demokrasi; pemilihan umum dan kriteria pemimpin …
Post on 30-Nov-2021
11 Views
Preview:
TRANSCRIPT
DEMOKRASI; PEMILIHAN UMUM DAN KRITERIA PEMIMPIN
PERSPEKTIF YUSUF AL QARADHAWI
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Humaniora (S.Hum.)
Oleh:
Ripyal Pahri
NIM: 1110022000039
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2017 M
i
ABSTRAK
Sebuah pemerintahan akan berjalan efektif, jika dipegang oleh pemimpin-pemimpin yang
amanah. Baik pemerintah daerah maupun pusat. Dalam Negara demokrasi, pemimpin dipilih
oleh rakyat melalui mekanisme pemilu. Dengan harapan, pemilihan umum tersebut akan
melahirkan pemimpin-pemimpin yang sesuai dengan harapan rakyat, yang lebih mementingkan
kepentingan rakyat dari pada kepentingan kelompok atau dirinya sendiri. Yusuf Al-Qaradhawi,
seorang ulama dari Kairo–Mesir menjabarkan tentang demokrasi, pemilihan umum dan kriteria
pemimpin. Masalah utama penelitian ini adalah bagaimana demokrasi, pemilihan umum, dan
mencari pemimpin yang sesuai dengan karakteristik pemimpin Islam menurut perspektif Yusuf
Al-Qaradhawi. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif yang berdasarkan metode
historical research. Adapun penelitian terdahulu yang telah dilakukan berupa jurnal di
antaranya; Saputra (2017), Hanafi (2013), Sujatnika (2016), Ma’mun (2013).
Temuan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah bahwa demokrasi merupakan
alternatif terbaik untuk melawan diktatorisme dan pemerintahan yang bersifat tirani. Pemilihan
umum yang ditempuh dalam demokrasi sangat mencerminkan kedaulatan rakyat dalam memilih
pemimpin serta wakil rakyat mereka. Kekuasaan yang terpilih ini mencirikan bahwa demokrasi
dapat diwujudkan karena rakyat sendiri yang mengawasi kekuasaannya. Pemimpin dan
Pemerintah dapat dikritik dan dinilai sehingga tidak akan berlaku sewenang-wenang. Dengan
demikian, rakyat menjadi sumber kekuasaan yang layak dipertahankan.
Kata Kunci: Demokrasi, Pemilu, Pemimpin, al-Qaradhawi
ii
KATA PENGANTAR
Segala puja serta puji syukur kehadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan
rahmat serta hidayah-Nya, terucap dengan tulus dan ikhlas Alhamdulillahi Rabbil
‘alamin yang tiada hentinya karena hamba dapat menyelesaikan penulisan skripsi
ini yang berjudul: DEMOKRASI; PEMILIHAN UMUM DAN KRITERIA
PEMIMPIN PERSPEKTIF YUSUF AL QARADHAWI. Shalawat serta salam
semoga selalu terlimpahkan kepada suri tauladan bagi umatnya Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wasallam beserta keluarga dan para sahabatnya.
Dengan setulus hati penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih
sangat jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, skripsi ini hasil usaha dan
upaya yang maksimal dari penulis. Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan
yang ditemui. Banyak hal tidak dapat dihadirkan oleh penulis di dalamnya karena
keterbatasan pengetahuan dan waktu. Namun patut disyukuri karena banyak
pengalaman yang didapat dalam penulisan skripsi ini.
Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada
semua pihak:
1. Bapak Dr. Sukron Kamil, M.A., Selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora
serta para Pembantu Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak H. Nurhasan, M.A., Selaku Ketua Program Studi Sejarah dan
Peradaban Islam dan Ibu Shalikatus Sa’diyah, M.Pd., Selaku Sekretaris
Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam yang telah mengarahkan,
iii
membimbing dan melayani mahasiswanya dengan penuh perhatian.
Jazaakumullah khairan
3. Ibu Dr. Hj. Tati Hartimah, M.A., dan Ibu Dr. Zakiya Darojat, M.A., Selaku
Dosen Penguji Sidang Skripsi.
4. Ibu Dr. Awalia Rahma, M.A., Selaku Dosen Pembimbing Akademik dan
Pembimbing Skripsi yang telah memberikan energinya kepada penulis untuk
bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini. Mudah-mudahan ketulusan ibu
selama membimbing saya Allah balas dengan banyak kebaikan untuk ibu,
Aamiin.
5. Seluruh Dosen /Pengajar Fakultas Adab dan Humaniora yang tidak bisa saya
sebutkan satu-persatu yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
6. Kepala dan Seluruh Staff/Karyawan Perpustakaan Fakultas Adab dan
Humaniora maupun Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memfasilitasi tempat serta buku-buku referensi yang berkaitan dengan
penulisan skripsi ini.
7. Bapak M. Nas Kasah yang telah banyak membantu penulis, berdialog,
bertukar fikiran sampai selesainya penulisan skripsi ini.
8. Keluarga tercinta, terutama Ayah saya bapak H. Anda dan ibu saya Mameh
Rohimah yang senantiasa mengasuh, membimbing, mendidik, membantu,
membiayai, mendukung dan melimpahkan kasih sayang serta do’a yang tiada
henti-hentinya kepada saya. Begitupun adik saya Farhan dan Farah yang selalu
memberikan semangat kepada kakaknya dalam menyelesaikan studi di jenjang
ini. Semoga mereka selalu dalam lindungan Allah dan untuk almh Fira adik
iv
yang kakak sayangi mudah-mudahan Allah tempatkan di jannah-NYA,
Aamiin.
9. Teman-teman seperjuangan Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam
angkatan 2010, keluarga besar SULING SPI 2010 (silaturahmi keliling),
terima kasih untuk waktu, momen suka duka kita selama kuliah. Pasti momen
yang telah dilewati menjadi pengalaman yang indah yang selalu diingat.
10. Dan juga sahabat-sahabat alumni PMDG 2009 yang tidak bisa saya sebutkan
namanya satu persatu tanpa mengurangi rasa hormat saya, mereka adalah
keluarga kedua saya yang telah memberikan bantuan dan dukungannya kepada
saya selama pengerjaan skripsi ini.
Akhirnya, atas jasa bantuan semua pihak baik berupa moril dan materiil,
sampai detik ini penulis panjatkan do’a semoga Allah memberikan balasan yang
berlipat ganda kepada mereka dan menjadikan amal jariyah yang tidak pernah
berhenti mengalir hingga hari akhir. Penulis berharap, semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya. Semoga Allah
senantiasa memberikan kekuatan bagi kita semua dalam menjalani hari esok yang
jauh lebih baik, amin.
Jakarta, 31 juli 2017
Penulis
Ripyal Pahri
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ v
BAB I : PENDAHULUAN ....................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Perumusan Masalah ................................................................ 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 6
1. Tujuan ............................................................................... 6
2. Manfaat ............................................................................ 6
D. Tema dan Metode Penelitian .................................................. 6
1. Tema Penelitian ................................................................ 6
2. Metode Penelitian ............................................................. 7
E. Sumber Data ........................................................................... 9
F. Tinjauan Pustaka ..................................................................... 9
G. Sistematika Penulisan ............................................................. 13
BAB II : RIWAYAT HIDUP DAN KARYA-KARYA YUSUF AL-
QARADHAWI ............................................................................ 15
A. Riwayat Hidup Yusuf Al-Qaradhawi ..................................... 15
B. Karir dan Aktivitas .................................................................. 17
C. Pengaruh Para Guru terhadap Pemikiran Yusuf Al-Qaradhawi
................................................................................................ 17
vi
D. Karya-Karya Yusuf Al-Qaradhawi ......................................... 20
BAB III : WACANA DEMOKRASI DALAM ISLAM .............................. 24
A. Pandangan Tiga Kelompok Intelektual Muslim tentang Demokrasi:
................................................................................................. 24
1. Demokrasi dan Syura Sama Tetapi Berbeda ..................... 24
2. Demokrasi dan Syura Saling Berlawanan ......................... 25
3. Demokrasi dan Syura Mempunyai Sisi Persamaan .......... 27
BAB IV : DEMOKRASI; PEMILIHAN UMUM DAN KRITERIA
PEMIMPIN PERSPEKTIF YUSUF AL-QARADHAWI ....... 41
A. Pemilihan Umum .................................................................... 41
1. Pemilihan Umum Termasuk Jenis Pemberian Kesaksian ... 41
2. Kekuasaan Rakyat dan Kekuasaan Allah ........................... 41
3. Konsep Kekuasaan Allah dan Demokrasi........................... 43
4. Kekuasaan Mayoritas .......................................................... 45
5. Pemungutan Suara (Voting) ................................................ 46
6. Kebebasan Politik ............................................................... 46
7. Musyawarah ....................................................................... 48
B. Memilih Pemimpin .................................................................... 49
1. Definisi Pemimpin ............................................................... 49
2. Kriteria Pemimpin ................................................................ 50
3. Tujuan Pemimpin ................................................................. 54
vii
C. Praktek Demokasi dan Pelaksanaan Pemilu di Negara Berpenduduk
Muslim ...................................................................................... 57
BAB V : PENUTUP .................................................................................... 65
A. Kesimpulan .............................................................................. 65
B. Saran-saran ............................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 67
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belajar dari sejarah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
pernah ada beberapa puluh tahun yang lalu, demokrasi menjadi sistem alternatif yang
dipilih oleh beberapa negara yang sudah maju. Demokrasi sebagai suatu sistem telah
dijadikan alternatif dalam berbagai tatanan aktivitas bermasyarakat dan bernegara di
beberapa negara.
Menurut Samuel P. Huntington gelombang demokratisasi ketiga saat ini
sedang berlangsung. Gelombang ketiga ini diawali oleh tumbangnya rezim Fasis di
Portugal pada tahun 1974, dan sampai puncaknya dengan runtuhnya komunisme di
Eropa Timur dan Tengah pada akhir 1989. Beberapa pengamat berpendapat,
runtuhnya komunisme di kawasan tersebut menandakan kemenangan bagi
demokrasi.1 Demokrasi bukan lagi seperti sebelumnya, di mana hanya bangsa barat
sebagai penganutnya dan dijalankan selama beberapa abad saja.2
Dalam setengah abad terakhir ini,3 demokrasi dalam arti modern sudah
memiliki hampir seluruh kekuatan sebagai ide politik, sebagai sebuah inspirasi, dan
sebuah ideologi.
1 Lihat Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, terjemahan oleh Asril
Marjohan dari The Third Wave Democratization in The Late Twentieth Century, (Jakarta: Grafiti,
1997). Gelombang pertama demokrasi ditandai dengan munculnya nasionalisme dan kegagalan
modernisasi yang pertama. Demokrasi-demokrasi yang dibangun pada abad ke-18 dan abad ke-19
mendapatkan keuntungan dari jaman Pencerahan dan dua atau tiga abad diisi dengan pembangunan
sosial dan ekonomi. Negara-negara dalam tahap ini mempunyai waktu dari posisi kuat dalam ekonomi
global sampai menemukan basis demokrasi mereka.
Selanjutnya, Gelombang demokrasi kedua ditandai dengan dekolonisasi dan kegagalan
modernisasi yang kedua. Inilah konsekuensi dari terjadinya Perang Dunia II (1939-1945) yang ditandai
dengan dekolonisasi dan perluasan bentuk pemerintahan demokratis ke dalam masyarakat dan
kebudayaan yang sebagian besar berupa masyarakat sipil yang lemah dan tidak memiliki sejarah
lampau mengenai pemerintahan rakyat atau ekonomi pasar. Pada periode ini terjadi perubahan sistem
internasional dari sistem multilateral ke arah sistem bipolar. 2 Sukron Kamil, “Pemikiran Politik Islam Tematik”, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 81.
3 Franz Magnis Suseno, “Demokrasi Tantangan Universal”, dalam M. Nasir Tamara dan Elza
Peldi Taher (Ed), Agama dan Dialog antar-Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 122.
1
2
Di dunia Islam, khususnya di Timur Tengah, ide-ide demokrasi mulanya
dikenal melalui kolonialisme Barat4 tepatnya ketika pendudukan Napoleon di Mesir
dan melalui jalur pengiriman Mahasiswa Muslim ke Eropa dan Amerika Serikat.
Kelahiran demokrasi di Timur Tengah sendiri unik, karena dimotori oleh kaum
Muslim puritan yang Barat menyebutnya dengan fundamentalisme. Maka dari itu,
hasilnya pun tidak menyenangkan, jika bukan karena gagal atau digagalkan Barat.
Demokrasi di wilayah ini dikatakan berhasil, apabila menguntungkan rezim pro-
Barat. Fenomena itu setidaknya bisa dilihat dengan digagalkannya hasil pemilu yang
diraih Ikhwanul Muslimin di Yordania dalam pemilu parlemen November 1989, serta
yang diraih Partai Front Penyelamat Islam (FIS) dalam pemilu tingkat lokal tahun
1990 dan pemilu nasional babak I tanggal 26 Desember 1991.5
Nampaknya, walaupun demokrasi mempunyai kekurangan, tetapi tetap
dipahami sebagai peninggalan kemanusiaan yang begitu mahal yang sampai saat ini
belum didapatkan alternatif yang lebih unggul.6 Demokrasi terus bertahan, dan sangat
diminati, karena menghasilkan suatu kebijakan yang baik, masyarakat yang adil,
masyarakat yang bebas, keputusan yang pro-rakyat, menghargai hak perorangan,
memajukan pengetahuan dan kegiatan keilmuan, bahkan demokrasi mampu
menyatukan masyarakat. Meski demikian di dunia Islam persoalan demokrasi masih
menjadi kontroversi di kalangan para ahli. Mereka sebagian yang menolak, sebagian
yang menerima seutuhnya, dan terakhir yang menerima namun dengan catatan.7
Demokrasi pada substansinya adalah sebuah proses pemilihan yang
melibatkan banyak orang untuk mengangkat seseorang yang berhak memimpin dan
mengurus tata kehidupan komunal mereka, dan tentu saja yang akan mereka angkat
4 Istilah demokrasi dalam sejarah Islam tetaplah asing, karena sistem demokrasi tidak pernah
dikenal oleh kaum muslim sejak awal. Orang-orang Islam hanya mengenal kebebasan (al hurriyyah)
yang menjadi pilar utama demokrasi yang diwarisi sejak jaman Nabi Muhammad saw. Demokrasi
yang kita kenal hari ini adalah hasil ijtihad yang turut menghasilkan bentuk-bentuk demokrasi lainnya. 5 Lihat riza syahbudi, “masalah demokratisasi di timur tengah”, dalam imam aziz dkk. Agama,
demokratisasi, dan keadilan, (Jakarta: gramedia, 1993) h. 154. 6 Agus edi santoso (ed.). “Tidak Ada Negara Islam, Surat-Surat Politik Nurcholish Madjid-
Moh. Roem”, (Jakarta: djembatan, 1997), h. 27. 7 Sukron kamil, “Pemikiran Politik Islam Tematik”, (Jakarta: kencana, 2013), h. 84.
3
atau pilih hanyalah orang yang mereka sukai. Di samping itu selektifitas ketat sangat
diperlukan bagi orang-orang yang akan duduk atau dipilih untuk menjadi pemimpin
mereka.8 Mereka pun tidak boleh dipaksa untuk memilih suatu sistem ekonomi, sosial
atau politik yang tidak mereka kenali atau tidak mereka sukai. Mereka berhak
mengontrol serta mengevaluasi pemimpin yang melakukan kesalahan, berhak
melengserkannya dan menggantinya dengan orang lain jika menyimpang.
Dalam negara-negara dengan penduduk mayoritas Muslim, demokrasi hanya
memberikan peluang bagi partai-partai Islam (moderat dan Salafi) untuk merebut
kekuasaan melalui pemilu demokratis. Dengan kerangka demokrasi, dan memenangi
pemilu-seperti terlihat di Tunisia dan Mesir, partai-partai Islam dapat menerapkan
agenda dan program ideologis mereka sendiri, khususnya adopsi pemberlakuan
syariah dalam konstitusi.
Dari sudut pandang Islam, demokrasi menyuguhkan sebuah tantangan yang
sangat berat. Banyak kalangan sarjana Islam yang kembali mengkaji akar dan
khazanah Islam dan secara menyakinkan berkesimpulan bahwa Islam dan demokrasi
tidak hanya kompatibel, sebaliknya, asosiasi keduanya tak terhindarkan, karena
sistem politik Islam adalah berdasarkan pada syura (musyawarah). Khaled Abou el-
Fadl, Ziauddin Sardar, Rachid Ghannoushi, Hasan Turabi, Khursi Ahmad, Fathi
Osman dan Syaikh Yusuf Qaradhawi serta sejumlah intelektual dan sarjana Islam lain
yang bersusah payah mencari titik temu antara dunia Islam dan Barat menuju saling
pengertian yang lebih baik berkenaan dengan hubungan antara Islam dan demokrasi.
Demokrasi dalam arti modern berarti (partisipasi masa, partai politik,
pemilihan umum, dan parlemen), tentu saja, sulit ditemukan dalam tradisi klasik
pemikiran politik Islam. Satu-satunya pengalaman politik Muslim yang mereka
ketahui sebagai model demokrasi yang asli Islam adalah zaman Nabi dan keempat
khalifahnya yang mendapatkan petunjuk yang benar (al-khulafa al-rasyidun), yang
persis adalah contoh paling penting dalam hal legitimasi.
8 Ibnu Taimiyah, “Siyasah Syar’iyah; Etika Politik Islam”, (Surabaya, Penerbit Risalah Gusti,
1995), h. 4.
4
Sebuah pemerintahan akan berjalan efektif, jika dipegang oleh pemimpin-
pemimpin yang amanah. Baik pemerintah daerah maupun pusat. Dalam negara
demokrasi, pemimpin dipilih oleh rakyat melalui mekanisme pemilu. Dengan
harapan, pemilihan umum tersebut akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang sesuai
dengan harapan rakyat, yang lebih mementingkan kepentingan rakyat dari pada
kepentingan kelompok atau dirinya sendiri.
Dalam demokrasi pemilihan umum, prosesnya melibatkan banyak orang
untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan
mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh memilih sesuatu yang tidak mereka sukai.
Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang
tidak disukai oleh makmum di belakangnya.
Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan
dengan Islam. Bahkan amar ma’ruf dan nahi munkar serta memberikan nasihat
kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam. Idealnya, calon pemimpin yang
jadi adalah orang yang berkualitas secara keilmuan dan pengalaman dalam
memimpin.
Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, siapa saja yang
tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang semestinya layak dipilih
menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak
layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada
saat dibutuhkan.
Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan
dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar bin Khattab yang tergabung
dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih
salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak.
Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar
tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka.
Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama
5
dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama
tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas.
Di dalam dunia kontemporer ini diiringi dengan gelombang kebangkitan
Islam di seluruh dunia, membaca karya-karya Yusuf Al-Qaradhawi merupakan salah
satu tuntutan intelektual. Sumbangsih pemikirannya begitu dapat dirasakan
manfaatnya pada setiap tulisannya. Sosok Yusuf Al-Qaradhawi adalah seorang
intelektual Muslim moderat yang namanya mencuat sejak pertengahan tahun 1980-
an.
