etika interaksi
Post on 27-Oct-2015
56 Views
Preview:
TRANSCRIPT
ETIKA INTERAKSI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
Masyarakat sejak zaman dahulu terdiri dari dua bagian, laki-laki dan perempuan.
Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lainnya untuk menunaikan kegiatan
kehidupan keseharian, baik yang menyangkut ladang-ladang ibadah khusus ataupun
dalam kegiatan kemasyarakatan pada umumnya. Mereka bukanlah dua bagian yang
saling asing dan saling terpisah, akan tetapi saling memerlukan satu dengan yang lainnya.
Al Qur’an ,maupun As Sunnah mencatat peristiwa adanya interaksi antara laki-
laki dan perempuan sejak zaman dahulu. Hal ini menjadi bukti sejarah bahwa interaksi
antara laki-laki dan perempuan bukanlah hal baru di zaman yang sudah banyak kerusakan
saat ini. Akan tetapi di zaman Nabi-Nabi terdahulu sampai zaman Nabi terakhir
Muhammad saw, dijumpai adanya interaksi kedua jenis makhluk Allah tersebut yang
menandakan kebolehannya.
Interaksi Laki-laki dan Perempuan dalam Al Qur’an
Dalam Al Qur’an kita mendapatkan kisah Musa di waktu muda berdialog dengan
dua akhwat, yaitu dua putri seorang bapak tua, Nabi Syu'aib. Musa bertanya kepada
keduanya, dan mereka pun menjawab secara wajar. Musa bahkan akhirnya membantu
mereka dengan sopan. Kisah ini dapat kita baca dalam Al Qur’an :
"Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana
sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang
orang banyak itu, dua orang perempuan yang sedang menghambat (ternaknya). Musa
berkata, "Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu) ?”
“Kedua perempuan itu menjawab, "Kami tidak dapat meminumkan (ternaknya),
sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami
adalah orang tua yang telah lanjut usianya. Maka Musa memberi minum ternak itu untuk
(menolong) mereka, kemudian dia kembali ke tempat teduh lalu berdo'a, "Ya Tuhanku
sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan
kepadaku”.
Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu
berjalan dengan rasa malu, ia berkata, "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar
ia memberi alasan terhadap (kebaikan)-mu memberi minum (ternak) kami". Maka tatkala
Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai
dirinya).”
Syu'aib berkata, "Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang
yang zhalim itu. Salah seorang dari kedua perempuan itu berkata, "Ya bapakku ambillah
ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya ia orang yang paling
baik yang bisa kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ia juga orang yang kuat lagi dapat
dipercaya" (Al Qashash: 23-26).
Demikian pula kisah Maryam, Al Qur’an menggambarkan bahwa nabi Zakaria
masuk ke dalam mihrab yang dihuni oleh Maryam. Kemudian, Zakaria berinteraksi
dengannya:
"Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di
sisinya, Zakaria berkata, "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini ?
Maryam menjawab, "Makanan itu dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah memberi rizki
kepada siapa yang dikehendakiNya tanpa terduga" (QS. Ali Imran: 37).
Al Qur’an juga menceritakan kisah tentang Ratu Saba', bahwa dia berusaha
mengumpulkan rakyatnya untuk dimintai pendapat mengenai Sulaiman:
"Berkata dia (Balqis), "Hai para pembesar, berilah aku pertimbangan dalam
urusanku (ini). Karena aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu
berada dalam majelis (ku)". Mereka menjawab, "Kita adalah orang-orang yang memiliki
kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang tinggi (dalam peperangan), dan
keputusan berada di tanganmu, maka pertimbangkanlah apa yang kamu perintahkan".
Dia berkata, "Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya
mereka mimbanasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina dina, dan
demikian pulalah yang akan mereka perbuat" (An Naml: 32-34).
