evaluasi nasional - spab.kemdikbud.go.id
Post on 21-Nov-2021
8 Views
Preview:
TRANSCRIPT
EVALUASI NASIONAL PROGRAM SATUAN PENDIDIKAN AMAN
BENCANA Laporan Penelitian
Diinisiasi oleh:
Sekretariat Nasional Satuan Pendidikan Aman Bencana
Dilaksanakan oleh:
Didukung oleh:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Kementerian Agama
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Badan Nasional Penanggulangan Bencana
UNICEF
2020
Halaman 2 dari 100
TIM PENYUSUN
TIM PENULIS
Dr. Avianto Amri
Dr. Nuraini Rahma Hanifa
Yusra Tebe
Dr. Jonatan Lassa
Giovanni Cynthia Pradipta
M. Reperiza Furqon
Leslie Nangkiawa
KONTRIBUTOR
Gisella Nappoe
Jeeten Kumar
Maora Rianti
Nabiilah Mujahidah
Putriani Novianty
Tsaairoh
DEWAN PENGARAH
• Sekretariat Jenderal, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
• Direktorat Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud)
• Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Menengah dan Khusus, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
• Direktorat Sekolah Dasar, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
• Direktorat Mitigasi Bencana, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
• Direktorat Sistem Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB)
• Direktorat Kurikulum, Sarana Prasarana, Kelembagaan dan Kesiswaan (KSKK),
Kementerian Agama (Kemenag)
• Direktorat Prasarana Strategis Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
(PUPR)
TIM PENYUNTING
Dr. Samto
Mukhlis, ST
Janaka, Msi
Faisal Khalid
Wahyu A. Kuncoro
Nugroho Warman
Halaman 3 dari 100
SAMBUTAN KETUA SEKRETARIAT NASIONAL SATUAN
PENDIDIKAN AMAN BENCANA
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat karunia-Nya, laporan
penelitian “Evaluasi Nasional Program Satuan Pendidikan Aman Bencana” ini selesai disusun.
Indonesia memiliki lebih dari 500,000 satuan pendidikan dari berbagai jenjang baik itu
pendidikan formal, informal, dan non formal. Di sisi lain, Indonesia merupakan salah satu
negara yang paling rawan bencana di dunia. Sehingga, program Satuan Pendidikan Aman
Bencana (SPAB) ini penting untuk diterapkan di seluruh satuan pendidikan untuk memastikan
seluruh peserta didik dapat belajar secara nyaman dan aman dari ancaman bencana, dapat
mendapatkan pengetahuan yang penting yang dapat menyelamatkan hidupnya bila terjadi
bencana, serta dapat memulihkan sektor pendidikan dengan segera saat terdampak bencana.
Sekretariat Nasional Satuan Pendidikan Aman Bencana (Seknas SPAB) yang dikoordinir oleh
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta didukung oleh Kementerian Agama, Badan
Nasional Penanggulangan Bencana, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat dan juga mitra-mitra Seknas SPAB lainnya telah mendukung implementasi program
SPAB yang sudah diinisiasi semenjak tahun 2008 yang merupakan hasil upaya bersama multi
pihak dan kolaborasi antara berbagai instansi pemerintah, LSM, akademisi, pihak swasta, dan
juga organisasi masyarakat lainnya.
Sehubungan dengan hal tersebut, Seknas SPAB memiliki tugas mengkoordinasikan
penyelenggaraan program SPAB, termasuk di dalamnya adalah untuk melakukan evaluasi
terhadap program SPAB yang sejauh ini dijalankan, mendokumentasikan praktik-praktik baik,
capaian, dan inovasi yang telah dihasilkan, serta mengidentifikasi pembelajaran yang didapat
selama ini sehingga bermanfaat untuk merumuskan program SPAB ke depannya. Evaluasi
program SPAB ini adalah yang pertama kali dilakukan secara komprehensif yang membahas
seluruh komponen program SPAB, baik dari aspek fasilitas atau sarana dan prasarana,
manajemen penanggulangan bencana di satuan pendidikan, serta pendidikan pengurangan
risiko bencana. Evaluasi ini juga melibatkan berbagai pihak baik di tingkat nasional dan di
daerah, termasuk juga sudut pandang dari anak-anak, orang tua, guru dan tenaga pendidikan
lainnya, LSM, dan juga para donor.
Kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam evaluasi ini, saya sampaikan terima kasih.
Saya berharap laporan evaluasi ini dapat dimanfaatkan dengan baik serta menjadi acuan untuk
seluruh pihak baik dari lembaga pemerintah, non-pemerintah, dan swasta, dalam menyusun
program SPAB ke depannya sehingga bisa menjadi lebih efektif, tepat sasaran, menyasar ke
seluruh satuan pendidikan, dan berjalan secara berkelanjutan.
Halaman 4 dari 100
SAMBUTAN UNICEF INDONESIA
Situasi pandemi COVID-19 di Indonesia telah menyebabkan terdampaknya akses pendidikan
berkualitas bagi lebih dari 68 juta anak dan 4 juta guru dan tenaga pendidikan lainnya di lebih
dari 534 ribu sekolah di Indonesia. Situasi ini semakin perlu diwaspadai mengingat Indonesia
merupakan negara yang memiliki kerentanan terhadap ancaman alam yang tinggi, baik itu
ancaman banjir, tanah longsor, angin puting beliung, gempa, tsunami, letusan gunung api, dan
ancaman-ancaman lainnya. Setiap tahunnya, jutaan anak-anak di Indonesia berada di wilayah
dengan kerentanan tinggi dari bencana. Oleh karena itu, program satuan pendidikan yang aman
bencana (SPAB) menjadi sangat penting, sangat relevan, dan mendesak untuk diwujudkan di
Indonesia.
Setiap anak dilindungi hak-haknya dalam Konvensi Hak-hak Anak, yaitu hak untuk hidup, hak
tumbuh kembang, hak untuk perlindungan, dan hak untuk berpartisipasi, termasuk juga di
dalamnya adalah hak untuk mendapatkan pendidikan yang aman, nyaman, dan berkualitas.
UNICEF mendorong seluruh pihak untuk bekerja bersama dalam memastikan keselamatan
seluruh anak-anak saat belajar dan mendidik anak-anak untuk berdaya untuk menghadapi
ancaman bencana di masa kini dan masa depan. Evaluasi program SPAB ini menjadi momen
yang sesuai untuk mendokumentasikan praktik-praktik baik yang sudah dicapai dan juga
pembelajaran yang sudah ada sehingga kita bisa memperkuat koordinasi dan kolaborasi, serta
menentukan secara bersama langkah-langkah berikutnya untuk program SPAB yang lebih
terintegrasi, menyeluruh, dan berkelanjutan.
UNICEF memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya terhadap Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan sebagai koordinator Sekretariat Nasional SPAB (Seknas SPAB) beserta
Kementerian Agama, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Badan Nasional
Penanggulangan Bencana yang telah menginisiasi dan mendukung pelaksanaan evaluasi
program SPAB ini. Semoga hasil dari evaluasi ini dapat digunakan sebagai acuan bagi berbagai
pelaku SPAB di Indonesia yang pada akhirnya kita semua dapat memberikan kontribusi berarti
bagi seluruh anak-anak di Indonesia.
Jakarta, 12 Maret 2021
Hiroyuki Hattori
Chief of Education (Ketua Pendidikan), UNICEF Indonesia
Halaman 5 dari 100
RINGKASAN EKSEKUTIF
Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tren kejadian bencana jangka
panjang di Indonesia semakin sering terjadi, semakin parah dampaknya, semakin luas wilayahnya,
semakin susah diprediksi, dan semakin kompleks penanganannya. Indonesia merupakan salah satu
negara dengan sistem pendidikan terbesar di dunia, dimana berdasarkan data pokok pendidikan
(DAPODIK) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terdapat jumlah peserta
didik lebih dari 47 juta dan lebih dari 3.2 juta guru dengan lebih dari 272 ribu satuan pendidikan. Hal
ini patut menjadi perhatian bersama karena banyak satuan pendidikan yang berada di wilayah yang
rawan bencana.
Pemerintah Indonesia telah secara serius menerapkan program Satuan Pendidikan Aman Bencana
(SPAB) sejak 2008, bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk lembaga non-
pemerintah, sektor swasta, dan akademisi. Evaluasi ini diinisiasi langsung oleh Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan dan berisi dewan pengarah dari Kementerian/ Lembaga yang berpengaruh langsung
pada program SPAB yaitu Kementerian Agama, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Evaluasi ini didukung oleh UNICEF dan
melibatkan beragam lembaga non-pemerintah dan akademisi, termasuk jejaring Konsorsium
Pendidikan Bencana (KPB) hingga ke tingkat satuan pendidikan melibatkan para kepala sekolah, guru
dan siswa.
Studi ini dilakukan untuk menggali evaluasi efektivitas implementasi SPAB dalam 12 tahun terakhir
berdasarkan bukti-bukti ilmiah terkait capaian, pembelajaran, dan praktik-praktik baik yang kemudian
menjadi dasar untuk merancang strategi ke depannya terkait SPAB.
Evaluasi ini menggunakan kriteria relevansi, efektivitas, efisiensi, dampak, keberlanjutan, dan inovasi.
Secara keseluruhan, studi ini menggunakan metode gabungan antara lain studi pustaka, kuesioner
daring, wawancara, dan diskusi kelompok terpumpun secara daring. Wilayah penelitian terdiri dari
tingkat nasional dan di tingkat provinsi, yaitu di Aceh, DKI Jakarta, NTT, dan Sulawesi Tengah. Periode
pengambilan data dimulai pada bulan Maret 2020 dan berakhir di bulan Oktober 2020.
Evaluasi ini juga melibatkan lebih dari 2,000 suara anak-anak melalui survei yang tersebar di seluruh
provinsi di Indonesia. Berdasarkan observasi kami, tidak ada keterbatasan yang signifikan yang dapat
mempengaruhi kualitas evaluasi ini.
Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang menganalisis secara komprehensif ketiga pilar secara
makro (tingkat nasional) hingga ke level mikro di tingkat satuan pendidikan di daerah. Beberapa temuan
kunci dari penelitian ini antara lain:
Inovasi telah banyak dihasilkan dari penyelenggaraan program SPAB
Pembentukan Seknas SPAB dan Sekber SPAB menunjukkan inovasi sistemik untuk memperkuat
koordinasi, kolaborasi, dan kerja sama multi pihak yang mendorong adanya mobilisasi sumber daya
(baik dari sisi pendanaan, SDM, dan perangkat) serta upaya peningkatan kapasitas secara lebih
terstruktur untuk warga sekolah mengadopsi dan menerapkan ketiga pilar SPAB. Di sisi lain, kerja sama
satuan pendidikan dengan pihak eksternal dengan mengintegrasikan program yang sudah berlangsung
seperti Pramuka, Tagana Masuk Sekolah, Palang Merah Remaja, dan Hizbul Wathan merupakan
strategi yang efektif untuk menerpakan program SPAB secara lebih sistematis.
BNPB bersama Kemendikbud juga meluncurkan aplikasi untuk pemantauan dan pengawasan
penyelenggaraan program SPAB. Aplikasi ini akan melakukan pemetaan secara rutin dan
memutakhirkan capaian program SPAB di tingkat satuan pendidikan.
Halaman 6 dari 100
Capaian yang tidak berimbang antara pilar 1 dengan Pilar 2 dan pilar 3 dan juga untuk tiap jenjang
dan jenis satuan pendidikan
Penerapan program SPAB masih didominasi di satuan pendidikan yang dikelola oleh Kemendikbud,
khususnya di jenjang Sekolah Dasar. Secara keseluruhan, penyelenggaraan SPAB masih minim
dilakukan di PAUD, pendidikan tinggi, dan sekolah vokasional. Selain itu, penerapan SPAB di
madrasah masih sangat terbatas dan juga di pendidikan non-formal, yaitu di SKB dan PKBM.
Penerapan program SPAB juga masih berat sebelah dimana intervensi yang populer dilakukan adalah
intervensi yang berpengaruh pada Pilar 2 dan Pilar 3, sedangkan masih sedikit lembaga yang bergerak
di Pilar 1.
Kualitas program SPAB sangat bergantung pada kapasitas guru. Sehingga, peningkatan kapasitas untuk
guru adalah sangat penting dalam penyelenggaraan program SPAB. Strategi bimbingan teknis (bimtek)
untuk guru dan tenaga pendidikan lainnya perlu disusun dan diterapkan secara terstruktur, sistematis,
masif dan berkelanjutan. Penggunaan metode e-learning, bimtek secara daring, dan penyesuaian pada
pendidikan tinggi untuk guru bisa mendukung upaya untuk peningkatan kapasitas guru dan tenaga
pendidikan lainnya. Bimtek yang dilaksanakan perlu membangun kepercayaan diri guru untuk
melaksanakan SPAB secara mandiri dan fleksibel.
Motor penggerak SPAB masih di dominasi oleh Pemerintah Pusat dan Organisasi Masyarakat Sipil
Selama lebih dari satu dekade, motor penggerak SPAB masih didominasi oleh pemerintah pusat dan
organisasi masyarakat sipil. Hal ini perlu berubah seiring dengan waktu. Peran pemerintah daerah dan
pihak swasta semakin menjadi penting. Evaluasi ini menunjukkan bahwa Kepala sekolah memegang
peran penting dalam keberlanjutan program SPAB, sedangkan pemerintah daerah berperan penting
dalam memperluas cakupan (scaling-up) dan replikasi.
Inklusivitas belum diterapkan secara luas dan sistematis
Kebijakan saat ini dalam menerapkan program SPAB masih menempatkan wilayah 3T dan wilayah
pasca bencana sebagai prioritas penanganan fasilitas sarana prasarana satuan pendidikan yang aman
bencana. Program SPAB masih banyak diselenggarakan dengan tidak menyasar pada pendekatan yang
inklusif, termasuk dalam memastikan bahwa intervensinya turut mempertimbangkan kepentingan anak-
anak berkebutuhan khusus atau melibatkan anak-anak berkebutuhan khusus.
Evaluasi ini juga menghasilkan rekomendasi spesifik yang ditujukan untuk:
1) pemerintah pusat untuk melakukan sosialisasi dan penerapan kebijakan secara masif dan
berkelanjutan; menyusun revisi peta jalan SPAB 2020-2014; norma, standar, prosedur, dan kriteria
terkait sarana prasarana SPAB perlu dilengkapi; pemanfaatan teknologi informasi untuk
pemantauan dan pengawasan -termasuk pelaksanaan SPAB yang inklusif; serta mendorong inovasi
di masa pandemi COVID-19;
2) pemerintah daerah, yaitu provinsi, kabupaten, dan kota antara lain advokasi regulasi di tingkat
daerah sesuai dengan konteks daerah dan memastikan seluruh satuan pendidikan di daerahnya aman
dari ancaman bencana, pembentukan Tim Ahli Bangunan dan Gedung, mengalokasikan anggaran
untuk SPAB, penyediaan mekanisme konsultasi dan kolaborasi, memperluas kerja sama dengan
pihak lainnya, mendorong integrasi dengan program PRB berbasis komunitas dan keluarga); dan
3) satuan pendidikan antara lain optimasi dana BOS dan dana alternatif lainnya seperti dana desa dan
dari swasta, melakukan kajian risiko bencana di tingkat satuan pendidikan dengan konteks lokal,
menyusun prosedur tetap untuk penanggulangan bencana di sekolah, membentuk tim siaga,
melakukan simulasi secara rutin, integrasi dalam RPP sesuai dengan karakteristik ancaman
setempat yang ada dan yang akan datang, menciptakan dan mempromosikan champions, serta
mengajak dukungan orang tua dan masyarakat untuk menerapkan SPAB.
Halaman 7 dari 100
DAFTAR ISI
TIM PENYUSUN ...................................................................................................................... 2
SAMBUTAN KETUA SEKRETARIAT NASIONAL SATUAN PENDIDIKAN AMAN
BENCANA ................................................................................................................................ 3
SAMBUTAN UNICEF .............................................................................................................. 4
Ringkasan Eksekutif .................................................................................................................. 5
BAB I. Pendahuluan .................................................................................................................. 9
I.1. Latar Belakang ................................................................................................................. 9
I.2. Maksud dan Tujuan Penelitian ...................................................................................... 10
I.3. Komposisi Tim .............................................................................................................. 10
I.4. Kerangka Laporan ......................................................................................................... 10
BAB II. Metodologi ................................................................................................................. 12
II.1. Deskripsi Metodologi Penelitian .................................................................................. 12
II.2. Wilayah Penelitian ....................................................................................................... 12
II.3. Metode Pengumpulan Data .......................................................................................... 13
II.4. Pemantuan Kualitas dan Analisis Data ........................................................................ 16
II.5. Etika Penelitian ............................................................................................................ 17
II.6. Periode Penelitian ......................................................................................................... 18
II.7. Kekuatan dan Kelemahan Penelitian............................................................................ 18
BAB III. Hasil Penelitian dan Analisis Data Kuantitatif ......................................................... 20
III.1. Gambaran Umum ........................................................................................................ 20
III.2. Perspektif terhadap ancaman bencana ........................................................................ 20
III.3. Perspektif terhadap kesiapsiagaan bencana ................................................................ 22
III.4. Ketertarikan terhadap isu penanggulangan bencana ................................................... 23
III.5. Ringkasan hasil survei ................................................................................................ 25
BAB IV. Hasil Penelitian dan Analisis Tiap Pilar ................................................................... 25
IV.1. Gambaran Umum........................................................................................................ 25
IV.2. Pilar 1. Fasilitas Satuan Pendidikan Aman Bencana .................................................. 26
IV.2.1. Relevansi.............................................................................................................. 28
IV.2.2. Efektivitas dan Efisiensi ...................................................................................... 30
IV.2.3. Dampak ................................................................................................................ 32
IV.2.4. Keberlanjutan ....................................................................................................... 32
IV.2.5. Inovasi.................................................................................................................. 33
IV.2.6. Pembelajaran........................................................................................................ 34
Halaman 8 dari 100
IV.3. Pilar 2. Manajemen Penanggulangan Bencana di Satuan Pendidikan ........................ 35
IV.3.1. Relevansi.............................................................................................................. 38
IV.3.2. Efektivitas dan Efisiensi ...................................................................................... 39
IV.3.3. Dampak ................................................................................................................ 42
IV.3.4. Keberlanjutan ....................................................................................................... 43
IV.3.5. Inovasi.................................................................................................................. 44
IV.3.6. Pembelajaran........................................................................................................ 45
Studi Kasus: Inovasi Monitoring dan Evaluasi Nasional ................................................ 47
IV.4. Pilar 3. Pendidikan Pengurangan Risiko Bencana di Satuan Pendidikan ................... 49
IV.4.1. Relevansi.............................................................................................................. 49
IV.4.2. Efektivitas dan Efisiensi ...................................................................................... 51
IV.4.3. Dampak ................................................................................................................ 64
IV.4.4. Keberlanjutan ....................................................................................................... 67
IV.4.5. Inovasi.................................................................................................................. 70
IV.4.6. Pembelajaran........................................................................................................ 71
BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .................................................................. 75
V.1. Kesimpulan .................................................................................................................. 75
V.2. Rekomendasi ................................................................................................................ 76
V.2.1. Rekomendasi untuk Pilar 1 ................................................................................... 76
V.2.2. Rekomendasi untuk Pilar 2 ................................................................................... 77
V.2.3. Rekomendasi untuk Pilar 3 ................................................................................... 79
BAB VI. Lampiran................................................................................................................... 82
VI.1. Peta ............................................................................................................................. 82
VI.2. Daftar Regulasi Terkait SPAB .................................................................................... 82
VI.3. Perangkat Pengambilan Data ...................................................................................... 83
VI.3.1. Kuesioner ............................................................................................................. 83
VI.3.2. Pertanyaan Panduan untuk Diskusi Terpumpun .................................................. 85
VI.4. Kerangka Acuan Kerja Evaluasi ................................................................................. 88
VI.5. Disasters and Risks for Children in terms of Education ............................................. 88
VI.6. Safe Schools Programme ............................................................................................ 88
VI.7. Referensi ..................................................................................................................... 99
Halaman 9 dari 100
BAB I. PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rawan bencana dengan beragam jenis
ancaman alam baik termasuk banjir, tsunami, gempa bumi, tanah longsor, dan aktivitas gunung
berapi. Ancaman alam ini menyebabkan kerusakan besar dan korban jiwa setiap tahunnya
dengan estimasi kerugian ekonomi sekitar US$ 2,2 miliar hingga US$ 3 miliar per tahun dalam
satu dekade terakhir1. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB)2, tren kejadian bencana di Indonesia dari tahun ke tahun semakin sering terjadi
(Gambar 1), semakin parah dampaknya, semakin luas wilayahnya, semakin susah diprediksi,
dan semakin kompleks penanganannya.
Gambar 1 . Tren kejadian bencana di Indonesia (2004 - 2019)
Di sisi lain, Indonesia merupakan salah satu negara dengan sistem pendidikan terbesar di dunia,
dimana berdasarkan data pokok pendidikan (DAPODIK) dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) terdapat lebih dari 47 juta peserta didik, lebih dari 3.2 juta guru
dan lebih dari 272 ribu satuan pendidikan. Hal ini patut menjadi perhatian bersama karena
banyak satuan pendidikan yang berada di wilayah yang rawan bencana. Berdasarkan kajian
yang dilakukan oleh Kemendikbud dan BNPB (2019), lebih dari 52 ribu satuan pendidikan
berada di wilayah rawan gempa bumi dan sekitar 54 ribu satuan pendidikan berada di wilayah
rawan banjir3.
Pemerintah Indonesia telah secara serius menerapkan program Satuan Pendidikan Aman
Bencana (SPAB) sejak 2008, bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk
lembaga non-pemerintah, sektor swasta, dan akademisi. Beberapa inisiatif yang telah dilakukan
adalah disusunnya Peta Jalan Sekolah Aman 2015-2019, pembentukan Sekretariat Nasional
untuk Satuan Pendidikan Aman Bencana (Seknas SPAB), dikeluarkannya Peraturan Menteri
no. 33 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program SPAB dan disusunnya pedoman teknis,
serta munculnya berbagai inisiatif peningkatan kapasitas untuk para guru dan peserta didik.
Studi ini dilakukan untuk mendukung finalisasi rencana strategis menengah (RPJMN) 2020-
2024, Rencana Strategis UNICEF, serta langkah-langkah berikutnya untuk inisiatif SPAB.
Studi ini digunakan untuk menggali bukti-bukti ilmiah yang kemudian menjadi dasar untuk
1 World Bank/GFDRR, 2018. "Advancing Disaster Risk Financing and Insurance in Asean Member States: Framework and Options for Implementation." 2 BNPB, 2019. "Data Dan Informasi Bencana Indonesia (Dibi)," http://dibi.bnpb.go.id/. 3 Kemendikbud, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2019. "Pendidikan Tangguh Bencana: Mewujudkan Satuan Pendidikan Aman Bencana Di Indonesia," (Jakarta, Indonesia).
Halaman 10 dari 100
merancang strategi masa depan agar efektif, efisien, berkelanjutan, dan memberikan hasil
dampak yang lebih optimal.
I.2. Maksud dan Tujuan Penelitian
Studi ini diharapkan dapat menghasilkan pengetahuan yang substantif dan berbasis bukti
tentang implementasi SPAB di Indonesia dengan mengidentifikasi tantangan, praktik yang
baik, pembelajaran serta pemetaan pelaku utama, kebijakan dan pedoman program terkait
SPAB di Indonesia. Adapun tujuan khusus studi evaluasi ini yaitu untuk:
1. Mengkaji tantangan, implementasi program SPAB yang sedang berjalan dan
pencapaiannya.
2. Mengumpulkan bukti-bukti ilmah tentang efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan
program SPAB di Indonesia, dan untuk menentukan bidang prioritas yang paling relevan
untuk difokuskan
3. Menyediakan rekomendasi strategis tentang bagaimana program SPAB dapat dipertahankan
dan ditingkatkan di Indonesia.
I.3. Komposisi Tim
Evaluasi ini diinisiasi oleh Seknas SPAB Kemendikbud dengan dukungan dari UNICEF
Indonesia dan dilaksanakan oleh Resilience Development Initiative, yang terdiri dari:
• Ketua Tim: Dr. Avianto Amri
• Peneliti utama untuk Pilar 1: Dr. Nuraini Rahma Hanifa
• Peneliti utama untuk Pilar 2: Yusra Tebe
• Peneliti utama untuk Pilar 3: Dr. Jonatan Lassa
• Asisten peneliti untuk Pilar 1: Giovanni Cynthia Pradipta
• Asisten peneliti untuk Pilar 2: M. Reperiza Furqon
• Asisten peneliti untuk Pilar 3: Leslie Nangkiawa
• Asisten Pendukung: Gisella Nappoe, Jeeten Kumar, Tsaairoh
I.4. Kerangka Laporan
Laporan ini terdiri dari lima bagian dan disusun berdasarkan kerangka kerja SPAB yang
digunakan secara global, yaitu Tiga Pilar SPAB: Pilar 1 Fasilitas Satuan Pendidikan Aman
Bencana; Pilar 2 Manajemen Penanggulangan Bencana di Satuan Pendidikan; dan Pilar 3
Pendidikan Pengurangan Risiko Bencana di Satuan Pendidikan.
Bab dua membahas mengenai metodologi penelitian yang digunakan dalam evaluasi ini,
termasuk menjelaskan wilayah penelitian, metode pengumpulan data, teknik yang digunakan
tim peneliti untuk memastikan data dikumpulkan dan dianalisis secara berkualitas, jadwal
penelitian, langkah-langkah yang digunakan untuk memastikan sesuai dengan kaidah etika
penelitian, serta aspek-aspek yang memperkuat penelitian ini dan keterbatasan yang dimiliki.
Bab tiga menjelaskan mengenai hasil penelitian dari pengambilan data kuantitatif, yaitu
menggunakan kuesioner secara daring untuk menangkap perspektif anak. Tiga aspek utama
dibahas yaitu perspektif terhadap ancaman bencana, terhadap kesiapsiagaan bencana, serta
ketertarikan mereka terhadap isu penanggulangan bencana. Bab ini kemudian diakhiri dengan
kesimpulan terkait hasil survei.
Halaman 11 dari 100
Bab empat menjelaskan hasil penelitian dan analisis tiap pilar dengan menggunakan enam
kriteria evaluasi yaitu: 1) Relevansi; 2) Efektivitas dan efisiensi; 3) Dampak; 4) Keberlanjutan;
5) Inovasi; dan 6) Pembelajaran. Bab lima kemudian memaparkan mengenai kesimpulan dan
rekomendasi, terutama rekomendasi untuk tiap pilar.
Halaman 12 dari 100
BAB II. METODOLOGI
II.1. Deskripsi Metodologi Penelitian
Dari segi pendekatan, penelitian ini menggunakan pendekatan gabungan seperti yang
dijabarkan di bawah ini.
Gambar 1. Pendekatan dalam Pengumpulan dan Analisis Data
Berbagai penelitian sebelumnya telah mencoba untuk melihat pandangan anak (Back et al.,
2009; Tanner, 2010), guru serta anggota sekolah lainnya (Buchanan et al., 2009; Johnson &
Ronan, 2014; Shiwaku et al., 2006), dan organisasi non-pemerintah (Djalante & Thomalla,
2012). Namun penelitian yang menggabungkan pandangan seluruh pemangku kepentingan
tersebut masih sangat terbatas, terutama dalam bidang pengurangan risiko bencana yang
berpusat pada anak dan program SPAB.
II.2. Wilayah Penelitian
Pengumpulan data dilakukan di tingkat nasional dan sub-nasional. Provinsi yang disarankan
oleh Dewan Pengarah adalah di Provinsi Aceh, Nusa Tenggara Timur (NTT), DKI Jakarta, dan
Sulawesi Tengah (Gambar 2).
Gambar 2. Wilayah Penelitian
Provinsi Aceh dipilih menggambarkan wilayah yang sudah menjalani proses pemulihan dari
bencana berskala besar (Gempa dan Tsunami Samudra Hindia di tahun 2004) dan juga telah
mengalami beberapa bencana berskala kecil dan menengah, dimana salah satu bencana yang
Data sekunder:
Tinjauan pustaka Kuesioner
Wawancara
Informan kunci dan
Diskusi Kelompok
Halaman 13 dari 100
relatif baru terjadi adalah saat gempa Pidie Jaya di tahun 2016. Pada tanggal 7 Desember 2016,
gempa bumi berkekuatan 6.4 M mengguncang wilayah Kabupaten Pidie Jaya, provinsi Aceh
di pagi hari yang menyebabkan 104 korban jiwa dan sekitar 85,000 orang terkena dampak.
Gempa bumi tersebut juga menyebabkan kerusakan pada lebih dari 11,000 bangunan, termasuk
lebih dari 200 satuan pendidikan, serta perkantoran, fasilitas ibadah, dan rumah sakit.
Provinsi NTT dipilih untuk mewakili perspektif dari non-urban dan juga provinsi yang
memiliki ancaman bencana berskala kecil dan menengah setiap tahunnya. Provinsi NTT
menghadapi berbagai jenis ancaman bencana, terutama terkait banjir, gempa bumi, gunung
berapi, tsunami, angin puting beliung, serta kekeringan, dimana hal ini diperburuk dengan
adanya perubahan fungsi lahan, pembangunan infrastruktur, penebangan liar, perubahan iklim,
serta kemiskinan yang meningkatkan risiko bencana4.
Provinsi Sulawesi Tengah dipilih berdasarkan wilayah yang baru saja menghadapi bencana
berskala besar yaitu gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi ekstrem di tahun 2018 serta saat ini
masih dalam proses pemulihan. Pada tanggal 28 September 2018, gempa bumi berkekuatan 7,5
M dengan episentrum yang terletak 81 Km sebelah utara Kota Palu di Sulawesi Tengah
menyebabkan guncangan tanah yang kuat dan tsunami yang merusak pemukiman pesisir di
sepanjang Teluk Palu. Bencana ini mengakibatkan 4.402 korban jiwa dan sekitar 1.5 juta orang
terkena dampak dimana 665,000 diantaranya adalah anak-anak5. Bencana ini juga
menyebabkan kerusakan pada lebih dari 1,100 satuan pendidikan dengan lebih dari 12,000 guru
terkena dampak6.
Sedangkan, provinsi DKI Jakarta dipilih berdasarkan daerah urban yang sering mengalami
ancaman bencana rutin setiap tahunnya yaitu banjir dan banjir bandang. Permasalahan Jakarta
yang sangat kompleks, seperti kepadatan penduduk, 40% wilayah berada di bawah permukaan
laut, lokasi yang rawan gempa bumi, serta perlintasan beberapa aliran sungai dari hulu ke hilir,
menjadikan Jakarta rawan terhadap berbagai ancaman bencana. Pada awal Januari 2020,
Jakarta mengalami kejadian banjir besar dimana intensitas hujan yang terjadi merupakan yang
terbesar dalam 20 tahun terakhir dan menyebabkan lebih dari 400,000 orang terdampak akibat
banjir tersebut dengan kerugian sekitar 1 triliun akibat terganggunya sektor perdagangan,
transportasi, pergudangan dan logistik, dan jasa keuangan7,8.
II.3. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini melibatkan multi-informan, menggunakan kombinasi metode dengan pendekatan
bertahap, dan memiliki fokus utama pada beberapa sampel berbeda (namun tidak terbatas
pada): anak-anak (sebagai peserta didik), perwakilan pemerintah (tingkat lokal, sub-nasional,
dan nasional), akademisi, dan organisasi non-pemerintah (termasuk LSM). Pengumpulan data
kualitatif dilakukan dengan tinjauan pustaka/literatur, diskusi kelompok terpimpin (focus
group discussion atau FGD), dan wawancara semi terstruktur secara daring. Sedangkan
pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan kuesioner (daring). Metode
4 BPBD Prov. NTT, 2019. "Rencana Strategis 2019 – 2023," (Kupang, Indonesia). 5 UNICEF, 2018. "Humanitarian Situation Report #4, 12-25 November 2018," (Jakarta, Indonesia). 6 Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, 2019. "Pergub No. 10 Tahun 2019 Tentang Rencana Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Pascabencana," (Palu, Indonesia). 7 Alinea.id, 2020. "Bi: Kerugian Akibat Banjir Jakarta Awal 2020 Capai Rp1 Triliun." 8 BPS Prov. DKI Jakarta, 2020. "Rekapitulasi Data Banjir Dki Jakarta Dan Penanggulangannya Tahun 2020," (Jakarta, Indonesia).
Halaman 14 dari 100
penelitian yang berbeda diterapkan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dan disesuaikan
dengan peserta penelitian yang berbeda.
Tim peneliti telah menyusun desain penelitian yang awalnya menggunakan metode tatap muka.
Namun pada saat akan dilakukan pengambilan data di bulan Maret 2020, Pemerintah Indonesia
mengumumkan kasus pertama COVID-19 dan menyebabkan berubahnya metode penelitian
menjadi jarak jauh dengan memanfaatkan jejaring peneliti lokal serta menggunakan metode
daring untuk kegiatan FGD dan wawancara.
Pada tahap pertama, dokumentasi yang sudah ada terkait program SPAB dikumpulkan,
didokumentasikan, dan dianalisis melalui tinjauan pustaka dengan metode scoping review.
Jenis tinjauan ini berguna untuk mengkaji literatur yang ada pada bidang yang baru, kompleks,
beragam dimana kajian dalam bidang tersebut masih terbatas9. Scoping review juga berguna
untuk melihat kesenjangan yang ada dalam suatu penelitian dan praktik, serta berguna untuk
menentukan penelitian, kebijakan, dan praktik di masa mendatang10.
Tahap kedua mengkaji situasi yang berkaitan dengan upaya yang dilakukan dalam pelaksanaan
SPAB, khususnya dalam hal upaya peningkatan kesadaran, peningkatan kapasitas, dan
aktivitas pengurangan risiko bencana di sekolah. Melihat adanya jejaring tenaga kependidikan
dari Kemdikbud dan platform U-Report milik UNICEF untuk mengumpulkan pendapat anak,
kuesioner daring dikembangkan dan dibagikan melalui jejaring dan platform tersebut. Melalui
usaha ini, data dikumpulkan dan dikaji untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik terkait
upaya yang sudah dilakukan (atau sedang dilakukan) dalam program SPAB yang sudah
diinisiasi sejak tahun 2008.
Pada tahapan berikutnya, tiga rangkaian FGD juga dilaksanakan di tingkat nasional sebagai
bentuk konsultasi awal yang berfokus pada tiga pilar Satuan Pendidikan Aman yang
Komprehensif: fasilitas sekolah aman, manajemen bencana di sekolah, serta pendidikan
pencegahan dan pengurangan risiko. Konsultasi awal yang dilakukan dengan melibatkan
pemangku kepentingan terkait ketiga pilar tersebut menjadi pedoman penelitian, khususnya
selama kajian lapangan untuk mengidentifikasi masalah utama dan pandangan di tingkat
nasional.