Yusuf Qaradhawi telah menulis berbagai buku dalam berbagai bidang
kelimuan Islam, seperti bidang sosial, dakwah, fiqh, demokrasi dan lain sebagainya.
Buku karya Qardhawi sangat diminati umat Islam di berbagai penjuru dunia.
Bahkan, banyak buku-buku atau kitabnya yang telah dicetak ulang hingga
puluhan kali dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa.
Tulisannya merefleksikan sikap kemoderatannya dalam memahami Islam,
sebab itu ia menuliskan “al-Sahwah Islamiyah bayn al-Juhud wa al-Tatarruf”, yaitu
kitab buku yang mengulas tentang kebangkitan Islam antara penolakan dan
ekstrimisme, dan juga buku yang berjudul fiqih Negara yang membincangkan tentang
konsep Negara dan beberapa aspeknya, buku Al-Ijtihad fi al-Shari'at al-Islamiah (Ijtihad
dalam syariat Islam).
Pemikiran Yusuf Al-Qaradhawi tentang demokrasi Islam masih banyak lagi
yang dapat ditampilkan ke permukaan. Salah satunya yang akan penulis kembangkan
dalam penelitian ini adalah konsep Yusuf Al-Qaradhawi tentang bagaimana memilih
pemimpin melalui pemilihan umum. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis
akan melakukan penelitian dengan judul “Demokrasi; Pemilihan Umum dan
Kriteria Pemimpin Perspektif Yusuf Al Qaradhawi”.
6
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dideskripsikan tersebut, pokok masalah yang
dihadapi adalah bagaimana pandangan Islam tentang demokrasi dan bagaimana
konsep demokrasi berdasarkan pemikiran Yusuf Al-Qaradhawi, adapun selanjutnya
dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
a. Bagaimana perspektif Yusuf Al-Qaradhawi tentang pelaksanaan demokrasi
melalui pemilihan umum?
b. Apa kriteria pemimpin menurut Yusuf Al-Qaradhawi?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dilakukannya penelitian
ini adalah:
a. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan bagaimana perspektif Yusuf Al-
Qaradhawi tentang pelaksanaan demokrasi melalui pemilihan umum.
b. Untuk mengetahui apa saja kriteria pemimpin menurutYusuf Al-Qaradhawi.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini secara akademis adalah:
a. Bagi penulis, penelitian ini untuk melengkapi salah satu syarat kelulusan
sebagai sarjana humaniora di jenjang strata satu.
b. Diharapkan hasil penelitian ini mampu lebih memperluas wawasan penulis
dan bagi para pembaca umumnya tentang demokrasi melalui pemilihan umum
dan kriteria pemimpin menurut Yusuf Al-Qaradhawi.
D. Tema dan Metode Penelitian
1. Tema Penelitian
Berawal dari sikap sinisme terutama dari kalangan ilmuan Barat yang
menyatakan bahwa Islam tidak relevan dengan demokrasi. Ternyata tidak semua
ilmuan barat yang sependapat tentang hal itu. Robin Wright misalnya, pakar Timur
7
Tengah dan dunia Islam yang cukup terkenal menulis di Journal of Democracy
(1996) bahwa Islam dan budaya Islam bukanlah penghalang bagi terjadinya
modernitas politik.
Keberhasilan Rasulullah SAW untuk hijrah, dari masyarakat jahili menuju
masyarakat madani tidak lepas dari ajaran tauhid yang dibawanya. Dalam hal ini
dokrin tauhid la ilaaha illa Allah (tiada tuhan selain Allah), seperti yang diungkapkan
oleh John Obert Voll adalah bentuk manifestasi penolakan terhadap segala bentuk
loyalitas kelompok dan sewenang-wenang para elit Makkah saat itu. Prinsip inilah
yang melandasi pembentukan masyarakat madani generasi muslim awal, yang punya
implikasi komitmen manusia kepada Allah SWT sebagai satu-satunya tujuan hidup
bersumber nilai.
Dengan semangat ini-lah, Rasulullah SAW berhasil mempersatukan berbagai
unsur masyarakat Madinah pluralistik ke dalam satu kekuatan politik, Robert N
Bellah menyebutnya sebagai lompatan yang luar biasa untuk masa itu. Hal ini
tercermin dari komitmen, keterlibatan dan partisipasi yang tinggi dari anggota
masyarakat, serta penghargaannya terhadap hak-hak individu.
2. Metode Penelitian
Dalam penulisan Skripsi ini, penulis menggunakan penelitian analisis-
deskriptif yang berdasarkan metode historical research. Langkah-langkah yang
penulis harus lalui dalam metode historis ini ada 4 (empat); yaitu, heuristik, kritik
sumber (verifikasi data), interpretasi, dan historiografi.9
a. Heuristik atau Pengumpulan Data
Teknik Heuristik ini berasal dari kata Yunani heurishein, artinya
memperoleh.10
Heuristik adalah suatu teknik, suatu seni, dan bukan suatu ilmu.11
9 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, cet. Ke-2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999), h. 54. 10
Ibid, h. 55. 11
G. J. Renier, Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah, Penerjemah Muin Umar (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1987), h. 113.
8
Oleh karenanya, menurut Dudung Abdurrahman, teknik tidak memiliki peraturan-
peraturan umum dan lebih seringkali merupakan suatu keterampilan dalam
menemukan, menangani, dan memerinci bibliografi, atau mengklasifikasi dan
merawat catatan-catatan.12
Dalam mengumpulkan data-data terkait yang dibutuhkan, penulis
menggunakan teknik library research (riset kepustakaan) dengan sumber-sumber
tertulis, yang dilakukan dengan cara mengumpulkan, membaca, mempelajari, serta
menelaah sumber-sumber terkait. Seperti buku, jurnal, artikel yang selanjutnya
mencatat dengan sistematis hasil penelaahan tersebut.
Untuk kebutuhan heuristik ini penulis melakukan pencarian di Perpustakaan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan mendapatkan beberapa referensi, di antaranya;
buku karangan Yusuf Al-Qaradhawi yang telah diterjemahkan yaitu, Reformasi
Pemikiran Islam Abad 21 penerbit Bina Ilmu, Meluruskan Dikotomi Agama dan
Politik penerbit Pustaka al-Kautsar, Distorsi Sejarah Islam penerbit Pustaka al-
Kautsar, Al-Ghazali Antara Pro dan Kontra penerbit Pustaka Proggresif. Kemudian
beberapa referensi pendukung, berupa; buku karangan Ibnu Taimiyah yang telah
diterjemahkan Siyasah Syar’iyah; Etika Politik Islam penerbit Risalah Gusti,
Pemikiran Politik Islam Tematik yang ditulis Prof. Sukron Kamil penerbit Kencana
Prenada Media Grup, Demokrasi, Oposisi, dan Masyarakat Madani karangan Fahmi
Huwaydi penerbit Mizan, Demokrasi atau Syura karangan Taufiq Muhammad asy-
Syawi penerbit Gema Insani.
Di Perpustakaan Iman Jama’ Lebak Bulus, penulis mendapatkan sumber
primernya, di antaranya; buku karangan Yusuf Al-Qaradhawi yang berjudul Min Fiqh
ad-Daulah fil-Islam Makanutuha, Ma’alimuha, Thabi’atuha, Manfiquha min ad-
Dimaqratiyah wa at-Ta’addudiyah wal-Maar’ah Khairul Muslimin yang telah
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang berjudul, Fiqih Daulah dalam Perspektif
al-Quran dan Sunnah penerbit Pustaka al-Kautsar tahun 1997, Pedoman Bernegara
12
Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, h. 55.
9
Dalam Perspektif Islam penerbit Pustaka al-Kautsar, Sekular Ekstrim penerbit
Pustaka al-Kautsar.
b. Verifikasi Data
Di tahap kedua ini, penulis akan menilai dan menyeleksi keotentisitasan data-
data yang telah terkumpul, selanjutnya dimasukkan sebagai bahan rujukan utama dan
data penunjang untuk tema yang penulis angkat.
c. Interpretasi
Memberikan penafsiran atau analisis dan mensintesis dengan melakukan
komparasi terhadap data-data yang telah didapat dan diseleksi, sehingga menjadi
sebuah kesatuan yang masuk akal.
d. Historiografi
Setelah melakukan ketiga tahapan di atas, penulis akan merekonstruksi
penggalan-penggalan sejarah yang masih terserak, sehingga menjadi suatu kesatuan
yang utuh dan jelas dalam bentuk tulisan karya ilmiah yang sesuai etika dan aturan
yang berlaku
E. Sumber Data
Sumber data didasarkan atas informasi yang dimuat dalam literatur-literatur
kepustakaan. Data primer berupa buku terjemahan karya Qaradhawi (1997, 1998,
2000, 2005, 2008) yaitu Fiqih Daulah, Pedoman Bernegara Dalam Perspektif Islam,
Meluruskan Dikotomi Agama & Politik serta Sekular Ekstrim. Sumber-sumber
tersebut diperoleh dari beberapa tempat; dari perpustakaan utama UIN Jakarta,
perpustakaan Iman Jama’, serta beberapa koleksi buku yang dimiliki relasi.
Sedangkan data sekunder diperoleh dari literatur yang relevan dengan Islam, dan
demokrasi.
F. Tinjauan Pustaka
Dalam penulisan karya ilmiah ini, sebelum penulis mengadakan penelitian
lebih lanjut dan menyusun menjadi sebuah karya ilmiah berupa skripsi, maka
10
sebelumnya penulis mengkaji tulisan orang lain terdahulu baik berupa jurnal maupun
skripsi. Berikut adalah judul-judul jurnal dan skripsi; di antaranya Jurnal
HUMANIORA Vol.4 No.2 Oktober 2013, dengan judul “Pluralisme Agama Dan
Toleransi Dalam Islam Perspektif Yusuf Al-Qaradhawi”, yang ditulis oleh Sukron
Ma’mun. Permasalahan yang di angkat menjadi topik adalah perbedaan yang terdapat
di suatu bangsa baik itu agama, suku, dan ras, dapat menimbulkan konflik dan
kerusuhan di negara tersebut, misalnya yang disebabkan oleh sentimen-sentimen
keagamaan. Hal menunjukkan bahwa secara umum masyarakat memang kurang
memahami tentang makna pluralisme agama dan hidup secara bersama dengan rukun
antar pemeluk agama. Dalam negara demokrasi, pluralime pasti ditemukan di negara
tersebut. Berdasarkan hasil penelitian dalam pandangan Qaradhawi, pluralitas di
antara manusia terutama dalam beragama terjadi karena kehendak Allah SWT.
Berkaitan dengan masalah toleransi keagamaan, Qaradhawi mengatakan bahwa Islam
sejak awal telah menanamkan dalam jiwa setiap muslim sebuah kebanggaan terhadap
akidah Islam dan bersikap toleran terhadap orang-orang yang berbeda. Adapun
hikmah yang lain adalah karena manusia diperintahkan mencari ilmu, diberikan
pilihan, membenarkan sebagian kemungkinan yang lebih benar dan tidak dipaksa
oleh Allah SWT. Beberapa hal ini menyebabkan mereka berbeda dalam menyiapkan
perbekalan, menuntut ilmu, dan menentukan pilihan.
Jurnal kedua, Jurnal Syariah, Juli 2016, dengan judul “Pengisian Jabatan
Kepala Negara: Analisa Terhadap Kriteria Calon Dan Sistem Pemilihan Dalam
Perspektif Islam”, yang ditulis oleh Ghunarsa Sujatnika. . Permasalahan yang di
angkat menjadi topik adalah banyaknya konsep pemilihan kepala negara di dalam
Islam ini tidak terlepas dari pemahaman bahwa di dalam Islam, adanya seorang
pemimpin atau Khalifah merupakan suatu hal yang sangat esensi. Berdasarkan hasil
penelitian, Imam Al- Mawardi berpendapat bahwa terdapat beberapa syarat bagi
orang yang berhak dicalonkan sebagai kepala negara, yakni: 1. Adil dengan syarat-
syaratnya yang universal dan memenuhi semua kriteria; 2. Ilmu yang mampu
11
membuatnya berijtihad terhadap kasus-kasus dan untuk membuat kebijakan hukum;
3. Sehat inderawi; pancainderanya lengkap dan sehat dari pendengaran, penglihatan,
lidah, dan sebagainya sehingga ia dapat menangkap dengan benar dan tepat apa yang
ditangkap oleh inderanya itu,; 4. Sehat organ tubuh dari cacat yang menghalanginya
bertindak dengan cepat dan sempurna; 5. Wawasan yang membuatnya mampu
memimpin rakyat dan mengelola semua kepentingan rakyat dan mewujudkan
kemaslahatan mereka; 6. Berani dan ksatria yang membuatnya mampu melindungi
wilayah negara; dan melawan musuh; 7. Nasab yang berasal dari suku Quraisy.
Jurnal ketiga yaitu Studia Islamika, Vol. 24, No. 1, 2017 dengan judul “Islam,
Demokrasi, dan Institusi Politik di Indonesia, Turki, dan Dunia Islam” yang
ditulis oleh Rangga Eka Saputra. Tulisan ini adalah review buku yang ditulis oleh
Edward Schneier (2016) yang berjudul “Muslim Democracy: Politics, Religion and
Society in Indonesia, Turkey and the Islamic World”. New York: Routledge. Dengan
menggunakan metode statistik perbandingan dan studi kasus di Indonesia dan Turki,
Schneier berargumen bahwa variabel-variabel seperti perbedaan kolonialisasi,
sejarah, geopolitik dan pembangunan ekonomi merupakan faktor utama yang
menjelaskan keberhasilan dan kegagalan demokratisasi di dunia Muslim. Faktor-
faktor tersebut juga menentukan kemampuan negara demokrasi baru di dunia Islam
dalam membangun Institusi politik yang kompeten –legislatif, birokrasi, dan partai
politik–, membuat lembaga peradilan yang terpercaya serta mendesak militer tunduk
pada supremasi sipil, sehingga memungkinkan demokrasi berhasil.
Jurnal keempat yaitu Jurnal Cita Hukum, Vol. I No. 2 Desember 2013.
Penelitian ini ditulis oleh Muhammad Hanafi dengan judul “Kedudukan
Musyawarah Dan Demokrasi Di Indonesia”. Permasalahan yang di angkat menjadi
topik adalah bahwa bangsa Indonesia lahir terlebih dahulu sebelum terbentuknya
Negara Indonesia. Soekarno menegaskan, bahwa Negara Kesatuan ialah Negara
Kebangsaan. Tujuan bangsa Indonesia adalah merdeka, dan membentuk negara
memiliki satu cita-cita, kehendak untuk mengangkat harkat dan martabat hidup rakyat
Indonesia. Bangsa Indonesia telah hidup pada kondisi tatanan kehidupan seolah-olah
12
sama dengan negara demokrasi, ialah negara dulu terbentuk baru bangsanya
dilahirkan kemudian. Sehingga kedaulatan rakyat Indonesia yang berdasarkan prinsip
musyawarah-mufakat dan perwakilan belum mampu terealisasi.
Selain jurnal, penulis juga mencantumkan judul skripsi sebagai penelitian
terdahulu, di antaranya “Partisipasi Politik Muslimah dalam Pandangan Yusuf
Qaradhawi” yang ditulis oleh Rashda Diana, Mahasiswi Institut Studi Islam
Darussalam (ISID) Gontor. Perbedaan antara Qaradhawi dan ulama lain yang
melarang partisipasi politik muslimah, lebih disebabkan oleh perbedaan sudut
pandang dalam memahami suatu dalil. Dalam konteks ini, Qaradhawi memakai cara
sintesa, memadukan antara Tradisionalisme dan Neo-Tradisionalisme. Menurutnya,
yang mendesak diperbarui bukan dalam tataran syari’ah teoritis, melainkan pada
ranah terapan dan implementasi hukum Islam itu. Krisis yang menimpa umat Islam
modern bukan pada lemahnya kajian terhadap pemikiran dan khazanah keilmuan
dalam Islam, karena mengamalkan teori dan metodologi produk ulama klasik,
melainkan karena lemah dalam artikulasi konsep dan implementasinya, disebabkan
oleh pembaruannya yang bersifat elektikal, prosedural dan teknikal. Maka,
Qaradhawi menegaskan tidak perlu merekonstruksi konsep hukum Islam masa lalu,
melainkan cukup memasukkannya dengan penemuan ilmu pengetahuan modern yang
tetap berpijak pada paradigma dan teori hukum Islam masa lalu.
Kedua yaitu Yadi Ariyanto Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin.
NIM 0201135075 dengan judul “Pemikiran Yusuf Al-Qardhawi mengenai sikap
politik muslim dan non muslim”. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini
adalah mengenai sikap dan tindakan politik orang-orang Muslim (Islam) terhadap
orang-orang non Muslim baik itu dalam hubungan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara serta berhubungan dengan negara lain. Berdasarkan hasil penelitian
Qaradhawi menyatakan bahwa sikap politik Muslim terhadap non Muslim dalam
bernegara sama dengan melakukan hubungan muamalah dan Muslim harus berlaku
baik terhadap sesama manusia.
13
Ketiga skripsi dengan judul“Pemikiran Yusuf Al-Qardhawi Tentang Islam
dan Politik” yang di tulis oleh Mulianti, Universitas Islam Negeri Antasari
Banjarmasin NIM 0301135740. Permasalahan yang diangkat adalah bahwa Islam
tidak dapat dipisahkan dengan yang namanya politik, artinya saling mempunyai
keterkaitan antara satu dengan yang lain karena dalam Islam tidak hanya mengatur
masalah agama melainkan mengatur aspek kehidupan bernegara. Berdasarkan hasil
penelitian bahwa Qaradhawi menyatakan bahwa umat Islam harus melakukan dan
ikut serta dalam kegiatan politik. Syariat Islam dapat ditegakkan di tangan penguasa
yang menjunjung tinggi Al-Qur’an dan Hadits.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam pembahasan, Sistematika penulisan ini dibagi
menjadi lima bab, adapun pembahasannya sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tema dan metode penelitian, sumber data, tinjauan pustaka, dan
sistematika penulisan.
BAB II RIWAYAT HIDUP DAN KARYA-KARYA YUSUF AL-QARADHAWI
Pada bab ini memuat tentang profil Yusuf Al-Qaradhawi, karir dan aktifitas,
pengaruh para gurunya terhadap pemikiran Yusuf Al-Qaradhawi, serta karya-
karya Yusuf Al-Qaradhawi.
BAB III WACANA DEMOKRASI DALAM ISLAM
Bab ini berisi beberapa Pendapat tokoh Intelektual Muslim tentang demokrasi
dan syura serta demokrasi dalam perspektif Yusuf Al Qaradhawi.
BAB IV PEMILIHAN UMUM DAN KRITERIA PEMIMPIN PERSPEKTIF
YUSUF AL QARADHAWI
Dalam bab ini penulis membahas tentang konsep dan beberapa langkah dalam
memilih pemimpin pada masyarakat Islam serta kriteria dan tujuan pemimpin
menurut perspektif Yusuf Al Qaradhawi.
14
BAB V PENUTUP
Bab ini merupakan penutup dari skripsi, yang di dalamnya menguraikan
tentang kesimpulan dari pembahasan serta saran.
