diabetes mellitus hipoglikemia
Post on 10-Jul-2016
272 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronik yang sifatnya
bisa dicegah namun tidak dapat disembuhkan. Penyakit ini mengenai hampir 16
juta orang di U.S dan lebih dari 125 juta orang di seluruh dunia. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik Indonesia (2003) diperkirakan penduduk Indonesia yang
berusia di atas 20 tahun sebesar 133 juta adalah diabetes. Prevalensi diabetes
melitus pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2%.
DM sendiri memiliki berbagai komplikasi dalam perjalanan penyakitnya.
Menurut klasifikasinya komplikasi yang mungkin terjadi ialah akut dan kronik,
dimana komplikasi akut yang dapat terjadi ialah hiperglikemia dan hipoglikemia.
Komplikasi kronik yang mungkin dapat terjadi ialah terbagi atas mikro dan
makroangiopati.
Insidensi hipoglikemi yang dilaporkan bervariasi di setiap penelitian. Secara
umum, pasien dengan DM tipe 1 yang menggunakan terapi insulin rata-rata
memiliki episode hipoglikemi asimptomatik per minggu, dan pasien yang
menggunakan terapi insulin intensif rata-rata mengalami 2 kali episode
hipoglikemia per minggu. Sehingga, selama lebih dari 40 tahun penelitian pada
pasien DM tipe 1, rata-rata mengalami 2000-4000 episode hipoglikemi
asimptomatik.
Pasien dengan diabetes tipe 2 secara umum lebih jarang mengalami episode
hipoglikemi berat dibandingkan pasien diabetes tipe 1. Studi UKPSD dan
Kumamoto mendemostrasikan insidensi hipoglikemi berat yang lebih rendah pada
pasien DM tipe 2 dengan terapi insulin dibandingkan dengan penelitian oleh
DCCT mengneai penggunaan insulin pada DM tipe 1 dengan control glikemik
yang hampir sama. Pada UKPDS, yang meneliti 676 pasien DMT2 dengan terapi
insulin selama 3 tahun, mengalami 0.83 episode hipoglikemia per 100 pasien per
tahun. pada studi Kumamoto, meneliti 52 pasien DMT2 dengan terapi insulin
selama 6 tahun, tidak melaporkan adanya episode hipoglikemi berat.
Bagaimanapun juga, sebuah studi retrospektif yang membandingkan insidensi
hipoglikemi berat pada 104 pasien DMT1 dengan terapi insulin dengan rata-rata
104 pasien DMT1 terkontrol, menyimpulkan insidensi hipoglikemi berat yang
hampir sama(Epidemiology of Hypoglikemia, 2011).
Studi lanjut menemukan insidensi hipoglikemi kondisi gawat pada pasien
DMT2 dengan terapi insulin sama dengan pada pasien DMT1. Pada pasien DMT2
dengan terapi sulfoniurea, angka kejadian hipoglikemi berat dilaporkan sebanyak
1.5 episode per 100 pasien. Frekuensi ini meningkat dengan potensi dan durasi
sulfonylurea, lebih besar resikonya terjadi pada sulfonylurea generasi kedua,
glimepiride, glyburide, dan glipizide rata-rata 4-6% (Epidemiology of
Hypoglikemia, 2011).
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 AnamnesisPasien MRS pada tanggal 29 Februari 2016 dan anamnesis dilakukan secara
autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 1 Maret 2016.
Identitas
Nama : Ny. H
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal lahir / Umur : 1 Juli 1954 / 62 tahun
Pendidikan : -
Pekerjaan : IRT
Alamat lengkap : Jl. Inspeksi Kanal No. 23, Bara-baraya Timur, Makassar
No. RM : 13.49.13
Status perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Tanggal masuk : 29/2/2016
Tanggal periksa : 1/3/2016
Keluhan Utama
Lemas
Riwayat Penyakit Sekarang
Dialami sejak beberapa saat sebelum masuk IGD RS. IBNU SINA,
sebelumnya pasien tampak lemas, pusing, berdebar-debar dan keringat dingin
kemudian pasien tidak sadarkan diri. Keluhan ini dirasakan setelah sebelumnya
diketahui pasien menyuntikkan insulin. Keluhan baru pertama kali dirasakan
setelah selama 3 bulan mengkonsumsi insulin (novorapid 4-4-4 dan Levemir 0-0-
3
10). Saat ini pasien sudah sadar walaupun dalam kondisi bicara meracau dan
badan lemas.
Sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluhkan nyeri ulu
hati. Nyeri dirasakan seperti rasa panas yang menjalar ke dada. Awalnya
dirasakan hilang timbul, namun memberat sejak 1 minggu terakhir. Tidak ada rasa
asam/kecut dilidah, tidak ada riwayat mengkonsumi obat-obatan sebelumnya,
tidak ada riwayat minum obat herbal ataupun jamu.
Sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien mengalami penurunan
nafsu makan namun pasien tetap mengkonsumsi obat seperti biasa. Penurunan
nafsu makan tidak disertai dengan penurunan berat badan. Buang air besar dalam
batas normal, ada riwayat BAB hitam, buang air kecil jernih, tidak ada nyeri saat
berkemih, frekuensi sering.
Sejak 10 tahun yang lalu, pasien menderita kencing manis. Hal tersebut
diketahui saat pasien memeriksakan diri di puskesmas dengan keluhan sering
buang air kecil saat malam dan penurunan berat badan. Pasien rutin
memeriksaakan dirinya di puskesmas, rutin mengkonsumsi insulin, namun tidak
mengontrol pola makannya.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi sejak 5 tahun terakhir, tidak berobat.
Riwayat stroke (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak diketahui.
2.2 Pemeriksaan Fisik
Status generalis
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : apatis, E3V4M6
BB : 45 Kg, TB : 150 cm
4
Tanda vital
A. Tekanan darah : 170/90 mmHg
B. Nadi : 84 x/menit, kuat angkat, reguler.
C. Respiratory rate: 20 x/menit
D. Temperatur : 36,50C
Kepala/Leher
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema periorbita (-/-), sianosis (-),
pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-), peningkatan JVP (-).
