epistaksis.docx

Post on 28-Sep-2015

233 Views

Category:

Documents

8 Downloads

Preview:

Click to see full reader

TRANSCRIPT

Cinical Science SessionPENYEBAB PERDARAHAN HIDUNG

Oleh:Vivi Hafizarni0810313172Revi Sofiana Martantya0910312050Yui Muya0910312053Dian Rahma Kasir0910312056

Preseptor:Dr. Dolly Irfandy, Sp.THT-KL

BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK - KEPALA DAN LEHERRUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. M. DJAMIL PADANGFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS2015DAFTAR ISIDAFTAR ISI.................................................................................................iDAFTAR GAMBAR....................................................................................iiBAB I PENDAHULUAN............................................................................. 11.1 Latar Belakang................................................................1BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................22.1 Anatomi Hidung.............................................................22.2 Epidemiologi...................................................................52.3 Etiologi............................................................................62.3.1 Trauma..............................................................62.3.2 Kelainan Pembuluh Darah Lokal....................72.3.3 Infeksi Lokal...................................................72.3.4 Tumor..............................................................72.3.5 Penyakit Sistemik............................................92.3.6 Kelainan Darah................................................102.3.7 Kelainan Kongenital........................................102.3.8 Infeksi Sistemik...............................................112.3.9 Perubahan Udara atau tekanan Atmosfer........112.3.10 Gangguan Hormonal.......................................112.4 Tatalaksana......................................................................122.5 Komplikasi....................................................................... 142.6 Pencegahan Pendarahan Berulang...................................15BAB IIIPENUTUP3.1 Kesimpulan......................................................................16DAFTAR PUSTAKA....................................................................................17

DAFTAR GAMBARGambar 1 Hidung Luar................................................................................2Gambar 2 Cavum Nasi ................................................................................3Gambar 3 Pembuluh darah di daerah septum nasi.......................................4Gambar 4 Pembuluh darah di dinding lateral hidung..................................4Gambar 5 Persyarafan hidung......................................................................5Gambar 6 kauterisasi dan tampon anterior...................................................13Gambar 7 pemasangan tampon posterior.....................................................14

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangPerdarahan dari hidung atau epistaksis adalah salah satu kegawatdaruratan pada bidang telinga hidung tenggorok yang tersering. Epistaksis merupakan salah satu penyebab tersering seserorang berobat ke pelayanan kesehatan, dapat merupakan suatu keadaan gawat darurat, suatu kelainan kronik dari perdarahan hidung berulang, atau merupakan suatu gejala dari kelainan sistemik. Hal ini dapat mempengaruhi keadaan hemodinamik dan juga menimbulkan kecemasan pada pasien dan keluarganya. Perdarahan dari hidung ini kebanyakan ringan dan dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi pada epistaksis yang berat, walaupun jarang merupakan masalah kedaruratan yang dapat berakibaat fatal bila tidak segera ditangani.1,2Epistaksis dibagi menjadi anterior dan posterior, tergantung dari tempat asal perdarahannya. Perdarahan anterior lebih sering daripada perdarahan posterior, yaitu sekitar 80%. Epistaksis sering terjadi spontan tanpa penyebab yang jelas, namun dapat juga akibat kelainan lokal seperti trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan dan kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital.1,2Penatalaksanaan epistaksis bervariasi tergantung penyebab, lokasi, dan keparahan perdarahan yang terjadi. Hampir seluruh penyebab epistaksis dapat dihindari. Pengetahuan mengenai penyebab, tatalaksana, dan keberhasilan tatalaksana penting untuk mencegah berulangnya perdarahan pada hidung.2

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi HidungHidung terbagi 3 bagian, yaitu bagian luar, septum, dan bagian dalam. Hidung terhubung dengan tulang frontal dan maksila melalui pangkal hidung yang dibentuk tulang nasalis. Hidung luar berbentuk piramid, terdiri dari pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), kolumela, dan lubang hidung (nares anterior). Septum terdiri dari tulang dan tulang rawan. Tulang terdiri dari krista nasalis os maxilla, krista nasalin os palatum, vomer, dan lamina prependikularis os etmoid. Bagian tulang rawan terdiri dari tulang rawan septum dan kolumela. Sedangkan hidung bagian dalam terdiri dari konka, meatus, dan vestibulum. Konka dibagi menjadi konka superior, media, dan inferior. Meatus terbagi menjadi 3, yaitu meatus superior, media, dan inferior.3