15
BAB II
RIWAYAT HIDUP DAN KARYA-KARYA YUSUF AL-QARADHAWI
A. Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Yusuf Mustofa Al-Qaradhawi, selanjutnya dalam
pembahasan ini digunakan “Qaradhawi” untuk menyingkat penyebutan. Qaradhawi
lahir di daerah Safat Turab, Mesir pada tanggal 9 September 1926.1 Ia berasal dari
keluarga yang taat menjalankan ajaran agama Islam. Ketika berusia dua tahun,
ayahnya meninggal dunia. Sebagai anak yatim, ia diasuh dan dididik oleh pamannya
yang bernama Syaikh Thantawi Murad.2
Ketika berusia lima tahun, ia dididik menghafal al-Qur’an secara intensif oleh
pamannya. Pada usia sepuluh tahun ia sudah menghafalkan seluruh al-Qur’an dengan
fasih. Setelah menamatkan pendidikan di Ma'had Thantha dan Ma'had Tsanawi
Qaradhawi terus melanjutkan ke Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar Kairo di
Mesir dan lulus pada tahun 1952-1953 dengan predikat terbaik. Setelah itu ia
melanjutkan pendidikannya di jurusan Bahasa Arab selama dua tahun. Di jurusan ini
ia lulus dengan peringkat pertama di antara lima ratus mahasiswa. Kemudian ia
melanjutkan studinya ke Lembaga Tinggi Riset dan Penelitian Masalah-masalah
Islam dan Perkembangannya selama tiga tahun. Pada tahun 1960 Qaradhawi
memasuki pascasarjana (Dirasahal-„Ulya) di Universitas al-Azhar Kairo, di fakultas
ini ia memilih jurusan Tafsir-Hadits atau jurusan Akidah-filsafat.3
Setelah itu ia melanjutkan program doktor dan menulis disertasi berjudul Fiqh
az-Zakat (Fiqih zakat) yang selesai dalam dua tahun, terlambat dari yang
direncanakan semula karena sejak tahun 1949-1956, ia ditahan (masuk penjara) oleh
1 A.M. Fatwa, Kata Pengantar dalam Yusuf al-Qaradhawi, “Meluruskan Dikotomi Agama dan
Politik”, Cet. Ke-1, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008), h. xi. 2 Yusuf al-Qaradhawi, “Al-Ghazali Antara Pro dan Kontra”, terj. Hasan Abrori, Jilid 1
(Jakarta: Pustaka Progressif, 1997), h. vi. 3 A.M. Fatwa, Kata Pengantar dalam Yusuf al-Qaradhawi, “Meluruskan Dikotomi Agama dan
Politik, h. v.
15
16
penguasa militer Mesir karena dituduh mendukung gerakan Ikhwanul Muslimin,
setelah keluar dari tahanan, ia hijrah ke Doha, Qatar dan di sana ia bersama teman-
teman seangkatannya mendirikan Ma’had-Din (Institusi Agama). Madrasah inilah
yang menjadi cikal bakal lahirnya Fakultas Syariah Qatar yang kemudian
berkembang menjadi Universitas Qatar dengan beberapa Fakultas. Qaradhawi sendiri
duduk sebagai dekan Fakultas Syariah pada universitas tersebut.
Dalam perjalanan hidupnya, Qaradhawi pernah merasakan "pesantren"
penjara saat mudanya.ketika Mesir diperintah Raja Faruk, dia masuk bui tahun 1949,
saat umurnya masih dua puluh tiga tahun, karena keterlibatannya dalam pergerakan
Ikhwanul Muslimin. Pada April tahun 1956, ia ditangkap lagi saat terjadi Revolusi
Juni di Mesir. Beberapa bulan berikutnya, ia kembali mendekam di hotel prodeo
selama dua tahun.4 Qaradhawi dikenal dengan khutbah-khutbahnya yang berani
sehingga sempat dilarang sebagai khatib di sebuah masjid di daerah Zamalik.
Alasannya, khutbah-khutbahnya dinilai menciptakan opini umum tentang
ketidakadilan rezim saat itu.5
Qaradhawi memiliki tujuh anak, empat putri dan tiga putra. Sebagai seorang
ulama yang sangat terbuka, dia membebaskan anak-anaknya untuk menuntut ilmu apa
saja sesuai dengan minat dan bakat serta kecenderungan masing-masing. Hebatnya
lagi, dia tidak membedakan pendidikan yang harus ditempuh anak-anak
perempuannya dan anak laki-lakinya. Salah seorang putrinya memperoleh gelar
doktor fisika dalam bidang nuklir dari Inggris. Putri keduanya memperoleh gelar
doktor dalam bidang kimia juga dari Inggris, sedangkan salah seorang puteranya
menempuh S3 di bidang teknik elektro di Amerika. Dilihat dari beragamnya
pendidikan anak-anaknya, orang-orang bisa membaca sikap dan pandangan
Qaradhawi terhadap pendidikan modern. Oleh karenanya Qaradhawi merupakan
seorang ulama yang menolak pembagian ilmu secara dikotomis. Semua ilmu bisa
Islami dan tidak Islami, tergantung kepada orang yang memandang dan
4 Ibid, h. xiii.
5 Ibid, h. xiv.
17
mengamalkannya. Pemisahan ilmu secara dikotomis itu, menurut Qaradhawi, telah
menghambat kemajuan umat Islam.6
B. Karir dan Aktivitas
Jabatan struktural yang sudah lama dipegangnya adalah ketua Jurusan Studi
Islam pada Fakultas Syariah Universitas Qatar dari tahun 1977 hingga akhir tahun
ajaran 1989-1990. Sebelumnya ia adalah kepala sekolah menengah di Qatar pada
tahun 1961.
Sebagai warga Negara Qatar dan ulama kontemporer Qaradhawi sangat
bersahaja dalam usaha mencerdaskan bangsanya melalui berbagai aktivitasnya di
bidang pendidikan, baik formal maupun non-formal. Dalam bidang dakwah, ia aktif
menyampaikan pesan-pesan keagamaan melalui program khusus diradio dan televisi
Qatar, antara lain melalui acara mingguan yang diisi dengan tanya jawab tentang
keagamaan.
Melalui bantuan universitas, lembaga-lembaga keagamaan, dan yayasan Islam
didunia Arab, Qaradhawi sanggup melakukan kunjungan ke berbagai negara-negara
baik Islam maupun non-Islam untuk mengisi ceramah keagamaan. Pada tahun 1989 ia
pergi ke Indonesia. Dalam berbagai kunjungannya ke negara-negara lain, ia aktif
mengikuti berbagai kegiatan ilmiah, seperti seminar tentang Islam serta hukum Islam,
misalnya seminar hukum Islam di Libya, muktamar I tarikh Islam di Beirut,
Muktamar Internasional I mengenai ekonomi Islam di Mekkah, dan Muktamar
hukum Islam di Riyadh.7
C. Pengaruh Guru terhadap pemikiran Qaradhawi
Menurut pendapat para intelektual Muslim yang mengetahui dan mengenal
pemikiran Qaradhawi, pemikirannya banyak dipengaruhi oleh guru-gurunya antara
6 Ibid, h. xiv.
7 Abdul Aziz Dahlan, (ed.), “Yusuf al-Qaradhawi; Ensiklopedi Hukum Islam”, h. 1448-1449.
18
lain Hasan Al-Banna, Syaikh Mahmud Syaltut, Syaikh Muhammad Al Ghazali,
Syaikh Muhammad bin Baz dan guru-guru yang lainnya.
a. Syaikh Muhammad Al Ghazali (450 H- 505 H)
Al Ghazali yang mempunyai nama asli Muhammad ath-Thusi telah banyak
memberikan pengaruh di dalam perkembangan teori ilmu pengetahuan maupun amal
perbuatan. Di mana pengaruhnya-seperti diakui Qaradhawi belum pernah dimiliki
oleh ulama sebelum maupun sesudahnya. Pemikirannyapun banyak dipengaruhi oleh
pemikiran Muhammad Al Ghazali, kecintaannya kepada Al Ghazali diekspresikan
dengan menulis sebuah buku yang berjudul Al-Imam Al-Ghazali Baina Maadihihi wa
Naaqidiihi- Al Ghazali Antara Pro dan Kontra. Qaradhawi memaparkan pandangan
terhadap pemikiran Al-Ghazali ada yang pro dan kontra, namun sebagai murid Al-
Ghazali ia sangat mengambil manfaat dari ilmunya.8
Bagi Qaradhawi, Al Ghazali dikenal kebenarannya, kebenaran yang bukan
karena individunya. Sebab menurut Qaradhawi, setiap pribadi manusia memiliki
kelemahan yang tentu dapat dikritik. Tidak ada manusia yang terjaga dari kesalahan,
kecuali Rasulullah saw.9
Qaradhawi mengatakan, bahwa tidak ada larangan bagi setiap Muslim untuk
melakukan ijtihad yang terbuka untuk salah benar sedangkan orang yang berpendapat
demikian akan selalu mendapat ganjaran, baik perkataan itu salah maupun benar,
sebagai mana yang diketahui bersama.10
Qaradhawi mengingatkan dalam menilai sesuatu harus penuh dengan
kesadaran dan ketenangan, khusus dalam menilai karya-karya dan pemikiran Al-
Ghazali. Bahwa tidak dibenarkan untuk menghilangkan keutamaannya begitu saja,
hal ini dikarenakan karya Al-Ghazali sangat besar dan banyak. Meski terdapat
8 Yusuf al-Qaradhawi, “Al-Ghazali Antara Pro dan Kontra”, h. 33.
9 Ibid, h. 33-34.
10 Ibid, h. 35.
19
kesalahan dalam pemikirannya, kita tidak bisa begitu saja meniadakan keutamaan
serta ketinggian martabat Al-Ghazali.11
b. Syaikh Mahmud Syaltut (1893 M-1963 M)
Selain Hasan Al Banna, ada pula salah seorang yang mempengaruhi
pemikiran Qaradhawi yaitu Mahmud Syaltut, Syaikh jami’ Al Azhar. Qaradhawi juga
menghimpun pemikiran-pemikiran Syaltut baik bidang fiqh maupun dalam bidang
tafsir Al Qur’an. Walaupun demikian rasa cinta serta kagum Qaradhawi kepada
Syaltut tidak menghalanginya untuk berbeda pendapat dengannya dalam beberapa
masalah seperti dalam bukunya al Halal wa al Haram fi al-Islam.
Qaradhawi menyatakan “barang siapa yang menyembah Syaikh Syaltut, maka
hendaknya ia tahu bahwa Syaikh Syaltut akan mati, dan barang siapa yang
menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tidak akan pernah
mati”. Qaradhawi juga menyatakan bahwa Syaikh Syaltut juga tidak memerintahkan
seseorang untuk bertaklid kepadanya.12
c. Hasan Al Banna (1906 M- 1949 M)
Selain sebagai akademisi produktif, Qaradhawi menjalin hubungan dengan
Ikhwanul Muslimin, bahkan hubungan tersebut sudah terjalin sejak ia masih menjadi
mahasiswa, Qaradhawi sangat mengagumi pemimpin dan pendirinya Syaikh Hasan
Al Banna.
Dalam banyak kesempatan, Qaradhawi mengatakan bahwa ia tidak pernah
terpengaruh dengan seseorang yang hidup lebih dari keterpengaruhannya oleh Hasan
Al Banna, ia seringkali menjadikan perkataan Hasan Al Banna sebagai contoh dalam
mengemukakan suatu masalah.
Kecintaan ini ditampakkan dengan memberi penjelasan secara rinci kepada
buku Al-Usul „Isyriin, dan mempersembahkan kumpulan sya’irnya berjudul Al-
11
Ibid, h. 36. 12
Ani Fatikha, “Sistem Pendidikan Islam Menurut Yusuf al Qaradhawi dan Relevansinya
dengan Sistem Pendidikan Islam Indonesia”, Skripsi, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga 2012), h. 35.
20
Muslimun Qadimun, untuk Hasan Al-Banna, dan mengatakan “Saya tidak pernah
memuji seorang pun dalam muatan sya’ir kecuali kepada Hasan Al-Banna”.13
Namun demikian Qaradhawi tidak memposisikan dirinya sebagai seorang
yang mencintai yang karena cintanya itu telah menjadikannya tidak lagi memiliki
independensi dalam pendapat dan pandangannya, atau tidak mampu berbeda dengan
yang dicintainya. Dalam beberapa pandangan antara Qaradhawi dengan Hasan Al
Banna yang paling jelas adalah dalam masalah “multi partai dalam negeri Islam”.
Pandangan Hasan Al Banna menolak berdirinya partai-partai dalam satu negeri Islam,
namun Qaradhawi menyatakan boleh dengan syarat yang ia jelaskan secara rinci.14
D. Karya-karya Qaradhawi
Pemahaman bernegara adalah merupakan permasalahan yang membelenggu
masyarakat dan umat Islam terutamanya untuk sekian lama. Dalam membantu umat
agar mempunyai pemahaman yang tepat mengenai aspek kenegaraan dari perspektif
Islam, Qaradhawi telah menulis buku, di antaranya berjudul:
1. “Min Fiqh al-Daulah”
Dalam buku ini ditulis secara terperinci perspektif Syari’ah mengenai ilmu
kenegaraan. Dengan gaya penulisan yang mudah dan menarik, Qaradhawi
membincangkan beberapa aspek kenegaraan. Antara aspek yang dibincangkan ialah
keberadaan politik di dalam Islam, penyatuan Islam dan politik, perbincangan tentang
negara Islam, konsep asas pemerintahan Islam, hak wanita sebagai pemimpin dan ahli
politik, hak non-muslim di dalam pemerintahan Islam, demokrasi dalam Islam, sikap
Islam terhadap pemilu, demonstrasi dan parlemen serta kepentingan umat.15
Kesemua
aspek ini merupakan hal yang dihadapi dan dilalui oleh umat Islam. Pemahaman
kenegaraan terhadap semua aspek ini adalah sangat penting untuk memastikan
keharmonisan hidup bermasyarakat.
13
Ibid, h. 33. 14
Ibid, h. 34. 15
Yusuf al-Qaradhawi, “Fiqih Daulah dalam Perspektif al Qur‟an dan Sunnah”, terj. Kathur
Suhardi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997), h. 181-248.
21
Qaradhawi berpendapat bahwa tidak ada nash yang melarang tentang
eksistensi sebuah partai politik dalam kehidupan bernegara umat Islam.16
Menurutnya
partai-partai tersebut bisa diibaratkan dengan mazhab-mazhab dalam kancah politik,
sebagaimana mazhab-mazhab yang bisa diibaratkan dengan partai-partai dalam
kancah fiqih. Oleh karena itu, partai-partai ini bisa diserupakan dengan mazhab dalam
politik, yang memiliki filsafat, dasar dan sistem yang didasarkan kepada Islam.17
Qaradhawi juga mengemukakan bahwa sebuah partai atau multi partai itu
harus mengakui Islam sebagai akidah dan syari'ah, dalam arti partai tersebut tidak
memusuhi dan tidak menolak Islam, kemudian partai itu tidak bekerja atas nama
pihak yang memusuhi Islam dan umatnya.18
2. “As-Siyasah Asy-Syar‟iyah”
Karya Qaradhawi lainnya yaitu yang diterjemahkan menjadi “Pedoman
Bernegara dalam Perspektif Islam”. Politik itu harus sejalan dengan syariat, bahkan
merupakan bagian darinya.19
Seorang pemimpin atau kepala negara dapat dipilih melalui berbagai macam
cara. Jika dilihat dalam realitas beberapa abad terakhir ini, maka akan dilihat dan
disaksikan bahwa kedudukan seorang kepala negara dapat diraih salah satunya
dengan perantara sebuah partai politik. Tujuan sebenarnya dibentuk partai dalam
konteks politik pada umumnya adalah untuk menghadirkan atau memilih seorang
kepala negara, dan juga sebagai kelompok oposisi dalam pemerintahan, terutama
terhadap lembaga legislatif. Karena hanya dengan kedudukan kepala negara atau
lembaga legislatif suatu otoritas atau kekuasaan politik dapat diraih.
Kuatnya penegakan agama harus ditopang dengan kekuasaan yang kuat juga.
Kedua hal ini merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dengan demikian,
harus kembali pada politik menurut perspektif syariat ialah yang menjadikan syariat
16
Ibid, h. 208. 17
Ibid, h. 214. 18
Ibid, h. 208. 19
Yusuf al-Qaradhawi, “Pedoman Bernegara Dalam Perspektif Islam”, terj. Kathur Suhardi,
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999), h. 40.
22
sebagai pangkal tolak, kembali dan bersandar kepadanya, mengaplikasikannya di
muka bumi, menancapkan ajaran-ajaran dan prinsip-prinsipnya di tengah manusia,
sekaligus sebagai tujuan dan sasarannya, sistem dan jalannya.20
3. “Ad-Din wa As-Siyasah”
Buku karangan Qaradhawi ini diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi
“Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik”. Buku ini menjelaskan tentang tidak
adanya dikotomi (pemisahan) antara Islam dan politik, bagaimana korelasi antara
agama dan politik, agama dan negara dalam Islam, dan sekularisme Islam.
Kehidupan manusia akan lebih baik bila dalam kehidupan politik mengikuti
norma agama dan kaidah-kaidah etika, yaitu sistem politik yang komitmen terhadap
pertimbangan baik dan buruk serta kebenaran dan kemunkaran, ketika dihubungkan
dengan agama, politik berarti keadilan untuk rakyat, persamaan hak antar manusia,
membantu rakyat yang teraniaya dan menghukum pelaku kejahatan, memberikan
kesempatan yang sama antar individu, melindungi sosial rakyat bawah anak yatim,
fakir miskin serta memenuhi hak-hak banyak orang.21
Masuknya agama dalam dunia politik akan memberikan pengaruh positif.
Agama yang benar tidak akan menerima segala bentuk kedzaliman, penipuan dan
penindasan. Jika agama masuk dalam dunia politik, akan senantiasa mencapai tujuan
utama yaitu mengesakan Allah, menciptakan umat yang istiqamah yang senantiasa
beribadah kepada Allah, menjadi khalifah yang menegakkan keadilan, mempererat
hubungan keluarga, meningkatkan solidaritas masyarakat, mendamaikan kehidupan
yang harmonis.22
4. “At-Tatharufu Al-„Ilmani fi Muwajahati Al-Islam”
Buku karya Qaradhawi lainnya adalah yang diartikan sebagai “Sekular
Islam”.
20
Ibid, h. 33. 21
Yusuf al-Qaradhawi, “Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik”, terj. Khairul Amru
Harahap, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008), h. 78. 22
Ibid, h. 78.
23
Sekularisme yakni memisahkan agama dari kehidupan setiap individu orang
atau sosial dalam artian agama tidak boleh ikut berpartisipasi dan berperan dalam
pendidikan, kebudayaan maupun dalam hukum. Dalam kata lain Sekularisme berarti
tidak disertakannya Allah dalam hukum dan undang-undang manusia itu. Allah tidak
diperkenankan untuk mengatur mereka seolah-olah mereka sendiri adalah Tuhan-
Nya, bertindak semaunya dan mengatur hukum berdasarkan keinginan mereka.