Ratu Balqis berbincang-bincang dengan nabi Sulaiman -alaihissalam- dan nabi
Sulaiman pun berdialog dengannya:
“Dan ketika Balqis datang, ditanyakanlah kepadanya, "Serupa inikah
singgasanamu ? Dia menjawab, "Seakan-akan singgasana ini singgasanamu, kami telah
diberi pengetahuan sebelum dan kami adalah orang-orang yang berserah diri, Dan apa
yang disembahnya selama ini selain Allah, mencegahnya (untuk melahirkan
keislamannya), karena sesungguhnya dia dahulu termasuk orang-orang yang kafir.”
Dikatakannya kepadanya, "Masuklah ke dalam istana. Maka tatkala dia melihat
lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkaplah kedua betisnya.
Berkatalah Sulaiman, "Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca.
Berkatalah Balqis, "Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku telah berbuat zhalim terhadap diriku
dan aku berserah diri kepada Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam" (An Naml:
42-44).
Dr Yusuf Al Qardhawi mengomentari kisah-kisah dalam Al Qur’an yang
menggambarkan adanya interaksi antara laki-laki dan perempuan sebagai berikut: “Tidak
bisa dikatakan, bahwa ini merupakan syari'at untuk umat sebelum kita, sehingga ia tidak
mengikat kita. Sebab Al Qur’an tidak mengemukakan kisah itu kepada kita, melainkan di
dalamnya mengandung petunjuk, peringatan dan pelajaran bagi orang-orang yang
berakal. Karena itu, pendapat yang benar, ialah bahwa syari'at orang sebelum kita selama
belum dihapus oleh syari'at kita juga berlaku bagi kita”.
Interaksi Laki-laki dan Permpuan dalam Hadits Nabi
Dari Abu Nadhar dikatakan bahwa Abu Murrah, budak dari Ummu Hani binti
Abu Thalib, bercerita kepadanya bahwa sesungguhnya dia mendengar Ummu hani binti
abu Thalib berkata, “Pada tahun penaklukan kota Mekah aku pergi menemui Rasulullah
saw. Aku dapati beliau sedang mandi, sementara Fatimah, putri beliau berusaha menutupi
beliau. Lalu aku mengiucapkan salam kepada beliau. Beliau bertanya: Siapa itu? Aku
menjawab: Ummu Hani binti Abu Thalib. Beliau berkata: Selamat datang ummu Hani....”
“Selesai mandi beliau berdiri melakukan shalat delapan rakaat dengan hanya
mengenakan sehelai kain. Usai shalat aku berkata: Ya Rasulallah, saudaraku Ali bin Abi
Thalib mengaku bahwa ialah pembunuh seseorang yang telah aku upah, yaitu Fulan bin
Hubairah. Rasulullah saw bersabda: Aku telah memberi upah orang yang kamu beri upah,
hai ummu Hani” (riwayat Bukhari dan Muslim).
Kisah di atas menunjukkan yang terjadi antara Nabi saw dengan seorang wanita
bernama ummu Hani binti Abu Thalib. Demikian pula Jabir bin Abdullah ra
menceritakan bahwa seorang wanita Anshar berkata kepada rasulullah saw, “Wahai
Rasulullah, maukah kamu aku buatkan sesuatu yang kamu bisa duduk di atasnya, sebab
aku punya tukang kayu”. Nabi saw menjawab, “Jika kamu mau” Jabir mengatakan, “lalu
wanita itu membuatkan mimbar untuk beliau. Apabila tiba hari Jumat, Nabi saw dudiuk
di atas mimbar yang dibuat untuk beliau tersebut” (riwayat Bukhari).
Dari Anas bin Malik, dia berkata, “Salah seorang budak perempuan warga kota
Madinah pernah membimbing tangan rasulullah saw dan mengajak beliau pergi kemana
yang beliau inginkan” (riwayat Bukhari). An Nasa’i meriwayatkan dari Abdullah bin
Abu aufa, “Rasulullah saw tidak pernah menolak berjalan bersama para janda dan fakir
miskin untuk memenuhi hajat mereka” (riwayat An Nasa’i).
