faktor-faktor yang berhubungan dengan pencapaian …

243
UNIVERSITAS INDONESIA FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN INDIKATOR KAPITASI BERBASIS KOMITMEN PELAYANAN PADA PUSKESMAS DI WILAYAH DKI JAKARTA TAHUN 2018 TESIS SAUDATINA ARUM MAUJUDAH NPM 1606857103 FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT DEPOK JULI 2018

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

19 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN INDIKATOR KAPITASI BERBASIS

KOMITMEN PELAYANAN PADA PUSKESMAS DI WILAYAH DKI JAKARTA TAHUN 2018

TESIS

SAUDATINA ARUM MAUJUDAH

NPM 1606857103

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

DEPOK

JULI 2018

Page 2: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN INDIKATOR KAPITASI BERBASIS

KOMITMEN PELAYANAN PADA PUSKESMAS DI WILAYAH DKI JAKARTA TAHUN 2018

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Magister Kesehatan Masyarakat

SAUDATINA ARUM MAUJUDAH

NPM 1606857103

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

DEPOK

JULI 2018

Page 3: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …
Page 4: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …
Page 5: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …
Page 6: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah atas limpahan rahmat, karunia, dan nikmat-Nya

sehingga penulis bisa menyelesaikan tesis ini. Penulisan skripsi ini dilakukan untuk

mencapai gelar Magister Kesehatan Masyarakat Peminatan Kebijakan dan Hukum

Kesehatan pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Penulis

menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa

perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sulit bagi penulis untuk menyelesaikan

studi ini. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan rasa

hormat dan terima kasih kepada:

1) Prof. dr. Amal C. Sjaaf, SKM., Dr.PH, selaku pembimbing yang telah menyediakan

waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan tesis ini;

2) Prof. dr. Anhari Achadi, SKM, DSc, Bapak Dr. Pujiyanto, SKM, M.Kes, Dr. drg.

Wahyu Sulistiadi, MARS selaku penguji telah meluangkan waktu untuk menguji dan

memberikan saran perbaikan.

3) dr. Monika Saraswati Sitepu, M. Sc, dr Ilmi Tri Indiarto yang telah bersedia hadir

meluangkan waktu dan tenaganya sebagai penguji luar pada seminar tesis dan telah

memberikan bimbingan serta saran untuk perbaikan tesis ini.

4) Haris Kurniawan, Hilmi Ibnu Haris, Jasmine Putri Haris, Daisy Kurniawan yang

selalu menjadi never ending support booster.. I love you all @>>-->>----

5) Orang tua dan keluarga atas kasih sayang dan dukungan serta sahabat yang telah

banyak membantu saya dalam menyelesaikan tesis ini, serta semua pihak yang tidak

bisa saya sebutkan satu per satu.

Akhir kata, saya berharap Allah berkenan membalas segala kebaikan semua pihak

yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu

pegetahuan.

Depok, 4 Juli 2018

Penulis

Page 7: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …
Page 8: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

vii Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : Saudatina Arum Maujudah Program Studi : IKM Kebijakan dan Hukum Kesehatan Judul : Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Indikator Kapitasi

Berbasis Komitmen Pelayanan Puskesmas di Wilayah DKI Jakarta tahun 2018

Kecenderungan biaya pelayanan kesehatan yang terus meningkat mendorong

pemerintah untuk mencari alternatif pembiayaan yang dapat mengefisienkan dana tanpa mengurangi mutu pelayanan. Salah satu sistem tersebut adalah dengan dijalankannya konsekuensi kapitasi berbasis komitmen pelayanan dimana puskesmas dibayar berdasar jumlah peserta terdaftar yang menjadi tanggungannya dipantau efektifitasnya dengan melihat kecenderungan angka kontak (≥1500/00), rasio prolanis (≥50%), dan rasio rujukan kasus non spesialistik (<0.5%), sehingga diharapkan moral hazard dari sisi suplai dapat dicegah atau diminimalisir. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pelaksanaan KBK.

Penelitian ini dilakukan di wilayah DKI Jakarta dengan unit analisis Puskesmas, dengan mixed method dengan model sequential (quan QUAL), data kualitatif diambil dengan metode indeph interview kepada informan kunci terkait untuk memvalidasi data yang tidak bisa divalidasi dengan metode kuantitatif.

Hasil penelitian Implementasi KBK selama 2 tahun telah cukup baik dan signifikan meningkatkan rata-rata angka kontak pada tahun 2017 sebesar 192.6 0/00

(target ≥150 0/00), dan rata-rata rasio prolanis sebesar 44.9% (≥50%), dan menurunkan rata-rata rasio rujukan kasus non spesialistik menjadi 0.3% (target <5%). Dari analisis multivariate, didapatkan pemodelan variable didapatkan variable nilai kapitasi, dan kecukupan SDM (dokter, perawat, bidan, tenaga kefarmasian) adalah yang signifikan berpengaruh dominan terhadap capaian indikator komitmen pelayanan (p value <0.05).

Penerapan kompensasi pemotongan kapitasi berdampak positif cukup memberi efek jera bagi puskesmas untuk mengerahkan segala usaha untuk pencapaian indikator komitmen pelayanan, di sisi lain adanya indikasi moral hazard di lapangan, sehingga diperlukan monitoring dan evaluasi dari berbagai pihak tanpa terfragmentasi agar cita-cita implementasi KBK untuk mewujudkan pelayanan yang berkualitas bisa diwujudkan. Kata kunci: implementasi KBK, angka kontak, rasio prolanis, rasio rujukan kasus non spesialistik

Page 9: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

viii Universitas Indonesia

ABSTRACT

Name : Saudatina Arum Maujudah Program Studi : IKM Kebijakan dan Hukum Kesehatan Judul : Factors related to the indicator achievement of the Capitation

Based on Service Commitment of Primary Health Care Centre in DKI Jakarta 2018

The increasing trend of health care costs has prompted the government to

seek financing alternatives that can streamline funds without reducing the quality of services. One such system is the implementation of the commitment-based capitation consequence where the puskesmas is paid based on the number of registered participants who are responsible for its effectiveness monitoring by looking at the tendency of contact numbers (≥1500/00), prolanis ratio (≥50%), and non-specialist case referral ratio (<0.5%), so it is expected that moral hazard from the supply side can be prevented or minimized. This study aims to determine the factors associated with the implementation of Capitation Based on Service Commitment

This research was conducted in DKI Jakarta area with Puskesmas as analysis unit, with sequential model mixed method (quan QUAL), qualitative data was taken by indeph interview method to key informant related to validate data which can not be validated by quantitative method.

The results of two year implementation significantly increased the average contact rate in 2017 by 192.6 0/00 (target ≥150 0/00), and the average prolanis ratio of 44.9% (≥50%), and lowering the average non-specialist case referral ratio to 0.3% (target <5%). From multivariate analysis, variables modeling related to achievement of service commitment indicator were capitation value, human resources (adequacy of doctor, nurse, midwife, pharmacy) are significant influence dominanly to achievement indicator of service commitment (p value <0.05).

Implementation of capitation compensation is positive enough to give an effect for all puskesmas efforts to achieve the indicator of service commitment, on the other side of the indication of moral hazard, so monitoring and evaluation is needed to create the quality service.. Keywords: implementation of capitation based on service commitment, communication contact, prolanis ratio, non-specialist case ratio

Page 10: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

ix Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii

SURAT PERNYATAAN ...................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ............................................................................................. v

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ............................. vi

ABSTRAK ............................................................................................................ vii

ABSTRACT ........................................................................................................... viii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix

DAFTAR TABEL .................................................................................................. xv

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xviii

DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xix

PENDAHULUAN ................................................................................. 1

Latar Belakang.......................................................................................... 1

Rumusan Masalah .................................................................................... 4

Pertanyaan Penelitian ............................................................................... 5

Tujuan Penelitian ...................................................................................... 5

Tujuan Umum .................................................................................... 5

Tujuan Khusus ................................................................................... 5

Manfaat Penelitian .................................................................................... 6

Bagi keilmuan .................................................................................... 6

Bagi Puskesmas/institusi .................................................................... 6

Bagi Pemerintah ................................................................................. 6

Bagi FKM .......................................................................................... 6

Bagi Peneliti ....................................................................................... 6

Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................ 7

TINJAUAN LITERATUR .................................................................... 9

Pelayanan Kesehatan ................................................................................ 9

Fasilitas Pelayanan Kesehatan ................................................................ 10

Pembiayaan Kesehatan ........................................................................... 11

Sistem Pembayaran Kapitasi .................................................................. 12

Page 11: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

x Universitas Indonesia

Pengertian ......................................................................................... 12

Sejarah Kapitasi ............................................................................... 13

Kapitasi dalam JKN ................................................................................ 13

Manfaat sistem Kapitasi : ....................................................................... 17

Langkah-langkah Menghitung Kapitasi ................................................. 18

Efek Pembayaran Kapitasi ..................................................................... 19

Masalah-masalah dalam pembayaran kapitasi ....................................... 19

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan ............................... 20

Definisi dan Asas BPJS .................................................................... 20

Prinsip BPJS ..................................................................................... 20

Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan pada

Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama ................................................................ 20

Prolanis BPJS ...................................................................................... 21

Pengertian Prolanis BPJS ................................................................. 21

Sasaran Prolanis ............................................................................... 22

Mekanisme Prolanis BPJS ............................................................... 22

Langkah-Langkah Pelaksanaan ........................................................ 23

Edukasi Kelompok Peserta Prolanis ................................................ 24

Reminder melalui SMS Gateway ..................................................... 25

Home Visit ........................................................................................ 26

Hubungan Antara Kapitasi dengan Prolanis .................................... 27

Konsep Puskesmas .............................................................................. 28

Pengertian Puskesmas ...................................................................... 28

Wilayah Puskesmas .......................................................................... 32

Prinsip, Penyelenggaraan, Tugas Fungsi dan Wewenang ................ 33

Sumber Daya Puskesmas ................................................................. 36

Upaya Kesehatan .............................................................................. 38

Managed Care .................................................................................... 39

Sistem Rujukan dan Rujuk Balik ........................................................ 41

Sistem Rujukan ................................................................................ 41

Kebijakan Dalam Merujuk dan Merujuk Balik .............................. 41

Tata Cara Pelaksanaan Sistem Rujukan Berjenjang ........................ 42

Page 12: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

xi Universitas Indonesia

Tata Cara Pelaksanaan Rujukan ....................................................... 42

Profil Resiko Peserta ........................................................................... 44

Pembayaran Kapitasi di Inggris dan Thailand .................................... 45

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan rujukan pelayanan

kesehatan ........................................................................................................... 45

Implementasi Kebijakan ..................................................................... 48

Implementasi Kebijakan Model Edward III ..................................... 49

Partial Least Square ............................................................................ 54

Model Pengukuran atau Outer Model .............................................. 54

Model Struktural atau Inner model .................................................. 55

Perbandingan antara Soft Modelling dan Hard Modelling .............. 56

Variabel Laten dengan Indikator Reflektif dan Indikator Formatif . 56

Metode Partial Least Square ............................................................ 58

Cara kerja Partial Least Square (PLS) ............................................. 58

Model Spesifikasi dengan PLS ........................................................ 58

Langkah-langkah pemodelan persamaan structural berbasis PLS

dengan software ............................................................................................ 59

KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DEFINISI

OPERASIONAL DAN HIPOTESIS ..................................................................... 61

Kerangka Teori ....................................................................................... 61

Kerangka Konsep ................................................................................... 63

Definisi Operasional ............................................................................... 66

Hipotesis ................................................................................................. 73

METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 75

Desain Penelitian .................................................................................... 75

Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 75

Etika Penelitian ....................................................................................... 76

Populasi dan Sampel .............................................................................. 76

Populasi ............................................................................................ 76

Besar Sampel .................................................................................... 76

Kriteria Inklusi dan Eksklusi .................................................................. 77

Kriteria Inklusi ................................................................................. 77

Page 13: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

xii Universitas Indonesia

Kriteria Eksklusi .............................................................................. 77

Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 77

Data primer ...................................................................................... 77

Data sekunder ................................................................................... 77

Jenis Data ......................................................................................... 77

Cara Pengumpulan Data ................................................................... 77

Pengolahan Data ..................................................................................... 78

Data kuantitatif ................................................................................. 78

Data kualitatif ................................................................................... 78

Analisis Data .......................................................................................... 78

Analisis Univariat ............................................................................ 78

Analisis Bivariat ............................................................................... 78

Analisis Multivariat .......................................................................... 78

HASIL PENELITIAN ......................................................................... 79

Sistematika Penyajian ............................................................................. 79

Gambaran Umum Wilayah ..................................................................... 79

Gambaran Umum Wilayah DKI Jakarta .......................................... 79

Keadaan Penduduk ........................................................................... 80

Gambaran Pelaksanaan Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan .......... 81

Proses Penelitian ..................................................................................... 81

Hasil Penelitian Kuantitatif .................................................................... 82

Variabel Dependen ........................................................................... 82

Variabel Independen ........................................................................ 87

Analisis Bivariat ............................................................................... 96

Analisis Multivariat .......................................................................... 97

Hasil Penelitian Kualitatif .................................................................... 104

Karakteristik Informan ................................................................... 104

Komunikasi .................................................................................... 104

Disposisi ......................................................................................... 108

Sumber Daya .................................................................................. 116

Struktur Birokrasi ........................................................................... 126

PEMBAHASAN ................................................................................ 137

Page 14: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

xiii Universitas Indonesia

Sistematika Pembahasan ...................................................................... 137

Keterbatasan penelitian ........................................................................ 137

Angka Kontak ....................................................................................... 138

Rasio Prolanis ....................................................................................... 138

Rasio Rujukan Kasus Non Spesialistik ................................................ 139

Karakteristik Puskesmas ....................................................................... 142

Tingkat Puskesmas ......................................................................... 142

Kategori Puskesmas ....................................................................... 143

Status Akreditasi ............................................................................ 143

Komunikasi .......................................................................................... 144

Transmisi ........................................................................................ 145

Kejelasan ........................................................................................ 147

Konsistensi ..................................................................................... 149

Disposisi ............................................................................................... 152

Sikap pelaksana .............................................................................. 152

Komitmen Pelayanan ..................................................................... 156

Insentif/Kapitasi ............................................................................. 157

Sumber Daya ........................................................................................ 163

SDM ............................................................................................... 163

Kepala Puskesmas .......................................................................... 166

Peserta ............................................................................................ 167

Fasilitas .......................................................................................... 170

Dana ............................................................................................... 173

Struktur Birokrasi ............................................................................. 175

SOP ................................................................................................ 175

Fragmentasi Birokrasi .................................................................... 178

Permasalahan terkait pelaksanaan Kapitasi Berbasis Komitmen

Pelayanan .................................................................................................... 183

Aspek Kebijakan Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan ........... 188

KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 210

Kesimpulan ........................................................................................... 210

Saran ..................................................................................................... 211

Page 15: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

xiv Universitas Indonesia

Dinas Kesehatan ............................................................................. 211

BPJS ............................................................................................... 212

Kemenkes ....................................................................................... 212

Puskesmas ...................................................................................... 213

Peneliti Selanjutnya ........................................................................ 213

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 214

Page 16: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

xv Universitas Indonesia

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Penerapan Kompensasi Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan

Komitmen .............................................................................................................. 28

Tabel 2.2 Perbandingan PLS dengan SEM (Ghozali, 2008). ................................ 55

Tabel 3.1 Definisi Operasional ............................................................................. 66

Tabel 5.1 Luas Wilayah, Jumlah, Laju Pertumbuhan, dan Kepadatan Penduduk

Provinsi DKi Jakarta Tahun 2017 ......................................................................... 80

Tabel 5.2 Distribusi Angka Kontak pasien JKN di Puskesmas di wilayah DKI

Jakarta Tahun 2017 ............................................................................................... 83

Tabel 5.3 Distribusi Angka Kontak pasien JKN berdasarkan Puskesmas Kecamatan

dan Puskesmas Kelurahan di wilayah DKI Jakarta Tahun 2017 .......................... 83

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Angka Kontak Kategori Aman/Tidak Aman

berdasarkan Puskesmas Kecamatan dan Puskesmas Kelurahan Tahun 2017 ....... 83

Tabel 5.5 Distribusi Rasio Prolanis di Puskesmas di wilayah DKI Jakarta Tahun

2017 ....................................................................................................................... 84

Tabel 5.6 Distribusi rasio prolanis pasien JKN berdasarkan Puskesmas Kecamatan

dan Kelurahan di wilayah DKI Jakarta Tahun 2017 ............................................. 84

Tabel 5.7 Distribusi Frekuansi Rasio Prolanis Kategori Aman/Tidak Aman

berdasarkan Puskesmas Kecamatan dan Puskesmas Kelurahan Tahun 2017 ....... 84

Tabel 5.8 Distribusi Rasio Rujukan Kasus Non Spesialistik di Puskesmas di

wilayah DKI Jakarta Tahun 2017 ......................................................................... 85

Tabel 5.9 Distribusi Rasio Rujukan Kasus Non Spesialistik berdasarkan Puskesmas

Kecamatan dan Kelurahan Tahun 2017 ................................................................ 85

Tabel 5.10 Distribusi Frekuansi Rasio Rujukan Kasus Non Spesialistik Kategori

Aman/Tidak Aman berdasarkan Puskesmas Kecamatan dan Puskesmas Kelurahan

Tahun 2017 ........................................................................................................... 86

Tabel 5.11 Distribusi Puskesmas Aman Tiga Indikator Komitmen Pelayanan di

Wilayah DKI Jakarta Per Desember Tahun 2017 ................................................. 86

Tabel 5.12 Distribusi Puskesmas Tidak Aman Tiga Indikator Komitmen Pelayanan

di Wilayah DKI Jakarta Per Desember Tahun 2017 ............................................. 86

Page 17: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

xvi Universitas Indonesia

Tabel 5.13 Distribusi variable Karakteristik Puskesmas di Wilayah DKI Jakarta

Tahun 2018 ........................................................................................................... 88

Tabel 5.14 Distribusi besaran kapitasi yang diterima oleh puskesmas di Wilayah

DKI Jakarta tahun 2016 s.d 2017 .......................................................................... 88

Tabel 5.15 Distribusi besaran kapitasi berdasar Puskesmas Kecamatan dan

Kelurahan .............................................................................................................. 89

Tabel 5.16 Statistik jumlah SDM puskesmas di Wilayah DKI Jakarta tahun 2018

............................................................................................................................... 89

Tabel 5.17 Statistik kecukupan SDM dokter puskesmas di Wilayah DKI Jakarta

tahun 2018 ............................................................................................................. 90

Tabel 5.18 Distribusi variable kepala puskesmas di wilayah DKI Jakarta Tahun

2017 ....................................................................................................................... 90

Tabel 5.19 Distribusi variable lama menjabat kepala puskesmas di wilayah DKI

Jakarta Tahun 2017 ............................................................................................... 90

Tabel 5.20 Distribusi kecukupan obat-obatan, sarana prasarana, alat kesehatan

puskesmas di Wilayah DKI Jakarta tahun 2017 ................................................... 91

Tabel 5.21 Distribusi variable pemenuhan waktu praktik di wilayah DKI Jakarta

Tahun 2018 ........................................................................................................... 91

Tabel 5.22 Distribusi variable pengelolaan klub prolanis di wilayah DKI Jakarta

Tahun 2018 ........................................................................................................... 92

Tabel 5.23 Distribusi Capaian Kinerja KPLDH puskesmas di Wilayah DKI Jakarta

tahun 2017 ............................................................................................................. 92

Tabel 5.24 Distribusi Frekuansi Peserta Terdaftar berdasarkan Puskesmas

Kecamatan dan Puskesmas Kelurahan .................................................................. 93

Tabel 5.25 Distribusi peserta JKN puskesmas di Wilayah DKI Jakarta tahun 2017

............................................................................................................................... 93

Tabel 5.26 Distribusi peserta JKN di Puskesmas di wilayah DKI Jakarta ........... 93

Tabel 5.27 Distribusi proporsi peserta risti puskesmas di Wilayah DKI Jakarta

tahun 2017 ............................................................................................................. 94

Tabel 5.28 Distribusi Proporsi Peserta Risti Puskesmas Wilayah DKI Jakarta tahun

2017 ....................................................................................................................... 94

Page 18: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

xvii Universitas Indonesia

Tabel 5.29 Distribusi rasio dokter banding peserta puskesmas di wilayah DKI

Jakarta Tahun 2017 ............................................................................................... 95

Tabel 5.30 Distribusi rasio dokter banding peserta berdasarkan tingkat puskesmas

di wilayah DKI Jakarta Tahun 2017 ..................................................................... 95

Tabel 5.31 Perubahan capaian indikator kapitasi berbasis komitmen pelayanan

tahun 2016 s.d 2017 .............................................................................................. 96

Tabel 5.32 Perubahan kapitasi yang diterima puskesmas di wilayah DKI tahun

2016 s.d 2017 ........................................................................................................ 97

Tabel 5.33 Tabel Konstruk dan Indikator Awal.................................................... 98

Tabel 5.34 Tabel penilaian reliabilitas konstruk ................................................. 100

Tabel 5.35 Tabel Nilai discriminant validity ...................................................... 100

Tabel 5.36 Tabel R-Square ................................................................................. 101

Tabel 5.37 Nilai Koefisien Estimate Antar Variabel dan p value ....................... 101

Tabel 5.38 Karakteristik Informan WM.............................................................. 104

Tabel 6.1 Rincian Implikasi KBK........................................................................ 183

Tabel 6.2 Total Rujukan ke FKRTL di Wilayah DKI Jakarta tahun 2016 s.d tahun

2017 ..................................................................................................................... 184

Tabel 6.3 Total Klaim FKRTL di Wilayah DKI Jakarta .................................... 184

Tabel 6.4 Perbandingan Total Rujukan Puskesmas, FKTP lain wilayah DKI,

Puskesmas dan FKTP luar DKI tahun 2016 s.d tahun 2017 ............................... 184

Tabel 6.5 Total Kapitasi Puskesmas di wilayah DKI Jakarta tahun 2016 s.d tahun

2017 ..................................................................................................................... 185

Tabel 6.6 Kepesertaan JKN di Wilayah DKI Jakarta PBI dan non PBI tahun Tahun

2017 ..................................................................................................................... 186

Tabel 6.7 Prosentase kepesertaan JKN di wilayah DKI Jakarta ......................... 186

Tabel 6.8 Penghitungan besaran premi yang harus dibayarkan oleh pemerintah

daerah untuk peserta PBI (APBD) ...................................................................... 187

Page 19: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

xviii Universitas Indonesia

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bagan Susunan Organisasi Pusat Kesehatan Masyarakat di DKI Jakarta

............................................................................................................................... 31

Gambar 2.2 The Behavioral Model (Weinstein, Blalock, & Weinstein, 2008) .... 46

Gambar 2.3 Teori Implementasi Kebijakan Menurut Edwards III (1980:148) .... 50

Gambar 2.4 Principal Factor (Reflektif) (Gozali, 2008) ....................................... 57

Gambar 2.5 Principal Factor (Formatif) (Gozali, 2008) ....................................... 57

Gambar 3.1 Model Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan (Anderson, 1974) .......... 61

Gambar 3.2 Kerangka Teori .................................................................................. 64

Gambar 3.3 Kerangka Konsep .............................................................................. 65

Gambar 5.1 Peta Wilayah DKI Jakarta ................................................................. 80

Gambar 5.2 Gambar Konstruk Model Awal ......................................................... 99

Gambar 5.3 Pemodelan Akhir ............................................................................. 102

Page 20: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

xix Universitas Indonesia

DAFTAR SINGKATAN

AK : Angka KontakAPBD : Anggaran Pendapatan Belanja DaerahAPBN : Anggaran Pendapatan Belanja NegaraAPS : Atas Permintaan PasienASKES : Asuransi KesehatanASPAK : Aplikasi Sarana Prasarana Alat KesehatanBLUD : Badan Layanan Umum DaerahBPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial BPJS : Badan Penyelenggara Jaminan Sosial CM : contigency marginDM : Diabetes Mellitus DPP : Dokter Praktik PeroranganDRG : Diagnosis Related GroupDRG : Diagnosis Related GroupEPO : Exclusive Provider OrganizationEPO : Exclusive Provider OrganizationFFS : Fee For ServicesFFS : Fee For ServicesFKRTL : Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut FKTP : Fasilitas Kesehatan Tingkat PertamaFKTP : Fasilitas Kesehatan Tingkat PertamaGoF : Goodness of Fit HMO : Health Maintenance OrganizationHMO : Health Maintenance OrganizationINA CBGs : Indonesia Case Base GroupsJKN : Jaminan Kesehatan NasionalJKN : Jaminan Kesehatan NasionalJKN : Jaminan Kesehatan NasionalKBK : Kapitasi Berbasis Komitmen PelayananKBK : Kapitasi Berbasis Komitmen PelayananKNS : Kunjungan Non SpesialistikKPLDH : Ketuk Pintu Layani Dengan HatiMANOVA : multivariate analysis of variance NHS : National Health SystemOOP : Out Of PocketOOP : Out Of PocketOOP : Out Of PocketPBI : Penerima Bantuan IuranPergub : Peraturan GubernurPermenkes : Peraturan Menteri KesehatanPHC : Primary Health Care (PHC)PHC : Primary Health Care (PHC)PLS : Partial Least SquerePNPK : Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran

Page 21: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

xx Universitas Indonesia

POS : Point of ServicePOS : Point of ServicePPK : Pemberi Pelayanan KesehatanPPK : Panduan Praktik KlinisPPK-BLUD : Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah PPO : Preferred Provider OrganizationPPO : Preferred Provider OrganizationPPOK : Penyakit Paru Obstruktif Kronis Prolanis : Program Pengelolaan Penyakit KronisPTM : Penyakit Tidak MenularPuskesmas : Pusat Kesehatan MasyarakatRPPB : Rasio Peserta Prolanis rutin berkunjung ke FKTP RRNS : Rasio Rujukan Rawat Jalan Kasus Non Spesialistik RS : Rumah SakitSDK : Sumber Daya KesehatanSDM : Sumber Daya ManusiaSID : Suply Induce DemandSJSN : Sistem Jaminan Sosial NasionalSJSN : Sistem Jaminan Sosial NasionalSKN : Sistem Kesehatan NasionalSLE : Sistemic Lupus Erythematosus SOP : Standar Operasional ProsedurTACC : Time Age Complication ComorbidityTBC : TuberculosisTKD : Tunjangan Kinerja DaerahUKM : Upaya Kesehatan MasyarakatUKP : Upaya Kesehatan PeroranganUU : Undang-UndangUU : Undang-UndangUUD : Undang-Undang DasarUUD : Undang-Undang Dasar

Page 22: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Konstitusi Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) tahun 1948 menyatakan bahwa

“Health is a fundamental human right”, yang memiliki makna bahwa kesehatan adalah

hak yang sangat mendasar bagi seorang manusia. Sebagai suatu kebutuhan dasar,

pemenuhan kesehatan tidak hanya menjadi tanggung jawab setiap orang, namun juga

menjadi tanggung jawab Pemerintah, karena secara konstitusional, Pemerintah wajib

menjamin seluruh warganya yang berada disetiap wilayah agar mendapatkan pelayanan

kesehatan dengan kualitas dan standar yang sama, sesuai cita-cita bangsa Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 diamandemenkan dengan memasukkan hak jaminan sosial bagi

seluruh rakyat (pasal 28H) dan pada tahun 2002 dengan amandemen keempat UUD 1945

Negara diperintahkan utuk mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (UUD

1945, 2002).

Untuk mewujudkan komitmen konstitusi, pemerintah bertanggung jawab atas

pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

sejak 1 Januari 2014. Dengan diterbitkannya Undang-undang No. 24 tahun 2011

pelaksanaan JKN dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Sebagai upaya untuk dapat membangun pelayanan yang bermutu bagi Peserta

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), perlu memperhatikan adanya aspek kualitas layanan.

Aspek kualitas layanan sangat dipengaruhi oleh besaran pembayaran, perilaku tenaga

kesehatan yang melayani, motif pelayanan kesehatan (pencari laba atau bukan), dan

kecukupan suplai obat dan bahan habis pakai lainnya yang berpengaruh pada kualitas

layanan (Peta Jalan JKN, 2015)

Mutu Pelayanan Kesehatan berorientasi pada aspek keamanan pasien, efektifitas

tindakan, kesesuaian dengan kebutuhan pasien, serta efisiensi biaya. Sistem kendali mutu

pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional dilakukan secara menyeluruh meliputi

pemenuhan standar mutu medik (pelayanan kesehatan), mutu non medik (fasilitas

kesehatan) dan mutu administrasi (pelaporan). Disamping itu perlu dipastikan juga bahwa

proses pelayanan kesehatan berjalan sesuai dengan standar yang ditetapkan dan adanya

Page 23: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

2

Universitas Indonesia

pemantauan terhadap luaran kesehatan Peserta. Mutu pelayanan kesehatan yang diberikan

harus dapat terukur dan terstandar.

Berbagai jenis pengukuran, standar dan upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan

telah tersedia dan terus berkembang. Salah satunya adalah dengan metode pembayaran

berbasis komitmen pelayanan, dimana metode ini merupakan salah satu konsep stratejik

yang paling banyak dibahas, bahkan berbagai kalangan di Amerika sejak tahun 2003 telah

mendorong agar pembayaran berbasis komitmen pelayanan atau pay for performance

menjadi prioritas utama nasional dan program asuransi Medicare.

Dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional, Badan Penyelenggara Jaminan

Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) akan dituntut untuk dapat melakukan monitoring,

evaluasi dan mendorong mutu pelayanan dan keselamatan pasien (Peserta) yang

diberikan oleh Fasilitas Kesehatan. Perlu dukungan dan komitmen yang tinggi dari

seluruh FKTP utuk menjadikan pelayanan primer berkualitas sehingga menjadi fasilitas

kesehatan yang dipercaya dan memberikan pelayanan terbaiknya. Konsep Primary

Health Care (PHC) dalam penguatan fasilitas pelayanan kesehatan primer dapat

mendorong efisiensi dalam pelayanan kesehatan. Untuk mendapatkan pelayanan yang

kesehatan yang berkualitas dan terjangkau perlu ditunjang oleh sumber daya kesehatan,

kelengkapan sarana dan prasarana, lingkup pelayanan dan komitmen pelayanan.

Berdasarkan hal tersebut diatas, untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan FKTP

pada penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional dilakukan penerapan

pembayaran kapitasi berbasis pemenuhan komitmen pelayanan

Salah satu masalah universal program pemeliharaan kesehatan di berbagai negara

adalah meningkatnya biaya kesehatan secara tajam dari waktu ke waktu. Faktor yang

menyebabkan meningkatnya biaya kesehatan antara lain adalah transisi epidemiologi

yang ditandai oleh perubahan pola penyakit yang menyebabkan Indonesia menghadapi

“Triple Burden”, penggunaan teknologi kesehatan canggih dan mahal serta pemberian

pelayanan kesehatan yang berlebihan (Gani, 1998; dan Azwar, 2002). Meningkatnya

biaya kesehatan yang tidak terkendali ini menyebabkan inflasi di sektor kesehatan di

Amerika 2-3 kali lebih besar daripada inflasi umum (Feldstein, 1998)

Dokter berpendapat bahwa pembayaran kapitasi ini justru berdampak negatif

terhadap pendapatan yang diterimanya. Pendapatan mereka dilaporkan turun sampai

30%. Di Amerika Serikat, 61% peserta Manage Care kecewa atas lebih singkatnya waktu

Page 24: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

3

Universitas Indonesia

pelayanan dokter primer dan bertambah lamanya waktu tunggu untuk memperoleh

layanan tersebut (HIAA, 2000). Crowley, Zitner, dan Smith (2001) menyatakan bahwa

tidak ada satupun metode pembayaran kepada fasilitas kesehatan (FFS, kapitasi, dan

sistem gaji) yang dapat memuaskan semua pihak, karena setiap metode pembayaran

memiliki kekuatan dan kelemahannya sendiri. Situasi ini mendorong pengelola MCO

mengembangkan metode pembayaran prospektif lainnya, yaitu: tariff paket, sistem

budget, dan diagnostic related group (DRG), diskon FFS, dll (HIAA 2000, dan Sulastomo

2001)

Implementasi JKN pada pelayanan primer maupun lanjutan menganut prinsip

managed care yang bertumpu pada kendali biaya dan kendali mutu. Kinerja pelayanan

kesehatan dalam era JKN bisa dilihat pada Peraturan Bersama Sekretaris Jenderal

Kementerian Kesehatan RI dan Direktur Utama badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial

Kesehatan No.HK.02.05/III/SK/089/2016 No.3 Tahun 2016 dan diperbarui dengan

Peraturan Bersama Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan RI dan Direktur Utama

badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan No.HK.01.08/III/980/2017 No.2

Tahun 2017 tentang Petunjuk teknis Pelaksanaan Pembayaran Kapitasi Berbasis

Pemenuhan Komitmen Pelayanan pada FKTP dengan berdasarkan pencapaian indikator

yang meliputi indikator (1) Angka Kontak ≥ 150 per mil, (2) Rasio Rujukan Rawat Jalan

Non Spesialistik < 5% dan (3) Rasio Peserta Prolanis Rutin Berkunjung ke FKTP ≥ 50%.

Apabila FKTP dapat memenuhi indikator tersebut termasuk di dalam zona aman.

Dengan tercapainya angka kontak diharapkan upaya Puskesmas dalam menjaga

kesehatan peserta yang ada di wilayahnya lebih optimal karena terjadi peningkatan upaya

promosi kesehatan, preventif dalam upaya menjaga kesehatan, karena kunjungan bukan

hanya kuratif. Dan pencapaian Rasio Rujukan Rawat jalan non spesialistik yang relatif

kecil mengindikasikan pelayanan yang diberikan lebih efektif dan efisien dengan biaya

yang lebih kecil karena telah diselesaikan oleh PPK 1 sebagai gatekeeper dibanding jika

pelayanan tersebut dilakukan di Rumah Sakit, hal ini juga sebagai langkah mengurangi

penumpukan pasien di RS seperti masalah yang selama ini banyak dikeluhkan. Pelayanan

kesehatan diharapkan menjadi terstruktur dan berjenjang, peserta yang memerlukan

pelayanan kesehatan pertama-tama harus memperoleh pelayanan kesehatan pada Fasilitas

kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Bila peserta memerlukan pelayanan kesehatan

Page 25: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

4

Universitas Indonesia

tingkat lanjutan, harus dilakukan rujukan oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama, kecuali

dalam keadaan kegawatdaruratan medis (Kemenkes RI, 2013).

Melalui pencapaian indikator Prolanis diharapkan pelayanan kesehatan terhadap

usia lanjut melalui pendekatan proaktif yang dilaksanakan secara terintegrasi yang

melibatkan peserta dalam rangka pemeliharaan kesehatan bagi peserta yang menderita

penyakit kronis untuk mencapai kualitas hidup yang optimal dengan biaya pelayanan

kesehatan yang efektif dan efisien (Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan, 2014).

Tujuan program ini dalam JKN adalah untuk mendorong peserta penyandang penyakit

kronis mencapai kualitas hidup optimal dengan indikator 75% peserta terdaftar yang

berkunjung ke Faskes Tingkat Pertama memiliki hasil “baik” pada pemeriksaan spesifik

terhadap penyakit DM Tipe 2 dan Hipertensi sesuai Panduan Klinis terkait sehingga dapat

mencegah timbulnya komplikasi penyakit (Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan,

2014).

JKN telah dilaksanakan sejak 2014, dan Kapitasi berbasis komitmen pelayanan

telah dilaksanakan sejak tahun 2016. Sampai saat ini telah memasuki tahun ketiga, namun

dari 340 Puskesmas yang ada di Jakarta, belum semua Puskesmas yang sudah memenuhi

ketiga indikator komitmen pelayanan yang ditetapkan yaitu sebesar 234 (68.8%)

puskesmas dan belum dilakukan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi angka kontak,

rasio rujukan kasus non spesialistik, dan rasio prolanis, sehingga bisa diketahui efektifitas

dari kebijakan implementasi KBK, untuk itulah penelitian ini dilakukan.

Rumusan Masalah

Puskesmas sebagai penyedia pelayanan kesehatan di lini terdepan diharapkan

dapat memberikan pelayanan primer berkualitas sehingga menjadi fasilitas kesehatan

yang dipercaya dan memberikan pelayanan terbaiknya. peningkatan kinerja puskesmas

dalam penerapan kapitasi berbasis komitmen ini dilihat dari tiga indikator yaitu (1) Angka

Kontak ≥ 150 per mil, (2) Rasio Rujukan Rawat Jalan Non Spesialistik < 5% dan (3)

Rasio Peserta Prolanis Rutin Berkunjung ke FKTP ≥ 50%.

Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

implementasi KBK di Puskesmas di wilayah diharapkan dapat meningkatkan angka

kontak, menurunkan rasio rujukan kasus non spesialistik, dan meningkatkan rasio

prolanis. Dari 340 Puskesma (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014), belum

Page 26: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

5

Universitas Indonesia

semua Puskesmass yang sudah memenuhi ketiga indikator komitmen pelayanan yang

ditetapkan yaitu sebesar 234 (68.8%) puskesmass, karena itu kami ingin mengetahui

gambaran faktor-faktor dan faktor dominan yang mempengaruhi pencapaian indikator

komitmen pelayanan

Pertanyaan Penelitian

Dari rumusan masalah diatas, maka pertanyaan penelitian dapat dirumuskan

pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1) Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian indikator komitmen

pelayanan Puskesmas?

2) Bagaimana hubungan faktor-faktor yang berpengaruh dengan pencapaian

indikator komitmen pelayanan Puskesmas?

3) Apa faktor dominan yang mempengaruhi pencapaian indikator komitmen

pelayanan Puskesmas?

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran dan faktor dominan yang berpengaruh terhadap

pencapaian indikator komitmen pelayanan Puskesmas.

Tujuan Khusus

a. Diketahuinya gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian angka

kontak, rasio peserta prolanis rutin berkunjung ke puskesmas, dan rasio rujukan

kasus non spesialistik, dan

b. Dibuktikannya hubungan antara karakteristik Puskesmas dengan pencapaian

indikator komitmen pelayanan

c. Dibuktikannya hubungan antara nilai kapitasi dengan pencapaian indikator

komitmen pelayanan

d. Dibuktikannya hubungan antara sumber daya dengan pencapaian indikator

komitmen pelayanan

e. Dibuktikannya hubungan antara pengelolaan pelayanan dengan pencapaian

indikator komitmen pelayanan

Page 27: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

6

Universitas Indonesia

f. Dibuktikannya hubungan proporsi risiko tinggi peserta dengan pencapaian

indikator komitmen pelayanan

g. Dibuktikannya faktor yang paling dominan yang mempengaruhi pencapaian

indikator komitmen pelayanan

Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk memberi khasanah ilmu pengetahuan terkait

implementasi KBK

Bagi keilmuan

Memberikan sumbangan pada khasanah pengetahuan tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi indikator pencapaian KBK (angka kontak, rasio rujukan kasus non

spesialistik, rasio prolanis) dalam penerapan kapitasi berbasis komitmen pelayanan,

khususnya di wilayah perkotaan.

Bagi Puskesmas/institusi

Dapat mengetahui kekurangan dan penyempurnaan yang perlu dilakukan

Puskesmas dalam menerapkan KBK, dan dapat mengembangkan kebijakan Puskesmas

yang berkaitan dengan pelaksanaan JKN

Bagi Pemerintah

Bisa diketahui masalah-masalah yang ada dalam penerapan Kapitasi Berbasis

Komitmen pelayanan sebagai masukan untuk mengembangkan kebijakan yang berkaitan

dengan JKN

Bagi FKM

Menambah wawasaan keilmuan di lingkungan fakultas Kesehatan Masyarakat,

khususnya Program Studi AKK terhadap implementasi Kapitasi Berbasis Komitmen

Pelayanan

Bagi Peneliti

Pengalaman melakukan penelitian terkait pelaksanaan kebijakan di lapangan,

yang bisa dipakai dan diaplikasikan setelah kembali di dunia kerja.

Page 28: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

7

Universitas Indonesia

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitaian ini dilaksanakan dengan mengumpulkan data primer dan data

sekunder. Untuk mengetahui faktor yang berpengaruh dilakukan dengan mengumpulkan

data primer dari seluruh bagian Puskesmas yang menjadi sampel pada Januari s.d Maret

2017

Page 29: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

8

Universitas Indonesia

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 30: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

9 Universitas Indonesia

TINJAUAN LITERATUR

Pelayanan Kesehatan

Sehat merupakan kebutuhan dasar manusia, dengan sehat memungkinkan

seseorang dapat memenuhi kebutuhan hidup lainnya yang harus dipenuhi. Sayangnya

gangguan kesehatan atau sakit bisa mengancam manusia setiap saat, karena sakit

merupakan peristiwa yang tidak pasti. Menurut Thabrani (1998) kebutuhan pelayanan

kesehatan mempunyai 3 ciri yang unik yaitu Uncertainty, Asymetry of information,

Externality.

Uncertainty atau ketidakpastian menunjukkan bahwa kebutuhan akan pelayanan

kesehatan tidak bisa dipastikan, baik waktunya, tempatnya, maupun besarnya biaya yang

dibutuhkan. Sifat inilah yang menyebabkan timbulnya respon penyelenggaran

mekanisme asuransi di dalam pelayanan kesehatan.

Sifat kedua, asymetry of information menunjukkan bahwa konsumen pelayanan

kesehatan berada pada posisi yang lebih lemah sedangkan provider (dokter dll)

mengetahui lebih banyak tentang manfaat dan kualitas pelayanan yang diberikannya.

Akibat dari ciri ini pasien individu mudah menjadi “mangsa” provider. (Thabrani, 2000)

Sedangkan externality menunjukkan bahwa konsumsi pelayanan kesehatan tidak

saja mempengaruhi pembeli tetapi juga bukan pembeli (Thabrani, 2000). Hal ini adalah

akibat efek eksternalitas dalam pelayanan kesehatan yaitu dampak yang dialami orang

lain sebagai akibat perbuatan seseorang. Sebagai contoh misalnya pengobatan TBC tidak

saja bermanfaat bagi si pasien tapi juga bagi masyarakat di sekitarnya yang terhindar dari

penularan TBC. Akibat dari ciri ini, pelayanan kesehatan membutuhkan subsidi dalam

berbagai bentuk. Oleh karenanya, pembiayaan kesehatan tidak saja menjadi tanggung

jawab diri sendiri, akan tetapi menjadi tanggung jawab bersama (publik)

Masih ada ciri khusus pelayanan kesehatan (Gani, 1994) yaitu:

- Sehat sebagai hak azasi: adanya persepsi bahwa sehat adalah hak azasi manusia,

sehingga distribusi pelayanan kesehatan harus berdasarkan distribusi kebutuhan

(need), bukan berdasarkan kemampuan membayar (demand)

Page 31: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

10

Universitas Indonesia

- Kecenderungan padat karya: Perkembangan teknologi tidak menyebabkan

otomatisasi (karenanya pengurangan manusia), melainkan justru mengembangkan

cabang-cabang spesialisasi baru yang makin sempit, sehingga industry kesehatan

bersifat padat karya.

- Suply Induce Demand, provider sangat mudah mendorong penggunaan pelayanan

yang disesabkan oleh ketersediaan alat ketimbang indikasi medis pasien, yang

dimungkinkan karena sifat ignorance dari pasien.

- Pembatasan terhadap kompetisi: perwujudan kompetisi dalam commercial marketing

(iklan) sangat dibatasi dalam sector kesehatan. Misalnya pemberian diskon, perang

harga, pemberian bonus yang lazim didunia bisnis komoditi lain, tidak etis untuk

dilakukan dalam industry pelayanan kesehatan.

- Barrier to entry, salah satu asumsi dalam mekanisme pasar adalah mudahnya

supplier bereaksi terhadap perubahan demand dan harga. Hal ini tidak terjadi dalam

industry kesehatan, terlebih lebih di negara sedang berkembang dimana tenaga

professional kesehatan sangat terbatas. Seorang investor misalnya bisa dengan

mudah mendirikan rumah sakit dan menyediakan alat-alatnya, namun semua itu

belum bisa berfungsi kalau tidak ada tenaga medis dan para medisnya yang untuk

saat ini di Indonesia sebagian besar adalah pegawai pemerintah.

Ciri-ciri khusus yang disebutkan diatas menyebabkan mekanisme pasar yang

sesungguhnya menguntungkan konsumen dalam hal ini pasien, tidak dapat terjadi. Hal

ini menyebabkan pelayanan kesehatan menjadi mahal sehingga sangat dirasakan menjadi

beban bagi individu yang sakit.

Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah suatu alat dan/ atau tempat yang digunakan

untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif

maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/ atau

masyarakat. (Kemenkumham, 2016)

Fasilitas Pelayanan Kesehatan menyelenggarakan pelayanan kesehatan berupa

pelayanan kesehatan perseorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat. Jenis Fasilitas

Pelayanan Kesehatan terdiri atas:

a. tempat praktik mandiri Tenaga Kesehatan

Page 32: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

11

Universitas Indonesia

b. pusat kesehatan masyarakat;

c. klinik;

d. rumah sakit;

e. apotek;

f. unit transfusi darah;

g. Iaboratorium kesehatan;

h. optika

i. fasilitas pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum; dan

j. Fasilitas Pelayanan Kesehatan tradisional.

Fasilitas Pelayanan Kesehatan memiliki tingkatan pelayanan yang terdiri atas

Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama, tingkat kedua, dan tingkat ketiga.

Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama memberikan pelayanan kesehatan dasar.

Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat kedua memberikan pelayanan kesehatan

spesialistik. Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat ketiga memberikan pelayanan

kesehatan subspesialistik. Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat kedua dan tingkat ketiga

dapat memberikan pelayanan yang diberikan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat

di bawahnya.(Kemenkumham, 2016)

Pembiayaan Kesehatan

Pembiayaan kesehatan adalah tatanan yang menghimpun berbagai upaya

penggalian, pengalokasian, dan pembelanjaan sumber daya keuangan secara terpadu dan

saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang

setinggi-tingginya. Menurut RPJPK tahun 2004, pembiayaan kesehatan bagi

pembangunan kesehatan di Indonesia berasal dari dua sumber yaitu pemerintah dan

masyarakat. Sumber biaya pemerintah berasal dari pemerintah pusat, provinsi,

kabupaten/kota. Sumber biaya masyarakat dan swasta berasal dari pengeluaran rumah

tangga atau perorangan (out of pocket), perusahaan swasta/BUMN untuk membiayai

karyawannya dan lembaga non pemerintah yang umumnya digunakan untuk kegiatan

kesehatan yang bersifat sosial kemasyarakatan. (SKN, 2012b)

Metode Pembayaran yang dipilih oleh suatu negara bisa dipergunakan sebagai

alat kendali Moral Hazard. Metode pembayaran kepada fasilitas kesehatan pada dasarnya

bisa dibagi menjadi dua, yaitu pembayaran secara retrospektif dan pembayaran secara

Page 33: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

12

Universitas Indonesia

prospektif. Pembayaran secara retropetif biasanya berbasis FFS. Pembayaran FFS dapat

merupakan OOP, dimana pasien langsung membayar dokter sesuai jumlah dan jenis

pelayanan kesehatan dari kantong sendiri, atau dapat juga melalui pihak ketiga melalui

sistem asuransi kesehatan atau jaminan oleh majikan. Pembayaran perspektif dapat

berupa (1) diskon FFS, (2) kapitasi, (3) buget, (4) Diagnosis Related Group (DRG)

(Kongstvedt, 2013)

Pembayaran kapitasi dapat dengan atau tanpa “withhold”. Pembayaran dengan

“withhold” mendorong dokter dalam proses kendali biaya dan kendali mutu. Jika angka

rujukan ke spesialis dan rumah sakit dibawah standar yang ditetapkan, maka dokter akan

memperoleh insentif dari dana withhold. Sebaliknya jika angka rujukan diatas standar

yang disepakati, dokter akan terkena sanksi berupa kehilangan seluruh atau sebagian dana

withhold. Dengan model withhold dokter terpacu menjadi gatekeeper yang efektif dengan

memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas agar pasien cepat sembuh. Dengan

withhold moral hazard demand dari sisi suplai dapat dicegah atau diminimalisir.

Sistem Pembayaran Kapitasi

Pengertian

Sistem pembayaran kapitasi adalah suatu mekanisme pembayaran kepada

pemberi pelayanan kesehatan (PPK) yang diberikan dalam jumlah yang tetap sesuai

dengan penduduk atau peserta yang menjadi tanggung jawab PPK yang memberikan

pelayanan kesehatan.

Capitation is a set amount money received or paid out, it based on membership

rather than on services delivered and usually is expressed in units of per member per

month; may be varied by such factors as age and sex of the enrolled member (Kongstvedt,

2013). Definisi tersebut menunjukkan bahwa sistem kapitasi adalah sejumlah uang yang

dibayarkan dimuka atau lebih didasarkan pada jumlah anggota daripada pelayanan yang

diberikan. Besarnya biaya kapitasi ini bervariasi oleh karena beberapa faktor yang

mempengaruhi besarnya kapitasi sepeti umur dan jenis kelamin.

Page 34: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

13

Universitas Indonesia

Sejarah Kapitasi

Menurut Azwar (2000) konsep kapitasi ini sudah diperkenalkan jauh sebelum era

Otto Von Bismarc, yaitu pada jaman Yunani kuno. Pada era tersebut pemimpin agama

membayar di muka sejumlah uang kepada tabib (pemberi pelayanan kesehatan) sebagai

biaya pemeliharaan kesehatan untuk sejumlah jemaat gereja. Masyarakat Cina kuno

membayar uang dikala sehat (pra-upaya) kepada tabib dan mereka tidak perlu membayar

lagi pada saat mereka sakit dan memerlukan pelayanan kesehatan (HIAA, 2000). Menurut

Thabrany (1998) awal pembayaran pra-upaya dengan kapitasi dimulai di Belanda pada

tahun 1863. Sulastomo (2001), melaporkan bahwa konsep kapitasi sebenarnya mulai

dirintis secara sistematis pada tahun 1940-an oleh Badan Penyelenggaran Pemeliharaan

Kesehatan (Bapel) yang terkenal di San Fransisco, Amerika, yaitu “Kaiser Permanente”

Kapitasi dalam JKN

Kapitasi berasal dari kata kapita yang berarti kepala atau jiwa. Pembayaran

dengan sistem kapitasi adalah sebuah metode pembayaran untuk pelayanan kesehatan di

mana penyedia layanan dibayar dalam jumlah tetap per pasien tanpa memperhatikan

jumlah atau sifat layanan yang sebenarnya diberikan. Hal ini dipertegas dengan Pasal 1

angka (6) Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa dana

kapitasi merupakan besaran pembayaran per-bulan yang dibayar dimuka kepada FKTP

berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah

pelayanan kesehatan yang diberikan. (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2014)

Pembayaran bagi pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) dengan Sistem Kapitasi

adalah pembayaran yang dilakukan oleh suatu Lembaga kepada PPK atas jasa pelayanan

kesehatan yang diberikan kepada anggota lembaga tersebut, yaitu dengan membayar di

muka sejumlah dana sebesar perkalian anggota dengan satuan biaya (Unit cost) tertentu.

Yang dimaksud dengan Lembaga diatas adalah Badan Penyelenggara JPKM

(Bapel). Sedangkan yang dimaksud dengan Satuan Biaya (Unit cost) adalah harga rata-

rata pelayanan kesehatan perkapita (disebut juga Satuan Biaya Kapitasi) yang disepakati

kedua belah pihak (PPK dan Lembaga) untuk diberlakukan dalam jangka waktu tertentu.

Dua hal pokok yang harus diperhatikan dalam menentukan kapitasi adalah akurasi

prediksi angka utilisasi (penggunaan pelayanan kesehatan) dan penetapan biaya satuan.

Besaran angka kapitasi ini sangat dipengaruhi oleh angka utilisasi pelayanan kesehatan

Page 35: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

14

Universitas Indonesia

dan jenis paket (benefit) asuransi kesehatan yang ditawarkan serta biaya satuan

pelayanan.

Angka utilisasi dapat diketahui dari berbagai laporan yang ada, umpamanya

Susenas, atau dari Dinas Kesehatan setempat.

Angka utilisasi dipengaruhi oleh:

1. Karakteristik Populasi

2. Sifat Sistem Pelayanan

3. Manfaat yang ditawarkan

4. Kebijakan asuransi

Utilisasi adalah tingkat pemanfaatan fasilitas pelayanan yang dimiliki sebuah

klinik/praktik. Angkanya dinyatakan dalam persen (prosentase). Utilisasi merupakan

jumlah kujungan per 100 orang di populasi tertentu (jumlah kunjungan/total populasi x

100%). Utilisasi dapat memberikan gambaran tentang kualitas pelayanan dan risiko suatu

populasi (angka kesakitan). Apabila utilisasi tinggi berarti menunjukkan kualitas

pelayanan buruk atau derajat kesehatan peserta buruk.

Unit cost adalah biaya rata-rata untuk setiap jenis pelayanan rata-rata pada kurun

waktu tertentu. Unit cost hanya dapat dihitung bila administrasi keuangan rapi

(sistematis), sehingga dapat melihat pemasukan untuk setiap jenis pelayanan.

Unit cost = Jumlah pendapatan untuk setiap jenis pelayanan/jumlah kunjungan untuk

pelayanan tersebut.

Unit cost identik dengan tarif atau harga jual (harga pokok ditambah margin)

dapat memberikan gambaran tentang efisiensi pelayanan dan risiko biaya suatu populasi

(beban biaya). Angka Unit cost yang tinggi menunjukkan pelayanan tidak efisien atau

populasi memiliki risiko biaya tinggi (banyak penyakit degeneratif). Hal ini penting untuk

menghitung tarif atau kapitasi dan untuk mengontrol biaya dan ketaatan tim terhadap SOP

yang telah disepakati.

Dalam menentukan tarif puskesmas diatur berdasarkan Permenkes No 52 tahun

2016 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program

Jaminan Kesehatan adalah sebagai berikut:

Kapitasi = Angka utilisasi x Biaya satuan/unit cost (Budiarto & Kristiana, 2015)

Page 36: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

15

Universitas Indonesia

1. Penetapan besaran Tarif Kapitasi di FKTP dilakukan berdasarkan kesepakatan

bersama antara BPJS Kesehatan dengan Asosiasi Fasilitas Kesehatan Tingkat

Pertama

2. Standar Tarif Kapitasi di Puskesmas atau fasilitas kesehatan yang setara sebesar

Rp3.000,00 (tiga ribu rupiah) sampai dengan Rp6.000,00 (enam ribu rupiah) per

peserta per bulan

3. Besaran tarif kapitasi yang diterima oleh FKTP ditentukan melalui proses seleksi dan

kredensial yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan melibatkan Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota dan/atau Asosiasi Fasilitas Kesehatan dengan mempertimbangkan

sumber daya manusia, kelengkapan sarana dan prasarana, lingkup pelayanan, dan

komitmen pelayanan.

4. Penggunaan kriteria dalam pertimbangan penetapan besaran Tarif Kapitasi

berdasarkan seleksi dan kredensial dilakukan secara bertahap, yang untuk pertama

kali menggunakan pertimbangan kriteria sumber daya manusia.

5. Kriteria sumber daya manusia sebagaimana dimaksud meliputi ketersediaan dokter

dan ketersediaan dokter gigi. Bagi puskesmas atau fasilitas kesehatan yang setara:

a. kapitasi sebesar Rp3.000,00 (tiga ribu rupiah) per peserta per bulan apabila tidak

memiliki dokter dan tidak memiliki dokter gigi;

b. kapitasi sebesar Rp3.500,00 (tiga ribu lima ratus rupiah) per peserta per bulan

apabila memiliki dokter gigi dan tidak memiliki dokter;

c. kapitasi sebesar Rp4.500,00 (empat ribu lima ratus rupiah) per peserta per bulan

apabila memiliki 1 (satu) orang dokter, tetapi tidak memiliki dokter gigi;

d. kapitasi sebesar Rp5.000,00 (lima ribu rupiah) per peserta per bulan apabila

memiliki 1 (satu) orang dokter dan memiliki dokter gigi;

e. kapitasi sebesar Rp5.500,00 (lima ribu lima ratus rupiah) per peserta per bulan

apabila memiliki paling sedikit 2 (dua) orang dokter, tetapi tidak memiliki dokter

gigi; dan

f. kapitasi sebesar Rp6.000,00 (enam ribu rupiah) per peserta per bulan apabila

memiliki paling sedikit 2 (dua) orang dokter, dan memiliki dokter gigi.

(Permenkes, 2016a)

Permenkes No. 52 tahun 2016 ini terdapat dua Permenkes Perubahan untuk

beberapa tarif terkait tarif untuk FKRTL yaitu Permenkes No. 64 tahun 2016 tentang

Page 37: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

16

Universitas Indonesia

Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 Tahun 2016 Tentang Standar

Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan

(Permenkes, 2016b) dan Permenkes No 4 tahun 2017 tentang Perubahan Kedua Atas

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 Tahun 2016 Tentang Standar Tarif Pelayanan

Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan (Permenkes, 2017)

Satuan biaya kapitasi ditetapkan berdasarkan perkiraan besarnya resiko gangguan

kesehatan yang memerlukan pelayanan kesehatan di kalangan anggota lembaga

pendanaan kesehatan tersebut dalam waktu tertentu.

Faktor-faktor yang menentukan satuan biaya kapitasi:

1. Bentuk-bentuk gangguan/masalah kesehatan yang umumnya dialami anggota beserta

prevalensi nya.

2. Jenis-jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan untuk mengatasi gangguan

kesehatan tersebut beserta tarifnya.

3. Tingkat penggunaan pelayanan kesehatan oleh peserta

Dari setiap pelayanan kesehatan, dihitung angka/biaya kapitasi dengan

mengalikan angka utilisasi tersebut dengan satuan biaya riil (real cost). Jumlah dari semua

angka kapitasi yang didapat menjadi angka kapitasi rata-rata per peserta per bulan. Secara

umum rumus penghitungan kapitasi adalah sebagai berikut :

Harus diingat bahwa biaya per kapita tidak sama dengan besaran kapitasi. Untuk

menentukan besaran kapitasi dari biaya per kapita diperlukan analisis lain misalnya biasa

administrasi dan pelaporan yang akan dicakup, tingkat kepesertaan dan variasi sebaran

resiko pada peserta yang dicover PPK.

Contoh penetapan angka utilisasi dan angka kapitasi :

Dari laporan pemanfaatan pelayanan kesehatan di Kecamatan XX tahun yang lalu

(experienced rate) dapat diketahui jumlah kunjungan rawat jalan peserta asuransi

kesehatan ke PPK tingkat I sebanyak 12.443 kunjungan. Jumlah peserta 10.000 orang.

Biaya dokter dan obat per kunjungan rata-rata Rp. 15.000,- (jasa dokter Rp.5.000,- dan

Angka kapitasi = angka utilisasi tahunan x biaya satuan : 12 bulan

= biaya per anggota per bulan (PAPB)

Page 38: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

17

Universitas Indonesia

biaya obat rata-rata Rp. 10.000,-). Maka berdasarkan rumus diatas, maka angka kapitasi

per anggota per bulan (PAPB), adalah sebagai berikut :

PAPB = [( 12433 / Rp. 10.000 ) x Rp. 15.000 ] : 12 bulan = Rp. 1554,12

Perhitungan pembayaran kapitasi yaitu : jumlah peserta dan keluarganya yang

terdaftar sebagai peserta dikalikan dengan besarnya angka kapitasi untuk jenis pelayanan

kesehatan yang diinginkan.

Contoh perhitungan pembayaran kapitasi :

Jumlah peserta 3000 orang dan biaya kapitasi rawat jalan TK I Rp. 1.569,94 Pembayaran

kapitasi lewat jalan TK 1 adalah sebagai berikut

Pembayaran kapitasi = 3000 x Rp. 1.569,94 = Rp. 4.709,820/bulan.

Yang perlu diketahui selanjutnya adalah premi netto. Premi netto adalah besaran premi

yang belum memasukkan unsur biaya administrasi, investasi, dan keuntungan. Premi

netto (dalam setahun) dihitung dengan menambahkan besaran biaya kapitasi (full atau

partial tergantung manfaat yang dijamin) dengan besar biaya contigency margin (CM),

sehingga jika dinyatakan dalam rumus maka premi netto adalah:

Adapun premi bruto adalah besaran premi yang sudah memasukkan unsur biaya

operasional, serta keuntungan. Perhitungan premi bruto dapat diformulasikan sebagai

berikut:

Biaya operasional yang dimaksud disini adalah besar biaya administrasi yang

dibebankan kepada tiap peserta. (Januraga, 2008)

Manfaat sistem Kapitasi :

1. Ada jaminan tersedianya anggaran untuk pelayanan kesehatan yang akan diberikan

2. Ada dorongan untuk merangsang perencanaan yang baik dalam pelayanan kesehatan,

sehingga dapat dilakukan :

Pembayaran kapitasi = jumlah peserta x angka kapitasi

Premi netto = Biaya kapitasi + (CM x biaya kapitasi)

Premi bruto = Premi netto + Biaya Operasional + Profit

Page 39: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

18

Universitas Indonesia

a. Pengendalian biaya pelayanan kesehatan per anggota

b. Pengendalian tingkat penggunaan pelayanan kesehatan

c. Efisiensi biaya dengan penyerasian upaya promotif-preventif dengan kuratif-

rehabilitatif

d. Rangsangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bermutu,

efektif & efisien

e. Peningkatan pendapatan untuk PPK yang bermutu

f. Peningkatan kepuasan anggota yang akan menjamin tersedianya kesehatan

masyarakat

Langkah-langkah Menghitung Kapitasi

1. Menetapkan jenis-jenis pelayanan yang akan dicakup: disini harus dirinci dengan

jelas pelayanan apa saja yang dicakup dalam perhitungan kapitasi. Harus jelas

pelayanan apa saja yang dicakup dalam kaitasi dengan maksud agar peserta tidak

menjadi korban dan terombang-ambing yang pada akhirnya akan menimbulkan

ketidakpuasan peserta terhadap perusahaan asuransi

2. Menghitung rate utilisasi untuk setiap jenis pelayanan yang dikapitasikan. Biasanya

rate tersebut dihitung per seribu anggota untuk satu tahun pelayanan. Para ahli

berpendapat bahwa rate akan stabil pada 100.000 orang-tahun.