Sekularisme sangat bertentangan dengan syariat Islam, karena syariat Islam
mempunyai tugas yaitu mengeluarkan manusia dari belenggu hawa nafsunya menuju
tuntunan Khaliq.23
Pada mulanya umat Islam mengenal pemisahan agama dari kehidupan setelah
penjajah menguasai negara-negara Islam. Mereka melakukan apa saja demi
memisahkan agama dari kehidupan yang ketika itu menyatu kuat dalam rangka
melangsungkan kekuasaannya. Para penjajah memotong syariat Islam sehingga
syariat Islam itu hanya ada dalam lingkup keluarga saja, sedangkan dalam lingkup
yang lebih luas diganti dengan undang-undang ciptaan manusia. Tatakrama, nilai-
nilai akhlak Islam terpinggirkan, dan digantikan dengan tatakrama asing dalam hal ini
budaya barat. Di antaranya yaitu tradisi menutup aurat dan budaya malu, yang
menjadi cermin adab Islami. Tradisi tersebut secara bertahap digantikan oleh tabarruj
dan buka aurat. Selain itu pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan (ikhtilath)
dibiarkan, perzinaan dianggap hal biasa, minuman keras diperjual-belikan, riba dan
sebagainya.24
23
Yusuf al-Qaradhawi, “Sekular Ekstrim”, terj. Nabhani Idris, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
2000), h. 3. 24
Ibid, h. 106.
24
BAB III
WACANA DEMOKRASI DALAM ISLAM
A. Pandangan Intelektual Muslim Tentang Demokrasi
Demokrasi selalu muncul sebagai isu sentral dalam setiap episode sejarah
peradaban manusia dan merupakan satu-satunya isu dan wacana yang mampu
menyatukan cita ideal manusia sejagad karena wacana demokrasi mampu melintasi
batas-batas geografis, suku bangsa, agama, dan kebudayaan. Menanggapi
permasalahan ini, kalangan intelektual Muslim saling berbeda pendapat.
1. Kelompok yang Berpendapat Bahwa Demokrasi dan Syura Sama Tetapi
Berbeda
Kelompok pertama, sebagian dari mereka memandang demokrasi dan syura
adalah dua hal yang identik akan tetapi terdapat juga perbedaan. Di antara
cendekiawan Muslim yang beranggapan demikian adalah Imam Khomeini. Ia
mengatakan bahwa di satu sisi Iran menganggap bahwa Tuhan sebagai penguasa
mutlak yang semua perintah-Nya harus diikuti, sedangkan di sisi lain sebagai negara
republik, Iran memandang perlunya partisipasi rakyat di bidang politik, ekonomi,
sosial, dan budaya, seperti lewat pemilu untuk memilih wakil mereka di parlemen,
pemilu presiden. Pemerintah Iran merupakan pemerintahan hukum Tuhan atas
manusia sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, tetapi juga dengan parlemen yang
bertugas menyusun program untuk berbagai kementerian, dengan kekuasaan tertinggi
di tangan seorang faqih.1
Cendekiawan Muslim lainnya yang masuk dalam kelompok ini adalah Taufiq
asy-Syawi dalam terjemahan bukunya “Fiqh al- Shura wa al-Istisharah” ia
mengatakan bahwa demokrasi merupakan bentuk syura versi Eropa. Meskipun
begitu, demokrasi tidak sama dengan syura karena tidak berpegang pada dasar syariat
Islam. Menurutnya, demokrasi konvensional sangat rentan terhadap perilaku diktator,
1 Sukron Kamil, “Pemikiran Politik Islam Tematik”, h. 51-53.
24
25
karena demokrasi memungkinkan penguasa melakukan upaya tertentu merebut dan
mempengaruhi kekuasaan legislatif, lalu menciptakan undang-undang tersendiri yang
berfungsi untuk memperluas kekuasaannya. Dengan begitu ia menegaskan bahwa
sistem syura sebenarnya telah melangkah lebih maju dibanding sistem demokrasi
modern, karena sistem syura mewajibkan para penguasa berpegang pada syariat atau
sumber samawi yang lebih tinggi dari penguasa yang tidak memungkinkan mereka
mencampurinya, sekalipun pada persoalan yang tidak dijelaskan secara pasti, karena
itu wewenang ulama.2
Menurut Abu al-A’lâ al- Maududi, pendiri partai Jamati Islami, ada kemiripan
wawasan antara demokrasi dan Islam. Menurutnya ada kesamaan dengan Islam dalam
hal wawasan tentang keadilan, persamaan, akuntabilitas pemerintahan, musyawarah,
tujuan Negara, dan hak-hak oposisi.3
Abu al-A’lâ al- Maududi menambahkan istilah “teokrasi” lebih tepat sebagai
sebutan sistem Islam. Abu al-A’lâ al- Maududi lebih nyaman menyebut pemerintahan
Islam dengan sebutan, “teokrasi demokratis” atau Theodemokratis yaitu
pemerintahan yang berdasarkan ketuhanan yang bersifat demokratis”. Dalam hal ini
dikarenakan kaum Muslim diberikan wewenang, dan kekuasaan eksekutif tidak boleh
dijabat kecuali dengan melalui pemilihan kaum muslimin. Mereka berwenang untuk
menurunkan para eksekutif tersebut dari jabatannya.4
2. Kelompok yang Berpendapat Bahwa Demokrasi dan Syura saling
berlawanan
Kelompok ke dua, sebagian yang lain memandang berbeda yakni syura dan
demokrasi adalah dua hal yang saling berlawanan dan harus ditolak. Di antara
cendekiawan Muslim yang masuk dalam kategori ini adalah Syaikh Fadhallah Nuri,
2 Taufiq asy-Syawi, “Syura Bukan Demokrasi”, terj. Djamaluddin ZS (Jakarta: Gema Insani
Press, 2013), h. 18-20. 3 Sukron Kamil, “Pemikiran Politik Islam Tematik”, h. 97.
4 Fahmi Huwaydi, “Demokrasi, Oposisi, dan Masyarakat Madani”, terj. M. Abdul Ghofar
(Bandung: Mizan, 1996), h. 202-203.
26
Sayyid Qutub, Ali Benhadj, Abd. Al-Qadim Zallum, dan Taufiq Muhammad asy-
Syawi.
Menurut Syaikh Fadhallah Nuri, demokrasi adalah persamaan semua warga
Negara, dan hal ini menurutnya sangatlah tidak mungkin dalam Islam. Dalam
demokrasi, perbedaan luar biasa yang tidak mungkin dihindari pasti terjadi. Misalnya,
antara yang beriman dan tidak beriman, antara yang kaya dan miskin, antara faqih
(ahli hukum) dan penganutnya. Tidak hanya itu, ia juga menolak legislasi oleh
manusia. Agama Islam menurutnya tidak memiliki kekurangan yang memerlukan
penyempurnaan dan dalam Islam tidak ada seorang pun yang diizinkan mengatur
hukum. Karena itu ia menegaskan bahwa demokrasi sangatlah bertentangan dalam
Islam.5
Nada mengecam terhadap demokrasi juga disampaikan oleh Sayyid Qutub, ia
mengatakan bahwa demokrasi adalah sebuah pelanggaran terhadap kekuasaan Tuhan
dan merupakan suatu bentuk tirani oleh sebagian orang kepada sebagian yang
lainnya. Menurutnya, mengakui kekuasaan Tuhan berarti ia melakukan penentangan
secara menyeluruh terhadap kekuasaan manusia dalam seluruh pengertian, bentuk,
sistem dan kondisi. Ia menambahkan bahwa agresi menentang kekuasaan Tuhan
adalah bentuk jahiliyah. Ia menegaskan bahwa negara Islam harus berlandaskan pada
prinsip musyawarah, karena Islam sebagai sebuah sistem hukum dan moral sudah
lengkap, sehingga dengan demikian tidak ada lagi undang-undang lain yang
mencampurinya. Pendapat serupa pula disampaikan oleh Mutawali al-Sya’rawi
seorang ulama besar asal Mesir yang mengatakan bahwa Islam dan demokrasi tidak
bersesuaian, dan syura tidak dengan sendirinya demokrasi mayoritas.6
Ali Benhadj seorang pemimpin FIS (Front Islamique du Salut) mengatakan
bahwa konsep demokrasi adalah sebuah konsep Yudeo-Kristen yang mesti digantikan
dengan prinsip-prinsip kepemimpinan yang inheren dalam Islam. Para teologi politik
Barat sendiri, kata Benhadj mulai meragukan sistem demokrasi karena mereka
5 Sukron Kamil, “Pemikiran Politik Islam Tematik”, h. 94.
6 Ibid, h. 95.
27
melihat sistemnya yang cacat. Menurutnya demokrasi hanya dinilai baik jika lebih
menguntungkan Barat dari pada negara Islam itu sendiri.7
Pendapat yang sama disampaikan oleh Abd. Al-Qadim Zallum. Bagi Abd. Al-
Qadim Zallum, demokrasi adalah sistem kufur/non Islam yang bertentangan dengan
Islam. Beberapa pendapatnya antara lain: demokrasi adalah hasil produk akal
manusia, bukan Tuhan; demokrasi itu sendiri merupakan bagian sekularisme
(pemisahan antara agama dan Negara; dalam Islam kekuasaan tertinggi berada di
tangan syariat, bukan di tangan rakyat; dalam Islam, prinsip mayoritas tidak memiliki
signifikansi, karena yang penting adalah teks-teks syariat; dan kebebasan seperti
kebebasan beragama seseorang dalam Islam, menurutnya tidak ada, karena orang
murtad yang tidak mau bertaubat dalam fiqih harus dihukum mati.8
Menurut John L. Esposito dan James P. Piscatori bahwa sebagian umat
Muslim khawatir dengan model demokrasi Barat serta sistem pemerintahan yang
dicanangkan Inggris. Sebenarnya, reaksi negatif tersebut merupakan ungkapan dari
penolakan secara radikal terhadap kolonialisme Eropa, dan merupakan pembelaan
terhadap Islam dalam usaha mengurangi ketergantungan umat Islam terhadap negara-
negara Barat. Ungkapan penolakan terhadap kolonialisme Eropa tadi berakibat pada
penolakan terhadap sistem demokrasi Barat secara keseluruhan.9
3. Kelompok yang Berpendapat Bahwa Demokrasi dan Syura adalah dua
istilah yang mempunyai sisi persamaan
Kelompok ketiga, sebagai kelompok penyeimbang. Dengan maksud
mendamaikan dua kubu yang berlawanan di atas berpendapat bahwa antara syura dan
demokrasi adalah dua istilah yang mempunyai sisi persamaan. Di antara para
cendekiawan yang masuk dalam kelompok ini adalah Muhammad Abduh, Rasyid
Ridha, Fahmi Huwaydi, hingga Syaikh Mahmud Syaltut.
7 Sukron Kamil, “Pemikiran Politik Islam Tematik”, h. 95-96.
8 Ibid, h. 96-97.
9 Fahmi Huwaydi, “Demokrasi, Oposisi, dan Masyarakat Madani”, h. 153.
28
Menurut Fahmi Huwaydi, demokrasi adalah sangat dekat dengan Islam dan
intinya sejalan dengan Islam. Argumentasi yang dihadirkan oleh Fahmi Huwaydi
adalah; Pertama, beberapa hadits menunjukkan bahwa Islam menghendaki
pemerintahan yang disetujui oleh rakyatnya.Kedua, penolakan Islam kepada
kediktatoran. Ketiga, dalam Islam, pemilu merupakan kesaksian rakyat dewasa untuk
kelayakan seorang kandidat dan mereka tentu saja seperti yang diperintahkan Al
quran. Keempat, demokrasi merupakan sebuah upaya mengembalikan sistem
kekhilafahan yang memberikan hak kebebasan kepada rakyat yang hilang ketika
beralihnya sistem kekuasaan Islam kepada sistem kerajaan. Kelima, negara Islam
adalah negara keadilan dan persamaan manusia di depan hukum. Kelima, suara
mayoritas tidaklah identik dengan kesesatan, kekufuran dan ketidaksyukuran.
Keenam, legislasi dalam parlemen tidaklah berarti penentangan terhadap legislasi
ketuhanan.10
Fahmi Huwaydi mempercayai jika dalam masyarakat yang mayoritas
Muslim, demokrasi akan berjalan sesuai dengan etika dan prinsip-prinsip Islam.11
Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Syaikh Mahmud Syaltut tentang
tulisan mereka tentang masalah sistem pemerintahan atau konsep politik Islam,
dikatakan seluruh ruang lingkupnya tidak ada yang bertentangan dengan nilai-nilai
demokrasi. Apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Rasyid
Ridha tentang musyawarah dalam Tafsir Al-Manar, juga apa yang telah disebutkan
oleh Syaikh Mahmud Syaltut dalam Al-Mabadi Al-Asasiyyah fi Al-Hukm, semua
menghilangkan ketidakjelasan tentang demokrasi dan Islam.12
Dari pendapat para intelektual Muslim di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pendapat yang terkuat dan dipilih adalah kelompok ketiga yang mengatakan bahwa
sistem demokrasi boleh diterapkan di negara Muslim. Hal ini dikarenakan kuatnya
dalil dan argumentasi kelompok ketiga ini. Menurut argumen Fahmi Huwaydi, Islam
sangat menolak kediktatoran, pengecaman terhadap rakyat yang hanya mengikuti saja
10
Sukron Kamil, “Pemikiran Politik Islam Tematik”, h. 101. 11
Fahmi Huwaydi, “Demokrasi, Oposisi, dan Masyarakat Madani”, h. 193-292. 12
Ibid, h. 194.
29
perkataan pemimpin, pemilu sebagai kesaksian rakyat , negara Islam adalah negara
keadilan yang sangat menjunjung tinggi toleransi dan pluralitas, demokrasi juga
berarti mengembalikan sistem politik yang sudah dipraktekkan di masa
kepemimpinan Rasulullah serta para Khulafaur Rasyidin yang sempat lenyap pada
masa Mua’wiyah dan khalifah Islam selanjutnya.13
Selain itu, demokrasi merupakan sistem yang dapat menjadi perantara bagi
aspirasi dan keinginan rakyat. Demokrasi bahkan dapat menjadi perantara bagi
penerapan nilai-nilai dan ajaran-ajaran Islam di dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Hakikat demokrasi sudah dapat dipastikan sejalan dengan hakikat ajaran
Islam, apabila kita merujuk pada sumber-sumber aslinya, yaitu Al-Qur’an dan hadits,
serta praktek yang dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin, dan bukan dari sejarah
penguasa yang zhalim, raja-raja yang menyimpang, serta tidak dari fatwa ulama-
ulama penguasa yang bertindak sekehendak mereka.14
Islam faktanya telah ada sebelum kemunculan demokrasi dengan seperangkat
kaidah-kaidah yang dijadikan dasar oleh hakikat demokrasi itu sendiri, akan tetapi
Islam tidak serta merta memberikan rinciannya tetapi membiarkan kaum Muslim
untuk berijtihad, yang mereka lakukan menurut dasar-dasar agama mereka, kebaikan-
kebaikan urusan dunia mereka, dan perkembangan kehidupan mereka sesuai dengan
waktu dan tempat mereka, serta pengaruh yang merubah kondisi mereka sepanjang
waktu.15
Pada dasarnya, Islam adalah agama yang shalih li kulli zaman wa makan,
dapat beradaptasi dan selalu diterapkan dengan perkembangan zaman dan di setiap
tempat.
13
Sukron Kamil, “Pemikiran Politik Islam Tematik”, (Jakarta: Kencana, 2013), h. 107. 14
Fahmi Huwaydi, “Demokrasi, Oposisi, dan Masyarakat Madani”, terj. M. Abdul Ghofar
(Bandung: Mizan, 1996), h. 222-223. 15
Fahmi Huwaydi, “Demokrasi, Oposisi, dan Masyarakat Madani”, terj. M. Abdul Ghofar
(Bandung: Mizan, 1996), h. 220.
30
B. Demokrasi Menurut Yusuf Al-Qaradhawi
Dahl menegaskan bahwa globalisasi mendukung demokratisasi. Karena dalam
globalisasi terdapat prinsip global village yang mengisyaratkan persamaan di antara
negara-negara.16
Persamaan ini kemudian menjadi sebuah proses demokratisasi.
Pertanyaannya adalah bagaimana Islam memahami demokrasi. Ketika berbicara
demokrasi dalam Islam maka banyak sekali keraguan dari dunia Barat termasuk
Amerika terhadap umat Islam dalam menjalankan praktek demokrasi. Dengan alasan
mereka melihat bahwa kurangnya umat Islam menjalankan demokrasi berasal dari
negara-negara Timur Tengah yang kebanyakan tidak menerapkan sistem demokrasi,
misalnya Arab Saudi, Kuwait, dan sebagainya. Maka dari contoh yang ada, Samuel
Huntington dan Francis Fukuyama menduga bahwa Islam tidak sejalan dengan
demokrasi. Memang harus diakui, karena kepentingan dan untuk mempertahankan
kekuasaan di negeri-negeri yang penduduknya Muslim sebagian menyampingkan
demokrasi.
Satu tulisan yang membahas mengenai revolusi musim semi Timur Tengah
adalah sebuah buku dengan judul “The Coming Revolutions: Struggle for Freedom in
Middle East” yang ditulis oleh Wahed Phares. Buku yang menjelaskan mengenai hal
apa yang membuat rakyat di Timur Tengah berani mengambil resiko kematian seperti
yang terjadi di Tunisia pada awal-awal revolusi akhir tahun 2010 lalu, tentu ada
banyak jawaban dari berbagai sudut pandang terhadap pertanyaan tersebut. Buku The
Coming Revolutions menjelaskan mengenai hal itu dan mengenai perubahan sosial
yang tengah berlangsung di Timur Tengah tersebut. Poin yang ingin disampaikan
oleh Wahed Phares dalam bukunya tersebut adalah mengenai adanya pergeseran
sosial politik yang hebat di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara yang disebabkan
perlawanan rakyat yang menginginkan demokrasi dan kebebasan dari kekuasaan
mutlak dan otokratik.
16
Robert A. Dahl, “Demokrasi dan Para Pengkritiknya”, Jilid 1, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1992), h. 312.
31
Fareed Zakaria meneliti bahwa bentuk pemerintahan demokratis sedang
menjadi tren di dunia Internasional. Sekitar 62% negara di dunia mengklaim dirinya
sebagai negara demokratis dan berbagai negara di dunia masih terus mengupayakan
diri agar diakui sebagai negara yang menganut sistem demokrasi.17
Tidak bisa dipungkiri bahwa di dalam tubuh Islam sendiri terdapat banyak
keragaman tentang hubungan Islam dan politik termasuk di dalamnya dengan
demokrasi. Varian-varian pemikiran ini bisa terjadi karena Islam memang
memberikan ruang perbedaan. Kata Nabi Muhammad s.a.w, “perbedaan di antara
umatku adalah rahmat”. Jika dilihat dari basis empiris bahwa Islam dan demokrasi
memang berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari
manusia. Dengan demikian, agama memiliki aturannya sendiri. Namun begitu, tidak
ada halangan bagi agama untuk berdampingan dengan demokrasi.