Thoraks
Pulmo:
Inspeksi : bentuk dan gerakan simetris, retraksi interkosta (-), spider nevi
(-), rambut aksila (+), venektasi (-)
Palpasi : fremitus raba dekstra = sinistra
Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor:
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung kanan ICS IV parasternal line dekstra
batas jantung kiri ICS VI midclavicular line sinistra
Auskultasi : S1, S2 tunggal, regular, suara tambahan (-)
Abdomen
Inspeksi : cembung, caput medusae (-), vena paraumbilikalis (-)
Palpasi : distensi (-), nyeri tekan (-) pada semua kuadran, massa (-),
organomegali (-), defans muscular (-)
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal, bruit di atas hepar (-)
Ekstremitas
5
Akral hangat, eritema palmaris (-), leukonikia (-), hepatic flapping (-), clubbing
finger (-)
edema
6
- -
+ +
2.3 Pemeriksaan PenunjangHasil Laboratorium
7
05/01/2012 06/1/2012 07/1/2012 09/1/2012 10/1/2012
Leukosit 10.200 7.500 6.300
Hb 10.4 8.9 8.2
Ht 31.5 26.9 23.9
Plt 370.000 321.000 349.000
LED 90 55
GDS 58 / 289 62 119 89 105
GDP
GD2PP
HBA1C 10.7
SGOT 16 13 13
SGPT 15 10 9
ALP
Bil Total 0.3 0.2 0.2
Bil direk 0.1 0.1 0.1
Bil indir 0.2 0.1 0.1
Prot Tot 5.7 5.8 9.8
Albumin 2.0 2.5 2.5
Globulin 3.7 2.6 3.3
Kolesterol 244 243
TG
HDL
LDL
As. Urat 5.6 7.5 7.5
Ureum 60.4 66.3 62.5 65.1
Kreatinin 1.2 1.6 1,3 1.7
Natrium 140 139 135
Kalium 6.3 5.7 5.3
Klorida 116 115 112
2.4 Diagnosis Diagnosis akhir :DM Tipe 2 dengan komplikasi hipoglikemia (terkoreksi)
HT stage II
2.5 PrognosisVitam : Dubia ad bonam
Functionam : Dubia ad bonam
Sanationam : Dubia ad bonam
2.6 Resume
2.7 Follow UpHari/Tanggal Evaluasi Terapi
05/01/2012
S: O: Jam 19.30 GDS stick 366 Jam 21.30 GDS stick 103A: Observasi Hipoglikemia + DMT 2 + HT stage II + Hiperkalemia + AKI
Jam 19.30 D5% diganti RL 20 tpm
Jam 21.30 D5% dipasang lagi 20 tpm
06/01/201208.00 (GDS: 140)10.00(GDS: 119)16.00(GDS: 111)22.00(GDS: 76) bolus D40% 2 fl00.30(GDS: 124)
S: lemas, batuk kering, ketika batuk dada terasa sakit
O: Compos mentis, TD: 180/80 mmHg, N: 87 x/’, RR: 23 x/’, T: 36,80C
Anemis (-), ikterik (-), Rh (-/-), Wh (-/-), S1S2 tunggal reguler, NT (-), distensi abdomen (+), BU (+), edema
A: Observasi Hipoglikemia + DMT 2 + HT stage II + Hiperkalemia + AKI
IVFD D5% 20 tpm Amlodipin 1x10 mg Cek GDS / 6 jam, apabila
<80, bolus D40% 2 fl Cek ulang elektrolit
- -
+ +
8
07/01/201210.00(GDS: 214)16.00(GDS: 245)19.00Na : 134K : 5.8Cl : 112
S: lemas, batuk keringO: Compos mentis, TD: 170/80 mmHg, N: 82 x/’, RR: 22 x/’, T: 36,70CAnemis (-), ikterik (-) di seluruh tubuh, Rh
(-/-), Wh (-/-), S1S2 tunggal reguler, organomegali (-), shifting dullnes (-), fluid wave (-), NTE (-), pitting odema tungkai (+/+)
A:Observasi Hipoglikemia + DM Tipe 2 + HT stage II + AKI
IVFD D5% 20 tpm Amlodipin 1x10 mg Cek GDS/ 6 jam Tunggu hasil elektrolit
Co. Dr.jaga hasil elektrolit : observasi
08/01/2012
S: O: 06.00 GDS : 115 13.00 GDS : 115 18.00 GDS : 113A:Observasi Hipoglikemia + DM Tipe 2 + HT stage II + AKI
IVFD D5% 20 tpm Amlodipin 1x10 mg
09/01/201206.00(GDS stick: 77)19.00(GDS: 229)
S: Batuk, lemas, mual (-), muntah (-), BAB (dbn), BAK (dbn)
O: Compos mentis, TD: 160/80 mmHg, N: 83 x/’, RR: 23 x/’, T: 36,30C Anemis (-), ikterik (-), Rh (-/-), Wh (-/-),
S1S2 tunggal reguler, organomegali (-), asites (-), NTE (+), pitting odema tungkai (+/+)
A:Observasi Hipoglikemia + DM Tipe 2 + HT stage II + AKI
IVFD D5% 20 tpm Amlodipin 1x10 mg Cek GDS tiap jam
Co. dr.jaga, advice : D5% ganti RL 20 tpm
10/1/2012GDS : 126
S: Batuk, dahak (+), lemas, mual (-), muntah (-)
O: Compos mentis, TD: 150/80 mmHg, N: 85 x/’, RR: 22 x/’, T: 36,10CAnemis (-), ikterik (-), Rh (-/-), Wh (-/-), S1S2
tunggal reguler,, NTE (-), pitting odema tungkai (+/+)
A:Observasi Hipoglikemia + DM Tipe 2 + HT stage II + AKI
IVFD RL 20 tpm Amlodidpin 1x10 mg Cek GDS tiap jam DMP syr 3xCI
11/1/2012GDS : 58
S : Batuk (+), lemas, mual (-), muntah (-)O : Compos mentis, TD: 160/70 mmHg, N: 85 x/’, RR: 23 x/’, T: 36,1 0C Anemis (-), ikterik (-), Rh (-/-), Wh (-/-),
S1S2 tunggal reguler, , NTE (-), pitting odema tungkai (+/+)
A :Observasi Hipoglikemia + DM Tipe 2 + HT stage II + AKI
RL 20 tpm D5% 20 tpm Amlodipin 1x10 mg DMP syr 3x IC
12/1/2012 S : Batuk (+), lemas, mual (-), muntah (-) D5% 20 tpm RL 20 tpm
9
GDS : 120 O : Compos mentis, TD: 150/80 mmHg, N: 84 x/’, RR: 24 x/’, T: 36,5 0C Anemis (-), ikterik (-), Rh (-/-), Wh (-/-),