Gambar 1. Hidung Luar

Gambar 2. Cavum Nasi

Pembuluh darah utama di hidung berasal dari arteri karotis interna (AKI) dan karotis eksterna (AKE). Arteri optalmika, yang merupakan cabang dari AKI, bercabang dua menjadi arteri ethmoidalis anterior dan posterior. Cabang anterior lebih besar dibanding cabang posterior dan pada bagian medial akan melintasi atap rongga hidung, untuk mendarahi bagian superior dari septum nasi dan dinding lateral hidung. AKE bercabang menjadi arteri fasialis dan arteri maksilaris interna. Arteri fasialis memperdarahi bagian anterior hidung melalui arteri labialis superior.4Arteri maksilaris interna di fossa pterigopalatina bercabang menjadi arteri sfenopalatina, arteri nasalis posterior dan arteri palatina mayor. Arteri sfenopalatina memasuki rongga hidung pada bagian posterior konka media, memperdarahi daerah septum dan sebagian dinding lateral hidung. Pada bagian anterior septum, anastomosis dari arteri sfenopalatina, palatina mayor, ethmoidalis anterior dan labialis superior (cabang dari arteri fasialis), membentuk plexus Kiesselbach atau Littles area. Pada posterior dinding lateral hidung, bagian akhir dari konka media terdapat plexus Woodruff yang merupakan anastomosis dari arteri sfenopalatina, nasalis posterior dan faringeal asendens.4

Gambar 3. Pembuluh darah di daerah septum nasi.

Gambar 4. Pembuluh darah di dinding lateral hidung.

Persarafan hidung bagian depan dan atas oleh persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anterior, cabang dari nervus nasosiliaris yang berasal dari nervus oftalmikus (nervus V1). Bagian hidung lain dipersarafi juga secara sensoris oleh nervus maksilaris melalui ganglion palatina. Ganglion sfenofalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga membaerikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari nervus maksila (nervus V2), serabut parasimpatis dari nervus petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media.3Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.3

