebut dengan satuan biaya riil (real cost). Jumlah dari semua
angka kapitasi yang didapat menjadi angka kapitasi rata-rata per peserta per bulan. Secara
umum rumus penghitungan kapitasi adalah sebagai berikut :
Harus diingat bahwa biaya per kapita tidak sama dengan besaran kapitasi. Untuk
menentukan besaran kapitasi dari biaya per kapita diperlukan analisis lain misalnya biasa
administrasi dan pelaporan yang akan dicakup, tingkat kepesertaan dan variasi sebaran
resiko pada peserta yang dicover PPK.
Contoh penetapan angka utilisasi dan angka kapitasi :
Dari laporan pemanfaatan pelayanan kesehatan di Kecamatan XX tahun yang lalu
(experienced rate) dapat diketahui jumlah kunjungan rawat jalan peserta asuransi
kesehatan ke PPK tingkat I sebanyak 12.443 kunjungan. Jumlah peserta 10.000 orang.
Biaya dokter dan obat per kunjungan rata-rata Rp. 15.000,- (jasa dokter Rp.5.000,- dan
Angka kapitasi = angka utilisasi tahunan x biaya satuan : 12 bulan
= biaya per anggota per bulan (PAPB)
17
Universitas Indonesia
biaya obat rata-rata Rp. 10.000,-). Maka berdasarkan rumus diatas, maka angka kapitasi
per anggota per bulan (PAPB), adalah sebagai berikut :
PAPB = [( 12433 / Rp. 10.000 ) x Rp. 15.000 ] : 12 bulan = Rp. 1554,12
Perhitungan pembayaran kapitasi yaitu : jumlah peserta dan keluarganya yang
terdaftar sebagai peserta dikalikan dengan besarnya angka kapitasi untuk jenis pelayanan
kesehatan yang diinginkan.
Contoh perhitungan pembayaran kapitasi :
Jumlah peserta 3000 orang dan biaya kapitasi rawat jalan TK I Rp. 1.569,94 Pembayaran
kapitasi lewat jalan TK 1 adalah sebagai berikut
Pembayaran kapitasi = 3000 x Rp. 1.569,94 = Rp. 4.709,820/bulan.
Yang perlu diketahui selanjutnya adalah premi netto. Premi netto adalah besaran premi
yang belum memasukkan unsur biaya administrasi, investasi, dan keuntungan. Premi
netto (dalam setahun) dihitung dengan menambahkan besaran biaya kapitasi (full atau
partial tergantung manfaat yang dijamin) dengan besar biaya contigency margin (CM),
sehingga jika dinyatakan dalam rumus maka premi netto adalah:
Adapun premi bruto adalah besaran premi yang sudah memasukkan unsur biaya
operasional, serta keuntungan. Perhitungan premi bruto dapat diformulasikan sebagai
berikut:
Biaya operasional yang dimaksud disini adalah besar biaya administrasi yang
dibebankan kepada tiap peserta. (Januraga, 2008)
Manfaat sistem Kapitasi :
1. Ada jaminan tersedianya anggaran untuk pelayanan kesehatan yang akan diberikan
2. Ada dorongan untuk merangsang perencanaan yang baik dalam pelayanan kesehatan,
sehingga dapat dilakukan :
Pembayaran kapitasi = jumlah peserta x angka kapitasi
Premi netto = Biaya kapitasi + (CM x biaya kapitasi)
Premi bruto = Premi netto + Biaya Operasional + Profit
18
Universitas Indonesia
a. Pengendalian biaya pelayanan kesehatan per anggota
b. Pengendalian tingkat penggunaan pelayanan kesehatan
c. Efisiensi biaya dengan penyerasian upaya promotif-preventif dengan kuratif-
rehabilitatif
d. Rangsangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu,
efektif & efisien
e. Peningkatan pendapatan untuk PPK yang bermutu
f. Peningkatan kepuasan anggota yang akan menjamin tersedianya kesehatan
masyarakat
Langkah-langkah Menghitung Kapitasi
1. Menetapkan jenis-jenis pelayanan yang akan dicakup: disini harus dirinci dengan
jelas pelayanan apa saja yang dicakup dalam perhitungan kapitasi. Harus jelas
pelayanan apa saja yang dicakup dalam kaitasi dengan maksud agar peserta tidak
menjadi korban dan terombang-ambing yang pada akhirnya akan menimbulkan
ketidakpuasan peserta terhadap perusahaan asuransi
2. Menghitung rate utilisasi untuk setiap jenis pelayanan yang dikapitasikan. Biasanya
rate tersebut dihitung per seribu anggota untuk satu tahun pelayanan. Para ahli
berpendapat bahwa rate akan stabil pada 100.000 orang-tahun.
3. Menetapkan biaya per pelayanan dimana untuk suatu wilayah tertentu biaya
pelayanan ini dikumpulkan dan dihitung biaya rata-rata per jenis pelayanannya. Atas
dasar ini kemudian biaya kapitasi diperhitungkan. Jika tariff PPk lebih mahal
daripada rata-rata, PPK terpaksa menurunkan tarifnya, namun dapat dikompensasi
dengan kenaikan volume jika PPK sudah punya anggota yang cukup besar.
4. Menghitung biaya per kapita per bulan untuk tiap pelayanan. Setelah rate dan rata-
rata biaya per pelayanan diperoleh maka selanjutnya dihitung biaya per kapita per
bulan untuk tiap jenis pelayanan. Formula yang digunakan adalah sebagai berikut:
Menjumlahkan biaya per kapita per bulan untuk seluruh pelayanan. Langkah
terakhir adalah menjumlahan biaya per kapita yang telah diperoleh menjadi biaya per
kapita per bulan. Beberapa kelompok yang besar menambahkan biaya konstan untuk
Biaya per kapita per bulan = (rate tahunan x rata-rata biaya) : 12 bulan
19
Universitas Indonesia
administrasi dan pelaporan. Tetapi beban ini bisa ditanggung oleh PPK, terutama PPK
yang mempunyai tarif di bawah rata-rata. Bila kepada peserta akan dikenakan copayment
maka pendapatan dari copayment akan diperhitungkan.
Efek Pembayaran Kapitasi
Efek utama pembayaran kapitasi adalah untuk mencegah moral hazard deman
dari sisi suplai. Dengan pembayaran kapitasi sebelum penerapan KBK, Puskesmas akan
menerima penghasilan yang tetap dari kontrak kapitasi tanpa dipengaruhi oleh tinggi
rendahnya kunjungan pasien.
Masalah-masalah dalam pembayaran kapitasi
Pembayaran sistem kapitasi merupakan suatu cara penekanan biaya, dengan
menempatkan PPK pada posisi menanggung resiko, seluruhnya atau sebagian, dengan
cara menerima pembayaran atas dasar jumlah jiwa yang ditanggung. Mekanisme ini akan
menyebabkan PPK akan menekan biaya operasionalnya hingga paling tidak biaya per unit
pelayanan yang diberikan sama atau lebih kecil dari average cost. Dengan demikian PPK
akan menekan jumlah kunjungan agar revenue sama atau lebih besar dari revenue jika
PPK melayani pasien dengan fee for service (Thabrani, 1999)
Untuk mencapai hal tersebut PPK dapat melakukan praktik-praktik yang sifatnya
bisa menguntungkan pasien tetapi dapat pula merugikan pasien bila provider semata-mata
mengejar keuntungan. Beberapa praktik positif yang mungkin dilakukan provider adalah:
a. Memberikan pelayanan yang berkualitas tinggi dengan menegakkan diagnosis yang
tepat dan memberikan pengobatan atau tindakan yang tepat.
b. Memberikan pelayanan promotive dan preventif untuk mencegah insidens
kesakitan
c. Memberikan pelayanan yang pas, tidak lebih dan tidak kurang
Beberapa praktik negatif yang dapat terjadi adalah:
a. PPK akan mudah merujuk ke spesialis, jika kapitasi diberikan secara terpisah-pisah
antara pelayanan rawat jalan tingkat pertama dan rujukan tanpa diimbangi dengan
insentif yang memadai
20
Universitas Indonesia
b. Mengurangi waktu pelayanan untuk pasien sehingga mutu pelayanan berkurang, hal
ini pada akhirnya akan menimbulkan biaya yang besar pada pelayanan lanjutan.
Untuk mengurangi dampak negatif dari sistem ini perlu dilakukan evaluasi
terhadap utilisasi pelayanan dan biaya, status kesehatan dan kepuasan peserta
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
Definisi dan Asas BPJS
Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) adalah badan hukum yang
dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Dimana tujuan badan hukum
ini untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan
dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya.
BPJS dalam menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional mengacu pada asas
berikut:
1. Kemanusiaan 2. Manfaat 3. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Prinsip BPJS
BPJS dalam menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan
prinsip berikut:
1. Prinsip kegotongroyongan 2. Prinsip nirlaba 3. Prinsip keterbukaan 4. Prinsip portabilitas 5. Kepesertaan 6. Dana amanat 7. Hasil pengelolaan dana jaminan sosial
Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan pada
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
Pembayaran kapitasi berbasis pemenuhan komitmen pelayanan pada FKTP
merupakan bagian dari pengembangan sistem kendali mutu pelayanan yang bertujuan
untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pelayanan kesehatan.
21
Universitas Indonesia
Penerapan Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan pada FKTP dilakukan
setelah terjadi kesepakatan antara BPJS Kesehatan dengan FKTP. Adapun terkait teknis
pelaksanaan telah terinci di Peraturan Bersama Sekretaris Jenderal Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia dan Direktur Utama Badan penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan Nomor HK.01.08/III/980/2017 Tahun 2017 Nomor 2 Tahun 2017 (terlampir)
(BPJS, 2017)
Prolanis BPJS
Pengertian Prolanis BPJS
Prolanis adalah suatu sistem pelayanan kesehatan dan pendekatan proaktif yang
dilaksanakan secara terintegrasi yang melibatkan peserta, fasilitas kesehatan dan BPJS
Kesehatan dalam rangka pemeliharaan kesehatan bagi peserta BPJS Kesehatan yang
menderita penyakit kronis untuk mencapai kualitas hidup yang optimal dengan biaya
pelayanankesehatan yang efektif dan efisien (Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan,
2014)
Tujuan program ini dalam BPJS adalah untuk mendorong peserta penyandang
penyakit kronis mencapai kualitas hidup optimal dengan indikator 75% peserta terdaftar
yang berkunjung ke Faskes Tingkat Pertama memiliki hasil “baik” pada pemeriksaan
spesifik terhadap penyakit DM Tipe 2 dan Hipertensi sesuai Panduan Klinis terkait
sehingga dapat mencegah timbulnya komplikasi penyakit (Badan Penyelenggara Jaminan
Kesehatan, 2014)
Adapun Program Pengelolaan Penyakit Kronis memiliki karateristik sebagai
berikut:
a. Penetapan target kesehatan individual bagi setiap penderita penyakit kronis.
b. Penanganan kesehatan per individual peserta penderita penyakit kronis fokus pada
upaya promotif dan preventif untuk mencegah episode akut.
c. Edukasi dan upaya meningkatkan kesadaran dan peran serta Peserta penderita
penyakit kronis terhadap perawatan kesehatannya secara mandiri.
d. Penerapan protokol pengobatan yang berdasaran evidence base medicine.
e. Peningkatan fungsi gate keeper pada tingkat Rawat Jalan Tingkat Pertama dalam
rangka pengendalian biaya pelayanan rujukan. (Rini, 2014)
22
Universitas Indonesia
Sasaran Prolanis
Sasaran Prolanis adalah seluruh peserta Askes Sosial penderita penyakit kronis
Diabetes Mellitus dan Hipertensi. Tahapannya, peserta harus mendaftar dahulu di BPJS
terdekat atau di Puskesmas dan Dokter keluarga tempat peserta terdaftar. Setelah
mendaftar, peserta akan mendapatkan Dokter Keluarga Prolanis atau Dokter di
Puskesmas Prolanis yang dipilih serta buku pemantauan status kesehatan. Dokter
Keluarga/Puskesmas di sini berperan sebagai gatekeeper yang tidak hanya memilih
pasien untuk dirujuk ke spesialis terkait, tetapi diharapkan juga dapat memberikan
pelayanan komprehensif dan terfokus pada upaya promotif dan preventif. Dokter
Keluarga/Dokter Puskesmas akan bertindak sebagai manajer kesehatan bagi penderita
penyakit kronis ini. Dokter keluarga juga akan berperan sebagai konsultan bagi peserta
yang memberikan bimbingan, edukasi, dan peningkatan kemampuan peserta untuk
melakukan pemeliharaan atas kesehatan pribadinya secara mandiri. Dokter akan
memantau kondisi dan status kesehatan peserta Prolanis secara rutin serta bisa
memberikan resep obat kronis pada level Rawat Jalan Tingkat Pertama. (Rini, 2014)
Mekanisme Prolanis BPJS
Pelayanan Program Pengelolaan Penyakit Kronis bersifat komprehensif
(menyeluruh) meliputi :
1. Upaya promotif; penyuluhan/informasi berbagai media, konsultasi, dan reminder
aktifitas medis
2. Upaya preventif, penunjang diagnostik, kunjungan rumah (home visite), konseling
3. Upaya kuratif; pemeriksaan dan pengobatan penyakit pada Rawat Jalan Tingkat
Pertama, Rawat Jalan Lanjutan, Rawat Inap Lanjutan serta pelayanan obat
4. Upaya rehabilitatif; penanganan pemulihan dari penyakit kronis
Pelayanan PROLANIS di fasilitas kesehatan primer lebih fokus pada pelayanan
promotif dan preventif meliputi :
a. Pemberian konsultasi medis, informasi, edukasi terkait penyakit kronis kepada
penderita dan keluarga
1) Kunjungan ke rumah pasien
2) Penyuluhan penyakit kronis
23
Universitas Indonesia
3) Pelatihan bagi tata cara perawatan bagi penderita
b. Pemantauan kondisi fisik peserta kronis secara berkesinambungan
c. Pemberian resep obat kronis dan kemudian peserta mengambil obat pada Apotek
yang ditunjuk
d. Pemberian surat rujukan ke Fasilitas yang lebih tinggi untuk kasus-kasus yang tidak
dapat ditanggulangi di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama / Primer.
e. Penanganan terapi penyakit kronis dan peresepan obat kronis sesuai Panduan Klinis
penanganan penyakit kronis yang berlaku
f. Membuat dokumentasi status kesehatan per Pasien terhadap setiap pelayanan yang
diberikan kepada tiap pasien
g. Membuat jadwal pemeriksaan rutin yang harus dijalani oleh peserta
Langkah-Langkah Pelaksanaan
Sebelum melaksanakan prolanis, ada beberapa langkah yang harus dilakukan
sebelum aktivitas prolanis itu sendiri:
1. Melakukan identifikasi data peserta sasaran berdasarkan:
a. Hasil Skrining Riwayat Kesehatan dan atau
b. Hasil Diagnosa DM dan HT (pada Faskes Tingkat Pertama maupun RS)
2. Menentukan target sasaran
3. Melakukan pemetaan Faskes Dokter Keluarga/ Puskesmas berdasarkan distribusi
target sasaran peserta
4. Menyelenggarakan sosialisasi Prolanis kepada Faskes Pengelola
5. Melakukan pemetaan jejaring Faskes Pengelola (Apotek, Laboratorium)
6. Permintaan pernyataan kesediaan jejaring Faskes untuk melayani peserta prolanis
7. Melakukan sosialisasi prolanis kepada peserta (instansi, pertemuan kelompok pasien
kronis di RS, dan lain-lain)
8. Penawaran kesediaan terhadap peserta penyandang Diabetes Melitus Tipe 2 dan
Hipertensi untuk bergabung dalam prolanis
9. Melakukan verifikasi terhadap kesesuaian data diagnosa dengan form kesediaan
yang diberikan oleh calon peserta Prolanis
10. Mendistribusikan buku pemantauan status kesehatan kepada peserta terdaftar
11. Melakukan rekapitulasi data peserta terdaftar
24
Universitas Indonesia
12. Melakukan entri data peserta dan pemberian flag peserta prolanis
13. Melakukan distribusi data peserta Prolanis sesuai Faskes Pengelola
14. Bersama dengan Faskes melakukan rekapitulasi data pemeriksaan status kesehatan
peserta, meliputi pemeriksaan GDP, GDPP, Tekanan Darah, IMT, HbA1C. Bagi
peserta yang belum pernah dilakukan pemeriksaan, harus segera dilakukan
pemeriksaan.
15. Melakukan rekapitulasi data hasil pencatatan status kesehatan awal peserta per
Faskes Pengelola (data merupakan luaran Aplikasi P-Care).
16. Melakukan Monitoring aktifitas prolanis pada masing-masing Faskes Pengelola:
a. Menerima laporan aktifitas prolanis dari Faskes Pengelola
b. Menganalisa data
17. Menyusun umpan balik kinerja Faskes prolanis
18. Membuat laporan kepada Kantor Divisi Regional/ Kantor Pusat
Setelah semua persiapan pelaksanaan prolanis sudah dipenuhi, Aktivitas prolanis
dapat dilakukan. Adapun aktivitas prolanis dijalankan sebagai berikut:
1. Konsultasi Medis Peserta Prolanis: jadwal konsultasi disepakati bersama antara
peserta dengan Faskes Pengelola
2. Edukasi Kelompok Peserta Prolanis
Edukasi Kelompok Peserta Prolanis
Definisi :
Edukasi Klub Risti (Klub Prolanis) adalah kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan
kesehatan dalam upaya memulihkan penyakit dan mencegah timbulnya kembali penyakit
serta meningkatkan status kesehatan bagi peserta prolanis
Sasaran :
Terbentuknya kelompok peserta (Klub) prolanis minimal 1 Faskes Pengelola 1 Klub.
Pengelompokan diutamakan berdasarkan kondisi kesehatan Peserta dan kebutuhan
edukasi.
Langkah - langkah:
a. Mendorong Faskes Pengelola melakukan identifikasi peserta terdaftar sesuai tingkat
severitas penyakit DM Tipe 2 dan Hipertensi yang disandang.
25
Universitas Indonesia
b. Memfasilitasi koordinasi antara Faskes Pengelola dengan Organisasi Profesi/Dokter
Spesialis diwilayahnya
c. Memfasilitasi penyusunan kepengurusan dalam Klub
d. Memfasilitasi penyusunan kriteria Duta prolanis yang berasal dari peserta
Duta prolanis bertindak sebagai motivator dalam kelompok Prolanis (membantu
Faskes Pengelola melakukan proses edukasi bagi anggota Klub)
e. Memfasilitasi penyusunan jadwal dan rencana aktifitas Klub minimal 3 bulan
pertama
f. Melakukan Monitoring aktifitas edukasi pada masing-masing Faskes Pengelola:
1) Menerima laporan aktifitas edukasi dari Faskes Pengelola 2) Menganalisis data
g. Menyusun umpan balik kinerja Faskes prolanis
h. Membuat laporan kepada Kantor Divisi Regional/Kantor Pusat dengan tembusan
kepada Organisasi Profesi terkait diwilayahnya
Reminder melalui SMS Gateway
Definisi :
Reminder adalah kegiatan untuk memotivasi peserta untuk melakukan kunjungan rutin
kepada Faskes Pengelola melalui pengingatan jadwal konsultasi ke Faskes Pengelola
tersebut
Sasaran
Tersampaikannya reminder jadwal konsultasi peserta ke masing-masing Faskes
Pengelola
Langkah – langkah:
a. Melakukan rekapitulasi nomor Handphone peserta PROLANIS/Keluarga peserta per
masing-masing Faskes Pengelola
b. Entri data nomor handphone kedalam aplikasi SMS Gateway
c. Melakukan rekapitulasi data kunjungan per peserta per Faskes Pengelola
d. Entri data jadwal kunjungan per peserta per Faskes Pengelola
e. Melakukan monitoring aktifitas reminder (melakukan rekapitulasi jumlah peserta
yang telah mendapat reminder)
26
Universitas Indonesia
f. Melakukan analisa data berdasarkan jumlah peserta yang mendapat reminder dengan
jumlah kunjungan.
g. Membuat laporan kepada Kantor Divisi Regional/Kantor Pusat
Home Visit
Definisi:
adalah kegiatan pelayanan kunjungan ke rumah Peserta PROLANIS untuk pemberian
informasi/edukasi kesehatan diri dan lingkungan bagi peserta PROLANIS dan keluarga
Sasaran:
Peserta prolanis dengan kriteria:
b. Peserta baru terdaftar c. Peserta tidak hadir terapi di Dokter Praktek Perorangan/Klinik/Puskesmas 3 bulan
berturut-turut d. Peserta dengan GDP/GDPP di bawah standar 3 bulan berturut-turut (PPDM) e. Peserta dengan Tekanan Darah tidak terkontrol 3 bulan berturut-turut (PPHT) f. Peserta pasca opname
Langkah – langkah:
a. Melakukan identifikasi sasaran peserta yang perlu dilakukan Home Visit
b. Memfasilitasi Faskes Pengelola untuk menetapkan waktu kunjungan
c. Bila diperlukan, dilakukan pendampingan pelaksanaan Home Visit
d. Melakukan administrasi Home Visit kepada Faskes Pengelola dengan berkas sebagai
berikut:
1) Formulir Home Visit yang mendapat tanda tangan Peserta/Keluarga peserta yang
dikunjungi
2) Lembar tindak lanjut dari Home Visit/lembar anjuran Faskes Pengelola
e. Melakukan monitoring aktifitas Home Visit (melakukan rekapitulasi jumlah peserta
yang telah mendapat Home Visit)
f. Melakukan analisa data berdasarkan jumlah peserta yang mendapat Home Visit
dengan jumlah peningkatan angka kunjungan dan status kesehatan peserta
g. Membuat laporan kepada Kantor Divisi Regional/Kantor Pusat
27
Universitas Indonesia
Hubungan Antara Kapitasi dengan Prolanis
Kapitasi berbasis pemenuhan komitmen adalah penyesuaian besaran tarif kapitasi
berdasarkan hasil penilaian pencapaian indikator pelayanan kesehatan perseorangan yang
disepakati berupa komitmen pelayanan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dalam
rangka peningkatan mutu pelayanan. Pada Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan
Kesehatan No Tahun 2015 pada Pasal 31, indikator pencapaian dalam komitmen
pelayanan yang dilakukan FKTP meliputi:
a. Angka Kontak (AK)
b. Rasio Rujukan Rawat Jalan Kasus Non Spesialistik (RRNS); dan
c. Rasio Peserta Prolanis rutin berkunjung ke FKTP (RPPB)
Rasio Peserta Prolanis berkunjung ke FKTP merupakan jumlah peserta Prolanis
yang rutin berkunjung ke FKTP dibandingkan dengan jumlah Peserta Prolanis terdaftar
di FKTP dikali 100, formulasi dapat disusun sebagai berikut:
RPPB
100
Target pemenuhan RPPB dikategorikan sebagai “zona aman” paling sedikit
sebesar 50% dan “zona prestasi” paling sedikit sebesar 90%. Dengan adanya RPPB ini,
kita dapat mengetahui pemanfaatan FKTP oleh peserta Prolanis dan kesinambungan
FKTP dalam melaksanakan pemeliharaan kesehatan Peserta Prolanis.
Dalam menentukan Pembayaran Kapitasi berbasis Pemenuhan Komitmen tidak
hanya cukup dengan variabel RPPB, tetapi dengan kedua variabel lainnya yaitu AK dan
RRNS. Tabel di bawah ini menjelaskan implementasi Pembayaran Kapitasi Berbasis
Pemenuhan Komitmen dari ketiga variabel tersebut.
28
Universitas Indonesia
Tabel 2.1 Penerapan Kompensasi Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen
Konsep Puskesmas
Pengertian Puskesmas
Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya
kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif
dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di
wilayah kerjanya (Kementerian Kesehatan, 2014). Pusat Kesehatan Masyarakat adalah
sarana pelayanan kesehatan fungsional milik dan dikelola oleh Pemerintah Daerah yang
memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat (Surat
Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
No. 883 dan 060440915/1998)
Puskesmas Kecamatan merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan di
bidang pelayanan, pembinaan dan pengembangan kesehatan masyarakat di Kecamatan
yang dipimpin oleh seorang Kepala Puskesmas Kecamatan yang dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas
melalui Kepala Sudin Kesmas. Puskesmas Kecamatan mempunyai tugas melaksanakan
pelayanan kesehatan perorangan dengan mengutamakan upaya penyembuhan (kuratif),
pemulihan (rehabilitatif) yang dilakukan secara terpadu dengan upaya pencegahan
(preventif) dan peningkatan (promotif) serta melaksanakan pemberdayaan (Pemerintah
Daerah DKI Jakarta, 2007)
Puskesmas Kelurahan merupakan Unit Kerja Dinas Kesehatan di bawah
Puskesmas Kecamatan di bidang pembinaan, pengembangan dan pelayanan kesehatan
masyarakat di Kelurahan yang dipimpin oleh seorang Kepala Puskesmas Kelurahan yang
29
Universitas Indonesia
dalam melaksanakan tugas dan fungsinya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Kepala Dinas melalui Kepala Puskesmas Kecamatan. Puskesmas Kelurahan. Puskesmas
Kelurahan mempunyai tugas melaksanakan pembinaan, pengembangan dan pelayanan
kesehatan masyarakat di Kelurahan (Pemerintah Daerah DKI Jakarta, 2007)
Definisi Puskesmas pada Peraturan Gubernur terdahulu bersifat lebih
memisahkan antara Upaya Kesehatan Perorangan dan Usaha Kesehatan Masyarakat.
Namun lain halnya dengan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No 386 Tahun 2016
(Peraturan Gubernur DKI Jakarta, 2016) disini dikatakan Puskesmas Kecamatan
merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan dalam pelaksanaan pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan
perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan
preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di
tingkat Kecamatan yang dipimpin oleh seorang Kepala Puskesmas Kecamatan yang
berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas Kesehatan melalui
Kepala Suku Dinas Kesehatan
Adapun Puskesmas Kecamatan mempunyai fungsi :
a. penyusunan rencana strategis, rencana kerja dan anggaran dan rencana bisnis
anggaran Puskesmas Kecamatan;
b. pelaksanaan rencana strategis, dokumen pelaksanaan anggaran dan rencana bisnis
anggaran Puskesmas Kecamatan;
c. pelaksanaan pedoman, standar dan prosedur teknis pelayanan kesehatan tingkat
Kecamatan;
d. penyelenggaraan pelayanan kesehatan lingkungan;
e. penyelenggaraan pelayanan kesehatan ibu dan anak dan keluarga berencana yang
bersifat UKM dan UKP;
f. penyelenggaraan pelayanan gizi yang bersifat UKM dan UKP
g. penyelenggaraan pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit (survailance);
h. penyelenggaraan pelayanan keperawatan kesehatan masyarakat;
i. penyelenggaraan upaya pengembangan pelayanan kesehatan jiwa, kesehatan gigi
masyarakat, kesehatan tradisional komplementer, kesehatan olahraga, kesehatan
indera, kesehatan lansia, kesehatan kerja dan kesehatan lainnya;
j. penyelenggaraan pelayanan medis umum dan spesialis terbatas;
30
Universitas Indonesia
k. penyelenggaraan pelayanan kesehatan gigi dan mulut;
l. penyelenggaraan pelayanan gawat darurat dan ambulans serta sistem rujukan;
m. penyelenggaraan pelayanan persalinan dan rawat inap terbatas;
n. penyelenggaraan pelayanan promosi kesehatan termasuk UKS
o. penyelenggaraan pelayanan kefarmasian dan laboratorium;
p. penyelenggaraan pemeliharaan dan perawatan peralatan kedokteran, peralatan
keperawatan, peralatan perkantoran dan peralatan kesehatan lainnya;
q. penyelenggaraan peningkatan dan penjaminan mutu pelayanan;
r. penyelenggaraan keamanan dan keselamatan pasien;
s. penanganan pengelolaan limbah medis;
t. pemeriksaan jenazah;
u. pemberdayaan Puskesmas Kelurahan;
v. penyelenggaraan bimbingan praktik kerja lapangan untuk institusi yang telah
ditentukan oleh Dinas Kesehatan;
w. pelaksanaan kegiatan kehumasan dan pemasaran Puskesmas Kecamatan;
x. pengelolaan kepegawaian, keuangan dan barang Puskesmas Kecamatan;
y. pengelolaan ketatausahaan dan kerumahtanggaan Puskesmas Kecamatan;
z. pengelolaan kearsipan data dan informasi Puskesmas Kecamatan;
aa. pelaksanaan pengelolaan teknologi informasi Puskesmas Kecamatan;
bb. pengelolaan prasarana dan sarana Puskesmas Kecamatan;
cc. pelaksanaan publikasi kegiatan dan pengaturan acara • Puskesmas Kecamatan; dan
dd. pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan fungsi Puskesmas
Kecamatan
Susunan Organisasi Puskesmas Kecamatan, terdiri dari:
a. Kepala Puskesmas Kecamatan
b. Subbagian tata Usaha
c. Satuan Pelaksanan UKM
d. Satuan Pelaksanan UKP
e. Puskesmas Kelurahan
f. Satuan pengawas Internal; dan
g. Subkelompok Jabatan Fungsional
31
Universitas Indonesia
Adapun desain dari Puskesmas Kecamatan sebagaimana tertuang dalam Pergub
368 Tahun 2016 bahwasannya peran fungsi Puskesams kecamatan adalah bercampur
antara UKM dan UKP dimana didalamnya ada satuan pelaksanan UKM dan Satuan
pelaksana UKP, dan Puskesmas kelurahan merupakan satuan pelayanan dari puskesmas
kecamatan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan di wilayah kelurahan. Yang dipimpin
oleh seorang kepala satuan pelayanan yang juga disebut kepala puskesmas kelurahan
yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala puskesmas
kecamatan, yang bukan merupakan jabatan struktural diangkat dari seorang Jabatan
Fungsional Umum atau seorang Tenaga Kesehatan sebagai tugas tambahan selaku
Jabatan Fungsional Tertentu. Yang dalam tugasnya tertuang juga tugas sebagai UKP dan
UKM bersama-sama.
Puskesmas kecamatan di DKI sebagai UKPD menerapkan Pola Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD). Adapun Bagan Susunan
Organisasi Pusat Kesehatan Masyarakat di DKI Jakarta adalah sebagai berikut:
Gambar 2.1 Bagan Susunan Organisasi Pusat Kesehatan Masyarakat di DKI Jakarta
32
Universitas Indonesia
Akreditasi Puskesmas adalah pengakuan terhadap Puskesmas yang diberikan oleh
lembaga independen penyelenggara akreditasi yang ditetapkan oleh Menteri setelah
dinilai bahwa Puskesmas telah memenuhi standar pelayanan Puskesmas yang telah
ditetapkan oleh Menteri untuk meningkatkan mutu pelayanan Puskesmas secara
berkesinambungan (Kemenkes RI, 2014)
Wilayah Puskesmas
Wilayah kerja Puskesmas meliputi satu kecamatan atau sebagian dari kecamatan.
Faktor kepadatan penduduk, luas daerah, keadaan geografik dan keadaan infrastruktur
lainnya merupkan bahan pertimbangan dalam menentukan wilayah Puskesmas.
Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis Dinkes Kab/Kota, sehingga pembagian
wilayah kerja Puskesmas ditetapkan oleh Bupati/Walikota, standar puskesmas adalah
adanya 1 puskesmas di tiap-tiap kecamatan..
Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang
merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta
masyarakat disamping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada
masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. Dengan kata lain
Puskesmas mempunyai wewenang dan tanggung jawab atas pemeliharaan kesehatan
masyarakat dalam wilayah kerjanya
Dalam rangka pemenuhan Pelayanan Kesehatan yang didasarkan pada kebutuhan
dan kondisi masyarakat, Puskesmas dapat dikategorikan berdasarkan karakteristik
wilayah kerja dan kemampuan penyelenggaraan. Berdasarkan karakteristik wilayah
kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Puskesmas dikategorikan menjadi:
1. Puskesmas kawasan perkotaan;
2. Puskesmas kawasan pedesaan; dan
3. Puskesmas kawasan terpencil dan sangat terpencil. (Kemenkes RI, 2014) pasal 21
Berdasarkan kriteria Puskesmas kawasan perkotaan merupakan Puskesmas yang
wilayah kerjanya meliputi kawasan yang memenuhi paling sedikit 3 (tiga) dari 4 (empat)
kriteria kawasan perkotaan sebagai berikut:
1. aktivitas lebih dari 50% (lima puluh persen) penduduknya pada sektor non agraris,
terutama industri, perdagangan dan jasa;
33
Universitas Indonesia
2. memiliki fasilitas perkotaan antara lain sekolah radius 2,5 km, pasar radius 2 km,
memiliki rumah sakit radius kurang dari 5 km, bioskop, atau hotel;
3. lebih dari 90% (sembilan puluh persen) rumah tangga memiliki listrik; dan/atau
4. terdapat akses jalan raya dan transportasi menuju fasilitas perkotaan
Sebagaimana DKI Jakarta merupakan penyelenggaran pelayanan kesehatan di
perkotaan memiliki karakteristik sebagai berikut
1. memprioritaskan pelayanan UKM;
2. pelayanan UKM dilaksanakan dengan melibatkan partisipasi masyarakat;
3. pelayanan UKP dilaksanakan oleh Puskesmas dan fasilitas pelayanan kesehatan yang
diselenggarakan oleh pemerintah atau masyarakat;
4. optimalisasi dan peningkatan kemampuan jaringan pelayanan Puskesmas dan
jejaring fasilitas pelayanan kesehatan; dan
5. pendekatan pelayanan yang diberikan berdasarkan kebutuhan dan permasalahan
yang sesuai dengan pola kehidupan masyarakat perkotaan (Kementerian Kesehatan,
2014)
Puskesmas harus didirikan pada setiap kecamatan. Dalam kondisi tertentu, pada
1 (satu) kecamatan dapat didirikan lebih dari 1 (satu) Puskesmas yang ditetapkan
ditetapkan berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan, jumlah penduduk dan
aksesibilitas. Seperti halnya DKI maka dimungkinkan adanya nomenklatur puskesmas
kecamatan dan puskesmas kelurahan.
Prinsip, Penyelenggaraan, Tugas Fungsi dan Wewenang
A Prinsip
Adapun prinsip penyelenggaraan puskesmas meliputi:
1) Paradigma sehat
Puskesmas mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk berkomitmen dalam
upaya mencegah dan mengurangi resiko kesehatan yang dihadapi individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat.
2) pertanggungjawaban wilayah;
Puskesmas menggerakkan dan bertanggung jawab terhadap pembangunan
kesehatan di wilayah kerjanya
34
Universitas Indonesia
3) kemandirian masyarakat;
Puskesmas mendorong kemandirian hidup sehat bagi individu, keluarga,
kelompok, dan masyarakat
4) pemerataan;
Puskesmas menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang dapat diakses dan
terjangkau oleh seluruh masyarakat di wilayah kerjanya secara adil tanpa
membedakan status sosial, ekonomi, agama, budaya dan kepercayaan
5) teknologi tepat guna; dan
Puskesmas menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dengan memanfaatkan
teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan, mudah
dimanfaatkan dan tidak berdampak buruk bagi lingkungan
6) keterpaduan dan kesinambungan
Puskesmas mengintegrasikan dan mengoordinasikan penyelenggaraan UKM dan
UKP lintas program dan lintas sektor serta melaksanakan Sistem Rujukan yang
didukung dengan manajemen Puskesmas
B Penyelenggaraan, Tugas, Fungsi
Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai
tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka mendukung
terwujudnya kecamatan sehat. Puskesmas menyelenggarakan fungsi: 1) penyelenggaraan
UKM tingkat pertama di wilayah kerjanya; dan b). penyelenggaraan UKP tingkat pertama
di wilayah kerjanya. Selain fungsi tersebut Puskesmas dapat berfungsi sebagai wahana
pendidikan Tenaga Kesehatan
Berdasarkan kemampuan penyelenggaraan, Puskesmas dikategorikan menjadi
Puskesmas non rawat inap dan puskesmas rawat inap
1. Puskesmas non rawat inap; dan
2. Puskesmas rawat inap. (Kementerian Kesehatan, 2014)
Salah satu trend sektor kesehatan, terkait keberadaan Puskesmas ini, adalah suatu
insitusi yang mampu segera mengadakan rencana, operasional, tindakan baik lapangan
maupun perawatan serta pengembangan secara cepat adalah Puskesmas dengan rawat
inap.
35
Universitas Indonesia
Puskesmas Perawatan atau Puskesmas Rawat Inap merupakan Puskesmas yang
diberi tambahan ruangan dan fasilitas untuk menolong penderita gawat darurat, baik
berupa tindakan operatif terbatas maupun rawat inap sementara (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2016). Pengertian rawat inap, merupakan pelayanan kesehatan
perorangan yang meliputi observasi, diagnosa, pengobatan, keperawatan, rehabilitasi
medik dengan menginap di ruang rawat inap pada sarana kesehatan rumah sakit
pemerintah dan swasta, serta puskesmas perawatan dan rumah bersalin, yang oleh karena
penyakitnya penderita harus menginap.
C Wewenang
Adapun dalam menyelenggrakan fungsi UKM, Puskesmas berwenang untuk:
1) melaksanakan perencanaan berdasarkan analisis masalah kesehatan masyarakat
dan analisis kebutuhan pelayanan yang diperlukan;
2) melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan;
3) melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat
dalam bidang kesehatan;
4) menggerakkan masyarakat untuk mengidentifi kasi dan menyelesaikan masalah
kesehatan pada setiap tingkat perkembangan masyarakat yang bekerjasama
dengan sektor lain terkait;
5) melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan pelayanan dan upaya kesehatan
berbasis masyarakat;
6) melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia Puskesmas;
7) memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan;
8) melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap akses, mutu, dan
cakupan Pelayanan Kesehatan; dan
9) memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan masyarakat, termasuk
dukungan terhadap sistem kewaspadaan dini dan respon penanggulangan
penyakit.
Dan dalam fungsinya sebagai penyelenggara fungsi UKP, maka puskesmas
berwenang untuk:
36
Universitas Indonesia
1) menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dasar secara komprehensif,
berkesinambungan dan bermutu;
2) menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang mengutamakan upaya promotif
dan preventif;
3) menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang berorientasi pada individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat;
4) menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang mengutamakan keamanan dan
keselamatan pasien, petugas dan pengunjung;
5) menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dengan prinsip koordinatif dan kerja
sama inter dan antar profesi;
6) melaksanakan rekam medis;
7) melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap mutu dan akses
Pelayanan Kesehatan;
8) melaksanakan peningkatan kompetensi Tenaga Kesehatan;
9) mengoordinasikan dan melaksanakan pembinaan fasilitas pelayanan kesehatan
tingkat pertama di wilayah kerjanya; dan
10) melaksanakan penapisan rujukan sesuai dengan indikasi medis dan Sistem
Rujukan
Sumber Daya Puskesmas
Sumber daya yang dimaksud disini meliputi lokasi, bangunan, prasarana,
peralatan kesehatan, ketenagaan, kefarmasian, dan laboratorium. Adapun lokasi pendirian
Puskesmas harus memenuhi persyaratan: geografi, aksesibilitas untuk jalur transportasi,
kontur tanah, fasilitas parker, fasilitas keamanan, ketersediaan utilitas publik. pengelolaan
kesehatan lingkungan, pendirian Puskesmas harus memperhatikan ketentuan teknis
pembangunan bangunan gedung negara.
Bangunan Puskesmas harus memenuhi persyaratan yang meliputi:
a. persyaratan administratif, persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja, serta
persyaratan teknis bangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
b. bersifat permanen dan terpisah dengan bangunan lain; dan
37
Universitas Indonesia
c. menyediakan fungsi, keamanan, kenyamanan, perlindungan keselamatan dan
kesehatan serta kemudahan dalam memberi pelayanan bagi semua orang termasuk
yang berkebutuhan khusus, anak-anak dan lanjut usia.
Selain bangunan Puskesmas setiap Puskesmas harus memiliki bangunan rumah
dinas Tenaga Kesehatan yang didirikan dengan mempertimbangkan aksesibilitas tenaga
kesehatan dalam memberikan pelayanan.
Puskesmas harus memiliki prasarana yang berfungsi paling sedikit terdiri atas:
a. sistem penghawaan (ventilasi);
b. sistem pencahayaan;
c. sistem sanitasi;
d. sistem kelistrikan;
e. sistem komunikasi;
f. sistem gas medik;
g. sistem proteksi petir;
h. sistem proteksi kebakaran;
i. sistem pengendalian kebisingan;
j. sistem transportasi vertikal untuk bangunan lebih dari 1 (satu) lantai;
k. kendaraan Puskesmas keliling; dan
l. kendaraan ambulans
Peralatan kesehatan di Puskesmas harus memenuhi persyaratan: standar mutu,
keamanan, keselamatan; memiliki izin edar sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan diuji dan dikalibrasi secara berkala oleh institusi penguji dan pengkalibrasi
yang berwenang.
Sumber daya manusia Puskesmas terdiri atas Tenaga Kesehatan dan tenaga non
kesehatan. Jenis dan jumlah tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan dihitung
berdasarkan analisis beban kerja, dengan mempertimbangkan jumlah pelayanan yang
diselenggarakan, jumlah penduduk dan persebarannya, karakteristik wilayah kerja, luas
wilayah kerja, ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama lainnya di
wilayah kerja, dan pembagian waktu kerja. Jenis Tenaga Kesehatan paling sedikit terdiri
atas:
a. dokter atau dokter layanan primer;
b. dokter gigi;
38
Universitas Indonesia
c. perawat;
d. bidan;
e. tenaga kesehatan masyarakat;
f. tenaga kesehatan lingkungan;
g. ahli teknologi laboratorium medik;
h. tenaga gizi; dan i. tenaga kefarmasian.
Tenaga non kesehatan harus dapat mendukung kegiatan ketatausahaan,
administrasi keuangan, sistem informasi, dan kegiatan operasional lain di Puskesmas.
Tenaga Kesehatan di Puskesmas harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar
pelayanan, standar prosedur operasional, etika profesi, menghormati hak pasien, serta
mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien dengan memperhatikan keselamatan
dan kesehatan dirinya dalam bekerja. Setiap Tenaga Kesehatan yang bekerja di
Puskesmas harus memiliki surat izin praktik sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan
Pelayanan kefarmasian di Puskesmas harus dilaksanakan oleh Tenaga Kesehatan
yang memiliki kompetensi dan kewenangan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian.
Pelayanan kefarmasian di Puskesmas dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pelayanan laboratorium di Puskesmas harus memenuhi kriteria
ketenagaan, sarana, prasarana, perlengkapan, peralatan, dan dilaksanakan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan
Upaya Kesehatan
Sesuai dengan kemampuan tenaga maupun fasilitas yang berbeda-beda, maka
kegiatan yang bisa dilaksanakan oleh puskesmas akan berbedabeda, namun demikian
upaya kesehatan yang dilakukan oleh puskesmas pada dasarnya terdiri dari upaya
kesehatan masyarakat tingkat pertama dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama
yang dilaksanakan secara terintegrasi dan berkesinambungan.
Adapun upaya kesehatan masyarakat tingkat pertama meliputi upaya kesehatan
masyarakat esensial dan upaya kesehatan masyarakat pengembangan. Upaya kesehatan
masyarakat esensial meliputi:
1. pelayanan promosi kesehatan;
2. pelayanan kesehatan lingkungan;
39
Universitas Indonesia
3. pelayanan kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana;
4. pelayanan gizi; dan
5. pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit.
Upaya kesehatan masyarakat esensial harus diselenggarakan oleh setiap
Puskesmas untuk mendukung pencapaian standar pelayanan minimal kabupaten/kota
bidang kesehatan. Upaya kesehatan masyarakat pengembangan merupakan upaya
kesehatan masyarakat yang kegiatannya memerlukan upaya yang sifatnya inovatif
dan/atau bersifat ekstensifi kasi dan intensifi kasi pelayanan, disesuaikan dengan prioritas
masalah kesehatan, kekhususan wilayah kerja dan potensi sumber daya yang tersedia di
masing-masing Puskesmas.
Upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama dilaksanakan dalam bentuk:
1. rawat jalan;
2. pelayanan gawat darurat;
3. pelayanan satu hari (one day care);
4. home care; dan/atau
5. rawat inap berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan kesehatan.
Upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama dilaksanakan sesuai dengan
standar prosedur operasional dan standar pelayanan. Untuk melaksanakan upaya
kesehatan Puskesmas harus menyelenggarakan: manajemen Puskesmas; pelayanan
kefarmasian; pelayanan keperawatan kesehatan masyarakat; dan pelayanan laboratorium
Managed Care
Managed Care adalah sistem pelayanan terkendali yang mengkoordinasikan
pembiayaan dan kelengkapan pelayanan kesehatan agar terwujud pelayanan kesehatan
yang bermutu tinggi dengan biaya serendah mungkin (Yaslis, 2006). Prinsip yang
mendasari managed care adalah adanya tanggung jawab atas pengendalian dan integrase
keseluruhan pelayanan yang dibutuhkan pasien.
Managed care memiliki beberapa ciri umum yang membedakan dengan produk asuransi
tradisional yaitu:
d. Kajian pemanfaatan yang menyeluruh
e. Memantau dan menganalisa pola-pola praktik dokter
40
Universitas Indonesia
f. Menggunakan tenaga dokter pelayanan primer dan provider lainnya untuk melayani
pasien
g. Menggiring pasien kepada provider yang efisien dan bermutu tinggi
h. Program perbaikan mutu
i. Sistem pembayaran yang membuat para dokter, rumah sakit dan provider lainnya
accountable baik biaya maupun kualitas pelayanan kesehatan
Kompensasi penyelenggaraan pelayanan (provider) merupakan alat yang penting
untuk mengontrol biaya dalam program pelayanan terkendali. Kompensasi meliputi hal-
hal seperti menanggung resiko (risk sharing) dan insentif yang akhirnya mempengaruhi
perilaku penyelenggaran pelayanan kesehatan (provider). Perjanjian menanggung resiko
bersama dan gaji yang berlandaskan pemanfaatan (utilization) dan produktifitas
merupakan upaya agar penyelenggara pelayanan lebih menyadari masalah biaya (HIAA,
1996)
Pengendalian biaya dan utilisasi dalam managed care sangat ditentukan oleh
peran gatekeeper (Max & Andersen, 2016). Seorang gatekeeper akan mengarahkan,
mengelola, mengkoordinasikan dan melaksanakan pelayanan dasar bagi peserta. Dalam
hal ini, seluruh pelayanan yang tidak darurat (emergency) hanya dapat diberikan oleh
gatekeeper tersebut. Peran gatekeeper merupakan basis pengaturan lain resiko financial
pada kapitasi dan rujukan. Primary care doctors today act more as patient managers
within the health sistem – they diagnose, prescribe and refer, but deliver less direct
services than in the past. This role fits better with a “per patient” method of compensation
(Blomqvist & Busby, 2012)
Managed care memiliki berbagai model antara lain:
1. HMO (Health Maintenance Organization)
2. PPO (Preferred Provider Organization)
3. EPO (Exclusive Provider Organization)
4. POS (Point of Service)
41
Universitas Indonesia
Sistem Rujukan dan Rujuk Balik
Sistem Rujukan
Sistem rujukan merupakan suatu sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan
yang melaksanakan pelimpahan tanggung jawab timbal balik terhadap satu kasus
penyakit atau masalah kesehatan secara vertical (dari unit yang kurang mampu kepada
unit yang lebih mampu menangani). Pelayanan kesehatan rujukan diberikan melalui
sarana pelayanan kesehatan seperti Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Balai
Pengobatan Ibu dan Anak (BKIA), Rumah Bersalin (RB) dan Rumah Sakit (Thabrani,
n.d.). Adapun sistem rujukan pelayanan kesehatan perorangan mengacu pada Permenkes
RI No 001 tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012)
Kebijakan Dalam Merujuk dan Merujuk Balik
Sesuai amanat Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN), yang mana dalam pelaksanaan SJSN tersebut harus menerapkan
sistem rujukan. Agar dapat mengoptimalisasikan sistem rujukan berjenjang maka fasilitas
kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjutan wajib melakukan sistem rujukan dengan
mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Definisi dari sistem rujukan telah ditetapkan dalam Undang Undang Nomor 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yaitu bahwa sistem rujukan merupakan
penyelenggaraan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab secara
timbal balik baik vertikal maupun horizontal, secara struktural dan fungsional terhadap
kasus atau masalah penyakit juga permasalahan kesehatan. Sedangkan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 001 Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan
Perorangan pasal 9, mengatakan bahwa fasilitas kesehatan dapat melakukan rujukan
vertikal apabila pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau sub
spesialistik dan perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan, bukan
berdasarkan indikasi sosial (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012)
Rujukan ulangan juga dapat diberikan kembali apabila terapi oleh dokter spesialis
di FKRTL belum selesai, tetapi bila keadaan penderita telah stabil dan masih memerlukan
pelayanan berkelanjutan dalam jangka waktu panjang maka akan dilakukan pelayanan
42
Universitas Indonesia
rujuk balik. Pelayanan Rujuk Balik adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh
fasilitas kesehatan tingkat pertama kepada penderita penyakit kronis dengan kondisi stabil
atas rekomendasi/rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat lanjutan. Tujuan dari program
rujuk balik adalah guna meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan memudahkan
akses pelayanan kesehatan kepada penderita penyakit kronis serta mencegah fragmentasi
pelayanan kesehatan antara fasilitas kesehatan tingkat pertama dan fasilitas kesehatan
tingkat lanjutan. Pelayanan. Rujuk Balik diberikan kepada penyandang penyakit kronis,
khususnya penyakit diabetes melitus, hipertensi, jantung, asma, Penyakit Paru Obstruktif
Kronis (PPOK), epilepsy, stroke, schizophrenia, Sistemic Lupus Erythematosus (SLE)
yang sudah terkontrol/stabil namun masih memerlukan pengobatan berkelanjutan dalam
jangka panjang. (BPJS Kesehatan, 2016)
Tata Cara Pelaksanaan Sistem Rujukan Berjenjang
Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI No 001 tahun 2012 pasal 4 tentang Sistem
Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan dilaksanakan secara berjenjang, sesuai
kebutuhan medis
1. Dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama.
2. Pelayanan kesehatan tingkat kedua hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan
kesehatan tingkat pertama.
3. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan
kesehatan tingkat kedua atau tingkat pertama.
4. Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/atau dokter gigi
pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
kecuali pada keadaan gawat darurat, bencana, kekhususan permasalahan kesehatan
pasien, pertimbangan geografis, dan pertimbangan ketersediaan tenaga dan fasilitas
kesehatan.
Tata Cara Pelaksanaan Rujukan
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 001 Tahun 2012, sebelum
dilakukan rujukan pada fasilitas kesehatan (faskes) lain, maka pasien haruslah memenuhi
kriteria rujukan dan faskes perujuk harus mendapatkan persetujuan dari pasien dan/atau
43
Universitas Indonesia
keluarganya. Setelah sebelumnya pasien mendapatkan penjelasan dari tenaga kesehatan
yang berwenang, sekurang-kurangnya meliputi:
1. Diagnosis dan terapi dan/atau tindakan medis yang diperlukan;
2. Alasan dan tujuan dilakukan rujukan;
3. Risiko yang dapat timbul apabila rujukan tidak dilakukan;
4. Transportasi rujukan;
5. Dan risiko atau penyulit yang dapat timbul selama dalam perjalanan.
Setelah persetujuan diberikan maka dokter faskes perujuk harus memastikan
bahwa faskes lanjutan tidak penuh dan memiliki ruang serta dokter spesialis yang
dibutuhkan. Apabila rumah sakit tujuan penuh dan tidak memiliki ruang, maka dokter
harus mencarikan rumah sakit alternatif lain yang mampu menangani kasus tersebut,
tanpa memandang jaminan kesehatan yang digunakan. Apabila setelah diusahakan dan
tetap tidak mendapatkan ruang di 3 rumah sakit tujuan, maka dokter harus menjelaskan
kepada seluruh keluarga yang datang untuk menandatangani surat pernyataan untuk
dititipkan sementara di puskesmas tersebut meskipun fasilitas dan tenaga untuk
melakukan pengawasan terbatas, sehingga saat terjadi kegawatan tidak ada pihak yang
merasa dirugikan. Setelah ditandatangani, dokter dapat melanjutkan penanganan pada
pasien lain yang mungkin sudah menunggu sambil sesekali mengecek kondisi pasien.
Penting untuk diketahui adalah tidak boleh merujuk tanpa adanya konfirmasi dari rumah
sakit tujuan.
Apabila dokter telah mendapat konfirmasi dari rumah sakit rujukan selanjutnya
dokter membuat surat rujukan sebanyak 3 rangkap berisi:
1. Mencantumkan nama Rumah Sakit tujuan dan poliklinik spesialis atau nama dokter
spesialis yang dituju
2. Identitas jelas dari pasien beserta jaminan kesehatan yang digunakan serta tanggal
rujukan.
3. Mencantumkan Identitas dan tanda tangan dokter yang merujuk
4. Menuliskan Hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang yang sudah dilakukan.
5. Alasan merujuk
6. Tindakan serta terapi sementara yang telah diberikan. (contoh terlampir).
Transportasi untuk rujukan dilakukan sesuai dengan kondisi pasien dan
ketersediaan sarana transportasi. Pasien yang memerlukan asuhan medis terus menerus
44
Universitas Indonesia
harus dirujuk dengan ambulans dan didampingi oleh tenaga kesehatan yang kompeten
bila tidak tersedia ambulans pada fasilitas kesehatan perujuk, maka dapat dilakukan
dengan menggunakan alat transportasi lain yang layak.
Penerima rujukan berkewajiban menginformasikan mengenai ketersediaan sarana
dan prasarana serta kompetensi dan ketersediaan tenaga kesehatan, memberikan
pertimbangan medis atas kondisi pasien. Penerima rujukan bertanggung jawab untuk
melakukan pelayanan kesehatan lanjutan sejak menerima rujukan dan penerima rujukan
wajib memberikan informasi kepada perujuk mengenai perkembangan keadaan pasien
setelah selesai memberikan pelayanan melalui rujuk balik.