S1S2 tunggal reguler, , NTE (-), pitting odema tungkai (+/+)
A :Observasi Hipoglikemia + DM Tipe 2 + HT stage II + AKI
Amlodipin 1x10 mg DMP syr 3x IC
13/1/2012GDS : 126
S : Batuk (<<), lemas, mual (-), muntah (-)O : Compos mentis, TD: 140/80 mmHg, N: 83 x/’, RR: 24 x/’, T: 36,10C Anemis (-), ikterik (-), Rh (-/-), Wh (-/-),
S1S2 tunggal reguler, , NTE (-), pitting odema tungkai (+/+)
A : Observasi Hipoglikemia + DMT 2 + HT stage II + Hiperkalemia + AKI
Diagnosa Akhir : DM Tipe 2 dengan komplikasi hipoglikemia (terkoreksi) dan sup.nefropati DM; HT stage II
RL 20 tpm Amlodipin 1x10 mg DMP syr 3xIC Pasien boleh pulang
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi dan Klasifikasi Hipoglikemi
Definisi hipoglikemi menurut American Diabetes Association (ADA) segala
episod dimana terdapat ketidaknormalan konsentrasi glukosa dalam plasma pada
individu dan menyebabkan gangguan potensial. Nilai ambang glikemik bersifat
dinamis dan tidak sama dalam reaksi respon, maka cukup sulit untuk menentukan
nilai konsetrasi glukosa secara spesifik sampai dapat memberikan gejala. Hal ini
menyebabkan ADA merekomendasikan kepada pasien DM dengan terapi yang
berhubungan dengan insulin untuk memonitor dirinya akan resiko hipoglikemi
dengan konsentrasi glukosa plasma ≤ 70 mg/dL (≤ 3.9 mmol/L). Hal ini tidak
kemudian menjadi indikasi penderita untuk memberikan terapi pada dirinya
sendiri ketika konsentrasi glukosa plasmanya ≤ 70 mg/dL (≤ 3.9 mmol/L),
melainkan lebih waspada akan tanda dan gejala hipoglikemia, mengukur ulang
konsentrasi glukosa dalam rentang waktu tertentu serta menghindari beberapa
pekerjaan seperti menyetir, kemudian hipoglikemi dapat dicegah dengan
mengkonsumsi karbohidrat atau gula per oral (Cryer, 2011).
Klasifikasi kejadian hipoglikemi menurut ADA ialah sebagai berikut.
Severe hypoglycemia Kondisi di mana membutuhkan bantuan dari orang lain untuk memberikan tambahan karbohidrat, glukagon, atau aksi resusitasi lain. Perubahan konsentrasi glukosa plasma mungkin tidak terjadi, tetapi terdapat perubahan neurologis setelah terapi hipoglikemi diberikan.
Documented severe hypoglycemia
Kondisi dimana terdapat gejala tipikal hipoglikemi yang berhubungn dengan nilai konsentrasi glukosa plasma ≤ 70 mg/dL (≤ 3.9 mmol/L).
Asymptomatic hypoglycemia Kondisi dimana tidak terdapat gejala tipikal hipoglikemi tetapi nilai konsentrasi glukosa
11
plasma ≤ 70 mg/dL (≤ 3.9 mmol/L).
Propable symptomatic hypoglicemia
Kondisi dimana terdapat gejala tipikal hipoglikemi namun tidak berhubungan keadaan glukosa tetapi dicurigai disebabkan oleh nilai konsentrasi glukosa plasma ≤ 70 mg/dL (≤ 3.9 mmol/L).
Relative hypoglycemia Keadaan di mana seseorang dengan diabetes mengalami gejala tipikal hipoglikemi namun konsentrasi glukosa plasma >70 mg/dL (>3.9 mmol/L).
3.2 Penyebab Hipoglikemia
Sebagian besar penyebab hipoglikemia ialah penderita DM dengan terapi
insulin atau sulfonylurea (hipoglikemiaiatrogenik), tetapi juga terdapat penyebab
hipoglikemia pada pasien non-DM seperti pankereatitis atau sel tumor non-islet,
autoimun, kegagalan organ, penyakit endokrin, kelainan metabolisme dari lahir,
toksin dari makanan, dan lain-lain (sepsis, kelaparan, kegiatan yang sangat
berlebihan)(Treatment of severe diabetic hyplogicemia with: an underutilizes
therapeutic approach, 2011).
3.3 Faktor Resiko
Beberapa faktor dapat meningkatkan resiko terjadikan hipoglikemia pada
pasien DM dengan terapi insulin, salah satunya ialah gangguan kecemasan. Angka
kejadian hipoglikemia dengan gangguan kecemasan 9 kali lebih
tinggidibandingkan hipoglikemia dengan episode normal dari kecemasan.Usia
muda juga merupakan factor resiko terjadinya hipoglikemi berhubungan dengan
kurangnya pemahaman mengenai tanda dan gejala dari hipoglikemia, sedangkan
pada orang tua juga dapat terjadi akibat factor penuaan sehingga kurang
memahami tanda dan gejala hipoglikemia. Pencegahan terhadap hipoglikemia
berat dipengaruhi oleh pengawasan orang tua atau pengasuh penderita DM
terhadap intake makanan, dosis insulin, dan pengaturan latihan atau kegiatan
penderita. Lamanya penyakit yang diderita dan pernah mengalami episode
hipoglikemia berat juga merupakan faktor resiko dari kejadian
hipoglikemi(Treatment of severe diabetic hyplogicemia with: an underutilizes
12
therapeutic approach, 2011).