Gambar 5. Persyarafan hidung2.2 EpidemiologiEpistaksis atau perdarahan hidung diperkirakan terjadi pada 60% di seluruh dunia, dan sekitar 33% membutuhkan penanganan gawat darurat. Prevalensinya meningkat pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan pada dewasa di atas 35 tahun, dengan usia rata-rata yaitu 70 tahun. Laki-laki lebih tinggi angka kejadiannya dibandingkan perempuan sampai usia 50 tahun, tetapi setelah usia 50 tahun tidak ada perbedaan antara kedua jenis kelamin. Epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior dan posterior. Epistaksis anterior lebih sering terjadi dibanding epistaksis posterior, yaitu sekitar 80% kasus.2,5Berdasarkan kejadiannya, 80-90% epistaksis tidak diketahui penyebabnya. Epistaksis karena trauma lebih sering terjadi pada usia yang lebih muda (di bawah 35 tahun), biasanya karena trauma mengorek hidung, trauma wajah, dan benda asing di rongga hidung. Epistaksis karena non trauma lebih sering pada usia yang lebih tua (di atas 50 tahun) yang disebabkan karena kegagalan organ, keganasan, inflamasi, atau faktor lingkungan. Epistaksis yang terjadi pada usia kurang dari 10 tahun biasanya ringan dan berasal dari perdarahan anterior, sedangkan perdarahan yang terjadi pada usia tua biasanya berasal dari posterior.22.3 EtiologiEpistaksis dapat terjadi spontan tanpa diketahui penyebabnya, namun dapat pula disebabkan karena adanya kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik. kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal, dan kelainaan kongenital.12.3.1 TraumaTrauma merupakan penyebab epistaksis tersering. Perdarahan dari hidung dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan ringan, bersin, atau mengeluarkan ingus yang terlalu keras, atau akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh, atau karena kecelakaan lalu lintas, juga bisa akibat benda asing tajam atau trauma pembedahan. Epistaksis juga dapat terjadi karena adanya spina septum yang tajam, di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka tersebut mengalami pembengkakan.1 Apabila bagian anterior septum nasi mengalami deviasi atau perforasi, maka aliran udara pernafasan yang melewati septum cenderung mengeringkan sekresi hidung. Apabila ada usaha untuk melepaskan krusta yang keras dengan jari akan menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana mukosa septum dan kemudian perdarahan. 1,6Apabila terdapat benda asing pada hidung dapat juga menyebabkan trauma local, misalnya pada pipa nasogastrik dan pipa nasotrakea yang menyebakan trauma pada mukosa hidung.6Trauma hidung dan wajah sering menyebabkan epistaksis. Jika perdarahan disebabkan karena laserasi minimal dari mukosa biasanya perdarahan yang terjadi sedikit tetapi trauma wajah yang berat dapat menyebabkan perdarahan yang banyak.62.3.2 Kelainan pembuluh darah lokalKelainan pembuluh darah biasanya terjadi pada kelainan kongenital dimana pembuluh darah lebih lebar, tipis, jaringat ikat dan sel-selnya lebih sedikit.12.3.3 Infeksi lokalEpistaksis dapat terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis atau sinusitis, bisa juga akibat infeksi spesifik seperti rhinitis jamur, tuberkulosis, lupus, sifilis, atau lepra.1 Rinosinusitis bakteri, virus, dan alergi menyebabkan inflamasi mukosa hidung dan dapat berakibat pada epistaksis. Perdarahan pada kasus ini biasanya ringan.82.3.4 TumorEpistaksis dapat terjadi pada hemangioma dan karsinoma, lebih sering terjadi pada angiofibroma dan dapat menyebabkan epistaksis berat. Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah, Karena pada tumor terjadi pertumbuhan sel yang abnormal dan pembentukan pembuluh darah yang baru (neovaskularisasi) yang bersifat rapuh sehingga memudahkan terjadinya perdarahan.9Hemangioma adalah tumor jinak yang berasal dari jaringan pembuluh darah dari kulit, tulang, otot dan kelenjar. Secara umum para ahli mengklasifikasikan hemangioma menjadi tiga jenis yaitu (1) hemangioma kapiler (2) hemangioma kavernosum dan (3) mixed type hemangioma. Malformasi vaskular lebih lanjut terbagi menjadi malformasi arterial, venous, kapilari, dan malformasi limfatik. Gambaran klinis hemangioma bervariasi sesuai dengan jenisnya. Hemangioma kapiler tampak sebagai bercak merah, tegang dan berbentuk lobular, berbatas tegas, yang dapat timbul pada berbagai tempat pada tubuh. Berbeda dengan hemangioma kapiler, lesi pada hemangioma kavernosum tidak berbatas tegas, dapat berupa makula eritematosa atau nodus yang berwarna merah sampai ungu. Bila ditekan mengempis dan akan cepat menggembung kembali apabila dilepas. Gambaran klinis hemangioma campuran merupakan gabungan dari jenis kapiler dan jenis kavernosum. Lesi berupa tumor yang lunak, berwarna merah kebiruan yang pada perkembangannya dapat memberikan gambaran keratotik dan verukosa. Sebagian besar ditemukan pada ekstremitas inferior dan biasanya unilateral. Pada pasien ini ditemukan massa berwarna merah kebiruan dengan permukaan berbenjol-benjol memenuhi kavum nasi dekstra yang sebagian melekat pada sinus ethmoid dan septum nasi. 9 Dari ketiga tipe hemangioma pada sinonasal yang paling banyak dijumpai adalah tipe kapiler, banyak terdapat terutama pada anak-anak dan timbul dari jaringan mukosa dan submukosa. Haemangioma kapiler biasanya muncul pada kavum nasi dari septum nasi atau vestibulum nasi. Akibat timbulnya hemangioma ini maka akan terjadi pembentukan pembuluh darah yang baru yang bersifat rapuh sehingga memudahkan terjadinya perdarahan. 9 Angiofibroma nasofaring yang sering juga disebut dengan angiofibroma nasofaring belia merupakan tumor nasofaring yang bersifat jinak secara histopatologis tetapi secara klinis bersifat destruktif dan lebih sering dijumpai pada laki-laki remaja. Istilah juvenile nasopharyngeal angiofibroma adalah istilah yang kurang tepat karena tumor ini juga dapat ditemukan pada usia yang lebih tua.9Tumor ini secara histopatologis merupakan tumor jinak, tetapi secara klinis bersifat destruktif. Tumor ini tumbuh relatif cepat dan dapat mendestruksi tulang disekitarnya dan dapat meluas ke sinus paranasal, fossa pterigomaksila, fossa infratemporal, fossa temporal, pipi, orbita, dasar tengkorak dan rongga intrakranial. Perluasan ke intrakranial 10-30 % dari semua kasus dengan bagian yang sering dikenai adalah kelenjar hipofise, fossa cranii anterior dan media. Secara histopatologis tumor mengandung dua unsur, yaitu unsur jaringan ikat fibrosa dan unsur pembuluh darah. Dinding pembuluh darah tidak mengandung jaringan ikat elastis dan lapisan otot, sehingga mudah terjadi perdarahan hebat saat disentuh.9