Pada tahapan selanjutnya, pengumpulan data primer juga dilakukan melalui tinjauan lapangan
virtual di empat wilayah: Provinsi Aceh, NTT, DKI Jakarta dan Sulawesi Tengah. Kombinasi
FGD dan wawancara dengan informan kunci dilakukan dengan sasaran: aparatur pemerintah
(lokal dan sub-nasional), organisasi kemanusiaan (terutama organisasi non-pemerintah/LSM),
dan kelompok anak. RDI bekerja sama dengan peneliti lokal di empat wilayah tersebut dan
mereka yang membantu mengumpulkan data, mengatur pertemuan virtual dengan pemangku
kepentingan lokal, dan mengadakan diskusi kelompok virtual. Tim peneliti juga melakukan
pengumpulan data dari anak-anak, berdasarkan konsultasi dan kerja sama dengan sekolah, dan
menggunakan bantuan teknologi informasi agar anak tetap terlibat. Untuk mencapai tujuan ini,
kelompok anak yang dilibatkan adalah kelompok anak dari Kelas 5 dan Kelas 6 Sekolah Dasar,
9 Micah D.J. Peters et al., Publisher, 2015. "Guidance for Conducting Systematic Scoping Reviews," International Journal of Evidence-Based Healthcare 13, no. 3. 10 Maria J. Grant and Andrew Booth, Publisher, 2009. "A Typology of Reviews: An Analysis of 14 Review Types and Associated Methodologies," Health Information & Libraries Journal 26, no. 2.
Halaman 15 dari 100
dimana perwakilan anak dari empat wilayah memberikan testimoni mereka melalui video
terkait perspektif mereka mengenai:
a) Dimana saja tempat-tempat yang mereka rasa aman dan tidak aman dari ancaman
bencana
b) Seperti apa mestinya sekolah yang aman dari bencana
Pemangku kepentingan lokal dalam komunitas sekolah juga dikaji untuk melihat lebih lanjut
terkait perspektif, pengetahuan dan praktik yang mereka lakukan terkait program sekolah
aman, kapasitas masyarakat setempat, dan harapan mereka terkait ketahanan terhadap bencana.
Tim peneliti menggunakan diskusi secara daring. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan
bukti tentang ketakutan masyarakat terhadap bencana11,12,13, cara unik mereka dalam
mengidentifikasi dan memahami risiko1415, dan perhatian mereka pada pengurangan risiko
bencana16,17. Oleh karena itu, berdasarkan berbagai temuan sebelumnya, metode FGD dan
wawancara informan kunci digunakan untuk mengukur hipotesis di antara kelompok sampel
masyarakat lokal. Pendekatan yang berpusat pada orang dan interaktif (dan juga ramah anak)
sudah diterapkan untuk mengumpulkan informasi dari orang-orang (termasuk anak-anak jika
ada) yang mungkin takut atau malu untuk berbicara.
Tahapan akhir adalah lokakarya dengan staf LSM yang bergerak di bidang kemanusiaan,
akademisi, dan lembaga pemerintah terkait di tingkat nasional. Sebelumnya sangat sedikit
referensi yang mencoba untuk melihat pandangan dan opini dari berbagai pemangku
kepentingan, termasuk LSM, akademisi, dan lembaga pemerintah terhadap sekolah aman yang
komprehensif. Oleh karena itu, sebuah FGD dalam bentuk lokakarya dianggap sebagai cara
terbaik untuk mendalami isu ini dan memungkinkan adanya klarifikasi lebih lanjut jika
dibutuhkan18,19. Selain itu, sebagai bagian dari metode yang sekuensial, beberapa diskusi dalam
FGD berpedoman pada temuan FGD di konsultasi awal dan tinjauan lapangan.
Evaluasi ini juga mengidentifikasi wilayah dimana perubahan positif terjadi dan dipertahankan.
Metode ini berguna untuk mengumpulkan pengalaman dan tanggapan dari para pemangku
kepentingan, termasuk satuan pendidikan. Metode ini banyak digunakan, namun tidak terbatas
11 Thomas H. Ollendick, Publisher, 1983. "Reliability and Validity of the Revised Fear Survey Schedule for Children (Fssc-R)," Behaviour Research and Therapy 21, no. 6. 12 T. H. Ollendick, J. L. Matson, and W. J. Helsel, Publisher, 1985. "Fears in Children and Adolescents: Normative Data," Behav Res Ther 23, no. 4. 13 Joy J. Burnham et al., Publisher, 2008. "Examining Children's Fears in the Aftermath of Hurricane Katrina," Journal of Psychological Trauma 7, no. 4. 14 Tom Mitchell, Thomas Tanner, and Katharine Haynes, Children in a Changing Climate Research, 2009. "Children as Agents of Change for Disaster Risk Reduction: Lessons from El Salvador and the Philippines," in Working Paper no. 1. 15 Katharine Haynes and Thomas M. Tanner, Publisher, 2015. "Empowering Young People and Strengthening Resilience: Youth-Centred Participatory Video as a Tool for Climate Change Adaptation and Disaster Risk Reduction," Children's Geographies 13, no. 3. 16 Emma Back, Catherine Cameron, and Thomas Tanner, Children and Disaster Risk Reduction: Taking Stock and Moving Forward, ed. Dee Scholley and Fran Seballos, Children in a Changing Climate Research (Brighton, UK: UNICEF, 2009). 17 UNISDR and Plan International, Children's Action for Disaster Risk Reduction: Views from Children in Asia (Bangkok, Thailand: UNISDR and Plan International, 2012). 18 Jenny Kitzinger, Publisher, 1995. "Qualitative Research: Introducing Focus Groups," BMJ 311, no. 7000. 19 Andrew Parker and Jonathan Tritter, Publisher, 2006. "Focus Group Method and Methodology: Current Practice and Recent Debate," International Journal of Research & Method in Education 29, no. 1.
Halaman 16 dari 100
hanya pada satuan pendidikan (wawancara dengan guru dan masyarakat). Metode ini sering
kali digunakan untuk evaluasi proyek yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan
dengan hasil yang sangat beragam. Kelebihan metode ini terletak pada kemampuannya untuk
mengumpulkan cerita/pengalaman dan apa yang bisa dipelajari dari pengalaman tersebut,
khususnya terkait berbagai intervensi dan proyek satuan pendidikan aman yang komprehensif.
Pendekatan partisipatif digunakan dalam penentuan isu yang ada. Pendekatan ini melengkapi
metode FGD dan wawancara. Dalam praktiknya, kami menanamkan metode ini selama FGD,
lokakarya, dan wawancara.
Berikut kami jabarkan rancangan dan metodologi penelitian yang digunakan dalam seluruh
rangkaian tahapan evaluasi:
a) Persiapan dan pertemuan awal: setelah kontrak disetujui, dan diskusi tentang tugas
sudah dilakukan. Dokumen awal, termasuk data yang tersedia disediakan oleh tim peneliti.
b) Tinjauan Pustaka: Tim peneliti mengkaji seluruh dokumen program dan proyek yang
diperlukan; merekonstruksi dan menganalisis logika intervensi atau teori program beserta
asumsinya. Data yang tersedia perlu dianalisis dan diinterpretasi. Sumber dokumen bisa
berasal dari berbagai lembaga pemerintahan dan non pemerintahan (lihat sumber data
sekunder sub bab di bawah).
c) Fase inisiasi: pada laporan awal, tim peneliti menggambarkan rancangan evaluasi dan
menjelaskan bagaimana pengumpulan dan analisis data.
d) Fase pengumpulan data secara virtual: data harus dikumpulkan, dianalisis dan
diinterpretasi. Dalam evaluasi ini meliputi data kuantitatif dan kualitatif.
e) Presentasi: Presentasi temuan kunci (feedback workshop) pada akhir kunjungan lapangan
(di Jakarta).
f) Draf laporan akhir: Penyerahan dan presentasi draf laporan akhir, termasuk
komentar/tanggapan dari mitra dan pihak pemberi kontrak.
g) Laporan akhir: Penyerahan laporan akhir.
h) Penulisan jurnal: Makalah ilmiah mengenai SPAB di Indonesia disusun dan dikirim ke
jurnal yang relevan dan kredibel
II.4. Pemantuan Kualitas dan Analisis Data
Data kuesioner dikumpulkan menggunakan U-Report dan bekerja sama dengan tim UNICEF.
Data yang terkumpul dianalisis menggunakan prosedur statistik dasar dengan menggunakan
Microsoft Excel karena ukuran sampel yang relatif rendah.
Data yang dikumpulkan dari FGD dan wawancara direkam (jika diperbolehkan oleh
responden) menggunakan perekam audio. Poin-poin kunci direkam oleh tim peneliti dan
kemudian disajikan di dalam laporan ini.
Masing-masing peneliti utama di tiap pilar memimpin proses pengumpulan data di setiap
pilarnya dan bertemu secara rutin untuk berbagi data, tantangan, dan panduan yang didapat dari
hasil pengumpulan data yang sudah terjadi. Setiap peneliti utama didampingi oleh asisten
peneliti untuk membantu merekam data, mendukung analisis, dan memastikan data tersimpan
dengan baik, untuk meningkatkan keamanan dan akurasi data yang dianalisis.
Halaman 17 dari 100
II.5. Etika Penelitian
Tindakan etika dalam penelitian ini sudah disetujui oleh Komisi Etik Universitas Atmajaya,
yang meliputi:
a. Memperoleh izin dari pemerintah setempat.
b. Persetujuan tertulis dari peserta dewasa dan orang tua atau wali peserta anak. Lembar
persetujuan mengikuti berdasarkan Prosedur UNICEF untuk Standar Etika dalam
Penelitian, Evaluasi, Pengumpulan dan Analisis Data.
c. Persetujuan tertulis didapatkan dari orang tua atau wali anak, persetujuan verbal juga
dibutuhkan dari anak sebelum pelaksanaan penelitian.
d. Lembar persetujuan juga menyatakan secara jelas bahwa penelitian akan direkam (jika
ada), dengan memberikan persetujuan tertulis untuk berpartisipasi dalam penelitian, izin
untuk merekam diberikan.
e. Anak-anak berpartisipasi di area yang familiar dan aman bagi mereka (contohnya di rumah
atau di sekolah jika sekolah telah dibuka). Waktu dan lokasi ditentukan berdasarkan hasil
konsultasi dengan komite sekolah dan/atau orang tua agar tidak mengganggu proses KBM.
f. Aktivitas diawasi oleh guru atau orang tua agar mereka bisa melihat secara keseluruhan
proses dan memberitahu fasilitator atau peneliti jika aktivitas yang dilakukan membuat
anak merasa tidak nyaman.
g. Pada awal sesi dengan anak, fasilitator menggunakan metode yang interaktif dan ramah
anak (permainan atau lagu. Pertanyaan-pertanyaan bagi anak (saat FGD, wawancara
keluarga, atau kuesioner) dibuat dengan kalimat yang sesuai dengan bahasa ramah anak
dan sesuai dengan umurnya.
h. Topik yang didiskusikan (bahaya bencana alam, seperti banjir, longsor dan kekeringan)
sesuai dengan pengalaman anak pada umumnya dan didesain untuk mendiskusikan bahaya
bencana dan menghindar terjadinya stres atau trauma.
i. Konselor sekolah (Guru BK) tersedia jika peserta anak menjadi resah. Jika sekolah tidak
memiliki konselor, layanan konseling setempat gratis dan mudah diakses disediakan, jika
diperlukan.
j. Informasi terkait program UNICEF diberikan. Sehingga anak-anak, orang tua, dan guru
dapat memperoleh lebih banyak informasi tentang bencana beserta penanganannya jika
mereka mau. Laporan tersedia setelah penelitian ini selesai.
k. Tinjauan lapangan diawasi oleh Avianto Amri yang sudah berpengalaman lebih dari 10
tahun sebagai fasilitator dalam lokakarya anak yang diadakan oleh LSM yang berfokus
pada anak.
l. Seluruh informasi yang didapatkan dari anak bersifat anonim. Hanya anggota tim ini yang
memiliki akses terhadap data penelitian dengan informasi yang dapat diidentifikasi.
m. Seluruh data (rekaman dan dokumen lainnya yang dihasilkan, seperti kuisioner) diubah
menjadi berkas komputer yang disimpan dalam hard drive laptop yang dilindungi kata
sandi dan juga dalam penyimpanan cloud yang dilindungi kata sandi.
n. Mengingat penelitian dilakukan di Indonesia, seluruh tahapan penelitian mengikuti
Undang-Undang Perlindungan Anak Republik Indonesia. Semua tindakan yang disebutkan
di atas - termasuk izin dari Pemerintah, izin dari sekolah, dan lembar persetujuan dari orang
tua dan wali sah anak - sudah cukup dan sesuai dengan hukum Indonesia.
Halaman 18 dari 100
II.6. Periode Penelitian
Penelitian ini dimulai dari awal Maret 2020 dan berakhir pada bulan Agustus 2020 (Gambar
2). Adapun jadwal pengambilan data yang terdiri dari:
• Rapat awal Dewan Pengarah: 11 Maret 2020
• Survei U-Report: 15 Juni – 10 Juli 2020
• Mini Workshop Pilar 1, 2, dan 3: 18, 19, dan 23 Juni 2020
• Lokakarya Daring di tingkat Provinsi: 2, 8, 9, 14, 17, 21, dan 29 Juli 2020
• Paparan Temuan Awal Penelitian pada Dewan Pengarah: 28 Juli 2020
• Lokakarya Nasional: 27 Agustus 2020
• Diseminasi Hasil Penelitian: 14 Oktober 2020
Tabel 1. Periode penelitian
No. Kegiatan Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt
1 Rapat awal Dewan
Pengarah
2 Situasi COVID-19
(PSBB)
3 Survei U-Report
4 Mini Workshop Pilar
1, 2, dan 3
5 Lokakarya Daring di
tingkat Provinsi
6 Paparan Temuan
Awal Penelitian
pada Dewan
Pengarah
7 Lokakarya Nasional
8 Diseminasi Hasil
Penelitian
II.7. Kekuatan dan Kelemahan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian pertama yang meneliti keseluruhan aspek dari kerangka kerja
Comprehensive School Safety, yang terdiri dari tiga komponen utama, yaitu terkait fasilitas
satuan pendidikan aman bencana, manajemen bencana di satuan pendidikan, dan pendidikan
pengurangan risiko bencana. Penelitian ini juga memiliki kekuatan tersendiri dimana diinisiasi
langsung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan berisi dewan pengarah dari
Kementerian/ Lembaga yang berpengaruh langsung pada program SPAB, serta didukung oleh
UNICEF dan melibatkan berbagai lembaga non-pemerintah dan akademisi, termasuk jejaring
Konsorsium Pendidikan Bencana (KPB) dan juga hingga ke tingkat satuan pendidikan
melibatkan para kepala sekolah dan guru-guru.
Penelitian ini juga melibatkan lebih dari 2,000 suara anak-anak melalui survei yang tersebar di
seluruh provinsi di Indonesia.
Kelemahan penelitian ini adalah situasi COVID-19 yang terjadi di masa penelitian yang
kemudian membatasi tim peneliti untuk melakukan studi lapangan secara langsung dan juga
mendapatkan informasi melalui tatap muka, terutama dari anak-anak. Penggunaan teknologi
Halaman 19 dari 100
informasi tentunya memiliki keterbatasan dari sisi waktu, teknik penggalian informasi, dan
akses.
Namun, kami berpendapat bahwa kelemahan yang terjadi masih jauh lebih kecil dibandingkan
kekuatan yang dicapai dari penelitian ini dan informasi yang dikumpulkan dapat menghasilkan
analisis yang tetap berkualitas, akurat, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Halaman 20 dari 100
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA KUANTITATIF
III.1. Gambaran Umum
Pengumpulan data kuantitatif menggunakan mekanisme kuesioner daring melalui sistem U-
Report yang dimiliki oleh UNICEF Indonesia. U-Report adalah program yang dirancang untuk
memberdayakan anak muda untuk berbicara mengenai isu-isu yang mereka pedulikan di
lingkungan mereka dan menciptakan perubahan positif. Melalui mekanisme U-Report, data
diperoleh dari database yang dimiliki oleh UNICEF Indonesia dan dikomunikasikan melalui
SMS, media sosial Facebook, dan Whatsapp.
Dengan menggunakan media U-Report, survei dilaksanakan pada periode 15 Juni hingga 10
Juli 2020 (26 hari) dan survei dihentikan saat tingkat responden sudah menurun secara
konsisten. Selama periode pengumpulan data, U-Report telah berhasil mengumpulkan 2,083
responden anak berasal dari 32 provinsi di Indonesia (kecuali provinsi Kep. Bangka Belitung
dan Maluku Utara). Jumlah responden ini menunjukkan tingkat kepercayaan sebesar 95% dan
margin eror sebesar 2.15%. Mayoritas responden (70%) berada di umur kisaran 13 hingga 17
tahun, dimana responden termuda di umur 11 tahun dan tertua di umur 18 tahun, dengan rata-
rata umur responden 15 tahun.
Kuesioner disusun berdasarkan studi-studi sebelumnya dan bertujuan untuk mengukur
persepsi, pengetahuan, dan pengalaman anak-anak berdasarkan kesiapsiagaan bencana.
Kuesioner dibatasi menggunakan 11 pertanyaan yang terdiri dari pertanyaan demografi (umur,
lokasi, kelas, dan sekolah) dan pertanyaan terkait kesiapsiagaan bencana dengan menggunakan
opsi jawaban berupa pilihan berganda (pertanyaan tertutup). Jumlah pertanyaan dibatasi
berdasarkan pengalaman pengambilan data terdahulu oleh U-Report dimana minat responden
menurun seiring dengan banyaknya jumlah pertanyaan.
Sebelum survei diluncurkan, kuesioner ini diuji terlebih dahulu kepada 5 responden anak-anak
untuk dikaji mengenai kemampuan mengisi kuesioner tersebut. Hasil pengujian menunjukkan
para responden bisa mengerjakan kuesioner dalam waktu sekitar 10 hingga 15 menit dan
mampu mengisinya dengan mudah dan lancar.
Berikut ini diuraikan hasil analisis dari pengumpulan data menggunakan U-Report.
III.2. Perspektif terhadap ancaman bencana
Gempa bumi, banjir, kerusuhan dan kekerasan, kebakaran bangunan, dan angin puting beliung
adalah lima jenis ancaman bencana yang diidentifikasi oleh sebagian besar responden, selain
wabah penyakit (Gambar 3).
Dalam pertanyaan ini, responden dapat memilih tiga jenis ancaman yang paling mungkin
terjadi. Berhubung periode pengambilan data dilakukan pada bulan Juni-Juli 2020, sangat
wajar banyak responden anak yang memilih wabah penyakit, dikarenakan kasus COVID-19
Halaman 21 dari 100
pertama kali dideteksi di Indonesia di bulan Maret 2020 dan di bulan April – Mei 2020,
sebagian besar anak-anak sudah melakukan belajar di rumah dan sekolah tidak beroperasi 20,21.
Hasil survei ini mencerminkan karakteristik bencana yang terjadi di Indonesia. Menurut Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), gempa bumi di Indonesia dalam lima tahun
terakhir menunjukkan peningkatan jumlah dimana di tahun 2018 terekam 11,920 kali gempa
bumi dan di tahun 2019 juga melebihi 10,300 gempa bumi. Hal ini merupakan perubahan yang
signifikan dimana sepanjang tahun 2008 hingga 2017, gempa bumi terjadi sekitar 5,000 – 6,000
kali tiap tahunnya22. Di sisi lain, gempa bumi juga merupakan ancaman bencana yang paling
mematikan dan paling merusak di Indonesia, sesudah tsunami23. Jenis ancaman berikutnya
yang mendapatkan jumlah responden tertinggi adalah banjir, dimana banjir umumnya terjadi
di berbagai wilayah di Indonesia dan merupakan jenis ancaman paling sering terjadi di
Indonesia.
Gambar 3. Hasil survei terkait "Jenis ancaman bencana apa yang mungkin terjadi di sekolah kamu?"
Beberapa hal yang menarik dalam data ini adalah anak-anak tidak hanya melihat jenis ancaman
alam saja yang dapat terjadi di lingkungan sekitar mereka. Kerusuhan dan kekerasan serta
kebakaran bangunan menjadi jenis ancaman berikutnya yang paling banyak dipilih. Di sisi lain,
kebakaran bangunan -mengutip dari kasus kebakaran di perkotaan seperti di Jakarta- sebagian
besar terjadi akibat kelalaian manusia yaitu karena arus pendek listrik, kebocoran gas, lilin,
kompor, pembakaran sampah, dimana hal-hal ini merupakan sesuatu yang bisa dicegah dan
dihindari24.
20 Kompas, 2020. "Fakta Lengkap Kasus Pertama Virus Corona Di Indonesia," https://nasional.kompas.com/read/2020/03/03/06314981/fakta-lengkap-kasus-pertama-virus-corona-di-indonesia?page=all. 21 Liputan 6, 2020. "Dukung Sekolah Libur Akibat Covid-19, Mendikbud Luncurkan Portal Rumah Belajar," https://www.liputan6.com/news/read/4202236/dukung-sekolah-libur-akibat-covid-19-mendikbud-luncurkan-portal-rumah-belajar. 22 CNN Indonesia, 2019. "Gempa Di Indonesia Meningkat Dalam 5 Tahun Terakhir," https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20191201065329-199-453026/gempa-di-indonesia-meningkat-dalam-5-tahun-terakhir. 23 Kemendikbud, "Pendidikan Tangguh Bencana: Mewujudkan Satuan Pendidikan Aman Bencana Di Indonesia." 24 Beritatagar.id, 2017. "Fakta Musibah Kebakaran Di Dki Jakarta," https://beritagar.id/artikel/infografik/musibah-kebakaran-di-dki-jakarta-dalam-angka.
Halaman 22 dari 100
Lalu, ancaman angin puting beliung telah semakin meningkat seiring dengan waktu dimana di
tahun 2019, kejadian puting beliung menjadi bencana yang paling sering terjadi, berdasarkan
data dari BMKG dan BNPB25. Di sisi lain, jumlah kejadian angin puting beliung meningkat
drastis disebabkan karena adanya fenomena perubahan iklim, mobilisasi penduduk, dan juga
semakin padatnya penduduk yang berada di lokasi yang rawan bencana.
Hal ini menunjukkan dalam program SPAB penting untuk merekam seluruh jenis ancaman
bencana yang bisa meliputi ancaman alam, non-alam, atau jenis ancaman lainnya, terutama
dalam proses kajian risiko yang juga turut mengikutsertakan suara dan perspektif anak-anak.
III.3. Perspektif terhadap kesiapsiagaan bencana
Responden anak-anak juga dikaji lebih lanjut terkait pengalaman mereka terhadap kejadian
bencana di sekitarnya dan juga perspektif mereka terhadap kesiapsiagaan bencana (Gambar 4).
Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar anak-anak (58%) pernah mengalami kejadian
bencana dan mayoritas anak-anak (68%) berpendapat mengetahui atau sangat mengetahui cara
agar aman dari bahaya bencana.
Di sisi lain, sebagian besar anak-anak (68%) juga berpendapat sekolah mereka cukup siap atau
sangat siap dalam menghadapi bencana dan juga 56% anak-anak berpendapat mereka akan
selamat saat berada di kelas bila terjadi bencana.
Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak memiliki kepercayaan diri yang tinggi terhadap dirinya
dan lingkungan sekitarnya dalam menghadapi ancaman bencana. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena sebagian besar mereka pernah mengalami kejadian bencana (sehingga
mereka belajar dari pengalaman terdahulu).
Gambar 4. Hasil survei terkait kesiapsiagaan bencana
25 CNN Indonesia, 2019. "Bencana Puting Beliung Paling Sering Terjadi Di Ri Pada 2019," https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20191227180652-199-460519/bencana-puting-beliung-paling-sering-terjadi-di-ri-pada-2019.
Halaman 23 dari 100
Hal ini menjadi temuan yang cukup mengkhawatirkan bila dipadukan dengan pertanyaan
berikutnya adalah hanya sebagian kecil saja anak-anak mengetahui apa yang harus dilakukan
saat di sekolah bila terjadi bencana, dimana hampir 70% anak tidak mengetahui prosedur
sekolah bila terjadi bencana. Hal ini bisa berarti sekolahnya tidak memiliki prosedur atau bila
sekolahnya memiliki prosedur, belum disosialisasikan dengan optimal.
Gambar 5. Hasil survei terkait pengetahuan anak-anak terkait prosedur penanggulangan bencana di
sekolahnya
Temuan ini bukanlah sesuatu yang mengejutkan karena studi-studi sebelumnya menunjukkan
bahwa banyak anak-anak memiliki perspektif semu terkait keamanan dirinya dalam
menghadapi ancaman bencana, sedangkan setelah diselidiki lebih lanjut, pengetahuan mereka
masih terbatas.
III.4. Ketertarikan terhadap isu penanggulangan bencana
Hasil survei juga menunjukkan bahwa 7 dari 10 anak-anak pernah berusaha mencari informasi/
pengetahuan tentang kesiapsiagaan bencana (Gambar 6). Lalu, dari metode yang mereka
gunakan untuk mencari informasi, media sosial (seperti Instagram, Facebook, dan Twitter),
website (misalnya google, detik.com, kompas.com), televisi, dan aplikasi pesan singkat (seperti
Whatsapp, Telegram, Line, dll) merupakan cara yang paling populer digunakan (Gambar 7).
Gambar 6. Hasil survei terkait upaya anak-anak untuk mengetahui mengenai kesiapsiagaan bencana
Halaman 24 dari 100
Gambar 7. Cara yang paling umum digunakan anak-anak untuk mengetahui tentang kesiapsiagaan
bencana
Setelah penggunaan media informasi teknologi, diikuti dengan belajar melalui guru, orang tua,
dan teman. Hal ini merupakan temuan penting dimana semakin banyaknya anak-anak yang
menggali informasi melalui media Informasi Teknologi (IT), dibandingkan melalui interaksi
langsung dengan orang-orang di sekitarnya, yaitu guru, orang tua, dan teman-temannya. Di
satu sisi, temuan ini bisa menjadi sebuah indikasi terhadap pihak sekolah dan orang tua dimana
masih minim informasi terkait kesiapsiagaan bencana yang disampaikan melalui sekolah dan
di keluarga, dan di sisi lain menunjukkan potensi penggunaan media IT sebagai media
diseminasi informasi terkait kesiapsiagaan bencana untuk anak-anak, baik itu melalui media
sosial, website, TV, dan juga aplikasi pesan singkat.
Terkait topik yang ingin diketahui oleh anak-anak, peringkat tertinggi adalah informasi
mengenai cara-cara penyelamatan diri saat terjadi bencana. Hal ini menunjukkan fokus terkait
pendidikan pengurangan risiko bencana yang terdapat di dalam program SPAB harus meliput
setidaknya topik penyelamatan diri, berdasarkan aspirasi dari anak-anak.
Gambar 8. Hasil survei terkait topik apa yang diminati terkait kebencanaan
Anak-anak juga menunjukkan minat yang tinggi terhadap keterlibatan dalam membangun
ketangguhan sekolah, dimana hampir semuanya (92%) anak-anak menyatakan bahwa mereka
perlu terlibat, baik dengan keterlibatan yang minim hingga keterlibatan penuh, terkait upaya-
upaya membangun ketangguhan bencana.
Halaman 25 dari 100
Gambar 9. Hasil survei terkait ketertarikan anak-anak untuk terlibat dalam SPAB
III.5. Ringkasan hasil survei
Hasil survei menunjukkan bahwa anak-anak memiliki kesadaran yang tinggi terkait ancaman
bencana di sekitarnya. Selain wabah penyakit, ancaman bencana seperti gempa bumi, banjir,
kerusuhan dan kekerasan, kebakaran, serta angin puting beliung merupakan ancaman bencana
yang paling mungkin terjadi di sekolah mereka. Sehingga, fokus utama pembelajaran SPAB
perlu juga mempertimbangkan berbagai jenis ancaman bencana ini.
Banyak anak-anak memiliki perspektif semu dimana mereka merasa mampu menyelamatkan
dirinya saat terjadi bencana, padahal setelah diselidiki lebih lanjut, pengetahuan mereka terkait
kesiapsiagaan bencana masih terbatas. Namun disisi lain, mereka sangat tertarik terhadap isu
kesiapsiagaan bencana, terutama terkait cara-cara penyelamatan diri dan anak-anak juga
merasa perlu terlibat dalam program SPAB di sekolahnya.
Berdasarkan survei, banyak anak-anak menggunakan media IT untuk menggali informasi
terkait kesiapsiagaan bencana, sehingga media ini menjadi peluang untuk dioptimasi untuk
mendukung edukasi kesiapsiagaan bencana. Di sisi lain, survei juga menunjukkan masih
rendahnya peran orang tua dan guru dalam peningkatan upaya pendidikan. Oleh karena itu,
upaya edukasi kesiapsiagaan bencana di sekolah dan di keluarga perlu dioptimalkan untuk
mewujudkan budaya tangguh bencana. Hal ini disebabkan waktu anak-anak sebagian besar
dihabiskan di dua institusi ini, di sekolah dan di rumah. Sehingga peran pendidik dan orang tua
menjadi krusial dalam memastikan anak-anak bisa terlibat dalam kegiatan pengurangan risiko
bencana.
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS TIAP PILAR
IV.1. Gambaran Umum
Pengumpulan data kualitatif menggunakan mekanisme diskusi kelompok terpimpin dan
wawancara dengan para narasumber kunci. Seluruh proses menggunakan metode jarak jauh,
umumnya menggunakan fasilitas telekonferensi untuk memaksimalkan keterlibatan para
peserta.
Proses diskusi dilakukan dengan menggunakan pertanyaan panduan semi terstruktur dimana
para peneliti memiliki kesempatan untuk mengkaji lebih lanjut terhadap isu-isu menarik yang
muncul saat proses diskusi berlangsung. Para peserta yang terlibat dalam proses ini antara lain
para guru, kepala sekolah, dinas terkait, serta LSM yang bekerja di bidang SPAB yang bekerja
di 4 wilayah penelitian, para pemangku kepentingan di tingkat nasional (termasuk perwakilan
Halaman 26 dari 100
setiap anggota Seknas SPAB: Kemendikbud, Kemenag, Kemen PUPR, dan BNPB), LSM
tingkat nasional, akademisi, dan juga pihak donor internasional.
Hasil penelitian ini dibagi menjadi tiga komponen utama mengikuti pilar 1, 2, dan 3 yang
terdapat pada kerangka kerja Comprehensive School Safety yang dikembangkan oleh dan
banyak digunakan oleh para pemangku kebijakan di tingkat global dan juga di Indonesia.
Penggunaan analisis per pilar memudahkan dalam memilah setiap aspek intervensi dalam
program SPAB. Namun perlu diingat, bahwa terkadang terdapat satu intervensi yang dapat
berpengaruh pada dua pilar atau lebih. Misalnya, advokasi kebijakan terkait Permendikbud no.
33 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program SPAB dan juga pengembangan sistem
pemantauan dan evaluasi program SPAB adalah beberapa contoh intervensi yang akan
berpengaruh pada keseluruhan pilar di CSS. Oleh karena itu, tim peneliti berusaha memilah
sebaik mungkin intervensi-intervensi yang ada dan mengelompokkannya di tiap pilar. Apabila
intervensi tersebut sudah dibahas di salah satu pilar, maka tim peneliti tidak akan mengulang
lagi pembahasannya di pilar lainnya untuk mencegah terjadinya duplikasi.
IV.2. Pilar 1. Fasilitas Satuan Pendidikan Aman Bencana
Lingkup analisis Pilar 1 dalam evaluasi ini termasuk penempatan lokasi, desain dan
pembangunan satuan pendidikan, kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana,
perawatan serta pengawasan secara berkala.
Pada pilar I, terdapat berbagai upaya dari pemerintah dan lembaga non-pemerintah untuk
mendukung penguatan sarana prasarana aman bencana di satuan pendidikan, antara lain:
1. Pemutakhiran Standar Bangunan Tahan Gempa (SNI 1726:2002) oleh Kementerian PUPR
sebanyak dua kali di tahun 2012 dan 2019. Dalam pemutakhiran SNI ini, satuan pendidikan
dimasukkan dalam Kategori Risiko IV, yang artinya bangunan sekolah harus didesain tahan
gempa dengan kekuatan 1,5x lebih kuat dibandingkan dengan kekuatan bangunan umum.
2. Kemendikbud khususnya Direktorat Sekolah Dasar selama 12 tahun terakhir telah
memanfaatkan dana APBN reguler untuk melakukan rehabilitasi ruang kelas, gedung
sekolah dan juga untuk pengadaan sarana prasarana peralatan untuk pendidikan dan
teknologi informasi dan komunikasi di lingkungan satuan pendidikan.
3. Terdapat mekanisme yang lebih jelas untuk rehabilitasi dan rekonstruksi satuan
pendidikan. Pembangunan sekolah serta rehabilitasi dan rekonstruksi satuan pendidikan
saat ini dilakukan oleh Direktorat Prasarana Strategis, Ditjen Cipta Karya, Kementerian
PUPR. Wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) menjadi lokasi prioritas renovasi
dan rehabilitasi untuk sekolah, madrasah, dan perguruan tinggi oleh Kementerian PUPR
dan memastikan pengendalian mutu.
4. Pemetaan sekolah yang berada di lokasi rawan bencana berdasarkan berbagai jenis
ancaman bencana menggunakan integrasi antara data dari Kemendikbud (DAPODIK) dan
dari BNPB melalui InaRISK sehingga perencanaan untuk program SPAB menjadi lebih
efektif dengan mengidentifikasi prioritas hingga di tingkat satuan pendidikan (Gambar 10).
5. Penyusunan modul pilar I sebagai bagian dari modul SPAB yang disusun oleh
Kemendikbud dan UNICEF.
6. Sekitar 12 pemerintah daerah telah mengeluarkan regulasi dan kebijakan yang mendukung
program SPAB. Contohnya, pemerintah provinsi NTT mengeluarkan kebijakan (Surat
Edaran Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT terkait SPAB) dimana sarana
prasarana keamanan di satuan pendidikan menjadi salah satu faktor penentu dalam
Halaman 27 dari 100
akreditasi sekolah, yang kemudian mendorong penyediaan perlengkapan kedaruratan di
setiap satuan pendidikan.
7. Penyediaan sarana prasarana darurat di masa pasca bencana yang lebih sistematis melalui
distribusi tenda sekolah serta pengiriman perlengkapan belajar dan rekreasi di wilayah
pasca bencana. Saat ini, pemerintah juga mengalokasikan dana untuk pengadaan tenda
sekolah untuk masa darurat untuk didistribusikan saat diperlukan. Sebagai contoh,
Direktorat Sekolah Dasar (SD) Kemendikbud menyalurkan bantuan untuk sekolah-sekolah
yang terdampak gempa bumi dan tsunami Sulawesi Tengah (2018), dalam bentuk
mendistribusikan tenda sekolah darurat untuk 211 SD, rehabilitasi pembangunan fasilitas
pendidikan yang roboh sebanyak 50 ruangan di 218 SD, dan pengadaan peralatan belajar
di 904 SD.
8. Upaya pemulihan pasca bencana di sektor pendidikan oleh Kementerian PUPR, misalnya
pasca gempa bumi di Pidie Jaya dan Bireuen (2017), serta gempa bumi Lombok dan gempa
tsunami di Sulawesi Tengah (2018). Kemitraan antara Kemendikbud dan lembaga non-
pemerintah juga memegang peranan penting dalam pengadaan sekolah sementara yang
umumnya bersifat semi-permanen dan berfungsi saat menunggu proses rehabilitasi dan
rekonstruksi sekolah selesai dilakukan.