Penerima rujukan memberikan pelayanan komphrehensif sesuai dengan
kebutuhan pasien dan fasilitas yang tersedia berdasarkan Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran (PNPK) dan atau Panduan Praktik Klinis di FKRTL. Jika kondisi pasien
sudah memenuhi kriteria rujuk balik, maka pasien dikembalikan ke FKTP disertai dengan
surat rujuk balik yang berisi resume medis
Profil Resiko Peserta
Profil resiko yang dimaksud disini adalah komposisi umur peserta yang terdaftar
di Puskesmas. Hasil penelitian tentang profil resiko peserta di Jakarta Pusat menunjukkan
bahwa dari komposisi umur peserta terlihat bahwa kelompok yang beresiko tinggi (0-5
tahun dan diatas 55 tahun) ada sekitar 30%, dibandingkan dengan keadaan peserta askes
pada umumnya angka ini tergolong tinggi. Dalam analisa data Susenas 1998 tentang
pemanfaatan pelayanan kesehatan peserta wajib, porsi peserta beresiko tinggi adalah
9,53% usia 0-5 tahun dan 5,76% usia diatas 55 tahun.
Informasi tentang komposisi umur ini punya peranan penting bila kita akan
menghitung resiko biaya pelayanan atau menghitung premi dalam asuransi termasuk
asuransi kesehatan. Dalam penghitungan premi asuransi hal ini dikenal dengan proses
underwriting yang berarti seleksi resiko dimana salah satu faktor yang menentukan adalah
umur, selain jenis kelamin, kebiasaan/gaya hidup dan keadaan penyakit seseorang.
45
Universitas Indonesia
Pembayaran Kapitasi di Inggris dan Thailand
Fenomena menarik di Inggris melalui National Health System (NHS) telah
mencapai universal coverage yang didanai dari pajak. Penduduk inggris tidak perlu lagi
membayar ketika memperoleh pelayanan kesehatan. Ada sebagian kecil penduduk yang
berpenghasilan tinggi membeli asuransi kesehatan komersial untuk mendapatkan
pelayanan dari fasilitas kesehatan swasta (Ellis, Roger; Whittington, 1993).
Dalam NHS pemerintah membayar DP secara kapitasi. Kontrak kerja dilakukan
dengan panel DP, dengan demikian DP menanggung resiko keuangan bila harus merujuk
pasien ke spesialis atau ke RS
Quality of care requires cooperative commitments to quality-related goals by
payers, practitioners, consumers, regulators, and managed care organizations, as well
as a common and practical sistem for measuring and analyzing quality related
information. (Edmonds & Frank, 1997)
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan rujukan pelayanan
kesehatan
Pemanfaatan pelayanan kesehatan (behavioral model of health service) oleh
masyarakat tergantung pada tiga faktor sebagian besar sebagai fungsi karakteristik sosio-
demografi dan ekonomi dari sebuah unit keluarga. Perilaku orang sakit yang berobat ke
pelayanan kesehatan secara bersama dipengaruhi oleh predisposing factors (faktor
predisposisi), enabling factors (faktor pemungkin), dan need factors (faktor kebutuhan)
(Andersen, R and Newman, 2005).
46
Universitas Indonesia
Gambar 2.2 The Behavioral Model (Weinstein, Blalock, & Weinstein, 2008)
The Behavioral Model menggambarkan suatu sekuensi (rangkaian), determinan
(faktor yang menentukan) pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh keluarga maupun
individu bergantung pada beberapa karakteristik, yaitu:
1. Predisposing factors (Faktor Predisposisi)
Menggambarkan bahwa setiap individu mempunyai kecenderungan yang berbeda-
beda dalam menggunakan pelayanan kesehatan. Faktor predisposisi adalah ciri-ciri yang
telah ada pada individu dan keluarga sebelum menderita sakit, yaitu pengetahuan, sikap,
dan kepercayaan terhadap kesehatan. Faktor ini berkaitan dengan karakteristik individu
yang mencakup:
a. Ciri demografi seperti : usia, jenis kelamin, status perkawinan, dan jumlah anggota
keluarga. Variable-variabel ini digunakan sebagai ukuran mutlak atau indikator
fisiologis yang berbeda dan sklus hdup dengan asumsi bahwa perbedaan derajat
kesehatan, derajat kesakitan, dan penggunaan pelayanan kesehatan sedikit banyak
berhubungan dengan variable tersebut. Ciri demografi juga mencerminkan atau
berhubungan dengan karakteristik social (perbedaan social dari jenis kelamin
mempengaruhi tipe dan ciri sosial).
47
Universitas Indonesia
b. Struktur social, seperti : status sosial, ras, pendidikan, jenis pekerjaan, dan kesukuan
(budaya). Variable ini mencermnkan keadaan social dan individu atau keluarga di
masyarakat. Masalah utama dari struktur social pada penggunaan pelayanan
kesehatan ialah tidak diketahuinya mengapa variable ini menyebabkan penggunaan
pelayanan kesehatan. Pendekatan struktur sosial didasarkan asumsi bahwa orang
dengan background struktur sosial yang berentangan akan menggunakan pelayanan
kesehatan dengan cara tertentu.
c. Sikap dan keyakinan individu terhadap pelayanan kesehatan, misalnya kepercayaan
terhadap dokter, petugas kesehatan, nilai terhadap penyakit, sikap dan kemampuan
petugas kesehatan, fasilitas kesehatan, pengetahuan tentang penyakit.
2. Enabling Factors (Faktor Pemungkin)
Merupakan kondisi yang memungkinkan orang sakit memanfaatkan pelayanan
kesehatan yang mencakup status ekonomi keluarga, akses terhadap sarana pelayanan
kesehatan yang ada, dan penanggung biaya berobat/aspek logistik untuk mendapatkan
perawatan yang meliputi:
a. Pribadi/keluarga (Family resources)
Adanya sumber pembiayaan dari diri sendiri maupun keluarga, sarana dan
tahu mengakses pelayanan kesehatan, cakupan asuransi kesehatan, perjalanan, kualitas
hubungan social. Karakteristik ini untukmengukur kesanggupa dari individu dan keluarga
untuk memperole pelayanan kesehatan mereka.
b. Sumber daya masyarakat (Community resouces)
SDM dalam konteks ini adalah penyedia pelayanan kesehatan dan sumber-sumber
di dalam masyarakat, dan ketercapaian dari pelayanan kesehatan yang tersedia. SDM
selanjutnya dalah suplay ekonomis yang berfokus pada ketersediaan sumber-sumber
kesehatan. SDM mencakup Tenaga kesehatan, fasilitas yang tersedia serta kecepatan
pelayanan
2. Need Factors (Faktor Kebutuhan)
Teori pemanfaatan pelayanan kesehatan berkaitan erat dengan permintaan akan
pelayanan kesehatan justru selama ini meningkat. Hal ini dikarenakan masyarakat sudah
benar-benar mengeluh sakit serta mencari pengobatan. Faktor-faktor yang mempengaruhi
48
Universitas Indonesia
permintaan pelayanan kesehatan diantaranya adalah pengetahuan tentang kesehatan,
sikap terhadap kemampuan fasilitas kesehatan tersebut.
Karakteristik ini merupakan persepsi kebutuhan dari seseorang terhadap
penggunaan pelayanan kesehatan. Faktor predisposisi dan faktor pendukung dapat
terwujud menjadi tindakan pencarian pengobatan, apabila tindakan itu dirasakan sebagai
kebutuhan. Kebutuhan merupakan dasar dan stimulus langsung untuk menggunakan
pelayanan kesehatan. Kebutuhan pelayanan kesehatan dapat dikategorikan menjadi:
1. Kebutuhan yang dirasakan (perceived need), yaitu keadaan kesehatan yang dirasakan
oleh keluarga.
2. Evaluated/clinical diagnosis yang merupakan penilaian keadaan sakit didasarkan
oleh penilaian petugas.
Faktor need merupakan prediktor terkuat dari pemanfaatan pelayanan kesehatan.
Faktor predisposing tidak pernah lebih dari 3% untuk keseluruhan variasi perhitungan
dari pemanfaatan pelayanan kesehatan dan faktor enabling merupakan faktor yang
pengaruhnya tidak signifikan selain tersedianya sumber daya yang terus menerus untuk
perawatan (Andersen, R and Newman, 2005)
Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan
publik. Hal ini disebabkan program kebijakan akan berdampak atau dapat mencapai
tujuan yang diinginkan setelah diimplementasikan. “implementation as to carry out,
accomplish, fulfill, produce, complete” maksudnya : membawa, menyelesaikan, mengisi,
menghasilkan, melengkapi. Jadi secara etimologis implementasi itu dapat dimaksudkan
sebagai suatu aktivitas yang bertalian dengan penyelesaian suatu pekerjaan dengan
penggunaan sarana (alat) untuk memperoleh hasil. Apabila pengertian implementasi di
atas dirangkaikan dengan kebijakan publik, maka kata implementasi kebijakan publik
dapat diartikan sebagai aktivitas penyelesaian atau pelaksanaan suatu kebijakan publik
yang telah ditetapkan/ disetujui dengan penggunaan sarana (alat) untuk mencapai tujuan
kebijakan (Pressman, J. L., & Wildavsky, 1984)
Pendapat lain dari Anderson (2011) mengemukakan bahwa : “Policy
implementation is the application af the policy by the government's administrative
49
Universitas Indonesia
machinery to the problem”. Kemudian Edwards III (1980 : 1) mengemukakan bahwa :
“Policy implementation, ... is the stage of policy making between the establishment of a
policy ... and the consequences of the policy for the people whom it affects”. Sedangkan
Grindle (1982 : 6) mengemukakan bahwa : “implementation - a general process of
administrative action that can be investigated at specific program level” (Anderson,
2011; Edward III, 1980; Grindle & Smith, 1982).
Implementasi bermakna pelaksanaan undang-undang dimana berbagai aktor,
organisasi, prosedur, dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan
dalam upaya meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program. Implementasi pada
sisi lain merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai
suatu proses, suatu keluaran (output) maupun sebagai suatu dampak (outcome) (Moher et
al., 2015). Dengan demikian dapat disimpulkan, tahapan implementasi merupakan tahap
yang krusial, demi mencapai tujuan yang diharapkan, dilaksanakan oleh implementor
yang memahami mengenai aspek isinya, tujuan/sasaran dari program tersebut,
pengalokasian anggaran dan ketepatan peruntukannya, metode dan prosedure kerja secara
tepat, serta kejelasan standar yang menjadi pedoman dalam pelaksanaannya.
Implementasi Kebijakan Model Edward III
Menurut Nugroho (2017) pada prinsipnya terdapat dua pemilihan jenis model
implementasi kebijakan publik yaitu implementasi kebijakan publik yang berpola dari
atas ke bawah (top-down) dan dari bawah ke atas (bottom-up), serta pemilihan
implementasi kebijakan publik yang berpola paksa (command-and-control) dan pola
pasar (economic incentive) (Nugroho, 2017). Menurut Agustino (2008) pendekatan
model “top down”, merupakan pendekatan implementasi kebijakan publik yang
dilakukan tersentralisir dan dimulai dari aktor tingkat pusat, dan keputusannya pun
diambil dari tingkat pusat. Pendekatan top down bertitik tolak dari perspektif bahwa
keputusan-keputusan politik (kebijakan) yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan
harus dilaksanakan oleh administratur-administratur atau birokrat-birokrat pada level
bawahnya, sedangkan pendekatan model “bottom up” bermakna meski kebijakan dibuat
oleh pemerintah, namun pelaksanaannya oleh rakyat (Agustino, 2008)
50
Universitas Indonesia
Salah satu model implementasi yang bersifat “top down” adalah model
implementasi Edward III, yang berpandangan bahwa dalam mengkaji implementasi
kebijakan, terlebih dahulu perlu diajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: “What
are the preconditions for successful policy implementation? What are the primary
obstacles to successful policy implementation?” Maksudnya, Apa prasyarat untuk
keberhasilan implementasi kebijakan?, Apa hambatan utama keberhasilan implementasi
kebijakan? Edwards berusaha menjawab dua pertanyaan penting ini dengan menguraikan
empat faktor atau variabel krusial dalam implementasi kebijakan. Faktor-faktor atau
variabel-variabel tersebut adalah: communication, resources, dispositions or attitudes,
and bureaucratic structure (Edward III, 1980).
Faktor-faktor atau variabel-variabel tersebut berpengaruh terhadap implementasi
kebijakan dan bekerja secara simultan dan berinteraksi satu sama lain untuk membantu
dan menghambat implementasi kebijakan. Bila ditampilkan dalam bentuk gambar
bagaimana keterkaitan antara faktor-faktor atau variabel-variabel yang saling
mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung terhadap implementasi kebijakan,
maka dapat ditampilkan sebagai berikut (Edward III, 1980):
Gambar 2.3 Teori Implementasi Kebijakan Menurut Edwards III (1980:148)
Dari gambar tersebut nampak bahwa faktor-faktor komunikasi, sumber daya,
sikap implementor, dan struktur birokrasi dapat secara langsung mempengaruhi
51
Universitas Indonesia
implementasi kebijakan. Disamping itu secara tidak langsung faktor-faktor tersebut
mempengaruhi implementasi kebijakan melalui dampak dari masing-masing faktor.
Dengan kata lain, masing-masing faktor tersebut saling pengaruh-mempengaruhi,
kemudian secara bersama-sama mempengaruhi implementasi kebijakan. Berikut faktor-
faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan menurut Edward III, yaitu (Wahab.,
1991; Widodo, 2017) :
1) Komunikasi.
Komunikasi merupakan proses penyampaian informasi dari komunikator kepada
komunikan. Sementara itu, komunikasi kebijakan berarti merupakan proses penyampaian
informasi kebijakan dari pembuat kebijakan (policy makers) kepada pelaksana kebijakan
(policy implementors) (Widodo, 2017). Dalam proses komunikasi informasi perlu
disampaikan kepada pelaku kebijakan agar pelaku kebijakan dapat memahami apa yang
menjadi isi, tujuan, arah, kelompok sasaran (target group) kebijakan, sehingga pelaku
kebijakan dapat mempersiapkan hal-hal apa saja yang berhubungan dengan pelaksanaan
kebijakan, agar proses implementasi kebijakan bisa berjalan dengan efektif serta sesuai
dengan tujuan kebijakan itu sendiri. Apabila penyampaian tujuan dan sasaran suatu
kebijakan tidak jelas, tidak memberikan pemahaman atau bahkan tujuan dan sasaran
kebijakan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan
terjadi suatu penolakan atau resistensi dari kelompok sasaran yang bersangkutan. Oleh
karena itu diperlukan adanya tiga hal, yaitu (Wahab., 1991):
a) Tranformasi informasi (transimisi).
Dimensi tranformasi menghendaki agar informasi tidak hanya disampaikan
kepada pelaksana kebijakan tetapi juga kepada kelompok sasaran dan pihak yang terkait.
b) Kejelasan informasi (clarity)
Dimensi kejelasan menghendaki agar informasi yang jelas dan mudah dipahami,
selain itu untuk menghindari kesalahan interpretasi dari pelaksana kebijakan, kelompok
sasaran maupun pihak yang terkait dalam implementasi kebijakan.
c) Konsistensi informasi (consistency).
Dimensi konsistensi menghendaki agar informasi yang disampaikan harus
konsisten sehingga tidak menimbulkan kebingungan pelaksana kebijakan, kelompok
sasaran maupun pihak terkait.
52
Universitas Indonesia
2) Disposisi
Salah satu faktor yang mempengaruhi efektivitas implementasi kebijakan adalah
disposisi atau sikap dari implementor. Implementor yang baik harus memiliki disposisi
yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang
diinginkan dan ditetapkan oleh pembuat kebijakan, sebaliknya bila implementor memiliki
sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses
implementasinya menjadi tidak efektif (Wahab, 2008). Hal-hal penting yang perlu
diperhatikan dalam variabel disposisi menurut Edaward III adalah:
a) Sikap Pelaksana
Sikap yang tidak mendukung kebijakan akan menimbulkan hambatan terhadap
proses implementasi kebijakan dan tidak melaksanakan ketetapan yang telah ditentukan
oleh penentu kebijakan. Oleh karena itu, demi trecapainya tujuan kebijakan, diperlukan
implementor yang memiliki dedikasi terhadap kebijakan, khususnya dedikasi bagi
masyarakat. Selain itu para implementor hendaknya memiliki sifat jujur, komitmen yang
tinggi sehingga selalu merasa antusias dalam melaksanakan tugas, wewenang, fungsi dan
tanggung jawab sesuai peraturan yang telah ditetapkan.
b) Insentif Edward menyatakan bahwa salah satu cara yang disarankan agar dapat mengatasi
permasalahan terkait sikap pelaksana dengan memberikan insentif. Begitu pula menurut
G.R Terry dalam buku Manajemen SDM dalam Organisasi Publik dan Bisnis : Lattery
incentive means that which incites or a tendency to incite action (Suwatno & Priansa,
2011). Insentif adalah sesuatu yang dapat merangsang minat seseorang untuk melakukan
sesuatu, diharapkan dengan pemberian insentif ini kepada implementor dapat
mempengaruhi tindakan mereka dalam melaksanakan kebijakan dan menjadi salah satu
faktor pendukung yang membuat para impmenentor bersemangat melaksanakan perintah
dengan baik.
3) Struktur Birokrasi
Struktur birokrasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi
kebijakan. Aspek struktur organisasi ini melingkupi dua hal yaitu :
a) SOP Dalam implementasi kebijakan, mekanisme diterjemahkan dalam bentuk standart
53
Universitas Indonesia
operation procedur (SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementator dalam
bertindak agar dalam pelaksanaan kebijakan tidak melenceng dari tujuan dan sasaran
kebijakan.
b) Struktur birokrasi itu sendiri.
Struktur birokrasi yang terlalu panjang dan terfragmentasi akan cenderung
melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni birokrasi yang rumit dan
kompleks prosedur birokrasi yang rumit dan selanjutnya akan menyebabkan aktivitas
organisasi menjadi tidak fleksibel. Struktur birokrasi menyediakan peta sederhana untuk
menunjukkan secara umum kegiatan-kegiatannya dan jarak dari puncak menunjukkan
status relatifnya. Garis-garis antara berbagai posisi-posisi itu dibingkai untuk
menunjukkan interaksi formal yang diterapkan. Kebanyakan peta organisasi bersifat
hirarki yang menentukan hubungan antara atasan dan bawahan dan hubungan secara
diagonal langsung organisasi melalui lima hal harus tergambar, yaitu;
- jenjang hirarki jabatan-jabatan manajerial yang jelas sehingga terlihat “Siapa yang
bertanggungjawab kepada siapa?”;
- pelembagaan berbagai jenis kegiatan oprasional sehingga nyata jawaban terhadap
pertanyaan “Siapa yang melakukan apa?”;
- berbagai saluran komunikasi yang terdapat dalam organisasi sebagai jawaban
terhadap pertanyaan “Siapa yang berhubungan dengan siapa dan untuk kepentingan
apa?”;
- jaringan informasi yang dapat digunakan untuk berbagai kepentingan, baik yang
sifatnya institusional maupun individual;
- hubungan antara satu satuan kerja dengan berbagai satuan kerja yang lain.
4) Sumber Daya
Dalam implementasi kebijakan harus ditunjang oleh sumberdaya baik sumber
daya manusia, materi dan metoda. Sasaran, tujuan dan isi kebijakan walaupun sudah
dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan
sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif dan efisien.
Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja tidak
diwujudkan untuk memberikan pemecahan masalah yang ada di masyarakat dan upaya
memberikan pelayan pada masyarakat. Selanjutnya Wahab (2008), menjelaskan bahwa
54
Universitas Indonesia
sumberdaya tersebut berkaitan dengan segala sumber yang dapat digunakan untuk
mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, dan dapat berwujud sumber daya
manusia, yakni kompetensi implementor dan sumberdaya finansial (Wahab, 2008) yang
dijelaskan sebagai berikut :
a) Sumber Daya Manusia (Staff)
Implementasi kebijakan tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari sumber
daya manusia yang cukup kualitas dan kuantitasnya. Kualitas sumber daya manusia
berkaitan dengan keterampilan, dedikasi, profesionalitas, dan kompetensi di bidangnya,
sedangkan kuantitas berkaitan dengan jumlah sumber daya manusia apakah sudah cukup
untuk melingkupi seluruh kelompok sasaran. Sumber daya manusia sangat berpengaruh
terhadap keberhasilan implementasi, sebab tanpa sumber daya manusia yang kehandalan
sumber daya manusia, implementasi kebijakan akan berjalan lambat.
b) Anggaran (Budgetary)
Dalam implementasi kebijakan, anggaran berkaitan dengan kecukupan modal
atau investasi atas suatu program atau kebijakan untuk menjamin terlaksananya
kebijakan, sebab tanpa dukungan anggaran yang memadahi, kebijakan tidak akan berjalan
dengan efektif dalam mencapai tujuan dan sasaran.
c) Fasilitas (Facility)
Fasilitas atau sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang berpengaruh
dalam implementasi kebijakan. Pengadaan fasilitas yang layak, seperti gedung, tanah dan
peralatan perkantoran akan menunjang dalam keberhasilan implementasi suatu program
atau kebijakan.
Partial Least Square
Path Modelling Partial Least Squere adalah suatu teknik pendekatan alternatif
yang bergeser dari pendekatan SEM berbasis kovarian menjadi berbasis varian. Pada
metode Path Modelling Partial Least Squere terdapat dua evaluasi model, yaitu model
pengukuran atau outer model dan model struktural atau inner model.
Model Pengukuran atau Outer Model
Outer model adalah hubungan antar indikator dengan konstruknya. Pada model
reflektif, dilakukan tiga pengujian untuk menentukan validitas dan reliabilitas, yaitu
55
Universitas Indonesia
convergent validity, discriminant validity dan composite reliability. Ukuran reflektif
dikatakan tinggi jika berkorelasi lebih dari 0,70 dengan konstruk yang ingin diukur.
Namun untuk penelitian tahap awal dari pengembangan skala pengukuran nilai loading
0,50 sampai 0,60 dianggap cukup (Ghozali, 2008). Pada penelitian ini variabel indikator
atau manifest dikatakan valid apabila nilai loading diatas 0,50 discriminant validity dari
model pengukuran reflektif indikator dinilai berdasarkan cross loading pengukuran
dengan konstruk. Disamping uji validitas dilakukan juga uji reliabilitas konstruk
menggunakan composite reliability. Composite reliability digunakan untuk mengukur
internal consistency. Konstruk dinyatakan reliable jika nilai composite reliability diatas
0,70 dengan tingkat kesalahan sebesar 5% (Ghozali, 2008).
Model Struktural atau Inner model
Inner Model Menggambarkan hubungan antara variable berdasarkan pada teori
subtantif. Model struktural dievaluasi dengan menggunakan R-squere untuk konstruk
dependent dan uji-t untuk menentukan signifikansi dari koefisien jalur struktural.
Dinyatakan signifikan jika nilai t-value lebih besar dari t-tabel. Nilai t-tabel untuk tingkat
kesalahan 5% adalah 1,96, maka jika nilai t-value lebih besar dari 1,96 maka dinyatakan
signifikan. Menilai Model dengan Path Modelling Partial Least Square dimulai dengan
R-square untuk setiap variabel laten dependen. Interpretasinnya sama dengan interpretasi
pada regresi. Perubahan nilai R-square dapat digunakan untuk menilai pengaruh variabel
laten independen tertentu terhadap variabel laten dependen apakah mempunyai pengaruh
yang substantif. (Ghojali, 2008)
Kelebihan dari Partial Least Squere adalah suatu teknik pendekatan alternatif yang
bergeser dari pendekatan SEM berbasis kovarian menjadi berbasis varian Perbandingan
antara PLS dan SEM dapat dilihat di Tabel 2.2
Tabel 2.2 Perbandingan PLS dengan SEM (Ghozali, 2008).
Kriteria PLS SEM
1. Tujuan Orientasi Prediksi Orientasi Parameter 2. Pendekatan Berdasar Variance Berdasarkan Covariance 3. Asumsi Spesifikasi Prediktor
(nonparametric) Multivariate normal distribution. Independence observation (parameter)
56
Universitas Indonesia
Kriteria PLS SEM
4. Estimasi parameter Konsisten sebagai indikator dan sample size meningkat (consistency at large)
Konsisten
5. Score variable laten Secara eksplisit di estimasi Indeterminate
6. Hubungan epistemic
Dapat dalam bentuk reflective maupun formative indikator
Hanya dengan reflective indikator
7. Implikasi Optimal untuk ketepatan prediksi
Optimal untuk ketepatan parameter
8. Kompleksitas model
Kompleksitas besar (100 konstruk dan 1000 indikator)
Kompleksitas kecil sampei menengah (kurang dari 100 indikator)
9. Besar sampel Kekuatan analisis didasarkan pada porsi dari model yang memiliki jumlah prediktor terbesar. Minimal di rekomendasikan berkisar 30 sampai 100 kasus.
Kekuatan analisis di dasarkan pada model spesifik. Minimal di rekomendasikan berkisar 200 sampai 800
Perbandingan antara Soft Modelling dan Hard Modelling
Model SEM atau biasa dikenal dengan nama hard modeling. Sedangkan PLS
sering disebut soft modeling. Soft memiliki arti tidak mendasarkan pada asumsi alat
pengukuran, distribusi data dan jumlah sampel. Pada hard modeling bertujuan untuk menguji
hubungan kausalitas antara variabel yang sudah dibangun berdasarkan teori, sedangkan pada
soft modeling bertujuan mencari hubungan linear prediktif antar variabel. Hubungan
kausalitas tidak sama dengan hubungan prediktif.
Variabel Laten dengan Indikator Reflektif dan Indikator Formatif
Pada SEM variabel laten diukur dengan indikator yang bersifat reflektif. Model
reflektif mengasumsikan bahwa konstruk atau variable laten mempengaruhi indikator (arah
hubungan kausalitas dari konstruk ke indikator atau manifest).
57
Universitas Indonesia
A Model Indikator Reflektif
Model reflektif ini lebih dikenal dengan sebutan principical factor model dimana
covariance pengukuran indikator dipengaruhi oleh konstruk laten atau mencerminkan variasi
variasi dari konstruk laten
Gambar 2.4 Principal Factor (Reflektif) (Gozali, 2008)
B Model Indikator Formatif
Pada model formatif, komposit faktor (variabel laten) dipengaruhi (ditentukan)
oleh indikatornya. Sehingga arah hubungan kausalitas dari indikator ke variabel laten. Pada
model komposit variabel laten,
Perubahan pada indikator dihipotesiskan mempengaruhi perubahan dalam konstruk
(variabel laten). Model formatif tidak mengasumsikan bahwa indikator dipengaruhi oleh
konstruk bahwa semua indikator mempengaruhi single konstruk. arah hubungan hubungan
mengalir dari indikator ke konstruk laten dan indikator sebagai grup secara bersama-sama
menentukan konsep atau makna empiris dari konstruk laten. Model formatif berasumsi tidak
ada hubungan korelasi antar indikator maka ukuran internal konsistensi reliabilitas (crobach
alpha) tidak diperlukan untuk menguji reliabilitas konstruk
Gambar 2.5 Principal Factor (Formatif) (Gozali, 2008)
58
Universitas Indonesia
Metode Partial Least Square
Metode PLS ini dapat mengasumsikan bahwa semua ukuran variance adalah
variance yang berguna untuk dijelaskan. PLS Memberikan model umum yang meliputi teknik
korelasi kanonikal, redundancy analysis regresi berganda, multivariate analysis of variance
(MANOVA) dan principle component analysis. PLS menggunakan iterasi algoritma yang
terdiri dari seri analisis ordinary least squeres maka persoalan identifikasi model tidak
menjadi masalah untuk model recursive, juga tidak mengasumsikan bentuk distribusi tertentu
untuk skala ukuran variable.
Cara kerja Partial Least Square (PLS)
Estimasi parameter yang didapatkan dengan PLS dapat dikatagorikan menjadi
tiga. Katagori pertama, weight estimate yang digunakan untuk menciptakan skor variabel
laten. Katagori kedua, mencerminkan estimasi jalur (path estimate) yang menghubungkan
variabel laten dan antar variabel laten dan blok indikatornya (loading). Katagori ketiga,
berkaitan dengan means dan lokasi parameter (nilai konstanta regresi untuk indikator dan
variabel laten. Untuk memperoleh ketiga estimasi ini, PLS menggunakan proses iterasi tiga
tahap dan setiap tahap iterasi menghasilkan estimasi. Tahap pertama menghasilkan weight
estimasi, tahap kedua menghasilkan estimasi untuk inner model dan outer model, dan tahap
ketiga menghasilkan estimasi means dari lokasi (konstanta)
Model Spesifikasi dengan PLS
Model analisi jalur semua variabel laten dalam PLS terdiri dari tiga set hubungan:
a. Outer Model yang menspesifikasi hubungan antara variabel laten dengan indikator atau
fariabel manifestnya (measurement model).
b. Weigth relation dimana nilai kasus variabel laten dapat di estimasi. Tanpa kehilangan
generalisasi, dapat diasusmsikan bahwa variable laten dan indikator atau manifest
variabel diskala zero means dan unit variance sehingga parameter lokasi dapat
dihilangkan dalam model.
c. Inner model yang menspesifikasi hubungan antar variabel laten (structural model). Inner
model menggambarkan hubungan antar variabel laten berdasarkan substantive theory.
59
Universitas Indonesia
Langkah-langkah pemodelan persamaan structural berbasis PLS dengan
software
a. Model Struktural (inner model) Perancangan model structural hubungan antar
variabel laten pada PLS didasarkan pada rumusan masalah atau hipotesis penelitian.
b. Merancang Model Pengukuran (outer model) Perancangan model pengukuran
(outer model) dalam PLS sangat penting karena terkait dengan apakah indikator
bersifat refleksif atau formatif.
c. Mengkonstruksi diagram Jalur Bilamana langkah satu dan dua sudah dilakukan,
maka agar hasilnya lebih mudah dipahami, hasil perancangan inner model dan outer
model tersebut, selanjutnya dinyatakan dalam bentuk diagram jalur.
d. Konversi diagram Jalur ke dalam Sistem Persamaan
- Outer model, yaitu spesifikasi hubungan antara variabel laten dengan indikatornya,
disebut juga dengan outer relation atau measurement model, mendefinisikan
karakteristik konstruk dengan variable manifesnya.
- Inner model, yaitu spesifikasi hubungan antar variabel laten (structural model), disebut
juga dengan inner relation, menggambarkan hubungan antar variabel laten berdasarkan
teori substansif penelitian.
- Weight relation, estimasi nilai kasus variabel latent. Inner dan outer model memberikan
spesifikasi yang diikuti dengan estimasi weight
e. Estimasi
Metode pendugaan parameter (estimasi) di dalam PLS adalah metode kuadrat
terkecil (least square methods). Proses perhitungan dilakukan dengan cara iterasi, dimana
iterasi akan berhenti jika telah tercapai kondisi konvergen.
f. Goodness of Fit
- Convergent validity: Korelasi antara skor indikator refleksif dengan skor variabel
latennya. Untuk hal ini loading 0.5 sampai 0.6 dianggap cukup, pada jumlah indikator
per konstruk tidak besar, berkisar antara 3 sampai 7 indikator.
- Goodness of Fit Model diukur menggunakan R-square variabel laten dependen dengan
interpretasi yang sama dengan regresi; Q-Square predictive relevance untuk model
struktural, megukur seberapa baik nilai onservasi dihasilkan oleh model dan juga
estimasi parameternya.
60
Universitas Indonesia
g. Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis (β, γ, dan λ) dilakukan dengan metode resampling Bootstrap
yang dikembangkan oleh Geisser & Stone. Statistik uji yang digunakan adalah statistik t atau
uji t.
61 Universitas Indonesia
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN
HIPOTESIS
Kerangka Teori
Kerangka teori yang digunakan berdasarkan tinjauan pustaka adalah teori
Andersen (1974) dalam Notoadmodjo (2012) mengenai model pemanfaatan pelayanan
kesehatan oleh masyarakat.
Gambar 3.1 Model Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan (Anderson, 1974)
Sumber: Soekidjo Notoadmodjo, Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan 2012
Dokter berpendapat bahwa pembayaran kapitasi ini justru berdampak negatif
terhadap pendapatan yang diterimanya. Pendapatan mereka dilaporkan turun sampai
30%. Di Amerika Serikat, 61% peserta Manage Care kecewa atas lebih singkatnya waktu
pelayanan dokter primer dan bertambah lamanya waktu tunggu untuk memperoleh
layanan tersebut (Dowd, 1998).
Menurut Cox dan Groves dalam Kangean (1990) suatu rumah sakit akan
berkurang bebannya jika semua pasien rawat jalan sebelumnya disaring oleh dokter
umum. Sehingga kasus yang datang kerumah sakitt memang merupakan kasus
spesialistik yang hanya dapat diatasi di Rumah Sakit. Beberapa unsur yang kiranya
mempunyai hubungan dengan pelaksanaan rujukan di Indonesia adalah menyangkut
antara lain: Manusia sebagai pelaksana sistem itu sendiri, baik ia sebagai yang menerima
Karakteristik Predisposisi
Karakteristik Pendukung
Karakteristik Kebutuhan
Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
1. Demografi 2. Struktur Sosial 3. Keyakinan
Kesehatan
1. Sumber Daya Keluarga
2. Sumber Daya Masyarakat
1. Kebutuhan menurut pasien
2. Kebutuhan menurut diagnosis klinis
62
Universitas Indonesia
rujukan maupun ia sebagai pihak perujuk dan obyek rujukan itu sendiri yaitu penderita.
Siapa saja yang lazimnya bertindak sebagai perujuk, ternyata 64% - 70% adalah dokter
ahli dan dokter umum, sedangkan perorangan lainnya seperti bidan dan perawat hanya
merupakan prosentase kecil (Papilaya, 1985)
Selain faktor manusia yang berhubungan dengan pelaksanaan sistem rujukan
adalah faktor peralatan juga memagang peranan penting, yaitu 63 – 75% pengiriman
pasien oleh perujuk adalah untuk pemeriksaan (diagnostik) dan untuk pengobatan dan
perawatan 10 – 19% (Papilaya, 1985).
Mengenai penderita sendiri, jarak tempat tinggal berhubungan signifikan dengan
demand terhadap fasilitas kesehatan, timbulnya demand terhadap suatu pelayanan
kesehatan berhubungan dengan jarak tempat tinggal pasien dengan tempat pelayanan
kesehatan tersebut (Kangean, 1990). Pada dasarnya manusia ingin memperoleh sesuatu
yang paling baik menurut dia, demikian juga dengan setiap penderita tentu ngin mendapat
pelayanan yang paling baik, dengan mencari dokter yang menurut anggapannya paling
terampil dan paling baik.
Menurut (Boland, 1997) dalam The Capitation Sourcebook dikatakan bahwa agar
kapitasi bisa sukses, provider harus haruslah mempunyai data basis yang bisa memonitor
dan mengukur kinerjanya, sedangkan reward haruslah nyata (tangible) dan terkait kinerja
perorangan, sedangkan Riley dalam buku yang sama menyatakan provider untuk rawat
jalan seyogiayanya menjalankan hal-hal sebagai berikut, menyediakan waktu yang
fleksibel untuk pasien, mempunyai informasi yang cukup tentang rumah sakit tujuan
rujukan yang efisien, menjaga hubungan yang berkesinambungan dengan pasien,
mempunyai sistem edukasi bagi pasien. Pada penelitian Nurbaiti didapatkan bahwa
kondisi Puskesmas tidak menunjang terhadap suksesnya pelaksanaan kapitasi antara lain
kurang lengkapnya data kepesertaan, lemahnya kontrol terhadap rujukan, sistem
pembagian insentif/jasa, pendistribusian obat, terbatasnya waktu dokter akibat banyaknya
pasien dll. Dari pihak pengelola Askes, kecilnya jasa yang dibayarkan karena terbatasnya
premi yang diterima, kurangnya kontrol langsung ke Puskesmas dan kurangnya
sosialisasi merupakan penyebab masalah-masalah yang dikeluhkan Puskesmas.
Administrative data sets are frequently a basis for quality-of-care assessments
and are used in sistems such as HEDIS 3.0 and Performance-Based Measures Managed
Behavioral Healthcare Program. The data sets include claims data, records on visits and
63
Universitas Indonesia
procedures, and with the introduction of computerization, medical records. These
information sistems generally include relatively large pools of individuals and therefore
permit analyses of specific practitioners and facilities (profiling), exemination of selected
conditions and diagnoses, and changes in patient status overtime. Because the data are
collected for ongoing management fuctions (billing), they provide a relatively inexpensive
source of information. (Edmonds & Frank, 1997).
Unfortunately, the value of the data sets for assessments of quality are limited
because they are designed for management funktion like billing and claim payment and
may not include sufficient detail to facilitate analyses of quality of care (Garnick et al,
1994) have noted that quality of care assessement require information on the utilisation
of care (visits, services, procedures, site of cervices, diagnoses, and outcomes), patient
characteristics (age, gender, race, and employment status), and health plan description
(benefit, structure, copayments). Many sistem, however do not include all utilization
information and may not contain detail on the services provided. (Edmonds & Frank,
1997)
Besarnya biaya kapitasi ini bervariasi oleh karena beberapa faktor yang
mempengaruhi besarnya kapitasi sepeti umur dan jenis kelamin (Kongstvedt, 2013)
Kerangka Konsep
Sejalan dengan tujuan penelitian dan permasalahan yang akan diteliti, analisis
diarahkan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi angka kontak, rasio rujukan
kasus non spesialistik, rasio prolanis peserta JKN dengan diterapkannya Kapitasi
Berbasis Komitmen pelayanan, dengan menggunakan data selama 2 tahun penerapan
Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan
Utilisasi pelayanan kesehatan yang dinyatakan dalam pencapaian indikator angka
kontak, rasio rujukan kasus non spesialistik, rasio prolanis sebagai variable terikat
(dependen) dipengaruhi oeh variable bebas yaitu karakterteristik puskesmas, perilaku
kepala puskesmas dalam pelaksanaan kapitasi berbasis komitmen pelayanan, pelayanan
sistem rujukan, risk profil peserta, dan besaran kapitasi yang diterima di puskesmas dan
kepala puskesmas. Untuk itu bisa digambarkan suatu hubungan dari variable-variabel
yang ada dalam sistem ini sebagai berikut
64
Universitas Indonesia
Angka Kontak
Rasio Rujukan Rawat Jalan Kasus
Non Spesialistik (RRNS)
Rasio Peserta Prolanis rutin berkunjung ke FKTP (RPPB)
‐ Dokter sebagai perujuk dan yang menerima rujukan (dokter umum dan spesialis)
‐ Bidan ‐ Perawat
(Kangean, 1990)
Karakteristik kebutuhan - Kebutuhan menurut pasien
(Andersen, R and Newman, 2005)
Fasilitas dan peralatan kesehatan (Papilaya, 1985)
Komitmen Pelayanan ‐ Pemenuhan jam praktik ‐ Penggunaan aplikasi SIM BPJS ‐ Pelayanan sesuai PPK ‐ Pengelolaan Klub Prolanis
(B. Kesehatan, 2016)
‐ Profil Resiko Peserta, umur (Kongstvedt, 2013)
‐ Rasio dokter:peserta (Boland, 1997)
‐ Jasa Pelayanan (Dowd, 1998)
‐ Alasan Rujukan ‐ Pemilihan RS Rujukan ‐ Feed back dari RS ‐ Rujuk Balik ‐ Data kepesertaan ‐ Kontrol terhadap rujukan ‐ Jasa Pelayanan dan Obat
(Nurbaiti, 2001)
‐ Good record on visits and procedures
‐ Data sets for assessement (Edmonds & Frank, 1997)
Gambar 3.2 Kerangka Teori
65
Universitas Indonesia
Gambar 3.3 Kerangka Konsep
Karakteristik Puskesmas ‐ Tingkat Puskesmas ‐ Kategori Puskesmas ‐ Status Akreditasi
Disposisi ‐ Nilai Kapitasi
Sumber Daya ‐ Kecukupan SDM
‐ Dokter ‐ Perawat ‐ Bidan ‐ Farmasi ‐ Tenaga Kesmas
‐ Kepala Puskesmas ‐ Jenis Kelamin ‐ Lama Bertugas
‐ Fasilitas dan Sarana Penunjang ‐ Kecukupan obat-obatan ‐ Kecukupan sarana,
prasarana ‐ Kecukupan alat sesehatan
Pengelolaan Pelayanan ‐ Pemenuhan waktu praktik ‐ Pengelolaan Klub Prolanis
Peserta ‐ Jumlah peserta ‐ Proporsi Peserta Risti ‐ Rasio dokter:peserta
Angka Kontak (AK)
Rasio Peserta Prolanis rutin berkunjung ke FKTP (RPPB)
Rasio Rujukan Rawat Jalan Kasus Non Spesialistik (RRNS)
66 Universitas Indonesia
Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala 1. Angka
Kontak
Merupakan jumlah
peserta terdaftar yang
melakukan kontak
dengan FKTP
dibandingkan dengan
total jumlah peserta
terdaftar di FKTP dikali
1000
Menghitung
data dari
laporan
Puskesmas
(p-care)
Dokumen
BPJS
Permil (o/oo)
AK = jml peserta terdaftar yang melakukan kontak x 1000 Jumlah peserta terdaftar di FKTP
Rasio
2. Rasio
Peserta
Prolanis
rutin
berkunjung
ke FKTP
(RPPB)
Jumlah peserta prolanis
yang rutin berkunjung
ke FKTP dibandingkan
dengan jumlah peserta
prolanis terdaftar di
FKTP dikali 100
(serratus)
Menghitung
data dari
laporan
Puskesmas
(p-care)
Dokumen
BPJS
Perseratus (o/o)
RPPB = Jumlah peserta prolanis yang rutin berkunjung x 100 Jumlah peserta prolanis terdaftar di FKTP
Rasio
67
Universitas Indonesia
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala 3. Rasio
Rujukan
Rawat Jalan
Kasus Non
Spesialistik
(RRNS)
Jumlah peserta yang
dirujuk dengan
diagnosa yang
termasuk dalam level
kompetensi FKTP
sesuai dengan Panduan
Praktik Klinis
dibandingkan dengan
jumlah seluruh peserta
yang dirujuk oleh
FKTP dikali 100
(seratus)
Menghitung
data dari
laporan
Puskesmas
(p-care)
Dokumen
BPJS
Perseratus (o/o)
RRNS = jumlah rujukan kasus non spesialistik x 100 Jumlah rujukan FKTP
Rasio
4. Karakteristik
Puskesmas
Ciri puskesmas yang
terdiri dari tingkat
puskesmas (Pemerintah
Daerah DKI Jakarta,
2007), kategori
Puskesmas (Kemenkes
Telaah
dokumen
Pusdatin
Kemenkes (a,b)
dan telaah
dokumen
Dokumen
Pusdatin
dan Dit
Mutu dan
Akreditasi
a) Tingkat puskesmas:
1= puskesmas kecamatan, 2= puskesmas
kelurahan
b) Kategori Puskesmas
1= Puskesmas rawat inap, 2= Puskesmas non
rawat inap
Nominal
68
Universitas Indonesia
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala RI, 2014), Status
Akreditasi, Status
BLUD
Direktorat
Mutu dan
Akreditasi
Kemenkes (c)
c) Status Akreditasi
1= Akreditasi, 2= Belum Akreditasi
d) Status BLUD
1= BLUD, 2= Non BLUD
5. Nilai
Kapitasi
Besarnya pembayaran
yang diterima Kepala
Puskesmas secara
periodik dari BPJS
untuk kapitasi peserta
JKN di masing-masing
puskesmas
Telaah
dokumen
pembayaran
kapitasi oleh
BPJS
Dokumen
BPJS
Nominal rupiah
Rasio
6. Kecukupan
SDM
Kecukupan Sumber
Daya Kesehatan sesuai
dengan Peraturan
Gubernur Provinsi DKI
Jakarta No. 118 Tahun
2016 tentang Analisis
Telaah
Dokumen
Dinas
Kesehatan
Provinsi DKI
(Bagian SDK
Dokumen
Dinas
Kesehatan
Provinsi
1) Kecukupan dokter (KD) KD = jumlah dokter existing x 100% target pada Pergub
2) Kecukupan Perawat (KP) KP = jumlah perawat existing x 100% target pada Pergub
Rasio
69
Universitas Indonesia
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Jabatan dan Analisis
Beban Kerja pada
Dinas Kesehatan
(Gubernur DKI Jakarta,
2016)
dan Bagian
Kepegawaian)
DKI
Jakarta
3) Kecukupan Bidan (KB) KB = jumlah bidan existing x 100% target pada Pergub
4) Kecukupan Tenaga Farmasian (KTF) KTF = jumlah tenaga farmasi existing x 100% target pada Pergub
5) Kecukupan Tenaga Kesmas (KTK)
KTK = jumlah tenaga Kesmas existing x 100% target pada Pergub
7. Kepala
Puskesmas
Karakteristik Kepala
Puskesmas yang
meliputi jenis kelamin
kepala puskesmas,
status kepegawaian
kepala puskesmas dan
lama menjabat sebagai
kepala puskesmas
Telaah
Dokumen
Dinas
Kesehatan
Provinsi DKI
Jakarta
(Bagian
Kepegawaian)
Dokumen
Dinas
Kesehatan
Provinsi
DKI
Jakarta
a) Jenis kelamin
1=laki-laki, 2=perempuan
b) Lama bertugas/menjabat
1=sebelum 2016, 2=sesudah 2016
Nominal
8. Fasilitas
Pelayanan
Kesehatan
Fasilitas Pelayanan
Kesehatan adalah suatu
Telaah
dokumen
Dinas
Dokumen
Dinas
Kesehatan
1) Kecukupan obat-obatan
1= cukup
2= tidak cukup
Ordinal
70
Universitas Indonesia
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala dan Sarana
Penunjang
alat dan/ atau tempat
yang digunakan untuk
menyelenggarakan
upaya pelayanan
kesehatan, baik
promotif, preventif,
kuratif maupun
rehabilitatif yang
dilakukan oleh
pemerintah pusat,
pemerintah daerah,
dan/ atau masyarakat.
(Kemenkumham,
2016) yang terdapat di
Puskesmas berupa:
1) Kecukupan obat-
obatan
2) Kecukupan sarana
dan prasarana
Kesehatan
Provinsi DKI
Jakarta
(Bagian
Kefarmasian),
dan data
ASPAK
Direktorat
Fasyankes
Kemenkes
Provinsi
DKI
Jakarta,
dan
Dokumen
ASPAK
Kemenkes
2) Kecukupan sarana dan prasarana
1= lengkap (> mean prosentase kelengkapan
alat sesuai data ASPAK)
2= tidak lengkap (≤ mean prosentase
kelengkapan alat sesuai data ASPAK)
3) Kecukupan alat kesehatan
1= lengkap (> mean prosentase kelengkapan
alat sesuai data ASPAK)
2= tidak lengkap (≤ mean prosentase
kelengkapan alat sesuai data ASPAK)
71
Universitas Indonesia
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala 3) Kecukupan alat
kesehatan 9. Pengelolaan
Pelayanan
Pengelolaan Puskesmas
dalam melakukan
pelayanan untuk
mencapai indikator
komitmen pelayanan,
yang terdiri dari
pemenuhan waktu
praktik, pengelolaan
peserta penderita
penyakit kronis (Klub
Prolanis
Telaah
Dokumen
BPJS (B.
Kesehatan,
2016) dan
Dokumen
Dinas
Kesehatan
Provinsi DKI
Jakarta
Dokumen
BPJS dan
Dinas
Kesehatan
Provinsi
DKI
Jakarta
1) Jumlah Jam dan Hari Pelayanan
a) Jam pelayanan
1= ≤ 6 jam, 2= > 6 jam
2) Pengelolaan peserta penderita penyakit
kronis (Klub Prolanis)
1= Ada, 2= Tidak ada
Ordinal
10. Jumlah
Peserta
Banyaknya peserta
JKN yang terdaftar di
masing-masing
puskesmas di wilayah
DKI Jakarta
Telaah
Dokumen
BPJS
Dokumen
BPJS
Jumlah peserta (jiwa) Rasio
72
Universitas Indonesia
No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala 11. Proporsi
peserta risti
Proporsi peserta dilihat
dari komposisi umur
peserta yang terdaftar
Telaah
Dokumen
BPJS
Dokumen
BPJS
1. Jumlah peserta usia 0-5 th 2. Jumlah peserta usia >60 th
Ratio
12. Rasio dokter
: peserta
Perbandingan antara
jumlah dokter dengan
jumlah peserta BPJS di
wilayah kerja
Puskesmas
Telaah
Dokumen
BPJS dan
Dinas
Kesehatan
Provinsi DKI
Jakarta
Dokumen
BPJS dan
Dinas
Kesehatan
Provinsi
DKI
Jakarta
Jumlah Dokter : Jumlah pasien
Selanjutnya skor yang diperoleh dikelompokkan
ke dalam kategori
1= >5000
2= <5000
Rasio
73 Universitas Indonesia
Hipotesis
1. Ada hubungan antara karakteristik puskesmas dengan indikator komitmen
pelayanan
2. Ada hubungan antara nilai kapitasi dengan indikator komitmen pelayanan
3. Ada hubungan antara sumber daya dengan indikator komitmen pelayanan
4. Ada hubungan antara pengelolaan pelayanan dengan indikator komitmen
pelayanan
5. Ada hubungan antara jumlah dan proporsi peserta risti dengan indikator
komitmen pelayanan
74
Universitas Indonesia
Halaman ini sengaja dikosongkan
75 Universitas Indonesia
METODOLOGI PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian yang digunakan adalah metode campuran (mixed method) yaitu sebuah
penelitian yang melibatkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dalam hal pengumpulan
data dan analisis dalam sebuah penelitian tunggal (Creswell, 2013). Adapun metode
kombinasi yang digunakan adalah model sequential (quan QUAL) dimana pada tahap
pertama penelitian menggunakan metode kuantitatif dengan bobot yang lebih rendah
daripada metode KUALITATIF (Sugiyono, 2017)
Hasil kuantitatif yang diperoleh pada fase pertama dijelaskan dan diuraikan secara
kualitatif pada fase kedua. Desain penelitian ini dipilih karena data dan analisa kuantitatif
pada fase pertama mampu menjelaskan problem penelitian, dan data dan analisa kualitatif
pada fase kedua dapat menjelaskan dan melengkapi hasil statistik dengan mengeksplorasi
pandangan responden serta masukan lainnya dengan lebih dalam, sehingga rancangan
penelitian yang digunakan adalah Explanatory design (Sugiyono, 2017). Diharapkan data
yang diperoleh dari peneitian akan lebih valid, karena data yang kebenarannya tidak dapat
divalidasi dengan metode kuantitatif akan divalidasi dengan metode kualitatif atau
sebaliknya.
Pengamatan menggunakan cakupan waktu (time horizon) bersifat cross
section/one shot, artinya informasi atau data yang diperoleh adalah hasil penelitian yang
dilakukan pada satu waktu tertentu yaitu pada tahun 2016 dan tahun 2017. Unit analisis
menurut Sekaran (201 0:132) “unit of analysis refers to level aggregation of the data
collected during the subsequent data analysis stage”. Unit analisis dalam penelitian ini
adalah puskesmas di wilayah DKI Jakarta.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilakukan di DKI Jakarta. Yang akan dilakukan pada bulan
Januari s.d Mei 2018
76
Universitas Indonesia
Etika Penelitian
Penelitian ini dilakukan setelah mendapat surat rekomendasi dari Tim Kaji Etik
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia No. 49/UN2.F10/PPM.00.02/2018
dan layak untuk dilaksanakan serta setelah mendapatkan izin turun lapangan. Izin turun
lapangan juga dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi, PTSP, dan Suku Dinas
Kesehatan DKI Jakarta, Puskesmas Kecamatan dan Puskesmas Kelurahan.
Etika penelitian menggunakan informed consent yang diberikan kepada
responden/informan sebelum peneliti mengambil data primer, serta melakukan perizinan
kepada responden/informan untuk diambil gambar atau foto, rekaman dan video selama
peneliti mengumpulkan data. Responden/informan akan diminta kesediaannya dengan
cara menandatangani formulir informed consent seperti formulir terlampir.
Untuk data BPJS diberikan setelah memenuhi persyaratan setelah mendapat
persetujuan dari reviewer dari pihak BPJS. Demikian data ASPAK (Aplikasi Sarana dan
Prasarana Alat Kesehatan) telah disetujui oleh Direktur Fasilitas Pelayanan Kesehatan
dan data SP2TP yang diperoleh dari Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan, data Puskesmas Terakreditasi oleh Direktur Mutu dan Akreditasi, dan oleh
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta (data SDK, kepegawaian, obat, fasilitas
sarana dan prasarana pelayanan kesehatan)
Populasi dan Sampel
Populasi
Populasi studi adalah Puskesmas di DKI Jakarta, seluruhnya berjumlah 340
Puskesmas.
Besar Sampel
A Kuantitatif
Akan diambil total sampling data Puskesmas yang memenuhi kriteria inklusi
B Kualitatif
Dari uji pendahuluan didapatkan jumlah puskesmas yang memenuhi 3 indikator
zona aman berjumlah 234 (68.8%) Puskesmas dari total Puskesmas yang ada di DKI
Jakarta. Diambil wilayah dimana terakumulasi Puskesmas pencapaian 3 indikator aman
terbesar, dan wilayah yang terakumulasi puskesmas yang tidak aman 3 indikator
komitmen pelayanan
77
Universitas Indonesia
Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria Inklusi
1. Puskesmas yang berada dalam wilayah kerja DKI Jakarta
2. Puskesmas telah menerapkan KBK
Kriteria Eksklusi
Puskesmas yang tidak memenuhi data yang diperlukan
Teknik Pengumpulan Data
Data primer
Faktor-faktor yang mempengaruhi indikator kinerja data yang diperoleh dari
wawancara langsung dengan responden
Data sekunder
Data capaian indikator KBK (angka kontak, rasio rujukan kasus non spesialistik,
dan rasio prolanis) diperoleh dari data BPJS Wilayah DKI Jakarta, data Puskesmas yang
diperoleh dari dokumen Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta dan BPJS wilayah DKI
Jakarta, Pusdatin Kemenkes, Direktorat Mutu dan Akreditasi, Direktorat Fasilitas
Pelayanan Kesehatan
Jenis Data
Data Kualitatif dan Kuantitatif
Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan telaah dokumen instansi terkait.
Untuk data
Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam (BPJS
Depwil, BPJS Cabang, Kepala bagian unit terkait di Dinas Kesehatan provinsi DKI
Jakarta, Kepala Bagian terkait di Suku Dinas Kesehatan, kepala puskesmas kecamatan,
kepala puskesmas kelurahan, dan atau koordinator BPJS) untuk melengkapi dan
mempertajam analisis hasil penelitian kuantitatif.