13
14
3.3 Patogenesis
Fisiologi Glukosa counterregulatory dan Patofisiologi dalam Diabetes
Pertahanan fisiologis terhadap penurunan konsentrasi plasma glukosa, pada
individu nondiabetes, termasuk penurunan dalam sekresi insulin, yang terjadi
sebagai penurunan kadar glukosa dalam kisaran fisiologis dan peningkatan
produksi glukosa hati (dan ginjal), dan kenaikan dalam glukagon dan sekresi
15
epinefrin, yang terjadi sebagai kadar glukosa jatuh tepat di bawah kisaran
fisiologis dan merangsang produksi glukosa hepatik (Gambar 1). Peningkatan
level epinefrin juga secara normal memobilosasi precursor glukonegenesis dari
otot dan lemak, merangsang produksi glukosa ginjal, dan membatasi penggunaan
glukosa oleh otot dan lemak, dan membatasi sekresi insulin. Pertahanan perilaku
terhadap penurunan konsentrasi plasma glukosa adalah penggunaan karbohidrat
sebagai persepsi neurogenik (otonom) dengan gejala (misalnya, palpitasi, tremor
dan kecemasan/gairah yang dimediasi katekolamin-dimediasi atau adrenergik dan
berkeringat, kelaparan dan parestesia yang dimediasi asetilkolin atau kolinergik)
(Gambar 1). Ini adalah sebagian besar berasal dari saraf simpatik, bukan
adrenomedullary. Sejauh mana gejala neuroglycopenic ringan seperti perubahan
kesadaran, pemikiran atau perubahan psikomotor masih belum jelas, kesadaran
hipoglikemia sebagian besar dicegah dengan antagonisme farmakologis sesuai
gejala neurogenic. Gejala neuroglycopenic parah termasuk kebingungan, kejang
dan kehilangan kesadaran. Semua pertahanan, bukan hanya sekresi insulin,
terdapat padaDMT1 dan DMT2 lanjut(Cryer, 2011).
16
Patofisiologi
Pada diabetes, hipoglikemi timbul akibat penggunaan kombinasi relative
atau absolut insulin dan gangguan pertahanan fisiologis dalam mempertahankan
penurunan glukosa plasma. Pengaturan kadar glukosa yang merupakan
mekanisme pertahanan yang mencegah atau menyeimbangkan kejadian
hipoglikemia mengalami gangguan pada pasien diabetes tipe 1 dan pasien
diabetes tipe 2 tahap lanjut. Dengan demikian, regulasi glukosa tersebut
digunakan sebagai respon terhadap hipoglikemia pada keadaan kekurangan
insulin endogen sehingga terwujud sebagai penurunan tingkat insulin dan
meningkatkan kadar glukagon disertai dengan penekanan peningkatan epinefrin.
Gangguan respons autonomic (adrenomedullar dan neuron simpatetik) dikaitkan
dengan presentasi klinis diamati dari ketidaksadaran hipoglikemia. Selanjutnya,
hal ini menyatakan bahwa respon sympathoadrenal berkurang (konsep
hipoglikemia-terkait kegagalan otonom) yang disebabkan oleh hipoglikemia
17
yangterakhir, mengakibatkan gangguan glukosa kontra-regulasi dan
ketidaksadaran akibat hipoglikemia yang muncul sebagai siklus berulang
hipoglikemi(Cryer, 2011).
Episode terapi hiperinsulinemi, akibat tidak teraturnya distribusi endogen
(terapi insulin secretagogue) atau eksogen (terapi insulin) insulin ke dalam
sirkulasi, memulai urutan yang mungkin, atau tidak mungkin, berujung dalam
sebuah episode hipoglikemi. Kelebijhan terapi insulin absolut menyebabkan
episode hipoglikemia terisolasi meskipun pertahanan counterregulatory glukosa
utuh terhadap hipoglikemi (Gambar 2). Tapi, itu merupakan peristiwa biasa.
Hipoglikemia iatrogenik biasanya merupakan hasil dari interaksi ringan-sedang
kelebihan absolut atau relatif (ketersediaan glukosa rendah) terapi insulin dan
pertahanan fisiologis dan perilaku akibat penurunan konsentrasi plasma glukosa
pada DMT1 dan T2DM. Dalam T1DM, dikarenakan kegagalan fugsi β-sel insulin
tidak menurun sebagai respon kadar glukosa turun; pertahanan fisiologis pertama
hilang. Selain itu, tingkat glukagon tidak meningkat pada penurunan kadar
glukosa, pertahanan fisiologis kedua hilang. Itu pun masuk akal sebagai kegagalan
β-sel jika terjadi penurunan sekresi β-sel, ditambah dengan konsentrasi α-sel
glukosa yang rendah, yang secara normal memberi sinyal sekresi α-sel. Akhirnya,
peningkatan kadar epinefrin sebagai akibat penurunan kadar glukosa pun ditekan,
pertahanan fisiologis ketiga dikompromikan(The Endocrine Society, 2009).