3. Menetapkan biaya per pelayanan dimana untuk suatu wilayah tertentu biaya

pelayanan ini dikumpulkan dan dihitung biaya rata-rata per jenis pelayanannya. Atas

dasar ini kemudian biaya kapitasi diperhitungkan. Jika tariff PPk lebih mahal

daripada rata-rata, PPK terpaksa menurunkan tarifnya, namun dapat dikompensasi

dengan kenaikan volume jika PPK sudah punya anggota yang cukup besar.

4. Menghitung biaya per kapita per bulan untuk tiap pelayanan. Setelah rate dan rata-

rata biaya per pelayanan diperoleh maka selanjutnya dihitung biaya per kapita per

bulan untuk tiap jenis pelayanan. Formula yang digunakan adalah sebagai berikut:

Menjumlahkan biaya per kapita per bulan untuk seluruh pelayanan. Langkah

terakhir adalah menjumlahan biaya per kapita yang telah diperoleh menjadi biaya per

kapita per bulan. Beberapa kelompok yang besar menambahkan biaya konstan untuk

Biaya per kapita per bulan = (rate tahunan x rata-rata biaya) : 12 bulan

Page 40: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

19

Universitas Indonesia

administrasi dan pelaporan. Tetapi beban ini bisa ditanggung oleh PPK, terutama PPK

yang mempunyai tarif di bawah rata-rata. Bila kepada peserta akan dikenakan copayment

maka pendapatan dari copayment akan diperhitungkan.

Efek Pembayaran Kapitasi

Efek utama pembayaran kapitasi adalah untuk mencegah moral hazard deman

dari sisi suplai. Dengan pembayaran kapitasi sebelum penerapan KBK, Puskesmas akan

menerima penghasilan yang tetap dari kontrak kapitasi tanpa dipengaruhi oleh tinggi

rendahnya kunjungan pasien.

Masalah-masalah dalam pembayaran kapitasi

Pembayaran sistem kapitasi merupakan suatu cara penekanan biaya, dengan

menempatkan PPK pada posisi menanggung resiko, seluruhnya atau sebagian, dengan

cara menerima pembayaran atas dasar jumlah jiwa yang ditanggung. Mekanisme ini akan

menyebabkan PPK akan menekan biaya operasionalnya hingga paling tidak biaya per unit

pelayanan yang diberikan sama atau lebih kecil dari average cost. Dengan demikian PPK

akan menekan jumlah kunjungan agar revenue sama atau lebih besar dari revenue jika

PPK melayani pasien dengan fee for service (Thabrani, 1999)

Untuk mencapai hal tersebut PPK dapat melakukan praktik-praktik yang sifatnya

bisa menguntungkan pasien tetapi dapat pula merugikan pasien bila provider semata-mata

mengejar keuntungan. Beberapa praktik positif yang mungkin dilakukan provider adalah:

a. Memberikan pelayanan yang berkualitas tinggi dengan menegakkan diagnosis yang

tepat dan memberikan pengobatan atau tindakan yang tepat.

b. Memberikan pelayanan promotive dan preventif untuk mencegah insidens

kesakitan

c. Memberikan pelayanan yang pas, tidak lebih dan tidak kurang

Beberapa praktik negatif yang dapat terjadi adalah:

a. PPK akan mudah merujuk ke spesialis, jika kapitasi diberikan secara terpisah-pisah

antara pelayanan rawat jalan tingkat pertama dan rujukan tanpa diimbangi dengan

insentif yang memadai

Page 41: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

20

Universitas Indonesia

b. Mengurangi waktu pelayanan untuk pasien sehingga mutu pelayanan berkurang, hal

ini pada akhirnya akan menimbulkan biaya yang besar pada pelayanan lanjutan.

Untuk mengurangi dampak negatif dari sistem ini perlu dilakukan evaluasi

terhadap utilisasi pelayanan dan biaya, status kesehatan dan kepuasan peserta

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan

Definisi dan Asas BPJS

Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) adalah badan hukum yang

dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Dimana tujuan badan hukum

ini untuk mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan

dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya.

BPJS dalam menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional mengacu pada asas

berikut:

1. Kemanusiaan 2. Manfaat 3. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Prinsip BPJS

BPJS dalam menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan

prinsip berikut:

1. Prinsip kegotongroyongan 2. Prinsip nirlaba 3. Prinsip keterbukaan 4. Prinsip portabilitas 5. Kepesertaan 6. Dana amanat 7. Hasil pengelolaan dana jaminan sosial

Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan pada

Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama

Pembayaran kapitasi berbasis pemenuhan komitmen pelayanan pada FKTP

merupakan bagian dari pengembangan sistem kendali mutu pelayanan yang bertujuan

untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

Page 42: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

21

Universitas Indonesia

Penerapan Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan pada FKTP dilakukan

setelah terjadi kesepakatan antara BPJS Kesehatan dengan FKTP. Adapun terkait teknis

pelaksanaan telah terinci di Peraturan Bersama Sekretaris Jenderal Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia dan Direktur Utama Badan penyelenggara Jaminan Sosial

Kesehatan Nomor HK.01.08/III/980/2017 Tahun 2017 Nomor 2 Tahun 2017 (terlampir)

(BPJS, 2017)

Prolanis BPJS

Pengertian Prolanis BPJS

Prolanis adalah suatu sistem pelayanan kesehatan dan pendekatan proaktif yang

dilaksanakan secara terintegrasi yang melibatkan peserta, fasilitas kesehatan dan BPJS

Kesehatan dalam rangka pemeliharaan kesehatan bagi peserta BPJS Kesehatan yang

menderita penyakit kronis untuk mencapai kualitas hidup yang optimal dengan biaya

pelayanankesehatan yang efektif dan efisien (Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan,

2014)

Tujuan program ini dalam BPJS adalah untuk mendorong peserta penyandang

penyakit kronis mencapai kualitas hidup optimal dengan indikator 75% peserta terdaftar

yang berkunjung ke Faskes Tingkat Pertama memiliki hasil “baik” pada pemeriksaan

spesifik terhadap penyakit DM Tipe 2 dan Hipertensi sesuai Panduan Klinis terkait

sehingga dapat mencegah timbulnya komplikasi penyakit (Badan Penyelenggara Jaminan

Kesehatan, 2014)

Adapun Program Pengelolaan Penyakit Kronis memiliki karateristik sebagai

berikut:

a. Penetapan target kesehatan individual bagi setiap penderita penyakit kronis.

b. Penanganan kesehatan per individual peserta penderita penyakit kronis fokus pada

upaya promotif dan preventif untuk mencegah episode akut.

c. Edukasi dan upaya meningkatkan kesadaran dan peran serta Peserta penderita

penyakit kronis terhadap perawatan kesehatannya secara mandiri.

d. Penerapan protokol pengobatan yang berdasaran evidence base medicine.

e. Peningkatan fungsi gate keeper pada tingkat Rawat Jalan Tingkat Pertama dalam

rangka pengendalian biaya pelayanan rujukan. (Rini, 2014)

Page 43: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

22

Universitas Indonesia

Sasaran Prolanis

Sasaran Prolanis adalah seluruh peserta Askes Sosial penderita penyakit kronis

Diabetes Mellitus dan Hipertensi. Tahapannya, peserta harus mendaftar dahulu di BPJS

terdekat atau di Puskesmas dan Dokter keluarga tempat peserta terdaftar. Setelah

mendaftar, peserta akan mendapatkan Dokter Keluarga Prolanis atau Dokter di

Puskesmas Prolanis yang dipilih serta buku pemantauan status kesehatan. Dokter

Keluarga/Puskesmas di sini berperan sebagai gatekeeper yang tidak hanya memilih

pasien untuk dirujuk ke spesialis terkait, tetapi diharapkan juga dapat memberikan

pelayanan komprehensif dan terfokus pada upaya promotif dan preventif. Dokter

Keluarga/Dokter Puskesmas akan bertindak sebagai manajer kesehatan bagi penderita

penyakit kronis ini. Dokter keluarga juga akan berperan sebagai konsultan bagi peserta

yang memberikan bimbingan, edukasi, dan peningkatan kemampuan peserta untuk

melakukan pemeliharaan atas kesehatan pribadinya secara mandiri. Dokter akan

memantau kondisi dan status kesehatan peserta Prolanis secara rutin serta bisa

memberikan resep obat kronis pada level Rawat Jalan Tingkat Pertama. (Rini, 2014)

Mekanisme Prolanis BPJS

Pelayanan Program Pengelolaan Penyakit Kronis bersifat komprehensif

(menyeluruh) meliputi :

1. Upaya promotif; penyuluhan/informasi berbagai media, konsultasi, dan reminder

aktifitas medis

2. Upaya preventif, penunjang diagnostik, kunjungan rumah (home visite), konseling

3. Upaya kuratif; pemeriksaan dan pengobatan penyakit pada Rawat Jalan Tingkat

Pertama, Rawat Jalan Lanjutan, Rawat Inap Lanjutan serta pelayanan obat

4. Upaya rehabilitatif; penanganan pemulihan dari penyakit kronis

Pelayanan PROLANIS di fasilitas kesehatan primer lebih fokus pada pelayanan

promotif dan preventif meliputi :

a. Pemberian konsultasi medis, informasi, edukasi terkait penyakit kronis kepada

penderita dan keluarga

1) Kunjungan ke rumah pasien

2) Penyuluhan penyakit kronis

Page 44: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

23

Universitas Indonesia

3) Pelatihan bagi tata cara perawatan bagi penderita

b. Pemantauan kondisi fisik peserta kronis secara berkesinambungan

c. Pemberian resep obat kronis dan kemudian peserta mengambil obat pada Apotek

yang ditunjuk

d. Pemberian surat rujukan ke Fasilitas yang lebih tinggi untuk kasus-kasus yang tidak

dapat ditanggulangi di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama / Primer.

e. Penanganan terapi penyakit kronis dan peresepan obat kronis sesuai Panduan Klinis

penanganan penyakit kronis yang berlaku

f. Membuat dokumentasi status kesehatan per Pasien terhadap setiap pelayanan yang

diberikan kepada tiap pasien

g. Membuat jadwal pemeriksaan rutin yang harus dijalani oleh peserta

Langkah-Langkah Pelaksanaan

Sebelum melaksanakan prolanis, ada beberapa langkah yang harus dilakukan

sebelum aktivitas prolanis itu sendiri:

1. Melakukan identifikasi data peserta sasaran berdasarkan:

a. Hasil Skrining Riwayat Kesehatan dan atau

b. Hasil Diagnosa DM dan HT (pada Faskes Tingkat Pertama maupun RS)

2. Menentukan target sasaran

3. Melakukan pemetaan Faskes Dokter Keluarga/ Puskesmas berdasarkan distribusi

target sasaran peserta

4. Menyelenggarakan sosialisasi Prolanis kepada Faskes Pengelola

5. Melakukan pemetaan jejaring Faskes Pengelola (Apotek, Laboratorium)

6. Permintaan pernyataan kesediaan jejaring Faskes untuk melayani peserta prolanis

7. Melakukan sosialisasi prolanis kepada peserta (instansi, pertemuan kelompok pasien

kronis di RS, dan lain-lain)

8. Penawaran kesediaan terhadap peserta penyandang Diabetes Melitus Tipe 2 dan

Hipertensi untuk bergabung dalam prolanis

9. Melakukan verifikasi terhadap kesesuaian data diagnosa dengan form kesediaan

yang diberikan oleh calon peserta Prolanis

10. Mendistribusikan buku pemantauan status kesehatan kepada peserta terdaftar

11. Melakukan rekapitulasi data peserta terdaftar

Page 45: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

24

Universitas Indonesia

12. Melakukan entri data peserta dan pemberian flag peserta prolanis

13. Melakukan distribusi data peserta Prolanis sesuai Faskes Pengelola

14. Bersama dengan Faskes melakukan rekapitulasi data pemeriksaan status kesehatan

peserta, meliputi pemeriksaan GDP, GDPP, Tekanan Darah, IMT, HbA1C. Bagi

peserta yang belum pernah dilakukan pemeriksaan, harus segera dilakukan

pemeriksaan.

15. Melakukan rekapitulasi data hasil pencatatan status kesehatan awal peserta per

Faskes Pengelola (data merupakan luaran Aplikasi P-Care).

16. Melakukan Monitoring aktifitas prolanis pada masing-masing Faskes Pengelola:

a. Menerima laporan aktifitas prolanis dari Faskes Pengelola

b. Menganalisa data

17. Menyusun umpan balik kinerja Faskes prolanis

18. Membuat laporan kepada Kantor Divisi Regional/ Kantor Pusat

Setelah semua persiapan pelaksanaan prolanis sudah dipenuhi, Aktivitas prolanis

dapat dilakukan. Adapun aktivitas prolanis dijalankan sebagai berikut:

1. Konsultasi Medis Peserta Prolanis: jadwal konsultasi disepakati bersama antara

peserta dengan Faskes Pengelola

2. Edukasi Kelompok Peserta Prolanis

Edukasi Kelompok Peserta Prolanis

Definisi :

Edukasi Klub Risti (Klub Prolanis) adalah kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan

kesehatan dalam upaya memulihkan penyakit dan mencegah timbulnya kembali penyakit

serta meningkatkan status kesehatan bagi peserta prolanis

Sasaran :

Terbentuknya kelompok peserta (Klub) prolanis minimal 1 Faskes Pengelola 1 Klub.

Pengelompokan diutamakan berdasarkan kondisi kesehatan Peserta dan kebutuhan

edukasi.

Langkah - langkah:

a. Mendorong Faskes Pengelola melakukan identifikasi peserta terdaftar sesuai tingkat

severitas penyakit DM Tipe 2 dan Hipertensi yang disandang.

Page 46: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

25

Universitas Indonesia

b. Memfasilitasi koordinasi antara Faskes Pengelola dengan Organisasi Profesi/Dokter

Spesialis diwilayahnya

c. Memfasilitasi penyusunan kepengurusan dalam Klub

d. Memfasilitasi penyusunan kriteria Duta prolanis yang berasal dari peserta

Duta prolanis bertindak sebagai motivator dalam kelompok Prolanis (membantu

Faskes Pengelola melakukan proses edukasi bagi anggota Klub)

e. Memfasilitasi penyusunan jadwal dan rencana aktifitas Klub minimal 3 bulan

pertama

f. Melakukan Monitoring aktifitas edukasi pada masing-masing Faskes Pengelola:

1) Menerima laporan aktifitas edukasi dari Faskes Pengelola 2) Menganalisis data

g. Menyusun umpan balik kinerja Faskes prolanis

h. Membuat laporan kepada Kantor Divisi Regional/Kantor Pusat dengan tembusan

kepada Organisasi Profesi terkait diwilayahnya

Reminder melalui SMS Gateway

Definisi :

Reminder adalah kegiatan untuk memotivasi peserta untuk melakukan kunjungan rutin

kepada Faskes Pengelola melalui pengingatan jadwal konsultasi ke Faskes Pengelola

tersebut

Sasaran

Tersampaikannya reminder jadwal konsultasi peserta ke masing-masing Faskes

Pengelola

Langkah – langkah:

a. Melakukan rekapitulasi nomor Handphone peserta PROLANIS/Keluarga peserta per

masing-masing Faskes Pengelola

b. Entri data nomor handphone kedalam aplikasi SMS Gateway

c. Melakukan rekapitulasi data kunjungan per peserta per Faskes Pengelola

d. Entri data jadwal kunjungan per peserta per Faskes Pengelola

e. Melakukan monitoring aktifitas reminder (melakukan rekapitulasi jumlah peserta

yang telah mendapat reminder)

Page 47: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

26

Universitas Indonesia

f. Melakukan analisa data berdasarkan jumlah peserta yang mendapat reminder dengan

jumlah kunjungan.

g. Membuat laporan kepada Kantor Divisi Regional/Kantor Pusat

Home Visit

Definisi:

adalah kegiatan pelayanan kunjungan ke rumah Peserta PROLANIS untuk pemberian

informasi/edukasi kesehatan diri dan lingkungan bagi peserta PROLANIS dan keluarga

Sasaran:

Peserta prolanis dengan kriteria:

b. Peserta baru terdaftar c. Peserta tidak hadir terapi di Dokter Praktek Perorangan/Klinik/Puskesmas 3 bulan

berturut-turut d. Peserta dengan GDP/GDPP di bawah standar 3 bulan berturut-turut (PPDM) e. Peserta dengan Tekanan Darah tidak terkontrol 3 bulan berturut-turut (PPHT) f. Peserta pasca opname

Langkah – langkah:

a. Melakukan identifikasi sasaran peserta yang perlu dilakukan Home Visit

b. Memfasilitasi Faskes Pengelola untuk menetapkan waktu kunjungan

c. Bila diperlukan, dilakukan pendampingan pelaksanaan Home Visit

d. Melakukan administrasi Home Visit kepada Faskes Pengelola dengan berkas sebagai

berikut:

1) Formulir Home Visit yang mendapat tanda tangan Peserta/Keluarga peserta yang

dikunjungi

2) Lembar tindak lanjut dari Home Visit/lembar anjuran Faskes Pengelola

e. Melakukan monitoring aktifitas Home Visit (melakukan rekapitulasi jumlah peserta

yang telah mendapat Home Visit)

f. Melakukan analisa data berdasarkan jumlah peserta yang mendapat Home Visit

dengan jumlah peningkatan angka kunjungan dan status kesehatan peserta

g. Membuat laporan kepada Kantor Divisi Regional/Kantor Pusat

Page 48: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

27

Universitas Indonesia

Hubungan Antara Kapitasi dengan Prolanis

Kapitasi berbasis pemenuhan komitmen adalah penyesuaian besaran tarif kapitasi

berdasarkan hasil penilaian pencapaian indikator pelayanan kesehatan perseorangan yang

disepakati berupa komitmen pelayanan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dalam

rangka peningkatan mutu pelayanan. Pada Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan

Kesehatan No Tahun 2015 pada Pasal 31, indikator pencapaian dalam komitmen

pelayanan yang dilakukan FKTP meliputi:

a. Angka Kontak (AK)

b. Rasio Rujukan Rawat Jalan Kasus Non Spesialistik (RRNS); dan

c. Rasio Peserta Prolanis rutin berkunjung ke FKTP (RPPB)

Rasio Peserta Prolanis berkunjung ke FKTP merupakan jumlah peserta Prolanis

yang rutin berkunjung ke FKTP dibandingkan dengan jumlah Peserta Prolanis terdaftar

di FKTP dikali 100, formulasi dapat disusun sebagai berikut:

RPPB

100

Target pemenuhan RPPB dikategorikan sebagai “zona aman” paling sedikit

sebesar 50% dan “zona prestasi” paling sedikit sebesar 90%. Dengan adanya RPPB ini,

kita dapat mengetahui pemanfaatan FKTP oleh peserta Prolanis dan kesinambungan

FKTP dalam melaksanakan pemeliharaan kesehatan Peserta Prolanis.

Dalam menentukan Pembayaran Kapitasi berbasis Pemenuhan Komitmen tidak

hanya cukup dengan variabel RPPB, tetapi dengan kedua variabel lainnya yaitu AK dan

RRNS. Tabel di bawah ini menjelaskan implementasi Pembayaran Kapitasi Berbasis

Pemenuhan Komitmen dari ketiga variabel tersebut.

Page 49: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

28

Universitas Indonesia

Tabel 2.1 Penerapan Kompensasi Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen

Konsep Puskesmas

Pengertian Puskesmas

Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas

pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya

kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif

dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di

wilayah kerjanya (Kementerian Kesehatan, 2014). Pusat Kesehatan Masyarakat adalah

sarana pelayanan kesehatan fungsional milik dan dikelola oleh Pemerintah Daerah yang

memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat (Surat

Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia

No. 883 dan 060440915/1998)

Puskesmas Kecamatan merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan di

bidang pelayanan, pembinaan dan pengembangan kesehatan masyarakat di Kecamatan

yang dipimpin oleh seorang Kepala Puskesmas Kecamatan yang dalam melaksanakan

tugas dan fungsinya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas

melalui Kepala Sudin Kesmas. Puskesmas Kecamatan mempunyai tugas melaksanakan

pelayanan kesehatan perorangan dengan mengutamakan upaya penyembuhan (kuratif),

pemulihan (rehabilitatif) yang dilakukan secara terpadu dengan upaya pencegahan

(preventif) dan peningkatan (promotif) serta melaksanakan pemberdayaan (Pemerintah

Daerah DKI Jakarta, 2007)

Puskesmas Kelurahan merupakan Unit Kerja Dinas Kesehatan di bawah

Puskesmas Kecamatan di bidang pembinaan, pengembangan dan pelayanan kesehatan

masyarakat di Kelurahan yang dipimpin oleh seorang Kepala Puskesmas Kelurahan yang

Page 50: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

29

Universitas Indonesia

dalam melaksanakan tugas dan fungsinya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada

Kepala Dinas melalui Kepala Puskesmas Kecamatan. Puskesmas Kelurahan. Puskesmas

Kelurahan mempunyai tugas melaksanakan pembinaan, pengembangan dan pelayanan

kesehatan masyarakat di Kelurahan (Pemerintah Daerah DKI Jakarta, 2007)

Definisi Puskesmas pada Peraturan Gubernur terdahulu bersifat lebih

memisahkan antara Upaya Kesehatan Perorangan dan Usaha Kesehatan Masyarakat.

Namun lain halnya dengan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No 386 Tahun 2016

(Peraturan Gubernur DKI Jakarta, 2016) disini dikatakan Puskesmas Kecamatan

merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan dalam pelaksanaan pelayanan

kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan

perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan

preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di

tingkat Kecamatan yang dipimpin oleh seorang Kepala Puskesmas Kecamatan yang

berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas Kesehatan melalui

Kepala Suku Dinas Kesehatan

Adapun Puskesmas Kecamatan mempunyai fungsi :

a. penyusunan rencana strategis, rencana kerja dan anggaran dan rencana bisnis

anggaran Puskesmas Kecamatan;

b. pelaksanaan rencana strategis, dokumen pelaksanaan anggaran dan rencana bisnis

anggaran Puskesmas Kecamatan;

c. pelaksanaan pedoman, standar dan prosedur teknis pelayanan kesehatan tingkat

Kecamatan;

d. penyelenggaraan pelayanan kesehatan lingkungan;

e. penyelenggaraan pelayanan kesehatan ibu dan anak dan keluarga berencana yang

bersifat UKM dan UKP;

f. penyelenggaraan pelayanan gizi yang bersifat UKM dan UKP

g. penyelenggaraan pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit (survailance);

h. penyelenggaraan pelayanan keperawatan kesehatan masyarakat;

i. penyelenggaraan upaya pengembangan pelayanan kesehatan jiwa, kesehatan gigi

masyarakat, kesehatan tradisional komplementer, kesehatan olahraga, kesehatan

indera, kesehatan lansia, kesehatan kerja dan kesehatan lainnya;

j. penyelenggaraan pelayanan medis umum dan spesialis terbatas;

Page 51: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

30

Universitas Indonesia

k. penyelenggaraan pelayanan kesehatan gigi dan mulut;

l. penyelenggaraan pelayanan gawat darurat dan ambulans serta sistem rujukan;

m. penyelenggaraan pelayanan persalinan dan rawat inap terbatas;

n. penyelenggaraan pelayanan promosi kesehatan termasuk UKS

o. penyelenggaraan pelayanan kefarmasian dan laboratorium;

p. penyelenggaraan pemeliharaan dan perawatan peralatan kedokteran, peralatan

keperawatan, peralatan perkantoran dan peralatan kesehatan lainnya;

q. penyelenggaraan peningkatan dan penjaminan mutu pelayanan;

r. penyelenggaraan keamanan dan keselamatan pasien;

s. penanganan pengelolaan limbah medis;

t. pemeriksaan jenazah;

u. pemberdayaan Puskesmas Kelurahan;

v. penyelenggaraan bimbingan praktik kerja lapangan untuk institusi yang telah

ditentukan oleh Dinas Kesehatan;

w. pelaksanaan kegiatan kehumasan dan pemasaran Puskesmas Kecamatan;

x. pengelolaan kepegawaian, keuangan dan barang Puskesmas Kecamatan;

y. pengelolaan ketatausahaan dan kerumahtanggaan Puskesmas Kecamatan;

z. pengelolaan kearsipan data dan informasi Puskesmas Kecamatan;

aa. pelaksanaan pengelolaan teknologi informasi Puskesmas Kecamatan;

bb. pengelolaan prasarana dan sarana Puskesmas Kecamatan;

cc. pelaksanaan publikasi kegiatan dan pengaturan acara • Puskesmas Kecamatan; dan

dd. pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan fungsi Puskesmas

Kecamatan

Susunan Organisasi Puskesmas Kecamatan, terdiri dari:

a. Kepala Puskesmas Kecamatan

b. Subbagian tata Usaha

c. Satuan Pelaksanan UKM

d. Satuan Pelaksanan UKP

e. Puskesmas Kelurahan

f. Satuan pengawas Internal; dan

g. Subkelompok Jabatan Fungsional

Page 52: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

31

Universitas Indonesia

Adapun desain dari Puskesmas Kecamatan sebagaimana tertuang dalam Pergub

368 Tahun 2016 bahwasannya peran fungsi Puskesams kecamatan adalah bercampur

antara UKM dan UKP dimana didalamnya ada satuan pelaksanan UKM dan Satuan

pelaksana UKP, dan Puskesmas kelurahan merupakan satuan pelayanan dari puskesmas

kecamatan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan di wilayah kelurahan. Yang dipimpin

oleh seorang kepala satuan pelayanan yang juga disebut kepala puskesmas kelurahan

yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala puskesmas

kecamatan, yang bukan merupakan jabatan struktural diangkat dari seorang Jabatan

Fungsional Umum atau seorang Tenaga Kesehatan sebagai tugas tambahan selaku

Jabatan Fungsional Tertentu. Yang dalam tugasnya tertuang juga tugas sebagai UKP dan

UKM bersama-sama.

Puskesmas kecamatan di DKI sebagai UKPD menerapkan Pola Pengelolaan

Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD). Adapun Bagan Susunan

Organisasi Pusat Kesehatan Masyarakat di DKI Jakarta adalah sebagai berikut:

Gambar 2.1 Bagan Susunan Organisasi Pusat Kesehatan Masyarakat di DKI Jakarta

Page 53: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

32

Universitas Indonesia

Akreditasi Puskesmas adalah pengakuan terhadap Puskesmas yang diberikan oleh

lembaga independen penyelenggara akreditasi yang ditetapkan oleh Menteri setelah

dinilai bahwa Puskesmas telah memenuhi standar pelayanan Puskesmas yang telah

ditetapkan oleh Menteri untuk meningkatkan mutu pelayanan Puskesmas secara

berkesinambungan (Kemenkes RI, 2014)

Wilayah Puskesmas

Wilayah kerja Puskesmas meliputi satu kecamatan atau sebagian dari kecamatan.

Faktor kepadatan penduduk, luas daerah, keadaan geografik dan keadaan infrastruktur

lainnya merupkan bahan pertimbangan dalam menentukan wilayah Puskesmas.

Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis Dinkes Kab/Kota, sehingga pembagian

wilayah kerja Puskesmas ditetapkan oleh Bupati/Walikota, standar puskesmas adalah

adanya 1 puskesmas di tiap-tiap kecamatan..

Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang

merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta

masyarakat disamping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada

masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. Dengan kata lain

Puskesmas mempunyai wewenang dan tanggung jawab atas pemeliharaan kesehatan

masyarakat dalam wilayah kerjanya

Dalam rangka pemenuhan Pelayanan Kesehatan yang didasarkan pada kebutuhan

dan kondisi masyarakat, Puskesmas dapat dikategorikan berdasarkan karakteristik

wilayah kerja dan kemampuan penyelenggaraan. Berdasarkan karakteristik wilayah

kerjanya sebagaimana dimaksud dalam Puskesmas dikategorikan menjadi:

1. Puskesmas kawasan perkotaan;

2. Puskesmas kawasan pedesaan; dan

3. Puskesmas kawasan terpencil dan sangat terpencil. (Kemenkes RI, 2014) pasal 21

Berdasarkan kriteria Puskesmas kawasan perkotaan merupakan Puskesmas yang

wilayah kerjanya meliputi kawasan yang memenuhi paling sedikit 3 (tiga) dari 4 (empat)

kriteria kawasan perkotaan sebagai berikut:

1. aktivitas lebih dari 50% (lima puluh persen) penduduknya pada sektor non agraris,

terutama industri, perdagangan dan jasa;

Page 54: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

33

Universitas Indonesia

2. memiliki fasilitas perkotaan antara lain sekolah radius 2,5 km, pasar radius 2 km,

memiliki rumah sakit radius kurang dari 5 km, bioskop, atau hotel;

3. lebih dari 90% (sembilan puluh persen) rumah tangga memiliki listrik; dan/atau

4. terdapat akses jalan raya dan transportasi menuju fasilitas perkotaan

Sebagaimana DKI Jakarta merupakan penyelenggaran pelayanan kesehatan di

perkotaan memiliki karakteristik sebagai berikut

1. memprioritaskan pelayanan UKM;

2. pelayanan UKM dilaksanakan dengan melibatkan partisipasi masyarakat;

3. pelayanan UKP dilaksanakan oleh Puskesmas dan fasilitas pelayanan kesehatan yang

diselenggarakan oleh pemerintah atau masyarakat;

4. optimalisasi dan peningkatan kemampuan jaringan pelayanan Puskesmas dan

jejaring fasilitas pelayanan kesehatan; dan

5. pendekatan pelayanan yang diberikan berdasarkan kebutuhan dan permasalahan

yang sesuai dengan pola kehidupan masyarakat perkotaan (Kementerian Kesehatan,

2014)

Puskesmas harus didirikan pada setiap kecamatan. Dalam kondisi tertentu, pada

1 (satu) kecamatan dapat didirikan lebih dari 1 (satu) Puskesmas yang ditetapkan

ditetapkan berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan, jumlah penduduk dan

aksesibilitas. Seperti halnya DKI maka dimungkinkan adanya nomenklatur puskesmas

kecamatan dan puskesmas kelurahan.

Prinsip, Penyelenggaraan, Tugas Fungsi dan Wewenang

A Prinsip

Adapun prinsip penyelenggaraan puskesmas meliputi:

1) Paradigma sehat

Puskesmas mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk berkomitmen dalam

upaya mencegah dan mengurangi resiko kesehatan yang dihadapi individu,

keluarga, kelompok dan masyarakat.

2) pertanggungjawaban wilayah;

Puskesmas menggerakkan dan bertanggung jawab terhadap pembangunan

kesehatan di wilayah kerjanya

Page 55: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

34

Universitas Indonesia

3) kemandirian masyarakat;

Puskesmas mendorong kemandirian hidup sehat bagi individu, keluarga,

kelompok, dan masyarakat

4) pemerataan;

Puskesmas menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang dapat diakses dan

terjangkau oleh seluruh masyarakat di wilayah kerjanya secara adil tanpa

membedakan status sosial, ekonomi, agama, budaya dan kepercayaan

5) teknologi tepat guna; dan

Puskesmas menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dengan memanfaatkan

teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan, mudah

dimanfaatkan dan tidak berdampak buruk bagi lingkungan

6) keterpaduan dan kesinambungan

Puskesmas mengintegrasikan dan mengoordinasikan penyelenggaraan UKM dan

UKP lintas program dan lintas sektor serta melaksanakan Sistem Rujukan yang

didukung dengan manajemen Puskesmas

B Penyelenggaraan, Tugas, Fungsi

Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai

tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka mendukung

terwujudnya kecamatan sehat. Puskesmas menyelenggarakan fungsi: 1) penyelenggaraan

UKM tingkat pertama di wilayah kerjanya; dan b). penyelenggaraan UKP tingkat pertama

di wilayah kerjanya. Selain fungsi tersebut Puskesmas dapat berfungsi sebagai wahana

pendidikan Tenaga Kesehatan

Berdasarkan kemampuan penyelenggaraan, Puskesmas dikategorikan menjadi

Puskesmas non rawat inap dan puskesmas rawat inap

1. Puskesmas non rawat inap; dan

2. Puskesmas rawat inap. (Kementerian Kesehatan, 2014)

Salah satu trend sektor kesehatan, terkait keberadaan Puskesmas ini, adalah suatu

insitusi yang mampu segera mengadakan rencana, operasional, tindakan baik lapangan

maupun perawatan serta pengembangan secara cepat adalah Puskesmas dengan rawat

inap.

Page 56: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

35

Universitas Indonesia

Puskesmas Perawatan atau Puskesmas Rawat Inap merupakan Puskesmas yang

diberi tambahan ruangan dan fasilitas untuk menolong penderita gawat darurat, baik

berupa tindakan operatif terbatas maupun rawat inap sementara (Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia, 2016). Pengertian rawat inap, merupakan pelayanan kesehatan

perorangan yang meliputi observasi, diagnosa, pengobatan, keperawatan, rehabilitasi

medik dengan menginap di ruang rawat inap pada sarana kesehatan rumah sakit

pemerintah dan swasta, serta puskesmas perawatan dan rumah bersalin, yang oleh karena

penyakitnya penderita harus menginap.

C Wewenang

Adapun dalam menyelenggrakan fungsi UKM, Puskesmas berwenang untuk:

1) melaksanakan perencanaan berdasarkan analisis masalah kesehatan masyarakat

dan analisis kebutuhan pelayanan yang diperlukan;

2) melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan;

3) melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat

dalam bidang kesehatan;

4) menggerakkan masyarakat untuk mengidentifi kasi dan menyelesaikan masalah

kesehatan pada setiap tingkat perkembangan masyarakat yang bekerjasama

dengan sektor lain terkait;

5) melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan pelayanan dan upaya kesehatan

berbasis masyarakat;

6) melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia Puskesmas;

7) memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan;

8) melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap akses, mutu, dan

cakupan Pelayanan Kesehatan; dan

9) memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan masyarakat, termasuk

dukungan terhadap sistem kewaspadaan dini dan respon penanggulangan

penyakit.

Dan dalam fungsinya sebagai penyelenggara fungsi UKP, maka puskesmas

berwenang untuk:

Page 57: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

36

Universitas Indonesia

1) menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dasar secara komprehensif,

berkesinambungan dan bermutu;

2) menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang mengutamakan upaya promotif

dan preventif;

3) menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang berorientasi pada individu,

keluarga, kelompok dan masyarakat;

4) menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang mengutamakan keamanan dan

keselamatan pasien, petugas dan pengunjung;

5) menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dengan prinsip koordinatif dan kerja

sama inter dan antar profesi;

6) melaksanakan rekam medis;

7) melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap mutu dan akses

Pelayanan Kesehatan;

8) melaksanakan peningkatan kompetensi Tenaga Kesehatan;

9) mengoordinasikan dan melaksanakan pembinaan fasilitas pelayanan kesehatan

tingkat pertama di wilayah kerjanya; dan

10) melaksanakan penapisan rujukan sesuai dengan indikasi medis dan Sistem

Rujukan

Sumber Daya Puskesmas

Sumber daya yang dimaksud disini meliputi lokasi, bangunan, prasarana,

peralatan kesehatan, ketenagaan, kefarmasian, dan laboratorium. Adapun lokasi pendirian

Puskesmas harus memenuhi persyaratan: geografi, aksesibilitas untuk jalur transportasi,

kontur tanah, fasilitas parker, fasilitas keamanan, ketersediaan utilitas publik. pengelolaan

kesehatan lingkungan, pendirian Puskesmas harus memperhatikan ketentuan teknis

pembangunan bangunan gedung negara.

Bangunan Puskesmas harus memenuhi persyaratan yang meliputi:

a. persyaratan administratif, persyaratan keselamatan dan kesehatan kerja, serta

persyaratan teknis bangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan;

b. bersifat permanen dan terpisah dengan bangunan lain; dan

Page 58: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

37

Universitas Indonesia

c. menyediakan fungsi, keamanan, kenyamanan, perlindungan keselamatan dan

kesehatan serta kemudahan dalam memberi pelayanan bagi semua orang termasuk

yang berkebutuhan khusus, anak-anak dan lanjut usia.

Selain bangunan Puskesmas setiap Puskesmas harus memiliki bangunan rumah

dinas Tenaga Kesehatan yang didirikan dengan mempertimbangkan aksesibilitas tenaga

kesehatan dalam memberikan pelayanan.

Puskesmas harus memiliki prasarana yang berfungsi paling sedikit terdiri atas:

a. sistem penghawaan (ventilasi);

b. sistem pencahayaan;

c. sistem sanitasi;

d. sistem kelistrikan;

e. sistem komunikasi;

f. sistem gas medik;

g. sistem proteksi petir;

h. sistem proteksi kebakaran;

i. sistem pengendalian kebisingan;

j. sistem transportasi vertikal untuk bangunan lebih dari 1 (satu) lantai;

k. kendaraan Puskesmas keliling; dan

l. kendaraan ambulans

Peralatan kesehatan di Puskesmas harus memenuhi persyaratan: standar mutu,

keamanan, keselamatan; memiliki izin edar sesuai ketentuan peraturan perundang-

undangan; dan diuji dan dikalibrasi secara berkala oleh institusi penguji dan pengkalibrasi

yang berwenang.

Sumber daya manusia Puskesmas terdiri atas Tenaga Kesehatan dan tenaga non

kesehatan. Jenis dan jumlah tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan dihitung

berdasarkan analisis beban kerja, dengan mempertimbangkan jumlah pelayanan yang

diselenggarakan, jumlah penduduk dan persebarannya, karakteristik wilayah kerja, luas

wilayah kerja, ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama lainnya di

wilayah kerja, dan pembagian waktu kerja. Jenis Tenaga Kesehatan paling sedikit terdiri

atas:

a. dokter atau dokter layanan primer;

b. dokter gigi;

Page 59: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

38

Universitas Indonesia

c. perawat;

d. bidan;

e. tenaga kesehatan masyarakat;

f. tenaga kesehatan lingkungan;

g. ahli teknologi laboratorium medik;

h. tenaga gizi; dan i. tenaga kefarmasian.

Tenaga non kesehatan harus dapat mendukung kegiatan ketatausahaan,

administrasi keuangan, sistem informasi, dan kegiatan operasional lain di Puskesmas.

Tenaga Kesehatan di Puskesmas harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar

pelayanan, standar prosedur operasional, etika profesi, menghormati hak pasien, serta

mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien dengan memperhatikan keselamatan

dan kesehatan dirinya dalam bekerja. Setiap Tenaga Kesehatan yang bekerja di

Puskesmas harus memiliki surat izin praktik sesuai ketentuan peraturan perundang-

undangan

Pelayanan kefarmasian di Puskesmas harus dilaksanakan oleh Tenaga Kesehatan

yang memiliki kompetensi dan kewenangan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian.

Pelayanan kefarmasian di Puskesmas dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan. Pelayanan laboratorium di Puskesmas harus memenuhi kriteria

ketenagaan, sarana, prasarana, perlengkapan, peralatan, dan dilaksanakan sesuai

ketentuan peraturan perundang-undangan

Upaya Kesehatan

Sesuai dengan kemampuan tenaga maupun fasilitas yang berbeda-beda, maka

kegiatan yang bisa dilaksanakan oleh puskesmas akan berbedabeda, namun demikian

upaya kesehatan yang dilakukan oleh puskesmas pada dasarnya terdiri dari upaya

kesehatan masyarakat tingkat pertama dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama

yang dilaksanakan secara terintegrasi dan berkesinambungan.

Adapun upaya kesehatan masyarakat tingkat pertama meliputi upaya kesehatan

masyarakat esensial dan upaya kesehatan masyarakat pengembangan. Upaya kesehatan

masyarakat esensial meliputi:

1. pelayanan promosi kesehatan;

2. pelayanan kesehatan lingkungan;

Page 60: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

39

Universitas Indonesia

3. pelayanan kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana;

4. pelayanan gizi; dan

5. pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit.

Upaya kesehatan masyarakat esensial harus diselenggarakan oleh setiap

Puskesmas untuk mendukung pencapaian standar pelayanan minimal kabupaten/kota

bidang kesehatan. Upaya kesehatan masyarakat pengembangan merupakan upaya

kesehatan masyarakat yang kegiatannya memerlukan upaya yang sifatnya inovatif

dan/atau bersifat ekstensifi kasi dan intensifi kasi pelayanan, disesuaikan dengan prioritas

masalah kesehatan, kekhususan wilayah kerja dan potensi sumber daya yang tersedia di

masing-masing Puskesmas.

Upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama dilaksanakan dalam bentuk:

1. rawat jalan;

2. pelayanan gawat darurat;

3. pelayanan satu hari (one day care);

4. home care; dan/atau

5. rawat inap berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan kesehatan.

Upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama dilaksanakan sesuai dengan

standar prosedur operasional dan standar pelayanan. Untuk melaksanakan upaya

kesehatan Puskesmas harus menyelenggarakan: manajemen Puskesmas; pelayanan

kefarmasian; pelayanan keperawatan kesehatan masyarakat; dan pelayanan laboratorium

Managed Care

Managed Care adalah sistem pelayanan terkendali yang mengkoordinasikan

pembiayaan dan kelengkapan pelayanan kesehatan agar terwujud pelayanan kesehatan

yang bermutu tinggi dengan biaya serendah mungkin (Yaslis, 2006). Prinsip yang

mendasari managed care adalah adanya tanggung jawab atas pengendalian dan integrase

keseluruhan pelayanan yang dibutuhkan pasien.

Managed care memiliki beberapa ciri umum yang membedakan dengan produk asuransi

tradisional yaitu:

d. Kajian pemanfaatan yang menyeluruh

e. Memantau dan menganalisa pola-pola praktik dokter

Page 61: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

40

Universitas Indonesia

f. Menggunakan tenaga dokter pelayanan primer dan provider lainnya untuk melayani

pasien

g. Menggiring pasien kepada provider yang efisien dan bermutu tinggi

h. Program perbaikan mutu

i. Sistem pembayaran yang membuat para dokter, rumah sakit dan provider lainnya

accountable baik biaya maupun kualitas pelayanan kesehatan

Kompensasi penyelenggaraan pelayanan (provider) merupakan alat yang penting

untuk mengontrol biaya dalam program pelayanan terkendali. Kompensasi meliputi hal-

hal seperti menanggung resiko (risk sharing) dan insentif yang akhirnya mempengaruhi

perilaku penyelenggaran pelayanan kesehatan (provider). Perjanjian menanggung resiko

bersama dan gaji yang berlandaskan pemanfaatan (utilization) dan produktifitas

merupakan upaya agar penyelenggara pelayanan lebih menyadari masalah biaya (HIAA,

1996)

Pengendalian biaya dan utilisasi dalam managed care sangat ditentukan oleh

peran gatekeeper (Max & Andersen, 2016). Seorang gatekeeper akan mengarahkan,

mengelola, mengkoordinasikan dan melaksanakan pelayanan dasar bagi peserta. Dalam

hal ini, seluruh pelayanan yang tidak darurat (emergency) hanya dapat diberikan oleh

gatekeeper tersebut. Peran gatekeeper merupakan basis pengaturan lain resiko financial

pada kapitasi dan rujukan. Primary care doctors today act more as patient managers

within the health sistem – they diagnose, prescribe and refer, but deliver less direct

services than in the past. This role fits better with a “per patient” method of compensation

(Blomqvist & Busby, 2012)

Managed care memiliki berbagai model antara lain:

1. HMO (Health Maintenance Organization)

2. PPO (Preferred Provider Organization)

3. EPO (Exclusive Provider Organization)

4. POS (Point of Service)

Page 62: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

41

Universitas Indonesia

Sistem Rujukan dan Rujuk Balik

Sistem Rujukan

Sistem rujukan merupakan suatu sistem penyelenggaraan pelayanan kesehatan

yang melaksanakan pelimpahan tanggung jawab timbal balik terhadap satu kasus

penyakit atau masalah kesehatan secara vertical (dari unit yang kurang mampu kepada

unit yang lebih mampu menangani). Pelayanan kesehatan rujukan diberikan melalui

sarana pelayanan kesehatan seperti Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Balai

Pengobatan Ibu dan Anak (BKIA), Rumah Bersalin (RB) dan Rumah Sakit (Thabrani,

n.d.). Adapun sistem rujukan pelayanan kesehatan perorangan mengacu pada Permenkes

RI No 001 tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan

(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012)

Kebijakan Dalam Merujuk dan Merujuk Balik

Sesuai amanat Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan

Sosial Nasional (SJSN), yang mana dalam pelaksanaan SJSN tersebut harus menerapkan

sistem rujukan. Agar dapat mengoptimalisasikan sistem rujukan berjenjang maka fasilitas

kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjutan wajib melakukan sistem rujukan dengan

mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Definisi dari sistem rujukan telah ditetapkan dalam Undang Undang Nomor 44

Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, yaitu bahwa sistem rujukan merupakan

penyelenggaraan kesehatan yang mengatur pelimpahan tugas dan tanggung jawab secara

timbal balik baik vertikal maupun horizontal, secara struktural dan fungsional terhadap

kasus atau masalah penyakit juga permasalahan kesehatan. Sedangkan Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 001 Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan

Perorangan pasal 9, mengatakan bahwa fasilitas kesehatan dapat melakukan rujukan

vertikal apabila pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau sub

spesialistik dan perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan

kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan, bukan

berdasarkan indikasi sosial (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012)

Rujukan ulangan juga dapat diberikan kembali apabila terapi oleh dokter spesialis

di FKRTL belum selesai, tetapi bila keadaan penderita telah stabil dan masih memerlukan

pelayanan berkelanjutan dalam jangka waktu panjang maka akan dilakukan pelayanan

Page 63: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

42

Universitas Indonesia

rujuk balik. Pelayanan Rujuk Balik adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh

fasilitas kesehatan tingkat pertama kepada penderita penyakit kronis dengan kondisi stabil

atas rekomendasi/rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat lanjutan. Tujuan dari program

rujuk balik adalah guna meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan memudahkan

akses pelayanan kesehatan kepada penderita penyakit kronis serta mencegah fragmentasi

pelayanan kesehatan antara fasilitas kesehatan tingkat pertama dan fasilitas kesehatan

tingkat lanjutan. Pelayanan. Rujuk Balik diberikan kepada penyandang penyakit kronis,

khususnya penyakit diabetes melitus, hipertensi, jantung, asma, Penyakit Paru Obstruktif

Kronis (PPOK), epilepsy, stroke, schizophrenia, Sistemic Lupus Erythematosus (SLE)

yang sudah terkontrol/stabil namun masih memerlukan pengobatan berkelanjutan dalam

jangka panjang. (BPJS Kesehatan, 2016)

Tata Cara Pelaksanaan Sistem Rujukan Berjenjang

Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan RI No 001 tahun 2012 pasal 4 tentang Sistem

Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan dilaksanakan secara berjenjang, sesuai

kebutuhan medis

1. Dimulai dari pelayanan kesehatan tingkat pertama.

2. Pelayanan kesehatan tingkat kedua hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan

kesehatan tingkat pertama.

3. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga hanya dapat diberikan atas rujukan dari pelayanan

kesehatan tingkat kedua atau tingkat pertama.

4. Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/atau dokter gigi

pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama.

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)

kecuali pada keadaan gawat darurat, bencana, kekhususan permasalahan kesehatan

pasien, pertimbangan geografis, dan pertimbangan ketersediaan tenaga dan fasilitas

kesehatan.

Tata Cara Pelaksanaan Rujukan

Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 001 Tahun 2012, sebelum

dilakukan rujukan pada fasilitas kesehatan (faskes) lain, maka pasien haruslah memenuhi

kriteria rujukan dan faskes perujuk harus mendapatkan persetujuan dari pasien dan/atau

Page 64: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

43

Universitas Indonesia

keluarganya. Setelah sebelumnya pasien mendapatkan penjelasan dari tenaga kesehatan

yang berwenang, sekurang-kurangnya meliputi:

1. Diagnosis dan terapi dan/atau tindakan medis yang diperlukan;

2. Alasan dan tujuan dilakukan rujukan;

3. Risiko yang dapat timbul apabila rujukan tidak dilakukan;

4. Transportasi rujukan;

5. Dan risiko atau penyulit yang dapat timbul selama dalam perjalanan.

Setelah persetujuan diberikan maka dokter faskes perujuk harus memastikan

bahwa faskes lanjutan tidak penuh dan memiliki ruang serta dokter spesialis yang

dibutuhkan. Apabila rumah sakit tujuan penuh dan tidak memiliki ruang, maka dokter

harus mencarikan rumah sakit alternatif lain yang mampu menangani kasus tersebut,

tanpa memandang jaminan kesehatan yang digunakan. Apabila setelah diusahakan dan

tetap tidak mendapatkan ruang di 3 rumah sakit tujuan, maka dokter harus menjelaskan

kepada seluruh keluarga yang datang untuk menandatangani surat pernyataan untuk

dititipkan sementara di puskesmas tersebut meskipun fasilitas dan tenaga untuk

melakukan pengawasan terbatas, sehingga saat terjadi kegawatan tidak ada pihak yang

merasa dirugikan. Setelah ditandatangani, dokter dapat melanjutkan penanganan pada

pasien lain yang mungkin sudah menunggu sambil sesekali mengecek kondisi pasien.

Penting untuk diketahui adalah tidak boleh merujuk tanpa adanya konfirmasi dari rumah

sakit tujuan.

Apabila dokter telah mendapat konfirmasi dari rumah sakit rujukan selanjutnya

dokter membuat surat rujukan sebanyak 3 rangkap berisi:

1. Mencantumkan nama Rumah Sakit tujuan dan poliklinik spesialis atau nama dokter

spesialis yang dituju

2. Identitas jelas dari pasien beserta jaminan kesehatan yang digunakan serta tanggal

rujukan.

3. Mencantumkan Identitas dan tanda tangan dokter yang merujuk

4. Menuliskan Hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang yang sudah dilakukan.

5. Alasan merujuk

6. Tindakan serta terapi sementara yang telah diberikan. (contoh terlampir).

Transportasi untuk rujukan dilakukan sesuai dengan kondisi pasien dan

ketersediaan sarana transportasi. Pasien yang memerlukan asuhan medis terus menerus

Page 65: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

44

Universitas Indonesia

harus dirujuk dengan ambulans dan didampingi oleh tenaga kesehatan yang kompeten

bila tidak tersedia ambulans pada fasilitas kesehatan perujuk, maka dapat dilakukan

dengan menggunakan alat transportasi lain yang layak.

Penerima rujukan berkewajiban menginformasikan mengenai ketersediaan sarana

dan prasarana serta kompetensi dan ketersediaan tenaga kesehatan, memberikan

pertimbangan medis atas kondisi pasien. Penerima rujukan bertanggung jawab untuk

melakukan pelayanan kesehatan lanjutan sejak menerima rujukan dan penerima rujukan

wajib memberikan informasi kepada perujuk mengenai perkembangan keadaan pasien

setelah selesai memberikan pelayanan melalui rujuk balik.

Penerima rujukan memberikan pelayanan komphrehensif sesuai dengan

kebutuhan pasien dan fasilitas yang tersedia berdasarkan Pedoman Nasional Pelayanan

Kedokteran (PNPK) dan atau Panduan Praktik Klinis di FKRTL. Jika kondisi pasien

sudah memenuhi kriteria rujuk balik, maka pasien dikembalikan ke FKTP disertai dengan

surat rujuk balik yang berisi resume medis

Profil Resiko Peserta

Profil resiko yang dimaksud disini adalah komposisi umur peserta yang terdaftar

di Puskesmas. Hasil penelitian tentang profil resiko peserta di Jakarta Pusat menunjukkan

bahwa dari komposisi umur peserta terlihat bahwa kelompok yang beresiko tinggi (0-5

tahun dan diatas 55 tahun) ada sekitar 30%, dibandingkan dengan keadaan peserta askes

pada umumnya angka ini tergolong tinggi. Dalam analisa data Susenas 1998 tentang

pemanfaatan pelayanan kesehatan peserta wajib, porsi peserta beresiko tinggi adalah

9,53% usia 0-5 tahun dan 5,76% usia diatas 55 tahun.

Informasi tentang komposisi umur ini punya peranan penting bila kita akan

menghitung resiko biaya pelayanan atau menghitung premi dalam asuransi termasuk

asuransi kesehatan. Dalam penghitungan premi asuransi hal ini dikenal dengan proses

underwriting yang berarti seleksi resiko dimana salah satu faktor yang menentukan adalah

umur, selain jenis kelamin, kebiasaan/gaya hidup dan keadaan penyakit seseorang.

Page 66: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

45

Universitas Indonesia

Pembayaran Kapitasi di Inggris dan Thailand

Fenomena menarik di Inggris melalui National Health System (NHS) telah

mencapai universal coverage yang didanai dari pajak. Penduduk inggris tidak perlu lagi

membayar ketika memperoleh pelayanan kesehatan. Ada sebagian kecil penduduk yang

berpenghasilan tinggi membeli asuransi kesehatan komersial untuk mendapatkan

pelayanan dari fasilitas kesehatan swasta (Ellis, Roger; Whittington, 1993).

Dalam NHS pemerintah membayar DP secara kapitasi. Kontrak kerja dilakukan

dengan panel DP, dengan demikian DP menanggung resiko keuangan bila harus merujuk

pasien ke spesialis atau ke RS

Quality of care requires cooperative commitments to quality-related goals by

payers, practitioners, consumers, regulators, and managed care organizations, as well

as a common and practical sistem for measuring and analyzing quality related

information. (Edmonds & Frank, 1997)

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan rujukan pelayanan

kesehatan

Pemanfaatan pelayanan kesehatan (behavioral model of health service) oleh

masyarakat tergantung pada tiga faktor sebagian besar sebagai fungsi karakteristik sosio-

demografi dan ekonomi dari sebuah unit keluarga. Perilaku orang sakit yang berobat ke

pelayanan kesehatan secara bersama dipengaruhi oleh predisposing factors (faktor

predisposisi), enabling factors (faktor pemungkin), dan need factors (faktor kebutuhan)

(Andersen, R and Newman, 2005).

Page 67: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

46

Universitas Indonesia

Gambar 2.2 The Behavioral Model (Weinstein, Blalock, & Weinstein, 2008)

The Behavioral Model menggambarkan suatu sekuensi (rangkaian), determinan

(faktor yang menentukan) pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh keluarga maupun

individu bergantung pada beberapa karakteristik, yaitu:

1. Predisposing factors (Faktor Predisposisi)

Menggambarkan bahwa setiap individu mempunyai kecenderungan yang berbeda-

beda dalam menggunakan pelayanan kesehatan. Faktor predisposisi adalah ciri-ciri yang

telah ada pada individu dan keluarga sebelum menderita sakit, yaitu pengetahuan, sikap,

dan kepercayaan terhadap kesehatan. Faktor ini berkaitan dengan karakteristik individu

yang mencakup:

a. Ciri demografi seperti : usia, jenis kelamin, status perkawinan, dan jumlah anggota

keluarga. Variable-variabel ini digunakan sebagai ukuran mutlak atau indikator

fisiologis yang berbeda dan sklus hdup dengan asumsi bahwa perbedaan derajat

kesehatan, derajat kesakitan, dan penggunaan pelayanan kesehatan sedikit banyak

berhubungan dengan variable tersebut. Ciri demografi juga mencerminkan atau

berhubungan dengan karakteristik social (perbedaan social dari jenis kelamin

mempengaruhi tipe dan ciri sosial).

Page 68: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

47

Universitas Indonesia

b. Struktur social, seperti : status sosial, ras, pendidikan, jenis pekerjaan, dan kesukuan

(budaya). Variable ini mencermnkan keadaan social dan individu atau keluarga di

masyarakat. Masalah utama dari struktur social pada penggunaan pelayanan

kesehatan ialah tidak diketahuinya mengapa variable ini menyebabkan penggunaan

pelayanan kesehatan. Pendekatan struktur sosial didasarkan asumsi bahwa orang

dengan background struktur sosial yang berentangan akan menggunakan pelayanan

kesehatan dengan cara tertentu.

c. Sikap dan keyakinan individu terhadap pelayanan kesehatan, misalnya kepercayaan

terhadap dokter, petugas kesehatan, nilai terhadap penyakit, sikap dan kemampuan

petugas kesehatan, fasilitas kesehatan, pengetahuan tentang penyakit.

2. Enabling Factors (Faktor Pemungkin)

Merupakan kondisi yang memungkinkan orang sakit memanfaatkan pelayanan

kesehatan yang mencakup status ekonomi keluarga, akses terhadap sarana pelayanan

kesehatan yang ada, dan penanggung biaya berobat/aspek logistik untuk mendapatkan

perawatan yang meliputi:

a. Pribadi/keluarga (Family resources)

Adanya sumber pembiayaan dari diri sendiri maupun keluarga, sarana dan

tahu mengakses pelayanan kesehatan, cakupan asuransi kesehatan, perjalanan, kualitas

hubungan social. Karakteristik ini untukmengukur kesanggupa dari individu dan keluarga

untuk memperole pelayanan kesehatan mereka.

b. Sumber daya masyarakat (Community resouces)

SDM dalam konteks ini adalah penyedia pelayanan kesehatan dan sumber-sumber

di dalam masyarakat, dan ketercapaian dari pelayanan kesehatan yang tersedia. SDM

selanjutnya dalah suplay ekonomis yang berfokus pada ketersediaan sumber-sumber

kesehatan. SDM mencakup Tenaga kesehatan, fasilitas yang tersedia serta kecepatan

pelayanan

2. Need Factors (Faktor Kebutuhan)

Teori pemanfaatan pelayanan kesehatan berkaitan erat dengan permintaan akan

pelayanan kesehatan justru selama ini meningkat. Hal ini dikarenakan masyarakat sudah

benar-benar mengeluh sakit serta mencari pengobatan. Faktor-faktor yang mempengaruhi

Page 69: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

48

Universitas Indonesia

permintaan pelayanan kesehatan diantaranya adalah pengetahuan tentang kesehatan,

sikap terhadap kemampuan fasilitas kesehatan tersebut.

Karakteristik ini merupakan persepsi kebutuhan dari seseorang terhadap

penggunaan pelayanan kesehatan. Faktor predisposisi dan faktor pendukung dapat

terwujud menjadi tindakan pencarian pengobatan, apabila tindakan itu dirasakan sebagai

kebutuhan. Kebutuhan merupakan dasar dan stimulus langsung untuk menggunakan

pelayanan kesehatan. Kebutuhan pelayanan kesehatan dapat dikategorikan menjadi:

1. Kebutuhan yang dirasakan (perceived need), yaitu keadaan kesehatan yang dirasakan

oleh keluarga.

2. Evaluated/clinical diagnosis yang merupakan penilaian keadaan sakit didasarkan

oleh penilaian petugas.

Faktor need merupakan prediktor terkuat dari pemanfaatan pelayanan kesehatan.

Faktor predisposing tidak pernah lebih dari 3% untuk keseluruhan variasi perhitungan

dari pemanfaatan pelayanan kesehatan dan faktor enabling merupakan faktor yang

pengaruhnya tidak signifikan selain tersedianya sumber daya yang terus menerus untuk

perawatan (Andersen, R and Newman, 2005)

Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan

publik. Hal ini disebabkan program kebijakan akan berdampak atau dapat mencapai

tujuan yang diinginkan setelah diimplementasikan. “implementation as to carry out,

accomplish, fulfill, produce, complete” maksudnya : membawa, menyelesaikan, mengisi,

menghasilkan, melengkapi. Jadi secara etimologis implementasi itu dapat dimaksudkan

sebagai suatu aktivitas yang bertalian dengan penyelesaian suatu pekerjaan dengan

penggunaan sarana (alat) untuk memperoleh hasil. Apabila pengertian implementasi di

atas dirangkaikan dengan kebijakan publik, maka kata implementasi kebijakan publik

dapat diartikan sebagai aktivitas penyelesaian atau pelaksanaan suatu kebijakan publik

yang telah ditetapkan/ disetujui dengan penggunaan sarana (alat) untuk mencapai tujuan

kebijakan (Pressman, J. L., & Wildavsky, 1984)

Pendapat lain dari Anderson (2011) mengemukakan bahwa : “Policy

implementation is the application af the policy by the government's administrative

Page 70: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

49

Universitas Indonesia

machinery to the problem”. Kemudian Edwards III (1980 : 1) mengemukakan bahwa :

“Policy implementation, ... is the stage of policy making between the establishment of a

policy ... and the consequences of the policy for the people whom it affects”. Sedangkan

Grindle (1982 : 6) mengemukakan bahwa : “implementation - a general process of

administrative action that can be investigated at specific program level” (Anderson,

2011; Edward III, 1980; Grindle & Smith, 1982).

Implementasi bermakna pelaksanaan undang-undang dimana berbagai aktor,

organisasi, prosedur, dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan

dalam upaya meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program. Implementasi pada

sisi lain merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai

suatu proses, suatu keluaran (output) maupun sebagai suatu dampak (outcome) (Moher et

al., 2015). Dengan demikian dapat disimpulkan, tahapan implementasi merupakan tahap

yang krusial, demi mencapai tujuan yang diharapkan, dilaksanakan oleh implementor

yang memahami mengenai aspek isinya, tujuan/sasaran dari program tersebut,

pengalokasian anggaran dan ketepatan peruntukannya, metode dan prosedure kerja secara

tepat, serta kejelasan standar yang menjadi pedoman dalam pelaksanaannya.

Implementasi Kebijakan Model Edward III

Menurut Nugroho (2017) pada prinsipnya terdapat dua pemilihan jenis model

implementasi kebijakan publik yaitu implementasi kebijakan publik yang berpola dari

atas ke bawah (top-down) dan dari bawah ke atas (bottom-up), serta pemilihan

implementasi kebijakan publik yang berpola paksa (command-and-control) dan pola

pasar (economic incentive) (Nugroho, 2017). Menurut Agustino (2008) pendekatan

model “top down”, merupakan pendekatan implementasi kebijakan publik yang

dilakukan tersentralisir dan dimulai dari aktor tingkat pusat, dan keputusannya pun

diambil dari tingkat pusat. Pendekatan top down bertitik tolak dari perspektif bahwa

keputusan-keputusan politik (kebijakan) yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan

harus dilaksanakan oleh administratur-administratur atau birokrat-birokrat pada level

bawahnya, sedangkan pendekatan model “bottom up” bermakna meski kebijakan dibuat

oleh pemerintah, namun pelaksanaannya oleh rakyat (Agustino, 2008)

Page 71: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

50

Universitas Indonesia

Salah satu model implementasi yang bersifat “top down” adalah model

implementasi Edward III, yang berpandangan bahwa dalam mengkaji implementasi

kebijakan, terlebih dahulu perlu diajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: “What

are the preconditions for successful policy implementation? What are the primary

obstacles to successful policy implementation?” Maksudnya, Apa prasyarat untuk

keberhasilan implementasi kebijakan?, Apa hambatan utama keberhasilan implementasi

kebijakan? Edwards berusaha menjawab dua pertanyaan penting ini dengan menguraikan

empat faktor atau variabel krusial dalam implementasi kebijakan. Faktor-faktor atau

variabel-variabel tersebut adalah: communication, resources, dispositions or attitudes,

and bureaucratic structure (Edward III, 1980).