9. Pemerintah responsif dalam penanganan COVID-19 di sektor pendidikan dimana salah
satunya adalah pengadaan dan/ atau perbaikan fasilitas CTPS di sekolah-sekolah.
10. Alokasi anggaran rutin dialokasikan ke lokasi terdampak bencana dengan mengurangi
anggaran perencanaan di daerah lain. Dana Alokasi Khusus (DAK) digunakan juga untuk
rehabilitasi satuan Pendidikan, pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana
peralatan Pendidikan dan TIK.
Gambar 10. InaRISK BNPB dengan integrasi data sekolah di lokasi rawan bencana
Hingga tahun 1990-an, pembangunan sekolah dilaksanakan oleh Kementerian PUPR.
Kemudian sejak 1990-an mulai dialihkan pelaksanaannya oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Sejak tahun 2019, Kementerian PUPR mendapatkan mandat dari Presiden untuk
menangani sarana prasarana satuan pendidikan melalui Perpres No. 43 Tahun 2019 mengenai
Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pembangunan, Rehabilitasi, atau Renovasi Pasar Rakyat,
Prasarana Perguruan Tinggi, Perguruan Tinggi Keagamaan Islam, dan Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah. Menyusul Perpres ini, dilakukan pembentukan Pusat Pengembangan
Halaman 28 dari 100
Sarana Prasarana Pendidikan Olahraga dan Pasar (PPSPPOP) pada tahun 2019 dan tahun 2020
digantikan oleh Direktorat Prasarana Strategis di Dirjen Cipta Karya PUPR.
Konsep penanganan Pendidikan Aman Bencana yang diterapkan Kementerian PUPR adalah
pemenuhan terhadap persyaratan teknis keandalan bangunan Gedung (keselamatan, kesehatan,
kenyamanan dan kemudahan), dimana berupaya untuk memfasilitasi ruang belajar yang aman
dan nyaman, fasilitas kegiatan belajar mengajar dan pengembangan karakter, infrastruktur
dasar, sarana aksesibilitas. Contohnya seperti penerapan dan penyediaan: bangunan sekolah
dengan konstruksi tahan gempa, guiding block pada selasar, lapangan upacara dan olahraga
sekaligus untuk tempat evakuasi, ramp disabilitas dan wastafel, pintu ruangan mengarah ke
luar, jalur pejalan kaki, toilet siswa untuk laki-laki dan perempuan.
Di sisi lain, bangunan satuan pendidikan juga perlu mempertimbangkan fungsi untuk menjadi
tempat aman untuk melindungi para warga sekitar yang terdampak dari bencana. Seperti
misalnya di Jakarta, sekolah-sekolah yang sudah direnovasi memiliki fungsi lain untuk menjadi
tempat pengungsian bila terjadi banjir untuk warga sekitar sekolah. Hal ini tentunya perlu
didukung dengan upaya manajemen pendidikan di masa darurat untuk memastikan proses
belajar mengajar tidak terganggu di masa tanggap darurat hingga proses pemulihan.
“Fungsi bangunan satuan pendidikan yang utama adalah untuk mewadahi
kegiatan belajar mengajar generasi masa depan, sekaligus mampu
dijadikan tempat evakuasi apabila terjadi bencana“ ujar salah satu
narasumber di FGD
IV.2.1. Relevansi
Tiga belas bencana yang terjadi di Indonesia telah berdampak cukup serius pada satuan
pendidikan di Indonesia dari tahun 2010 hingga 201926. Selama 10 tahun terakhir tersebut,
berbagai bencana tersebut telah menyebabkan lebih dari 62.687 satuan pendidikan terdampak
dengan lebih dari 12 juta siswa terdampak27. Angka ini diperkirakan jauh lebih besar karena
belum memasukkan seluruh bencana yang berskala kecil dan menengah.
Hal ini memperlihatkan bahwa upaya pemerintah bersama lembaga non-pemerintah dalam
penguatan pilar I, yaitu memastikan fasilitas satuan pendidikan aman bencana, sudah
sepantasnya dilakukan dan relevan dengan kebutuhan yang ada.
Hasil wawancara dan FGD menunjukkan bahwa upaya-upaya penguatan sarana prasarana
terkait SPAB banyak dibantu oleh lembaga donor internasional seperti Bank Dunia dan juga
dana-dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan. Masih sedikit lembaga non-
pemerintah terutama LSM yang memiliki program yang terkait pada penguatan pilar 1.
Beberapa LSM yang bergerak di program SPAB sudah ada yang mulai merintis kegiatan-
kegiatan terkait pilar 1, antara lain dengan melakukan penguatan bangunan sekolah
(retrofitting), membangun dinding penahan longsor, membuat biopori dan sumur resapan
untuk mencegah banjir, dan juga melakukan inspeksi teknis untuk mengkaji keamanan
bangunan sekolah.
Di sisi lain, kualitas bangunan dipengaruhi oleh lemahnya sosialisasi terkait SNI bangunan
tahan gempa (SNI 1726) dan juga masih kurangnya pengawasan dan inspeksi penerapan
26 Kemendikbud, "Pendidikan Tangguh Bencana: Mewujudkan Satuan Pendidikan Aman Bencana Di Indonesia." 27 Ibid.
Halaman 29 dari 100
selama proses konstruksi yang menjadi dua faktor utama yang kerap muncul. Standar
keamanan untuk bangunan sekolah baru meliputi jenis ancaman gempa dan kebakaran saja.
Sedangkan jenis ancaman lainnya seperti banjir, tanah longsor, gunung meletus, tsunami, dan
angin puting beliung belum disusun. Hal ini dapat dilakukan dengan berkolaborasi bersama
pihak akademisi dan asosiasi profesi untuk menyusun berbagai standar untuk berbagai jenis
ancaman.
“Inti dari pembangunan Bangunan Gedung untuk mendukung Sarana
Prasarana pendidikan yang Aman dari Bencana adalah terpenuhinya
persyaratan teknis dalam pembangunannya, bangunan gedung harus
Andal. Keandalan yang dimaksud antara lain: Keamanan, Kemudahan,
Kenyamanan, Kesehatan” ujar perwakilan Kementerian PUPR dalam
wawancara
Di sisi lain, pemerintah juga harus aktif menjalin kemitraan dengan pihak-pihak lainnya. Pihak
swasta perlu dilibatkan minimal dari dua aspek. Aspek pertama adalah mengajak pihak-pihak
yang berpengaruh dalam proses pembangunan dan pemeliharaan bangunan, seperti misalnya
para kontraktor, asosiasi profesi, dan juga tim yang berfungsi melakukan inspeksi dan
pengawasan terhadap keamanan bangunan, seperti misalnya Tim Ahli Bangunan Gedung
(TABG). Pemerintah daerah wajib membentuk TABG yang membantu penyelenggaraan
bangunan gedung tertentu sesuai dengan Permen PUPR No. 11 Tahun 2018 Tentang Tim Ahli
Bangunan Gedung, Pengkaji Teknis, dan Penilik Bangunan.
Aspek lainnya adalah mengajak pihak swasta untuk berkolaborasi dalam memobilisasi sumber
daya, termasuk dukungan pendanaan, untuk mendukung perwujudan fasilitas satuan
pendidikan yang aman bencana. Hal ini disebabkan besarnya jumlah satuan pendidikan yang
berada di wilayah rawan bencana. Pemetaan InaRISK dan DAPODIK yang bersumber dari
Kemendikbud dan BNPB (2019) menunjukkan setidaknya 52.902 satuan pendidikan berada di
wilayah rawan gempa bumi, 2.417 satuan pendidikan berada di wilayah rawan tsunami, 54.080
satuan pendidikan berada di wilayah rawan banjir, 15.597 satuan pendidikan berada di wilayah
rawan longsor, dan 1.685 satuan pendidikan berada di wilayah rawan letusan gunung api.
BNPB bersama berbagai instansi terkait telah mengeluarkan Peta Risiko Bencana, antara lain
untuk ancaman gempa bumi, tsunami, gunung api, kerentanan gerakan tanah (yang dapat
memicu longsor), serta juga peta risiko bencana lainnya seperti untuk risiko banjir. Sayangnya
belum ada upaya sosialisasi yang terstruktur, sistematis, dan massif khususnya untuk warga
satuan pendidikan terkait peta-peta ini. Sedangkan peta-peta ini seharusnya bisa menjadi dasar
penentuan langkah untuk setiap daerah khususnya yang memiliki risiko bencana dalam
kaitannya membangun kesadaran dan literasi bencana, menjadi informasi awal untuk
meningkatkan kewaspadaan, membangun strategi untuk penempatan lokasi sekolah aman,
rekayasa sarana prasarana yang lebih aman serta mengetahui bagaimana tindakan
penyelamatannya.
Berdasarkan hasil studi pustaka dan FGD, lokasi satuan pendidikan yang aman bencana
sebaiknya menghindari:
a) Zona Kawasan Rawan Bencana tinggi di wilayah gunung api
b) Zona Kawasan Rawan Bencana tinggi di wilayah rawan gerakan tanah
Halaman 30 dari 100
c) Zona sempadan jalur patahan aktif dengan perimeter 10-15 meter di kedua sisi jalur
patahan aktif
d) Zona sempadan pantai Rawan Tsunami minimal 100-200 meter dari titik pasang
tertinggi, atau dengan waktu tunggu yang pendek
e) Wilayah berpotensi banjir bandang
f) Zona likuefaksi masif pasca gempa bumi
Namun, pemilihan lokasi sekolah berada pada ranah pemerintah daerah (dari provinsi,
kab/kota, hingga ke tingkat kelurahan/ desa). Hal ini menjadi temuan menarik mengingat di
tingkat pusat, Seknas SPAB belum mengikutsertakan Kemendagri dan juga di tingkat daerah.
Perlu diingat pula bahwa upaya relokasi sekolah merupakan suatu hal yang kompleks dan
melibatkan sebuah ekosistem yang terdiri dari berbagai kumpulan komunitas dan dipengaruhi
berbagai faktor sosial, ekonomi, budaya, dan politis.
Pemerintah daerah juga memiliki peran penting dalam hal perwujudan program SPAB,
termasuk juga dalam mengalokasikan dana untuk rehabilitasi dan rekonstruksi sekolah.
Sebagai contoh, pemerintah provinsi DKI Jakarta telah mengalokasikan dana sekitar 2 triliun
rupiah untuk merenovasi 147 satuan pendidikan di tahun 2019. Hal ini bisa direplikasi oleh
pemerintah daerah lainnya untuk mendukung sarana prasarana yang aman di satuan
pendidikan. Hal ini menjadi semakin penting mengingat Kementerian PUPR hanya diberikan
mandat untuk melakukan renovasi di wilayah 3T saja berdasarkan Peraturan Presiden yang
berlaku. Kebijakan ini juga minim diketahui pemerintah daerah yang berimbas pada
ketergantungan yang tidak seharusnya kepada Pemerintah Pusat.
IV.2.2. Efektivitas dan Efisiensi
Program SPAB belum masuk secara merata dan belum menjadi program prioritas, khususnya
untuk implementasi pilar I. Peran Sekretariat Nasional SPAB di tingkat nasional dan juga
Sekretariat Bersama SPAB di daerah belum optimal termasuk tentang kolaborasi dengan pihak
terkait untuk mendukung terpenuhinya sarana prasarana SPAB. Hal ini tercermin dari hanya 2
dari 24 capaian (8%) yang masuk dalam pilar I dalam Peta Jalan Program SPAB di tahun 2015-
2019, yaitu penyusunan modul Pilar I dan pengadaan peralatan darurat.
Selain itu, program fasilitas satuan pendidikan aman bencana ini juga ternyata belum menjadi
program prioritas baik di kalangan pemerintah daerah maupun di satuan pendidikan yang
menjadi penyebab belum optimalnya implementasi program SPAB termasuk pemenuhan
terkait dengan pilar 1 SPAB.
Kementerian PUPR semenjak tahun 2019 telah melakukan identifikasi untuk penanganan
sekolah yang perlu diperbaiki. Dari ±10.000 satuan pendidikan yang terdata memiliki
kerusakan di Data Pokok Pendidikan (DAPODIK), telah diverifikasi terdapat ±3.600 sekolah
yang harus diperbaiki, dan sampai tahun 2019 baru selesai 1,467 sekolah. Data dari
Kementerian Agama menunjukkan bahwa terdapat ±1000 data madrasah yang tergolong
kategori rusak ringan hingga berat, dan setelah diverifikasi terdapat 419 madrasah yang dapat
ditindaklanjuti, dan sebanyak 144 unit sudah selesai ditangani (Gambar 11).
Hal ini menunjukkan bahwa selama laju intervensi yang dilakukan oleh Kementerian PUPR
berada di sekitar 1,500 – 1,600 satuan pendidikan per tahunnya. Laju ini perlu ditingkatkan
lagi mengingat bahwa lebih dari 50,000 satuan pendidikan berada di lokasi rawan gempa dan
juga lebih dari 50,000 satuan pendidikan berada di lokasi rawan banjir. Dengan laju yang ada,
Halaman 31 dari 100
Indonesia akan membutuhkan sekitar lebih dari 33 tahun untuk memperbaiki 50,000 satuan
pendidikan.
Di sisi lain, hasil wawancara dengan perwakilan Kementerian PUPR juga menyebutkan bahwa
data kerusakan satuan pendidikan yang terekam di Kemendikbud dan Kemenag belum
menggunakan standar penilaian yang baku, sehingga setelah dilakukan verifikasi oleh petugas
dari PUPR, banyak data yang tidak sesuai. Tidak adanya standar penilaian yang baku akan
memperpanjang proses dan menyebabkan inefisiensi.
Gambar 11. Penanganan Sekolah dan Madrasah oleh Kementerian PUPR pada tahun 2019
Selain itu, masih banyak satuan pendidikan yang belum mengetahui dan belum memiliki
Sertifikat Laik Fungsi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Sertifikat Laik Fungsi (SLF)
adalah sertifikat yang diterbitkan oleh pemerintah daerah terhadap bangunan gedung yang telah
selesai dibangun sesuai Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dan telah memenuhi persyaratan
kelaikan teknis sesuai fungsi bangunan berdasar hasil pemeriksaan dari instansi terkait. SLF
diterbitkan dengan masa berlaku 5 tahun untuk bangunan umum, termasuk untuk satuan
pendidikan.
Pemenuhan kebutuhan akan fasilitas aman bencana tidak lepas dari perlunya pengawasan yang
ketat selama proses konstruksi, mengingat pengerjaan bangunan satuan pendidikan secara
teknis yang menentukan kualitas bangunan meskipun perencanaan sudah disusun dengan baik.
Halaman 32 dari 100
“Sudah ada SNI, Peraturan Menteri, Pedoman terkait pilar 1 namun
berdasarkan hasil asesmen lapangan, hampir semua sekolah tidak
memenuhi persyaratan teknis” kata perwakilan Kementerian PUPR dalam
wawancara
Pada beberapa pelaksanaan, pembangunan bangunan satuan pendidikan juga melibatkan padat
karya, yang masih harus diawasi terutama tingkat pemahaman dan kemampuan yang dimiliki
oleh para tim bangunan yang masih awam dengan konsep pembangunan bangunan satuan
pendidikan yang tahan gempa bumi maupun sesuai konsep bangunan pendidikan yang aman
bencana. Rendahnya pemahaman tentang konstruksi bangunan yang tahan bencana menjadi
tantangan SDM, terutama di daerah dengan kapasitas tenaga ahli yang terbatas. Selain itu,
penerapan desain dan spesifikasi bangunan satuan pendidikan masih berbeda-beda di setiap
daerahnya, sehingga sulit untuk memastikan kualitas bangunan yang telah dibangun.
Kelengkapan sarana prasarana juga banyak yang belum memenuhi dan belum ramah anak.
Sarana dan prasarana untuk anak disabilitas masih kurang diperhatikan. Pemenuhan kebutuhan
fasilitas sarana prasarana yang aman di satuan pendidikan salah satunya juga harus memenuhi
aspek ramah anak. Sampai saat ini, masih terdapat sekolah yang belum menerapkan dengan
baik, misalnya, masih ditemukan fasilitas meja di kelas untuk para siswa memiliki sudut yang
lancip yang bisa berbahaya dan atau penempatan rambu evakuasi yang tidak terlihat jelas oleh
anak-anak.
IV.2.3. Dampak
Kejadian bencana seperti gempa Lombok dan gempa-tsunami-likuifaksi masif di Sulawesi
Tengah di tahun 2018 telah menunjukkan bahwa ancaman bencana memiliki dampak yang
signifikan di sektor pendidikan. Dari 492 fasilitas umum yang terdampak di Lombok, 373
(87%) diantaranya adalah fasilitas pendidikan. Secara akumulatif, bencana di Lombok dan
Sulawesi Tengah telah merusak lebih dari 2,500 satuan pendidikan dan berdampak pada lebih
dari 140,000 siswa.
Selain itu, berdasarkan data Kemendikbud, terdapat lebih dari 62,000 satuan pendidikan yang
terkena dampak akibat berbagai ancaman bencana, baik karena kebakaran hutan dan lahan,
gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, dan angin puting beliung28. Namun,
jumlah ini diperkirakan jauh lebih besar karena umumnya data kerusakan sekolah akibat
bencana yang dikumpulkan oleh Kemendikbud masih sebatas kerusakan akibat bencana
berskala menengah hingga besar. Sedangkan, jumlah kejadian bencana berskala kecil
merupakan kejadian yang lebih sering terjadi dan kejadian ini juga bisa memberikan dampak
yang signifikan terhadap fasilitas sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia.
IV.2.4. Keberlanjutan
Pasca gempa Sumatera Barat pada tahun 2009, sekolah dimasukkan ke dalam Kategori Risiko
IV dimana bangunan sekolah harus didesain tahan gempa dengan faktor keamanan 1.5 kali
lebih kuat dimana ini adalah tingkat keamanan paling tinggi untuk bangunan. Selama 12 tahun
terakhir tersebut, regulasi dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah telah mendukung
untuk perwujudan fasilitas satuan pendidikan aman bencana. Namun hal ini belum bersifat
mengikat terutama terkait wewenang dan tupoksi lembaga yang terlibat, termasuk pula terdapat
28 Ibid.
Halaman 33 dari 100
ketidak jelasan mengenai peran setiap lembaga dalam implementasi program SPAB khususnya
dalam pilar 1.
Saat ini, Kementerian PUPR telah menetapkan petunjuk teknis standardisasi desain dan
penilaian kerusakan sekolah dan madrasah melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Cipta Karya
No. 47/SE/DC/2020 tanggal 27 Oktober 2020. Petunjuk Teknis Standardisasi Desain Sekolah
dan Madrasah yang diharapkan dapat menjaga kualitas dokumen rencana teknis dalam
pembangunan dan rehabilitasi/renovasi sekolah dan madrasah, selain itu juga Petunjuk Teknis
Penilaian Kerusakan Sekolah dan Madrasah dapat digunakan sebagai instrumen untuk
melakukan identifikasi tingkat kerusakan bangunan sebagai dasar untuk menentukan
penanganan yang dibutuhkan. Dokumen ini nantinya yang akan menjadi panduan petunjuk
teknis dalam perencanaan pembangunan bangun satuan pendidikan yang aman bencana sesuai
dengan tujuan pilar I SPAB.
Pemenuhan kebutuhan fasilitas sarana dan prasarana yang aman dari bencana dapat juga
dimasukkan ke dalam salah satu indikator akreditasi sekolah, seperti yang sudah terlaksana di
beberapa sekolah di NTT meski belum optimal. Dengan demikian, satuan pendidikan yang
ingin memperoleh akreditasi sekolah harus memenuhi seluruh indikator termasuk diantaranya
adalah pemenuhan fasilitas sarana dan prasarana aman bencana. Hal ini menunjukkan pula
pemerintah daerah dapat berperan penting dalam memastikan perwujudan pilar I.
Namun, salah satu kelemahan dalam aspek keberlanjutan adalah belum adanya mekanisme
pemantauan dan pengawasan terhadap penerapan kebijakan yang sudah ada. Sebagai contoh
adalah penerapan pembangunan sekolah sesuai dengan SNI tahan gempa yang sudah ada,
penggunaan Sertifikat Laik Fungsi (SLF), dan pengawasan dari tim ahli, dimana saat ini tidak
ada sistem yang bisa mengetahui berapa sekolah yang sudah menerapkan pembangunan sesuai
SNI, berapa sekolah yang sudah memiliki SLF, dan berapa sekolah yang bangunannya sudah
melakukan audit keselamatan bangunan yang dilakukan oleh tim ahli.
Gambar 12. Cuplikan paparan dari Kementerian PUPR saat Lokakarya Pilar I
IV.2.5. Inovasi
Beberapa langkah inovatif yang sudah dilakukan terkait pilar I, antara lain:
• Pemetaan sekolah yang terletak di wilayah rawan bencana yang berasal dari integrasi
data dari Kemendikbud (Dapodik) dan BNPB (InaRISK), yang kemudian bisa diakses
oleh publik melalui platform InaRISK (https://inarisk.bnpb.go.id/). Dari pemetaan ini,
Halaman 34 dari 100
Seknas SPAB juga memiliki data satuan pendidikan yang berada di lokasi rawan
bencana.
• Pengembangan aplikasi pengkajian keselamatan bangunan, yaitu VISUS - Visual
Inspection for defining the Safety Upgrading Strategies (dikembangkan oleh UNESCO
dan University of Udine, Italy) dan STEP-A (dikembangkan oleh UNDP bersama
stakeholder Konsorsium Pendidikan Bencana – KPB). Aplikasi-aplikasi ini membantu
warga sekolah untuk mengkaji tingkat keamanan bangunan terhadap berbagai jenis
ancaman bencana. Namun, sayangnya aplikasi-aplikasi ini belum digunakan secara
massal.
• Pengembangan platform informasi pemetaan satuan Pendidikan terdampak bencana
untuk rehabilitasi rekonstruksi berbasis website hasil kerja sama UNICEF, Plan, dan
Pusat Data Pendidikan (Pusdapendik) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi
Sulawesi Tengah, dimana publik bisa mengetahui dampak dan juga capaian sejauh ini
terkait upaya pemulihan di sektor pendidian pasca gempa dan tsunami Sulawesi Tengah
2018.
IV.2.6. Pembelajaran
Kualitas Data Pokok Pendidikan (dapodik) Kemendikbud. Berdasarkan temuan
Kementerian PUPR saat mengidentifikasi kerusakan sekolah, data yang diberikan dari data
pokok Pendidikan dirasa belum memiliki standar yang baku, karena ditemukan perbedaan
saat petugas di lapangan dengan petugas yang melakukan input dapodik.
Alokasi Pendanaan. Pendanaan untuk pemenuhan sarana prasarana aman bencana masih
bergantung pada pusat, sebaiknya bisa memperhatikan dan memanfaatkan sumber pendanaan
lainnya supaya bisa lebih independen.
Monitoring dan Evaluasi mengenai Teknis Konstruksi Bangunan Tahan Gempa.
Pemahaman tentang keandalan bangunan belum menjadi prioritas SDM yang ditugaskan
melakukan pengawasan kegiatan konstruksi, terutama di daerah dengan akses sulit. Penerapan
desain dan spesifikasi bangunan masih berbeda-beda di setiap daerahnya, sehingga sulit untuk
memastikan keseragaman keandalan bangunan gedung yang telah dibangun. Sampai saat ini
masih sering ditemukan kegagalan bangunan satuan pendidikan akibat bencana alam seperti
gempa bumi baik struktur maupun non-struktur karena belum mengikuti SNI 1726. Bangunan
sekolah ditetapkan sebagai bangunan risiko (KRB IV) atau yang terberat karena merupakan
tempat belajar sekaligus tempat evakuasi bencana. Sekolah sebagai KRB IV: Bangunan
sekolah harus 1.5 kali lebih kuat dan kaku dibandingkan bangunan umum yang merupakan
standar nasional (SNI-1726-2012/2019) yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional
(BSN).
Dalam hal perencanaan dan perancangan bangunan sekolah sesuai kondisi wilayah dan
bahaya masing-masing, perlu adanya personil di Kementerian PUPR dan dinas pekerjaan
umum di daerah yang dapat mendukung proses perencanaan karena banyak sekolah yang
belum paham. Hal ini menjadi tantangan tersendiri karena masih terbatasnya SDM di
Kementerian PUPR dan dinas terkait. Perlu adanya monitoring dan pengawasan yang ketat
oleh Kementerian PUPR, dinas PUPR, atau lembaga lainnya yang relevan sesuai dengan
kondisi daerah (misalnya Tim Ahli Bangunan dan Gedung – TABG) terkait proses konstruksi
bangunan sekolah, karena masih ditemukan tukang bangunan yang tidak terbiasa dengan
metode bangunan tahan gempa dan belum membangun sesuai standar bangunan tahan gempa
Halaman 35 dari 100
sehingga tidak sesuai dengan perencanaan. Serta, Kementerian PUPR perlu memastikan
jumlah tukang yang terlatih dan menjalankan sesuai juknis pembangunan sesuai struktur tahan
gempa dan melakukan perbaikan kedepannya, serta menyediakan fasilitas yang dapat diakses
untuk meningkatkan kapasitas para tukang. Pemerintah daerah perlu mempertimbangkan
pembangunan atau perbaikan atau relokasi sekolah ke tempat aman sebagai bagian dari
penyelenggaraan SPAB atau upaya PRB pada sektor pendidikan.
Regulasi. Perlu diperhatikan juga regulasi dalam kaitannya dengan pemenuhan sarana
prasarana untuk mendukung program satuan Pendidikan aman bencana, termasuk wewenang
dari setiap lembaga.
SNI 1726 tentang Bangunan Gedung Tahan Gempa belum tersosialisasikan dan
terimplementasi dengan baik di kalangan stakeholder. SNI 1726 mengatur persyaratan
perancangan bangunan terhadap gempa. SNI 1726 yang telah di-update pada tahun 2019 sudah
memasukkan bangunan sekolah dalam kategori risiko IV, yang berarti kategori risiko terberat.
Bangunan sudah dibuat sesuai standar tapi sarana belum ramah pada anak. Masih
terdapat meja-meja dengan ujung lancip yang bisa berbahaya. Harapannya bisa mendapatkan
dukungan dari kementerian untuk renovasi, sehingga bisa siap saat menghadapi new normal.
Perlu menekankan aspek pemanfaatan informasi bencana. Pengalaman di lapangan
banyak kasus bangunan sekolah di zona gerakan tanah menengah sampai tinggi tanpa ada
upaya untuk pengendaliannya, karena ketidak pahaman maupun menyalahi kaidah
pembangunan bangunan tahan bencana. Pendidikan aman bencana kepada anak harus
konsisten dilakukan supaya bisa menjadi budaya baik dan diterapkan juga di rumah.
IV.3. Pilar 2. Manajemen Penanggulangan Bencana di Satuan Pendidikan
Lingkup analisis Pilar 2 dalam evaluasi ini meliputi seluruh upaya yang dilakukan untuk
menyusun sistem manajemen penanggulangan bencana di satuan pendidikan, yang meliputi:
kajian risiko; pembentukan tim siaga bencana, pengembangan kebijakan SPAB di tingkat
sekolah, perencanaan kesiapsiagaan dan tindakan penanganan pendidikan di masa darurat, dan
penyusunan rencana aksi.
Pada pilar 2, terdapat berbagai upaya dari pemerintah dan lembaga non-pemerintah untuk
mendukung penguatan sarana prasarana aman bencana di satuan pendidikan, antara lain:
1. Adanya kebijakan yang dikeluarkan setingkat menteri, yaitu Peraturan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program
Satuan Pendidikan Aman Bencana, dimana dalam Permendikbud ini banyak pasal terkait
manajemen penanggulangan bencana diatur.
2. Kebijakan di tingkat daerah di wilayah provinsi Aceh, Bali, Bangka Belitung, DKI Jakarta,
Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Sulawesi Tengah serta di 8 Kabupaten/ Kota lainnya
(Gambar 13).
3. Modul Pilar 2 terkait Manajemen Penanggulangan Bencana di Satuan Pendidikan telah
disusun oleh Seknas SPAB.
4. Terdapat website SPAB yang dikelola oleh Seknas SPAB sebagai repositori dokumen-
dokumen terkait SPAB, termasuk kebijakan, peraturan, dan panduan di tingkat nasional
Halaman 36 dari 100
hingga lokal, serta materi-materi yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga non-
pemerintah.
5. Penyusunan peta jalan sekolah aman 2015 – 2019, penyusunan juknis, penguatan kemitraan
bersama lembaga non-pemerintah, pengembangan instrumen kesiapsiagaan sekolah, dan
bimbingan teknis.
6. Pembentukan Sekretariat Nasional SPAB dimana keanggotaannya juga melibatkan
berbagai lembaga non-pemerintah yang banyak berkecimpung di pilar 2 dan pilar 3.
7. Mendorong partisipasi satuan pendidikan dalam bentuk simulasi bersama di Hari
Kesiapsiagaan Bencana Nasional yang dilakukan tiap tahunnya di bulan April.
8. Penyusunan pedoman Penyelenggaraan Pendidikan di Masa Darurat sebagai upaya untuk
memastikan pemulihan sektor pendidikan di masa bencana secara cepat, efektif, dan tepat
sasaran.
9. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara pelopor terkait SPAB di tingkat global dan juga
di tingkat ASEAN.
Indonesia telah melaksanakan program satuan Pendidikan aman bencana (SPAB) sejak tahun
2008. Hal ini ditandai dengan bergabungnya Indonesia dalam peluncuran “Satu Juta Sekolah
Aman dan Rumah Sakit Aman”, sebagai target yang dicanangkan secara global (UNISDR,
2010). Masih menggunakan sebutan dengan sekolah aman. Walaupun sebelum 2010, Indonesia
telah melaksanakan kegiatan pengurangan risiko bencana dengan berbagai istilah, diantaranya;
pengurangan risiko bencana berbasis sekolah (PRBBS), sekolah siaga bencana (SSB), sekolah
tangguh bencana, sekolah madrasah aman bencana (SMAB).
Secara konsep, pelaksanaan SPAB di Indonesia juga selaras dengan dokumen global “Sekolah
Aman Yang Komprehensif” yang dikeluarkan oleh The United Nation Office for Disaster Risk
Reduction (UNISDRR), dengan Global Alliance for Disaster Risk Reduction & Resilience in
Education Sector (GADRRRES). Dimana disebutkan bahwa tujuan SPAB adalah untuk
mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh semua bahaya terhadap sektor pendidikan
(GADRRES, 2017).
Halaman 37 dari 100
Gambar 13. Kebijakan SPAB di Indonesia29
Sejak tahun 2017, Indonesia termasuk menjadi salah satu dari 58 negara di dunia yang telah
menjadi Safe School Country Champion dalam Worldwide Initiative for Safe School (WISS).
Inisiatif ini diinisiasi dan dikoordinasikan oleh GADRRRES. Indonesia dalam berbagai
kegiatan internasional, senantiasa aktif dan berkontribusi. Termasuk di wilayah Asia Tenggara.
Dalam laporan yang dikeluarkan oleh ASEAN Safe School Initiative (ASSI), disebutkan bahwa
Indonesia adalah satu dari delapan negara yang sangat aktif mempromosikan dan
mengimplementasikan program SPAB, baik di level negara, maupun di Kawasan Asia (ASSI,
2020).
Di level nasional, konsep tersebut telah juga diturunkan ke dalam peta jalan SMAB 2015-2019
yang berfungsi untuk: 1). Memberikan dasar hukum pelaksanaan sekolah aman. 2).
Memberikan landasan bagi pembagian tugas dan tanggung para pemangku kepentingan.
3).Memberikan petunjuk, acuan dan pedoman dalam pelaksanaan, pemetaan kebutuhan,
ketersediaan anggaran dan ketersediaan sumber daya lainnya. Peta jalan ini kemudian
29 Ibid.
Halaman 38 dari 100
dimutakhirkan kembali di tahun 2020 dengan diluncurkannya Peta Jalan Penyelenggaraan
Program Satuan Pendidikan Aman Bencana 2020-2024, dimana dalam lima tahun ke depan,
telah diatur 10 target utama yaitu:
1. Kebijakan dan regulasi nasional dan daerah tentang SPAB di setiap
provinsi/kabupaten/kota.
2. Terbentuknya 200 Sekretariat Bersama SPAB tingkat provinsi dan kabupaten/kota
berfungsi dalam mengkoordinasikan penyelenggaraan program SPAB.
3. Terlaksananya Program SPAB mandiri di 40% satuan pendidikan di Indonesia.
4. Adanya sistem pemantauan dan evaluasi yang sistematis dan terukur melalui integrasi
InaRISK (BNPB), DAPODIK (Kemendikbud), dan EMIS (Kemenag).
5. Pelaksanaan Permendikbud nomor 33 tahun 2019, mengakomodir Pendidikan Tinggi dan
Pendidikan Non-Formal (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat dan Sanggar Kegiatan
Belajar).
6. Tersedianya 5 produk inovasi yang mendukung penyelenggaraan program SPAB.
7. Para pemangku kepentingan pendidikan memahami Permendikbud no. 33/ 2019.
8. Penganugerahan penghargaan SPAB award.
9. Potensi daerah (TAGANA, PMI, SAR, Pramuka, dll) terlibat mendukung penyelenggaraan
SPAB.
10. Lembaga non-pemerintah dan swasta terlibat aktif di SPAB dengan kontribusi melalui
program, pendanaan, tenaga ahli, dan bantuan sarana prasarana.
IV.3.1. Relevansi
Data kerusakan jumlah sarana prasarana satuan pendidikan yang terekam di Kemendikbud
menunjukkan bahwa dengan adanya ragam dan tingkat ancaman bencana yang tinggi serta
fasilitas sarana prasarana satuan pendidikan yang belum terjamin keamanannya, hal ini perlu
diimbangi dengan adanya manajemen penanggulangan bencana di tingkat satuan pendidikan.
Manajemen penanggulangan bencana ini antara lain terdiri dari prosedur keselamatan dan
keamanan di satuan pendidikan dengan adanya pembagian peran antara siapa melakukan apa,
dimana, dan kapan, pembentukan tim siaga bencana di satuan pendidikan, serta merumuskan
tindakan-tindakan apa saja yang harus dilakukan sebelum, saat, dan sesudah terjadi bencana.
Tindakan ini juga perlu dilengkapi dengan pemasangan rambu evakuasi, penetapan jalur
evakuasi, serta penyusunan peta jalur evakuasi.
Halaman 39 dari 100
Gambar 14. Papan informasi Sekolahku Siaga Bencana (BNPB, 2020)
Saat ini baru 5% satuan pendidikan (sekitar 13,000 dari 272,000 sekolah) yang sudah
mendapatkan intervensi program SPAB, yang umumnya merupakan intervensi dari pilar 2 dan
pilar 3 (hasil data FGD). Sehingga, peningkatan upaya dalam pilar 2 masih sangat relevan
dilakukan terutama untuk satuan pendidikan yang berada di wilayah rawan bencana.