Dari Anas ra dikatakan bahwa ada seorang wanita memiliki persoalan yang
mengganjal pikirannya. Wanita itu berkata, “Ya rasulallah, sesungguhnya aku ada perlu
denganmu”. Nabi saw menjawab, “Wahai ibu Fulan, pilihlah, gang mana yang kamu
inginkan sehingga aku bisa memenuhi keperluanmu”. Kemudian beliau pergi bersama
wanita itu melewati suatu gang sampai keperluannya selesai (riwayat Muslim).
Riwayat di atas dan masih banyak lagi riwayat lainnya menunjukkan betapa
interaksi antara laki-laki dan perempuan di zaman Nabi serta sahabat terjadi dengan
sangat wajar dan manusiawi. Tidak seperti yang digambarkan oleh beberapa kalangan
yang beranggapan bahwa di zaman Nabi, tidak ada interaksi antara laki-laki dan
perempuan. Seakan-akan ada batas yang sangat ketat antara laki-laki dan perempuan
sehingga mereka tidak bisa saling berinteraksi.
Etika Interaksi
Dengan demikian bisa dipahami bahwa syariat Islam tidaklah melarang adanya
interaksi antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai kegiatan yang makruf. Akan
tetapi syariat memberikan batasan dan rambu-rambu agar dalam berinteraksi bisa tetap
menjaga kebaikan dan tidak keluar dari koridor syariat.
Di antara etika yang ditetapkan syariat dalam kaitan dengan interaksi antara laki-
laki dan perempuan adalah sebagai berikut:
1. Menutup Aurat
Kaum laki-laki dan wanita beriman hendaknya senantiasa menutup aurat mereka
tatkala melakukan interaksi. Islam tidak menghalangi adanya interaksi antara laki-laki
dan wanita selama ada kepentingan dan kepatutan yang tidak bertentangan dengan
syariat, akan tetapi menuntunkan kepada mereka agar menjaga diri dari fitnah dengan
menutup aurat mereka masing-masing.
Allah Ta’ala telah berfirman:
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa tampak
padanya dan hendaklah mereka menutupkan kain jilbabnya ke dadanya” (An Nur: 31).
Hendaknya kaum perempuan ketika keluar rumah menunaikan tugas sosial dan
politik senantiasa menggunakan pakaian yang menutup aurat, tidak transparan, tidak
ketat, tidak menampakkan bagian-bagian tubuh yang dilarang untuk dilihat laki-laki
nonmahram.
Aurat perempuan adalah seluruh bagian tubuhnya kecuali wajah dan telapak
tangan, sebagian ulama memasukkan pula tumit dalam pengecualian ini. Hal ini telah
dengan gamblang diuraikan pada bagian Pakaian Wanita Muslimah dan Perhiasan Islami.
2. Menjaga Pandangan
Kendatipun telah menutup aurat, Islam menuntunkan kepada laki-laki dan wanita
beriman agar mereka bisa menjaga dan menahan pandangan mereka. Allah Ta’ala
berfirman:
“Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka” (An Nur: 31).
Yang dimaksud dengan menahan pandangan bukanlah sama sekali tidak boleh
saling melihat, sebab hal itu tidak mungkin bisa terjadi. Ibnu Daqiq al Id berpendapat
bahwa lafazh min dalam ayat tersebut menunjukkan tab’idh atau sebagian. “Tidak ada
pertikaian bahwa perempuan –ketika khawatir akan terjadi fitnah- haram baginya
melihat. Ini satu kondisi. Akan tetapi, ayat tersebut tidak mewajibkan menahan
pandangan secara mutlak, atau pada kondisi lain yang berbeda dari yang baru
disebutkan”, demikian tulis Ibnu Daqiq al Id.
Dengan demikian, pandangan yang tidak dibolehkan adalah memandang aurat,
atau memandang yang menimbulkan fitnah berupa rangsangan syahwat dan sebagainya.
Iyadh berkata, “Menahan pandangan wajib hukumnya dalam semua kondisi yang
menyangkut aurat dan yang semisalnya. Tetapi kadang-kadang wajib untuk suatu kondisi
dan tidak pada kondisi yang lain kalau tidak menyangkut aurat”.