Faktor-faktor atau variabel-variabel tersebut berpengaruh terhadap implementasi

kebijakan dan bekerja secara simultan dan berinteraksi satu sama lain untuk membantu

dan menghambat implementasi kebijakan. Bila ditampilkan dalam bentuk gambar

bagaimana keterkaitan antara faktor-faktor atau variabel-variabel yang saling

mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung terhadap implementasi kebijakan,

maka dapat ditampilkan sebagai berikut (Edward III, 1980):

Gambar 2.3 Teori Implementasi Kebijakan Menurut Edwards III (1980:148)

Dari gambar tersebut nampak bahwa faktor-faktor komunikasi, sumber daya,

sikap implementor, dan struktur birokrasi dapat secara langsung mempengaruhi

Page 72: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

51

Universitas Indonesia

implementasi kebijakan. Disamping itu secara tidak langsung faktor-faktor tersebut

mempengaruhi implementasi kebijakan melalui dampak dari masing-masing faktor.

Dengan kata lain, masing-masing faktor tersebut saling pengaruh-mempengaruhi,

kemudian secara bersama-sama mempengaruhi implementasi kebijakan. Berikut faktor-

faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan menurut Edward III, yaitu (Wahab.,

1991; Widodo, 2017) :

1) Komunikasi.

Komunikasi merupakan proses penyampaian informasi dari komunikator kepada

komunikan. Sementara itu, komunikasi kebijakan berarti merupakan proses penyampaian

informasi kebijakan dari pembuat kebijakan (policy makers) kepada pelaksana kebijakan

(policy implementors) (Widodo, 2017). Dalam proses komunikasi informasi perlu

disampaikan kepada pelaku kebijakan agar pelaku kebijakan dapat memahami apa yang

menjadi isi, tujuan, arah, kelompok sasaran (target group) kebijakan, sehingga pelaku

kebijakan dapat mempersiapkan hal-hal apa saja yang berhubungan dengan pelaksanaan

kebijakan, agar proses implementasi kebijakan bisa berjalan dengan efektif serta sesuai

dengan tujuan kebijakan itu sendiri. Apabila penyampaian tujuan dan sasaran suatu

kebijakan tidak jelas, tidak memberikan pemahaman atau bahkan tujuan dan sasaran

kebijakan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan

terjadi suatu penolakan atau resistensi dari kelompok sasaran yang bersangkutan. Oleh

karena itu diperlukan adanya tiga hal, yaitu (Wahab., 1991):

a) Tranformasi informasi (transimisi).

Dimensi tranformasi menghendaki agar informasi tidak hanya disampaikan

kepada pelaksana kebijakan tetapi juga kepada kelompok sasaran dan pihak yang terkait.

b) Kejelasan informasi (clarity)

Dimensi kejelasan menghendaki agar informasi yang jelas dan mudah dipahami,

selain itu untuk menghindari kesalahan interpretasi dari pelaksana kebijakan, kelompok

sasaran maupun pihak yang terkait dalam implementasi kebijakan.

c) Konsistensi informasi (consistency).

Dimensi konsistensi menghendaki agar informasi yang disampaikan harus

konsisten sehingga tidak menimbulkan kebingungan pelaksana kebijakan, kelompok

sasaran maupun pihak terkait.

Page 73: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

52

Universitas Indonesia

2) Disposisi

Salah satu faktor yang mempengaruhi efektivitas implementasi kebijakan adalah

disposisi atau sikap dari implementor. Implementor yang baik harus memiliki disposisi

yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang

diinginkan dan ditetapkan oleh pembuat kebijakan, sebaliknya bila implementor memiliki

sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses

implementasinya menjadi tidak efektif (Wahab, 2008). Hal-hal penting yang perlu

diperhatikan dalam variabel disposisi menurut Edaward III adalah:

a) Sikap Pelaksana

Sikap yang tidak mendukung kebijakan akan menimbulkan hambatan terhadap

proses implementasi kebijakan dan tidak melaksanakan ketetapan yang telah ditentukan

oleh penentu kebijakan. Oleh karena itu, demi trecapainya tujuan kebijakan, diperlukan

implementor yang memiliki dedikasi terhadap kebijakan, khususnya dedikasi bagi

masyarakat. Selain itu para implementor hendaknya memiliki sifat jujur, komitmen yang

tinggi sehingga selalu merasa antusias dalam melaksanakan tugas, wewenang, fungsi dan

tanggung jawab sesuai peraturan yang telah ditetapkan.

b) Insentif Edward menyatakan bahwa salah satu cara yang disarankan agar dapat mengatasi

permasalahan terkait sikap pelaksana dengan memberikan insentif. Begitu pula menurut

G.R Terry dalam buku Manajemen SDM dalam Organisasi Publik dan Bisnis : Lattery

incentive means that which incites or a tendency to incite action (Suwatno & Priansa,

2011). Insentif adalah sesuatu yang dapat merangsang minat seseorang untuk melakukan

sesuatu, diharapkan dengan pemberian insentif ini kepada implementor dapat

mempengaruhi tindakan mereka dalam melaksanakan kebijakan dan menjadi salah satu

faktor pendukung yang membuat para impmenentor bersemangat melaksanakan perintah

dengan baik.

3) Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi

kebijakan. Aspek struktur organisasi ini melingkupi dua hal yaitu :

a) SOP Dalam implementasi kebijakan, mekanisme diterjemahkan dalam bentuk standart

Page 74: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

53

Universitas Indonesia

operation procedur (SOP). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementator dalam

bertindak agar dalam pelaksanaan kebijakan tidak melenceng dari tujuan dan sasaran

kebijakan.

b) Struktur birokrasi itu sendiri.

Struktur birokrasi yang terlalu panjang dan terfragmentasi akan cenderung

melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni birokrasi yang rumit dan

kompleks prosedur birokrasi yang rumit dan selanjutnya akan menyebabkan aktivitas

organisasi menjadi tidak fleksibel. Struktur birokrasi menyediakan peta sederhana untuk

menunjukkan secara umum kegiatan-kegiatannya dan jarak dari puncak menunjukkan

status relatifnya. Garis-garis antara berbagai posisi-posisi itu dibingkai untuk

menunjukkan interaksi formal yang diterapkan. Kebanyakan peta organisasi bersifat

hirarki yang menentukan hubungan antara atasan dan bawahan dan hubungan secara

diagonal langsung organisasi melalui lima hal harus tergambar, yaitu;

- jenjang hirarki jabatan-jabatan manajerial yang jelas sehingga terlihat “Siapa yang

bertanggungjawab kepada siapa?”;

- pelembagaan berbagai jenis kegiatan oprasional sehingga nyata jawaban terhadap

pertanyaan “Siapa yang melakukan apa?”;

- berbagai saluran komunikasi yang terdapat dalam organisasi sebagai jawaban

terhadap pertanyaan “Siapa yang berhubungan dengan siapa dan untuk kepentingan

apa?”;

- jaringan informasi yang dapat digunakan untuk berbagai kepentingan, baik yang

sifatnya institusional maupun individual;

- hubungan antara satu satuan kerja dengan berbagai satuan kerja yang lain.

4) Sumber Daya

Dalam implementasi kebijakan harus ditunjang oleh sumberdaya baik sumber

daya manusia, materi dan metoda. Sasaran, tujuan dan isi kebijakan walaupun sudah

dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan

sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif dan efisien.

Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja tidak

diwujudkan untuk memberikan pemecahan masalah yang ada di masyarakat dan upaya

memberikan pelayan pada masyarakat. Selanjutnya Wahab (2008), menjelaskan bahwa

Page 75: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

54

Universitas Indonesia

sumberdaya tersebut berkaitan dengan segala sumber yang dapat digunakan untuk

mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, dan dapat berwujud sumber daya

manusia, yakni kompetensi implementor dan sumberdaya finansial (Wahab, 2008) yang

dijelaskan sebagai berikut :

a) Sumber Daya Manusia (Staff)

Implementasi kebijakan tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari sumber

daya manusia yang cukup kualitas dan kuantitasnya. Kualitas sumber daya manusia

berkaitan dengan keterampilan, dedikasi, profesionalitas, dan kompetensi di bidangnya,

sedangkan kuantitas berkaitan dengan jumlah sumber daya manusia apakah sudah cukup

untuk melingkupi seluruh kelompok sasaran. Sumber daya manusia sangat berpengaruh

terhadap keberhasilan implementasi, sebab tanpa sumber daya manusia yang kehandalan

sumber daya manusia, implementasi kebijakan akan berjalan lambat.

b) Anggaran (Budgetary)

Dalam implementasi kebijakan, anggaran berkaitan dengan kecukupan modal

atau investasi atas suatu program atau kebijakan untuk menjamin terlaksananya

kebijakan, sebab tanpa dukungan anggaran yang memadahi, kebijakan tidak akan berjalan

dengan efektif dalam mencapai tujuan dan sasaran.

c) Fasilitas (Facility)

Fasilitas atau sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang berpengaruh

dalam implementasi kebijakan. Pengadaan fasilitas yang layak, seperti gedung, tanah dan

peralatan perkantoran akan menunjang dalam keberhasilan implementasi suatu program

atau kebijakan.

Partial Least Square

Path Modelling Partial Least Squere adalah suatu teknik pendekatan alternatif

yang bergeser dari pendekatan SEM berbasis kovarian menjadi berbasis varian. Pada

metode Path Modelling Partial Least Squere terdapat dua evaluasi model, yaitu model

pengukuran atau outer model dan model struktural atau inner model.

Model Pengukuran atau Outer Model

Outer model adalah hubungan antar indikator dengan konstruknya. Pada model

reflektif, dilakukan tiga pengujian untuk menentukan validitas dan reliabilitas, yaitu

Page 76: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

55

Universitas Indonesia

convergent validity, discriminant validity dan composite reliability. Ukuran reflektif

dikatakan tinggi jika berkorelasi lebih dari 0,70 dengan konstruk yang ingin diukur.

Namun untuk penelitian tahap awal dari pengembangan skala pengukuran nilai loading

0,50 sampai 0,60 dianggap cukup (Ghozali, 2008). Pada penelitian ini variabel indikator

atau manifest dikatakan valid apabila nilai loading diatas 0,50 discriminant validity dari

model pengukuran reflektif indikator dinilai berdasarkan cross loading pengukuran

dengan konstruk. Disamping uji validitas dilakukan juga uji reliabilitas konstruk

menggunakan composite reliability. Composite reliability digunakan untuk mengukur

internal consistency. Konstruk dinyatakan reliable jika nilai composite reliability diatas

0,70 dengan tingkat kesalahan sebesar 5% (Ghozali, 2008).

Model Struktural atau Inner model

Inner Model Menggambarkan hubungan antara variable berdasarkan pada teori

subtantif. Model struktural dievaluasi dengan menggunakan R-squere untuk konstruk

dependent dan uji-t untuk menentukan signifikansi dari koefisien jalur struktural.

Dinyatakan signifikan jika nilai t-value lebih besar dari t-tabel. Nilai t-tabel untuk tingkat

kesalahan 5% adalah 1,96, maka jika nilai t-value lebih besar dari 1,96 maka dinyatakan

signifikan. Menilai Model dengan Path Modelling Partial Least Square dimulai dengan

R-square untuk setiap variabel laten dependen. Interpretasinnya sama dengan interpretasi

pada regresi. Perubahan nilai R-square dapat digunakan untuk menilai pengaruh variabel

laten independen tertentu terhadap variabel laten dependen apakah mempunyai pengaruh

yang substantif. (Ghojali, 2008)

Kelebihan dari Partial Least Squere adalah suatu teknik pendekatan alternatif yang

bergeser dari pendekatan SEM berbasis kovarian menjadi berbasis varian Perbandingan

antara PLS dan SEM dapat dilihat di Tabel 2.2

Tabel 2.2 Perbandingan PLS dengan SEM (Ghozali, 2008).

Kriteria PLS SEM

1. Tujuan Orientasi Prediksi Orientasi Parameter 2. Pendekatan Berdasar Variance Berdasarkan Covariance 3. Asumsi Spesifikasi Prediktor

(nonparametric) Multivariate normal distribution. Independence observation (parameter)

Page 77: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

56

Universitas Indonesia

Kriteria PLS SEM

4. Estimasi parameter Konsisten sebagai indikator dan sample size meningkat (consistency at large)

Konsisten

5. Score variable laten Secara eksplisit di estimasi Indeterminate

6. Hubungan epistemic

Dapat dalam bentuk reflective maupun formative indikator

Hanya dengan reflective indikator

7. Implikasi Optimal untuk ketepatan prediksi

Optimal untuk ketepatan parameter

8. Kompleksitas model

Kompleksitas besar (100 konstruk dan 1000 indikator)

Kompleksitas kecil sampei menengah (kurang dari 100 indikator)

9. Besar sampel Kekuatan analisis didasarkan pada porsi dari model yang memiliki jumlah prediktor terbesar. Minimal di rekomendasikan berkisar 30 sampai 100 kasus.

Kekuatan analisis di dasarkan pada model spesifik. Minimal di rekomendasikan berkisar 200 sampai 800

Perbandingan antara Soft Modelling dan Hard Modelling

Model SEM atau biasa dikenal dengan nama hard modeling. Sedangkan PLS

sering disebut soft modeling. Soft memiliki arti tidak mendasarkan pada asumsi alat

pengukuran, distribusi data dan jumlah sampel. Pada hard modeling bertujuan untuk menguji

hubungan kausalitas antara variabel yang sudah dibangun berdasarkan teori, sedangkan pada

soft modeling bertujuan mencari hubungan linear prediktif antar variabel. Hubungan

kausalitas tidak sama dengan hubungan prediktif.

Variabel Laten dengan Indikator Reflektif dan Indikator Formatif

Pada SEM variabel laten diukur dengan indikator yang bersifat reflektif. Model

reflektif mengasumsikan bahwa konstruk atau variable laten mempengaruhi indikator (arah

hubungan kausalitas dari konstruk ke indikator atau manifest).

Page 78: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

57

Universitas Indonesia

A Model Indikator Reflektif

Model reflektif ini lebih dikenal dengan sebutan principical factor model dimana

covariance pengukuran indikator dipengaruhi oleh konstruk laten atau mencerminkan variasi

variasi dari konstruk laten

Gambar 2.4 Principal Factor (Reflektif) (Gozali, 2008)

B Model Indikator Formatif

Pada model formatif, komposit faktor (variabel laten) dipengaruhi (ditentukan)

oleh indikatornya. Sehingga arah hubungan kausalitas dari indikator ke variabel laten. Pada

model komposit variabel laten,

Perubahan pada indikator dihipotesiskan mempengaruhi perubahan dalam konstruk

(variabel laten). Model formatif tidak mengasumsikan bahwa indikator dipengaruhi oleh

konstruk bahwa semua indikator mempengaruhi single konstruk. arah hubungan hubungan

mengalir dari indikator ke konstruk laten dan indikator sebagai grup secara bersama-sama

menentukan konsep atau makna empiris dari konstruk laten. Model formatif berasumsi tidak

ada hubungan korelasi antar indikator maka ukuran internal konsistensi reliabilitas (crobach

alpha) tidak diperlukan untuk menguji reliabilitas konstruk

Gambar 2.5 Principal Factor (Formatif) (Gozali, 2008)

Page 79: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

58

Universitas Indonesia

Metode Partial Least Square

Metode PLS ini dapat mengasumsikan bahwa semua ukuran variance adalah

variance yang berguna untuk dijelaskan. PLS Memberikan model umum yang meliputi teknik

korelasi kanonikal, redundancy analysis regresi berganda, multivariate analysis of variance

(MANOVA) dan principle component analysis. PLS menggunakan iterasi algoritma yang

terdiri dari seri analisis ordinary least squeres maka persoalan identifikasi model tidak

menjadi masalah untuk model recursive, juga tidak mengasumsikan bentuk distribusi tertentu

untuk skala ukuran variable.

Cara kerja Partial Least Square (PLS)

Estimasi parameter yang didapatkan dengan PLS dapat dikatagorikan menjadi

tiga. Katagori pertama, weight estimate yang digunakan untuk menciptakan skor variabel

laten. Katagori kedua, mencerminkan estimasi jalur (path estimate) yang menghubungkan

variabel laten dan antar variabel laten dan blok indikatornya (loading). Katagori ketiga,

berkaitan dengan means dan lokasi parameter (nilai konstanta regresi untuk indikator dan

variabel laten. Untuk memperoleh ketiga estimasi ini, PLS menggunakan proses iterasi tiga

tahap dan setiap tahap iterasi menghasilkan estimasi. Tahap pertama menghasilkan weight

estimasi, tahap kedua menghasilkan estimasi untuk inner model dan outer model, dan tahap

ketiga menghasilkan estimasi means dari lokasi (konstanta)

Model Spesifikasi dengan PLS

Model analisi jalur semua variabel laten dalam PLS terdiri dari tiga set hubungan:

a. Outer Model yang menspesifikasi hubungan antara variabel laten dengan indikator atau

fariabel manifestnya (measurement model).

b. Weigth relation dimana nilai kasus variabel laten dapat di estimasi. Tanpa kehilangan

generalisasi, dapat diasusmsikan bahwa variable laten dan indikator atau manifest

variabel diskala zero means dan unit variance sehingga parameter lokasi dapat

dihilangkan dalam model.

c. Inner model yang menspesifikasi hubungan antar variabel laten (structural model). Inner

model menggambarkan hubungan antar variabel laten berdasarkan substantive theory.

Page 80: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

59

Universitas Indonesia

Langkah-langkah pemodelan persamaan structural berbasis PLS dengan

software

a. Model Struktural (inner model) Perancangan model structural hubungan antar

variabel laten pada PLS didasarkan pada rumusan masalah atau hipotesis penelitian.

b. Merancang Model Pengukuran (outer model) Perancangan model pengukuran

(outer model) dalam PLS sangat penting karena terkait dengan apakah indikator

bersifat refleksif atau formatif.

c. Mengkonstruksi diagram Jalur Bilamana langkah satu dan dua sudah dilakukan,

maka agar hasilnya lebih mudah dipahami, hasil perancangan inner model dan outer

model tersebut, selanjutnya dinyatakan dalam bentuk diagram jalur.

d. Konversi diagram Jalur ke dalam Sistem Persamaan

- Outer model, yaitu spesifikasi hubungan antara variabel laten dengan indikatornya,

disebut juga dengan outer relation atau measurement model, mendefinisikan

karakteristik konstruk dengan variable manifesnya.

- Inner model, yaitu spesifikasi hubungan antar variabel laten (structural model), disebut

juga dengan inner relation, menggambarkan hubungan antar variabel laten berdasarkan

teori substansif penelitian.

- Weight relation, estimasi nilai kasus variabel latent. Inner dan outer model memberikan

spesifikasi yang diikuti dengan estimasi weight

e. Estimasi

Metode pendugaan parameter (estimasi) di dalam PLS adalah metode kuadrat

terkecil (least square methods). Proses perhitungan dilakukan dengan cara iterasi, dimana

iterasi akan berhenti jika telah tercapai kondisi konvergen.

f. Goodness of Fit

- Convergent validity: Korelasi antara skor indikator refleksif dengan skor variabel

latennya. Untuk hal ini loading 0.5 sampai 0.6 dianggap cukup, pada jumlah indikator

per konstruk tidak besar, berkisar antara 3 sampai 7 indikator.

- Goodness of Fit Model diukur menggunakan R-square variabel laten dependen dengan

interpretasi yang sama dengan regresi; Q-Square predictive relevance untuk model

struktural, megukur seberapa baik nilai onservasi dihasilkan oleh model dan juga

estimasi parameternya.

Page 81: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

60

Universitas Indonesia

g. Pengujian Hipotesis

Pengujian hipotesis (β, γ, dan λ) dilakukan dengan metode resampling Bootstrap

yang dikembangkan oleh Geisser & Stone. Statistik uji yang digunakan adalah statistik t atau

uji t.

Page 82: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

61 Universitas Indonesia

KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN

HIPOTESIS

Kerangka Teori

Kerangka teori yang digunakan berdasarkan tinjauan pustaka adalah teori

Andersen (1974) dalam Notoadmodjo (2012) mengenai model pemanfaatan pelayanan

kesehatan oleh masyarakat.

Gambar 3.1 Model Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan (Anderson, 1974)

Sumber: Soekidjo Notoadmodjo, Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan 2012

Dokter berpendapat bahwa pembayaran kapitasi ini justru berdampak negatif

terhadap pendapatan yang diterimanya. Pendapatan mereka dilaporkan turun sampai

30%. Di Amerika Serikat, 61% peserta Manage Care kecewa atas lebih singkatnya waktu

pelayanan dokter primer dan bertambah lamanya waktu tunggu untuk memperoleh

layanan tersebut (Dowd, 1998).

Menurut Cox dan Groves dalam Kangean (1990) suatu rumah sakit akan

berkurang bebannya jika semua pasien rawat jalan sebelumnya disaring oleh dokter

umum. Sehingga kasus yang datang kerumah sakitt memang merupakan kasus

spesialistik yang hanya dapat diatasi di Rumah Sakit. Beberapa unsur yang kiranya

mempunyai hubungan dengan pelaksanaan rujukan di Indonesia adalah menyangkut

antara lain: Manusia sebagai pelaksana sistem itu sendiri, baik ia sebagai yang menerima

Karakteristik Predisposisi

Karakteristik Pendukung

Karakteristik Kebutuhan

Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

1. Demografi 2. Struktur Sosial 3. Keyakinan

Kesehatan

1. Sumber Daya Keluarga

2. Sumber Daya Masyarakat

1. Kebutuhan menurut pasien

2. Kebutuhan menurut diagnosis klinis

Page 83: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

62

Universitas Indonesia

rujukan maupun ia sebagai pihak perujuk dan obyek rujukan itu sendiri yaitu penderita.

Siapa saja yang lazimnya bertindak sebagai perujuk, ternyata 64% - 70% adalah dokter

ahli dan dokter umum, sedangkan perorangan lainnya seperti bidan dan perawat hanya

merupakan prosentase kecil (Papilaya, 1985)

Selain faktor manusia yang berhubungan dengan pelaksanaan sistem rujukan

adalah faktor peralatan juga memagang peranan penting, yaitu 63 – 75% pengiriman

pasien oleh perujuk adalah untuk pemeriksaan (diagnostik) dan untuk pengobatan dan

perawatan 10 – 19% (Papilaya, 1985).

Mengenai penderita sendiri, jarak tempat tinggal berhubungan signifikan dengan

demand terhadap fasilitas kesehatan, timbulnya demand terhadap suatu pelayanan

kesehatan berhubungan dengan jarak tempat tinggal pasien dengan tempat pelayanan

kesehatan tersebut (Kangean, 1990). Pada dasarnya manusia ingin memperoleh sesuatu

yang paling baik menurut dia, demikian juga dengan setiap penderita tentu ngin mendapat

pelayanan yang paling baik, dengan mencari dokter yang menurut anggapannya paling

terampil dan paling baik.

Menurut (Boland, 1997) dalam The Capitation Sourcebook dikatakan bahwa agar

kapitasi bisa sukses, provider harus haruslah mempunyai data basis yang bisa memonitor

dan mengukur kinerjanya, sedangkan reward haruslah nyata (tangible) dan terkait kinerja

perorangan, sedangkan Riley dalam buku yang sama menyatakan provider untuk rawat

jalan seyogiayanya menjalankan hal-hal sebagai berikut, menyediakan waktu yang

fleksibel untuk pasien, mempunyai informasi yang cukup tentang rumah sakit tujuan

rujukan yang efisien, menjaga hubungan yang berkesinambungan dengan pasien,

mempunyai sistem edukasi bagi pasien. Pada penelitian Nurbaiti didapatkan bahwa

kondisi Puskesmas tidak menunjang terhadap suksesnya pelaksanaan kapitasi antara lain

kurang lengkapnya data kepesertaan, lemahnya kontrol terhadap rujukan, sistem

pembagian insentif/jasa, pendistribusian obat, terbatasnya waktu dokter akibat banyaknya

pasien dll. Dari pihak pengelola Askes, kecilnya jasa yang dibayarkan karena terbatasnya

premi yang diterima, kurangnya kontrol langsung ke Puskesmas dan kurangnya

sosialisasi merupakan penyebab masalah-masalah yang dikeluhkan Puskesmas.

Administrative data sets are frequently a basis for quality-of-care assessments

and are used in sistems such as HEDIS 3.0 and Performance-Based Measures Managed

Behavioral Healthcare Program. The data sets include claims data, records on visits and

Page 84: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

63

Universitas Indonesia

procedures, and with the introduction of computerization, medical records. These

information sistems generally include relatively large pools of individuals and therefore

permit analyses of specific practitioners and facilities (profiling), exemination of selected

conditions and diagnoses, and changes in patient status overtime. Because the data are

collected for ongoing management fuctions (billing), they provide a relatively inexpensive

source of information. (Edmonds & Frank, 1997).

Unfortunately, the value of the data sets for assessments of quality are limited

because they are designed for management funktion like billing and claim payment and

may not include sufficient detail to facilitate analyses of quality of care (Garnick et al,

1994) have noted that quality of care assessement require information on the utilisation

of care (visits, services, procedures, site of cervices, diagnoses, and outcomes), patient

characteristics (age, gender, race, and employment status), and health plan description

(benefit, structure, copayments). Many sistem, however do not include all utilization

information and may not contain detail on the services provided. (Edmonds & Frank,

1997)

Besarnya biaya kapitasi ini bervariasi oleh karena beberapa faktor yang

mempengaruhi besarnya kapitasi sepeti umur dan jenis kelamin (Kongstvedt, 2013)

Kerangka Konsep

Sejalan dengan tujuan penelitian dan permasalahan yang akan diteliti, analisis

diarahkan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi angka kontak, rasio rujukan

kasus non spesialistik, rasio prolanis peserta JKN dengan diterapkannya Kapitasi

Berbasis Komitmen pelayanan, dengan menggunakan data selama 2 tahun penerapan

Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan

Utilisasi pelayanan kesehatan yang dinyatakan dalam pencapaian indikator angka

kontak, rasio rujukan kasus non spesialistik, rasio prolanis sebagai variable terikat

(dependen) dipengaruhi oeh variable bebas yaitu karakterteristik puskesmas, perilaku

kepala puskesmas dalam pelaksanaan kapitasi berbasis komitmen pelayanan, pelayanan

sistem rujukan, risk profil peserta, dan besaran kapitasi yang diterima di puskesmas dan

kepala puskesmas. Untuk itu bisa digambarkan suatu hubungan dari variable-variabel

yang ada dalam sistem ini sebagai berikut

Page 85: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

64

Universitas Indonesia

Angka Kontak

Rasio Rujukan Rawat Jalan Kasus

Non Spesialistik (RRNS)

Rasio Peserta Prolanis rutin berkunjung ke FKTP (RPPB)

‐ Dokter sebagai perujuk dan yang menerima rujukan (dokter umum dan spesialis)

‐ Bidan ‐ Perawat

(Kangean, 1990)

Karakteristik kebutuhan - Kebutuhan menurut pasien

(Andersen, R and Newman, 2005)

Fasilitas dan peralatan kesehatan (Papilaya, 1985)

Komitmen Pelayanan ‐ Pemenuhan jam praktik ‐ Penggunaan aplikasi SIM BPJS ‐ Pelayanan sesuai PPK ‐ Pengelolaan Klub Prolanis

(B. Kesehatan, 2016)

‐ Profil Resiko Peserta, umur (Kongstvedt, 2013)

‐ Rasio dokter:peserta (Boland, 1997)

‐ Jasa Pelayanan (Dowd, 1998)

‐ Alasan Rujukan ‐ Pemilihan RS Rujukan ‐ Feed back dari RS ‐ Rujuk Balik ‐ Data kepesertaan ‐ Kontrol terhadap rujukan ‐ Jasa Pelayanan dan Obat

(Nurbaiti, 2001)

‐ Good record on visits and procedures

‐ Data sets for assessement (Edmonds & Frank, 1997)

Gambar 3.2 Kerangka Teori

Page 86: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

65

Universitas Indonesia

Gambar 3.3 Kerangka Konsep

Karakteristik Puskesmas ‐ Tingkat Puskesmas ‐ Kategori Puskesmas ‐ Status Akreditasi

Disposisi ‐ Nilai Kapitasi

Sumber Daya ‐ Kecukupan SDM

‐ Dokter ‐ Perawat ‐ Bidan ‐ Farmasi ‐ Tenaga Kesmas

‐ Kepala Puskesmas ‐ Jenis Kelamin ‐ Lama Bertugas

‐ Fasilitas dan Sarana Penunjang ‐ Kecukupan obat-obatan ‐ Kecukupan sarana,

prasarana ‐ Kecukupan alat sesehatan

Pengelolaan Pelayanan ‐ Pemenuhan waktu praktik ‐ Pengelolaan Klub Prolanis

Peserta ‐ Jumlah peserta ‐ Proporsi Peserta Risti ‐ Rasio dokter:peserta

Angka Kontak (AK)

Rasio Peserta Prolanis rutin berkunjung ke FKTP (RPPB)

Rasio Rujukan Rawat Jalan Kasus Non Spesialistik (RRNS)

Page 87: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

66 Universitas Indonesia

Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala 1. Angka

Kontak

Merupakan jumlah

peserta terdaftar yang

melakukan kontak

dengan FKTP

dibandingkan dengan

total jumlah peserta

terdaftar di FKTP dikali

1000

Menghitung

data dari

laporan

Puskesmas

(p-care)

Dokumen

BPJS

Permil (o/oo)

AK = jml peserta terdaftar yang melakukan kontak x 1000 Jumlah peserta terdaftar di FKTP

Rasio

2. Rasio

Peserta

Prolanis

rutin

berkunjung

ke FKTP

(RPPB)

Jumlah peserta prolanis

yang rutin berkunjung

ke FKTP dibandingkan

dengan jumlah peserta

prolanis terdaftar di

FKTP dikali 100

(serratus)

Menghitung

data dari

laporan

Puskesmas

(p-care)

Dokumen

BPJS

Perseratus (o/o)

RPPB = Jumlah peserta prolanis yang rutin berkunjung x 100 Jumlah peserta prolanis terdaftar di FKTP

Rasio

Page 88: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

67

Universitas Indonesia

No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala 3. Rasio

Rujukan

Rawat Jalan

Kasus Non

Spesialistik

(RRNS)

Jumlah peserta yang

dirujuk dengan

diagnosa yang

termasuk dalam level

kompetensi FKTP

sesuai dengan Panduan

Praktik Klinis

dibandingkan dengan

jumlah seluruh peserta

yang dirujuk oleh

FKTP dikali 100

(seratus)

Menghitung

data dari

laporan

Puskesmas

(p-care)

Dokumen

BPJS

Perseratus (o/o)

RRNS = jumlah rujukan kasus non spesialistik x 100 Jumlah rujukan FKTP

Rasio

4. Karakteristik

Puskesmas

Ciri puskesmas yang

terdiri dari tingkat

puskesmas (Pemerintah

Daerah DKI Jakarta,

2007), kategori

Puskesmas (Kemenkes

Telaah

dokumen

Pusdatin

Kemenkes (a,b)

dan telaah

dokumen

Dokumen

Pusdatin

dan Dit

Mutu dan

Akreditasi

a) Tingkat puskesmas:

1= puskesmas kecamatan, 2= puskesmas

kelurahan

b) Kategori Puskesmas

1= Puskesmas rawat inap, 2= Puskesmas non

rawat inap

Nominal

Page 89: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

68

Universitas Indonesia

No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala RI, 2014), Status

Akreditasi, Status

BLUD

Direktorat

Mutu dan

Akreditasi

Kemenkes (c)

c) Status Akreditasi

1= Akreditasi, 2= Belum Akreditasi

d) Status BLUD

1= BLUD, 2= Non BLUD

5. Nilai

Kapitasi

Besarnya pembayaran

yang diterima Kepala

Puskesmas secara

periodik dari BPJS

untuk kapitasi peserta

JKN di masing-masing

puskesmas

Telaah

dokumen

pembayaran

kapitasi oleh

BPJS

Dokumen

BPJS

Nominal rupiah

Rasio

6. Kecukupan

SDM

Kecukupan Sumber

Daya Kesehatan sesuai

dengan Peraturan

Gubernur Provinsi DKI

Jakarta No. 118 Tahun

2016 tentang Analisis

Telaah

Dokumen

Dinas

Kesehatan

Provinsi DKI

(Bagian SDK

Dokumen

Dinas

Kesehatan

Provinsi

1) Kecukupan dokter (KD) KD = jumlah dokter existing x 100% target pada Pergub

2) Kecukupan Perawat (KP) KP = jumlah perawat existing x 100% target pada Pergub

Rasio

Page 90: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

69

Universitas Indonesia

No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Jabatan dan Analisis

Beban Kerja pada

Dinas Kesehatan

(Gubernur DKI Jakarta,

2016)

dan Bagian

Kepegawaian)

DKI

Jakarta

3) Kecukupan Bidan (KB) KB = jumlah bidan existing x 100% target pada Pergub

4) Kecukupan Tenaga Farmasian (KTF) KTF = jumlah tenaga farmasi existing x 100% target pada Pergub

5) Kecukupan Tenaga Kesmas (KTK)

KTK = jumlah tenaga Kesmas existing x 100% target pada Pergub

7. Kepala

Puskesmas

Karakteristik Kepala

Puskesmas yang

meliputi jenis kelamin

kepala puskesmas,

status kepegawaian

kepala puskesmas dan

lama menjabat sebagai

kepala puskesmas

Telaah

Dokumen

Dinas

Kesehatan

Provinsi DKI

Jakarta

(Bagian

Kepegawaian)

Dokumen

Dinas

Kesehatan

Provinsi

DKI

Jakarta

a) Jenis kelamin

1=laki-laki, 2=perempuan

b) Lama bertugas/menjabat

1=sebelum 2016, 2=sesudah 2016

Nominal

8. Fasilitas

Pelayanan

Kesehatan

Fasilitas Pelayanan

Kesehatan adalah suatu

Telaah

dokumen

Dinas

Dokumen

Dinas

Kesehatan

1) Kecukupan obat-obatan

1= cukup

2= tidak cukup

Ordinal

Page 91: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

70

Universitas Indonesia

No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala dan Sarana

Penunjang

alat dan/ atau tempat

yang digunakan untuk

menyelenggarakan

upaya pelayanan

kesehatan, baik

promotif, preventif,

kuratif maupun

rehabilitatif yang

dilakukan oleh

pemerintah pusat,

pemerintah daerah,

dan/ atau masyarakat.

(Kemenkumham,

2016) yang terdapat di

Puskesmas berupa:

1) Kecukupan obat-

obatan

2) Kecukupan sarana

dan prasarana

Kesehatan

Provinsi DKI

Jakarta

(Bagian

Kefarmasian),

dan data

ASPAK

Direktorat

Fasyankes

Kemenkes

Provinsi

DKI

Jakarta,

dan

Dokumen

ASPAK

Kemenkes

2) Kecukupan sarana dan prasarana

1= lengkap (> mean prosentase kelengkapan

alat sesuai data ASPAK)

2= tidak lengkap (≤ mean prosentase

kelengkapan alat sesuai data ASPAK)

3) Kecukupan alat kesehatan

1= lengkap (> mean prosentase kelengkapan

alat sesuai data ASPAK)

2= tidak lengkap (≤ mean prosentase

kelengkapan alat sesuai data ASPAK)

Page 92: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

71

Universitas Indonesia

No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala 3) Kecukupan alat

kesehatan 9. Pengelolaan

Pelayanan

Pengelolaan Puskesmas

dalam melakukan

pelayanan untuk

mencapai indikator

komitmen pelayanan,

yang terdiri dari

pemenuhan waktu

praktik, pengelolaan

peserta penderita

penyakit kronis (Klub

Prolanis

Telaah

Dokumen

BPJS (B.

Kesehatan,

2016) dan

Dokumen

Dinas

Kesehatan

Provinsi DKI

Jakarta

Dokumen

BPJS dan

Dinas

Kesehatan

Provinsi

DKI

Jakarta

1) Jumlah Jam dan Hari Pelayanan

a) Jam pelayanan

1= ≤ 6 jam, 2= > 6 jam

2) Pengelolaan peserta penderita penyakit

kronis (Klub Prolanis)

1= Ada, 2= Tidak ada

Ordinal

10. Jumlah

Peserta

Banyaknya peserta

JKN yang terdaftar di

masing-masing

puskesmas di wilayah

DKI Jakarta

Telaah

Dokumen

BPJS

Dokumen

BPJS

Jumlah peserta (jiwa) Rasio

Page 93: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

72

Universitas Indonesia

No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala 11. Proporsi

peserta risti

Proporsi peserta dilihat

dari komposisi umur

peserta yang terdaftar

Telaah

Dokumen

BPJS

Dokumen

BPJS

1. Jumlah peserta usia 0-5 th 2. Jumlah peserta usia >60 th

Ratio

12. Rasio dokter

: peserta

Perbandingan antara

jumlah dokter dengan

jumlah peserta BPJS di

wilayah kerja

Puskesmas

Telaah

Dokumen

BPJS dan

Dinas

Kesehatan

Provinsi DKI

Jakarta

Dokumen

BPJS dan

Dinas

Kesehatan

Provinsi

DKI

Jakarta

Jumlah Dokter : Jumlah pasien

Selanjutnya skor yang diperoleh dikelompokkan

ke dalam kategori

1= >5000

2= <5000

Rasio

Page 94: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

73 Universitas Indonesia

Hipotesis

1. Ada hubungan antara karakteristik puskesmas dengan indikator komitmen

pelayanan

2. Ada hubungan antara nilai kapitasi dengan indikator komitmen pelayanan

3. Ada hubungan antara sumber daya dengan indikator komitmen pelayanan

4. Ada hubungan antara pengelolaan pelayanan dengan indikator komitmen

pelayanan

5. Ada hubungan antara jumlah dan proporsi peserta risti dengan indikator

komitmen pelayanan

Page 95: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

74

Universitas Indonesia

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 96: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

75 Universitas Indonesia

METODOLOGI PENELITIAN

Desain Penelitian

Penelitian yang digunakan adalah metode campuran (mixed method) yaitu sebuah

penelitian yang melibatkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dalam hal pengumpulan

data dan analisis dalam sebuah penelitian tunggal (Creswell, 2013). Adapun metode

kombinasi yang digunakan adalah model sequential (quan QUAL) dimana pada tahap

pertama penelitian menggunakan metode kuantitatif dengan bobot yang lebih rendah

daripada metode KUALITATIF (Sugiyono, 2017)

Hasil kuantitatif yang diperoleh pada fase pertama dijelaskan dan diuraikan secara

kualitatif pada fase kedua. Desain penelitian ini dipilih karena data dan analisa kuantitatif

pada fase pertama mampu menjelaskan problem penelitian, dan data dan analisa kualitatif

pada fase kedua dapat menjelaskan dan melengkapi hasil statistik dengan mengeksplorasi

pandangan responden serta masukan lainnya dengan lebih dalam, sehingga rancangan

penelitian yang digunakan adalah Explanatory design (Sugiyono, 2017). Diharapkan data

yang diperoleh dari peneitian akan lebih valid, karena data yang kebenarannya tidak dapat

divalidasi dengan metode kuantitatif akan divalidasi dengan metode kualitatif atau

sebaliknya.

Pengamatan menggunakan cakupan waktu (time horizon) bersifat cross

section/one shot, artinya informasi atau data yang diperoleh adalah hasil penelitian yang

dilakukan pada satu waktu tertentu yaitu pada tahun 2016 dan tahun 2017. Unit analisis

menurut Sekaran (201 0:132) “unit of analysis refers to level aggregation of the data

collected during the subsequent data analysis stage”. Unit analisis dalam penelitian ini

adalah puskesmas di wilayah DKI Jakarta.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilakukan di DKI Jakarta. Yang akan dilakukan pada bulan

Januari s.d Mei 2018

Page 97: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

76

Universitas Indonesia

Etika Penelitian

Penelitian ini dilakukan setelah mendapat surat rekomendasi dari Tim Kaji Etik

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia No. 49/UN2.F10/PPM.00.02/2018

dan layak untuk dilaksanakan serta setelah mendapatkan izin turun lapangan. Izin turun

lapangan juga dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi, PTSP, dan Suku Dinas

Kesehatan DKI Jakarta, Puskesmas Kecamatan dan Puskesmas Kelurahan.

Etika penelitian menggunakan informed consent yang diberikan kepada

responden/informan sebelum peneliti mengambil data primer, serta melakukan perizinan

kepada responden/informan untuk diambil gambar atau foto, rekaman dan video selama

peneliti mengumpulkan data. Responden/informan akan diminta kesediaannya dengan

cara menandatangani formulir informed consent seperti formulir terlampir.

Untuk data BPJS diberikan setelah memenuhi persyaratan setelah mendapat

persetujuan dari reviewer dari pihak BPJS. Demikian data ASPAK (Aplikasi Sarana dan

Prasarana Alat Kesehatan) telah disetujui oleh Direktur Fasilitas Pelayanan Kesehatan

dan data SP2TP yang diperoleh dari Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian

Kesehatan, data Puskesmas Terakreditasi oleh Direktur Mutu dan Akreditasi, dan oleh

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta (data SDK, kepegawaian, obat, fasilitas

sarana dan prasarana pelayanan kesehatan)

Populasi dan Sampel

Populasi

Populasi studi adalah Puskesmas di DKI Jakarta, seluruhnya berjumlah 340

Puskesmas.

Besar Sampel

A Kuantitatif

Akan diambil total sampling data Puskesmas yang memenuhi kriteria inklusi

B Kualitatif

Dari uji pendahuluan didapatkan jumlah puskesmas yang memenuhi 3 indikator

zona aman berjumlah 234 (68.8%) Puskesmas dari total Puskesmas yang ada di DKI

Jakarta. Diambil wilayah dimana terakumulasi Puskesmas pencapaian 3 indikator aman

terbesar, dan wilayah yang terakumulasi puskesmas yang tidak aman 3 indikator

komitmen pelayanan

Page 98: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

77

Universitas Indonesia

Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria Inklusi

1. Puskesmas yang berada dalam wilayah kerja DKI Jakarta

2. Puskesmas telah menerapkan KBK

Kriteria Eksklusi

Puskesmas yang tidak memenuhi data yang diperlukan

Teknik Pengumpulan Data

Data primer

Faktor-faktor yang mempengaruhi indikator kinerja data yang diperoleh dari

wawancara langsung dengan responden

Data sekunder

Data capaian indikator KBK (angka kontak, rasio rujukan kasus non spesialistik,

dan rasio prolanis) diperoleh dari data BPJS Wilayah DKI Jakarta, data Puskesmas yang

diperoleh dari dokumen Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta dan BPJS wilayah DKI

Jakarta, Pusdatin Kemenkes, Direktorat Mutu dan Akreditasi, Direktorat Fasilitas

Pelayanan Kesehatan

Jenis Data

Data Kualitatif dan Kuantitatif

Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan telaah dokumen instansi terkait.

Untuk data

Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam (BPJS

Depwil, BPJS Cabang, Kepala bagian unit terkait di Dinas Kesehatan provinsi DKI

Jakarta, Kepala Bagian terkait di Suku Dinas Kesehatan, kepala puskesmas kecamatan,

kepala puskesmas kelurahan, dan atau koordinator BPJS) untuk melengkapi dan

mempertajam analisis hasil penelitian kuantitatif.

Page 99: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

78

Universitas Indonesia

Pengolahan Data

Data kuantitatif

1) Editing Data

2) Coding

3) Entry Data

4) Cleaning Data

Data kualitatif

1) Memeriksa keabsahan data

2) Mengkaji semua data yang terkumpul dari berbagai sumber

3) Mecatat semua hasil rekaman saat wawancara mendalam

4) Membuat ringkasan hasil kajian semua data

5) Mengkatagorikan data yang sama

6) Meyajikan hasil ringkasan analisa data dalam bentuk matriks

Analisis Data

Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan SPSS 1.6 dan software

smartPLS 2.0. Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif univariate, bivariate dan

Partial Least Square dengan bantuan software smartPLS 2.0

Analisis Univariat

Analisis data univariate untuk menggambarkan distribusi frekuensi masing-

masing variable.

Analisis Bivariat

Analisis data bivariate untuk membuktikan perubahan capaian indikator

komitmen pelayanan dan perubahan kapitasi yang terima oleh Puskesmas pada tahun

2016 dan tahun 2017.

Analisis Multivariat

Analisis ini adalah untuk membuktikan faktor dominan yang mempengaruhi

indikator komitmen pelayanan

Page 100: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

79 Universitas Indonesia

HASIL PENELITIAN

Sistematika Penyajian

Dalam penyajian hasil akan saya sampaikan terlebih dahulu terkait gambaran

umum wilayah DKI Jakarta, Pelaksanaan Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan, proses

penelitian dan keterbatasan penelitian, dan selanjutnya akan saya sampaikan hasil

penelitian.

Gambaran Umum Wilayah

Gambaran Umum Wilayah DKI Jakarta

Provinsi Jakarta adalah ibu kota Negara Indonesia dan merupakan salah satu

Provinsi di Pulau Jawa. Secara geografis, Provinsi DKI Jakarta terletak antara 60 12’

Lintang Selatan dan 1060 48’ Bujur Timur dengan batas wilayah Provinsi DKI Jakarta

bagian selatan adalah Kota Depok, bagian timur adalah Provinsi Jawa Barat, bagian barat

adalah Provinsi Banten dan bagian utara adalah Laut Jawa. Luas wilayah DKI Jakarta

menurut SK Gubernur Nomor 171 tahun 2007 adalah sebesar 662,33 km2 untuk daratan

dan 6.977,5 km2 untuk lautan termasuk wilayah daratan Kepulauan Seribu yang tersebar

di teluk Jakarta. Sedangkan secara administratif, wilayah administratif Provinsi DKI

Jakarta terbagi menjadi lima wilayah kota administratif dan satu kabupaten administratif

yaitu Kota administratif Jakarta Selatan, Kota administratif Jakarta Timur, Kota

administratif Jakarta Pusat, Kota administratif Jakarta Barat, Kota administratif Jakarta

Utara dan Kabupaten administratif Kepulauan Seribu. Daerah dengan wilayah terluas

adalah Kota Jakarta Timur dengan luas wilayah 188,03 km2. Sedangkan daerah dengan

luas tersempit adalah Kabupaten Kepulauan Seribu sebesar 8,7 km2 (BPS Jakarta, 2017)

Page 101: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

80

Universitas Indonesia

Gambar 5.1 Peta Wilayah DKI Jakarta

Keadaan Penduduk

Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk Provinsi DKi Jakarta per wilayah dapat

dilihat pada dalam tabel berikut. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa wilayah

dengan jumlah penduduk terbanyak adalah Jakarta Timur dan laju pertumbuhan

penduduk tertinggi adalah Jakarta Barat

Tabel 5.1 Luas Wilayah, Jumlah, Laju Pertumbuhan, dan Kepadatan Penduduk Provinsi DKi Jakarta Tahun 2017

No Kabupaten/ Kota

Luas (km2)

Jumlah Penduduk

(orang)

Laju Pertumbuhan

Penduduk

Kepadatan Penduduk (km2)

1 Jakarta Selatan 141,27 2.206.732 0.96 15620,672 Jakarta Timur 188,03 2.868.910 0.88 15257,723 Jakarta Pusat 48,13 917.754 0.39 19068,234 Jakarta Barat 129,54 2.496.002 1.32 19268,205 Jakarta Utara 146,66 1.764.614 0.99 12032,016 Kepulauan Seribu 8,7 23.616 1.18 2714,48 Jumlah 662,33 9.223.000 5.72 13.925

Page 102: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

81

Universitas Indonesia

Pada tabel diatas terlihat bahwa berdasarkan wilayah, wilayah dengan jumlah

penduduk terbanyak adalah Jakarta Timur dengan 2,8 juta jiwa dan terkecil adalah

Kepulauan Seribu dengan 23.616 jiwa. Sedangkan berdasarkan kecamatan, kecamatan

dengan julah penduduk terbanyak adalah Kecamatan Cengkareng dengan 574.566 jiwa

dan terkecil adalah Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan dengan 9.561 jiwa.

Gambaran Pelaksanaan Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan

Kapitasi Berbasis Komitmen dilaksanakan atas dasar Peraturan Bersama

Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan RI dan Direktur Utama badan

Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan No.HK.02.05/III/SK/089/2016 No.3 Tahun

2016 dan diperbarui dengan Peraturan Bersama Sekretaris Jenderal Kementerian

Kesehatan RI dan Direktur Utama badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan

No.HK.01.08/III/980/2017 No.2 Tahun 2017 tentang Petunjuk teknis Pelaksanaan

Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan pada FKTP.

Pelaksanaan Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan di DKI Jakarta dimulai sejak

Juni 2016. Adapun pelaksanaan di Puskesmas sudah dengan penerapan konsekuensi yaitu

adanya pemotongan jika ada indikator komitmen pelayanan yang tidak bisa ditemui,

sedangkan pelaksanaan KBK pada FKTP lain meliputi Klinik dan Dokter Praktik

Perorangan juga dilaksanakan, tapi tidak ada konsekuensi dan baru akan diberlakukan

konsekuensi mulai Juli 2018.

Proses Penelitian

Berdasarkan surat dari FKM, Direktur Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Direktur

Mutu dan Akreditasi, Direktur Pelayanan Kesehatan Primer, Kepala Dinas Kesehatan

Provinsi, Badan PTSP Provinsi DKI, Kepala BPJS Depwil, Kepala BPJS Cabang Jakarta

Barat, Kepala BPJS Cabang Jakarta Utara, Kepala BPS, Kepala Suku Dinas Kesehatan

Jakarta Barat dan Kepala Suku Dinas Kesehatan Jakarta Utara memberikan ijin untuk

pengambilan data kuantitatif dan kualitatif.

Pengumpulan data kuantitatif dilakukan selama 2 bulan (20 Januari s.d 6 Maret

2018), dari hasil analisis data kuantitatif ditentukan lokus untuk dilakukan pengumpulan

data secara kualitatif kepada Kepala Seksi Subdit Praktik Perorangan, Kepala Bidang

Page 103: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

82

Universitas Indonesia

Perencanaan dan Pembiayaan dan Kepala Seksi Pelayanan Kesehatan Dasar, Kepala

Seksi Kefarmasian Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Kepala Bidang PMP BPJS

Cabang Jakarta Utara dan Cabang Jakarta Barat, Kepala Seksi Pelayanan Kesehatan

Dasar Suku Dinas Kesehatan Jakarta Barat dan Jakarta Utara, serta Puskesmas

Kecamatan Cengkareng, Puskesmas Kelurahan Kapuk 1, Puskesmas Kecamatan

Kalideres, Puskesmas Kelurahan Semanan, Puskesmas Kecamatan Penjaringan,

Puskesmas Kelurahan Penjaringan 1.

Untuk data kuantitatif adalah data sekunder yang telah divalidasi oleh institusi

terkait untuk dapat dianalisis selanjutnya serta membandingkan data yang diperoleh dari

beberapa institusi yang berbeda misalnya data yang diperoleh di Dinkes Provinsi juga

dibandingkan dengan yang ada di Sudinkes, demikian juga dengan data BPJS Depwil

dibandingkan dengan data BPJS Cabang. Uji validitas data kualitatif dilakukan dengan

“triangulasi” antara wawancara mendalam antar informan di beberapa tingkatan yang

berbeda.

Analisis data yang bersifat kuantitatif dilakukan dengan SEM PLS, dan analisis

data yang bersifat kualitatif dilakukan dengan cara manual.

Hasil Penelitian Kuantitatif

Unit analisis penelitia ini adalah 340 puskesmas. Untuk data kuantitatif dilakukan

analisis univariate, bivariate dan multivariate.

Variabel Dependen

Variabel dependen terdiri dari angka kontak, angka rasio rujukan kasus non

spesialistik, dan angka rasio prolanis

A Angka Kontak

Angka kontak merupakan jumlah peserta terdaftar yang melakukan kontak

dengan FKTP dibandingkan dengan total jumlah peserta terdaftar di FKTP dikali 1000

selama tahun 2017 menunjukkan angka kontak pasien di puskesmas berkisar antara

20.70/00 sampai dengan 411.020/00, dengan rata-rata 192.60/00, standar deviasi 83.80/00.

Jika dilihat dari tingkat puskesmas kecamatan terlihat bahwa angka kontak paling

sedikit adalah 56.90/00 sampai 339.20/00 dengan rata-rata 169.90/00 dengan standar deviasi

75.90/00. Dan di tingkat puskesmas kelurahan bahwa angka kontak paling sedikit adalah

Page 104: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

83

Universitas Indonesia

20.70/00 sampai 411.020/00 dengan rata-rata 196.30/00 dengan standar deviasi 84.40/00. Hal

ini menunjukkan adanya ketidakmerataan capaian angka kontak di puskesmas wilayah

DKI. Adapun terkait angka tertinggi pencapaian lebih tinggi dicapai di wilayah

puskesmas kelurahan mengindikasikan kurang meratanya sebaran peserta JKN, sehingga

denominator yang kecil akan memungkinkan lebih mudah untuk mencapai angka kontak

dibandingkan puskesmas kecamatan yang mempunyai peserta rata-rata lebih besar.

Namun secara rata-rata puskesmas telah mencapai target yang diharapkan (>1500/00).

Tabel 5.2 Distribusi Angka Kontak pasien JKN di Puskesmas di wilayah DKI Jakarta Tahun 2017

Variabel Minimum Maksimum Mean Standar deviasi0/00

0/000/00

0/00 Angka Kontak 20.7 411.02 192.6 83.8

Tabel 5.3 Distribusi Angka Kontak pasien JKN berdasarkan Puskesmas Kecamatan dan Puskesmas Kelurahan di wilayah DKI Jakarta Tahun 2017

Angka Kontak Minimum Maksimum Mean Standar deviasi

Tingkat Puskesmas n 0/000/00

0/00 0/00

Kecamatan 44 56.9 339.2 169.9 75.9

Kelurahan 296 20.7 411.02 196.3 84.4

Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Angka Kontak Kategori Aman/Tidak Aman berdasarkan Puskesmas Kecamatan dan Puskesmas Kelurahan Tahun 2017

Angka Kontak Aman Tidak Aman Total

f % f % f % Puskesmas Kecamatan

24 54.5 20 45.5 44 100

Puskesmas Kelurahan

197 66.6 99 33.4 296 100

Pada tabel diatas bisa didapatkan bahwa rata-rata selama tahun 2017 cukup

banyak puskesmas yang telah mencapai angka kontak diatas target (>1500/00), masing-

masing lebih dari 50% baik puskesmas tingkat kecamatan dan kelurahan.

B Rasio Prolanis

Jumlah peserta prolanis yang rutin berkunjung ke FKTP dibandingkan dengan

jumlah peserta prolanis terdaftar di FKTP dikali 100 (seratus) selama tahun 2017

Page 105: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

84

Universitas Indonesia

menunjukkan capaian indikator rasio prolanis di puskesmas berkisar antara 0.0 % sampai

dengan 100%, dengan rata-rata 44.9%, standar deviasi 40.9%

Jika dilihat dari tingkat puskesmas kecamatan terlihat bahwa rasio prolanis paling

sedikit adalah 0.0 % sampai 100% dengan rata-rata 44.9% dengan standar deviasi 40.9%.

Dan di tingkat puskesmas kecamatan rasio prolanis paling sedikit adalah 0.0 % sampai

100% dengan rata-rata 59.1% dengan standar deviasi 45.7% , sedangkan di kelurahan

bahwa rasio prolanis paling sedikit adalah 0.0 % sampai 100% dengan rata-rata 42.8%

dengan standar deviasi 41.8%. Hal ini menunjukkan capaian cukup merata meski jika di

rata-rata masih kurang dari target yang diharapkan (>50%), hal tersebut menunjukkan

bahwa puskesmas kelurahan pun cukup gencar untuk melakukan klub prolanis sehingga

bisa mendongkrak capaian rasio prolanis di puskesmas kelurahan.

Tabel 5.5 Distribusi Rasio Prolanis di Puskesmas di wilayah DKI Jakarta Tahun 2017

Variabel Minimum Maksimum Mean Standar deviasi

% % % %

Rasio Prolanis 0.0 100 44.9 40.9

Tabel 5.6 Distribusi rasio prolanis pasien JKN berdasarkan Puskesmas Kecamatan dan Kelurahan di wilayah DKI Jakarta Tahun 2017

Rasio Prolanis Minimum Maksimum Mean Standar deviasi

Tingkat Puskesmas n % % % %

Kecamatan 44 0.0 100 59.1 45.7

Kelurahan 296 0.0 100 42.8 41.8

Tabel 5.7 Distribusi Frekuansi Rasio Prolanis Kategori Aman/Tidak Aman berdasarkan Puskesmas Kecamatan dan Puskesmas Kelurahan Tahun 2017

Indikator Rasio Prolanis

Aman Tidak Aman Total f % f % f %

Puskesmas Kecamatan

31 70.5 13 29.5 44 100

Puskesmas Kelurahan

134 45.3 162 54.7 296 100

Page 106: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

85

Universitas Indonesia

Pada tabel diatas bisa didapatkan bahwa selama tahun 2017 cukup banyak

puskesmas yang telah mencapai target prolanis, 70.5% puskesmas kecamatan berada pada

posisi aman, dan 45.3% puskesmas kelurahan berada pada posisi aman.

C Rasio Rujukan Kasus Non Spesialistik

Jumlah peserta yang dirujuk dengan diagnosa yang termasuk dalam level

kompetensi FKTP sesuai dengan Panduan Praktik Klinis dibandingkan dengan jumlah

seluruh peserta yang dirujuk oleh FKTP dikali 100 (seratus) selama tahun 2016 s.d tahun

2017 menunjukkan rasio rujukan kasus non spesialistik di puskesmas berkisar antara

0.0% sampai dengan 11.7%, dengan rata-rata 0,3%, standar deviasi 1.03%,

Tabel 5.8 Distribusi Rasio Rujukan Kasus Non Spesialistik di Puskesmas di wilayah DKI Jakarta Tahun 2017

Variabel Minimum Maksimum Mean Standar deviasi

RRNS 0.0% 11.7% 0,3% 1.03%

Tabel 5.9 Distribusi Rasio Rujukan Kasus Non Spesialistik berdasarkan Puskesmas Kecamatan dan Kelurahan Tahun 2017

Indikator RRNS

Minimum Maksimum Mean Standar deviasi

Puskesmas Kecamatan

0.0% 1.8% 0.2% 0.5%

Puskesmas Kelurahan

0.0% 11.7% 0.3% 1.1%

Jika dilihat dari tingkat puskesmas kecamatan terlihat bahwa rasio rujukan kasus

non spesialistik paling sedikit adalah 0.0 % sampai 1.8% dengan rata-rata 0.2% dengan

standar deviasi 0.5%. Dan di tingkat puskesmas kelurahan bahwa rasio rujukan kasus non

spesialistik paling sedikit adalah 0.0 % sampai 11.7% dengan rata-rata 0.3% dengan

standar deviasi 1.1%. Hal ini menunjukkan capaian yang baik puskesmas kecamatan

dimana sudah bisa mengontrol rujukan kasus non spesialistik, dan puskesmas kelurahan

masih ada yang diatas target yang diharapkan RRNS (<5%). Namun secara rata-rata

keseluruhan capaian RRNS sudah memenuhi target.

Page 107: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

86

Universitas Indonesia

Tabel 5.10 Distribusi Frekuansi Rasio Rujukan Kasus Non Spesialistik Kategori Aman/Tidak Aman berdasarkan Puskesmas Kecamatan dan Puskesmas

Kelurahan Tahun 2017

Indikator RRNS

Aman Tidak Aman Total f % f % f %

Puskesmas Kecamatan

44 100 0 0 44 100

Puskesmas Kelurahan

279 94.3 17 5.7 296 100

Pada tabel diatas bisa didapatkan bahwa selama 2 tahun sudah 100% puskesmas

kecamatan berada pada posisi aman (RRNS < 5%), dan ada 17 (5.7%) puskesmas

kelurahan belum aman (RRNS > 5%)

D Capaian Kumulatif Indikator Komitmen Pelayanan

Dari 340 Puskesmas di DKI, sampai dengan akhir Desember 2017 sebanyak 230

(67.6%) Puskesmas telah berhasil mencapai target 3 indikator aman, dan 5 (1.5%)

Puskesmas belum mencapai 3 indikator, dan 105 (30.9%) Puskesmas telah mencapai 1

s.d 2 dari 3 indikator yang ditargetkan. Adapun capaian tersebut bisa dilihat pada tabel

berikut:

Tabel 5.11 Distribusi Puskesmas Aman Tiga Indikator Komitmen Pelayanan di Wilayah DKI Jakarta Per Desember Tahun 2017

Wilayah

Indikator Komitmen Pelayanan Aman 3 Kategori

f Total

Puskesmas%

Jakarta Barat 66 73 90.4 Jakarta Pusat 7 38 18.4

Jakarta Selatan 39 76 51.3 Jakarta Timur 77 86 89.5 Jakarta Utara 41 56 73.2

Kepulauan Seribu 4 11 36.1 Total 234 340 68.8

Tabel 5.12 Distribusi Puskesmas Tidak Aman Tiga Indikator Komitmen Pelayanan di Wilayah DKI Jakarta Per Desember Tahun 2017

Wilayah Indikator Komitmen Pelayanan Tidak Aman 3 Kategori

f Total Puskesmas % Jakarta Selatan 2 76 2.6 Jakarta Utara 3 56 5.4

Page 108: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

87

Universitas Indonesia

Hal ini sebagai dasar untuk penentuan lokus pengambilan data kualitatif, yaitu

wilayah yang di dalamnya banyak terakumulasi puskesmas yang telah mencapai 3

indikator komitmen pelayanan di posisi aman yaitu wilayah Jakarta Barat, dan wilayah

yang mempunyai puskesmas yang belum mencapai 3 indikator komitmen pelayanan.

Adapun wilayah Jakarta Barat dipilih Puskesmas yang mempunyai lonjakan Angka

Kontak dari awal tahun 2016 s.d tahun 2017 dari 41.260/00 permil menjadi 342.470/00 pada

tahun 2017 yaitu Puskesmas Kelurahan Semanan 1, dan wilayah dengan penurunan

rujukan yang cukup signifikan yaitu Puskesmas Kelurahan Kapuk 1 yang capaian RNS

pada tahun 2016 adalah sebesar 8.33% menjadi 0.0% pada tahun 2017.