IV.3.2. Efektivitas dan Efisiensi
Indonesia menjadi salah satu negara dari 58 negara yang memiliki kebijakan yang cukup baik,
karena telah menggabungkan kebijakan pendidikan dalam situasi bencana dan juga di masa
non-bencana serta dalam pelaksanaannya berkolaborasi dan mendapat dukungan yang cukup
baik dari lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan berbagai lembaga non-pemerintah .
Berbagai kebijakan untuk mendukung pelaksanaan SPAB telah dikeluarkan, baik di tingkat
nasional, termasuk BNPB, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat, dan juga panduan atau pedoman dari Sekretariat Nasional
Sekolah Aman, LSM, donor, universitas dan perusahaan swasta. Di tingkat lokal, provinsi dan
kota, termasuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), dinas pendidikan, dinas
pekerjaan umum serta didorong pula dengan keterlibatan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) serta universitas setempat. Para pemangku kepentingan tersebut dalam 12 tahun (2008-
2020) terakhir telah mengembangkan peraturan, kebijakan, dan inisiatif terkait dengan
pendidikan bencana dan tata kelola keselamatan sekolah di Indonesia. Saat ini kebijakan utama
SPAB di Indonesia adalah Peraturan menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud),
No.33 tahun 2019, tentang Penyelenggaraan Program Satuan pendidikan Aman Bencana.
Permendikbud ini mengatur, bagaimana penyelenggaraan program satuan pendidikan aman
bencana dalam dilakukan pada saat sebelum, saat, dan setelah bencana, ragam layanan yang
perlu diberikan, proses pembentukan Seknas dan Sekber SPAB, mekanisme pendanaan, serta
metode pemantauan dan evaluasi dilakukan secara berkala.
Halaman 40 dari 100
Gambar 15. kerangka regulasi SPAB antar stakeholder terkait di tingkat Nasional30
Beberapa faktor yang mempercepat akselerasi pelaksanaan SPAB di Indonesia adalah;
pengembangan pedoman teknis dan modul untuk 3 pilar sekolah aman komprehensif yang telah
diterbitkan oleh Kemendikbud dan BNPB serta dukungan aktif dari berbagai Lembaga non-
pemerintah pada tahun 2016.
Di sisi lain, proses integrasi berjalan paralel dilakukan oleh BNPB dan Kemendikbud dengan
meningkatnya kerja sama dengan lembaga eksternal untuk mendukung program SPAB, seperti
misalnya dengan Pramuka, Tagana Masuk Sekolah (Kemensos), Hizbul Wathan
(Muhammadiyah), Palang Merah Remaja (PMI). Melalui kemitraan eksternal, kegiatan-
kegiatan SPAB bisa diinisiasi menjadi salah satu kegiatan ekstrakurikuler untuk siswa di
sekolah dan juga bisa bersifat wajib untuk kelas tertentu. Inisiatif ini juga dilengkapi dengan
penyusunan modul untuk para fasilitator/ pembina / pelatih seperti misalnya modul panduan
untuk Pramuka. Hal ini bisa menjadi strategi yang efektif untuk meningkatkan cakupan
program SPAB.
Di tingkat daerah, pembentukan dan pengembangan SPAB juga terus dilakukan. Motor
penggerak di daerah terkait penerapan program SPAB adalah Sekretariat Bersama SPAB
(Sekber SPAB) yang merupakan sebuah wadah untuk meningkatkan koordinasi dan kolaborasi
multi pihak, terutama di sektor pendidikan dan penanggulangan bencana. Sekber SPAB adalah
bentuk serupa Seknas SPAB di tingkat daerah.
Provinsi Aceh telah melakukan inisiasi pembentukan Sekber SPAB pada tahun 2019 oleh
Dinas Pendidikan dan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), dengan dukungan
berbagai lembaga non-pemerintah. Selain itu, di Aceh juga sedang dalam proses penyusunan
peraturan daerah atau di Aceh disebut dengan Qanun terkait pendidikan kebencanaan yang saat
ini sudah sampai pada tahap pembahasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Dari
sisi penganggaran, Aceh juga telah memiliki Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk keperluan
penanggulangan bencana, dimana dana ini perlu juga dialokasikan untuk mendukung
30 Ibid.
Halaman 41 dari 100
implementasi SPAB. Berdasarkan studi terbaru (Nurdin, 2019), menjelaskan bahwa
kesiapsiagaan satuan Pendidikan di Aceh relatif cukup baik, terutama di gempa dan tsunami.
Di Provinsi Sulawesi Tengah. Penyusunan kebijakan melalui kepala daerah juga telah
dilakukan, termasuk di Kabupaten Sigi, Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan level provinsi
yang dimana wilayah ini terdampak karena gempa, tsunami, dan likuefaksi di tahun 2018.
Telah mulai menyusun peraturan gubernur, pembentukan sekber SPAB, dan pembuatan peta
rawan bencana.
Di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), selain kebijakan juga telah tersedia alat untuk
monitoring dan evaluasi (monev) yang akan dipakai untuk penilaian dan keperluan audit yang
kembangkan oleh Sekretariat Aman Bencana NTT. Instrumen akreditasi implementasi SPAB
juga telah dibuat berdasarkan instrumen yang dikeluarkan oleh Badan Akreditasi Nasional
Sekolah dan Madrasah (BAN S/M) pada tahun 2017. Beberapa sekolah juga telah melakukan
integrasi SPAB ke dalam kegiatan ekstrakurikuler. Berbagai capaian ini dilakukan atas Kerja
sama berbagai pihak, baik dinas Pendidikan, kantor wilayah Kementerian Agama (Kemenag),
BPBD, dengan berbagai lembaga non-pemerintah.
“Untuk kegiatan integrasi modul kebencanaan ini sudah kami
implementasikan ke dalam muatan pelajaran atau muatan
lokal/ekstrakurikuler. Kami sudah mendapat pendampingan mengenai SOP
integrasi materi ini ke dalam mata pelajaran. Untuk kelas tinggi, kelas 4-6
berbentuk panduan yang sudah dilaksanakan selama ini, sedangkan untuk
kelas 1-3 SD melalui bacaan-bacaan bergambar mengenai kebencanaan
dan poster yang kami pasang ditiap kelas”. kata salah satu guru di NTT
Sedangkan di Provinsi DKI Jakarta, telah diterbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) No. 187
Tahun 2016 tentang Penerapan Sekolah Madrasah Aman Bencana. Pergub ini memiliki 10
Indikator capaian SMAB, yang jika dilihat indikator ini mayoritas untuk pelaksanaan pilar 2
dan 3. Adapun detail indikator adalah sebagai berikut (Pemda DKI, 2016):
1. Ditetapkannya peta ancaman bencana sekolah oleh Kepala Sekolah/Madrasah;
2. Ditetapkannya prosedur tetap penanggulangan ancaman Bencana Sekolah oleh Kepala
Sekolah/Madrasah;
3. Ditetapkannya rencana aksi sekolah aman bencana oleh Kepala Sekolah/Madrasah;
4. Ditetapkannya tim siaga bencana di sekolah oleh Kepala Sekolah/Madrasah;
5. Tersedia dan diajarkannya modul penanggulangan bencana banjir, kebakaran, gempa bumi,
angin topan, bagi siswa sekolah/madrasah;
6. Tersedianya tenaga pengajar yang berkemampuan membimbing dan membina pelaksanaan
penanggulangan bencana banjir, kebakaran, gempa bumi, angin topan, di lingkungan
sekolah/madrasah;
7. Tersedianya sarana dan prasarana keselamatan; alat pemadam api ringan; pelampung; tali
tambang; rambu kebencanaan; alat pertolongan pertama; dan megaphone / sirine.
8. Terlaksananya simulasi penanggulangan bencana di sekolah/madrasah minimal 1 (satu)
kali dalam setahun;
9. Terlaksananya pemantauan dan evaluasi kegiatan sekolah/madrasah aman bencana; dan
10. Disosialisasikannya sekolah/madrasah aman dari bencana di lingkungan satuan pendidikan
oleh manajemen sekolah.
Halaman 42 dari 100
Data yang di miliki oleh BPBD DKI Jakarta, saat ini implementasi SPAB telah dilakukan di
lebih dari 380 satuan Pendidikan. Sedangkan dari sisi dinas Pendidikan DKI Jakarta telah
memberikan pelatihan SPAB kepada guru melalui Pusat Pengembangan Kompetensi Pendidik,
Tenaga Kependidikan, dan Kejuruan (P2KPTK2).
“Sekolah yang aman dari bencana yaitu memiliki bangunan yang kokoh,
memiliki tulisan evakuasi, mempunyai alat peringatan dini, memiliki alat
pemadam kebakaran. Di sekolah sudah pernah dilakukan latihan” kata
salah satu guru di Jakarta
Pelaksanaan kegiatan lain adalah berupa pelatihan untuk siswa, serta simulasi rutin, yang
melibatkan polisi, puskesmas, dan pihak kelurahan. Untuk memonitor pelaksanaan, Palang
Merah Indonesia (PMI) DKI Jakarta telah menginisiasi penyusunan instrumen monitoring
SPAB bersama BPBD, Disdik, Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian
Penduduk (PPAPP), Seknas SPAB, Wahana Visi Indonesia (WVI), dan Yayasan Kausa
Resiliensi Indonesia (YKRI) di tahun 2018. Pada tahun 2019 instrumen tersebut diadopsi ke
dalam penilaian sekolah sehat DKI Jakarta.
“Terkait Pilar 2, kami dari dinas Pendidikan bersama dengan DAMKAR,
BPBD, dan beberapa LSM sering membantu kami terkait dengan
manajemen sekolah sehingga aman dari bencana.“ kata salah satu
perwakilan dinas pendidikan saat FGD
Peta dan jalur evakuasi belum banyak dimiliki satuan pendidikan. Program SPAB khususnya
pilar 1 mendukung terpenuhinya sarana dan prasarana aman bencana, salah satunya adalah
pemenuhan peta dan jalur evakuasi bencana di satuan pendidikan. Apabila setiap sekolah telah
mengetahui risiko ancaman bencana di wilayah mereka, tentunya mereka akan melakukan
rencana aksi termasuk rencana tanggap darurat apabila bencana terjadi, salah satunya dengan
melengkapi bangunan satuan pendidikan dengan peta jalur evakuasi dan rambu jalur evakuasi
bencana.
Pelaksanaan SPAB di Indonesia telah beradaptasi dan terus berkembang. Pada awal
pelaksanaan lebih dominan dengan cara-cara konvensional atau tatap muka. Namun, saat ini
pemerintah, melalui Kemendikbud, BNPB dan dengan dukungan berbagai lembaga non-
pemerintah juga telah mengembangkan pola daring (online) untuk guru dan pendidik di kelas
melalui e-learning untuk mempercepat proses pembelajaran. Program bimbingan teknis yang
berlangsung melalui daring juga mendorong setiap guru dan kepala sekolah yang menjadi
peserta bimtek untuk melakukan rencana tindak lanjut yang salah satunya adalah untuk
menyusun manajemen penanggulangan bencana di sekolahnya.
IV.3.3. Dampak
Saat ini terdapat lebih dari 250.000 sekolah dibangun di daerah rawan bencana di seluruh
Indonesia, mencakup hingga 75% sekolah di seluruh Indonesia. Secara umum, jangkauan dan
cakupan, termasuk lebih dari 62 juta anak-anak dan 8 juta mahasiswa kemungkinan akan
terpengaruh. Kemajuan untuk sekolah aman komprehensif di Indonesia telah diprioritaskan
oleh pemerintah dan juga pemangku kebijakan terkait pendidikan lainnya untuk memastikan
pendidikan yang aman untuk anak-anak. Dalam 12 tahun terakhir, sejak modul SPAB pertama
diperkenalkan di Indonesia, ada lebih dari 27.000 sekolah menerapkan program sekolah aman
Halaman 43 dari 100
termasuk ketersediaan dana dari anggaran pemerintah, negara-negara bersatu, dan organisasi
non-pemerintah senilai 842 miliar Rupiah ($ 57,3 juta USD) .
Gambar 16. Lini masa Implementasi SPAB
Selama periode pelaksanaan peta jalan SPAB 2015-2019 beberapa dampak signifikan yang
terlihat adalah perhatian lebih serius dari Kemendikbud, Kemenag, dan BNPB. Hal ini bisa
dilihat dari adanya alokasi anggaran implementasi SPAB setiap tahunnya, serta adanya
kebijakan melalui peraturan Menteri Pendidikan No. 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan
Program SPAB, serta peraturan kepala BNPB pada 2014.
Kerja sama dalam mendorong terwujudnya koordinasi dan sinkronisasi program antar lembaga
yang juga terlibat dalam SPAB yaitu dengan dibentuknya Seknas SPAB dengan keanggotaan
lintas kementerian; Kemendikbud, Kemenag, BNPB, Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Anak (KPPA), serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Berbagai sekretariat bersama juga telah terbentuk di berbagai daerah di Indonesia, baik di level
kabupaten/kota, maupun provinsi. Lini masa penyelenggaraan SPAB pada rentang tahun 2015-
2020 diperlihatkan pada Gambar 16.
IV.3.4. Keberlanjutan
Walaupun secara umum, bahwa keberlanjutan program SPAB masih sangat menantang di
Indonesia, namun berbagai inisiatif telah terus dilakukan oleh beberapa pihak. Misalnya BNPB
dengan Kemendikbud mulai dari 2015 sampai 2020 ini terus melakukan implementasi SPAB
dengan berbagai strategi. Mulai dari menyiapkan fasilitator nasional (yang biasa disebut
fasnas) yang berasal dari berbagai lembaga dari berbagai daerah, atau melakukan Kerja sama
langsung dengan Lembaga non-pemerintah lokal, yang bertugas mendampingi pelaksanaan
implementasi dan meningkatkan kapasitas fasilitator daerah.
Hal lain, BNPB bekerja sama dengan Pramuka, khususnya gugus tugas yang sehari-hari berada
di daerah dan di satuan Pendidikan, karena sebagian besar anggotanya adalah guru dan tenaga
pendidik. Strategi ini dianggap cukup efektif, baik secara implementasi maupun capaian angka
penerima manfaat. Dalam implementasi 2019, BNPB dengan Pramuka melakukan
Halaman 44 dari 100
pendampingan di 7 lokasi yang berada di 16 kabupaten/kota, dilaksanakan oleh 35 pembina,
dengan capaian 338 fasilitator di 338 satuan Pendidikan untuk 33 ribu siswa/siswi (Paparan
BNPB, pada Percepatan Implementasi SPAB di Indonesia, 2020). Setelah program berakhir
maka ada 338 fasilitator yang akan terus melakukan pendampingan di masing-masing
wilayahnya.
Di level satuan pendidikan pengintegrasian kegiatan dan materi SPAB juga dilakukan melalui
pengintegrasian ke dalam bentuk kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler, sehingga tidak
akan membebani tugas dan waktu kegiatan belajar mengajar (KBM) reguler. Sebagai contoh
di SDK Waiara di Sikka, NTT, siswa senior yang merupakan tim siaga bencana di sekolah
tersebut memberikan sosialialisasi kepada kelas rendah, sebagai bagian dari transfer
pengetahuan. Dalam hal ini, kepala sekolah memiliki peran yang besar dalam memastikan
adanya keberlanjutan dalam program SPAB.
IV.3.5. Inovasi
Berbagai inovasi telah dikembangkan dalam upaya memperluas cakupan implementasi SPAB
di Indonesia. Inovasi SPAB tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, namun juga oleh berbagai
Lembaga non-pemerintah.
Di sisi inovasi. Kemendikbud, melalui Seknas SPAB setidaknya memiliki empat inovasi
utama, yaitu;
1. Telah tersedianya portal pelatihan SPAB melalui daring (e-Learning), yang dapat
diakses melalui website https://simpatik.belajar.kemdikbud.go.id/user/spab. Portal ini
mengikuti pola juknis SPAB dan terdiri dari 12 sesi, disajikan dengan kreatif dan
menyenangkan, melalui gambar, video, grafis, tulisan dan dilengkapi dengan kuis.
Target utama pelatihan ini adalah guru dan tenaga pendidik, namun pada prakteknya,
siapa saja yang tertarik dalam mempelajari SPAB dapat mendaftarkan diri.
2. Tersedia-nya website khusus tentang SPAB yang dikelola oleh Seknas SPAB
https://spab.kemdikbud.go.id/. Di dalam website ini, terdapat berbagai materi, modul,
kebijakan, serta materi KIE. Sehingga siapa saja yang memerlukan data dan informasi
dapat mengakses website tersebut.
3. Integrasi data Dapodik Kemendikbud dengan portal InaRISK
https://inarisk.bnpb.go.id/, Kerjasama BNPB dengan Seknas SPAB, sehingga saat ini
telah tersedia informasi risiko dan ancaman bencana untuk seluruh sekolah di Indonesia
secara makro.
4. Pengembangan aplikasi monitoring dan evaluasi SPAB yaitu “MONEV SPAB” yang
berbasis mobile dan website, kerjasama BNPB, Kemendikbud, Kemenag dibawah
koordinasi Seknas SPAB, dengan dukungan Plan International Indonesia. Aplikasi ini
bertujuan untuk memudahkan monitoring secara terukur dan terstruktur.
Inovasi terkait SPAB lainnya yang dilakukan baik oleh Kementerian/Lembaga, daerah, satuan
pendidikan maupun oleh non-pemerintah yaitu diantaranya:
• Pendekatan melalui gugus depan Pramuka diinisiasi oleh BNPB dengan memberikan
pelatihan melalui Pembina pramuka untuk SPAB, pola keberlanjutan implementasi
dapat di tularkan melalui diseminasi secara informal oleh Kakak Pembina Pramuka
kepada junior pramuka baru.
Halaman 45 dari 100
• Pembentukan Sekber SPAB, mengembangkan inovasi perangkat monitoring dan
evaluasi yang berfungsi untuk audit dan penilaian akreditasi satuan pendidikan.
• Di level satuan pendidikan, misal di di SDI St. Yoseph, Kupang, NTT, sebagai bagian
pengingat dan peringatan bahwa wilayah satuan pendidikan berada di wilayah dengan
risiko bencana tinggi (gempa bumi), maka setiap jam 9 pagi dibunyikan sirine, agar
seluruh satuan pendidikan waspada sebagai bagian dari kesiapsiagaan bencana.
• Pengembangan game SPAB oleh Plan Indonesia sejak 2014
(https://www.preventionweb.net/educational/view/45103). Game ini dapat di unduh
melalui play store, dan sangat ramah untuk anak-anak. Selain itu, Plan Indonesia juga
telah menyelenggarakan kompetisi pengembangan aplikasi SPAB berbasis mobile
untuk anak muda pada tahun 2019 yang lalu.
IV.3.6. Pembelajaran
Terdapat berbagai tantangan atau hal yang belum berjalan dengan baik dalam pelaksanaan
SPAB secara nasional sehingga perlu diperbaiki dan ditingkatkan sebagaimana yang
disampaikan oleh berbagai narasumber pemerintah dan non-pemerintah. Tantangan dan
hambatan ini berlaku, baik di level nasional dan daerah yaitu diantaranya:
1. Rendahnya kepedulian/pemahaman berbagai pihak akan pentingnya pengetahuan dan
memberikan prioritas kepada implementasikan program SPAB di seluruh satuan
pendidikan di Indonesia.
2. Belum adanya kebijakan turunan untuk implementasi di seluruh tingkat
Provinsi/Kabupaten/Kota sehingga belum mendorong satuan pendidikan untuk melakukan
implementasi di tingkat sekolah.
3. Kurangnya peningkatan kapasitas, baik dalam format pelatihan maupun sosialisasi. Hal ini
berimplikasi rendahnya pengetahuan guru dan tenaga Pendidikan lainnya melakukan
implementasi di satuan pendidikan. Seperti, melakukan analisa ancaman, risiko dan
kapasitas, Penyusunan Standar Operasi Dan Prosedur (SOP), pembuatan peta risiko
bencana, dan simulasi rutin.
4. Kurangnya fasilitator/guru dan tenaga pendidikan yang mendampingi implementasi SPAB
di berbagai daerah, seperti yang ditemuan di Provinsi Aceh, Jakarta, NTT, maupun
Sulawesi Tengah.
5. Belum inovatif-nya pelaksanaan implementasi SPAB. Satuan pendidikan masih cenderung
menunggu dan mengikuti arahan dalam petunjuk pelaksana (juklak) ataupun petunjuk
teknis (juknis) dari pemerintah pusat.
6. SPAB belum menjadi prioritas program, sehingga alokasi anggaran pemerintah pusat dan
daerah masih minim.
7. Minimnya anggaran sekolah untuk proses implementasi SPAB. Banyak Satuan Pendidikan
belum menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk pelaksanaan SPAB.
Penggunaan dana BOS lebih banyak digunakan untuk operasional sekolah dan gaji.
8. Mutasi pejabat atau staf cenderung menghambat keberlanjutan implementasi. Karena ganti
pejabat maka biasanya juga berganti fokus prioritas.
9. Belum berkelanjutan dalam implementasi, sehingga masih cenderung berorientasi kepada
proyek.
10. Tidak tersedianya sistem monitoring dan evaluasi yang dapat melakukan pemantauan
secara berkala di level nasional.
Halaman 46 dari 100
Sedangkan hal-hal yang telah berjalan dengan baik, perlu dikembangkan dan dipertahankan
adalah diantaranya:
1. Terus mendorong pembentukan sekretariat bersama (Sekber) SPAB di level
provinsi/kabupaten/kota, karena hal ini penting untuk keberlangsungan dan keberlanjutan
implementasi SPAB di daerah. Sekber ini juga menjadi simpul koordinasi lintas lembaga
yang memiliki tugas dan fungsi dalam implementasi SPAB.
2. Dinas Pendidikan dan kantor wilayah Kemenag di daerah perlu mengadakan kampanye dan
sosialisasi melalui berbagai kegiatan SPAB, misal melalui festival, dan kompetisi SPAB.
hal ini dimaksudkan untuk memotivasi dan mendorong satuan pendidikan untuk terus
melakukan implementasi SPAB.
3. Mendokumentasikan berbagai capaian dan praktik baik implementasi SPAB di level
nasional dan daerah.
4. Pengembangan rencana aksi dan silabus muatan lokal (Mulok) di setiap satuan pendidikan.
5. Mengembangkan aplikasi InaRISK. Bukan hanya sebagai pusat informasi risiko dan
ancaman bencana, namun dapat dijadikan sebagai alat monitoring dan evaluasi
implementasi SPAB untuk seluruh sekolah di Indonesia.
Halaman 47 dari 100
Studi Kasus: Inovasi Monitoring dan Evaluasi Nasional
Salah satu kendala utama yang banyak disebutkan dari berbagai pihak adalah kurangnya
informasi terkait berapa banyak sebenarnya satuan Pendidikan yang telah melakukan SPAB,
baik yang di bawah koordinasi Kemendikbud, maupun di bawah Kemenag. Lalu, pilar apa yang
paling dominan, serta apa saja bentuk kegiatan yang dilakukan, serta yang lebih penting,
bagaimana kesiapsiagaan satuan Pendidikan dalam menghadapi bencana.
Pelaksanaan program SPAB telah berlangsung selama lebih dari 12 tahun (2008-2020). Data
yang dimiliki oleh Kemendikbud dan BNPB, menyebutkan bahwa lebih dari 27 ribu satuan
pendidikan di seluruh Indonesia telah melaksanakan program SPAB. Berdasarkan informasi
dari berbagai lembaga yang mendorong program SPAB juga menyebutkan bahwa terdapat
kecenderungan terdapat dominasi pelaksanaan pada pilar 2 (Manajemen bencana di sekolah)
dan pilar 3 (Pendidikan pencegahan dan pengurangan risiko bencana).
Oleh karena itu, BNPB, Kemendikbud, Kemenag di bawah koordinasi Seknas SPAB, dengan
dukungan Plan International Indonesia dan berbagai lembaga lain, telah mengembangkan
aplikasi yang berbasi mobile & website yang bernama “Monev SPAB” (Gambar 17). Aplikasi
ini bertujuan untuk memudahkan monitoring secara terukur, terstruktur, serta mudah
digunakan.
Gambar 17. Inovasi aplikasi “Monev SPAB” untuk mempermudah pelaksanaan monitoring dan evaluasi
SPAB.
Aplikasi Monev SPAB ini, telah di integrasikan ke dalam aplikasi InaRISK yang dibangun oleh
BNPB. Integrasi ini dianggap lebih tepat, mengingat data satuan pendidikan juga telah
terintegrasi di dalam InaRISK, sehingga dapat juga dilengkapi dengan komponen monitoring
SPAB-nya. Sebagai gambaran, InaRISK merupakan sebuah sistem informasi kajian risiko
bencana yang menggambarkan sebaran potensi risiko bencana secara spasial. InaRISK
dikembangkan dalam dua bentuk, berbasis web (InaRISK Web) dan berbasis smarthphone
Halaman 48 dari 100
(inaRISK Personal). Di dalam InaRISK Personal ini yang telah di tambahkan dengan fitur
Monev SPAB bagi para guru dan kepala sekolah untuk melakukan evaluasi dan pelaporan
pelaksanaan program SPAB di sekolah mereka masing-masing.
Hasil yang diharapkan dari Monev SPAB ini akan tergambarkan dengan jelas progres
implementasi serta dapat melihat tingkat implementasi di seluruh wilayah dan satuan
pendidikan di Indonesia seperti gambar ilustrasi dibawah ini.
Gambar 16. Ilustrasi sebaran tingkat implementasi berdasarkan tools Monev SPAB
Pertanyaan yang diajukan dalam Monev SPAB ini, mengacu dan menyesuaikan dengan pola
yang sudah ada di dalam peta jalan SPAB 2015-2019, sehingga hasilnya dapat digunakan untuk
mengukur capaian peta jalan tersebut. Untuk memudahkan satuan pendidikan dalam mengisi,
maka pertanyaan yang diajukan hanya 13 pertanyaan tertutup yaitu terkait dengan apakah
satuan pendidikan telah memiliki atau melakukan: (1) sosialisasi SPAB, (2) mendapatkan
pelatihan SPAB, (3) mengintegrasikan SPAB ke dalam kurikulum atau kegiatan
ekstrakurikuler, (4) melakukan kajian risiko, (5) memiliki SOP terkait SPAB, (6) memiliki
anggaran khusus SPAB, (7) memiliki tim siaga bencana, (8) memiliki kebijakan SPAB, (9)
melakukan penilaian kondisi & kekuatan struktur sekolah, (10) melakukan simulasi secara
rutin (11) serta, apakah satuan pendidikan telah melakukan monitoring SPAB secara berkala.
Monitoring dan evaluasi dengan menggunakan mobile Apps dan web portal merupakan sebuah
inovasi di era digital, serta pada masa pandemi seperti saat ini. Hal ini penting untuk tetap
memastikan keberlanjutan pelaksanaan SPAB tetap berjalan dan disesuaikan dengan kondisi
saat ini. Pengarusutamaan teknologi juga akan mempercepat proses dan menguatkan
pengumpulan data yang dinamis dan terus berubah. Dengan integrasi satu data akan
menguatkan program SPAB yang ditargetkan akan menjangkau seluruh Indonesia pada tahun
2024.
Halaman 49 dari 100
IV.4. Pilar 3. Pendidikan Pengurangan Risiko Bencana di Satuan Pendidikan
Lingkup analisis Pilar 3 dalam evaluasi ini termasuk agenda pengurangan risiko bencana yang
terintegrasi ke dalam kurikulum formal; pelatihan guru dan pengembangan staff; kegiatan
ekstrakurikuler dan pendidikan informal berbasis-masyarakat.
Pendidikan Bencana (PB) dapat dilihat sebagai sebuah upaya sadar dalam membangun
ketangguhan bangsa secara berkelanjutan dan merupakan intervensi strategis dalam
menciptakan ekosistem kesiapsiagaan karena 3 (tiga) hal: pertama, menyasar peserta didik
untuk memiliki pemahaman dan ketrampilan untuk tangguh bencana; kedua, mendorong
peserta didik sebagai agen aktif pembangunan ketangguhan masyarakat; ketiga, pendidikan
bencana merupakan investasi sumber daya manusia. Anak akan menjadi orang dewasa karena
itu investasi hari ini perlu dilakukan secara ‘tanpa sesal’.
Dalam penelitian ini, PB dan Pendidikan Pengurangan Risko Bencana (PPRB) dianggap
sebagai sinonim dan akan digunakan secara bergantian. Kami mendefinisikan PPRB sebagai
sebuah proses sekaligus tujuan dalam membangun mental tangguh para peserta didik di
berbagai aras, yang didasarkan pada proses berpengetahuan (dalam pengertian cognitive)
maupun ber-praxis (dalam pengertian mampu mengolah pengetahuan kognitif menjadi
tindakan penyelamatan diri maupun masyarakat dan lingkungan mereka) dalam mereduksi
risiko bencana dan kerentanan multi-dimensi.
IV.4.1. Relevansi
Kebutuhan atas PPRB di Indonesia semakin krusial dan mendesak. Komunitas satuan
pendidikan masih terus menjadi korban bencana dalam dua belas tahun terakhir. Dalam
pandangan para guru di ke empat Workshop Provinsi, relevansi SPAB terutama PPRB dilihat
sebagai hal yang urgen karena setiap saat ancaman bencana dapat saja terjadi PPRB
membantun siswa bisa siap-siaga ketika memahami konsep sekolah aman. Dalam konteks
ancaman ekstensif seperti banjir maupun kebajaran, satuan pendidikan kerap dipandang tidak
siap dalam menghadapi bencana-bencana terkait.31 Sedikitnya 568,000 peserta didik terkena
dampak bencana dalam kurun waktu 2016-2019 di 5,680 satuan pendidikan dengan tingkat
kerugian di atas 1 triliun Rupiah.32
Target kerja dalam menjangkau semua satuan pendidikan dengan intervensi PPRB perlu dibuat
secara lebih ambisius tetapi terukur dan konsisten. Secara makro, laju implementasi PPRB dan
SPAB secara nasional meningkat dari tiada pra tahun 2008 menjadi 2,200 satuan pendidikan
per tahun dalam kurun waktu 12 tahun. Secara total, program PPRB ditingkat satuan
pendidikan beranjak dari tiada menjadi sekitar 27,000 satuan pendidikan, atau setara 10 % total
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang ada (>271,000) [atau 4% saja bila PAUD,
Diksus, Dikmas, Vokasi di bawah Kemendikbud dan Kemenag dimasukan]33. Jumlah ini setara
2.7 juta dari 64 juta peserta didik yang perlu dijangkau.
Laju implementasi agenda Pendidikan Bencana di satuan pendidikan di daerah bervariasi tetapi
secara umum masih minim. Sebagai misal, di Kabupaten Sikka, NTT, total adopsi SPAB paska
31 Bencana yang sering terjadi di DKI Jakarta adalah kebakaran dan banjir. Namun, sekolah selalu
merasa tidak siap bagaimana menghadapi bencana tersebut. 32 Mansur, Mukhlis 2020. Pengelolaan Program Satuan Pendidikan Aman Bencana FGD Pilar 2 SPAB Pra-Bencana: Manajemen Bencana di Satuan Pendidikan, 19 June 2020. 33 Lihat juga perbandingan data dengan Data Satuan Pendidikan (Sekolah) Per Provinsi Berdasarkan Seluruh Jenis Pendidikan: https://referensi.data.kemdikbud.go.id/index11.php [Akses terakhir 25 July 2020]
Halaman 50 dari 100
Peraturan Bupati terkait SPAB dan Kurikulum PB, hanya 2% (10 dari 477 Satuan Pendidikan).
Di Palu, tindakan intervensi oleh Pemerintah Daerah juga hanya menargetkan sekolah-sekolah
khusus dengan intervensi berbasis pilot project.
Lemahnya implementasi PPRB di tingkat satuan pendidikan disebabkan karena adanya celah
kelembagaan terutama kurangnya regulasi di Kabupaten/Kota yang mampu mendorong
dilaksanakannya PPRB. Di tingkat sekolah, temuan kami menunjukkan bahwa terutama di
daerah yang baru mengalami kejadian bencana beruntun dan mengalami korban jiwa – seperti
di Sulawesi Tengah maupun Aceh – guru-guru berpendapat bahwa pendidikan bencana terkait
kegempaan oleh guru-guru sangat mendasar dan penting dilakukan secara berkelanjutan.
“Program SPAB sangat penting karena menyangkut keselamatan siswa.
Walaupun sudah kami ajarkan bagaimana menghadapi gempa, namun
pada saat terjadi gempa siswa tetap merasakan kepanikan dan hal ini
membuat siswa lupa akan simulasi yang dilakukan”34 kata guru dari
Sulawesi Tengah saat FGD Sulawesi Tengah
Walaupun implementasi Pendidikan Bencana (PB) dapat di lakukan secara mandiri oleh
sekolah sebagaimana terlihat di Aceh, Kupang,35 Jogjakarta (Tuswadi, 2014)36 dan Palu,
keberadaan regulasi di daerah dipandang berfungsi sebagai enabling conditions yakni bahwa
regulasi menciptakan kondisi yang lebih bersifat imperative untuk implementasi mandiri oleh
satuan Pendidikan37 (Lihat juga Nurdin 2019)38,
Tuntutan regulasi juga dilihat oleh Satuan Pendidikan sebagai salah satu instrumen
kelembagaan yang diperlukan. Regulasi membantu aktivitas SPAB bermutasi dari project-
based activities menjadi ruled-based activities yang diasumsikan bisa direproduksi secara lebih
otomatis dengan legitimasi yang lebih kuat. Para narasumber dari berbagai tingkatan
mengatakan:
“Ternyata di level gurupun melihat bahwa payung hukum diperlukan;
Meskipun kita sudah memiliki berbagai regulasi, tetapi ternyata dilihat
masih kurang mengikat, dan masih perlu ditata karena banyak aktifitas
yang hanya bersifat project based dan tidak berlanjut.” kata salah satu
peneliti saat FGD tingkat nasional
“Dibutuhkan intruksi dan kebijakan dari dinas dan pemerintah agar
program SPAB bisa dilakukan di sekolah”kata dua orang guru dari
Sulawesi Tengah saat FGD Sulawesi Tengah
Tabel 2 memberikan daftar historis perkembangan kebijakan SPAB di Indonesia dalam kurun
waktu sejak 2007. Daftar ini menunjukkan Kemendikbud memiliki keterlibatan yang cukup
tinggi dalam proses penyusunan kebijakan. Namun, hal ini perlu didukung pula dengan
34 Ibu Suriani, SLBN Marawola, Sigi, FGD Guru Evaluasi Nasional Program SPAB-Prov. Sulawesi Tengah 17 July 2020. 35 Sogen, Y, FGD Guru-Guru NTT 21 July 2020 36 Tuswadi 2014. Disaster Management and Prevention Education for Volcanic Eruption: A Case of Merapi Area Primary Schools in Java Island, Indonesia. PhD Thesis, Hiroshima University. 37 FGD Guru Evaluasi Nasional Program SPAB-Prov. Sulawesi Tengah 17 July 2020. 38 Nurdin, Nurmalahayati 2019. Disaster risk reduction in education and the secondary high school science curriculum in Indonesia. PhD Thesis – University College London.