Qaradhawi mengemukakan bahwa pengetahuan Islam harus tetap
berkembang, apabila pengetahuan Islam hanya merujuk pada pemikiran-pemikiran
ulama terdahulu (salaf) pengetahuan Islam tidak akan berkembang, pengetahuan
Islam haruslah disesuaikan dengan perkembangan saat ini, oleh karena itu umat Islam
harus melakukan terobosan-terobosan baru tentang pengetahuan Islam dengan
merumuskan suatu metode ijtihad baru, Qaradhawi mengemukakan bahwa ijtihad
yang kita perlukan untuk masa kini ada dua macam: (1) Ijtihad Intiqa’i (2) Ijtihad
Insya’i.18
1. Ijtihad intiqa’i
Yang dimaksud dengan ijtihad intiqa’i adalah memilih satu pendapat dari
beberapa pendapat yang terkuat yang terdapat pada fiqh Islam, yang penuh dengan
fatwa dan hukum.
Ijtihad yang diserukan disini adalah kita mengadakan studi komperatif
terdapat pendapat-pendapat itu dan meneliti kembali dalil-dalil nash atau dalil-dalil
17
Fareed Zakaria, “The Future of Freedom: Liberal Democracy at Home and Abroad, 2003”,
h. 13. 18
Yusuf al-Qaradhawi, “Reformasi Pemikiran Islam Abad 21”, (Surabaya: Bina Ilmu, 1998), h.
17.
32
ijtihad yang dijadikan sandaran pendapat tersebut, sehingga pada akhirnya kita dapat
memilih pendapat yang terkuat dalilnya dan alasannyapun sesuai dengan kaidah
tarjih. Qaradhawi mengemukakan bahwa kaidah tarjih itu banyak, di antaranya
hendaknya pendapat tersebut mempunyai relevansi dengan kehidupan pada zaman
sekarang, hendaknya pendapat itu mencerminkan kelembutan-kelembutan dan kasih
sayang kepada manusia, hendaknya pendapat tersebut lebih mendekati kemudahan
yang ditetapkan oleh hukum Islam, hendaknya pendapat tersebut lebih
memprioritaskan untuk merealisasikan maksud-maksud syara’, kemaslahatan
manusia dan menolak marabahaya dari mereka.19
2. Ijtihad Insya’i
Yang dimaksud ijtihad kreatif (insya’i) adalah pengambilan konklusi hukum
baru dari suatu persoalan yang mana persoalan tersebut belum dikemukakan oleh
ulama-ulama terdahulu baik itu mengenai persoalan lama maupun persoalan baru,
dengan kata lain ijtihad insya’iruang lingkupnya bukan hanya pada persoalan-
persoalan baru saja, akan tetapi juga mengenai persoalan-persoalan lama, yaitu
dengan cara seorang mujtahid kontemporer untuk memiliki pendapat baru dalam
masalah tersebut yang belum didapati oleh pendapat ulama salaf, dan yang demikian
itu sah-sah saja.20
Setiap individu Muslim sangat berharap banyak kepada demokrasi. Mereka
mengharapkan bahwa demokrasi sebagai satu bentuk hukum, menjaminan kebebasan,
melindungi keamanan serta kediktatoran penguasa, sehingga demokrasi pada
hakikatnya dapat memenuhi kemauan umat, bukan kemauan para penguasa secara
pribadi dan kelompoknya.21
Dalam perspektif Islam terdapat nilai-nilai demokrasi meliputi syura
(musyawarah). Syura merupakan suatu prinsip tentang cara pengambilan keputusan
yang secara lugas ditegaskan dalam Al Quran. Jelas bahwa musyawarah sangat
19
Yusuf al-Qaradhawi, “Reformasi Pemikiran Islam Abad 21”, h. 17-20. 20
Ibid, h. 35-37. 21
Yusuf al-Qaradhawi, “Fiqih Daulah dalam Perspektif Al Qur’an dan Sunnah”, h. 203.
33
diperlukan sebagai bahan pertimbangan dan tanggung jawab bersama dalam setiap
mengeluarkan keputusan. Dengan begitu maka setiap keputusan yang dikeluarkan
pemerintah akan menjadi tanggung jawab bersama. Sikap musyawarah juga
merupakan bentuk dari pemberian penghargaan terhadap orang lain karena pendapat-
pendapat yang disampaikan menjadi pertimbangan bersama.22
Dalam perspektif Islam, pemerintah adalah orang atau institusi yang diberi
wewenang dan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk
melaksanakan dan menegakkan peraturan dan perundangan yang telah dibuat. Oleh
sebab itu, pemerintah memiliki tanggung jawab besar di hadapan rakyat dan Tuhan.
Dengan begitu, pemerintah harus amanah, memiliki sikap, dan perilaku yang dapat
dipercaya, jujur, dan adil.23
Pemikiran Qaradhawi dalam bidang keagamaan dan politik banyak diwarnai
oleh pemikiran Syaikh Hasan Al-Banna. Ia sangat mengagumi Syaikh Hasan Al-
Banna dan menyerap banyak pemikirannya. Baginya Syaikh Hasan Al-Banna
merupakan ulama yang konsisten mempertahankan kemurnian nilai-nilai agama
Islam tanpa terpengaruh oleh faham nasionalisme dan sekularisme yang diimpor dari
barat atau yang dibawa oleh penjajah ke Mesir dan dunia Islam.24
Walaupun sangat mengagumi tokoh-tokoh dari kalangan Ikhwanul Muslim
dan al-Azhar, ia tidak pernah mengikuti kepada mereka begitu saja. Hal ini dapat
dilihat dari perbedaan pandangan mengenai adanya multi partai dalam islam, Hasan
al Banna tidak menghendaki banyak partai karena menurutnya hanya akan membawa
kerusakan bagi umat karena yang terjadi hanyalah perpecahan umat akibat sifat
fanatik terhadap partai. Namun berbeda dengan Qaradhawi yang memandang partai
tunggal justru memberikan celah kepada diktatorisme seperti yang terjadi di Mesir
saat presiden Gamal Abdel Nasser melancarkan revolusi lalu menghapus partai-partai
dan menghimpun rakyat dalam jargon “persatuan nasional”. Dalam berbagai
22
Taufiq asy-Syawi, “Demokrasi atau Syura”, (Jakarta: Gema Insani, 2013), h. 138. 23
Fahmi Huwaydi, “Demokrasi, Oposisi, dan Masyarakat Madani”, h. 233. 24
Yusuf al-Qaradhawi, “70 Tahun Al-Ikhwan Al-Muslimun”, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
1999), h. 203.
34
tulisannya mengenai masalah hukum Islam, misalnya mengenai zakat penghasilan
profesi yang tidak dijumpai dalam pemikiran kitab-kitab klasik fiqh dan pemikiran
ulama lainnya.25
Di bidang politik Qaradhawi berbicara mengenai konsep al-Wasathiyyah.
Menurut Qaradhawi Islam adalah agama rahmat. Di masa lalu hingga saat ini umat
Muslim selalu dihadapkan pada dualisme atau multi pandangan dalam beragama. Hal
ini berawal dari perbedaan pemahaman terhadap tanda-tanda (ayat-ayat) Tuhan dalam
al-Qur’an, yang tentunya sikap tersebut dilatar-belakangi oleh situasi historis yang
turut mempengaruhi dan mengkondisikan. Perbedaan tersebut dikatakan sebagai
rahmat Tuhan (ikhtilaf ummati rahmatun), dan dinamika dalam berkehidupan,
bersosial serta berinteraksi diantara sesamanya. Maka pasti, perbedaan seharusnya
tidak mengarahkan pada perpecahan dan pelabelan Islam sebagai agama yang tidak
menjunjung nilai-nilai kedamaian dan kasih sayang. Sebab itu, umat Islam dituntut
menjadi “Ummatan Wasathan”, yaitu umat yang moderat, adil, dan seimbang dalam
bersikap, berinteraksi dan bersosial. Tuntutan sebagai umat moderat mendorong umat
Islam untuk menafikan dan menghilangkan pandangan di kalangan umat Islam yang
memiliki kecenderungan ekstrimis, ekslusif, radikal, dan antipati terhadap orang lain,
dikarenakan berbeda dengannya.Pandangan-pandangan tersebut (ekstrimis dan lain-
lain) pada dasarnya berlawanan dengan konsepsi Islam sebagai agama rahmat dan
kasih sayang (rahmatal lil’alamin) yang mengedepankan pesan kebaikan (al-ma’ruf)
dari pada melawan kemungkaran (nahy al-munkar), karena dianggap telah
mengabaikan nilai-nilai toleransi (tasamuh), dan keadilan (ta’adul) dalam beragama
dan bersikap. Sebab itu, karakter wasatiyyah dalam ber-Islam menolak sikap-sikap
yang akan merugikan Islam dan umat Islam itu sendiri.
Pemikiran Qaradhawi lainnya yaitu mengenai demokrasi. Salah satu pendapat
Qaradhawi mengenai Islam dan Demokrasi dalam buku fiqih daulah yang ditulisnya
adalah substansi (hakikat) demokrasi sejalan dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai-
25
Yusuf al-Qaradhawi, “Reformasi Pemikiran Islam Abad 21”, h. 36-37.
35
nilai Islam. Hakikat demokrasi yang dimaksud adalah yang sesuai dengan Islam,
seperti dijelaskan Qaradhawi bahwa Negara Islam dibangun berdasarkan berbagai
prinsip demokrasi yang baik namun bukan merupakan duplikat dari Negara
demokrasi barat. Negara Islam serupa dengan negara demokrasi barat dalam hal
keharusan memilih kepala negara. Rakyat bebas memilih dan tidak boleh dipaksa
untuk menerima pemimpin yang akan memimpin mereka. Dalam hal tanggung jawab
kepala negara di hadapan wakil-wakil rakyat, di mana wakil rakyat tersebut berhak
memecat bila kepala negara menyimpang dan melakukan kekeliruan serta tidak mau
mendengar nasehat yang benar. Demikian juga hak setiap individu baik laki-laki
maupun perempuan dalam menasehati penguasa untuk berbuat amar ma’ruf nahi
munkar dan menjadi kontrol untuk sesama Muslim.26
Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya
secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan
hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura
(Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan
hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum
sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak
diatur oleh ketentuan Allah. Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator)
sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami sesuai batasan
kemampuannya dan menjabarkan) hukum Nya.27
Menurut Qaradhawi, hakikat demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa
dilihat dari beberapa hal. Misalnya, pertama, dalam demokrasi proses pemilihan
melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak
memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan
memilih sesuatu yang tidak mereka sukai. Demikian juga dengan Islam. Islam
26
Yusuf al-Qaradhawi, “Fiqih Daulah dalam Perspektif al Qur’an dan Sunnah”, h. 52. 27
Ibid h. 195-196.
36
menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak dikehendaki oleh makmum di
belakangnya.28
Kedua, usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan
dengan Islam. Bahkan amar ma’ruf dan nahi munkar serta memberikan nasihat
kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam. Ketika pemilihan umum termasuk
jenis pemberian saksi. Karena itu, siapa saja yang mempunyai hak pilih dan tidak
menggunakan hak pilihnya sehingga calon yang seharusnya pantas untuk dipilih
menjadi kalah dan suara mayoritas berada pada kandidat yang sebenarnya tidak
pantas, maka ia telah melanggar perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada
saat dibutuhkan.29
Ketiga, penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak
bertentangan dengan prinsip Islam. Berkenaan dengan hal ini, sikap Umar terhadap
enam orang yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat
khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi
khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, yang lain yang tidak terpilih harus
taat dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih
seseorang yang dirasakan paling layak dari luar mereka, yaitu Abdullah Ibn Umar.30
Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah.
Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan
nash syariat secara tegas.
Menurut Qaradhawi justru inilah demokrasi yang sebenarnya. Demokrasi
semacam ini memberikan beberapa bentuk dan cara praktis dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Misalnya, pemilihan umum dan referendum umum,
mendukung pihak mayoritas, menerapkan sistem multipartai, memberikan hak
kepada minoritas untuk beroposisi, menjamin kebebasan pers dan kemandirian
peradilan. Rakyat diberikan kebebasan untuk memilih pemimpinnya dan mengoreksi
28
Yusuf al-Qaradhawi, “Fiqih Daulah dalam Perspektif al Qur’an dan Sunnah”, h. 184. 29
Ibid, h.194. 30
Ibid, h. 200.
37
perilakunya, mereka juga boleh menolak perintah penguasa yang bertentangan
dengan undang-undang dasar. Demokrasi semacam ini, menurut Qaradhawi, sejalan
dengan Islam. Di dalam Islam, rakyat boleh menolak perintah pemimpin yang
menyuruh atau memaksa melakukan maksiat, dan rakyat berhak memecat atau
menurunkan pemimpinnya bila menyimpang dan berlaku zalim, serta tidak pula
menanggapi nasihat dan peringatannya.
Qaradhawi melihat bahwa Demokrasi dalam politik dalam arti rakyat bebas
memilih pemimpinnya, dan menolak hukum diktator, Dan termasuk hak setiap orang
dari rakyat untuk menasehati penguasa, memerintahkan dia kebaikan, melarang
kemungkaran, memperhatikan adab yang wajib dalam hal itu, mentaatinya dalam
kebaikan dan menolak taat dalam kemaksiatan yang disepakati, yaitu maksiat yang
fulgar kemaksiatannya, dimana tidak ada ketaatan untuk makhluk dalam rangka
maksiat kepada penciptanya.31
Kekuasaan atau pemerintahan dalam kehidupan bermasyarakat merupakan
peranan yang sangat penting dan strategis. Banyak hal yang dapat dilakukan dengan
mudah dalam sebuah lingkaran kekuasaan. Jika kekuasaan berada di tangan penguasa
yang adil, segala kebaikan dapat ditegakkan dan sebaliknya apabila kekuasaan berada
di tangan penguasa yang zalim, maka akan terjadi penindasan terhadap rakyat dan
segala macam bentuk ketidakadilan. Di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa contoh
orang-orang yang sewenang-wenang di muka bumi, seperti Fir’aun,Haman, Qarun,
pasukan dan para pengikutnya.32
Menurut Qaradhawi demokrasi esensinya ialah, pemilihan umum yang
dilakukan oleh masyarakat dalam memilih orang-orang yang akan mengatur dan
mengurus urusan mereka.33
Qaradhawi dengan ungkapannya: “Semua yang tidak
dilarang secara tegas dalam al-Qur'an dan Sunnah adalah mubah”. Hal ini membuka
lebar-lebar ruang gerak penafsiran dan pembaruan hukum. Qaradhawi menegaskan
31
Yusuf al-Qaradhawi, “Fiqih Daulah dalam Perspektif al Qur’an dan Sunnah”, h. 183. 32
Lihat (Q.S. Al Qashash; 8:40). 33
Yusuf al-Qaradhawi, “Fiqih Daulah dalam Perspektif al Qur’an dan Sunnah”, h. 183.
38
bahwa hukum harus diperbarui, ketika waktu, tempat dan kondisi kehidupan manusia
berubah.34
Peran partai politik sangat penting dan umat Islam dituntut untuk memiliki
andil dalam kancah perpolitikan dan mempelajari ilmu politik, karena secara teoritis,
politik adalah suatu ilmu yang memiliki urgensi dan kedudukan tersendiri. Secara
praktik, politik adalah suatu profesi yang memiliki kehormatan dan manfaat
tersendiri, karena menjadi alat untuk menghadapi dan melawan kekuasaan yang
menyeleweng kemudian membawanya kembali ke jalan atau koridor yang benar dan
dengan usaha menangani urusan manusia dengan cara sebaik-baiknya.35
Para ulama terdahulu telah memaparkan nilai dari keutamaan politik, sampai
Al- Imam Al- Ghazali pernah berkata seperti yang dikutip Qaradhawi dalam bukunya
Fiqih Daulah:
“Dunia ini merupakan ladang akhirat. Agama tidak akan menjadi sempurna
kecuali dengan dunia. Pemimpin dan agama merupakan anak kembar. Agama
merupakan dasar dan penguasa merupakan penjaga. Sesuatu yang tidak mempunyai
dasar pasti akan ambruk, dan sesuatu yang tidak mempunyai penjaga pasti akan
lenyap”.36
Di dalam Fiqih Daulah Qaradhawi berpendapat bahwa kebebasan berpolitik
merupakan kebutuhan pokok pada zaman sekarang. Islam tidak akan bangkit,
dakwahnya tidak akan menyebar, kekuatannya tidak akan muncul, dan penyakitnya
akan terus merusaknya, kecuali ia diberi kebebasan yang tidak hanya terbatas,
sehingga ada peluang baginya untuk berjalan beriringan dengan fitrah manusia yang
menyertainya, memperdengarkan adzan yang dirindukannya dan memberi kepuasan
yang dirindukannya.37
Dalam Islam di antara hak manusia dan bahkan menjadi kewajiban mereka
untuk memberikan nasihat kepada pemimpin dan mengembalikan pada kebenaran
jika ia menyimpang, memerintahkannya kepada yang benar dan mencegahnya dari
34
Yusuf al-Qaradhawi, “Reformasi Pemikiran Islam Abad 21”, h. 156. 35
Yusuf al-Qaradhawi, “Fiqih Daulah dalam Perspektif al Qur’an dan Sunnah”, h. 210. 36
Ibid, h. 137. 37
Ibid, h. 202.
39
perbuatan salah. Pemimpin merupakan salah seorang dari kaum muslimin, iabukan
orang yang terlepas dari berbagai macam salah dan khilaf sehingga tidak memerlukan
nasihat dan tidak bisa diperintah. Orang-orang Islam juga tidak dilarang untuk
memberi nasihat atau memerintah. Jika umat Islam tidak peduli akan amar ma’ruf
nahi munkar, maka lenyap begitu saja rahasia keistimewaan dan kebaikannya yang
pada akhirnya akan diikuti dengan ditimpahkannya laknat seperti yang dialami orang-
orang terdahulu sebelum mereka, itu karena mereka tidak bekerja bersama-sama
menghadapi dan melawan kemunkaran yang kerap dikerjakan.38
Islam menempatkan kekuasaan mutlak menjadi milik Allah. Sebagai
konsekuensinya hukum tertinggi adalah hukum Allah. Dalam hal ini, Islam
memandang bahwa syariat Islam adalah sebagai representasi kekuasaan Allah.
Kekuasaan dalam Islam terletak pada Tauhidullah (akidah) yang diyakini yakni
kekuasaan Allah yang terejawantahkan dalam Syariat Islam tidak selayaknya konsep
kekuasaan dalam demokrasi yang terletak pada kekuasaan rakyat yang “mayoritas”.
Sementara dasar pengambilan hukum yang diyakini adalah Syariat itu sendiri yang
menjadi dasar kehidupan bernegara, Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya
“Laa Thaa’ata limakhluqin fi ma’shiyatil khaliq”, tidak boleh ada ketaatan kepada
makhluk bila melakukan kedurhakaan kepada Khaliq.“Innama at-tha’atu fil
ma’rufi”, sesungguhnya ketaatan itu hanya boleh untuk kebaikan.
Meskipun terdapat hal-hal yang menolak demokrasi namun terdapat hal-hal
yang semua ulama Islam sepakat akan satu hal, bahwa penegakan syariat Islam dalam
kehidupan adalah mutlak hukumnya, meskipun berbeda pendapat tentang cakupannya
apakah dalam tataran pribadi atau tataran kekuasaan. Namun dari dalil-dalil di atas,
dan keyakinan bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin, maka penegakan syariat
Islam dalam sistem ketatanegaraan adalah mutlak bagi setiap Muslim. Muslim harus
tunduk pada setiap aturan agama dalam apapun aktifitas hidupnya, termasuk dalam
menjalankan sistem kenegaraan. Maka dari itu memasuki wilayah politik yang
38
Ibid, h. 208-209.