2.3.5 Penyakit sistemika. HipertensiHipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg. Epistaksis sering terjadi pada tekanan darah tinggi karena kerapuhan pembuluh darah yang disebabkan oleh penyakit hipertensi yang kronis sehingga terjadi kontraksi pembuluh darah yang terus menerus yang mengakibatkan mudah pecahnya pembuluh darah yang tipis.8b. ArteriosklerosisPada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika tekanan darah meningkat, pembuluh darah tidak bisa mengkompensasi dengan vasodilatasi sehingga menyebabkan ruptur dari pembuluh darah.8c. Sirosis hepatisHati merupakan organ yang penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan dengan koagulasi darah, misalnya pembentukan fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X dan vitamin K. Pada sirosis hepatis, fungsi sintesis protein-protein dan vitamin yang dibutuhkan untuk pembekuan darah terganggu sehingga mudah terjadinya perdarahan, sehingga epistakis bisa terjadi pada penderita sirosis hepatis.8d. Diabetes mellitusPada diabetes melitus, terjadi peningkatan gula darah yang menyebabkan kerusakan mikroangiopati dan makroangiopati. Kadar gula darah yang tinggi dapat menyebabkan sel endotelial pada pembuluh darah mengambil glukosa lebih dari normal sehingga terbentuklah lebih banyak glikoprotein pada permukaannya dan hal ini juga menyebabkan basal membran semakin menebal dan lemah. Dinding pembuluh darah menjaadi lebih tebal tetapi lemah sehingga mudah terjadi perdarahan. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya epistaksis pada pasien diabetes melitus.42.3.6 Kelainan darahKelainan darah penyebab epistaksis antara leukemi, trompositopenia, hemophilia, dan anemia.1 Pada pasien leukemia kronik atau akut atau multiple mieloma, terutama pada stadium lanjut mengalami serangan epistaksis berulang baik sebagai akibat proses penyakit dasar ataupun akibat pengobatan. Karena infeksi berat lebih mudah terjadi pada pasien ini, maka pemakaian tampon hidung anterior dan posterior harus dihindari. Meskipun kurang dapat diandalkan, mula-mula dapat dicoba preparat trombin atau hemostatik topikal seperti kapan Oxycel atau Gelfoam.8 Pada pasien hemofilia tipe A, B maupun C, terjadi perdarahan secara spontan atau akibat truma ringan sampai sedang, kelainan terjadi karena defisiensi atau disfungsi faktor pembekuan VIII (tipe A) atau faktor IX (tipe B) atau faktor XI (tipe C).10