Meskipun sering disebabkan oleh kejadian hipoglikemia yg baru atau
didahului dengan latihan atau tidur, mekanisme ditekannya respon
sympathoadrenal penurunan kadar glukosa darah tidak diketahui. Meskipun
demikian, penekanan respon epinefrin adalah penanda penurunan respon saraf
simpatis dan yang terakhir sebagian besar menghasilkan pengurangan gejala
hipoglikemi menyebabkan ketidaksadaran hipoglikemia (atau gangguan kesadaran
hipoglikemia) dan dengan demikian kehilangan pertahanan perilaku, konsumsi
karbohidrat. Dalam pengaturan terapi hiperinsulinemia, penurunan konsentrasi
plasma glukosa, gagalnya penurunan insulin, dan gagalnya peningkatan glukagon,
penekanan peningkatan epinefrin menyebabkan sindrom klinis cacat glukosa
18
counterregulation glukosa dikaitkan dengan peningkatan risiko 25 kali lipat atau
lebih besar hipoglikemia iatrogenic. Penekanan sympathoadrenal, khususnya
penekanan saraf simaptik, menyebabkan sindrom klinis ketidaksadaran
hipoglikemia yang dikaitkan dengan risiko 6 kali lipat dari hipoglikemia
iatrogenic. Patofisiologi glukosa counterregulation adalah sama di T1DM dan
T2DM meskipun dengan paruh waktu, berbed. β-sel gagal, dan karena itu
kehilangan respon insulin dan konsentrasi glukagon menyebabkan penurunan
kadar plasma glukosa, berkembang pada awal T1DM tetapi lebih secara bertahap
di T2DM. Dengan demikian, rusaknya pengaturan glukosa counterregulation –
gagalnya gagalnya peningkatan glukagon - berkembang pada awal T1DM dan
kemudian di T2DM dan itu dan ketidaksadaran hipoglikemia, dan dengan
demikian hipoglikemia iatrogenik, menjadi masalah umum di awal T1DM dan
kemudian di T2DM. Konsep hipoglikemia-terkait kegagalan otonom (HAAF)
pada diabetes (Gambar 2) menyebutkan bahwa hipoglikemia yang baru, begitu
juga saat latihan sebelumnya atau tidur, menyebabkan baik counterregulation
glukosa rusak (dengan mengurangi kenaikan di epinefrin dalam pengaturan
kegagalan penurunan di insulin dan kegagalan peningkatan glukagon selama
hipoglikemia berikutnya) dan ketidaksadaran hipoglikemia (dengan mengurangi
sympathoadrenal dan dihasilkan respon gejala hipoglikemia neurogenik selama
berikutnya) dan, karena itu, tercipta lingkaran setan pada hipoglikemia berulang.
Mungkin dukungan yang paling menarik untuk konsep Mekanisme dari
penekanan respon sympathoadrenal terhadap penurunan kadar glukosa darah, fitur
kunci dari HAAF, tidak diketahui. Ini harus melibatkan sistem saraf pusat atau
komponen aferen eferen dari sistem sympathoadrenal. Teori meliputi peningkatan
darah-ke-otak pengangkutan bahan bakar metabolisme, efek dari mediator
sistemik seperti kortisol pada otak, mekanisme hipotalamus diubah dan aktivasi
dari jaringan otak penghambatan dimediasi melalui thalamus(The Endocrine
Society, 2009).
19
3.4 Tanda dan Gejala
Manifestasi klinis dari hipoglikemi berat tampak sebagai gejala-gejala yang
berhubungan dengan aktivasi simpatoadrenal dan neuroglikopenia. Aktivasi
simpatoadrenal tampak sebagai gejala berkeringat, takikardi, takipnea, kecemasan,
gemetar, dan mual. Gejala neuroglikopenia meliputi perubahan penglihatan, lelah,
pusing, sakit kepala, perubahan kesadaran, perubahan status mental, kejang,
koma, hingga menyebabkan kematian(Rutecki, 2011).
Berdasarkan Eckman&Golden, terdapat trias yang menjadi tanda dan gejala
hipoglikemi yang dikenal sebagai trias Whipple. Trias Whipple ialah gejala
muncul dan konsisten dalam keadaan hipoglikemia, nilai konsentrasi glukosa
plasma rendah, dan terdapat perbaikan klinis ketika konsentrasi glukosa plasma
dinaikkan(Eckman & Golden, 2011).
3.5 Manajemen Hipoglikemia
Penanganan hipoglikemia tergantung pada derajat keparahan hipoglikemia
itu sendiri. Hipoglikemia ringan hingga sedang lebih mudah ditangani yaitu
dengan intake oral karbohidrat aksi cepat seperti minuman glukosa, tablet, atau
makanan ringan. Hipoglikemia derajat berat memerlukan tindakan segera dan
khusus(Treatment of severe diabetic hyplogicemia with: an underutilizes
therapeutic approach, 2011).
Dekstrosa
Pada pasien yang tidak dapat mengkonsumsi glukosa oral seperti pada
pasien penurunan kesadaran, kejang, atau perubahan status mental dapat diberikan
cairan dekstrosa secara intra vena baik perifer maupun sentral. Konsentrasi
dekstrosa 50% pada air dapat diberikan pada pasien dewasa, sementara dekstrosa
dengan konsentrasi 25% biasa digunakan sebgai terapi pada pasien anak. Perlu
diperhatikan pada cairan dekstrosa 50% dan 25% dapat menyebabkan nekrosis
jaringan jika diberikan pada jalur intra vena yang tidak benar, oleh karena itu,
cairan tersebut harus diberikan pada jalur IV yang paten(Treatment of severe
diabetic hyplogicemia with: an underutilizes therapeutic approach, 2011).
20
Glukagon
Glukagon merupakan lini pertama terapi hipoglikemi pada pasien
hipoglikemi dengan terapi insulin karena glukagon merupakan hormon utama
pengatur insulin. Tidak seperti dekstrosa, glukagon diberikan melalui subkutan
atau intra muskular. Hal ini menjadi penting karena glucagon dapat dijadikan
pilihan terapi selagi menunggu paramedic datang untuk memberikan
dekstrosa(Treatment of severe diabetic hyplogicemia with: an underutilizes
therapeutic approach, 2011).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa glucagon efektif dalam
menyediakan kembali glukosa darah dan dapat mengembalikan kesadaran, serta
sifatnya aman dalam penanganan hipoglikemia berat baik diberikan secara intra
vena, subkutan, ataupun intra muskular. Glukagon yang diberikan secara
parenteral biasa diberikan pada pasien DM tipe 1 dengan riwayat hipoglikemia
berat. Glukagon yang diberikan secara intra vena biasa diberikan pada pasien
hipoglikemia berat dengan DM tipe 2.
Mengingat bahwa glukagon menstimulasi sekresi insulin berkaitan dengan
glikogenolisis maka sangat perlu diperhatikan pemberian glukagon pada pasien
DM tipe 2 dengan terapi insulin atau dengan komplikasi tertentu. Glukagon sangat
tidak disarankan diberikan secara infus intra vena atau dengan pasien yang
menggunakan sulfonilurea; pada pasein tersebut lebih baik diberikan glukosa
secara bolus kemudian diikuti dengan infus hingga efek dari sulfonilurea telah
habis.