Dan untuk wilayah Jakarta Utara sebagai wilayah yang mempunyai Puskesmas

yang belum mencapai 3 indikator ditentukan lokus Puskesmas Kelurahan Penjaringan

yang berada di wilayah Puskesmas Kecamatan Penjaringan untuk mengetahui faktor-

faktor yang mempengaruhi dukungan dan hambatan dalam upaya pencapaian 3 indikator

komitmen pelayanan yaitu angka kontak, rasio prolanis, dan rasio rujukan kasus non

spesialistik.

Variabel Independen

A Karakteristik Puskesmas

Dari seluruh Puskesmas di wilayah DKI Jakarta, ada 44 (12.94%) Puskesmas

berstatus tingkat kecamatan dan 296 (87.06%) Puskesmas berstatus tingkat kelurahan,

dimana masing-masing puskesmas kecamatan memiliki Puskesmas kelurahan sebagai

jejaringnya.

Dilihat dari kategori puskesmas di wilayah DKI Jakarta, ada 30 (8.82%)

Puskesmas berstatus rawat inap dan 310 (91.18%) Puskesmas berstatus non rawat inap.

Adapun bentuk rawat inap tidak semua merupakan rawat inap untuk perawatan pasien

sakit, ada beberapa yang merupakan rawat inap khusus untuk perawatan persalinan.

Dilihat dari status akreditasi puskesmas, ada 54 (15.88%) Puskesmas telah

terakreditasi dan 286 (84.12%) Puskesmas belum terakreditasi.

Page 109: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

88

Universitas Indonesia

Tabel 5.13 Distribusi variable Karakteristik Puskesmas di Wilayah DKI Jakarta Tahun 2018

Variabel Jumlah %

Tingkat Puskesmas: - Kecamatan - Kelurahan

44 296

12.94 87.06

Kategori Puskesmas - Rawat inap - Non rawat inap

30 310

8.82 91.18

Status Akreditasi - Terakreditasi - Belum terakreditasi

54 286

15.88 84.12

B Disposisi (Nilai Kapitasi)

Besarnya nilai kapitasi yang diterima oleh puskesmas bervariasi selama tahun

2017 per bulan mulai dari Rp. 11,560,500 Sampai yang terbesar Rp 943,284,000 dengan

rata-rata Rp. 173,192,487 standar deviasi Rp 722,025,672. Ada perubahan rata-rata

kenaikan nilai kapitasi daari tahun 2016 ke tahun 2017 dari Rp. 107,766,663 ke Rp.

173,192,487 dikarenakan kenaikan jumlah peserta JKN.

Jika dilihat dari tingkat puskesmas terlihat bahwa kapitasi yang diterima oleh

puskesmas kecamatan per bulan yang terkecil adalah Rp 32,583,375 sampai

Rp.943,284,000 dengan rata-rata Rp107,766,663 dengan standar deviasi

Rp.216,685,396 sedangkan kapitasi yang diterima puskesmas kelurahan per bulan

berkisar antara Rp.11,560,500 sampai dengan Rp 524,820,000 rata-rata Rp 173,192,487

dengan standar deviasi Rp 78,203,932. Ada perbedaan yang cukup mencolok antara

kapitasi yang diterima antara Puskesmas kecamatan dan kelurahan hal ini berhubungan

juga dengan banyaknya peserta yang dimiliki oleh puskesmas lebih besar daripada di

kecamatan, sehingga kapitasi yang diperoleh juga cukup besar di puskesmas kecamatan.

Tabel 5.14 Distribusi besaran kapitasi yang diterima oleh puskesmas di Wilayah DKI Jakarta tahun 2016 s.d 2017

Insentif Minimum (Rp)

Maksimum (Rp)

Mean (Rp)

Standar deviasi (Rp)

2016 6,158,700 851,084,100 107,766,663 103,097,706

2017 11,560,500 943,284,000 173,192,487 722,025,672

Page 110: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

89

Universitas Indonesia

Tabel 5.15 Distribusi besaran kapitasi berdasar Puskesmas Kecamatan dan Kelurahan

Insentif Minimum (Rp)

Maksimum (Rp)

Mean (Rp)

Standar deviasi (Rp)

Puskesmas Kecamatan

32,583,375 943,284,000 261,639,787 216,685,396

Puskesmas Kelurahan

11,560,500 524,820,000 87,338,871 78,203,932

C Sumber Daya

1) Kecukupan SDM

Kecukupan SDM puskesmas bervariasi antara satu puskesmas dengan puskemas

lainnya, dokter mulai dari 3.57% sampai yang terbanyak 72.73% dengan rata-rata

43.64%, standar deviasi 26.92%. kecukupan perawat mulai dari 4.48% sampai yang

terbanyak 86.96% dengan rata-rata 48.48%, standar deviasi 33.96%. Kecukupan bidan

mulai dari 2.30% sampai yang terbanyak 100% dengan rata-rata 30.61%, standar deviasi

29.47%. Kecukupan tenaga kefarmasian mulai dari 0% sampai yang terbanyak 100%

dengan rata-rata 66.12%, standar deviasi 69.23%. Kecukupan tenaga kesehatan

masyarakat mulai dari 0% sampai yang terbanyak 100% dengan rata-rata 8.23%, standar

deviasi 25.4%

Tabel 5.16 Statistik jumlah SDM puskesmas di Wilayah DKI Jakarta tahun 2018

SDM Minimum

Maksimum Mean Standar deviasi

Dokter 1 46 5.40 8.280 Perawat 1 55 6.58 9.716 Bidan 2 47 6.20 7.971

Farmasi 0 17 2.38 3.297 Kesehatan Masyarakat

0 8 0.20 0.720

Page 111: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

90

Universitas Indonesia

Tabel 5.17 Statistik kecukupan SDM dokter puskesmas di Wilayah DKI Jakarta tahun 2018

SDM Minimum (%)

Maksimum (%)

Mean (%)

Standar deviasi (%)

Dokter 3.57 72.73 43.64 26.92 Perawat 4.48 86.96 48.48 33.96 Bidan 2.30 182.29 30.61 29.47

Farmasi 0 100 66.12 69.23 Kesehatan Masyarakat

0 100 8.23 25.4

2) Kepala Puskesmas

Dilihat dari aspek gender 63 (18.5%) puskesmas dikepalai oleh seorang laki-laki,

dan 277 (81.5%) dikepalai oleh seorang perempuan.

Dilihat dari lama menjabat sebagai kepala puskesmas, 147 (43.2%) kepala

puskesmas menjabat sebelum pelaksanaan kapitasi berbasis komitmen pelayanan, dan

193 (56.4%) menjabat setelah pelaksanaan kapitasi berbasis komitmen pelayanan (Juni

2016)

Tabel 5.18 Distribusi variable kepala puskesmas di wilayah DKI Jakarta Tahun 2017

Variabel Jumlahf %

Jenis Kelamin Kepala Puskesmas: - Laki-laki - Perempuan

63 277

18.5 81.5

Mulai menjabat - Sebelum

pelaksanaan KBK - Setelah pelaksanaan

KBK

147

193

43.2

56.8

Tabel 5.19 Distribusi variable lama menjabat kepala puskesmas di wilayah DKI Jakarta Tahun 2017

Variabel Minimum Maksimum Mean Standar deviasi

Lama menjabat

0 12 3 2

Page 112: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

91

Universitas Indonesia

Dilihat dari lama menjabat kepala puskesmas mulai dari 0 tahun sampai terbesar

12 tahun dengan rata-rata 3 tahun dan standar deviasi Rp 2 tahun.

D Fasilitas dan Sarana Penunjang

Kecukupan obat-obatan di puskesmas selama tahun 2017 mulai dari 85% sampai

yang terbesar 100% % dengan rata-rata 90%, standar deviasi 20%. Untuk kecukupan

sarana prasarana di puskesmas selama tahun 2017 mulai dari 18% sampai yang terbesar

98% dengan rata-rata 48%, standar deviasi 23%. Dan kecukupan alat kesehatan mulai

dari 33% sampai yang terbesar 84% dengan rata-rata 58%, standar deviasi 10%.

Tabel 5.20 Distribusi kecukupan obat-obatan, sarana prasarana, alat kesehatan puskesmas di Wilayah DKI Jakarta tahun 2017

Variabel Minimum Maksimum Mean Standar deviasi

Kecukupan Obat-obatan

85% 100% 90% 20%

Kecukupan sarana prasarana

18% 98% 48% 23%

Kecukupan alat kesehatan

33% 84% 58% 10%

E Pengelolaan Pelayanan

1) Pemenuhan waktu praktik

Dilihat dari pemenuhan waktu praktik, 30 (8.8%) puskesmas melakukan praktik

lebih dari 6 jam kerja, dan 310 (91.2%) puskesmas berpraktik selama 24 jam kerja.

Tabel 5.21 Distribusi variable pemenuhan waktu praktik di wilayah DKI Jakarta Tahun 2018

Variabel Jumlah % Pemenuhan waktu praktik: - 6 jam kerja - 24 jam kerja

310 30

91.2 8.8

Total 340 100

Page 113: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

92

Universitas Indonesia

2) Pengelolaan klub prolanis

Dilihat dari pengelolaan klub prolanis 215 (63.2%) puskesmas melakukan

pengelolaan klub prolanis, dan 125 (36.8%) puskesmas tidak melakukan pengelolaan

klub prolanis.

Tabel 5.22 Distribusi variable pengelolaan klub prolanis di wilayah DKI Jakarta Tahun 2018

Variabel Jumlah % Pengelolaan klub prolanis: - Ada - Tidak ada

215 125

63.2 36.8

Total 340 100

3) Kunjungan rumah (KPLDH)

Capaian kunjungan rumah KPLDH puskesmas pada tahun 2017 adalah 20619

jiwa di wilayah Kepulauan Seribu, 390.344 jiwa di Jakarta Selatan, 533.807 jiwa di

wilayah Jakarta Timur, 255.137 jiwa di wilayah Jakarta Barat, 122.539 jiwa di Wilayah

Jakarta Utara, 180.855 jiwa di wilayah Jakarta Pusat.

Tabel 5.23 Distribusi Capaian Kinerja KPLDH puskesmas di Wilayah DKI Jakarta tahun 2017

F Peserta

1) Distribusi peserta terdaftar

Dalam upaya pencapaian Universal Health Coverage yang dicita-citakan

Gubernur DKI sejak dicanangkannya JKN tahun 2014, sampai saat ini sejak

diimplementasikan KBK tahun 2016 sampai 2018 kepesertaan DKI mencapai 7,007,444

jiwa. Dilihat dari data peserta yang terdaftar di Puskesmas terlihat bahwa 4,740,412

CAPAIAN KINERJA KPLDH

WILAYAHJUMLAH

PENDUDUK TOTAL (KK)

JUMLAH PENDUDUK PRIORITAS

(KK)

JUMLAH PENDUDUK

YANG TERDATA (KK)

JUMLAH PENDUDUK PRIORITAS

(JIWA)

JUMLAH PENDUDUK

YANG TERDATA

(JIWA)

KEP SERIBU 7.126 3.525 5.103 19.148

20.619 JAKARTA SELATAN 1.264.054

105.748 113.172 368.510 390.344

JAKARTA TIMUR 1.109.551

271.855 188.909 859.639 533.807

JAKARTA BARAT 1.386.540

70.451 56.297 490.099 255.137

JAKART UTARA 707.723

103.166 33.142 303.132 122.539

JAKARTA PUSAT 351.988 73.782 159.017 243.102 180.855

TOTAL 4.826.982 628.527 555.640 2.283.630 1.503.301

Page 114: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

93

Universitas Indonesia

(67.6%) peserta terdaftar di Puskesmas Kecamatan, dan yang terdaftar di Puskesmas

Kelurahan sebesar 2,267,032 (32.4%)

Tabel 5.24 Distribusi Frekuansi Peserta Terdaftar berdasarkan Puskesmas Kecamatan dan Puskesmas Kelurahan

Distribusi Peserta Jumlah Peserta

f %

Puskesmas Kecamatan 4,740,412 67.6%

Puskesmas Kelurahan 2,267,032 32.4%

Total 7,007,444 100%

Jumlah peserta terdaftar di Puskesmas berkisar antara 1,024 jiwa sampai 157,214

jiwa. Rata-rata puskesmas mempunyai peserta sebesar 22,175 jiwa, dengan standar

deviasi 21,250 jiwa.

Jika dilihat dari tingkat puskesmas terlihat rata-rata peserta di puskesmas

kecamatan sebesar 51,523 jiwa peserta paling sedikit berjumlah 4,904 jiwa, dan peserta

terbanyak berjumlah 157,214 jiwa, sedangkan puskesmas kelurahan rata-rata mempunyai

peserta terdaftar sebanyak 17,427 jiwa dengan peserta paling sedikit 1,024 jiwa, dan

terbanyak 87,470 jiwa dengan standar deviasi 1,2924 jiwa.

Tabel 5.25 Distribusi peserta JKN puskesmas di Wilayah DKI Jakarta tahun 2017

Variabel Minimum

Maksimum Mean Standar deviasi

Distribusi peserta

1,024 157,214 22,175.46 21,250.17

Tabel 5.26 Distribusi peserta JKN di Puskesmas di wilayah DKI Jakarta

Distribusi Peserta

Minimum Maksimum Mean Standar deviasi

Puskesmas Kecamatan

4,904 157,214 51,523.45 35,090.12

Puskesmas Kelurahan

1,024 87,470 17,427.99 12,924.69

Page 115: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

94

Universitas Indonesia

2) Proporsi Peserta Risti

Profil resiko peserta dikelompokkan menurut umur 0-5 tahun dan lebih dari 60

tahun dianggap lebih beresiko untuk mengalami masalah kesehatan. Dari penelitian

diperoleh data bahwa rata-rata wilayah puskesmas memiliki usia kurang dari 5 tahun

paling sedikit 3.83%, paling banyak 11.58% dan rata-rata 8.35% dengan standar deviasi

9.04%.

Sedangkan untuk peserta > 60 tahun, dari penelitian diperoleh data paling sedikit

3.47% jiwa, paling banyak 19.25% dan rata-rata 8.37% dengan standar deviasi 8.41%

Tabel 5.27 Distribusi proporsi peserta risti puskesmas di Wilayah DKI Jakarta tahun 2017

Kelompok Umur

Minimum (%)

Maksimum (%)

Mean (%)

Standar deviasi

(%) 0-5 tahun 3.83 11.58 8.35 9.04

>60 tahun 3.47 19.25 8.37 8.41

Tabel 5.28 Distribusi Proporsi Peserta Risti Puskesmas Wilayah DKI Jakarta

tahun 2017

Variabel Minimum

(%)

Maksimum

(%)

Mean

(%)

Standar

deviasi (%)

Proporsi peserta risti

7.30 30.83 16.72 17.45

Proporsi peserta usia resiko tinggi di puskesmas minimum adalah 7.30% sampai

terbesar 30.83% dengan rata-rata 16.72%, dan standar deviasi 17.45%

3) Rasio dokter peserta

Dilihat dari rasio dokter peserta 99 (29.1%) puskesmas mempunyai rasio dokter

dibanding peserta kurang dari sama dengan 1:5000, dan 241 (70.9%) Puskesmas

mempunyai rasio dokter peserta lebih dari 1:5000

Page 116: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

95

Universitas Indonesia

Tabel 5.29 Distribusi rasio dokter banding peserta puskesmas di wilayah DKI Jakarta Tahun 2017

Rasio Dokter : Peserta Jumlah

f %

> 5000 241 70.9

<= 5000 99 29.1

Total 340 100%

Tabel 5.30 Distribusi rasio dokter banding peserta berdasarkan tingkat puskesmas di wilayah DKI Jakarta Tahun 2017

Variabel Minimum Maksimum Mean Standar deviasi Rasio

dokter:peserta288 79.060 9,694 9,621

Rasio dokter dibanding peserta di Puskesmas berkisar antara 288 jiwa sampai

79.060 jiwa. Rata-rata puskesmas mempunyai rasio dokter : peserta sebesar 9,694 jiwa,

dengan standar deviasi 9,621 jiwa. Sehingga jika dibandingkan dengan standar, masih

lebih banyak yang berada diluar kriteria, dan jika dilihat dari sebaran adanya kurang

merata peserta JKN, ada yang memiliki peserta sangat sedikit, ada yang sangat besar

sehingga perlu adanya upaya redistribusi peserta JKN

Page 117: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

96

Universitas Indonesia

Analisis Bivariat

A Analisis Perubahan Capaian Indikator Kapitasi Berbasis Komitmen

Pelayanan Tahun 2016 s.d 2017

Pelaksanaan kapitasi berbasis komitemen pelayanan selama 2 tahun di Wilayah

DKI Jakarta. Hasilnya menunjukkan terjadi kecenderungan peningkatan angka kontak

dan rasio prolanis. Dan terjadi kecenderungan penurunan untuk Rasio Rujukan Kasus

Non Spesialistik.

Analisis untuk melihat kebermaknaan perubahan capaian indikator KBK yang

diterima adalah sebagai berikut:

Tabel 5.31 Perubahan capaian indikator kapitasi berbasis komitmen pelayanan tahun 2016 s.d 2017

Variabel Mean Selisih Mean

P value 2016 2017

Indikator KBK

Angka Kontak 76.50/00 192.60/00 116.10/00 0,0005 Rasio Prolanis 23.1% 44.9% 21.8% 0,0005

RRNS 1.6% 0.3% -1.2% 0,0005

Berdasarkan analisis tersebut, dapat dilihat terdapat peningkatan angka kontak

sebesar 116.10/00, perubahan tersebut signifikan, maka dapat disimpulkan bahwa ada

perubahan bermakna antara capaian indikator komitmen pelayanan selama awal

diterapkannya KBK pada tahun 2016 dan tahun 2017

Pada tabel terdapat perubahan rasio prolanis meningkat sebesar 21.8%, perubahan

tersebut signifikan, maka dapat disimpulkan ada perubahan bermakna, sedangkan pada

data juga bisa dilihat adanya penurunan pada rasio rujukan kasus non spesialistik sebesar

-1.2% sehingga bisa disimpulkan ada perubahan bermakna antara capaian RRNS selama

awal diterapkannya KBK pada tahun 2016 dan tahun 2017.

B Analisis Perubahan Kapitasi yang Diterima Puskesmas Tahun 2016 s.d 2017

Adapun capaian terhadap 3 indikator, akan berpengaruh terhadap kapitasi yang

akan diterima oleh puskesmas, dengan diterapkannya konsekuensi apabila ada indikator

komitmen yang tidak dicapai oleh puskesmas. adapun konsekuensi sesuai dengan

Peraturan Bersama Sekjen Kemenkes dan Direktur Utama BPJS Kesehatan Nomor

HK.01.08/III/980/2017 Tahun 2017 Nomor 2 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis

Pelaksanaan Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan Pada

Page 118: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

97

Universitas Indonesia

Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (BPJS, 2017) adalah apabila puskesmas mencapai 3

indikator komitmen pelayanan (3 indikator aman) maka besar kapitasi yang didapatkan

adaah sebesar 100%, jika 2 indikator aman dan 1 tidak aman maka kapitasi yang

didapatkan adalah sebesar 95%, jika 2 indikator tidak aman dan 1 indikator aman maka

kapitasi yang didapatkan adalah sebesar 92.5%, dan jika 3 indikator tidak aman maka

kapitasi yang didapatkan adalah sebesar 90%

Analisis untuk melihat kebermaknaan perubahan kapitasi yang diterima adalah

sebagai berikut:

Tabel 5.32 Perubahan kapitasi yang diterima puskesmas di wilayah DKI tahun 2016 s.d 2017

Variabel Mean Selisih Mean P value 2016 2017

Nilai Kapitasi

107,766,663 173,192,487 65,425,824 0.104

Berdasarkan analisis tersebut, dapat dilihat terdapat peningkatan besaran kapitasi

yang diterima yaitu sebesar Rp. 65,425,824,00 perubahan tersebut tidak signifikan

dengan p-value 0.104 (>0.05), maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perubahan

bermakna kapitasi yang diterima pada tahun 2016 dan tahun 2017. Kenaikan nilai kapitasi

dikarenakan adanya kenaikan jumlah peserta JKN.

Analisis Multivariat

Adapun pentahapan pemodelan PLS SEM adalah sebagai berikut:

A Melakukan Penilaian Measurement Model

1) Melihat nilai outer loading dan convergent validity

Pada tahap ini dilakukan pengecekan terhadap convergent validity dengan

memastikan loading factor berada diatas 0.4, selanjutnya di atas 0.5 (Ghozali, 2014)

Page 119: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

98

Universitas Indonesia

Tabel 5.33 Tabel Konstruk dan Indikator Awal

Konstruk Indikator Model Awal Model Akhir

Loading score Convergent validity

(>0.4) Loading score

Convergent validity (>0.4)

Tingkat Puskesmas (X1) X11 Tingkat Puskesmas 0,936 Valid 0,949 Valid X12 Kategori Puskesmas 0,901 Valid 0,864 Valid X13 Status Akreditasi 0,850 Valid 0,889 Valid Disposisi (X2) X221 Nilai kapitasi 1,000 Valid 1,000 ValidSumber Daya (X3) X311 KAPUS_lama menjabat -0,212 Tidak Valid X312 KAPUS_Jenis Kelamin -0,114 Tidak Valid X321 F_Kelengkapan Obat 0,128 Tidak Valid X322 F_Sarpras 0,092 Tidak Valid X323 F_Alkes 0,361 Tidak Valid X331 Kecukupan SDM_Dokter 0,816 Valid 0,848 Valid X332 Kecukupan SDM_Perawat 0,783 Valid 0,830 Valid X333 Kecukupan SDM_Bidan 0,455 Valid 0,493 Valid X334 Kecukupan SDM_Farmasi 0,555 Valid 0,627 Valid X335 Kecukupan SDM_Kesmas -0,003 Tidak ValidSumber Daya (X4) X41 Pemenuhan Waktu Praktik 0,504 Valid ** X42 Pengelolaan Klub Prolanis 0,760 Valid **Sumber Daya (X5) X511 Proporsi Peserta Risti -0,388 Tidak Valid X512 Proporsi Balita 0-4 Tahun 0,902 Valid 0,889 Valid X513 Proporsi Usia lanjut >60 Tahun 0,829 Valid * X514 Proporsi Usia lanjut >70 Tahun 0,803 Valid 0,822 Valid X52 Rasio Dokter -0,286 Tidak Valid X521 Rasio Dokter 0,226 Tidak Valid X53 Jumlah peserta JKN 17 0,694 Valid 0,892 ValidSumber Daya (Y) YY1711 ANGKA KONTAK KOMUNIKASI 0,640 Valid 0,517 Valid YY1712 RASIO PROLANIS 0,852 Valid 0,901 Valid

Page 120: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

99

Universitas Indonesia

Konstruk Indikator Model Awal Model Akhir

Loading score Convergent validity

(>0.4) Loading score

Convergent validity (>0.4)

YY1713 RRNS 0,425 Valid 0,461 ValidCatatan: * = VIF >10, terjadi multikolinieritas, sehingga di hapus **= Cronbach Alpha <0.5

Gambar 5.2 Gambar Konstruk Model Awal

Page 121: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

100

Universitas Indonesia

2) Menilai reliabilitas konstruk. Model yang dipakai yaitu model yang telah valid, pada saat model convergent

Tahap ini dilakukan dengan melihat nilai composite reliability, average

variance extracted (AVE), dan membandingkan nilai akar AVE dengan nilai

korelasi antar konstruk.

Konstruk dikatakan memiliki reliabilitas yang baik jika nilai composite

reliability > 0.7 dan nilai Average Variance Extracted (AVE) >0.5 (Ghozali,

2014:66)

Tabel 5.34 Tabel penilaian reliabilitas konstruk

Composite Reliability

Average Variance Extracted (AVE)

Capaian KBK 0,674 0,430Disposisi 1,000 1,000Karakteristik puskesmas 0,929 0,813Profil peserta 0,902 0,754SDM 0,800 0,511

Walaupun nilai AVE di atas 0.4 karena model masih dalam tahap

pengembangan, maka model masih dapat dikatakan reliable (Marcucci & Sharma,

1997). dan Composite Reliability > 0.5 adalah bisa diterima (acceptable

good)(Sarstedt, Ringle, & Hair, 2017). Hal ini dapat dilihat dari nilai discriminant

validity yang masih lebih rendah dibandingkan nilai korelasi antar konstruknya.

Tabel 5.35 Tabel Nilai discriminant validity

CAPAIAN KBK

DISPOSISI KARAKTERISTIK

PUSKESMAS PROFIL

PESERTA SDM

CAPAIAN KBK 0,656

DISPOSISI 0,222 1,000

KARAKTERISTIK PUSKESMAS 0,066 0,481 0,902

PROFIL PESERTA 0,128 0,721 0,781 0,868 SDM 0,328 0,016 -0,172 -0,075 0,715

Page 122: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

101

Universitas Indonesia

B Melakukan Penilaian Struktural Model

Model terakhir menunjukkan nilai R-square yaitu 0.156 atau 15.6% yang

berarti bahwa variable-variable dalam model tersebut dapat menjelaskan capaian

KBK sebanyak 15.6%, dan sisanya dijelaskan oleh variable lain di luar model ini.

Tabel 5.36 Tabel R-Square

R Square R Square Adjusted Capaian KBK 0,156 0,146

Dari tabel di bawah ini terlihat jelas bahwa variable yang signifikan

mempengaruhi yaitu variabel pengelolaan Disposisi (Insentif) dan SDM. Hal ini

dapat dilihat dari nilai p-value <0.05. Variable lainnya tidak berpengaruh signifikan

terhadap capaian KBK. SDM dan Disposisi (Insentif) mempunyai pengaruh positif

terhadap capaian KBK.

Tabel 5.37 Nilai Koefisien Estimate Antar Variabel dan p value

Original Sample

(O)

Sample Mean (M)

Standard Deviation (STDEV)

T Statistiks (|O/STDEV|)

p value

Disposisi -> Capaian KBK 0,232 0,232 0,115 2,019 0,044 Karakteristik Puskesmas -> Capaian KBK

0,057 0,046 0,116 0,496 0,620

Profil Peserta -> Capaian KBK

-0,059 -0,045 0,144 0,408 0,683

SDM -> Capaian KBK 0,330 0,334 0,040 8,189 0,000

Page 123: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

102

Universitas Indonesia

C Bentuk Model Final

Adapun bentuk final model adalah sebagai berikut:

Gambar 5.3 Pemodelan Akhir

D Pengujian Goodness of Fit

Pengujian Goodness of Fit pada structural model dilakukan untuk

memastikan bahwa model structural yang dibangun termasuk robust dan akurat.

Evaluasi inner model dapat dinilai melalui beberapa indikator yang meliputi:

koefisien determinasi (R2) nilai ini menunjukkan seberapa besar variable eksogen

(independen/bebas) pada model mampu menerangkan variable endogen (dependen

/terikat). Hasil nilai R2 didapatkan 0,156

1) Penghitungan nilai Predictive Relevance (Q2)

Q2 = 1 – (1 – R2)

Q2 = 1 – (1 – 0,156)

Q2 = 0,156

Dari penghitungan diatas didapatkan nilai Q2 sebesar 0,156 (Q2 > 0)

sehingga dapat disimpulkan bahwa model memiliki tingkat prediksi yang baik.

Page 124: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

103

Universitas Indonesia

2) Penghitungan nilai Goodness of Fit Index (GoF)

Penghitungan GoF menggunakan rumus (Tenenhaus, Vinzi, Chatelin, &

Lauro, 2005)

GoF = √0.702 0.156

GoF = 0.33

Menurut Tanenhaus et al. (2005) nilai GoF kecil = 0.1, GoF medium = 0.2

dan GoF besar = 0.3 dari hasil perhitungan didapatkan GoF 0.3 berarti goodness of

fits dari model ini adalah bagus/besar

Dari pemodelan akhir didapatkan yang merupakan faktor dominan adalah

nilai kapitasi dan SDM (dokter, perawat, bidan, tenaga kefarmasian), bahwa

semakin besar nilai kapitasi dan semakin baik kecukupan SDM maka akan semakin

baik capaian indikator komitmen pelayanan puskesmas. hal ini bisa dijelaskan

bahwa dengan kapitasi yang besar merupakan potensi dengan pengelolaan yang

baik terkait kecukupan SDM yang ada di Puskesmas, dengan kapitasi yang cukup

sustainability terhadap pendanaan terhadap kecukupan SDM juga akan terjaga, dan

dengan tenaga yang cukup maka operasional puskesmas akan berjalan, diharapkan

dengan SDM yang cukup bisa melayani peserta dengan baik, dan jika pelayanan

bisa berjalan dengan baik, niscaya capaian indikator komitmen pelayanan akan

tercapai. Dan hal ini merupakan efek roda berputar, yang penggerakan terhadap

beberapa jari roda, maka berimpak terhadap berjalannya roda pelayanan dengan

baik.

Page 125: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

104

Universitas Indonesia

Hasil Penelitian Kualitatif

Karakteristik Informan

Informan dalam penelitian ini sebanyak 24 informan yang kesemuanya

terpilih untuk tehnik pengumpulan data dengan metode wawancara mendalam

Tabel 5.38 Karakteristik Informan WM

No. Informan

Kode Informan Umur

(tahun)

Jenis

kelamin

Pendidikan

1. no name B1 38 P S12. no name B1a - P S13. no name B2 37 P S14. no name B3 36 P S25. no name DP1 - P S26. no name DP2 36 P S27. no name DP3 48 L S28. no name DP3a - P S29. no name DP3b - P S2

10. no name DP4 51 P S211. no name SD1 30 P S112. no name SD2 50 L S113. no name SD3 35 P S214. no name P1 44 P S115. no name P1a - P S116. no name P2 38 L S117. no name P3 - L -18. no name DP1a - P -19. no name DP1b - P -20. no name DP1c - P -21. no name DP1d - P -22. no name DP1e - P -23. no name K 44 L S124. no name IK-1 65 L S3

Sumber data: isian formulir identitas informan WM

Komunikasi

Komunikasi kebijakan merupakan suatu proses penyampaian informasi

tentang suatu kebijakan dari penentu kebijakan (policy maker) kepada pelaksana

kebijakan (policy implementors) (Widodo, 2017). Aspek komunikasi menjelaskan

apakah kebijakan dikomunikasikan secara berjenjang, jelas dan konsisten dari

penentu kebijakan kepada pelaksana kebijakan dan sasaran kebijakan sebagai

Page 126: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

105

Universitas Indonesia

penerima manfaat kebijakan. Hal ini dimaksudkan agar pelaksana kebijakan dapat

mempersiapkan apa saja dalam aspek komunikasi yang dibutuhkan terkait

implementasi kebijakan sehingga dapat berjalan dengan efektif serta sesuai tujuan

kebijakan tersebut. Aspek komunikasi pada penelitian ini yang ditanyakan kepada

informan meliputi transimisi, kejelasan dan konsistensi. Berikut hasil pengumpulan

data tentang aspek komunikasi dalam hal implementasi KBK diuraikan sebagai

berikut:

A Transmisi

Pada aspek transmisi, yang diukur adalah bagaimana proses penyampaian

kebijakan terkait KBK, disampaikan berjenjang dari penentu kebijakan kepada

pelaksana kebijakan dan masyarakat sebagai kelompok sasaran penerima manfaat

serta pihak yang terkait pelaksanaan kebijakan berdasarkan Peraturan Bersama

Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan RI dan Direktur Utama badan

Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan No.HK.01.08/III/980/2017 No.2

Tahun 2017 tentang Petunjuk teknis Pelaksanaan Pembayaran Kapitasi Berbasis

Pemenuhan Komitmen Pelayanan pada FKTP. Informan menunjukkan bahwa

kebijakan KBK ini telah diketahui dan disampaikan secara berjenjang dari penentu

kebijakan, dalam hal ini BPJS, Dinas Kesehatan Prvinsi DKI Jakarta, Suku Dinas

Kesehatan, Puskesmas Kecamatan, dan Puskesmas Kelurahan di wilayah DKI

Jakarta. Hal tersebut sebagaimana diuraikan dalam kutipan hasil wawancara

berikut:

“Kalau kita biasanya dapat informasi dari puskesmas kecamatan cengkareng” (P1)

“Tidak secara langsung ke instansi, kita diundang perwakilan oleh

BPJS, BPJS pihak ke 3, Sudin Dinas menyediakan tempat, dan BPJS sebagai pemapar” (P2)

“Diseminasi, sosialisasi, biasanya bentuknya pertemuan-

pertemuan gitu dari kemenkes biasanya mengundang dari dinkes untuk hadir dijelaskan KBK, jujur ajha saya belum pernah hadir untuk sosialisasi ini, saya juga ga terlalu paham, saya juga tidak pernah hadir dalam sosialisasi ini, mungkin yang diundang langsung langsung ke Puskesmas bersangkutan, yang ada di DKI terkait sosialisasi KBK ini”(DP2)

“Implementasi KBK mulai tahun 2016, FKTP pemerintah

puskesmas sudah diberlakukan, namun untuk FKTP swasta, klinik dan DPP

Page 127: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

106

Universitas Indonesia

belum diberlakukan konsekuensinya, dari cabang tetap menilai semuanya, perber kemenkes dan BPJS sampai dengan 31 Desmeber 2017, dalam artian tahun 2018 sudah berlaku. Pemberlakukan tetap berkoordinasi dengan dinkes, asosiasi Asklin PKFI mengetahui, DKI Jakarta sepakat melakukan konsekuensi pada bulan Juli 2018 untuk FKTP swasta, dll”(P2)

“Untuk wilayah DKI Jakarta sudinkes proaktif berkoordinasi

dengan BPJS namun tidak dengan pihak klinik swasta sehingga BPJS mengundang PKFI, asosiasi klinik tetapi diwakilkan saja (bukan pimpinan klinik). Kita harapkan semua ketuanya paham, harusnya jadi tugas mereka juga untuk menilai..”(P2)

B Kejelasan

Pada aspek kejelasan, yang diukur adalah bagaimana proses penjelasan

tentang pemahaman kebijakan dilaksanakan secara tepat, sesuai dengan tujuan

kebijakan dan dilakukan secara kontinyu, sehingga meminimalisir terjadinya

kesalahan interpretasi atau distorsi informasi dari apa yang dikehendaki oleh

pembuat kebijakan kepada pelaksana dan sasaran kebijakan. Aspek kejelasan pada

penelitian ini yang ingin diketahui adalah peraturan perundangan yang menaungi

kebijakan dan petunjuk teknis untuk pelaksanaan kebijakan apakah sudah cukup

menjadi dasar pelaksanaan kebijakan, bagaimana tujuan kebijakan serta isi

kebijakan yang ditetapkan penentu kebijakan dipahami oleh pelaksana kebijakan

dan sasaran kebijakan.

Pengambilan data dari wawancara mendalam informan kunci menunjukkan

bahwa peraturan bersama sudah cukup jelas menjadi petunjuk teknis pelaksanaan

kebijakan yang tercantum Peraturan Bersama Sekretaris Jenderal Kementerian

Kesehatan RI dan Direktur Utama badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial

Kesehatan No.HK.01.08/III/980/2017 No.2 Tahun 2017 tentang Petunjuk teknis

Pelaksanaan Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan pada

FKTP, didukung oleh Peraturan Gubernur No. 150 tahun 2016 tentang Pedoman

Teknis Penilaian Usulan Penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan

Umum Daerah. Hal tersebut sebagaimana diuraikan dalam kutipan hasil wawancara

berikut:

“Oo sudah cukup banget” (P1)

Page 128: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

107

Universitas Indonesia

“Kayaknya yang saya lihat keputusan bersama ini kl dasarnya ada punishment, kaya ginikan ada punishment, kl menjalankan KBK kapitasinya kan turun, jadi mau ga mau harus deijalankan meskipun regulasinya berbentuk keputusan bersama, karena itu ada reward dan punishmennya. Kalau keputusan bersama ajha udah jalan ya menurut saya udah ga perlu lagi, tapi kl mau dibuat permenkenya ya monggo saja, ga ada masalah..”(DP3)

Dan terkait mekanisme MoU, dilakukan BPJS dengan Puskesmas

Kecamatan langsung karena telah BLUD.

“Kalau BLUD langsung BPJS-Puskesmas, kalau non BLUD melalui dinas, karena di Jakarta BLUD semua jadi semua langsung BPJS-Puskesmas ya”(B1)

“supaya Puskes bisa kapitasi, maka harus BLUD? Kalau ga BLUD

tidak boleh ada transaksi yang dilakukan antara BPJS dan Puskesmas. karena transaksi bisa dilakukan antara BPJS dengan Badan Hukum”. Untuk Puskesmas non BLUD, maka BPJS harus ber MoU dengan pemilik Puskesmas? yaitu Dinas Kesehatan”(IK-1)

“..untuk memberikan pelayanan terbaik, bukan itung-itungan

uangnya saja, uang bisa langsung digunakan untuk kepentingan pelayanan, apabila dalam keadaan deficit bisa meminta dari pemerintah sepanjang hal itu adalah untuk kepentingan pelayanan” (IK-1)

“tidak bisa dilakukan jika fasilitas (puskesmas) bukan badan

hukum” (IK-1)

“Selain kapitasi, puskesmas masih harus mendapatkan dana APBD, karena sebagai media untuk pelaksanaan tugas fungsi untuk mnecapai SPM, dan UKM adalah tanggung jawab Pemda” (K)

“Jika ditinjau dari kepemilikan, puskesmas secara hierarki adalah

dibawah pemerintah daerah, unit teknis dibawah Dinas Kesehatan”(K)

“kewenangan satker BLU, maka memiliki kewenangan untuk menjalin kerjasama dengan fasilitas lain (BPJS)” (K)

“Dan utuk puskesmas yang belum BLUD maka MoU dengan BPJS

dilakukan dengan Dinas kesehatan” (K)

“Akan tetapi MoU BPJS-Puskesmas tidak seharusnya mengurangi pengawasan dari Dinas Kesehatan, karena pengelolaan dana adalah menjadi tanggung jawab kepala BLUD, pengawasan pengelolaan pembiayaan secara internal harusnya dilakukan oleh Dinas kesehatan, dan eksternal oleh BPKP” (K)

Page 129: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

108

Universitas Indonesia

C Konsistensi

Pada aspek konsistensi, yang diukur adalah apakah terjadi kesamaan

informasi yang diterima dari penentu kebijakan kepada pelaksana kebijakan dan

kelompok sasaran dalam implementasi kebijakan. Aspek konsistensi yang ingin

diketahui dari penelitian ini adalah apakah Petunjuk teknis Pelaksanaan

Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan pada FKTP telah

menjadi salah satu pedoman Pelaksanaan Pembayaran Kapitasi di Puskesmas,

apakah kebijakan konsisten dengan kebijakan lain yang ditetapkan penentu

kebijakan dan apakah terdapat kesamaan pemahaman tentang mekanisme

pelaporan indikator KBK, mekanisme pencairan dan pemanfaatan dana kapitasi,

mekanisme monitoring dan evaluasi antara

penentu kebijakan dengan pelaksana dan sasaran kebijakan. Hal tersebut

sebagaimana diuraikan dalam kutipan hasil wawancara berikut:

“Kalau di barat ini (red. Jakarta Barat), gimana ya, komunikasi dan koordinasinya OK, walaupun peraturan mau dirubah bagaimanapun, mereka (red. Puskesmas) ya ikut-ikut ajha gitu..”(SD1)

“Sebenernya sih positif dalam artian baik untuk pelayanan dalam

artian KBK kan yang datang ke Puskesmas bukan hanya orang yang sakit, orang sehatpun boleh berobat atau datang ke puskesmas untuk konsultasi, jadi masyarakat yang hadir bukan hanya masyarakat yang sakit saja, tapi masyarakt yang sehat yang ingin konsultasi bisa sehingga meningkatkan penilaian untuk meningkatkan jumlah kapitasi yang diterima Puskesmas, semakin sedikit angka kunjungan yang dicapai semakin sedikit kapitasi yang akan diterima oleh Puskesmas, itukan bisa memacu puskesmas untuk terus melakukan yang namanya promotive preventif hal itu hal positif yang didapatkan dalam artian, Puskesmas tidak hanya melayani UKP saja, diapun harus memikirkan UKM nya biar jumlah kesakitan di wilayahnya juga akan menurun, salah satunya dengan KBK ini, seperti amanah Permenkes 75 bahwa Puskesmas itu 30% UKP, 70% UKM mudah-mudahan dengan cara seperti ini bisa memicu tingkat dari UKM itu lebih tinggi lagi kedepannya seperti itu yang diharapkan, itu diharapkan kunjungan orang sakitnya akan turun dengan sendirnya, itu positifnya..”(DP3)

Disposisi

Aspek disposisi pada penelitian ini melingkupi bagaimana sikap pelaksana

kebijakan serta insentif bagi implementor yang melaksanakan kebijakan dalam

Page 130: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

109

Universitas Indonesia

rangka Pelaksanaan KBK. Berikut hasil wawancara mendalam terkait aspek

disposisi diuraikan sebagai berikut:

A Sikap pelaksana

Pada aspek sikap pelaksana, yang diukur adalah bagaimana sikap atau

kecenderungan sikap pelaksana yang ada di tingkat Puskesmas. Apakah para

pelaksana memiliki sikap menerima dan melakukan usaha lebih untuk pencapaian

indikator KBK, acuh tak acuh atau menolak kebijakan. Berdasarkan pengambilan

data melalui WM didapatkan sikap pelaksana yang cukup mendukung pelaksanaan

KBK, dan ada beberapa potensi fraud dalam upaya pencapaian indikator KBK yang

dilakukan, demi tidak dipotongnya kapitasi yang diterima oleh Puskesmas, karena

seandainya kapitasi yang diterima adalah 1M, maka pemotongan 8% adalah 80 juta,

jumlah itu cukup besar yang bisa dimanfaatkan untuk operasional puskesmas

BLUD. Indikasi – indikasi ini terlihat di beberapa Puskesmas yang pencapaiannya

melonjak terlampau tinggi seperti dari pencapaian angka kontak 60 permil ke 300

pemil dalam waktu kurang dari 2 tahun dengan standar sumber daya yang tidak

terlalu banyak perubahan, dan untuk penurunan RRNS yang turun secara curam.

“Promkes kita, kita kan ada kesling ….dan untuk rujukan kita kasih motovasi termasuk promkes, bahwa yang merupakan indikasi rujukan seperti ini, jadi pasien bisa menerima motivasi yang kita berikan, makanya bisa menurunkan angka rujukannya, disini atau di luar gedung, karena tiap pagi kami melakukan promkes disini, sebelum pelayanan, ke pasien disini. Jadi tiap pagi, pasien sudah kumpul dokter melakukan promkes disini, penyuluhan di dalam gedung, untuk di luar gedung petgas kesling dan KPLDH” (P1)

“Kalau indikasi fraud itu, tergantung… Kl indikasi fraud itu, dia

sendiri FKTP pasti ga mau kapitasi itu dipotong, kl capaian indikatornya bermasalah kan otomatis dipotong, jadi mau ga mau mereka harus mencari berbagai cara agar kapitasi nya ga dipotong, cara agar kapitasinya aman, bisa-bisa aja kalau terjadi hal seperti itu… karena pelayanan di tiap-tiap puskesmas kan beda, ada yang memang dia kerjakan seperti itu, ada juga yang mungkin ah daripada kapitasi saya dipotong saya mendingan buat ini atau buat itu…”(P2)

Indikasi fraud juga didapatkan bahwa memungkinkan bagi Puskesmas

untuk melakukan entry nomor kepesertaan BPJS di periode bulan yang berbeda.

“Ngga, kita taunya jumlah data peserta terdaftar ajha …ga bisa by number, itu punya BPJS ajha itu… Kalau ada by number saya enak dong

Page 131: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

110

Universitas Indonesia

tinggal saya fraud ajha, ya dong. Emang sama BPJS diilangin numbernya… kl bisa gitu ga pusing saya ”(P2)

“….ga ada yang ga bisa…. sebenernya data ini by number pernah

saya minta ke BPJS tapi ga dikasih” (P2) “….kalau dulu pas awal pemaiakain p-care ada nomor peserta ya,

untuk mencegah adanya nomor itu di entry maka dihilangkan oleh IT kami, jadi kalau kemungkinan adanya “ditukangi” untuk entry-entry gitu udah ga ada kemungkinan, karena mereka ga punya data nomor, mereka punya data peserta tapi cuma nama dan alamat, jadi kalau mereka punya atau akan melakukan kunjungan sehat atau home visit mereka punya datanya… “(B1)

“…contoh saya ke RT 5 nih, saya dapatnya 500 orang, dan saya

entry 500 orang, nomornya disimpan ….kl ada kemungkinan bisa ajha jadi seperti itu”(P2)

“Dilihat dulu jumlah pesertanya, kalau jumlah peserta kecil ada

kemungkinan pada waktu kunjungan dari puskesmas dan terdapat beberapa orang untuk edukasi dan dirumah aa peserta yang ada kartunya itu bisa dijadikan acuan, mungkin pesertanya kecil”(B2)

“Kalau jumlah pesertanya besar harus ditelusuri apabila ada angka

yang melonjak, jangan jangan dia punya banyak nomor untuk dilakukan entry, belum tahu juga. Belum ada investigasi sampai sana. Biasnaya dari masing-masing cabang melakukan feedback.”(B2)

“kl dibilang semanan tinggi, yak area semanan wilayahnya luas

banget Jakarta barat.. Kan wilayah cengkarengkan yang wilayah kapitasinya paling gede 400ribu jiwa, yang kedua kalideres, dan semanan ada di kalideres ya”(SD1)

Jika melihat statement diatas, beberapa Puskesmas dengan capaian yang

melonjak tinggi dan kepesertaannya besar, terindikasi melakukan fraud, karena

kepesertaan besar secara otomatis denominator sebagai pembagi dari penghitungan

angka kontak besar, dengan demikian dibutuhkan jumlah yang harus besar pula

terkait kontak komunikasi yang dilakukan untuk mendapatkan capaian indikator

angka kontak yang besar, sehingga diperlukan investigasi lanjutan terkait hal

tersebut.

Dan tidak semua pasien dengan penyakit kronis didaftarkan, untuk

meminimalisir denominator, sehingga capaian selalu tercapai.

Page 132: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

111

Universitas Indonesia

“...kl prolanis kan data klub yang ada di FKTP, data klub orang yang terdaftar, dan di kecamatan ajha, kl di kelurahan belum ada ga dihitung. Kita belum bersedia untuk klub prolanis ini, karena tenaga dan tempat belum ada…”(P2)

“Capaian prolanis di puskesmas kecamatan selalu tercapai, karena

peserta prolanis 43, yang selalu datang 28, jadi kan tercapai tuh aman 50%..” (P2)

“nah kalau RNS ini kita juga belum tahu ngolahnya gimana, jadi

yang RNS itu di aplikasi kita asal dia ngisi TACC, dia tidak akan terhitung sebagai RNS, masalahnya mereka ngisinya apa kita nggak tahu, gitu. Valid atau ngganya, kecuali ada feedback dari rumah sakit..”(B1)

“Untuk rujukan non spesialistik, belum ada feedback..”(B1) “Kalau verifikator untuk kevalidan tidak ada, staf UR dan anti fraud

ada, di mbak Putri ini, biasanya mb. Putri ini yang ngebuka ngutak atik data..”(B1)

Dalam upaya pencapaian indikator tersebut ditunjang dengan

dilaksanakannya KPLDH (Ketuk Pintu Layani Dengan Hati), yang mempunyai tim

khusus yang terdiri dari 3 orang tenaga kesehatan dokter, perawat, dan bidan yang

secara regular mendata dan melakukan home visit di wilayah kerja Puskesmas. Hal

tersebut menambah peningkatan indikator angka kontak.

“…kita ada juga KPLDH sekarang, jadi untuk preventif, kl ke lapangan lebih intens.”(P1)

“Yah kita salah satu prosesnya untuk mencapai itu adalah dengan

KPLDH (red. Ketuk Pintu Layani Dengan Hati), itu kita datang kerumahnya, kita interaksi dengan keluarganya, cari data, jadi hal tersebut dicatat sebagai kontak sehat kan..”(DP3)

Dari sisi positif upaya lebih untuk penggiatan promotive dan preventif untuk

meningkatkan capaian kunjungan sehat yang meningkatkan indikator angka kontak,

dengan upaya signifikan ini, diharapkan kunjungan sehat akan semakin naik, dan

kunjungan sakit berkurang, dan secara otomatis akan mengurangi jumlah rujukan

ke RS, dan bisa mengurangi biaya pengobatan, klaim RS yang berdampak pada

efisiensi biaya, didapatkan bahwa sikap dan komitmen pelaksana kebijakan sudah

cukup baik terhadap upaya pencapaian indikator KBK.

Page 133: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

112

Universitas Indonesia

“Bisa turun kualitasnya karena mereka (red. Puskesmas di luar DKI) cenderung ke UKP nya mungkin, UKM ga jalan mungkin karena tenaga juga kan, kalau kita kan khusus full team untuk UKM nya, maka angka kontak sehatnya tinggi capaian angka kontaknya juga tinggi”(DP3)

Namun menurut BPJS dirasa pelaksanaan di Puskesmas adalah lebih baik

dibanding pelaksanaan di FKTP swasta, Klinik, dan DPP

“kalau dibedah puskesmas lebih besar daripada klinik pratama karena puskesmas lebih terencana dan terbiasa promotif preventif. Kl klinik kan udah kebiasa UKP perorangan..”(P2)

B Nilai Kapitasi

Pada aspek insentif bagi pelaksana kebijakan, yang dinilai disini adalah

bagaimana mekanisme pemanfaatan dana kapitasi untuk pembagian jasa pelayanan,

sehingga memperkuat upaya pencapaian 3 indikator komitmen pelayanan.

Berdasarkan pengambilan data melalui WM ada perbedaan pemanfaatan kapitasi

untuk jasa pelayanan. Untuk awalnya kita mencari tahu seperti apa mekanisme

pencairan dana kapitasi sampai ke puskesmas kelurahan.

“Ooo kita tidak tahu, kalau kelurahan tidak tahu mekanisme turunnya, itu wewenang dari puskes kecamatan cengkareng, dan disitu ada khusus untuk BPJS nya, kl di puskes kel tidak tahu..”(P1)

“Pencairan kapitasi tiap bulan… Penilaianya itu 3 bulan sekali,

tapi per bulannya tetap dihitung”(P2) “Mekanismenya kita sudah masukkan laporan, dan sudah dicek

oleh keuangan, pencairan BPJS ke BLUD di kecamatan, untuk kelurahan pintu masuknya 1 tetep di kecamatan… puskesmas kelurahan hanya pelaksana saja” (P2)

Mekanisme pemanfaatan dana kapitasi di DKI berdasarkan pada Peraturan

Gubernur 150 tahun 2016 tentang Pedoman Teknis Penilaian Usulan Penerapan

Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, dana kapitasi yang

masuk di Puskesmas masuk di rekening BLUD Puskesmas Kecamatan dan menjadi

kewenangan Puskesmas untuk pengelolaannya sesuai dengan prinsip-prinsip yang

ada di pedoman.

Agak berbeda dari Puskesmas yang belum BLUD yang mendasarkan

pemanfaatan pada Permenkes No. 21 Tahun 2016 tentang Penggunaan Dana

Page 134: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

113

Universitas Indonesia

Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional untuk Jasa Pelayanan dibanding operasional

dengan proporsi 60 : 40, pemanfaatan pada Puskesmas dengan BLUD lebih

fleksibel dan berbeda-beda di beberapa wilayah disesuaikan dengan keadaan

masing-masing Puskesmas. Hal tersebut sebagaimana diuraikan dalam kutipan

hasil wawancara berikut:

“Mereka kan sudah BLUD, dana turun langsung ke Puskesmas, mereka yang ngatur sendiri…”(DP4)

“Intinya adalah BLUD penggunaan kapitasi digunakan untuk

pembiayaan BLUD terbagi menjadi 3: belanja pegawai, barang dan jasa, dan belanja modal biasanya digunakan untuk itu. Dari belanja pegawai ini digunakan untuk membiayai gaji dan TKD untuk no PNS mereka. Karena di kita pegawainya itukan karena moretarium itu jumlah PNS lebh kecil dibanding jumlah pelayanan untuk ke masyarakat, jadi di rekrutlah non PNS nya, itu sebagian dgunakan untuk kapitasi digunakan untuk biaya-biaya non PNS dokter dan perawat-perawatnya… Dan belanja barang itu biasanya digunakan untuk bahan obat-obatan, bahan lab, belanja pelayanan. Cuman saya gat ahu pasti, masing-masing punya spesifikasi tersendiri, di setiap puskemas beda, karena mereka masng-masing beda, setiap puskesmas punya kriteria spesialisai, jadi ga bisa sama..”(SD3)

Terkait pemanfaatan dana kapitasi, ada beberapa perbedaan di DKI Jakarta

dengan daerah lain di luar DKI karena adanya perbedaan nomenklatur pada

Puskesmas kelurahan, dimana secara registrasi mereka mendapatkan nomor

tersendiri yang tercantum di pusdatin, sehingga seharusnya mempunyai standar

sebagai puskesmas pada umumnya, akan tetapi dalam pengelolaan dana kapitasi

mereka menginduk pada puskesmas kecamatan, walaupun secara penghitungan

mereka secara utuh telah mempunyai kepesertaan dan kapitasi secara utuh. Dan ada

beberapa opini terkait ada kendala dalam pemanfaatan kapitasi yang seharusnya

mereka dapatkan.

masih juga banyak temen-temen yang mengeluh ke saya “Pak itu puskesmas kelurahan kita udah usulin pak (SD2)

“Puskesmas kelurahan jadi mereka tergantung, puskesmas missal

kelurahan ada kebutuhan, mengajukan ke kecamatan, nanti akan di sortir lagi sama mereka perlu ga, gitu lho dana cukup atau tidak , jika sudah acc diinput melalui proses penganggraan, di kami ada e budgetingnya mbak, nah setelah selesai prosesnya di proses di DPRD dan sebagaianya sudah ketok palu nah proses tuh melaksanakan kegiatan..”(SD3)

Page 135: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

114

Universitas Indonesia

“Katanya ngambil duit di BLUD itu susah, kan mereka ada rekening BLUD, kita transfernya, katanya untuk ngambil masuk rekening BLUD itu harus pengajuan dan anggaran operasional yang keluar di Puskesmas itu udah anggaran tahun sebelumnya, mereka udah minta tuh, anggaran untuk tahun depan minta segini” (B1)

“Langsung ke BLUD masing-masing gitu Cuma katanya untuk

dapet BLUD, kan kelurahan itupun rekeningnya jadi satu di BLUD Kecamatan, BLUD Puskesmas Kecamatan Koja misalnya, jadi ga turun ke kelurahan masing-masing, tapi di Puskesmas Kecamatan itu katanya harus pengajuan, katanya yang bikin susah yaitu harus pengajuan dan lama katanya” (B1)

Iya emang?, karena harus ada dana cadangan juga, kl cadangan

habis operasional pakai apa kl semua permintaan kita penuhi, gitu ajha sih sebenernya, kaya gini, seperti ini pelaporannya untuk alokasinya. Jaspel per operasional (jaspel 45%, obat bhp alkes 30%), sisanya untuk cadangan (P2)

Kalau itu kebijakan pimpinan, karena mereka tidak hanya harus berfikir oh ini harus dipenuhi, tidak bisa seperti itu, kita kan juga mempertimbangkan kebutuhan kebutuhan lainnya, karena mungkin ada yang lebih banyak jadi ada beberapa pertimbangan, jadi verifikasinya tetep puskesmas kecamatan (P2)

Kl di PKS 2018 ada tuh dimasukin apa sih pejabat kas BPJS, jadi

kaya pencatatan penerimaan kapitasinya itu berapa. Kurang tahu untuk operasional puskes atau apa Cuma itu ngomongnya untuk keluarin uang dari BLUD itu susah katanya, jadi katanya tiap bulan pun katanya, kalau kita bilang uangnya kan banyak, mbak kita tahunya itu angkanya doang, print-printannya gitu ngelihat duitnya ga (B1)

nah itu dia, saya juga jadi pertanyaan uangnya kapitasi itu kenapa,

soalnya mereka kan juga gede dari apa PBI APBD kan, apalagi DKI mau universal health coveragenya gubernur tuh, jadi di DKI ga bayar 3 bulan ajha langsung jadi peserta PBI/APBD, langsung ditanggung sama pemerintah daerah (B1)

ada beberapa kendala dalam pemanfaatan dana kapitasi, namun kendala

disini tidak sampai menimbulkan impak, penumpukan dana kapitasi seperti terjadi

di wilayah-wilayah lain, hal tersebut sesuai dengan wawancara berikut:

“Oo tidak terserap ya, kl di DKi kita monitoring kita punya targrt apa yang direncanakan, itu yan harus dikerjakan oleh puskesmas kecamatan, jadi mereka ada target, kalaupun membuat perencanaan belanja barang, mereka memprediksi ada jadwalnya ada petugas pejabat

Page 136: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

115

Universitas Indonesia

pengadaannya, mereka juga harus koordinasi, kalau tidak terserap pun ya biasanya disebabkan kendala-kendala dari luar misalkan contoh 1 menganggarkan untuk belanja pegawai yang non PNS, dianggarkan 20 orang, pada pelaksanaannya ternyaat pegawai yang direkrut itu tidak sampai 20 misalnya baru tersedia 15 orang, berarti 5 orang ini tidak tersrap kan mbak, itu salah satu contohnya biasanya dari luar. Alaupun dari dalam ada biasanya ya terlalu proses di internal mereka hanya terjadi pergeseran pelaksanaan, istilahnya mundur, mundur bisa jadi barang yang mau debeli tidak tersedia di e catalog, nah itu bisa jadi memang tidak terserapnya, biasanya barang yang di e catalog belum dimasukkan jadi belum bisa beli barang. Atau juga gini, mereka beli barang tetapi pihak ketiganya ga nagih-nagih, ada juga kendala seperti itu di kami kendala nya seperti itu” (SD3)

Untuk mekanisme monitoring dan evaluasi pemanfaatan dana kapitasi,

birokrasi pertanggung jawaban adalah ke bidang Perencanaan dan Pembiayaan

Dinas Kesehatan Provinsi DKI hanya berbentuk gelondongan dan tidak secara rinci

dan dilanjutkan ke Badan Pengelolaan Keuangan Daerah, mekanisme

pertanggungjawaban BLUD akan lebih fleksibel tergantung kondisi masing-masing

Puskesmas, belum adanya monitoring dan evaluasi yang lebih rinci peran dari

Sudinkes, dan dari BPJS tidak ada sama sekali, karena BPJS hanya menjalankan

peran memberikan kucuran dana kapitasi ke Puskesmas, dan mekanisme

pemanfaatan dan pertanggungjawaban sudah tidak ada peran di dalamnya.