Halaman 51 dari 100
kebijakan teknis yang dapat dikeluarkan dari BNPB yang berupa pemutakhiran dari Perka
BNPB No. 4 tahun 2012 yang sudah berjalan hampir satu dekade.
Tabel 2. Kebijakan terkait SPAB di Indonesia
Tahun Lembaga Nama regulasi/
keputusan
Legitimasi
Regulasi
Keterangan
2019 Kemendikbud Penyelenggaraan Program
SPAB
Peraturan Menteri Permendikbud 33/2019
2017 Kemendikbud Sekertariat Nasional
SPAB
Keputusan Menteri Kepmendikbud 110/P/2017
2016 DPR/ Pemerintah Undang-Undang
Penyandang Disabilitas
Undang-Undang UU 8/2016
2014 Kemendikbud Sekertariat SMAB Keputusan Sekjen
Kemendikbud
SK Sekjen Kemendikbud
8953/A.A2.1/KP/2014
2014 Kementerian
Perempuan dan
Perlindungan
Anak
Sekolah Ramah Anak -
Sekolah/ Madrasah Aman
Bencana
Peraturan Menteri Permeneg PP & PA 8/ 2014
2013 Kemendikbud Penyelanggaraan
Pendidikan Layanan
Khusus (termasuk
Pendidikan darurat)
Peraturan Menteri Permendikbud 72/2013
2012 BNPB Peraturan Kepala BNPB –
Penerapan
Sekolah/Madrasah Aman
Bencana
Panduan Penerapan Perka BNPB 4/2012
2010 Kemendikbud Pengarusutamaan PRB di
Sektor Pendidikan
Surat Edaran SE 70a/MPN/SE/2010
2008 Presiden Pendirian BNPB Peraturan Presiden PerPres 8/2008
2007 Kemendiknas Peraturan Standar Sarana
dan Prasarana untuk
SD/MI; SMP/MTs;
SMA/MA
Peraturan Mentri Permendiknas 24/2007
2007 DPR/ Pemerintah UU Penanggulangan
Bencana
Undang Undang UU 24/2007
Di sisi lain, masih banyak sekolah yang secara keliru menerapkan pola evakuasi gempa bumi
dalam konteks badai dan puting beliung karena proses evakuasi diarahkan ke lapangan luas
yang dalam konteks badai justru seharusnya menjadi terekspos pada benda-benda yang
beterbangan. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam masa yang akan datang, diperlukan
agenda-agenda penguatan satuan pendidikan secara lebih spesifik menyesuaikan dengan jenis
ancaman yang ada dengan tindakan yang lebih tepat.
IV.4.2. Efektivitas dan Efisiensi
“Yang pertama kali saya cari ketika terjadi gempa bumi di kelas adalah
meja, dan ketika gempa reda saya akan mencari jalan keluar dengan tas
yang diletakkan di kepala saya” (Muntiga- MA Darul Ulum – Aceh)
Saat ini, platform pelatihan online sudah tersedia untuk guru dan pendidik di kelas dengan
menggunakan e-learning untuk mempercepat proses pembelajaran39. Dengan mengetahui
39 Modul pembelajaran SPAB secara daring dapat diakses melalui https://simpatik.belajar.kemdikbud.go.id/user/spab
Halaman 52 dari 100
risikonya, guru dan pemangku kepentingan utama lainnya kemudian menyebarluaskan
pengetahuan tersebut ke dalam kampanye media yang inovatif seperti game online, kompetisi
online, media konten KIE (komunikasi, informasi dan pendidikan), dan APE (permainan alat
pendidikan).
Intervensi secara formal yang bersifat ‘berpusat pada pemerintah’ semata sebagaimana terlihat
dari capaian di bagian Relevansi (IV.4.1) di atas tidak cukup dalam melayani tingkat kebutuhan
yang ada. Dalam mencapai sebanyak mungkin satuan pendidikan diperlukan solusi yang
kontekstual dalam menyelesaikan persoalan yang ada. Salah satunya dengan mengadopsi
model-model alternatif dalam mendorong adopsi SPAB Pilar 3 yang sudah dan sedang
dipraktikkan di Indonesia dalam 12 tahun terakhir ini. Temuan evaluasi ini menunjukkan
bahwa PPRB bisa dicapai dengan: Pertama. Mendorong adopsi mandiri oleh satuan
pendidikan. Kedua, mengidentifikasi model-model integrasi PPRB ke dalam satuan
pendidikan dan mendorong diversifikasi model integrasi PPRB. Ketiga, menciptakan insentif
dan disinsentif yang bersifat strategis di mana satuan pendidikan dapat mengadopsi agenda
SPAB secara umum maupun PPRB secara khusus.
Secara umum, dalam penelitian sebelumnya termasuk kebijakan SPAB yang ada, dikenal
hanya integrasi PPRB ke dalam program SPAB terjadi di tiga aras: Pertama, integrasi
Pendidikan Bencana ke dalam kurikulum mainstream yang ada. Hal ini bisa melalui pelajaran
mainstream seperti pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di mana peristiwa fisik ancaman
alam diperkenalkan; Maupun pelajaran-pelajaran lainnya di mana pengetahuan tentang
perilaku dalam situasi darurat dan evakuasi diperkenalkan. Kedua melalui Muatan Lokal, di
mana PB menjadi sebuah mata pelajaran terpisah dan diajarkan secara rutin baik tiap periode
ajaran belajar mengajar tertentu pada tingkatan tertentu. Ketiga melalui kegiatan
ekstrakurikuler.
Selain tiga aras di atas, di mana Satuan Pendidikan menjadi pusat dari logika integrasi PPRB,
evaluasi ini menemukan beberapa model integrasi alternatif yakni melalui jalur-jalur alternatif
karena Pendidikan Formal bukan satu-satunya saluran PPRB: Pertama, jalur komunitas di
mana agenda-agenda PRB berbasis komunitas (PRBBK) pada hakikatnya adalah agenda
pemberdayaan yang memiliki aspek pendidikan masyarakat dengan berbagai branding seperti
Desa Tangguh (oleh BNPB) ataupun Kampung Siaga (Oleh Kementerian Sosial)40 dan segenap
varian PRBBK lainnya dapat secara transformative merubah paradigma terkait
penanggulangan bencana yang masih didominasi oleh orang dewasa dan mulai melibatkan
anak-anak dan remaja.41
Kedua, jalur pengurangan risiko bencana berbasis keluarga (PRBBKel) memiliki potensi tinggi
karena integrasi komunitas dan keluarga dapat membentuk sikap tangguh sejak usia dini.
Berdasarkan penelitian yang ada, keluarga memegang peranan penting dalam membentuk
40 Habibullah, Publisher, 2013. "Kebijakan Penanggulangan Bencana Berbasis Komunitas: Kampung Siaga Bencana Dan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana.," Socio Informa 18, no. 2. 41 S. Reed and D. Blariaux, 2020. "Evaluation of Unicef’s Disaster Risk Reduction Programming in Education (2103-2018) in East Asia and the Pacific," https://www.unicef.org/evaldatabase/files/EAPRO_DRR_Evaluation_Final_Report_Jan_28th.pdf
Halaman 53 dari 100
kecakapan hidup dan juga mendorong anak-anak untuk melakukan tindakan aksi di lingkungan
sekitarnya, termasuk dalam hal pengurangan risiko bencana 42.
Hal ini merubah paradigma bahwa pendidikan kebencanaan terpusat di satuan pendidikan yang
kemudian didorong untuk diterapkan di rumah dan lingkungan sekitarnya. Dengan perubahan
paradigma ini, pola intervensi juga bisa berjalan sebaliknya, dimana pendidikan kebencanaan
bisa dimulai dari lingkup keluarga atau komunitas yang kemudian bisa mendorong kegiatan
SPAB saat di satuan pendidikan.
a. Integrasi Mandiri Oleh Satuan Pendidikan
Kemandirian satuan pendidikan menjadi salah satu tujuan program SPAB sebagaimana tertulis
dalam Permendikbud 33/2019 Tentang Penyelenggaraan Program SPAB di Indonesia demi
mewujudkan pelindungan dan keselamatan kepada Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga
Kependidikan dari dampak Bencana di Satuan Pendidikan. Model pendekatan sekolah model
ataupun sekolah penggerak merupakan bentuk pendekatan sementara dengan target tiap
sekolah yang terseleksi sebagai sekolah model maupun sekolah penggerak akan tiba pada
kelulusan menjadi SPAB mandiri.
“Dalam konteks PRB, sekolah-sekolah model yang kita lakukan untuk
menjalankan kegiatan risiko pengurangan bencana, namun dalam konteks
mutu nasional kita menggunakan sekolah penggerak” ujar perwakilan saat
FGD Nasional Pilar 3
Satuan pendidikan masih diperlakukan sebagai penerima program SPAB oleh berbagai pihak
luar sekolah yang datang dan ‘berdakwah’ tentang Pendidikan bencana. Bagaimana satuan
pendidikan secara mandiri mengadopsi atau didorong dan difasilitasi untuk memiliki kebijakan
terkait PRB menjadi tantangan yang perlu diselesaikan.
Evaluasi ini menemukan bukti terkait Program SPAB mandiri di tingkat sekolah yang dapat
dikategorisasi menjadi dua model. Model pertama adalah model formal, di mana sekolah
membentuk struktur ‘tim siaga bencana’ yang membagi tugas dalam bentuk Pilar 1, 2 dan 3.
Model pertama ini dapat dilihat di SD Muhammadiyah Insan Kreatif Kembaran (MIKK) di
Bantul, Jogjakarta yang mana Sekolah menciptakan struktur SPAB dengan rencana kerja
tingkat sekolah yang rutin diperbaharui dengan target capaian yang terlihat. Model SD MIKK
di Bantu ini merupakan bentuk ‘champion’ yang bersifat ‘endogenous’ karena SD MIKK
bukan merupakan sekolah dampingan LSM Internasional yang kemudian bisa
mengembangkan program SPAB secara mandiri. Walau kemudian terjadi kolaborasi dengan
bentuk konsultasi dengan pihak LSM lokal di Jogjakarta, SD MIKK memberikan gambaran
tentang kemauan yang kuat dari komunitas sekolah (Kepala Sekolah dan Guru-Guru) dalam
membangun sistim SPAB seperti keterangan berikut:
“Kami membuat rencana aksi PRB tiap akhir tahun, salah satunya tahun
2020, ujian PAT PRB; Menyusun silabus RPP yang terintegrasi di setiap
mata pelajaran kelas. Menyusun dan mencetak LKS PRB, kelas PRB
sebulan seklai (setiap akhir bulan). Kami juga secara mandiri mengalokasi
dana untuk kegiatan SPAB tahunan. Kami juga bekerja sama dengan
42 Avianto Amri, 2020. "Building Disaster Resilient Households through a School-Based Education Intervention with Children and Their Families: Phd Thesis."
Halaman 54 dari 100
fasilitator dari LSM demi mewujudkan sekolah aman bencana dengan
kerjasama” kata salah seorang Kepala Sekolah di Yogyakarta
Model kedua adalah model adaptasi SPAB mandiri yang berbasis pendekatan ‘no-regret’ demi
penyelamatan komunitas satuan Pendidikan sebagaimana terlihat dalam kutipan di atas tetapi
tidak tertulis secara implisit dalam kebijakan Satuan Pendidikan. Sebagai contoh, di SD Inpris
Kalukubula di Sulawesi Tengah, belum ada program SPAB secara formal tingkat sekolah,
namun kegiatan kesigapan bencana sudah dilakukan dengan inisiatif guru.
“Walaupun belum ada tim siaga yang dibentuk, Motivasi kami guru-
guru dalam membuat program ‘kesigapan bencana’ terjadi karena
banyaknya bencana, sehingga siswa mengerti apa yang dapat
dilakukan jika terjadi bencana.”43
Sayangnya, tidak semua sekolah memiliki guru dengan kapasitas yang memadai dalam
memperkenalkan secara rutin PPRB. Keterbatasan internal sekolah membutuhkan partisipasi
pihak lain baik pemerintah daerah maupun orang tua.
“Mengintegrasikan materi SPAB ke dalam mata pelajaran susah
karena tidak semua guru mampu melakukannya. SPAB membutuhkan
dukungan dan partisipasi para pihak termasuk orangtua. Juga SPAB
butuh dana. Tantangan penerapan SPAB yaitu pendanaan. Sejauh ini,
belum ada pendanaan dari dinas untuk program SPAB sehingga
Satuan Pendidikan perlu mengalokasikan dana BOS untuk
pelaksanaan SPAB”. 44
Hasil FGD Nasional Pilar 3 juga menunjukkan bahwa Aceh terjadi adaptasi mandiri di sekolah-
sekolah yang diobservasi berbagai peneliti. Walau demikian, adaptasi mandiri di darah paska
bencana seperti di Aceh, merupakan sebuah fenomena yang relatif kompleks karena bertalian
erat dengan peran multi-pihak. Sebagai misal, secara historis, peran think tank seperti TDMRC
Aceh yang bekerja sama dengan UNESCO dan LIPI dalam Sekolah Siaga Bencana (SSB)
walau berbentuk pilot project di tahun 2009, namun demikian meninggalkan berbagai produk
yang membantu beberapa Satuan Pendidikan mampu tetap melanjutkan proses PPRB secara
mandiri45.
Walaupun ada faedahnya, menurut para peneliti, efektivitas adopsi mandiri sangat terbatas.
Sebagai misal, ada perbedaan antara sekolah yang terlibat dalam pilot project SSB dan yang
bukan SSB. Sekolah-sekolah yang mengadopsi SSB (berjumlah 88 sekolah dalam kurun waktu
2009-2014) memiliki lebih ragam media belajar yang terhubungkan dengan SPAB Pilar 2
yakni fasilitas keselamatan bencana seperti peta dan rute evakuasi. Walau demikian, paska
43 Ibu Azra, SD Inpres Kalukubula, Sigi, Sulteng - FGD Guru Evaluasi Nasional Program SPAB-Prov. Sulawesi Tengah 17 July 2020. 44 Ibu Rosdiana (SDN 6 Palu) FGD Guru Evaluasi Nasional Program SPAB-Prov. Sulawesi Tengah 17 July 2020. 45 Adiyoso W and Kanegae, H. 2012. The effect of different disaster education programs on tsunami preparedness among schoolchildren in Aceh, Indonesia Disaster Mitigation of Cultural Heritage and Historic Cities, Vo. (July 2012) pp. 165-172.
Halaman 55 dari 100
intervensi pihak luar, sekolah-sekolah pilot SSB menyebutkan bahwa keberlanjutan menjadi
masalah karena ketiadaan dukungan rutin seperti dana46.
b. Efektivitas Model-Model Integrasi Pendidikan Bencana dalam Satuan Pendidikan
Evaluasi ini menemukan model-model integrasi PPRB dalam satuan pendidikan yang ragam:
(1) Integrasi PB dalam Intrakurikuler (kurikulum mainstream dan tematis) (2) Integrasi PB
dalam Muatan Lokal (3) Integrasi PPRB dalam Ekstrakurikuler sebagai bentuk dominan (4)
Integrasi PPRB dengan pengurangan risiko bencana berbasis komunitas (PRBBK); (5)
Integrasi PPRB dengan PRB Berbasis Keluarga (ketiadaan skema kelembagaan, regulasi dan
insentif) (6) Integrasi PB dengan Sistim Pra-Jabatan PNS (dibutuhkan advokasi) (7) Model
integrasi hibrida (multi-pronged) melampaui satuan pendidikan.
Integrasi PB dalam Kurikulum Arus Utama
Proses-proses integrasi PPRB dalam kurikulum arus utama menjadi salah satu pilihan. Tuswadi
(2014)47 melalukan observasi dua model integrasi yakni pertama, model integrasi di mana
PPRB bersarang (nested) di dalam mata pelajaran utama (Lihat gambar 1). Pelaksanaan model
integrasi nested terlihat di praktikan di berbagai tempat. Berbagai jenis peristiwa alam yang
mengancam seperti gempa bumi, gunung api, tsunami dan sebagainya di perkenalkan melalui
mata pelajaran sains maupun geografi (Skenario 1.1, Gambar 1) ataupun humaniora (Skenario
1.2). Secara umum, pengetahuan terkait PRB di Aceh diintegrasikan dengan mata pelajaran
utama seperti Bahasa Indonesia, Agama, Ilmu Sosial, Ilmu Alam dan Mulok48. Skenaro 1.3
adalah skenario fleksibel yang bergantung pada diskresi guru dalam memperkenalkan PRB
dalam pelajaran yang diampuhnya (1C).
Model kedua adalah model pengenalan PPRB secara terpisah (isolated teaching) yang di Aceh
di kenal dengan model Sekolah Siaga Bencana (SSB) yang dapat bermakna integrasi dalam
bentuk Muatan Lokal (Lihat Bagian 3.2.2) ataupun Ekstra Kurikuler (Lihat Bagian 3.2.3).
“Terintegrasinya pendidikan kebencanaan di tingkat sekolah dasar, lanjutan, dan menengah
sederajat;”49
Model nested ini diimplementasi di SMA 1 Peukan Bada di mana materi pendidikan bencana
dilakukan melalui pelajaran sekolah. Prasyarat pendekatan ini adalah guru-guru wajib
mendapatkan pengembangan kapasitas. Di SMA 1 Peukan, guru-guru mendapatkan pelatihan
SPAB karena diwajibkan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) dan UNICEF. 50
“Program SPAB seharusnya berlanjut dengan menguatkan komitmen bersama. Sebaiknya
tidak hanya basis proyek tapi masuk ke kurikulum sekolah agar terbiasa”51 .
46 The 11th Years Assessment on School Safety and Disaster Education at the Public Elementary Schools in Banda Aceh after the 2004 Aceh Tsunami: Preliminary Findings Sakurai et. al. 2015. In Prosiding Simposium Nasional Mitigasi Bencana Tsunami 2015, TDMRC Universitas Syiah No. ISSN: 2477-6440 Banda Aceh, 21-22 Desember 2015. 47 Tuswadi 2014. Disaster Management and Prevention Education for Volcanic Eruption: A Case of Merapi Area Primary Schools in Java Island, Indonesia. PhD Thesis, Hiroshima University. 48 Adiyoso and Kanegae 2012. Opt cit. 49 Pemerintah Aceh 2010. Peraturan Gubernur Aceh 48 Tahun 2010 Tentang Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana Aceh Tahun 2010-2012 50 Amina, SMA 1 Peukan Bada FGD SPAB Sekolah Aceh, 8 Juli 2020 51 Samsul Bahri (Darul Ulum) SMA 1 Peukan Bada FGD SPAB Sekolah Aceh, 8 Juli 2020
Halaman 56 dari 100
“Diperlukan peningkatan kapasitas guru agar dalam keadaan kapanpun selalu siap untuk
mengajarkan anak-anak terkait aman bencana.”52
Namun model nested ini juga bisa diperkenalkan dalam bentuk mata pelajaran alternatif seperti
field trips (Gambar 17). Sebagai misal, di Kota Kupang, responden dari Satuan Pendidikan
Swasta mengaku mengadopsi SPAB secara parsial dan menyesuaikan dengan konteks bencana
yang mampu diingat guru. Sebagai misal, risiko kebakaran dianggap sebagai sebuah peristiwa
berulang sehingga metode field trip atau kunjungan lapangan ke DamKar Kota Kupang di
lakukan siswa diharapkan dapat memiliki pengetahuan kognitif (tahu apa yg dilakukan dan
dipersiapan tim Damkar untuk menangani kebakaran), sekaligus mendapatkan pengalaman
bagaimana ‘berada diatas mobil dan menjadi fire fighter untuk beberapa saat’.53
Walau demikian, para responden dari pihak satuan pendidikan melihat bahwa rahasia
keberlanjutan model integrasi PPRB ini sangat bergantung pada tingkat proaktifnya Dinas
Pendidikan. Salah satunya adalah perlunya komunikasi yang lebih rutin ke sekolah dalam
bentuk “surat edaran (SE) khusus dari Dinas Pendidikan diperlukan karena sekolah juga
memiliki alokasi dana pendampingan.” 54 SE Dinas Pendidikan dilihat sebagai salah satu
sumber legitimasi dan dorongan bagi sekolah untuk melalukan SPAB termasuk Pendidikan
Bencana.
Scenario 1.1. Ancaman alam di
ajari dalam mata pelajaran Ilmu
Pengetahuan Alam dan Geografi
Scenario 1.2. Konsep aman, hijau,
sehat, inklusi, ramah dan
menyenangkan diperkenalkan
dalam humaniora
Scenario 1.3. Diskresi guru dalam
integrase jenis PPRB tertentu
dalam Mapel yang diampuhnya
sesuai kapasitas guru
Gambar 17. Model nested Integrasi Pendidikan Pengurangan Bencana di Indosia. Adaptasi Tuswadi
(2014)
Integrasi PB dalam Muatan Lokal
Integrasi PPRB dalam satuan pendidikan melalui muatan lokal bervariasi dari daerah ke daerah
baik melalui regulasi ataupun tanpa regulasi. Regulasi Mulok terlihat berdampak pada insentif
bagi pengembangan kapasitas kelembagaan satuan pendidikan dalam menggagas agenda-
agenda SPAB termasuk penciptaan modul-modul dan ataupun produksi materi Mulok. Tetapi
skala implementasi masih berpatok pada pilot project pada sekolah-sekolah terpilih tanpa
scaling-up yang memadai.
52 SDN 50 Banda Aceh FGD SPAB Sekolah Aceh, 8 Juli 2020 53 SD Kupang Montesori School, FGD Sekolah SPBA NTT 54 SDN 50 Banda Aceh FGD SPAB Sekolah Aceh, 8 Juli 2020
Science Geography
Gunung
api
Tsunami
Banjir
Gempa
Bumi
Kebakaran
Longsor
Humaniora
Menyenangkan
Ramah
anak
Sekolah
inklusi
Sekolah
sehat
Sekolah
aman
Sekolah
hijau
Mapel mainstream
PPRB 1 Sekolah
hijau
PPRB 3 PPRB n+1
Halaman 57 dari 100
Secara umum, terjadi peningkatan penggunaan Mulok PRB di tingkat satuan pendidikan di
Indonesia di bandingkan 12 tahun yang lalu. Sayangnya dalam penelitian ini tidak tersedia
(atau tepatnya kami belum mendapatkan) data yang memadai terkait adopsi Mulok PRB di
27,000 Satuan Pendidikan yang diklaim Kementerian Pendidikan telah mengadopsi SPAB di
Indonesia.
Di Sikka, NTT, melalui Mulok, dalam sekolah-sekolah target kemudian mendapatkan
pelatihan dan pendampingan dan berujung pada pengembangan modul khusus yang
diperkenalkan ke pada para siswa. Kolaborasi LSM dan Pemerintah Darah dalam melakukan
peningkatan kapasitas, termasuk dalam mengintegrasikan PPRB sebagai Mulok di Satuan
Pendidikan. Sikka dapat dilihat sebagai sebuah benchmarking bagi kabupaten kota lainnya di
Indonesia, di mana PB menjadi sebuah imperative dari Peraturan Bupati tentang integrasi PB
dalam kurikulum melalui jalur muatan lokal (Mulok) maupun extra-kurikuler.
Ada beberapa modul yang sudah kita lakukan, dari Sikka ada Sanres yang sudah membuat
modul yang diintegrasikan dengan mulok. 55
Sedangkan di Timor Tengah Selatan, tanpa regulasi khusus terkait Mulok PPRB, kolaborasi
LSM dengan Dinas Pendidikan mampu memfasilitasi dan mendampingi sekolah-sekolah target
pilot project.
“Kami sudah mendapatkan pendampingan dan pelatihan bagaimana
kami mengintegrasikan materi ini ke dalam mata pelajaran, kami
sudah mendapatkan modulnya dan melaksanakan, untuk kelas 4-6.
Untuk kelas 1-3 yang kami laksanakan yaitu melalui bacaan-bacaan
mengenai bencana dan poster yang kami pasang di setiap kelas.56
Namun secara umum, evaluasi kami menunjukkan dua perspektif terkait Mulok PRB yang
dipahami secara berbeda oleh para peneliti dan advokat Mulok PRB. Pertama, Mulok sebagai
sebuah respons kontekstual atas pentingnya Pendidikan Bencana karena tuntutan kebutuhan
dan konteks daerah rawan bencana. Manifestasi dari model respon ini adalah dibentuknya
sebuah mata pelajaran baru yang terpisah dari mata pelajaran arus utama di Bagian 3.2.1. Di
Aceh, model Mulok ini di praktikan dalam bentuk 2 jam per minggu57 dan/atau 4x45menit.
seminggu. Sejarahnya dapat ditarik ke tahun 2009 di mana Tsunami and Disaster Mitigation
Research Centre (TDMRC) Bersama LIPI dan UNESCO menginisiasi SSB sebagaimana
diungkap pada Bagian 3.2.1 di atas.
Di berbagai daerah, pendekatan Mulok lebih banyak diarahkan pada peningkatan tingkat
kognisi di mana kelompok anak-anak yang diintervensi cenderung memiliki respons kognisi
yang lebih baik dibandingkan control group baik di Banda Aceh, Bengkulu58
Kedua, Mulok PRB sebagai sebuah upaya menggali kearifan lokal setempat yang bertujuan
mendokumentasi dari tacit knowledge berbasis sejarah lisan kebencanaan yang terinternalisasi
dalam budaya setempat menjadi pengetahuan yang dapat diekspresikan atau direkam dan
55 Chris Nggelan, 2020 – FGD Multistakeholder SPAB NTT, 9 July 2020’ 56 Helmy Poek SD Nenoheun TTS - FGD Multistakeholder SPAB NTT, 9 July 2020] 57 Nurdin, Nurmalahayati 2019. Disaster risk reduction in education and the secondary high school science
curriculum in Indonesia. PhD Thesis – University College London. 58 Islami, PM., Lusa, H., dan Dalifa, 20Pengaruh Bahan Ajar Muatan Lokal Bencana Alam di Bengkulu Terhadap Hasil Belajar Siswa di Kelas V. Jurnal Riset Pendidikan Dasar, 1 (3) : 199-206
Halaman 58 dari 100
diperkenalkan kepada peserta didik. Dalam hal ini, pengenalan pada pengetahuan Smong
(tsunami) di transformasi menjadi Mulok.59 Walau berpotensi menjadi Mulok, kearifan lokal
untuk Pendidikan Bencana tidak sepenuhnya diperkenalkan secara formal di Sekolah
sebagaimana terjadi di Minangkabau.60
Integrasi Pendidikan PRB dalam Ekstrakurikuler
Menurut literatur, aktivitas ekstrakurikuler dipahami sebagai kegiatan outdoor yang
menunjang sisi kognitif dan motorik anak. Ekstrakurikuler dalam konteks Pendidikan PRB
sering dipahami sebagai kegiatan kesiapsiagaan seperti drill bencana sebagaimana terlihat
dalam pengenalan awal SSB di Indonesia, sebagai misal di Kabupaten Sikka 2008.61,62
Penelitian dari Aceh juga ditemukan bahwa kegiatan SPAB kebanyakan masih didominasi oleh
kegiatan extracurricular (Gambar 18)63.
Scenario 2.1. Ekstrakurikuler terpisah sebagai
pelajaran tambahan
Scenario 2.2. Ekstrakurikuler yang melekat dengan
pelajaran olahraga
Gambar 18. Skenario integrasi SPAB dalam program ekstra dan intra kurikuler
Hingga sebelum era COVID-19, sekolah-sekolah pilot SPAB di Sikka diklaim masih terus
menerapkan ekstrakurikuler, tetapi dengan modifikasi dengan integrasi pada mata pelajaran
olahraga yang disisipi kegiatan simulasi sesekali di hari Sabtu.
“Model ekstrakurikuler terdiri dari dua model yakni dengan
ekstrakurikuler terpisah (standalone) dan model ekstrakurikuler yang
melekat pada pelajaran tertentu seperti Mapel Olahraga. Hal ini konsisten
59 M Desfandi, 2019. "Kearifan Lokal Smong Dalam Konteks Pendidikan : Revitalisasi Nilai Sosial-Budaya Simeulue." 60Damsar and Indrayani, "Local Wisdom Based Disaster Education in Minangkabau Society ". 61 UNESCO, LIPI, and Yayasan Puter, Publisher, 2009. "Cerita Dari Maumere: Membangun Sekolah Siaga Bencana." 62 http://lipi.go.id/berita/unesco-resmikan-sekolah-siaga-bencana-di-maumere/4151 63 Nurdin, Nurmalahayati 2019. Op. cit.
Extracurricular
Mapel Olahraga
Extracurricular
Halaman 59 dari 100
baik dari Aceh maupun Jakarta” sebut salah satu perwakilan dinas
pendidikan saat FGD Evaluasi Nasional
Contoh ekstrakurikuler terpisah adalah kegiatan Pramuka dan Palang Merah Remaja. Dalam
pengamatan kami, dua institusi ini dalam konteks tertentu menjadi bentuk integrasi yang berada
di luar kontrol atau agenda sekolah. Dalam hal ini, isi dari pada Pendidikan Bencana yang
ditawarkan dua institusi ini pada dasarnya berbeda walaupun bisa dikatakan terdapat irisan
kepentingan SPAB.
Sejauh ini, integrasi PPRB dalam konteks Pramuka diinisiasi oleh BNPB di tingkat nasional.
Gambar 19 memberikan ilustrasi kegiatan intervensi BNPB dalam rangka PPRB bagi pramuka
dengan capaian 700 siswa Bimbingan Teknis di 2019 yang diharapkan menjadi pendakwah
PPRB bagi peserta didik. Dalam evaluasi ini, asumsi jangkauan 28000 siswa adalah angka
hipotesis.
Sejauh ini belum terdapat studi sistematis terkait peran pramuka dalam memperkuat SPAB dan
sebaliknya bagaimana menjadikan PPRB menjadi agenda rutin pramuka. Namun penelitian
menunukan bahwa ada asosiasi yang kuat antara ekstrakurikuler kepramukaan yang
terintegrasi PPRB kegempaan dengan ketrampilan tanggap bencana siswa SD di Kota
Bengkulu.64
Gambar 19. Tahapan Implementasi SPAB Berbasis Pramuka 2019
Secara umum, walaupun mata-pelajaran olahraga dilekatkan sejumlah kegiatan
ekstrakurikuler, dalam evaluasi ini kami belum mendapatkan gambaran terkait peran
kelembagaan olah raga dalam kaitannya dengan pembangunan ketangguhan bencana Satuan
Pendidikan.
Integrasi PB dengan PRBBK
Secara historis, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terutama yang berfokus pada anak,
sejak Tahun 2007 telah mengupayakan berbagai upaya Pengurangan Risiko Bencana Berbasis
Komunitas (PRBBK) dengan sejumlah agenda integrasi PPRB ke dalam kegiatan-kegiatan
64 Puspadiningrum et. al. 2017. Ekstrakurikuler Pramuka Terintegrasi Siaga Bencana Gempa Bumi Terhadap Keterampilan Tanggap Bencana Siswa SD. Jurnal PGSD: Jurnal Ilmiah Pendidikan Guru Sekolah Dasar, 10 (2): 73-78.
Halaman 60 dari 100
rutin Bersama komunitas. Di Rembang dan Sikka, rekan-rekan Plan Internasional Indonesia
(PII) bersama dengan mitra-mitra lokal seperti memfasilitasi berbagai forum anak desa yang
terintegrasi dengan Forum PRB desa dan kecamatan.65 Di Palu, paska Gempa 2018, beberapa
LSM melakukan sosialisasi terkait aman bencana, membangun papan informasi di sekolah
dasar sasaran dilengkapi dengan distribusi roll banner, serta pemasangan poster kebencanaan.66
Penelitian Oktari et. al. (2015) menunjukkan diperlukannya kerangka kerja kolaboratif antara
Satuan Pendidikan dan komunitas pantai di Banda Aceh dalam meningkatkan ketangguhan
komunitas.67
PRBBK bermanifestasi dalam banyak jenis branding. Kegiatan Desa Tangguh Bencana
harapannya dapat menaungi SPAB secara terintegrasi agar konektivitas sekolah dengan
pemerintah desa terbangun.68
Integrasi PB dengan PRB Berbasis Keluarga
Narasi terkait PRB Berbasis Keluarga menjadi narasi primadona dari kepemimpinan PRB
dalam tiga tahun terakhir. Walaupun secara konsep menarik perhatian akademisi, namun secara
kebijakan belum ditemukan kejelasan target jangkauan riil pada Satuan Pendidikan terutama
terkait bagaimana mengimplementasi slogan ‘leave No.child behind’ terhadap sedikitnya 62
juta peserta didik dan 43 juta keluarga peserta didik.
Di tingkat satuan pendidikan, kesadaran tentang pentingnya menjangkau keluarga disadari oleh
para guru. Di Nusa Tenggara Timur, narasi keluarga mengemuka dalam FGD Pilar 3 SPAB
NTT:
“Kegiatan integrasi ke kurikulum tidak ada kendala. Kami juga
menyampaikan kepada masyarakat mengenai bagaimana
menyelamatkan diri sehingga bukan saja pihak sekolah yang tahu,
dalam forum atau rapat kami selalu meminta beberapa menit untuk
menyampaikan mengenai kebencanaan kepada orang-tua yang hadir.
Sehingga pendidikan ini bukan hanya anak dan guru yang tahu
namun orang tua pun juga tahu. Saat anak-anak kembali ke rumah,
mereka menyuarakan hal ini di rumah masing-masing contohnya
mencuci tangan hal ini juga dipraktikkan di lingkungan keluarga.”69
“Kita memberdayakan sumber daya yang ada disekolah, maka
sekolah berusaha mempersiapkan siswa untuk memahami bencana
dulu, harapannya nanti bisa diterapkan ke rumahnya. Anak (siswa)
65 Plan Indonesia (2018), Ex Post Evaluation Study for Safe Schools Project Implementation in Lembata and Sikka Districts 66 Arie Setiawan (WVI) FGD Evaluasi Nasional SPAB Provinsi Sulawesi Tengah, Selasa, 14 Juli 2020 67 Oktari et. al. 2015. A conceptual model of a school–community collaborative network in enhancing coastal community resilience in Banda Aceh, Indonesia. International Journal of Disaster Risk Reduction (12): 300-310 68 Idawati (BPBD Sigi) 69 Helmy Poek SD Nenoheun TTS - FGD Multistakeholder SPAB NTT, 9 July 2020]
Halaman 61 dari 100
sudah mulai mampu memahami dan mengkomunikasikan risiko
sekolah di lingkungan rumah.“70
Integrasi PB dengan Sistim Pra-Jabatan PNS
Integrasi Pilar 3 tidak harus dilakukan secara in-situ yakni semata-mata pada tingkat satuan
pendidikan, tetapi di tataran kurikulum LPTK, di mana para calon pengajar mendapatkan
pemahaman dasar terkait pendidikan aman bencana, dengan intervensi di lima program utama:
kepemimpinan, transformasi PPG saat pra-jabatan; pengembangan ekosistem belajar guru di
daerah; Pendidikan yang bergotong royong untuk tujuan yang sama dalam mendidik subyek
(murid); Serta kelembagaan yakni regulasi, tata kelola dan koordinasi dengan Pemda. Sebagai
misal, hal ini bisa diterapkan dengan sebuah mata kuliah 2 SKS.