40
berkembang saat ini mungkin perlu dilakukan untuk mewujudkan cita-cita penegakan
syariat Islam. Namun pertimbangan utama dalam memasukinya adalah keterlibatan
dalam politik (siyasah) adalah untuk mengubah sistem siyasah yang sedang
berkembang saat ini (secular) menuju ke siyasah yang Islami.39
39
Ibid, h. 195-197.
41
BAB IV
DEMOKRASI; PEMILIHAN UMUM DAN KRITERIA PEMIMPIN
PERSPEKTIF YUSUF AL QARADHAWI
A. Pemilihan Umum
1. Pemilihan Umum Termasuk Jenis Pemberian Kesaksian
Pemilu atau pemilihan umum adalah salah satu pilar utama dari sebuah
demokrasi. Salah satu konsepsi modern menempatkan penyelenggaraan pemilihan
umum yang bebas dan berkala sebagai kriteria utama bagi sebuah sistem politik agar
dapat disebut sebagai sebuah demokrasi. Partisipasi politik masyarakat berkaitan erat
dengan demokrasi suatu negara.
Menurut perspektif Qaradhawi di sini persyaratan bisa saja diringankan sesuai
dengan keadaan, sehingga rakyat dapat memberikan kesaksian sebanyak mungkin.
Semua orang berharap memberikan kesaksian, kecuali kandidat atau calon tersebut
adalah seorang yang telah terbukti di pengadilan melakukan tindak kriminal atau dosa
besar yang menodai kehormatan dan harga dirinya, karena sama dengan memberikan
kesaksian palsu.1
Demikian pula mengungkapkan kriteria calon dan persyaratan yang harus
dipenuhinya merupakan suatu yang diprioritaskan. Pada akhirnya dapat dijadikan
berbagai kaedah dan pengarahan sistem pemilihan ini sebagai sistem Islam, walaupun
pada mulanya berasal dari sistem lain.2
2. Kekuasaan Rakyat dan Kekuasaan Allah
Hal yang perlu ditegaskan sejak awal, bahwa substansi demokrasi adalah
sejalan dengan substansi Islam, yaitu apabila kita melihat kembali kepada rujukan
serta sumber-sumbernya yang asli, yaitu Al-Quran dan Sunnah serta kepemimpinan
masa Al-Khulafa’ur-rasyidun, bukan dari sejarah pemimpin-pemimpin yang khianat,
raja-raja yang buruk, serta fatwa-fatwa ulama yang sangat dekat dengan para
1 Yusuf al-Qaradhawi, “Fiqih Daulah dalam Perspektif al Qur‟an dan Sunnah”, h. 194.
2 Ibid, h. 194.
41
42
penguasa dan yang menyesatkan, atau fatwa-fatwa dari orang-orang yang sebetulnya
mereka berhati ikhlas dan mulia, tapi memiliki pemahaman dangkal dan kerap
bertindak dengan tidak hati-hati.3
Para penyeru kebebasan dan liberal mengatakan, oleh karena demokrasi itu
adalah pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, yang otomatis harus
menolak pendapat yang menyatakan bahwa kedaulatan pembuat hukum hanya milik
Allah, ini adalah suatu pendapat yang tidak bisa diterima. Prinsip kekuasaan milik
rakyat, yang merupakan fondasi demokrasi, tidak bertentangan dengan prinsip
kekuasaan milik Allah yang merupakan bagian dari penetapan hukum dalam Islam.
Tapi memang bertentangan dengan prinsip kekuasaan individu, yang merupakan
dasar pemerintahan diktator.4
Dalam hal memberlakukan sistem demokrasi bukan berarti harus menolak
kedaulatan Allah untuk menetapkan hukum bagi manusia. Mereka yang menyeru
kepada demokrasi sama sekali tidak pernah berpikir tentang ini. Tujuan dari sikap
perlawanan orang-orang tersebut hanya tertuju untuk menolak kekuasaan atau
pemerintahan diktator yang sewenang-wenang dimana dilakukan oleh para tiran yang
angkuh dan sombong. Hal inilah yang dinamakan oleh hadits Rasulullah dengan “raja
yang kejam” atau “raja yang bengis”, artinya raja yang angkuh dan dzalim.5
Menurut Qaradhawi, yang dimaksud dengan demokrasi bagi para
pendukungnya adalah bahwa rakyat bebas memilih pemimpinnya sesuai dengan
aspirasi dan kenginan mereka, tidak ada paksaan bagi mereka dalam memilih
pemimpinnya dan mengoreksi tindak tanduknya, mereka boleh menolak perintah
penguasa bila bertentangan dengan undang-undang dasar. Inilah demokrasi yang
berkesesuaian dengan Islam, itu juga dapat dilihat ketika Islam mengharamkan
3 Ibid, h. 195.
4 Ibid, h. 195.
5 Ibid, h. 195.
43
pemimpin yang otoriter, dan pada sisi lain menghendaki pemimpin yang kuat, dapat
dipercaya, mampu melindungi rakyatnya, serta mempunyai wawasan yang luas.6
3. Konsep Kekuasaan Allah dan Demokrasi
Dalam bukunya Qaradhawi mengingatkan bahwa konsep “kekuasaan Allah”
adalah konsep Islam yang murni, yang telah ditetapkan oleh seluruh pakar ushul
dalam berbagai pembahasan mereka tentang “kekuasaan syariat” dan “penguasa”.
Semua mereka sepakat bahwa penguasa tunggal hanya Allah swt. Sedangkan Nabi
saw hanya sebagai penyampai. Allah-lah yang memerintah dan melarang, Dia-lah
yang menghalal dan mengharamkan, Dia-lah yang berkuasa dan membuat undang-
undang.7
Menurut perspektif Qaradhawi kekuasaan Allah terhadap makhluk adalah
suatu yang permanen.Kekuasaan itu ada dua (2) macam:8
a. Kedaulatan Penetapan Hukum Alam Berdasarkan Takdir (Kekuasaan
Kauni Kodrati)
Artinya hanya Allah-lah satu-satunya yang berwenang di jagad raya ini.Dia-
lah yang menata dengan kadar-Nya segala persoalan alam yang teratur ini.Dia-lah
yang mengatur alam semesta dengan sunnah-Nya, yang tidak berubah, yang tidak
diketahui. Hal ini seperti yang ternukil dalam firman-Nya: “Dan Apakah mereka
tidak melihat bahwa Sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah (orang-orang
kafir), lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya?
dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat
menolak ketetapan-Nya; dan Dia-lah yang Maha cepat hisab-Nya”. (Ar-Ra’d:41).
Dalam ayat ini dipahami bahwa yang dimaksud dengan kekuasaan Allah adalah
ketetapan-Nya yang mengatur jagad raya, bukan syariat atau legislasi.
b. Kedaulatan Menetapkan Hukum (Kekuasaan Syariat)
6 Yusuf al-Qaradhawi, “Meluruskan Dikotomi Agama & Politik”, h. 188.
7 Yusuf al-Qaradhawi, “Fiqih Daulah dalam Perspektif al Qur‟an dan Sunnah”, h. 195-196.
8 Ibid, h. 196-197.
44
Adalah kekuasaan untuk memberi tugas, memerintah, melarang,
membebankan kewajiban dengan paksa dan dengan pilihan.Untuk itu Allah mengutus
berbagai rasul, menurunkan beberapa kitab, membuat berbagai peraturan,
menggariskan berbagai tugas, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang
haram. Hal ini tidak seorang Muslim pun yang menolak, selama dia rela Allah
sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai Nabi dan Rasul.
Orang Muslim mendukung demokrasi karena dia mengganggapnya suatu
mekanisme kekuasaan yang dapat mewujudkan prinsip-prinsip politik Islam, dalam
memilih Imam atau pemimpin, dalam mewujudkan musyawarah dan nasehat
menasehati, dalam menjalankan amar ma’ruf nahi munkar, dalam melawan
kedzaliman dan menolak kemaksiatan, khususnya bila sudah sampai ke tingkat
kekafiran nyata kepada Allah.9
Hal itu didukung oleh ketentuan undang undang dasar yang mengatakan
bahwa Islam adalah agama negara, dengan tetap berpegang kepada demokrasi, dan
bahwa syariat Islam adalah sumber hukum utama. Hal ini sebagai penegasan terhadap
kekuasaan Allah, artinya kekuasaan syariat-Nya, sebagai kekuasaan tertinggi. Dapat
pula ditambahkan dalam undang undang dasar satu paragraf yang jelas dan tegas,
bahwa setiap ketentuan atau peraturan yang bertentangan dengan berbagai ketentuan
syariat yang tegas dianggap batal. Hal ini pada dasarnya merupakan penegasan,
bukanlah sesuatu yang baru digariskan.10
Jadi, pendukung demokrasi menganggap kekuasaan rakyat sebagai ganti dari
kekuasaan Allah, karena antara kedua hal itu tidak terdapat pertentangan.Walaupun
hal itu dianggap suatu keharusan demokrasi, maka pendapat yang beredar di kalangan
ulama dan pemikiran Islam adalah bahwa hal itu bukanlah suatu yang esensial dalam
suatu mazhab. Karena itu tidak boleh mengkafirkan dan menuduh fasik orang-orang
9 Ibid, h. 197.
10
Ibid, h. 197.
45
yang tidak komit dengan beberapa ketentuan mazhab-nya, dan barangkali mereka
tidak memikirkan hal itu sama sekali.11
4. Kekuasaan Mayoritas
Bagi sebagian kelompok Islam penentang demokrasi mengatakan bahwa
demokrasi adalah konsep impor dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan
Islam. Demokrasi ditegakkan berdasarkan pendapat mayoritas, dan mayoritas ini lah
yang berhak menunjukkan pimpinan, menata berbagai persoalan, mendukung salah
satu dari beberapa hal yang berbeda. Dalam sistem demokrasi, pemilihan dan
pemungutan suara merupakan suatu hal yang menentukan. Pihak manapun yang
menang dengan mayoritas mutlak, atau kadang-kadang dengan berkoalisi, maka
pendapatnya lah yang diberlakukan, yang mungkin saja salah dan batil.12
Sedangkan dalam Islam, menurut pandangan mereka, cara seperti itu tidak
dapat diterima. Islam tidak bisa mendukung suatu pendapat hanya karena pendapat
itu didukung oleh mayoritas. Tapi, Islam melihat kepada pendapat itu sendiri.Apakah
itu benar atau salah. Bila pendapat itu benar, maka diterima serta dilaksanakan,
sekalipun hanya didukung oleh satu suara, atau tidak ada yang didukungnya sama
sekali. Kalau pendapat itu salah maka ditolak dengan tegas, sekalipun didukung oleh
99% atau 100% suara.13
Menurut perspektif Qaradhawi, pendapat ini tidak bisa diterima karena terjadi
pencampuradukkan dan ketidakjelasan. Seharusnya kita membicarakan demokrasi
dalam masyarakat Islam yang kebanyakan mereka mengetahui, berakal, beriman serta
bersyukur. Seyogyanya bagi kita tidak perlu berbicara dengan apa yang terjadi pada
masyarakat kafir dan menyimpang dari jalan Allah.14
11
Ibid, h. 197. 12
Ibid, h. 197-198. 13
Ibid, h. 198. 14
Ibid, h. 198.
46
5. Pemungutan Suara (Voting)
Menurut perspektif Qaradhawi, ada beberapa hal yang tidak boleh
dipersoalkan dan diadakan pemungutan suara, sebab semua itu sudah merupakan
sesuatu yang permanen yang tidak menerima perubahan, kecuali masyarakat itu
sendiri sudah berubah, dan tidak lagi sebagai masyarakat Islam.15
Tidak boleh diadakan pemungutan suara dalam berbagai masalah agama yang
permanen dan pasti. Pemungutan Suara (Voting) hanya boleh diadakan dalam
berbagai persoalan ijtihadi yang mengandung berbagai kemungkinan. Seperti
memilih salah satu calon untuk menduduki suatu jabatan, walaupun jabatan kepala
Negara, membuat undang-undang lalu lintas, menata gedung pertokoan, kawasan
industri dan rumah sakit, atau hal-hal lain yang termasuk ke dalam apa yang
dinamakan fuqaha dengan “mashlahah mursalah” (kepentingan umum), seperti
menetapkan keputusan untuk perang atau tidak, memberlakukan pajak tertentu atau
tidak, mengumumkan keadaan darurat atau tidak, pembatasan masa jabatan kepala
Negara, boleh atau tidak memilihnya sekali lagi, dan sebagainya.16
Dalam memihak, menurut Qaradhawi secara logika syariat dan kenyataan
menunjukkan perlu adanya pertimbangan apabila terjadi perselisihan pendapat. Pihak
yang harus didukung dalam hal ini adalah mayoritas. Sebab, pendapat dua orang lebih
dekat kepada kebenaran dari pada pendapat satu orang.17
6. Kebebasan Politik
Islam tidak akan bangkit, dakwahnya tidak akan tersebar, himbauannya tidak
akan lantang, kecuali bila dia mendapat kebebasan dan kesempatan yang diperlukan
untuk mengetuk fitrah manusia, yang selalu menunggunya, memperdengarkan
himbauannya kepada telinga-telinga yang selalu merindukannya, dengan demikian
Islam dapat meyakinkan akal yang memang sejalan dengannya.18
15
Ibid, h. 199. 16
Ibid, h. 199. 17
Ibid, h. 199. 18
Ibid, h. 202.
47
Menurut Qaradhawi peperangan pertama yang dihadapi dakwah Islam,
kebangkitan Islam, dan pergerakan Islam di zaman kita sekarang adalah peperangan
demi mewujudkan kebebasan. Semua pihak pendukung Islam diminta untuk
menyatukan barisan demi terwujudnya kebebasan itu serta mempertahankannya.
Kebebasan sangat dibutuhkan dan tidak dapat diganti dengan yang lain.19
Qaradhawi, mengatakan bahwa beliau tidak terlalu fanatik dengan kata-kata
asing seperti “demokrasi”, namun tidak juga phobia dalam mengungkapkan nilai-nilai
Islam. Akan tetapi menurutnya, ialebih mengutamakan pemakaian istilah-istilah
Islam sendiri untuk mengungkapkan nilai-nilai dan konsep-konsep Islam. Hal inilah
yang pantas digunakan untuk mengangkat kepribadian kita.20
Namun demikian halnya pada istilah-istilah asing, Qaradhawi tidak antipati.
Bahkan banyak dari kalangan da’i dan penulis Muslim menggunakan kata
“demokrasi” dan mereka tidak menganggapnya apa-apa. Ustadz Abbas Al-Aqad
menulis sebuah buku dengan judul “demokrasi Islam”. Lebih dari itu, Ustadz Khalid
Muhammad Khalid menganggap demokrasi adalah Islam itu sendiri.21
Banyak dari kalangan tokoh Islam yang menginginkan demokrasi sebagai
bentuk pemerintahan, penjamin kebebasan dan keamanan dari kekejaman para
penguasa tiran. Tapi, demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi yang hakiki, yang
mewakili kemauan umat, bukan kemauan individu dan jamaah yang memanfaatkan
demokrasi itu. Tidak hanya mengumandangkan slogan demokrasi palsu tanpa jiwa,
membungkam penuntut kebebasan dengan pecut dan penjara, dan mematahkan
perlawanan penuntut keadilan dengan kekerasan. Bukan demokrasi yang
menggunakan pengadilan militer untuk melumpuhkan lawan, memberlakukan
keadaan darurat untuk memburu setiap orang yang menginginkan kebebasan
19
Ibid, h. 202-203. 20
Ibid, h. 203. 21
Ibid, h. 203.
48
pendapat, setiap orang yang berani mengatakan kepada penguasa: “kenapa begitu?”,
“saya tidak setuju!”.22
Menurut Qaradhawi, ia adalah orang yang menginginkan demokrasi sebagai
mekanisme pemerintahan untuk mewujudkan tujuan kehidupan yang mulia, suatu
kehidupan yang memberikan kebebasan kepada kita untuk mengajak manusia kepada
Allah dan Islam, seperti yang kita imani, tanpa menghadapi berbagai rintangan dan
kesulitan. Disamping itu demokrasi tersebut diharapkan mampu mewujudkan
kehidupan yang bebas dan terhormat bagi bangsa, sehingga mereka menikmati
haknya untuk memilih para pemimpin mereka dengan bebas, mengoreksi dan
memecat pemimpin-pemimpin itu bila menyimpang, tanpa ada kudeta dan
pembunuhan politik. Inilah demokrasi yang didambakan.23
7. Musyawarah
Sampai saat ini masih ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa Syura
sekedar untuk memberikan masukan dan bukan sebagai badan yang menetapkan.
Pemimpin dapat meminta pertimbangan, tetapi tidak harus patuh kepada pendapat
Ahli Syura, yang tidak bukan merupakan ahlul halli wal aqdi (badan legislatif).24
Menurut Qaradhawi, bahwa Syura tidak memiliki arti sama sekali apabila
seorang pemimpin meminta pertimbangan dari Ahli Syura, namun pada akhirnya dia
bertindak dengan pertimbangan yang terbaik menurut dirinya sendiri, sedang dia pun
mengabaikan pendapat Ahli Syura. Bagaimana mungkin mereka disebut ahlul halli
wal aqdi seperti yang kita ketahui dalam sejarah peninggalan kita, namun dalam
kenyataannya mereka kebingungan dalam menyimpulkan dan menyelesaikan
masalah.25
Apabila ada dua pendapat dalam satu masalah, maka di sana tetap ada
pernyataan untuk mengikuti Syura, walaupun umat kita sampai saat ini masih
22
Ibid, h. 203. 23
Ibid, h. 204. 24
Ibid, h. 204. 25
Ibid, h. 204.
49
dikuasai otokrasi.26
Sekalipun terdapat perbedaan pendapat, apabila umat atau
segolongan lainnya berpendapat untuk kembali kepada pendapat Syura, jelas
perbedaan pendapat itu dapat disingkirkan, lalu mengikuti suatu pendapat yang
memang sudah disepakati bersama merupakan keharusan menurut syariat. Kalangan
Muslim memiliki hak untuk menetapkan syarat. Maka apabila seorang pemimpin
telah terpilih dengan syarat-syarat tersebut, yang bersangkutan harus memenuhinya
dan meminta pendapat orang lain.27
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Syura Islam serupa dengan ruh
demokrasi. Atau dengan bahasa lain dikatakan “Substansi demokrasi serupa dengan
ruh Syura Islam”.28
B. Memilih Pemimpin
1. Definisi Pemimpin
Menurut Qaradhawi29
, pemimpin seperti yang diketahui dalam Islam adalah
khalifah yang memimpin dan mengatur umat, sebagai penerus Rasulullah s.a.w dalam
mengokohkan agama dan mengatur dunia dengan agama itu. Dia merupakan seorang
pemimpin tertinggi bagi daulah Islam keseluruhan, seperti yang telah disebutkan
dalam hadits Nabawi dan yang telah tergambarkan fakta-fakta sejarah Al-Khulafa’ur-
Rasyidun sepeninggal Rasulullah saw.