“Kalau ke renbia dari sisi monitoring evaluasi saja, tapi yang dia laporkan itu ya hanya gelondongan tidak harus apa yang mereka gunakan… misalnya target per tri wulan penyerapan berapa, cuma itu. Tapi rincian apa yang mereka lakukan tidak dilaporkan…”(DP4)

“Karena kan di Pergub 278 tahun 2016 tentang Struktur Organisasi

dia langsung mempertanggunjawabkannya adalah SKP di Dinas Kesehatan. Fungsi kita hanya binwasdal aja, kadang untuk laporan keuangan” (SD2)

“Iya renbia bener, dinas kesehatan terus melaporkannya juga ke

tingkat provinsi BPKD tadi (Badan Pengelola Keuangan Daerah) karena dia kan di bawah pembinaan BLUD itu kan adanya di BPKD” (SD2)

Banyak kapitasinya itu, makanya guyonan aja nih “Masak beli

bangku sampai 6 juta 7 juta, ya kan aneh (SD2) Bisa karena kan sekarang sudah masuk di sistim computer, ada e-

asset itu kan (SD2)

Page 137: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

116

Universitas Indonesia

“Misalkan gini dari temuan-temuan dari awal misalnya dari

ekspektorat ya, ekspektorat nanti turun ke puskesmas tentang pemeriksaan asset. Ada barang yang nilainya itu signifikan banget nah itu yang bertanggung jawab kepala puskesmas karena kepala puskesmas merangkap bukan hanya sebagai kepala puskesmas tenaga kesehatan atau administrasi, dia juga bertanggung jawab tentang pengelolaan assetnya. Asset yang ada di puskesmas itu ya tanggung jawab semua. Jadi gitu harus diganti ya nantinya dia ganti bisa saja waktu pemeriksaan “Saya sanggung melalui dicicil gitu”(SD2)

Misalkan gini dari temuan-temuan dari awal misalnya dari

ekspektorat ya, ekspektorat nanti turun ke puskesmas tentang pemeriksaan asset. Ada barang yang nilainya itu signifikan banget nah itu yang bertanggung jawab kepala puskesmas karena kepala puskesmas merangkap bukan hanya sebagai kepala puskesmas tenaga kesehatan atau administrasi, dia juga bertanggung jawab tentang pengelolaan assetnya. Asset yang ada di puskesmas itu ya tanggung jawab semua. Jadi gitu harus diganti ya nantinya dia ganti bisa saja waktu pemeriksaan “Saya sanggung melalui dicicil gitu”(SD2)

“Tidak ada koreksi, audit keganjilan kan ada SK tim fraud, ada

TKMKB dari Sudinkes, dengan seksi2, IDI, IAI, IBI, PPNI, Asklin, kl mereka praktik mencurigai ada fraud biasanya…, SK untuk puskes dan RS…. Temuan ada jarang sih, lebih ke RS, klinik, Puskesmas jarang…”(SD1)

“jadi selama ini dari BPJS sebatas ini dana kapitasi diserahkan ke Puskesmas tanpa ada audit gimana pemanfaatan dana kapitasi di Puskesmas bukan dari BPJS..”(B1)

Kita melakukan monev, dari sudin melakukan monitoring dari dinas

monitoring terkait pemanfaatan kapitasi juga, semua anggarn kita monev, tapi kita tidak berhak mengatur-ngatur, pelaksannaan, sudah berdiri sendiri kita hanya meminta laporan, pelaksanaannya sudah seperti apa, sudah berjalan sesuai tanggalnya, tepat waktu apa tidak”(SD3)

“Kalau monitoring masalah kapitasi BPJS tidak bisa, karena itu

merupakan pembayaran yang dilakukan, monitoring kapitasinya ya dari KBK itu ajha yang per bulan, dia sudah pure memberikan, ya sudah pengelolaannya seperti apa”(P2)

Sumber Daya

Aspek sumber daya pada penelitian ini melingkupi bagaimana ketersediaan

sumber daya yang tersedia, meliputi sumber daya manusia, dana dan fasilitas dalam

Page 138: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

117

Universitas Indonesia

hal implementasi KBK. Berikut hasil pengumpulan data tentang aspek sumber daya

diuraikan sebagai berikut:

A SDM

Aspek SDM pada penelitian ini berdasarkan kuantitas dan kualitas SDM,

karena implementasi kebijakan tidak akan berhasil tanpa adanya dukungan dari

sumber daya manusia yang cukup kuantitas dan kualitasnya. Kuantitas berkaitan

dengan jumlah sumber daya manusia apakah sudah cukup untuk melingkupi

seluruh kelompok sasaran, sedangkan kualitas sumber daya manusia berkaitan

dengan keterampilan dan kompetensi di bidangnya

“Puskesmas mau menjalankan itu tapi masih belum punya tempat, tenaga medis belum mencukupi..”(P2)

“SDM yang emang kurang, SDM kita kan, duit puskesmas itu,

perekrutan itu tidak bisa dilakukan puskesmas sekarang (red. puskesmas kecamatan), kl dulukan boleh kurang ini bisa, kl sekarang regulasi ada di dinas kesehatan provinsi, jadi kita ga bisa sesuka hati rekrut rekrut pegawai, meski sebenernya duit kita ada. Sejak tahun lalu 2016 akhir sudah di dinkes. Dulu bisa….”(SD1)

“BPJS juga bilang kapan nih dokter di cengkareng ditambah,

karena cengkareng kan banyak banget kepesertaannya, mereka 400.000 dibagi 5000 sehingga harusnya ditambah dokter sekian, mereka adanya Cuma sekian. Kl cengkareng bukan kita gam au nambah dokter, bukan, Cuma kasih dong kita tambahin dokter kesini, Cuma mereka kan ga bisa merekrut. Itu satu. Dua cengkarengkan wilayahnya luas, ada dokter 6 kabur, ga betah, ya kita kan dokter kadang pasionnya ini kl kaya saya diluar gedung OK, kl orang yg ga terbiasa ya sebulan orang ikut di tim KPLDH itu yang harus rumah ke rumah, cengkareng itu wilayahnya luas banget sampai ke bandara perbatasan bandara masih cengkareng, kalau pasionnya ga kesitu ya keluar, gitu, ya itu juga jadi kendala di cengkareng, dapet dokter banyak, eh sebulan kurang satu, kurang… satu mungkin karena statusnya kontrak atau mau melanjutkan sekolah lagi, itu..”(SD1

“se DLP apapun, dokter ga mungkin sanggup menangani contact

rate jika peserta melebihi standar yang memungkinkan visible untuk dilakukan pelayanan”

B Fasilitas

Fasilitas atau sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang

berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Pengadaan fasilitas yang layak, seperti

gedung, tanah dan peralatan perkantoran akan menunjang dalam keberhasilan

Page 139: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

118

Universitas Indonesia

implementasi suatu kebijakan. Aspek sumber daya fasilitas pada penelitian ini

meliputi fasilitas kesehatan. Informan Dinas Kesehatan menunjukkan bahwa sarana

kesehatan di meliputi sarana puskesmas, rumah sakit, klinik dan beberapa sarana

pelayanan kesehatan lainnya merupakan salah satu elemen penting untuk

mendukung implementasi KBK. Hal tersebut sebagaimana diuraikan dalam kutipan

hasil wawancara berikut:

“Sarpras udah cukup sih, internet computer cukup sih…”(SD1)

Terkait ketersediaan laboratorium, masih kurang untuk ketersediaan di

Puskesmas Kelurahan, akan tetapi hal tersebut tidak akan mempetinggi rujukan,

karena pasien akan dirujuk di Puskesmas Kecamatan, dan hal itu hanya akan

dihitung sebagai rujukan internal

“Itu kalau kelurahan ke kecamatan, namanya rujukan internal, masih satu gedung, yang dilaporkan di p care sebagai RRNS adalah rujukan eksternal, yang internal ga dimasukkan, misalnya ke poli gigi, Karena curiga gula maka dirujuk ke saya itu internal, ga dimasukin rujukin, kaya kel ke kec masuk rujukan internal, yang dimasukkan sebagai RRNS baru rujukan dari puskesmas kecamatan ke RS, atau dari kelurahan langsung ke RS, iya saya input..” (P1)

Jadi penelusuran pasien yang dirujuk dari kel ke kecamatan terus dirujuk ke

RS, itu yang entry RRNS siapa?, atau yang punya peserta?

“Oo kl itu puskes kecamatan yang statusnya ngerujuk, karena saya

merujuk ke puskes kecamatan ga ikut entru RRNS. Saya yang ngerujuk langsung RS baru saya entri, nah gitu lho mbak. Jadi saya input ke BPJS hanya jika saya langsung rujuk ke RS, dan yang saya obati biasa...(P1)

Kl dari kec, kan pesertanya puskes kelurahan

Ga masalah, karena misalnya ke poli mata, poli matanya adanya di kecamatan, rujukan internal saja kita (P1)

Terkait operasional puskesmas tidak lepas dari sumber daya obat-obatan

yang harus dipenuhi sehubungan dengan pelayanan di Puskesmas, adapun terkait

obat-obatan essensial hampir 90% puskesmas telah memenuhi, dan tidak ada

kendala. Di era JKN dengan adanya pembayaran kapitasi dirasa lebih

menguntungkan, dan operasional kecukupan obat-obatan relative lebih stabil

Page 140: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

119

Universitas Indonesia

dibanding era sebelum JKN, beberapa bisa dijelaskan dengan wawancara sebagai

berikut:

“Rata-rata untuk pembelian obat sudah BLU termasuk ini untuk pembelian, (kapitasi), kebanyakan sumbernya dari kapitasi, tapi ada juga yang tidak kapitasi missal pasien yang tidak punya BPJS, atau layanan diluar BPJS ya, adalah 1 atau 2.. “(DP1)

“Nah selama ini kl dibilang cukup ga sih, cukup sih, kan

pertanyaannya cukup atau ga, maunya sampai seberapa, obat essensial kapan itu ya udah sampai 98% atau 96%”(DP1)

“...memang ada kekosongan obat di tahun 2016..”(DP1) “..di kita sih tidak pernah kekurangan obat, kecuali pernah tahun

ini ada obat yang e catalognya yang kosong gitu ya, itu baru ga ada..”(DP1a)

“Ya sekarang mah pas sudah ada BLUD BLUD kaya gini, jarang

menipis, nah kl pas kosong, nunggu belum dikirim sama penyesianya, biasanya kita juga nyari alternative lain kalau di satu tempat kosong kita nanya-nanya dimana ada penyedianya..”(DP1b)

“…jadi relative tidak ada kekurangan obat sih, karena Puskesmas

sekarang duitnya banya banget, ini masing-masing Puskesmas duitnya milyaran, rata-rata obat di Puskesmas, 2-4 milyar, masalahnya kira-kira ada di supplay nasional, pernah ada kasus tahun 2016 2017, ini nih kasus secara nasional bukan melulu di DKI ajha…”(DP1)

Dan untuk kecukupan obat-obatan di puskesmas kelurahan, masih kurang

dibanding di kecamatan meskipun puskesmas kelurahan seharusnya sudah harus

utuh menjadi utuh sebuah Puskesmas sesuai nomenklatur registrasi yang ada di

Pusdatin Kemenkes.

“Ndak, ndak sesuai, karena mereka kasusnya berbeda, kita akan melihat kebutuhan di masing-masing Puskesmas, karena layanan di Puskesmas Kecamatan kan lebih lengkap ya, ada layanan dokter jiwa, ada doter penyakit dalan, ada dokter paru, kalau puskesmas kelurahan an nggak, kl kelurahan itu basic banget dokter umum , dokter gigi, jadi obat-obat di Puskesmas Kecamatan dan Kelurahan ga mungkin sama lah, ya ga..”(DP1)

Untuk mekanisme pengadaan obat-obatan adalah di level kecamatan, belum

dilakukan di masing-masing puskesmas kelurahan.

Page 141: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

120

Universitas Indonesia

“…pembelian juga di level Kecamatan, uang ada di Puskes Kecamatan, Kapitasi ada di Kecamatan, jadi dia memalui aturan-aturan pemerintah, jumlah segini sudah harus memalui proses lelang, kita harus lewat e catalog, lelang, dan lain-lain. Jadi ini petugas pejabat pengadaan adanya di level kecamatan, jadi di Puskesmas kelurahan rata-rata isinya adalah dokter, dokter gigi, perawat, bidan sama administrasi, ga terlalu banyak ini rata-rata ya, sama asisten apoteker, atau apoteker, ini rata-rata berapa orang ya ga terlalu banyak..”(DP1)

“…pengadaan hanya bisa dilakukan di Puskesmas kecamatan,

endingnya obat-obatan akan didistribusikan ke Puskesmas kelurahan, jadi ini memang sebagai induk…”(DP1)

Untuk mekanisme rujuk-rujuk balik pasien di puskesmas, beberapa

puskesmas telah menjalankan untuk menyiasati ketidakadaan obat-abatan, pasien

bisa dirujuk ke apotik yang merupakan jejaring BPJS untuk bisa mendapatkan obat-

obatan.

“…kalau ketidakadaan obat itu, sebenernya rujuk balik itu kan pasien mengambil obat bukan ke Puskesmas tapi ke Apotik ya, apotik jejaringkan, rata-rata sih apotiknya yang ga nyediain..”(DP1)

..”jadi pasien kronis yang sudah dapat rekomendasi dari dokter

spesialisnya, nanti mereka akan lapor kepada BPJS center nya untuk obat-obat rujuk baliknya bisa di dapat di FKTP dimana dia dirujuk, nanti bulan berikutnya tinggal control ke puskesmas atau bisa ambil dari apotik yang kerjasama PRB gitu”(B1)

“..masalahnya itu obat-obat PRB sering kosong”(B1)

Untuk pemberian obat prolanis ada kendala di beberapa puskesmas belum

diberikan secara penuh, seperti halnya pasien mendapatkan di Rumah Sakit,

sehingga pasien harus beberapa kali datang ke Puskesmas untuk mendapatkan obat

tersebut.

“Ooo batasan obat, kl dulu sih pernah, minimal kan 3 hari dok, tetapi waktu itu persediaan obat di tempat kita lagi menipis, kl persediaan obat cukup, ya terserah dokternya, mau ngasih berapa hari..”(DP1b)

“Itu juga masih dibicarakan juga sih bu X, kalau yang saya tahu

obat kronis itu 10 hari, cuman ada wacana mau dikasih 1 bulan, kurang tahu itu apakah dari BPJS dibolehkan sebulan itu yang belum tahu sih bu X..”(DP1c)

Page 142: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

121

Universitas Indonesia

“Iya sekarang 10 hari 10 hari karena ada wacana juga dari dokter untuk mengurangi jumlah pasien yang kronik kronik mau dikasih sebulan, kemarin sempet ditanyakan juga soalnya rencana terkait RKO..”(DP1c)

“Selama ini sih biasanya pasiennya kembali lagi kerumah sakit, ada

Puskesmas, ga semua Puskesmas mau ngasih obat-obat kronis, jarang sih peserta bilang sudah di back up sama Puskesmas, rata-rata pada balik lagi ke rumah sakit, gitu. Kaya waktu dulu belum ada metformin700 ya, akhirnya pasien balik lagi ke rumah sakit, padahal kan sebenarnya obat itu ada di Puskesmas, tapi ternyata riil di lapangan tidak dikasih”(B1)

“untuk yang sudah kerjasama 723 1 bulan, untuk yang belum

kerjasama 723 ya seminggu sekali”

Ternyata mekanisme ini adalah kebijakan masing-masing Puskesmas untuk

beberapa alasan kontroling dan evaluasi, dan pemerataan untuk peserta lain yang

membutuhkan obat tersebut, dan ketersediaan jika ada kendala kekosongan obat

dsb, sehingga perlu adanya sosialisasi yang lebih agar tidak terjadi kesalahpahaman

antara puskesmas dengan peserta JKN.

“Buku panduan kaya gitu kita tergantung kebijakan masing-masing SKPD UKPD, kalau buku panduan sih setau saya ga ada, jadi antibiotic kl parah 5 hari, kl ringan 3 hari gitu ajha ya”(DP1b)

“Kalau saya pas di Puskes, biasanya sama dokternya tuh kita bikin

kesepakatan, kita temple dimana-mana, di poli-poli, antibiotic chlorampenikol nih , dosisnya berapa cara pemberiannya gmn?, saya dulu gitu. Kalau dokternya ga nulis berapa kita pakai itu, kl nulis jumlahnya berapa gitu, ya udah kita konfirmasi ke dokternya ada masalah apa nih, sampai segini banyak. Berarti keep comunicate gitu ajha ya..”(DP1b)

“Ga ada dasarnya sih bu wahyu, harus cek peraturan dari BPJS sih

bu X”(DP1c) “Mereka ada peraturan sendiri kayanya, kan kita pernah tuh di

forum dg Puskesmas kita tanya kenapa kog dikasih hanya 10 hari, itu katanya udah aturan kl non kronis dikasih obatnya 3 hari, kalau kronis 10 hari. Ga nanya juga sih waktu itu aturan dari mana kebijakan itu, gat ahu tuh itu aturan kemenkes atau dinkes ga paham ya, Cuma aturannya mereka bilang kronis 10 dan non kronis 3 hari, jadi kl perlu obat 1 bulan mereka harus kembali setelah 10 hari, dang a semua obatnya pasti ada seperti metformin, simfastatin ada di Puskes, Cuma rata-rata kan ga ada untuk yang 9 diagnosis itu”(B1)

“Kalau di daftar obatnya mereka (Puskesmas) harusnya ada,

cuman tidak dikasih, mungkin persepsinya orang Puskes dikasih obatnya 1

Page 143: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

122

Universitas Indonesia

bulan, sedangkan Puskesmasnya kan tidak bisa ngasih obat itu 1 bulan, obat mereka maksimal 10 hari kan untuk penyakit kronis, akhirnya balik lagi ke Rumah Sakit”(B1)

Ngga, aturan BPJS belum tahu, pas disini kita 10 hari 10 hari gitu

kita sendiri yang nentukan 10 harinya gitu”(DP1d) Kalau di Tebet, sebenernya tidak tertuang dalam SOP cuman

kesepakatan kita dengan para dokter, kalau misalnya pasiennya ga ada masalah apapun, kita kasih per 10 hari, kadang 15 hari, nah tapi ada pasien pasien yang kita ijinkan diresepkan 30 hari itu dengan catatan kondisi khusus, jadi missal orangnya miskiiin banget ga punya ongkos untuk ke rumah sakit, rumahnya jauh gitukan, itu kita sepakat sama dokter boleh 30 hari, tapi ga banyak lah, rata-rata sih 10 sampai 15 hari”(DP1e)

Dan ketika ditanyakan alasan mengapa hanya diberikan 10 hari,

beberapa jawaban dari Puskesmas: “Kenapa ga 30 hari, karena dikhawatirkan pasien ga minum obat

itu, karena kalau 30 hari bu kadang pasien DM, kolesterol, tensi tinggi juga, begitu minum obat banyak langsung breg gitu kan, ketaatan pasien minum obat menurun, dan juga terkait stok obat kita bu karena pengadaan di e ctalog itu kadang-kadang sulit diprediksi, jadi istilahnya biar merata lah, yang dapet merata, jadi pasien karena tidak ada masalah keuangan jadi kita kasin 10 sampai 15 hari ajha, takutnya kl 30 hari pasien ABC dapet, pasien DEF ga dapet gitu kan”(DP1e)

“sekali dua kali dalam setahun pasti adalah misalnya karena

barang belum datang” (DP1e) “dan tadi lebih kea rah kepatuhan pasien sih, kadang pasien kl

dikasi se abreg banyak malah ga diminum, dan kadang ada pasien pasien yang beli sendiri di apotik, misalnya ke apotik suka beli ambroxidil sendiri, …. Sendiri jadi kita ga ngasih penuh juga” (DP1e)

“Kalau permasalahan biasanya di pengadaan nya, bukan di ga

punya duitnya, sometimes kita pesen pake e catalog, di sistem di e catalog kan siapa yang dapet duluan dapet giliran duluan, misalnya ada 100 puskes siapa yang duluan, tarohlah ada 30 outlet yang beli ya, misalnya di pabrik ada 300.000 tablet misalnya ini hanya untuk 20 outlet, ya yang 10 nanti dulu, meski agak terlambat, itu yang membuat kita kadang-kadang tidak bisa prediksi nih, khawatir ajha, tapi jarang banget, tadi dibilang jarang banget kosong setahun 1 atau 2 kali kan”(DP1)

Page 144: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

123

Universitas Indonesia

Dan sebagai mekanisme monitoring dan evaluasi dari dinas kesehatan

provinsi menerima laporan rutin dari Sudinkes yang bersumber daari laporan

Puskesmas di wilayah DKI Jakarta

“…nanti mereka akan melaporkan kecukupan obatnya seperti apa, dan dari kami akan melihat kecukupan dari sisi obat esensial, jadi ini merupakan persyaratan obat yang dipersyaratkan oleh Pak Presiden, bahwa setiap Puskesmas itu harus tersedia obat esensial, pemakaian obat generic digalakkan, kemudian obat rasional, ini yang kita awasi sama mereka biasanya sudah ada laporan-laporan rutin ajha sih..”(DP1)

C Dana

Dalam implementasi kebijakan, anggaran berkaitan dengan kecukupan

modal atau investasi atas suatu program atau kebijakan untuk menjamin

terlaksananya kebijakan, sebab tanpa dukungan anggaran yang memadahi,

kebijakan tidak akan berjalan dengan efektif dalam mencapai tujuan dan sasaran.

Aspek sumber daya dana pada penelitian ini meliputi bagaimana ketersediaan dana

yang dibutuhkan untuk menjamin pencapaian indikator komitmen pelayanan, dan

dana untuk operasional puskesmas.

Adapun dana kapitasi yang turun, adalah langsung masuk di kas penerimaan

BLUD.

dana kapitasi jadi langsung masuk dari kapitasi yang dari BPJS langsung ke rekening mereka, ke rek puskesmas kecamatan”(SD3)

“Di DKI semua sama, kaya gini saya BLUD, kita punya kewenanganan tersendiri mengelola dana, kalau subsidi kita ga punya dana tapi kita dbantu oleh APBD, itu yang membedakan, jadi untuk jaspel itu sudah diatur, ada undang-undangnya, yang apa tuh pengelolaan pergub 126 ada yang baru atau gak ga tahu, sm bendahara, kapitasi bpjs, kl pengelolaannya di bendahara”(P2)

“Untuk pembayaran honor dan tunjangan dan pembelanjaan di luar

APBD, penerimaan dari APBD subsidi ya, suatu saat nanti APBD akan dicabut jika sudah mandiri, jika BLUD sudah memenuhi segala pembelanjaan baik untuk pembayaran nkaryawan yang honor kemudian untuk pembelanjaan obat”(P3)

“Selama ini dari APBD, karena kita penerimaan BLUD kecil, kalau

dari retribusi 2000 kita ga bakalan tertutupi buat obat, dengan adanya kapitasi ini yang pendapatannya sekitar 1, sekian M perbulan, sementara

Page 145: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

124

Universitas Indonesia

ini untuk biaya tenaga honor, oiya kita punya rekening subsidi dan rekening BLUD”(P3)

“…kita disini penerimaan dari APBD diluar kapitasi peserta yang

diluar BPJS yang retribusi 2000 itu dan tambahan jika ada tindakan… Prosentase kepesertaan di luar BPJS kecil… Untuk 2000 itu juga dengan subsidi APBD ya, iya ga bisa 2000 saja. Sekarang ini cukup datang bawa KTP ngecek NIK sudah bisa kita layani, jadi tetep gratis…”(P3)

“Jadi dana ada berapa persen untuk cadangan, tidak terserap

sempurna, kalau BLUD kan berkesinambungan saldo tahunan, saldo akhir tahun adalah dasar saldo awal tahun, beda sama subsidi kita bikin missal 2M, kita pakai ternyata hanya kita pakai 1,7 M, maka 300 kembali lagi ke negara, jadi saldo nol, apakah saldo 0 terserap atau kah kembali ke kasda, jadi saldo harus nol balance, kalau BLUD itu saldo akhir tahun menjadi saldo awal tahun, jadi menjadi asset puskesmas…”(P3)

“Sebenernya dulu ada yang awalnya 60:40. Kl operasional BLUD

adalah pembelanjaan yang tidak termasuk di subsidi misalnya emergency bu, misalnya kita perlu belanja untuk kegiatan akreditasi posnya di BLUD karena kode rekeningnya istilahnya rekening keranjang sampah, yang tidak di plot di APBD bisa diakomodir. Kl BLUD bisa fleksibel, kl jaspel harus 60% ga juga kl dilihat riil laporan yang tadi (45%), dulu begitu sekarang kurang tahu, kalau dilihat dari ini ga 60%, jadi sudah jadi rumah tangga puskesmas untuk pengelolaannya berdasar paying hokum yang ada, pergub 126 kayanya ya, saya juga ga ngikutin..” (P3)

“pembelanjaan kapitasi itu sifatnya umum jadi pokoknya untuk

pembelanjaan, kapitasi termasuk kategori penerimaan pendapatan pasien umum 01, jadi masuk di kode rekening retribusi masuk disitu jadi pengeluaran atau pemakaian uang kapitasi itu adalah yang sudah disepakati 60:40 sekarang yang diutamain adalah untuk pembayaran honor dan tunjangannya, mereka kan juga dapat TKD seperti PNS, kalau PNS TKD nya dari APBD provinsi, kalau gaji kan dari Pusat ya, sisanya baru buat operasionall kurang lebih 40%, pokoknya dipakai pembayaran tenaga honorer plus tunjangannya baru sisanya untuk operasional yang tidak tercover di subsidi, kan di subsidi di tiap pembelanjaan ada rekeningnya bu, kalau di BLUD kode rekeningnya yang saya tahu Cuma satu, makanya dibilang kode rekening keranjang sampah, jadi sisa dari pembelanjaan honor tenaga honorer dan tunjangannya itu untuk operasional yang tidak tercover di subsidi, jadi PNS full dari APBD provinsi untuk tunjangannya, ga ada dari kapitasi sama sekali, jadi penerimaan kapitasi itu untuk pembayaran 2 point itu udah beda-beda tipis karena pembayaran honor dan tunjangan itu sudah 1M lebih, mendekati 1,3 dan kita terima kapitasi kurang lebih angkanya diatas 1 M dikit, iya maksimal banyak terserap di tenaga honor, dank e depan kalau penerimaan sudah maksimal semua masyarakat kl berobat sudah menggunakan kapitasi itu nanti subsidi

Page 146: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

125

Universitas Indonesia

dicabut, kl sudah mapan UHC. Ini sudah mulai mapan bu, dulu awal-awal BLUD itukan istilahnya swadana, 2001 itu istilahnya bukan BLUD ya, itu waktu itu kita anggaran swadana cuman.., waktu itu awal bendaharanya saya, hanya 400-500 juta, subsidinya yang gede, karena kita pembelian obat rata-rata diatas 1 M, hamper semua pembelanjaan itu di subsidi, swadana Cuma untuk yang urgent ajha, sifatnya darurat dan diluar kode rekening yang subsidi…”(P3)

“APBD sama sih, kan pembiayaan tetep harus ada APBD, karena

UKM kan tanggung jawab pemerintah, dalam hal inikan pemerintah daerah, APBD dimanfaatkan untuk penggajian… APBD untuk pelaksanaan program… APBD kita sekarang lebih banyak untuk honor, dan gaji PNS… Karena banyak kapitasinya, maka program bnayak didanai dari BLUD”(DP3)

Adapun terkait operasional KPLDH, kebjakan di DKI Jakarta menggunakan

pendanaan dari APBD

“Seluruh DKI menggunakan KPLDH itu melalui APBD” (SD2)

Puskesmas di DKI Jakarta mendapatkan alokasi APBD/subsidi yang masuk

ke dalam rekening BLUD untuk pemanfaatan operasional Puskesmas.

Kalau untuk kunjungan sehat, mereka kan biaya operasionalnya terus dikeluarkan juga untuk home visit, KPLDH, katanya dulukan puskesmas punya dana operasional dari Dinkes, katanya semenjak ada BPJS mereka punya ngandelin kapitasi ini (B1)

untuk di puskesmas kecamatan pelaporannya ada 2. Ada pelaporan

APBD ada BLUD. Kalo kita di Sudin kan cuma satu nih pelaporannya APBD aja, nah disitu bisa kelihatan yang kegiatannya APBD jumlahnya pasti nominal udah kelihatan, kalo BLUD gak keliatan (SD2)

Pemanfaatan dana kapitasi di beberapa puskesmas berbeda-beda tergantung

besaran kapitasi yang didapatkan, apabila telah mampu untuk melakukan

pembiayaan operasional puskesmas secara mandiri, maka subsidi dari APBD mulai

di kurangi.

puskesmas itu khususnya di Jakut ya bu tidak semua juga BLUD itu digunakan untuk belanja pegawai karena dia tidak mampu, artinya proses kapitasi dia aja tidak tercover untuk tunjangan kinerja dia. Jadi ada beberapa puskesmas sih bu yang dia itu tunjangan kinerja menggunakan BLUD, gajinya menggunakan APBD. Jadi ada beberapa puskesmas ya Kelapa Gading misalnya tidak mampu, jadi gajinya aja hanya APBD. Beda

Page 147: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

126

Universitas Indonesia

dengan Cilincing, Cilincing itu kapitasinya sebulan itu bisa 2,5 M yang lainnya itu hanya 600, 700, 800 sedangkan dia kan harus menutupi.

“Tergantung kemampuan dari pendapatan mereka jika

pendapatannya naik otomatis berarti kan biaya yang dicover lebih banyak, secara otomatis subsidinya akan berkurang, berarti yang dikurangi APBD nya. Proses pengurangan yang tahu puskesmas, o ini sudah kehendle nih sama anggaran saya, jadi ga pake subsidi mereka yang tahu”(SD3)

Alokasi anggaran kesehatan di tingkat Dinas Kesehatan, berdasarkan

informasi dari informan Dinas Kesehatan didapatkan bahwa dana APBD untuk

kesehatan sudah semakin dikurangi dengan adanya kapitasi, indikasi dana BLUD

mampu untuk mendanai operasional puskesmas. Diperkirakan pada kondisi UHC,

dana BLUD akan mampu secara swadana membiayai operasional puskesmas. Jika

di daerah lain terkendala pemanfaatan dana kapitasi, pada puskesmas dengan

BLUD dana kapitasi lebih efektif pengelolaannya, hampir 85% bisa terkelola untuk

jaspel dan operasional puskesmas, dan untuk sisa cadangan untuk kapitasi sengaja

disimpan karena tidak habis tahun berjalan, sebagai asset puskesmas untuk

kepentingan yang mendadak yang tidak bisa dipertanggungjawabkan jika memakai

dana APBD.

Struktur Birokrasi

Aspek struktur birokrasi pada penelitian ini melingkupi bagaimana

mekanisme dan fragmentasi birokrasi implementasi Kapitasi Berbasis Komitmen

Pelayanan. Pada penelitian ini yang ingin diketahui adalah bagaimana mekanisme

upaya yang dilakukan untuk pencapaian indikator komitmen pelayanan,

implementasi kebijakan di tingkat penentu kebijakan di Dinas Kesehatan Provinsi

DKI Jakarta, tingkat Sudinkes, serta di tingkat pelaksana yang berada di Puskesmas

Kecamatan dan Puskesmas Kelurahan.

Selain dalam tataran pencapaian indikator, yang berhubungan erat dengan

nilai kapitasi yang akan diterima oleh Puskesmas, peneliti juga ingin mengetahui

bagaimana mekanisme pencairan, mekanisme pemanfaatan, pengelolaah,

mekanisme pertanggungjawaban, dan mekanisme monitoring dan evaluasi dana

kapitasi di Puskesmas, sudahkah tertuang dalam petunjuk teknis, petunjuk

Page 148: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

127

Universitas Indonesia

pelaksanaan atau prosedur operasional yang standar atau SOP, baik hal tersebut di

tataran tingkat penentu kebijakan dan pelaksanan.

Aspek kedua dari struktur birokrasi yang ingin diketahui adalah bagaimana

fragmentasi birokrasi, karena semakin besar koordinasi yang harus dilakukan untuk

melaksanakan kebijakan, maka semakin berkurang kemungkinan keberhasilan

program atau kebijakan serta cenderung melemahkan pengawasan dan

menyebabkan prosedur birokrasi menjadi rumit dan kompleks dan pada akhirnya

menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel, terlalu fleksible pelaksanaan atau

pemanfaatan dana kapitasi dan minimnya monitoring dan evaluasi juga akan

berdampak terhadap adanya penyalahgunaan yang akan berdampak kepada

kerugian negara. Berikut hasil wawancara mendalam yang dilakukan oleh Peneliti

dari informan tentang aspek struktur birokrasi diuraikan sebagai berikut:

A SOP

Aspek SOP pada penelitian ini melingkupi bagaimana prosedur pelaksanaan

sudahkah tertuang dalam petunjuk teknis dan Standard Operating Procedures

(SOP), baik di tingkat pelaksana kebijakan di Dinas Kesehatan dan di Puskesmas.

Berdasarkan pengambilan data melalui WM menunjukkan bahwa belum ada juknis

dan SOP terkait capaian indikator, menurut informan perber 2017 sudah cukup

jelas. Dan terkait pencapaian indikator BPJS hanya menerima self assessement,

entry p-care yang ada di Puskesmas tanpa ada validasi khusus terkait indikator

capaian baik oleh Puskesmas, BPJS, Sudinkes, dan Dinkes Provinsi DKI.

“Kalau monitoring masalah kapitasi BPJS tidak bisa, karena itu merupakan pembayaran yang dilakukan, monitoring kapitasinya ya dari KBK itu ajha yang per bulan, dia sudah pure memberikan, ya sudah pengelolaannya seperti apa”(P2)

Terkait prosedur pemanfaatan dana kapitasi belum ada juknis khusus,

informan mengatakan sudah cukup apa yang tertera di Peraturan Gubernur No. 165

tahun 2012 tentang Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah,

karena dana kapitasi yang masuk ke Puskesmas langsung akan diterima sebagai

akun pemasukan di rekening BLUD

“Kl pengelolaan BLUD Pergub 165 tahun 2012”(DP3a)

Page 149: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

128

Universitas Indonesia

Dan terkait pelaksanaan KPLDH yang cukup memberikan andil besar

terhadap capaian Indikator Komitmen Pelayanan dilaksanakan sesuai Peraturan

Gubernur No. 115 tahun 2016 tentang Program Ketuk Pintu Layani Dengan Hati.

“Kalau indikator ga kecapai kan dikurangi kapitasinya, dibayarnya dipotong Cuma berapa persen.. Iya untuk indikator terbaru bisa hanya menerima 92% ga bisa 100%.. Iya dan itu lumayan banget, setahun misalnya BLUD nya 15 milyar, artinya 1 bulan 1 milyar ajha 92% kan berarti 80 juta ilang, 80 juta lho, makanya KPLDH nya digalakin..”(DP3a)

Dan terkait dana pemberian Tunjangan Kinerja Daerah berdasarkan

Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 59 tahun 2013 tentang Perubahan

Kedua atas peraturan gubernur No. 38 tahun 2012 tentang Tunjangan Kinerja

Daerah. Dan terkait pemanfaatan dana kapitasi terhadap pemberian honor dan

tunjangan bagi pegawai non PNS mendasarkan pada Peraturan Gubernur Provinsi

DKI Jakarta No. 221 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur

Nomor 95 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pemberian Penghasilan Bagi Pegawai

Non Pegawai Negeri Sipil Pada Satuan Kerja Perangkat Daerah/Unit Kerja

Perangkat Daerah Bidang Kesehatan

“Iya tapi peritungannya ga nurut permenkes lagi.. Pergub 212 ya, apa 221 ya, antara itu deh tahun 2016 terkait remunerasi” (DP3a)

Dan beberapa aturan pelaksanaan terkait obat-obatan terdapat dalam SOP

masing-masing Puskesmas, dan mereka berpedoman pada panduan Praktik Klinis

KMK 514 tentang panduan praktik klinik

Dan terkait masih tingginya rujukan, maka BPJS mengeluarkan Per BPJS

No.1 tahun 2018, terkait UGD, dimana untuk rujukan harus benar-benar

mengutamakan urgensi kegawatdaruratam karena ternyata dari UGD banyak masuk

pasien tanpa triase dengan alih pasien UGD maka tidak membawa rujukan dari

FKTP. Hal tersebut sebagaimana diuraikan dalam kutipan hasil wawancara berikut:

Peraturan BPJS no 1 2018, mksudnya itu mengembalikan triasenya, padahal peserta ga paham maksudnya minta cepet apa gitu, maksudnya FKTP juga sudah berlomba-lomba untuk inovasi ga kalah juga sama RS, ra kan terbatas jumlah tempat tidur apa, dulu juga kl sakit thypoid campak ga dirawat, kl sekarang dikit-dikit dirawat..”(B2)

Page 150: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

129

Universitas Indonesia

B Fragmentasi Birokrasi

Aspek fragmentasi birokrasi pada penelitian ini melingkupi bagaimana

pengorganisasian dan penyebaran tanggung jawab diantara para pemangku

kebijakan dalam upaya pencapaian indikator KBK, validitas data yang dicapai dan

dalam hal pemanfaatan dana kapitasi, bagaimana, seperti apa pemanfaatan,

monitoring dan evaluasi sehingga kapitasi yang ada bisa dimanfaatkan seefektif dan

seefisien mungkin.

Konsekuensi yang paling buruk dari fragmentasi birokrasi adalah usaha

untuk menghambat koordinasi, para birokrat karena alasan-alasan prioritas dari

badan-badan yang berbeda, mendorong para birokrat ini untuk menghindari

koordinasi dengan badan-badan lain. Padahal penyebaran wewenang dan sumber-

sumber untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang kompleks membutuhkan

koordinasi.

Meskipun capaian indikator komitmen pelayanan telah cukup baik

dilaksanakan, beberapa hal yang mengindikasikan adanya fragmentasi bisa terlihat

di beberapa sudut pandang dan pemahaman yang berbeda antara BPJS, Dinas

Kesehatan Provinsi DKI, Sudinkes, Puskesmas Kecamatan, dan Puskesmas

Kelurahan.

Pencairan dana kapitasi melalui puskesmas kecamatan, keterlibatan

puskesmas kelurahan dirasa kurang, terkait pengetahuan mereka besaran kapitasi

dan mekanisme pengelolaannya seperti apa, pandangan Puskesmas Kelurahan,

bahwa fungsi mereka hanya pelayanan, dengan sedikit mengacuhkan koordinasi

terkait pemanfaatan dana kapitasi.

“Ga juga ya, kita ga tau, hehe.. kl soal kepegawaian dana, puskesmas kecamatan yang tahu, kita hanya tahu pelayanan saja..”

Pandangan Puskesmas Kecamatan, terkait pelaporan capaian indikator

komitmen pelayanan, dan monitoring pemanfaatan dana kapitasi

“…BPJS langsung ambil data tiap bulan ditarik dari p care…” (P2) “Kalau monitoring masalah kapitasi BPJS tidak bisa, karena itu

merupakan pembayaran yang dilakukan, monitoring kapitasinya ya dari KBK itu ajha yang per bulan, dia sudah pure memberikan, ya sudah pengelolaannya seperti apa..”(P2)

Page 151: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

130

Universitas Indonesia

“Ya mereka (red. BPJS) ga berhak, kewajiban mereka membayar saja..”(DP3)

Pandangan dari Sudinkes terkait pemanfaatan dana kapitasi, menganggap

hal tersebut adalah ranah BPJS – Puskesmas, dan pada Puskesmas BLUD

mempunyai wewenang penuh terhadap pengelolaan dana kapitasi mulai pencairan

sampai pertanggungjawaban, sehingga mengurangi sisi fungsi dari aspek

pengawasan, feel jika terlalu banyak intervensi dalam monitoring dan evaluasi akan

memberi kesan Sudinkes terlalu ikut campur, sehingga membatasi essensi dari

pengawasan itu sendiri, sehingga fragmentasi disini adalah lemahnya monitoring

dan evaluasi pemanfaatan dana kapitasi

“kita (Sudinkes)tidak ada sangkut pautnya sama sekali karena mereka kan sudah BLUD berdiri sendiri, punya anggraan sendiri punya perencnaan sendiri.. kita tidak ikut campur pengelolaannya”(SD3)

“Yang berproses penadaan langsung puskesmas kecamatan, tidak

sudinkes, kita ngga terlibat.. Sudinkes ga memutuskan, kita cuma mengawasi mereka, mengontrol apakah sudah dilaksanakan apa belum..”(SD3).

“Jaspel.. perbandingannya yang tahu puskesmas..”(SD3) “Terkait peng spj an, pertanggungjawaban di puskesmas, dinas ga

terlibat, sudin gat ahu jadinya mbak..”(SD3)

Dan terkait monev terhadap capaian indikator, yang hal itu merupakan

tuntutan yang tertuang di Perber 2017 Terkesan adalah persyaratan dari BPJS,

dengan tidak terpenuhinya indikator komitmen pelayanan, maka kapitasinya akan

dipotong, namun belum terdapat tim terkait verifikasi validitas capaian indikator di

Puskesmas, untuk di BPJS Bidang PMP untuk yang berhubungan dengan pelayanan

primer dan mereka membuat strategi untuk menghapus nomor kepesertaan peserta

BPJS, sehigga bisa meminimalisir kemungkinan entry diluar kriteria sebagaimana

tercantum dalam pernyataan dibawah ini:

“…mereka punya data peserta tapi cuma nama dan alamat, jadi kalau mereka punya atau akan melakukan kunjungan sehat atau home visit mereka punya datanya… “(B1)

Page 152: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

131

Universitas Indonesia

“…contoh saya ke RT 5 nih, saya dapatnya 500 orang, dan saya entry 500 orang, nomornya disimpan ….kl ada kemungkinan bisa ajha jadi seperti itu”(P2)

“Ini harus dilakuakm audit medis bersama, ini belum ada masih

jalan sendiri-sendiri… Kami sekarang sudah mulai meyoroti ini, karena kita nu kog bagus hasile tapi kog ga ada peningkatan mutu kek, rujukan turun klaim turun”(B3)

Ada potensi data itu dimanipulasi, dan itu memerlukan seluruh

pemangku kepentingan bersama-sama, kalau BPJS doang ya pasti dikira kami itu mempersulit, dikira kami itu ingin mengurangi kapitasi, padahal ini tujuannya buka untuk mengurangi kapitasi, tapi untuk peningkatan mutu supaya gatekeepernya jalan, gate koordinatornya jalan” (B3)

jadi ini sebenernya harus dilihat sebagai potensi fraud di kedua belah pihak… harus kita buka bersama, jelas ini anomaly data, langkah selanutnya PMK 36 terkait fraud. Langkah selanjutnya harusnya investigasi dari banyak pihak termasuk tim fraud yang ada di sudin, tim nya da semua, ini mah kl di tim fraud kami sudah banyak dibahas”(B3)

Keeratan hubungan Sudinkes – Puskesmas melemahkan fungsi Binwasdal

yang seharusnya bekerja untuk lebih jeli, terhadap indikasi fraud yang ada, sehingga

dibutuhkan tim yang lebih independen

Cabang melakukan monev setiap bulan dengan Tim khusus penilai (SK TIM) yang terdiri dari beberapa pihak BPJS, sudinkes, asklin, TPMKB cabang, PKFI dll berupa pertemuan rutin dengan telaahan data. Di depwil pertemuan monev setahun 2 kali tetapi untuk turun ke cabang turun 1 bulan sekali”(B2)

Terkait koordinasi antara RS dan Puskesmas, dimana Puskesmas merujuk

dengan diagnosis non spesialistik dg TACC, maka tidak akan dicatat sebagai

RRNS. Pihak Rumah Sakit akan tetap melakukan pelayanan tanpa merujuk kembali

ke Puskesmas. Hal tersebut berdampak semakin tingginya rujukan dan klaim RS.

Sehingga dalam hal ini dibutuhkan upaya monitoring dan evaluasi terkait validitas

diagnosis rujukan dari Puskesmas, disamping ada beberapa hal di luar itu yang bisa

mempengaruhi tingginya rujukan di RS dan klaim dari Puskesmas.

“…karena adanya peer review itu dan selain itu ada TACC sebelum dirujuk”(B2)

Page 153: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

132

Universitas Indonesia

“Target yang telah ditentukan sebesar 144 namun sekarang belum ada koordinasi sudinkes untuk besaran target sehingga tergantung kesepakatan sudin dan cabang dengan melihat kemampuan FKTP sesuai dengan kondisi di lapangan, tiap sudin berbeda-beda ya… masa peer reviewnya semakin turun, masa iya dari 131 jadi 128, kl turun ya otomatis rujuk-rujuk ajha”(B2)

Kl sekarang kan ada TACC, kl dulu kan ga ada, jadi TACC itulah

yang sebagai info kl si pasien layak dirujuk cuman karena itu by aplikasi harusnya itukan ada alasan dirujuk detailnya itu kenapa, tapi ini dirujuknya Cuma TIME, Age,…. Itu kan jadi kurang spesifik sih menurut aku, dicentang itu juga, itu yang mempengaruhi juga, jadi kunjungan non spesialistiknya juga kecil, kan mereka cari amannya untuk ngerujuk ke RS ya pake TACC itu (B2)

Walaupun sampai rumah sakit, ini kenapa ga bisa diselesaiin sih di

Puskesmas”(B2) Iya harusnya tim FKTP itu yang tahu, mana yang bener-bener kasus

non spesialistik atau ga. Luar biasa lho FKTP menghadapi pasien yang itu minta dirujuk”(B2)

kl TACC kita hilangkan ajha itu bisa jadi kelihatan, oh ini harusnya

non spesialistik”(B2)

Ditambah statement dari BPJS Cabang di Unit Layanan Rujukan yang mulai

menemukan beberapa keganjilan atau anomaly data terhadap hal tersebut, berikut

beberapa kutipan:

“RNS selalu tidak bersesuaian dengan KNS..(red. Kunjungan Non Spesialistik”(B3)

Adanya di PMK 5 itukan maksudnya ada case-case 4A, inikan harus

eksekusi di FKTP. Nah tetapi meski kadang diagnosis 4A tapi ada penyulit 2 yang terjadi secara individual karena case-case itu kan tidak mesti sama. Iya memang secara diagnose Cuma hipertensi, tapi misalnya ada tambahan apa, misalkan obest atau dia mungkin plus asma, atau dia mungkin dia itu komorbid nya ada riwayat bapak ibu kena stroke, macem-macemlah”(B3)

Ketika menentukan TACC itu kan subyektif, dia adalah kasus,

sebenernya kasus non spesialistik tapi dirujuk dengan tambahan TACC, TACC ini kan kewenangan dokter FKTP. Jadi sebenernya yang dirujuk podo, tapi RNS nya apik karena dia entry di p-care ditambahin TACC”(B3)

Iki kog apik k-apik, kog kasuse ora mudon mudon, apa. Kita tarik

data orang-orang yang dirujuk ini pake tarikan INA CBG, lho ternyata tarikan INA CBG, itu kasus non spesialistik , berarti iki mau TACC ne

Page 154: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

133

Universitas Indonesia

gombal… Jadi TACC nya itu mau tidak sesuai, karena ketika dokter lain memeriksa, dia adalah kasus non spesialistik”(B3)

Nah seharusnya kan inikan kesepakatannya adalah data yang

ditarik adalah tarikan p-care. Hanya data yang dipakai untuk tarikan KBK, anya data tarikan P care, seharusnya data juga di compare dengan data tarikam rumah sakit, baru itu bisa untuk menilai”(B3)

tetapi memang ada bias data di tarikan Rumah Sakit , yaitu adalah

bahwa kadang-kadang di beberpa RS yang codernya ga kompeten itu asal nginput kodingnya”(B3)

yang meng compare kami, kami yang melakukan aksi menjejerkan

data… Dokter di FKRTL tidak terlalu memperhatikan rujukan dari FTP, dia hanya periksa versi dia, karena sebagian besar rujukan itu yo ga begitu rujukannya, jadi biasanya dokter-dokter di rujukan wis ga ndelok rujukan, nek sehari-hari seperti itu, mereka ga lihat masuk ini mereka hanya nyaet di rekam medik, diwoco ngene, operane FKTP ga diwoco.”(B3)

“Ya memag seharusnya sih mbak, seharusnya memang ada

monitoring evaluasi berupa, nek misale ini lho mentoring spesialis nya gini dengan jejaringnya jalan, kami bisa kog kasih data misale puskesman X, RNS mu, yang kamu sebut RNS mu bagus itu ternyata KNS mu disini sekian lho, nah kamu dimentoring bisa, ini salah di feedback”(B3)

Dan terkait mekanisme rujuk balik seharusnya dilakukan oleh RS untuk

pasien-pasien dengan kasus non spesialistik, akan tetapi dalam praktiknya ada

beberapa perbedaan aksi, berikut beberapa hasil wawancara:

“…jadi control sekali dia masuk ke RS, dia itu akan diberikan surat controoool terus, ga pernah balik ke FKTP, jarang yang balik, kecuali kami yang ngotot untuk mengembalikan karena terbaca dari tagihan obat misalnya, itu makanya bPJS mengeluarkan, surat rujuk balik yang berlaku maksimal 3 bulan, karena nek tidak sampai setahun 2 tahun tetep di keep di RS ga pernah balik..”(B3)

“Karena gini dulu berlaku untuk rujukan di RS itukan ada lembar

DPJP, ada yang berlaku 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan, 6 bula atau berapa gitu lah, FKTP merujuk ke RS, udah kebiasaan kan, ini dokternya menulis ini pasien diobservasi selama 3 bulan, setelah 3 bulan pasien istilahnya pasien tetep di keep di RS, sebenernya sih pasien ini bisa dirujuk balik”(B2)

“potensi fraud itu adalah salah satu FKTP merujuk tidak sesaui

dengan maksud untuk memberi keuntungan mereka, apa keuntungan mereka. Ini mereka aman terus, dengan memanipulasi TACC, gam au dipotong kapitasinya”(B3)

Page 155: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

134

Universitas Indonesia

“..disini yang sudah ada program rujuk balik nah ini harusnya tetep jalan, jadi transfer knowledge dari RS ke FKTP, ini harusnya itu, dan ada beberapa RS yang nge keep pasien, gitu. . dan faktor ini juga, pasiennya, paling deket ya ke RS daripada ke FKTP nya..”(B2)

Masih tingginya rujukan APS (Atas Permintaan Pasien), mengindikasikan

rendahnya koordinasi antara Puskesmas dan pasien, sehingga menimbulkan

kurangnya kepercayaan pasien kepada Puskesmas, sehingga menginginkan untuk

dirujuk ke Rumah Sakit untuk penanganan selanjutnya.

Jadi dokter menghindari ribut atau kles gitu intinya, tetap dibuat indikasi. Sebenernya yang masih bisa dilayani ya kita layani, tapi banyak juga yang maunya seperti itu, maunya datang minta rujukan lebih percaya rumah sakit. Pernah saya pertanyakan sama dokter-dokter disini, kalian merasa yakin bisa dilakukan disini, yasudah ga usah dirujuk, karena profesionalnya kalian itu dilihat dari situ, gitu, tapi ya mungkin masih ada pertimbangan lain dari dokter-dokternya, kalau dari saya sih maunya kl yang bisa disini ya disini, kalau memang harus dirujuk ya dirujuk”(P2)

“Luar biasa lho FKTP menghadapi pasien yang itu minta

dirujuk..”(B2)

Masih adanya miss perception terkait beberapa kebijakan mekanisme

pemberian obat, seperti halnya telah dilakukan pembahasan pada subbab fasilitas,

dan hal ini masih menjadi pembahasan pertimbangan untuk diberikannya obat

prolanis untuk waktu 30 hari dengan catatan tertentu, sesuai kondisi pasien. Dan di

beberapa Puskesmas Kecamatan telah dilakukan pemberian obat-obatan untuk

waktu 30 hari dengan syarat dan ketentuan berlaku.

“...puskesmas kita bisa ngasih obat sebulan lho. PTM obatnya sebulan, beberapa puskesmas masih 10 hari itu kelurahan, kl kecamatan udah bisa sebulan. Jadi menurunkan rujukan, dan kl sudah stabil ya dikasih sebulan..”(SD1)

Dan terkait pemenuhan SDM ada perubahan kebijakan sejak 2016, sehingga

menjadi hambatan Puskesmas untuk melakukan perekrutan untuk pemenuhan

kecukupan SDM

“SDM yang emang kurang, SDM kita kan, duit puskesmas itu, perekrutan itu tidak bisa dilakukan puskesmas sekarang (red. puskesmas kecamatan), kl dulukan boleh kurang ini bisa, kl sekarang regulasi ada di dinas kesehatan provinsi, jadi kita ga bisa sesuka hati rekrut rekrut

Page 156: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

135

Universitas Indonesia

pegawai, meski sebenernya duit kita ada. Sejak tahun lalu 2016 akhir sudah di dinkes. Dulu bisa….”(SD1)

Namun ada beberapa kebijakan yang selaras untuk mendukung pencapaian

indikator komitmen pelayanan dengan adanya KPLDH yang capaian dimasukkan

ke dalam entry p-care sebagai home visite, yang mekanisme perekrutan juga

dilakukan oleh Dinkes Provinsi DKI

“mereka ada aplikasinya sendiri, yang laporannya per wilayah, laporan mereka sendiri, entryannya beda. Maka entry annya tidak per hari, di item home visit (kunjungan sehat yang merupakan capaian KPLDH..”(P2)

“Jadi kalau di DKI, angka kontak ada 2, kontak sakit mereka yang berobat kepuskesmas, kontak sehat dari imunisasi, dari posbindu, dari pelayanan UKM, UKBM, kita kana da KPLDH ya yang door to door dari rumah ke rumah, yaitu dari situ, kita juga ada paliatif care kan ya dari situ petugas yang datang ke Puskesmas juga diambil id, kita kan melakukan prom prev ke posyandu, bayi sehat juga diambil. Di bayi sehat ajha ada 2 ibunya, bayinya, posbindu juga gitu, pesertanya dan siapa yang mandampingi posbindunya ya dari situ sih”(SD1)

“Makanya program JKN, ini semuanya harus paham menyelamatkan program ini tetep berlangsung, ya semua menjalankan sesuai tupoksinya masing-masing kl misalnya ada yang kita buat peraturannya, karena kita melihat itu memang perlu gitu lho, sesuatu yang harus ada pagernya, kl kaya gini sampai nanti juga akan jebol terus ,sampai seberapa kuat negara bisa menanggung”(B2)

Page 157: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

136

Universitas Indonesia

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 158: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

137 Universitas Indonesia

PEMBAHASAN

Sistematika Pembahasan

Dalam pembahasan ini tidak dilakukan pemisahan pembahasan antara hasil

penelitian yang bersifat kuantitatif dan kualitatif, hasil penelitian keduanya

digabung untuk mendapatkan alur pembahasan yang saling mendukung.

Keterbatasan penelitian

Penelitian yang dilakukan memiliki beberapa hambatan yang menjadi

keterbatasan penelitian, antara lain:

1. Unit analisis hanya dilihat pada fasilitas kesehatan milik pemerintah yakni

Puskesmas, sementara fasilitas kesehatan milik swasta seperti klinik dan

dokter praktik perorangan tidak dilihat, karena pemberlakukan konsekuensi

KBK baru akan dilakukan per Juli 2018, meskipun penilaian indikator

capaian telah dilakukan mulai tahun 2016

2. Analisis data kuantitatif mendasarkan pada data sekunder yang ada di Dinas

Kesehatan dan BPJS, peneliti tidak turun langsung ke 340 Puskesmas,

sehingga desain variabele yang sebelumnya direncanakan akan diambil

tidak bisa diambil, sehingga ada pengurangan variable penelitian yang akan

dilakukan analisis data

3. Kesulitan untuk membuat janji wawancara dengan informan karena tingkat

kesibukan informan sehingga tidak bisa ditemui

4. Ada beberapa data BPJS yang dikecualikan, sehingga tidak bisa di publish,

sehingga mengurangi ketajaman analisis yang dilakukan, da pengembangan

di aspek pembahasan.

5. Sumber data berasal dari beberapa bagian dengan format yang berbeda-

beda, kondisi data, dan kelengkapan data sehingga menyulitkan proses

sinkronisasi data

6. Puskesmas kelurahan yang timbul tenggelam statusnya sebagai Puskesmas,

berpengaruh kepada kelengkapan data.

Page 159: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

138

Universitas Indonesia

Angka Kontak

Lain halnya pada konsep angka kunjungan pada penelitian (Nurbaiti, 2001)

yang menyatakan bahwa tingginya angka kunjungan menunjukkan bahwa

pelaksanaan kapitasi belum menunjukkan hsil yang ideal menurut konsep kapitasi

total di masa Askes, yang berasumsi bahwa dalam kapitasi total diharapkan dokter

puskesmas bisa menekan angka kunjungannya, sebagai hasil dari berhasilnya upaya

promotive dan preventif sehingga biaya pelayanan menjadi lebih efisien. Karena

maksud dari kunjungan ke Puskesmas dalam hal ini adalah kunjungan sakit yang

dilakukan oleh pasien Askes.

Konsep yang berbeda diusung oleh BPJS dan Kemenkes melalui

implementasi Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan, dimana angka kunjungan

digantikan oleh kontak komunikasi yang menghasilkan penilaian indikator angka

kontak, dimana angka kontak disini tidak terbatas hanya jumlah pasien yang datang

ke Puskesmas untuk melakukan pemeriksaan karena sakit, akan tetapi angka kontak

disini adalah juga dimaksudkan sebagai kontak komunikasi dimana didalamnya

juga mengakomodir adanya kunjungan sehat sebagai upaya promotive dan

preventif, sehingga capaian tersebut akan tetap menjadi upaya provider dalam

efisiensi biaya pelayanan.

Dalam penghitungan statistik angka kontak memiliki kecenderungan

peningatan yang cukup tinggi secara berarti/signifikan selama kurun waktu 2016

sampai dengan 2017 yaitu rata-rata sebesar 68%, yang mengindikasikan bahwa

implementasi KBK cukup menjadi efek bagi puskesmas untuk meningkatkan

indikator tersebut.

Rasio Prolanis

Untuk capaian prolanis juga mengalami perubahan yang signifikan sebesar

21.8% selama tahun 2016 dan 2017

Ada beberapa hal yang mendasari perubahan capaian indikator prolanis,

kategori ini termasuk baru. Sehingga puskesmas baru saja memulai untuk bersama-

sama mengelola klub prolanis, sehingga semakin mengeratkan komitmen

promotive dan preventif, dimana dalam pelaksanaan prolanis, klub ini bersinergi

bersama antara tenaga kesehatan dengan pasien prolanis, dan antara pasien prolanis

Page 160: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

139

Universitas Indonesia

itu sendiri. untuk lebih memperbaiki gaya hidup, sharing berbagi pola hidup sehat,

dan bersama-sama melakukan gerakan fisik ringan yang membuat kondisi lebih

bugar, dan diharapkan bisa menaikkan kualitas hidup pasien prolanis.

Akan tetapi klub prolanis ini masih diadakan di puskesmas kecamatan, dan

untuk pelaksanaan di puskesmas kelurahan baru dimulai, Karena masih adanya

kendala teknis di lapangan terkait sarana, prasarana, dan SDM. Sehingga akan

dilaksanakan secara bertahap di puskesmas kelurahan, sementara ini beberapa

peserta prolanis kelurahan, dikumpulkan di puskesmas kecamatan dalam

pelaksanaan klubnya, dan terkendala pasien yang jauh tidak datang.

Untuk saat ini masih belum keseluruhan peserta dengan penyakit kronis

didaftarkan di Puskesmas, sehingga disinyalir pencapaian indikator prolanis karena

masih kecilnya denominator dari penilaian rasio prolanis ini, sehingga banyak yang

masuk di kategori aman. Sebagai upaya peningkatan kualitas, maka kedepannya

akan diupayakan semua peserta dengan penyakit kronis akan didaftarkan di klub

prolanis, seiring dengan peningkatan health coverage di DKI Jakarta.

Rasio Rujukan Kasus Non Spesialistik

Lain halnya juga dengan konsep angka rujukan pada masa Askes, dimana

angka rujukan yang dimaksud adalah angka rujukan pasien Askes ke RS seperti

pada penelitian (Nurbaiti, 2001), dalam keadaan seperti itu didapatkan jumlah

rujukan yang cukup tinggi di DKI Jakarta mencapai angka 27,25% sehingga

diindikasikan bahwa Puskesmas di Jakarta mempunyai kecenderungan untuk

merujuk pasien Askes, yang diperkuat dengan pernyataan dokter terkait lemahnya

motivaasi dokter untuk mengendalikan rujukan ke RS, tidak berdayanya dokter

untuk menolak permintaan pasien untuk mendapatkan pelayanan di RS.

Pada konsep JKN, implementasi KBK menggunakan acuan rasio rujukan

kasus non spesialistik, sehingga yang dijadikan patokan bukan hanya jumlah

rujukan, akan tetapi lebih spesifik adalah rasio rujukan kasus non spesialistik,

dimana diharapkan Puskesmas hanya merujuk pasien untuk mendapatkan

pelayanan spesialistik. Sehingga diharapkan akan berimpak terhadap semakin

efisiennya biaya pelayanan di FKRTL.

Page 161: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

140

Universitas Indonesia

Keadaan tersebut dimaklumi mengingat pada sistem kapitasi total pada

jaman Askes belum memberikan reward kapitasi yang memadai. Sistem reward

yang ada pada sistem kapitasi hanya dapat dirasakan jika ada sisa dana dari alokasi

kapitasi total. Lain halnya dengan masa JKN dimana rata-rata Puskesmas di DKI

Jakarta mendapat kapitasi Rp. 107,766,663.-. Pada Puskesmas kecamatan rata-rata

Rp. 261,639,787.- dan rata-rata Rp. 87,338,871 per bulan Pada Puskesmas

kelurahan.

Ketidak efektifan Puskesmas jika tidak mencapai RRNS akan berimplikasi

kepada penurunan kapitasi yang didapatkan Puskesmas Per Bulan, sehingga hal ini

cukup menjadi efek jera bagi Puskesmas untuk dapat mencapai angka yang

ditargetkan pada pencapaian RRNS yaitu senilai <5%, jika Puskesmas rujukan

kasus non spesialistiknya >5% maka akan akan masuk pada zona tidak aman yang

akan berimplikasi pada pemotongan kapitasi per bulan yang akan di dapatkan oleh

Puskesmas.

Keberhasilan Puskesmas tidak hanya bisa dinilai dari keberhasilan kecilnya

nilai RRNS yang dicapai Puskesmas, akan tetapi tidak berimpak kepada turunnya

total rujukan puskesmas yang menjadi denominator dalam penghitungan RNS ini,

yang ternyata cukup tinggi dan semakin meningkat, sehingga biaya klaim RS pun

meningkat di tahun 2018. Sehingga turunnya RNS tidak berimpak kepada semakin

efiseinnya pembiayaan pelayanan di RS.

Setelah peneliti mengidentifikasi adanya beberapa anomaly data terkait

capaian RNS, dan setelah mendengar pernyataan dari informan kunci, ada beberapa

hal yang bisa menimbulkan ketidak koheren an antara turunnya rujukan kasus non

spesialistik dengan semakin naiknya rujukan dan membengkaknya biaya klaim.

Antara lain disebabkan oleh (1) turunnya angka rujukan non spesialistik hanya di

puskesmas, tidak diikuti oleh capaian RNS di klinik dan DPP (Dokter Praktik

Perorangan) dan pemberlakuan konsekuensi bagi klinik dan DPP baru akan

dilakukan per Juli 2018, diharapkan turunnya RNS pada klinik dan DPP akan

semakin menurunkan RNS yang akan berimplikasi pada efisiensi biaya, (2) kurang

efektifnya fungsi UGD, hal ini dalam segi triase masih kurang, sehingga UGD

penuh bukan hanya oleh kasus kegawatdaruratan, tapi juga penuh oleh penyakit

yang tidak seharusnya melalui jalur UGD. Dan UDG ini dijadikan satu-satunya

Page 162: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

141

Universitas Indonesia

jalur bagi pasien JKN untuk bisa mendapatkan penanganan di RS, tanpa

mendapatkan pengantar rujukan dari FKTP terlebih dahulu. (3) Perlu ditinjaunya

peer review, karena kecilnya peer review akan berdampak masih tingginya rujukan,

sedikit-sedikit merujuk dan akan tetap menjadikan RNS pada level aman, yang

seharusnya target 144 diagnosis sudah harus selesai di Puskesmas, (4) ditinjau

ulang mengenai mekanisme rujukan menggunakan TACC. Karena secara konsep

RNS belum berinpek kepada hal yang diinginkan.

Selain kajian terhadap perubahan kebermaknaan capaian indikator

komitmen pelayanan, untuk lebih dalam pembahasan dan eklplorasi terhadap kajian

implementasi kebijakan Keputusan Bersama tahun 2017 dituangkan dengan path

analysis dalam teori Edward III.

Dalam mengkaji implementasi kebijakan publik, Edward III mulai dengan

mengajukan dua pertanyaan, yakni:

a. Prakondisi-prakondisi apa yang diperlukan sehingga suatu implementasi

kebijakan berhasil?

b. Hambatan-hambatan utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi

gagal?

George C. Edward III berusaha menjawab dua pertanyaan tersebut dengan

mengajukan empat faktor yang berperan dalam keberhasilan implementasi,

meliputi komunikasi, disposisi, struktur birokrasi dan sumber daya. Sama halnya

dengan implementasi Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan, peneliti mencari

jawaban kedua pertanyaan tersebut dengan mencari dan membahas empat faktor

yang berperan dalam Implementasi Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan yang

di dalamnya juga peneliti rangkaikan dengan item-item variable faktor-faktor yang

disinyalir bisa mempengaruhi dan secara statistik bisa masuk dalam kerangka

pemodelan dan faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi pencapaian 3 indikator

Diharapkah dengan pembahasan analisis ini bisa melihat secara “helicopter

view” dengan adanya data yang komprehensif yaitu beberapa faktor yang bisa

dibuktikan secara statistik berhubungan dan kebermaknaannya, dan data yang

kebenarannya tidak dapat divalidasi dengan metode kuantitatif akan divalidasi

dengan metode kualitatif atau sebaliknya sehingga bisa membahas implementasi

Page 163: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

142

Universitas Indonesia

Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan Puskesmas di Wilayah DKI Jakarta secara

utuh.