Gambar xx.
c. Efektivitas Regulasi Daerah
Tentang sejauh mana regulasi di daerah berdampak pada adopsi PPRB dalam kegiatan rutin di
satuan pendidikan, jawabannya bervariasi. Sebagai misal, di Provinsi Aceh, keberadaan
Instruksi Gubernur Provinsi NAD 2/2020 Tentang Integrasi Pengurangan Risiko Bencana
dalam Kurikulum hanya berujung pada implementasi parsial pada beberapa satuan pendidikan
di Kota Banda Aceh.71
Perlunya kejelasan regulasi di daerah karena regulasi penanggulangan bencana yang ada tidak
memiliki imperative kepada pelaksanaan pendidikan kebencanaan secara khusus sehingga
fokusnya menjadi tidak terarah. Hal ini menjadi kesadaran para aktor di Aceh saat ini yang
sedang mengembangkan draf Qanun Pendidikan Bencana.
70 Focal Point dan Guru di SD St. Yoseph Sikka 71 Sakurai et. al. 2018. Exploring minimum essentials for sustainable school disaster preparedness: A case of elementary schools in Banda Aceh City, Indonesia. International Journal of Disaster Risk Reduction, 29: 73-83.
Halaman 62 dari 100
Hingga laporan ini dituliskan para stakeholder di Aceh masih memperjuangkan lahirnya
regulasi dalam bentuk Perda (qanun) yang secara teori diharapkan lebih memberikan kekuatan
ditingkat eksekutif dalam mengalokasikan sumber daya.72
Kombinasi antara ekstrakurikuler dengan integrasi pada mata pelajaran olahraga dapat
dilakukan dan diintegrasikan dengan kegiatan simulasi rutin di hari Sabtu dalam kurun waktu
2017-2018.73
Di Jakarta, sekolah-sekolah yang aktif dalam pelaksanaan PPRB – seperti di SDN Klender 21
mulai sejak 2019 didukung oleh LSM. PPRB disesuaikan dengan konteks, sebagai misal, para
siswa belajar cara menggunakan peralatan elektronik dan penghematan air di sekolah dan di
rumah untuk upaya pendidikan pencegahan kebakaran. Dan Pendidikan PPRB diintegrasi
dengan Pilar 2 yakni kegiatan simulasi kebakaran bersama DAMKAR satu tahun tiga kali.74
d. Model Adopsi Implementasi Pilar 3 SPAB: PPRB
Karena secara praktis kecil kemungkinan memulai implementasi semua pilar SPAB di tingkat
Satuan Pendidikan, maka beberapa pendekatan oleh berbagai aktor nasional yang kami
identifikasi terjadi dalam kurun waktu dua belas tahun ini. Urutan-urutan di bawah ini
dilakukan menurut proses evolusi adopsi PRB di tingkat satuan Pendidikan.
Pendekatan Sekolah dampingan LSM
Kami menemukan sesuatu yang cukup konsisten bahwa asal mula experiment SPAB di
Indonesia digerakkan oleh LSM-LSM yang berfokus pada anak-anak, sebagai misal, Plan
Internasional,75 Save the Children, World Vision, Child Fund dan sebagainya. Pengakuan ini
terlihat jelas di berbagai provinsi (sebagai misal Sulawesi Tengah, Jawa Tengah, Jogjakarta,
Nusa Tenggara Timur).
Pendekatan Benchmarking Sekolah Model atau Sekolah Champion
Pendekatan SPAB Model atau Sekolah Model dalam konteks membangun ketangguhan Satuan
Pendidikan adalah sebuah pendekatan yang sudah lama diadopsi oleh Kementerian Pendidikan
dalam beberapa dekade terakhir. Versi terakhir Sekolah Model Kemendikbud di dasarkan pada
6 kriteria yaitu masyarakat sekolah yang berakhlak mulia, mandiri, bernalar kritis, kreatif,
gotong royong, dan kebhinekaan global.76
Nama ‘sekolah model; ini kemudian di adaptasi dengan istilah ‘Sekolah Penggerak’ yang
dalam “dalam konteks PRB, sekolah-sekolah penggerak ini menjadi sekolah model untuk
menjalankan kegiatan risiko pengurangan bencana” - dalam konteks pengembangan mutu
nasional kita menggunakan sekolah penggerak.77 Dalam konteks PPRB, “sekolah-sekolah
model untuk menjalankan kegiatan risiko pengurangan bencana, namun dalam konteks mutu
nasional kita menggunakan sekolah penggerak. Walaupun visi PB tidak hanya berhenti pada
meningkatnya kompetensi guru tetapi lebih kepada apakah pemahaman tentang Pendidikan
72 FGD SPAB Provinsi Aceh Tanggal, Bulan, 2020. 73 FGD SPAB Pripinsi NTT, Tanggal, Bulan, 2020 74 Utin Sutinah SDN Klender 21 FGD Guru Evaluasi Nasional SPAB Provinsi DKI Jakarta Rabu, 29 Juli 2020 75 Lassa et. al. Forthcoming 76 Lihat Kemendikbud Selenggarakan Jambore Pandu Sekolah Model Tahun 2019 20 Maret 2019 - https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2019/03/kemendikbud-selenggarakan-jambore-pandu-sekolah-model-tahun-2019 77 Praptono, FGD Nasional Multipihak Pilar 3, 23 Juni 2020
Halaman 63 dari 100
Risiko Bencana ini dapat diimplementasikan oleh siswa-siswa, sehingga apa bisa terukur pada
capaian belajar anak.
Sekolah Sasaran (Targeted school)
Sekolah Sasaran adalah terminologi operasional yang dipakai di Kabupaten/Kota di mana
kriteria sasaran ditentukan sebelum memilih sebuah satuan pendidikan sasaran. Sebagai misal,
Sejak 2016, Pemerintah Kabupaten Sikka menggunakan pendekatan ‘Sekolah Sasaran’ yang
didasarkan pada kriteria sekolah yang berpotensi terdampak tsunami dan gempa bumi serta
berada di pedesaan.
Dalam praktiknya, ketiga model ini menjadi hibrida karena rekrutmen sekolah sasaran sering
kali didasarkan pada sekolah-sekolah yang telah di bina oleh LSM. Hal ini terlihat jelas dalam
Sekolah Sasaran di Nusa Tenggara Timur (Kabupaten Sikka dan Timor Tengah Selatan) dan
Sulawesi Tengah di mana rekrutmen sekolah sasaran dilakukan secara bersama oleh dinas
Pendidikan dan LSM pendamping.
Sister School versi BNPB
Integrasi model ‘sister school’ ini menjadi idaman BNPB secara umum di mana BNPB
berkomitmen dalam melakukan percepatan integrasi dan harmonisasi mata pelajaran yang
berkaitan dengan kebencanaan di seluruh jenjang pendidikan untuk semua jenis ancaman
bencana. Dapat dikatakan bahwa BNPB melakukan “direct selling” SPAB langsung di sekolah.
Dalam kurun waktu 2015-2018, implementasi SPAB diwujudkan dengan 11 tahapan SPAB di
kombinasikan dengan mekanisme sister school. BNPB berambisi agar di tahun 2024 terdapat
100% adopsi program SPAB di semua satuan pendidikan. Hal ini berarti dari 60 sekolah
dengan status ‘sister school’ dianggap sukses melakukan SPAB mandiri yang digagas oleh
BNPB akan ditingkatkan untuk menjangkau lebih dari 600,000 satuan pendidikan di tanah air.
“Sebelum tahun 2015, kami melakukan sosialisasi secara umum,
sedangkan (sejak) tahun 2015 kami mulai mengkhususkan program SPAB
ke dalam 11 langkah di beberapa daerah di Indonesia. Strategi tahun
2015-2018, kami bekerja sama dengan BPBD dan Dinas Pendidikan
memberikan pelatihan dan mengimplementasikannya langsung di sekolah,
namun dari pelaksanaan selama 4 tahun ini kami merasa output yang ada
masih belum maksimal dari masing-masing sekolah yang dapat kami
intervensi melalui program SPAB dan juga dari laporan yang kami terima
tindak lanjut dari daerah untuk melakukan SPAB secara mandiri juga tidak
terlalu signifikan, hanya terdapat 60 sekolah selama kurun waktu hingga
2020 yang ditindaklanjuti secara mandiri, alhasil pada tahun 2019 kami
mengubah strategi tidak hanya sebagai pelaksana di daerah juga menjadi
koordinator melalui jejaring salah satunya melalui pramuka, karena
memiliki jaringan masif dan memiliki sifat kerelawanan yang militan,
sehingga tanpa perlu dukungan anggaran mereka bisa melanjutkan secara
mandiri.” ujar salah satu perwakilan BNPB saat FGD di tingkat nasional.
Halaman 64 dari 100
Replikasi SPAB secara kualitas dan kuantitas di mana di tahun 2024. Salah satu jalan keluar
adalah dengan mengembangkan pedoman fasilitasi mandiri SPAB.78
BNPB juga mencoba mengombinasi Sister School dengan menggandeng Gugus Depan
Pramuka. BNPB juga mengadopsi pelatihan berbasis aksi melalui Pendekatan Bimbingan
Teknis (BIMTEK) yang telah dilakukan di 7 kota dengan target melatih 35 calon fasilitator di
tiap kabupaten/kota. Pada tahun 2019 BNPB telah melatih 560 fasilitator daerah di mana setiap
fasilitator diharapkan melakukan post-training action di 2 sekolah.
Strategi BNPB di tahun 2019 adalah dengan bekerja sama dengan Pramuka dan menyusun
buku saku dengan sasaran mempermudah siswa untuk mempelajari SPAB. “Mereka
menindaklanjuti ke sekolah dampingannya dan capaian kami mengasumsikan setiap fasilitator
mendampingi 2 sekolah dan setiap sekolah dengan asumsi 100 siswa akan ada 28.000 siswa
yang akan kami dapatkan pada tahun 2019. Memang pada kenyataannya tidak sesuai dengan
asumsi di awal, tapi setidaknya 50-70% fasilitator melanjutkan tindak lanjut SPAB ini secara
mandiri di sekolah-sekolah dampingan mereka.”79 Tentang bagaimana mengukur capaian 50-
70 % kesuksesan fasilitator SPAB ini perlu ditelaah lebih lanjut.
IV.4.3. Dampak
a. Dampak Regulasi SPAB
Perkembangan regulasi PPRB di Indonesia sedang bergerak menuju ke arah yang lebih baik
tetapi dibutuhkan komitmen yang lebih tegas bagi Indonesia dalam memenuhi komitmen
implementasi Sendai Framework di Tahun 2030. Kerangka Aksi Hyogo for Action maupun
Kerangka Kerja Untuk Pengurangan Risiko Bencana (PRB) melihat penciptaan undang-
undang dan regulasi terkait PRB sebagai upaya mendasar dalam menciptakan ketangguhan
sebuah bangsa. Sejak 2007, terdapat sedikitnya 12 regulasi di tingkat nasional; maupun lebih
dari 500 regulasi di tingkat provinsi dan daerah kabupaten/kota terkait penanggulangan
bencana secara umum. Walau demikian, terkait regulasi PPRB hingga September 2020, hanya
6 dari 34 provinsi memiliki regulasi setingkat peraturan gubernur / perda provinsi terkait PPRB.
Tercatat kurang dari 10 kabupaten dan kota yang telah menginisiasi regulasi terkait Pendidikan
Bencana dalam 12 tahun terakhir.
Laju implementasi PPRB secara nasional meningkat dari tiada pra 2008 menjadi 2,200 SP per
tahun dalam kurun waktu 12 tahun. Secara total, program PPRB beranjak dari tiada menjadi
total 27 ribu Satuan Pendidikan, atau setara 10% total SP Dasar dan Menengah yang ada
(>271,000) [Atau 4% saja bila PAUD, Diksus, Dikmas, Vokasi di bawah Kemendikbud dan
Kemenag dimasukkan]. Jumlah ini setara 2.7 juta dari 64 juta peserta didik yang perlu
dijangkau.
Secara umum, kesiapan Satuan Pendidikan untuk menjalankan di tingkat SPAB dipandang
belum cukup. Dibutuhkan kebijakan yang saling mendukung dan harmonis dari provinsi
hingga kabupaten/kota untuk memperkuat SPAB80. Pendidikan pencegahan dan pengurangan
78 BNPB 2020, Panduan Teknis Fasilitasi SPAB Bagi Fasilitator Pemula – Edisi Fasilitasi Kelompok Anak Anak BNPB 2020. Untuk Indonesia Yang Tangguh Bencana, Badan Penanggulangan Bencana Nasional 79 Lilies, Kasie Advokasi Mitigasi BNPB: Strategi SPAB Tahun 2020 Direktorat Mitigasi Bencana BNPB. FGD Pilar 3 Nasional, 23 June 2020. 80 Indra Saputra (PMPB) FGD Evaluasi Nasional SPAB Provinsi Sulawesi Tengah, Selasa, 14 Juli 2020
Halaman 65 dari 100
risiko bencana sendiri perlu didukung oleh kebijakan di tingkat daerah yang mendorong guru
dan tenaga kependidikan lainnya dalam mengimplementasikan program SPAB.
b. Dampak Kelembagaan Sekretariat Bersama SPAB di Nasional dan Daerah
Capaian Kelembagaan 1 - Sekber Nasional Sebagai Katalisator SPBA
Sekretariat Nasional SPAB yang berevolusi sejak Sekretariat Sekolah Madrasah Aman
Bencana (SMAB) di 2014 menunjukkan beberapa dampak positif dalam menggulirkan
wacana-wacana dan instrumen-instrumen pengembangan kapasitas Satuan Pendidikan terkait
PRB seperti material pelatihan fasilitator maupun dokumentasi praktik-praktik baik.
Sekretariat Nasional juga berfungsi menjadi simpul penyebaran informasi dan pengetahuan
praktis terkait implementasi PPRB di Indonesia. Dengan keberadaan di Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Seknas SPAB juga menjadi simpul layanan bagi berbagai Sekber
di Provinsi dan Kabupaten yang tertarik dalam mengimplementasi SPAB.
Salah satu kontribusi penting Seknas SPAB adalah pada peningkatan jumlah publikasi material
terkait SPAB yang diproduksikan bersama para stakeholder di Nasional (Lihat Box 1). Sebagai
contoh, Seknas bersama Kementerian/Lembaga bersama mengembangkan dokumen belajar
dengan tujuan penyampaian pengetahuan; Daerah mengambil inisiatif sendiri dalam
pengembangan Modul Belajar Kabupaten dan Provinsi, dan fenomena ini perlu dipandang
secara positif. Di Palu, Sekber terlibat dalam membuat buku kurikulum mitigasi berbasis
kearifan lokal dan diterapkan di beberapa sekolah.81
Box 1. Daftar Panduan Produk Pendidikan Bencana
1 Panduan Teknis Fasilitasi SPAB Bagi Fasilitator Pemula – Edisi Fasilitasi Kelompok Anak Anak
BNPB 2020. Untuk Indonesia Yang Tangguh Bencana, Badan Penanggulangan Bencana
Nasional
2 Direktorat Pengurangan Risiko Bencana 2019. Jangan Panik: Ragam Cerita Praktik Baik
Kebencanaan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
3 Amri, A. 2017. Pendidikan Tangguh Bencana: Mewujudkan Satuan Pendidikan Aman Bencana
di Indonesia. BNBP, Kemendikbud dan Seknas SPAB.
4 Kemenneg PPPA 2015. Panduan Sekolah Ramah Anak. Deputi Tumbuh Kembang Anak.
Kementerian Peberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Sumber: Penulis
Capaian Kelembagaan 2 - Sekber SPAB Provinsi dan Kabupaten/Kota
Nilai tambah keberadaan Sekretariat Bersama ditingkat nasional (Seknas SPAB) dan Sekber
Provinsi sebagai Katalisator SPAB terlihat; Peran katalisator Sekber SPAB Kabupaten/Kota
cenderung bergantung pada kehadiran dan keaktifan masyarakat sipil termasuk forum PRB
dalam bergerak, Ketiadaan Sekber di Aceh dilihat sebagai masalah.
Secara teoritis, Sekber SPAB di tingkat provinsi dapat menjadi agen yang mendorong
perubahan, terutama mendorong kabupaten. Proses pembentukan Sekber SPAB di Kabupaten
walau cenderung bersifat paternalistis (baca: menunggu provinsi), namun minimal sudah
terbentuk berbagai Sekber SPAB di kabupaten/kota. Di NTT, dari 22 kabupaten/kota, saat ini
81 Ansyar Sutiadi (Kepala Dinas Pendidikan Kota Palu) FGD Evaluasi Nasional SPAB Provinsi Sulawesi Tengah, Selasa, 14 Juli 2020
Halaman 66 dari 100
terdapat 5 Sekber SPAB yakni di Kota Kupang, Timor Tengah Selatan, Nagekeo, Sikka dan
Lembata.
Lima kabupaten/kota ini adalah daerah-daerah dengan konsentrasi berbagai Lembaga
masyarakat sipil yang aktif dalam kegiatan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) secara umum
maupun secara khusus yang berfokus pada anak dalam 20 tahun terakhir. Dari pola di NTT,
terbentuknya SPAB kabupaten/kota bergantung pada keberadaan dan kolaborasi dengan
organisasi masyarakat sipil.
Tugas dari Sekber SPAB Provinsi NTT termasuk pada upaya melakukan pemetaan bencana di
sektor Pendidikan. Sekber SPAB NTT termasuk salah satu yang aktif melakukan koordinasi
secara rutin. Dalam FGD multistakeholder Tingkat Provinsi NTT (9 July 2020) terungkap
bahwa Sekber SPAB Provinsi juga bertugas dalam mengarahkan (steering) dan memfasilitasi
kabupaten/kota dalam membentuk Sekber SPAB. Sekber SPAB Provinsi juga bertugas
merumuskan kebijakan yang diperlukan ditingkat gubernur untuk memberikan kekuatan
hukum bagi implementasi PB di tingkat satuan Pendidikan. Sebagai missal, Sekber SPAB NTT
mampu mendorong terbitnya Peraturan Gubernur NTT dalam mewajibkan kabupaten/kota
mengimplementasi agenda SPAB.
Contoh program SPAB di tingkat kabupaten/kota salah satunya adalah kolaborasi Sekber Kota
Kupang dengan BPBD Kota Kupang dalam pelatihan sekolah aman bencana di empat sekolah
dasar yang dekat dengan pantai (dalam kurun waktu 2018-2020), dengan asumsi bahwa
kedekatan dengan pantai mengindikasikan keterpaparan sekolah dan karenanya menjadi
prioritas.
Tantangan Proliferasi Sekber SPAB Kabupaten Kota dapat dilakukan dengan meningkatkan
kolaborasi multi-platform dengan FPRB, Kolaborasi dengan aktor-aktor lintas isu.
c. Meningkatnya penelitian akademik terkait SPAB di Indonesia
Walaupun terjadi peningkatan secara berarti terkait SPAB di Indonesia, penelitian kami
menunjukkan bahwa mayoritas peer-reviewed article masih di dominasi oleh publikasi
internasional dalam 12 tahun terakhir. Hal ini juga terlihat dalam penelitian Strata 3 (tingkat
doktoral), Box 2 memberikan contoh tentang fokus dari penelitian doktoral di Jepang, Australia
dan Inggris terkait PPRB di Indonesia. Hal ini bisa dipahami karena kecilnya insentif penelitian
terkait Pendidikan bencana di berbagai universitas dan Lembaga penelitian di Indonesia
Sejauh mana penelitian-penelitian di atas berkontribusi pada kebijakan publik terkait SPAB
perlu di telusuri lebih lanjut.
Box 2. Tesis S3 Terkait Pendidikan Bencana
Mita Anggaryani (forthcoming) School-based DRR Program at Disaster Prone Areas: A case of
Yogyakarta. PhD Thesis, Australian National University
Avianto Amri 2020. Building disaster resilient households through a school-based education
intervention with children and their families. PhD Thesis, Macquarie University, Australia
Nurdin, Nurmalahayati 2019. Disaster risk reduction in education and the secondary high school
science curriculum in Indonesia. PhD Thesis – University College London, United Kingdom
Avianto Amri 2015. Challenges in implementing disaster risk reduction education: Views from the
frontline in Indonesia. Master by Research Thesis - Macquarie University, Australia
Halaman 67 dari 100
Tuswadi 2014. Disaster Management and Prevention Education for Volcanic Eruption: A Case of
Merapi Area Primary Schools in Java Island, Indonesia. PhD Thesis, Hiroshima University,
Japan
Sulistyaningrum, Eny 2013. Human capital outcomes for children : the impact of school subsidies
and natural disasters. PhD Thesis – Lancaster University, United Kingdom
Heather Lynne Taylor 2011. Children’s experiences of flooding in Surakarta, Indonesia. PhD Thesis –
Massey University
Penelitian-penelitian ini telah banyak berkontribusi dalam penyusunan panduan dan petunjuk
teknis termasuk pengembangan program SPAB di daerah dengan meningkatkan keberagaman
materi KIE yang dihasilkan oleh penelitian-penelitian ini untuk digunakan di daerah.
IV.4.4. Keberlanjutan
a. Regulasi Yang Efektif Adalah Prasyarat Keberlanjutan
Keberlanjutan bergantung pada skema regulasi dan kelembagaan di daerah. Walau ada kesan
kritik pada Program SPAB yang berbasis pilot project, kami memandang bahwa regulasi yang
kuat yang disertai dengan kemauan politik dan kepemimpinan yang efektif dapat menjadi dasar
bagi daerah maupun satuan pendidikan untuk mempromosikan kegiatan SPAB secara rutin.
Diperlukan integrasi regulasi dan payung hukum yang lebih tegas di semua tingkatan dengan
melihat kacamata arsitektur regulasi yang lebih komprehensif SPAB baik di pusat maupun di
daerah. Skema regulasi termasuk harmonisasi regulasi dan skema insentif. Meningkatnya
regulasi tata kelola bencana di daerah mencapai lebih dari 500 regulasi di berbagai tingkat baik
provinsi maupun daerah kabupaten/kota. Hal ini diikuti oleh terbentuknya kelembagaan formal
terkait penanggulangan bencana secara umum. Walau demikian, regulasi dan kelembagaan
yang ada dilihat tidak memadai dalam mempromosikan SPAB. Kesadaran ini kemudian diikuti
dengan dorongan membangun SPAB secara lebih sistematis dengan berbagai kehadiran
Sekretariat SPAB. Namun diperlukan lebih banyak komitmen dari daerah dalam mendukung
PPRB.
Sejauh ini terkait regulasi PPRB tercatat per September 2020, hanya 6 dari 34 provinsi.
Keenam regulasi yang dimaksud diterbitkan dalam bentuk diskresi kepala daerah dan belum
memalui skema peraturan daerah yang dalam konteks Indonesia dianggap sebagai dasar
regulasi daerah yang lebih kuat. Hal ini yang menjadi dasar pengembangan qanun Pendidikan
Bencana di Aceh yang masih dalam proses ketika laporan ini dibuat.
b. Kehadiran LSM sangat vital sebagai Katalisator SPAB.
Kehadiran LSM berperan sebagai katalis yang mempercepat adopsi dan implementasi PB.
Satuan pendidikan yang menjadi champion dalam implementasi SPAB multi-pilar yang hadir
sebagai peserta FGD nasional dan daerah memberikan testimoni bahwa peran LSM sangat lah
penting dalam memicu ketertarikan sekolah mengadopsi SPAB sebagai bagian integral dalam
proses belajar mengajar. Data yang kami himpun menunjukkan bahwa peran LSM dalam
memicu ketertarikan maupun komitmen komunitas satuan pendidikan maupun Pemerintah
Daerah sangat lah krusial. Hal ini dapat diobservasi secara konsisten baik di Aceh, NTT,
Sulawesi Tengah maupun DKI Jakarta.
Box 3 Peran LSM Dalam SD Muhammadiyah Insan Kreatif Kembar
Kemandirian sekolah sebagai capaian (outcomes) dari interaksi produktif multi-pihak baik LSM
maupun Pemda.
Halaman 68 dari 100
“Mewujudkan sekolah aman bencana dapat dilakukan secara mandiri pendanaannya dan tidak harus
menunggu dari pihak manapun untuk mewujudkan sekolah aman mandiri, mewujudkan sekolah aman
bencana dapat dilakukan dengan bekerjasama dengan pihak lain dan memanfaatkan potensi
lingkungan dalam konteks ini kami bekerjasama dengan KYPA, sedangkan untuk frekuensi
implementasi SPAB kami lakukan secara berulang tanpa harus mengganggu waktu KBM karena
dilakukan setelah KBM selesai (extrakurikuler), dan kunci keberhasilan dari inisiatif ini adalah
kekompakan warga sekolah dan kerjasama dengan pihak luar. Tantangan yang kita hadapi dalam
mewujudkan SMAB dapat dilalui dengan cara gotong royong antara warga sekolah dan kegiatan yang
dilakukan dengan waktu singkat, tetapi dengan intensitas yang rutin, selain itu antusiasme dari warga
sekolah juga sangat mendukung kegiatan ini.” Ernaningtyastuti (Kepala Sekolah SD Muhammadiyah
Insan Kreatif Kembaran, Bantul)
Contoh yang lain adalah proses pembuatan kurikulum SPAB di Sikka di lakukan oleh Yayasan
Sanres dan Plan Internasional. Implementasi SPAB sangat gencar dilakukan di sekolah-sekolah
sasaran yang sudah mendapatkan sosialisasi dan edukasi mengenai sekolah aman bencana oleh
Sanres Kabupaten Sikka.
Peran Organisasi Masyarakat Sipil yang berkarakter terstruktur multi-level seperti
Muhammadiyah yang memiliki jumlah sekolah di hampir setiap provinsi adalah mitra strategis.
Tahun 2020 BNPB memulai kerja sama formal dengan MDMC (Muhammadiyah) dan Hizbul
Wathan yang merupakan organisasi seperti pramuka tetapi mereka berada di bawah
Muhammadiyah. Pendekatan pilot project dilakukan di 4 kabupaten/kota dengan Hizbul
Wathan dengan target melahirkan 40 fasilitator SPAB 40 dan setiap fasilitator kami
menargetkan jangkauan 100 siswa.
Box 4. Peran LSM dalam SPBA: Pengalaman PMPB NTT82
• Untuk SPAB kami sudah memulai dari tahun 2012 dengan beberapa sekolah pilot yang di TTS
kerja sama dengan Plan Internasional. Untuk giat-giatnya dilakukan 2015 ke belakang ini, yang
kemudian dilakukan banyak hal dengan OPD-OPD atau mitra-mitra terkait. Sekalipun belum
banyak yang dilakukan namun sudah ada titik terang yang terlihat di NTT ini.
• Dalam kegiatan-kegiatan yang biasa dilakukan kami bekerja sama dengan beberapa OPD kunci
seperti Dinas Pendidikan, Kanwil Kementerian Agama, Dinas PU dan BPBD. Merupakan OPD
yang bekerja sama dan membicarakan mengenai SPAB di NTT.
• Ada banyak kegiatan yang dilakukan namun tidak bisa dikatakan banyak karena NTT sangat luas.
Kalau di Provinsi. NTT Dinas Pendidikan, Kementerian Agama dan lain-lain menyusun modul
pendidikan pencegahan dan pengurangan risiko bencana di Provinsi NTT. Modul ini dibuat secara
khusus untuk Pendidikan Dasar dan disusun secara bersama dengan Pemerintah dan Para Guru
(Kota Kupang, Kabupaten Kupang dan TTS).
• Kami juga memiliki tools monev, yang masih digunakan saat ini yang di mana pihak sekolah secara
mandiri kondisi sekolah mereka berada di tataran yang mana dilihat dari 3 pilar itu.
• Tools atau model itu dipakai oleh mitra-mitra kami seperti Childfund di sekolah-sekolah dampingan
mereka kurang lebih ada ratusan sekolah.
• Tools hasil kerja sekretariat SPAB Provinsi NTT. Memang didanai bersama Plan tapi ini hasil kerja
sama OPD, mitra, guru Kota Kupang, kabupaten Kupang dan TTS dan pemerintah NTT sehingga
dikatakan hasil kerja sekretariat SPAB NTT. Modul ini sudah di uji coba di beberapa tempat
kemudian difinalisasi. Untuk Pilar 1 dilihat secara baik oleh Dr. Susi, Pilar 2 dan Pilar 3 dilihat oleh
kami semua disesuaikan dengan konteks NTT. Bisa diperoleh di Sekretariat SPAB, kalau di TTS
82 Chris Nggelan, 2020 – FGD Multistakeholder SPAB NTT, 9 July 2020’
Halaman 69 dari 100
sudah diberikan, begitu juga di kabupaten-kabupaten yang lain tapi dengan keterbatasan sumber
daya. Kami belum secara mendalam di penguatan fisik baru melakukan penyuluhan untuk
penguatan kapasitas sekolah-sekolah.
• Pada saat hearing dengan DPRD Kab. TTS mungkin menjadi catatan bagi Dinas Pendidikan juga,
apakah sudah ditindaklanjuti atau belum. Ketika melakukan hearing dengan komisi 4 DPRD TTS
yang membidangi isu ini, mereka meminta Dinas Pendidikan, Dinas PU dan BPBD kalau bisa
membuat suatu perencanaan membangun model sekolah yang secara fisik aman dari bencana di
Kabupaten TTS dengan dana DAUK. Sehingga sudah ada komitmen dari stakeholder sehingga
menjadi dorongan bagi kita untuk menjawab hak warga sekolah menerima hak mereka untuk
beraktivitas di sekolah yang aman dan nyaman.
• Kemudian di tahun 2016 Dinas Pendidikan sudah mengeluarkan surat edaran berkaitan dengan
Sekolah Aman Bencana kepada semua kepala dinas di kabupaten kota, hanya implementasinya
yang masih dipertanyakan.
• Beberapa kabupaten sangat konsen seperti TTS, Kab. Kupang, Kota Kupang dan di Pulau Flores,
Pulau Sumba yang merupakan pendampingan dari Childfund. Ada yang sudah cukup baik mereka
sudah sampai di penguatan kapasitas di tingkat sekolah seperti pembentukan tim siaga di sekolah
dan sebagainya. Belum terorganisir secara baik, sehingga secara data kami belum bisa menyebut
berapa banyak sekolah atau data guru dan sebagainya. Karena masih menjadi pengetahuan di
masing-masing lembaga belum terorganisir secara baik di sekretariat sudah ada upaya namun belum
ada finalisasi data.
• Sekretariat sudah melakukan pemetaan berdasarkan Zona Merah, Hijau dan Kuning yang dilakukan
oleh kesekretariatan provinsi NTT. Mereka punya daya sekolah berdasarkan ancaman. Sudah
terjadi perkembangan yang cukup baik dibandingkan dengan situasi 12 tahun lalu.
c. Sistim Akreditasi Sekolah Sebagai Stick and Carrot Dalam Adopsi SPAB
Sistim Akreditasi Sekolah menjadi push factor dalam adopsi SPAB termasuk Pendidikan
Bencana. Langka mendesain stick and carrot dalam adopsi SPAB perlu dilakukan secara
kreatif dan berbasis evidence.
Sistim akreditasi sekolah melalui 8 standar pendidikan secara operasional di tingkat bawah
dilakukan oleh pengawas sekolah. Di Jakarta, Pengawas di pandang sebagai faktor penting
dalam mendorong satuan pendidikan mengadopsi SPAB.83 Pengakuan dari NTT menunjukkan
bahwa sekolah-sekolah yang tidak ada intervensi program SPAB baik dari LSM maupun
pemerintah turut ambil bagian dalam mengembangkan PB maupun kegiatan-kegiatan kesiap-
siagaan karena proses-proses akreditasi mengharuskan sekolah menunjukkan bukti-bukti
bahwa satuan pendidikan sudah menerapkan prinsip sekolah aman. Sebagai contoh, Yasinta
Sogen (Kepala Sekolah SD Kupang Montessori School) mengatakan bahwa sekolahnya
mempersiapkan proses compliance terhadap akreditasi sekolah karena standar proses akreditasi
menuntut checklist lima hal utama yakni ”ketersediaan alat, jalur evakuasi, peta evakuasi, titik
kumpul dan pencegahan bencana”.
Pengalaman dari Sekolah Luar Biasa (SLB) Pembina di Kota Kupang, menunjukkan bahwa
tingkat akreditasi menjadi bersifat punitive (stik atau rotan) karena variable SPAB dalam 8
Standar Pendidikan (Checklist Akreditas) belum bisa mereka penuhi karena belum
membangun prasarana sekolah dengan aksesibilitas ramah bencana dan ramah disabilitas.
Sedangkan jalur evakuasi yang memperhitungkan ragam jenis disabilitas juga belum dimiliki.
83 Indrawati (SLB 02 Jakarta)
Halaman 70 dari 100
d. Menafsir Pengembangan Modul Belajar Kabupaten dan Provinsi
Dokumen yang dikembangkan oleh multi pihak di daerah dapat dilihat sebagai sebuah kegiatan
yang tumpeng tindih. Namun dalam perspektif kami berdasarkan hasil konsultasi dengan multi
pihak level provinsi, diperoleh informasi dan perspektif daerah bahwa proses pengembangan
bahan pelatihan yang dikembangkan bersama dengan guru-guru champion PB yang menjadi
fasilitator lapangan, kesempatan pengembangan modul-modul adalah kesempatan belajar
sekaligus pengembangan kapasitas daerah.
Tantangannya adalah bagaimana pemerintah daerah dan para stakeholder yang tergabung
dalam Sekretariat Bersama SPAB mampu melakukan pemutakhiran atau pembaruan dari
modul-modul yang dikembangkan dalam rangka PPRB ditingkat sekolah.
IV.4.5. Inovasi
Inovasi dapat berupa produk, proses maupun sistim. Kumpulan inovasi di bawah ini merupakan
bentuk-bentuk proses maupun produk terkait SPAB.
a. Adopsi PPRB Mandiri Oleh Satuan Pendidikan
Program SPAB mandiri di tingkat satuan pendidikan adalah sebuah kemungkinan dan patut di
kenali sebagai sebuah ‘business model’ SPAB yang berkelanjutan. SD MIKK di Bantul mampu
membentuk struktur ‘tim siaga bencana’ yang membagi tugas dalam bentuk Pilar 1, 2 dan 3.
SD MIKK mampu mengembangkan rencana kerja yang rutin diperbaharui dengan target
capaian yang terlihat. Model SD MIKK di Bantul ini merupakan bentuk ‘champion’ yang
bersifat ‘endoenous’ karena SD MIKK bukan merupakan sekolah dampingan LSM
Internasional. Model SD MIKK ini termasuk model champion yang mampu membangun
kolaborasi dengan pihak LSM dalam membangun sistim SPAB mandiri.
b. Berbagi Ilmu Antar Satuan Pendidikan
Pengalaman dari Jakarta ditemukan bahwa ada mekanisme transfer pengetahuan antara satuan
pendidikan yang bisa dikembangkan sebagai model yang melengkapi model top-down.
Sebagai contoh, Sekolah Hati Kudus di Jakarta melakukan simulasi dengan mengundang
sekolah lain untuk melihat dan belajar agar punya referensi yang bisa disesuaikan sendiri.