Mual dan muntah sering dilaporkan sebagai efek samping terhadap
penggunaan glucagon dengan dosis >1mg, namun menurut penelitian yang pernah
dilaporkan sangat jarang membahas tentang kejadian mual dan muntah tersebut,
selain itu mual dan muntah tetap akan dapat terjadi walaupun tanpa penggunaan
glukagon. Ada juga laporan mengenai reaksi alergi setelah pemberian glukagon,
namun hal ini biasanya terjadi apabila glukagon diberikan sebagai terapi selain
21
untuk hipoglikemia(Treatment of severe diabetic hyplogicemia with: an
underutilizes therapeutic approach, 2011).
Manajemen Hipoglikemia Menurut Perkeni
Stadium permulaan (sadar)
1. Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop atau permen gula
murni (bukan pemanis pengganti gula) atau gula diet atau gula diabetes) dan
makanan yang mengandung karbohidrat
2. Hentikan obat hipoglikemik sementara
3. Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
4. Pertahankan glukosa darah sekitar 200 mg/dl (bila sebelumnya tidak sadar)
5. Cari penyebab
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga
hipoglikemia)
1. Diberikan larutan Dextrose 40% sebanyak 2 flakon (=50 ml) bolus intravena
2. Diberikan cairan Dextrose 10% per infus, 6 jam per kolf
3. Periksa glukosa darah sewaktu (GDs), kalau memungkinkan dengan
glukometer:
1. Bila GDs < 50 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 50ml IV
2. Bila GDs < 100 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 25ml IV
4. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian Dextrose 40%
1. Bila GDs < 50 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 50ml IV
2. Bila GDs < 100 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 25ml IV
3. Bila GDs 100-200 mg/dl, tanpa bolus Dextrose 40%
4. Bila GDs > 200 mg/dl, pertimbangkan menurunkan kecepatan drip
Dextrose 10%
5. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap
2 jam, dengan protocol sesuai diatas. Bila GDs > 200 mg/dl, pertimbangkan
mengganti infuse dengan Dextrose 5% atau NaCl 0,9%
6. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap
22
4 jam, dengan protocol sesuai diatas. Bila GDs > 200 mg/dl, pertimbangkan
mengganti infuse dengan Dextrose 5% atau NaCl 0,9%14
7. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, sliding scale setiap 6
jam :
8. Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis
insulin seperti adrenalin, kortison dosis tinggi, atau glucagon 0,5-1 mg IV/IM
(bila penyebabnya insulin)
9. Bila pasien belum sadar, GDs sekitar 200 mg/dl : Hidrokortison 100 mg per 4
jam selama 12 jam atau Deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap
6 jam dan Manitol 1,5-2 g/kgBB IV setiap 6-8 jam. Cari penyebab lain
kesadaran menurun.
23
BAB IV
ANALISA KASUS DAN PEMBAHASAN
Diagnosis : Observasi Hipoglikemia + DM Tipe 2 + HT stage II
Anamnesis
Fakta Teori
Didapatkan keluhan pada pasien
sebagai berikut:
Penurunan kesadaran
Badan lemas
Berkeringat
Gemetar saat memegang bedna
Penurunan nafsu makan
Konsumsi OAD glibenklamid
Luka sulit sembuh
Suami pasien meninggal 3 tahun yll.
Belum mempunyai anak
Tipe tertutup.
Menderita DM selama 10 tahun.
Riwayat:
Riwayat Hipertensi sejak 5
tahun terakhir
Tidak terdapat riwayat penyakit
jantung dan ginjal
Manifestasi klinis Hipoglikemia:
Aktivasi simpatoadrenal berkeringat,
takikardi, takipnea, kecemasan,
gemetar, dan mual.
Gejala neuroglikopenia perubahan
penglihatan, lelah, pusing, sakit kepala,
perubahan kesadaran, perubahan status
mental, kejang, koma, hingga
kematian.
Trias Whipple ialah gejala muncul dan
konsisten dalam keadaan hipoglikemia,
nilai konsentrasi glukosa plasma
rendah, dan terdapat perbaikan klinis
ketika konsentrasi glukosa plasma
dinaikkan.
Faktor Resiko
Pasien DM dengan terapi insulin
Gangguan kecemasan.
Kurangnya pemahaman penggunaan
insulin atau OAD serta gejala
hipoglikemi.
Lamanya penyakit yang diderita
24
Penggunaan insulin&OAD golongan
insulin secretouge
Penyakit kritis gangguan hati,
gangguan ginjal
Analisis
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien adalah wanita berusia 41 tahun
berpendidikan tamat SMP sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien tidak
bisa dibangunkan dari tidurnya. Sebelum tidur pasien mengkonsumsi obat anti
diabetes. Hal serupa juga terjadi 1 hari sebelum masuk rumah sakit, namun saat
itu pasien masih bisa dibangunkan walaupun dalam kondisi bicara meracau dan
badan lemas. Pasien tampak berkeringat dingin dan gemetar saat memegang
benda.
Sejak 10 tahun yang lalu, pasien menderita kencing manis. Hal tersebut
diketahui saat pasien memeriksakan diri di puskesmas dengan keluhan sering
buang air kecil saat malam dan penurunan berat badan. Pasien rutin
memeriksaakan dirinya di puskesmas, rutin meminum obat anti diabetes, namun
tidak mengontrol pola makannya. Obat yang biasa diminum ialah glibenklamid
3x1 tablet dan metformin 1x1 tablet.
Sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluhkan nyeri ulu
hati disertai mual terkadang muntah. Sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit,
pasien mengalami penurunan nafsu makan namun pasien tetap mengkonsumsi
obat anti diabetesnya seperti biasa. Sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit pada
perut bagian atas terdapat benjolan keras dan nyeri jika bergerak.
Terdapat pembengkakan pada kedua tungkai pasien sejak 1 minggu sebelum
masuk rumah sakit, namun pasien tidak memeriksaakan kondisinya ke dokter.
Buang air besar dalam batas normal, buang air kecil sedikit-sedikit namun sering.