Karakteristik Puskesmas

Variabel karakteristik Puskesmas dijelaskan secara baik oleh tingkat

puskesmas, kategori puskesmas, dan status akreditasi puskesmas

Tingkat Puskesmas

Tingkat Puskesmas secara pemodelan terbukti mempunyai hubungan

dengan capaian indikator komitmen pelayanan puskesmas di wilayah DKI Jakarta,

dan mempunyai loading score positif (0.949), dimana puskesmas kecamatan

mempunyai kecenderungan untuk mencapai angka kontak lebih baik daripada

puskesmas kelurahan dengan rata-rata angka kontak 193.40/00 dibandingkan

puskesmas kelurahan 192.5 0/00, namun kondisi ini dimungkinkan di lapangan

bahwa di puskesmas kecamatan akan mengalami kondisi yang lebih padat, karena

sasaran peserta pada puskesmas kecamatan adalah lebih besar dibandingkan dengan

kelurahan.

Dilihat dari rasio prolanis puskesmas kecamatan lebih banyak yang

mencapai kategori aman (70.5%) dibandingkan dengan kelurahan (67.6%),

meskipun rata-rata pencapaian belum mencapai target standar (>50%), akan tetapi

peningkatannya sejak 2016 sampai 2017 adalah signifikan mengalami kenaikan

sebesar 21.8%.

Dan jika dilihat dari rasio rujukan kasus non spesialistik telah 100%

puskesmas kecamatan dalam kategori aman (RRNS<0.5%). Dan dalam hal ini

puskesmas kecamatan dalam desain bisa menyelesaikan rujukan internal dari

puskesmas kelurahan, karena fasilitas yang lebih lengkap dibandingkan dengan

puskesmas kelurahan, dan rujukan internal tidak dimasukkan ke dalam capaian

RNS dalam p-care.

Terkait dengan nomenklatur puskesmas kelurahan, adanya kekhususan

dibanding implementasi di wilayah lainnya diluar DKI Jakarta, (Pemerintah

Daerah DKI Jakarta, 2007), bentuknya seperti puskesmas pembantu di wilayah

lainnya, karena merupakan jaringan puskesmas kecamatan, akan tetapi memiliki

nomor registrasi tersendiri di pusdatin, sehingga bisa dikatakan sebagai puskesmas

Page 164: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

143

Universitas Indonesia

utuh yang standarnya harus memiliki ketentuan sebagaimana tercantum di

Permenkes 75 tahun 2014 tentang Puskesmas (Kementerian Kesehatan, 2014), hal

ini dikhususkan karena kondisi kebutuhan karena kepadatan penduduk yang tinggi.

Akan tetapi dalam pelaksanaannya, beberapa puskesmas pembantu ada yang belum

bisa dikatakan layak dengan status bangunan yang masih kontrak, namun

kedepannya akan kembali ditinjau mana puskesmas kelurahan yang benar-benar

layak, dan mana puskesmas kelurahan yang harus dilakukan merger penggabungan

dengan puskesamas kelurahan dengan mempertimbangkan aspek mutu dan kualitas

pelayanan kepada masyarakat.

Kategori Puskesmas

Kategori puskesmas secara pemodelan juga terbukti mempunyai hubungan

dengan capaian indikator komitmen pelayanan puskesmas di wilayah DKI Jakarta,

dan mempunyai loading factor positif (0.864), dimana puskesmas rawat inap

(8.82%) lebih baik pencapaian terhadap 3 indikator komitmen pelayanan

dibandingkan dengan puskesmas non rawat inap (91.18%).

Sesuai dengan hasil data kualitatif, puskesmas rawat inap di Jakarta

memiliki kecenderungan rawat inap dalam bentuk perawatan persalinan, dan

pelayanan 24 jam gawat darurat. Dan informan dari BPJS juga mempertimbangkan

agar puskesmas bisa melakukan fungsi rawat inap, untuk mendekatkan akses

masyarakat akan kebutuhan pelayanan di luar waktu kerja 6 jam seperti puskesmas

non rawat inap. Selain akan berimpak kepada peningkatan indikator komitmen

pelayanan angka kontak, akan bisa mengurangi rujukan ke RS karena alasan

puskesmas tutup di malam hari untuk kondisi-kondisi yang merupakan kasus yang

sudah harus diselesaikan oleh puskesmas. Dan hal ini merupakan salah satu langkah

pendekatan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat (Kementerian Kesehatan,

2014), selain bisa mengurangi penumpukan pasien di UGD RS, dengan alasan

FKTP yang sudah tutup diluar waktu pelayanan.

Status Akreditasi

Status akreditasi puskesmas secara pemodelan juga terbukti mempunyai

hubungan dengan capaian indikator komitmen pelayanan puskesmas di wilayah

DKI Jakarta, dan mempunyai loading factor positif (0.889), dimana puskesmas

Page 165: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

144

Universitas Indonesia

yang terakreditasi (15.88%) lebih baik pencapaian terhadap 3 indikator komitmen

pelayanan dibandingkan dengan puskesmas yang belum terakreditasi (84.12%).

Puskesmas yang telah terakreditasi dinilai mempunyai kelebihan yang tidak

dimiliki puskesmas yang belum terakreditasi dalam hal standar pelayanan, fasilitas,

dan beberapa penelitian kepuasan pasien pada puskesmas terakreditasi adalah lebih

baik dibanding puskesmas yang belum terakreditasi (Kementerian Kesehatan,

2010).

Meski dalam pelaksanaannya, puskesmas yang dalam proses akreditasi

mengalami penurunan capaian indikator komitmen pelayanan, hal ini bisa

dijelaskan, pada proses akreditasi membutuhkan squad yang lebih besar untuk

melakukan persiapan-persiapan penilaian akrditasi, sehingga beberapa tenaga

termasuk tenaga KPLDH untuk home visite, ditarik untuk melakukan kegiatan

dalam gedung, akan tetapi hal ini dimaksudkan hanya dalam waktu sementara,

setelah proses akreditasi selesai, maka semua dipastikan akan kembali kepada

fungsi masing-masing, dan dipastikan capaian indikator komitmen pelayanan akan

menjadi stabil kembali.

Komunikasi

Komunikasi diartikan sebagai proses penyampaian informasi komunikator

kepada komunikan. Komunikasi kebijakan berati proses penyampaian informasi

kebijakan dari pembuat kebijakan kepada pelaksana kebijakan. Berdasarkan teori

dari Goerge Edward III, komunikasi berkenaan dengan bagaimana kebijakan

dikomunikasikan kepada organisasi dan/atau publik dan sikap serta tanggapan dari

para pihak yang terlibat (Nugroho, 2017). Dalam teori tersebut dijelaskan bahwa

syarat pertama agar kebijakan berjalan efektif, kebijakan harus disampaikan dan

diketahui oleh orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk melaksanakannya

dengan konsisten, jelas dan akurat dalam rangka mewujudkan tujuan yang

diharapkan (Edward III, G. C., & Sharkansky, 1978).

Menurut Pressman dan Wildavsky (1984), kunci implementasi kebijakan

yang efektif terletak pada kemampuan untuk merancang sebuah sistem di mana

hubungan antara penentu kebijakan dan pelaksana kebijakan jelas dan kuat.

Komunikasi harus disampaikan secara akurat dan dapat dimengerti dengan cermat,

Page 166: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

145

Universitas Indonesia

oleh para pelaksana nya (Pressman, J. L., & Wildavsky, 1984). Hal ini sejalan

dengan teori komunikasi yang dikemukakan Lasswel dalam Abidin (2016: 18) yang

menyebutkan bahwa pertanyaan yang perlu dijawab dalam proses komunikasi

adalah siapa (who), mengatakan apa (says what), menggunakan media apa (in

which), kepada siapa (to whom) dan apa dampaknya (what effect) (Abidin, 2016).

Menurut Edward III dalam Rusli (2015:100-104), terdapat tiga aspek yang penting

dalam komunikasi (Rusli, 2015) yaitu :

Transmisi

Transmisi adalah faktor utama dalam komunikasi, karena sebelum pejabat

publik mengimplementasikan suatu keputusan, ia harus menyadari bahwa suatu

keputusan telah dibuat dan suatu perintah untuk pelaksanaanya telah dikeluarkan

(Rusli, 2015), selanjutnya penyaluran komunikasi yang baik akan dapat

menghasilkan suatu implementasi yang baik pula (Agustino, 2008). Dalam proses

implementasi, ketidaktaatan akan kebijakan yang sudah ditetapkan dapat

disebabkan karena terdapat gangguan transmisi atau hambatan penyeluran

informasi dari penentu kebijakan ke pelaksana kebijakan.

Hasil penelitian pada aspek transmisi, perintah menerapkan KBK telah

terbit melalui Peraturan Bersama Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan RI

dan Direktur Utama badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan

No.HK.01.08/III/980/2017 No.2 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan

Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan pada FKTP.

Aspek transimisi berupa sosialisasi tentang KBK dilakukan cukup optimal oleh

BPJS, dengan paparan dalam level pemberitahuan di tingkat provinsi, dan lebih

pada tingat Sudinkes, dan secara langsung kepada Puskesmas kecamatan,

sementara pada puskesmas tingkat kelurahan aspek transmisi melaui

pemberitahuan email dan diperdalam oleh sosialisasi dari Puskesmas Kecamatan.

Sementara sosialisasi dari penentu kebijakan Pusat, yaitu Kementerian Kesehatan

masih kurang, sehingga seolah-olah BPJS memiliki kepentingan dalam hal ini, di

sisi lain hal ini dimaksudkan untuk penjagaan mutu pelayanan itu sendiri,

Kementerian Kesehatan terlibat dalam tataran perumusan kebijakan dan sounding

terkait formulasi kebijakan.

Page 167: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

146

Universitas Indonesia

Aspek transmisi ini diperkuat dengan adanya kompensasi pemotongan

apabila salah satu atau salah dua dari tiga capaian tidak tercapai, atau kompensasi

yang lebih besar jika 3 indikator tidak dapat dilaksanakan. Maka mau tidak mau

sejak puskesmas menyetujui adanya kompensasi itu dilaksanakan, mereka harus

berupaya maksimal agar target indikator tercapai. Sehingga jika melihat kebijakan

ini hanya dalam bentuk Keputusan bersama telah cukup karena adanya kompensasi

memberikan efek jera untuk pelaksana berupaya sebaik mungkin untuk

melaksanakannya.

Transmisi sosialisai cukup baik dilakukan oleh BPJS sampai dengan level

Puskesmas Kecamatan, namun transminsi dirasa belum cukup di luar sector

pemerintah, ada beberapa hambatan dikarenakan terkait konsep kewilayahan,

sehingga untuk FKTP swasta, klinik dan DPP belum diberlakukan konsekuensinya,

dari cabang tetap menilai semuanya, perber kemenkes dan BPJS sampai dengan 31

Desember 2017, dalam artian tahun 2018 sudah berlaku. Pemberlakukan tetap

berkoordinasi dengan dinkes, asosiasi Asklin PKFI mengetahui, DKI Jakarta

sepakat melakukan konsekuensi pada bulan Juli 2018 untuk FKTP swasta dan telah

memului tahap persiapan sejak Januari 2018.

Jika mengacu pada teori yang ada hasil dari penelitian ini sejalan dengan

teori tersebut yaitu, salah satu penyebab kegagalan komunikasi adalah

penyampaian informasi yang tidak langsung (indirect) serta struktur informasi yang

bertingkat, menyebabkan informasi yang disampaikan melalui hierarki dan

birokrasi yang berlapis-lapis. Seringkali terjadi masalah dalam penyaluran

komunikasi yaitu adanya salah pengertian (miskomunikasi) yang disebabkan

banyaknya tingkatan birokrasi yang harus dilalui dalam proses komunikasi,

sehingga apa yang diharapkan terdistorsi di tengah jalan (Winarno, 2012). Dan

untuk mengatasi hal ini, maka selain BPJS berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan

Provinsi dan Sudinkes, BPJS juga secara langsung mengcounter sosialisasi kepada

Puskesmas Kecamatan dengan mengundang Sudinkes, sehingga kendala transmisi

komunikasi cukup bisa diatasi dengan baik, dan koordinasi yang cukup baik kepada

Dinas kesehatan provinsi mendorong Dinkes Provinsi untuk turut serta mendukung

kebijakan KBK.

Page 168: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

147

Universitas Indonesia

Dalam hal ini kegagalan komunikasi dalam aspek transmisi, bisa juga

disebabkan oleh kurang tepatnya pemilihan transmitter atau sarana penyampaian

pesan. Menurut Shannon dalam Abidin (2016: 19) pemilihan transmitter tergantung

jenis komunikasi yang akan disampaikan dan penerima pesan. Sehingga bisa terjadi

tidak efektifnya transmisi karena pemilihan saluran penyampaian pesan yang tidak

sesuai kondisi atau kemampuan penerima pesan tersebut. Pada dasarnya proses

transmisi kebijakan dilakukan dengan dua cara menurut (Lason, 1986) dalam

(Adisasmito, 2013) yaitu : (1) sosialisasi melalui pertemuan langsung, melalui

pertemuan langsung dilakukan dengan menggunakan pertemuan-pertemuan formal

yang sengaja diadakan dalam rangka pelaksanaan peraturan. Namun juga dapat

dilakukan secara informal dengan menggunakan peraturan-peraturan yang telah ada

sebelumnya. (2) sosialisasi melalui media informasi baik media informasi

tradisional maupun tokoh-tokoh masyarakat yang dipercaya dan menjadi panutan

masyarakat maupun yang telah modern media cetak seperti surat kabar, majalah

dan lainnya serta media elektronik berupa radio, televisi, internet dan lain

sebagainya; dan (3) working group atau kelompok kerja yang ditugaskan untuk

melakukan finalisasi rancangan peraturan yang telah dibuat. Transmisi informasi

tentang kebijakan KBK telah dilakukan BPJS melalui metode ceramah dalam

forum resmi yang diadakan oleh BPJS di suatu tempat dengan mengundang

Sudinkes, namun mengingat keberagaman FKTP swasta, klinik, dan Dokter Praktik

Perorangan, maka proses transmisi informasi ke seluruh FKTP swasta perlu lebih

massif dan menggunakan transmitter atau metode yang tepat sesuai kondisi yang

dibutuhkan, seperti pendekatan kepada ketua asosiasi profesi, seperti Asosiasi

Klinik, PKFI, IDI. Hal ini beberapa kali telah dilakukan, karena yang hadir bukan

ketua yang diharapkan bisa tahu dan bisa menggerakkan anggotanya, maka proses

tranmisi cukup berjalan cukup sulit.

Kejelasan

Apabila suatu kebijakan ingin diimplementasikan sebagaimana mestinya,

maka kebijakan tidak cukup diterima, namun petunjuk pelaksanaan harus difahami.

Komunikasi yang diterima oleh pelaksana kebijakan (street-level-bureaucrats)

harus jelas dan tidak membingungkan atau tidak ambigu/mendua (Winarno, 2012).

Page 169: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

148

Universitas Indonesia

Dari hasil penelitian diketahui bahwa, pada aspek kejelasan yang meliputi

pemahaman terkait ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Bersama Sekretaris

Jenderal Kementerian Kesehatan RI dan Direktur Utama badan Penyelenggaraan

Jaminan Sosial Kesehatan No.HK.01.08/III/980/2017 No.2 Tahun 2017 tentang

Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan

Komitmen Pelayanan pada FKTP dan terkait pelaksanaan pengelolaan dana

kapitasi berdasar pada Peraturan Guberur Provinsi DKI Jakarta No. 165 Tahun

2012 tentang Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah di tingkat

Dinas Kesehatan yang sebelumya berupa Jamkesda dan sekarang era JKN

mengalami perubahan PIC dari Bidang Yankes ke Bidang Perencanaan

Pembiayaan, sehingga masih dalam tahap penyesuaian terkait personal tim yang

mengambil alih perubahan tersebut, sehingga dinilai kurang cukup terpapar dengan

kebijakan KBK ini.

Sedangkan di tingkat Suku Dinas Kesehatan, PIC terbagi di 2 bidang, terkait

pencapaian indikator KBK di Bidang Yankes, sedang terkait pemanfaatan kapitasi

di bawah Kepala TU, sehingga masing-masing bagian tidak memegang secara utuh

memungkinkan adanya celah dimana melemahkan sisi monitoring dan evaluasi.

Inkonsistensi terkait MoU BPJS Puskesmas yang kurang melibatkan kehadiran

Dinas Kesehatan provinsi berdampak lemahnya fungsi control dari Dinas

Kesehatan provinsi dan Suku Dinas Kesehatan

Hal ini telah cukup jelas untuk pelaksanan di tingkat Puskesmas Kecamatan,

karena telah secara langsung mendapat sosialisasi dari BPJS, dan dari sisi

pemanfaatan dana kapitasi telah cukup jelas karena mekanaisme BLUD ini telah

dilaksanakan sejak 2012. Dan menjadi kurang jelas mekanisme pengelolaan dana

kapitasi untuk Puskesmas tingkat kelurahan, karena beberapa puskesmas tidak

terlibat seutuhnya terhadap pengelolaan dana kapitasi. Adapun terkait mekanisme

pengelolaan dana yang masuk ke dalam rekening BLUD ada beberapa PIC, yang

masing-masing PIC kurang terpadu sehingga bisa memungkinkan terjadi

overlapping dalam perencanaan, pengelolaan, dan pertanggungjawaban dana

kapitasi. Menurut Edward III dalam Winarno (2012) salah satu penyebab terjadinya

miskomunikasi yaitu pada permasalahan penangkapan informasi yang diakibatkan

oleh persepsi dan ketidakmampuan para pelaksana dalam memahami persyaratan-

Page 170: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

149

Universitas Indonesia

persyaratan suatu kebijakan. Menurut pendapat yang disampaikan oleh informan

dalam penelitian ini dijelaskan bahwa di kelurahan tidak ada tim pejabat pengadaan

dengan kualifikasi tertentu yang bisa didayagunakan untuk pengelolaan dana

kapitasi tersebut sehingga manajemen SDM, dan pengelolaan keuangan harus

terpusat di Puskesmas Kecamatan.

Kejelasan ini juga dinilai kurang untuk beberapa Puskesmas yang yang

masih mempunyai kendala tingginya angka rujukan karena indikasi permintaan

pasien. Kegagalan disebabkan oleh penetapan strategi yang salah dalam

menyalurkan komunikasi dan menggunakan mesin penggerak yang salah

(Pressman, J. L., & Wildavsky, 1984), yaitu manajemen tidak memanfaatkan

pertemuan-pertemuan informal serta media sosial yang ada untuk melakukan

sosialisasi serta menggerakkan seluruh staf untuk menyebarkan informasi secara

luas kepada masyarakat. Hakikatnya komunikasi yang dilaksanakan organisasi

pemerintahan menurut Sendjadja (1994) dalam Abidin (2016 ; 40) memiliki fungsi

sebagai (1) fungsi informatif, yaitu pelaksana atau masyarakat mendapat informasi

lebih banyak, lebih jelas, dan tepat waktu; (2) fungsi regulatif, yaitu pelaksana atau

masyarakat mengetahui peraturan yang berlaku dan kejelasan tentang hal yang

boleh dan tidak boleh; dan (3) fungsi persuasif, yaitu mengajak pelaksana atau

masyarakat untuk melakukan kebijakan tertentu.

Konsistensi

Dalam sebuah penyelenggaraan negara, khususnya bidang kesehatan,

terkadang tidak hanya satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, terkadang

terdapat beberapa kebijakan dari berbagai program. Untuk mencapai implementasi

yang efektif, perintah yang diberikan harus konsisten dan jelas untuk ditetapkan

atau dijalankan. Jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat

menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan (Rusli, 2015). Sejauh ini

sudah ada perubahan Peraturan Bersama BPJS Kemenkes dari awal pelaksanaan di

tahun 2016 dan tahun 2017, namun perubahan ini diimbangi dengan sosialisasi

langsung yang bisa memangkas aspek birokrasi, sehingga KBK tetep bisa

dilaksanakan.

Page 171: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

150

Universitas Indonesia

Dari hasil penelitian diketahui bahwa kebijakan implementasi KBK sejalan

dengan kebijakan KPLDH, yang mana salah satu fokusnya upaya peningkatan

kontak sehat yang bisa meningkatkan capaian KBK di indikator angka sehat,

sejalan dengan kebijakan KPLDH yang telah membuat tim khusus door to door

untuk melakukan pendataan kesehatan warga masyarakat DKI Jakarta, sehingga

sekali merengkuh dayung 2, 3 pulau terlampaui, target KPLDH terpenuhi, bilain

hal indikator angka kontak terpenuhi. Sementara hal tersebut bisa diterima, karena

spesifikasi standar pencapaian angka sehat belum diperketat persyaratan yang harus

dipenuhi jadi masih bisa diakomodir sehingga dianggap konsisten antara penentu

kebijakan dan pelaksanan kebijakan antara capaian KPLDH dengan dengan

kenaikan angka kontak yang berasal dari kontak sehat.

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan inkonsistensi mengenai alur

pelaporan angka kontak melalui p care langsung ke BPJS, sedangkan KPLDH

mempunyai aplikasi tersendiri yang pelaporannya diakomodir per wilayah yang di

entry per hari, jadi masing-masing belum ada bridging yang mengintegrasikan

keduanya, sehingga kalaupun entry di p care, tim KPLDH harus melakukan entry

2 kali jika harus melakukan entry untuk angka kontak sehat. Hal tersebut sejalan

dengan teori Edward, yang menyatakan bahwa inkonsistensi bisa terjadi bila

kebijakan yang harus dilakukan cukup kompleks, pelaksanaan program baru serta

banyaknya tujuan dari berbagai kebijakan. Diharapkan ke depannya ada bridging

integrase aplikasi antara p care dan KPLDH sehingga dapat mendukung efektifitas

implementasi KBK.

Hal senada terjadi juga overlapping antara capaian KPLDH dengan upaya

pencapaian indikator PIS-PK yang harus di entry ke Pusdatin Kemenkes, dimana

data yang sama dilakukan entry di tiga aplikasi berbeda, namun masing-masing

memiliki perbedaan indikator, dimana jumlah KPLDH disinyalir lebih banyak

karena telah berjalan lebih dahulu dibandingkan dengan PIS-PK, namun upaya ini

belum mendapat jalur tengah, yang bisa mengakomodir keduanya, yang seharusnya

bisa dilakukan untuk efektifitas proses, capaian, dan terutama pelayanan yang

bermutu, dimana waktu yang seharusnya digunakan untuk proses entry data, bisa

untuk memperbaiki mutu pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.

Page 172: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

151

Universitas Indonesia

Berdasarkan ketiga aspek dari variabel komunikasi dapat disimpulkan

bahwa aspek komunikasi implementasi KBK Puskesmas di Wilayah DKI Jakarta

telah cukup baik pada aspek transmisi, namun masih kurang efektif dari aspek

kejelasan dan konsistensi, namun dalam pelaksanaannya telah cukup baik dalam

hal capaian 3 indikator KBK. Sehingga bukan hanya sampai disitu perlu digali lebih

jauh terkait kualitas capaian indikator komitmen palayanan itu sendiri apakah

cukup berimpak kepada tujuan yang lebih besar yang diharapkan.

Kegiatan sosialisasi berjenjang belum secara luas dilakukan, masih

terbatasnya pelatihan teknis penguatan kompetensi dokter untuk menyelesaikan

144 penyakit, pemenuhan sarana prasarana, obat-obatan, pengkondisian edukasi

kepada masyarakat terkait efektif dan efisien, kualitas pelayanan yang diberikan

puskesmas, sehingga dirasa perlu penggerakan tokoh masyarakat untuk membantu

percepatan perubahan mindset utuk tidak datang ke puskesmas hanya untuk

meminta rujukan, perlu adanya penguatan keyakinan akan kemampuan puskesmas

masa era JKN adalah lebih baik dan lebih mumpuni untuk menyelesaikan masalah-

masalah kesehatan baik individu ataupun komunitas. Tidak hanya itu penguatan

fasilitas pelayanan kesehatan swasta dan lintas program terkait mutlak dilakukan

untuk bersama-sama mewujudkan visi yang diharapkan. Hal ini sejalan dengan

teori Edward yang menyatakan bahwa komunikasi yang tidak efektif akan

mempengaruhi baik secara langsung ataupun tidak langsung terhadap implementasi

kebijakan (Rusli, 2015).

Aspek komunikasi implementasi KBK Puskesmas di DKI Jakarta sudah

cukup efektif, namun ada beberapa hal yang masih tidak efektif sehingga menjadi

hambatan berdampak kepada kualitas indikator capaian KBK. Oleh karena itu,

dalam rangka implementasi KBK ini diperlukan aspek komunikasi yang memenuhi

4 dimensi, yaitu: (1) komunikasi ke bawah, yaitu kepada pelaksana kebijakan di

tingkat paling bawah serta masyarakat sebagai sasaran kebijakan dengan

menggunakan metode yang mudah dipahami, sehingga lebih taat prosedur dan

mengurangi rujukan atas indikasi permintaan pasien; (2) komunikasi ke atas, yaitu

Kepala Suku Dinas Kesehatan, dan Dinas Kesehatan Provinsi untuk efektifitas

pendampingan agar Puskesmas untuk bisa mampu laksana terhadap 144 diagnosis

yang sudah harus selesai di Puskesmas (3) komunikasi horisontal kepada lintas

Page 173: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

152

Universitas Indonesia

sektor dan lintas program setara;serta (4) komunikasi lintas saluran, yaitu

komunikasi yang melewati batas fungsional. Perhatikan hambatan hambatan utama

kegagalan implementasi KBK berupa kepentingan kelompok tertentu dari

pelaksana, baik yang sifatnya individu maupun organisasi yang dapat menghambat

pencapaian tujuan implementasi KBK

Disposisi

Disposisi merupakan suatu kecenderungan individu untuk bersikap,

bertindak, atau bertingkah laku terhadap suatu perlakuan tertentu (Ennis, 1996),

sedangkan menurut Edward dalam Widodo (2017 : 104), disposisi adalah kemauan,

keinginan dan kecenderungan dari pelaksana kebijakan untuk melaksanakan

kebijakan secara sungguh-sungguh, sehingga apa yang menjadi tujuan kebijakan

dapat diwujudkan (Widodo, 2017). Pada implementasi kebijakan, tidak cukup

dengan kecakapan yang dimiliki pelaksana kebijakan, namun juga kesediaan dan

komitmen untuk melaksanakan kebijakan. Pada penelitian ini, penilaian terhadap

disposisi dilihat dari 2 (dua) aspek yakni, sikap pelaksana kebijakan dan pemberian

insentif kepada tenaga pelaksana kebijakan

Sikap pelaksana

Sikap pelaksana kebijakan dapat muncul dalam sikap menerima, acuh tidak

acuh atau menolak kebijakan. Munculnya sikap tersebut dipengaruhi oleh

pengetahuan, pendalaman dan pemahaman akan kebijakan. Sikap pelaksana

kebijakan penting untuk diketahui apakah sejalan dengan pembuat kebijakan serta

bagaimana implementasi kebijakan yang sudah dilaksanakan. Hal ini dikarenakan,

menurut (Rusli, 2015) apabila sikap atau pandangan pelaksana kebijakan berbeda

dengan pembuat kebijakan maka proses pelaksanaan kebijakan akan menjadi

kompleks. Jika komunikasi telah berjalan efektif, maka diharapkan sikap pelaksana

akan positif atau mendukung terhadap kebijakan.

Hasil studi didapatkan bahwa sikap pelaksana kebijakan merespon yang

dimiliki oleh Puskesmas cukup baik, awalnya dilaksanakan mengalir, namun

ternyata dengan capaian yang tidak memenuhi akan berimpak terhadap pemotongan

kapitasi per bulan yang diterima, sehingga berupaya melakukan usaha lebih untuk

Page 174: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

153

Universitas Indonesia

pencapaian indikator KBK, karena sikap acuh tak acuh akan berimpak terhadap

pemasukan finansial yang mereka terima. Pemotongan kapitasi bisa memberikan

efek jera yang secara langsung bisa memaksa pelaksana untuk bisa mencapainya

agar tidak ada konsekuensi yang mereka terima, dalam hal ini sekaligus

“punishment” jika mereka tidak berupaya untuk mencapainya, sehingga ada upaya

untuk “menghalalkan segala cara” agar indikator tersebut bisa dicapai sehingga

memunculkan beberapa indikasi fraud dalam upaya pencapaian indikator KBK

yang dilakukan, demi tidak dipotongnya kapitasi yang diterima oleh Puskesmas,

karena seandainya kapitasi yang diterima adalah 1M, maka pemotongan 8% adalah

80 juta, jumlah itu cukup besar yang bisa dimanfaatkan untuk operasional

puskesmas BLUD. Indikasi – indikasi ini terlihat di beberapa Puskesmas yang

pencapaiannya melonjak terlampau tinggi seperti dari pencapaian angka kontak 60

permil ke 300 pemil dalam waktu kurang dari 2 tahun dengan standar sumber daya

yang tidak terlalu banyak perubahan, dan untuk penurunan RRNS yang turun secara

curam.

Jika melihat statement dari beberapa informan kunci, beberapa Puskesmas

dengan capaian yang melonjak tinggi dan kepesertaannya besar, terindikasi

melakukan fraud, karena kepesertaan besar secara otomatis denominator sebagai

pembagi dari penghitungan angka kontak besar, dengan demikian dibutuhkan

jumlah yang harus besar pula terkait kontak komunikasi yang dilakukan untuk

mendapatkan capaian indikator angka kontak yang besar, sehingga diperlukan

investigasi lanjutan terkait hal tersebut.

Indikasi fraud juga didapatkan bahwa memungkinkan bagi Puskesmas

untuk melakukan entry nomor kepesertaan BPJS di periode bulan yang berbeda.

Dan terkait capaian indikator prolanis tidak semua pasien dengan penyakit kronis

didaftarkan, atau dengan mengeluarkan peserta penyakit kronis untuk

meminimalisir denominator, sehingga capaian selalu tercapai, meski peserta

dengan penyakit kronis cukup besar di wilayah puskesmas tersebut, hal ini

seharusnya menjadi investigasai lebih lanjut untuk puskesmas melakukan

pendataan pemetaan peserta dengan penyakit kronis secara utuh di suatu wilayah.

Sehingga pencapaian indikator prolanis ini adalah benar-benar dipastikan

kualitasnya.

Page 175: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

154

Universitas Indonesia

Sikap pelaksana kebijakan yang demikian tidak sejalan dengan tujuan

pembuat kebijakan, yang sejatinya untuk target indikator dimaksudkan untuk

perbaikan mutu pelayanan kesehatan dan efektifitas pembiayaan pelayanan

kesehatan, pada pelaksana tujuan pemenuhan target adalah agar kapitasinya tidak

dilakukan pemotongan.

Namun tidak semua menjurus ke arah indikasi fraud, focusing on individual

actions as a starting point enables them to be seen as responses to problems or

issues in the form of choices between alternatives (Hill & Hupe, 2002), adakalanya

upaya positif dan inovatif dari Puskesmas patut diapresiasi dan dijadikan proyek

percontohan untuk wilayah lainnya. Dalam upaya pencapaian indikator KBK

ditunjang dengan dilaksanakannya KPLDH (Ketuk Pintu Layani Dengan Hati),

yang mempunyai tim khusus yang terdiri dari 3 orang tenaga kesehatan dokter,

perawat, dan bidan yang secara regular mendata dan melakukan home visit di

wilayah kerja Puskesmas. Hal tersebut menambah peningkatan indikator angka

kontak dalam sisi kontak komunikasi sehat. Hal tersebut positif dilakukan untuk

mengrangi hazard dari penurunan kualitas dikarenakan secara hitungan puskesmas

dengan kunjungan tinggi, maka akan semakin kecil waktu yang akan dipakai untuk

attachment tenaga kesehatan dengan peserta, karena tuntutan yang tinggi untuk

menyelesaikan beban pasien yang harus ditangani, sehingga akan mengindikasikan

penurunan kualitas, lain halnya dengan upaya KPLDH karena adanya penambahan

tim khusus untuk melakukan upaya pendataan home visit, dan mengenali resiko

kesehatan pada setiap kunjungan yang dilakukan. Sehingga secara terpisah dari

upaya penjagaan mutu yang telah dilakukan Puskesmas terhadap pelayanan dalam

gedung.

Hal ini sejalan dengan upaya PIS-PK (Program Indonesia Sehat-Pendekatan

Keluarga), diharapkan upaya ini tidak hanya semata pendataan dan berhenti disini,

lebih jauh ke upaya yang bisa secara berkelanjutan, baik kunjungan ulang dan

intervensi terhadap masalah kesehatan yang ada, diharapkan dengan upaya ini,

kunjungan sakit ke Puskesmas akan semakin berkurang diganti dengan kunjungan

sehat yang mulai aktif dilaksanakan.

Hal positif pelaksana juga ditemukan bahwa pelaksana yang handal akan

mulai melakukan pendekatan-pendekatan untuk merubah mindset para peserta

Page 176: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

155

Universitas Indonesia

untuk meyakinkan terkait kualitas pelayanan Puskesmas, untuk terus

mengkampanyekan pola hidup sehat sebagai hal yang utama, sehingga tidak lagi

membutuhkan pelayanan di RS kecuali untuk masalah-masalah spesialistik yang

tidak bisa ditangani di Puskesamas dengan standar kompetensi yang mumpuni

ditunjang dengan alat, obat, sarana, dan prasarana yang tersedia sesuai dengan

standar. Penggiatan promotive dan preventif untuk meningkatkan capaian

kunjungan sehat yang meningkatkan indikator angka kontak, dengan upaya

signifikan ini, diharapkan kunjungan sehat akan semakin naik, dan kunjungan sakit

berkurang, dan secara otomatis akan mengurangi jumlah rujukan ke RS, dan bisa

mengurangi biaya pengobatan, klaim RS yang berdampak pada efisiensi biaya,

didapatkan bahwa sikap dan komitmen pelaksana kebijakan sudah cukup baik

terhadap upaya pencapaian indikator KBK.

Dilihat dari hasil yang didapatkan jika mengacu terhadap teori yang ada

tentang disposisi pada sikap pelaksana kebijakan, maka dijelaskan apabila

pelaksana kebijakan memiliki sikap positif terhadap suatu kebijakan tertentu maka

dapat diartikan mendukung sehingga membuat kebijakan dapat terselenggara sesuai

pembuatan keputusan diawal (Rusli, 2015). Namun pada kebijakan yang bersipat

top down seperti kebijakan KBK rentan terjadi perubahan sikap pelaksana, karena

menurut pendapat Massie (2009) pengembangan kebijakan biasanya top-down

dimana Kementrian Kesehatan dan BPJS memiliki kewenangan dalam penyiapan

kebijakan. Implementasi kebijakan dan strateginya adalah buttom-up.

Kebijakan seharusnya dikembangkan dengan partisipasi oleh mereka yang

terlibat dalam kebijakan itu. Hal ini untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut

realistis dan dapat mencapai sasaran, sehingga jika pelaksana terlibat dalam

penetapan kebijakan, maka akan muncul komitmen dari para pelaksana kebijakan

untuk mengembangkan strategi agar kebijakan dapat tersosialisasikan secara luas,

sampai pada penerima manfaat atau sasaran kebijakan, yaitu masyarakat (Massie,

2009). Hal ini bisa ditindaklanjuti dengan penilaian berat ringannya target indikator

apakah selama ini sudah sesuai dengan kondisi Puskesmas, sehingga target yang

realistis akan mudah dilaksanakan oleh pelaksana, tanpa ada indikasi fraud di

dalamnya, ataukah indikator capaian terlalu mudah sehingga secara serentak

Puskesmas dengan mudah mencapai indikator tersebut, ataukah jika hampir semua

Page 177: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

156

Universitas Indonesia

faskes bisa mencapainya, maka perlu meningkatkan jumlah indikator capaian yang

bisa dijadikan target sesuai dengan yang tertera pada bahwa ada 9 indikator yang

bisa dipersyaratkan dalam Primary Care/Specialty care in the Era of

Multimorbidity yan meliputi first contack, comprehensive, coordination, family

focus, community, resources available, total score, access, longitudinal (Starfield,

2010) dengan penghitungan yang matang dan mempertimbangkan Indonesia

sebagai wilayah yang beragam, sehingga kadangkala suatu kebijakan cocok untuk

diterapkan di suatu wilayah, akan tetapi bisa dimungkinkan tidak bisa dilaksanakan

di wilayah lain, sehingga menimbulkan mindset “acuh tak acuh” di kalangan

pelaksana, yang berakibat fatal terhadap keberlangsungan terhadap program lain

yang akan diluncurkan, dimana pelaksana sudah merasakan ketidakpercayaan

terhadap pembuat kebijakan.

Adakalanya pelaksana yang sangat gigih untuk bisa menerapkan prinsip

sehingga mendapat konfrontasi dengan beberapa pihak, yang berakibat adanya

konflik hanya karena tidak memberikan rujukan atas indikasi permintaan pasien,

sehingga pelaksana tersebut dipindahkan karena hal tersebut, maka hal ini perlu

adanya kebijakan lain untuk menghadapinya. Langkah lain yang seringkali diambil

dalam mengatasi perubahan sikap pelaksana adalah memindahkan ke unit lain.

Menanggapi kondisi tersebut, menurut Edwards (1980) bahwa “transferring is not

panacea for the problem of implementors’ dispositions because it doesn’t solve

problem; it just remove them.” Bahwa perpindahan/pergantian pelaksana

sesungguhnya bukanlah ‘obat mujarab’ yang dapat menyembuhkan permasalahan

implementasi. Kecuali mungkin ada pejabat yang memang tidak “mampu” untuk

melaksanakan kebijakan tersebut, bukan karena berbeda paham atau karena

perbedaan interpretasi terhadap konten dan konteks kebijakan.

Komitmen Pelayanan

Komitmen pelayanan dijelaskan dengan kurang bagus oleh variable

pemenuhan waktu praktik dan pengelolaan klub prolanis. Terkait pengelolaan Klub

Prolanis, pada awalnya berhubungan dengan capaian indikator komitmen

pelayanan dg convergent validity >0.4, dikarenakan nilai Cronbach alpha <0.5,

maka akan berpengaruh kepada kekekaran model, sehingga dikeluarkan dari

Page 178: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

157

Universitas Indonesia

pemodelan. Secara substansi mempunyai hubungan dengan capaian indikator

komitmen pelayanan puskesmas di wilayah DKI Jakarta khususnya rasio prolanis,

karena dengan adanya pengelolaan klub prolanis ini, maka kunjungan peserta

dengan penyakit kronis bisa dilakukan follow up dengan teratur. Sehingga jika

terjadi komplikasi bisa langsung ditangani sehingga ada kenaikan angka kontak,

dan jika memerlukan konsultasi kepada jenjang lebih lanjut bisa langsung

dilakukan rujukan, dan bisa dikontrol rujuk balik kepada puskesmas jika telah

stabil.

Sejauh ini sebanyak 215 puskesmas (63.2%) telah melakukan pengelolaan

klub prolanis, beberapa puskesmas belum menyelenggarakan klub prolanis

dikarenakan adanya kendala SDM yang bisa melakukan pengelolaan tersebut.

Insentif/Kapitasi

Insentif merupakan salah satu bagian dari penentu individu sebagai

pelaksana kebijakan dalam bersikap (Edward, 1980) dalam (Agustinus, 2006). Pada

aspek insentif bagi pelaksana kebijakan, yang dinilai disini adalah bagaimana

mekanisme pemanfaatan dana kapitasi untuk pembagian jasa pelayanan, sehingga

memperkuat upaya pencapaian 3 indikator komitmen pelayanan. Adapun sesuai

hasil dari analisis data kuantitatif, variable eksogen disposisi dijelaskan secara baik

oleh variable insentif, dalam pemodelan terbukti mempunyai hubungan dengan

capaian indikator komitmen pelayanan puskesmas di wilayah DKI Jakarta, dan

mempunyai loading score positif (1.000), nilai koefisien estimate antar variable

0.232 dan secara statistik signifikan dengan p value 0.044 (< 0.05). Bahwasaannya

semakin besar kapitasi yang diterima oleh puskesmas, maka secara signifikan akan

mempengaruhi capaian indikator komitmen pelayanan.

Hal ini bisa dijelaskan semakin besar kapitasi yang diterima oleh

puskesmas, maka semakin baik capaian indikator komitmen pelayanan. Puskesmas

dengan kapitasi besar mempunyai latar belakang puskesmas yang mempunyai

sumber daya yang baik, baik dalam kuantitas dan kualitas, dalam operasionalnya

mereka membutuhkan kapitasi yang lebih besar untuk mendanai squad yang

mereka miliki, ditambah dengan adanya konsekuensi pemotongan 0.8% saja akan

sangat mempengarui operasional mereka, terkait pemberian jasa dan gaji. Jadi

Page 179: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

158

Universitas Indonesia

sebisa mungkin puskesmas dalam keadaan seperi ini akan berusaha sekuat mungkin

untuk agar capaian dalam posisi aman, dan jika memungkinkan bisa meningkatkan

capaian indikator komitmen pelayanan.

Berbeda dengan hasil penelitian (Nurbaiti, 2001) pada masa Askes, jasa

pelayanan yang mereka dapatkan lebih kecil antara Rp. 41,404.50 sampai dengan

Rp. 5.965.495 pertriwulan, dan tidak ada mekanisme reward atau punishment,

puskesmas yang berhasil menekan angka rujukan menerima pembayaran yang sama

dengan puskesmas yang rujukannya tinggi. Maka dalam hal ini puskesmas kurang

terpacu untuk efisiensi tersebut, berbeda dengan era JKN, karena besaran kapitasi

cukup besar ditambah adanya konsekuensi pemotongan, maka puskesmas berusaha

dengan segala cara agar kapitasinya tidak dipotong.

Untuk itu pada penelusuran data kualitatif kami mencoba untuk menggali

seberapa penting aspek kapitasi bagi puskesmas ini. Berdasarkan pengambilan data

melalui WM dari informan ada perbedaan pemanfaatan kapitasi untuk jasa

pelayanan. Untuk awalnya kita mencari tahu seperti apa mekanisme pencairan dana

kapitasi sampai ke puskesmas kelurahan.

Struktur pengorganisasian puskesmas di wilayah DKI berbeda dengan di

daerah lain, DKI mempunyai kekhususan karena ada beberapa aspek yang

membedakan dengan wilayah lain di luar DKI, yakni adanya nomenklatur

puskesmas kelurahan, dimana puskesmas kelurahan ini telah mendapat nomor

registrasi sendiri di Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan sebagai satu

keutuhan Puskesmas sehingga harus memenuhi persyaratan sebagaimana

tercantum di Permenkes 75 tahun 2014 tentang Puskesmas, dan dalam mekanisme

BPJS telah mempunyai kepesertaan dan kapitasi secara utuh. Namun dalam

operasionalisasi pelaksanaan puskesmas kelurahan hanya melaksanakan tugas

pelayanan kepada masyarakat, namun fungsi managemen keuangan, SDM masih

mengampu pada Puskesmas Kecamatan sebagai induknya.

Dalam pencatatan pencapaian indikator komitmen pelayanan pada sistem p-

care puskesmas kecamatan melaksanakan pencatatan secara mandiri, karena telah

mempunyai peserta JKN tersendiri dalam wilayahnya, sehingga secara mandiri juga

telah mempunyai capaian angka kontak, rasio rujukan kasus non spesialistik, dan

rasio prolanis. Namun dalam mekanisme pencairan dana kapitasi Puskesmas

Page 180: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

159

Universitas Indonesia

Kelurahan dari BPJS ke BLUD Puskesmas Kecamatan, jadi dana kapitasi tidak

turun langsung ke Puskesmas Kelurahan.

Mekanisme pemanfaatan dana kapitasi di DKI berdasarkan pada Peraturan

Gubernur 150 tahun 2016 tentang Pedoman Teknis Penilaian Usulan Penerapan

Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (Gubernur, 2016) dan

Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 165 tahun 2012 tentang Pola

Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (Gubernur, 2012), dana

kapitasi yang masuk di Puskesmas masuk di rekening BLUD Puskesmas

Kecamatan dan menjadi kewenangan Puskesmas untuk pengelolaannya sesuai

dengan prinsip-prinsip yang ada di pedoman yang pelaksanaannya dimaksudkan

untuk peningkatan pelayanan masyarakat, pemberian fleksibilitas pengelolaan

keuangan, meringankan beban APBD, meningkatkan kemandirian, bukan kekayaan

daerah yang dipisahkan, bagian dari perangkat daerah, penyelenggaraan pelayanan

sesuai dengan praktik bisnis yang sehat dengan mengutamakan efektifitas dan

efisiensi serta kualitas pelayanan umum kepada masyarakat.

Agak berbeda dari Puskesmas yang belum BLUD yang mendasarkan

pemanfaatan pada Permenkes No. 21 Tahun 2016 tentang Penggunaan Dana

Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional untuk Jasa Pelayanan dibanding operasional

dengan proporsi 60 : 40 (K. Kesehatan, 2016), pemanfaatan pada Puskesmas

dengan BLUD lebih fleksibel dan berbeda-beda di beberapa wilayah disesuaikan

dengan keadaan masing-masing Puskesmas. Penggunaan kapitasi digunakan untuk

pembiayaan BLUD terbagi menjadi tiga yaitu belanja pegawai, barang jasa, dan

belanja modal. Dari belanja pegawai ini digunakan untuk membiayai gaji dan TKD

untuk pegawai non PNS. Karena disinyalir karena pengaruh moratorium jumlah

PNS lebih kecil dibanding jumlah pelayanan untuk ke masyarakat, jadi rekruitmen

pegawai non PNS cukup banyak, sehingga pembiayaan bisa menggunakan dana

kapitasi. Dan belanja barang itu biasanya digunakan untuk bahan obat-obatan,

bahan lab, belanja pelayanan.

Ada beberapa kendala dalam pemanfaatan dana kapitasi, namun kendala

disini tidak sampai menimbulkan impak, penumpukan dana kapitasi seperti terjadi

di wilayah-wilayah lain hasil penelitian di Bogor menunjukkan adanya potensi sisa

anggaran menumpuk dan regulasi yang ada tidak memungkinkan untuk

Page 181: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

160

Universitas Indonesia

mengalihkan porsi anggaran (Hasan & Adisasmito, 2017), namun di wilayah DKI

yang mayoritas telah BLUD tidak mengalami penumpukan dana tersebut. Ada

beberapa penyerapan yang tidak bisa diselesaikan, pada awal perencanaan belanja

barang, Puskesmas telah memprediksi ada jadwalnya ada petugas pejabat

pengadaannya, mereka juga harus koordinasi, kendala tidak terserapnya dana

kapitasi ini misalnya disebabkan kendala-kendala dari luar misalkan penganggaran

untuk untuk belanja pegawai yang non PNS 20 orang, pada pelaksanaannya

ternyata pegawai yang direkrut itu tidak sampai 20 misalnya baru tersedia 15 orang,

berarti penyerapan tidak optimal. Adaupun kendala internal biasanya karena adanya

pergeseran pelaksanaan, bisa disebabkan oleh barang yang mau debeli tidak

tersedia di e catalog, atau karena kendala pihak ketiga dalam pengadaan barang.

Jadi ini salah satu tugas Sudinkes dan Dinas Kesehatan untuk bisa memonitoring

efisiensi yang tepat dalam proses perencanaan.

Dan beberapa masalah timbul dikeluhkan oleh Puskesmas Kelurahan terkait

pemanfaatan dana kapitasi, dimana kurangnya koordinasi antara Puskesmas

Kecamatan dan Puskesmas Kelurahan, sehingga ada puskesmas kelurahan yang

bahkan tidak mengetahui jumlah kapitasi yang mereka peroleh, adakalanya yang

hanya tau jumlahnya saja, tapi tidak pernah melihat wujud uangnya, adanya

kesulitan untuk pemanfaatan tersebut terkait proses pengajuan dan realisasi yang

cukup lama, adapun puskesmas kelurahan mengajukan permohonan untuk beberapa

kebutuhan puskesmas kelurahan, namun terkait eksekusi keputusan apakah hal

tersebut bisa direalisasikan atau tidak adalah merupakan kewenangan dari

puskesmas kecamatan. Namun hal ini dibantah oleh Puskesmas karena mereka yang

lebih tahu terkait pengelolaan uang tersebut, Puskesmas kecamatan harus bisa

mempertimbangkan prioritas kebutuhan di Puskesamas kecamatan dan kelurahan,

karena tidak mungkin hanya dengan dana kapitasi yang diperoleh oleh puskesamas

kelurahan memungkinkan puskesmas bisa menjalankan operasional puskesmas

secara penuh. Tapi hal ini seharusnya bukan menjadi penghalang untuk secara

teratur melibatkan puskesmas kelurahan untuk bersama-sama menyusun

perencanaan managemen keuangan atau pengelolaan dana kapitasi tersebut,

sehingga komunikasi yang baik diharapkan akan semakin mempererat hubungan

Page 182: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

161

Universitas Indonesia

puskesmas kecamatan dan kelurahan untuk kepentingan yang lebih besar yaitu

perbaikan mutu pelayanan puskesmas secara keseluruhan.

Untuk mekanisme monitoring dan evaluasi pemanfaatan dana kapitasi,

birokrasi pertanggung jawaban adalah ke bidang Perencanaan dan Pembiayaan

Dinas Kesehatan Provinsi DKI hanya berbentuk gelondongan dan tidak secara rinci

dan dilanjutkan ke Badan Pengelolaan Keuangan Daerah, mekanisme

pertanggungjawaban BLUD akan lebih fleksibel tergantung kondisi masing-masing

Puskesmas, belum adanya monitoring dan evaluasi yang lebih rinci peran dari

Sudinkes, dan dari BPJS tidak ada sama sekali, karena BPJS hanya menjalankan

peran memberikan kucuran dana kapitasi ke Puskesmas, dan mekanisme

pemanfaatan dan pertanggungjawaban sudah tidak ada peran di dalamnya.

Lemahnya monitoring dan evaluasi ini juga bisa dikarenakan tidak adanya insentif

tambahan yang diperoleh Dinas Kesehatan Provinsi terkait pelaksanaan hal

tersebut, sehingga mereka beranggapan, buat apa ikut campur tangan dengan

keuangan rumah tangga tempat lain. Lain halnya jika mereka terlibat dan adanya

reward insentif maka bisa dimungkinkan upaya monev juga bisa lebih berjalan.

Edward menyatakan untuk menghindari sikap yang tidak mendukung

kebijakan, dapat diantisipasi sejak pengangkatan dan pemilihan personel pelaksana

kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah

ditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan warga masyarakat. Insentif

merupakan salah-satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah sikap para

pelaksana kebijakan dengan memanipulasi insentif.

Pada dasarnya orang bergerak berdasarkan kepentingan dirinya sendiri,

maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan

para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu

mungkin akan menjadi faktor pendorong yang membuat para pelaksana

menjalankan perintah dengan baik. Berdasarkan variabel disposisi. dapat

disimpulkan bahwa sebagian besar sikap pelaksana terhadap implementasi KBK

sudah cukup baik, yaitu menerima dan tangguh dalam pencapaian indikator KBK,

karena imbalan kapitasi akan bisa diterima utuh tanpa pemotongan jika semua

indikator tercapai, dan komponen penerimaan kapitasi adalah merupakan sangat

penting untuk keberlangsungan puskesmas. Sehingga upaya ini mengindikasikan

Page 183: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

162

Universitas Indonesia

adanya beberapa fraud di beberapa tempat, atau celah-celah yang bisa dilakukan

fraud, fraud terjadi bukan karena ada niatan yang terstruktur tapi karena adanya

kesempatan, maka sebagai upaya keterbukaan harusnya celah untuk melakukan

fraud itu diperkecil atau ditutup.

Penerimaan TKD sudah cukup besar di wilayah DKI Jakarta dan berasal

dari APBD, sehingga jasa pelayanan ini dimaksudkan untuk TKD tenaga honorer,

namun sifat manusia tidak pernah puas sehingga berusaha untuk membuka jalur

sehingga dana kapitasi bisa dialirkan kepada kesejahteraan karyawan dengan

membuka jalur lain. Namun hal ini bisa aja memancing sikap acuh tak acuh

terhadap kebijakan sehingga berdampak pada beberapa puskesmas yang rujukan

aps nya masih tinggi, dan dengan mudah memberikan rujukan untuk mengurangi

konflik dengan pasien, karena tuntutan dari atas agar RNS kecil maka dengan

menambahkan TACC yang tidak sesuai kondisi pasien sehingga tidak

dikategorikan sebagai RNS, sehingga selain konflik terminimalisir, RNS pun tetap

dalam posisi aman.

Hal ini sejalan dengan teori Edward yang menyatakan bahwa disposisi yang

baik terhadap kebijakan maka berarti ada dukungan dan kemungkinan besar

pelaksana akan menjalankan kebijakan sebagaimana yang diharapkan oleh penentu

kebijakan (Rusli, 2015). Munculnya diposisi yang acuh tidak acuh diantara

pelaksana kebijakan dapat juga disebabkan proses komunikasi yang belum efektif

serta keterbatasan sumber daya yang mendukung implementasi kebijakan tersebut.

Seperti terjadi sikap acuh tak acuh dari SDM di Puskesmas tingkat kelurahan,

karena sebesar apapun upaya yang mereka lakukan, maka tidak ada reward dan

penerimaan dan pemanfaatan kapitasi harus melalui birokrasi di Puskesmas. Maka

untuk tetap menjaga keeratan dan kepercayaan puskesmas kelurahan komunikasi

juga harus intensif dan baik sehingga semangat dan upaya perbaikan mutu

pelayanan bisa ditingkatkan.

Dan untuk pelaksanan luar gedung perlu diberikan tambahan insentif,

seperti pada tenaga KPLDH yang melakukan pendataan home visit, kegiatan luar

gedung merupakan hal yang cukup berat, sehingga masih adanya beberapa tenaga

kontrak yang mengundurkan diri dari tim KPLDH karena passion mereka mungkin

untuk bekerja di dalam gedung, hal ini bisa ditanggulangi dengan pemberian

Page 184: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

163

Universitas Indonesia

insentif yang bisa diambilkan dari dana kapitasi, karena upaya yang mereka lakukan

pun berimpak terhadap tidak dipotongnya atau tetap utuhnya kapitasi yang diterima

puskesmas, sehingga diharapkan usaha mereka semakin giat dan mengurangi upaya

mereka drop out dari kontrak sebagai tim KPLDH, mengurangi perubahan sikap

menjadi negatif berupa mengacuhkan, menunda pekerjaan atau menolak kebijakan

tidak muncul dan menghambat pencapaian tujuan kebijakan KBK serta perbaikan

aspek komunikasi dan pemenuhan sumber daya.

Sumber Daya

Dalam implementasi kebijakan harus ditunjang oleh sumberdaya baik

sumberdaya manusia, materi dan dana. Sasaran, tujuan dan isi kebijakan walaupun

sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor

kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan

efektif dan efisien. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi

dokumen saja tidak diwujudkan untuk memberikan pemecahan masalah yang ada

di masyarakat dan upaya memberikan pelayan pada masyarakat. Sumberdaya yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan yang dimiliki oleh suatu objek

yang dapat digunakan untuk merealisasikan suatu maksud. Widodo (2017:98)

mengatakan bahwa dalam proses pelaksanaan kebijakan diperlukan sumberdaya

yang merupakan faktor pendukung tercapainya tujuan kebijakan (Widodo, 2017).

Edward III (1980:1) mengemukakan bahwa sumberdaya tersebut dapat diukur dari

aspek kecukupannya yang didalamnya tersirat kesesuaian dan kejelasan;

“Insufficient resources will mean that laws will not be enforced, services will not

be provided and reasonable regulation will not be developed” (Edward III, 1980)

SDM

Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan asset berharga dan menjadi

faktor utama dalam menentukan suatu keberhasilan sebuah negara ataupun

organisasi (UNDP, 2010). Implementasi kebijakan tidak akan berhasil tanpa adanya

dukungan dari sumber daya manusia yang cukup kualitas dan kuantitasnya.

Kualitas sumber daya manusia berkaitan dengan keterampilan, dedikasi,

profesionalitas, dan kompetensi di bidangnya, sedangkan kuantitas berkaitan

Page 185: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

164

Universitas Indonesia

dengan jumlah sumber daya manusia apakah sudah cukup untuk melingkupi

seluruh kelompok sasaran.

Adapun sesuai hasil dari analisis data kuantitatif, variable eksogen sumber

daya dijelaskan secara baik oleh variable kecukupan dokter, perawat, tenaga

kefarmasian, dan bidan. Dalam pemodelan terbukti mempunyai hubungan dengan

capaian indikator komitmen pelayanan puskesmas di wilayah DKI Jakarta, dan

mempunyai loading score positif berturut-turut sebagai berikut, kecukupan dokter

(0.848), perawat (0.830), tenaga kefarmasian (0.627), dan bidan (0.493). Nilai

koefisien estimate antar variable 0.330 dan secara statistik signifikan dengan p value

sangat kuat 0.0005 (< 0.05). Bahwasaannya semakin cukup secara kuantitas, maka

secara signifikan akan mempengaruhi capaian indikator komitmen pelayanan

Hal ini bisa dijelaskan dengan dokter yang cukup pelayanan di dalam

gedung akan mengurangi penumpukan yang terjadi, dan attachment dengan pasien

akan lebih terjaga, demikian dengan kecukupan jumlah perawat, tenaga

kefarmasian, dan bidan. Dengan kecukupan tenaga kefarmaisan maka bisa

dipastikan pelayanan farmasi bisa dijaga, sehingga akan lebih bisa mengcounter

kebutuhan akan tuntutan semakin kompleksnya permasalahan pelayanan

kefarmasian di era JKN ini, dimana puskesmas dituntut untuk bisa melayani pasien

prolanis yang pada era sekarang sudah harus bisa dilakukan tata laksana di

puskesmas, kebutuhan pasien rujuk balik, jadi dengan tenaga farmasi yang cukup

diharapkan selain pencapaian indikator dari segi kuantitas, kualitas pelayanan akan

tetap terjaga, dengan adanya konseling terkait pemakaian obat yang benar, yang

akan memberikan sumbangsih terhadap semakin maraknya resistensi obat.

Tenaga yang cukup dari sisi kuantitas juga bisa berhubungan dengan

keberlangsungan klub prolanis yang mulai digalakkan di puskesmas, sementara ini

masih banyak puskesmas yang belum menyelenggarakan klub prolanis dengan

alasan karena masih kurangnya SDM yang bisa melakukannya. Kuantitas tenaga

ini juga sangat diperlukan di daerah-daerah yang memiliki kepesertaan yang sangat

besar, bisa dibayangkan peserta yang besar di suatu wilayah tidak sebanding dengan

tenaga kesehatan yang ada, maka akan terjadi overload beban kerja, berkurangnya

kualitas pelayanan, jika sosialisasi terkait redistribusi belum bisa diterima, maka

mau tidak mau ada solusi untuk memperhatikan kecukupan tenaga kesehatan. Jika

Page 186: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

165

Universitas Indonesia

mengacu pada teori Edward III dalam (Winarno, 2012) dijelaskan bahwa sumber

yang paling utama dalam pelaksanaan kebijakan yaitu pelaksana kebijakan/staf.

Kegagalan dari pelaksanaan kebijakan dapat terjadi apabila staf/pegawai yang

berperan sebagai pelaksana kebijakan tidak berkompeten menguasai bidangnya.

Namun bukan hanya dari segi kuantitas, peningkatan kualitas juga perlu

ditingkatkan terkait kompetensi tenaga kesehatan, sehingga kontak yang dilakukan

berkualitas, rujukan juga semakin sesuai, dimana 144 diagnosis wajib bisa

diselesaikan di puskesmas sebagai gatekeeper, dan memperkecil adanya persepsi

yang berbeda antara dokter di FKTP dan di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat

Lanjut (FKRTL), sehingga capaian RNS tidak sebanding dengan KNS di Rumah

Sakit. perlu adanya upaya knowledge sharing dari dokter RS kepada dokter di

Puskesmas. Karena menurut Edward, penambahan jumlah staf atau pelaksana

kebijakan tidak cukup, namun juga dibutuhkan keahlian dan kompetensi. Karena

SDM yang banyak tidak secara otomatis mendorong implementasi yang berhasil.

Begitupun sebaliknya bahwa jumlah staf yang sedikit apabila tidak memiliki

keterampilan-keterampilan tertentu, juga tidak mungkin juga akan berdampak pada

keefektifan implementasi. Kemampuan staf memegang peranan penting untuk

melaksanakan perintah-perintah atau kebijakan, termasuk kemampuan menyeleksi

informasi pelaksanaan yang tepat. Selain kuantitas juga diperlukan kuantitas,

tergambar dari peer review diagnosis yang harus selesai di FKTP, dari tahun 2016

sebesar 131 diagnosis, menjadi 128 diagnosis pada tahun 2017 dari target 144 total

diagnosis, sehingga mau tidak mau sisa diagnosis yang tidak termasuk dalam peer

review sah dan legal untuk dilakukan rujukan.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, SDM secara kuantitas sudah cukup

memenuhi namun belum cukup merata di seluruh Puskesmas antara lain sebaran

tenaga bidan dengan nilai minimum sebesar 2.30% dan maksimum 182.29%,

dengan standar deviasi 29.47% sehingga perlu upaya pemetaan secara menyeluruh

di seluruh wilayah puskesmas, namun secara kualitas masih dibutuhkan upaya

peningkatan, kekurangmerataan ini dapat dilihat adanya puskesmas. standar

kecukupan juga hendaknya memperhatikan jumlah kepesertaan di masing-masing

puskesmas yang bervariasi, jika rasio per jumlah penduduk belum bisa di

realisasikan. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu (Sumantri, 2001) disebutkan

Page 187: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

166

Universitas Indonesia

bahwa minimnya SDM baik kualitas maupun kuantitas, merupakan faktor

penghambat utama dalam implementasi kebijakan. Dalam proses pemenuhan SDM

tersebut, perlu dipertimbangkan metode lain dalam pelayanan kesehatan agar dapat

mensiasati kurang meratanya SDM di wilayah puskesmas, salah satunya dengan

upaya redistribusi, akan tetapi hal ini mengalami beberapa kendala seperti peserta

PBI yang tidak bisa di distribusikan ke faskes swasta karena secara nyata peserta

PBI adalah telah mendapat pembiayaan dari Pemerintah Daerah maka sudah

seyogianya kapitasi yang dihasilkan juga dimanfaatkan oleh fasilitas kesehatan

yang dikelola oleh pemerintah daerah. Dilain hal bahwa kualitas fasilitas pelayanan

kesehatan swasta yang masih harus ditingkatkan kualitasnya.