2.3.7 Kelainan kongenitalKelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah telangiektasis hemoragik herediter (hereditary hemorrhagic teleangiectasis Osler-Rendu-Weber-Disease). Telangiektasis hemoragik herediter (THH) merupakan kelainan otosomal dominan berupa malfosmasi vaskular yaitu abnormalitas susunan endotel dan kelemahan pembuluh darah sehingga mudah terjadi perdarahan. Diagnosis THH ditegakkan berdasarkan gejala klinis epistaksis, telangiektasis, malformasi vaskular visceral, dan riwayat keluarga. Telangiektasis biasanya ditemukan pada mukosa septum nasal, juga sering terlihat pada daerah mulut/sirkumoral, heliks telinga, palatum mole, kuku, dan ujung jari.5Epistaksis juga merupakan gejala klinis dari Von Willenbrand disease, kelainan otosomal dominan dimana terdapat kelainan koagulasi akibat rendahnya kadar faktor pembekuan VIII.52.3.8 Infeksi sistemikEpistaksis dapat terjadi pada infeksi sistemik seperti demam berdarah, demam tifoid, influenza, dan morbili.12.3.9 Perubahan udara atau tekanan atmosferKelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi pada mukosa. Epistaksis sering terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin yang disebabkan oleh dehumidifikasi mukosa nasal selain itu adanya zat kimia di tempat industri yang bersifat korosif menyebabkan keringnya mukosa hidung sehingga pembuluh darah mudah pecah.1,82.3.10 Gangguan hormonalEpistaksis dapat terjadi pada wanit ahamil atau wanita menopause karena pengaruh perubahan hormonal.1 Mukosa pada wanita dengan defisiensi estrogen mengalami atrofi. Wanita yang telah menerima suplemen estrogen umumnya memiliki riwayat epistaksis, dan sebagian besar wanita postmenopause dengan epistaksis anterior berulang mengalami atrofi pada mukosa nasal, khususnya pada daerah plexus Kesselbach. Wanita dengan keluhan tersebut diberikan anjuran untukk mengoleskan krim estrogen sebanyak 0,5 cm dua kali sehari pada bagian lateral hidung dengan tekanan ringan. Setelah beberapa bulan penggunaan angka kejadian epistaksis berkurang. Selain itu, pada wanita postmenopause mengalami pengurangan angka kejadian epistaksis posterior berulang segera setelah terapi estrogen sistemik.11

2.4 Tatalaksana1Prinsip tatalaksana epistaksis adalah:a. Perbaiki keadaan umum: lakukan pemeriksaan keadaan umum, nadi, pernapasan, dan tekanan darah, bila terdapat kelainan atasi terlebih dahulu dengan memasang infus. Jalan napas yang tersumbat oleh darah atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau dihisap.b. Cari sumber perdarahan: diperlukan pemeriksaan untuk menentukan sumber perdarahan anterior atau posterior.c. Hentikan perdarahan: pasang tampon sementara yaitu kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5000 sampai 1/10000 dan patokain atau lidokain 2% dimasukkan ke rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri. Tampon dibiarkan selama 10-15 menit. Setelah terjadi vasokonstriksi dapat dilihat sumber perdarahan dari anterior atau posterior. Perdarahan anteriorPerdarahan anterior dapat dicoba hentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit. Apabila sumber perdarahan dapat terlihat tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%. Setelahnya diberi salep antibiotik. Pemasangan tampon anterior diperlukan apabila perdarahan masih terus berlangsung. Dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotik. Tampon dimasukkan sebanyak 2 sampai 4 buah, disusun dengan teratur dan harus dapat menekan asal perdarahn, dan dipertahankan selama 2 x 24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Selama 2 haru dilakukan pemerikssaan penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Apabila perdarahan masih belum berhenti, dipasang tampon baru.

Gambar 6 kauterisasi dan tampon anterior Perdarahan posteriorPerdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior. Perdarahan posterior ditanggulangi dengan pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm, pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah di satu sisi dan satu buah di sisi berlawanan. Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter diikatkan 2 benang tampon Bellocq, kemudia kateter ditarik melalui hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik tampon perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum mole masuk ke nasofaring. Bila masih ada perdarahan, maka dapat ditambah tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan nares anterior, agar tampon yang terletak di nasofaring tetap pada tempatnya. Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien, gunanya untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Hati-hati mencabut tampon karena dapat menyebabkan laserasi mukosa. Apabila perdarahan terjadi dari kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma, digunakan dua kateter masing-masing melalui kavum nasi kanan dan kiri, dan tampon posterior terpasang di tengah-tengah nasofaring. Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat digunakan kateter Foleey yang dikembangkan. Selain itu, terdapat pula tampon buatan pabrik dengan balon yang khusus untuk hidung atau tampon dari bahan gel hemostatik. Semakin meningkatnya penggunaan endoskop, dikembangkan juga teknik kauterisasi atau ligase arteri sfenopalatina dengan panduan endoskop.