Dalam kitab Fathul Bari, mengenai perempuan dari kabilah Khats’am, disebutkan,
“Fadhal bin Abbas –seorang anak muda yang tampan- melihat perempuan tersebut dan ia
mengagumi kecantikannya. Lalu Nabi menoleh kepada Fadhal, sedangkan Fadhal masih
melihat perempuan tersebut. Nabi mengulurkan tangannya untuk meraih dagu Fadhal dan
memalingkan mukanya dari melihat perempuan itu”.
Ibnu Bathal –salah seorang pensyarah kitab Shahih Bukhary- berkata, “Dalam
riwayat tersebut terdapat perintah untuk menahan pandangan karena takut terjadi fitnah.
Konsekuensinya, apabila aman dari fitnah, melihat saja tidaklah dilarang”. Sedangkan Al
Hafizh Ibnu Hajar menambahkan, “Hal ini dipertegas dengan kemungkinan bahwa Nabi
saw tidak akan memalingkan muka Fadhal seandainya dia tidak terus menerus melihat
perempuan karena kagumnya sehingga dikhawatirkan dia terjebak ke dalam fitnah”.
3. Tidak Mendayu-dayukan Suara
Teramat banyak hal yang menarik dari para wanita bagi laki-laki, di antaranya
adalah suara wanita. Al Qur’an maupun Sunnah Nabi tidak pernah melarang wanita
berbicara, termasuk kepada kaum laki-laki, akan tetapi memberikan batasan agar
berbicara dengan suara apa adanya, tidak dibuat-buat menjadi merdu atau sayu dan
mesra, sehingga menimbulkan penyakit di hati orang-orang yang tidak kuat imannya.
“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang-
orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik” (Al
Ahzab: 32).
Yang dimaksud dengan “janganlah kamu tunduk dalam berbicara” adalah sikap
membuat-buat suara menjadi tidak seperti biasanya, atau mendayu-dayukan suara, yang
akan menimbulkan persepsi atau khayalan bagi pendengarnya. Wanita yang sengaja
mendayu-dayukan suaranya ketika berbicara dengan laki-laki akan bisa menimbulkan
semacam “harapan” kepada laki-laki tersebut, sehingga laki-laki bisa bertambah berani
dan agresif terhadap wanita tersebut.
Akan tetapi apabila suara wanita tersebut dasarnya memang lembut dan merdu,
maka juga tidak perlu dibuat-buat dengan dikasarkan atau dikeraskan supaya laki-laki
menjadi takut. Yang dikehendaki hanyalah sikap yang wajar dalam berbicara, tidak
menyengaja menimbulkan gangguan atau fitnah kepada lawan jenisnya dengan suara.
4. Keseriusan Agenda Interaksi
Islam tidak menghendaki adanya interaksi yang hanya sekedar iseng atau berada
dalam kesia-siaan, tanpa kejelasan agenda. Hendaknya ada suatu agenda yang serius
sehingga kaum laki-laki berinteraksi dan berbincang dengan kaum perempuan. Jika tidak
ada suatu agenda yang berarti, dikhawatirkan interaksi akan menjadi sebuah pintu
munculnya fitnah lawan jenis. Firman Allah Ta’ala:
“Dan ucapkanlah olehmu perkataan yang baik” (Al Ahzab: 32).
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa topik pembicaraan dalam interaksi antara
laki-laki dan perempuan haruslah dalam batas-batas kebaikan dan tidak mengandung
kemungkaran. Jika pembicaraan sudah menyangkut hal-hal yang mungkar, maka
interaksi harus dihentikan dan dihindari.
Jika pertemuan itu sendiri dimaksudkan untuk sesuatu kemungkaran, tentu saja
terlarang secara syar’i, bukan karena adanya interaksi laki-laki dan perempuan tetapi
karena maksud interaksi itu sendiri yang memang telah tertolak syar’i. Tak dibenarkan
interaksi laki-laki dan perempuan yang berkonotasi iseng, tanpa ada keseriusan agenda di
dalamnya. Tidak ada maksud lain dari larangan ini kecuali menjaga kebaikan kaum
muslimin dan muslimah, serta seluruh masyarakat pada umumnya agar tidak tergelincir
ke dalam fitnah.