Khalifah itu sendiri yang mengatur umat bersama orang-orang yang menjadi
wakilnya dalam menangani negara dan rakyat, atas dasar pilihan yang ditunjuk oleh
rakyat atau dia sendiri yang menunjuk, lalu ditempatkan di berbagai wilayah atau
menjadi komandan pasukan perang, lembaga, yayasan maupun institusi. Mereka
memerintah kekuasaan eksekutif dan mereka juga pantas untuk ditaati seperti
ketaatan terhadap pemimpin atau imam, selama masih dalam kerangka kebenaran.30
26
Ibid h. 204. 27
Ibid, h. 204-205. 28
Ibid, h.205. 29
Yusuf al-Qaradhawi, “Pedoman Bernegara dalam Perspektif Islam”, h. 50. 30
Ibid, h. 50.
50
Menurut Qaradhawi pemimpin dapat diartikan sebagai imamah atau khalifah.
Makna imamah berarti kepemimpinan yang menjadi panutan manusia. Mereka
mengikuti dan belajar darinya, yang diambil dari istilah imamah dalam shalat. Imam
atau pemimpin pantas memimpin seluruh manusia, baik itu yang kecil maupun yang
besar. Adapun makna khalifah berarti perwakilan atas nama Rasulullah saw untuk
menjaga agama dan mengatur kehidupan dunia, seperti yang dikemukakan oleh At-
Taftazany, Ibnu Khaldun dan lainnya.31
Imam, khalifah atau pemimpin adalah seseorang yang mungkin saja bertindak
benar atau salah, bisa berbuat baik atau jahat. Karena itu, kaum Muslimin diminta
mendukungnya bila dia berbuat baik atau benar, dan diminta untuk meluruskan bila
dia berbuat salah atau keliru. Seorang pemimpin tidak mempunyai sifat kekebalan
dan kesakralan yang membuatnya tidak bisa dijangkau oleh hukum. Jabatan yang
diembannya adalah beban, bukan penghormatan.32
Imam atau penguasa bukanlah orang yang terjaga dari kesalahan atau suci,
sehingga apa yang ada pada diri pemimpin tersebut tidak perlu dikoreksi atau jika ia
salah tidak dapat diproses hukum. Jabatan seorang pemimpin adalah beban kewajiban
dan bukan penghormatan.33
Pemimpin atau khalifah dalam Islam bukan berarti ia adalah wakil Allah,
tetapi ia merupakan wakil umat. Umatlah yang berhak memilih, mengontrol dan
mengoreksinya, dan ummat pula-lah yang memecatnya bila dianggap perlu.34
2. Kriteria Pemimpin
Dalam memilih pemimpin, Qaradhawi menetapkan beberapa kriteria-kriteria
dan tujuan dari seorang pemimpin sebagai berikut:
a. Adil (Al-‟adalah)35
31
Yusuf al-Qaradhawi, “Fiqih Daulah dalam Perspektif al Qur‟an dan Sunnah”, h. 49. 32
Ibid, h. 49-50. 33
Ibid, h. 50. 34
Ibid,h. 83. 35
Ibid, h. 49.
51
Artinya dalam menegakkan hukum termasuk rekrutmen dalam berbagai
jabatan, pemimpin harus melakukan secara adil dan bijaksana. Tidak boleh kolusi dan
nepotisme. Arti pentingnya penegakan keadilan dalam sebuah pemerintahan ini
ditegaskan oleh Allah SWT dalam beberapa ayat-Nya, antara lain dalam surat an-
Nahl:90; QS. as-Syura:15; al-Maidah:8; An-Nisa’:58.
Pemimpin yang adil adalah yang dapat memastikan bahwa setiap orang, setiap
warga masyarakat diberi hak dan kebebasan untuk mengeksperesikan pendapatnya.36
Sepanjang hal itu dilakukan dengan cara yang bijak dan memperhatikan al-akhlaq al-
karimah dan dalam rangka al-amr bi-„l-ma‟ruf wa an-nahy „an al-„munkar, maka
tidak ada alasan bagi penguasa untuk mencegahnya. Bahkan yang harus diwaspadai
adalah adanya kemungkinan tidak adanya lagi pihak yang berani melakukan kritik
dan kontrol sosial bagi tegaknya keadilan. Jika sudah tidak ada lagi kontrol dalam
suatu masyarakat, maka kedzaliman akan semakin merajalela. Jika suatu negara
konsisten dengan penegakan prinsip-prinsip atau elemen-elemen demokrasi di atas,
maka pemerintahan akan mendapat legitimasi dari rakyat. Sehingga dengan demikian
maka roda pemerintahan akan berjalan dengan stabil.
Seperti kisah Umar bin Abdil Aziz semasa menjadi khalifah, ia
memerintahkan para gubernurnya untuk membentengi kota dengan keadilan. Umar
menganggap negara menjadi aman tidak saja hanya dengan membangun benteng atau
pintu gerbang yang kokoh, namun benteng yang hakiki adalah melindungi negara dan
rakyat dengan cara mendirikan keadilan di setiap tempat, memberikan hak kepada
yang berhak, dan memerangi kedzaliman.37
Betapa prinsip keadilan dalam sebuah negara sangat diperlukan, sehingga ada
ungkapan yang “ekstrim” berbunyi: “Negara yang berkeadilan akan lestari kendati ia
negara kafir, sebaliknya negara yang zalim akan hancur meski ia negara (yang
mengatas namakan) Islam”. Pemimpin yang adil melindungi kaum tertindas dan
36
Ibid, h. 73. 37
Yusuf al-Qaradhawi, “Distorsi Sejarah Islam”, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2015), h. 38-39.
52
lemah.Keadilan itu menuntut perlindungan kaum lemah dan mendukung mereka,
sehingga mendapatkan hak-haknya, baik moril maupun materil.38
b. Pandai Menjaga atau bertanggung jawab (Al-Masuliyyah) dan berpengetahuan
(Al-„ilmu)39
Sebagaimana diketahui bahwa, kekuasaan dan jabatan itu adalah amanah yang
harus diwaspadai, bukan nikmat yang harus disyukuri, maka rasa tanggung jawab
bagi seorang pemimpin atau penguasa harus dipenuhi. Kekuasaan sebagai amanah ini
memiliki dua pengertian, yaitu amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan
rakyat dan juga amanah yang harus dipertanggungjawabkan di depan Tuhan. Seperti
yang dikatakan oleh Ibn Taimiyyah bahwa penguasa merupakan wakil Tuhan dalam
mengurus umat manusia dan sekaligus wakil umat manusia dalam mengatur dirinya.
Dengan dihayatinya prinsip al-masuliyyah (pertanggung jawaban) ini diharapkan
masing-masing orang berusaha untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi
masyarakat luas.
Seorang pemimpin/penguasa tidak ditempatkan pada posisi sebagai penguasa
umat (sayyid al-ummah), melainkan sebagai pelayan umat (khadim al-ummah).
Dengan demikian, kemaslahatan umat wajib senantiasa menjadi pertimbangan dalam
setiap pengambilan keputusan oleh para penguasa, bukan sebaliknya rakyat atau umat
ditinggalkan. Selanjutnya berpengetahuan maksudnya seorang pemimpin harus
berilmu, ia tahu bagaimana mengurus urusan umat dan Negara.
Sebagaimana Hadits Rasulullah s.a.w. dari Abu Hurairah, bahwa jika amanah
telah diabaikan maka tunggulah saat kehancuran. Para sahabat bertanya apa makna
dari hadits tersebut yang kemudian dijawab oleh Rasulullah dengan menerangkan
bahwa jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka akan
banyak kesalahan yang ditimbulkan sehingga berakibat kehancuran.
c. Kuat dan jujur40
38
Yusuf al-Qaradhawi, “Fiqih Daulah dalam Perspektif al Qur‟an dan Sunnah”, h. 59. 39
Merujuk firman Allah swt melalui lisan Nabi Yusuf kepada raja Mesir: “Berkata Yusuf:
Jadikanlah aku bendaharawan Negara, sesungguhnya aku orang yang pandai menjaga, lagi
berpengetahuan (Yusuf: 55).
53
Seorang Muslim dengan kemampuan dan amanahnya dapat menduduki posisi
tertinggi tanpa adanya halangan dari agama. Setiap calon pejabat atau pemimpin
wajib memiliki dua kriteria dasar, yaitu kuat dan jujur, sebagaimana yang telah
disebutkan di dalam Al-Qur’an,
“Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada
kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” (Al-Qashash: 26).
Maksud Kuat dalam ayat ini yaitu kuat untuk bekerja serta memiliki
kemampuan dan keahlian, yakni seseorang itu memiliki ilmu dan profesionalitas
dengan pengalamannya. Adapun maksud amanah (dipercaya) dalam ayat tersebut
adalah tidak berkhianat, tidak keluar dari jalan Allah bahkan ia takut kepadanya
sehingga demikian dapat selalu memelihara jabatan dan tugas yang diamanatkannya.
Penguasa tidak bisa memaksakan kehendaknya terhadap rakyat, berlaku
otoriter dan eksploitatif. Kesejajaran ini penting dalam suatu pemerintahan demi
menghindari dari hegemoni penguasa atas rakyat. Dalam perspektif Islam, pemerintah
adalah orang atau institusi yang diberi wewenang dan kepercayaan oleh rakyat
melalui pemilihan yang jujur dan adil untuk melaksanakan dan menegakkan
peraturan dan undang-undang yang telah dibuat. Oleh sebab itu pemerintah memiliki
tanggung jawab besar di hadapan rakyat demikian juga kepada Tuhan.
Kepercayaan atau amanah tersebut harus dijaga dengan baik. Dalam konteks
kenegaraan, pemimpin atau pemerintah yang diberikan kepercayaan oleh rakyat harus
mampu melaksanakan kepercayaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab.
Persoalan amanah ini terkait dengan sikap adil seperti ditegaskan Allah SWT dalam
surat an-Nisa’:58. Karena jabatan pemerintahan adalah amanah, maka jabatan
tersebut tidak bisa diminta, dan orang yang menerima jabatan seharusnya merasa
prihatin bukan malah bersyukur atas jabatan tersebut.
40
Yusuf al-Qaradhawi, “Sekular Ekstrim”, h. 81-82.
54
Islam memanifestasikan akhlak yang luhur, yang Rasulullah saw diutus untuk
menyempurnakannya. Akhlak yang mulia itu adalah keadilan Allah di muka bumi
dan untuk manusia seluruhnya, baik yang dekat ataupun yang jauh.
3. Tujuan Pemimpin41
a. Memelihara dan melindungi rakyat
Seorang pemimpin harus memelihara dan melindungi rakyat (yang dipimpin)
seperti seorang bapak terhadap anak-anaknya sebagaimana dinyatakan dalam hadits
Muttafaq‟alaih, bahwa setiap individu adalah pemimpin bagi dirinya sendiri dan di
akhir jaman kelak akan di minta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya
dihadapan Allah swt.
Perhatikan bagaimana Islam menyerupakan perlindungan seorang pemimpin
terhadap rakyatnya dengan seorang bapak kepada keluarganya, serta seperti yang
telah dikatakan oleh Imam Hasan Al-Bashri kepada Umar bin Abdul Aziz ketika
mensifati pemimpin yang adil. Dia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, pemimpin
yang adil itu, terhadap rakyatnya seperti seorang bapak terhadap anaknya. Ia
mendidik dan memelihara mereka ketika kecil dan melindunginya setelah besar”.
b. Menjalankan amanah yang dipercayakan kepadanya
Seorang yang telah mendapat amanah sebagai pemimpin, dikarenakan ia
memang layak untuk menerimanya. Allah „Azza wa Jalla berfirman;
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya.” (An-Nisaa: 58).
c. Menegakkan keadilan bagi umat manusia
Keutamaan pemimpin yang adil diantaranya bahwa ia termasuk golongan
pertama dari tujuh golongan manusia yang mendapat naungan dari Allah pada hari
yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya (kiamat). Lebih dari itu Al-Qur’an
menjadikan tegaknya keadilan sebagai tujuan dari para Nabi.
41
Ibid, h. 83-84.
55
d. Mengokohkan agama di muka bumi
Dengan menanamkan akidah, menegakkan huduud (sanksi dan hukumannya)
dan menjalankan hukum serta pesan-pesannya, sebagaimana yang telah diisyaratkan
oleh sebuah ayat ketika mensifati orang-orang yang berhak mendapat pertolongan
Allah;
“Yaitu orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka
bumi, mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf
dan mencegah dari perbuatan yang munkar ..” (Al-Hajj: 41).
Memang dalam Islam, pemimpin itu serba terikat dan tidak bebas. Ia diikat
oleh syari’at dan nilai-nilai yang mengarahkannya serta hukum yang mengaturnya.
Hukum yang dibuat oleh Rabb (Tuhan) manusia, bukan dibuat oleh dirinya, oleh
partainya atau oleh pendamping dan pembantu-pembantunya, sehingga siapapun dia,
apakah raja, pemimpin, anggota parlemen, dewan revolusi, panitia inti atau kekuatan
lain di bumi ini tidak diperbolehkan dan tidak berhak merubah atau mengganti hukum
syari’at tersebut, jika hukum atau syari’at tersebut bersifat qat’i atau tetap.42
Adalah hak seorang Muslim dan Muslimah untuk tidak mematuhi perintah
pemimpin apabila perintah atau keputusan itu bertentangan dengan syari’at Allah.
Bahkan ia wajib untuk menolaknya, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam
bermaksiat kepada Allah.43
Berkaitan dengan Pemilu, maka Pemilu (Pemilihan Umum) adalah salah satu
bentuk dan sistem praktis dari konsepsi demokrasi sebagaimana bentuk-bentuk dan
sistem yang lain seperti meminta pendapat rakyat, ketetapan mayoritas, multi-partai,
kebebasan pers dan seterusnya. Pemilu ibarat sebuah kesaksian kelayakan yang
diberikan kepada kandidat; maka pemilih harus memenuhi syarat sebagai saksi antara
lain: adil, diridhoi perilakunya (baca: QSath-Thalaq: 2 dan 2: 282). Memilih kandidat
tanpa standar pemilihan (membeli kucing dalam karung) adalah serupa dengan
memberikan persaksian tidak benar dalam kepemimpinan. Maka memilih kandidat
42
Yusuf al-Qaradhawi, “Fiqih Daulah dalam Perspektif al Qur‟an dan Sunnah”, h. 82. 43
Ibid, h. 82.
56
yang tidak layak adalah perbuatan dosa karena ia memberikan kesaksian palsu (QS.
Al-Hajj: 30).44
Demikian pula motivasi memilih yang salah mengakibatkan bencana bagi
para pemilih itu sendiri (baca: QS. ath-Thalaq: 2). Motivasi salah tersebut seperti:
menerima suap, memilih karena saudara atau karena kawan dekat dan sebagainya,
bukan karena kriteria yang semestinya sebagai calon pemimpin dan negarawan
sejati.45
Seorang Muslim jika dimintai persaksiannya, maka ia harus memberikan
kesaksian yang benar (baca: QS al-Baqarah: 282-283); maka hendaknya setiap
muslim merenung akibat dari ketidakikutannya dalam pemilihan umum.
Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkan banyak orang untuk
mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan
mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka
sukai apalagi dengan dengan memberikan uang atau istilah umum di sebut politik
uang untuk tujuan agar dialah yang terpilih.
Mengingat buruknya akibat politik uang, maka hal ini harus dicegah. Agama
Islam sudah memiliki rumus untuk menanggulanginya. Orang yang memberi dan
yang diberi harus dihukumkan haram. Orang yang memberi uang agar terpilih berarti
sangat menginginkan suatu jabatan, dan hal ini pun dilarang oleh Islam. Hal ini
diterangkan oleh Qaradhawi, bahwa Orang yang memilih pemimpin melalui Pemilu
memiliki tanggung jawab dan konsekuensi. Jika mereka memilih calon yang tidak
layak sebagai pemimpin, karena menerima uang atau sogokan (money politics),
berarti ia telah melakukan dosa besar. Hal itu menurut Qaradhawi sama dengan
memberikan kesaksian palsu dalam perkara peradilan. Begitu juga jika rakyat pemilih
memberikan suaranya kepada calon dengan pertimbangan bahwa calon itu kerabat
44
Ibid, h. 194. 45
Ibid, h. 194.
57
atau orang yang berasal satu daerah dengannya atau karena akan mendapatkan
keuntungan pribadi, berarti pemilih demikian telah menyalahi perintah Allah.46
C. Praktek Demokrasi dan Pelaksanaan Pemilu di Negara Berpenduduk Muslim
Menurut Perspektif al-Qaradhawi
Selanjutnya data yang ada dianalisis dengan memaparkan contoh dari negara
muslim yang telah mempraktekkan demokrasi dan telah melakukan pemilihan umum,
serta telah memilih pemimpin yang diinginkan oleh rakyat. Negara pertama yaitu
Indonesia. Pasca reformasi, Umat Islam Indonesia memanfaatkan momentum euforia
reformasi untuk menyusun kembali format perjuangan penegakan syariat Islam di
jalur politik. Di antaranya adalah mencuatnya kembali cita-cita menjadikan Islam
sebagai landasan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Menurut Nurcholich Madjid
dan M. Amien Rais, sila-sila di dalam Pancasila sendiri sebetulnya sudah
memberikan rumusan yang baik tentang sebagian konsep demokrasi. Karena itu, bila
bangsa Indonesia, khususnya umat Islam taat pada agamanya, maka dipastikan
mereka telah menjalankan nilai-nilai Pancasila, dan mereka sesungguhnya telah
menjalankan demokrasi.47
Menurut Nurcholish dan Amien, sila pertama Pancasila, "Ketuhanan yang
Maha esa" mengandung makna tauhid. Untuk itu, ia menjadi sila utama yang
menyinari dan menjadi dasar etis sila-sila lainnya. Sila pertama adalah sila vertikal
(habl min Allah): beriman kepada Allah. Sedangkan sila-sila selanjutnya adalah sila-
sila horizontal (habl min al-nas): beramal saleh kepada sesama.
Demokrasi di Indonesia pada saat ini justru semakin terkonsolidasi. Pada
tahap transisi, Indonesia telah berhasil melakukan reformasi politik, terutama dalam
bentuk amandemen UUD 1945, yang menekankan pada pembatasan kekuasaan
presiden, penguatan peran DPR, pemilu yang bebas dan jaminan kebebasan
46
Ibid, h. 193-194. 47
Idris Thaha, Islam dan Demokrasi di Indonesia: Studi Perbandingan Politik Nurcholis
Madjid dan M. Amien Rais Tentang Islam dan Demokrasi, Tesis, Perpustakaan Universitas Indonesia,
Deskripsi Dokumen: http://lib.ui.ac.id/opac/ui/detail.jsp?id=82311&lokasi=lokal.
58
berekspresi. Transisi ini dilalui pada 2004, meski transisi itu juga tidak terlepas dari
berbagai persoalan yang cukup krusial. Di antaranya munculnya konflik komunal
serta perdebatan kembali tentang posisi syariat Islam dalam amandemen UUD 1945.