Pasien juga mengatakan bahwa sering susah sembuh pada beberapa luka
pada tubuhnya. Jari kelingking kaki kanan pernah terluka hingga bernanah, namun
pasien hanya mengobatinya dengan obat-obatan kampung, akibatnya, jari
kelingking yang luka tersebut putus dengan sendirinya.
25
Pasien sudah menikah, namun suami pasien meninggal sekitar 3 tahun yang
lalu. Pasien belum mempunyai anak. Pasien merupakan anak bungsu dalam
keluarganya dengan tipe yang tertutup dan tidakbanyak bercerita.
Berdasarkan teori pada umumnya hipoglikemi terjadi pada pasien diabaetes
tipe 1 atau pasien diabetes tipe 2 lama dan pada umumnya menggunakan terpai
insulin. Selain menggunakan terapi insulin, penggunaan OAD tipe insulin
secretouge juga mempunyai resiko terjadinya hipoglikemi. Hipoglikemi juga bisa
terjadi pada pasien daengan gangguan ginjal, hepar, dan kecemasan sebagai
penyerta penyakit DM nya.
Gejala yang biasa timbul ialah badan lemas disertai gemetar dan keringat
dingin, gangguan orientasi, gangguan penglihatan, penurunan kesadaran, kejang
hingga koma sampai kematian. Terdapat trias yang menggambarkan kejadian
hipoglikemi, yaitu trias whipple yang terdiri atas gejala muncul dan konsisten
dalam keadaan hipoglikemia, nilai konsentrasi glukosa plasma rendah, dan
terdapat perbaikan klinis ketika konsentrasi glukosa plasma dinaikkan. Hal ini
sesuai dengan teori yang ada dimana psien merupakan penderita diabetes selama
10 tahun, dan sedang mengkonsumsi OAD golongan sulfonylurea yaitu
glibenklamid. Faktor resiko lain juga terdapat pada pasien yaitu pendidikan yang
tidak cukup tinggi sehingga memungkinakan kurangnya pemahaman tentang efek
OAD dan gejala hipoglikemi, disertai kemungkinan adanya gangguan kecemasan
tentang kondisi sosialnya.
Pemeriksaan Fisik
Fakta Teori
Keadaan umum
Awal tidak sadar E1V2M2
Setelah pemberian D40% 3
flashE2V4M4
Kepala/leher/thoraks
Kepala/Leher
Trias whipple:
D. gejala muncul dan konsisten
dalam keadaan hipoglikemia
E. nilai konsentrasi glukosa
plasma rendah
F. terdapat perbaikan klinis ketika
konsentrasi glukosa plasma
26
Konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), edema periorbita (-/-),
sianosis (-), fetor hepatikum (-), fetor
uremikum (-), pembesaran KGB (-),
deviasi trakea (-), peningkatan JVP
(-).
Thoraks
Pulmo:
E. Inspeksi : bentuk dan gerakan
simetris, retraksi interkosta (-),
spider nevi (-), rambut aksila (+),
venektasi (-)
F. Palpasi : fremitus raba dekstra
= sinistra
G. Perkusi : sonor di seluruh
lapangan paru
H. Auskultasi : suara nafas vesikuler,
ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor:
I. Inspeksi : ictus cordis tidak
tampak
J. Palpasi : ictus cordis tidak
teraba
K. Perkusi : batas jantung
kanan ICS IV parasternal line
dekstra
batas jantung kiri
ICS VI midclavicular line sinistra
L. Auskultasi : S1, S2 tunggal,
regular, suara tambahan (-)
Abdomen
dinaikkan
27
M. Inspeksi : cembung, caput
medusae (-), vena paraumbilikalis
(-)
N. Palpasi : distensi (-), nyeri
tekan (-) pada semua kuadran,
massa (-), organomegali (-),
defans muscular (-)
O. Perkusi : timpani, shifting
dullness (-)
P. Auskultasi : bising usus (+)
normal, bruit di atas hepar (-)
Ekstremitas
Akral hangat, eritema palmaris (-),
leukonikia (-), hepatic flapping (-),
clubbing finger
(-), edema
Analisis
Berdasarkan pemeriksaan fisik, sesuai dengan trias whipple yaitu terdapat
gejala-gejala hipoglikemai dan dibuktikan dengan nilai glukosa darah rendah serta
adanya perbaikan klinis setelah kadar glukosa membaik.
Pada pemriksaan fisik lain, terdapat pitting edema apda ekstremitas bawah
yang dimungkinakn akibat gangguan protein dan dapat disesuaikan dengan
pemeriksaan laboratorium.
C. Pemeriksaan Penunjang
Fakta Teori
Telah dilakukan pemeriksaan
laboratorium berupa:
Hasil laboratorium pada
hipoglikemia pada penderita DM:
- -
+ +
28
Tes Fungsi Hati:
1. SGOT dan SGPT
SGOT normal
(16 U.I) dan SGPT
normal (15 U.I)
2. Bilirubin normal
1. Bilirubin total : 0.3 mg/dl
2. Bilirubin direk : 0.1 mg/dl
3. Bilirubin indirek : 0.2 mg/dl
3. Albumin
menurun (2.0)
4. Globulin normal
(3.7)
5. Alkali fosfatase :
tidak diperiksa
Kimia Darah:
1. Asam Urat: 5.6 (normal)
2. GDS : 58 289
3. Ureum : 60.4
4. Kreatinin : 1,2
5. Natrium : 140
6. Kalium : 6.3
7. Klorida : 116
8. HbA1C 10.7
Darah lengkap:
Didapatkan:
9. Nilai Hb 10.4
10. Trombosit 370.000
11. Leukosit 10.200
Penurunan kadar glukosa plasma
dibawah 60 mg/dL.
Kadar HbA1C >6,5
29
12. Hematokrit 31.5
Analisis
Keadaan hipoglikemia pada pasien diabetes tergambar pada hasil
laboratorium yaitu penurunan kadar glukosa plasma <60 mg/dL. hal tersebut
ditemukan pada pasien laporan kasus, dimana kadar glukosa plasmaya ialah 58
mg/dL.