Khuwait bin Zubair berkata, “Kami singgah bersama Rasulullah saw di Marrazh
Zhahran. Ketika keluar dari tenda aku melihat kaum perempuan sedang berbincang-
bincang. Aku tertarik kepada mereka lalu aku kembali lagi ke tenda. Sampai dalam tenda
aku membuka peti pakaian dan aku keluarkan pakaian dan perhiasan yang bagus-bagus.
Kemudian aku pergi kembali untuk ikut duduk dan ngobrol bersama kaum perempuan
tersebut”.
Rasulullah saw datang dan berkata kepadaku, “Hai Abu Abdullah!” Ketika
melihat Rasulullah saw aku terperanjat dan tidak tahu apa yang harus aku katakan.
Akhirnya aku berkata, “Wahai Rasulullah, untaku liar dan melawan. Karena itu aku ingin
mencari pengikatnya”.
Kemudian Rasulullah saw berjalan, dan aku mengikutinya. Lalu Rasulullah saw
melemparkan selendangnya padaku dan masuk ke sela-sela pohon arak. Seolah-olah aku
dapat melihat putih punggung Rasul dari balik kehijauan pohon arak tersebut. Beliau
buang hajat, berwudhu, lalu kembali lagi. Kulihat air mengalir dari jenggot ke dada
beliau. Kemudian beliau berkata kepadaku, “Hai Abu Abdullah, apa kabar untamu yang
liar itu?”
Kemudian kami berangkat. Setelah itu, setiap kali bertemu, tidak ada yang beliau
ucapkan kepadaku kecuali, “Assalamu ‘alaikum, wahai Abu Abdullah, apa kabar untamu
yang liar itu?” (Riwayat Thabrani).
Hadits tersebut memberikan gambaran arahan Rasul saw agar kaum laki-laki tidak
terlibat dalam interaksi dengan kaum perempuan yang berkonotasi iseng, tanpa
keseriusan agenda interaksi.
5. Menghindari Jabat Tangan pada Situasi Umum
Jabat tangan antara laki-laki dan perempuan tidak pernah dilakukan atau
dicontohkan oleh Nabi dan para sahabat. Beberapa nash dari sunnah Rasul saw bahkan
menunjukkan diharamkannya menyentuh kulit jika disertai dengan syahwat. Seperti
hadits dari Ma’qil bin Yassar, bahwa Rasul saw bersabda:
“Ditusuk di kepala salah seorang di antara kamu dengan jarum besi besar lebih
baik daripada memegang-megang perempuan yang tidak halal baginya” (Riwayat
Thabrani).
Ungkapan min an yamassa imra’atan dalam hadits tersebut bermakna menyentuh
dengan tangan untuk mendapatkan kenikmatan, atau menyentuh dengan syahwat.
Sebagaimana kondisi masyarakat di zaman sekarang, dimana mereka berinteraksi tanpa
batas. Laki-laki memegang-megang tubuh perempuan, dan sebaliknya, untuk
mendapatkan kenikmatan-kenikmatan dalam berhubungan tersebut. Inilah yang
diharamkan.
Sementara sebagian nash menunjukkan kebolehan menyentuh secara langsung
atau tidak langsung ketika ada kebutuhan dan aman dari fitnah. Seperti kisah Anas ra
bahwa Rasulullah saw masuk kepada Ummu Haram binti Milhan, lalu ia menjamu makan
Rasul saw. Ketika itu Ummu Haram di bawah (isteri) Ubadah bin Shamit. Rasulullah saw
masuk kepada perempuan tersebut. Perempuan itu menjamu makan Rasul saw dan
menyisir rambut beliau” (Riwayat Bukhary dan Muslim).