78
Universitas Indonesia
Pengolahan Data
Data kuantitatif
1) Editing Data
2) Coding
3) Entry Data
4) Cleaning Data
Data kualitatif
1) Memeriksa keabsahan data
2) Mengkaji semua data yang terkumpul dari berbagai sumber
3) Mecatat semua hasil rekaman saat wawancara mendalam
4) Membuat ringkasan hasil kajian semua data
5) Mengkatagorikan data yang sama
6) Meyajikan hasil ringkasan analisa data dalam bentuk matriks
Analisis Data
Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan SPSS 1.6 dan software
smartPLS 2.0. Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif univariate, bivariate dan
Partial Least Square dengan bantuan software smartPLS 2.0
Analisis Univariat
Analisis data univariate untuk menggambarkan distribusi frekuensi masing-
masing variable.
Analisis Bivariat
Analisis data bivariate untuk membuktikan perubahan capaian indikator
komitmen pelayanan dan perubahan kapitasi yang terima oleh Puskesmas pada tahun
2016 dan tahun 2017.
Analisis Multivariat
Analisis ini adalah untuk membuktikan faktor dominan yang mempengaruhi
indikator komitmen pelayanan
79 Universitas Indonesia
HASIL PENELITIAN
Sistematika Penyajian
Dalam penyajian hasil akan saya sampaikan terlebih dahulu terkait gambaran
umum wilayah DKI Jakarta, Pelaksanaan Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan, proses
penelitian dan keterbatasan penelitian, dan selanjutnya akan saya sampaikan hasil
penelitian.
Gambaran Umum Wilayah
Gambaran Umum Wilayah DKI Jakarta
Provinsi Jakarta adalah ibu kota Negara Indonesia dan merupakan salah satu
Provinsi di Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi DKI Jakarta terletak antara 60 12’
Lintang Selatan dan 1060 48’ Bujur Timur dengan batas wilayah Provinsi DKI Jakarta
bagian selatan adalah Kota Depok, bagian timur adalah Provinsi Jawa Barat, bagian barat
adalah Provinsi Banten dan bagian utara adalah Laut Jawa. Luas wilayah DKI Jakarta
menurut SK Gubernur Nomor 171 tahun 2007 adalah sebesar 662,33 km2 untuk daratan
dan 6.977,5 km2 untuk lautan termasuk wilayah daratan Kepulauan Seribu yang tersebar
di teluk Jakarta. Sedangkan secara administratif, wilayah administratif Provinsi DKI
Jakarta terbagi menjadi lima wilayah kota administratif dan satu kabupaten administratif
yaitu Kota administratif Jakarta Selatan, Kota administratif Jakarta Timur, Kota
administratif Jakarta Pusat, Kota administratif Jakarta Barat, Kota administratif Jakarta
Utara dan Kabupaten administratif Kepulauan Seribu. Daerah dengan wilayah terluas
adalah Kota Jakarta Timur dengan luas wilayah 188,03 km2. Sedangkan daerah dengan
luas tersempit adalah Kabupaten Kepulauan Seribu sebesar 8,7 km2 (BPS Jakarta, 2017)
80
Universitas Indonesia
Gambar 5.1 Peta Wilayah DKI Jakarta
Keadaan Penduduk
Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk Provinsi DKi Jakarta per wilayah dapat
dilihat pada dalam tabel berikut. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa wilayah
dengan jumlah penduduk terbanyak adalah Jakarta Timur dan laju pertumbuhan
penduduk tertinggi adalah Jakarta Barat
Tabel 5.1 Luas Wilayah, Jumlah, Laju Pertumbuhan, dan Kepadatan Penduduk Provinsi DKi Jakarta Tahun 2017
No Kabupaten/ Kota
Luas (km2)
Jumlah Penduduk
(orang)
Laju Pertumbuhan
Penduduk
Kepadatan Penduduk (km2)
1 Jakarta Selatan 141,27 2.206.732 0.96 15620,672 Jakarta Timur 188,03 2.868.910 0.88 15257,723 Jakarta Pusat 48,13 917.754 0.39 19068,234 Jakarta Barat 129,54 2.496.002 1.32 19268,205 Jakarta Utara 146,66 1.764.614 0.99 12032,016 Kepulauan Seribu 8,7 23.616 1.18 2714,48 Jumlah 662,33 9.223.000 5.72 13.925
81
Universitas Indonesia
Pada tabel diatas terlihat bahwa berdasarkan wilayah, wilayah dengan jumlah
penduduk terbanyak adalah Jakarta Timur dengan 2,8 juta jiwa dan terkecil adalah
Kepulauan Seribu dengan 23.616 jiwa. Sedangkan berdasarkan kecamatan, kecamatan
dengan julah penduduk terbanyak adalah Kecamatan Cengkareng dengan 574.566 jiwa
dan terkecil adalah Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan dengan 9.561 jiwa.
Gambaran Pelaksanaan Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan
Kapitasi Berbasis Komitmen dilaksanakan atas dasar Peraturan Bersama
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan RI dan Direktur Utama badan
Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan No.HK.02.05/III/SK/089/2016 No.3 Tahun
2016 dan diperbarui dengan Peraturan Bersama Sekretaris Jenderal Kementerian
Kesehatan RI dan Direktur Utama badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan
No.HK.01.08/III/980/2017 No.2 Tahun 2017 tentang Petunjuk teknis Pelaksanaan
Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan pada FKTP.
Pelaksanaan Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan di DKI Jakarta dimulai sejak
Juni 2016. Adapun pelaksanaan di Puskesmas sudah dengan penerapan konsekuensi yaitu
adanya pemotongan jika ada indikator komitmen pelayanan yang tidak bisa ditemui,
sedangkan pelaksanaan KBK pada FKTP lain meliputi Klinik dan Dokter Praktik
Perorangan juga dilaksanakan, tapi tidak ada konsekuensi dan baru akan diberlakukan
konsekuensi mulai Juli 2018.
Proses Penelitian
Berdasarkan surat dari FKM, Direktur Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Direktur
Mutu dan Akreditasi, Direktur Pelayanan Kesehatan Primer, Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi, Badan PTSP Provinsi DKI, Kepala BPJS Depwil, Kepala BPJS Cabang Jakarta
Barat, Kepala BPJS Cabang Jakarta Utara, Kepala BPS, Kepala Suku Dinas Kesehatan
Jakarta Barat dan Kepala Suku Dinas Kesehatan Jakarta Utara memberikan ijin untuk
pengambilan data kuantitatif dan kualitatif.
Pengumpulan data kuantitatif dilakukan selama 2 bulan (20 Januari s.d 6 Maret
2018), dari hasil analisis data kuantitatif ditentukan lokus untuk dilakukan pengumpulan
data secara kualitatif kepada Kepala Seksi Subdit Praktik Perorangan, Kepala Bidang
82
Universitas Indonesia
Perencanaan dan Pembiayaan dan Kepala Seksi Pelayanan Kesehatan Dasar, Kepala
Seksi Kefarmasian Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Kepala Bidang PMP BPJS
Cabang Jakarta Utara dan Cabang Jakarta Barat, Kepala Seksi Pelayanan Kesehatan
Dasar Suku Dinas Kesehatan Jakarta Barat dan Jakarta Utara, serta Puskesmas
Kecamatan Cengkareng, Puskesmas Kelurahan Kapuk 1, Puskesmas Kecamatan
Kalideres, Puskesmas Kelurahan Semanan, Puskesmas Kecamatan Penjaringan,
Puskesmas Kelurahan Penjaringan 1.
Untuk data kuantitatif adalah data sekunder yang telah divalidasi oleh institusi
terkait untuk dapat dianalisis selanjutnya serta membandingkan data yang diperoleh dari
beberapa institusi yang berbeda misalnya data yang diperoleh di Dinkes Provinsi juga
dibandingkan dengan yang ada di Sudinkes, demikian juga dengan data BPJS Depwil
dibandingkan dengan data BPJS Cabang. Uji validitas data kualitatif dilakukan dengan
“triangulasi” antara wawancara mendalam antar informan di beberapa tingkatan yang
berbeda.
Analisis data yang bersifat kuantitatif dilakukan dengan SEM PLS, dan analisis
data yang bersifat kualitatif dilakukan dengan cara manual.
Hasil Penelitian Kuantitatif
Unit analisis penelitia ini adalah 340 puskesmas. Untuk data kuantitatif dilakukan
analisis univariate, bivariate dan multivariate.
Variabel Dependen
Variabel dependen terdiri dari angka kontak, angka rasio rujukan kasus non
spesialistik, dan angka rasio prolanis
A Angka Kontak
Angka kontak merupakan jumlah peserta terdaftar yang melakukan kontak
dengan FKTP dibandingkan dengan total jumlah peserta terdaftar di FKTP dikali 1000
selama tahun 2017 menunjukkan angka kontak pasien di puskesmas berkisar antara
20.70/00 sampai dengan 411.020/00, dengan rata-rata 192.60/00, standar deviasi 83.80/00.
Jika dilihat dari tingkat puskesmas kecamatan terlihat bahwa angka kontak paling
sedikit adalah 56.90/00 sampai 339.20/00 dengan rata-rata 169.90/00 dengan standar deviasi
75.90/00. Dan di tingkat puskesmas kelurahan bahwa angka kontak paling sedikit adalah
83
Universitas Indonesia
20.70/00 sampai 411.020/00 dengan rata-rata 196.30/00 dengan standar deviasi 84.40/00. Hal
ini menunjukkan adanya ketidakmerataan capaian angka kontak di puskesmas wilayah
DKI. Adapun terkait angka tertinggi pencapaian lebih tinggi dicapai di wilayah
puskesmas kelurahan mengindikasikan kurang meratanya sebaran peserta JKN, sehingga
denominator yang kecil akan memungkinkan lebih mudah untuk mencapai angka kontak
dibandingkan puskesmas kecamatan yang mempunyai peserta rata-rata lebih besar.
Namun secara rata-rata puskesmas telah mencapai target yang diharapkan (>1500/00).
Tabel 5.2 Distribusi Angka Kontak pasien JKN di Puskesmas di wilayah DKI Jakarta Tahun 2017
Variabel Minimum Maksimum Mean Standar deviasi0/00
0/000/00
0/00 Angka Kontak 20.7 411.02 192.6 83.8
Tabel 5.3 Distribusi Angka Kontak pasien JKN berdasarkan Puskesmas Kecamatan dan Puskesmas Kelurahan di wilayah DKI Jakarta Tahun 2017
Angka Kontak Minimum Maksimum Mean Standar deviasi
Tingkat Puskesmas n 0/000/00
0/00 0/00
Kecamatan 44 56.9 339.2 169.9 75.9
Kelurahan 296 20.7 411.02 196.3 84.4
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Angka Kontak Kategori Aman/Tidak Aman berdasarkan Puskesmas Kecamatan dan Puskesmas Kelurahan Tahun 2017
Angka Kontak Aman Tidak Aman Total
f % f % f % Puskesmas Kecamatan
24 54.5 20 45.5 44 100
Puskesmas Kelurahan
197 66.6 99 33.4 296 100
Pada tabel diatas bisa didapatkan bahwa rata-rata selama tahun 2017 cukup
banyak puskesmas yang telah mencapai angka kontak diatas target (>1500/00), masing-
masing lebih dari 50% baik puskesmas tingkat kecamatan dan kelurahan.
B Rasio Prolanis
Jumlah peserta prolanis yang rutin berkunjung ke FKTP dibandingkan dengan
jumlah peserta prolanis terdaftar di FKTP dikali 100 (seratus) selama tahun 2017
84
Universitas Indonesia
menunjukkan capaian indikator rasio prolanis di puskesmas berkisar antara 0.0 % sampai
dengan 100%, dengan rata-rata 44.9%, standar deviasi 40.9%
Jika dilihat dari tingkat puskesmas kecamatan terlihat bahwa rasio prolanis paling
sedikit adalah 0.0 % sampai 100% dengan rata-rata 44.9% dengan standar deviasi 40.9%.
Dan di tingkat puskesmas kecamatan rasio prolanis paling sedikit adalah 0.0 % sampai
100% dengan rata-rata 59.1% dengan standar deviasi 45.7% , sedangkan di kelurahan
bahwa rasio prolanis paling sedikit adalah 0.0 % sampai 100% dengan rata-rata 42.8%
dengan standar deviasi 41.8%. Hal ini menunjukkan capaian cukup merata meski jika di
rata-rata masih kurang dari target yang diharapkan (>50%), hal tersebut menunjukkan
bahwa puskesmas kelurahan pun cukup gencar untuk melakukan klub prolanis sehingga
bisa mendongkrak capaian rasio prolanis di puskesmas kelurahan.
Tabel 5.5 Distribusi Rasio Prolanis di Puskesmas di wilayah DKI Jakarta Tahun 2017
Variabel Minimum Maksimum Mean Standar deviasi
% % % %
Rasio Prolanis 0.0 100 44.9 40.9
Tabel 5.6 Distribusi rasio prolanis pasien JKN berdasarkan Puskesmas Kecamatan dan Kelurahan di wilayah DKI Jakarta Tahun 2017
Rasio Prolanis Minimum Maksimum Mean Standar deviasi
Tingkat Puskesmas n % % % %
Kecamatan 44 0.0 100 59.1 45.7
Kelurahan 296 0.0 100 42.8 41.8
Tabel 5.7 Distribusi Frekuansi Rasio Prolanis Kategori Aman/Tidak Aman berdasarkan Puskesmas Kecamatan dan Puskesmas Kelurahan Tahun 2017
Indikator Rasio Prolanis
Aman Tidak Aman Total f % f % f %
Puskesmas Kecamatan
31 70.5 13 29.5 44 100
Puskesmas Kelurahan
134 45.3 162 54.7 296 100
85
Universitas Indonesia
Pada tabel diatas bisa didapatkan bahwa selama tahun 2017 cukup banyak
puskesmas yang telah mencapai target prolanis, 70.5% puskesmas kecamatan berada pada
posisi aman, dan 45.3% puskesmas kelurahan berada pada posisi aman.
C Rasio Rujukan Kasus Non Spesialistik
Jumlah peserta yang dirujuk dengan diagnosa yang termasuk dalam level
kompetensi FKTP sesuai dengan Panduan Praktik Klinis dibandingkan dengan jumlah
seluruh peserta yang dirujuk oleh FKTP dikali 100 (seratus) selama tahun 2016 s.d tahun
2017 menunjukkan rasio rujukan kasus non spesialistik di puskesmas berkisar antara
0.0% sampai dengan 11.7%, dengan rata-rata 0,3%, standar deviasi 1.03%,
Tabel 5.8 Distribusi Rasio Rujukan Kasus Non Spesialistik di Puskesmas di wilayah DKI Jakarta Tahun 2017
Variabel Minimum Maksimum Mean Standar deviasi
RRNS 0.0% 11.7% 0,3% 1.03%
Tabel 5.9 Distribusi Rasio Rujukan Kasus Non Spesialistik berdasarkan Puskesmas Kecamatan dan Kelurahan Tahun 2017
Indikator RRNS
Minimum Maksimum Mean Standar deviasi
Puskesmas Kecamatan
0.0% 1.8% 0.2% 0.5%
Puskesmas Kelurahan
0.0% 11.7% 0.3% 1.1%
Jika dilihat dari tingkat puskesmas kecamatan terlihat bahwa rasio rujukan kasus
non spesialistik paling sedikit adalah 0.0 % sampai 1.8% dengan rata-rata 0.2% dengan
standar deviasi 0.5%. Dan di tingkat puskesmas kelurahan bahwa rasio rujukan kasus non
spesialistik paling sedikit adalah 0.0 % sampai 11.7% dengan rata-rata 0.3% dengan
standar deviasi 1.1%. Hal ini menunjukkan capaian yang baik puskesmas kecamatan
dimana sudah bisa mengontrol rujukan kasus non spesialistik, dan puskesmas kelurahan
masih ada yang diatas target yang diharapkan RRNS (<5%). Namun secara rata-rata
keseluruhan capaian RRNS sudah memenuhi target.
86
Universitas Indonesia
Tabel 5.10 Distribusi Frekuansi Rasio Rujukan Kasus Non Spesialistik Kategori Aman/Tidak Aman berdasarkan Puskesmas Kecamatan dan Puskesmas
Kelurahan Tahun 2017
Indikator RRNS
Aman Tidak Aman Total f % f % f %
Puskesmas Kecamatan
44 100 0 0 44 100
Puskesmas Kelurahan
279 94.3 17 5.7 296 100
Pada tabel diatas bisa didapatkan bahwa selama 2 tahun sudah 100% puskesmas
kecamatan berada pada posisi aman (RRNS < 5%), dan ada 17 (5.7%) puskesmas
kelurahan belum aman (RRNS > 5%)
D Capaian Kumulatif Indikator Komitmen Pelayanan
Dari 340 Puskesmas di DKI, sampai dengan akhir Desember 2017 sebanyak 230
(67.6%) Puskesmas telah berhasil mencapai target 3 indikator aman, dan 5 (1.5%)
Puskesmas belum mencapai 3 indikator, dan 105 (30.9%) Puskesmas telah mencapai 1
s.d 2 dari 3 indikator yang ditargetkan. Adapun capaian tersebut bisa dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 5.11 Distribusi Puskesmas Aman Tiga Indikator Komitmen Pelayanan di Wilayah DKI Jakarta Per Desember Tahun 2017
Wilayah
Indikator Komitmen Pelayanan Aman 3 Kategori
f Total
Puskesmas%
Jakarta Barat 66 73 90.4 Jakarta Pusat 7 38 18.4
Jakarta Selatan 39 76 51.3 Jakarta Timur 77 86 89.5 Jakarta Utara 41 56 73.2
Kepulauan Seribu 4 11 36.1 Total 234 340 68.8
Tabel 5.12 Distribusi Puskesmas Tidak Aman Tiga Indikator Komitmen Pelayanan di Wilayah DKI Jakarta Per Desember Tahun 2017
Wilayah Indikator Komitmen Pelayanan Tidak Aman 3 Kategori
f Total Puskesmas % Jakarta Selatan 2 76 2.6 Jakarta Utara 3 56 5.4
87
Universitas Indonesia
Hal ini sebagai dasar untuk penentuan lokus pengambilan data kualitatif, yaitu
wilayah yang di dalamnya banyak terakumulasi puskesmas yang telah mencapai 3
indikator komitmen pelayanan di posisi aman yaitu wilayah Jakarta Barat, dan wilayah
yang mempunyai puskesmas yang belum mencapai 3 indikator komitmen pelayanan.
Adapun wilayah Jakarta Barat dipilih Puskesmas yang mempunyai lonjakan Angka
Kontak dari awal tahun 2016 s.d tahun 2017 dari 41.260/00 permil menjadi 342.470/00 pada
tahun 2017 yaitu Puskesmas Kelurahan Semanan 1, dan wilayah dengan penurunan
rujukan yang cukup signifikan yaitu Puskesmas Kelurahan Kapuk 1 yang capaian RNS
pada tahun 2016 adalah sebesar 8.33% menjadi 0.0% pada tahun 2017.
Dan untuk wilayah Jakarta Utara sebagai wilayah yang mempunyai Puskesmas
yang belum mencapai 3 indikator ditentukan lokus Puskesmas Kelurahan Penjaringan
yang berada di wilayah Puskesmas Kecamatan Penjaringan untuk mengetahui faktor-
faktor yang mempengaruhi dukungan dan hambatan dalam upaya pencapaian 3 indikator
komitmen pelayanan yaitu angka kontak, rasio prolanis, dan rasio rujukan kasus non
spesialistik.
Variabel Independen
A Karakteristik Puskesmas
Dari seluruh Puskesmas di wilayah DKI Jakarta, ada 44 (12.94%) Puskesmas
berstatus tingkat kecamatan dan 296 (87.06%) Puskesmas berstatus tingkat kelurahan,
dimana masing-masing puskesmas kecamatan memiliki Puskesmas kelurahan sebagai
jejaringnya.
Dilihat dari kategori puskesmas di wilayah DKI Jakarta, ada 30 (8.82%)
Puskesmas berstatus rawat inap dan 310 (91.18%) Puskesmas berstatus non rawat inap.
Adapun bentuk rawat inap tidak semua merupakan rawat inap untuk perawatan pasien
sakit, ada beberapa yang merupakan rawat inap khusus untuk perawatan persalinan.
Dilihat dari status akreditasi puskesmas, ada 54 (15.88%) Puskesmas telah
terakreditasi dan 286 (84.12%) Puskesmas belum terakreditasi.
88
Universitas Indonesia
Tabel 5.13 Distribusi variable Karakteristik Puskesmas di Wilayah DKI Jakarta Tahun 2018
Variabel Jumlah %
Tingkat Puskesmas: - Kecamatan - Kelurahan
44 296
12.94 87.06
Kategori Puskesmas - Rawat inap - Non rawat inap
30 310
8.82 91.18
Status Akreditasi - Terakreditasi - Belum terakreditasi
54 286
15.88 84.12
B Disposisi (Nilai Kapitasi)
Besarnya nilai kapitasi yang diterima oleh puskesmas bervariasi selama tahun
2017 per bulan mulai dari Rp. 11,560,500 Sampai yang terbesar Rp 943,284,000 dengan
rata-rata Rp. 173,192,487 standar deviasi Rp 722,025,672. Ada perubahan rata-rata
kenaikan nilai kapitasi daari tahun 2016 ke tahun 2017 dari Rp. 107,766,663 ke Rp.
173,192,487 dikarenakan kenaikan jumlah peserta JKN.
Jika dilihat dari tingkat puskesmas terlihat bahwa kapitasi yang diterima oleh
puskesmas kecamatan per bulan yang terkecil adalah Rp 32,583,375 sampai
Rp.943,284,000 dengan rata-rata Rp107,766,663 dengan standar deviasi
Rp.216,685,396 sedangkan kapitasi yang diterima puskesmas kelurahan per bulan
berkisar antara Rp.11,560,500 sampai dengan Rp 524,820,000 rata-rata Rp 173,192,487
dengan standar deviasi Rp 78,203,932. Ada perbedaan yang cukup mencolok antara
kapitasi yang diterima antara Puskesmas kecamatan dan kelurahan hal ini berhubungan
juga dengan banyaknya peserta yang dimiliki oleh puskesmas lebih besar daripada di
kecamatan, sehingga kapitasi yang diperoleh juga cukup besar di puskesmas kecamatan.
Tabel 5.14 Distribusi besaran kapitasi yang diterima oleh puskesmas di Wilayah DKI Jakarta tahun 2016 s.d 2017
Insentif Minimum (Rp)
Maksimum (Rp)
Mean (Rp)
Standar deviasi (Rp)
2016 6,158,700 851,084,100 107,766,663 103,097,706
2017 11,560,500 943,284,000 173,192,487 722,025,672
89
Universitas Indonesia
Tabel 5.15 Distribusi besaran kapitasi berdasar Puskesmas Kecamatan dan Kelurahan
Insentif Minimum (Rp)
Maksimum (Rp)
Mean (Rp)
Standar deviasi (Rp)
Puskesmas Kecamatan
32,583,375 943,284,000 261,639,787 216,685,396
Puskesmas Kelurahan
11,560,500 524,820,000 87,338,871 78,203,932
C Sumber Daya
1) Kecukupan SDM
Kecukupan SDM puskesmas bervariasi antara satu puskesmas dengan puskemas
lainnya, dokter mulai dari 3.57% sampai yang terbanyak 72.73% dengan rata-rata
43.64%, standar deviasi 26.92%. kecukupan perawat mulai dari 4.48% sampai yang
terbanyak 86.96% dengan rata-rata 48.48%, standar deviasi 33.96%. Kecukupan bidan
mulai dari 2.30% sampai yang terbanyak 100% dengan rata-rata 30.61%, standar deviasi
29.47%. Kecukupan tenaga kefarmasian mulai dari 0% sampai yang terbanyak 100%
dengan rata-rata 66.12%, standar deviasi 69.23%. Kecukupan tenaga kesehatan
masyarakat mulai dari 0% sampai yang terbanyak 100% dengan rata-rata 8.23%, standar
deviasi 25.4%
Tabel 5.16 Statistik jumlah SDM puskesmas di Wilayah DKI Jakarta tahun 2018
SDM Minimum
Maksimum Mean Standar deviasi
Dokter 1 46 5.40 8.280 Perawat 1 55 6.58 9.716 Bidan 2 47 6.20 7.971
Farmasi 0 17 2.38 3.297 Kesehatan Masyarakat
0 8 0.20 0.720
90
Universitas Indonesia
Tabel 5.17 Statistik kecukupan SDM dokter puskesmas di Wilayah DKI Jakarta tahun 2018
SDM Minimum (%)
Maksimum (%)
Mean (%)
Standar deviasi (%)
Dokter 3.57 72.73 43.64 26.92 Perawat 4.48 86.96 48.48 33.96 Bidan 2.30 182.29 30.61 29.47
Farmasi 0 100 66.12 69.23 Kesehatan Masyarakat
0 100 8.23 25.4
2) Kepala Puskesmas
Dilihat dari aspek gender 63 (18.5%) puskesmas dikepalai oleh seorang laki-laki,
dan 277 (81.5%) dikepalai oleh seorang perempuan.
Dilihat dari lama menjabat sebagai kepala puskesmas, 147 (43.2%) kepala
puskesmas menjabat sebelum pelaksanaan kapitasi berbasis komitmen pelayanan, dan
193 (56.4%) menjabat setelah pelaksanaan kapitasi berbasis komitmen pelayanan (Juni
2016)
Tabel 5.18 Distribusi variable kepala puskesmas di wilayah DKI Jakarta Tahun 2017
Variabel Jumlahf %
Jenis Kelamin Kepala Puskesmas: - Laki-laki - Perempuan
63 277
18.5 81.5
Mulai menjabat - Sebelum
pelaksanaan KBK - Setelah pelaksanaan
KBK
147
193
43.2
56.8
Tabel 5.19 Distribusi variable lama menjabat kepala puskesmas di wilayah DKI Jakarta Tahun 2017
Variabel Minimum Maksimum Mean Standar deviasi
Lama menjabat
0 12 3 2
91
Universitas Indonesia
Dilihat dari lama menjabat kepala puskesmas mulai dari 0 tahun sampai terbesar
12 tahun dengan rata-rata 3 tahun dan standar deviasi Rp 2 tahun.
D Fasilitas dan Sarana Penunjang
Kecukupan obat-obatan di puskesmas selama tahun 2017 mulai dari 85% sampai
yang terbesar 100% % dengan rata-rata 90%, standar deviasi 20%. Untuk kecukupan
sarana prasarana di puskesmas selama tahun 2017 mulai dari 18% sampai yang terbesar
98% dengan rata-rata 48%, standar deviasi 23%. Dan kecukupan alat kesehatan mulai
dari 33% sampai yang terbesar 84% dengan rata-rata 58%, standar deviasi 10%.
Tabel 5.20 Distribusi kecukupan obat-obatan, sarana prasarana, alat kesehatan puskesmas di Wilayah DKI Jakarta tahun 2017
Variabel Minimum Maksimum Mean Standar deviasi
Kecukupan Obat-obatan
85% 100% 90% 20%
Kecukupan sarana prasarana
18% 98% 48% 23%
Kecukupan alat kesehatan
33% 84% 58% 10%
E Pengelolaan Pelayanan
1) Pemenuhan waktu praktik
Dilihat dari pemenuhan waktu praktik, 30 (8.8%) puskesmas melakukan praktik
lebih dari 6 jam kerja, dan 310 (91.2%) puskesmas berpraktik selama 24 jam kerja.
Tabel 5.21 Distribusi variable pemenuhan waktu praktik di wilayah DKI Jakarta Tahun 2018
Variabel Jumlah % Pemenuhan waktu praktik: - 6 jam kerja - 24 jam kerja
310 30
91.2 8.8
Total 340 100
92
Universitas Indonesia
2) Pengelolaan klub prolanis
Dilihat dari pengelolaan klub prolanis 215 (63.2%) puskesmas melakukan
pengelolaan klub prolanis, dan 125 (36.8%) puskesmas tidak melakukan pengelolaan
klub prolanis.
Tabel 5.22 Distribusi variable pengelolaan klub prolanis di wilayah DKI Jakarta Tahun 2018
Variabel Jumlah % Pengelolaan klub prolanis: - Ada - Tidak ada
215 125
63.2 36.8
Total 340 100
3) Kunjungan rumah (KPLDH)
Capaian kunjungan rumah KPLDH puskesmas pada tahun 2017 adalah 20619
jiwa di wilayah Kepulauan Seribu, 390.344 jiwa di Jakarta Selatan, 533.807 jiwa di
wilayah Jakarta Timur, 255.137 jiwa di wilayah Jakarta Barat, 122.539 jiwa di Wilayah
Jakarta Utara, 180.855 jiwa di wilayah Jakarta Pusat.
Tabel 5.23 Distribusi Capaian Kinerja KPLDH puskesmas di Wilayah DKI Jakarta tahun 2017
F Peserta
1) Distribusi peserta terdaftar
Dalam upaya pencapaian Universal Health Coverage yang dicita-citakan
Gubernur DKI sejak dicanangkannya JKN tahun 2014, sampai saat ini sejak
diimplementasikan KBK tahun 2016 sampai 2018 kepesertaan DKI mencapai 7,007,444
jiwa. Dilihat dari data peserta yang terdaftar di Puskesmas terlihat bahwa 4,740,412
CAPAIAN KINERJA KPLDH
WILAYAHJUMLAH
PENDUDUK TOTAL (KK)
JUMLAH PENDUDUK PRIORITAS
(KK)
JUMLAH PENDUDUK
YANG TERDATA (KK)
JUMLAH PENDUDUK PRIORITAS
(JIWA)
JUMLAH PENDUDUK
YANG TERDATA
(JIWA)
KEP SERIBU 7.126 3.525 5.103 19.148
20.619 JAKARTA SELATAN 1.264.054
105.748 113.172 368.510 390.344
JAKARTA TIMUR 1.109.551
271.855 188.909 859.639 533.807
JAKARTA BARAT 1.386.540
70.451 56.297 490.099 255.137
JAKART UTARA 707.723
103.166 33.142 303.132 122.539
JAKARTA PUSAT 351.988 73.782 159.017 243.102 180.855
TOTAL 4.826.982 628.527 555.640 2.283.630 1.503.301
93
Universitas Indonesia
(67.6%) peserta terdaftar di Puskesmas Kecamatan, dan yang terdaftar di Puskesmas
Kelurahan sebesar 2,267,032 (32.4%)
Tabel 5.24 Distribusi Frekuansi Peserta Terdaftar berdasarkan Puskesmas Kecamatan dan Puskesmas Kelurahan
Distribusi Peserta Jumlah Peserta
f %
Puskesmas Kecamatan 4,740,412 67.6%
Puskesmas Kelurahan 2,267,032 32.4%
Total 7,007,444 100%
Jumlah peserta terdaftar di Puskesmas berkisar antara 1,024 jiwa sampai 157,214
jiwa. Rata-rata puskesmas mempunyai peserta sebesar 22,175 jiwa, dengan standar
deviasi 21,250 jiwa.
Jika dilihat dari tingkat puskesmas terlihat rata-rata peserta di puskesmas
kecamatan sebesar 51,523 jiwa peserta paling sedikit berjumlah 4,904 jiwa, dan peserta
terbanyak berjumlah 157,214 jiwa, sedangkan puskesmas kelurahan rata-rata mempunyai
peserta terdaftar sebanyak 17,427 jiwa dengan peserta paling sedikit 1,024 jiwa, dan
terbanyak 87,470 jiwa dengan standar deviasi 1,2924 jiwa.
Tabel 5.25 Distribusi peserta JKN puskesmas di Wilayah DKI Jakarta tahun 2017
Variabel Minimum
Maksimum Mean Standar deviasi
Distribusi peserta
1,024 157,214 22,175.46 21,250.17
Tabel 5.26 Distribusi peserta JKN di Puskesmas di wilayah DKI Jakarta
Distribusi Peserta
Minimum Maksimum Mean Standar deviasi
Puskesmas Kecamatan
4,904 157,214 51,523.45 35,090.12
Puskesmas Kelurahan
1,024 87,470 17,427.99 12,924.69
94
Universitas Indonesia
2) Proporsi Peserta Risti
Profil resiko peserta dikelompokkan menurut umur 0-5 tahun dan lebih dari 60
tahun dianggap lebih beresiko untuk mengalami masalah kesehatan. Dari penelitian
diperoleh data bahwa rata-rata wilayah puskesmas memiliki usia kurang dari 5 tahun
paling sedikit 3.83%, paling banyak 11.58% dan rata-rata 8.35% dengan standar deviasi
9.04%.
Sedangkan untuk peserta > 60 tahun, dari penelitian diperoleh data paling sedikit
3.47% jiwa, paling banyak 19.25% dan rata-rata 8.37% dengan standar deviasi 8.41%
Tabel 5.27 Distribusi proporsi peserta risti puskesmas di Wilayah DKI Jakarta tahun 2017
Kelompok Umur
Minimum (%)
Maksimum (%)
Mean (%)
Standar deviasi
(%) 0-5 tahun 3.83 11.58 8.35 9.04
>60 tahun 3.47 19.25 8.37 8.41
Tabel 5.28 Distribusi Proporsi Peserta Risti Puskesmas Wilayah DKI Jakarta
tahun 2017
Variabel Minimum
(%)
Maksimum
(%)
Mean
(%)
Standar
deviasi (%)
Proporsi peserta risti
7.30 30.83 16.72 17.45
Proporsi peserta usia resiko tinggi di puskesmas minimum adalah 7.30% sampai
terbesar 30.83% dengan rata-rata 16.72%, dan standar deviasi 17.45%
3) Rasio dokter peserta
Dilihat dari rasio dokter peserta 99 (29.1%) puskesmas mempunyai rasio dokter
dibanding peserta kurang dari sama dengan 1:5000, dan 241 (70.9%) Puskesmas
mempunyai rasio dokter peserta lebih dari 1:5000
95
Universitas Indonesia
Tabel 5.29 Distribusi rasio dokter banding peserta puskesmas di wilayah DKI Jakarta Tahun 2017
Rasio Dokter : Peserta Jumlah
f %
> 5000 241 70.9
<= 5000 99 29.1
Total 340 100%
Tabel 5.30 Distribusi rasio dokter banding peserta berdasarkan tingkat puskesmas di wilayah DKI Jakarta Tahun 2017
Variabel Minimum Maksimum Mean Standar deviasi Rasio
dokter:peserta288 79.060 9,694 9,621
Rasio dokter dibanding peserta di Puskesmas berkisar antara 288 jiwa sampai
79.060 jiwa. Rata-rata puskesmas mempunyai rasio dokter : peserta sebesar 9,694 jiwa,
dengan standar deviasi 9,621 jiwa. Sehingga jika dibandingkan dengan standar, masih
lebih banyak yang berada diluar kriteria, dan jika dilihat dari sebaran adanya kurang
merata peserta JKN, ada yang memiliki peserta sangat sedikit, ada yang sangat besar
sehingga perlu adanya upaya redistribusi peserta JKN
96
Universitas Indonesia
Analisis Bivariat
A Analisis Perubahan Capaian Indikator Kapitasi Berbasis Komitmen
Pelayanan Tahun 2016 s.d 2017
Pelaksanaan kapitasi berbasis komitemen pelayanan selama 2 tahun di Wilayah
DKI Jakarta. Hasilnya menunjukkan terjadi kecenderungan peningkatan angka kontak
dan rasio prolanis. Dan terjadi kecenderungan penurunan untuk Rasio Rujukan Kasus
Non Spesialistik.
Analisis untuk melihat kebermaknaan perubahan capaian indikator KBK yang
diterima adalah sebagai berikut:
Tabel 5.31 Perubahan capaian indikator kapitasi berbasis komitmen pelayanan tahun 2016 s.d 2017
Variabel Mean Selisih Mean
P value 2016 2017
Indikator KBK
Angka Kontak 76.50/00 192.60/00 116.10/00 0,0005 Rasio Prolanis 23.1% 44.9% 21.8% 0,0005
RRNS 1.6% 0.3% -1.2% 0,0005
Berdasarkan analisis tersebut, dapat dilihat terdapat peningkatan angka kontak
sebesar 116.10/00, perubahan tersebut signifikan, maka dapat disimpulkan bahwa ada
perubahan bermakna antara capaian indikator komitmen pelayanan selama awal
diterapkannya KBK pada tahun 2016 dan tahun 2017
Pada tabel terdapat perubahan rasio prolanis meningkat sebesar 21.8%, perubahan
tersebut signifikan, maka dapat disimpulkan ada perubahan bermakna, sedangkan pada
data juga bisa dilihat adanya penurunan pada rasio rujukan kasus non spesialistik sebesar
-1.2% sehingga bisa disimpulkan ada perubahan bermakna antara capaian RRNS selama
awal diterapkannya KBK pada tahun 2016 dan tahun 2017.
B Analisis Perubahan Kapitasi yang Diterima Puskesmas Tahun 2016 s.d 2017
Adapun capaian terhadap 3 indikator, akan berpengaruh terhadap kapitasi yang
akan diterima oleh puskesmas, dengan diterapkannya konsekuensi apabila ada indikator
komitmen yang tidak dicapai oleh puskesmas. adapun konsekuensi sesuai dengan
Peraturan Bersama Sekjen Kemenkes dan Direktur Utama BPJS Kesehatan Nomor
HK.01.08/III/980/2017 Tahun 2017 Nomor 2 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan Pada
97
Universitas Indonesia
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (BPJS, 2017) adalah apabila puskesmas mencapai 3
indikator komitmen pelayanan (3 indikator aman) maka besar kapitasi yang didapatkan
adaah sebesar 100%, jika 2 indikator aman dan 1 tidak aman maka kapitasi yang
didapatkan adalah sebesar 95%, jika 2 indikator tidak aman dan 1 indikator aman maka
kapitasi yang didapatkan adalah sebesar 92.5%, dan jika 3 indikator tidak aman maka
kapitasi yang didapatkan adalah sebesar 90%
Analisis untuk melihat kebermaknaan perubahan kapitasi yang diterima adalah
sebagai berikut:
Tabel 5.32 Perubahan kapitasi yang diterima puskesmas di wilayah DKI tahun 2016 s.d 2017
Variabel Mean Selisih Mean P value 2016 2017
Nilai Kapitasi
107,766,663 173,192,487 65,425,824 0.104
Berdasarkan analisis tersebut, dapat dilihat terdapat peningkatan besaran kapitasi
yang diterima yaitu sebesar Rp. 65,425,824,00 perubahan tersebut tidak signifikan
dengan p-value 0.104 (>0.05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perubahan
bermakna kapitasi yang diterima pada tahun 2016 dan tahun 2017. Kenaikan nilai kapitasi
dikarenakan adanya kenaikan jumlah peserta JKN.
Analisis Multivariat
Adapun pentahapan pemodelan PLS SEM adalah sebagai berikut:
A Melakukan Penilaian Measurement Model
1) Melihat nilai outer loading dan convergent validity
Pada tahap ini dilakukan pengecekan terhadap convergent validity dengan
memastikan loading factor berada diatas 0.4, selanjutnya di atas 0.5 (Ghozali, 2014)
98
Universitas Indonesia
Tabel 5.33 Tabel Konstruk dan Indikator Awal
Konstruk Indikator Model Awal Model Akhir
Loading score Convergent validity
(>0.4) Loading score
Convergent validity (>0.4)
Tingkat Puskesmas (X1) X11 Tingkat Puskesmas 0,936 Valid 0,949 Valid X12 Kategori Puskesmas 0,901 Valid 0,864 Valid X13 Status Akreditasi 0,850 Valid 0,889 Valid Disposisi (X2) X221 Nilai kapitasi 1,000 Valid 1,000 ValidSumber Daya (X3) X311 KAPUS_lama menjabat -0,212 Tidak Valid X312 KAPUS_Jenis Kelamin -0,114 Tidak Valid X321 F_Kelengkapan Obat 0,128 Tidak Valid X322 F_Sarpras 0,092 Tidak Valid X323 F_Alkes 0,361 Tidak Valid X331 Kecukupan SDM_Dokter 0,816 Valid 0,848 Valid X332 Kecukupan SDM_Perawat 0,783 Valid 0,830 Valid X333 Kecukupan SDM_Bidan 0,455 Valid 0,493 Valid X334 Kecukupan SDM_Farmasi 0,555 Valid 0,627 Valid X335 Kecukupan SDM_Kesmas -0,003 Tidak ValidSumber Daya (X4) X41 Pemenuhan Waktu Praktik 0,504 Valid ** X42 Pengelolaan Klub Prolanis 0,760 Valid **Sumber Daya (X5) X511 Proporsi Peserta Risti -0,388 Tidak Valid X512 Proporsi Balita 0-4 Tahun 0,902 Valid 0,889 Valid X513 Proporsi Usia lanjut >60 Tahun 0,829 Valid * X514 Proporsi Usia lanjut >70 Tahun 0,803 Valid 0,822 Valid X52 Rasio Dokter -0,286 Tidak Valid X521 Rasio Dokter 0,226 Tidak Valid X53 Jumlah peserta JKN 17 0,694 Valid 0,892 ValidSumber Daya (Y) YY1711 ANGKA KONTAK KOMUNIKASI 0,640 Valid 0,517 Valid YY1712 RASIO PROLANIS 0,852 Valid 0,901 Valid
99
Universitas Indonesia
Konstruk Indikator Model Awal Model Akhir
Loading score Convergent validity
(>0.4) Loading score
Convergent validity (>0.4)
YY1713 RRNS 0,425 Valid 0,461 ValidCatatan: * = VIF >10, terjadi multikolinieritas, sehingga di hapus **= Cronbach Alpha <0.5
Gambar 5.2 Gambar Konstruk Model Awal
100
Universitas Indonesia
2) Menilai reliabilitas konstruk. Model yang dipakai yaitu model yang telah valid, pada saat model convergent
Tahap ini dilakukan dengan melihat nilai composite reliability, average
variance extracted (AVE), dan membandingkan nilai akar AVE dengan nilai
korelasi antar konstruk.
Konstruk dikatakan memiliki reliabilitas yang baik jika nilai composite
reliability > 0.7 dan nilai Average Variance Extracted (AVE) >0.5 (Ghozali,
2014:66)
Tabel 5.34 Tabel penilaian reliabilitas konstruk
Composite Reliability
Average Variance Extracted (AVE)
Capaian KBK 0,674 0,430Disposisi 1,000 1,000Karakteristik puskesmas 0,929 0,813Profil peserta 0,902 0,754SDM 0,800 0,511
Walaupun nilai AVE di atas 0.4 karena model masih dalam tahap
pengembangan, maka model masih dapat dikatakan reliable (Marcucci & Sharma,
1997). dan Composite Reliability > 0.5 adalah bisa diterima (acceptable
good)(Sarstedt, Ringle, & Hair, 2017). Hal ini dapat dilihat dari nilai discriminant
validity yang masih lebih rendah dibandingkan nilai korelasi antar konstruknya.
Tabel 5.35 Tabel Nilai discriminant validity
CAPAIAN KBK
DISPOSISI KARAKTERISTIK
PUSKESMAS PROFIL
PESERTA SDM
CAPAIAN KBK 0,656
DISPOSISI 0,222 1,000
KARAKTERISTIK PUSKESMAS 0,066 0,481 0,902
PROFIL PESERTA 0,128 0,721 0,781 0,868 SDM 0,328 0,016 -0,172 -0,075 0,715
101
Universitas Indonesia
B Melakukan Penilaian Struktural Model
Model terakhir menunjukkan nilai R-square yaitu 0.156 atau 15.6% yang
berarti bahwa variable-variable dalam model tersebut dapat menjelaskan capaian
KBK sebanyak 15.6%, dan sisanya dijelaskan oleh variable lain di luar model ini.
Tabel 5.36 Tabel R-Square
R Square R Square Adjusted Capaian KBK 0,156 0,146
Dari tabel di bawah ini terlihat jelas bahwa variable yang signifikan
mempengaruhi yaitu variabel pengelolaan Disposisi (Insentif) dan SDM. Hal ini
dapat dilihat dari nilai p-value <0.05. Variable lainnya tidak berpengaruh signifikan
terhadap capaian KBK. SDM dan Disposisi (Insentif) mempunyai pengaruh positif
terhadap capaian KBK.
Tabel 5.37 Nilai Koefisien Estimate Antar Variabel dan p value
Original Sample
(O)
Sample Mean (M)
Standard Deviation (STDEV)
T Statistiks (|O/STDEV|)
p value
Disposisi -> Capaian KBK 0,232 0,232 0,115 2,019 0,044 Karakteristik Puskesmas -> Capaian KBK
0,057 0,046 0,116 0,496 0,620
Profil Peserta -> Capaian KBK
-0,059 -0,045 0,144 0,408 0,683
SDM -> Capaian KBK 0,330 0,334 0,040 8,189 0,000
102
Universitas Indonesia
C Bentuk Model Final
Adapun bentuk final model adalah sebagai berikut:
Gambar 5.3 Pemodelan Akhir
D Pengujian Goodness of Fit
Pengujian Goodness of Fit pada structural model dilakukan untuk
memastikan bahwa model structural yang dibangun termasuk robust dan akurat.
Evaluasi inner model dapat dinilai melalui beberapa indikator yang meliputi:
koefisien determinasi (R2) nilai ini menunjukkan seberapa besar variable eksogen
(independen/bebas) pada model mampu menerangkan variable endogen (dependen
/terikat). Hasil nilai R2 didapatkan 0,156
1) Penghitungan nilai Predictive Relevance (Q2)
Q2 = 1 – (1 – R2)
Q2 = 1 – (1 – 0,156)
Q2 = 0,156
Dari penghitungan diatas didapatkan nilai Q2 sebesar 0,156 (Q2 > 0)
sehingga dapat disimpulkan bahwa model memiliki tingkat prediksi yang baik.
103
Universitas Indonesia
2) Penghitungan nilai Goodness of Fit Index (GoF)
Penghitungan GoF menggunakan rumus (Tenenhaus, Vinzi, Chatelin, &
Lauro, 2005)
GoF = √0.702 0.156
GoF = 0.33
Menurut Tanenhaus et al. (2005) nilai GoF kecil = 0.1, GoF medium = 0.2
dan GoF besar = 0.3 dari hasil perhitungan didapatkan GoF 0.3 berarti goodness of
fits dari model ini adalah bagus/besar
Dari pemodelan akhir didapatkan yang merupakan faktor dominan adalah
nilai kapitasi dan SDM (dokter, perawat, bidan, tenaga kefarmasian), bahwa
semakin besar nilai kapitasi dan semakin baik kecukupan SDM maka akan semakin
baik capaian indikator komitmen pelayanan puskesmas. hal ini bisa dijelaskan
bahwa dengan kapitasi yang besar merupakan potensi dengan pengelolaan yang
baik terkait kecukupan SDM yang ada di Puskesmas, dengan kapitasi yang cukup
sustainability terhadap pendanaan terhadap kecukupan SDM juga akan terjaga, dan
dengan tenaga yang cukup maka operasional puskesmas akan berjalan, diharapkan
dengan SDM yang cukup bisa melayani peserta dengan baik, dan jika pelayanan
bisa berjalan dengan baik, niscaya capaian indikator komitmen pelayanan akan
tercapai. Dan hal ini merupakan efek roda berputar, yang penggerakan terhadap
beberapa jari roda, maka berimpak terhadap berjalannya roda pelayanan dengan
baik.
104
Universitas Indonesia
Hasil Penelitian Kualitatif
Karakteristik Informan
Informan dalam penelitian ini sebanyak 24 informan yang kesemuanya
terpilih untuk tehnik pengumpulan data dengan metode wawancara mendalam
Tabel 5.38 Karakteristik Informan WM
No. Informan
Kode Informan Umur
(tahun)
Jenis
kelamin
Pendidikan
1. no name B1 38 P S12. no name B1a - P S13. no name B2 37 P S14. no name B3 36 P S25. no name DP1 - P S26. no name DP2 36 P S27. no name DP3 48 L S28. no name DP3a - P S29. no name DP3b - P S2
10. no name DP4 51 P S211. no name SD1 30 P S112. no name SD2 50 L S113. no name SD3 35 P S214. no name P1 44 P S115. no name P1a - P S116. no name P2 38 L S117. no name P3 - L -18. no name DP1a - P -19. no name DP1b - P -20. no name DP1c - P -21. no name DP1d - P -22. no name DP1e - P -23. no name K 44 L S124. no name IK-1 65 L S3
Sumber data: isian formulir identitas informan WM
Komunikasi
Komunikasi kebijakan merupakan suatu proses penyampaian informasi
tentang suatu kebijakan dari penentu kebijakan (policy maker) kepada pelaksana
kebijakan (policy implementors) (Widodo, 2017). Aspek komunikasi menjelaskan
apakah kebijakan dikomunikasikan secara berjenjang, jelas dan konsisten dari
penentu kebijakan kepada pelaksana kebijakan dan sasaran kebijakan sebagai
105
Universitas Indonesia
penerima manfaat kebijakan. Hal ini dimaksudkan agar pelaksana kebijakan dapat
mempersiapkan apa saja dalam aspek komunikasi yang dibutuhkan terkait
implementasi kebijakan sehingga dapat berjalan dengan efektif serta sesuai tujuan
kebijakan tersebut. Aspek komunikasi pada penelitian ini yang ditanyakan kepada
informan meliputi transimisi, kejelasan dan konsistensi. Berikut hasil pengumpulan
data tentang aspek komunikasi dalam hal implementasi KBK diuraikan sebagai
berikut:
A Transmisi
Pada aspek transmisi, yang diukur adalah bagaimana proses penyampaian
kebijakan terkait KBK, disampaikan berjenjang dari penentu kebijakan kepada
pelaksana kebijakan dan masyarakat sebagai kelompok sasaran penerima manfaat
serta pihak yang terkait pelaksanaan kebijakan berdasarkan Peraturan Bersama
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan RI dan Direktur Utama badan
Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan No.HK.01.08/III/980/2017 No.2
Tahun 2017 tentang Petunjuk teknis Pelaksanaan Pembayaran Kapitasi Berbasis
Pemenuhan Komitmen Pelayanan pada FKTP. Informan menunjukkan bahwa
kebijakan KBK ini telah diketahui dan disampaikan secara berjenjang dari penentu
kebijakan, dalam hal ini BPJS, Dinas Kesehatan Prvinsi DKI Jakarta, Suku Dinas
Kesehatan, Puskesmas Kecamatan, dan Puskesmas Kelurahan di wilayah DKI
Jakarta. Hal tersebut sebagaimana diuraikan dalam kutipan hasil wawancara
berikut:
“Kalau kita biasanya dapat informasi dari puskesmas kecamatan cengkareng” (P1)
“Tidak secara langsung ke instansi, kita diundang perwakilan oleh
BPJS, BPJS pihak ke 3, Sudin Dinas menyediakan tempat, dan BPJS sebagai pemapar” (P2)
“Diseminasi, sosialisasi, biasanya bentuknya pertemuan-
pertemuan gitu dari kemenkes biasanya mengundang dari dinkes untuk hadir dijelaskan KBK, jujur ajha saya belum pernah hadir untuk sosialisasi ini, saya juga ga terlalu paham, saya juga tidak pernah hadir dalam sosialisasi ini, mungkin yang diundang langsung langsung ke Puskesmas bersangkutan, yang ada di DKI terkait sosialisasi KBK ini”(DP2)
“Implementasi KBK mulai tahun 2016, FKTP pemerintah
puskesmas sudah diberlakukan, namun untuk FKTP swasta, klinik dan DPP
106
Universitas Indonesia
belum diberlakukan konsekuensinya, dari cabang tetap menilai semuanya, perber kemenkes dan BPJS sampai dengan 31 Desmeber 2017, dalam artian tahun 2018 sudah berlaku. Pemberlakukan tetap berkoordinasi dengan dinkes, asosiasi Asklin PKFI mengetahui, DKI Jakarta sepakat melakukan konsekuensi pada bulan Juli 2018 untuk FKTP swasta, dll”(P2)
“Untuk wilayah DKI Jakarta sudinkes proaktif berkoordinasi
dengan BPJS namun tidak dengan pihak klinik swasta sehingga BPJS mengundang PKFI, asosiasi klinik tetapi diwakilkan saja (bukan pimpinan klinik). Kita harapkan semua ketuanya paham, harusnya jadi tugas mereka juga untuk menilai..”(P2)
B Kejelasan
Pada aspek kejelasan, yang diukur adalah bagaimana proses penjelasan
tentang pemahaman kebijakan dilaksanakan secara tepat, sesuai dengan tujuan
kebijakan dan dilakukan secara kontinyu, sehingga meminimalisir terjadinya
kesalahan interpretasi atau distorsi informasi dari apa yang dikehendaki oleh
pembuat kebijakan kepada pelaksana dan sasaran kebijakan. Aspek kejelasan pada
penelitian ini yang ingin diketahui adalah peraturan perundangan yang menaungi
kebijakan dan petunjuk teknis untuk pelaksanaan kebijakan apakah sudah cukup
menjadi dasar pelaksanaan kebijakan, bagaimana tujuan kebijakan serta isi
kebijakan yang ditetapkan penentu kebijakan dipahami oleh pelaksana kebijakan
dan sasaran kebijakan.
Pengambilan data dari wawancara mendalam informan kunci menunjukkan
bahwa peraturan bersama sudah cukup jelas menjadi petunjuk teknis pelaksanaan
kebijakan yang tercantum Peraturan Bersama Sekretaris Jenderal Kementerian
Kesehatan RI dan Direktur Utama badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial
Kesehatan No.HK.01.08/III/980/2017 No.2 Tahun 2017 tentang Petunjuk teknis
Pelaksanaan Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan pada
FKTP, didukung oleh Peraturan Gubernur No. 150 tahun 2016 tentang Pedoman
Teknis Penilaian Usulan Penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum Daerah. Hal tersebut sebagaimana diuraikan dalam kutipan hasil wawancara
berikut:
“Oo sudah cukup banget” (P1)
107
Universitas Indonesia
“Kayaknya yang saya lihat keputusan bersama ini kl dasarnya ada punishment, kaya ginikan ada punishment, kl menjalankan KBK kapitasinya kan turun, jadi mau ga mau harus deijalankan meskipun regulasinya berbentuk keputusan bersama, karena itu ada reward dan punishmennya. Kalau keputusan bersama ajha udah jalan ya menurut saya udah ga perlu lagi, tapi kl mau dibuat permenkenya ya monggo saja, ga ada masalah..”(DP3)
Dan terkait mekanisme MoU, dilakukan BPJS dengan Puskesmas
Kecamatan langsung karena telah BLUD.