Diagnosis
Fakta Teori
Pada kasus ini, pasien tersebut memenuhi
3 dari trias whipple yaitu:
1. Gejala muncul dan
konsisten saat hipoglikemia
2. penurunan kadar glukosa
plasma
3. Terjadi perbaikan klinis
setelah kadar glukosa dinaikkan
Sehingga bisa didiagnosis sebagai
hipoglikemia
Trias whipple yaitu:
6. Gejala muncul dan konsisten
saat hipoglikemia
7. penurunan kadar glukosa
plasma
8. Terjadi perbaikan klinis setelah
kadar glukosa dinaikkan
Analisis
Dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat
disimpulkan bahwa pasien memenuhi gambaran hipoglikemia pada diabetes
mellitus tipe 2. Hal ini dapat dibuktikan dari pemeriksaan fisik, laboratorium, dan
disesuaikan dengan trias whipple.
30
E Penatalaksanaan
Fakta Teori
IVFD D5% 20 tpm
Amlodipin 1x10 mg
Cek GDS/ jam
Bolus D40% 2 fl jika GDs <80
1. Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop atau permen gula murni (bukan pemanis pengganti gula) atau gula diet atau gula diabetes) dan makanan yang mengandung karbohidrat
2. Hentikan obat hipoglikemik sementara 3. Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam 4. Pertahankan glukosa darah sekitar 200
mg/dl (bila sebelumnya tidak sadar) 5. Cari penyebab
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia)
1. Diberikan larutan Dextrose 40% sebanyak 2 flakon (=50 ml) bolus intravena
2. Diberikan cairan Dextrose 10% per infus, 6 jam per kolf
3. Periksa glukosa darah sewaktu (GDs), kalau memungkinkan dengan glukometer: a. Bila GDs < 50 mg/dl ditambah bolus
Dextrose 40% 50ml IVb. Bila GDs < 100 mg/dl ditambah bolus
Dextrose 40% 25ml IV 4. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian
Dextrose 40%a. Bila GDs < 50 mg/dl ditambah bolus
Dextrose 40% 50ml IV b. Bila GDs < 100 mg/dl ditambah bolus
Dextrose 40% 25ml IV c. Bila GDs 100-200 mg/dl, tanpa bolus
Dextrose 40%d. Bila GDs > 200 mg/dl, pertimbangkan
menurunkan kecepatan drip Dextrose 10%
5. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 2 jam, dengan protocol sesuai diatas. Bila
31
GDs > 200 mg/dl, pertimbangkan mengganti infuse dengan Dextrose 5% atau NaCl 0,9%
6. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 4 jam, dengan protocol sesuai diatas. Bila GDs > 200 mg/dl, pertimbangkan mengganti infuse dengan Dextrose 5% atau NaCl 0,9%14
7. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, sliding scale setiap 6 jam :
8. Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis insulin seperti adrenalin, kortison dosis tinggi, atau glucagon 0,5-1 mg IV/IM (bila penyebabnya insulin)
9. Bila pasien belum sadar, GDs sekitar 200 mg/dl : Hidrokortison 100 mg per 4 jam selama 12 jam atau Deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan Manitol 1,5-2 g/kgBB IV setiap 6-8 jam. Cari penyebab lain kesadaran menurun.
Analisis
Pemberian terapi pada pasien ini sudah sesuai dengan teori yang ada.
Terapi penyakit lain diberikan sesuai dengan tanda klinis. Pemeriksaan GDS tetap
harus dilakukan secara rutin dengan mengamati gejala klinis untuk kepentingan
terapi pulang karena tidak jarang apda pasien hipoglikemia terdapat pelonjakan
nilai GDS, sehingga memerlukan terapi tambahan.
Prognosis
Prognosis pasien hipoglikemia yang disertai dengan sirosis sangat bervariasi
dipengaruhi sejumlah faktor meliputi tingkat keparahan dan kecepatan
penanganan penyakit.
32
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang
dilakukan pada pasien ini maka diagnosanya adalah Observasi hipoglikemia
dengan DM Tipe 2 tak terkontrol, hipertensi stage II dan AKI.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ialah pemeriksaan
laboratorium darah lengkap dan kimia darah. Hasil pemeriksaan laboratorium
mendukung diagnosis yang ada.
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien yang sudah sesuai.
Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam karena pasien ditangani
dengan cepat, mendapatkan terapi yang tepat, dilakukan observasi klini
hipoglikemia, dan dukungan keluarga terhadap penyakitnya.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Cryer, P. E. (2011). Hypoglicemia During Therapy of Diabetes. Dipetik January 8, 2012, dari Endotext.org: http://www.endotext.org/
2. Eckman, A., & Golden, S. (2011, March 2). Diabetes Guided - Trinidad and Tobago. Dipetik January 8, 2012, dari John Hopkins Point of care Information Technology: http://www.ttdiabetesguide.org/index.html
3. Epidemiology of Hypoglikemia. (2011, May). Dipetik January 8, 2012, dari Diabates Treatments: http://diabetesmellitustreatments.com//
4. Rutecki, G. W. (2011, June 22). Recurrent Hypoglicemia: When Diabaetes IS Not the Cause. Dipetik January 8, 2012, dari ConsultantLive: http://www.consultantlive.com/
5. The Endocrine Society. (2009). The Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism. Evaluation and Management of Adult Hypoglycemic Disorders: An Endocrine Society Clinical Practice Guideline , 18.
6. Treatment of severe diabetic hyplogicemia with: an underutilizes therapeutic approach. (2011, September 6). Dipetik January 8, 2012, dari Dovepress open acces to scientific and medical research: http://www.dovepress.com/diabetes-metabolic-syndrome-and-obesity-targets-and-therapy-journal
7. Sastroasmoro S, Soegondo S, Rani A, editor. Hipoglikemia. Dalam : Panduan Pelayanan Medis Departemen Penyakit Dalam. Jakarta : RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo. 2007. Hal : 5-8.
8. Rani AA, Soegondo S, Nasir AU, dkk, editor. Hipoglikemia. Dalam : Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta : InternaPublishing. 2009. Hal 23-5.
34
top related