Menyisir rambut berarti menyentuh kepala dan rambut Nabi saw dengan alat sisir
yang dipegang oleh akhwat tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi saw tidak
melarang sahabiyat wanita menyisir dan menyentuh rambut beliau dengan alat sisir,
karena diyakini aman dari fitnah.
Berjabat tangan secara umum tidak disenangi oleh Rasulullah saw sebagai
saddudz dzara’i. Beliau juga tidak pernah berjabat tangan dengan kaum perempuan
tatkala melakukan pembaitan kepada mereka. A’isiyah ra berkata:
“Tidak, demi Allah, tangan Rasul tidak pernah menyentuh tangan perempuan
sama sekali dalam berbaiat” (Riwayat Bukhary dan Muslim).
Berjabat tangan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw dalam membai’at
sahabiyat, namun ada riwayat bahwa beliau saw bersentuhan kulit dengan perempuan,
yang kemudian dimaknai sebagai “peluang kebolehan” selama ada jaminan aman dari
fitnah dan ada alasan yang patut. Di antara argumen yang bisa digunakan menjelaskan
masalah ini adalah, pertama, bahwa larangan bersentuhan kulit berlaku apabila disertai
dengan syahwat dan menimbulkan fitnah.
Kedua, Anas ra menceritakan bahwa ada seorang hamba perempuan warga
Madinah yang membimbing tangan Rasulullah saw dan berangkat bersama Rasulullah
kemana yang ia kehendaki (Riwayat Bukhary).
Al Hafizh Ibnu Hajar menambahkan, “Dalam riwayat Ahmad melalui Ali bin
Zaid dari Anas ra bahwa budak perempuan itu adalah salah seorang budak perempuan
warga Madinah. Ia datang dan memegang tangan Rasulullah. Beliau saw tidak
melepaskan tangan budak perempuan itu sehingga budak perempuan itu pergi bersama
Rasulullah saw kemana yang ia kehendaki”.
Untuk itulah sikap yang utama adalah menguindari jabat tangan. Apabila terdapat
kondisi yang khusus atau sulit dihindari, maka jabat tangan dilakukan seperlunya dengan
menjaga agar tidak sampai menimbulkan kesenangan syahwat akibat sentuhan kulit
tersebut.
6. Memisahkan Laki-laki dari Perempuan dan Tidak Berdesakan
Sebagaimana dalam shalat, kaum laki-laki terpisahkan dari kaum perempuan,
maka demikian pula etika yang semestinya diterapkan dalam interaksi sosial. Kaum
perempuan ditempatkan pada suatu bagian tertentu agar tidak berdesak-desakan dengan
kaum laki-laki.
Satu riwayat menyebutkan Rasulullah saw keluar dari masjid, lalu bercampur
baur dengan perempuan di jalan. Rasul saw bersabda kepada kaum perempuan,
“Perlahanlah atau mundurlah (perempuan) sedikit. Kalian tidak berhak menguasai jalan,
kalian harus berjalan di pinggir-pinggirnya”. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya
pemilahan laki-laki dan perempuan agar tidak bercampur baur dan berdesak-desakan.
Etika ini dimaksudkan agar tidak memunculkan peluang fitnah yang terjadi dari
ikhtilath atau berdesak-desakannya laki-laki dan perempuan dalam sebuah majelis atau
suasana. Dr. Yusuf Qardhawi berpendapat, “Yang penting di sini kita tegaskan, bahwa
tidak semua ikhtilat itu dilarang sebagaimana dipahami oleh para da’i ekstrem dan sempit
pemikirannya; dan tidak pula setiap ikhtilat itu diperbolehkan sebagaimana diikuti para
da’i sekular yang suka mengekor Barat… “
“Kesimpulannya, bahwa pertemuan antara laki-laki dan perempuan pada dasarnya
diperbolehkan dan tidak dilarang, bahkan kadang-kadang diperlukan jika tujuannya
adalah kerja sama dalam mencapai tujuan yang mulia. Seperti dalam majelis ilmu yang
bermanfaat, dan amal shalih, atau proyek kebajikan, atau jihad yang diharuskan, dan lain
sebagainya yang menuntut potensi prima dari dua jenis manusia, serta kerja sama antara
keduanya di dalam merencanakan, mengarahkan dan melaksanakan”.