“Kalau BLUD langsung BPJS-Puskesmas, kalau non BLUD melalui dinas, karena di Jakarta BLUD semua jadi semua langsung BPJS-Puskesmas ya”(B1)
“supaya Puskes bisa kapitasi, maka harus BLUD? Kalau ga BLUD
tidak boleh ada transaksi yang dilakukan antara BPJS dan Puskesmas. karena transaksi bisa dilakukan antara BPJS dengan Badan Hukum”. Untuk Puskesmas non BLUD, maka BPJS harus ber MoU dengan pemilik Puskesmas? yaitu Dinas Kesehatan”(IK-1)
“..untuk memberikan pelayanan terbaik, bukan itung-itungan
uangnya saja, uang bisa langsung digunakan untuk kepentingan pelayanan, apabila dalam keadaan deficit bisa meminta dari pemerintah sepanjang hal itu adalah untuk kepentingan pelayanan” (IK-1)
“tidak bisa dilakukan jika fasilitas (puskesmas) bukan badan
hukum” (IK-1)
“Selain kapitasi, puskesmas masih harus mendapatkan dana APBD, karena sebagai media untuk pelaksanaan tugas fungsi untuk mnecapai SPM, dan UKM adalah tanggung jawab Pemda” (K)
“Jika ditinjau dari kepemilikan, puskesmas secara hierarki adalah
dibawah pemerintah daerah, unit teknis dibawah Dinas Kesehatan”(K)
“kewenangan satker BLU, maka memiliki kewenangan untuk menjalin kerjasama dengan fasilitas lain (BPJS)” (K)
“Dan utuk puskesmas yang belum BLUD maka MoU dengan BPJS
dilakukan dengan Dinas kesehatan” (K)
“Akan tetapi MoU BPJS-Puskesmas tidak seharusnya mengurangi pengawasan dari Dinas Kesehatan, karena pengelolaan dana adalah menjadi tanggung jawab kepala BLUD, pengawasan pengelolaan pembiayaan secara internal harusnya dilakukan oleh Dinas kesehatan, dan eksternal oleh BPKP” (K)
108
Universitas Indonesia
C Konsistensi
Pada aspek konsistensi, yang diukur adalah apakah terjadi kesamaan
informasi yang diterima dari penentu kebijakan kepada pelaksana kebijakan dan
kelompok sasaran dalam implementasi kebijakan. Aspek konsistensi yang ingin
diketahui dari penelitian ini adalah apakah Petunjuk teknis Pelaksanaan
Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan pada FKTP telah
menjadi salah satu pedoman Pelaksanaan Pembayaran Kapitasi di Puskesmas,
apakah kebijakan konsisten dengan kebijakan lain yang ditetapkan penentu
kebijakan dan apakah terdapat kesamaan pemahaman tentang mekanisme
pelaporan indikator KBK, mekanisme pencairan dan pemanfaatan dana kapitasi,
mekanisme monitoring dan evaluasi antara
penentu kebijakan dengan pelaksana dan sasaran kebijakan. Hal tersebut
sebagaimana diuraikan dalam kutipan hasil wawancara berikut:
“Kalau di barat ini (red. Jakarta Barat), gimana ya, komunikasi dan koordinasinya OK, walaupun peraturan mau dirubah bagaimanapun, mereka (red. Puskesmas) ya ikut-ikut ajha gitu..”(SD1)
“Sebenernya sih positif dalam artian baik untuk pelayanan dalam
artian KBK kan yang datang ke Puskesmas bukan hanya orang yang sakit, orang sehatpun boleh berobat atau datang ke puskesmas untuk konsultasi, jadi masyarakat yang hadir bukan hanya masyarakat yang sakit saja, tapi masyarakt yang sehat yang ingin konsultasi bisa sehingga meningkatkan penilaian untuk meningkatkan jumlah kapitasi yang diterima Puskesmas, semakin sedikit angka kunjungan yang dicapai semakin sedikit kapitasi yang akan diterima oleh Puskesmas, itukan bisa memacu puskesmas untuk terus melakukan yang namanya promotive preventif hal itu hal positif yang didapatkan dalam artian, Puskesmas tidak hanya melayani UKP saja, diapun harus memikirkan UKM nya biar jumlah kesakitan di wilayahnya juga akan menurun, salah satunya dengan KBK ini, seperti amanah Permenkes 75 bahwa Puskesmas itu 30% UKP, 70% UKM mudah-mudahan dengan cara seperti ini bisa memicu tingkat dari UKM itu lebih tinggi lagi kedepannya seperti itu yang diharapkan, itu diharapkan kunjungan orang sakitnya akan turun dengan sendirnya, itu positifnya..”(DP3)
Disposisi
Aspek disposisi pada penelitian ini melingkupi bagaimana sikap pelaksana
kebijakan serta insentif bagi implementor yang melaksanakan kebijakan dalam
109
Universitas Indonesia
rangka Pelaksanaan KBK. Berikut hasil wawancara mendalam terkait aspek
disposisi diuraikan sebagai berikut:
A Sikap pelaksana
Pada aspek sikap pelaksana, yang diukur adalah bagaimana sikap atau
kecenderungan sikap pelaksana yang ada di tingkat Puskesmas. Apakah para
pelaksana memiliki sikap menerima dan melakukan usaha lebih untuk pencapaian
indikator KBK, acuh tak acuh atau menolak kebijakan. Berdasarkan pengambilan
data melalui WM didapatkan sikap pelaksana yang cukup mendukung pelaksanaan
KBK, dan ada beberapa potensi fraud dalam upaya pencapaian indikator KBK yang
dilakukan, demi tidak dipotongnya kapitasi yang diterima oleh Puskesmas, karena
seandainya kapitasi yang diterima adalah 1M, maka pemotongan 8% adalah 80 juta,
jumlah itu cukup besar yang bisa dimanfaatkan untuk operasional puskesmas
BLUD. Indikasi – indikasi ini terlihat di beberapa Puskesmas yang pencapaiannya
melonjak terlampau tinggi seperti dari pencapaian angka kontak 60 permil ke 300
pemil dalam waktu kurang dari 2 tahun dengan standar sumber daya yang tidak
terlalu banyak perubahan, dan untuk penurunan RRNS yang turun secara curam.
“Promkes kita, kita kan ada kesling ….dan untuk rujukan kita kasih motovasi termasuk promkes, bahwa yang merupakan indikasi rujukan seperti ini, jadi pasien bisa menerima motivasi yang kita berikan, makanya bisa menurunkan angka rujukannya, disini atau di luar gedung, karena tiap pagi kami melakukan promkes disini, sebelum pelayanan, ke pasien disini. Jadi tiap pagi, pasien sudah kumpul dokter melakukan promkes disini, penyuluhan di dalam gedung, untuk di luar gedung petgas kesling dan KPLDH” (P1)
“Kalau indikasi fraud itu, tergantung… Kl indikasi fraud itu, dia
sendiri FKTP pasti ga mau kapitasi itu dipotong, kl capaian indikatornya bermasalah kan otomatis dipotong, jadi mau ga mau mereka harus mencari berbagai cara agar kapitasi nya ga dipotong, cara agar kapitasinya aman, bisa-bisa aja kalau terjadi hal seperti itu… karena pelayanan di tiap-tiap puskesmas kan beda, ada yang memang dia kerjakan seperti itu, ada juga yang mungkin ah daripada kapitasi saya dipotong saya mendingan buat ini atau buat itu…”(P2)
Indikasi fraud juga didapatkan bahwa memungkinkan bagi Puskesmas
untuk melakukan entry nomor kepesertaan BPJS di periode bulan yang berbeda.
“Ngga, kita taunya jumlah data peserta terdaftar ajha …ga bisa by number, itu punya BPJS ajha itu… Kalau ada by number saya enak dong
110
Universitas Indonesia
tinggal saya fraud ajha, ya dong. Emang sama BPJS diilangin numbernya… kl bisa gitu ga pusing saya ”(P2)
“….ga ada yang ga bisa…. sebenernya data ini by number pernah
saya minta ke BPJS tapi ga dikasih” (P2) “….kalau dulu pas awal pemaiakain p-care ada nomor peserta ya,
untuk mencegah adanya nomor itu di entry maka dihilangkan oleh IT kami, jadi kalau kemungkinan adanya “ditukangi” untuk entry-entry gitu udah ga ada kemungkinan, karena mereka ga punya data nomor, mereka punya data peserta tapi cuma nama dan alamat, jadi kalau mereka punya atau akan melakukan kunjungan sehat atau home visit mereka punya datanya… “(B1)
“…contoh saya ke RT 5 nih, saya dapatnya 500 orang, dan saya
entry 500 orang, nomornya disimpan ….kl ada kemungkinan bisa ajha jadi seperti itu”(P2)
“Dilihat dulu jumlah pesertanya, kalau jumlah peserta kecil ada
kemungkinan pada waktu kunjungan dari puskesmas dan terdapat beberapa orang untuk edukasi dan dirumah aa peserta yang ada kartunya itu bisa dijadikan acuan, mungkin pesertanya kecil”(B2)
“Kalau jumlah pesertanya besar harus ditelusuri apabila ada angka
yang melonjak, jangan jangan dia punya banyak nomor untuk dilakukan entry, belum tahu juga. Belum ada investigasi sampai sana. Biasnaya dari masing-masing cabang melakukan feedback.”(B2)
“kl dibilang semanan tinggi, yak area semanan wilayahnya luas
banget Jakarta barat.. Kan wilayah cengkarengkan yang wilayah kapitasinya paling gede 400ribu jiwa, yang kedua kalideres, dan semanan ada di kalideres ya”(SD1)
Jika melihat statement diatas, beberapa Puskesmas dengan capaian yang
melonjak tinggi dan kepesertaannya besar, terindikasi melakukan fraud, karena
kepesertaan besar secara otomatis denominator sebagai pembagi dari penghitungan
angka kontak besar, dengan demikian dibutuhkan jumlah yang harus besar pula
terkait kontak komunikasi yang dilakukan untuk mendapatkan capaian indikator
angka kontak yang besar, sehingga diperlukan investigasi lanjutan terkait hal
tersebut.
Dan tidak semua pasien dengan penyakit kronis didaftarkan, untuk
meminimalisir denominator, sehingga capaian selalu tercapai.
111
Universitas Indonesia
“...kl prolanis kan data klub yang ada di FKTP, data klub orang yang terdaftar, dan di kecamatan ajha, kl di kelurahan belum ada ga dihitung. Kita belum bersedia untuk klub prolanis ini, karena tenaga dan tempat belum ada…”(P2)
“Capaian prolanis di puskesmas kecamatan selalu tercapai, karena
peserta prolanis 43, yang selalu datang 28, jadi kan tercapai tuh aman 50%..” (P2)
“nah kalau RNS ini kita juga belum tahu ngolahnya gimana, jadi
yang RNS itu di aplikasi kita asal dia ngisi TACC, dia tidak akan terhitung sebagai RNS, masalahnya mereka ngisinya apa kita nggak tahu, gitu. Valid atau ngganya, kecuali ada feedback dari rumah sakit..”(B1)
“Untuk rujukan non spesialistik, belum ada feedback..”(B1) “Kalau verifikator untuk kevalidan tidak ada, staf UR dan anti fraud
ada, di mbak Putri ini, biasanya mb. Putri ini yang ngebuka ngutak atik data..”(B1)
Dalam upaya pencapaian indikator tersebut ditunjang dengan
dilaksanakannya KPLDH (Ketuk Pintu Layani Dengan Hati), yang mempunyai tim
khusus yang terdiri dari 3 orang tenaga kesehatan dokter, perawat, dan bidan yang
secara regular mendata dan melakukan home visit di wilayah kerja Puskesmas. Hal
tersebut menambah peningkatan indikator angka kontak.
“…kita ada juga KPLDH sekarang, jadi untuk preventif, kl ke lapangan lebih intens.”(P1)
“Yah kita salah satu prosesnya untuk mencapai itu adalah dengan
KPLDH (red. Ketuk Pintu Layani Dengan Hati), itu kita datang kerumahnya, kita interaksi dengan keluarganya, cari data, jadi hal tersebut dicatat sebagai kontak sehat kan..”(DP3)
Dari sisi positif upaya lebih untuk penggiatan promotive dan preventif untuk
meningkatkan capaian kunjungan sehat yang meningkatkan indikator angka kontak,
dengan upaya signifikan ini, diharapkan kunjungan sehat akan semakin naik, dan
kunjungan sakit berkurang, dan secara otomatis akan mengurangi jumlah rujukan
ke RS, dan bisa mengurangi biaya pengobatan, klaim RS yang berdampak pada
efisiensi biaya, didapatkan bahwa sikap dan komitmen pelaksana kebijakan sudah
cukup baik terhadap upaya pencapaian indikator KBK.
112
Universitas Indonesia
“Bisa turun kualitasnya karena mereka (red. Puskesmas di luar DKI) cenderung ke UKP nya mungkin, UKM ga jalan mungkin karena tenaga juga kan, kalau kita kan khusus full team untuk UKM nya, maka angka kontak sehatnya tinggi capaian angka kontaknya juga tinggi”(DP3)
Namun menurut BPJS dirasa pelaksanaan di Puskesmas adalah lebih baik
dibanding pelaksanaan di FKTP swasta, Klinik, dan DPP
“kalau dibedah puskesmas lebih besar daripada klinik pratama karena puskesmas lebih terencana dan terbiasa promotif preventif. Kl klinik kan udah kebiasa UKP perorangan..”(P2)
B Nilai Kapitasi
Pada aspek insentif bagi pelaksana kebijakan, yang dinilai disini adalah
bagaimana mekanisme pemanfaatan dana kapitasi untuk pembagian jasa pelayanan,
sehingga memperkuat upaya pencapaian 3 indikator komitmen pelayanan.
Berdasarkan pengambilan data melalui WM ada perbedaan pemanfaatan kapitasi
untuk jasa pelayanan. Untuk awalnya kita mencari tahu seperti apa mekanisme
pencairan dana kapitasi sampai ke puskesmas kelurahan.
“Ooo kita tidak tahu, kalau kelurahan tidak tahu mekanisme turunnya, itu wewenang dari puskes kecamatan cengkareng, dan disitu ada khusus untuk BPJS nya, kl di puskes kel tidak tahu..”(P1)
“Pencairan kapitasi tiap bulan… Penilaianya itu 3 bulan sekali,
tapi per bulannya tetap dihitung”(P2) “Mekanismenya kita sudah masukkan laporan, dan sudah dicek
oleh keuangan, pencairan BPJS ke BLUD di kecamatan, untuk kelurahan pintu masuknya 1 tetep di kecamatan… puskesmas kelurahan hanya pelaksana saja” (P2)
Mekanisme pemanfaatan dana kapitasi di DKI berdasarkan pada Peraturan
Gubernur 150 tahun 2016 tentang Pedoman Teknis Penilaian Usulan Penerapan
Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, dana kapitasi yang
masuk di Puskesmas masuk di rekening BLUD Puskesmas Kecamatan dan menjadi
kewenangan Puskesmas untuk pengelolaannya sesuai dengan prinsip-prinsip yang
ada di pedoman.
Agak berbeda dari Puskesmas yang belum BLUD yang mendasarkan
pemanfaatan pada Permenkes No. 21 Tahun 2016 tentang Penggunaan Dana
113
Universitas Indonesia
Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional untuk Jasa Pelayanan dibanding operasional
dengan proporsi 60 : 40, pemanfaatan pada Puskesmas dengan BLUD lebih
fleksibel dan berbeda-beda di beberapa wilayah disesuaikan dengan keadaan
masing-masing Puskesmas. Hal tersebut sebagaimana diuraikan dalam kutipan
hasil wawancara berikut:
“Mereka kan sudah BLUD, dana turun langsung ke Puskesmas, mereka yang ngatur sendiri…”(DP4)
“Intinya adalah BLUD penggunaan kapitasi digunakan untuk
pembiayaan BLUD terbagi menjadi 3: belanja pegawai, barang dan jasa, dan belanja modal biasanya digunakan untuk itu. Dari belanja pegawai ini digunakan untuk membiayai gaji dan TKD untuk no PNS mereka. Karena di kita pegawainya itukan karena moretarium itu jumlah PNS lebh kecil dibanding jumlah pelayanan untuk ke masyarakat, jadi di rekrutlah non PNS nya, itu sebagian dgunakan untuk kapitasi digunakan untuk biaya-biaya non PNS dokter dan perawat-perawatnya… Dan belanja barang itu biasanya digunakan untuk bahan obat-obatan, bahan lab, belanja pelayanan. Cuman saya gat ahu pasti, masing-masing punya spesifikasi tersendiri, di setiap puskemas beda, karena mereka masng-masing beda, setiap puskesmas punya kriteria spesialisai, jadi ga bisa sama..”(SD3)
Terkait pemanfaatan dana kapitasi, ada beberapa perbedaan di DKI Jakarta
dengan daerah lain di luar DKI karena adanya perbedaan nomenklatur pada
Puskesmas kelurahan, dimana secara registrasi mereka mendapatkan nomor
tersendiri yang tercantum di pusdatin, sehingga seharusnya mempunyai standar
sebagai puskesmas pada umumnya, akan tetapi dalam pengelolaan dana kapitasi
mereka menginduk pada puskesmas kecamatan, walaupun secara penghitungan
mereka secara utuh telah mempunyai kepesertaan dan kapitasi secara utuh. Dan ada
beberapa opini terkait ada kendala dalam pemanfaatan kapitasi yang seharusnya
mereka dapatkan.
masih juga banyak temen-temen yang mengeluh ke saya “Pak itu puskesmas kelurahan kita udah usulin pak (SD2)
“Puskesmas kelurahan jadi mereka tergantung, puskesmas missal
kelurahan ada kebutuhan, mengajukan ke kecamatan, nanti akan di sortir lagi sama mereka perlu ga, gitu lho dana cukup atau tidak , jika sudah acc diinput melalui proses penganggraan, di kami ada e budgetingnya mbak, nah setelah selesai prosesnya di proses di DPRD dan sebagaianya sudah ketok palu nah proses tuh melaksanakan kegiatan..”(SD3)
114
Universitas Indonesia
“Katanya ngambil duit di BLUD itu susah, kan mereka ada rekening BLUD, kita transfernya, katanya untuk ngambil masuk rekening BLUD itu harus pengajuan dan anggaran operasional yang keluar di Puskesmas itu udah anggaran tahun sebelumnya, mereka udah minta tuh, anggaran untuk tahun depan minta segini” (B1)
“Langsung ke BLUD masing-masing gitu Cuma katanya untuk
dapet BLUD, kan kelurahan itupun rekeningnya jadi satu di BLUD Kecamatan, BLUD Puskesmas Kecamatan Koja misalnya, jadi ga turun ke kelurahan masing-masing, tapi di Puskesmas Kecamatan itu katanya harus pengajuan, katanya yang bikin susah yaitu harus pengajuan dan lama katanya” (B1)
Iya emang?, karena harus ada dana cadangan juga, kl cadangan
habis operasional pakai apa kl semua permintaan kita penuhi, gitu ajha sih sebenernya, kaya gini, seperti ini pelaporannya untuk alokasinya. Jaspel per operasional (jaspel 45%, obat bhp alkes 30%), sisanya untuk cadangan (P2)
Kalau itu kebijakan pimpinan, karena mereka tidak hanya harus berfikir oh ini harus dipenuhi, tidak bisa seperti itu, kita kan juga mempertimbangkan kebutuhan kebutuhan lainnya, karena mungkin ada yang lebih banyak jadi ada beberapa pertimbangan, jadi verifikasinya tetep puskesmas kecamatan (P2)
Kl di PKS 2018 ada tuh dimasukin apa sih pejabat kas BPJS, jadi
kaya pencatatan penerimaan kapitasinya itu berapa. Kurang tahu untuk operasional puskes atau apa Cuma itu ngomongnya untuk keluarin uang dari BLUD itu susah katanya, jadi katanya tiap bulan pun katanya, kalau kita bilang uangnya kan banyak, mbak kita tahunya itu angkanya doang, print-printannya gitu ngelihat duitnya ga (B1)
nah itu dia, saya juga jadi pertanyaan uangnya kapitasi itu kenapa,
soalnya mereka kan juga gede dari apa PBI APBD kan, apalagi DKI mau universal health coveragenya gubernur tuh, jadi di DKI ga bayar 3 bulan ajha langsung jadi peserta PBI/APBD, langsung ditanggung sama pemerintah daerah (B1)
ada beberapa kendala dalam pemanfaatan dana kapitasi, namun kendala
disini tidak sampai menimbulkan impak, penumpukan dana kapitasi seperti terjadi
di wilayah-wilayah lain, hal tersebut sesuai dengan wawancara berikut:
“Oo tidak terserap ya, kl di DKi kita monitoring kita punya targrt apa yang direncanakan, itu yan harus dikerjakan oleh puskesmas kecamatan, jadi mereka ada target, kalaupun membuat perencanaan belanja barang, mereka memprediksi ada jadwalnya ada petugas pejabat
115
Universitas Indonesia
pengadaannya, mereka juga harus koordinasi, kalau tidak terserap pun ya biasanya disebabkan kendala-kendala dari luar misalkan contoh 1 menganggarkan untuk belanja pegawai yang non PNS, dianggarkan 20 orang, pada pelaksanaannya ternyaat pegawai yang direkrut itu tidak sampai 20 misalnya baru tersedia 15 orang, berarti 5 orang ini tidak tersrap kan mbak, itu salah satu contohnya biasanya dari luar. Alaupun dari dalam ada biasanya ya terlalu proses di internal mereka hanya terjadi pergeseran pelaksanaan, istilahnya mundur, mundur bisa jadi barang yang mau debeli tidak tersedia di e catalog, nah itu bisa jadi memang tidak terserapnya, biasanya barang yang di e catalog belum dimasukkan jadi belum bisa beli barang. Atau juga gini, mereka beli barang tetapi pihak ketiganya ga nagih-nagih, ada juga kendala seperti itu di kami kendala nya seperti itu” (SD3)
Untuk mekanisme monitoring dan evaluasi pemanfaatan dana kapitasi,
birokrasi pertanggung jawaban adalah ke bidang Perencanaan dan Pembiayaan
Dinas Kesehatan Provinsi DKI hanya berbentuk gelondongan dan tidak secara rinci
dan dilanjutkan ke Badan Pengelolaan Keuangan Daerah, mekanisme
pertanggungjawaban BLUD akan lebih fleksibel tergantung kondisi masing-masing
Puskesmas, belum adanya monitoring dan evaluasi yang lebih rinci peran dari
Sudinkes, dan dari BPJS tidak ada sama sekali, karena BPJS hanya menjalankan
peran memberikan kucuran dana kapitasi ke Puskesmas, dan mekanisme
pemanfaatan dan pertanggungjawaban sudah tidak ada peran di dalamnya.
“Kalau ke renbia dari sisi monitoring evaluasi saja, tapi yang dia laporkan itu ya hanya gelondongan tidak harus apa yang mereka gunakan… misalnya target per tri wulan penyerapan berapa, cuma itu. Tapi rincian apa yang mereka lakukan tidak dilaporkan…”(DP4)
“Karena kan di Pergub 278 tahun 2016 tentang Struktur Organisasi
dia langsung mempertanggunjawabkannya adalah SKP di Dinas Kesehatan. Fungsi kita hanya binwasdal aja, kadang untuk laporan keuangan” (SD2)
“Iya renbia bener, dinas kesehatan terus melaporkannya juga ke
tingkat provinsi BPKD tadi (Badan Pengelola Keuangan Daerah) karena dia kan di bawah pembinaan BLUD itu kan adanya di BPKD” (SD2)
Banyak kapitasinya itu, makanya guyonan aja nih “Masak beli
bangku sampai 6 juta 7 juta, ya kan aneh (SD2) Bisa karena kan sekarang sudah masuk di sistim computer, ada e-
asset itu kan (SD2)
116
Universitas Indonesia
“Misalkan gini dari temuan-temuan dari awal misalnya dari
ekspektorat ya, ekspektorat nanti turun ke puskesmas tentang pemeriksaan asset. Ada barang yang nilainya itu signifikan banget nah itu yang bertanggung jawab kepala puskesmas karena kepala puskesmas merangkap bukan hanya sebagai kepala puskesmas tenaga kesehatan atau administrasi, dia juga bertanggung jawab tentang pengelolaan assetnya. Asset yang ada di puskesmas itu ya tanggung jawab semua. Jadi gitu harus diganti ya nantinya dia ganti bisa saja waktu pemeriksaan “Saya sanggung melalui dicicil gitu”(SD2)
Misalkan gini dari temuan-temuan dari awal misalnya dari
ekspektorat ya, ekspektorat nanti turun ke puskesmas tentang pemeriksaan asset. Ada barang yang nilainya itu signifikan banget nah itu yang bertanggung jawab kepala puskesmas karena kepala puskesmas merangkap bukan hanya sebagai kepala puskesmas tenaga kesehatan atau administrasi, dia juga bertanggung jawab tentang pengelolaan assetnya. Asset yang ada di puskesmas itu ya tanggung jawab semua. Jadi gitu harus diganti ya nantinya dia ganti bisa saja waktu pemeriksaan “Saya sanggung melalui dicicil gitu”(SD2)
“Tidak ada koreksi, audit keganjilan kan ada SK tim fraud, ada
TKMKB dari Sudinkes, dengan seksi2, IDI, IAI, IBI, PPNI, Asklin, kl mereka praktik mencurigai ada fraud biasanya…, SK untuk puskes dan RS…. Temuan ada jarang sih, lebih ke RS, klinik, Puskesmas jarang…”(SD1)
“jadi selama ini dari BPJS sebatas ini dana kapitasi diserahkan ke Puskesmas tanpa ada audit gimana pemanfaatan dana kapitasi di Puskesmas bukan dari BPJS..”(B1)
Kita melakukan monev, dari sudin melakukan monitoring dari dinas
monitoring terkait pemanfaatan kapitasi juga, semua anggarn kita monev, tapi kita tidak berhak mengatur-ngatur, pelaksannaan, sudah berdiri sendiri kita hanya meminta laporan, pelaksanaannya sudah seperti apa, sudah berjalan sesuai tanggalnya, tepat waktu apa tidak”(SD3)
“Kalau monitoring masalah kapitasi BPJS tidak bisa, karena itu
merupakan pembayaran yang dilakukan, monitoring kapitasinya ya dari KBK itu ajha yang per bulan, dia sudah pure memberikan, ya sudah pengelolaannya seperti apa”(P2)
Sumber Daya
Aspek sumber daya pada penelitian ini melingkupi bagaimana ketersediaan
sumber daya yang tersedia, meliputi sumber daya manusia, dana dan fasilitas dalam
117
Universitas Indonesia
hal implementasi KBK. Berikut hasil pengumpulan data tentang aspek sumber daya
diuraikan sebagai berikut:
A SDM
Aspek SDM pada penelitian ini berdasarkan kuantitas dan kualitas SDM,
karena implementasi kebijakan tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari
sumber daya manusia yang cukup kuantitas dan kualitasnya. Kuantitas berkaitan
dengan jumlah sumber daya manusia apakah sudah cukup untuk melingkupi
seluruh kelompok sasaran, sedangkan kualitas sumber daya manusia berkaitan
dengan keterampilan dan kompetensi di bidangnya
“Puskesmas mau menjalankan itu tapi masih belum punya tempat, tenaga medis belum mencukupi..”(P2)
“SDM yang emang kurang, SDM kita kan, duit puskesmas itu,
perekrutan itu tidak bisa dilakukan puskesmas sekarang (red. puskesmas kecamatan), kl dulukan boleh kurang ini bisa, kl sekarang regulasi ada di dinas kesehatan provinsi, jadi kita ga bisa sesuka hati rekrut rekrut pegawai, meski sebenernya duit kita ada. Sejak tahun lalu 2016 akhir sudah di dinkes. Dulu bisa….”(SD1)
“BPJS juga bilang kapan nih dokter di cengkareng ditambah,
karena cengkareng kan banyak banget kepesertaannya, mereka 400.000 dibagi 5000 sehingga harusnya ditambah dokter sekian, mereka adanya Cuma sekian. Kl cengkareng bukan kita gam au nambah dokter, bukan, Cuma kasih dong kita tambahin dokter kesini, Cuma mereka kan ga bisa merekrut. Itu satu. Dua cengkarengkan wilayahnya luas, ada dokter 6 kabur, ga betah, ya kita kan dokter kadang pasionnya ini kl kaya saya diluar gedung OK, kl orang yg ga terbiasa ya sebulan orang ikut di tim KPLDH itu yang harus rumah ke rumah, cengkareng itu wilayahnya luas banget sampai ke bandara perbatasan bandara masih cengkareng, kalau pasionnya ga kesitu ya keluar, gitu, ya itu juga jadi kendala di cengkareng, dapet dokter banyak, eh sebulan kurang satu, kurang… satu mungkin karena statusnya kontrak atau mau melanjutkan sekolah lagi, itu..”(SD1
“se DLP apapun, dokter ga mungkin sanggup menangani contact
rate jika peserta melebihi standar yang memungkinkan visible untuk dilakukan pelayanan”
B Fasilitas
Fasilitas atau sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Pengadaan fasilitas yang layak, seperti
gedung, tanah dan peralatan perkantoran akan menunjang dalam keberhasilan
118
Universitas Indonesia
implementasi suatu kebijakan. Aspek sumber daya fasilitas pada penelitian ini
meliputi fasilitas kesehatan. Informan Dinas Kesehatan menunjukkan bahwa sarana
kesehatan di meliputi sarana puskesmas, rumah sakit, klinik dan beberapa sarana
pelayanan kesehatan lainnya merupakan salah satu elemen penting untuk
mendukung implementasi KBK. Hal tersebut sebagaimana diuraikan dalam kutipan
hasil wawancara berikut:
“Sarpras udah cukup sih, internet computer cukup sih…”(SD1)
Terkait ketersediaan laboratorium, masih kurang untuk ketersediaan di
Puskesmas Kelurahan, akan tetapi hal tersebut tidak akan mempetinggi rujukan,
karena pasien akan dirujuk di Puskesmas Kecamatan, dan hal itu hanya akan
dihitung sebagai rujukan internal
“Itu kalau kelurahan ke kecamatan, namanya rujukan internal, masih satu gedung, yang dilaporkan di p care sebagai RRNS adalah rujukan eksternal, yang internal ga dimasukkan, misalnya ke poli gigi, Karena curiga gula maka dirujuk ke saya itu internal, ga dimasukin rujukin, kaya kel ke kec masuk rujukan internal, yang dimasukkan sebagai RRNS baru rujukan dari puskesmas kecamatan ke RS, atau dari kelurahan langsung ke RS, iya saya input..” (P1)
Jadi penelusuran pasien yang dirujuk dari kel ke kecamatan terus dirujuk ke
RS, itu yang entry RRNS siapa?, atau yang punya peserta?
“Oo kl itu puskes kecamatan yang statusnya ngerujuk, karena saya
merujuk ke puskes kecamatan ga ikut entru RRNS. Saya yang ngerujuk langsung RS baru saya entri, nah gitu lho mbak. Jadi saya input ke BPJS hanya jika saya langsung rujuk ke RS, dan yang saya obati biasa...(P1)
Kl dari kec, kan pesertanya puskes kelurahan
Ga masalah, karena misalnya ke poli mata, poli matanya adanya di kecamatan, rujukan internal saja kita (P1)
Terkait operasional puskesmas tidak lepas dari sumber daya obat-obatan
yang harus dipenuhi sehubungan dengan pelayanan di Puskesmas, adapun terkait
obat-obatan essensial hampir 90% puskesmas telah memenuhi, dan tidak ada
kendala. Di era JKN dengan adanya pembayaran kapitasi dirasa lebih
menguntungkan, dan operasional kecukupan obat-obatan relative lebih stabil
119
Universitas Indonesia
dibanding era sebelum JKN, beberapa bisa dijelaskan dengan wawancara sebagai
berikut:
“Rata-rata untuk pembelian obat sudah BLU termasuk ini untuk pembelian, (kapitasi), kebanyakan sumbernya dari kapitasi, tapi ada juga yang tidak kapitasi missal pasien yang tidak punya BPJS, atau layanan diluar BPJS ya, adalah 1 atau 2.. “(DP1)
“Nah selama ini kl dibilang cukup ga sih, cukup sih, kan
pertanyaannya cukup atau ga, maunya sampai seberapa, obat essensial kapan itu ya udah sampai 98% atau 96%”(DP1)
“...memang ada kekosongan obat di tahun 2016..”(DP1) “..di kita sih tidak pernah kekurangan obat, kecuali pernah tahun
ini ada obat yang e catalognya yang kosong gitu ya, itu baru ga ada..”(DP1a)
“Ya sekarang mah pas sudah ada BLUD BLUD kaya gini, jarang
menipis, nah kl pas kosong, nunggu belum dikirim sama penyesianya, biasanya kita juga nyari alternative lain kalau di satu tempat kosong kita nanya-nanya dimana ada penyedianya..”(DP1b)
“…jadi relative tidak ada kekurangan obat sih, karena Puskesmas
sekarang duitnya banya banget, ini masing-masing Puskesmas duitnya milyaran, rata-rata obat di Puskesmas, 2-4 milyar, masalahnya kira-kira ada di supplay nasional, pernah ada kasus tahun 2016 2017, ini nih kasus secara nasional bukan melulu di DKI ajha…”(DP1)
Dan untuk kecukupan obat-obatan di puskesmas kelurahan, masih kurang
dibanding di kecamatan meskipun puskesmas kelurahan seharusnya sudah harus
utuh menjadi utuh sebuah Puskesmas sesuai nomenklatur registrasi yang ada di
Pusdatin Kemenkes.
“Ndak, ndak sesuai, karena mereka kasusnya berbeda, kita akan melihat kebutuhan di masing-masing Puskesmas, karena layanan di Puskesmas Kecamatan kan lebih lengkap ya, ada layanan dokter jiwa, ada doter penyakit dalan, ada dokter paru, kalau puskesmas kelurahan an nggak, kl kelurahan itu basic banget dokter umum , dokter gigi, jadi obat-obat di Puskesmas Kecamatan dan Kelurahan ga mungkin sama lah, ya ga..”(DP1)
Untuk mekanisme pengadaan obat-obatan adalah di level kecamatan, belum
dilakukan di masing-masing puskesmas kelurahan.
120
Universitas Indonesia
“…pembelian juga di level Kecamatan, uang ada di Puskes Kecamatan, Kapitasi ada di Kecamatan, jadi dia memalui aturan-aturan pemerintah, jumlah segini sudah harus memalui proses lelang, kita harus lewat e catalog, lelang, dan lain-lain. Jadi ini petugas pejabat pengadaan adanya di level kecamatan, jadi di Puskesmas kelurahan rata-rata isinya adalah dokter, dokter gigi, perawat, bidan sama administrasi, ga terlalu banyak ini rata-rata ya, sama asisten apoteker, atau apoteker, ini rata-rata berapa orang ya ga terlalu banyak..”(DP1)
“…pengadaan hanya bisa dilakukan di Puskesmas kecamatan,
endingnya obat-obatan akan didistribusikan ke Puskesmas kelurahan, jadi ini memang sebagai induk…”(DP1)
Untuk mekanisme rujuk-rujuk balik pasien di puskesmas, beberapa
puskesmas telah menjalankan untuk menyiasati ketidakadaan obat-abatan, pasien
bisa dirujuk ke apotik yang merupakan jejaring BPJS untuk bisa mendapatkan obat-
obatan.
“…kalau ketidakadaan obat itu, sebenernya rujuk balik itu kan pasien mengambil obat bukan ke Puskesmas tapi ke Apotik ya, apotik jejaringkan, rata-rata sih apotiknya yang ga nyediain..”(DP1)
..”jadi pasien kronis yang sudah dapat rekomendasi dari dokter
spesialisnya, nanti mereka akan lapor kepada BPJS center nya untuk obat-obat rujuk baliknya bisa di dapat di FKTP dimana dia dirujuk, nanti bulan berikutnya tinggal control ke puskesmas atau bisa ambil dari apotik yang kerjasama PRB gitu”(B1)
“..masalahnya itu obat-obat PRB sering kosong”(B1)
Untuk pemberian obat prolanis ada kendala di beberapa puskesmas belum
diberikan secara penuh, seperti halnya pasien mendapatkan di Rumah Sakit,
sehingga pasien harus beberapa kali datang ke Puskesmas untuk mendapatkan obat
tersebut.
“Ooo batasan obat, kl dulu sih pernah, minimal kan 3 hari dok, tetapi waktu itu persediaan obat di tempat kita lagi menipis, kl persediaan obat cukup, ya terserah dokternya, mau ngasih berapa hari..”(DP1b)
“Itu juga masih dibicarakan juga sih bu X, kalau yang saya tahu
obat kronis itu 10 hari, cuman ada wacana mau dikasih 1 bulan, kurang tahu itu apakah dari BPJS dibolehkan sebulan itu yang belum tahu sih bu X..”(DP1c)
121
Universitas Indonesia
“Iya sekarang 10 hari 10 hari karena ada wacana juga dari dokter untuk mengurangi jumlah pasien yang kronik kronik mau dikasih sebulan, kemarin sempet ditanyakan juga soalnya rencana terkait RKO..”(DP1c)
“Selama ini sih biasanya pasiennya kembali lagi kerumah sakit, ada
Puskesmas, ga semua Puskesmas mau ngasih obat-obat kronis, jarang sih peserta bilang sudah di back up sama Puskesmas, rata-rata pada balik lagi ke rumah sakit, gitu. Kaya waktu dulu belum ada metformin700 ya, akhirnya pasien balik lagi ke rumah sakit, padahal kan sebenarnya obat itu ada di Puskesmas, tapi ternyata riil di lapangan tidak dikasih”(B1)
“untuk yang sudah kerjasama 723 1 bulan, untuk yang belum
kerjasama 723 ya seminggu sekali”
Ternyata mekanisme ini adalah kebijakan masing-masing Puskesmas untuk
beberapa alasan kontroling dan evaluasi, dan pemerataan untuk peserta lain yang
membutuhkan obat tersebut, dan ketersediaan jika ada kendala kekosongan obat
dsb, sehingga perlu adanya sosialisasi yang lebih agar tidak terjadi kesalahpahaman
antara puskesmas dengan peserta JKN.
“Buku panduan kaya gitu kita tergantung kebijakan masing-masing SKPD UKPD, kalau buku panduan sih setau saya ga ada, jadi antibiotic kl parah 5 hari, kl ringan 3 hari gitu ajha ya”(DP1b)
“Kalau saya pas di Puskes, biasanya sama dokternya tuh kita bikin
kesepakatan, kita temple dimana-mana, di poli-poli, antibiotic chlorampenikol nih , dosisnya berapa cara pemberiannya gmn?, saya dulu gitu. Kalau dokternya ga nulis berapa kita pakai itu, kl nulis jumlahnya berapa gitu, ya udah kita konfirmasi ke dokternya ada masalah apa nih, sampai segini banyak. Berarti keep comunicate gitu ajha ya..”(DP1b)
“Ga ada dasarnya sih bu wahyu, harus cek peraturan dari BPJS sih
bu X”(DP1c) “Mereka ada peraturan sendiri kayanya, kan kita pernah tuh di
forum dg Puskesmas kita tanya kenapa kog dikasih hanya 10 hari, itu katanya udah aturan kl non kronis dikasih obatnya 3 hari, kalau kronis 10 hari. Ga nanya juga sih waktu itu aturan dari mana kebijakan itu, gat ahu tuh itu aturan kemenkes atau dinkes ga paham ya, Cuma aturannya mereka bilang kronis 10 dan non kronis 3 hari, jadi kl perlu obat 1 bulan mereka harus kembali setelah 10 hari, dang a semua obatnya pasti ada seperti metformin, simfastatin ada di Puskes, Cuma rata-rata kan ga ada untuk yang 9 diagnosis itu”(B1)
“Kalau di daftar obatnya mereka (Puskesmas) harusnya ada,
cuman tidak dikasih, mungkin persepsinya orang Puskes dikasih obatnya 1
122
Universitas Indonesia
bulan, sedangkan Puskesmasnya kan tidak bisa ngasih obat itu 1 bulan, obat mereka maksimal 10 hari kan untuk penyakit kronis, akhirnya balik lagi ke Rumah Sakit”(B1)
Ngga, aturan BPJS belum tahu, pas disini kita 10 hari 10 hari gitu
kita sendiri yang nentukan 10 harinya gitu”(DP1d) Kalau di Tebet, sebenernya tidak tertuang dalam SOP cuman
kesepakatan kita dengan para dokter, kalau misalnya pasiennya ga ada masalah apapun, kita kasih per 10 hari, kadang 15 hari, nah tapi ada pasien pasien yang kita ijinkan diresepkan 30 hari itu dengan catatan kondisi khusus, jadi missal orangnya miskiiin banget ga punya ongkos untuk ke rumah sakit, rumahnya jauh gitukan, itu kita sepakat sama dokter boleh 30 hari, tapi ga banyak lah, rata-rata sih 10 sampai 15 hari”(DP1e)
Dan ketika ditanyakan alasan mengapa hanya diberikan 10 hari,
beberapa jawaban dari Puskesmas: “Kenapa ga 30 hari, karena dikhawatirkan pasien ga minum obat
itu, karena kalau 30 hari bu kadang pasien DM, kolesterol, tensi tinggi juga, begitu minum obat banyak langsung breg gitu kan, ketaatan pasien minum obat menurun, dan juga terkait stok obat kita bu karena pengadaan di e ctalog itu kadang-kadang sulit diprediksi, jadi istilahnya biar merata lah, yang dapet merata, jadi pasien karena tidak ada masalah keuangan jadi kita kasin 10 sampai 15 hari ajha, takutnya kl 30 hari pasien ABC dapet, pasien DEF ga dapet gitu kan”(DP1e)
“sekali dua kali dalam setahun pasti adalah misalnya karena
barang belum datang” (DP1e) “dan tadi lebih kea rah kepatuhan pasien sih, kadang pasien kl
dikasi se abreg banyak malah ga diminum, dan kadang ada pasien pasien yang beli sendiri di apotik, misalnya ke apotik suka beli ambroxidil sendiri, …. Sendiri jadi kita ga ngasih penuh juga” (DP1e)
“Kalau permasalahan biasanya di pengadaan nya, bukan di ga
punya duitnya, sometimes kita pesen pake e catalog, di sistem di e catalog kan siapa yang dapet duluan dapet giliran duluan, misalnya ada 100 puskes siapa yang duluan, tarohlah ada 30 outlet yang beli ya, misalnya di pabrik ada 300.000 tablet misalnya ini hanya untuk 20 outlet, ya yang 10 nanti dulu, meski agak terlambat, itu yang membuat kita kadang-kadang tidak bisa prediksi nih, khawatir ajha, tapi jarang banget, tadi dibilang jarang banget kosong setahun 1 atau 2 kali kan”(DP1)
123
Universitas Indonesia
Dan sebagai mekanisme monitoring dan evaluasi dari dinas kesehatan
provinsi menerima laporan rutin dari Sudinkes yang bersumber daari laporan
Puskesmas di wilayah DKI Jakarta
“…nanti mereka akan melaporkan kecukupan obatnya seperti apa, dan dari kami akan melihat kecukupan dari sisi obat esensial, jadi ini merupakan persyaratan obat yang dipersyaratkan oleh Pak Presiden, bahwa setiap Puskesmas itu harus tersedia obat esensial, pemakaian obat generic digalakkan, kemudian obat rasional, ini yang kita awasi sama mereka biasanya sudah ada laporan-laporan rutin ajha sih..”(DP1)
C Dana
Dalam implementasi kebijakan, anggaran berkaitan dengan kecukupan
modal atau investasi atas suatu program atau kebijakan untuk menjamin
terlaksananya kebijakan, sebab tanpa dukungan anggaran yang memadahi,
kebijakan tidak akan berjalan dengan efektif dalam mencapai tujuan dan sasaran.
Aspek sumber daya dana pada penelitian ini meliputi bagaimana ketersediaan dana
yang dibutuhkan untuk menjamin pencapaian indikator komitmen pelayanan, dan
dana untuk operasional puskesmas.
Adapun dana kapitasi yang turun, adalah langsung masuk di kas penerimaan
BLUD.
dana kapitasi jadi langsung masuk dari kapitasi yang dari BPJS langsung ke rekening mereka, ke rek puskesmas kecamatan”(SD3)
“Di DKI semua sama, kaya gini saya BLUD, kita punya kewenanganan tersendiri mengelola dana, kalau subsidi kita ga punya dana tapi kita dbantu oleh APBD, itu yang membedakan, jadi untuk jaspel itu sudah diatur, ada undang-undangnya, yang apa tuh pengelolaan pergub 126 ada yang baru atau gak ga tahu, sm bendahara, kapitasi bpjs, kl pengelolaannya di bendahara”(P2)
“Untuk pembayaran honor dan tunjangan dan pembelanjaan di luar
APBD, penerimaan dari APBD subsidi ya, suatu saat nanti APBD akan dicabut jika sudah mandiri, jika BLUD sudah memenuhi segala pembelanjaan baik untuk pembayaran nkaryawan yang honor kemudian untuk pembelanjaan obat”(P3)
“Selama ini dari APBD, karena kita penerimaan BLUD kecil, kalau
dari retribusi 2000 kita ga bakalan tertutupi buat obat, dengan adanya kapitasi ini yang pendapatannya sekitar 1, sekian M perbulan, sementara
124
Universitas Indonesia
ini untuk biaya tenaga honor, oiya kita punya rekening subsidi dan rekening BLUD”(P3)
“…kita disini penerimaan dari APBD diluar kapitasi peserta yang
diluar BPJS yang retribusi 2000 itu dan tambahan jika ada tindakan… Prosentase kepesertaan di luar BPJS kecil… Untuk 2000 itu juga dengan subsidi APBD ya, iya ga bisa 2000 saja. Sekarang ini cukup datang bawa KTP ngecek NIK sudah bisa kita layani, jadi tetep gratis…”(P3)
“Jadi dana ada berapa persen untuk cadangan, tidak terserap
sempurna, kalau BLUD kan berkesinambungan saldo tahunan, saldo akhir tahun adalah dasar saldo awal tahun, beda sama subsidi kita bikin missal 2M, kita pakai ternyata hanya kita pakai 1,7 M, maka 300 kembali lagi ke negara, jadi saldo nol, apakah saldo 0 terserap atau kah kembali ke kasda, jadi saldo harus nol balance, kalau BLUD itu saldo akhir tahun menjadi saldo awal tahun, jadi menjadi asset puskesmas…”(P3)
“Sebenernya dulu ada yang awalnya 60:40. Kl operasional BLUD
adalah pembelanjaan yang tidak termasuk di subsidi misalnya emergency bu, misalnya kita perlu belanja untuk kegiatan akreditasi posnya di BLUD karena kode rekeningnya istilahnya rekening keranjang sampah, yang tidak di plot di APBD bisa diakomodir. Kl BLUD bisa fleksibel, kl jaspel harus 60% ga juga kl dilihat riil laporan yang tadi (45%), dulu begitu sekarang kurang tahu, kalau dilihat dari ini ga 60%, jadi sudah jadi rumah tangga puskesmas untuk pengelolaannya berdasar paying hokum yang ada, pergub 126 kayanya ya, saya juga ga ngikutin..” (P3)
“pembelanjaan kapitasi itu sifatnya umum jadi pokoknya untuk
pembelanjaan, kapitasi termasuk kategori penerimaan pendapatan pasien umum 01, jadi masuk di kode rekening retribusi masuk disitu jadi pengeluaran atau pemakaian uang kapitasi itu adalah yang sudah disepakati 60:40 sekarang yang diutamain adalah untuk pembayaran honor dan tunjangannya, mereka kan juga dapat TKD seperti PNS, kalau PNS TKD nya dari APBD provinsi, kalau gaji kan dari Pusat ya, sisanya baru buat operasionall kurang lebih 40%, pokoknya dipakai pembayaran tenaga honorer plus tunjangannya baru sisanya untuk operasional yang tidak tercover di subsidi, kan di subsidi di tiap pembelanjaan ada rekeningnya bu, kalau di BLUD kode rekeningnya yang saya tahu Cuma satu, makanya dibilang kode rekening keranjang sampah, jadi sisa dari pembelanjaan honor tenaga honorer dan tunjangannya itu untuk operasional yang tidak tercover di subsidi, jadi PNS full dari APBD provinsi untuk tunjangannya, ga ada dari kapitasi sama sekali, jadi penerimaan kapitasi itu untuk pembayaran 2 point itu udah beda-beda tipis karena pembayaran honor dan tunjangan itu sudah 1M lebih, mendekati 1,3 dan kita terima kapitasi kurang lebih angkanya diatas 1 M dikit, iya maksimal banyak terserap di tenaga honor, dank e depan kalau penerimaan sudah maksimal semua masyarakat kl berobat sudah menggunakan kapitasi itu nanti subsidi
125
Universitas Indonesia
dicabut, kl sudah mapan UHC. Ini sudah mulai mapan bu, dulu awal-awal BLUD itukan istilahnya swadana, 2001 itu istilahnya bukan BLUD ya, itu waktu itu kita anggaran swadana cuman.., waktu itu awal bendaharanya saya, hanya 400-500 juta, subsidinya yang gede, karena kita pembelian obat rata-rata diatas 1 M, hamper semua pembelanjaan itu di subsidi, swadana Cuma untuk yang urgent ajha, sifatnya darurat dan diluar kode rekening yang subsidi…”(P3)
“APBD sama sih, kan pembiayaan tetep harus ada APBD, karena
UKM kan tanggung jawab pemerintah, dalam hal inikan pemerintah daerah, APBD dimanfaatkan untuk penggajian… APBD untuk pelaksanaan program… APBD kita sekarang lebih banyak untuk honor, dan gaji PNS… Karena banyak kapitasinya, maka program bnayak didanai dari BLUD”(DP3)
Adapun terkait operasional KPLDH, kebjakan di DKI Jakarta menggunakan
pendanaan dari APBD
“Seluruh DKI menggunakan KPLDH itu melalui APBD” (SD2)
Puskesmas di DKI Jakarta mendapatkan alokasi APBD/subsidi yang masuk
ke dalam rekening BLUD untuk pemanfaatan operasional Puskesmas.
Kalau untuk kunjungan sehat, mereka kan biaya operasionalnya terus dikeluarkan juga untuk home visit, KPLDH, katanya dulukan puskesmas punya dana operasional dari Dinkes, katanya semenjak ada BPJS mereka punya ngandelin kapitasi ini (B1)
untuk di puskesmas kecamatan pelaporannya ada 2. Ada pelaporan
APBD ada BLUD. Kalo kita di Sudin kan cuma satu nih pelaporannya APBD aja, nah disitu bisa kelihatan yang kegiatannya APBD jumlahnya pasti nominal udah kelihatan, kalo BLUD gak keliatan (SD2)
Pemanfaatan dana kapitasi di beberapa puskesmas berbeda-beda tergantung
besaran kapitasi yang didapatkan, apabila telah mampu untuk melakukan
pembiayaan operasional puskesmas secara mandiri, maka subsidi dari APBD mulai
di kurangi.
puskesmas itu khususnya di Jakut ya bu tidak semua juga BLUD itu digunakan untuk belanja pegawai karena dia tidak mampu, artinya proses kapitasi dia aja tidak tercover untuk tunjangan kinerja dia. Jadi ada beberapa puskesmas sih bu yang dia itu tunjangan kinerja menggunakan BLUD, gajinya menggunakan APBD. Jadi ada beberapa puskesmas ya Kelapa Gading misalnya tidak mampu, jadi gajinya aja hanya APBD. Beda
126
Universitas Indonesia
dengan Cilincing, Cilincing itu kapitasinya sebulan itu bisa 2,5 M yang lainnya itu hanya 600, 700, 800 sedangkan dia kan harus menutupi.
“Tergantung kemampuan dari pendapatan mereka jika
pendapatannya naik otomatis berarti kan biaya yang dicover lebih banyak, secara otomatis subsidinya akan berkurang, berarti yang dikurangi APBD nya. Proses pengurangan yang tahu puskesmas, o ini sudah kehendle nih sama anggaran saya, jadi ga pake subsidi mereka yang tahu”(SD3)
Alokasi anggaran kesehatan di tingkat Dinas Kesehatan, berdasarkan
informasi dari informan Dinas Kesehatan didapatkan bahwa dana APBD untuk
kesehatan sudah semakin dikurangi dengan adanya kapitasi, indikasi dana BLUD
mampu untuk mendanai operasional puskesmas. Diperkirakan pada kondisi UHC,
dana BLUD akan mampu secara swadana membiayai operasional puskesmas. Jika
di daerah lain terkendala pemanfaatan dana kapitasi, pada puskesmas dengan
BLUD dana kapitasi lebih efektif pengelolaannya, hampir 85% bisa terkelola untuk
jaspel dan operasional puskesmas, dan untuk sisa cadangan untuk kapitasi sengaja
disimpan karena tidak habis tahun berjalan, sebagai asset puskesmas untuk
kepentingan yang mendadak yang tidak bisa dipertanggungjawabkan jika memakai
dana APBD.
Struktur Birokrasi
Aspek struktur birokrasi pada penelitian ini melingkupi bagaimana
mekanisme dan fragmentasi birokrasi implementasi Kapitasi Berbasis Komitmen
Pelayanan. Pada penelitian ini yang ingin diketahui adalah bagaimana mekanisme
upaya yang dilakukan untuk pencapaian indikator komitmen pelayanan,
implementasi kebijakan di tingkat penentu kebijakan di Dinas Kesehatan Provinsi
DKI Jakarta, tingkat Sudinkes, serta di tingkat pelaksana yang berada di Puskesmas
Kecamatan dan Puskesmas Kelurahan.
Selain dalam tataran pencapaian indikator, yang berhubungan erat dengan
nilai kapitasi yang akan diterima oleh Puskesmas, peneliti juga ingin mengetahui
bagaimana mekanisme pencairan, mekanisme pemanfaatan, pengelolaah,
mekanisme pertanggungjawaban, dan mekanisme monitoring dan evaluasi dana
kapitasi di Puskesmas, sudahkah tertuang dalam petunjuk teknis, petunjuk
127
Universitas Indonesia
pelaksanaan atau prosedur operasional yang standar atau SOP, baik hal tersebut di
tataran tingkat penentu kebijakan dan pelaksanan.
Aspek kedua dari struktur birokrasi yang ingin diketahui adalah bagaimana
fragmentasi birokrasi, karena semakin besar koordinasi yang harus dilakukan untuk
melaksanakan kebijakan, maka semakin berkurang kemungkinan keberhasilan
program atau kebijakan serta cenderung melemahkan pengawasan dan
menyebabkan prosedur birokrasi menjadi rumit dan kompleks dan pada akhirnya
menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel, terlalu fleksible pelaksanaan atau
pemanfaatan dana kapitasi dan minimnya monitoring dan evaluasi juga akan
berdampak terhadap adanya penyalahgunaan yang akan berdampak kepada
kerugian negara. Berikut hasil wawancara mendalam yang dilakukan oleh Peneliti
dari informan tentang aspek struktur birokrasi diuraikan sebagai berikut:
A SOP
Aspek SOP pada penelitian ini melingkupi bagaimana prosedur pelaksanaan
sudahkah tertuang dalam petunjuk teknis dan Standard Operating Procedures
(SOP), baik di tingkat pelaksana kebijakan di Dinas Kesehatan dan di Puskesmas.