Ketidakmerataan jumlah SDM ini juga terkendala karena moratorium, dan

perubahan kebijakan yang sebelumnya pengadaan tenaga bisa diselenggarakan oleh

Puskesmas seperti sebelumnya, untuk saat ini harus melalui pengadaan di Dinas

Kesehatan Provinsi, bukan karena adanya kendala keuangan karena dana yang ada

di Puskesmas cukup, hanya saja mekanisme berubah sehingga harus melalui

prosedur dari Dinas Kesehatan Provinsi DKI. Hal lain yang merupakan indiksi

ketidakmerataan tenaga adalah karena kurangnya komitmen dari tenaga kesehatan

yang direkruit ada beberapa permasalahan terkait telah direkruit tenaga, namun

karena beberapa hal tenaga tersebut keluar, baik karena alasan tidak cocok atau

tidak sesuai passion karena secara realita pekerjaan luar gedung cukup berat, karena

status kontrak, dana tau karena beralasan akan melanjutkan sekolah kembali maka

keluar, sehingga upaya pemerataan SDM juga terkendala.

Kepala Puskesmas

A Jenis Kelamin

Dari aspek jender terlihat bahwa kepala puskesmas di DKI Jakarta

didominasi oleh wanita (81.5%). Dari uji statistik tidak ada hubungan antara

capaian indikator komitmen pelayanan puskesmas yang dikepalai oleh wanita atau

puskesmas yang dikepalai oleh laki-laki dengan capaian indikator komitmen

pelayanan dg loading score -0.114 (<0.4), sehingga dikeluarkan dari pemodelan.

Page 188: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

167

Universitas Indonesia

B Lama Bertugas

Hasil penelitian menunukkan ada 147 (43.2%) kepala puskesmas yang telah

menjabat menjadi kepala puskesmas sebelum pelaksanaan kapitasi berbasis

komitmen pelayanan (diterapkan sejak Juni 2016), dan 193 (56.8%) setelah

pelaksanaan KBK. Walaupun ada kemungkinan kepala puskesmas yang telah

menjabat sebelum pelaksanaan KBK ini lebih terpapar dengan konsep

dibandingkan yang mereka menjabat setelah KBK berjalan, ternyata tidak tampak

adanya hubungan antara lama bertugas dengan capaian indikator komitmen

pelayanan dengan loading score -0.212 (<0.4), sehingga dikeluarkan dari

pemodelan.

Peserta

Adapun sesuai hasil dari analisis data kuantitatif, variable eksogen peserta

dijelaskan secara baik oleh berturut-turut oleh variable jumlah peserta JKN (loading

score 0.892), jumlah balita (0-4th) dengan loading score 0.889, dan jumlah usila

(>70th) dengan loading score 0.822. Dalam pemodelan terbukti mempunyai

hubungan dengan capaian indikator komitmen pelayanan puskesmas di wilayah

DKI Jakarta. Nilai koefisien estimate antar variable -0.059 ini berarti bisa

dijelaskan, semakin tinggi nilai kepesertaan puskesmas, akan memiliki

kecenderungan penurunan capaian indikator komitmen pelayanan. Namun secara

statistik tidak signifikan dengan p value 0.683 (>0.05).

A Jumlah Peserta

Jumlah peserta JKN terdaftar di puskesmas wilayah DKI per Desember

2017 adalah 7,007,444 jiwa dimana 4,740,412 jiwa (67.6%) terdaftar di puskesmas

kecamatan, dan 2,267,032 jiwa terdaftar di puskesmas kelurahan. Per Desember

2017, 84% penduduk Jakarta telah menjadi peserta JKN.

Adanya gab yang cukup besar dimana minimal peserta adalah 1,024 jiwa,

dan maksimum sebesar 157,214 jiwa dengan standar deviasi 21,250 jiwa. Dan lebih

banyak terakumulasi di puskesmas kecamatan, terlihat rata-rata peserta di

puskesmas kecamatan sebesar 51,523 jiwa peserta paling sedikit berjumlah 4,904

jiwa, dan peserta terbanyak berjumlah 157,214 jiwa, sedangkan puskesmas

kelurahan rata-rata mempunyai peserta terdaftar sebanyak 17,427 jiwa dengan

Page 189: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

168

Universitas Indonesia

peserta paling sedikit 1,024 jiwa, dan terbanyak 87,470 jiwa dengan standar deviasi

12,924 jiwa.

Menurut pedoman kerja puskesmas (Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia, 2016) penduduk uang dilayani oleh puskesmas rata-rata 30.000

penduduk setiap puskesmas, dan rata-rata pesrta di pusksmas kecamatan adalah

sebesar 51,523 jiwa, sehingga melebihi sasaran pelayanan puskesmas. Dapat

dibayangkan bahwa puskesmas itu kelebihan beban kerja (overloaded).

Dikhawatirkan keadaan ini akan mempengaruhi kualitas pelayanan kepada peserta.

Dari hasil uji statistik bisa menjelaskan semakin banyak peserta maka

disinyalir denominator sebagai pembagi dari capaian angka kontak adalah semakin

besar dan akan lebih sulit untuk mencapai indikator tersebut, diperlukan jumlah

yang besar untuk bisa meraih target angka kontak ≥1500/00. Yang mengandung

konsekuensi harus adanya sumberdaya lebih besar untuk bisa mencapainya bukan

hanya sekedar kuantitas tapi juga memperhatikan sisi kualitas mutu pelayanan.

Tujuan dilaksanaknnya KBK ini salah satunya adalah mengubah

pendekatan pelayanan dokter di puskesmas dari orientasi kuratif kepada orientasi

preventive dan promotive. Pendekatan ini membutuhkan waktu, perhatian, dan

konsentrasi dokter yang lebih kepada pasiennya. Hal ini akan sulit dilaksanakan

dengan kondisi puskesmas overloaded. Puskesmas demikian kurang ideal menjadi

provider asuransi kesehatan dengan sistem pembayaran kapitasi. Ditambah dengan

peserta yang overloaded, maka denominator atas capaian angka kontak, menjadi

semakin besar sehingga akan lebih susah untuk upaya mencapai angka kontak

(≥150 0/00).

Jika dikaji lebih lanjut Jakarta Barat adalah termasuk kategori

terakumulasinya puskesmas yang pencapaian 3 indikator paling besar yakni

sebanyak 90.4%, dengan mengesampingkan adanya fraud, usaha yang dilakukan

puskesmaa di wilayah Jakarta Barat adalah lebih berat dibanding di daerah lain

mengingat Jakarta Barat adalah wilayah yang paling besar penduduknya kedua

setelah Jakarta Timur yakni sebesar 2.496.002 jiwa, dan kepadatan penduduk paaling

besar pertama yaitu sebesar 19,268.20 km2., dibanding rata-rata kepadatan penduduk

wilayah DKI Jakarta 13,925 km2.. Potensi tersebut bisa menjadi hal yang positif

sekaligus bisa menjadi boomerang tanpa pengelolaan yang baik. Jumlah peserta yang

Page 190: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

169

Universitas Indonesia

banyak seperti puskesmas di wilayah Jakarta Barat, salah satunya adalah Puskesmas

Cengkareng yang memiliki kepesertaan terbesar ini mempunyai sisi positif untuk

pengembangan puskesmas sebagai provider asuransi kesehatan dengan metode

pembayaran kapitasi, dimana dengan jumlah yang banyak akan didapatkan kapitasi

yang cukup besar, yang memungkinkan manajemen puskesmas akan dengan leluasa

untuk menjalankan program-program pelayanan yang bersifat promotive preventif.

B Proporsi Peserta Risti

Proporsi peserta risti yang dimaksud disini adalah komposisi umur peserta

yang terdaftar di puskesmas. Hasil penelitian terkait profil resiko peserta di wilayah

DKI Jakarta menunjukkan bahwa dari komposisi umur peserta terlihat bahwa

kelompok yang beresiko tinggi (0-5 tahun dan diatas 60 tahun) ada dengan nilai

minimum 7.30% sampai paling besar adalah 30.83%, dengan rata-rata 16.72% dan

standar deviasi 17.45%.

Porsi peserta beresiko adalah tinggi dalam pemanfaatan pelayanan

kesehatan peserta adalah 9.53% usia 0-5 tahun dan 5.76% usia diatas 55 tahun

(Thabrani, 1999). Adapun dalam penelitian ini didapatkan 7.30% usia 0-5 tahun

(mendekati tinggi) dan 8.37% usia diatas 60 tahun (melebihi tinggi).

Dari hasil uji statistik bisa menjelaskan semakin banyak usila (>70th) maka

disinyalir denominator sebagai pembagi dari capaian indikator rasio prolanis adalah

semakin besar dan akan lebih sulit untuk mencapai indikator tersebut. Dan bisa

dijelaskan pula semakin banyak balita 0-5th, dan usila >70 tahun, maka akan

semakin tinggi rujukan, karena semakin banyak yang memiliki resiko terhadap

masalah kesehatan.

Informasi terkait komposisi umur ini punya peranan penting untuk

menghitung resiko biaya pelayanan atau sebagai dasar penghitungan premi dalam

asuransi kesehatan. Dalam perhitungan premi asuransi hal ini dikenal dengan proses

underwriting yang berarti seleksi resiko dimana salah satu yang berpengaruh adalah

umur, selain jenis kelamin, kebiasaan atau gaya hidup dan keadaan penyakit

seseorang sebelum mengikuti asuransi.

Page 191: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

170

Universitas Indonesia

C Rasio Dokter dibanding Peserta

Dilihat dari rasio dokter peserta 99 (29.1%) puskesmas mempunyai rasio

dokter dibanding peserta kurang dari sama dengan 1:5000, dan 241 (70.9%)

Puskesmas mempunyai rasio dokter peserta lebih dari 1:5000

Rasio dokter dibanding peserta di Puskesmas berkisar antara 288 jiwa

sampai 79.060 jiwa. Rata-rata puskesmas mempunyai rasio dokter : peserta sebesar

9694 jiwa, dengan standar deviasi 9621 jiwa. Sehingga jika dibandingkan dengan

standar, masih lebih banyak yang berada diluar kriteria, dan jika dilihat dari sebaran

adanya kurang merata peserta JKN, ada yang memiliki peserta sangat sedikit, ada

yang sangat besar sehingga perlu adanya upaya redistribusi peserta JKN.

Fasilitas

A Sarana, Prasarana, dan Alat Kesehatan

Menurut Edward dalam (Widodo, 2017), fasilitas merupakan sarana untuk

mempermudah pelaksanaan suatu kebijakan. Pelaksana kebijakan mungkin

mempunyai staf dengan jumlah yang cukup serta berkompeten, tetapi tanpa adanya

fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut

tidak akan berhasil. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa rasio

puskesmas dibanding penduduk adalah 1:27,126 sudah ideal menurut standar

idealnya 1:30.000 penduduk, klub prolanis masih 63.2%. Jika hanya mengandalkan

fasilitas milik Pemerintah maka akan sulit merata, maka dari itu perlu melakukan

pemberdayaan FKTP swasta untuk bersama berpartisipasi termasuk dalam

pelaksanaan klub prolanis, sementara ini belum ada klub prolanis yang

diselenggarakan oleh klinik atau FKTP swasta, kedepannya per Juli 2018 akan

dilakukan konsekuensi pelaksanaan KBK yang menuntut Klinik swasta juga

menyelenggarakan klub prolanis untuk optimalisasi pencapaian indikator KBK,

sehingga keterjangkauan masyarakat akan semakin semakin mudah.

Fasilitas atau sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor yang

berpengaruh dalam implementasi kebijakan. Pengadaan fasilitas yang layak, seperti

gedung, tanah dan peralatan perkantoran akan menunjang dalam keberhasilan

implementasi suatu kebijakan. Aspek sumber daya fasilitas pada penelitian ini

Page 192: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

171

Universitas Indonesia

meliputi fasilitas kesehatan. Informan Dinas Kesehatan menunjukkan bahwa sarana

kesehatan di meliputi sarana puskesmas, rumah sakit, klinik dan beberapa sarana

pelayanan kesehatan lainnya merupakan salah satu elemen penting untuk

mendukung implementasi KBK, namun dalam pelaksanaannya, masih ada

beberapa puskesmas kelurahan yang status gedung masih mengontrak.

Pemberdayaan masyarakat dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang

tercantum dalam peraturan Presiden nomor 72 tahun 2012 tentang SKN

menyatakan bahwa definisi pemberdayaan masyarakat adalah tatanan yang

menghimpun berbagai upaya perorangan, kelompok dan masyarakat umum di

bidang kesehatan secara terpadu guna menjamin tercapainya derajat kesehatan yang

setinggi-tingginya (SKN, 2012a). Menurut WHO, pemberdayaan masyarakat di

bidang kesehatan didefiniiskan sebagai upaya fasilitasi non instruktif guna

meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat untuk secara mandiri

dapat mengidentifikasi masalah, merencanakan dan mengambil keputusan untuk

melakukan pemecahan masalah secara benar dengan memanfaatkan dan

memobilisasi sumber daya, potensi dan sarana yang ada, tanpa atau dengan bantuan

pihak lain (WHO., 2008). Berdasarkan pengertian pemberdayaan masyarakat, maka

untuk pelaksanaan KBK perlu menggiatkan peran masyarakat agar timbul

kesadaran dari diri masyarakat untuk melakukan kunjungan sehat, sehingga datang

ke Puskesmas hanya jika sakit, atau dengan sengaja mendatangi klub prolanis untuk

senantiasa mengupgrade pengetahuan terkait pola hidup sehat.

Begitupula dengan sarana, prasarana, dan alat kesehatan, pemeriksaan

laboratorium di beberapa Puskesmas Kelurahan, belum selengkap di Puskesmas

Kecamatan sehingga perlu bersama-sama saling berkoordinasi merencanakan

kelengkapan kit-kit alat kesehatan, sehingga Pusekesmas kelurahan tidak perlu lagi

melakukan rujukan ke puskesmas kecamatan, karena sudah tersedia, dengan

demikian keterjangkauan akses, efisiensi bisa dilakukan.

Hasil penelitian sejalan dengan teoi Edward yang menyatakan bahwa

keterbatasan fasilitas menyebabkan implementasi tidak efisien serta tidak

mendorong motivasi pelaksana dalam melakukan kegiatan pelayanan kesehatan

Hal ini sebagaimana infromasi dari Puskesmas Kelurahan, bahwa kurangnya sarana

Page 193: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

172

Universitas Indonesia

dan prasarana di puskesmas kelurahan, sehingga mereka harus merujuk ke

puskesmas kecamatan dan termasuk rujukan internal.

Terkait ketersediaan laboratorium, masih kurang untuk ketersediaan di

Puskesmas Kelurahan, akan tetapi hal tersebut tidak akan mempetinggi rujukan,

karena pasien akan dirujuk di Puskesmas Kecamatan, dan hal itu hanya akan

dihitung sebagai rujukan internal. Kurangnya kelengkapan pemeriksaan

laboratorium, dan obat-obatan prolanis juga menyebabkan pelaksanaan program

prolanis dan rujuk balik kurang efektif, karena pasien prolanis dan rujuk balik yang

datang dan sudah meluangkan waktu hadir untuk pelayanan dan pengambilan obat

tidak mendapatkan pelayanan yang diharapkan. Maka dari itu, jika kekurangan

fasilitas dapat terpenuhi atau dengan melakukan metode inovatif dalam rangka

menyiasati keterbatasan fasilitas maka diharapkan akan mendukung implementasi

KBK seutuhnya.

B Obat

Terkait operasional puskesmas tidak lepas dari sumber daya obat-obatan

yang harus dipenuhi sehubungan dengan pelayanan di Puskesmas, adapun terkait

obat-obatan essensial hampir 90% puskesmas telah memenuhi, dan tidak ada

kendala. Di era JKN dengan adanya pembayaran kapitasi dirasa lebih

menguntungkan, dan operasional kecukupan obat-obatan relative lebih stabil

dibanding era sebelum JKN

Dan untuk kecukupan obat-obatan di puskesmas kelurahan, masih kurang

dibanding di kecamatan meskipun puskesmas kelurahan seharusnya sudah harus

utuh menjadi utuh sebuah Puskesmas sesuai nomenklatur registrasi yang ada di

Pusdatin Kemenkes

Untuk mekanisme pengadaan obat-obatan adalah di level kecamatan, belum

dilakukan di masing-masing puskesmas kelurahan

Untuk pemberian obat prolanis ada kendala di beberapa puskesmas belum

diberikan secara penuh, seperti halnya pasien mendapatkan di Rumah Sakit,

sehingga pasien harus beberapa kali datang ke Puskesmas untuk mendapatkan obat

tersebut.

Ternyata mekanisme ini adalah kebijakan masing-masing Puskesmas untuk

beberapa alasan kontroling dan evaluasi, dan pemerataan untuk peserta lain yang

Page 194: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

173

Universitas Indonesia

membutuhkan obat tersebut, dan ketersediaan jika ada kendala kekosongan obat

dsb, sehingga perlu adanya sosialisasi yang lebih agar tidak terjadi kesalahpahaman

antara puskesmas dengan peserta JKN.

Dan sebagai mekanisme monitoring dan evaluasi dari dinas kesehatan

provinsi menerima laporan rutin dari Sudinkes yang bersumber daari laporan

Puskesmas di wilayah DKI Jakarta.

Untuk mekanisme rujuk-rujuk balik pasien di puskesmas, beberapa puskesmas

telah menjalankan untuk menyiasati ketidakadaan obat-abatan, pasien bisa dirujuk

ke apotik yang merupakan jejaring BPJS untuk bisa mendapatkan obat-obatan.

Dana

Dalam implementasi kebijakan, anggaran berkaitan dengan kecukupan

modal atau investasi atas suatu program atau kebijakan untuk menjamin

terlaksananya kebijakan, sebab tanpa dukungan anggaran yang memadahi,

kebijakan tidak akan berjalan dengan efektif dalam mencapai tujuan dan sasaran

(Widodo, 2017). Terbatasnya anggaran maka akan berdampak pada kualitas

pelayanan publik yang diberikan pada masyarakat, rencana kegiatan tidak dapat

dilaksanakan serta disposisi pelaksana menjadi rendah. Aspek sumber daya dana

pada penelitian ini meliputi bagaimana ketersediaan dana yang dibutuhkan untuk

menjamin pencapaian indikator komitmen pelayanan, dan dana untuk operasional

puskesmas.

Adapun dana kapitasi yang turun, adalah langsung masuk di kas penerimaan

BLUD. Pemanfaatan dana kapitasi terbagi atas pemanfaatan untuk jasa pelayanan

dan operasional puskesmas, adapun terkait operasional puskesmas selain dari dana

kapitasi di DKI Jakarta meski sudah menggunakan mekanisme BLUD belum

sepenuhnya di akomodir oleh dana BLUD, tetapi juga masih mendapat subsidi dari

dana APBD selain dari 2 dana tersebut diatas pemasukan puskesmas untuk

operasional juga didapatkan dari retribusi peserta non JKN yang senilai Rp. 2000,-

ditambah jika ada tindakan maka akan dikenakan biaya tambahan. Untuk beberapa

kasus jika retribusi untuk pelayanan peserta tidak memenuhi maka akan dilakukan

subsidi dari dana APBD juga.

Page 195: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

174

Universitas Indonesia

Dalam kondisi saat ini dinilai dana kapitasi sekitar 1M di puskesmas

kecamatan masih belum bisa mengakomodir operasional Puskesmas sehingga

masih harus mendapatkan subsidi dari dana APBD.

Untuk operasional puskesmas cukup mudah tidak memandang apakah

termasuk warga kategori mampu atau tidak, sepanjang mau dilayani di kelas 3, bisa

didaftarkan sebagai peserta PBI dan mendapatkan pelayanan gratis dengan hanya

menunjukkan KTP dan NIK sudah bisa dilayani di puskesmas. Jadi sejauh ini dana

APBD cukup besar terserap untuk subsidi pasien PBI, karena triase terkait kategori

mampu atau tidak belum diterapkan, kemudahan itu salah satunya untuk visi

mewujudkan Universal Coverage tahun 2019 sesuai arahan dari Gubernur.

Adapun pemakaian dana kapitasi untuk operasional adalah pembelanjaan

yang tidak termsuk dalam subsidi, misalnya untuk operasional yang bersifat

emergency yang tidak bisa dicover oleh APBD, jadi rekening BLUD ini diibaratkan

rekening “keranjang sampah”. Sehingga dana kapitasi di BLUD ini adalah lebih

bisa fleksibel penggunaannya di Puskesmas.

Kapitasi masuk kategori penerimaan pendapatan pasien umum 01, masuk

bersama-sama dengan rekening retribusi, dan penggunaan utama adalah untuk

honor dan tunjangan bagi non PNS, sementara PNS sudah mendapatkan dari APBD

provinsi, dan sisanya digunakan untuk operasional puskesmas yang tidak

diakomodir dalam subsidi. Adapun terkait operasional KPLDH, kebijakan di DKI

Jakarta menggunakan pendanaan dari APBD.

Pemanfaatan dana kapitasi di beberapa puskesmas berbeda-beda tergantung

besaran kapitasi yang didapatkan, apabila telah mampu untuk melakukan

pembiayaan operasional puskesmas secara mandiri, maka subsidi dari APBD mulai

di kurangi. Alokasi anggaran kesehatan di tingkat Dinas Kesehatan, berdasarkan

informasi dari informan Dinas Kesehatan didapatkan bahwa dana APBD untuk

kesehatan sudah semakin dikurangi dengan adanya kapitasi, indikasi dana BLUD

mampu untuk mendanai operasional puskesmas. Diperkirakan pada kondisi UHC,

dana BLUD akan mampu secara swadana membiayai operasional puskesmas. Jika

di daerah lain terkendala pemanfaatan dana kapitasi, pada puskesmas dengan

BLUD dana kapitasi lebih efektif pengelolaannya, hampir 85% bisa terkelola untuk

jaspel dan operasional puskesmas, dan untuk sisa cadangan untuk kapitasi sengaja

Page 196: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

175

Universitas Indonesia

disimpan karena tidak habis tahun berjalan, sebagai asset puskesmas untuk

kepentingan yang mendadak yang tidak bisa dipertanggungjawabkan jika memakai

dana APBD.

Kemandirian puskesmas BLUD dalam operasional pembiayaan sehingga

bisa mengurangi alokasi APBD, ini bisa menjadi hal positif sehingga APBD bisa

disalurkan untuk hal positif lain seperti untuk upaya pembiayaan SPM yang sedang

digalakkan untuk bisa dicapai sebagai kinerja daerah. Dengan demikian alokasi

APBD bisa dimanfaatkan sebagaii pemenuhan fasilitas, SDM dan penyediaan dana

operasional untuk mendukung implementasi SPM secara efektif dan efisien.

Struktur Birokrasi

Implementasi kebijakan belum berjalan efektif karena ketidak efisien

struktur birokrasi. Struktur birokrasi mencakup aspek-aspek seperti struktur

organisasi, pembagian kewenangan, hubungan antar unit organisasi yang

bersangkutan, dan hubungan organisasi dengan organisasi luar dan sebagainya.

Oleh karena itu, struktur birokrasi mencakup dimensi fragmentasi dan SOP yang

akan memudahkan dan menyeragamkan tindakan dari pada pelaksana kebijakan

dalam melaksanakan apa yang menjadi bidang tugasnya (Widodo, 2017).

Tantangannya adalah bagaimana agar tidak terjadi keterlambatan dan kesalahan

birokrasi dalam melakukan kebijakan, karena sesuai dengan teori Edwards

(Widodo, 2017:106), “implementasi kebijakan bisa jadi masih belum efektif karena

ketidak efisien struktur birokrasi (deficiencies in bureaucratic structure)” (Widodo,

2017)

SOP

Menurut Edward, setiap melaksanakan kebijakan perlu ditetapkan SOP

sebagai pedoman, petunjuk dan tuntunan, referensi bagi para pelaku kebijakan agar

mereka mengetahui apa yang harus disiapkan dan dilakukan, siapa sasaran

kebijakan, serta hasil apa yang ingin dicapai dari kebijakan tersebut (Widodo,

2017). Menurut Atmoko, definisi SOP merupakan suatu pedoman atau acuan untuk

melaksanakan tugas pekerjaan sesuai dengan fungsi dan alat penilaian kinerja

instansi pemerintah berdasarkan indikator-indikator teknis, administratif dan

Page 197: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

176

Universitas Indonesia

prosedural sesuai tata kerja, prosedur kerja dan sistem kerja pada unit kerja yang

bersangkutan (Atmoko, 2011). Sedangkan berdasarkan Jones (2001:49) dalam

buku Organizational Theory, dinyatakan bahwa istilah SOP merupakan bagian dari

peraturan tertulis yang membantu untuk mengontrol perilaku anggota organisasi.

SOP mengatur cara pekerja untuk melakukan peran keorganisasiannya secara terus

menerus dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab organisasi (Jones, 2007).

Oleh karena itu, dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat mengoptimalkan

waktu yang tersedia dan dapat berfungsi untuk menyeragamkan tindakan-tindakan

pelaksana. SOP juga bersifat eksternal, karena dapat digunakan sebagai instrumen

untuk penilaian kinerja organisasi publik di masyarakat, berupa responsivitas,

responsibilitas, dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (Atmoko, 2011).

Aspek SOP pada penelitian ini melingkupi bagaimana prosedur pelaksanaan

sudahkah tertuang dalam petunjuk teknis dan Standard Operating Procedures

(SOP), baik di tingkat pelaksana kebijakan di Dinas Kesehatan dan di Puskesmas.

Berdasarkan pengambilan data melalui WM menunjukkan bahwa belum ada juknis

dan SOP terkait capaian indikator, menurut informan perber 2017 sudah cukup

jelas. Dan terkait pencapaian indikator BPJS hanya menerima self assessement,

entry p-care yang ada di Puskesmas tanpa ada validasi khusus terkait indikator

capaian baik oleh Puskesmas, BPJS, Sudinkes, dan Dinkes Provinsi DKI.

Terkait prosedur pemanfaatan dana kapitasi belum ada juknis khusus,

informan mengatakan sudah cukup apa yang tertera di Peraturan Gubernur No. 165

tahun 2012 tentang Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah,

karena dana kapitasi yang masuk ke Puskesmas langsung akan diterima sebagai

akun pemasukan di rekening BLUD dan dicatat dalam kode rekening kelompok

pendapatan asli daerah pada jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah dengan

obyek pendapatan BLUD, sebagaimana tertera pada Pasal 29 dinyatakan bahwa

pendapatan BLUD dapat bersumber dari jasa pelayanan, hibah, hasil kerja sama

dengan pihak lain, APBD, APBN, dan lain-lain pendapatan BLUD yang sah. Dan

pada pasal 31 ayat (1) seluruh pendapatan BLUD dapat dikelola langsung untuk

pengeluaran BLUD sesuai dengan RBA. Dan pada pasal 31 ayat (4) dinyatakan

bahwa seluruh pendapatan BLUD sebagaimana dimaksud dalam pengelolaan

keuangan BLUD dilaporkan kepada BPKD selaku PPKD setiap triwulan.

Page 198: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

177

Universitas Indonesia

Dan terkait pelaksanaan KPLDH yang cukup memberikan andil besar

terhadap capaian Indikator Komitmen Pelayanan dilaksanakan sesuai Peraturan

Gubernur No. 115 tahun 2016 tentang Program Ketuk Pintu Layani Dengan Hati

(Gubernur Provinsi DKI Jakarta, 2016b). Dan terkait dana pemberian Tunjangan

Kinerja Daerah berdasarkan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 59 tahun

2013 tentang Perubahan Kedua atas peraturan gubernur No. 38 tahun 2012 tentang

Tunjangan Kinerja Daerah (Gubernur Provinsi DKI Jakarta, 2013). Dan terkait

pemanfaatan dana kapitasi terhadap pemberian honor dan tunjangan bagi pegawai

non PNS mendasarkan pada Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 221

tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 95 Tahun 2016

Tentang Pedoman Pemberian Penghasilan Bagi Pegawai Non Pegawai Negeri Sipil

Pada Satuan Kerja Perangkat Daerah/Unit Kerja Perangkat Daerah Bidang

Kesehatan (Gubernur Provinsi DKI Jakarta, 2016a).

Dan beberapa aturan pelaksanaan terkait obat-obatan terdapat dalam SOP

masing-masing Puskesmas, dan untuk panduan pelayanan puskesmas berpedoman

pada panduan Praktik Klinis KMK 514 tentang panduan praktik klinik. Dan terkait

masih tingginya rujukan, maka BPJS mengeluarkan Per BPJS No.1 tahun 2018,

terkait UGD, selayaknya diperkuat dengan adanya SOP RS yang mengatur terkait

hal tersebut sehingga rujukan harus benar-benar mengutamakan urgensi

kegawatdaruratam yang harus memenuhi syarat kriteria sebagai pasien gawat

darurat medis, pelayanan dilakukan di ruang pemeriksaaan atau Instalasi Gawat

Darurat, dan pelayanan diakukan sesuai dengan tata laksana penanganan gawat

darurat yang terdiri atas triase, resusitasi, stabilisasi, dan evakuasi. Karena ternyata

dari UGD banyak masuk pasien tanpa triase dengan alih pasien UGD maka tidak

membawa rujukan dari FKTP, dan satu-satunya akses peserta BPJS yang tidak

memiliki rujukan dari FKTP dengan indikasi atas permintaan pasien adalah melalui

UGD sebagaimana pada pasal 7 dinyatakan Pelayanan gawat darurat medis di

FKRTL deberikan di FKRTL tanpa memerlukan surat rujukan dari FKTP maupunn

FKRTL (BPJS, 2018).

Hal ini sejalan dengan teori Edward III yang dirangkum oleh Winarno

(2005:152) menyatakan bahwa SOP sangat mungkin dapat menjadi kendala bagi

implementasi kebijakan baru yang membutuhkan cara-cara kerja baru atau tipe-tipe

Page 199: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

178

Universitas Indonesia

personil baru untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan, maka dari itu, semakin

besar kebijakan membutuhkan perubahan dalam cara-cara yang lazim dalam suatu

organisasi, semakin besar pula kemungkinan SOP menghambat implementasi.

Namun demikian, di samping menghambat implementasi kebijakan SOP juga

mempunyai manfaat. Ketersediaan SOP akan mendorong implementasi kebijakan

berjalan sesuai standar yang diharapkan, masyarakat akan memperoleh jenis dan

mutu layanan dasar sesuai standar.

SOP pada pelayanan publik bertujuan menciptakan komitmen mengenai apa

yang dikerjakan oleh satuan unit kerja instansi pemerintah untuk mewujudkan good

governance (Atmoko, 2011), yaitu mengarahkan pada upaya untuk memperbaiki

dan meningkatkan proses manajemen pemerintahan sehingga kinerjanya menjadi

lebih baik (Suaib, 2016). Maka dari itu, dengan tidak tersedianya SOP pelayanan

kesehatan akan menghambat akuntabilitas pelayanan publik dan menghambat

implementasi KBK

Fragmentasi Birokrasi

Dimensi fragmentasi birokrasi menegaskan bahwa struktur birokrasi yang

terfragmentasi dapat meningkatkan gagalnya komunikasi dimana para pelaksana

kebijakan akan mengalami distorsi informasi terkait instruksi yang ditujukan pada

pelaksana, selain itu akan membatasi kemampuan para pejabat untuk

mengoordinasikan semua sumber daya yang relevan dalam proses implementasi

(Widodo, 2017).

Aspek fragmentasi birokrasi pada penelitian ini melingkupi bagaimana

pengorganisasian dan penyebaran tanggung jawab diantara para pemangku

kebijakan dalam upaya pencapaian indikator KBK, validitas data yang dicapai dan

dalam hal pemanfaatan dana kapitasi, bagaimana, seperti apa pemanfaatan,

monitoring dan evaluasi sehingga kapitasi yang ada bisa dimanfaatkan seefektif dan

seefisien mungkin.

Konsekuensi yang paling buruk dari fragmentasi birokrasi adalah usaha

untuk menghambat koordinasi, para birokrat karena alasan-alasan prioritas dari

badan-badan yang berbeda, mendorong para birokrat ini untuk menghindari

koordinasi dengan badan-badan lain. Padahal penyebaran wewenang dan sumber-

Page 200: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

179

Universitas Indonesia

sumber untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang kompleks membutuhkan

koordinasi.

Meskipun capaian indikator komitmen pelayanan telah cukup baik

dilaksanakan, beberapa hal yang mengindikasikan adanya fragmentasi bisa terlihat

di beberapa sudut pandang dan pemahaman yang berbeda antara BPJS, Dinas

Kesehatan Provinsi DKI, Sudinkes, Puskesmas Kecamatan, dan Puskesmas

Kelurahan.

Pencairan dana kapitasi melalui puskesmas kecamatan, keterlibatan

puskesmas kelurahan dirasa kurang, terkait pengetahuan mereka besaran kapitasi

dan mekanisme pengelolaannya seperti apa, pandangan Puskesmas Kelurahan,

bahwa fungsi mereka hanya pelayanan, dengan sedikit mengacuhkan koordinasi

terkait pemanfaatan dana kapitasi. Pandangan Puskesmas Kecamatan, terkait

pelaporan capaian indikator komitmen pelayanan biasanya ditarik oleh BPJS

langsung dari capaian yang di entry di p-care tanpa adanya validasi terkait capaian

indikator tersebut, dan monitoring pemanfaatan dana kapitasi BPJS tidak berhak

untuk memantau, karena tugas BPJS adalah memberikan kapitasi dan

pengelolaannya adalah diserahkan kepada puskesmas, dan yang berhak

memutuskan pemanfaatan dana kapitasi atas permohonan dari puskesmas

kelurahan adalah puskesmas kelurahan, jadi pengelolaan dan pengambil keputusan

adalah pada puskesmas kecamatan, dengan meminimalisir adanya koordinasi

puskesmas kecamatan dan kelurahan.

Dan terkait monev terhadap capaian indikator, yang hal itu merupakan

tuntutan yang tertuang di Perber 2017 Terkesan adalah persyaratan dari BPJS,

dengan tidak terpenuhinya indikator komitmen pelayanan, maka kapitasinya akan

dipotong, namun belum terdapat tim terkait verifikasi validitas capaian indikator di

Puskesmas, untuk di BPJS Bidang PMP untuk yang berhubungan dengan pelayanan

primer dan mereka membuat strategi untuk menghapus nomor kepesertaan peserta

BPJS, sehigga bisa meminimalisir kemungkinan entry diluar kriteria.

Pandangan dari Sudinkes terkait pemanfaatan dana kapitasi, menganggap

hal tersebut adalah ranah BPJS – Puskesmas, dan pada Puskesmas BLUD

mempunyai wewenang penuh terhadap pengelolaan dana kapitasi mulai pencairan

sampai pertanggungjawaban, sehingga mengurangi sisi fungsi dari aspek

Page 201: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

180

Universitas Indonesia

pengawasan, feel jika terlalu banyak intervensi dalam monitoring dan evaluasi akan

memberi kesan Sudinkes terlalu ikut campur, sehingga membatasi essensi dari

pengawasan itu sendiri, sehingga fragmentasi disini adalah lemahnya monitoring

dan evaluasi pemanfaatan dana kapitasi.

Keeratan hubungan Sudinkes – Puskesmas melemahkan fungsi Binwasdal

yang seharusnya bekerja untuk lebih jeli, terhadap indikasi fraud yang ada, sehingga

dibutuhkan tim yang lebih independen. Menurut Edward, fragmentasi kebijakan

merupakan penyebaran tanggung jawab dan kekuasaan pada suatu organisasi.

Struktur birokrasi yang terlalu panjang dan terfragmentasi akan cenderung

melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni birokrasi yang rumit

dan kompleks prosedur birokrasi yang rumit dan selanjutnya akan menyebabkan

aktivitas organisasi menjadi tidak fleksibel.

Terkait koordinasi antara RS dan Puskesmas, dimana Puskesmas merujuk

dengan diagnosis non spesialistik dg TACC, maka tidak akan dicatat sebagai

RRNS. Pihak Rumah Sakit akan tetap melakukan pelayanan tanpa merujuk kembali

ke Puskesmas. Hal tersebut berdampak semakin tingginya rujukan dan klaim RS.

Sehingga dalam hal ini dibutuhkan upaya monitoring dan evaluasi terkait validitas

diagnosis rujukan dari Puskesmas, disamping ada beberapa hal di luar itu yang bisa

mempengaruhi tingginya rujukan di RS dari Puskesmas. Dan terkait mekanisme

rujuk balik seharusnya dilakukan oleh RS untuk pasien-pasien dengan kasus non

spesialistik, akan tetapi dalam praktiknya ada beberapa perbedaan aksi dimana

pasien yang seharusnya dilakukan rujuk balik ke Puskesmas tetap dilakukan control

untuk kembali di RS, sehingga ada kebijakan BPJS mengeluarkan surat rujuk balik

yang berlaku maksimal 3 bulan agar pasien bisa kembali dilakukan pelayanan di

FKTP.

Hal ini berdasar pada pernyataan dari BPJS Cabang di Unit Layanan

Rujukan yang mulai menemukan beberapa keganjilan atau anomaly data terhadap

hal tersebut, hal ini harus dilihat sebagai potensi fraud di kedua belah pihak baik

puskesmas maupun RS yang harus diselesaikan dengan duduk bersama. Potensi

fraud disini adalah salah satu FKTP merujuk tidak sesaui dengan maksud untuk

mendapat keuntungan, apa yang dimaksud keuntungan disini adalah agar

puskesmasm dalam posisi aman dengan adanya upaya untuk memanipilasi TACC,

Page 202: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

181

Universitas Indonesia

sangat jelas bahwa hal ini ada anomali data, sehingga jika mengacu kepada

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 tahun 2015 tentang Pencegahan

Kecurangan (Fraud) dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan pada Sistem

Jaminan Sosial Nasional (Kementerian Kesehatan RI, 2015). Langkah selanjutnya

harusnya dilakukan investigasi dari banyak pihak termasuk tim independen fraud

yang ada di Sudinkes dan BPJS. Seperti tercantum dalam Permenkes 36 tahun 2015

tahun bahwasannya Pembinaan dan pengawasan pencegahan Kecurangan JKN

dilakukan oleh Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangan masing- masing

(Kementerian Kesehatan RI, 2015). Selain itu upaya transfer knowledge dari RS ke

Puskesmas perlu dilakukan sehingga mengurangi adanya miss-kominikasi antara

RS dan Puskesmas.

Sehingga bisa disimpulkan aspek fragmentasi birokrasi dari hasil penelitian

ini adalah lemahnya koordinasi untuk monitoring dan evaluasi karena pelaksana

kebijakan terbagi dalam beberapa unit kerja dan lintas Dinas atau Badan, perlu

adanya tim terpadu dan independen dalam upaya ini, sementara fungsi ini masih

dijalankan secara terpisah-pisah/terfragmentasi, sehingga diharapkan peningkatan

mutu pelayanan kepada masyarakat bisa diwujudkan. Edward III dalam Winarno

(2005:155) menjelaskan bahwa ”fragmentasi merupakan penyebaran tanggung

jawab suatu kebijakan kepada beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan

koordinasi”. Pada umumnya, semakin besar koordinasi yang diperlukan untuk

melaksanakan kebijakan, semakin berkurang kemungkinan keberhasilan program

atau kebijakan. Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit

dari banyak lembaga birokrasi. Hal ini akan menimbulkan konsekuensi pokok yang

merugikan bagi keberhasilan implementasi kebijakan

Disamping itu masih tingginya rujukan APS (Atas Permintaan Pasien),

mengindikasikan rendahnya koordinasi antara Puskesmas dan pasien, sehingga

menimbulkan kurangnya kepercayaan pasien kepada Puskesmas, sehingga

menginginkan untuk dirujuk ke Rumah Sakit untuk penanganan selanjutnya.

Masih adanya miss perception terkait beberapa kebijakan mekanisme

pemberian obat, seperti halnya telah dilakukan pembahasan pada subbab fasilitas,

dan hal ini masih menjadi pembahasan pertimbangan untuk diberikannya obat

Page 203: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

182

Universitas Indonesia

prolanis untuk waktu 30 hari dengan catatan tertentu, sesuai kondisi pasien. Dan di

beberapa Puskesmas Kecamatan telah dilakukan pemberian obat-obatan untuk

waktu 30 hari dengan syarat dan ketentuan berlaku.

Dan terkait pemenuhan SDM ada perubahan kebijakan sejak 2016, sehingga

menjadi hambatan Puskesmas untuk melakukan perekrutan untuk pemenuhan

kecukupan SDM, seharusnya hal ini tidak menjadi masalah jika bisa dilakukan

komunikasi dan koordinasi efektif antar unit pelaksana.

Namun ada beberapa kebijakan yang selaras untuk mendukung pencapaian

indikator komitmen pelayanan dengan adanya KPLDH yang capaian dimasukkan

ke dalam entry p-care sebagai home visite, yang mekanisme perekrutan juga

dilakukan oleh Dinkes Provinsi DKI, namun hal ini bisa menjadi terfragmentasi

juga antar unit pelaksana, berdasaar kebutuhan sendiri-sendiri sehingga sebenarnya

ini adalah satu capaian akan tetapi karena untuk kepentingan yang berbeda, maka

harus dilakukan entry beberapa kali ke unit berbeda sesuai tuntutan masing-masing

unit pelaksana.

“Puskesmas dalam pelaksanaan JKN belum bisa dihilangkan perannya dalam pemberian pelayanan peserta JKN untuk UKP. “(K)

“ciri khas pelayanan primer (FKTP) adalah promotive preventif”

(K)

Di sisi lain angka kontak pada era KBK ini bukan hanya kontak sakit tetapi

juga kontak sehat. Sehingga angka kontak disini akan selaras dengan pencapaian

SPM kabupaten/Kota.

Berikut hambatan-hambatan yang terjadi dalam fregmentasi birokrasi

berhubungan dengan implementasi kebijakan publik (Budi Winarno,2005:153-

154): (1) tidak ada otoritas yang kuat dalam implementasi kebijakan karena

terpecahnya fungsi-fungsi tertentu ke dalam lembaga atau badan yang berbeda-

beda. Di samping itu, masing-masing badan mempunyai yurisdiksi yang terbatas

atas suatu bidang, maka tugas-tugas yang penting mungkin akan terlantarkan dalam

berbagai agenda birokrasi yang menumpuk; (2) pandangan yang sempit dari badan

yang mungkin juga akan menghambat perubahan. Jika suatu badan mempunyai

fleksibilitas yang rendah dalam misi-misinya, maka badan itu akan berusaha

mempertahankan esensinya dan besar kemungkinan akan menentang kebijakan-

Page 204: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

183

Universitas Indonesia

kebijakan baru yang membutuhkan perubahan. Dengan demikian, kondisi tersebut

di atas memperlihatkan bahwa terjadi beberapa fragmentasi birokrasi dalam rangka

implementasi KBK di DKI Jakarta

Permasalahan terkait pelaksanaan Kapitasi Berbasis Komitmen

Pelayanan

A Penatalaksanaan Rujukan

Rujukan dalam pelayanan puskesmas dalam praktiknya dimaksudkan

sebagai pengiriman pasien yang memerlukan perawatan spesialistik atau

pemeriksaan penunjang diagnostic ke rumah sakit. Dalam sistem KBK ini rujukan

sangat penting mengingat banyaknya rujukan yang tidak berindikasi medis pada

hakikatnya adalah pemborosan yang pada akhirnya merugikan puskesmas sendiri

terkait dimensi mutu pelayanan yang harusnya ditunjukkan oleh puskesmas.

B Implikasi KBK

Penurunan rasio rujukan kasus non spesialistik di Puskesmas, harusnya bisa

berimpak terhadap penghematan pembiayaan kesehatan di Rumah Sakit. berikut

penghitungan Implikasi pelaksanaan KBK selama tahun 2016 sampai dengan tahun

2017 terhadap klaim RS yang bisa dihemat. Dari penghitungan kebermaknaan

penurunan RRNS sebesar 1.2% (p value < 0.05), maka penurunan tersebut secara

statistik signifikan.

Tabel 6.1 Rincian Implikasi KBK

Pada kenyataannya jika di jajarkan dengan data Kunjungan Non Spesialistik

(KNS) di Rumah Sakit, ada beberapa perbedaan

Dan jika dilihat dari total rujukan ke FKRTL di DKI Jakarta mengalami

kenaikan selama tahun 2016 – 2017 sebagai berikut

Penurunan RRNS per 2016-2017 1.2%

Rata-rata peserta terdaftar di Puskesmas DKI 35,904

Rata-rata tariff INA CBGs (RI&RJ) Rp.968,254,-

x

Biaya klaim RS yang bisa dihemat Rp. 417,170,299,-

Page 205: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

184

Universitas Indonesia

Tabel 6.2 Total Rujukan ke FKRTL di Wilayah DKI Jakarta tahun 2016 s.d tahun 2017

Rujukan ke FKRTL Tahun

Total 2016 2017

Rawat Inap Tingat Lanjut (RITL) 600,725 635,189 34,464

Rawat jalan Tingkat Lanjut (RJTL) 5,935,385 7,027,519 1,092,134

Sehingga dalam hal ini akan menimbulkan kenaikan total klaim FKRTL di

wilayah DKI Jakarta sebesar

Tabel 6.3 Total Klaim FKRTL di Wilayah DKI Jakarta

Keterangan Tahun

Selisih (Rp) 2016 (Rp) 2017 (Rp)

Realisasi Biaya 7,594,951,731,514 9,573,254,961,942

1,978,303,230,428

Jika dibahas terkait praduga dimungkinkan kenaikan rujukan bisa

dimungkinkan berasal dari FKTP lain, maka dari data menunjukkan bahwa rujukan

lebih besar adalah dari wilayah puskesmas di wilayah DKI Jakarta.

Tabel 6.4 Perbandingan Total Rujukan Puskesmas, FKTP lain wilayah DKI, Puskesmas dan FKTP luar DKI tahun 2016 s.d tahun 2017

Rujukan ke FKRTL (RJTL = UGD dan Poli)

2016 2017 Selisih

f % f %

Puskesmas wilayah DKI Jakarta

4,161,474 70.11 4,444,853 63.25 283,379

FKTP lain DKI Jakarta 1,269,445 21.39 1,439,980 20.49 170,535

Puskesmas dan FKTP luar DKI Jakarta

504,466 8.50 1,142,686 16.26 638,220

Total 5,935,385 100 7,027,519 100 1,092,134

Page 206: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

185

Universitas Indonesia

Dari data diatas bisa kita lihat bahwa klaim FKRTL tahun 2016 dan 2017 di

wilayah DKI Jakarta banyak disumbang karena rujukan oleh Puskesmas di wilayah

DKI Jakarta yakni sebesar 70.11% pada tahun 2016 dan 63.25% pada tahun 2017

dibanding rujukan dari FKTP lain di wilayah DKI Jakarta 21.39% pada tahun 2016

dan 20.49% pada tahun 2017 dan Puskesmas FKTP lain di luar wilayah DKI Jakarta

8.50% pada tahun 2016 dan meningkat sebanyak 16.26% pada tahun 2017,

mengingat total klaim diatas karena RS di Jakarta juga menerima pasien di luar

wilayah DKI Jakarta

Dan besaran jumlah nilai kapitasi yang dikeluarkan oleh BPJS untuk

Puskesmas mengalami kenaikan, selama tahun 2016 sampai dengan 2017,

sebanding dengan peningkatan warga masyarakat yang menjadi peserta JKN, dan

juga berkaitan dengan semakin meningkatnya status aman indikator komitmen

pelayanan. Namun apakah kenaikan kapitasi ini diikuti dengan peningkatan mutu

pelayanan?. Seharusnya demikian, dengan semakin tingginya kapitasi yang

diterima, diharapkan bukan hanya kenaikan capaian indikator saja, akan tetapi

diikuti dengan meningkatnya mutu pelayanan yang diberikan oleh Puskesmas.

Tabel 6.5 Total Kapitasi Puskesmas di wilayah DKI Jakarta tahun 2016 s.d tahun 2017

Total Kapitasi

Tahun Selisih (Rp)

2016 (Rp) 2017 (Rp)

Puskesmas 662,026,879,580 730,605,917,890

68,579,038,310

Kenaikan kapitasi yang diterima oleh Puskesmas selama kurun waktu 2016

sampai tahun 2017 selain disebabkan semakin meningkatnya capaian aman

indikator komitmen pelayanan puskesmas juga disebabkan oleh semakin

meningkatnya kepesertaan JKN, karena target Gubernur DKI Jakarta bahwasannya

akan mewujudkan Universal Coverage tahun 2019, sehingga tidak lagi

memperhatikan kriteria mampu ataupun tidak, selagi warga mau untuk dilayani di

kelas III, tanpa memandang status sosial mampu atau tidak bisa dilayani gratis dan

menjadi peserta PBI yang pembayaran premi akan ditanggung oleh pemerintah

Page 207: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

186

Universitas Indonesia

daerah. Adapun rincian capaian kepesertaan JKN di wilayah DKI Jakarta adalah

sebagai berikut:

Tabel 6.6 Kepesertaan JKN di Wilayah DKI Jakarta PBI dan non PBI tahun Tahun 2017

Kepesertaan JKN Jumlah peserta (jiwa)

f %

PBI (APBD) 5.616.126 80.15

PBI (APBN) 792.303 11.31

Non PBI 599,015 8.54

Total (jiwa) 7,007,444 100

Dari tabel diatas bisa dilihat bahwa kepesertaan JKN sebesar 7,007,444 jiwa

untuk peserta PBI (APBN) sebesar 792.303 jiwa (11.31%), PBI (APBD) sebesar

5.616.126 jiwa (80.15%), dan peserta non PBI adalah sebesar 599,015 (8.54%). Jadi

untuk akhir Desember 2017 bisa kita lihat kondisi kepesertaan JKN di DKI Jakarta

adalah sebesar 7,007,444/9,223,000 (jumlah penduduk) yaitu sebesar 84.05% yang

didominasi oleh peserta PBI yang preminya dibayarkan oleh pemerintah daerah

(APBD), dan hanya 15.95% yang belum tercover oleh BPJS.

Tabel 6.7 Prosentase kepesertaan JKN di wilayah DKI Jakarta

Dari sini bisa kita lihat beban pemerintah daerah untuk pembayaran premi

adalah senilai

Total kepesertaan JKN Tahun 2017 7,007,444 jiwa

Jumlah penduduk DKI Jakarta 9,223,000 jiwa

:

Prosentase peserta JKN wilayah DKI Jakarta (%) 84.05 %

Page 208: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

187

Universitas Indonesia

Tabel 6.8 Penghitungan besaran premi yang harus dibayarkan oleh pemerintah daerah untuk peserta PBI (APBD)

Salah satu alasan bahwa kenapa peserta PBI tidak diperkenankan untuk

dilakukan redistribusi ke FKTP swasta (Klinik swasta dan DPP), agar

pemanfaatannya bisa dikembalikan untuk pemerintah daerah, sehingga menjadi

salah satu kendala pemerataan peserta di wilayah DKI Jakarta, sehingga masih

adanya gab antara kepadatan peserta di wilayah satu dan wilayah lainnya, antara

peserta yang terakumulasi di fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah.

Namun peserta bisa di redistribusi antar fasilitas pelayanan kesehatan milik

pemerintah lainnya. Sehingga, jika dengan alasan tersebut, seharusnya menjadi

konsekuensi bagi pemerintah daerah untuk bisa menambah fasilitas pelayanan

kesehatan.

Selain daripada bahasan diatas terkait implementasi KBK di lapangan,

bukan semata-mata melihat implementasi KBK sebagai keberhasilan pelayanan,

perlu dilakukan pembahasan terkait aspek hukum dan kebijakan terkait penerapan

Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan itu sendiri seperti apa, apakah ada

overlapping terhadap kebijakan yang ada, atau penyalahgunaan pelaksanaan,

ataukah peraturan yang ada harus dilakukan peninjauan kembali, akan coba

dilakukan pembahasan sebagai berikut:

Total kepesertaan JKN Tahun 2017 5.616.126 jiwa

Premi Kelas 3 Rp. 25,500

Periode waktu 1 tahun (12 bulan) 12 bulan

x

Biaya premi yang harus dibayar pemerintah daerah Rp. 1,718,534,556,000.00                      

Page 209: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

188

Universitas Indonesia

Aspek Kebijakan Kapitasi Berbasis Komitmen Pelayanan

A Fungsi Puskesmas melaksanakan UKP-UKM dan pembayaran

Kapitasi di Puskesmas

Puskesmas adalah unit pelaksana tehnis Dinas Kesehatan Kab/Kota yang

bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di satu atau

sebagian wilayah kecamatan.

Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah

fasilitaspelayanankesehatanyangmenyelenggarakanupayakesehatanmasyarakat

dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebihmengutamakan

upayapromotifdanpreventif,untukmencapaiderajatkesehatanmasyarakatyang

setinggi‐tingginyadiwilayahkerjanya(KemenkesRI,2014)

Kita ketahui bersama ada dua upaya kesehatan yang dilakukan di

Puskesmas. , yaitu; a) menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat tingkat

pertama dan b) upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama. Upaya kesehatan

dimaksud dilaksanakan secara terintegrasi dan berkesinambungan. Upaya

kesehatan masyarakat tingkat pertama meliputi upaya kesehatan masyarakat

esensial dan upaya kesehatan masyarakat pengembangan. Upaya kesehatan

masyarakat esensial meliputi: a) pelayanan promosi kesehatan; b) pelayanan

kesehatan lingkungan; c) pelayanan kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana;

d) pelayanan gizi; dan e) pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit.

Tujuannya adalah untuk mendukung pencapaian standar pelayanan minimal

kabupaten/kota bidang kesehatan.

Upaya kesehatan masyarakat pengembangan merupakan upaya kesehatan

masyarakat yang kegiatannya memerlukan upaya yang sifatnya inovatif dan/atau

bersifat ekstensifikasi dan intensifikasi pelayanan, disesuaikan dengan prioritas

masalah kesehatan, kekhususan wilayah kerja dan potensi sumber daya yang

tersedia di masing-masing Puskesmas. Untuk upaya kesehatan masyarakat tingkat

pertama ini baik esensial maupun pengembangan menjadi tanggungjawab dan

domain pemerintah (pusat dan daerah), dengan menggunakan sumber dana APBN

dan APBD.

UpayaKesehatanMasyarakatyangselanjutnyadisingkatUKMadalah

setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta

Page 210: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

189

Universitas Indonesia

mencegahdanmenanggulangitimbulnyamasalahkesehatandengansasaran

keluarga, kelompok, dan masyarakat. Sedangkan Upaya Kesehatan

PerseoranganyangselanjutnyadisingkatUKPadalahsuatukegiatandan/atau

serangkaiankegiatanpelayanankesehatanyangditujukanuntukpeningkatan,

pencegahan, penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat

penyakitdanmemulihkankesehatanperseorangan(KementerianKesehatan,

2014)

Balancing the enduring tensions between different logics of action, for

instance between the demands and obligations of offices and roles and individual

calculated interests (Tussman, 1960:18). Political actors are also likely to be held

accountable for both the appropriateness and the consequences of their actions. A

dilemma is that proper behavior sometimes is associated with bad consequences

and improper behavior sometimes is associated with good consequences.That is,

they achieve desirable outcomes through methods that they recognize as

inappropriate. Or, they follow prescribed rules and procedures at the cost of

producing outcomes they recognize to be undesirable (Thompson, 1987) (Merton,

1936). Seperti kita ketahui dengan nama Puskesmas yang berarti Pusat

Kesehatan Masyarakat maka sudah sesuai fitrahnya bahwa Puskesmas

menyelenggarakanUpayaKesehatanMasyarakatdalamporsiyanglebihbesar

dibandingdenganupayakesehatanperorangan,karenasatu‐satunyainstansi

pemerintahyangbisamenyelenggarakanupayakesehatanperoranganadalah

Puskesmas, karena sudahmenjadi tanggung jawab pemerintah, sedangkan

upaya kesehatan perorangan bisa diselenggarakan oleh organisasi privat

sebagaimana tercantun dalam SKN 2012. Namun adakalanya karena suatu

kondisi tertentu memaksa Puskesmas untuk kehabisan waktu untuk

melakukankegiatanUKPdibandingkanseharusnyatugasUKM.

Di dalam Perpres 72 tentang Sistem Kesehatan Nasional disebutkan bahwa

Pelayanan kesehatan perorangan primer adalah pelayanan kesehatan dimana terjadi

kontak pertama secara perorangan sebagai proses awal pelayanan kesehatan dan

memberikan penekanan pada pelayanan pengobatan, pemulihan tanpa

mengabaikan upaya peningkatan dan pencegahan, termasuk di dalamnya pelayanan

Page 211: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

190

Universitas Indonesia

kebugaran dan gaya hidup sehat (healthy life style) yang dapat diselenggarakan

sebagai pelayanan yang bergerak (ambulatory) atau menetap, dapat dikaitkan

dengan tempat kerja, seperti klinik perusahaan; atau dapat disesuaikan dengan

lingkungan/kondisi tertentu (kesehatan matra, seperti: kesehatan haji, kesehatan

pada penanggulangan bencana, kesehatan transmigrasi, kesehatan di bumi

perkemahan, kesehatan dalam penanggulangan gangguan keamanan dan ketertiban

masyarakat, kesehatan dalam operasi dan latihan militer di darat, kesehatan

kelautan dan bawah air, kesehatan kedirgantaraan/ penerbangan, dan kesehatan

dalam situasi khusus dan/atau serba berubah). Pemerintah wajib menyediakan

pelayanan kesehatan perorangan primer di seluruh wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI) sesuai kebutuhan, terutama bagi masyarakat miskin,

daerah terpencil, perbatasan, pulau-pulau terluar dan terdepan, serta yang tidak

diminati swasta (SKN, 2012a)

Dalam kondisi di DKI Jakarta sebagai wilayah yang diminati, sehingga

banyak sekali klinik dan praktik perorangan didirikan oleh swasta, sehingga akan

sangat memungkinkan jika pelaksanakan upaya kesehatan perorangan

diselenggarakan atau diserahkan kepada swasta, sehingga Puskesmas dalam kondisi

fokus dalam pengelolaan UKM, karena sudah semestinya pengelolaan kesehatan

yang diselenggarakan oleh semua komponen Bangsa Indonesia secara terpadu dan

saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang

setinggi-tingginya, sehingga perlu koordinasi pengaturan yang saling koheren

untuk mencapainya yang tidak hanya bisa diselenggarakan oleh satu organisasi

pemerintah saja. SKN akan berfungsi optimal apabila ditunjang oleh pemberdayaan

perorangan, keluarga dan masyarakat. Masyarakat termasuk swasta bukan semata-

mata sebagai sasaran pembangunan kesehatan, melainkan juga sebagai subjek atau

penyelenggara dan pelaku pembangunan kesehatan. Oleh karenanya pemberdayaan

masyarakat menjadi sangat penting, agar masyarakat termasuk swasta dapat mampu

dan mau berperan sebagai pelaku pembangunan kesehatan.

Pembiayaan pelayanan kesehatan masyarakat merupakan barang publik

(public good) yang menjadi tanggung jawab pemerintah, sedangkan untuk

pelayanan kesehatan perorangan pembiayaannya bersifat privat, kecuali

pembiayaan untuk masyarakat miskin dan tidak mampu menjadi tanggung jawab

Page 212: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

191

Universitas Indonesia

pemerintah. Dan pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan diselenggarakan

melalui jaminan pemeliharaan kesehatan dengan mekanisme asuransi sosial yang

pada waktunya diharapkan akan mencapai universal health coverage sesuai dengan

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

(SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara

Jaminan Sosial.

Bagi Puskesmas BLUD upaya UKP terlihat sebagai upaya yang cukup

instan untuk bisa dilihat hasil dari upaya yang dilakukan dengan biaya lebih kecil

serta bisa menambah kas pemasukan BLUD, di lain hal upaya UKM memiliki

impak jangka panjang dan butuh waktu lama untuk bisa melihat hasilnya dan

membutuhkan biaya yang lebih besar. Sehingga ada beberapa kecenderungan

upaya-upaya untuk UKM menjadi hal yang dinomorduakan dalam pelaksanaannya,

sehingga optimalisasi hasil yang diharapkan melalui UKM mengalami beberapa

kendala dan konsekuensi baru akan terasa di kemudian hari.

Sebagaimana dalam UU SJSN bahwasannya pembiayaan kapitasi tidak bisa

digunakan dalam pembiayaan UKM, karena pembayaran kapitasi diberikan kepada

FKTP, dimana Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama sebagaimana tercantum dalam

Peraturan Presiden bahwasannya FKTP adalah fasilitas kesehatan yang melakukan

pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat non spesialistik untuk keperluan

observasi, diagnosis, perawatan, pengobatan, dan/atau pelayanan kesehatan lainnya

(Peraturan Presiden, 2014). Sehingga sumber pembiayaan UKM adalah dari

pemerintah, pemerintah daerah, bukan dengan adanya dalih promotive preventif,

sebagaimana diusung melalui konsep angka kontak (kunjungan sakit dan kunjungan

sehat) lantas hal tersebut sudah menjadi kecukupan UKM yang harus dilakukan

oleh Puskesmas

James G. March & Johan P. Olsen Distances (2006) melalui the logic of

appropriateness:701 says Reconciling Logics of Action, Action is rule based, but

only partly so. There is a great diversity in human motivation and modes of action.

Behavior is driven by habit, emotion, coercion, and calculated expected utility, as

well as interpretation of internalized rules and principles. Puskesmas dalam

pelaksanaan JKN belum bisa dihilangkan perannya dalam pemberian pelayanan

peserta JKN untuk UKP. Salah satu informan kunci mengatakan bahwa angka

Page 213: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

192

Universitas Indonesia

kontak pada era KBK ini bukan hanya kontak sakit tetapi juga kontak sehat.

Sehingga angka kontak disini akan selaras dengan pencapaian SPM

kabupaten/Kota. Dikatakan bahwa ciri khas pelayanan primer (FKTP) adalah

promotive preventif, hal ini bukanlah berarti bahwa dalam UKP hanyalah kuratif,

bahwasannya dalam pelayanan UKP juga harus memperhatikan upaya promotive

preventif.

Sebagai provider BPJS, maka Puskesmas belum bisa dihilangkan perannya

dalam pemberian pelayanan peserta JKN untuk UKP, sehingga harus memenuhi

aturan main sebagaimana ditetapkan dalam peraturan, ditambah adanya

konsekuensi pemotongan nilai kapitasi, apabila indikator komitmen pelayanan

tidak bisa dicapai. Adanya beberapa perbedaan terkait adanya pertanyaan Apakah

sudah tepat BPJS dan Kemenkes mentargetkan 3 indikator ini untuk Puskesmas?.