Konsolidasi demokrasi di Indonesia memang masih menghadapi sejumlah
problem dan hambatan, antara lain masih banyaknya praktik korupsi, politik uang,
mafia hukum, konflik pilkada, konflik komunal, intoleransi, kekerasan, serta
radikalisme keagamaan. Namun, kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat
saat ini masih dalam koridor demokrasi, terutama adanya kontrol terhadap
penyelenggara negara, pemilu bebas, serta kebebasan berekspresi dan kebebasan
pers.48
Selanjutnya Negara yang menerapkan demokrasi adalah Negara Islam Iran.
Selepas revolusi Islam Iran mencapai kemenangannya pada tahun 1979, sistem
Republik Islam Iran (RII) telah dibentuk dan didirikan dengan suara mayoritas rakyat
Iran. Berlangsungnya berbagai pemilu dan keikutsertaan rakyat secara bebas dalam
menentukan nasib masa depan sistem Islam ini menarik minat ramai para pemikir
dunia. Karena mereka melihat dalam sebuah pemerintahan yang menolak kriteria
liberalisme barat dan menjadi Islam sebagai contoh memberi hak rakyat secara
menyeluruh. Dengan cara ini, pembentukan pemerintah RII menyebabkan sekali lagi
sistem dari pandangan Islam yakni demokrasi agama menjadi perhatian. Kini dengan
terbitnya fikiran dan ide Imam Khomeini pendiri RII dan Ayatollah Khomeini, sisi
dan keutamaan sistem ini menjadi semakin jelas.
Negara Muslim yang dianggap menerapkan demokrasi secara substantif
adalah Turki. Turki adalah salah satu negara berpenduduk mayoritas Muslim yang
secara resmi menganut "sekularisme". Hal ini disebutkan secara eksplisit dalam pasal
2 Konstitusi Turki, yakni: "Republik Turki adalah negara demokratis, sekuler dan
sosial yang diatur oleh hukum". Ini berarti bahwa di Turki tidak ada simbol dan
hukum agama yang diundangkan dalam negara. Meski demikian, dalam praktiknya,
48
Masykuri Abdillah, Model Demokrasi Di Negara Muslim, Artikel Harian Kompas, 30
Agustus 2016.
59
pemisahan agama dan negara ternyata tidak sepenuhnya terjadi, karena adanya
lembaga negara semacam Departemen Agama (Diyanet İşleri Başkanlığı), sesuai
dengan pasal 136 Konstitusi, yakni: “Departemen Agama, yang berada dalam
administrasi umum, wajib melaksanakan tugasnya yang diatur dalam hukum tertentu,
sesuai dengan prinsip-prinsip sekularisme, terlepas dari semua pandangan dan ide-ide
politik, dan bertujuan untuk solidaritas dan integritas nasional”.49
Selain Turki negara muslim lainnya yang menerapkan demokrasi adalah
Tunisia. Konstitusi Tunisia secara eksplisit menyebutkan posisi Islam antara lain
dalam pasal 1, yakni "Tunisia adalah negara bebas, merdeka, dan berdaulat;
agamanya adalah Islam, bahasanya adalah Arab, dan sistemnya adalah republik”.
Tahap transisi demokrasi di negara ini telah berhasil dilalui, terutama dengan
terbentuknya Konstitusi 2014 dan penyelenggaraan Pemilu secara demokratis.
Masalah krusial yang terjadi di Tunisia pada masa-masa awal transisi demokrasi
adalah perdebatan tentang posisi agama (syariat Islam) dalam negara atara kelompok
sekuler dan kelompok agama. Namun perdebatan itu disertai juga dengan dialog dan
kompromi di antara kelompok-kelompok politik yang ada. Hasilnya antara lain
adalah bahwa ketentuan tentang posisi agama dalam Konstitusi 2014 tetap sama
dengan ketentuan dalam Konstitusi 1959.50
Dalam hal ini peran Rachid Ghannusi dan partai yang dipimpinnya, Partai
Ennahdah yang berhaluan Islamis, sangat penting. Partai yang memenangi Pemilu
tahun 2011 ini bersedia melakukan dialog dan kompromi secara damai dengan
kelompok oposisi yang beraliran sekuler. Dialog nasional juga didukung oleh empat
organisasi civil society, yang disebut Tunisian National Dialogue Quartet, yang
kemudian mendapatkan hadiah Nobel pada 2015. Mereka adalah Tunisian General
49
Masykuri Abdillah, Model Demokrasi Di Negara Muslim, Artikel Harian Kompas, 30
Agustus 2016. 50
Masykuri Abdillah, Model Demokrasi Di Negara Muslim, Artikel Harian Kompas, 30
Agustus 2016.
60
Labour Union (UGTT), Tunisian Confederation of Industry, Trade and Handicrafts
(UTICA), dan Tunisian Human Rights League (LTDH).51
Dengan kompromi tersebut juga, pada awal 2014 pemerintahan Partai
Ennahdah bersedia mundur untuk memberi jalan bagi pembentukan pemerintahan
non-partisan yang akan bertugas sampai Pemilu yang dilaksanakan pada Oktober
2014. Pemilu 2014 ini dimenangkan oleh Partai beraliran sekuler, yakni Partai Nidaa
Tounes. Meski demikian, di negara ini telah terjadi perubahan tentang kehidupan
beragama. Sebelum revolusi tahun 2011, Tunisia memiliki tradisi dan sistem hukum
sekuler, walaupun di negara ini ada lembaga-lembaga keagamaan, seperti
Kementeriaan Agama. Setelah revolusi, posisi agama dalam kehidupan masyarakat
dan negara lebih menonjol daripada periode sebelumnya, sebagai akibat dari adanya
kebebasan berekspresi di negara ini yang semakin terjamin.52
Gambaran tentang demokrasi yang diimplementasikan berdasarkan perspektif
Qaradhawi di negara-negara dengan persentase penduduk muslim terbesar, dapat
dilihat pada tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Implementasi Demokrasi Berdasarkan Perspektif Qaradhawi di Negara-
negara Dengan Persentase Penduduk Muslim Terbesar
No.
Negara
%
Muslim
Demokrasi Perspektif
Al-Qaradhawi
Dasar
demokra
si adalah
agama
Penerapan
syura untuk
pengambilan
keputusan
Kebebasan
beraspirasi
1. Indonesia 88,1% * X X √
51
Masykuri Abdillah, Model Demokrasi Di Negara Muslim, Artikel Harian Kompas, 30
Agustus 2016. 52
Masykuri Abdillah, Model Demokrasi Di Negara Muslim, Artikel Harian Kompas, 30
Agustus 2016.
61
2. Turki 98,6% * X X √
3. Pakistan 96,4% * X √ X
4. Bangladesh 90,4% * X √ X
5. Afghanistan 99,9% * X √ X
6. Mesir 94,7% * X X X
7. Nigeria 47,9% * X X X
8. Iran 99,6% * √ √ √
9. Tunisia 99% * √ √ √
10. Mali 92% ** √ √ X
11. Sudan 95% ** √ √ X
12. Albania 80% ** √ √ X
13. Azerbaijan 99% ** √ √ X
14. Uzbekistan 96% ** √ √ X
* Data dari The Pew Forum on Religion & Public Life pada tahun 2010
** Data dari Freedom House antara tahun 2010-2012
*** Keterangan √ : menerapkan dan X tidak menerapkan
Berdasarkan tabel di atas, negara Indonesia dan Turki adalah negara dengan
kesempatan untuk melakukan kebebasan berekspresi. Namun dalam hal dasar
demokrasi adalah agama dan penerapan syura untuk pengambilan keputusan,
Indonesia dan Turki sama-sama tidak termasuk di dalamnya walaupun masing-
masing negara tersebut memiliki Departemen Agama yang berkewajiban mengurus
kepentingan umat Islam. Hal itu Di sebabkan karena Indonesia bukan negara Islam
tetapi negara dengan ideologi Pancasila, sedangkan Turki adalah negara sekuler yang
memisahkan urusan negara dengan agama.53
53
Masykuri Abdillah, Model Demokrasi Di Negara Muslim, Artikel Harian Kompas, 30
Agustus 2016.
62
Negara selanjutnya yaitu Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan yang telah
mengalami masa-masa panjang di dalam intervensi Barat yang telah berlangsung
lama. Akibat dari itu maka lahirlah kaum jihadis dan institusi tradisional seperti
Taliban menjadi semakin kuat, bukan hanya di Afganistan, namun juga merembet ke
negara-negara muslim tetangganya, khususnya Pakistan. Berdasarkan tabel di atas
negara Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan tidak melaksanakan dasar demokrasi
adalah agama dan kebebasan beraspirasi, karena dengan masifnya intervensi militer
ke negara ini, membentuk pandangan orang Afganistan bahwa Barat beserta nilai-
nilai budayanya, termasuk demokrasi adalah musuh bagi mereka.54
Namun penerapan
syura untuk pengambilan keputusan dilakukan oleh negara-negara ini karena hal
tersebut berasal dari syariat Islam.
Berikutnya adalah negara Mesir dan Nigeria, di negara ini terjadi kegagalan
demokrasi di kawasan ini, Schneier menyatakan salah satu faktor yang paling
menentukan adalah peran militer yang dominan dalam ranah politik. Militer lah
institusi politik yang paling berpengaruh di Mesir dan Nigeria. Fakta ini bisa
menjelaskan bahwa di Mesir ketika presiden Mohammed Morsi terpilih melalui
pemilu demokratis, dengan segera dapat digantikan oleh rezim militer kembali.
Kekuatan militer yang terlanjur menguasai sumberdaya ekonomi dan politik adalah
kunci dari sulitnya demokrasi di negara ini.55
Berdasarkan tabel di atas negara Mesir
dan Nigeria tidak melaksanakankan demokrasi menurut perspektif Qaradhawi.
Selanjutnya adalah negara Iran dan Tunisia, dari tabel 1 bisa dilihat bahwa
kedua negara ini adalah negara yang mengimplementasikan demokrasi menurut
Qaradhawi. Di negara Iran, telah berlangsungnya berbagai pemilu dan keikutsertaan
rakyat secara bebas dalam menentukan nasib masa depan sistem Islam ini menarik
minat ramai para pemikir dunia. Karena mereka melihat dalam sebuah pemerintahan
yang menolak kriteria liberalisme barat dan menjadi Islam sebagai contoh memberi
54
Rangga Eka Saputra, Islam, Demokrasi, dan Institusi Politik di Indonesia, Turki dan Dunia
Islam; review buku Edward Schneier (2016) “Muslim Democracy: Politics, Religion and Society in
Indonesia, Turkey and the Islamic World”, Jurnal Studia Islamika, Vol. 24, No. 1, 2017, h. 193. 55
Ibid, h. 191.
63
hak rakyat secara menyeluruh.56
Sedangkan di negara Tunisia Tahap transisi
demokrasi di negara ini telah berhasil dilalui, terutama dengan terbentuknya
Konstitusi 2014 dan penyelenggaraan Pemilu secara demokratis. Konstitusi Tunisia
secara eksplisit menyebutkan posisi Islam antara lain dalam pasal 1, yakni "Tunisia
adalah negara bebas, merdeka, dan berdaulat; agamanya adalah Islam, bahasanya
adalah Arab, dan sistemnya adalah republik”.57
Berdasarkan tabel 1, dapat di lihat negara di benua Afrika seperti Mali, dan
Sudan, pada prakteknya melaksanakan dasar demokrasi adalah agama dan penerapan
syura untuk pengambilan keputusan. Namun dalam hal pelayanan publik dan
pembangunan ekonomi sangat lambat. Kondisi ini mengakibatkan melemahnya
kepercayaan rakyat terhadap negara. Sehingga berdampak pada tidak berjalannya
kebebasan beraspirasi. Begitu juga dengan negara-negara bekas jajahan Uni Sovyet,
seperti Albania, Azerbeijan, dan Uzbekistan, di lihat pada tabel 1 bahwa negara ini
melaksanakan dasar demokrasi adalah agama dan penerapan syura untuk
pengambilan keputusan, namun tidak berjalannya kebebasan beraspirasi. Hal ini
disebabkan karena sebagai bekas jajahan Uni Sovyet yang memiliki faham komunis
dan penuh tekanan-tekanan kepada umat Muslim, sehingga perlu pemulihan kondisi
baik fisik maupun mental dari umat muslim di negara ini secara perlahan-lahan.
Seiring dengan waktu akan tercipta kondisi yang lebih baik di negara ini.
Demokrasi yang diimplementasikan pada setiap negara pasti berbeda-beda,
tetapi subtansi demokrasi yang terpenting adalah adanya keterlibatan dan partisipasi
rakyat dalam memilih para pemimpin yang terwujud pada pemilihan umum yang
bebas dan jujur. Menurut Qaradhawi sikap apriori dari sebagian umat Islam terhadap
demokrasi berangkat dari perbedaan mendasar antara konsep demokrasi sekuler
dengan konsep politik Islam yang terletak pada pandangan tentang pemegang
kedaulatan. Konsep demokrasi menurut Qaradhawi adalah menuntut demokrasi agar
56
Masykuri Abdillah, Model Demokrasi Di Negara Muslim, Artikel Harian Kompas, 30
Agustus 2016. 57
Masykuri Abdillah, Model Demokrasi Di Negara Muslim, Artikel Harian Kompas, 30
Agustus 2016.
64
digunakan sebagai sarana atau alat yang mudah untuk mewujudkan tujuan hidup
seorang muslim.58
58
Yusuf al-Qaradhawi, “Fiqih Daulah dalam Perspektif al Qur‟an dan Sunnah”, h. 202-204.
65
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Menurut Yusuf al-Qaradhawi, substansi demokrasi pertama, dalam
demokrasi proses pemilihan melibatkan banyak orang untuk mengangkat
seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka.
Tentu saja, mereka tidak boleh dipaksakan untuk memilih sesuatu yang
mereka tidak sukai. Demikian juga halnya dalam Islam. Islam menolak
seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di
belakangnya.
Kedua, usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga
sejalan dengan Islam. Bahkan amar ma’ruf dan nahi munkar serta
memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam.
Ketiga, pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, siapa
saja yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya
layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang
sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk
memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
2. Dalam memilih pemimpin, Qaradhawi menetapkan beberapa kriteria-kriteria
dan tujuan dari seorang pemimpin sebagai berikut:
a. Kriteria Pemimpin
1) Adil (Al-’adalah);
2) Pandai Menjaga atau bertanggung jawab (Al-Masuliyyah) dan
berpengetahuan (Al-‘ilmu);
3) Kuat dan jujur (Al-Amin).
b. Tujuan Pemimpin
1) Memelihara dan melindungi rakyat;
2) Menjalankan amanah yang dipercayakan kepadanya;
65
66
3) Menegakkan keadilan bagi umat manusia;
4) Mengokohkan agama di muka bumi.
3. Berdasarkan analisis data, negara yang mengimplementasikan demokrasi
menurut perspektif al-Qaradhawi adalah negara Tunisia dan Iran.
B. SARAN
1. Penelitian ini membuka wacana demokrasi dalam Islam menurut perspektif
ulama besar dunia Yusuf Al Qaradawi menjadi lebih terang benderang. Masih
ada beberapa karya besar Yusuf Al Qaradhawi lainnya yang dapat dijadikan
bahan untuk penelitian selanjutnya.
2. Dalam mewujudkan konsep demokrasi yang berkesesuaian dengan Islam,
langkah yang harus dilakukan adalah seluruh warga atau sebagian besarnya
harus diberi pemahaman yang benar tentang Islam sehingga aspirasi yang
mereka sampaikan tidak keluar dari ajarannya.
67
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1995.
Al-Qardhawi, Yusuf. 70 Tahun al-Ikhwan al-Muslimin. Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 1999.
Al-Qardhawi, Yusuf. Al-Ghazali Antara Pro dan Kontra. Ter. Hasan Abrori.
Jakarta: Pustaka Progresif, 1996.
Al-Qardhawi, Yusuf. Distorsi Sejarah Islam. Ter. Arif Munandar Riswanto.
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005.
Al-Qardhawi, Yusuf. Fiqih Daulah Dalam Perspektif al-Qur’an dan Sunnah. Alih
Bahasa Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1997.
Al-Qardhawi, Yusuf. Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik. Ter. Khoirul
Amru Harahap. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008.
Al-Qardhawi, Yusuf. Pedoman Bernegara Dalam Perspektif Islam. Alih Bahasa
Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999.
Al-Qardhawi, Yusuf. Reformasi Pemikiran Islam Abad 21. Ter. Farid Zaini.
Surabaya: Bina Ilmu, 1998.
Al-Qardhawi, Yusuf. Sekular Ekstrim. Ter. Nabhani Idris. Jakarta: Pustaka al-
Kautsar, 2000.
Asy-Syawi, Taufiq Muhammad. Demokrasi atau Syura. Ter. Djamaluddin Z.S.
Jakarta: Penerbit Gema Insani, 2013.
Dahl, Robert A. Demokrasi dan Para Pengkritiknya. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1992.
Huwaidi, Fahmi. Demokrasi, Oposisi, dan Masyarakat Madani. Terj. M. Abdul
Ghofar. Bandung: Mizan, 1996.
Kamil, Sukron. Pemikiran Politik Islam Tematik. Jakarta: Penerbit Kencana,
2013.
Muhajir, N. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 1996.
67
68
Ranier, G. J. Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah. Ter. Muin Umar. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1987.
Zakaria, Fareed. The Future of Freedom: Liberal Democracy at Home and
Abroad, 2003.
SKRIPSI/TESIS
Ani Fatikha. “Sistem Pendidikan Islam Menurut Yusuf al Qardhawi dan
Relevansinya dengan Sistem Pendidikan Islam Indonesia.” Skripsi
Pendidikan Agama Islam, Yogyakarta: Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga,
2012.
Mulianti. “Pemikiran Yusuf Qardhawi Tentang Islam dan Politik.” Skripsi S1,
Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin.
Rashda Diana. “Partisipasi Politik Muslimah Dalam Pandangan Yusuf Qardhawi.”
Sripsi S1, Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor.
Sukron Ma’mun. “Studi Pemikiran Yusuf Al-Qardhawi Tentang Ide-Ide
Demokrasi Dalam Islam.” Tesis S2, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2007.
Yadi Ariyanto. “Pemikiran Yusuf al-Qardhawi Mengenai Sikap Politik Muslim
dan Non Muslim.” Skripsi S1, Universitas Islam Negeri Antasari
Banjarmasin.
JURNAL
Sukron Ma’mun. “Pluralisme Agama dan Toleransi Dalam Islam Perspektif
Yusuf al-Qardhawi.” Jurnal Humaniora vol. 8 no. 2 Oktober 2013.
Ghunarsa Sujatmika. “Pengisian Jabatan Kepala Negara: Analisa Terhadap
Kriteria Calon dan Sistem Pemilihan Dalam Perspektif Islam.” Jurnal
Syariah Juli 2016.
Rangga Eka Saputra. “Islam, Demokrasi, dan Institusi Politik di Indonesia, Turki,
dan Dunia Islam.” Jurnal Studia Islamika volume 24 no.1 2017.
Muhammad Hanafi. “Kedudukan Musyawarah dan Demokrasi di Indonesia.”
Jurnal Cita Hukum vol. 1 no. 2 Desember 2013.
top related