Berdasarkan pengambilan data melalui WM menunjukkan bahwa belum ada juknis
dan SOP terkait capaian indikator, menurut informan perber 2017 sudah cukup
jelas. Dan terkait pencapaian indikator BPJS hanya menerima self assessement,
entry p-care yang ada di Puskesmas tanpa ada validasi khusus terkait indikator
capaian baik oleh Puskesmas, BPJS, Sudinkes, dan Dinkes Provinsi DKI.
“Kalau monitoring masalah kapitasi BPJS tidak bisa, karena itu merupakan pembayaran yang dilakukan, monitoring kapitasinya ya dari KBK itu ajha yang per bulan, dia sudah pure memberikan, ya sudah pengelolaannya seperti apa”(P2)
Terkait prosedur pemanfaatan dana kapitasi belum ada juknis khusus,
informan mengatakan sudah cukup apa yang tertera di Peraturan Gubernur No. 165
tahun 2012 tentang Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah,
karena dana kapitasi yang masuk ke Puskesmas langsung akan diterima sebagai
akun pemasukan di rekening BLUD
“Kl pengelolaan BLUD Pergub 165 tahun 2012”(DP3a)
128
Universitas Indonesia
Dan terkait pelaksanaan KPLDH yang cukup memberikan andil besar
terhadap capaian Indikator Komitmen Pelayanan dilaksanakan sesuai Peraturan
Gubernur No. 115 tahun 2016 tentang Program Ketuk Pintu Layani Dengan Hati.
“Kalau indikator ga kecapai kan dikurangi kapitasinya, dibayarnya dipotong Cuma berapa persen.. Iya untuk indikator terbaru bisa hanya menerima 92% ga bisa 100%.. Iya dan itu lumayan banget, setahun misalnya BLUD nya 15 milyar, artinya 1 bulan 1 milyar ajha 92% kan berarti 80 juta ilang, 80 juta lho, makanya KPLDH nya digalakin..”(DP3a)
Dan terkait dana pemberian Tunjangan Kinerja Daerah berdasarkan
Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 59 tahun 2013 tentang Perubahan
Kedua atas peraturan gubernur No. 38 tahun 2012 tentang Tunjangan Kinerja
Daerah. Dan terkait pemanfaatan dana kapitasi terhadap pemberian honor dan
tunjangan bagi pegawai non PNS mendasarkan pada Peraturan Gubernur Provinsi
DKI Jakarta No. 221 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur
Nomor 95 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pemberian Penghasilan Bagi Pegawai
Non Pegawai Negeri Sipil Pada Satuan Kerja Perangkat Daerah/Unit Kerja
Perangkat Daerah Bidang Kesehatan
“Iya tapi peritungannya ga nurut permenkes lagi.. Pergub 212 ya, apa 221 ya, antara itu deh tahun 2016 terkait remunerasi” (DP3a)
Dan beberapa aturan pelaksanaan terkait obat-obatan terdapat dalam SOP
masing-masing Puskesmas, dan mereka berpedoman pada panduan Praktik Klinis
KMK 514 tentang panduan praktik klinik
Dan terkait masih tingginya rujukan, maka BPJS mengeluarkan Per BPJS
No.1 tahun 2018, terkait UGD, dimana untuk rujukan harus benar-benar
mengutamakan urgensi kegawatdaruratam karena ternyata dari UGD banyak masuk
pasien tanpa triase dengan alih pasien UGD maka tidak membawa rujukan dari
FKTP. Hal tersebut sebagaimana diuraikan dalam kutipan hasil wawancara berikut:
Peraturan BPJS no 1 2018, mksudnya itu mengembalikan triasenya, padahal peserta ga paham maksudnya minta cepet apa gitu, maksudnya FKTP juga sudah berlomba-lomba untuk inovasi ga kalah juga sama RS, ra kan terbatas jumlah tempat tidur apa, dulu juga kl sakit thypoid campak ga dirawat, kl sekarang dikit-dikit dirawat..”(B2)
129
Universitas Indonesia
B Fragmentasi Birokrasi
Aspek fragmentasi birokrasi pada penelitian ini melingkupi bagaimana
pengorganisasian dan penyebaran tanggung jawab diantara para pemangku
kebijakan dalam upaya pencapaian indikator KBK, validitas data yang dicapai dan
dalam hal pemanfaatan dana kapitasi, bagaimana, seperti apa pemanfaatan,
monitoring dan evaluasi sehingga kapitasi yang ada bisa dimanfaatkan seefektif dan
seefisien mungkin.
Konsekuensi yang paling buruk dari fragmentasi birokrasi adalah usaha
untuk menghambat koordinasi, para birokrat karena alasan-alasan prioritas dari
badan-badan yang berbeda, mendorong para birokrat ini untuk menghindari
koordinasi dengan badan-badan lain. Padahal penyebaran wewenang dan sumber-
sumber untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang kompleks membutuhkan
koordinasi.
Meskipun capaian indikator komitmen pelayanan telah cukup baik
dilaksanakan, beberapa hal yang mengindikasikan adanya fragmentasi bisa terlihat
di beberapa sudut pandang dan pemahaman yang berbeda antara BPJS, Dinas
Kesehatan Provinsi DKI, Sudinkes, Puskesmas Kecamatan, dan Puskesmas
Kelurahan.
Pencairan dana kapitasi melalui puskesmas kecamatan, keterlibatan
puskesmas kelurahan dirasa kurang, terkait pengetahuan mereka besaran kapitasi
dan mekanisme pengelolaannya seperti apa, pandangan Puskesmas Kelurahan,
bahwa fungsi mereka hanya pelayanan, dengan sedikit mengacuhkan koordinasi
terkait pemanfaatan dana kapitasi.
“Ga juga ya, kita ga tau, hehe.. kl soal kepegawaian dana, puskesmas kecamatan yang tahu, kita hanya tahu pelayanan saja..”
Pandangan Puskesmas Kecamatan, terkait pelaporan capaian indikator
komitmen pelayanan, dan monitoring pemanfaatan dana kapitasi
“…BPJS langsung ambil data tiap bulan ditarik dari p care…” (P2) “Kalau monitoring masalah kapitasi BPJS tidak bisa, karena itu
merupakan pembayaran yang dilakukan, monitoring kapitasinya ya dari KBK itu ajha yang per bulan, dia sudah pure memberikan, ya sudah pengelolaannya seperti apa..”(P2)
130
Universitas Indonesia
“Ya mereka (red. BPJS) ga berhak, kewajiban mereka membayar saja..”(DP3)
Pandangan dari Sudinkes terkait pemanfaatan dana kapitasi, menganggap
hal tersebut adalah ranah BPJS – Puskesmas, dan pada Puskesmas BLUD
mempunyai wewenang penuh terhadap pengelolaan dana kapitasi mulai pencairan
sampai pertanggungjawaban, sehingga mengurangi sisi fungsi dari aspek
pengawasan, feel jika terlalu banyak intervensi dalam monitoring dan evaluasi akan
memberi kesan Sudinkes terlalu ikut campur, sehingga membatasi essensi dari
pengawasan itu sendiri, sehingga fragmentasi disini adalah lemahnya monitoring
dan evaluasi pemanfaatan dana kapitasi
“kita (Sudinkes)tidak ada sangkut pautnya sama sekali karena mereka kan sudah BLUD berdiri sendiri, punya anggraan sendiri punya perencnaan sendiri.. kita tidak ikut campur pengelolaannya”(SD3)
“Yang berproses penadaan langsung puskesmas kecamatan, tidak
sudinkes, kita ngga terlibat.. Sudinkes ga memutuskan, kita cuma mengawasi mereka, mengontrol apakah sudah dilaksanakan apa belum..”(SD3).
“Jaspel.. perbandingannya yang tahu puskesmas..”(SD3) “Terkait peng spj an, pertanggungjawaban di puskesmas, dinas ga
terlibat, sudin gat ahu jadinya mbak..”(SD3)
Dan terkait monev terhadap capaian indikator, yang hal itu merupakan
tuntutan yang tertuang di Perber 2017 Terkesan adalah persyaratan dari BPJS,
dengan tidak terpenuhinya indikator komitmen pelayanan, maka kapitasinya akan
dipotong, namun belum terdapat tim terkait verifikasi validitas capaian indikator di
Puskesmas, untuk di BPJS Bidang PMP untuk yang berhubungan dengan pelayanan
primer dan mereka membuat strategi untuk menghapus nomor kepesertaan peserta
BPJS, sehigga bisa meminimalisir kemungkinan entry diluar kriteria sebagaimana
tercantum dalam pernyataan dibawah ini:
“…mereka punya data peserta tapi cuma nama dan alamat, jadi kalau mereka punya atau akan melakukan kunjungan sehat atau home visit mereka punya datanya… “(B1)
131
Universitas Indonesia
“…contoh saya ke RT 5 nih, saya dapatnya 500 orang, dan saya entry 500 orang, nomornya disimpan ….kl ada kemungkinan bisa ajha jadi seperti itu”(P2)
“Ini harus dilakuakm audit medis bersama, ini belum ada masih
jalan sendiri-sendiri… Kami sekarang sudah mulai meyoroti ini, karena kita nu kog bagus hasile tapi kog ga ada peningkatan mutu kek, rujukan turun klaim turun”(B3)
Ada potensi data itu dimanipulasi, dan itu memerlukan seluruh
pemangku kepentingan bersama-sama, kalau BPJS doang ya pasti dikira kami itu mempersulit, dikira kami itu ingin mengurangi kapitasi, padahal ini tujuannya buka untuk mengurangi kapitasi, tapi untuk peningkatan mutu supaya gatekeepernya jalan, gate koordinatornya jalan” (B3)
jadi ini sebenernya harus dilihat sebagai potensi fraud di kedua belah pihak… harus kita buka bersama, jelas ini anomaly data, langkah selanutnya PMK 36 terkait fraud. Langkah selanjutnya harusnya investigasi dari banyak pihak termasuk tim fraud yang ada di sudin, tim nya da semua, ini mah kl di tim fraud kami sudah banyak dibahas”(B3)
Keeratan hubungan Sudinkes – Puskesmas melemahkan fungsi Binwasdal
yang seharusnya bekerja untuk lebih jeli, terhadap indikasi fraud yang ada, sehingga
dibutuhkan tim yang lebih independen
Cabang melakukan monev setiap bulan dengan Tim khusus penilai (SK TIM) yang terdiri dari beberapa pihak BPJS, sudinkes, asklin, TPMKB cabang, PKFI dll berupa pertemuan rutin dengan telaahan data. Di depwil pertemuan monev setahun 2 kali tetapi untuk turun ke cabang turun 1 bulan sekali”(B2)
Terkait koordinasi antara RS dan Puskesmas, dimana Puskesmas merujuk
dengan diagnosis non spesialistik dg TACC, maka tidak akan dicatat sebagai
RRNS. Pihak Rumah Sakit akan tetap melakukan pelayanan tanpa merujuk kembali
ke Puskesmas. Hal tersebut berdampak semakin tingginya rujukan dan klaim RS.
Sehingga dalam hal ini dibutuhkan upaya monitoring dan evaluasi terkait validitas
diagnosis rujukan dari Puskesmas, disamping ada beberapa hal di luar itu yang bisa
mempengaruhi tingginya rujukan di RS dan klaim dari Puskesmas.
“…karena adanya peer review itu dan selain itu ada TACC sebelum dirujuk”(B2)
132
Universitas Indonesia
“Target yang telah ditentukan sebesar 144 namun sekarang belum ada koordinasi sudinkes untuk besaran target sehingga tergantung kesepakatan sudin dan cabang dengan melihat kemampuan FKTP sesuai dengan kondisi di lapangan, tiap sudin berbeda-beda ya… masa peer reviewnya semakin turun, masa iya dari 131 jadi 128, kl turun ya otomatis rujuk-rujuk ajha”(B2)
Kl sekarang kan ada TACC, kl dulu kan ga ada, jadi TACC itulah
yang sebagai info kl si pasien layak dirujuk cuman karena itu by aplikasi harusnya itukan ada alasan dirujuk detailnya itu kenapa, tapi ini dirujuknya Cuma TIME, Age,…. Itu kan jadi kurang spesifik sih menurut aku, dicentang itu juga, itu yang mempengaruhi juga, jadi kunjungan non spesialistiknya juga kecil, kan mereka cari amannya untuk ngerujuk ke RS ya pake TACC itu (B2)
Walaupun sampai rumah sakit, ini kenapa ga bisa diselesaiin sih di
Puskesmas”(B2) Iya harusnya tim FKTP itu yang tahu, mana yang bener-bener kasus
non spesialistik atau ga. Luar biasa lho FKTP menghadapi pasien yang itu minta dirujuk”(B2)
kl TACC kita hilangkan ajha itu bisa jadi kelihatan, oh ini harusnya
non spesialistik”(B2)
Ditambah statement dari BPJS Cabang di Unit Layanan Rujukan yang mulai
menemukan beberapa keganjilan atau anomaly data terhadap hal tersebut, berikut
beberapa kutipan:
“RNS selalu tidak bersesuaian dengan KNS..(red. Kunjungan Non Spesialistik”(B3)
Adanya di PMK 5 itukan maksudnya ada case-case 4A, inikan harus
eksekusi di FKTP. Nah tetapi meski kadang diagnosis 4A tapi ada penyulit 2 yang terjadi secara individual karena case-case itu kan tidak mesti sama. Iya memang secara diagnose Cuma hipertensi, tapi misalnya ada tambahan apa, misalkan obest atau dia mungkin plus asma, atau dia mungkin dia itu komorbid nya ada riwayat bapak ibu kena stroke, macem-macemlah”(B3)
Ketika menentukan TACC itu kan subyektif, dia adalah kasus,
sebenernya kasus non spesialistik tapi dirujuk dengan tambahan TACC, TACC ini kan kewenangan dokter FKTP. Jadi sebenernya yang dirujuk podo, tapi RNS nya apik karena dia entry di p-care ditambahin TACC”(B3)
Iki kog apik k-apik, kog kasuse ora mudon mudon, apa. Kita tarik
data orang-orang yang dirujuk ini pake tarikan INA CBG, lho ternyata tarikan INA CBG, itu kasus non spesialistik , berarti iki mau TACC ne
133
Universitas Indonesia
gombal… Jadi TACC nya itu mau tidak sesuai, karena ketika dokter lain memeriksa, dia adalah kasus non spesialistik”(B3)
Nah seharusnya kan inikan kesepakatannya adalah data yang
ditarik adalah tarikan p-care. Hanya data yang dipakai untuk tarikan KBK, anya data tarikan P care, seharusnya data juga di compare dengan data tarikam rumah sakit, baru itu bisa untuk menilai”(B3)
tetapi memang ada bias data di tarikan Rumah Sakit , yaitu adalah
bahwa kadang-kadang di beberpa RS yang codernya ga kompeten itu asal nginput kodingnya”(B3)
yang meng compare kami, kami yang melakukan aksi menjejerkan
data… Dokter di FKRTL tidak terlalu memperhatikan rujukan dari FTP, dia hanya periksa versi dia, karena sebagian besar rujukan itu yo ga begitu rujukannya, jadi biasanya dokter-dokter di rujukan wis ga ndelok rujukan, nek sehari-hari seperti itu, mereka ga lihat masuk ini mereka hanya nyaet di rekam medik, diwoco ngene, operane FKTP ga diwoco.”(B3)
“Ya memag seharusnya sih mbak, seharusnya memang ada
monitoring evaluasi berupa, nek misale ini lho mentoring spesialis nya gini dengan jejaringnya jalan, kami bisa kog kasih data misale puskesman X, RNS mu, yang kamu sebut RNS mu bagus itu ternyata KNS mu disini sekian lho, nah kamu dimentoring bisa, ini salah di feedback”(B3)
Dan terkait mekanisme rujuk balik seharusnya dilakukan oleh RS untuk
pasien-pasien dengan kasus non spesialistik, akan tetapi dalam praktiknya ada
beberapa perbedaan aksi, berikut beberapa hasil wawancara:
“…jadi control sekali dia masuk ke RS, dia itu akan diberikan surat controoool terus, ga pernah balik ke FKTP, jarang yang balik, kecuali kami yang ngotot untuk mengembalikan karena terbaca dari tagihan obat misalnya, itu makanya bPJS mengeluarkan, surat rujuk balik yang berlaku maksimal 3 bulan, karena nek tidak sampai setahun 2 tahun tetep di keep di RS ga pernah balik..”(B3)
“Karena gini dulu berlaku untuk rujukan di RS itukan ada lembar
DPJP, ada yang berlaku 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan, 6 bula atau berapa gitu lah, FKTP merujuk ke RS, udah kebiasaan kan, ini dokternya menulis ini pasien diobservasi selama 3 bulan, setelah 3 bulan pasien istilahnya pasien tetep di keep di RS, sebenernya sih pasien ini bisa dirujuk balik”(B2)
“potensi fraud itu adalah salah satu FKTP merujuk tidak sesaui
dengan maksud untuk memberi keuntungan mereka, apa keuntungan mereka. Ini mereka aman terus, dengan memanipulasi TACC, gam au dipotong kapitasinya”(B3)
134
Universitas Indonesia
“..disini yang sudah ada program rujuk balik nah ini harusnya tetep jalan, jadi transfer knowledge dari RS ke FKTP, ini harusnya itu, dan ada beberapa RS yang nge keep pasien, gitu. . dan faktor ini juga, pasiennya, paling deket ya ke RS daripada ke FKTP nya..”(B2)
Masih tingginya rujukan APS (Atas Permintaan Pasien), mengindikasikan
rendahnya koordinasi antara Puskesmas dan pasien, sehingga menimbulkan
kurangnya kepercayaan pasien kepada Puskesmas, sehingga menginginkan untuk
dirujuk ke Rumah Sakit untuk penanganan selanjutnya.
Jadi dokter menghindari ribut atau kles gitu intinya, tetap dibuat indikasi. Sebenernya yang masih bisa dilayani ya kita layani, tapi banyak juga yang maunya seperti itu, maunya datang minta rujukan lebih percaya rumah sakit. Pernah saya pertanyakan sama dokter-dokter disini, kalian merasa yakin bisa dilakukan disini, yasudah ga usah dirujuk, karena profesionalnya kalian itu dilihat dari situ, gitu, tapi ya mungkin masih ada pertimbangan lain dari dokter-dokternya, kalau dari saya sih maunya kl yang bisa disini ya disini, kalau memang harus dirujuk ya dirujuk”(P2)
“Luar biasa lho FKTP menghadapi pasien yang itu minta
dirujuk..”(B2)
Masih adanya miss perception terkait beberapa kebijakan mekanisme
pemberian obat, seperti halnya telah dilakukan pembahasan pada subbab fasilitas,
dan hal ini masih menjadi pembahasan pertimbangan untuk diberikannya obat
prolanis untuk waktu 30 hari dengan catatan tertentu, sesuai kondisi pasien. Dan di
beberapa Puskesmas Kecamatan telah dilakukan pemberian obat-obatan untuk
waktu 30 hari dengan syarat dan ketentuan berlaku.
“...puskesmas kita bisa ngasih obat sebulan lho. PTM obatnya sebulan, beberapa puskesmas masih 10 hari itu kelurahan, kl kecamatan udah bisa sebulan. Jadi menurunkan rujukan, dan kl sudah stabil ya dikasih sebulan..”(SD1)
Dan terkait pemenuhan SDM ada perubahan kebijakan sejak 2016, sehingga
menjadi hambatan Puskesmas untuk melakukan perekrutan untuk pemenuhan
kecukupan SDM
“SDM yang emang kurang, SDM kita kan, duit puskesmas itu, perekrutan itu tidak bisa dilakukan puskesmas sekarang (red. puskesmas kecamatan), kl dulukan boleh kurang ini bisa, kl sekarang regulasi ada di dinas kesehatan provinsi, jadi kita ga bisa sesuka hati rekrut rekrut
135
Universitas Indonesia
pegawai, meski sebenernya duit kita ada. Sejak tahun lalu 2016 akhir sudah di dinkes. Dulu bisa….”(SD1)
Namun ada beberapa kebijakan yang selaras untuk mendukung pencapaian
indikator komitmen pelayanan dengan adanya KPLDH yang capaian dimasukkan
ke dalam entry p-care sebagai home visite, yang mekanisme perekrutan juga
dilakukan oleh Dinkes Provinsi DKI
“mereka ada aplikasinya sendiri, yang laporannya per wilayah, laporan mereka sendiri, entryannya beda. Maka entry annya tidak per hari, di item home visit (kunjungan sehat yang merupakan capaian KPLDH..”(P2)
“Jadi kalau di DKI, angka kontak ada 2, kontak sakit mereka yang berobat kepuskesmas, kontak sehat dari imunisasi, dari posbindu, dari pelayanan UKM, UKBM, kita kana da KPLDH ya yang door to door dari rumah ke rumah, yaitu dari situ, kita juga ada paliatif care kan ya dari situ petugas yang datang ke Puskesmas juga diambil id, kita kan melakukan prom prev ke posyandu, bayi sehat juga diambil. Di bayi sehat ajha ada 2 ibunya, bayinya, posbindu juga gitu, pesertanya dan siapa yang mandampingi posbindunya ya dari situ sih”(SD1)
“Makanya program JKN, ini semuanya harus paham menyelamatkan program ini tetep berlangsung, ya semua menjalankan sesuai tupoksinya masing-masing kl misalnya ada yang kita buat peraturannya, karena kita melihat itu memang perlu gitu lho, sesuatu yang harus ada pagernya, kl kaya gini sampai nanti juga akan jebol terus ,sampai seberapa kuat negara bisa menanggung”(B2)
136
Universitas Indonesia
Halaman ini sengaja dikosongkan
137 Universitas Indonesia
PEMBAHASAN
Sistematika Pembahasan
Dalam pembahasan ini tidak dilakukan pemisahan pembahasan antara hasil
penelitian yang bersifat kuantitatif dan kualitatif, hasil penelitian keduanya
digabung untuk mendapatkan alur pembahasan yang saling mendukung.
Keterbatasan penelitian
Penelitian yang dilakukan memiliki beberapa hambatan yang menjadi
keterbatasan penelitian, antara lain:
1. Unit analisis hanya dilihat pada fasilitas kesehatan milik pemerintah yakni
Puskesmas, sementara fasilitas kesehatan milik swasta seperti klinik dan
dokter praktik perorangan tidak dilihat, karena pemberlakukan konsekuensi
KBK baru akan dilakukan per Juli 2018, meskipun penilaian indikator
capaian telah dilakukan mulai tahun 2016
2. Analisis data kuantitatif mendasarkan pada data sekunder yang ada di Dinas
Kesehatan dan BPJS, peneliti tidak turun langsung ke 340 Puskesmas,
sehingga desain variabele yang sebelumnya direncanakan akan diambil
tidak bisa diambil, sehingga ada pengurangan variable penelitian yang akan
dilakukan analisis data
3. Kesulitan untuk membuat janji wawancara dengan informan karena tingkat
kesibukan informan sehingga tidak bisa ditemui
4. Ada beberapa data BPJS yang dikecualikan, sehingga tidak bisa di publish,
sehingga mengurangi ketajaman analisis yang dilakukan, da pengembangan
di aspek pembahasan.
5. Sumber data berasal dari beberapa bagian dengan format yang berbeda-
beda, kondisi data, dan kelengkapan data sehingga menyulitkan proses
sinkronisasi data
6. Puskesmas kelurahan yang timbul tenggelam statusnya sebagai Puskesmas,
berpengaruh kepada kelengkapan data.
138
Universitas Indonesia
Angka Kontak
Lain halnya pada konsep angka kunjungan pada penelitian (Nurbaiti, 2001)
yang menyatakan bahwa tingginya angka kunjungan menunjukkan bahwa
pelaksanaan kapitasi belum menunjukkan hsil yang ideal menurut konsep kapitasi
total di masa Askes, yang berasumsi bahwa dalam kapitasi total diharapkan dokter
puskesmas bisa menekan angka kunjungannya, sebagai hasil dari berhasilnya upaya
promotive dan preventif sehingga biaya pelayanan menjadi lebih efisien. Karena
maksud dari kunjungan ke Puskesmas dalam hal ini adalah kunjungan sakit yang
dilakukan oleh pasien Askes.
Konsep yang berbeda diusung oleh BPJS dan Kemenkes melalui
implementasi Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan, dimana angka kunjungan
digantikan oleh kontak komunikasi yang menghasilkan penilaian indikator angka
kontak, dimana angka kontak disini tidak terbatas hanya jumlah pasien yang datang
ke Puskesmas untuk melakukan pemeriksaan karena sakit, akan tetapi angka kontak
disini adalah juga dimaksudkan sebagai kontak komunikasi dimana didalamnya
juga mengakomodir adanya kunjungan sehat sebagai upaya promotive dan
preventif, sehingga capaian tersebut akan tetap menjadi upaya provider dalam
efisiensi biaya pelayanan.
Dalam penghitungan statistik angka kontak memiliki kecenderungan
peningatan yang cukup tinggi secara berarti/signifikan selama kurun waktu 2016
sampai dengan 2017 yaitu rata-rata sebesar 68%, yang mengindikasikan bahwa
implementasi KBK cukup menjadi efek bagi puskesmas untuk meningkatkan
indikator tersebut.
Rasio Prolanis
Untuk capaian prolanis juga mengalami perubahan yang signifikan sebesar
21.8% selama tahun 2016 dan 2017
Ada beberapa hal yang mendasari perubahan capaian indikator prolanis,
kategori ini termasuk baru. Sehingga puskesmas baru saja memulai untuk bersama-
sama mengelola klub prolanis, sehingga semakin mengeratkan komitmen
promotive dan preventif, dimana dalam pelaksanaan prolanis, klub ini bersinergi
bersama antara tenaga kesehatan dengan pasien prolanis, dan antara pasien prolanis
139
Universitas Indonesia
itu sendiri. untuk lebih memperbaiki gaya hidup, sharing berbagi pola hidup sehat,
dan bersama-sama melakukan gerakan fisik ringan yang membuat kondisi lebih
bugar, dan diharapkan bisa menaikkan kualitas hidup pasien prolanis.
Akan tetapi klub prolanis ini masih diadakan di puskesmas kecamatan, dan
untuk pelaksanaan di puskesmas kelurahan baru dimulai, Karena masih adanya
kendala teknis di lapangan terkait sarana, prasarana, dan SDM. Sehingga akan
dilaksanakan secara bertahap di puskesmas kelurahan, sementara ini beberapa
peserta prolanis kelurahan, dikumpulkan di puskesmas kecamatan dalam
pelaksanaan klubnya, dan terkendala pasien yang jauh tidak datang.
Untuk saat ini masih belum keseluruhan peserta dengan penyakit kronis
didaftarkan di Puskesmas, sehingga disinyalir pencapaian indikator prolanis karena
masih kecilnya denominator dari penilaian rasio prolanis ini, sehingga banyak yang
masuk di kategori aman. Sebagai upaya peningkatan kualitas, maka kedepannya
akan diupayakan semua peserta dengan penyakit kronis akan didaftarkan di klub
prolanis, seiring dengan peningkatan health coverage di DKI Jakarta.
Rasio Rujukan Kasus Non Spesialistik
Lain halnya juga dengan konsep angka rujukan pada masa Askes, dimana
angka rujukan yang dimaksud adalah angka rujukan pasien Askes ke RS seperti
pada penelitian (Nurbaiti, 2001), dalam keadaan seperti itu didapatkan jumlah
rujukan yang cukup tinggi di DKI Jakarta mencapai angka 27,25% sehingga
diindikasikan bahwa Puskesmas di Jakarta mempunyai kecenderungan untuk
merujuk pasien Askes, yang diperkuat dengan pernyataan dokter terkait lemahnya
motivaasi dokter untuk mengendalikan rujukan ke RS, tidak berdayanya dokter
untuk menolak permintaan pasien untuk mendapatkan pelayanan di RS.
Pada konsep JKN, implementasi KBK menggunakan acuan rasio rujukan
kasus non spesialistik, sehingga yang dijadikan patokan bukan hanya jumlah
rujukan, akan tetapi lebih spesifik adalah rasio rujukan kasus non spesialistik,
dimana diharapkan Puskesmas hanya merujuk pasien untuk mendapatkan
pelayanan spesialistik. Sehingga diharapkan akan berimpak terhadap semakin
efisiennya biaya pelayanan di FKRTL.
140
Universitas Indonesia
Keadaan tersebut dimaklumi mengingat pada sistem kapitasi total pada
jaman Askes belum memberikan reward kapitasi yang memadai. Sistem reward
yang ada pada sistem kapitasi hanya dapat dirasakan jika ada sisa dana dari alokasi
kapitasi total. Lain halnya dengan masa JKN dimana rata-rata Puskesmas di DKI
Jakarta mendapat kapitasi Rp. 107,766,663.-. Pada Puskesmas kecamatan rata-rata
Rp. 261,639,787.- dan rata-rata Rp. 87,338,871 per bulan Pada Puskesmas
kelurahan.
Ketidak efektifan Puskesmas jika tidak mencapai RRNS akan berimplikasi
kepada penurunan kapitasi yang didapatkan Puskesmas Per Bulan, sehingga hal ini
cukup menjadi efek jera bagi Puskesmas untuk dapat mencapai angka yang
ditargetkan pada pencapaian RRNS yaitu senilai <5%, jika Puskesmas rujukan
kasus non spesialistiknya >5% maka akan akan masuk pada zona tidak aman yang
akan berimplikasi pada pemotongan kapitasi per bulan yang akan di dapatkan oleh
Puskesmas.
Keberhasilan Puskesmas tidak hanya bisa dinilai dari keberhasilan kecilnya
nilai RRNS yang dicapai Puskesmas, akan tetapi tidak berimpak kepada turunnya
total rujukan puskesmas yang menjadi denominator dalam penghitungan RNS ini,
yang ternyata cukup tinggi dan semakin meningkat, sehingga biaya klaim RS pun
meningkat di tahun 2018. Sehingga turunnya RNS tidak berimpak kepada semakin
efiseinnya pembiayaan pelayanan di RS.
Setelah peneliti mengidentifikasi adanya beberapa anomaly data terkait
capaian RNS, dan setelah mendengar pernyataan dari informan kunci, ada beberapa
hal yang bisa menimbulkan ketidak koheren an antara turunnya rujukan kasus non
spesialistik dengan semakin naiknya rujukan dan membengkaknya biaya klaim.
Antara lain disebabkan oleh (1) turunnya angka rujukan non spesialistik hanya di
puskesmas, tidak diikuti oleh capaian RNS di klinik dan DPP (Dokter Praktik
Perorangan) dan pemberlakuan konsekuensi bagi klinik dan DPP baru akan
dilakukan per Juli 2018, diharapkan turunnya RNS pada klinik dan DPP akan
semakin menurunkan RNS yang akan berimplikasi pada efisiensi biaya, (2) kurang
efektifnya fungsi UGD, hal ini dalam segi triase masih kurang, sehingga UGD
penuh bukan hanya oleh kasus kegawatdaruratan, tapi juga penuh oleh penyakit
yang tidak seharusnya melalui jalur UGD. Dan UDG ini dijadikan satu-satunya
141
Universitas Indonesia
jalur bagi pasien JKN untuk bisa mendapatkan penanganan di RS, tanpa
mendapatkan pengantar rujukan dari FKTP terlebih dahulu. (3) Perlu ditinjaunya
peer review, karena kecilnya peer review akan berdampak masih tingginya rujukan,
sedikit-sedikit merujuk dan akan tetap menjadikan RNS pada level aman, yang
seharusnya target 144 diagnosis sudah harus selesai di Puskesmas, (4) ditinjau
ulang mengenai mekanisme rujukan menggunakan TACC. Karena secara konsep
RNS belum berinpek kepada hal yang diinginkan.
Selain kajian terhadap perubahan kebermaknaan capaian indikator
komitmen pelayanan, untuk lebih dalam pembahasan dan eklplorasi terhadap kajian
implementasi kebijakan Keputusan Bersama tahun 2017 dituangkan dengan path
analysis dalam teori Edward III.
Dalam mengkaji implementasi kebijakan publik, Edward III mulai dengan
mengajukan dua pertanyaan, yakni:
a. Prakondisi-prakondisi apa yang diperlukan sehingga suatu implementasi
kebijakan berhasil?
b. Hambatan-hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi
gagal?
George C. Edward III berusaha menjawab dua pertanyaan tersebut dengan
mengajukan empat faktor yang berperan dalam keberhasilan implementasi,
meliputi komunikasi, disposisi, struktur birokrasi dan sumber daya. Sama halnya
dengan implementasi Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan, peneliti mencari
jawaban kedua pertanyaan tersebut dengan mencari dan membahas empat faktor
yang berperan dalam Implementasi Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan yang
di dalamnya juga peneliti rangkaikan dengan item-item variable faktor-faktor yang
disinyalir bisa mempengaruhi dan secara statistik bisa masuk dalam kerangka
pemodelan dan faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi pencapaian 3 indikator
Diharapkah dengan pembahasan analisis ini bisa melihat secara “helicopter
view” dengan adanya data yang komprehensif yaitu beberapa faktor yang bisa
dibuktikan secara statistik berhubungan dan kebermaknaannya, dan data yang
kebenarannya tidak dapat divalidasi dengan metode kuantitatif akan divalidasi
dengan metode kualitatif atau sebaliknya sehingga bisa membahas implementasi
142
Universitas Indonesia
Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan Puskesmas di Wilayah DKI Jakarta secara
utuh.
Karakteristik Puskesmas
Variabel karakteristik Puskesmas dijelaskan secara baik oleh tingkat
puskesmas, kategori puskesmas, dan status akreditasi puskesmas
Tingkat Puskesmas
Tingkat Puskesmas secara pemodelan terbukti mempunyai hubungan
dengan capaian indikator komitmen pelayanan puskesmas di wilayah DKI Jakarta,
dan mempunyai loading score positif (0.949), dimana puskesmas kecamatan
mempunyai kecenderungan untuk mencapai angka kontak lebih baik daripada
puskesmas kelurahan dengan rata-rata angka kontak 193.40/00 dibandingkan
puskesmas kelurahan 192.5 0/00, namun kondisi ini dimungkinkan di lapangan
bahwa di puskesmas kecamatan akan mengalami kondisi yang lebih padat, karena
sasaran peserta pada puskesmas kecamatan adalah lebih besar dibandingkan dengan
kelurahan.
Dilihat dari rasio prolanis puskesmas kecamatan lebih banyak yang
mencapai kategori aman (70.5%) dibandingkan dengan kelurahan (67.6%),
meskipun rata-rata pencapaian belum mencapai target standar (>50%), akan tetapi
peningkatannya sejak 2016 sampai 2017 adalah signifikan mengalami kenaikan
sebesar 21.8%.
Dan jika dilihat dari rasio rujukan kasus non spesialistik telah 100%
puskesmas kecamatan dalam kategori aman (RRNS<0.5%). Dan dalam hal ini
puskesmas kecamatan dalam desain bisa menyelesaikan rujukan internal dari
puskesmas kelurahan, karena fasilitas yang lebih lengkap dibandingkan dengan
puskesmas kelurahan, dan rujukan internal tidak dimasukkan ke dalam capaian
RNS dalam p-care.
Terkait dengan nomenklatur puskesmas kelurahan, adanya kekhususan
dibanding implementasi di wilayah lainnya diluar DKI Jakarta, (Pemerintah
Daerah DKI Jakarta, 2007), bentuknya seperti puskesmas pembantu di wilayah
lainnya, karena merupakan jaringan puskesmas kecamatan, akan tetapi memiliki
nomor registrasi tersendiri di pusdatin, sehingga bisa dikatakan sebagai puskesmas
143
Universitas Indonesia
utuh yang standarnya harus memiliki ketentuan sebagaimana tercantum di
Permenkes 75 tahun 2014 tentang Puskesmas (Kementerian Kesehatan, 2014), hal
ini dikhususkan karena kondisi kebutuhan karena kepadatan penduduk yang tinggi.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya, beberapa puskesmas pembantu ada yang belum
bisa dikatakan layak dengan status bangunan yang masih kontrak, namun
kedepannya akan kembali ditinjau mana puskesmas kelurahan yang benar-benar
layak, dan mana puskesmas kelurahan yang harus dilakukan merger penggabungan
dengan puskesamas kelurahan dengan mempertimbangkan aspek mutu dan kualitas
pelayanan kepada masyarakat.
Kategori Puskesmas
Kategori puskesmas secara pemodelan juga terbukti mempunyai hubungan
dengan capaian indikator komitmen pelayanan puskesmas di wilayah DKI Jakarta,
dan mempunyai loading factor positif (0.864), dimana puskesmas rawat inap
(8.82%) lebih baik pencapaian terhadap 3 indikator komitmen pelayanan
dibandingkan dengan puskesmas non rawat inap (91.18%).
Sesuai dengan hasil data kualitatif, puskesmas rawat inap di Jakarta
memiliki kecenderungan rawat inap dalam bentuk perawatan persalinan, dan
pelayanan 24 jam gawat darurat. Dan informan dari BPJS juga mempertimbangkan
agar puskesmas bisa melakukan fungsi rawat inap, untuk mendekatkan akses
masyarakat akan kebutuhan pelayanan di luar waktu kerja 6 jam seperti puskesmas
non rawat inap. Selain akan berimpak kepada peningkatan indikator komitmen
pelayanan angka kontak, akan bisa mengurangi rujukan ke RS karena alasan
puskesmas tutup di malam hari untuk kondisi-kondisi yang merupakan kasus yang
sudah harus diselesaikan oleh puskesmas. Dan hal ini merupakan salah satu langkah
pendekatan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat (Kementerian Kesehatan,
2014), selain bisa mengurangi penumpukan pasien di UGD RS, dengan alasan
FKTP yang sudah tutup diluar waktu pelayanan.
Status Akreditasi
Status akreditasi puskesmas secara pemodelan juga terbukti mempunyai
hubungan dengan capaian indikator komitmen pelayanan puskesmas di wilayah
DKI Jakarta, dan mempunyai loading factor positif (0.889), dimana puskesmas
144
Universitas Indonesia
yang terakreditasi (15.88%) lebih baik pencapaian terhadap 3 indikator komitmen
pelayanan dibandingkan dengan puskesmas yang belum terakreditasi (84.12%).
Puskesmas yang telah terakreditasi dinilai mempunyai kelebihan yang tidak
dimiliki puskesmas yang belum terakreditasi dalam hal standar pelayanan, fasilitas,
dan beberapa penelitian kepuasan pasien pada puskesmas terakreditasi adalah lebih
baik dibanding puskesmas yang belum terakreditasi (Kementerian Kesehatan,
2010).
Meski dalam pelaksanaannya, puskesmas yang dalam proses akreditasi
mengalami penurunan capaian indikator komitmen pelayanan, hal ini bisa
dijelaskan, pada proses akreditasi membutuhkan squad yang lebih besar untuk
melakukan persiapan-persiapan penilaian akrditasi, sehingga beberapa tenaga
termasuk tenaga KPLDH untuk home visite, ditarik untuk melakukan kegiatan
dalam gedung, akan tetapi hal ini dimaksudkan hanya dalam waktu sementara,
setelah proses akreditasi selesai, maka semua dipastikan akan kembali kepada
fungsi masing-masing, dan dipastikan capaian indikator komitmen pelayanan akan
menjadi stabil kembali.
Komunikasi
Komunikasi diartikan sebagai proses penyampaian informasi komunikator
kepada komunikan. Komunikasi kebijakan berati proses penyampaian informasi
kebijakan dari pembuat kebijakan kepada pelaksana kebijakan. Berdasarkan teori
dari Goerge Edward III, komunikasi berkenaan dengan bagaimana kebijakan
dikomunikasikan kepada organisasi dan/atau publik dan sikap serta tanggapan dari
para pihak yang terlibat (Nugroho, 2017). Dalam teori tersebut dijelaskan bahwa
syarat pertama agar kebijakan berjalan efektif, kebijakan harus disampaikan dan
diketahui oleh orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk melaksanakannya
dengan konsisten, jelas dan akurat dalam rangka mewujudkan tujuan yang
diharapkan (Edward III, G. C., & Sharkansky, 1978).
Menurut Pressman dan Wildavsky (1984), kunci implementasi kebijakan
yang efektif terletak pada kemampuan untuk merancang sebuah sistem di mana
hubungan antara penentu kebijakan dan pelaksana kebijakan jelas dan kuat.
Komunikasi harus disampaikan secara akurat dan dapat dimengerti dengan cermat,
145
Universitas Indonesia
oleh para pelaksana nya (Pressman, J. L., & Wildavsky, 1984). Hal ini sejalan
dengan teori komunikasi yang dikemukakan Lasswel dalam Abidin (2016: 18) yang
menyebutkan bahwa pertanyaan yang perlu dijawab dalam proses komunikasi
adalah siapa (who), mengatakan apa (says what), menggunakan media apa (in
which), kepada siapa (to whom) dan apa dampaknya (what effect) (Abidin, 2016).
Menurut Edward III dalam Rusli (2015:100-104), terdapat tiga aspek yang penting
dalam komunikasi (Rusli, 2015) yaitu :
Transmisi
Transmisi adalah faktor utama dalam komunikasi, karena sebelum pejabat
publik mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu
keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksanaanya telah dikeluarkan
(Rusli, 2015), selanjutnya penyaluran komunikasi yang baik akan dapat
menghasilkan suatu implementasi yang baik pula (Agustino, 2008). Dalam proses
implementasi, ketidaktaatan akan kebijakan yang sudah ditetapkan dapat
disebabkan karena terdapat gangguan transmisi atau hambatan penyeluran
informasi dari penentu kebijakan ke pelaksana kebijakan.
Hasil penelitian pada aspek transmisi, perintah menerapkan KBK telah
terbit melalui Peraturan Bersama Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan RI
dan Direktur Utama badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan
No.HK.01.08/III/980/2017 No.2 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan pada FKTP.
Aspek transimisi berupa sosialisasi tentang KBK dilakukan cukup optimal oleh
BPJS, dengan paparan dalam level pemberitahuan di tingkat provinsi, dan lebih
pada tingat Sudinkes, dan secara langsung kepada Puskesmas kecamatan,
sementara pada puskesmas tingkat kelurahan aspek transmisi melaui
pemberitahuan email dan diperdalam oleh sosialisasi dari Puskesmas Kecamatan.
Sementara sosialisasi dari penentu kebijakan Pusat, yaitu Kementerian Kesehatan
masih kurang, sehingga seolah-olah BPJS memiliki kepentingan dalam hal ini, di
sisi lain hal ini dimaksudkan untuk penjagaan mutu pelayanan itu sendiri,
Kementerian Kesehatan terlibat dalam tataran perumusan kebijakan dan sounding
terkait formulasi kebijakan.
146
Universitas Indonesia
Aspek transmisi ini diperkuat dengan adanya kompensasi pemotongan
apabila salah satu atau salah dua dari tiga capaian tidak tercapai, atau kompensasi
yang lebih besar jika 3 indikator tidak dapat dilaksanakan. Maka mau tidak mau
sejak puskesmas menyetujui adanya kompensasi itu dilaksanakan, mereka harus
berupaya maksimal agar target indikator tercapai. Sehingga jika melihat kebijakan
ini hanya dalam bentuk Keputusan bersama telah cukup karena adanya kompensasi
memberikan efek jera untuk pelaksana berupaya sebaik mungkin untuk
melaksanakannya.
Transmisi sosialisai cukup baik dilakukan oleh BPJS sampai dengan level
Puskesmas Kecamatan, namun transminsi dirasa belum cukup di luar sector
pemerintah, ada beberapa hambatan dikarenakan terkait konsep kewilayahan,
sehingga untuk FKTP swasta, klinik dan DPP belum diberlakukan konsekuensinya,
dari cabang tetap menilai semuanya, perber kemenkes dan BPJS sampai dengan 31
Desember 2017, dalam artian tahun 2018 sudah berlaku. Pemberlakukan tetap
berkoordinasi dengan dinkes, asosiasi Asklin PKFI mengetahui, DKI Jakarta
sepakat melakukan konsekuensi pada bulan Juli 2018 untuk FKTP swasta dan telah
memului tahap persiapan sejak Januari 2018.
Jika mengacu pada teori yang ada hasil dari penelitian ini sejalan dengan
teori tersebut yaitu, salah satu penyebab kegagalan komunikasi adalah
penyampaian informasi yang tidak langsung (indirect) serta struktur informasi yang
bertingkat, menyebabkan informasi yang disampaikan melalui hierarki dan
birokrasi yang berlapis-lapis. Seringkali terjadi masalah dalam penyaluran
komunikasi yaitu adanya salah pengertian (miskomunikasi) yang disebabkan
banyaknya tingkatan birokrasi yang harus dilalui dalam proses komunikasi,
sehingga apa yang diharapkan terdistorsi di tengah jalan (Winarno, 2012). Dan
untuk mengatasi hal ini, maka selain BPJS berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan
Provinsi dan Sudinkes, BPJS juga secara langsung mengcounter sosialisasi kepada
Puskesmas Kecamatan dengan mengundang Sudinkes, sehingga kendala transmisi
komunikasi cukup bisa diatasi dengan baik, dan koordinasi yang cukup baik kepada
Dinas kesehatan provinsi mendorong Dinkes Provinsi untuk turut serta mendukung
kebijakan KBK.
147
Universitas Indonesia
Dalam hal ini kegagalan komunikasi dalam aspek transmisi, bisa juga
disebabkan oleh kurang tepatnya pemilihan transmitter atau sarana penyampaian
pesan. Menurut Shannon dalam Abidin (2016: 19) pemilihan transmitter tergantung
jenis komunikasi yang akan disampaikan dan penerima pesan. Sehingga bisa terjadi
tidak efektifnya transmisi karena pemilihan saluran penyampaian pesan yang tidak
sesuai kondisi atau kemampuan penerima pesan tersebut. Pada dasarnya proses
transmisi kebijakan dilakukan dengan dua cara menurut (Lason, 1986) dalam
(Adisasmito, 2013) yaitu : (1) sosialisasi melalui pertemuan langsung, melalui
pertemuan langsung dilakukan dengan menggunakan pertemuan-pertemuan formal
yang sengaja diadakan dalam rangka pelaksanaan peraturan. Namun juga dapat
dilakukan secara informal dengan menggunakan peraturan-peraturan yang telah ada
sebelumnya. (2) sosialisasi melalui media informasi baik media informasi
tradisional maupun tokoh-tokoh masyarakat yang dipercaya dan menjadi panutan
masyarakat maupun yang telah modern media cetak seperti surat kabar, majalah
dan lainnya serta media elektronik berupa radio, televisi, internet dan lain
sebagainya; dan (3) working group atau kelompok kerja yang ditugaskan untuk
melakukan finalisasi rancangan peraturan yang telah dibuat. Transmisi informasi
tentang kebijakan KBK telah dilakukan BPJS melalui metode ceramah dalam
forum resmi yang diadakan oleh BPJS di suatu tempat dengan mengundang
Sudinkes, namun mengingat keberagaman FKTP swasta, klinik, dan Dokter Praktik
Perorangan, maka proses transmisi informasi ke seluruh FKTP swasta perlu lebih
massif dan menggunakan transmitter atau metode yang tepat sesuai kondisi yang
dibutuhkan, seperti pendekatan kepada ketua asosiasi profesi, seperti Asosiasi
Klinik, PKFI, IDI. Hal ini beberapa kali telah dilakukan, karena yang hadir bukan
ketua yang diharapkan bisa tahu dan bisa menggerakkan anggotanya, maka proses
tranmisi cukup berjalan cukup sulit.
Kejelasan
Apabila suatu kebijakan ingin diimplementasikan sebagaimana mestinya,
maka kebijakan tidak cukup diterima, namun petunjuk pelaksanaan harus difahami.
Komunikasi yang diterima oleh pelaksana kebijakan (street-level-bureaucrats)
harus jelas dan tidak membingungkan atau tidak ambigu/mendua (Winarno, 2012).
148
Universitas Indonesia
Dari hasil penelitian diketahui bahwa, pada aspek kejelasan yang meliputi
pemahaman terkait ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Bersama Sekretaris
Jenderal Kementerian Kesehatan RI dan Direktur Utama badan Penyelenggaraan
Jaminan Sosial Kesehatan No.HK.01.08/III/980/2017 No.2 Tahun 2017 tentang
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan
Komitmen Pelayanan pada FKTP dan terkait pelaksanaan pengelolaan dana
kapitasi berdasar pada Peraturan Guberur Provinsi DKI Jakarta No. 165 Tahun
2012 tentang Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah di tingkat
Dinas Kesehatan yang sebelumya berupa Jamkesda dan sekarang era JKN
mengalami perubahan PIC dari Bidang Yankes ke Bidang Perencanaan
Pembiayaan, sehingga masih dalam tahap penyesuaian terkait personal tim yang
mengambil alih perubahan tersebut, sehingga dinilai kurang cukup terpapar dengan
kebijakan KBK ini.
Sedangkan di tingkat Suku Dinas Kesehatan, PIC terbagi di 2 bidang, terkait
pencapaian indikator KBK di Bidang Yankes, sedang terkait pemanfaatan kapitasi
di bawah Kepala TU, sehingga masing-masing bagian tidak memegang secara utuh
memungkinkan adanya celah dimana melemahkan sisi monitoring dan evaluasi.
Inkonsistensi terkait MoU BPJS Puskesmas yang kurang melibatkan kehadiran
Dinas Kesehatan provinsi berdampak lemahnya fungsi control dari Dinas
Kesehatan provinsi dan Suku Dinas Kesehatan
Hal ini telah cukup jelas untuk pelaksanan di tingkat Puskesmas Kecamatan,
karena telah secara langsung mendapat sosialisasi dari BPJS, dan dari sisi
pemanfaatan dana kapitasi telah cukup jelas karena mekanaisme BLUD ini telah
dilaksanakan sejak 2012. Dan menjadi kurang jelas mekanisme pengelolaan dana
kapitasi untuk Puskesmas tingkat kelurahan, karena beberapa puskesmas tidak
terlibat seutuhnya terhadap pengelolaan dana kapitasi. Adapun terkait mekanisme
pengelolaan dana yang masuk ke dalam rekening BLUD ada beberapa PIC, yang
masing-masing PIC kurang terpadu sehingga bisa memungkinkan terjadi
overlapping dalam perencanaan, pengelolaan, dan pertanggungjawaban dana
kapitasi. Menurut Edward III dalam Winarno (2012) salah satu penyebab terjadinya
miskomunikasi yaitu pada permasalahan penangkapan informasi yang diakibatkan
oleh persepsi dan ketidakmampuan para pelaksana dalam memahami persyaratan-
149
Universitas Indonesia
persyaratan suatu kebijakan. Menurut pendapat yang disampaikan oleh informan
dalam penelitian ini dijelaskan bahwa di kelurahan tidak ada tim pejabat pengadaan
dengan kualifikasi tertentu yang bisa didayagunakan untuk pengelolaan dana
kapitasi tersebut sehingga manajemen SDM, dan pengelolaan keuangan harus
terpusat di Puskesmas Kecamatan.
Kejelasan ini juga dinilai kurang untuk beberapa Puskesmas yang yang
masih mempunyai kendala tingginya angka rujukan karena indikasi permintaan
pasien. Kegagalan disebabkan oleh penetapan strategi yang salah dalam
menyalurkan komunikasi dan menggunakan mesin penggerak yang salah
(Pressman, J. L., & Wildavsky, 1984), yaitu manajemen tidak memanfaatkan
pertemuan-pertemuan informal serta media sosial yang ada untuk melakukan
sosialisasi serta menggerakkan seluruh staf untuk menyebarkan informasi secara
luas kepada masyarakat. Hakikatnya komunikasi yang dilaksanakan organisasi
pemerintahan menurut Sendjadja (1994) dalam Abidin (2016 ; 40) memiliki fungsi
sebagai (1) fungsi informatif, yaitu pelaksana atau masyarakat mendapat informasi
lebih banyak, lebih jelas, dan tepat waktu; (2) fungsi regulatif, yaitu pelaksana atau
masyarakat mengetahui peraturan yang berlaku dan kejelasan tentang hal yang
boleh dan tidak boleh; dan (3) fungsi persuasif, yaitu mengajak pelaksana atau
masyarakat untuk melakukan kebijakan tertentu.
Konsistensi
Dalam sebuah penyelenggaraan negara, khususnya bidang kesehatan,
terkadang tidak hanya satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, terkadang
terdapat beberapa kebijakan dari berbagai program. Untuk mencapai implementasi
yang efektif, perintah yang diberikan harus konsisten dan jelas untuk ditetapkan
atau dijalankan. Jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat
menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan (Rusli, 2015). Sejauh ini
sudah ada perubahan Peraturan Bersama BPJS Kemenkes dari awal pelaksanaan di
tahun 2016 dan tahun 2017, namun perubahan ini diimbangi dengan sosialisasi
langsung yang bisa memangkas aspek birokrasi, sehingga KBK tetep bisa
dilaksanakan.
150
Universitas Indonesia
Dari hasil penelitian diketahui bahwa kebijakan implementasi KBK sejalan
dengan kebijakan KPLDH, yang mana salah satu fokusnya upaya peningkatan
kontak sehat yang bisa meningkatkan capaian KBK di indikator angka sehat,
sejalan dengan kebijakan KPLDH yang telah membuat tim khusus door to door
untuk melakukan pendataan kesehatan warga masyarakat DKI Jakarta, sehingga
sekali merengkuh dayung 2, 3 pulau terlampaui, target KPLDH terpenuhi, bilain
hal indikator angka kontak terpenuhi. Sementara hal tersebut bisa diterima, karena
spesifikasi standar pencapaian angka sehat belum diperketat persyaratan yang harus
dipenuhi jadi masih bisa diakomodir sehingga dianggap konsisten antara penentu
kebijakan dan pelaksanan kebijakan antara capaian KPLDH dengan dengan
kenaikan angka kontak yang berasal dari kontak sehat.
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan inkonsistensi mengenai alur
pelaporan angka kontak melalui p care langsung ke BPJS, sedangkan KPLDH
mempunyai aplikasi tersendiri yang pelaporannya diakomodir per wilayah yang di
entry per hari, jadi masing-masing belum ada bridging yang mengintegrasikan
keduanya, sehingga kalaupun entry di p care, tim KPLDH harus melakukan entry
2 kali jika harus melakukan entry untuk angka kontak sehat. Hal tersebut sejalan
dengan teori Edward, yang menyatakan bahwa inkonsistensi bisa terjadi bila
kebijakan yang harus dilakukan cukup kompleks, pelaksanaan program baru serta
banyaknya tujuan dari berbagai kebijakan. Diharapkan ke depannya ada bridging
integrase aplikasi antara p care dan KPLDH sehingga dapat mendukung efektifitas
implementasi KBK.