7. Menghindari Khalwat
Yang dimaksud dengan khalwat adalah berdua-duaan antara seorang wanita
dengan seorang laki-laki di tempat yang sepi. Kegiatan khalwat seperti itu bisa
mendatangkan kemudharatan, walaupun tujuannya adalah untuk melakukan kebaikan.
Nabi saw bersabda:
“Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali
disertai mahramnya” (Riwayat Bukhary).
Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Dalam hadits tersebut terdapat larangan
berkhalwat dengan perempuan nonmahram. Pendapat tersebut diterima secara bulat oleh
para ulama’. Akan tetapi mereka berbeda pendapat mengenai apakah orang yang bukan
mahram dapat menggantikan posisi mahram dalam masalah ini, seperti perempuan-
perempuan yang dipercaya misalnya. Dalam hal ini boleh saja, sebab orang-orang seperti
mereka itu tipis kemungkinan akan dituduh atau dicurigai”.
Khalwat yang dimaksud di sini tidak mencakup hal-hal berikut:
Pertama, khalwat di depan orang banyak. Anas ra menceritakan bahwa ada
seorang perempuan dari kalangan Anshar datang kepada nabi saw. Lalu Nabi saw
berduaan dengannya dan berkata, “Sesungguhnya kalian (kaum Anshar) adalah orang
yang paling saya cintai” (Bukhary dan Muslim).
Al Hafizh Ibnu Hajar berkomentar, “Rasul saw tidak berkhalwat dengan
perempuan itu sehingga diri mereka tertutup dari pandangan orang lain, bahkan tidak
berkhalwat sehingga pembicaraan mereka tidak didengar orang lain”. Al Hafizh juga
menambahkan, “Hadits itu juga menunjukkan bahwa pembicaraan perempuan
nonmahram yang bersifat rahasia tidaklah tercela dalam agama jika aman dari fitnah”.
Kedua, dua atau tiga laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan. Abdullah
bin Amr bin Ash menceritakan bahwa Rasul saw bersabda, “Setelah hari ini, seorang
laki-laki tidak diperbolehkan masuk menemui perempuan yang suaminya tak ada, kecuali
dia bersama seorang atau dua orang laki-laki lain” (Riwayat Muslim).
Imam Nawawi berkata, “Secara zhahir hadits ini membolehkan dua atau tiga
orang lelaki berkhalwat dengan seorang perempuan nonmahram. Akan tetapi, pendapat
yang masyhur di kalangan sahabat kami adalah mengharamkannya. Lalu hadits itu
ditakwilkan untuk sekelompok orang yang tak mungkin melakukan perbuatan keji karena
keshalihan dan kealiman mereka atau karena lainnya. Al Qadhi telah mengisyaratkan
kepada pentakwilan seperti itu”.
Ketiga, seorang laki-laki berkhalwat dengan sejumlah perempuan. Imam Nawawi
berkata, “Seorang laki-laki mengimami seorang perempuan nonmahram di tempat yang
sepi diharamkan. Tetapi jika ia mengimami beberapa orang perempuan nonmahram di
tempat yang sepi maka ada dua pendapat. Namun jumhur ulama’ memperbolehkan”.
8. Meminta Izin Suami jika Menemui Perempuan yang Suaminya Tidak Bepergian
Jika seorang laki-laki hendak bertemu atau berbicara dengan seorang wanita,
hendaknya meminta izin terlebih dahulu kepada suaminya apabila suaminya tidak
bepergian. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan diri dari rasa kecemburuan suami
yang mengetahui isterinya berbincang dengan laki-laki sementara ia ada di rumah dan
tidak dimintai izin terlebijh dahulu.
Rasul saw bersabda, “…dan dia (isteri) tidak boleh mengizinkan orang lain
masuk ke dalam rumahnya kecuali dengan izin (suami)nya”. Menurut riwayat Muslim,
“Dia tidak boleh mengizinkan orang lain masuk rumahnya sedangkan si suami ada,
kecuali dengan izin suaminya”.