Strategi untuk mengajak sekolah lain (reguler ataupun kebutuhan khusus) adalah dengan
sharing informasi dan model SPAB; Strategi lainnya adalah menyampaikan pesan-pesan
(materi) secara repetisi dan konsisten. Di Aceh, ada pula praktik pembentukan
paguyuban/gugus bagi satuan pendidikan di mana setiap tanggal 26 April (Peringatan Hari
Siaga Bencana) ada kegiatan simulasi bersama satu tahun sekali.
c. Sekber Provinsi dan Kabupaten/Kota Sebagai Katalisator SPAB
Kehadiran Sekretariat Bersama di tingkat Provinsi maupun Kabupaten mampu berfungsi
sebagai Katalisator SPAB sebagaimana terlihat di hamper semua provinsi dan kabupaten/kota
yang mengadopsi. Sekretariat Bersama SPAB di tingkat provinsi dapat menjadi agen yang
mendorong perubahan, terumata mendorong kabupaten/kota.
d. Kemitraan Sekber dan LSM
Kemitraan dan kemampuan bermitra antara Sekber SPAB Kabupaten/Kota dengan LSM
menjadi faktor utama yang mempercepat adopsi dan implementasi PPRB di satuan pendidikan.
Satuan pendidikan yang menjadi champion dalam implementasi SPAB multi-pilar yang
memberikan contoh kolaborasi Pemerintah Daerah dan LSM dalam memicu PRRB sebagai
Halaman 71 dari 100
bagian integral dalam proses belajar mengajar. Hal ini terlihat di hampir semua wilayah baik
Jakarta, Sulawesi Tengah, NTT, Jogjakarta maupun Aceh.
e. Permainan dan Alat Mandiri Berbasis Keluarga
Pendidikan Aman Bencana atau Pendidikan Pengurangan Risiko Bencana (PPRB) di tingkat
keluarga dapat dilakukan dengan permainan dan alat belajar alternatif. Munculnya berbagai
jenis media belajar terkait PPRB di Indonesia dalam kurun waktu 16 tahun terakhir setelah
Tsunami Aceh 2004 memberikan harapan. Walaupun demikian terdapat sedikit alat belajar
yang menargetkan keluarga.
Di Indonesia, pengembangan permainan alat mandiri bernama Predikt dikembangkan oleh
Predikt.id yang mendapatkan berbagai penghargaan sebagai model inovasi dalam Pendidikan
bencana di Indonesia.
IV.4.6. Pembelajaran
a. Kepemimpinan Satuan Pendidikan
Sejauh ini, penelitian ini konsisten dalam menemukan bahwa terdapat celah (gap) yang sangat
times kompetensi dasar yang sudah disusun oleh Kemendikbud. (2) Tingginya beban guru dan
siswa dan guru-guru merasa bahwa beban administrasi mereka sudah terasa penuh sehingga
ketika ada tambahan materi baru, mereka harus berpikir lagi dan begitu juga dengan siswa, dan
ketika ini tidak dibuat sederhana ini akan menjadi beban bagi guru dan siswa. (3) Media
pembelajaran di daerah terpencil – termasuk kesenjangan infrastruktur fisik dan digital;
[Nurdin, N. 2020 – Workshop Nasional SPAB Pilar 3, 23 Juni 2020)
Sumber daya manusia terutama kapasitas pendidik di darah terkait SPAB masih menjadi
masalah yang mendasar dalam 10 tahun terakhir ini. Dibutuhkan agenda yang lebih sistematis
dalam mendorong komunitas satuan pendidikan dalam mempromosikan PPRB secara
mandiri.84
“Tantangan implementasi SPAB adalah beban guru dalam menyinergikan edukasi
kebencanaan dalam materi ajar. Selain itu banyak guru merasa tidak memiliki kapasitas yang
sesuai karena biasanya dilimpahkan kepada guru olahraga/guru yang ditunjuk kepala sekolah.
Komitmen dan kepercayaan diri guru yang tidak merata dalam mendukung implementasi
SPAB.” “Siswa yang telah menerima edukasi SPAB lulus dan program tidak berlanjut.” 85
“semua sekolah dan peserta didik wajib mengetahui cara-cara dan hal-hal
apa yang harus dilakukan untuk mengedukasi guru dan siswa mengenai
tanggap bencana. Selama 14 tahun di bidang Pendidikan belum pernah
dapat Pendidikan maupun pelatihan apa pun terkait tanggap bencana di
tingkat sekolah dari SD-SMP-SMA di kupang. Harapannya bisa mendapat
informasi yang sama baik sekolah negeri maupun swasta.” sebut salah
satu perwakilan akademisi di provinsi Aceh
PPRB mandiri walau tidak identik dengan dana yang besar, namun pengalaman menunjukkan
dibutuhkannya dukungan eksternal (Khususnya LSM, terutama dalam memfasilitasi
pengetahuan). Secara internal, satuan pendidikan memahami beberapa kendala seperti:
84 Nurdin, Nurmalahayati 2019. Op. cit. 85 Intan TDMRC, FGD SPAB Provinsi Aceh
Halaman 72 dari 100
• Kurangnya kapasitas maupun keterbatasan waktu pendidik untuk menyusun materi
SPAB dalam pembelajaran. 86
• Tidak ada reward atas pelaksanaan SPAB di sekolah sehingga pelaksanaan program
hanya dilakukan oleh sekolah yang terpanggil. Sekolah Hati Kudus sharing dan
berkoordinasi dengan pihak kecamatan dan kemudian melakukan simulasi
kebencanaan di depan kepala sekolah lainnya87
b. Kapasitas Anggaran Satuan Pendidikan Untuk SPAB
Diperlukan komitment anggaran maupun non-anggaran dari Dinas Pendidikan kepada tiap
sekolah untuk melaksanakan SPAB karena risiko kebencanaan di sekolah itu ada88 Alokasi
anggaran menjadi masalah yang paling sering diangkat oleh satuan pendidikan. Hal ini
dikonfirmasi oleh para pengambil kebijakan baik di tingkat Pemerintah Daerah maupun di
tingkat Pemerintah Pusat. Di Jakarta, Dinas Pendidikan belum menganggarkan dana rutin
untuk kebutuhan kebencanaan ke dalam RKAS (Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah) 89
Pembiayaan PPRB ditingkat satuan pendidikan dianggap penting namun bukanlah variabel
utama dalam menjamin keberlanjutan. Di Jakarta, PRBB mandiri dilihat sebagai sebuah
kemungkinan namun para guru melihat bahwa “yang terpenting adalah kesadaran guru atas
urgensi PPRB. Kesadaran yang rendah mengakibatkan PPRB tidak berlanjut; 90 Pentingnya
Perbaikan dan harmonisasi regulasi terkait SPAB.
Kejadian bencana termasuk komitmen penganggaran respons darurat yang menyertainya dapat
digunakan sebagai kesempatan untuk memperbaharui pendekatan status quo yang abai SPAB.
Hal ini terlihat di Sulawesi Tengah di mana paska Gempa Tsunami dan Likuefaksi menjadi
momentum lahirnya berbagai komitmen termasuk terkait SPAB.
c. Koordinasi Intervensi PRBB dan SPAB
Pentingnya koordinasi nasional untuk menghindari tumpang tindih program antar berbagai
lembaga yang berperan dalam proses pendidikan PRB. Walaupun dalam pandangan kami,
tumpeng tindih dapat dipahami secara lebih sistematis apakah ini sebuah ‘waste of resources’
atau sebuah redundancy yang perlu karena keterbatasan sumber daya, koordinasi yang lebih
efektif akan lebih menjamin terjadinya pemerataan intervensi di daerah-daerah yang berpotensi
terjadinya bencana dan tidak serta-merta berfokus pada daerah-daerah yang sudah (dan masih
akan tetap berpotensi) terjadi bencana-bencana besar.
Daerah dengan kategori 3T (tertinggal, terluar, terisolir) memiliki tantangan kelembagaan yang
serius. Kabupaten/Kota yang belum memiliki SPAB secara umum belum memiliki
perencanaan implementasi Sekolah Aman. Sebagai misal dari Kabupaten Sabu dan Alor,
Sumba Timur, sejauh ini belum memiliki kegiatan yang spesifik SPAB.
86 Yohanes Suwandi (TK-SD Hati Kudus Grogol) FGD Guru Evaluasi Nasional SPAB Provinsi DKI Jakarta
Rabu, 29 Juli 2020 87 Yohanes Suwandi.. Op. cit. 88 Haryanto (SDN 03 Duri Utara) FGD Guru Evaluasi Nasional SPAB Provinsi DKI Jakarta Rabu, 29 Juli 2020 89 Suryani, Disdik DKI Jakarta FGD Evaluasi Nasional SPAB Provinsi DKI Jakarta, 29 Juli 2020 90 Haryanto (SDN 03 Duri Utara), Ibid…
Halaman 73 dari 100
d. Integrasi Pilar 2 dan Pilar 3
Pentingkuan peningkatan kualitas dalam proses pelaksanaan PPRB. Sebagai misal, Kegiatan
PPRB sebagai ekstrakurikuler dalam bentuk constructive alignment di mana dilakukan
kombinasi kognisi dan motorik seperti simulasi bencana (Pilar 2) di ruang kelas dan praktik
evakuasi dengan skenario gempa bumi maupun angin rebut perlu diamati secara lebih serius.
Dalam temuan (penelitian PhD) oleh Mita Anggaryani, ditemukan bahwa model belajar dengan
simulasi ini masih cenderung ditekankan pada aspek histeria dan kurang pada substansi.91
e. Bias optimisme
Pengalaman dari SD Inpres St. Yoseph di Sikka menunjukkan gejala optimisme bias
(complacency) – yakni sebuah fenomena di mana sekolah secara mandiri mencoba melakukan
kombinasi implementasi Pilar 2 dan Pilar 3 secara berturut-turut tahun 2016-2017. Karena
sering rutin melakukan kegiatan di lingkungan sekolah para stakeholder makin percaya diri
dan kemudian merasa sudah aman sehingga berkurang jumlah kegiatan yang dilaksanakan.
Fenomena ini penting untuk di pelajari khususnya soal apakah fenomena ini adalah fenomena
lelah (fatigue) atau complacency atau bias optimisme karena merasa percaya diri yang
berlebihan
f. Integrasi Dengan Pendidikan Khusus dan Agenda Inklusif
Pendidikan khususnya untuk tuna grahita memerlukan tindakan khusus arena harus berulang-
ulang. Secara umum, aksesibilitas bagi para siswa berkebutuhan khusus masih belum memadai
untuk membantu proses edukasi tanggap bencana baik di NTT maupun di Jakarta.
Pendekatan inklusif juga perlu dilakukan dalam berbagai aspek, baik dari keterwakilan gender,
faktor disabilitas, jenjang pendidikan, serta memberikan kesempatan terutama untuk para
peserta didik dalam berperan terlibat dalam program SPAB. Catatan dari daerah menunjukkan
bahwa partisipasi anak masih bersifat parsial. Sebagai misal di Sulawesi Tengah, seorang guru
berujar bahwa:
“Pada saat simulasi siswa terlibat namun tidak semua siswa terlibat hanya
perwakilan siswa saja”
Hal ini juga sesuai dengan observasi dan juga hasil diskusi dengan para informan kunci
mengenai strategi program SPAB belum efektif dalam menggerakkan seluruh peserta didik
secara inklusif.
g. Agenda PPRB Yang Berpusat Pada Anak
Observasi kami menunjukkan bahwa Pendekatan Pemerintah Daerah terutama kelembagaan
seperti BPBD cenderung bersifat dakwah yakni ‘trainer centric’. Sekolah dan/atau anak
diposisikan sebagai penerima pengetahuan. Pengalaman dari Alor (yang belum memiliki
Sekber SPAB), menggambarkan hal ini
“Sedangkan secara umum di wilayah kecamatan kami sudah memberikan
himbauan dan sosialisasi bagaimana sekolah tanggap terhadap bencana
yang terjadi di sekolah dan disesuaikan dengan lokasi sekolah yang berada
di lokasi rawan longsor kami memberikan materi tentang longsor,
91 FGD Pilar 3 Nasional, June 2020
Halaman 74 dari 100
demikian juga dengan gempa bumi, tsunami dan banjir.” Ujar salah satu
pegawai BPBD –dari NTT dari FGD Multi stakeholder SPAB NTT
Hal ini juga terlihat di Sumba Timur di mana peristiwa ‘dakwah bencana’ oleh BPBD
dilakukan di sekolah-sekolah: “Yang sudah kami coba lakukan, yaitu pada hari kesiapsiagaan
bencana, kami melakukan simulasi bencana khususnya gempa bumi di sekolah-sekolah SD-
SMA, dilaksanakan simulasi gempa bumi, angin puting beliung dan lain-lain [BPBD SumTim,
FGD Multi stakeholder SPAB NTT, 9 July 2020]
Halaman 75 dari 100
BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
V.1. Kesimpulan
Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang menganalisis secara komprehensif ketiga
pilar secara makro (tingkat nasional) hingga ke level mikro di tingkat satuan pendidikan di
daerah. Beberapa temuan kunci dari penelitian ini antara lain:
Banyak inovasi yang sudah dihasilkan dari penyelenggaraan program SPAB
Pembentukan Seknas SPAB dan Sekber SPAB menunjukkan inovasi sistemik untuk
memperkuat koordinasi, kolaborasi, dan kerja sama multi pihak yang mendorong adanya
mobilisasi sumber daya (baik dari sisi pendanaan, SDM, dan perangkat) serta upaya
peningkatan kapasitas secara terstruktur. Di sisi lain, kerja sama dengan pihak eksternal dengan
mengintegrasikan program yang sudah berlangsung seperti Pramuka, Tagana Masuk Sekolah,
Palang Merah Remaja, dan Hizbul Wathan merupakan strategi yang efektif untuk memperluas
cakupan secara sistematis.
Upaya masyarakat sipil bersama pemerintah pusat telah banyak membuahkan hasil dalam hal
advokasi kebijakan baik di tingkat nasional dan daerah, terutama dengan tersusunnya lebih dari
20 kebijakan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/ kota selama 12 tahun terakhir.
Pencapaian secara kelembagaan juga diraih termasuk penilaian akreditasi sekolah dengan
menggunakan indikator terkait SPAB juga dapat membantu meningkatkan jumlah sekolah
yang menerapkan komponen-komponen SPAB. Pada Oktober 2020, BNPB bersama
Kemendikbud juga meluncurkan aplikasi untuk pemantauan dan pengawasan penyelenggaraan
program SPAB yang akan berperan penting dalam pemetaan satuan pendidikan yang telah dan
masih menyelenggarakan program SPAB di wilayahnya.
Selain itu, potensi penerapan SPAB melalui pendekatan berbasis komunitas (PRBBK) seperti
misalnya dengan program Kampung Siaga Bencana atau Desa Tangguh Bencana dan juga
melalui pendekatan berbasis keluarga, seperti misalnya Keluarga Tangguh Bencana telah
menyediakan pintu masuk untuk mengikutsertakan satuan pendidikan sebagai salah satu
bentuk intervensi program tersebut. Adanya penganugerahan jawara (champions) SPAB dan
festival SPAB juga penting untuk menginspirasi dan meningkatkan motivasi pihak lainnya
untuk menyelenggarakan SPAB.
Capaian yang tidak berimbang antara pilar 1 dengan Pilar 2 dan pilar 3 dan juga untuk tiap
jenjang dan jenis satuan pendidikan
Penerapan program SPAB masih didominasi di satuan pendidikan yang dikelola oleh
Kemendikbud, khususnya di jenjang Sekolah Dasar. Secara keseluruhan, penyelenggaraan
SPAB masih minim dilakukan di PAUD, pendidikan tinggi, dan sekolah vokasional. Selain itu,
penerapan SPAB di madrasah masih sangat terbatas dan juga di pendidikan non-formal, yaitu
di SKB dan PKBM. Penerapan program SPAB juga masih berat sebelah dimana intervensi
yang populer dilakukan adalah intervensi yang berpengaruh pada Pilar 2 dan Pilar 3, sedangkan
masih sedikit lembaga yang bergerak di Pilar 1.
Kualitas program SPAB sangat bergantung pada kapasitas guru. Sehingga, peningkatan
kapasitas untuk guru adalah sangat penting dalam penyelenggaraan program SPAB. Strategi
bimbingan teknis (bimtek) untuk guru dan tenaga pendidikan lainnya perlu disusun dan
diterapkan secara terstruktur, sistematis, masif dan berkelanjutan. Penggunaan metode e-
Halaman 76 dari 100
learning, bimtek secara daring, dan penyesuaian pada pendidikan tinggi untuk guru bisa
mendukung upaya untuk peningkatan kapasitas guru dan tenaga pendidikan lainnya. Bimtek
yang dilaksanakan perlu membangun kepercayaan diri guru untuk melaksanakan SPAB secara
mandiri dan fleksibel.
Motor penggerak SPAB masih di dominasi oleh Pemerintah Pusat dan Organisasi
Masyarakat Sipil
Selama lebih dari satu dekade, motor penggerak SPAB masih didominasi oleh pemerintah
pusat dan organisasi masyarakat sipil. Hal ini perlu berubah seiring dengan waktu. Peran
pemerintah daerah dan pihak swasta semakin menjadi penting. Evaluasi ini menunjukkan
bahwa Kepala sekolah memegang peran penting dalam keberlanjutan program SPAB,
sedangkan pemerintah daerah berperan penting dalam memperluas cakupan (scaling-up) dan
replikasi.
Inklusifitas belum diterapkan secara luas dan sistematis
Kebijakan saat ini dalam menerapkan program SPAB masih menempatkan wilayah 3T dan
wilayah pascabencana sebagai prioritas penanganan fasilitas sarana prasarana satuan
pendidikan yang aman bencana. Program SPAB masih banyak diselenggarakan dengan tidak
menyasar pada pendekatan yang inklusif, termasuk dalam memastikan bahwa intervensinya
turut mempertimbangkan kepentingan anak-anak berkebutuhan khusus atau melibatkan anak-
anak berkebutuhan khusus.
V.2. Rekomendasi
Berdasarkan hasil analisis dari setiap pilar, penelitian ini menghasilkan rekomendasi untuk tiap
pilar, yaitu antara lain:
V.2.1. Rekomendasi untuk Pilar 1
a. Rekomendasi di tingkat nasional
Di tingkat nasional, penyusunan regulasi perlu diiringi dengan pengawasan dan sistem
pemantauan yang akurat, dapat diandalkan, dan partisipatif. Dengan adanya kebijakan yang
sudah ada (misalnya SNI terkait bangunan tahan gempa, peraturan Kemendikbud, dan juga
panduan-panduan terkait SPAB), sosialisasi dan penerapan secara masif di tingkat daerah dan
satuan pendidikan akan bergantung pada kemampuan pemerintah pusat dalam membangun
sistem pemantauan dan pengawasan yang efektif. Hal ini termasuk pula sosialisasi mengenai
informasi yang sudah ada seperti hasil pemetaan Dapodik dan InaRISK.
Upaya peningkatan kapasitas terutama dalam pembentukan tim ahli terkait pilar 1 dan juga
integrasinya dalam Sekretariat Bersama di tingkat daerah merupakan hal yang krusial untuk
mendorong adanya penguatan sinergitas antar pemangku kepentingan. Hal ini juga akan
mendukung penguatan dan keberlanjutan pendataan dan pengkajian terkait sarana dan
prasarana di satuan pendidikan terkait kualitas dan keamanan bangunan serta menjadi dasar
untuk implementasi penguatan bangunan (retrofit), pemeliharaan, dan juga dikeluarkannya
Sertifikat Laik Fungsi.
Di tingkat nasional, norma, standar, prosedur, dan kriteria terkait sarana prasarana SPAB perlu
dilengkapi, termasuk standardisasi terkait keamanan sarana dan prasarana sekolah terkait
Halaman 77 dari 100
ancaman lainnya misalnya banjir, angin puting beliung, tanah longsor, gunung api, dan
tsunami.
Pengembangan inovasi terkait keamanan sarana dan prasarana perlu terus ditingkatkan,
termasuk pemanfaatan teknologi informasi dan juga mekanisme yang sudah terbangun, seperti
sistem informasi monev SPAB dan juga aplikasi terapan lainnya seperti VISUS dan STEP-A.
Evaluasi dan pengembangan startegi penerapan penguatan pilar 1 juga perlu menjadi prioritas.
Dengan menambahkan parameter spesifik berdasarkan jenis dan lokasi rawan bencana dapat
membantu dalam penentuan kebutuhan dan prioritas penguatan yang disesuaikan dengan
ketersediaan sumber daya. Dengan penetapan target realisasi jangka pendek, menengah, dan
Panjang serta disesuaikan dengan sistem pemantauan juga dapat membantu pencapaian
realisasi penguatan prioritas pilar 1.
b. Rekomendasi di tingkat daerah
Pembelajaran sejauh ini menunjukkan bahwa kebijakan di tingkat nasional perlu didukung
dengan regulasi di tingkat daerah, berhubung adanya otonomi daerah. Oleh karena itu, upaya
advokasi perlu diperkuat terutama untuk menerbitkan peraturan di tingkat daerah dan
dikombinasikan dengan upaya sistematis untuk mendukung penerapan peraturan tersebut
(misalnya bimbingan teknis, sosialisasi, sistem pemantauan dan evaluasi).
Pembentukan Sekretariat Bersama perlu diiringi dengan adanya koordinasi dan kolaborasi
dengan aktor-aktor yang terlibat dalam pilar 1, termasuk Tim Ahli Bangunan dan Gedung
(TABG), asosiasi profesi, dan akademisi. Pembentukan sekber ini juga diharapkan bisa
mendorong proses penerapan SPAB yang lebih efektif, termasuk dengan memfasilitasi satuan
pendidikan untuk memiliki Sertifikat Laik Fungsi. Daerah juga memiliki kewenangan dalam
melakukan penentuan lokasi sekolah, sehingga Sekber bisa memiliki fungsi vital dalam
memastikan setiap sekolah baru tidak berada di lokasi yang rawan bencana dan juga menjajaki
kemungkinan relokasi sekolah-sekolah yang berada di lokasi yang sangat rawan ke tempat
yang lebih aman.
c. Rekomendasi di tingkat satuan pendidikan
Di tingkat satuan pendidikan, kepala sekolah dan pimpinan satuan pendidikan lainnya perlu
melakukan optimasi dana BOS dan dana-dana alternatif lainnya yang dapat menunjang
perwujudan sarana prasarana SPAB.
Penerapan program SPAB mandiri perlu digalakkan oleh pimpinan satuan pendidikan dengan
dukungan para tenaga pendidik, orang tua, dan juga peserta didik.
V.2.2. Rekomendasi untuk Pilar 2
Implementasi SPAB di Indonesia telah memiliki berbagai capaian. Seperti telah adanya
kebijakan di level nasional dan beberapa daerah. Telah terbentuknya Seknas Dan Sekber
sebagai salah satu upaya memperkuat koordinasi dan kolaborasi. Tersedianya anggaran untuk
implementasi yang alokasikan oleh pemerintah pusat dan daerah, walaupun hal ini belum
cukup signifikan jika dibandingkan dengan luas wilayah dan banyaknya satuan Pendidikan di
Indonesia. Adanya inovasi implementasi dan penyebarluasan informasi, baik yang berbasis
teknologi maupun kearifan lokal. Tersedianya berbagai modul, juknis, juklak, materi KIE yang
dapat dijadikan rujukan dalam implementasi. Serta, adanya upaya pengembangan alat
monitoring dan evaluasi, namun hal ini masih dalam proses pengembangan.
Halaman 78 dari 100
Namun, yang menjadi tantangan adalah bagaimana meningkatkan implementasi di seluruh
satuan pendidikan. Serta memastikan adanya keberlanjutan kegiatan secara terus menerus oleh
pemerintah dan satuan pendidikan, yang perlu di dukung oleh berbagai Lembaga non
pemerintah. Sehingga perlu memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah nasional,
daerah serta untuk satuan pendidikan.
a. Rekomendasi untuk Pemerintah Pusat
Pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendikbud, Kemenag, BNPB. Perlu menyusun perencanaan
yang lebih serius dan rasional, hal ini dapat di laksanakan melalui revisi peta jalan SPAB 2020-
2014. Mendorong seluruh daerah untuk membuat kebijakan turunan dari Permendikbud nomor
33, tahun 2018 dan menyesuaikan dengan kebutuhan dan konteks lokal. Termasuk membentuk
SEKBER SPAB, agar koordinasi pelaksanaan SPAB berjalan dengan baik dan inklusif. Untuk
menunjang pelaksanaan tersebut, pemerintah pusat perlu menambah alokasi anggaran untuk
SPAB. Anggaran dapat di fokuskan kepada asisten daerah serta memberikan anggaran kepada
satuan pendidikan, agar dapat menerapkan program SPAB.
Pengembangan inovasi yang kreatif perlu terus dikembangkan, apalagi dalam situasi COVID
saat ini. Pendekatan dan penggunaan teknologi sangat diperlukan dalam penyebarluasan
informasi dan peningkatan kapasitas. Hal ini termasuk menerjemahkan berbagai modul, juknis,
KIE agar dapat di akses oleh seluruh warga satuan pendidikan, dinas Pendidikan, Kemenag,
BPBD, serta berbagai aktor SPAB. Selain itu, pengembangan strategi pendekatan dari berbagai
substansi kemitraan juga perlu di bangun dan kembangkan, misalnya dengan Kemensos, PMI,
Basarnas, Pramuka, Dewan Masjid, organisasi keagamaan pengelola satuan pendidikan, dan
lain sebagainya dengan tetap mengacu pada indikator SPAB terkait.
Untuk mengukur seluruh capaian, dan memantau perkembangan implementasi. Diperlukan
penguatan sistem dan alat ukur monitoring dan evaluasi yang ada (Monev SPAB), agar dapat
di gunakan oleh dinas serta satuan pendidikan dengan lebih optimal.
b. Rekomendasi untuk Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota
Pemerintah daerah, melalui dinas Pendidikan, Kemenag, BPBD perlu menyusun kebijakan
yang sesuai dengan kebutuhan dan konteks daerah masing-masing. Menyusun perencanaan dan
menentukan skala prioritas dan indikator capaian, agar pelaksanaan dapat dicapai. Asistensi
langsung kepada satuan pendidikan penting untuk dilakukan secara berkala dan berkelanjutan,
hal ini termasuk memberikan anggaran, fasilitas, pelatihan dan sosialisasi. Serta memberikan
motivasi kepada satuan pendidikan, melalui berbagai kegiatan, seperti kompetisi pelaksanaan
SPAB, menyediakan mekanisme konsultasi, baik untuk satuan pendidikan, pendidik, serta
peserta didik. Selanjutnya tentu, melakukan monitoring dan evaluasi secara berkala.
Seluruh proses pelaksanaan kegiatan SPAB di daerah, dapat di dukung serta bekerja sama
dengan berbagai Lembaga non pemerintah yang berkerja di daerah masing-masing, termasuk
perusahaan, organisasi keagamaan, serta berbagai lembaga profesi yang sesuai, seperti
Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGRI), Ikatan Guru Indonesia (IGI), Federasi Guru
Independen Indonesia (FGII), serta kelompok guru berbagi.
c. Rekomendasi untuk Satuan Pendidikan
Pelaksanaan SPAB di satuan pendidikan memerlukan kerja sama seluruh warga satuan
pendidikan. Temasuk komite sekolah dan orang tua. Hal utama yang perlu dilakukan adalah;
kepala satuan pendidikan menyusun dan mengeluarkan Surat keputusan (SK), yang berisi
Halaman 79 dari 100
tentang pembentukan tim siaga bencana, standar operasi prosedur (SOP) untuk pra, saat dan
setelah bencana, termasuk rencana simulasi. Pelatihan SPAB untuk pendidik dan peserta didik.
Termasuk orang tua, agar mendukung pelaksanaan kegiatan baik di satuan pendidikan, maupun
pada saat di rumah.
Untuk menentukan berbagai jenis kegiatan. Satuan pendidikan perlu melakukan penilaian
risiko bencana, termasuk melakukan pemetaan kapasitas yang dimiliki oleh satuan pendidikan.
Dengan ini akan diketahui apa saja jenis bencana yang mungkin terjadi, sehingga dapat
menyimpulkan tingkat risiko-nya dan bagaimana menanggulangi-nya. Berdasarkan hasil
penilaian. Maka satuan pendidikan perlu mempersiapkan berbagai perlengkapan kesiapsiagaan
bencana yang sesuai dengan ancaman dan risiko bencana yang ada.
Agar seluruh warga satuan pendidikan mengetahui berbagai ancaman dan risiko bencana, maka
perlu menyusun peta dan jalur evakuasi berdasarkan karakteristik bencana yang sudah
ditentukan. Berbagai tanda juga harus dipasang di tempat yang telah ditentukan.
Untuk membiasakan seluruh warga satuan pendidikan, maka simulasi secara berkala atau
minimal 2 kali dalam satu tahun perlu dilakukan. Simulasi diikuti oleh seluruh warga satuan
pendidikan, termasuk komite sekolah, orang tua. Pelaksanaan dapat dilakukan secara mandiri,
atau melibatkan lembaga, seperti BPBD, polisi, tentara, PMI, Damkar, atau Lembaga non
pemerintah yang memiliki keahlian SPAB.
Pelaksaan pembelajaran SPAB, dapat dilakukan melalui kegiatan intra dan ekstrakurikuler,
atau menyisipkan ke dalam mata pelajaran yang sesuai, hal ini perlu dilakukan sejak
penyusunan rencana proses pembelajaran (RPP). Pelaksanaan ini juga perlu dipastikan
berlangsung secara berkelanjutan setiap tahun ajaran sesuai dengan kebutuhan tahapan
indikator SPAB.
d. Rekomendasi untuk Institusi Non-Pemerintah
Dukungan Lembaga non pemerintah dalam implementasi SPAB tentu sangat dibutuhkan, baik
melalui kementerian, dinas, maupun langsung ke satuan pendidikan.
Bentuk dukungan Lembaga non pemerintah dapat berupa dukungan teknis dengan membantu
pemerintah dalam menyusun kebijakan, modul, juknis atau berbagai dokumen perencanaan.
Dukungan dalam bentuk peningkatan kapasitas melalui berbagai pelatihan, sosialisasi, maupun
alam bentuk kampanye. Selain itu dukungan teknologi yang inovatif juga dapat diberikan, agar
penyebarluasan informasi dan pengetahuan menjadi lebih merata. Pendampingan pelaksanaan
SPAB langsung di satuan pendidikan akan memberikan dampak yang lebih nyata, dan turut
serta mendukung pemerintah sebagai pemangku kepentingan utama.
Lembaga non pemerintah, juga perlu terlibat secara aktif dalam menyusun dan melakukan
implementasi alat monitoring dan evaluasi, baik dalam skala nasional maupun langsung di level
satuan pendidikan.
V.2.3. Rekomendasi untuk Pilar 3
a. Rekomendasi untuk pemerintah pusat
Aspirasi tentang pentingnya pengembangan sebuah sistim monitoring dan evaluasi yang
sistematis muncul di berbagai tingkatan dari satuan pendidikan hingga tingkat nasional. Sejauh
ini gagasan mengenai Monev SPAB sudah menjadi bagian dari prioritas bagi para pemangku
Halaman 80 dari 100
kepentingan baik di tingkat nasional hingga ke daerah. Dalam benak para aktor SPAB,
perwujudannya adalah melalui pengembangan aplikasi dan database yang komprehensif.
Tantangannya adalah bagaimana mekanisme monitoring dan evaluasi ini bisa dijalankan dan
menjadi alat pengambilan keputusan yang dilakukan secara seketika dan menjadi semacam
sistem yang mendukung untuk mengambil keputusan yang juga memberdayakan pemerintah
daerah dan satuan pendidikan.
Sistem ini bisa juga dikembangkan dengan menambahkan mekanisme untuk melacak data guru
yang sudah memiliki kapasitas tentang SPAB agar dapat diberi suatu pengakuan (bisa berupa
SK) untuk meningkatkan motivasi mereka dalam menjalankan program SPAB.
b. Rekomendasi untuk Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota
Pemerintah daerah perlu menyusun rencana kerja yang sistematis terkait penyelenggaraan
program SPAB dengan mengubah pola dari pendekatan ‘sekolah-sekolah target’ menjadi pola
implementasi program SPAB yang dapat mencakup seluruh satuan pendidikan dan dilakukan
secara komprehensif, karena mobilitas anak-anak dari sekolah-sekolah non-target tidak terjadi
secara linear – yakni bahwa para peserta didik belum tentu akan terus berada di ‘wilayah aman’.
Pemerintah daerah (baik di tingkat provinsi, kabupaten, atau kota) perlu mendorong
mekanisme transfer pengetahuan antar satuan pendidikan yang dapat berjalan secara rutin,
dimoderasi dengan efektif, dan mendorong munculnya inovasi yang sesuai dengan kebutuhan
daerah.
Untuk mengatasi minimnya pemahaman guru terkait PRB dan kemampuan untuk
mengintegrasikan PRB dalam pembelajaran, bisa dilakukan dengan menciptakan ekosistem
belajar untuk para guru terkait SPAB di setiap provinsi dengan mendorong LPD4TK maupun
LPMP untuk terlibat. Anggota Konsorsium Pendidikan Bencana di daerah dapat juga
mendorong pemerintah daerah untuk menciptakan solusi permanen atas peningkatan kapasitas
guru terkait PRB.
Di sisi lain, pemerintah daerah memiliki peranan penting dalam mendorong integrasi antara
agenda SPAB dengan agenda PRB berbasis keluarga. Dalam hal ini pendekatan promosi PRB
semestinya menuju pada kesadaran orang tua (keluarga) untuk menuntut pentingnya sekolah
aman. Dinas Pendidikan maupun Sekber SPAB perlu secara berkala dan proaktif mengambil
inisiatif dan mampu melakukan evaluasi yang komprehensif di semua jalur integrasi PB di
satuan pendidikan.
c. Rekomendasi untuk satuan pendidikan
Satuan pendidikan memiliki peranan penting dalam upaya pembaruan konten kurikulum PRBB
secara berkala agar kurikulum PPRB terus sesuai dengan konteks risiko dan dapat diadopsi
dalam RPP. Akibat perubahan iklim terjadi banyak perubahan konteks ancaman dan
kerentanan. Karakter ancaman seperti puting beliung, menjadi sebuah ancaman yang makin
sering. Fenomena-fenomena klimatologi ini menjadi kebutuhan sekolah. Diperlukannya
agenda khusus terkait penguatan satuan pendidikan dalam mendidik komunitasnya dalam
mengantisipasi bencana. Dengan banyaknya pemerhati dan implementator edukasi
kebencanaan berbasis satuan pendidikan, standar materi pembelajaran/edukasi perlu juga
dihimpun dan dilakukan harmonisasi. Tujuan harmonisasi lebih kepada penyamaan dan
pengayaan substansi yang akan diimplementasikan di setiap satuan pendidikan. Selain itu,
Halaman 81 dari 100
kesesuaian substansi yang akan diberikan juga dapat dikelola sesuai peruntukan dan jenjang
peserta didik.