Hal senada terjadi juga overlapping antara capaian KPLDH dengan upaya
pencapaian indikator PIS-PK yang harus di entry ke Pusdatin Kemenkes, dimana
data yang sama dilakukan entry di tiga aplikasi berbeda, namun masing-masing
memiliki perbedaan indikator, dimana jumlah KPLDH disinyalir lebih banyak
karena telah berjalan lebih dahulu dibandingkan dengan PIS-PK, namun upaya ini
belum mendapat jalur tengah, yang bisa mengakomodir keduanya, yang seharusnya
bisa dilakukan untuk efektifitas proses, capaian, dan terutama pelayanan yang
bermutu, dimana waktu yang seharusnya digunakan untuk proses entry data, bisa
untuk memperbaiki mutu pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.
151
Universitas Indonesia
Berdasarkan ketiga aspek dari variabel komunikasi dapat disimpulkan
bahwa aspek komunikasi implementasi KBK Puskesmas di Wilayah DKI Jakarta
telah cukup baik pada aspek transmisi, namun masih kurang efektif dari aspek
kejelasan dan konsistensi, namun dalam pelaksanaannya telah cukup baik dalam
hal capaian 3 indikator KBK. Sehingga bukan hanya sampai disitu perlu digali lebih
jauh terkait kualitas capaian indikator komitmen palayanan itu sendiri apakah
cukup berimpak kepada tujuan yang lebih besar yang diharapkan.
Kegiatan sosialisasi berjenjang belum secara luas dilakukan, masih
terbatasnya pelatihan teknis penguatan kompetensi dokter untuk menyelesaikan
144 penyakit, pemenuhan sarana prasarana, obat-obatan, pengkondisian edukasi
kepada masyarakat terkait efektif dan efisien, kualitas pelayanan yang diberikan
puskesmas, sehingga dirasa perlu penggerakan tokoh masyarakat untuk membantu
percepatan perubahan mindset utuk tidak datang ke puskesmas hanya untuk
meminta rujukan, perlu adanya penguatan keyakinan akan kemampuan puskesmas
masa era JKN adalah lebih baik dan lebih mumpuni untuk menyelesaikan masalah-
masalah kesehatan baik individu ataupun komunitas. Tidak hanya itu penguatan
fasilitas pelayanan kesehatan swasta dan lintas program terkait mutlak dilakukan
untuk bersama-sama mewujudkan visi yang diharapkan. Hal ini sejalan dengan
teori Edward yang menyatakan bahwa komunikasi yang tidak efektif akan
mempengaruhi baik secara langsung ataupun tidak langsung terhadap implementasi
kebijakan (Rusli, 2015).
Aspek komunikasi implementasi KBK Puskesmas di DKI Jakarta sudah
cukup efektif, namun ada beberapa hal yang masih tidak efektif sehingga menjadi
hambatan berdampak kepada kualitas indikator capaian KBK. Oleh karena itu,
dalam rangka implementasi KBK ini diperlukan aspek komunikasi yang memenuhi
4 dimensi, yaitu: (1) komunikasi ke bawah, yaitu kepada pelaksana kebijakan di
tingkat paling bawah serta masyarakat sebagai sasaran kebijakan dengan
menggunakan metode yang mudah dipahami, sehingga lebih taat prosedur dan
mengurangi rujukan atas indikasi permintaan pasien; (2) komunikasi ke atas, yaitu
Kepala Suku Dinas Kesehatan, dan Dinas Kesehatan Provinsi untuk efektifitas
pendampingan agar Puskesmas untuk bisa mampu laksana terhadap 144 diagnosis
yang sudah harus selesai di Puskesmas (3) komunikasi horisontal kepada lintas
152
Universitas Indonesia
sektor dan lintas program setara;serta (4) komunikasi lintas saluran, yaitu
komunikasi yang melewati batas fungsional. Perhatikan hambatan hambatan utama
kegagalan implementasi KBK berupa kepentingan kelompok tertentu dari
pelaksana, baik yang sifatnya individu maupun organisasi yang dapat menghambat
pencapaian tujuan implementasi KBK
Disposisi
Disposisi merupakan suatu kecenderungan individu untuk bersikap,
bertindak, atau bertingkah laku terhadap suatu perlakuan tertentu (Ennis, 1996),
sedangkan menurut Edward dalam Widodo (2017 : 104), disposisi adalah kemauan,
keinginan dan kecenderungan dari pelaksana kebijakan untuk melaksanakan
kebijakan secara sungguh-sungguh, sehingga apa yang menjadi tujuan kebijakan
dapat diwujudkan (Widodo, 2017). Pada implementasi kebijakan, tidak cukup
dengan kecakapan yang dimiliki pelaksana kebijakan, namun juga kesediaan dan
komitmen untuk melaksanakan kebijakan. Pada penelitian ini, penilaian terhadap
disposisi dilihat dari 2 (dua) aspek yakni, sikap pelaksana kebijakan dan pemberian
insentif kepada tenaga pelaksana kebijakan
Sikap pelaksana
Sikap pelaksana kebijakan dapat muncul dalam sikap menerima, acuh tidak
acuh atau menolak kebijakan. Munculnya sikap tersebut dipengaruhi oleh
pengetahuan, pendalaman dan pemahaman akan kebijakan. Sikap pelaksana
kebijakan penting untuk diketahui apakah sejalan dengan pembuat kebijakan serta
bagaimana implementasi kebijakan yang sudah dilaksanakan. Hal ini dikarenakan,
menurut (Rusli, 2015) apabila sikap atau pandangan pelaksana kebijakan berbeda
dengan pembuat kebijakan maka proses pelaksanaan kebijakan akan menjadi
kompleks. Jika komunikasi telah berjalan efektif, maka diharapkan sikap pelaksana
akan positif atau mendukung terhadap kebijakan.
Hasil studi didapatkan bahwa sikap pelaksana kebijakan merespon yang
dimiliki oleh Puskesmas cukup baik, awalnya dilaksanakan mengalir, namun
ternyata dengan capaian yang tidak memenuhi akan berimpak terhadap pemotongan
kapitasi per bulan yang diterima, sehingga berupaya melakukan usaha lebih untuk
153
Universitas Indonesia
pencapaian indikator KBK, karena sikap acuh tak acuh akan berimpak terhadap
pemasukan finansial yang mereka terima. Pemotongan kapitasi bisa memberikan
efek jera yang secara langsung bisa memaksa pelaksana untuk bisa mencapainya
agar tidak ada konsekuensi yang mereka terima, dalam hal ini sekaligus
“punishment” jika mereka tidak berupaya untuk mencapainya, sehingga ada upaya
untuk “menghalalkan segala cara” agar indikator tersebut bisa dicapai sehingga
memunculkan beberapa indikasi fraud dalam upaya pencapaian indikator KBK
yang dilakukan, demi tidak dipotongnya kapitasi yang diterima oleh Puskesmas,
karena seandainya kapitasi yang diterima adalah 1M, maka pemotongan 8% adalah
80 juta, jumlah itu cukup besar yang bisa dimanfaatkan untuk operasional
puskesmas BLUD. Indikasi – indikasi ini terlihat di beberapa Puskesmas yang
pencapaiannya melonjak terlampau tinggi seperti dari pencapaian angka kontak 60
permil ke 300 pemil dalam waktu kurang dari 2 tahun dengan standar sumber daya
yang tidak terlalu banyak perubahan, dan untuk penurunan RRNS yang turun secara
curam.
Jika melihat statement dari beberapa informan kunci, beberapa Puskesmas
dengan capaian yang melonjak tinggi dan kepesertaannya besar, terindikasi
melakukan fraud, karena kepesertaan besar secara otomatis denominator sebagai
pembagi dari penghitungan angka kontak besar, dengan demikian dibutuhkan
jumlah yang harus besar pula terkait kontak komunikasi yang dilakukan untuk
mendapatkan capaian indikator angka kontak yang besar, sehingga diperlukan
investigasi lanjutan terkait hal tersebut.
Indikasi fraud juga didapatkan bahwa memungkinkan bagi Puskesmas
untuk melakukan entry nomor kepesertaan BPJS di periode bulan yang berbeda.
Dan terkait capaian indikator prolanis tidak semua pasien dengan penyakit kronis
didaftarkan, atau dengan mengeluarkan peserta penyakit kronis untuk
meminimalisir denominator, sehingga capaian selalu tercapai, meski peserta
dengan penyakit kronis cukup besar di wilayah puskesmas tersebut, hal ini
seharusnya menjadi investigasai lebih lanjut untuk puskesmas melakukan
pendataan pemetaan peserta dengan penyakit kronis secara utuh di suatu wilayah.
Sehingga pencapaian indikator prolanis ini adalah benar-benar dipastikan
kualitasnya.
154
Universitas Indonesia
Sikap pelaksana kebijakan yang demikian tidak sejalan dengan tujuan
pembuat kebijakan, yang sejatinya untuk target indikator dimaksudkan untuk
perbaikan mutu pelayanan kesehatan dan efektifitas pembiayaan pelayanan
kesehatan, pada pelaksana tujuan pemenuhan target adalah agar kapitasinya tidak
dilakukan pemotongan.
Namun tidak semua menjurus ke arah indikasi fraud, focusing on individual
actions as a starting point enables them to be seen as responses to problems or
issues in the form of choices between alternatives (Hill & Hupe, 2002), adakalanya
upaya positif dan inovatif dari Puskesmas patut diapresiasi dan dijadikan proyek
percontohan untuk wilayah lainnya. Dalam upaya pencapaian indikator KBK
ditunjang dengan dilaksanakannya KPLDH (Ketuk Pintu Layani Dengan Hati),
yang mempunyai tim khusus yang terdiri dari 3 orang tenaga kesehatan dokter,
perawat, dan bidan yang secara regular mendata dan melakukan home visit di
wilayah kerja Puskesmas. Hal tersebut menambah peningkatan indikator angka
kontak dalam sisi kontak komunikasi sehat. Hal tersebut positif dilakukan untuk
mengrangi hazard dari penurunan kualitas dikarenakan secara hitungan puskesmas
dengan kunjungan tinggi, maka akan semakin kecil waktu yang akan dipakai untuk
attachment tenaga kesehatan dengan peserta, karena tuntutan yang tinggi untuk
menyelesaikan beban pasien yang harus ditangani, sehingga akan mengindikasikan
penurunan kualitas, lain halnya dengan upaya KPLDH karena adanya penambahan
tim khusus untuk melakukan upaya pendataan home visit, dan mengenali resiko
kesehatan pada setiap kunjungan yang dilakukan. Sehingga secara terpisah dari
upaya penjagaan mutu yang telah dilakukan Puskesmas terhadap pelayanan dalam
gedung.
Hal ini sejalan dengan upaya PIS-PK (Program Indonesia Sehat-Pendekatan
Keluarga), diharapkan upaya ini tidak hanya semata pendataan dan berhenti disini,
lebih jauh ke upaya yang bisa secara berkelanjutan, baik kunjungan ulang dan
intervensi terhadap masalah kesehatan yang ada, diharapkan dengan upaya ini,
kunjungan sakit ke Puskesmas akan semakin berkurang diganti dengan kunjungan
sehat yang mulai aktif dilaksanakan.
Hal positif pelaksana juga ditemukan bahwa pelaksana yang handal akan
mulai melakukan pendekatan-pendekatan untuk merubah mindset para peserta
155
Universitas Indonesia
untuk meyakinkan terkait kualitas pelayanan Puskesmas, untuk terus
mengkampanyekan pola hidup sehat sebagai hal yang utama, sehingga tidak lagi
membutuhkan pelayanan di RS kecuali untuk masalah-masalah spesialistik yang
tidak bisa ditangani di Puskesamas dengan standar kompetensi yang mumpuni
ditunjang dengan alat, obat, sarana, dan prasarana yang tersedia sesuai dengan
standar. Penggiatan promotive dan preventif untuk meningkatkan capaian
kunjungan sehat yang meningkatkan indikator angka kontak, dengan upaya
signifikan ini, diharapkan kunjungan sehat akan semakin naik, dan kunjungan sakit
berkurang, dan secara otomatis akan mengurangi jumlah rujukan ke RS, dan bisa
mengurangi biaya pengobatan, klaim RS yang berdampak pada efisiensi biaya,
didapatkan bahwa sikap dan komitmen pelaksana kebijakan sudah cukup baik
terhadap upaya pencapaian indikator KBK.
Dilihat dari hasil yang didapatkan jika mengacu terhadap teori yang ada
tentang disposisi pada sikap pelaksana kebijakan, maka dijelaskan apabila
pelaksana kebijakan memiliki sikap positif terhadap suatu kebijakan tertentu maka
dapat diartikan mendukung sehingga membuat kebijakan dapat terselenggara sesuai
pembuatan keputusan diawal (Rusli, 2015). Namun pada kebijakan yang bersipat
top down seperti kebijakan KBK rentan terjadi perubahan sikap pelaksana, karena
menurut pendapat Massie (2009) pengembangan kebijakan biasanya top-down
dimana Kementrian Kesehatan dan BPJS memiliki kewenangan dalam penyiapan
kebijakan. Implementasi kebijakan dan strateginya adalah buttom-up.
Kebijakan seharusnya dikembangkan dengan partisipasi oleh mereka yang
terlibat dalam kebijakan itu. Hal ini untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut
realistis dan dapat mencapai sasaran, sehingga jika pelaksana terlibat dalam
penetapan kebijakan, maka akan muncul komitmen dari para pelaksana kebijakan
untuk mengembangkan strategi agar kebijakan dapat tersosialisasikan secara luas,
sampai pada penerima manfaat atau sasaran kebijakan, yaitu masyarakat (Massie,
2009). Hal ini bisa ditindaklanjuti dengan penilaian berat ringannya target indikator
apakah selama ini sudah sesuai dengan kondisi Puskesmas, sehingga target yang
realistis akan mudah dilaksanakan oleh pelaksana, tanpa ada indikasi fraud di
dalamnya, ataukah indikator capaian terlalu mudah sehingga secara serentak
Puskesmas dengan mudah mencapai indikator tersebut, ataukah jika hampir semua
156
Universitas Indonesia
faskes bisa mencapainya, maka perlu meningkatkan jumlah indikator capaian yang
bisa dijadikan target sesuai dengan yang tertera pada bahwa ada 9 indikator yang
bisa dipersyaratkan dalam Primary Care/Specialty care in the Era of
Multimorbidity yan meliputi first contack, comprehensive, coordination, family
focus, community, resources available, total score, access, longitudinal (Starfield,
2010) dengan penghitungan yang matang dan mempertimbangkan Indonesia
sebagai wilayah yang beragam, sehingga kadangkala suatu kebijakan cocok untuk
diterapkan di suatu wilayah, akan tetapi bisa dimungkinkan tidak bisa dilaksanakan
di wilayah lain, sehingga menimbulkan mindset “acuh tak acuh” di kalangan
pelaksana, yang berakibat fatal terhadap keberlangsungan terhadap program lain
yang akan diluncurkan, dimana pelaksana sudah merasakan ketidakpercayaan
terhadap pembuat kebijakan.
Adakalanya pelaksana yang sangat gigih untuk bisa menerapkan prinsip
sehingga mendapat konfrontasi dengan beberapa pihak, yang berakibat adanya
konflik hanya karena tidak memberikan rujukan atas indikasi permintaan pasien,
sehingga pelaksana tersebut dipindahkan karena hal tersebut, maka hal ini perlu
adanya kebijakan lain untuk menghadapinya. Langkah lain yang seringkali diambil
dalam mengatasi perubahan sikap pelaksana adalah memindahkan ke unit lain.
Menanggapi kondisi tersebut, menurut Edwards (1980) bahwa “transferring is not
panacea for the problem of implementors’ dispositions because it doesn’t solve
problem; it just remove them.” Bahwa perpindahan/pergantian pelaksana
sesungguhnya bukanlah ‘obat mujarab’ yang dapat menyembuhkan permasalahan
implementasi. Kecuali mungkin ada pejabat yang memang tidak “mampu” untuk
melaksanakan kebijakan tersebut, bukan karena berbeda paham atau karena
perbedaan interpretasi terhadap konten dan konteks kebijakan.
Komitmen Pelayanan
Komitmen pelayanan dijelaskan dengan kurang bagus oleh variable
pemenuhan waktu praktik dan pengelolaan klub prolanis. Terkait pengelolaan Klub
Prolanis, pada awalnya berhubungan dengan capaian indikator komitmen
pelayanan dg convergent validity >0.4, dikarenakan nilai Cronbach alpha <0.5,
maka akan berpengaruh kepada kekekaran model, sehingga dikeluarkan dari
157
Universitas Indonesia
pemodelan. Secara substansi mempunyai hubungan dengan capaian indikator
komitmen pelayanan puskesmas di wilayah DKI Jakarta khususnya rasio prolanis,
karena dengan adanya pengelolaan klub prolanis ini, maka kunjungan peserta
dengan penyakit kronis bisa dilakukan follow up dengan teratur. Sehingga jika
terjadi komplikasi bisa langsung ditangani sehingga ada kenaikan angka kontak,
dan jika memerlukan konsultasi kepada jenjang lebih lanjut bisa langsung
dilakukan rujukan, dan bisa dikontrol rujuk balik kepada puskesmas jika telah
stabil.
Sejauh ini sebanyak 215 puskesmas (63.2%) telah melakukan pengelolaan
klub prolanis, beberapa puskesmas belum menyelenggarakan klub prolanis
dikarenakan adanya kendala SDM yang bisa melakukan pengelolaan tersebut.
Insentif/Kapitasi
Insentif merupakan salah satu bagian dari penentu individu sebagai
pelaksana kebijakan dalam bersikap (Edward, 1980) dalam (Agustinus, 2006). Pada
aspek insentif bagi pelaksana kebijakan, yang dinilai disini adalah bagaimana
mekanisme pemanfaatan dana kapitasi untuk pembagian jasa pelayanan, sehingga
memperkuat upaya pencapaian 3 indikator komitmen pelayanan. Adapun sesuai
hasil dari analisis data kuantitatif, variable eksogen disposisi dijelaskan secara baik
oleh variable insentif, dalam pemodelan terbukti mempunyai hubungan dengan
capaian indikator komitmen pelayanan puskesmas di wilayah DKI Jakarta, dan
mempunyai loading score positif (1.000), nilai koefisien estimate antar variable
0.232 dan secara statistik signifikan dengan p value 0.044 (< 0.05). Bahwasaannya
semakin besar kapitasi yang diterima oleh puskesmas, maka secara signifikan akan
mempengaruhi capaian indikator komitmen pelayanan.
Hal ini bisa dijelaskan semakin besar kapitasi yang diterima oleh
puskesmas, maka semakin baik capaian indikator komitmen pelayanan. Puskesmas
dengan kapitasi besar mempunyai latar belakang puskesmas yang mempunyai
sumber daya yang baik, baik dalam kuantitas dan kualitas, dalam operasionalnya
mereka membutuhkan kapitasi yang lebih besar untuk mendanai squad yang
mereka miliki, ditambah dengan adanya konsekuensi pemotongan 0.8% saja akan
sangat mempengarui operasional mereka, terkait pemberian jasa dan gaji. Jadi
158
Universitas Indonesia
sebisa mungkin puskesmas dalam keadaan seperi ini akan berusaha sekuat mungkin
untuk agar capaian dalam posisi aman, dan jika memungkinkan bisa meningkatkan
capaian indikator komitmen pelayanan.
Berbeda dengan hasil penelitian (Nurbaiti, 2001) pada masa Askes, jasa
pelayanan yang mereka dapatkan lebih kecil antara Rp. 41,404.50 sampai dengan
Rp. 5.965.495 pertriwulan, dan tidak ada mekanisme reward atau punishment,
puskesmas yang berhasil menekan angka rujukan menerima pembayaran yang sama
dengan puskesmas yang rujukannya tinggi. Maka dalam hal ini puskesmas kurang
terpacu untuk efisiensi tersebut, berbeda dengan era JKN, karena besaran kapitasi
cukup besar ditambah adanya konsekuensi pemotongan, maka puskesmas berusaha
dengan segala cara agar kapitasinya tidak dipotong.
Untuk itu pada penelusuran data kualitatif kami mencoba untuk menggali
seberapa penting aspek kapitasi bagi puskesmas ini. Berdasarkan pengambilan data
melalui WM dari informan ada perbedaan pemanfaatan kapitasi untuk jasa
pelayanan. Untuk awalnya kita mencari tahu seperti apa mekanisme pencairan dana
kapitasi sampai ke puskesmas kelurahan.
Struktur pengorganisasian puskesmas di wilayah DKI berbeda dengan di
daerah lain, DKI mempunyai kekhususan karena ada beberapa aspek yang
membedakan dengan wilayah lain di luar DKI, yakni adanya nomenklatur
puskesmas kelurahan, dimana puskesmas kelurahan ini telah mendapat nomor
registrasi sendiri di Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan sebagai satu
keutuhan Puskesmas sehingga harus memenuhi persyaratan sebagaimana
tercantum di Permenkes 75 tahun 2014 tentang Puskesmas, dan dalam mekanisme
BPJS telah mempunyai kepesertaan dan kapitasi secara utuh. Namun dalam
operasionalisasi pelaksanaan puskesmas kelurahan hanya melaksanakan tugas
pelayanan kepada masyarakat, namun fungsi managemen keuangan, SDM masih
mengampu pada Puskesmas Kecamatan sebagai induknya.
Dalam pencatatan pencapaian indikator komitmen pelayanan pada sistem p-
care puskesmas kecamatan melaksanakan pencatatan secara mandiri, karena telah
mempunyai peserta JKN tersendiri dalam wilayahnya, sehingga secara mandiri juga
telah mempunyai capaian angka kontak, rasio rujukan kasus non spesialistik, dan
rasio prolanis. Namun dalam mekanisme pencairan dana kapitasi Puskesmas
159
Universitas Indonesia
Kelurahan dari BPJS ke BLUD Puskesmas Kecamatan, jadi dana kapitasi tidak
turun langsung ke Puskesmas Kelurahan.
Mekanisme pemanfaatan dana kapitasi di DKI berdasarkan pada Peraturan
Gubernur 150 tahun 2016 tentang Pedoman Teknis Penilaian Usulan Penerapan
Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (Gubernur, 2016) dan
Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 165 tahun 2012 tentang Pola
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (Gubernur, 2012), dana
kapitasi yang masuk di Puskesmas masuk di rekening BLUD Puskesmas
Kecamatan dan menjadi kewenangan Puskesmas untuk pengelolaannya sesuai
dengan prinsip-prinsip yang ada di pedoman yang pelaksanaannya dimaksudkan
untuk peningkatan pelayanan masyarakat, pemberian fleksibilitas pengelolaan
keuangan, meringankan beban APBD, meningkatkan kemandirian, bukan kekayaan
daerah yang dipisahkan, bagian dari perangkat daerah, penyelenggaraan pelayanan
sesuai dengan praktik bisnis yang sehat dengan mengutamakan efektifitas dan
efisiensi serta kualitas pelayanan umum kepada masyarakat.
Agak berbeda dari Puskesmas yang belum BLUD yang mendasarkan
pemanfaatan pada Permenkes No. 21 Tahun 2016 tentang Penggunaan Dana
Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional untuk Jasa Pelayanan dibanding operasional
dengan proporsi 60 : 40 (K. Kesehatan, 2016), pemanfaatan pada Puskesmas
dengan BLUD lebih fleksibel dan berbeda-beda di beberapa wilayah disesuaikan
dengan keadaan masing-masing Puskesmas. Penggunaan kapitasi digunakan untuk
pembiayaan BLUD terbagi menjadi tiga yaitu belanja pegawai, barang jasa, dan
belanja modal. Dari belanja pegawai ini digunakan untuk membiayai gaji dan TKD
untuk pegawai non PNS. Karena disinyalir karena pengaruh moratorium jumlah
PNS lebih kecil dibanding jumlah pelayanan untuk ke masyarakat, jadi rekruitmen
pegawai non PNS cukup banyak, sehingga pembiayaan bisa menggunakan dana
kapitasi. Dan belanja barang itu biasanya digunakan untuk bahan obat-obatan,
bahan lab, belanja pelayanan.
Ada beberapa kendala dalam pemanfaatan dana kapitasi, namun kendala
disini tidak sampai menimbulkan impak, penumpukan dana kapitasi seperti terjadi
di wilayah-wilayah lain hasil penelitian di Bogor menunjukkan adanya potensi sisa
anggaran menumpuk dan regulasi yang ada tidak memungkinkan untuk
160
Universitas Indonesia
mengalihkan porsi anggaran (Hasan & Adisasmito, 2017), namun di wilayah DKI
yang mayoritas telah BLUD tidak mengalami penumpukan dana tersebut. Ada
beberapa penyerapan yang tidak bisa diselesaikan, pada awal perencanaan belanja
barang, Puskesmas telah memprediksi ada jadwalnya ada petugas pejabat
pengadaannya, mereka juga harus koordinasi, kendala tidak terserapnya dana
kapitasi ini misalnya disebabkan kendala-kendala dari luar misalkan penganggaran
untuk untuk belanja pegawai yang non PNS 20 orang, pada pelaksanaannya
ternyata pegawai yang direkrut itu tidak sampai 20 misalnya baru tersedia 15 orang,
berarti penyerapan tidak optimal. Adaupun kendala internal biasanya karena adanya
pergeseran pelaksanaan, bisa disebabkan oleh barang yang mau debeli tidak
tersedia di e catalog, atau karena kendala pihak ketiga dalam pengadaan barang.
Jadi ini salah satu tugas Sudinkes dan Dinas Kesehatan untuk bisa memonitoring
efisiensi yang tepat dalam proses perencanaan.
Dan beberapa masalah timbul dikeluhkan oleh Puskesmas Kelurahan terkait
pemanfaatan dana kapitasi, dimana kurangnya koordinasi antara Puskesmas
Kecamatan dan Puskesmas Kelurahan, sehingga ada puskesmas kelurahan yang
bahkan tidak mengetahui jumlah kapitasi yang mereka peroleh, adakalanya yang
hanya tau jumlahnya saja, tapi tidak pernah melihat wujud uangnya, adanya
kesulitan untuk pemanfaatan tersebut terkait proses pengajuan dan realisasi yang
cukup lama, adapun puskesmas kelurahan mengajukan permohonan untuk beberapa
kebutuhan puskesmas kelurahan, namun terkait eksekusi keputusan apakah hal
tersebut bisa direalisasikan atau tidak adalah merupakan kewenangan dari
puskesmas kecamatan. Namun hal ini dibantah oleh Puskesmas karena mereka yang
lebih tahu terkait pengelolaan uang tersebut, Puskesmas kecamatan harus bisa
mempertimbangkan prioritas kebutuhan di Puskesamas kecamatan dan kelurahan,
karena tidak mungkin hanya dengan dana kapitasi yang diperoleh oleh puskesamas
kelurahan memungkinkan puskesmas bisa menjalankan operasional puskesmas
secara penuh. Tapi hal ini seharusnya bukan menjadi penghalang untuk secara
teratur melibatkan puskesmas kelurahan untuk bersama-sama menyusun
perencanaan managemen keuangan atau pengelolaan dana kapitasi tersebut,
sehingga komunikasi yang baik diharapkan akan semakin mempererat hubungan
161
Universitas Indonesia
puskesmas kecamatan dan kelurahan untuk kepentingan yang lebih besar yaitu
perbaikan mutu pelayanan puskesmas secara keseluruhan.
Untuk mekanisme monitoring dan evaluasi pemanfaatan dana kapitasi,
birokrasi pertanggung jawaban adalah ke bidang Perencanaan dan Pembiayaan
Dinas Kesehatan Provinsi DKI hanya berbentuk gelondongan dan tidak secara rinci
dan dilanjutkan ke Badan Pengelolaan Keuangan Daerah, mekanisme
pertanggungjawaban BLUD akan lebih fleksibel tergantung kondisi masing-masing
Puskesmas, belum adanya monitoring dan evaluasi yang lebih rinci peran dari
Sudinkes, dan dari BPJS tidak ada sama sekali, karena BPJS hanya menjalankan
peran memberikan kucuran dana kapitasi ke Puskesmas, dan mekanisme
pemanfaatan dan pertanggungjawaban sudah tidak ada peran di dalamnya.
Lemahnya monitoring dan evaluasi ini juga bisa dikarenakan tidak adanya insentif
tambahan yang diperoleh Dinas Kesehatan Provinsi terkait pelaksanaan hal
tersebut, sehingga mereka beranggapan, buat apa ikut campur tangan dengan
keuangan rumah tangga tempat lain. Lain halnya jika mereka terlibat dan adanya
reward insentif maka bisa dimungkinkan upaya monev juga bisa lebih berjalan.
Edward menyatakan untuk menghindari sikap yang tidak mendukung
kebijakan, dapat diantisipasi sejak pengangkatan dan pemilihan personel pelaksana
kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah
ditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan warga masyarakat. Insentif
merupakan salah-satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah sikap para
pelaksana kebijakan dengan memanipulasi insentif.
Pada dasarnya orang bergerak berdasarkan kepentingan dirinya sendiri,
maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan
para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu
mungkin akan menjadi faktor pendorong yang membuat para pelaksana
menjalankan perintah dengan baik. Berdasarkan variabel disposisi. dapat
disimpulkan bahwa sebagian besar sikap pelaksana terhadap implementasi KBK
sudah cukup baik, yaitu menerima dan tangguh dalam pencapaian indikator KBK,
karena imbalan kapitasi akan bisa diterima utuh tanpa pemotongan jika semua
indikator tercapai, dan komponen penerimaan kapitasi adalah merupakan sangat
penting untuk keberlangsungan puskesmas. Sehingga upaya ini mengindikasikan
162
Universitas Indonesia
adanya beberapa fraud di beberapa tempat, atau celah-celah yang bisa dilakukan
fraud, fraud terjadi bukan karena ada niatan yang terstruktur tapi karena adanya
kesempatan, maka sebagai upaya keterbukaan harusnya celah untuk melakukan
fraud itu diperkecil atau ditutup.
Penerimaan TKD sudah cukup besar di wilayah DKI Jakarta dan berasal
dari APBD, sehingga jasa pelayanan ini dimaksudkan untuk TKD tenaga honorer,
namun sifat manusia tidak pernah puas sehingga berusaha untuk membuka jalur
sehingga dana kapitasi bisa dialirkan kepada kesejahteraan karyawan dengan
membuka jalur lain. Namun hal ini bisa aja memancing sikap acuh tak acuh
terhadap kebijakan sehingga berdampak pada beberapa puskesmas yang rujukan
aps nya masih tinggi, dan dengan mudah memberikan rujukan untuk mengurangi
konflik dengan pasien, karena tuntutan dari atas agar RNS kecil maka dengan
menambahkan TACC yang tidak sesuai kondisi pasien sehingga tidak
dikategorikan sebagai RNS, sehingga selain konflik terminimalisir, RNS pun tetap
dalam posisi aman.
Hal ini sejalan dengan teori Edward yang menyatakan bahwa disposisi yang
baik terhadap kebijakan maka berarti ada dukungan dan kemungkinan besar
pelaksana akan menjalankan kebijakan sebagaimana yang diharapkan oleh penentu
kebijakan (Rusli, 2015). Munculnya diposisi yang acuh tidak acuh diantara
pelaksana kebijakan dapat juga disebabkan proses komunikasi yang belum efektif
serta keterbatasan sumber daya yang mendukung implementasi kebijakan tersebut.
Seperti terjadi sikap acuh tak acuh dari SDM di Puskesmas tingkat kelurahan,
karena sebesar apapun upaya yang mereka lakukan, maka tidak ada reward dan
penerimaan dan pemanfaatan kapitasi harus melalui birokrasi di Puskesmas. Maka
untuk tetap menjaga keeratan dan kepercayaan puskesmas kelurahan komunikasi
juga harus intensif dan baik sehingga semangat dan upaya perbaikan mutu
pelayanan bisa ditingkatkan.
Dan untuk pelaksanan luar gedung perlu diberikan tambahan insentif,
seperti pada tenaga KPLDH yang melakukan pendataan home visit, kegiatan luar
gedung merupakan hal yang cukup berat, sehingga masih adanya beberapa tenaga
kontrak yang mengundurkan diri dari tim KPLDH karena passion mereka mungkin
untuk bekerja di dalam gedung, hal ini bisa ditanggulangi dengan pemberian
163
Universitas Indonesia
insentif yang bisa diambilkan dari dana kapitasi, karena upaya yang mereka lakukan
pun berimpak terhadap tidak dipotongnya atau tetap utuhnya kapitasi yang diterima
puskesmas, sehingga diharapkan usaha mereka semakin giat dan mengurangi upaya
mereka drop out dari kontrak sebagai tim KPLDH, mengurangi perubahan sikap
menjadi negatif berupa mengacuhkan, menunda pekerjaan atau menolak kebijakan
tidak muncul dan menghambat pencapaian tujuan kebijakan KBK serta perbaikan
aspek komunikasi dan pemenuhan sumber daya.
Sumber Daya
Dalam implementasi kebijakan harus ditunjang oleh sumberdaya baik
sumberdaya manusia, materi dan dana. Sasaran, tujuan dan isi kebijakan walaupun
sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor
kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan
efektif dan efisien. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi
dokumen saja tidak diwujudkan untuk memberikan pemecahan masalah yang ada
di masyarakat dan upaya memberikan pelayan pada masyarakat. Sumberdaya yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan yang dimiliki oleh suatu objek
yang dapat digunakan untuk merealisasikan suatu maksud. Widodo (2017:98)
mengatakan bahwa dalam proses pelaksanaan kebijakan diperlukan sumberdaya
yang merupakan faktor pendukung tercapainya tujuan kebijakan (Widodo, 2017).
Edward III (1980:1) mengemukakan bahwa sumberdaya tersebut dapat diukur dari
aspek kecukupannya yang didalamnya tersirat kesesuaian dan kejelasan;
“Insufficient resources will mean that laws will not be enforced, services will not
be provided and reasonable regulation will not be developed” (Edward III, 1980)
SDM
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan asset berharga dan menjadi
faktor utama dalam menentukan suatu keberhasilan sebuah negara ataupun
organisasi (UNDP, 2010). Implementasi kebijakan tidak akan berhasil tanpa adanya
dukungan dari sumber daya manusia yang cukup kualitas dan kuantitasnya.
Kualitas sumber daya manusia berkaitan dengan keterampilan, dedikasi,
profesionalitas, dan kompetensi di bidangnya, sedangkan kuantitas berkaitan
164
Universitas Indonesia
dengan jumlah sumber daya manusia apakah sudah cukup untuk melingkupi
seluruh kelompok sasaran.
Adapun sesuai hasil dari analisis data kuantitatif, variable eksogen sumber
daya dijelaskan secara baik oleh variable kecukupan dokter, perawat, tenaga
kefarmasian, dan bidan. Dalam pemodelan terbukti mempunyai hubungan dengan
capaian indikator komitmen pelayanan puskesmas di wilayah DKI Jakarta, dan
mempunyai loading score positif berturut-turut sebagai berikut, kecukupan dokter
(0.848), perawat (0.830), tenaga kefarmasian (0.627), dan bidan (0.493). Nilai
koefisien estimate antar variable 0.330 dan secara statistik signifikan dengan p value
sangat kuat 0.0005 (< 0.05). Bahwasaannya semakin cukup secara kuantitas, maka
secara signifikan akan mempengaruhi capaian indikator komitmen pelayanan
Hal ini bisa dijelaskan dengan dokter yang cukup pelayanan di dalam
gedung akan mengurangi penumpukan yang terjadi, dan attachment dengan pasien
akan lebih terjaga, demikian dengan kecukupan jumlah perawat, tenaga
kefarmasian, dan bidan. Dengan kecukupan tenaga kefarmaisan maka bisa
dipastikan pelayanan farmasi bisa dijaga, sehingga akan lebih bisa mengcounter
kebutuhan akan tuntutan semakin kompleksnya permasalahan pelayanan
kefarmasian di era JKN ini, dimana puskesmas dituntut untuk bisa melayani pasien
prolanis yang pada era sekarang sudah harus bisa dilakukan tata laksana di
puskesmas, kebutuhan pasien rujuk balik, jadi dengan tenaga farmasi yang cukup
diharapkan selain pencapaian indikator dari segi kuantitas, kualitas pelayanan akan
tetap terjaga, dengan adanya konseling terkait pemakaian obat yang benar, yang
akan memberikan sumbangsih terhadap semakin maraknya resistensi obat.
Tenaga yang cukup dari sisi kuantitas juga bisa berhubungan dengan
keberlangsungan klub prolanis yang mulai digalakkan di puskesmas, sementara ini
masih banyak puskesmas yang belum menyelenggarakan klub prolanis dengan
alasan karena masih kurangnya SDM yang bisa melakukannya. Kuantitas tenaga
ini juga sangat diperlukan di daerah-daerah yang memiliki kepesertaan yang sangat
besar, bisa dibayangkan peserta yang besar di suatu wilayah tidak sebanding dengan
tenaga kesehatan yang ada, maka akan terjadi overload beban kerja, berkurangnya
kualitas pelayanan, jika sosialisasi terkait redistribusi belum bisa diterima, maka
mau tidak mau ada solusi untuk memperhatikan kecukupan tenaga kesehatan. Jika
165
Universitas Indonesia
mengacu pada teori Edward III dalam (Winarno, 2012) dijelaskan bahwa sumber
yang paling utama dalam pelaksanaan kebijakan yaitu pelaksana kebijakan/staf.
Kegagalan dari pelaksanaan kebijakan dapat terjadi apabila staf/pegawai yang
berperan sebagai pelaksana kebijakan tidak berkompeten menguasai bidangnya.
Namun bukan hanya dari segi kuantitas, peningkatan kualitas juga perlu
ditingkatkan terkait kompetensi tenaga kesehatan, sehingga kontak yang dilakukan
berkualitas, rujukan juga semakin sesuai, dimana 144 diagnosis wajib bisa
diselesaikan di puskesmas sebagai gatekeeper, dan memperkecil adanya persepsi
yang berbeda antara dokter di FKTP dan di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat
Lanjut (FKRTL), sehingga capaian RNS tidak sebanding dengan KNS di Rumah
Sakit. perlu adanya upaya knowledge sharing dari dokter RS kepada dokter di
Puskesmas. Karena menurut Edward, penambahan jumlah staf atau pelaksana
kebijakan tidak cukup, namun juga dibutuhkan keahlian dan kompetensi. Karena
SDM yang banyak tidak secara otomatis mendorong implementasi yang berhasil.
Begitupun sebaliknya bahwa jumlah staf yang sedikit apabila tidak memiliki
keterampilan-keterampilan tertentu, juga tidak mungkin juga akan berdampak pada
keefektifan implementasi. Kemampuan staf memegang peranan penting untuk
melaksanakan perintah-perintah atau kebijakan, termasuk kemampuan menyeleksi
informasi pelaksanaan yang tepat. Selain kuantitas juga diperlukan kuantitas,
tergambar dari peer review diagnosis yang harus selesai di FKTP, dari tahun 2016
sebesar 131 diagnosis, menjadi 128 diagnosis pada tahun 2017 dari target 144 total
diagnosis, sehingga mau tidak mau sisa diagnosis yang tidak termasuk dalam peer
review sah dan legal untuk dilakukan rujukan.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, SDM secara kuantitas sudah cukup
memenuhi namun belum cukup merata di seluruh Puskesmas antara lain sebaran
tenaga bidan dengan nilai minimum sebesar 2.30% dan maksimum 182.29%,
dengan standar deviasi 29.47% sehingga perlu upaya pemetaan secara menyeluruh
di seluruh wilayah puskesmas, namun secara kualitas masih dibutuhkan upaya
peningkatan, kekurangmerataan ini dapat dilihat adanya puskesmas. standar
kecukupan juga hendaknya memperhatikan jumlah kepesertaan di masing-masing
puskesmas yang bervariasi, jika rasio per jumlah penduduk belum bisa di
realisasikan. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu (Sumantri, 2001) disebutkan
166
Universitas Indonesia
bahwa minimnya SDM baik kualitas maupun kuantitas, merupakan faktor
penghambat utama dalam implementasi kebijakan. Dalam proses pemenuhan SDM
tersebut, perlu dipertimbangkan metode lain dalam pelayanan kesehatan agar dapat
mensiasati kurang meratanya SDM di wilayah puskesmas, salah satunya dengan
upaya redistribusi, akan tetapi hal ini mengalami beberapa kendala seperti peserta
PBI yang tidak bisa di distribusikan ke faskes swasta karena secara nyata peserta
PBI adalah telah mendapat pembiayaan dari Pemerintah Daerah maka sudah
seyogianya kapitasi yang dihasilkan juga dimanfaatkan oleh fasilitas kesehatan
yang dikelola oleh pemerintah daerah. Dilain hal bahwa kualitas fasilitas pelayanan
kesehatan swasta yang masih harus ditingkatkan kualitasnya.
Ketidakmerataan jumlah SDM ini juga terkendala karena moratorium, dan
perubahan kebijakan yang sebelumnya pengadaan tenaga bisa diselenggarakan oleh
Puskesmas seperti sebelumnya, untuk saat ini harus melalui pengadaan di Dinas
Kesehatan Provinsi, bukan karena adanya kendala keuangan karena dana yang ada
di Puskesmas cukup, hanya saja mekanisme berubah sehingga harus melalui
prosedur dari Dinas Kesehatan Provinsi DKI. Hal lain yang merupakan indiksi
ketidakmerataan tenaga adalah karena kurangnya komitmen dari tenaga kesehatan
yang direkruit ada beberapa permasalahan terkait telah direkruit tenaga, namun
karena beberapa hal tenaga tersebut keluar, baik karena alasan tidak cocok atau
tidak sesuai passion karena secara realita pekerjaan luar gedung cukup berat, karena
status kontrak, dana tau karena beralasan akan melanjutkan sekolah kembali maka
keluar, sehingga upaya pemerataan SDM juga terkendala.
Kepala Puskesmas
A Jenis Kelamin
Dari aspek jender terlihat bahwa kepala puskesmas di DKI Jakarta
didominasi oleh wanita (81.5%). Dari uji statistik tidak ada hubungan antara
capaian indikator komitmen pelayanan puskesmas yang dikepalai oleh wanita atau
puskesmas yang dikepalai oleh laki-laki dengan capaian indikator komitmen
pelayanan dg loading score -0.114 (<0.4), sehingga dikeluarkan dari pemodelan.
167
Universitas Indonesia
B Lama Bertugas
Hasil penelitian menunukkan ada 147 (43.2%) kepala puskesmas yang telah
menjabat menjadi kepala puskesmas sebelum pelaksanaan kapitasi berbasis
komitmen pelayanan (diterapkan sejak Juni 2016), dan 193 (56.8%) setelah
pelaksanaan KBK. Walaupun ada kemungkinan kepala puskesmas yang telah
menjabat sebelum pelaksanaan KBK ini lebih terpapar dengan konsep
dibandingkan yang mereka menjabat setelah KBK berjalan, ternyata tidak tampak
adanya hubungan antara lama bertugas dengan capaian indikator komitmen
pelayanan dengan loading score -0.212 (<0.4), sehingga dikeluarkan dari
pemodelan.
Peserta
Adapun sesuai hasil dari analisis data kuantitatif, variable eksogen peserta
dijelaskan secara baik oleh berturut-turut oleh variable jumlah peserta JKN (loading
score 0.892), jumlah balita (0-4th) dengan loading score 0.889, dan jumlah usila
(>70th) dengan loading score 0.822. Dalam pemodelan terbukti mempunyai
hubungan dengan capaian indikator komitmen pelayanan puskesmas di wilayah
DKI Jakarta. Nilai koefisien estimate antar variable -0.059 ini berarti bisa
dijelaskan, semakin tinggi nilai kepesertaan puskesmas, akan memiliki
kecenderungan penurunan capaian indikator komitmen pelayanan. Namun secara
statistik tidak signifikan dengan p value 0.683 (>0.05).
A Jumlah Peserta
Jumlah peserta JKN terdaftar di puskesmas wilayah DKI per Desember
2017 adalah 7,007,444 jiwa dimana 4,740,412 jiwa (67.6%) terdaftar di puskesmas
kecamatan, dan 2,267,032 jiwa terdaftar di puskesmas kelurahan. Per Desember
2017, 84% penduduk Jakarta telah menjadi peserta JKN.
Adanya gab yang cukup besar dimana minimal peserta adalah 1,024 jiwa,
dan maksimum sebesar 157,214 jiwa dengan standar deviasi 21,250 jiwa. Dan lebih
banyak terakumulasi di puskesmas kecamatan, terlihat rata-rata peserta di
puskesmas kecamatan sebesar 51,523 jiwa peserta paling sedikit berjumlah 4,904
jiwa, dan peserta terbanyak berjumlah 157,214 jiwa, sedangkan puskesmas
kelurahan rata-rata mempunyai peserta terdaftar sebanyak 17,427 jiwa dengan
168
Universitas Indonesia
peserta paling sedikit 1,024 jiwa, dan terbanyak 87,470 jiwa dengan standar deviasi
12,924 jiwa.
Menurut pedoman kerja puskesmas (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2016) penduduk uang dilayani oleh puskesmas rata-rata 30.000
penduduk setiap puskesmas, dan rata-rata pesrta di pusksmas kecamatan adalah
sebesar 51,523 jiwa, sehingga melebihi sasaran pelayanan puskesmas. Dapat
dibayangkan bahwa puskesmas itu kelebihan beban kerja (overloaded).
Dikhawatirkan keadaan ini akan mempengaruhi kualitas pelayanan kepada peserta.
Dari hasil uji statistik bisa menjelaskan semakin banyak peserta maka
disinyalir denominator sebagai pembagi dari capaian angka kontak adalah semakin
besar dan akan lebih sulit untuk mencapai indikator tersebut, diperlukan jumlah
yang besar untuk bisa meraih target angka kontak ≥1500/00. Yang mengandung
konsekuensi harus adanya sumberdaya lebih besar untuk bisa mencapainya bukan
hanya sekedar kuantitas tapi juga memperhatikan sisi kualitas mutu pelayanan.
Tujuan dilaksanaknnya KBK ini salah satunya adalah mengubah
pendekatan pelayanan dokter di puskesmas dari orientasi kuratif kepada orientasi
preventive dan promotive. Pendekatan ini membutuhkan waktu, perhatian, dan
konsentrasi dokter yang lebih kepada pasiennya. Hal ini akan sulit dilaksanakan
dengan kondisi puskesmas overloaded. Puskesmas demikian kurang ideal menjadi
provider asuransi kesehatan dengan sistem pembayaran kapitasi. Ditambah dengan
peserta yang overloaded, maka denominator atas capaian angka kontak, menjadi
semakin besar sehingga akan lebih susah untuk upaya mencapai angka kontak
(≥150 0/00).
Jika dikaji lebih lanjut Jakarta Barat adalah termasuk kategori
terakumulasinya puskesmas yang pencapaian 3 indikator paling besar yakni
sebanyak 90.4%, dengan mengesampingkan adanya fraud, usaha yang dilakukan
puskesmaa di wilayah Jakarta Barat adalah lebih berat dibanding di daerah lain
mengingat Jakarta Barat adalah wilayah yang paling besar penduduknya kedua
setelah Jakarta Timur yakni sebesar 2.496.002 jiwa, dan kepadatan penduduk paaling
besar pertama yaitu sebesar 19,268.20 km2., dibanding rata-rata kepadatan penduduk
wilayah DKI Jakarta 13,925 km2.. Potensi tersebut bisa menjadi hal yang positif
sekaligus bisa menjadi boomerang tanpa pengelolaan yang baik. Jumlah peserta yang
169
Universitas Indonesia
banyak seperti puskesmas di wilayah Jakarta Barat, salah satunya adalah Puskesmas
Cengkareng yang memiliki kepesertaan terbesar ini mempunyai sisi positif untuk
pengembangan puskesmas sebagai provider asuransi kesehatan dengan metode
pembayaran kapitasi, dimana dengan jumlah yang banyak akan didapatkan kapitasi
yang cukup besar, yang memungkinkan manajemen puskesmas akan dengan leluasa
untuk menjalankan program-program pelayanan yang bersifat promotive preventif.
B Proporsi Peserta Risti
Proporsi peserta risti yang dimaksud disini adalah komposisi umur peserta
yang terdaftar di puskesmas. Hasil penelitian terkait profil resiko peserta di wilayah
DKI Jakarta menunjukkan bahwa dari komposisi umur peserta terlihat bahwa
kelompok yang beresiko tinggi (0-5 tahun dan diatas 60 tahun) ada dengan nilai
minimum 7.30% sampai paling besar adalah 30.83%, dengan rata-rata 16.72% dan
standar deviasi 17.45%.
Porsi peserta beresiko adalah tinggi dalam pemanfaatan pelayanan
kesehatan peserta adalah 9.53% usia 0-5 tahun dan 5.76% usia diatas 55 tahun
(Thabrani, 1999). Adapun dalam penelitian ini didapatkan 7.30% usia 0-5 tahun
(mendekati tinggi) dan 8.37% usia diatas 60 tahun (melebihi tinggi).
Dari hasil uji statistik bisa menjelaskan semakin banyak usila (>70th) maka
disinyalir denominator sebagai pembagi dari capaian indikator rasio prolanis adalah
semakin besar dan akan lebih sulit untuk mencapai indikator tersebut. Dan bisa
dijelaskan pula semakin banyak balita 0-5th, dan usila >70 tahun, maka akan
semakin tinggi rujukan, karena semakin banyak yang memiliki resiko terhadap
masalah kesehatan.
Informasi terkait komposisi umur ini punya peranan penting untuk
menghitung resiko biaya pelayanan atau sebagai dasar penghitungan premi dalam
asuransi kesehatan. Dalam perhitungan premi asuransi hal ini dikenal dengan proses
underwriting yang berarti seleksi resiko dimana salah satu yang berpengaruh adalah
umur, selain jenis kelamin, kebiasaan atau gaya hidup dan keadaan penyakit
seseorang sebelum mengikuti asuransi.
170
Universitas Indonesia
C Rasio Dokter dibanding Peserta
Dilihat dari rasio dokter peserta 99 (29.1%) puskesmas mempunyai rasio
dokter dibanding peserta kurang dari sama dengan 1:5000, dan 241 (70.9%)
Puskesmas mempunyai rasio dokter peserta lebih dari 1:5000
Rasio dokter dibanding peserta di Puskesmas berkisar antara 288 jiwa
sampai 79.060 jiwa. Rata-rata puskesmas mempunyai rasio dokter : peserta sebesar
9694 jiwa, dengan standar deviasi 9621 jiwa. Sehingga jika dibandingkan dengan
standar, masih lebih banyak yang berada diluar kriteria, dan jika dilihat dari sebaran
adanya kurang merata peserta JKN, ada yang memiliki peserta sangat sedikit, ada
yang sangat besar sehingga perlu adanya upaya redistribusi peserta JKN.
Fasilitas
A Sarana, Prasarana, dan Alat Kesehatan
Menurut Edward dalam (Widodo, 2017), fasilitas merupakan sarana untuk
mempermudah pelaksanaan suatu kebijakan. Pelaksana kebijakan mungkin
mempunyai staf dengan jumlah yang cukup serta berkompeten, tetapi tanpa adanya
fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut
tidak akan berhasil. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa rasio
puskesmas dibanding penduduk adalah 1:27,126 sudah ideal menurut standar
idealnya 1:30.000 penduduk, klub prolanis masih 63.2%. Jika hanya mengandalkan
fasilitas milik Pemerintah maka akan sulit merata, maka dari itu perlu melakukan
pemberdayaan FKTP swasta untuk bersama berpartisipasi termasuk dalam
pelaksanaan klub prolanis, sementara ini belum ada klub prolanis yang
diselenggarakan oleh klinik atau FKTP swasta, kedepannya per Juli 2018 akan
dilakukan konsekuensi pelaksanaan KBK yang menuntut Klinik swasta juga
menyelenggarakan klub prolanis untuk optimalisasi pencapaian indikator KBK,
sehingga keterjangkauan masyarakat akan semakin semakin mudah.
Fasilitas atau sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Pengadaan fasilitas yang layak, seperti
gedung, tanah dan peralatan perkantoran akan menunjang dalam keberhasilan
implementasi suatu kebijakan. Aspek sumber daya fasilitas pada penelitian ini
171
Universitas Indonesia
meliputi fasilitas kesehatan. Informan Dinas Kesehatan menunjukkan bahwa sarana
kesehatan di meliputi sarana puskesmas, rumah sakit, klinik dan beberapa sarana
pelayanan kesehatan lainnya merupakan salah satu elemen penting untuk
mendukung implementasi KBK, namun dalam pelaksanaannya, masih ada
beberapa puskesmas kelurahan yang status gedung masih mengontrak.
Pemberdayaan masyarakat dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang
tercantum dalam peraturan Presiden nomor 72 tahun 2012 tentang SKN
menyatakan bahwa definisi pemberdayaan masyarakat adalah tatanan yang
menghimpun berbagai upaya perorangan, kelompok dan masyarakat umum di
bidang kesehatan secara terpadu guna menjamin tercapainya derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya (SKN, 2012a). Menurut WHO, pemberdayaan masyarakat di
bidang kesehatan didefiniiskan sebagai upaya fasilitasi non instruktif guna
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat untuk secara mandiri
dapat mengidentifikasi masalah, merencanakan dan mengambil keputusan untuk
melakukan pemecahan masalah secara benar dengan memanfaatkan dan
memobilisasi sumber daya, potensi dan sarana yang ada, tanpa atau dengan bantuan
pihak lain (WHO., 2008). Berdasarkan pengertian pemberdayaan masyarakat, maka
untuk pelaksanaan KBK perlu menggiatkan peran masyarakat agar timbul
kesadaran dari diri masyarakat untuk melakukan kunjungan sehat, sehingga datang
ke Puskesmas hanya jika sakit, atau dengan sengaja mendatangi klub prolanis untuk
senantiasa mengupgrade pengetahuan terkait pola hidup sehat.
Begitupula dengan sarana, prasarana, dan alat kesehatan, pemeriksaan
laboratorium di beberapa Puskesmas Kelurahan, belum selengkap di Puskesmas
Kecamatan sehingga perlu bersama-sama saling berkoordinasi merencanakan
kelengkapan kit-kit alat kesehatan, sehingga Pusekesmas kelurahan tidak perlu lagi
melakukan rujukan ke puskesmas kecamatan, karena sudah tersedia, dengan
demikian keterjangkauan akses, efisiensi bisa dilakukan.