Hal ini dimaksudkan sebagai upaya menutup pintu-pintu fitnah yang mungkin
muncul dalam berinteraksi dengan perempuan yang telah bersuami. Kewajiban meminta
izin kepada suami jika ia berada di rumah dipertegas dengan riwayat yang menyebutkan
bahwa Amr bin Ash datang ke rumah Ali bin Abi Thalib untuk suatu keperluan, tetapi Ali
tidak di rumah. Ia bolak-balik dua sampai tiga kali, namun Ali tetap tidak di rumah.
Setelah itu Ali datang dan berkata kepadanya, “Jika kamu memiliki keperluan
kepadanya (isteri Ali) apakah kamu tidak bisa masuk menemuinya?” Amr menjawab,
“Kami dilarang menemui para isteri kecuali seizin suaminya” (Riwayat Muslim). Adapun
dalil yang menegaskan tidak wajibnya meminta izin dalam kondisi suaminya tidak berada
di rumah, sedangkan ada keperluan mendesak untuk menemui isterinya adalah sabda
Rasul saw:
“Setelah hari ini, seorang laki-laki tidak diperbolehkan masuk menemui
perempuan yang suaminya tidak ada kecuali dia bersama seorang atau dua orang
lelaki” (Riwayat Muslim).
9. Menjauhi Perbuatan Dosa
Hendaklah kaum laki-laki dan perempuan beriman senantiasa menjauhi perbuatan
dosa dalam berinteraksi. Perbuatan dosa ini bisa terjadi dalam tujuan pembicaraan, materi
permbicaraan, cara dan gaya berbicara, dan lain sebagainya. Firman Allah Ta’ala:
“Dan tinggalkanlah dosa yang tampak dan yang tersembunyi” (Al An’am: 120).
Di antara dosa yang tampak adalah meninggalkan etika syar’i dalam berinteraksi
dengan lawan jenis. Sedangkan dosa yang tak tampak adalah berkembangnya perasaan
senang terhadap sesuatu yang haram dan berharap bisa mendapatkan yang lebih banyak
lagi. Hendaknya laki-laki dan perempuan beriman senantiasa menjaga diri mereka agar
dalam berinteraksi terjauhkan dari dosa-dosa yang tampak maupun tersembunyi.
Demikianlah beberapa etika syar’i berkaitan dengan keterlibatan kaum perempuan
dalam bidang sosial dan politik. Keseluruhannya bertujuan untuk menjaga akhlaq dan
kebaikan umjat beriman dan juga masyarakat vsecara keseluruhan, agar tidak terjatuh ke
dalam keburukan. Tidak didapatkan gambaran tentang larangan interaksi wanita dalam
kancah publik secara umum. Yang kita dapatkan dari sirah sahabiyah justru potret jati diri
muslimah yang utuh, lengkap dengan segala peran yang mereka lakukan di bidang
sosial, profesi maupun politik.
Sebagai penguat, kita nukilkan pernyataan Dr. Abdul Halim Muhammad Abu
Syuqah, “Perempuan bukanlah aurat yang seharusnya ditutupi dari orang lain sampai
tertutup seluruh tubuhnya, mukanya, suaranya, dan bahkan namanya. Bila perempuan
memiliki aurat yang harus ditutup dari orang lain, maka laki-laki pun demikian juga.
Perempuan memiliki jati diri yang utuh, tidak seperti yang digambarkan oleh sebagian
orang”.
“Ada yang menggambarkan bahwa perempuan adalah manusia yang polos, lemah
akalnya dan mudah ditipu dengan kata-kata manis. Ada lagi yang menggambarkan bahwa
perempuan adalah makhluk yang jahat, sumber mala petaka dan tidak memiliki keahlian
selain tipu daya. Bila kadang-kadang pada diri perempuan tampak beberapa kelemahan,
maka sesungguhnya demikian pula pada diri laki-laki”.
Wallahu a’lam bish shawab.
top related