Gambar 7 pemasangan tampon posteriord. Cari faktor penyebab untuk mencegah perdarahan berulang

2.5 KomplikasiKomplikasi dapat terjadi akibat epistaksis tersebut atau akibat usaha penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan syok, anemia, dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi coroner, sampai infark miokard sehingga dapat menimbulkan kematian. Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat menyebabkan infeksi, sehingga peru diberi antibiotik.1Pemasangan tampon dapat menyebabkan rinosinusitis, otitis media, septicemia, atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut, bila perdarahan masih berlanjut dipasang tampon baru.1Dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba Eustachius dan air mata berdarah (bloody tears) akibat mengalirnya darah secara retrograde melalui duktus nasolakrimalis.1 Pemasangan tampon posterior (tampon Bellocq) dapat menyebabkan laserasi palatum mole atau sudut bibir, jika benang yang kelaur dan mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung atau septum.12.6 Pencegahan perdarahan berulangSetelah perdarahan untuk sementara dapat diatasi dengan pemasangan tampon, dan perlu dicari penyebabnya. Lakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap, pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal, gula darah, hemostatis. Pemeriksaan foto polos atau CT scan sinus bila dicurigai adanya sinusitis. Konsul ke penyakit dalam dan anak apabila terdapat kelainan sistemik.1

BAB IIIPENUTUP

3.1 KesimpulanPerdarahan dari hidung atau epistaksis adalah salah satu kegawatdaruratan pada bidang telinga hidung tenggorok yang tersering. Perdarahan dari hidung ini kebanyakan ringan dan dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi pada epistaksis yang berat, walaupun jarang merupakan masalah kedaruratan yang dapat berakibaat fatal bila tidak segera ditangani. Epistaksis dibagi menjadi anterior dan posterior, tergantung dari tempat asal perdarahannya.Epistaksis sering terjadi spontan tanpa penyebab yang jelas, namun dapat juga akibat kelainan lokal seperti trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan dan kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital.Penatalaksanaan epistaksis bervariasi tergantung penyebab, lokasi, dan keparahan perdarahan yang terjadi. Hampir seluruh penyebab epistaksis dapat dihindari. Pengetahuan mengenai penyebab, tatalaksana, dan keberhasilan tatalaksana penting untuk mencegah berulangnya perdarahan pada hidung. Prinsip tatalaksana epistaksis adalah perbaiki keadaan umum, cari sumber perdarahan, hentikan perdarahan, dan mencari penyebab perdarahan sehingga perdarahan tidak berulang.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo E, Retno W. Epistaksis dalam Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher editor Soepardi EA, Nurbaiti I, Jenny S, Ratan DR. Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Andalas. 2007: 155-157.

2. Gilyoma JM, Chalya PL. Etiological profile and treatment outcome of epistaxis at a tertiary care hospital in Northwestern Tanzania: a prospective review of 104 cases. BMC Ear, Nose and Throat Disorders 2011, 11:8 diunduh dari http://www.biomedcentral.com/1472-6815/11/8 pada tanggal 15 Februari 2015.

3. Nagel, Patrick. Dasar-dasar ilmu THT. alih bahasa Frans Dany. Editor edisi bahasa Indonesia Wita J. Suwono, Y. Joko Suyono. Edisi 2. Jakarta, EGC. 2012

4. Schlosser RJ. Epistaxis. New England Journal of Medicine. 2009. Diunduh dari http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784 pada tanggal 21 Februari 2015

5. Bleier BS, Schlosser RJ. Epistaxis in Baileys Head and Neck Surgery Otolaryngology. Fifth Edition. Edited by Jonas T. Johnson, Clark A Rosen. Lippincott Williams&. Wilkins: Philadelphia. 2014: 535.

6. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid. Boies, Buku Ajar Penyakit THT Ed. 6. Jakarta:EGC;233.

7. Evans JA. Epistaxis: Treatment & Medication. 2007. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/764719-treatment pada tanggal 21 Februari 2015

8. Nguyen QA. Epistaxis. 2014. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/863220-overview pada tanggal 18 februari 2015.

9. Rahman S, Budiman B J, Azani S. Angiofibroma Nasofaring Pada Dewasa. Bagian Telinga Hidung Tenggorokan Bedah Kepala Leher (THT-KL) Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. Padang

10. Rotty LWA, Hemoflia A dan B. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 4. Jakarta:ECG. 2003; 769

11. Danniel HW. Estrogen Prevention of Recurrent Epistaxis. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. 1995;121(3):354.

20

top related