Hasil penelitian sejalan dengan teoi Edward yang menyatakan bahwa
keterbatasan fasilitas menyebabkan implementasi tidak efisien serta tidak
mendorong motivasi pelaksana dalam melakukan kegiatan pelayanan kesehatan
Hal ini sebagaimana infromasi dari Puskesmas Kelurahan, bahwa kurangnya sarana
172
Universitas Indonesia
dan prasarana di puskesmas kelurahan, sehingga mereka harus merujuk ke
puskesmas kecamatan dan termasuk rujukan internal.
Terkait ketersediaan laboratorium, masih kurang untuk ketersediaan di
Puskesmas Kelurahan, akan tetapi hal tersebut tidak akan mempetinggi rujukan,
karena pasien akan dirujuk di Puskesmas Kecamatan, dan hal itu hanya akan
dihitung sebagai rujukan internal. Kurangnya kelengkapan pemeriksaan
laboratorium, dan obat-obatan prolanis juga menyebabkan pelaksanaan program
prolanis dan rujuk balik kurang efektif, karena pasien prolanis dan rujuk balik yang
datang dan sudah meluangkan waktu hadir untuk pelayanan dan pengambilan obat
tidak mendapatkan pelayanan yang diharapkan. Maka dari itu, jika kekurangan
fasilitas dapat terpenuhi atau dengan melakukan metode inovatif dalam rangka
menyiasati keterbatasan fasilitas maka diharapkan akan mendukung implementasi
KBK seutuhnya.
B Obat
Terkait operasional puskesmas tidak lepas dari sumber daya obat-obatan
yang harus dipenuhi sehubungan dengan pelayanan di Puskesmas, adapun terkait
obat-obatan essensial hampir 90% puskesmas telah memenuhi, dan tidak ada
kendala. Di era JKN dengan adanya pembayaran kapitasi dirasa lebih
menguntungkan, dan operasional kecukupan obat-obatan relative lebih stabil
dibanding era sebelum JKN
Dan untuk kecukupan obat-obatan di puskesmas kelurahan, masih kurang
dibanding di kecamatan meskipun puskesmas kelurahan seharusnya sudah harus
utuh menjadi utuh sebuah Puskesmas sesuai nomenklatur registrasi yang ada di
Pusdatin Kemenkes
Untuk mekanisme pengadaan obat-obatan adalah di level kecamatan, belum
dilakukan di masing-masing puskesmas kelurahan
Untuk pemberian obat prolanis ada kendala di beberapa puskesmas belum
diberikan secara penuh, seperti halnya pasien mendapatkan di Rumah Sakit,
sehingga pasien harus beberapa kali datang ke Puskesmas untuk mendapatkan obat
tersebut.
Ternyata mekanisme ini adalah kebijakan masing-masing Puskesmas untuk
beberapa alasan kontroling dan evaluasi, dan pemerataan untuk peserta lain yang
173
Universitas Indonesia
membutuhkan obat tersebut, dan ketersediaan jika ada kendala kekosongan obat
dsb, sehingga perlu adanya sosialisasi yang lebih agar tidak terjadi kesalahpahaman
antara puskesmas dengan peserta JKN.
Dan sebagai mekanisme monitoring dan evaluasi dari dinas kesehatan
provinsi menerima laporan rutin dari Sudinkes yang bersumber daari laporan
Puskesmas di wilayah DKI Jakarta.
Untuk mekanisme rujuk-rujuk balik pasien di puskesmas, beberapa puskesmas
telah menjalankan untuk menyiasati ketidakadaan obat-abatan, pasien bisa dirujuk
ke apotik yang merupakan jejaring BPJS untuk bisa mendapatkan obat-obatan.
Dana
Dalam implementasi kebijakan, anggaran berkaitan dengan kecukupan
modal atau investasi atas suatu program atau kebijakan untuk menjamin
terlaksananya kebijakan, sebab tanpa dukungan anggaran yang memadahi,
kebijakan tidak akan berjalan dengan efektif dalam mencapai tujuan dan sasaran
(Widodo, 2017). Terbatasnya anggaran maka akan berdampak pada kualitas
pelayanan publik yang diberikan pada masyarakat, rencana kegiatan tidak dapat
dilaksanakan serta disposisi pelaksana menjadi rendah. Aspek sumber daya dana
pada penelitian ini meliputi bagaimana ketersediaan dana yang dibutuhkan untuk
menjamin pencapaian indikator komitmen pelayanan, dan dana untuk operasional
puskesmas.
Adapun dana kapitasi yang turun, adalah langsung masuk di kas penerimaan
BLUD. Pemanfaatan dana kapitasi terbagi atas pemanfaatan untuk jasa pelayanan
dan operasional puskesmas, adapun terkait operasional puskesmas selain dari dana
kapitasi di DKI Jakarta meski sudah menggunakan mekanisme BLUD belum
sepenuhnya di akomodir oleh dana BLUD, tetapi juga masih mendapat subsidi dari
dana APBD selain dari 2 dana tersebut diatas pemasukan puskesmas untuk
operasional juga didapatkan dari retribusi peserta non JKN yang senilai Rp. 2000,-
ditambah jika ada tindakan maka akan dikenakan biaya tambahan. Untuk beberapa
kasus jika retribusi untuk pelayanan peserta tidak memenuhi maka akan dilakukan
subsidi dari dana APBD juga.
174
Universitas Indonesia
Dalam kondisi saat ini dinilai dana kapitasi sekitar 1M di puskesmas
kecamatan masih belum bisa mengakomodir operasional Puskesmas sehingga
masih harus mendapatkan subsidi dari dana APBD.
Untuk operasional puskesmas cukup mudah tidak memandang apakah
termasuk warga kategori mampu atau tidak, sepanjang mau dilayani di kelas 3, bisa
didaftarkan sebagai peserta PBI dan mendapatkan pelayanan gratis dengan hanya
menunjukkan KTP dan NIK sudah bisa dilayani di puskesmas. Jadi sejauh ini dana
APBD cukup besar terserap untuk subsidi pasien PBI, karena triase terkait kategori
mampu atau tidak belum diterapkan, kemudahan itu salah satunya untuk visi
mewujudkan Universal Coverage tahun 2019 sesuai arahan dari Gubernur.
Adapun pemakaian dana kapitasi untuk operasional adalah pembelanjaan
yang tidak termsuk dalam subsidi, misalnya untuk operasional yang bersifat
emergency yang tidak bisa dicover oleh APBD, jadi rekening BLUD ini diibaratkan
rekening “keranjang sampah”. Sehingga dana kapitasi di BLUD ini adalah lebih
bisa fleksibel penggunaannya di Puskesmas.
Kapitasi masuk kategori penerimaan pendapatan pasien umum 01, masuk
bersama-sama dengan rekening retribusi, dan penggunaan utama adalah untuk
honor dan tunjangan bagi non PNS, sementara PNS sudah mendapatkan dari APBD
provinsi, dan sisanya digunakan untuk operasional puskesmas yang tidak
diakomodir dalam subsidi. Adapun terkait operasional KPLDH, kebijakan di DKI
Jakarta menggunakan pendanaan dari APBD.
Pemanfaatan dana kapitasi di beberapa puskesmas berbeda-beda tergantung
besaran kapitasi yang didapatkan, apabila telah mampu untuk melakukan
pembiayaan operasional puskesmas secara mandiri, maka subsidi dari APBD mulai
di kurangi. Alokasi anggaran kesehatan di tingkat Dinas Kesehatan, berdasarkan
informasi dari informan Dinas Kesehatan didapatkan bahwa dana APBD untuk
kesehatan sudah semakin dikurangi dengan adanya kapitasi, indikasi dana BLUD
mampu untuk mendanai operasional puskesmas. Diperkirakan pada kondisi UHC,
dana BLUD akan mampu secara swadana membiayai operasional puskesmas. Jika
di daerah lain terkendala pemanfaatan dana kapitasi, pada puskesmas dengan
BLUD dana kapitasi lebih efektif pengelolaannya, hampir 85% bisa terkelola untuk
jaspel dan operasional puskesmas, dan untuk sisa cadangan untuk kapitasi sengaja
175
Universitas Indonesia
disimpan karena tidak habis tahun berjalan, sebagai asset puskesmas untuk
kepentingan yang mendadak yang tidak bisa dipertanggungjawabkan jika memakai
dana APBD.
Kemandirian puskesmas BLUD dalam operasional pembiayaan sehingga
bisa mengurangi alokasi APBD, ini bisa menjadi hal positif sehingga APBD bisa
disalurkan untuk hal positif lain seperti untuk upaya pembiayaan SPM yang sedang
digalakkan untuk bisa dicapai sebagai kinerja daerah. Dengan demikian alokasi
APBD bisa dimanfaatkan sebagaii pemenuhan fasilitas, SDM dan penyediaan dana
operasional untuk mendukung implementasi SPM secara efektif dan efisien.
Struktur Birokrasi
Implementasi kebijakan belum berjalan efektif karena ketidak efisien
struktur birokrasi. Struktur birokrasi mencakup aspek-aspek seperti struktur
organisasi, pembagian kewenangan, hubungan antar unit organisasi yang
bersangkutan, dan hubungan organisasi dengan organisasi luar dan sebagainya.
Oleh karena itu, struktur birokrasi mencakup dimensi fragmentasi dan SOP yang
akan memudahkan dan menyeragamkan tindakan dari pada pelaksana kebijakan
dalam melaksanakan apa yang menjadi bidang tugasnya (Widodo, 2017).
Tantangannya adalah bagaimana agar tidak terjadi keterlambatan dan kesalahan
birokrasi dalam melakukan kebijakan, karena sesuai dengan teori Edwards
(Widodo, 2017:106), “implementasi kebijakan bisa jadi masih belum efektif karena
ketidak efisien struktur birokrasi (deficiencies in bureaucratic structure)” (Widodo,
2017)
SOP
Menurut Edward, setiap melaksanakan kebijakan perlu ditetapkan SOP
sebagai pedoman, petunjuk dan tuntunan, referensi bagi para pelaku kebijakan agar
mereka mengetahui apa yang harus disiapkan dan dilakukan, siapa sasaran
kebijakan, serta hasil apa yang ingin dicapai dari kebijakan tersebut (Widodo,
2017). Menurut Atmoko, definisi SOP merupakan suatu pedoman atau acuan untuk
melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat penilaian kinerja
instansi pemerintah berdasarkan indikator-indikator teknis, administratif dan
176
Universitas Indonesia
prosedural sesuai tata kerja, prosedur kerja dan sistem kerja pada unit kerja yang
bersangkutan (Atmoko, 2011). Sedangkan berdasarkan Jones (2001:49) dalam
buku Organizational Theory, dinyatakan bahwa istilah SOP merupakan bagian dari
peraturan tertulis yang membantu untuk mengontrol perilaku anggota organisasi.
SOP mengatur cara pekerja untuk melakukan peran keorganisasiannya secara terus
menerus dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab organisasi (Jones, 2007).
Oleh karena itu, dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat mengoptimalkan
waktu yang tersedia dan dapat berfungsi untuk menyeragamkan tindakan-tindakan
pelaksana. SOP juga bersifat eksternal, karena dapat digunakan sebagai instrumen
untuk penilaian kinerja organisasi publik di masyarakat, berupa responsivitas,
responsibilitas, dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (Atmoko, 2011).
Aspek SOP pada penelitian ini melingkupi bagaimana prosedur pelaksanaan
sudahkah tertuang dalam petunjuk teknis dan Standard Operating Procedures
(SOP), baik di tingkat pelaksana kebijakan di Dinas Kesehatan dan di Puskesmas.
Berdasarkan pengambilan data melalui WM menunjukkan bahwa belum ada juknis
dan SOP terkait capaian indikator, menurut informan perber 2017 sudah cukup
jelas. Dan terkait pencapaian indikator BPJS hanya menerima self assessement,
entry p-care yang ada di Puskesmas tanpa ada validasi khusus terkait indikator
capaian baik oleh Puskesmas, BPJS, Sudinkes, dan Dinkes Provinsi DKI.
Terkait prosedur pemanfaatan dana kapitasi belum ada juknis khusus,
informan mengatakan sudah cukup apa yang tertera di Peraturan Gubernur No. 165
tahun 2012 tentang Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah,
karena dana kapitasi yang masuk ke Puskesmas langsung akan diterima sebagai
akun pemasukan di rekening BLUD dan dicatat dalam kode rekening kelompok
pendapatan asli daerah pada jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah dengan
obyek pendapatan BLUD, sebagaimana tertera pada Pasal 29 dinyatakan bahwa
pendapatan BLUD dapat bersumber dari jasa pelayanan, hibah, hasil kerja sama
dengan pihak lain, APBD, APBN, dan lain-lain pendapatan BLUD yang sah. Dan
pada pasal 31 ayat (1) seluruh pendapatan BLUD dapat dikelola langsung untuk
pengeluaran BLUD sesuai dengan RBA. Dan pada pasal 31 ayat (4) dinyatakan
bahwa seluruh pendapatan BLUD sebagaimana dimaksud dalam pengelolaan
keuangan BLUD dilaporkan kepada BPKD selaku PPKD setiap triwulan.
177
Universitas Indonesia
Dan terkait pelaksanaan KPLDH yang cukup memberikan andil besar
terhadap capaian Indikator Komitmen Pelayanan dilaksanakan sesuai Peraturan
Gubernur No. 115 tahun 2016 tentang Program Ketuk Pintu Layani Dengan Hati
(Gubernur Provinsi DKI Jakarta, 2016b). Dan terkait dana pemberian Tunjangan
Kinerja Daerah berdasarkan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 59 tahun
2013 tentang Perubahan Kedua atas peraturan gubernur No. 38 tahun 2012 tentang
Tunjangan Kinerja Daerah (Gubernur Provinsi DKI Jakarta, 2013). Dan terkait
pemanfaatan dana kapitasi terhadap pemberian honor dan tunjangan bagi pegawai
non PNS mendasarkan pada Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 221
tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 95 Tahun 2016
Tentang Pedoman Pemberian Penghasilan Bagi Pegawai Non Pegawai Negeri Sipil
Pada Satuan Kerja Perangkat Daerah/Unit Kerja Perangkat Daerah Bidang
Kesehatan (Gubernur Provinsi DKI Jakarta, 2016a).
Dan beberapa aturan pelaksanaan terkait obat-obatan terdapat dalam SOP
masing-masing Puskesmas, dan untuk panduan pelayanan puskesmas berpedoman
pada panduan Praktik Klinis KMK 514 tentang panduan praktik klinik. Dan terkait
masih tingginya rujukan, maka BPJS mengeluarkan Per BPJS No.1 tahun 2018,
terkait UGD, selayaknya diperkuat dengan adanya SOP RS yang mengatur terkait
hal tersebut sehingga rujukan harus benar-benar mengutamakan urgensi
kegawatdaruratam yang harus memenuhi syarat kriteria sebagai pasien gawat
darurat medis, pelayanan dilakukan di ruang pemeriksaaan atau Instalasi Gawat
Darurat, dan pelayanan diakukan sesuai dengan tata laksana penanganan gawat
darurat yang terdiri atas triase, resusitasi, stabilisasi, dan evakuasi. Karena ternyata
dari UGD banyak masuk pasien tanpa triase dengan alih pasien UGD maka tidak
membawa rujukan dari FKTP, dan satu-satunya akses peserta BPJS yang tidak
memiliki rujukan dari FKTP dengan indikasi atas permintaan pasien adalah melalui
UGD sebagaimana pada pasal 7 dinyatakan Pelayanan gawat darurat medis di
FKRTL deberikan di FKRTL tanpa memerlukan surat rujukan dari FKTP maupunn
FKRTL (BPJS, 2018).
Hal ini sejalan dengan teori Edward III yang dirangkum oleh Winarno
(2005:152) menyatakan bahwa SOP sangat mungkin dapat menjadi kendala bagi
implementasi kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe
178
Universitas Indonesia
personil baru untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka dari itu, semakin
besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang lazim dalam suatu
organisasi, semakin besar pula kemungkinan SOP menghambat implementasi.
Namun demikian, di samping menghambat implementasi kebijakan SOP juga
mempunyai manfaat. Ketersediaan SOP akan mendorong implementasi kebijakan
berjalan sesuai standar yang diharapkan, masyarakat akan memperoleh jenis dan
mutu layanan dasar sesuai standar.
SOP pada pelayanan publik bertujuan menciptakan komitmen mengenai apa
yang dikerjakan oleh satuan unit kerja instansi pemerintah untuk mewujudkan good
governance (Atmoko, 2011), yaitu mengarahkan pada upaya untuk memperbaiki
dan meningkatkan proses manajemen pemerintahan sehingga kinerjanya menjadi
lebih baik (Suaib, 2016). Maka dari itu, dengan tidak tersedianya SOP pelayanan
kesehatan akan menghambat akuntabilitas pelayanan publik dan menghambat
implementasi KBK
Fragmentasi Birokrasi
Dimensi fragmentasi birokrasi menegaskan bahwa struktur birokrasi yang
terfragmentasi dapat meningkatkan gagalnya komunikasi dimana para pelaksana
kebijakan akan mengalami distorsi informasi terkait instruksi yang ditujukan pada
pelaksana, selain itu akan membatasi kemampuan para pejabat untuk
mengoordinasikan semua sumber daya yang relevan dalam proses implementasi
(Widodo, 2017).
Aspek fragmentasi birokrasi pada penelitian ini melingkupi bagaimana
pengorganisasian dan penyebaran tanggung jawab diantara para pemangku
kebijakan dalam upaya pencapaian indikator KBK, validitas data yang dicapai dan
dalam hal pemanfaatan dana kapitasi, bagaimana, seperti apa pemanfaatan,
monitoring dan evaluasi sehingga kapitasi yang ada bisa dimanfaatkan seefektif dan
seefisien mungkin.
Konsekuensi yang paling buruk dari fragmentasi birokrasi adalah usaha
untuk menghambat koordinasi, para birokrat karena alasan-alasan prioritas dari
badan-badan yang berbeda, mendorong para birokrat ini untuk menghindari
koordinasi dengan badan-badan lain. Padahal penyebaran wewenang dan sumber-
179
Universitas Indonesia
sumber untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang kompleks membutuhkan
koordinasi.
Meskipun capaian indikator komitmen pelayanan telah cukup baik
dilaksanakan, beberapa hal yang mengindikasikan adanya fragmentasi bisa terlihat
di beberapa sudut pandang dan pemahaman yang berbeda antara BPJS, Dinas
Kesehatan Provinsi DKI, Sudinkes, Puskesmas Kecamatan, dan Puskesmas
Kelurahan.
Pencairan dana kapitasi melalui puskesmas kecamatan, keterlibatan
puskesmas kelurahan dirasa kurang, terkait pengetahuan mereka besaran kapitasi
dan mekanisme pengelolaannya seperti apa, pandangan Puskesmas Kelurahan,
bahwa fungsi mereka hanya pelayanan, dengan sedikit mengacuhkan koordinasi
terkait pemanfaatan dana kapitasi. Pandangan Puskesmas Kecamatan, terkait
pelaporan capaian indikator komitmen pelayanan biasanya ditarik oleh BPJS
langsung dari capaian yang di entry di p-care tanpa adanya validasi terkait capaian
indikator tersebut, dan monitoring pemanfaatan dana kapitasi BPJS tidak berhak
untuk memantau, karena tugas BPJS adalah memberikan kapitasi dan
pengelolaannya adalah diserahkan kepada puskesmas, dan yang berhak
memutuskan pemanfaatan dana kapitasi atas permohonan dari puskesmas
kelurahan adalah puskesmas kelurahan, jadi pengelolaan dan pengambil keputusan
adalah pada puskesmas kecamatan, dengan meminimalisir adanya koordinasi
puskesmas kecamatan dan kelurahan.
Dan terkait monev terhadap capaian indikator, yang hal itu merupakan
tuntutan yang tertuang di Perber 2017 Terkesan adalah persyaratan dari BPJS,
dengan tidak terpenuhinya indikator komitmen pelayanan, maka kapitasinya akan
dipotong, namun belum terdapat tim terkait verifikasi validitas capaian indikator di
Puskesmas, untuk di BPJS Bidang PMP untuk yang berhubungan dengan pelayanan
primer dan mereka membuat strategi untuk menghapus nomor kepesertaan peserta
BPJS, sehigga bisa meminimalisir kemungkinan entry diluar kriteria.
Pandangan dari Sudinkes terkait pemanfaatan dana kapitasi, menganggap
hal tersebut adalah ranah BPJS – Puskesmas, dan pada Puskesmas BLUD
mempunyai wewenang penuh terhadap pengelolaan dana kapitasi mulai pencairan
sampai pertanggungjawaban, sehingga mengurangi sisi fungsi dari aspek
180
Universitas Indonesia
pengawasan, feel jika terlalu banyak intervensi dalam monitoring dan evaluasi akan
memberi kesan Sudinkes terlalu ikut campur, sehingga membatasi essensi dari
pengawasan itu sendiri, sehingga fragmentasi disini adalah lemahnya monitoring
dan evaluasi pemanfaatan dana kapitasi.
Keeratan hubungan Sudinkes – Puskesmas melemahkan fungsi Binwasdal
yang seharusnya bekerja untuk lebih jeli, terhadap indikasi fraud yang ada, sehingga
dibutuhkan tim yang lebih independen. Menurut Edward, fragmentasi kebijakan
merupakan penyebaran tanggung jawab dan kekuasaan pada suatu organisasi.
Struktur birokrasi yang terlalu panjang dan terfragmentasi akan cenderung
melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni birokrasi yang rumit
dan kompleks prosedur birokrasi yang rumit dan selanjutnya akan menyebabkan
aktivitas organisasi menjadi tidak fleksibel.
Terkait koordinasi antara RS dan Puskesmas, dimana Puskesmas merujuk
dengan diagnosis non spesialistik dg TACC, maka tidak akan dicatat sebagai
RRNS. Pihak Rumah Sakit akan tetap melakukan pelayanan tanpa merujuk kembali
ke Puskesmas. Hal tersebut berdampak semakin tingginya rujukan dan klaim RS.
Sehingga dalam hal ini dibutuhkan upaya monitoring dan evaluasi terkait validitas
diagnosis rujukan dari Puskesmas, disamping ada beberapa hal di luar itu yang bisa
mempengaruhi tingginya rujukan di RS dari Puskesmas. Dan terkait mekanisme
rujuk balik seharusnya dilakukan oleh RS untuk pasien-pasien dengan kasus non
spesialistik, akan tetapi dalam praktiknya ada beberapa perbedaan aksi dimana
pasien yang seharusnya dilakukan rujuk balik ke Puskesmas tetap dilakukan control
untuk kembali di RS, sehingga ada kebijakan BPJS mengeluarkan surat rujuk balik
yang berlaku maksimal 3 bulan agar pasien bisa kembali dilakukan pelayanan di
FKTP.
Hal ini berdasar pada pernyataan dari BPJS Cabang di Unit Layanan
Rujukan yang mulai menemukan beberapa keganjilan atau anomaly data terhadap
hal tersebut, hal ini harus dilihat sebagai potensi fraud di kedua belah pihak baik
puskesmas maupun RS yang harus diselesaikan dengan duduk bersama. Potensi
fraud disini adalah salah satu FKTP merujuk tidak sesaui dengan maksud untuk
mendapat keuntungan, apa yang dimaksud keuntungan disini adalah agar
puskesmasm dalam posisi aman dengan adanya upaya untuk memanipilasi TACC,
181
Universitas Indonesia
sangat jelas bahwa hal ini ada anomali data, sehingga jika mengacu kepada
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 tahun 2015 tentang Pencegahan
Kecurangan (Fraud) dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan pada Sistem
Jaminan Sosial Nasional (Kementerian Kesehatan RI, 2015). Langkah selanjutnya
harusnya dilakukan investigasi dari banyak pihak termasuk tim independen fraud
yang ada di Sudinkes dan BPJS. Seperti tercantum dalam Permenkes 36 tahun 2015
tahun bahwasannya Pembinaan dan pengawasan pencegahan Kecurangan JKN
dilakukan oleh Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangan masing- masing
(Kementerian Kesehatan RI, 2015). Selain itu upaya transfer knowledge dari RS ke
Puskesmas perlu dilakukan sehingga mengurangi adanya miss-kominikasi antara
RS dan Puskesmas.
Sehingga bisa disimpulkan aspek fragmentasi birokrasi dari hasil penelitian
ini adalah lemahnya koordinasi untuk monitoring dan evaluasi karena pelaksana
kebijakan terbagi dalam beberapa unit kerja dan lintas Dinas atau Badan, perlu
adanya tim terpadu dan independen dalam upaya ini, sementara fungsi ini masih
dijalankan secara terpisah-pisah/terfragmentasi, sehingga diharapkan peningkatan
mutu pelayanan kepada masyarakat bisa diwujudkan. Edward III dalam Winarno
(2005:155) menjelaskan bahwa ”fragmentasi merupakan penyebaran tanggung
jawab suatu kebijakan kepada beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan
koordinasi”. Pada umumnya, semakin besar koordinasi yang diperlukan untuk
melaksanakan kebijakan, semakin berkurang kemungkinan keberhasilan program
atau kebijakan. Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit
dari banyak lembaga birokrasi. Hal ini akan menimbulkan konsekuensi pokok yang
merugikan bagi keberhasilan implementasi kebijakan
Disamping itu masih tingginya rujukan APS (Atas Permintaan Pasien),
mengindikasikan rendahnya koordinasi antara Puskesmas dan pasien, sehingga
menimbulkan kurangnya kepercayaan pasien kepada Puskesmas, sehingga
menginginkan untuk dirujuk ke Rumah Sakit untuk penanganan selanjutnya.
Masih adanya miss perception terkait beberapa kebijakan mekanisme
pemberian obat, seperti halnya telah dilakukan pembahasan pada subbab fasilitas,
dan hal ini masih menjadi pembahasan pertimbangan untuk diberikannya obat
182
Universitas Indonesia
prolanis untuk waktu 30 hari dengan catatan tertentu, sesuai kondisi pasien. Dan di
beberapa Puskesmas Kecamatan telah dilakukan pemberian obat-obatan untuk
waktu 30 hari dengan syarat dan ketentuan berlaku.
Dan terkait pemenuhan SDM ada perubahan kebijakan sejak 2016, sehingga
menjadi hambatan Puskesmas untuk melakukan perekrutan untuk pemenuhan
kecukupan SDM, seharusnya hal ini tidak menjadi masalah jika bisa dilakukan
komunikasi dan koordinasi efektif antar unit pelaksana.
Namun ada beberapa kebijakan yang selaras untuk mendukung pencapaian
indikator komitmen pelayanan dengan adanya KPLDH yang capaian dimasukkan
ke dalam entry p-care sebagai home visite, yang mekanisme perekrutan juga
dilakukan oleh Dinkes Provinsi DKI, namun hal ini bisa menjadi terfragmentasi
juga antar unit pelaksana, berdasaar kebutuhan sendiri-sendiri sehingga sebenarnya
ini adalah satu capaian akan tetapi karena untuk kepentingan yang berbeda, maka
harus dilakukan entry beberapa kali ke unit berbeda sesuai tuntutan masing-masing
unit pelaksana.
“Puskesmas dalam pelaksanaan JKN belum bisa dihilangkan perannya dalam pemberian pelayanan peserta JKN untuk UKP. “(K)
“ciri khas pelayanan primer (FKTP) adalah promotive preventif”
(K)
Di sisi lain angka kontak pada era KBK ini bukan hanya kontak sakit tetapi
juga kontak sehat. Sehingga angka kontak disini akan selaras dengan pencapaian
SPM kabupaten/Kota.
Berikut hambatan-hambatan yang terjadi dalam fregmentasi birokrasi
berhubungan dengan implementasi kebijakan publik (Budi Winarno,2005:153-
154): (1) tidak ada otoritas yang kuat dalam implementasi kebijakan karena
terpecahnya fungsi-fungsi tertentu ke dalam lembaga atau badan yang berbeda-
beda. Di samping itu, masing-masing badan mempunyai yurisdiksi yang terbatas
atas suatu bidang, maka tugas-tugas yang penting mungkin akan terlantarkan dalam
berbagai agenda birokrasi yang menumpuk; (2) pandangan yang sempit dari badan
yang mungkin juga akan menghambat perubahan. Jika suatu badan mempunyai
fleksibilitas yang rendah dalam misi-misinya, maka badan itu akan berusaha
mempertahankan esensinya dan besar kemungkinan akan menentang kebijakan-
183
Universitas Indonesia
kebijakan baru yang membutuhkan perubahan. Dengan demikian, kondisi tersebut
di atas memperlihatkan bahwa terjadi beberapa fragmentasi birokrasi dalam rangka
implementasi KBK di DKI Jakarta
Permasalahan terkait pelaksanaan Kapitasi Berbasis Komitmen
Pelayanan
A Penatalaksanaan Rujukan
Rujukan dalam pelayanan puskesmas dalam praktiknya dimaksudkan
sebagai pengiriman pasien yang memerlukan perawatan spesialistik atau
pemeriksaan penunjang diagnostic ke rumah sakit. Dalam sistem KBK ini rujukan
sangat penting mengingat banyaknya rujukan yang tidak berindikasi medis pada
hakikatnya adalah pemborosan yang pada akhirnya merugikan puskesmas sendiri
terkait dimensi mutu pelayanan yang harusnya ditunjukkan oleh puskesmas.
B Implikasi KBK
Penurunan rasio rujukan kasus non spesialistik di Puskesmas, harusnya bisa
berimpak terhadap penghematan pembiayaan kesehatan di Rumah Sakit. berikut
penghitungan Implikasi pelaksanaan KBK selama tahun 2016 sampai dengan tahun
2017 terhadap klaim RS yang bisa dihemat. Dari penghitungan kebermaknaan
penurunan RRNS sebesar 1.2% (p value < 0.05), maka penurunan tersebut secara
statistik signifikan.
Tabel 6.1 Rincian Implikasi KBK
Pada kenyataannya jika di jajarkan dengan data Kunjungan Non Spesialistik
(KNS) di Rumah Sakit, ada beberapa perbedaan
Dan jika dilihat dari total rujukan ke FKRTL di DKI Jakarta mengalami
kenaikan selama tahun 2016 – 2017 sebagai berikut
Penurunan RRNS per 2016-2017 1.2%
Rata-rata peserta terdaftar di Puskesmas DKI 35,904
Rata-rata tariff INA CBGs (RI&RJ) Rp.968,254,-
x
Biaya klaim RS yang bisa dihemat Rp. 417,170,299,-
184
Universitas Indonesia
Tabel 6.2 Total Rujukan ke FKRTL di Wilayah DKI Jakarta tahun 2016 s.d tahun 2017
Rujukan ke FKRTL Tahun
Total 2016 2017
Rawat Inap Tingat Lanjut (RITL) 600,725 635,189 34,464
Rawat jalan Tingkat Lanjut (RJTL) 5,935,385 7,027,519 1,092,134
Sehingga dalam hal ini akan menimbulkan kenaikan total klaim FKRTL di
wilayah DKI Jakarta sebesar
Tabel 6.3 Total Klaim FKRTL di Wilayah DKI Jakarta
Keterangan Tahun
Selisih (Rp) 2016 (Rp) 2017 (Rp)
Realisasi Biaya 7,594,951,731,514 9,573,254,961,942
1,978,303,230,428
Jika dibahas terkait praduga dimungkinkan kenaikan rujukan bisa
dimungkinkan berasal dari FKTP lain, maka dari data menunjukkan bahwa rujukan
lebih besar adalah dari wilayah puskesmas di wilayah DKI Jakarta.
Tabel 6.4 Perbandingan Total Rujukan Puskesmas, FKTP lain wilayah DKI, Puskesmas dan FKTP luar DKI tahun 2016 s.d tahun 2017
Rujukan ke FKRTL (RJTL = UGD dan Poli)
2016 2017 Selisih
f % f %
Puskesmas wilayah DKI Jakarta
4,161,474 70.11 4,444,853 63.25 283,379
FKTP lain DKI Jakarta 1,269,445 21.39 1,439,980 20.49 170,535
Puskesmas dan FKTP luar DKI Jakarta
504,466 8.50 1,142,686 16.26 638,220
Total 5,935,385 100 7,027,519 100 1,092,134
185
Universitas Indonesia
Dari data diatas bisa kita lihat bahwa klaim FKRTL tahun 2016 dan 2017 di
wilayah DKI Jakarta banyak disumbang karena rujukan oleh Puskesmas di wilayah
DKI Jakarta yakni sebesar 70.11% pada tahun 2016 dan 63.25% pada tahun 2017
dibanding rujukan dari FKTP lain di wilayah DKI Jakarta 21.39% pada tahun 2016
dan 20.49% pada tahun 2017 dan Puskesmas FKTP lain di luar wilayah DKI Jakarta
8.50% pada tahun 2016 dan meningkat sebanyak 16.26% pada tahun 2017,
mengingat total klaim diatas karena RS di Jakarta juga menerima pasien di luar
wilayah DKI Jakarta
Dan besaran jumlah nilai kapitasi yang dikeluarkan oleh BPJS untuk
Puskesmas mengalami kenaikan, selama tahun 2016 sampai dengan 2017,
sebanding dengan peningkatan warga masyarakat yang menjadi peserta JKN, dan
juga berkaitan dengan semakin meningkatnya status aman indikator komitmen
pelayanan. Namun apakah kenaikan kapitasi ini diikuti dengan peningkatan mutu
pelayanan?. Seharusnya demikian, dengan semakin tingginya kapitasi yang
diterima, diharapkan bukan hanya kenaikan capaian indikator saja, akan tetapi
diikuti dengan meningkatnya mutu pelayanan yang diberikan oleh Puskesmas.
Tabel 6.5 Total Kapitasi Puskesmas di wilayah DKI Jakarta tahun 2016 s.d tahun 2017
Total Kapitasi
Tahun Selisih (Rp)
2016 (Rp) 2017 (Rp)
Puskesmas 662,026,879,580 730,605,917,890
68,579,038,310
Kenaikan kapitasi yang diterima oleh Puskesmas selama kurun waktu 2016
sampai tahun 2017 selain disebabkan semakin meningkatnya capaian aman
indikator komitmen pelayanan puskesmas juga disebabkan oleh semakin
meningkatnya kepesertaan JKN, karena target Gubernur DKI Jakarta bahwasannya
akan mewujudkan Universal Coverage tahun 2019, sehingga tidak lagi
memperhatikan kriteria mampu ataupun tidak, selagi warga mau untuk dilayani di
kelas III, tanpa memandang status sosial mampu atau tidak bisa dilayani gratis dan
menjadi peserta PBI yang pembayaran premi akan ditanggung oleh pemerintah
186
Universitas Indonesia
daerah. Adapun rincian capaian kepesertaan JKN di wilayah DKI Jakarta adalah
sebagai berikut:
Tabel 6.6 Kepesertaan JKN di Wilayah DKI Jakarta PBI dan non PBI tahun Tahun 2017
Kepesertaan JKN Jumlah peserta (jiwa)
f %
PBI (APBD) 5.616.126 80.15
PBI (APBN) 792.303 11.31
Non PBI 599,015 8.54
Total (jiwa) 7,007,444 100
Dari tabel diatas bisa dilihat bahwa kepesertaan JKN sebesar 7,007,444 jiwa
untuk peserta PBI (APBN) sebesar 792.303 jiwa (11.31%), PBI (APBD) sebesar
5.616.126 jiwa (80.15%), dan peserta non PBI adalah sebesar 599,015 (8.54%). Jadi
untuk akhir Desember 2017 bisa kita lihat kondisi kepesertaan JKN di DKI Jakarta
adalah sebesar 7,007,444/9,223,000 (jumlah penduduk) yaitu sebesar 84.05% yang
didominasi oleh peserta PBI yang preminya dibayarkan oleh pemerintah daerah
(APBD), dan hanya 15.95% yang belum tercover oleh BPJS.
Tabel 6.7 Prosentase kepesertaan JKN di wilayah DKI Jakarta
Dari sini bisa kita lihat beban pemerintah daerah untuk pembayaran premi
adalah senilai
Total kepesertaan JKN Tahun 2017 7,007,444 jiwa
Jumlah penduduk DKI Jakarta 9,223,000 jiwa
:
Prosentase peserta JKN wilayah DKI Jakarta (%) 84.05 %
187
Universitas Indonesia
Tabel 6.8 Penghitungan besaran premi yang harus dibayarkan oleh pemerintah daerah untuk peserta PBI (APBD)
Salah satu alasan bahwa kenapa peserta PBI tidak diperkenankan untuk
dilakukan redistribusi ke FKTP swasta (Klinik swasta dan DPP), agar
pemanfaatannya bisa dikembalikan untuk pemerintah daerah, sehingga menjadi
salah satu kendala pemerataan peserta di wilayah DKI Jakarta, sehingga masih
adanya gab antara kepadatan peserta di wilayah satu dan wilayah lainnya, antara
peserta yang terakumulasi di fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah.
Namun peserta bisa di redistribusi antar fasilitas pelayanan kesehatan milik
pemerintah lainnya. Sehingga, jika dengan alasan tersebut, seharusnya menjadi
konsekuensi bagi pemerintah daerah untuk bisa menambah fasilitas pelayanan
kesehatan.
Selain daripada bahasan diatas terkait implementasi KBK di lapangan,
bukan semata-mata melihat implementasi KBK sebagai keberhasilan pelayanan,
perlu dilakukan pembahasan terkait aspek hukum dan kebijakan terkait penerapan
Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan itu sendiri seperti apa, apakah ada
overlapping terhadap kebijakan yang ada, atau penyalahgunaan pelaksanaan,
ataukah peraturan yang ada harus dilakukan peninjauan kembali, akan coba
dilakukan pembahasan sebagai berikut:
Total kepesertaan JKN Tahun 2017 5.616.126 jiwa
Premi Kelas 3 Rp. 25,500
Periode waktu 1 tahun (12 bulan) 12 bulan
x
Biaya premi yang harus dibayar pemerintah daerah Rp. 1,718,534,556,000.00
188
Universitas Indonesia
Aspek Kebijakan Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan
A Fungsi Puskesmas melaksanakan UKP-UKM dan pembayaran
Kapitasi di Puskesmas
Puskesmas adalah unit pelaksana tehnis Dinas Kesehatan Kab/Kota yang
bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di satu atau
sebagian wilayah kecamatan.
Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah
fasilitaspelayanankesehatanyangmenyelenggarakanupayakesehatanmasyarakat
dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebihmengutamakan
upayapromotifdanpreventif,untukmencapaiderajatkesehatanmasyarakatyang
setinggi‐tingginyadiwilayahkerjanya(KemenkesRI,2014)
Kita ketahui bersama ada dua upaya kesehatan yang dilakukan di
Puskesmas. , yaitu; a) menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat tingkat
pertama dan b) upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama. Upaya kesehatan
dimaksud dilaksanakan secara terintegrasi dan berkesinambungan. Upaya
kesehatan masyarakat tingkat pertama meliputi upaya kesehatan masyarakat
esensial dan upaya kesehatan masyarakat pengembangan. Upaya kesehatan
masyarakat esensial meliputi: a) pelayanan promosi kesehatan; b) pelayanan
kesehatan lingkungan; c) pelayanan kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana;
d) pelayanan gizi; dan e) pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit.
Tujuannya adalah untuk mendukung pencapaian standar pelayanan minimal
kabupaten/kota bidang kesehatan.
Upaya kesehatan masyarakat pengembangan merupakan upaya kesehatan
masyarakat yang kegiatannya memerlukan upaya yang sifatnya inovatif dan/atau
bersifat ekstensifikasi dan intensifikasi pelayanan, disesuaikan dengan prioritas
masalah kesehatan, kekhususan wilayah kerja dan potensi sumber daya yang
tersedia di masing-masing Puskesmas. Untuk upaya kesehatan masyarakat tingkat
pertama ini baik esensial maupun pengembangan menjadi tanggungjawab dan
domain pemerintah (pusat dan daerah), dengan menggunakan sumber dana APBN
dan APBD.
UpayaKesehatanMasyarakatyangselanjutnyadisingkatUKMadalah
setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta
189
Universitas Indonesia
mencegahdanmenanggulangitimbulnyamasalahkesehatandengansasaran
keluarga, kelompok, dan masyarakat. Sedangkan Upaya Kesehatan
PerseoranganyangselanjutnyadisingkatUKPadalahsuatukegiatandan/atau
serangkaiankegiatanpelayanankesehatanyangditujukanuntukpeningkatan,
pencegahan, penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat
penyakitdanmemulihkankesehatanperseorangan(KementerianKesehatan,
2014)
Balancing the enduring tensions between different logics of action, for
instance between the demands and obligations of offices and roles and individual
calculated interests (Tussman, 1960:18). Political actors are also likely to be held
accountable for both the appropriateness and the consequences of their actions. A
dilemma is that proper behavior sometimes is associated with bad consequences
and improper behavior sometimes is associated with good consequences.That is,
they achieve desirable outcomes through methods that they recognize as
inappropriate. Or, they follow prescribed rules and procedures at the cost of
producing outcomes they recognize to be undesirable (Thompson, 1987) (Merton,
1936). Seperti kita ketahui dengan nama Puskesmas yang berarti Pusat
Kesehatan Masyarakat maka sudah sesuai fitrahnya bahwa Puskesmas
menyelenggarakanUpayaKesehatanMasyarakatdalamporsiyanglebihbesar
dibandingdenganupayakesehatanperorangan,karenasatu‐satunyainstansi
pemerintahyangbisamenyelenggarakanupayakesehatanperoranganadalah
Puskesmas, karena sudahmenjadi tanggung jawab pemerintah, sedangkan
upaya kesehatan perorangan bisa diselenggarakan oleh organisasi privat
sebagaimana tercantun dalam SKN 2012. Namun adakalanya karena suatu
kondisi tertentu memaksa Puskesmas untuk kehabisan waktu untuk
melakukankegiatanUKPdibandingkanseharusnyatugasUKM.
Di dalam Perpres 72 tentang Sistem Kesehatan Nasional disebutkan bahwa
Pelayanan kesehatan perorangan primer adalah pelayanan kesehatan dimana terjadi
kontak pertama secara perorangan sebagai proses awal pelayanan kesehatan dan
memberikan penekanan pada pelayanan pengobatan, pemulihan tanpa
mengabaikan upaya peningkatan dan pencegahan, termasuk di dalamnya pelayanan
190
Universitas Indonesia
kebugaran dan gaya hidup sehat (healthy life style) yang dapat diselenggarakan
sebagai pelayanan yang bergerak (ambulatory) atau menetap, dapat dikaitkan
dengan tempat kerja, seperti klinik perusahaan; atau dapat disesuaikan dengan
lingkungan/kondisi tertentu (kesehatan matra, seperti: kesehatan haji, kesehatan
pada penanggulangan bencana, kesehatan transmigrasi, kesehatan di bumi
perkemahan, kesehatan dalam penanggulangan gangguan keamanan dan ketertiban
masyarakat, kesehatan dalam operasi dan latihan militer di darat, kesehatan
kelautan dan bawah air, kesehatan kedirgantaraan/ penerbangan, dan kesehatan
dalam situasi khusus dan/atau serba berubah). Pemerintah wajib menyediakan
pelayanan kesehatan perorangan primer di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) sesuai kebutuhan, terutama bagi masyarakat miskin,
daerah terpencil, perbatasan, pulau-pulau terluar dan terdepan, serta yang tidak
diminati swasta (SKN, 2012a)
Dalam kondisi di DKI Jakarta sebagai wilayah yang diminati, sehingga
banyak sekali klinik dan praktik perorangan didirikan oleh swasta, sehingga akan
sangat memungkinkan jika pelaksanakan upaya kesehatan perorangan
diselenggarakan atau diserahkan kepada swasta, sehingga Puskesmas dalam kondisi
fokus dalam pengelolaan UKM, karena sudah semestinya pengelolaan kesehatan
yang diselenggarakan oleh semua komponen Bangsa Indonesia secara terpadu dan
saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya, sehingga perlu koordinasi pengaturan yang saling koheren
untuk mencapainya yang tidak hanya bisa diselenggarakan oleh satu organisasi
pemerintah saja. SKN akan berfungsi optimal apabila ditunjang oleh pemberdayaan
perorangan, keluarga dan masyarakat. Masyarakat termasuk swasta bukan semata-
mata sebagai sasaran pembangunan kesehatan, melainkan juga sebagai subjek atau
penyelenggara dan pelaku pembangunan kesehatan. Oleh karenanya pemberdayaan
masyarakat menjadi sangat penting, agar masyarakat termasuk swasta dapat mampu
dan mau berperan sebagai pelaku pembangunan kesehatan.
Pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat merupakan barang publik
(public good) yang menjadi tanggung jawab pemerintah, sedangkan untuk
pelayanan kesehatan perorangan pembiayaannya bersifat privat, kecuali
pembiayaan untuk masyarakat miskin dan tidak mampu menjadi tanggung jawab
191
Universitas Indonesia
pemerintah. Dan pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan diselenggarakan
melalui jaminan pemeliharaan kesehatan dengan mekanisme asuransi sosial yang
pada waktunya diharapkan akan mencapai universal health coverage sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial.
Bagi Puskesmas BLUD upaya UKP terlihat sebagai upaya yang cukup
instan untuk bisa dilihat hasil dari upaya yang dilakukan dengan biaya lebih kecil
serta bisa menambah kas pemasukan BLUD, di lain hal upaya UKM memiliki
impak jangka panjang dan butuh waktu lama untuk bisa melihat hasilnya dan
membutuhkan biaya yang lebih besar. Sehingga ada beberapa kecenderungan
upaya-upaya untuk UKM menjadi hal yang dinomorduakan dalam pelaksanaannya,
sehingga optimalisasi hasil yang diharapkan melalui UKM mengalami beberapa
kendala dan konsekuensi baru akan terasa di kemudian hari.
Sebagaimana dalam UU SJSN bahwasannya pembiayaan kapitasi tidak bisa
digunakan dalam pembiayaan UKM, karena pembayaran kapitasi diberikan kepada
FKTP, dimana Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama sebagaimana tercantum dalam
Peraturan Presiden bahwasannya FKTP adalah fasilitas kesehatan yang melakukan
pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat non spesialistik untuk keperluan
observasi, diagnosis, perawatan, pengobatan, dan/atau pelayanan kesehatan lainnya
(Peraturan Presiden, 2014). Sehingga sumber pembiayaan UKM adalah dari
pemerintah, pemerintah daerah, bukan dengan adanya dalih promotive preventif,
sebagaimana diusung melalui konsep angka kontak (kunjungan sakit dan kunjungan
sehat) lantas hal tersebut sudah menjadi kecukupan UKM yang harus dilakukan
oleh Puskesmas
James G. March & Johan P. Olsen Distances (2006) melalui the logic of
appropriateness:701 says Reconciling Logics of Action, Action is rule based, but
only partly so. There is a great diversity in human motivation and modes of action.
Behavior is driven by habit, emotion, coercion, and calculated expected utility, as
well as interpretation of internalized rules and principles. Puskesmas dalam
pelaksanaan JKN belum bisa dihilangkan perannya dalam pemberian pelayanan
peserta JKN untuk UKP. Salah satu informan kunci mengatakan bahwa angka
192
Universitas Indonesia
kontak pada era KBK ini bukan hanya kontak sakit tetapi juga kontak sehat.
Sehingga angka kontak disini akan selaras dengan pencapaian SPM
kabupaten/Kota. Dikatakan bahwa ciri khas pelayanan primer (FKTP) adalah
promotive preventif, hal ini bukanlah berarti bahwa dalam UKP hanyalah kuratif,
bahwasannya dalam pelayanan UKP juga harus memperhatikan upaya promotive
preventif.
Sebagai provider BPJS, maka Puskesmas belum bisa dihilangkan perannya
dalam pemberian pelayanan peserta JKN untuk UKP, sehingga harus memenuhi
aturan main sebagaimana ditetapkan dalam peraturan, ditambah adanya
konsekuensi pemotongan nilai kapitasi, apabila indikator komitmen pelayanan
tidak bisa dicapai. Adanya beberapa perbedaan terkait adanya pertanyaan Apakah
sudah tepat BPJS dan Kemenkes mentargetkan 3 indikator ini untuk Puskesmas?.
Dengan diberikannya beban pencapaian 3 indikator ini kepada puskesmas,
menambah beban pencapaian puskesmas untuk UKP, sehingga tugas UKM
Puskesmas disinyalir mengalami kelemahan, dan menimbulkan beberapa dampak
terhadap kesehatan masyarakat.
Sebagai provider BPJS, maka Puskesmas berhak mendapatkan kapitasi di
Puskesmas, beberapa perbedaan pendapat terkait efektifitas penerimaan kapitasi di
Puskesmas. Capitation is a set amount money received or paid out, it based on
membership rather than on services delivered and usually is expressed in units of
per member per month; may be varied by such factors as age and sex of the enrolled
member (Kongstvedt, 2013), sesuai dengan Peraturan Presiden No 32 tahun 2014
dikatakan dana kapitasi adalah besaran pembayaran per-bulan yang dibayar dimuka
kepada FKTP berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan
jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan.
Dana kapitasi yang dialokasikan BPJS Kesehatan adalah untuk Upaya
kesehatan perseorangan tingkat pertama, disamping tentunya dana yang bersumber
dari APBN dan APBD karena pola terintegrasi dan
berkesinambungan. Dilaksanakan dalam bentuk: a) rawat jalan; b) pelayanan
gawat darurat; c) pelayanan satu hari (one day care); d) home care; dan/atau e)
rawat inap berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan kesehatan. Upaya
193
Universitas Indonesia
kesehatan perseorangan tingkat pertama dilaksanakan sesuai dengan standar
prosedur operasional dan standar pelayanan.
Persoalan timbul dalam pelaksanaan upaya kesehatan
perorangan karena menggunakan dua sumber dana yaitu dana kapitasi dari BPJS
Kesehatan, dan APBD dari Pemda (Situmorang, 2017). Dari sisi pelayanan medis,
ada porsi dana kapitasi digunakan untuk tenaga medis, dari hasil kualitatif untuk
pelaksanaan di DKI Jakarta, dana kapitasi sudah tidak lagi dipergunakan bagi
tenaga PNS karena dari APBD telah mendapatkan gaji, insentif/ remunerasi dari
Pemerintah Daerah jadi dipergunakan sebagai pembayaran gaji non PNS, akan
tetapi pelaksanaan di beberapa puskesmas berbeda, adakalanya gaji non PNS juga
berasal APBD tergantung kondisi masing-masing puskesmas. Dana kapitasi
digunakan untuk belanja operasional pembelian obat, dan bahan medis habis pakai,
laboratorium sederhana dialokasi dari sisa dana kapitasi yang dikurangi dana
pelayanan medis. Hal yang sama juga pemerintah daerah menyediakan dana untuk
belanja obat dan bahan medis habis pakai. Ada irisan dan
kemungkinan double pembayaran jika proses pengawasan tidak berjalan secara
maksimal.
B Status Organisasi Puskesmas dan Kerjasama BPJS-Puskesmas
Status organisasi puskesmas, secara organisasi puskesmas adalah unit
pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (satu dari banyak UPT Dinkes
kabupaten/Kota). Dalam Permendagri No. 59 tahun 2007 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah, yang disebut dalam organisasi pemerintah daerah di bidang
kesehatan hanyalah “..Dinas/Badan/Kantor/Rumah Sakit” (Peraturan Presiden,
2014), Puskesmas hanyalah unit pelaksana dari Dinas kesehatan Kabupaten/Kota,
maka secara organisatoris organisasi puskesmas tidak masuk nomenklatur
organisasi kesehatan daerah, sehingga tidak mempunyai pos anggaran atau program
kegiatan sendiri. Sehingga dikeluarkan Perpres 32 Thun 2014 tentang Pengelolaan
dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional pada Fasilitas
Kesehatan Tingkat pertama Milik Pemerintah Daerah (Peraturan Presiden, 2014)
yang mengatur dana kapitasi dari BPJS bisa langsung ke Puskesmas non-BLUD
dengan syarat memiliki bendaharawan dan akun keuangan khusus. Masalahnya
194
Universitas Indonesia
disini adalah struktur organisasi puskesmas tidak tercantum dalam organisasi
pelayanan kesehatan pemda, karena puskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas
Kesehatan, sehingga pengaturan uang, orang dan barang harus melalui Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota. Adapun peraturan terkait pengaturan BLUD berdasar
PP No.58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah , Peraturan
Pemerintah No.23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan
Umum, Peraturan Menteri Dalam negeri No.61 tahun 2007 tentang Pedoman
Teknis Pengelolaan Keuangan badan layanan Umum Daerah, dan untuk
pelaksanaan teknis BLUD di wilayah DKI adanya Peraturan Gubernur No 65 tahun
2012 terkait Pola BLUD.
Sebagai lesson learn kondisi di beberapa daerah, pada hakikatnya Perpres
32 tahun 2014 ini hakekatnya untuk memberikan kemudahan dan kelancaran agar
FKTP milik Pemeritah Daerah (Puskesmas), mendapatkan dana kapitasi langsung
dari BPJS Kesehatan tanpa melalui kas Pemerintah Daerah. Maka itu dalam Perpres
tersebut di bentuk bendahara Kapitasi di Puskesmas yang langsung menerima dana
kapitasi setiap bulan dan dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan
di FKTP yang pengaturan penggunaannya telah diatur juga dalam Permenkes.
Dalam perkembangannya, ternyata dilapangan berbeda wujud
pelaksanaannya. Memang dana masuk ke bendaharawan kapitasi, tetapi di banyak
daerah Kab/Kota, dana tersebut tidak boleh digunakan langsung, tapi disetor
kembali ke Kas Daerah. Sehingga ini disinyalir ada permainan di dalamnya. Alasan
Pemda Kab/Kota maupun Dinas kesehatannya, adalah Pemda juga ada memberikan
alokasi dana APBD untuk Puskesmas. Sehingga akan terjadi double penggunaan.
Dengan masuk kedalam kas daerah, dan dikeluarkan sebagai alokasi APBD,
peruntukan dana kapitasi ke Puskesmas menjadi tidak jelas, maka sebagian
Puskesmas tidak merasakan ada manfaat dana kapitasi. Akibatnya Puskesmas
sebagai Klinik FKTP yang melakukan peran gate keeper tidak berjalan. Sehingga
peserta yang seharusnya di layani di FKTP, dtransfer langsung melalui surat
pengantar untuk di rujuk ke RS, karena keterbatasan sarana, prasarana, alat dan lain-
lain. Dengan demikian, dana kapitasi yang seharusnya untuk kepentingan
pelayanan kesehatan di Puskesmas dan remunerasi bagi tenaga medis, tidak tercapai
peruntukannya. Jadilah dana kapitasi milik peserta digunakan untuk menambah
195
Universitas Indonesia
sumber PAD pemerintah daerah. Dan ini bertentangan dengan sistem
penyelenggaran JKN.