Dengan diberikannya beban pencapaian 3 indikator ini kepada puskesmas,

menambah beban pencapaian puskesmas untuk UKP, sehingga tugas UKM

Puskesmas disinyalir mengalami kelemahan, dan menimbulkan beberapa dampak

terhadap kesehatan masyarakat.

Sebagai provider BPJS, maka Puskesmas berhak mendapatkan kapitasi di

Puskesmas, beberapa perbedaan pendapat terkait efektifitas penerimaan kapitasi di

Puskesmas. Capitation is a set amount money received or paid out, it based on

membership rather than on services delivered and usually is expressed in units of

per member per month; may be varied by such factors as age and sex of the enrolled

member (Kongstvedt, 2013), sesuai dengan Peraturan Presiden No 32 tahun 2014

dikatakan dana kapitasi adalah besaran pembayaran per-bulan yang dibayar dimuka

kepada FKTP berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan

jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan.

Dana kapitasi yang dialokasikan BPJS Kesehatan adalah untuk Upaya

kesehatan perseorangan tingkat pertama, disamping tentunya dana yang bersumber

dari APBN dan APBD karena pola terintegrasi dan

berkesinambungan. Dilaksanakan dalam bentuk: a) rawat jalan; b) pelayanan

gawat darurat; c) pelayanan satu hari (one day care); d) home care; dan/atau e)

rawat inap berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan kesehatan. Upaya

Page 214: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

193

Universitas Indonesia

kesehatan perseorangan tingkat pertama dilaksanakan sesuai dengan standar

prosedur operasional dan standar pelayanan.

Persoalan timbul dalam pelaksanaan upaya kesehatan

perorangan karena menggunakan dua sumber dana yaitu dana kapitasi dari BPJS

Kesehatan, dan APBD dari Pemda (Situmorang, 2017). Dari sisi pelayanan medis,

ada porsi dana kapitasi digunakan untuk tenaga medis, dari hasil kualitatif untuk

pelaksanaan di DKI Jakarta, dana kapitasi sudah tidak lagi dipergunakan bagi

tenaga PNS karena dari APBD telah mendapatkan gaji, insentif/ remunerasi dari

Pemerintah Daerah jadi dipergunakan sebagai pembayaran gaji non PNS, akan

tetapi pelaksanaan di beberapa puskesmas berbeda, adakalanya gaji non PNS juga

berasal APBD tergantung kondisi masing-masing puskesmas. Dana kapitasi

digunakan untuk belanja operasional pembelian obat, dan bahan medis habis pakai,

laboratorium sederhana dialokasi dari sisa dana kapitasi yang dikurangi dana

pelayanan medis. Hal yang sama juga pemerintah daerah menyediakan dana untuk

belanja obat dan bahan medis habis pakai. Ada irisan dan

kemungkinan double pembayaran jika proses pengawasan tidak berjalan secara

maksimal.

B Status Organisasi Puskesmas dan Kerjasama BPJS-Puskesmas

Status organisasi puskesmas, secara organisasi puskesmas adalah unit

pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (satu dari banyak UPT Dinkes

kabupaten/Kota). Dalam Permendagri No. 59 tahun 2007 tentang Pengelolaan

Keuangan Daerah, yang disebut dalam organisasi pemerintah daerah di bidang

kesehatan hanyalah “..Dinas/Badan/Kantor/Rumah Sakit” (Peraturan Presiden,

2014), Puskesmas hanyalah unit pelaksana dari Dinas kesehatan Kabupaten/Kota,

maka secara organisatoris organisasi puskesmas tidak masuk nomenklatur

organisasi kesehatan daerah, sehingga tidak mempunyai pos anggaran atau program

kegiatan sendiri. Sehingga dikeluarkan Perpres 32 Thun 2014 tentang Pengelolaan

dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional pada Fasilitas

Kesehatan Tingkat pertama Milik Pemerintah Daerah (Peraturan Presiden, 2014)

yang mengatur dana kapitasi dari BPJS bisa langsung ke Puskesmas non-BLUD

dengan syarat memiliki bendaharawan dan akun keuangan khusus. Masalahnya

Page 215: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

194

Universitas Indonesia

disini adalah struktur organisasi puskesmas tidak tercantum dalam organisasi

pelayanan kesehatan pemda, karena puskesmas adalah unit pelaksana teknis Dinas

Kesehatan, sehingga pengaturan uang, orang dan barang harus melalui Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota. Adapun peraturan terkait pengaturan BLUD berdasar

PP No.58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah , Peraturan

Pemerintah No.23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan

Umum, Peraturan Menteri Dalam negeri No.61 tahun 2007 tentang Pedoman

Teknis Pengelolaan Keuangan badan layanan Umum Daerah, dan untuk

pelaksanaan teknis BLUD di wilayah DKI adanya Peraturan Gubernur No 65 tahun

2012 terkait Pola BLUD.

Sebagai lesson learn kondisi di beberapa daerah, pada hakikatnya Perpres

32 tahun 2014 ini hakekatnya untuk memberikan kemudahan dan kelancaran agar

FKTP milik Pemeritah Daerah (Puskesmas), mendapatkan dana kapitasi langsung

dari BPJS Kesehatan tanpa melalui kas Pemerintah Daerah. Maka itu dalam Perpres

tersebut di bentuk bendahara Kapitasi di Puskesmas yang langsung menerima dana

kapitasi setiap bulan dan dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan

di FKTP yang pengaturan penggunaannya telah diatur juga dalam Permenkes.

Dalam perkembangannya, ternyata dilapangan berbeda wujud

pelaksanaannya. Memang dana masuk ke bendaharawan kapitasi, tetapi di banyak

daerah Kab/Kota, dana tersebut tidak boleh digunakan langsung, tapi disetor

kembali ke Kas Daerah. Sehingga ini disinyalir ada permainan di dalamnya. Alasan

Pemda Kab/Kota maupun Dinas kesehatannya, adalah Pemda juga ada memberikan

alokasi dana APBD untuk Puskesmas. Sehingga akan terjadi double penggunaan.

Dengan masuk kedalam kas daerah, dan dikeluarkan sebagai alokasi APBD,

peruntukan dana kapitasi ke Puskesmas menjadi tidak jelas, maka sebagian

Puskesmas tidak merasakan ada manfaat dana kapitasi. Akibatnya Puskesmas

sebagai Klinik FKTP yang melakukan peran gate keeper tidak berjalan. Sehingga

peserta yang seharusnya di layani di FKTP, dtransfer langsung melalui surat

pengantar untuk di rujuk ke RS, karena keterbatasan sarana, prasarana, alat dan lain-

lain. Dengan demikian, dana kapitasi yang seharusnya untuk kepentingan

pelayanan kesehatan di Puskesmas dan remunerasi bagi tenaga medis, tidak tercapai

peruntukannya. Jadilah dana kapitasi milik peserta digunakan untuk menambah

Page 216: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

195

Universitas Indonesia

sumber PAD pemerintah daerah. Dan ini bertentangan dengan sistem

penyelenggaran JKN.

Di satu sisi Puskesmas yang mendapatkan pelayanan kapitasi dengan penuh,

terlalu asyik melaksanakan fungsi pelayanan UKP, dan terindikasi sedikit

mengabaikan fungsi UKM. Sehingga kegiatan promotif dan preventif kepada

masyarakat untuk melaksankan pola hidup sehat tidak maksimal dilaksanakan.

Dengan dua situasi yang disinyalir menimbulkan masalah, sudah saatnya

Puskesmas dikembalikan fungsinya sebagai UKM, memelihara kesehatan

masyarakat dengan mengedepankan kegiatan penyuluhan kesehatan, promosi

kesehatan, pencegahan dan upaya kesehatan masyarakat lainnya. Fungsi UKP

sebagai klinik (FKTP), diserahkan kepada masyarakat dan swasta. Tenaga

medisnya dapat menggunakan tim tenaga kesehatan yang pada jam kerja bertugas

di Puskesmas dan diluar jam kerja bertugas di klinik atau pos pelayanan kesehatan

serta bersama dengan tim lainnya.

Bayangkan kalau dana kapitasi untuk Puskesmas setiap tahun ada Rp. 7

riliun, dan kalau 50% diantaranya masuk Kas Pemda Kab/Kota, maka peserta

menyumbang Pemda Kab/Kota sebesar Rp. 3,5Triliun, diluar pos APBD untuk

sektor kesehatan yang dialokasi Pemda 10% dari total APBD Kab/Kota. Sementara

BPJS Kesehatan mengalami defisit sebesar Rp. 9 triliun.

Untuk mengembalikan puskesmas tidak lagi sebagai FKTP untuk JKN,

tentu menjadi wewenang Menteri Kesehatan, sebab yang menunjuk Puskesmas

sebagai FKTP JKN pada tahun 2013 adalah Menteri Kesehatan (Situmorang, 2018)

Bagi Puskesmas BLUD, sejak awal tahun Puskesmas sudah mempunyai

dana dan sudah bisa langsung digunakan untuk operasional yang bisa digunakan

untuk membayar tenaga kesehatan (non PNS), membayar kegiatan program,

membayar obat/alkes habis pakai, sehingga diharapkan puskesmas akan lebih

mandiri dalam pengelolaan keuangan dan diharapkan akan memberikan pelayanan

yang lebih responsive, puskesmas bisa menghitung biaya, sehingga diharapkan

menjadi lebih akuntable dan lebih efisien sehingga diharapkan akan memberikan

pelayanan yang lebih baik. Namun informan kunci mengatakan untuk implementasi

di DKI Jakarta yang notabene semua puskesmas sudah BLUD, namun pengadaan

SDM masih harus dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi, sehingga menjadi

Page 217: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

196

Universitas Indonesia

sedikit hambatan bagi puskesmas untuk bisa memenuhi kebutuhan tenaga di

puskesmas.

Persayaratan administrative jika institusi akan menjadi BLUD, apa saja

yang harus disiapkan salah satunya Puskesmas harus membuat SPM. Standar

Pelayanan Minimal merupakan batasan minimal mengenai jenis dan mutu layanan

dasar yang harus dipenuhi oleh SKPD atau unit kerja yang akan menerapkan PPK-

BLUD. Dokumen SPM harus menjelaskan 1) SPM yang dibuat harus memenuhi

prinsip antara lain: kualitas pelayanan, pemerataan, dan kesetaraan layanan, biaya,

serta kemudahan untuk mendapat layanan 2) SPM yang diterapkan harus focus pada

jenis layanan, terukur, dapat dicapai, relevan, dan dapat diandalkan, serta tepat

waktu. Bukan Puskesmas dengan komposisi seperti yang ada bisa melaksanakan

hal sebanyak ini, akan dihitung terlebih dahulu biaya yang diperlukan untuk

operasional sehingga bisa didapat tarif berapa yang harus didapatkan. Berapa

banyak rasio tenaga dibanding peserta, sehingga puskesmas bisa efektif

melaksanakan tugasnya, petugas kesehatan hanya menyampaikan saya ditugaskan

di pelayanan primer, untuk bisa melayani pasien sebesar ini. Sehingga jika BPJS

datang, dikatakan disana Puskesmas mampu untuk melayani orang sebesar ini, jika

diminta mencapai angka kontak sebanyak 150 permil, maka yang akan menjadi

denominator adalah banyaknya peserta sesuai standar yang dikontrak, maka akan

lebih terjaga mutu pelayanan.

“BLUD bukan hanya bicara uang, tetapi bicara undang-undang dasar buat rakyat, missal dengan kapasitas BLUD 10.000 orang, maka tidak boleh BPJS mengontrak dengan peserta melebihi standar tersebut. Jadi, jika BPJS mengontrak 10.000 orang, yakinkan bahwa puskesmas bisa memberi pelayanan, kl ga bisa katakana ga bisa, ini kami BLUD, SPM kami segini….”(IK-1)

Penerimaan kapitasi didasarkan pada banyaknya peserta yang akan mampu

ditangani oleh Puskesmas, maka tidak perlu lagi ada kekhawatiran bahwa peserta

akan diredistribusi, karena fokus puskesmas bukan hanya how to get big capitation

value?, but how to make the best services. Orientasi kepada memberikan pelayanan

terbaik kepada masyarakat sesuai amanah UUD dan apa yang ada di SKN sesuai

dengan pengertian dari BLUD adalah SKPD atau unit kerja pada SKPD di

lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada

Page 218: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

197

Universitas Indonesia

masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa

mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan

pada prinsip efisiensi dan produktifitas (Gubernur, 2012)

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS

adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan

sosial (Presiden RI, 2011) yang melakukan pembayaran ke Fasilitas Kesehatan. Jika

ditinjau dari kepemilikan, puskesmas secara hierarki adalah dibawah pemerintah

daerah, unit teknis dibawah Dinas Kesehatan, tidak bisa dilakukan jika fasilitas

(puskesmas) bukan badan hukum sehingga MoU BPJS kepada puskesmas harus

dilakukan melalui Dinas Kesehatan. Adapun terkait MoU antara BPJS-Puskesmas

secara langsung bisa dilakukan pada Puskesmas BLUD, dikatakan oleh informan

kunci bahwa kewenangan satker BLU, maka memiliki kewenangan untuk menjalin

kerjasama dengan fasilitas lain (BPJS). Sebagaimana dengan kondisi di DKI

dikarenakan semua Puskesmas kecamatan telah BLUD maka MoU langsung oleh

BPJS-Puskesmas sebagaimana termaktub dalam Peraturan Menteri Dalam negeri

Nomor 59 tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 13 tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah bahwa

kepala unit kerja pada SKPD selaku kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna

barang pada pasal 11 ayat (3a) bahwasanya berwenang untuk 1) melakukan

tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran belanja; 2)

melaksanakan anggaran unit kerja yang dipimpinnya; 3) melakukan pengujian atas

tagihan dan memerintahkan pembayaran; 4) mengadakan ikatan/perjanjian

kerjasama dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan; 5)

menandatangani SPM-LS dan SPM-TU; 6) mengawasi pelaksanaan anggaran unit

kerja yang dipimpinnya; dan 7) melaksanakan tugas-tugas kuasa pengguna

anggaran lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh pejabat pengguna

anggaran (Peraturan Menteri Dalam Negeri, 2007)

Akan tetapi MoU BPJS-Puskesmas tidak seharusnya mengurangi

pengawasan dari Dinas Kesehatan, karena pengelolaan dana adalah menjadi

tanggung jawab kepala BLUD, pengawasan pengelolaan pembiayaan secara

internal harusnya dilakukan oleh Dinas kesehatan, dan eksternal oleh BPKP

Page 219: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

198

Universitas Indonesia

C Kebijakan peserta PBI di DKI Jakarta

Pada bahasan kali ini akan penulis coba meninjau aspek kebijakan

pembayaran premi peserta PBI di DKI Jakarta dibayarkan oleh APBD.

Sebagaimana tercantum dalam SKN bahwasannya Pelayanan Kesehatan

Perorangan Primer (PKPP) untuk penduduk miskin dibiayai oleh Pemerintah,

sedangkan golongan ekonomi lainnya dibiayai dalam sistem pembiayaan yang

diatur oleh Pemerintah. Dan untuk Pelayanan Kesehatan Masyarakat Primer

(PKMP) ditanggung oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah bersama masyarakat,

termasuk swasta. Pemerintah/Pemerintah Daerah wajib melaksanakan dan

membiayai pelayanan kesehatan masyarakat primer yang berhubungan dengan

prioritas pembangunan kesehatan melalui kegiatan perbaikan lingkungan,

peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit dan kematian serta paliatif (SKN,

2012a)

Pembayaran premi oleh APBD, mengandung sisi positif dan sisi negatif,

dimana cakupan universal coverage akan cepat terpenuhi, dan memperluas

aksesibilitas, di lain hal pembayaran premi oleh pemerintah daerah dengan

konsekuensi peserta PBI tidak bisa di redistribusi kepada fasilitas kesehatan swasta

juga menjadi kendala tersendiri, dan menghambat pemerataan dan aksesibilitas itu

sendiri, sehingga perlu ditinjau kembali. Sehubungan dengan adanya aplikasi

mobile sehingga peserta dengan mudah memilih atau pindah fasilitas kesehatan,

tapi di DKI belum bisa berlaku bagi peserta PBI, peserta PBI hanya bisa di

redistriusi ke fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah saja, dari puskesmas satu ke

puskesmas yang lain. Contrary to common wisdom, it is now well established that systems

which target narrowly to the most needy generally perform rather badly in terms of

redistribution or poverty alleviation (Esping-Andersen 1996). Korpi and Palme (1998) called

this the ‘‘paradox of redistribution:’’ the more benefits are targeted at the poor, the less likely

this is to reduce poverty and inequality. While a targeted program may have greater

redistributive effects per unit of money spent, other factors are likely to make universalistic

programs more redistributive. (Hayne & Salterio, 2006), sehingga diharapkan jika PBI akan

ditanggung oleh APBN akan lebih fleksibel dalam pengaturannya, karena pembayaan PBI oleh

APBD aka nada beberapa pertimbangan sehingga kurang lebih pemanfaatan akan bisa kembali

dikelola oleh Pemerintah Daerah.

Page 220: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

199

Universitas Indonesia

Salah satu pertimbangan beberapa daerah mengapa PBI tidak bisa

diredistribusi kepada swasta adalah karena di Puskesmas para peserta BPJS PBI

kemungkinan kecil mereka diminta membayar biaya sendiri, bahkan hampir tidak

ada. Obat – obatan yang di berikan di puskesmas tersedia gratis, berbeda di klinik

peserta biasanya akan di minta biaya tambahan untuk itu.

Salah satu informan kunci mengatakan tinjauan ekonomi JKN yang penting

tidak boleh ke luar negeri karena asset dalam negeri bisa ke luar, kalau masih dalam

tataran nasional dalam negeri, harusnya perekonomian tetap beredar secara

nasional, dan hal itu harusnya tidak menjadi masalah, sehingga tidak beralasan jika

dengan tujuan agar pemanfaatannya kembali lagi ke Pemda. The Effciency–Equity

Trade-off, Another key distinction between liberal and other welfare regimes is that

they are more concerned about the potential trade-off between equity and economic

efficiency (Hayne & Salterio, 2006), seharusnya sebagai negara demokrasi akan

lebih memihak terhadap keadilan warga negaranya, bukan hanya berdasarkan

pertimbangan ekonomi.

Terkait orientasi kepuasan peserta, maka puskesmas dengan kepesertaan

yang memadai akan lebih memuaskan pesertanya, dimana waktu kontak yang bisa

dibangun dalam hubungan dokter pasien akan menjadi lebih fleksibel, dibanding

pada fasilitas pelayanan kesehatan melebihi kuota yang lebih sehingga berpotensi

waktu kontak yang lebih pendek (Alhabsyi, 2007). Pada kondisi di DKI Jakarta

kepesertaan belum merata di beberapa puskesmas dimana ada Puskesmas dengan

kepesertaan terkecil dengan rasio dokter:peserta 1:288, dan terbesar dengan rasio

dokter per peserta sebesar 1:79.060

Selain orientasi mutu pelayanan: dengan kepesertaan yang besar dan

menumpuk di puskesmas, akan sulit bagi puskesmas untuk menjaga mutu

pelayanan, dimana standar pelayanan bisa dilakukan sesuai prosedur, dibanding

peserta yang besar ada beberapa kecenderungan standar pelayanan yang terlewat

untuk dilaksanakan.

Dengan adanya kemungkinan peserta bisa didistribusikan ke fasilitas

kesehatan swasta akan memunculkan persaingan yang sehat, puskesmas dalam

upaya meningkatkan kualitas mutu seoptimal mungkin. Karena dengan kondisi jika

peserta tidak banyak punya pilihan untuk redistribusi, sehingga jumlah peserta tidak

Page 221: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

200

Universitas Indonesia

akan banyak berubah, maka akan mensuggest terkait pelayanan yang akan

cenderung stagnan dan mengurangi upaya motivasi mewujudkan pelayanan

terbaik.

Twenty years ago, in his book The Strategy of Equality, Julian Le Grand

(1982) reached the striking conclusion that almost all public expenditure on the

social services (in the UK) benefits the better off to a greater extent than the poor.

Tom Sefton (2006) dalam The Oxford Handbook of public policy says inequality in

health care and other services reflects inequality in society more generally. On this

basis, they argue that governments should intervene directly in the market to ensure

it produces the ‘‘right’’ (Hayne & Salterio, 2006). Tinjauan terkait peraturan BPJS

terkait peserta bisa meredistribusi dirinya, peserta bisa memilih fasilitas pelayanan

kesehatan sesuai dengan pilihannya, dan bisa pindah fasilitas sesuai yang mereka

inginkan berdasarkan prinsip assessibilitas, dan mutu pelayanan. Kebijakan

pembatasan peserta PBI bersebrangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun

2014 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bahwa setiap peserta

memperoleh hak layanan yang sama (azas Equitas), dan asas portabiitas, maka

bahwa peserta PBI BPJS Kesehatan mendapat hak yang sama seperti halnya peserta

Non PBI BPJS Kesehatan untuk melakukan pindah atau mutasi FKTP (Fasilitas

Kesehatan Tingkat Pertama) baik milik Pemerintah Daerah ataupun swasta yang

bekerja sama dengan BPJS Kesehatan (Indonesia, 2004).

Persyaratan pindah faskes bagi peserta JKN disebutkan bahwa salah satu

syarat pindah faskes adalah masa kepesertaan BPJS peserta sudah mencapai

minimal 3 bulan atau lebih, jika belum mencapai maka belum bisa dilakukan pindah

faskes. Pindah faskes umumnya sering dilakukan oleh peserta BPJS mandiri

maupun peserta BPJS PPU, mereka bisa memilih dan mengganti fasilitas kesehatan

tingkat pertama dimanapun sesuai dengan domisili. Beda halnya dengan Peserta

BPJS PBI atau peserta BPJS Penerima bantuan Iuran, Peserta BPJS PBI adalah

peserta pemegang kartu KIS / Jamkesmas atau jamkesda khusus untuk warga

miskin dan tidak mampu yang hanya berhak atas kelas III dan hanya bisa memilih

fasilitas kesehatan milik pemerintahan daerah seperti puskesmas kelurahan atau

puskesmas kecamatan.

Page 222: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

201

Universitas Indonesia

Pembatasan redistribusi kepesertaan juga bersebrangan dengan Peraturan

Presiden No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden No.

12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan (Peraturan Presiden, 2016) pada pasal

29 ayat (1) UntukpertamakalisetiapPesertadidaftarkanolehBPJSKesehatan

pada satu Fasilitas Kesehatan tingkat pertama yang ditetapkan oleh BPJS

Kesehatansetelahmendapatrekomendasidinaskesehatankabupaten/kota

setempat.Dan kebijakan ini dijadikan pijakan implementasi bahwapeserta

PBIdidaftarkandipuskesmas.

Pada pasal (2) Dalam jangka waktu paling sedikit 3 (tiga) bulan

selanjutnyaPesertaberhakmemilihFasilitasKesehatantingkatpertamayang

diinginkan. (2a) Untuk kepentingan pemerataan, BPJS Kesehatan dapat

melakukan pemindahan peserta dari suatu Fasilitas Kesehatan tingkat

pertama ke Fasilitas Kesehatan tingkat pertama lain yang masih dalam

wilayahyangsama.Dalamhal inipemindahanpesertatidakhanyaterbatas

padafasilitaspelayanankesehatanmilikpemerintah

Pada ayat (2b) Pemindahan Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (2a)

dilakukan dengan mempertimbangkan rekomendasi dari dinas kesehatan

kabupaten/kota setelah berkoordinasi dengan asosiasi Fasilitas Kesehatan, dan

organisasi profesi. Disinidimungkinkanbahwarekomendasiadalahkefasilitas

pemerintahlaintanpamelihatopsiadanyafasilitaspelayanankesehatannon

pemerintah yang kualitasnya setara dan memiliki kepesertaan yang masih

kurang. Sehingga pemerataan disini tidak hanya terbatas pada fasilitas

pelayanankesehatanmilikpemerintah.

Pada ayat (2c) Dalam hal peserta yang dipindahkan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2a) keberatan, maka Peserta dapat meminta untuk

dipindahkan ke Fasilitas Kesehatan tingkat pertama yang diinginkannya.

Bahwasannya tidak ada pembatasan bagi peserta BPJS untuk memilih fasilitas

pelayanan kesehatan sesuai yang diinginkan, dalam hal ini tidak ada batasan antara

fasilitas pelayanan kesehatan adalah milik pemerintah atau non pemerintah.

Pasal 6 bahwasannya Peserta PBPU yang memiliki KTP DKI langsung

dialihkan menjadi peserta PBI, dengan ketentuan sebagai berikut a) Peserta

Page 223: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

202

Universitas Indonesia

Pendaftar baru kelas III; b) Peserta yang terdaftar di Kelas III yang menunggak 1

(satu) bulan iuran; dan/atau c) Peserta yang terdaftar di Kelas I dan Kelas II yang

menunggak minimal selama 3 (tiga) bulan. Ayat (2) Peserta pengalihan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperkenankan kembali menjadi peserta

PBPU paling sedikit 6 (enam) bulan setelah pengalihan dan Peserta pengalihan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat mengajukan 1 (satu) kali

permohonan kepada BPJS untuk menjadi peserta PBPU kembali

Dan yang dimaksud peserta disini adalah setiap orang termasuk orang asing

yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia yang telah membayar

iuran, hal ini tidak terbatas pada peserta PBI atau non PBI, karena peserta PBI pun

telah membayar iuran yang pembayarannya dilakukan oleh pemerintah.

Peraturan Menteri Sosial No 5 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Nomor 76 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah

Nomor 101 tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan yang

selaras dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2012

Tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (Peraturan Pemerintah RI

Nomor 101 tahun 2012) bahwasannya yang dimaksud dengan Bantuan Iuran

Jaminan Kesehatan yang selanjutnya disebut bantuan iuran adalah Iuran program

jaminan kesehatan bagi fakir miskin dan orang tidak mampu yang dibayar oleh

pemerintah. Dan yang dimaksud Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan yang

selanjutnya disebut PBI Jaminan Kesehatan adalah fakir miskin dan orang tidak

mampu sebagai peserta program jaminan kesehatan (Permensos, 2013). Dan pada

Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan

Presiden No. 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan yang dimaksud peserta

bukan PBI Jaminan Kesehatan merupakanPesertayang tidak tergolong fakir

miskindanorangtidakmampuyangterdiriatas1)PekerjaPenerimaUpah

dan anggota keluarganya; 2) Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota

keluarganya; dan 3) bukan Pekerja dan anggota keluarganya (Peraturan

Presiden,2016)

Sehingga adanya perbedaan pengertian PBI versi Peraturan Gubernur DKI

Jakarta Nomor 169 tahun 2016 tentang Kepesertaan Dan Pelayanan Jaminan

Kesehatan (Peraturan Gubernur, 2016) dan Permensos No.5 Tahun 2016. Dimana

Page 224: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

203

Universitas Indonesia

semua warga DKI yang mau dilayani di kelas 3 bisa didaftarkan sebagai peserta

PBI tanpa memandang status sosialnya, baik fakir miskin atau bukan fakir miskin

sedangkan sesuai Permensos adalah fakir miskin dengan kriteria tertentu.

Kebijakan DKI akan menibulkan impak terhadap semakin menumpuknya pasien di

kelas 3, semakin reflektifnya peserta untuk pindah kelas, terjadi perubahan data

base yang cepat, Data “fakir miskin” versi DKI tidak sama dengan fakir miskin

sebagaimana tercantum dalam database di Kementerian Sosial dan audit penetapan

PBI bukan lagi dibawah kementerian sosial

Kebijakan DKI Jakarta mengandung tujuan baik namun bertentangan

dengan kebijakan yang lebih tinggi, seharusnya kebijakan daerah juga mengacu

pada kebijakan yang lebih atas.

Adanya penandatanganan kemensos dengan DKI terkait updating database

kepesertaan warga PBI, maka menimbulkan beberapa missing terkait pengertian

fakir miskin dalam artian sebenarnya sehingga apakah hal ini bisa diintegrasikan.

Dikatakan bahwa “BPJS Kesehatan akan menyediakan akses data PBI by name by

adress yang melakukan perubahan data, seperti nama, alamat, tanggal lahir, jenis

kelamin, NIK, nomor Kartu Keluarga, dan sebagainya. Selain itu, BPJS Kesehatan

juga akan membuka akses data peserta PBI yang mengalami mutasi status

kepesertaan, seperti pindah segmen kepesertaan, meninggal dunia, dan bayi baru

lahir dari ibu kandung PBI,” kata Direktur Perluasan dan Pelayanan Peserta BPJS

Kesehatan Andayani Budi Lestari usai acara Penandatanganan PKS antara BPJS

Kesehatan dengan Kementerian Sosial tentang Integrasi Sistem Informasi Data PBI

Jaminan Kesehatan, yang turut dihadiri oleh Menteri Sosial Khofifah Indar

Parawansa”.

Kemensos akan menyediakan akses data PBI by name by address yang

diusulkan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam kategori mutasi meninggal dunia dan

mutasi mampu (secara finansial, sehingga dapat statusnya dapat berganti menjadi

peserta mandiri yang iurannya dibayarkan sendiri). Di samping itu, Kemensos juga

akan menyediakan usulan data pengganti per Kabupaten/Kota untuk dilakukan

pengecekan atau pemadanan dengan data master file BPJS Kesehatan sampai

diperoleh data yang valid. Jika mau tanpa mengeneralisir mengubah artian harfiah

dari PBI, DKI membuat istilah baru terkait PBI, dimana hal ini tidak bisa di

Page 225: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

204

Universitas Indonesia

generalisir di seluruh daerah seperti perlakukan sebagaimana di peraturan gubernur

DKI. Akan sedikit adanya perbedaan pengecekan atau pemadanan dengan data

master file BPJS Kesehatan sampai diperoleh data yang valid, dikarenakan kriteria

PBI DKI Jakarta adalah berbeda.

Kebijakan untuk pindah faskes untuk BPJS PBI sangat tergantung sekali

dengan kebijakan devisi regional BPJS dan kebijakan pemerintah daerah setempat,

Alison Hann dalam bukunya Health Policy and Politic says added to this is, are the

activities of non-governmental groups such as the media, the pharmaceutical

industry, patient user groups, the ‘empowered patient’ to mention but a few, who

are seeking to influence policy to reduce health inequalities, improve service

provision, control costs and improve efficiency and effectiveness. The academic

analysis of the relationship between politics and policy does not simply engage with

the monitoring of changes in government policy, or indeed what happens in the

NHS, important though this is. It has recently become increasingly interested in

analysing the provision of health services within the NHS (and outside it) in terms

of such things as social justice, equality and diversity, while also carefully

scrutinising the political and ideological dimensions to health and health care

(Hann, 2007). Sehingga perlu untuk melakukan advokasi terhadap kebijakan yang

dikeluarkan pemerintah yang untuk pelayanan kesehatan yang berkualitas, adil dan

merata.

D Kebijakan rasio dokter:peserta

Kesimpulan evaluasi JKN tahun 2015 Rasio dokter per peserta 1:6.708

peserta (lebih dari rasio ideal sebesar 1 : 5.000 peserta) (Peraturan Gubernur, 2016).

Sebagai perbandingan, pada penelitian di India, tahun 2013 rasio dokter dengan

penduduk sudah mencapai 1:1.800 penduduk (Deo, 2013). Disparitas kepesertaan

JKN terjadi karena penempatan peserta JKN PBI sesuai dengan wilayah tempat

tinggalnya serta sebaran penduduk miskin yang menjadi peserta PBI yang

persentasenya tidak merata. Hal ini sesuai dengan hasil evaluasi Kementerian

Kesehatan tahun 2015, bahwa peserta JKN yang terdaftar pada FKTP Puskesmas

belum ideal. Rasio dokter dengan peserta JKN sebesar 1: 6.765, masih lebih tinggi

dari standar nasional sebesar 1:5.000 peserta, bahkan masih lebih besar dari rata-

Page 226: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

205

Universitas Indonesia

rata nasional yaitu sebesar 1: 6.708 peserta. Mean rasio dokter per peserta JKN di

DKI Jakarta adalah 1:9.621 peserta .

Tingginya rasio peserta berakibat pada penurunan kualitas waktu pelayanan.

Angka 1:5.000 didapatkan bila 1 orang dokter melayani pasien selama 10 menit per

pasien, dengan pemeriksaan selama 5 jam dan 25 hari kerja (MKEKI, 2002), maka

bila lamanya dokter memeriksakan setiap pasien yang berkunjung idealnya 15 – 20

menit (Linzer, M., n.d, 2015) atau 18 – 20,9 menit (Abbo, E. D., Zhang, Q., Zelder,

M. & E. S., 2008), bila diambil 20 menit saja dengan kunjungan peserta 15%, maka

idealnya rasio dokter dengan peserta maksimum sebesar 1 : 2.500 peserta.

Dengan rata-rata rasio dokter dengan peserta 1:6.765 peserta, bila standar

kunjungan 15% dari peserta dan jam kerja dokter 5 jam per hari serta 25 hari kerja,

maka waktu pemeriksaan dokter terhadap pasien rata-rata hanya sekitar 7,4 menit

per pasien dibawah standar waktu pemeriksaan. Bahkan pada puskesmas yang

rasionya tinggi, waktu pemeriksaan akan semakin lebih singkat. Pada penelitian

terkait pemanfaatan kapitasi di Bogor didapatkan rasio dokter:peserta maksimal

1:30.006 dokter per peserta dengan standar kunjungan dan jam kerja dokter yang

sama, maka waktu pemeriksaan per pasien hanya sebesar 1,67 menit (Hasan &

Adisasmito, 2017).

Untuk rasio rata-rata dokter:peserta adalah 1:9621 peserta, sehingga

didapatkan waktu per pasien adalah 5,2 menit. Untuk rasio maksimal dokter:peserta

di DKI didapatkan 1:79.060 dengan standar kunjungan dan jam kerja dokter

sebagaimana diatas, maka waktu pemeriksaan per pasien adalah sebesar 0,63 menit,

Waktu pemeriksaan yang semakin singkat ini, tentu akan menurunkan kualitas

pelayanan dokter. Belum lagi jika ditambah dengan pasien non peserta JKN, tentu

akan semakin berat lagi Sehebat apapun dokter, dengan rasio peserta yang tinggi,

maka akan berat untuk bisa menjaga mutu pelayanan, dan pelayanan yang merata.

Untuk ilustrasi total waktu kerja dokter di puskesmas per 1 dokter di

puskesmas sesuai dengan Undang-undang No.13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan sebagaimana Pasal 77 ayat (2) ketentuan waktu kerja meliputi :

a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6

(enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan

40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu)

Page 227: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

206

Universitas Indonesia

minggu. Jika Puskesmas menyelenggarakn upaya UKP dan UKM, untuk

kepesertaan rasio ideal dokter:peserta 1:5000, maka bisa diestimasi bahwa seorang

dokter punya kira-kira waktu 1 jam untuk UKM, dan 4 jam 40 menit untuk UKP

dengan utilisasi 10% per bulan. Bisa dibayangkan untuk rasio kepesertaan yang

melebihi 1:5000, maka akan semakin kecil waktu yang bisa diluangkan untuk

melakukan kegiatan UKM, sehingga waktu habis hanya untuk melakukan

pelayanan UKP.

Jika pembayaran puskesmas dibayar sebesar kapasitas puskesmasnya

(jumlah peserta yang mampu dilayani puskesmas), durasi lama waktu pelayanan

cukup, niscaya mutu pelayanan untuk kontak komunikasi lebih terjaga.

Page 228: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

207

Universitas Indonesia

Adanya Peraturan BPJS No 1 Tahun 2017 tentang Pemerataan Peserta di

Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama belum berjalan. Pada Chapter 2 The Politic of

NHS Deficits and NHS Re-form, Calum Paton says “The deficit across NHS

hospital Trusts and Primary Care Trusts (PCTs) in England for 2005–2006 was c.

£1.2 billion (although the government in the end artificially reduced the figure to

c. £550,000 by ‘raiding’ education, training, public health and mental health

budgets – thus committing the cardinal sin of ‘brokerage to hide deficits’ for which

it was simultaneously berating the NHS). The reason it was a surprise of increasing

size as the news was reported ‘up the line’ was primarily because of the cultural

politics of the NHS (Hann, 2007). Peraturan BPJS No.1 tahun 2017 belum berjalan,

adanya upaya yang stagnan dari kedua belah pihak, dimana Pemerintah Daerah

membatasi PBI untuk di redistribusi ke faskes swasta, dimana dalam hal ini

pemerintah daerah berfokus pada pendapatan daerah, disinyalir pendapatan akan

berkurang jika kapitasi akan diberikan ke fasilitas pelayanan kesehatan swasta. Dan

di prediksi kondisi BPJS yang mengalami defisit, ditambah adanya beban tambahan

seandainya peserta PBI di redistribusi ke Faskes swasta maka BPJS harus

membayar lebih tinggi, karena pembayaran ke faskes swasta (Rp.8000,-s.d

Rp.10.000,-) adalah lebih tinggi daripada pembayaran ke Puskesmas (Rp.6000,-).

Sehingga masing-masing pihak stagnan di posisi masing-masing. Perlu dicari

alternatif dari permasalahan ini, antara lain: Untuk pemerataan diperlukan adanya

kecukupan iuran untuk penguatan pendapatan BPJS, memperbaiki kualitas FKTP

untuk memperbaiki kualitas capaian KBK sehingga faskes yang dituju adalah

memenuhi persyaratan, sesuai pilihan peserta untuk keadilan, harus mendapat

dukungan regulasi daerah untuk bisa memperkuat posisi puskesmas sebagai

pelaksana UKM, tidak ada lagi PBI (APBD) semua PBI adalah PBI (APBN) untuk

fleksibilitas pemerataan peserta, pemerataan dilakukan secara bertahap (FKTP yang

sudah penuh, tidak ditambah lagi peserta), redistribusi tidak hanya terbatas di faskes

pemerintah/antar faskes pemerintah termasuk asuransi jamsostek tidak hanya

terbatas di pos-pos kesehatan kerja asuransi bagi Polri tidak terbatas di fasilitas

pelayanan kesehatan milik Polri dan lain-lain yang merupakan alternative solusi

yang bisa ditawarkan yang tentunya harus dibarengi untuk niat baik bahwa semua

Page 229: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

208

Universitas Indonesia

itu dilakukan untuk tujuan penyelenggaraan pelayanan yang lebih baik dan

kesehatan masyarakat yang lebih adil dan merata.

Page 230: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

209

Universitas Indonesia

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 231: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

210

Universitas Indonesia

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil penelitian didapatkan beberapa hal terkait implementasi kapitasi

berbasis komitmen pelayanan puskesmas di wilayah DKI Jakarta

1. Implementasi KBK selama 2 tahun telah cukup baik dan signifikan

meningkatkan rata-rata angka kontak pada tahun 2017 sebesar 192.6 0/00 (target

≥150 0/00), dan rata-rata rasio prolanis sebesar 44.9% (≥50%), dan menurunkan

rata-rata rasio rujukan kasus non spesialistik menjadi 0.3% (target <5%)

2. Dari analisis multivariate, didapatkan pemodelan variable yang berhubungan

dengan pencapaian indikator komitmen pelayanan adalah karakteristik

puskesmas (tingkat, kategori, status puskesmas), besar kapitasi, sumber daya

(kecukupan SDM dokter, perawat, bidan, tenaga kefarmasian), peserta (jumlah,

profil resiko peserta). Dan dari pemodelan didapatkan variable disposisi

(kapitasi), dan SDM adalah yang signifikan berpengaruh terhadap capaian

indikator komitmen pelayanan (p value <0.05).

3. Penerapan kompensasi pemotongan kapitasi disisi lain berdampak positif, dan

adanya resiko indikasi moral hazard dalam pelaksanaan di lapangan. Disisi

positif cukup memberi efek jera bagi puskesmas untuk mengerahkan segala

usaha untuk pencapaian indikator komitmen pelayanan, dan dari sisi berpotensi

moral hazard dalam pelaksanaan di lapangan. Sehingga diperlukan monitoring

dan evaluasi dari berbagai pihak tanpa terfragmentasi agar cita-cita

implementasi KBK untuk mewujudkan pelayanan yang berkualitas bisa

dilakukan.

4. Terkait capaian angka kontak ada beberapa lonjakan yang sangat tinggi,

dengan ketenagaan yang sama selama waktu 2 tahun di beberapa puskesmas

dengan kepesertaan besar merupakan hal yang perlu mendapat perhatian.

5. Gab antara turunnya RRNS dan kenaikan KNS di DKI Jakarta mengindikasian

adanya perbedaan persepsi diagnosis antara ketenagaan di Puskesmas dan

Rumah Sakit, semakin kecilnya diagnosis peer review dari 133 menjadi 128

kurangnya sarana, prasarana, alat, perlu dilakukan upaya penguatan SDM dan

Page 232: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

211

Universitas Indonesia

fasilitasi untuk kelengkapan sumber daya sehingga peer review bisa mencapai

144 diagnosis yang harus bisa selesai di FKTP mengindikasikan masih

memerlukan tinjauan

6. Upaya pencapaian rasio prolanis berpotensi moral hazard dimana peserta yang

didaftarkan hanya yang rutin berkunjung, tetapi bukan semua peserta dengan

penyakit kronis sehingga dengan denominator yang kecil maka akan dengan

mudah capaian rasio prolanis didapat 100%, signifikan kenaikan rasio prolanis

secara rata-rata belum mencapai standar capaian yang diharapkan (>50%) bisa

dijelaskan masih adanya puskesmas yang belum menyelenggarakan klub

prolanis, sehingga masih banyak yang capaian rasio prolanisnya 0%.

7. Rasio dokter:peserta mengindikasikan dominannya pelayanan UKP di

Puskesmas, dimana dengan rasio maksimal dokter:peserta di DKI didapatkan

1:79.060 dengan standar kunjungan 15% dari peserta dan jam kerja dokter 5

jam per hari serta 25 hari kerja, maka waktu pemeriksaan per pasien adalah

sebesar 0,63 menit.

8. Sebanyak 80,15% PBI (APBD) tidak bisa diredistribusi bertentangan dengan

UU No 40 tahun 2004 tentang SJSN terkait azas Equitas dan Portabilitas, dan

Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2016 yang mengatakan bahwa“…peserta

dapat meminta untuk dipindahkan ke fasilitas kesehatan tingkat pertama yang

diinginkannya”

Saran

Dari penelitian ini ada beberapa catatan yang bisa menjadi masukan dan

saran terkait implementasi kapitasi berbasis komitmen pelayanan.

Dinas Kesehatan

1. Forum bersama Puskesmas dan RS yang difasilitasi oleh Dinas Kesehatan

perlu dilaksanakan sebagai coaching, sehingga meminimalisir perbedaan

capaian RNS dan KNS

2. Pemenuhan sarana, prasarana, alat, dan SDM untuk memperkuat Puskesmas,

sehingga peer-review diagnosis yang harus selesai di puskesmas bisa

ditingkatkan.

Page 233: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

212

Universitas Indonesia

3. Peguatan monitoring dan evaluasi terhadap capaian indikator komitmen

pelayanan, dan pengelolaan pemanfaatan kapitasi

4. Advokasi kebijakan terkait peraturan gubernur untuk penguatan Puskesmas

dalam UKM, dan redistribusi kepesertaan

BPJS

1. Sosialisasi dari BPJS cukup baik dengan strategi langsung kepada sasaran

puskesmas, namun perlu sosialisasi yang intensif untuk koordinasi dengan

dinas kesehatan provinsi dan suku dinas kesehatan, sehingga keeratan

koordinasi diharapkan akan menguatkan fungsi monitoring dan evaluasi terkait

capaian kapitasi bersasis komitmen pelayanan. Selain itu edukasi terkait sistem

rujukan kepada peserta juga sangat penting

2. Akses Sudinkes dan Dinkesprovinsi DKI Jakarta terhadap p-care bisa

dipertimbangkan untuk fungsi monitoring dan evaluasi

3. Pelaksanaan Peraturan BPJS No 1 Tahun 2017 tentang Pemerataan Peserta di

FKTP

Kemenkes

1. Pembinaan kepada Dinas Kesehatan terkait managemen Puskesmas

2. Evaluasi target capaian indicator komitmen pelayanan bisa dibedakan antara

puskesma perkotaan dan puskesmas pedesaan

3. Review indicator komitmen pelayanan dan definisi operasionalnya bersama

BPJS

4. Evaluasi indicator prolanis bukan hanya sebatas rutin berkunjung, bisa terlihat

misalnya dengan capaian prolanis dengan kadar gula dan tekanan darah yang

stabil sehingga bisa dilihat efektifitas kegiatan oleh klub prolanis

5. Meninjau ulang Permenkes No. 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas perlunya

penguatan UKM di Puskesmas

6. Penguatan Rujuk Balik

Page 234: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

213

Universitas Indonesia

Puskesmas

1. Penguatan koordinasi, sosialisasi informasi Puskesmas kecamatan dengan

puskesmas kelurahan terkait peningkayan pelayanan kesehatan dan

pemanfaatan dana kapitasi

2. Pemenuhan sarana, prasarana, alat, SDM khususnya di Puskesmas kelurahan

untuk mengurangi rujukan internal dari puskesmas kelurahan ke puskesmas

kecamatan

3. Pelaksanaan managemen Puskesmas dengan baik untuk mengintegrasikan

seluruh sumber daya yang ada dalam mencapai target-pelayanan

4. Integrasi klub prolanis dengan program posbindu PTM

Peneliti Selanjutnya

1. Untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap, penelitian selanjutnya bisa

dilihat efektifitas implementasi kapitasi berbasis komitmen pelayanan terhadap

mutu pelayanan yang diberikan, dan dari sisi kepuasan peserta terhadap

pelayanan yang diberikan.

2. Penelitian selanjutnya juga bisa diarahkan untuk mencari faktor-faktor lainnya

yang mengindikasikan keberhasilan implementasi KBK, karena pemodelan

yang ada hanya mewakili 15% dari variable berpengaruh terhadap pencapaian

indikator komitmen pelayanan

3. Pengkajian di Provinsi lain diluar DKi dengan kondisi yang berbeda karena di

DKI semua Puskesmas telah BLUD dan kekhusussan adanya Puskesmas

Kecamatan dan Kelurahan yang berbeda dengan kondisi di daerah lain.

4. Efektifitas KPLDH untuk pelayanan UKM di Puskesmas

5. Relevansi pengaruh implementasi KBK terhadap pelaksanaan UKM di

Puskesmas

Page 235: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

214 Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Abbo, E. D., Zhang, Q., Zelder, M., & H., & E. S. (2008). The Increasing Number of

Clinical Items Addressed During the Time of Adult Primary Care Visits. Journal of

General Internal Medicine, 23(12), 2058-2065. doi:http://dx.doi.

org/10.1007/s11606-008-0805-8.

Abidin, Y. Z. (2016). Komunikasi Pemerintahan (1st ed.). Bandung: CV. Pustaka Setia.

Adisasmito, W. (2013). Perancangan Naskah Akademik dan Kebijakan Kesehatan.

Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).

Agustino, L. (2008). Dasar-Dasar Kebijakan Publik. bandung: Alfabeta.

Andersen, R and Newman, J. (2005). Societal and Individual Determinants of Medical

Care Utilization in the United States. The Milkbank Quarterly, 83(4), 1–28.

Atmoko, T. (2011). STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) DAN

AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH.

Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan. (2014). Program Pengelolaan Penyakit

Kronis (PROLANIS). Jakarta: BPJS Kesehatan.

Blomqvist, a, & Busby, C. (2012). How to Pay Family Doctors: Why “Pay per Patient”

is Better Than Fee for Service. C.D. Howe Institute Commentary - Social Policy,

Commentary(365).

Boland, P. (1997). The Capitation Sourcebook: A Practical Guide to Managing At-risk

Arrangements. Washington DC: National Academie Press.

BPJS. (2017). Peraturan Bersama Sekjen Kemenkes dan Direktur Utama BPJS Kesehatan

Nomor HK.01.08/III/980/2017 Tahun 2017 Nomor 2 Tahun 2017.

BPJS. (2018). Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional No. 1 Tahun

2018. Jakarta.

Page 236: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

215

Universitas Indonesia

BPJS Kesehatan. (2016). Panduan Tatalaksana 20 kasus non spesialistik di fasilitas

Kesehatan Tingkat Pertama.

BPS Jakarta. (2017). Jakarta in figures 2017, 667.

Creswell, J. W. (2013). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods

Approaches. Research design Qualitative quantitative and mixed methods

approaches. https://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2

Deo, M. G. (2013). Doctor population ratio for India - The reality. Indian Journal of

Medical Research, 137(4), 632-635. Retrieved from

http://www.ijmr.org.in/article.asp?issn=0971-

%0A5916;year=2013;volume=137;issue=4;spage%0A=632;epage=635;aulast=De

o

Dowd, C. E. (1998). Managed Care: Integrating the Delivery and Financing of Health

Care (Part A and Part B). Managed Care Quarterly; Spring, 6(2). Retrieved from

https://search.proquest.com/docview/231205238/fulltextPDF/6A60B4FEEADD49

67PQ/1?accountid=17242

Edmonds, M., & Frank, R. (1997). Managing Managed Care: Quality Improvement in

Behavioral Health. Retrieved from

https://ebookcentral.proquest.com/lib/indonesiau-

ebooks/reader.action?docID=3375699

Edward III, G. C., & Sharkansky, I. (1978). he Policy Predicament : Making and

Implementing Public Policy (1st ed.). San Fransisco: W.H. Freeman and Company.

Edward III, G. C. (1980). Implementing Public Policy. Washington DC: Congressional

Quarterly Press.

Ellis, Roger; Whittington, D. (1993). Quality Assurance in Heath care. Great Britain.

Ennis, R. H. (1996). Critical Thinking. Toronto: Prentice-Hall, Inc.

Gani, A. (1994). Aspek Ekonomi Pelayanan Kesehatan, Cermin Dunia Kedokteran.

Jakarta.

Ghozali, I. (2014). Structural Equation Modeling Metode Alternatif Dengan Partial Least

Page 237: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

216

Universitas Indonesia

Squares (PLS). Jakarta: Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang.

Gubernur DKI Jakarta. (2016). Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 118 Tahun

2016 tentang Analisis jabatan dan Analisis Beban Kerja pada Dinas Kesehatan.

Jakarta.

Gubernur, P. D. J. (2012). Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta

No. 165 tahun 2012 tentang Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum

Daerah. Jakarta.

Gubernur, P. D. J. (2016). Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta

No. 150 Tahun 2016 tentang Pedoman Teknis Penilaian Usulan Penerapan Pola

Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah, 9–11.

Gubernur Provinsi DKI Jakarta. (2013). Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 59

tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Gubernur No, 38 Tahun 2011

tentang Tunjangan Kinerja Daerah.

Gubernur Provinsi DKI Jakarta. (2016a). Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus

Ibukota Jakarta No. 221 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur

Nomor 95 Tahun 2016 tentang Pedoman Pemberian Penghasilan Bagi Pegawai Non

Pegawai Negeri Sipil pada Satuan Kerja Perangkat Daerah/Unit , 5–7.

Gubernur Provinsi DKI Jakarta. (2016b). Pergub Provinsi DKI Jakarta Nomor 115 Tahun

2016 Tentang Program Ketuk Pintu Layani Dengan Hati. Retrieved from

http://jdih.jakarta.go.id/uploads/default/produkhukum/PERGUB_NO_115_TAHU

N_2016.pdf

Hann, A. (2007). Health Policy and Politics.

Hasan, A. G., & Adisasmito, W. B. B. (2017). Analisis Kebijakan Pemanfaatan Dana

Kapitasi JKN pada FKTP Puskesmas di Kabupaten Bogor Tahun 2016. Jurnal

Kebijakan Kesehatan Indonesia, 6(3), 127–137.

Hayne, C., & Salterio, S. E. (2006). The Oxford Handbook of Public Policy. The Oxford

Handbook of Public Policy, (February), 983.

https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780199641253.001.0001

Page 238: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

217

Universitas Indonesia

HIAA. (1996). Managed Care: Integrating The Delivery and Financing of Health Care.

Part A. Washington DC.

Hill, M., & Hupe, P. (2002). Implementing Public Policy; Governance in Theory and in

Practice. Athenaeum Studi Periodici Di Letteratura E Storia Dell Antichita, 89–107.

https://doi.org/10.1201/9781420017007.fmatt

Indonesia, S. N. R. (2004). Undang-Undang RI No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem

Jaminan Sosial Nasional.

Jones, G. R. (2007). Organizational Theory : Design and Change. New Jersey: Pearson

Education.

Kangean, P. (1990). Faktor Petugas dan Fasilitas Kesehatan Perujuk dengan

Karakteristik Rujukan Poliklinik Anak Rumah Sakit Gatot Subroto.

Kemenkes RI. (2014). PMK No. 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat.

https://doi.org/351.077 Ind r

Kemenkumham. (2016). Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2016.

Kementerian Kesehatan. (2010). Pedoman Akreditasi Puskesmas, 1–32.

Kementerian Kesehatan. (2014). Buku Saku Permenkes No. 75 Tahun 2014 Tentang

Puskesmas, (75).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2012).

PMK_No_001_Ttg_Sistem_Rujukan_Pelayanan_Kesehatan_Perorangan.pdf.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Data Dasar Puskesmas Provinsu

DKI Jakarta: Keadaan Desember 2013. Kementerian Kesehatan Republik

Indonesia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan RI No

44 Tahun 2016 Tentang Pedoman Manajemen Puskesmas. Jakarta, 1–88. Retrieved

from

http://kesga.kemkes.go.id/images/pedoman/PMK_No._44_ttg_Pedoman_Manajem

en_Puskesmas_ (1).pdf

Page 239: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

218

Universitas Indonesia

Kementerian Kesehatan RI. (2015). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 36 Tahun 2015 tentang Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam Pelaksanaan

Program Jaminan Kesehatan Pada Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jakarta.

Retrieved from www.hukor.depkes.go.id

Kesehatan, B. (2016). Kredensialing Puskesmas.

Kesehatan, K. (2016). Permenkes No. 21 Tahun 2016 tentang Penggunaan Dana Kapitasi

Jaminan Kesehatan Nasional untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya

Operasional Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah.

Kongstvedt, P. R. (Peter R. (2013). Essentials of managed health care. Jones and Bartlett

Learning.

Linzer, M., Bitton, A., Tu, S. P., Plews-Ogan, M., & Horowitz, K. R., & Schwartz, M. D.

(2015). The End of the 15–20 Minute Primary Care Visit. Journal of General Internal

Medicine, 30(11), 1584-1586. doi:10.1007/s11606-015-3341-3.

Marcucci, M., & Sharma, S. (1997). Applied Multivariate Techniques. Technometrics,

39(1), 101. https://doi.org/10.2307/1270777

Massie, R. G. A. (2009). Kebijakan Kesehatan : Proses, Implementasi, Analisis dan

Penelitian. Bulletin Penelitian Sistem Kesehatan, 12(4), 409–417.

Max, R., & Andersen, R. M. (2016). Linked references are available on JSTOR for this

article : National Health Surveys and the Behavioral Model of Health Services Use,

46(7), 647–653.

Merton, R. K. (1936). The unintended consequences of purposive social action. American

Sociological Review, 1: 894–904.

MKEKI, I. (2002). Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik

Kedokteran Indonesia. Retrieved from http://luk.staff.ugm.ac.id/atur/sehat/Kode-

Etik-%0AKedokteran.pdf

Moher, D., Shamseer, L., Clarke, M., Ghersi, D., Liberatî, A., Petticrew, M., … Group,

P.-P. (2015). Preferred reporting items for systematic review and meta-analysis

protocols (PRISMA-P) 2015 statement, 4, 1–9. https://doi.org/10.1186/2046-4053-

Page 240: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

219

Universitas Indonesia

4-1

Nugroho, R. (2017). Public Policy. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Nurbaiti. (2001). Pelaksanaan kapitasi..., Nurbaiti, FKM UI, 2001.

Papilaya, A. (1985). Studi Pelaksanaan Rujukan Medik di 3 Rumah Sakit di DKI Jakarta.

Pemerintah Daerah DKI Jakarta. (2007). Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No.

169 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat Kesehatan Masyarakat

Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Retrieved from

http://jdih.jakarta.go.id/uploads/default/produkhukum/Pergub_No._169_Tahun_20

07_-

_Tentang_Organisasi_dan_Tata_Kerja_Pusat_Kesehatan_Masyarakat_DKI_%5B0

%5D_.pdf

Pengaruh pembayaran..., Alwi Alhabsyi, FKM UI, 2007. (2007).

Peraturan Gubernur. (2016). Peraturan Gubernur Provinsi DKI Nomor 169 tahun 2016

tentang Kepesertaan dan Pelayanan Jaminan Kesehatan.

Peraturan Gubernur DKI Jakarta. (2016). Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Pusat

Kesehatan Masyarakat.

Peraturan Menteri Dalam Negeri. (2007). Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 59 Tahun

2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 tahun 2006

tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Jakarta.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 101 tahun 2012. (2012). Penerima Bantuan Iuran

Jaminan Kesehatan.

Peraturan Presiden. (2014). Peraturan Presiden RI No. 32 tahun 2014 tentang Pengelolaan

dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional. Jakarta.

Peraturan Presiden. (2016). Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 19 Tahun 2016

tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden No. 12 tahun 2013 tentang

Jaminan Kesehatan. Pemerintah RI. Jakarta.

Permenkes. (2016a). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 52 tahun 2016

Page 241: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

220

Universitas Indonesia

tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program

Jaminan Kesehatan.

Permenkes. (2016b). PERMENKES No 64 Tahun 2016 Temtang Perubahan Atas

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52 Tahun 2016 Tentang Standar Tarif

Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan, 1096.

Permenkes. (2017). Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 52

Tahun 2016 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan

Program Jaminan Kesehatan.

Permensos. (2013). Peraturan Menteri Sosial Nomor 5 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan

Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan

Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 Tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan

Kesehatan, 1–63.

Peta Jalan JKN. (2015). KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI

SEKRETARIAT WAKIL PRESIDEN. Retrieved from

http://www.tnp2k.go.id/images/uploads/downloads/Final_JKN_Perjalanan Menuju

Jaminan Kesehatan Nasional - Copy.pdf

Presiden RI. (2011). Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial. jakarta.

Pressman, J. L., & Wildavsky, A. B. (1984). Implementation : how great expectations in

Washington are dashed in Oakland : or, why it’s amazing that federal programs work

at all, this being a saga of the Economic Development Administration as told by two

sympathetic observers who seek to build moral. Retrieved from

http://www.ucpress.edu/book.php?isbn=9780520053311

Rusli, B. (2015). Kebijakan Publik : Membangun Kebijakan Publik yang Responsif.

Bandung: CV. Adoya Mitra Sejahtera.

Sarstedt, M., Ringle, C. M., & Hair, J. F. (2017). Partial Least Squares Structural Equation

Modeling. Handbook of Market Research, (January 2017), 1–40.

https://doi.org/10.1007/978-3-319-05542-8_15-1

Page 242: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

221

Universitas Indonesia

Situmorang, C. H. (2017). EFEKTIFITAS DANA KAPITASI DI PUSKESMAS - Jurnal

Social Security. Retrieved July 1, 2018, from

http://www.jurnalsocialsecurity.com/news/efektifitas-dana-kapitasi-di-

puskesmas.html

Situmorang, C. H. (2018). EVALUASI FORENSIK EMPAT TAHUN JKN ( 2014 –

2017) oleh Direktur Social Security Development Institute (SSDI) – Ketua DJSN

2011 – 2015 - Jurnal Social Security. Retrieved July 1, 2018, from

http://www.jurnalsocialsecurity.com/news/evaluasi-forensik-empat-tahun-jkn-

2014-2017.html

SKN. (2012a). Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan

Nasional.

SKN. (2012b). PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor 72 Tahun

2012 tentang Sistem Ketahanan Nasional. Retrieved from

http://bksikmikpikkfki.net/file/download/Peraturan Presiden RI No. 72 Th 2012 ttg

Sistem Kesehatan Nasional.pdf

Starfield, B. (2010). Primary Care / Specialty Care in the Era of Multimorbidity of Care.

Suaib, M. R. (2016). Pengantar Kebijakan Publik (1st ed.). Yogyakarta: Calpulis.

Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kombinasi. Bandung: Alfabeta.

Sumantri, S. (2001). Perilaku Organisasi. Bandung: Universitas Padjadjaan.

Tenenhaus, M., Vinzi, V. E., Chatelin, Y. M., & Lauro, C. (2005). PLS path modeling.

Computational Statistics and Data Analysis, 48(1), 159–205.

https://doi.org/10.1016/j.csda.2004.03.005

Thabrani, H. (n.d.). jaminan pelayanan kesehatan. Jakarta.

Thabrani, H. (1998). Analisis data Kesehatan Susenas. yayasan Pusat Pengkajian Sistem

Kesehatan Biro Perencanaan Sekretariat Jenderal Depkes RI.

Thabrani, H. (1999). Introduksi Asuransi Kesehatan. Jakarta: Yayasan Penerbitan Ikatan

Dokter Indonesia.

Page 243: FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCAPAIAN …

222

Universitas Indonesia

Thabrani, H. (2000). Rasional Pembayaran Kapitasi. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia

(IDI).

Thompson, D. F. (1987). Political Ethics and Public Office. Cambridge: Mass.: Harvard

University Press.

Tussman, J. (1960). Obligation and the Body Politic. London: Oxford University Press.

UNDP. (2010). Human Development Report 2010, The Real Wealth of Nations:

Pathways to Human Development.

UUD 1945. (2002). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang Undang, 12(16), 81–87. https://doi.org/10.1007/s13398-014-0173-7.2

Weinstein, N. D., Blalock, S. J., & Weinstein, N. D. (2008). The Precaution Adoption

Process Model The Precaution Adoption Process Model. Www.Psandman.Com,

(718).

WHO. (2008). Primary Care Now More Than Ever. World Health Report.

Widodo, J. (2017). Analisis Kebijakan Publik : Konsep dan Aplikasi Analisis Proses

Kebijakan Publik. (S. Wahyudi, Y. Setyorini, & I. Basuki, Eds.) (10th ed.). Malang:

Media Nusa Creative.

Winarno, B. (2012). Kebijakan Publik (Teori, Proses, dan Studi Kasus). Jakarta: PT Buku

Seru.

Yaslis, I. (2006). Mengenal Asuransi Kesehatan Review Utilisasi Managemen Klaim dan

dan Fraud. FKM UI.