Satuan pendidikan perlu menciptakan champions di satuan pendidikan dalam dua tingkat.
Pertama, di tingkat kepemimpinan sekolah. Kedua, ditingkat peserta didik di satuan
pendidikan. Pengalaman menunjukkan bahwa pimpinan sekolah memiliki diskresi terkait
implementasi PB. Menurut para guru, manakala pimpinan satuan pendidikan diberi
pemahaman lebih awal (oleh kepemimpinan ditingkat pemerintah daerah) maka mereka
diharapkan akan tanggap terkait informasi.
Pihak satuan pendidikan perlu menyusun desain yang jelas terkait alokasi pendanaan untuk
SPAB melalui penggunaan Dana BOS, dimana hal ini sudah diizinkan oleh pemerintah pusat.
Penggunaan dana BOS untuk mendukung upaya peningkatan kapasitas guru, perbaikan sarana
dan prasarana, serta peningkatan kesadaran warga sekolah menjadi sangat penting. Satuan
pendidikan juga bisa menggunakan pendanaan alternatif lainnya seperti dana desa atau dari
pihak swasta.
Halaman 82 dari 100
BAB VI. LAMPIRAN
VI.1. Peta
VI.2. Daftar Regulasi Terkait SPAB
Tabel 1. Regulasi terkait dengan Pilar 1 SPAB
Tahun Nama Regulasi
2002 UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
2008 Peraturan Menteri PU No. 26 Tahun 2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem
Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan
2008 Peraturan Menteri PU No. 24 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemeliharaan dan
Perawatan Bangunan Gedung
2011 Peraturan Presiden RI No. 73 Tahun 2011 tentang Pembangunan Bangunan Gedung
Negara
2018 Peraturan Menteri PUPR No.22 Tahun 2018 Tentang Pedoman Penyelenggaraan
Bangunan Gedung Negara
2002
2012
2019
SNI 1726/2002, diperbaharui menjadi SNI 1726/2012, lalu SNI 1726/2019 tentang
Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan
Non-gedung
2018 Peraturan Menteri PUPR No.22 Tahun 2018 Tentang Pedoman Penyelenggaraan
Bangunan Gedung Negara.
2019 Perpres No.43 Tahun 2019 tentang Pembangunan, Rehabilitasi, atau Renovasi
Pasar Rakyat, Prasarana Perguruan Tinggi, Perguruan Tinggi Keagamaan Islam,
dan Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
2019 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.33 Tahun 2019 tentang
Penyelenggaraan Program SPAB
Halaman 83 dari 100
VI.3. Perangkat Pengambilan Data
VI.3.1. Kuesioner
I. Data umum
II. A. Data Pribadi
1. Nama Lengkap:
2. Jenis Kelamin (L/P):
3. Umur:
4. Nama Sekolah:
5. Kelas:
6. Apakah Kamu penyandang disabilitas?
B. Domisili
1. Provinsi :
2. Kab/ Kota :
3. Kecamatan :
4. Kelurahan. :
III. Kuesioner terkait kesiapsiagaan bencana
1. Jenis ancaman bencana apa yang mungkin terjadi di sekolah kamu? (Bisa memilih
sebanyak mungkin)
☐ Gempa Bumi ☐ Tsunami ☐ Tanah Longsor
☐ Gunung Meletus ☐ Banjir ☐ Angin Puting Beliung
☐ Kekeringan ☐ Kebakaran Hutan ☐ Kebakaran Bangunan
☐ Gemlombang pasang/rob ☐ Wabah penyakit ☐ Kerusuhan dan Kekerasan
Lainnya. Bila memilih lainnya, silahkan ditulis dibawah ini:
2. Apakah kamu pernah mengalami kejadian bencana?
☐ ☐
Pernah Tidak Pernah
3. Apakah kamu mengetahui cara agar aman dari bahaya bencana?
☐ ☐ ☐ ☐ ☐
Tidak
mengetahui
sama sekali
Tidak
mengetahui
Kurang tahu Cukup tahu Sangat
mengetahui
4. Bagaimana tingkat kesiapan sekolah mu dalam menghadapi bahaya bencana?
☐ ☐ ☐ ☐ ☐
Tidak siap sama
sekali
Tidak siap Kurang siap Cukup siap Sangat siap
Halaman 84 dari 100
5. Apabila terjadi salah satu kejadian bencana (misalnya gempa bumi, tsunami, banjir,
tanah longsor atau angin ribut) saat kamu di sekolah, apakah kamu akan tetap selamat
saat berada di kelas?
☐ ☐
Ya Tidak
Jika memilih ya, mengapa? Jika memilih tidak, mengapa? Jelaskan!
6. Apakah kamu pernah berusaha mencari informasi/pengetahuan tentang kesiapsiagaan
bencana?
☐ ☐
Ya Tidak
7. Media apa yang paling nyaman atau yang kamu suka untuk mencari informasi
mengenai topik kebencanaan? (Pilih Maksimal 3)
☐ Media cetak (misalnya majalah, Koran cetak, dll)
☐ Televisi
☐ Radio
☐ Media sosial (Instagram, facebook, twitter, tumblr)
☐ Aplikasi pesan singkat (Whatsapp, Telegram, Line,
WeChat)
☐ Website (Google, Detik.com, Kompas.com, dll)
☐ Guru
☐ Orangtua
☐ Melalui Aplikasi Online
☐ Melalui permainan (baik online/daring atau offline
/luring)
☐ Teman
☐ Lainnya :………………………
8. Pengetahuan apa saja yang kamu ingin ketahui dari sumber-sumber diatas? (Pilih
Maksimal 3)
☐ Proses terjadinya bencana
☐ Dampak terjadinya bencana
☐ Cara penyelamatan diri saat terjadi bencana
☐ Cara mengurangi dampak bencana
☐ Cara bertahan hidup setelah terdampak bencana
☐ Lainnya, sebutkan
9. Kegiatan apa saja yang sudah kamu lakukan di sekolah yang membuat sekolah kamu
lebih aman dari bencana? (Bila tidak ada kegiatan, silahkan tulis “Tidak Ada”):
10. Apakah sekolah kamu sudah memiliki prosedur bila terjadi bencana (misalnya gempa
bumi, banjir, tsunami, dll)?
☐ ☐ ☐
Ya Tidak Saya Tidak Tahu
Halaman 85 dari 100
11. Apakah kamu harus ikut serta dalam membuat sekolah kamu lebih siap siaga
bencana?
☐ ☐ ☐ ☐ ☐
Tidak perlu
terlibat sama
sekali
Tidak perlu
terlibat
Perlu, tapi sedikit
saja
Perlu terlibat Sangat perlu
terlibat
VI.3.2. Pertanyaan Panduan untuk Diskusi Terpimpin
Pertanyaan Panduan Untuk Workshop Pilar 1:
1. Dalam 12 tahun terakhir, apa saja best practice dari sekolah yang selamat dari
bencana merusak terkait pilar 1 SPAB
a. Apa saja kebijakan yang telah dikeluarkan terkait dengan pilar 1?
b. Apa saja program yang telah dilakukan terkait dengan pilar 1?
c. Apakah ada daerah prioritas untuk pelaksanaan pilar 1?
2. Sejauh mana praktik-praktik pemetaan risiko dan kerentanan sekolah dilakukan di
Indonesia dalam 12 tahun terakhir?
a. Apakah selama ini pemerintah pusat pernah melakukan evaluasi menyeluruh
terhadap seluruh bangunan satuan pendidikan di Indonesia? jika pernah, kapan?
Apakah bisa di bagaikan hasil Laporan-nya? Jika belum kenapa hal ini belum
dilakukan?
3. Bagaimana kebijakan pemerintah pusat dan daerah terkait sekolah yang berada di
lokasi yang sangat rawan bencana (zona merah gempa | berada di atas jalur sesar,
zona merah tsunami, zona merah banjir bandang, zona merah gunung api, zona merah
longsor)
4. Apakah pada saat pemilihan lokasi sekolah (baru maupun rehabilitasi) dilakukan
penilaian atau kajian risiko bencana? Dan bagaimana mekanisme pengawasan
pelaksanaan pembangunan bangunan sekolah (yang aman bencana) serta sarana
prasarananya?
5. Bagaimana mekanisme perbaikan maupun pemeliharaan sekolah di daerah-daerah
rawan bencana?
a. Berapa banyak anggaran yang telah di alokasikan terkait memastikan keamanan
fasilitas pendidikan yang berada di lokasi rawan bencana?
6. Apa hal yang paling menantang dan menjadi kendala dalam pelaksanaan pilar 1 di
Indonesia?
a. Apa rekomendasi anda untuk memperkuat pelaksanaan pilar 1 di Indonesia?
Pertanyaan Panduan Untuk Workshop Pilar 2:
1. Bagaimana perkembangan terkait pengelolaan bencana berbasis sekolah diterapkan di
Indonesia dalam 12 tahun terakhir?
a. Apa saja kebijakan yang telah dikeluarkan terkait dengan pilar 2?
b. Apa saja program yang telah dilakukan terkait dengan pilar 2?
Halaman 86 dari 100
c. Apakah ada daerah prioritas untuk pelaksanaan pilar 2?
2. Sejauh mana sekolah-sekolah di Indonesia menerapkan standar operasi dan prosedur
pengelolaan bencana dalam 12 tahun terakhir?
a. Apakah selama ini pemerintah pusat pernah melakukan evaluasi menyeluruh
terhadap Sistem Penanggulangan Bencana di Sekolah di Indonesia? jika
pernah, kapan? Apakah bisa di bagaikan hasil Laporan-nya? Jika belum
kenapa hal ini belum dilakukan?
3. Apakah educational continuity plan dan contingency plan sudah menjadi bagian dari
kegiatan kesiapsiagaan bencana di sekolah? Bila ya, bagaimana perkembangan
implementasinya?
a. Berapa banyak anggaran yang telah di alokasikan terkait memastikan
keamanan fasilitas pendidikan yang berada di lokasi rawan bencana?
4. Apa saja kendala yang dihadapi dalam membangun kesiapsiagaan bencana ditingkat
sekolah? Atau Apa saja kendala yang paling sering dan paling berat dihadapi selama
ini dalam menerapkan pilar 2 SPAB?
5. Sejauh mana sekolah-sekolah menerapkan kesiap-siagaan dan memastikan terjadinya
simulasi bencana yang rutin maupun pemetaan jalur evakuasi multi-ancaman di
sekitar sekolah?
6. Apa hal yang paling menantang dan menjadi kendala dalam pelaksanaan pilar 2 di
Indonesia?
a. Apa rekomendasi anda untuk memperkuat pelaksanaan pilar 2 di Indonesia?
Pertanyaan Panduan Untuk Workshop Pilar 3:
1. Bagaimana perkembangan pendidikan bencana dan/atau pendidikan kebencanaan di
Indonesia saat ini? Atau Apa saja capaian-capaian dalam kurun waktu 12 tahun
terakhir yang bisa ditunjukan kepada pemangku kepentingan di nasional dan di
global?
a. Apa saja kebijakan yang telah dikeluarkan terkait dengan pilar 3?
b. Apa saja program yang telah dilakukan terkait dengan pilar 3?
c. Apakah ada daerah prioritas untuk pelaksanaan pilar 3?
2. Apa saja capaian-capaian yang menggembirakan tetapi masih perlu dipikirkan
keberlanjutannya terkait pendidikan kebencanaan dan kurikulum pendidikan
kebencanaan?
a. Apakah selama ini pemerintah pusat pernah melakukan evaluasi menyeluruh
terhadap Pendidikan Pengurangan Risiko Bencana di Sekolah di Indonesia?
jika pernah, kapan? Apakah bisa di bagaikan hasil Laporan-nya? Jika belum
kenapa hal ini belum dilakukan?
3. Sejauh mana pendekatan pendidikan bencana yang berpusat pada anak
diimplementasi dan menjadi panduan?
a. Berapa banyak anggaran yang telah di alokasikan terkait memastikan
keamanan fasilitas pendidikan yang berada di lokasi rawan bencana?
4. Sejauh mana kurikulum pendidikan bencana diimplementasikan di sekolah-sekolah? -
Bagaimana peran pemerintah pusat dan daerah dalam mendorong kurikulum
pendidikan bencana di daerah dalam kurun waktu 12 tahun terakhir?
Halaman 87 dari 100
5. Apa saja agenda penguatan kapasitas guru dan sekolah yang dilakukan pemerintah
dan pemerintah daerah dalam kurun waktu 12 tahun terakhir?
6. Apa hal yang paling menantang dan menjadi kendala dalam pelaksanaan pilar 3 di
Indonesia?
a. Apa rekomendasi anda untuk memperkuat pelaksanaan pilar 3 di Indonesia?
Halaman 88 dari 100
VI.4. Kerangka Acuan Kerja Evaluasi
1. Title of the assignment: Stocktaking Study on Comprehensive School Safety (CSS) Program
Implementation in Indonesia
2. Background and Justification
VI.5. Disasters and Risks for Children in terms of Education
Research has shown that 80% of disaster deaths happened in Asia and children are
disproportionally affected by disasters. In the last fifteen years, 100 million people in Southeast
Asia have been affected by different hazards and catastrophic events.92 This affects children and
Education sector in the region as 9 of 10 children spend half of their waking hours in school and
oftentimes school facilities are not constructed to be disaster resilient.93 Children and youth are
disproportionally affected by disasters94 but they are also a strong agent to build resilience95.
Indonesia has 126,681 primary schools and junior high schools that are categorized as medium
to high risks to natural disasters: earthquakes - 52,902 schools, floods - 54,080 schools, landslides
- 15,597 schools, tsunami - 2,417 schools, and volcaNo.eruptions - 1,685 schools96.
In the last 15 years, starting from tsunami in Aceh to earthquake, tsunami and liquefaction in
Central Sulawesi Province, there have been 46,648 schools affected by disasters. This data was
recorded from medium and large-scale disasters that delivered a significant impact on Indonesia’s
education sector97. Most recently more than 46,000 schools and up to 10 million children have
potentially been affected by haze.98
VI.6. Safe Schools Programme
The Government of Indonesia through the Ministry of Education and Culture (MoEC), National
Disaster Management Agency (BNPB), and Ministry of Religious Affairs (MoRA) in
collaboration with many non-government and United Nations (UN) agencies, has extensively
implemented the Comprehensive School Safety (CSS) programme since 2008. The Government
of Indonesia has committed to support the comprehensive school safety (CSS) or more familiar
with “Safe School” term through the establishment of the National Secretariat for Safe Schools,
92 ASEAN Common Framework on School Safety, pg.9, 2015 93 Source: Advancing School Safety in Asia, http://www.wcdrr.org/wcdrr-data/uploads/876/World%20Vision%202015%20-%20Advancing%20School%20Safety%20in%20Asia.pdf 94 Source: Advancing comprehensive school safety for Asia and the Pacific, November 2016 95 Presentation of Database Integration on Safe School, BNPB, 2019 96 Presentation of Ministry of Education and Culture, 2019 97 Disaster Resilience Education. “Establishing all Education Units to be Safe from Disasters in Indonesia”, Seknas SPAB, 2018 98 10 Juta Anak Indonesia Terpapar Polusi Udara, Unicef in Press, 2019
Halaman 89 dari 100
development of the national road map on safe schools 2015-2019, drafting of ministerial
regulations and the issuance of technical guidelines for CSS, capacity building activities at
national and sub national level (including E-learning on safe schools and offline games), as well
as the integration of data between the disaster management agency (BNPB) platforms on hazard
risk (‘InaRISK’) and the central school database (‘Dapodik’) under MoEC.
In Indonesia the MoEC is leading the safe schools’ implementation in the country. The nation-
wide safe schools programme has applied the three pillars of the Comprehensive Safe School
(CSS) framework, which include: 1) school facilities; 2). school disaster management; and 3)
disaster risk reduction in education. This has been contextualized in local policies including
BNPB regulation No. 4 / year 2012 on safe schools. In this regulation, safe school implementation
addresses two major components: firstly, structural component such as: safe location, safe
building structure, safe classroom design and set-up, supporting facilities/infrastructure, and
secondly, non-structural component including knowledge, attitude and practice, safe school/safe
madrasah policies, planning for disaster preparedness and resource mobilization.
Indonesia also has issued a ‘Safe School Road Map’ 2015-2019 with a strategic goal to protect
learners, teachers, education personnel from the risk of death and injury in school, to improve the
quality of education facilities and infrastructure for safes schools and to ensure education
continuity before, during and after disasters and to strengthen resilience of school community in
times of disaster. Indonesia has also set up disaster management mechanisms in the education
sector with the following phases: pre-disaster (prepared by each Directorate/Unit in MoEC),
emergency response (led by Directorate of Special Education) and post-disaster (prepared by each
Directorate/Unit). This requires cross-coordination with BNPB as well as international non-
governmental organizations and UN agencies. Despite the progress, the school safety promotion
in Indonesia also faces some challenges that can be turned into opportunities:
1. There are more than 422,00099 schools in Indonesia, 30 percent of them are located in
disaster prone areas. Most of primary schools were built in the 80s where Disaster Risk
Reduction (DRR) aspects were not considered – thus, poor construction and maintenance.
2. Need to improve coordination with local governments. Policies are in place at national
level by BNPB and MoEC. However, coordination between the two main institutions
remains ad-hoc and must be strengthened, either at national or sub-national levels.
3. Safe schools have been piloted in 26,920 locations but replication and scale-up is the major
challenge. Due to government budget limitation and stronger partnership between MoEC
and related line Ministries and agencies (Women Empowerment and Child Protection,
99 Dapodikdasmen and Dapodik PAUD data, 2019
Halaman 90 dari 100
Environment and Forestry, and BNPB) is necessary to mainstream safe schools as a
component of a wider programme on child-centred climate change adaptation and disaster
risk reduction.
The Government of Indonesia is currently finalizing its medium-term strategic plan (RPJMN)
2020-2024 and education has been identified as one of the priorities under human development.
UNICEF Indonesia is also preparing the next country programme with the Government of
Indonesia and the situation analysis for children has been developed which highlights the
medium-high risk environments in Indonesia. In order to take stock of the safe school
implementation in Indonesia and to provide strategic recommendations for further consolidation
and expansion of the safe school programme, there is a need to conduct strategic review which
will examine whether the implementation is on track andthe strategy is still relevant, identify key
challenges and potential solutions, recommend how the programme could be scaled up and the
sustainability of capacity investments could be ensured. The formative evaluation on
comprehensive safe school will focus on 4 provinces namely in Aceh, DKI Jakarta, East Nusa
Tenggara and Central Sulawesi.
3. Purpose of the assignment:
To do study on CSS implementation with evidence. And will be assessed using the principles of
Development Assistance Committee’s criteria of relevance, effectiveness, efficiency,
sustainability and impact from the Organization for Economic Co-operation and Development.
These criteria are prioritized because they capture all relevant issues above. In addition, the
evaluation will incorporate gender equality and inclusive considerations as cross-cutting issues.
4. Scope of Work:
To generate substantive, evidence-based knowledge on safe school implementation in Indonesia
by identifying challenges, good practices, lessons learned and mapping key actors, policies and
guidelines of the CSS programme in Indonesia with specific objectives to:
1. review the challenges, ongoing CSS implementation and its achievement.
2. provide evidence on whether CSS strategies are effective and efficient in Indonesia, and
to define the most relevant priority area(s) to focus on.
provide strategic recommendation on how CSS programme could be sustained and scaled up in
Indonesia.
5. Methodology
The study could be using mixed methods (quantitative and qualitative methods). Qualitative data
will be collected by using desk review, case studies, focus group discussions, and semi-structured
interviews. Quantitative data will be collected by using questionnaires and existing databases. The
Halaman 91 dari 100
study will focus on several distinct samples including: government personnel (local, sub-national,
and national level), organizations (including NGOs) and UN agencies that have programmes on
CSS, youth groups (and children groups if possible), and teachers.
Actual sample selection will be finalized after ethical considerations consultation with the
selected institution. The evaluation process will be underpinned by ethical principles enshrined in
“UNICEF PROCEDURE FOR ETHICAL STANDARDS IN RESEARCH, EVALUATION,
DATA COLLECTION AND ANALYSIS”, April 2015100 and Ethical Clearance as required by
the Government of Indonesia.
The evaluation process will also ensure an equitable approach (all key stakeholders with proper
gender balance are consulted). The selected research institution is also expected to adhere to the
Norms and Standards for Evaluation in the UN system101 and to UNICEF’s evaluation Reporting
standards102.
6. Timing/duration of contract:
The process of the evaluation is from November 2019 to March 2020, with tentative schedule as
follows:
Tasks Timeframe/duration PIC
Develop an inception Report, in
consultations with UNICEF and
MoEC on the research design
and implementation plan.
November 2019 Consultant
Obtaining an ethical clearance
and the field test of
instrumentation.
Nov-Dec 2020 Consultant
Field work/Data collection January 2020 Consultant
Submit initial findings and
present it to MoEC and UNICEF
January 2020 Consultant
100 http://www.unicef.org/supply/files/ATTACHMENT_IV-UNICEF_Procedure_for_Ethical_Standards.PDF 101 http://www.unevaluation.org/document/detail/1914 102 https://www.unicef.org/evaluation/files/UNICEF_adapated_reporting_standards_updated_June_2017_FINAL.pdf
Halaman 92 dari 100
in English and summary in
bahasa for review purpose by
MoEC
Write the 1st draft of the Report
in English with summary in
Bahasa for review purpose by
MoEC
Feb 2020 Consultant
Review by MoEC and UNICEF Feb 2020 MoEC and UNICEF
Revise 2nd draft Feb 2020 Consultant
Final review by MoEC and
UNICEF
March 2020 MoEC and UNICEF
Final revision and submitting to
MoEC and UNICEF (in English
and Bahasa)
March 2020 Consultant
Produce academic
paper/publication for
international and or national
journal(s)
March-April 2020 Consultant
7. Deliverable and payment schedule
Task Deliverable Deadline Percentage
Payment
Inception Report in
English and Bahasa
Indonesia
Report Accepted 30 Nov
2019
1st Payment
Key finding Report in
English and Bahasa
Indonesia
Report Accepted
Halaman 93 dari 100
Full Report in English and
Bahasa Indonesia
Report Accepted 30 March
2020
2nd Payment
Academic paper Paper approved by Unicef
and submitted to the journal
institution
30 April
2020
3rd Payment
8. Sources of Document
There will be a number of source documents that could become secondary data: e.g. Sendai
Framework for Disaster Risk Reduction, Asian Ministry Conference on Disaster Risk Reduction
(AMCDRR) Declaration, Indonesia regulations etc. Below are examples of key documents related
to CSS (not an exhaustive list):
No Comprehensive School Safety (CSS)
1 Global Comprehensive School Safety Framework.
2 Comprehensive School Safety technical support package, for the worldwide initiative for
safe schools.
3 ASEAN Common Framework on School Safety (ACFCSS).
4 Indonesia Safe School Roadmap 2015-2019.
5 Indonesia Safe School technical guideline.
6 Indonesia Safe School modules.
7 Disaster Resilience Education: Establishing all Education Units to be Safe from Disasters
in Indonesia.
8 Indonesia Safe School lessons learnt from BNPB.
9 Case studies, papers and Reports from relevant sources.
10 Others relevant documents
Halaman 94 dari 100
9. Sampling Area
Data collection will be done at both national and sub-national levels. Suggested provinces for sub-
national data collection are shown below. The final sampling frame will be discussed and
determined with the selected institution.
No. Comprehensive School Safety (CSS)
1 Aceh
2 East Nusa Tenggara
3 DKI Jakarta
4 Central Sulawesi
10. Resource Persons
Main recourse persons and or institutions that need to be interviewed or involved in FGDs include,
but not limited to:
No. National Sub National
1 Ministry of Education and Culture (MoEC) Education Department
(Disdik)
2 National Disaster management agency (BNPB) Disaster Management agency
(BPBD)
3 Ministry of Religious Affairs (MoRA) Religious affairs department
4 Ministry Public Affairs and Housing (PUPR) Public affairs and housing
department
5 National Planning Agency (BAPPENAS) Planning Agency department
(Bappeda)
6 Ministry of Social Affairs (Taruna Siaga Bencana goes
to School program)
Education Quality Assurance
Agency (LPMP)
7 UNESCO Local NGOs/CSOs
Halaman 95 dari 100
8 UN-OCHA Head Masters
9 World Bank Teacher s
10 Save The Children Indonesia (YSTC) Students
11 Plan International Indonesia (YPII) Other relevant stakeholders
12 Wahana Visi Indonesia (WVI)
13 Konsorsium Pendidikan Bencana (KPB)
14 Humanitarian Forum Indonesia (HFI)
15 Other relevant stakeholders
11. Qualifications Required:
The consulting institution must provide details of qualification and a work profile of the institution
and the research team members who should meet the following required minimum conditions:
Institution
1. The institution must hold a legal entity;
2. The selected institution shall demonstrate proven experience in the use of
participatory, qualitative and quantitative evaluation/analytic methodologies,
especially related to emergencies and disaster risk reduction particularly in
education sector. Experience related to review, evaluation in CSS and or DRR in
general is preferred, as is experience in Indonesia;
3. The institution is expected to propose the team structure and constituent
members with expertise in CSS, DRR, education policy study and research
analyst, as appropriate. It will be recommended that the institution work closely
with ministries and agencies in Indonesia to ensure mutual understanding and
appropriation.
Core team members
Halaman 96 dari 100
1. Education research analyst: master’s degree in relevant discipline with a
minimum of 6 years’ relevant experience on study or assessment in education
sector. Must be fluent in written and spoken English.
2. Disaster Risk Reduction (DRR) expert: master’s degree in relevant discipline
with a minimum of 6 years’ relevant experience in DRR programs particularly in
education sector, preferably in Indonesia. Must be fluent in written and spoken
English.
3. Public policy and governance expert: master’s degree with minimum 6 years’
experience in public policies and governance in education sector, preferably in
Indonesia. Must be fluent in written and spoken both Bahasa Indonesia and
English.
12. Evaluation Criteria:
CATEGORY MAX
POINT
MIN
PASSING
POINT
1. ORGANIZATIONAL CAPACITY
1.1 Detail of relevant experience and list of clients in the
last six years, including contact details (name, email
address, and phone numbers that can be used as
reference)
1.2 Financial Statement and Balance Sheet (audited
preferably) for the last 3 years.
15 N/A
2. QUALITY OF THE TECHNICAL PROPOSAL
2.1 Proposed methodology and approach with reference to
objectives in TOR
2.2 Implementation timeline: identify key tasks and timeline,
focal person for each activity/deliverable should be
identified.
40 N/A
Halaman 97 dari 100
2.3 Anticipated project risks and mitigation measures as well as
quality assurance
3. KEY PERSONNEL
3.1 Names and full CVs of the institution personnel that will be
directly involved in the consultancy, including (but not limited
to) the designated Team Leader/ Project Manager. The list
should include at least one senior staff with good experience
on work related with district/province on CSS and or DRR in
general activities proven by activity Reports or progress
Report.
3.2 Adequate and appropriate staff combination in relation to the
respective tasks and deliverables (see TOR); and relevant prior
experiences of similar scope and complexity.
15 N/A
TOTAL TECHNICAL PROPOSAL
*The bidder has to meet this minimum passing point for the
Technical Evaluation in order to be considered further for the
Financial Evaluation
70 49
PRICE/FINANCIAL PROPOSAL
Financial proposals should be all-inclusive, including costs for
fees, travel, sub-contracts and other necessary expenses.
30 30
TOTAL MARKS 100
Note:
1. The technical evaluation criteria above can be changed to appropriately reflect
requirement.
2. The total weight/score of technical components should be in a range of 50 % - 80%, and
the total weight/score of financial criteria in a range of 20% - 50%.
3. Sum of technical and commercial must always equal 100 %
13. Estimated Budget:
Halaman 98 dari 100
- USD 65.000 or IDR 921,245,000
14. Supervision:
- The process will be led by EECAD Cluster
15. Supply Plan as per attached, signed by Ministry of Education and Culture, 24 September
2019
Halaman 99 dari 100
VI.7. Referensi
Alinea.id. "Bi: Kerugian Akibat Banjir Jakarta Awal 2020 Capai Rp1 Triliun." (2020).
Amri, Avianto. "Building Disaster Resilient Households through a School-Based Education
Intervention with Children and Their Families: Phd Thesis." (2020).
Amri, Avianto, Deanne K. Bird, Kevin R. Ronan, Katherine Haynes, and Briony Towers.
"Disaster Risk Reduction Education in Indonesia: Challenges and Recommendations
for Scaling Up." Natural Hazards and Earth System Sciences (2017).
Back, Emma, Catherine Cameron, and Thomas Tanner. Children and Disaster Risk Reduction:
Taking Stock and Moving Forward. Children in a Changing Climate Research. Edited
by Dee Scholley and Fran Seballos. Brighton, UK: UNICEF, 2009.
Bank/GFDRR, World. "Advancing Disaster Risk Financing and Insurance in Asean Member
States: Framework and Options for Implementation." 2018.
Beritatagar.id. "Fakta Musibah Kebakaran Di Dki Jakarta." (2017).
https://beritagar.id/artikel/infografik/musibah-kebakaran-di-dki-jakarta-dalam-angka.
BNPB. "Data Dan Informasi Bencana Indonesia (Dibi)." (2019). http://dibi.bnpb.go.id/.
BPBD Prov. NTT. "Rencana Strategis 2019 – 2023." Kupang, Indonesia, 2019.
BPS Prov. DKI Jakarta. "Rekapitulasi Data Banjir Dki Jakarta Dan Penanggulangannya Tahun
2020." Jakarta, Indonesia, 2020.
Burnham, Joy J., Lisa M. Hooper, Emily E. Edwards, Jacalyn M. Tippey, Amanda C.
McRaney, Matthew A. Morrison, Jennifer A. Underwood, and Emily K. Woodroof.
"Examining Children's Fears in the Aftermath of Hurricane Katrina." Journal of
Psychological Trauma 7, no. 4 (2008/12/04 2008): 253-75.
CNN Indonesia. "Bencana Puting Beliung Paling Sering Terjadi Di Ri Pada 2019." (2019).
https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20191227180652-199-460519/bencana-
puting-beliung-paling-sering-terjadi-di-ri-pada-2019.
———. "Gempa Di Indonesia Meningkat Dalam 5 Tahun Terakhir." (2019).
https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20191201065329-199-453026/gempa-di-
indonesia-meningkat-dalam-5-tahun-terakhir.
Desfandi, M. "Kearifan Lokal Smong Dalam Konteks Pendidikan : Revitalisasi Nilai Sosial-
Budaya Simeulue." (2019).
GADRRRES, and UNISDR. Comprehensive School Safety Framework. GADDRESS &
UNISDR, 2017.
Grant, Maria J., and Andrew Booth. "A Typology of Reviews: An Analysis of 14 Review Types
and Associated Methodologies." Health Information & Libraries Journal 26, no. 2
(2009): 91-108.
Habibullah. "Kebijakan Penanggulangan Bencana Berbasis Komunitas: Kampung Siaga
Bencana Dan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana.". Socio Informa 18, no. 2 (2013):
133-50.
Haynes, Katharine, and Thomas M. Tanner. "Empowering Young People and Strengthening
Resilience: Youth-Centred Participatory Video as a Tool for Climate Change
Adaptation and Disaster Risk Reduction." Children's Geographies 13, no. 3
(2015/05/04 2015): 357-71.
Indrayani, Damsar and. "Local Wisdom Based Disaster Education in Minangkabau Society ".
Kemendikbud. "Pendidikan Tangguh Bencana: Mewujudkan Satuan Pendidikan Aman
Bencana Di Indonesia." Jakarta, Indonesia: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
2019.
———. "Peraturan Menteri No. 33 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Program Satuan
Pendidikan Aman Bencana." (2019).
———. "Peta Jalan Penyelenggaraan Program Satuan Pendidikan Aman Bencana." (2020).
———. "Peta Jalan Sekolah Madrasah Aman Bencana 2015 - 2019." (2015).
Halaman 100 dari 100
Kitzinger, Jenny. "Qualitative Research: Introducing Focus Groups." BMJ 311, no. 7000
(1995-07-29 00:00:00 1995): 299-302.
Kompas. "Fakta Lengkap Kasus Pertama Virus Corona Di Indonesia." (2020).
https://nasional.kompas.com/read/2020/03/03/06314981/fakta-lengkap-kasus-
pertama-virus-corona-di-indonesia?page=all.
Liputan 6. "Dukung Sekolah Libur Akibat Covid-19, Mendikbud Luncurkan Portal Rumah
Belajar." (2020). https://www.liputan6.com/news/read/4202236/dukung-sekolah-libur-
akibat-covid-19-mendikbud-luncurkan-portal-rumah-belajar.
Mitchell, Tom, Thomas Tanner, and Katharine Haynes. "Children as Agents of Change for
Disaster Risk Reduction: Lessons from El Salvador and the Philippines." In Working
Paper no. 1: Children in a Changing Climate Research, 2009.
Nandi, N., and T. Havwina. "The Preparedness Level of School Community in Handling the
Earthquake and Tsunami Threats in Banda Aceh City." IOP Conference Series: Earth
and Environmental Science 145 (2018/04 2018): 012097.
Ollendick, T. H., J. L. Matson, and W. J. Helsel. "Fears in Children and Adolescents:
Normative Data." Behav Res Ther 23, no. 4 (// 1985): 465-7.
Ollendick, Thomas H. "Reliability and Validity of the Revised Fear Survey Schedule for
Children (Fssc-R)." Behaviour Research and Therapy 21, no. 6 (1983/01/01 1983):
685-92.
Paci-Green, Rebekah, Adriana Varchetta, Kate McFarlane, Padmini Iyer, and Marcel
Goyeneche. "Comprehensive School Safety Policy: A Global Baseline Survey."
International Journal of Disaster Risk Reduction 44 (2020/04/01/ 2020): 101399.
Parker, Andrew, and Jonathan Tritter. "Focus Group Method and Methodology: Current
Practice and Recent Debate." International Journal of Research & Method in Education
29, no. 1 (2006/04/01 2006): 23-37.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah. "Pergub No. 10 Tahun 2019 Tentang Rencana
Rehabilitasi Dan Rekonstruksi Pascabencana." Palu, Indonesia, 2019.
Peters, Micah D.J., Christina M. Godfrey, Hanan Khalil, Patricia McInerney, Deborah Parker,
and Cassia Baldini Soares. "Guidance for Conducting Systematic Scoping Reviews."
International Journal of Evidence-Based Healthcare 13, no. 3 (2015): 141-46.
Reed, S. , and D. Blariaux. "Evaluation of Unicef’s Disaster Risk Reduction Programming in
Education (2103-2018) in East Asia and the Pacific." (2020.).
https://www.unicef.org/evaldatabase/files/EAPRO_DRR_Evaluation_Final_Report_J
an_28th.pdf
UNESCO, LIPI, and Yayasan Puter. "Cerita Dari Maumere: Membangun Sekolah Siaga
Bencana." (2009).
UNICEF. "Humanitarian Situation Report #4, 12-25 November 2018." Jakarta, Indonesia,
2018.
UNISDR, and Plan International. Children's Action for Disaster Risk Reduction: Views from
Children in Asia. Bangkok, Thailand: UNISDR and Plan International, 2012.
top related