Di satu sisi Puskesmas yang mendapatkan pelayanan kapitasi dengan penuh,
terlalu asyik melaksanakan fungsi pelayanan UKP, dan terindikasi sedikit
mengabaikan fungsi UKM. Sehingga kegiatan promotif dan preventif kepada
masyarakat untuk melaksankan pola hidup sehat tidak maksimal dilaksanakan.
Dengan dua situasi yang disinyalir menimbulkan masalah, sudah saatnya
Puskesmas dikembalikan fungsinya sebagai UKM, memelihara kesehatan
masyarakat dengan mengedepankan kegiatan penyuluhan kesehatan, promosi
kesehatan, pencegahan dan upaya kesehatan masyarakat lainnya. Fungsi UKP
sebagai klinik (FKTP), diserahkan kepada masyarakat dan swasta. Tenaga
medisnya dapat menggunakan tim tenaga kesehatan yang pada jam kerja bertugas
di Puskesmas dan diluar jam kerja bertugas di klinik atau pos pelayanan kesehatan
serta bersama dengan tim lainnya.
Bayangkan kalau dana kapitasi untuk Puskesmas setiap tahun ada Rp. 7
riliun, dan kalau 50% diantaranya masuk Kas Pemda Kab/Kota, maka peserta
menyumbang Pemda Kab/Kota sebesar Rp. 3,5Triliun, diluar pos APBD untuk
sektor kesehatan yang dialokasi Pemda 10% dari total APBD Kab/Kota. Sementara
BPJS Kesehatan mengalami defisit sebesar Rp. 9 triliun.
Untuk mengembalikan puskesmas tidak lagi sebagai FKTP untuk JKN,
tentu menjadi wewenang Menteri Kesehatan, sebab yang menunjuk Puskesmas
sebagai FKTP JKN pada tahun 2013 adalah Menteri Kesehatan (Situmorang, 2018)
Bagi Puskesmas BLUD, sejak awal tahun Puskesmas sudah mempunyai
dana dan sudah bisa langsung digunakan untuk operasional yang bisa digunakan
untuk membayar tenaga kesehatan (non PNS), membayar kegiatan program,
membayar obat/alkes habis pakai, sehingga diharapkan puskesmas akan lebih
mandiri dalam pengelolaan keuangan dan diharapkan akan memberikan pelayanan
yang lebih responsive, puskesmas bisa menghitung biaya, sehingga diharapkan
menjadi lebih akuntable dan lebih efisien sehingga diharapkan akan memberikan
pelayanan yang lebih baik. Namun informan kunci mengatakan untuk implementasi
di DKI Jakarta yang notabene semua puskesmas sudah BLUD, namun pengadaan
SDM masih harus dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi, sehingga menjadi
196
Universitas Indonesia
sedikit hambatan bagi puskesmas untuk bisa memenuhi kebutuhan tenaga di
puskesmas.
Persayaratan administrative jika institusi akan menjadi BLUD, apa saja
yang harus disiapkan salah satunya Puskesmas harus membuat SPM. Standar
Pelayanan Minimal merupakan batasan minimal mengenai jenis dan mutu layanan
dasar yang harus dipenuhi oleh SKPD atau unit kerja yang akan menerapkan PPK-
BLUD. Dokumen SPM harus menjelaskan 1) SPM yang dibuat harus memenuhi
prinsip antara lain: kualitas pelayanan, pemerataan, dan kesetaraan layanan, biaya,
serta kemudahan untuk mendapat layanan 2) SPM yang diterapkan harus focus pada
jenis layanan, terukur, dapat dicapai, relevan, dan dapat diandalkan, serta tepat
waktu. Bukan Puskesmas dengan komposisi seperti yang ada bisa melaksanakan
hal sebanyak ini, akan dihitung terlebih dahulu biaya yang diperlukan untuk
operasional sehingga bisa didapat tarif berapa yang harus didapatkan. Berapa
banyak rasio tenaga dibanding peserta, sehingga puskesmas bisa efektif
melaksanakan tugasnya, petugas kesehatan hanya menyampaikan saya ditugaskan
di pelayanan primer, untuk bisa melayani pasien sebesar ini. Sehingga jika BPJS
datang, dikatakan disana Puskesmas mampu untuk melayani orang sebesar ini, jika
diminta mencapai angka kontak sebanyak 150 permil, maka yang akan menjadi
denominator adalah banyaknya peserta sesuai standar yang dikontrak, maka akan
lebih terjaga mutu pelayanan.
“BLUD bukan hanya bicara uang, tetapi bicara undang-undang dasar buat rakyat, missal dengan kapasitas BLUD 10.000 orang, maka tidak boleh BPJS mengontrak dengan peserta melebihi standar tersebut. Jadi, jika BPJS mengontrak 10.000 orang, yakinkan bahwa puskesmas bisa memberi pelayanan, kl ga bisa katakana ga bisa, ini kami BLUD, SPM kami segini….”(IK-1)
Penerimaan kapitasi didasarkan pada banyaknya peserta yang akan mampu
ditangani oleh Puskesmas, maka tidak perlu lagi ada kekhawatiran bahwa peserta
akan diredistribusi, karena fokus puskesmas bukan hanya how to get big capitation
value?, but how to make the best services. Orientasi kepada memberikan pelayanan
terbaik kepada masyarakat sesuai amanah UUD dan apa yang ada di SKN sesuai
dengan pengertian dari BLUD adalah SKPD atau unit kerja pada SKPD di
lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada
197
Universitas Indonesia
masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa
mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan
pada prinsip efisiensi dan produktifitas (Gubernur, 2012)
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS
adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan
sosial (Presiden RI, 2011) yang melakukan pembayaran ke Fasilitas Kesehatan. Jika
ditinjau dari kepemilikan, puskesmas secara hierarki adalah dibawah pemerintah
daerah, unit teknis dibawah Dinas Kesehatan, tidak bisa dilakukan jika fasilitas
(puskesmas) bukan badan hukum sehingga MoU BPJS kepada puskesmas harus
dilakukan melalui Dinas Kesehatan. Adapun terkait MoU antara BPJS-Puskesmas
secara langsung bisa dilakukan pada Puskesmas BLUD, dikatakan oleh informan
kunci bahwa kewenangan satker BLU, maka memiliki kewenangan untuk menjalin
kerjasama dengan fasilitas lain (BPJS). Sebagaimana dengan kondisi di DKI
dikarenakan semua Puskesmas kecamatan telah BLUD maka MoU langsung oleh
BPJS-Puskesmas sebagaimana termaktub dalam Peraturan Menteri Dalam negeri
Nomor 59 tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 13 tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah bahwa
kepala unit kerja pada SKPD selaku kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna
barang pada pasal 11 ayat (3a) bahwasanya berwenang untuk 1) melakukan
tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran belanja; 2)
melaksanakan anggaran unit kerja yang dipimpinnya; 3) melakukan pengujian atas
tagihan dan memerintahkan pembayaran; 4) mengadakan ikatan/perjanjian
kerjasama dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan; 5)
menandatangani SPM-LS dan SPM-TU; 6) mengawasi pelaksanaan anggaran unit
kerja yang dipimpinnya; dan 7) melaksanakan tugas-tugas kuasa pengguna
anggaran lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh pejabat pengguna
anggaran (Peraturan Menteri Dalam Negeri, 2007)
Akan tetapi MoU BPJS-Puskesmas tidak seharusnya mengurangi
pengawasan dari Dinas Kesehatan, karena pengelolaan dana adalah menjadi
tanggung jawab kepala BLUD, pengawasan pengelolaan pembiayaan secara
internal harusnya dilakukan oleh Dinas kesehatan, dan eksternal oleh BPKP
198
Universitas Indonesia
C Kebijakan peserta PBI di DKI Jakarta
Pada bahasan kali ini akan penulis coba meninjau aspek kebijakan
pembayaran premi peserta PBI di DKI Jakarta dibayarkan oleh APBD.
Sebagaimana tercantum dalam SKN bahwasannya Pelayanan Kesehatan
Perorangan Primer (PKPP) untuk penduduk miskin dibiayai oleh Pemerintah,
sedangkan golongan ekonomi lainnya dibiayai dalam sistem pembiayaan yang
diatur oleh Pemerintah. Dan untuk Pelayanan Kesehatan Masyarakat Primer
(PKMP) ditanggung oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah bersama masyarakat,
termasuk swasta. Pemerintah/Pemerintah Daerah wajib melaksanakan dan
membiayai pelayanan kesehatan masyarakat primer yang berhubungan dengan
prioritas pembangunan kesehatan melalui kegiatan perbaikan lingkungan,
peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit dan kematian serta paliatif (SKN,
2012a)
Pembayaran premi oleh APBD, mengandung sisi positif dan sisi negatif,
dimana cakupan universal coverage akan cepat terpenuhi, dan memperluas
aksesibilitas, di lain hal pembayaran premi oleh pemerintah daerah dengan
konsekuensi peserta PBI tidak bisa di redistribusi kepada fasilitas kesehatan swasta
juga menjadi kendala tersendiri, dan menghambat pemerataan dan aksesibilitas itu
sendiri, sehingga perlu ditinjau kembali. Sehubungan dengan adanya aplikasi
mobile sehingga peserta dengan mudah memilih atau pindah fasilitas kesehatan,
tapi di DKI belum bisa berlaku bagi peserta PBI, peserta PBI hanya bisa di
redistriusi ke fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah saja, dari puskesmas satu ke
puskesmas yang lain. Contrary to common wisdom, it is now well established that systems
which target narrowly to the most needy generally perform rather badly in terms of
redistribution or poverty alleviation (Esping-Andersen 1996). Korpi and Palme (1998) called
this the ‘‘paradox of redistribution:’’ the more benefits are targeted at the poor, the less likely
this is to reduce poverty and inequality. While a targeted program may have greater
redistributive effects per unit of money spent, other factors are likely to make universalistic
programs more redistributive. (Hayne & Salterio, 2006), sehingga diharapkan jika PBI akan
ditanggung oleh APBN akan lebih fleksibel dalam pengaturannya, karena pembayaan PBI oleh
APBD aka nada beberapa pertimbangan sehingga kurang lebih pemanfaatan akan bisa kembali
dikelola oleh Pemerintah Daerah.
199
Universitas Indonesia
Salah satu pertimbangan beberapa daerah mengapa PBI tidak bisa
diredistribusi kepada swasta adalah karena di Puskesmas para peserta BPJS PBI
kemungkinan kecil mereka diminta membayar biaya sendiri, bahkan hampir tidak
ada. Obat – obatan yang di berikan di puskesmas tersedia gratis, berbeda di klinik
peserta biasanya akan di minta biaya tambahan untuk itu.
Salah satu informan kunci mengatakan tinjauan ekonomi JKN yang penting
tidak boleh ke luar negeri karena asset dalam negeri bisa ke luar, kalau masih dalam
tataran nasional dalam negeri, harusnya perekonomian tetap beredar secara
nasional, dan hal itu harusnya tidak menjadi masalah, sehingga tidak beralasan jika
dengan tujuan agar pemanfaatannya kembali lagi ke Pemda. The Effciency–Equity
Trade-off, Another key distinction between liberal and other welfare regimes is that
they are more concerned about the potential trade-off between equity and economic
efficiency (Hayne & Salterio, 2006), seharusnya sebagai negara demokrasi akan
lebih memihak terhadap keadilan warga negaranya, bukan hanya berdasarkan
pertimbangan ekonomi.
Terkait orientasi kepuasan peserta, maka puskesmas dengan kepesertaan
yang memadai akan lebih memuaskan pesertanya, dimana waktu kontak yang bisa
dibangun dalam hubungan dokter pasien akan menjadi lebih fleksibel, dibanding
pada fasilitas pelayanan kesehatan melebihi kuota yang lebih sehingga berpotensi
waktu kontak yang lebih pendek (Alhabsyi, 2007). Pada kondisi di DKI Jakarta
kepesertaan belum merata di beberapa puskesmas dimana ada Puskesmas dengan
kepesertaan terkecil dengan rasio dokter:peserta 1:288, dan terbesar dengan rasio
dokter per peserta sebesar 1:79.060
Selain orientasi mutu pelayanan: dengan kepesertaan yang besar dan
menumpuk di puskesmas, akan sulit bagi puskesmas untuk menjaga mutu
pelayanan, dimana standar pelayanan bisa dilakukan sesuai prosedur, dibanding
peserta yang besar ada beberapa kecenderungan standar pelayanan yang terlewat
untuk dilaksanakan.
Dengan adanya kemungkinan peserta bisa didistribusikan ke fasilitas
kesehatan swasta akan memunculkan persaingan yang sehat, puskesmas dalam
upaya meningkatkan kualitas mutu seoptimal mungkin. Karena dengan kondisi jika
peserta tidak banyak punya pilihan untuk redistribusi, sehingga jumlah peserta tidak
200
Universitas Indonesia
akan banyak berubah, maka akan mensuggest terkait pelayanan yang akan
cenderung stagnan dan mengurangi upaya motivasi mewujudkan pelayanan
terbaik.
Twenty years ago, in his book The Strategy of Equality, Julian Le Grand
(1982) reached the striking conclusion that almost all public expenditure on the
social services (in the UK) benefits the better off to a greater extent than the poor.
Tom Sefton (2006) dalam The Oxford Handbook of public policy says inequality in
health care and other services reflects inequality in society more generally. On this
basis, they argue that governments should intervene directly in the market to ensure
it produces the ‘‘right’’ (Hayne & Salterio, 2006). Tinjauan terkait peraturan BPJS
terkait peserta bisa meredistribusi dirinya, peserta bisa memilih fasilitas pelayanan
kesehatan sesuai dengan pilihannya, dan bisa pindah fasilitas sesuai yang mereka
inginkan berdasarkan prinsip assessibilitas, dan mutu pelayanan. Kebijakan
pembatasan peserta PBI bersebrangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2014 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bahwa setiap peserta
memperoleh hak layanan yang sama (azas Equitas), dan asas portabiitas, maka
bahwa peserta PBI BPJS Kesehatan mendapat hak yang sama seperti halnya peserta
Non PBI BPJS Kesehatan untuk melakukan pindah atau mutasi FKTP (Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama) baik milik Pemerintah Daerah ataupun swasta yang
bekerja sama dengan BPJS Kesehatan (Indonesia, 2004).
Persyaratan pindah faskes bagi peserta JKN disebutkan bahwa salah satu
syarat pindah faskes adalah masa kepesertaan BPJS peserta sudah mencapai
minimal 3 bulan atau lebih, jika belum mencapai maka belum bisa dilakukan pindah
faskes. Pindah faskes umumnya sering dilakukan oleh peserta BPJS mandiri
maupun peserta BPJS PPU, mereka bisa memilih dan mengganti fasilitas kesehatan
tingkat pertama dimanapun sesuai dengan domisili. Beda halnya dengan Peserta
BPJS PBI atau peserta BPJS Penerima bantuan Iuran, Peserta BPJS PBI adalah
peserta pemegang kartu KIS / Jamkesmas atau jamkesda khusus untuk warga
miskin dan tidak mampu yang hanya berhak atas kelas III dan hanya bisa memilih
fasilitas kesehatan milik pemerintahan daerah seperti puskesmas kelurahan atau
puskesmas kecamatan.
201
Universitas Indonesia
Pembatasan redistribusi kepesertaan juga bersebrangan dengan Peraturan
Presiden No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden No.
12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan (Peraturan Presiden, 2016) pada pasal
29 ayat (1) UntukpertamakalisetiapPesertadidaftarkanolehBPJSKesehatan
pada satu Fasilitas Kesehatan tingkat pertama yang ditetapkan oleh BPJS
Kesehatansetelahmendapatrekomendasidinaskesehatankabupaten/kota
setempat.Dan kebijakan ini dijadikan pijakan implementasi bahwapeserta
PBIdidaftarkandipuskesmas.
Pada pasal (2) Dalam jangka waktu paling sedikit 3 (tiga) bulan
selanjutnyaPesertaberhakmemilihFasilitasKesehatantingkatpertamayang
diinginkan. (2a) Untuk kepentingan pemerataan, BPJS Kesehatan dapat
melakukan pemindahan peserta dari suatu Fasilitas Kesehatan tingkat
pertama ke Fasilitas Kesehatan tingkat pertama lain yang masih dalam
wilayahyangsama.Dalamhal inipemindahanpesertatidakhanyaterbatas
padafasilitaspelayanankesehatanmilikpemerintah
Pada ayat (2b) Pemindahan Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2a)
dilakukan dengan mempertimbangkan rekomendasi dari dinas kesehatan
kabupaten/kota setelah berkoordinasi dengan asosiasi Fasilitas Kesehatan, dan
organisasi profesi. Disinidimungkinkanbahwarekomendasiadalahkefasilitas
pemerintahlaintanpamelihatopsiadanyafasilitaspelayanankesehatannon
pemerintah yang kualitasnya setara dan memiliki kepesertaan yang masih
kurang. Sehingga pemerataan disini tidak hanya terbatas pada fasilitas
pelayanankesehatanmilikpemerintah.
Pada ayat (2c) Dalam hal peserta yang dipindahkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2a) keberatan, maka Peserta dapat meminta untuk
dipindahkan ke Fasilitas Kesehatan tingkat pertama yang diinginkannya.
Bahwasannya tidak ada pembatasan bagi peserta BPJS untuk memilih fasilitas
pelayanan kesehatan sesuai yang diinginkan, dalam hal ini tidak ada batasan antara
fasilitas pelayanan kesehatan adalah milik pemerintah atau non pemerintah.
Pasal 6 bahwasannya Peserta PBPU yang memiliki KTP DKI langsung
dialihkan menjadi peserta PBI, dengan ketentuan sebagai berikut a) Peserta
202
Universitas Indonesia
Pendaftar baru kelas III; b) Peserta yang terdaftar di Kelas III yang menunggak 1
(satu) bulan iuran; dan/atau c) Peserta yang terdaftar di Kelas I dan Kelas II yang
menunggak minimal selama 3 (tiga) bulan. Ayat (2) Peserta pengalihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperkenankan kembali menjadi peserta
PBPU paling sedikit 6 (enam) bulan setelah pengalihan dan Peserta pengalihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat mengajukan 1 (satu) kali
permohonan kepada BPJS untuk menjadi peserta PBPU kembali
Dan yang dimaksud peserta disini adalah setiap orang termasuk orang asing
yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia yang telah membayar
iuran, hal ini tidak terbatas pada peserta PBI atau non PBI, karena peserta PBI pun
telah membayar iuran yang pembayarannya dilakukan oleh pemerintah.
Peraturan Menteri Sosial No 5 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 76 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 101 tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan yang
selaras dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2012
Tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (Peraturan Pemerintah RI
Nomor 101 tahun 2012) bahwasannya yang dimaksud dengan Bantuan Iuran
Jaminan Kesehatan yang selanjutnya disebut bantuan iuran adalah Iuran program
jaminan kesehatan bagi fakir miskin dan orang tidak mampu yang dibayar oleh
pemerintah. Dan yang dimaksud Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan yang
selanjutnya disebut PBI Jaminan Kesehatan adalah fakir miskin dan orang tidak
mampu sebagai peserta program jaminan kesehatan (Permensos, 2013). Dan pada
Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Presiden No. 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan yang dimaksud peserta
bukan PBI Jaminan Kesehatan merupakanPesertayang tidak tergolong fakir
miskindanorangtidakmampuyangterdiriatas1)PekerjaPenerimaUpah
dan anggota keluarganya; 2) Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota
keluarganya; dan 3) bukan Pekerja dan anggota keluarganya (Peraturan
Presiden,2016)
Sehingga adanya perbedaan pengertian PBI versi Peraturan Gubernur DKI
Jakarta Nomor 169 tahun 2016 tentang Kepesertaan Dan Pelayanan Jaminan
Kesehatan (Peraturan Gubernur, 2016) dan Permensos No.5 Tahun 2016. Dimana
203
Universitas Indonesia
semua warga DKI yang mau dilayani di kelas 3 bisa didaftarkan sebagai peserta
PBI tanpa memandang status sosialnya, baik fakir miskin atau bukan fakir miskin
sedangkan sesuai Permensos adalah fakir miskin dengan kriteria tertentu.
Kebijakan DKI akan menibulkan impak terhadap semakin menumpuknya pasien di
kelas 3, semakin reflektifnya peserta untuk pindah kelas, terjadi perubahan data
base yang cepat, Data “fakir miskin” versi DKI tidak sama dengan fakir miskin
sebagaimana tercantum dalam database di Kementerian Sosial dan audit penetapan
PBI bukan lagi dibawah kementerian sosial
Kebijakan DKI Jakarta mengandung tujuan baik namun bertentangan
dengan kebijakan yang lebih tinggi, seharusnya kebijakan daerah juga mengacu
pada kebijakan yang lebih atas.
Adanya penandatanganan kemensos dengan DKI terkait updating database
kepesertaan warga PBI, maka menimbulkan beberapa missing terkait pengertian
fakir miskin dalam artian sebenarnya sehingga apakah hal ini bisa diintegrasikan.
Dikatakan bahwa “BPJS Kesehatan akan menyediakan akses data PBI by name by
adress yang melakukan perubahan data, seperti nama, alamat, tanggal lahir, jenis
kelamin, NIK, nomor Kartu Keluarga, dan sebagainya. Selain itu, BPJS Kesehatan
juga akan membuka akses data peserta PBI yang mengalami mutasi status
kepesertaan, seperti pindah segmen kepesertaan, meninggal dunia, dan bayi baru
lahir dari ibu kandung PBI,” kata Direktur Perluasan dan Pelayanan Peserta BPJS
Kesehatan Andayani Budi Lestari usai acara Penandatanganan PKS antara BPJS
Kesehatan dengan Kementerian Sosial tentang Integrasi Sistem Informasi Data PBI
Jaminan Kesehatan, yang turut dihadiri oleh Menteri Sosial Khofifah Indar
Parawansa”.
Kemensos akan menyediakan akses data PBI by name by address yang
diusulkan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam kategori mutasi meninggal dunia dan
mutasi mampu (secara finansial, sehingga dapat statusnya dapat berganti menjadi
peserta mandiri yang iurannya dibayarkan sendiri). Di samping itu, Kemensos juga
akan menyediakan usulan data pengganti per Kabupaten/Kota untuk dilakukan
pengecekan atau pemadanan dengan data master file BPJS Kesehatan sampai
diperoleh data yang valid. Jika mau tanpa mengeneralisir mengubah artian harfiah
dari PBI, DKI membuat istilah baru terkait PBI, dimana hal ini tidak bisa di
204
Universitas Indonesia
generalisir di seluruh daerah seperti perlakukan sebagaimana di peraturan gubernur
DKI. Akan sedikit adanya perbedaan pengecekan atau pemadanan dengan data
master file BPJS Kesehatan sampai diperoleh data yang valid, dikarenakan kriteria
PBI DKI Jakarta adalah berbeda.
Kebijakan untuk pindah faskes untuk BPJS PBI sangat tergantung sekali
dengan kebijakan devisi regional BPJS dan kebijakan pemerintah daerah setempat,
Alison Hann dalam bukunya Health Policy and Politic says added to this is, are the
activities of non-governmental groups such as the media, the pharmaceutical
industry, patient user groups, the ‘empowered patient’ to mention but a few, who
are seeking to influence policy to reduce health inequalities, improve service
provision, control costs and improve efficiency and effectiveness. The academic
analysis of the relationship between politics and policy does not simply engage with
the monitoring of changes in government policy, or indeed what happens in the
NHS, important though this is. It has recently become increasingly interested in
analysing the provision of health services within the NHS (and outside it) in terms
of such things as social justice, equality and diversity, while also carefully
scrutinising the political and ideological dimensions to health and health care
(Hann, 2007). Sehingga perlu untuk melakukan advokasi terhadap kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah yang untuk pelayanan kesehatan yang berkualitas, adil dan
merata.
D Kebijakan rasio dokter:peserta
Kesimpulan evaluasi JKN tahun 2015 Rasio dokter per peserta 1:6.708
peserta (lebih dari rasio ideal sebesar 1 : 5.000 peserta) (Peraturan Gubernur, 2016).
Sebagai perbandingan, pada penelitian di India, tahun 2013 rasio dokter dengan
penduduk sudah mencapai 1:1.800 penduduk (Deo, 2013). Disparitas kepesertaan
JKN terjadi karena penempatan peserta JKN PBI sesuai dengan wilayah tempat
tinggalnya serta sebaran penduduk miskin yang menjadi peserta PBI yang
persentasenya tidak merata. Hal ini sesuai dengan hasil evaluasi Kementerian
Kesehatan tahun 2015, bahwa peserta JKN yang terdaftar pada FKTP Puskesmas
belum ideal. Rasio dokter dengan peserta JKN sebesar 1: 6.765, masih lebih tinggi
dari standar nasional sebesar 1:5.000 peserta, bahkan masih lebih besar dari rata-
205
Universitas Indonesia
rata nasional yaitu sebesar 1: 6.708 peserta. Mean rasio dokter per peserta JKN di
DKI Jakarta adalah 1:9.621 peserta .
Tingginya rasio peserta berakibat pada penurunan kualitas waktu pelayanan.
Angka 1:5.000 didapatkan bila 1 orang dokter melayani pasien selama 10 menit per
pasien, dengan pemeriksaan selama 5 jam dan 25 hari kerja (MKEKI, 2002), maka
bila lamanya dokter memeriksakan setiap pasien yang berkunjung idealnya 15 – 20
menit (Linzer, M., n.d, 2015) atau 18 – 20,9 menit (Abbo, E. D., Zhang, Q., Zelder,
M. & E. S., 2008), bila diambil 20 menit saja dengan kunjungan peserta 15%, maka
idealnya rasio dokter dengan peserta maksimum sebesar 1 : 2.500 peserta.
Dengan rata-rata rasio dokter dengan peserta 1:6.765 peserta, bila standar
kunjungan 15% dari peserta dan jam kerja dokter 5 jam per hari serta 25 hari kerja,
maka waktu pemeriksaan dokter terhadap pasien rata-rata hanya sekitar 7,4 menit
per pasien dibawah standar waktu pemeriksaan. Bahkan pada puskesmas yang
rasionya tinggi, waktu pemeriksaan akan semakin lebih singkat. Pada penelitian
terkait pemanfaatan kapitasi di Bogor didapatkan rasio dokter:peserta maksimal
1:30.006 dokter per peserta dengan standar kunjungan dan jam kerja dokter yang
sama, maka waktu pemeriksaan per pasien hanya sebesar 1,67 menit (Hasan &
Adisasmito, 2017).
Untuk rasio rata-rata dokter:peserta adalah 1:9621 peserta, sehingga
didapatkan waktu per pasien adalah 5,2 menit. Untuk rasio maksimal dokter:peserta
di DKI didapatkan 1:79.060 dengan standar kunjungan dan jam kerja dokter
sebagaimana diatas, maka waktu pemeriksaan per pasien adalah sebesar 0,63 menit,
Waktu pemeriksaan yang semakin singkat ini, tentu akan menurunkan kualitas
pelayanan dokter. Belum lagi jika ditambah dengan pasien non peserta JKN, tentu
akan semakin berat lagi Sehebat apapun dokter, dengan rasio peserta yang tinggi,
maka akan berat untuk bisa menjaga mutu pelayanan, dan pelayanan yang merata.
Untuk ilustrasi total waktu kerja dokter di puskesmas per 1 dokter di
puskesmas sesuai dengan Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan sebagaimana Pasal 77 ayat (2) ketentuan waktu kerja meliputi :
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6
(enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan
40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu)
206
Universitas Indonesia
minggu. Jika Puskesmas menyelenggarakn upaya UKP dan UKM, untuk
kepesertaan rasio ideal dokter:peserta 1:5000, maka bisa diestimasi bahwa seorang
dokter punya kira-kira waktu 1 jam untuk UKM, dan 4 jam 40 menit untuk UKP
dengan utilisasi 10% per bulan. Bisa dibayangkan untuk rasio kepesertaan yang
melebihi 1:5000, maka akan semakin kecil waktu yang bisa diluangkan untuk
melakukan kegiatan UKM, sehingga waktu habis hanya untuk melakukan
pelayanan UKP.
Jika pembayaran puskesmas dibayar sebesar kapasitas puskesmasnya
(jumlah peserta yang mampu dilayani puskesmas), durasi lama waktu pelayanan
cukup, niscaya mutu pelayanan untuk kontak komunikasi lebih terjaga.
207
Universitas Indonesia
Adanya Peraturan BPJS No 1 Tahun 2017 tentang Pemerataan Peserta di
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama belum berjalan. Pada Chapter 2 The Politic of
NHS Deficits and NHS Re-form, Calum Paton says “The deficit across NHS
hospital Trusts and Primary Care Trusts (PCTs) in England for 2005–2006 was c.
£1.2 billion (although the government in the end artificially reduced the figure to
c. £550,000 by ‘raiding’ education, training, public health and mental health
budgets – thus committing the cardinal sin of ‘brokerage to hide deficits’ for which
it was simultaneously berating the NHS). The reason it was a surprise of increasing
size as the news was reported ‘up the line’ was primarily because of the cultural
politics of the NHS (Hann, 2007). Peraturan BPJS No.1 tahun 2017 belum berjalan,
adanya upaya yang stagnan dari kedua belah pihak, dimana Pemerintah Daerah
membatasi PBI untuk di redistribusi ke faskes swasta, dimana dalam hal ini
pemerintah daerah berfokus pada pendapatan daerah, disinyalir pendapatan akan
berkurang jika kapitasi akan diberikan ke fasilitas pelayanan kesehatan swasta. Dan
di prediksi kondisi BPJS yang mengalami defisit, ditambah adanya beban tambahan
seandainya peserta PBI di redistribusi ke Faskes swasta maka BPJS harus
membayar lebih tinggi, karena pembayaran ke faskes swasta (Rp.8000,-s.d
Rp.10.000,-) adalah lebih tinggi daripada pembayaran ke Puskesmas (Rp.6000,-).
Sehingga masing-masing pihak stagnan di posisi masing-masing. Perlu dicari
alternatif dari permasalahan ini, antara lain: Untuk pemerataan diperlukan adanya
kecukupan iuran untuk penguatan pendapatan BPJS, memperbaiki kualitas FKTP
untuk memperbaiki kualitas capaian KBK sehingga faskes yang dituju adalah
memenuhi persyaratan, sesuai pilihan peserta untuk keadilan, harus mendapat
dukungan regulasi daerah untuk bisa memperkuat posisi puskesmas sebagai
pelaksana UKM, tidak ada lagi PBI (APBD) semua PBI adalah PBI (APBN) untuk
fleksibilitas pemerataan peserta, pemerataan dilakukan secara bertahap (FKTP yang
sudah penuh, tidak ditambah lagi peserta), redistribusi tidak hanya terbatas di faskes
pemerintah/antar faskes pemerintah termasuk asuransi jamsostek tidak hanya
terbatas di pos-pos kesehatan kerja asuransi bagi Polri tidak terbatas di fasilitas
pelayanan kesehatan milik Polri dan lain-lain yang merupakan alternative solusi
yang bisa ditawarkan yang tentunya harus dibarengi untuk niat baik bahwa semua
208
Universitas Indonesia
itu dilakukan untuk tujuan penyelenggaraan pelayanan yang lebih baik dan
kesehatan masyarakat yang lebih adil dan merata.
209
Universitas Indonesia
Halaman ini sengaja dikosongkan
210
Universitas Indonesia
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil penelitian didapatkan beberapa hal terkait implementasi kapitasi
berbasis komitmen pelayanan puskesmas di wilayah DKI Jakarta
1. Implementasi KBK selama 2 tahun telah cukup baik dan signifikan
meningkatkan rata-rata angka kontak pada tahun 2017 sebesar 192.6 0/00 (target
≥150 0/00), dan rata-rata rasio prolanis sebesar 44.9% (≥50%), dan menurunkan
rata-rata rasio rujukan kasus non spesialistik menjadi 0.3% (target <5%)
2. Dari analisis multivariate, didapatkan pemodelan variable yang berhubungan
dengan pencapaian indikator komitmen pelayanan adalah karakteristik
puskesmas (tingkat, kategori, status puskesmas), besar kapitasi, sumber daya
(kecukupan SDM dokter, perawat, bidan, tenaga kefarmasian), peserta (jumlah,
profil resiko peserta). Dan dari pemodelan didapatkan variable disposisi
(kapitasi), dan SDM adalah yang signifikan berpengaruh terhadap capaian
indikator komitmen pelayanan (p value <0.05).
3. Penerapan kompensasi pemotongan kapitasi disisi lain berdampak positif, dan
adanya resiko indikasi moral hazard dalam pelaksanaan di lapangan. Disisi
positif cukup memberi efek jera bagi puskesmas untuk mengerahkan segala
usaha untuk pencapaian indikator komitmen pelayanan, dan dari sisi berpotensi
moral hazard dalam pelaksanaan di lapangan. Sehingga diperlukan monitoring
dan evaluasi dari berbagai pihak tanpa terfragmentasi agar cita-cita
implementasi KBK untuk mewujudkan pelayanan yang berkualitas bisa
dilakukan.
4. Terkait capaian angka kontak ada beberapa lonjakan yang sangat tinggi,
dengan ketenagaan yang sama selama waktu 2 tahun di beberapa puskesmas
dengan kepesertaan besar merupakan hal yang perlu mendapat perhatian.
5. Gab antara turunnya RRNS dan kenaikan KNS di DKI Jakarta mengindikasian
adanya perbedaan persepsi diagnosis antara ketenagaan di Puskesmas dan
Rumah Sakit, semakin kecilnya diagnosis peer review dari 133 menjadi 128
kurangnya sarana, prasarana, alat, perlu dilakukan upaya penguatan SDM dan
211
Universitas Indonesia
fasilitasi untuk kelengkapan sumber daya sehingga peer review bisa mencapai
144 diagnosis yang harus bisa selesai di FKTP mengindikasikan masih
memerlukan tinjauan
6. Upaya pencapaian rasio prolanis berpotensi moral hazard dimana peserta yang
didaftarkan hanya yang rutin berkunjung, tetapi bukan semua peserta dengan
penyakit kronis sehingga dengan denominator yang kecil maka akan dengan
mudah capaian rasio prolanis didapat 100%, signifikan kenaikan rasio prolanis
secara rata-rata belum mencapai standar capaian yang diharapkan (>50%) bisa
dijelaskan masih adanya puskesmas yang belum menyelenggarakan klub
prolanis, sehingga masih banyak yang capaian rasio prolanisnya 0%.
7. Rasio dokter:peserta mengindikasikan dominannya pelayanan UKP di
Puskesmas, dimana dengan rasio maksimal dokter:peserta di DKI didapatkan
1:79.060 dengan standar kunjungan 15% dari peserta dan jam kerja dokter 5
jam per hari serta 25 hari kerja, maka waktu pemeriksaan per pasien adalah
sebesar 0,63 menit.
8. Sebanyak 80,15% PBI (APBD) tidak bisa diredistribusi bertentangan dengan
UU No 40 tahun 2004 tentang SJSN terkait azas Equitas dan Portabilitas, dan
Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2016 yang mengatakan bahwa“…peserta
dapat meminta untuk dipindahkan ke fasilitas kesehatan tingkat pertama yang
diinginkannya”
Saran
Dari penelitian ini ada beberapa catatan yang bisa menjadi masukan dan
saran terkait implementasi kapitasi berbasis komitmen pelayanan.
Dinas Kesehatan
1. Forum bersama Puskesmas dan RS yang difasilitasi oleh Dinas Kesehatan
perlu dilaksanakan sebagai coaching, sehingga meminimalisir perbedaan
capaian RNS dan KNS
2. Pemenuhan sarana, prasarana, alat, dan SDM untuk memperkuat Puskesmas,
sehingga peer-review diagnosis yang harus selesai di puskesmas bisa
ditingkatkan.
212
Universitas Indonesia
3. Peguatan monitoring dan evaluasi terhadap capaian indikator komitmen
pelayanan, dan pengelolaan pemanfaatan kapitasi
4. Advokasi kebijakan terkait peraturan gubernur untuk penguatan Puskesmas
dalam UKM, dan redistribusi kepesertaan
BPJS
1. Sosialisasi dari BPJS cukup baik dengan strategi langsung kepada sasaran
puskesmas, namun perlu sosialisasi yang intensif untuk koordinasi dengan
dinas kesehatan provinsi dan suku dinas kesehatan, sehingga keeratan
koordinasi diharapkan akan menguatkan fungsi monitoring dan evaluasi terkait
capaian kapitasi bersasis komitmen pelayanan. Selain itu edukasi terkait sistem
rujukan kepada peserta juga sangat penting
2. Akses Sudinkes dan Dinkesprovinsi DKI Jakarta terhadap p-care bisa
dipertimbangkan untuk fungsi monitoring dan evaluasi
3. Pelaksanaan Peraturan BPJS No 1 Tahun 2017 tentang Pemerataan Peserta di
FKTP
Kemenkes
1. Pembinaan kepada Dinas Kesehatan terkait managemen Puskesmas
2. Evaluasi target capaian indicator komitmen pelayanan bisa dibedakan antara
puskesma perkotaan dan puskesmas pedesaan
3. Review indicator komitmen pelayanan dan definisi operasionalnya bersama
BPJS
4. Evaluasi indicator prolanis bukan hanya sebatas rutin berkunjung, bisa terlihat
misalnya dengan capaian prolanis dengan kadar gula dan tekanan darah yang
stabil sehingga bisa dilihat efektifitas kegiatan oleh klub prolanis
5. Meninjau ulang Permenkes No. 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas perlunya
penguatan UKM di Puskesmas
6. Penguatan Rujuk Balik
213
Universitas Indonesia
Puskesmas
1. Penguatan koordinasi, sosialisasi informasi Puskesmas kecamatan dengan
puskesmas kelurahan terkait peningkayan pelayanan kesehatan dan
pemanfaatan dana kapitasi
2. Pemenuhan sarana, prasarana, alat, SDM khususnya di Puskesmas kelurahan
untuk mengurangi rujukan internal dari puskesmas kelurahan ke puskesmas
kecamatan
3. Pelaksanaan managemen Puskesmas dengan baik untuk mengintegrasikan
seluruh sumber daya yang ada dalam mencapai target-pelayanan
4. Integrasi klub prolanis dengan program posbindu PTM
Peneliti Selanjutnya
1. Untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap, penelitian selanjutnya bisa
dilihat efektifitas implementasi kapitasi berbasis komitmen pelayanan terhadap
mutu pelayanan yang diberikan, dan dari sisi kepuasan peserta terhadap
pelayanan yang diberikan.
2. Penelitian selanjutnya juga bisa diarahkan untuk mencari faktor-faktor lainnya
yang mengindikasikan keberhasilan implementasi KBK, karena pemodelan
yang ada hanya mewakili 15% dari variable berpengaruh terhadap pencapaian
indikator komitmen pelayanan
3. Pengkajian di Provinsi lain diluar DKi dengan kondisi yang berbeda karena di
DKI semua Puskesmas telah BLUD dan kekhusussan adanya Puskesmas
Kecamatan dan Kelurahan yang berbeda dengan kondisi di daerah lain.
4. Efektifitas KPLDH untuk pelayanan UKM di Puskesmas
5. Relevansi pengaruh implementasi KBK terhadap pelaksanaan UKM di
Puskesmas
214 Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Abbo, E. D., Zhang, Q., Zelder, M., & H., & E. S. (2008). The Increasing Number of
Clinical Items Addressed During the Time of Adult Primary Care Visits. Journal of
General Internal Medicine, 23(12), 2058-2065. doi:http://dx.doi.
org/10.1007/s11606-008-0805-8.
Abidin, Y. Z. (2016). Komunikasi Pemerintahan (1st ed.). Bandung: CV. Pustaka Setia.
Adisasmito, W. (2013). Perancangan Naskah Akademik dan Kebijakan Kesehatan.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
Agustino, L. (2008). Dasar-Dasar Kebijakan Publik. bandung: Alfabeta.
Andersen, R and Newman, J. (2005). Societal and Individual Determinants of Medical
Care Utilization in the United States. The Milkbank Quarterly, 83(4), 1–28.
Atmoko, T. (2011). STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) DAN
AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH.
Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan. (2014). Program Pengelolaan Penyakit
Kronis (PROLANIS). Jakarta: BPJS Kesehatan.
Blomqvist, a, & Busby, C. (2012). How to Pay Family Doctors: Why “Pay per Patient”
is Better Than Fee for Service. C.D. Howe Institute Commentary - Social Policy,
Commentary(365).
Boland, P. (1997). The Capitation Sourcebook: A Practical Guide to Managing At-risk
Arrangements. Washington DC: National Academie Press.
BPJS. (2017). Peraturan Bersama Sekjen Kemenkes dan Direktur Utama BPJS Kesehatan
Nomor HK.01.08/III/980/2017 Tahun 2017 Nomor 2 Tahun 2017.
BPJS. (2018). Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional No. 1 Tahun
2018. Jakarta.
215
Universitas Indonesia
BPJS Kesehatan. (2016). Panduan Tatalaksana 20 kasus non spesialistik di fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama.
BPS Jakarta. (2017). Jakarta in figures 2017, 667.
Creswell, J. W. (2013). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods
Approaches. Research design Qualitative quantitative and mixed methods
approaches. https://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2
Deo, M. G. (2013). Doctor population ratio for India - The reality. Indian Journal of
Medical Research, 137(4), 632-635. Retrieved from
http://www.ijmr.org.in/article.asp?issn=0971-
%0A5916;year=2013;volume=137;issue=4;spage%0A=632;epage=635;aulast=De
o
Dowd, C. E. (1998). Managed Care: Integrating the Delivery and Financing of Health
Care (Part A and Part B). Managed Care Quarterly; Spring, 6(2). Retrieved from
https://search.proquest.com/docview/231205238/fulltextPDF/6A60B4FEEADD49
67PQ/1?accountid=17242
Edmonds, M., & Frank, R. (1997). Managing Managed Care: Quality Improvement in
Behavioral Health. Retrieved from
https://ebookcentral.proquest.com/lib/indonesiau-
ebooks/reader.action?docID=3375699
Edward III, G. C., & Sharkansky, I. (1978). he Policy Predicament : Making and
Implementing Public Policy (1st ed.). San Fransisco: W.H. Freeman and Company.
Edward III, G. C. (1980). Implementing Public Policy. Washington DC: Congressional
Quarterly Press.
Ellis, Roger; Whittington, D. (1993). Quality Assurance in Heath care. Great Britain.
Ennis, R. H. (1996). Critical Thinking. Toronto: Prentice-Hall, Inc.
Gani, A. (1994). Aspek Ekonomi Pelayanan Kesehatan, Cermin Dunia Kedokteran.
Jakarta.
Ghozali, I. (2014). Structural Equation Modeling Metode Alternatif Dengan Partial Least
216
Universitas Indonesia
Squares (PLS). Jakarta: Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang.
Gubernur DKI Jakarta. (2016). Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 118 Tahun
2016 tentang Analisis jabatan dan Analisis Beban Kerja pada Dinas Kesehatan.
Jakarta.
Gubernur, P. D. J. (2012). Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
No. 165 tahun 2012 tentang Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
Daerah. Jakarta.
Gubernur, P. D. J. (2016). Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
No. 150 Tahun 2016 tentang Pedoman Teknis Penilaian Usulan Penerapan Pola
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, 9–11.
Gubernur Provinsi DKI Jakarta. (2013). Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 59
tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Gubernur No, 38 Tahun 2011
tentang Tunjangan Kinerja Daerah.
Gubernur Provinsi DKI Jakarta. (2016a). Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta No. 221 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur
Nomor 95 Tahun 2016 tentang Pedoman Pemberian Penghasilan Bagi Pegawai Non
Pegawai Negeri Sipil pada Satuan Kerja Perangkat Daerah/Unit , 5–7.
Gubernur Provinsi DKI Jakarta. (2016b). Pergub Provinsi DKI Jakarta Nomor 115 Tahun
2016 Tentang Program Ketuk Pintu Layani Dengan Hati. Retrieved from
http://jdih.jakarta.go.id/uploads/default/produkhukum/PERGUB_NO_115_TAHU
N_2016.pdf
Hann, A. (2007). Health Policy and Politics.
Hasan, A. G., & Adisasmito, W. B. B. (2017). Analisis Kebijakan Pemanfaatan Dana
Kapitasi JKN pada FKTP Puskesmas di Kabupaten Bogor Tahun 2016. Jurnal
Kebijakan Kesehatan Indonesia, 6(3), 127–137.
Hayne, C., & Salterio, S. E. (2006). The Oxford Handbook of Public Policy. The Oxford
Handbook of Public Policy, (February), 983.
https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199641253.001.0001
217
Universitas Indonesia
HIAA. (1996). Managed Care: Integrating The Delivery and Financing of Health Care.
Part A. Washington DC.
Hill, M., & Hupe, P. (2002). Implementing Public Policy; Governance in Theory and in
Practice. Athenaeum Studi Periodici Di Letteratura E Storia Dell Antichita, 89–107.
https://doi.org/10.1201/9781420017007.fmatt
Indonesia, S. N. R. (2004). Undang-Undang RI No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional.
Jones, G. R. (2007). Organizational Theory : Design and Change. New Jersey: Pearson
Education.
Kangean, P. (1990). Faktor Petugas dan Fasilitas Kesehatan Perujuk dengan
Karakteristik Rujukan Poliklinik Anak Rumah Sakit Gatot Subroto.
Kemenkes RI. (2014). PMK No. 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat.
https://doi.org/351.077 Ind r
Kemenkumham. (2016). Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2016.
Kementerian Kesehatan. (2010). Pedoman Akreditasi Puskesmas, 1–32.
Kementerian Kesehatan. (2014). Buku Saku Permenkes No. 75 Tahun 2014 Tentang
Puskesmas, (75).
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2012).
PMK_No_001_Ttg_Sistem_Rujukan_Pelayanan_Kesehatan_Perorangan.pdf.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Data Dasar Puskesmas Provinsu
DKI Jakarta: Keadaan Desember 2013. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan RI No
44 Tahun 2016 Tentang Pedoman Manajemen Puskesmas. Jakarta, 1–88. Retrieved
from
http://kesga.kemkes.go.id/images/pedoman/PMK_No._44_ttg_Pedoman_Manajem
en_Puskesmas_ (1).pdf
218
Universitas Indonesia
Kementerian Kesehatan RI. (2015). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 36 Tahun 2015 tentang Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam Pelaksanaan
Program Jaminan Kesehatan Pada Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jakarta.
Retrieved from www.hukor.depkes.go.id
Kesehatan, B. (2016). Kredensialing Puskesmas.
Kesehatan, K. (2016). Permenkes No. 21 Tahun 2016 tentang Penggunaan Dana Kapitasi
Jaminan Kesehatan Nasional untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya
Operasional Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah.
Kongstvedt, P. R. (Peter R. (2013). Essentials of managed health care. Jones and Bartlett
Learning.
Linzer, M., Bitton, A., Tu, S. P., Plews-Ogan, M., & Horowitz, K. R., & Schwartz, M. D.
(2015). The End of the 15–20 Minute Primary Care Visit. Journal of General Internal
Medicine, 30(11), 1584-1586. doi:10.1007/s11606-015-3341-3.
Marcucci, M., & Sharma, S. (1997). Applied Multivariate Techniques. Technometrics,
39(1), 101. https://doi.org/10.2307/1270777
Massie, R. G. A. (2009). Kebijakan Kesehatan : Proses, Implementasi, Analisis dan
Penelitian. Bulletin Penelitian Sistem Kesehatan, 12(4), 409–417.
Max, R., & Andersen, R. M. (2016). Linked references are available on JSTOR for this
article : National Health Surveys and the Behavioral Model of Health Services Use,
46(7), 647–653.
Merton, R. K. (1936). The unintended consequences of purposive social action. American
Sociological Review, 1: 894–904.
MKEKI, I. (2002). Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik
Kedokteran Indonesia. Retrieved from http://luk.staff.ugm.ac.id/atur/sehat/Kode-
Etik-%0AKedokteran.pdf
Moher, D., Shamseer, L., Clarke, M., Ghersi, D., Liberatî, A., Petticrew, M., … Group,
P.-P. (2015). Preferred reporting items for systematic review and meta-analysis
protocols (PRISMA-P) 2015 statement, 4, 1–9. https://doi.org/10.1186/2046-4053-
219
Universitas Indonesia
4-1
Nugroho, R. (2017). Public Policy. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Nurbaiti. (2001). Pelaksanaan kapitasi..., Nurbaiti, FKM UI, 2001.
Papilaya, A. (1985). Studi Pelaksanaan Rujukan Medik di 3 Rumah Sakit di DKI Jakarta.
Pemerintah Daerah DKI Jakarta. (2007). Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No.
169 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat Kesehatan Masyarakat
Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Retrieved from
http://jdih.jakarta.go.id/uploads/default/produkhukum/Pergub_No._169_Tahun_20
07_-
_Tentang_Organisasi_dan_Tata_Kerja_Pusat_Kesehatan_Masyarakat_DKI_%5B0
%5D_.pdf
Pengaruh pembayaran..., Alwi Alhabsyi, FKM UI, 2007. (2007).
Peraturan Gubernur. (2016). Peraturan Gubernur Provinsi DKI Nomor 169 tahun 2016
tentang Kepesertaan dan Pelayanan Jaminan Kesehatan.
Peraturan Gubernur DKI Jakarta. (2016). Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Pusat
Kesehatan Masyarakat.
Peraturan Menteri Dalam Negeri. (2007). Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 59 Tahun
2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Jakarta.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 101 tahun 2012. (2012). Penerima Bantuan Iuran
Jaminan Kesehatan.
Peraturan Presiden. (2014). Peraturan Presiden RI No. 32 tahun 2014 tentang Pengelolaan
dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional. Jakarta.
Peraturan Presiden. (2016). Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 19 Tahun 2016
tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden No. 12 tahun 2013 tentang
Jaminan Kesehatan. Pemerintah RI. Jakarta.
Permenkes. (2016a). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 52 tahun 2016
220
Universitas Indonesia
tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program
Jaminan Kesehatan.
Permenkes. (2016b). PERMENKES No 64 Tahun 2016 Temtang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 Tahun 2016 Tentang Standar Tarif
Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan, 1096.
Permenkes. (2017). Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52
Tahun 2016 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan
Program Jaminan Kesehatan.
Permensos. (2013). Peraturan Menteri Sosial Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 Tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan
Kesehatan, 1–63.
Peta Jalan JKN. (2015). KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI
SEKRETARIAT WAKIL PRESIDEN. Retrieved from
http://www.tnp2k.go.id/images/uploads/downloads/Final_JKN_Perjalanan Menuju
Jaminan Kesehatan Nasional - Copy.pdf
Presiden RI. (2011). Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial. jakarta.
Pressman, J. L., & Wildavsky, A. B. (1984). Implementation : how great expectations in
Washington are dashed in Oakland : or, why it’s amazing that federal programs work
at all, this being a saga of the Economic Development Administration as told by two
sympathetic observers who seek to build moral. Retrieved from
http://www.ucpress.edu/book.php?isbn=9780520053311
Rusli, B. (2015). Kebijakan Publik : Membangun Kebijakan Publik yang Responsif.
Bandung: CV. Adoya Mitra Sejahtera.
Sarstedt, M., Ringle, C. M., & Hair, J. F. (2017). Partial Least Squares Structural Equation
Modeling. Handbook of Market Research, (January 2017), 1–40.
https://doi.org/10.1007/978-3-319-05542-8_15-1
221
Universitas Indonesia
Situmorang, C. H. (2017). EFEKTIFITAS DANA KAPITASI DI PUSKESMAS - Jurnal
Social Security. Retrieved July 1, 2018, from
http://www.jurnalsocialsecurity.com/news/efektifitas-dana-kapitasi-di-
puskesmas.html
Situmorang, C. H. (2018). EVALUASI FORENSIK EMPAT TAHUN JKN ( 2014 –
2017) oleh Direktur Social Security Development Institute (SSDI) – Ketua DJSN
2011 – 2015 - Jurnal Social Security. Retrieved July 1, 2018, from
http://www.jurnalsocialsecurity.com/news/evaluasi-forensik-empat-tahun-jkn-
2014-2017.html
SKN. (2012a). Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan
Nasional.
SKN. (2012b). PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor 72 Tahun
2012 tentang Sistem Ketahanan Nasional. Retrieved from
http://bksikmikpikkfki.net/file/download/Peraturan Presiden RI No. 72 Th 2012 ttg
Sistem Kesehatan Nasional.pdf
Starfield, B. (2010). Primary Care / Specialty Care in the Era of Multimorbidity of Care.
Suaib, M. R. (2016). Pengantar Kebijakan Publik (1st ed.). Yogyakarta: Calpulis.
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kombinasi. Bandung: Alfabeta.
Sumantri, S. (2001). Perilaku Organisasi. Bandung: Universitas Padjadjaan.
Tenenhaus, M., Vinzi, V. E., Chatelin, Y. M., & Lauro, C. (2005). PLS path modeling.
Computational Statistics and Data Analysis, 48(1), 159–205.
https://doi.org/10.1016/j.csda.2004.03.005
Thabrani, H. (n.d.). jaminan pelayanan kesehatan. Jakarta.
Thabrani, H. (1998). Analisis data Kesehatan Susenas. yayasan Pusat Pengkajian Sistem
Kesehatan Biro Perencanaan Sekretariat Jenderal Depkes RI.
Thabrani, H. (1999). Introduksi Asuransi Kesehatan. Jakarta: Yayasan Penerbitan Ikatan
Dokter Indonesia.
222
Universitas Indonesia
Thabrani, H. (2000). Rasional Pembayaran Kapitasi. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia
(IDI).
Thompson, D. F. (1987). Political Ethics and Public Office. Cambridge: Mass.: Harvard
University Press.
Tussman, J. (1960). Obligation and the Body Politic. London: Oxford University Press.
UNDP. (2010). Human Development Report 2010, The Real Wealth of Nations:
Pathways to Human Development.
UUD 1945. (2002). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang Undang, 12(16), 81–87. https://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2
Weinstein, N. D., Blalock, S. J., & Weinstein, N. D. (2008). The Precaution Adoption
Process Model The Precaution Adoption Process Model. Www.Psandman.Com,
(718).
WHO. (2008). Primary Care Now More Than Ever. World Health Report.
Widodo, J. (2017). Analisis Kebijakan Publik : Konsep dan Aplikasi Analisis Proses
Kebijakan Publik. (S. Wahyudi, Y. Setyorini, & I. Basuki, Eds.) (10th ed.). Malang:
Media Nusa Creative.
Winarno, B. (2012). Kebijakan Publik (Teori, Proses, dan Studi Kasus). Jakarta: PT Buku
Seru.
Yaslis, I. (2006). Mengenal Asuransi Kesehatan Review Utilisasi Managemen Klaim dan
dan Fraud. FKM UI.
top related