demensia
Post on 12-Jan-2016
215 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia terus meningkat jumlahnya
bahkan pada tahun 2005-2010 diperkirakan menyamai jumlah usia bayi di
bawah lima tahun (balita) yaitu sebesar 8,5% dari jumlah seluruh penduduk
atau sekitar 19 juta jiwa. Kondisi ini adalah tantangan karena masalah degeratif
akibat proses penuaan yang sering menyertai para lansia.
Gangguan kognitif merupakan masalah yang cukup serius untuk para
usia lanjut, karena dapat mengganggu aktivitas hidup sehari-hari dan
kemandirian. Kondisi ini adalah tantangan karena masalah penyakit degeneratif
akibat proses penuaan yang sering menyertai para lansia. Kondisi gangguan
kognitif ini bervariasi antara ringan, sedang, dan berat. Proses penuaan otak
merupakan bagian dari proses degenerasi yang dapat menimbulkan gangguan
neuropsikologis, salah satunya yang paling umum terjadi pada lansia adalah
demensia.
Demensia beresiko tinggi pada kelompok usia diatas 65 tahun dan tidak
bergantung pada budaya, suku, kebudayaan, dan status ekonomi. Jumlah
penderita demensia dari tahun ke tahun terus meningkat karena prevalensi
demensia yang meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Menurut data
Badan Kesehatan Dunia tahun 2000 dari 580 juta lansia di dunia sekitar 40 juta
diantaranya mengalami demensia.
Berdasarkan data Deklarasi Kyoto, tingkat prevalensi dan insidensi
demensia di Indonesia menempati urutan keempat setelah China, India, dan
Jepang. Pada tahun 2000 prevalensi demensia sebanyak 606.100 orang dan
insidensi sebanyak 314.100 orang, dan pada tahun 2050 prevalensi demensia
meningkat menjadi 3.042.000 orang dengan insidensi sebanyak 932.000 orang.
Peningkatan insiden dan prevalensi demensia merupakan tantangan bagi
pemberi pelayanan kesehatan di Indonesia khususnya, karena dampak demesia
yang dapat menimbulkan perubahan perilaku pada lansia. Kondisi ini
menyebabkan lansia demensia memerlukan perhatian dan perawatan yang
khusus dari keluarganya.
Perawatan lansia demensia dapat menimbulkan dampak pada keluarga
berupa beban yang terjadi karena lansia demensia memerlukan pendampingan
yang terus menerus. Hal ini dapat menimbulkan Burden seperti yang
diungkapkan oleh Zarit.
Kondisi ini tentu menarik untuk dikaji dalam kaitannya dengan masalah
demensia. Betapa besar beban yang harus ditanggung oleh negara atau
keluarga jika masalah demensia tidak disikapi secar tepat dan serius,
sehubungan dengan dampak yang ditimbulkannya. Mengingat bahwa masalah
demensia merupakan masalah masa depan yang mau tidak mau akan dihadapi
orang Indonesia dan memerlukan pendekatan holistik karena umumnya lanjut
usia (lansia) mengalami gangguan berbagai fungsi orggan dan mental, maka
masalah demensia memerlukan penanganan lintas profesi yang melibatkan :
Internist, Neurologist, Psikiater, Spesialist Gizi, Spesialist Medis dan Psikolog
Klinis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang
disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak berhubungan dengan gangguan
tingkat kesadaran. Pasien dengan demensia harus mempunyai gangguan
memori selain kemampuan mental lain seperti berpikir abstrak, penilaian,
kepribadian, bahasa praksis dan visuospasial. Defisit yang terjadi harus cukup
berat sehingga mempengaruhi aktivitas kerja dan sosial secara bermakna.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Jumlah lansia pada tahun 1995 lebih kurang 13,2 juta jiwa dan pada
tahun 2000 meningkat menjadi 15,3 juta jiwa. Kemudian pada tahun 2005
diperkirakan meningkat menjadi 19,9 juta jiwa atau 8,48% dari jumlah
penduduk. Smentara jumlah lansia terlantar berjumlah 2.848.854 jiwa
(berdasarkan data Pusdatin Kesos Tahun 2002).
Data terakhir pada tahun 2009 menunjukan penduduk lansia di Indonesia
berjumlah 20.547.541 jiwa. Diperkirakan jumlah penduduk lansia di
Indonesia pada tahun 2020 akan mencapai 28,8 juta jiwa atau sekitar 11%
dari total penduduk indonesia. Pada tahun 2021 usia lanjut di Indonesia
diperkirakan mencapai 30,1 juta jiwa yang merupakan urutan keempat di
dunia sesudah China, India, dan Amerika Serikat.
Menjelang tahun 2050 jumlahnya diperkirakan meningkat menjadi lebih
dari 50 juta jiwa. Peningkatan angka kejadian kasus demensia berbanding
lurus dengan meningkatnya harapan hidup suatu populasi. Kira-kira 5% usia
lanjut 65-70 tahun menderita demensia dan meningkat dua kali lipat setiap 5
tahun mencapai lebih 45% pada usia diatas 85 tahun. Pada negara industri
kasus demensia 0,5-1,0% dan di Amerika jumlah demensia pada usia lanjut
10-15% atau sekitar 3-4 juta orang.
Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia.
Prevalensi demensia sedang hingga berat bervariasi pada tiap kelompok usia.
Pada kelompok usia diatas 65 tahun prevalensi demensia sedang hinga berat
mencapai 5%, sedangkan pada kelompok usia diatas 85 tahun prevalensinya
mencapai 20-40%.
Dari seluruh pasien yang menderita demensia, 50-60% diantaranya
menderita jenis demensia yang paling sering dijumpai, yaitu demensia tipe
Alzheimer (Alzheimer’s Diseases). Prevalensi demesiia tipe Alzheimer
meningkat seiring bertambahnya usia. Untuk seseorang yang berusia 65 tahun
prevalensinya adalah 0,6% pada pria dan 0,8% pada wanita. Pada usia 90
tahun, prevalensinya mencapai 21%. Pasien dengan demensia tipe Alzheimer
membutuhkan lebih dari 50% perawatan rumah (Nursing Home Bed).
Jenis demensia yang paling lazim ditemui berikutnya adalah demesia
vaskuler, yang secara kausatif dikaitkan dengan penyakit serebrovaskular.
Hipertensi merupakan faktor predisposisi bagi seseorang untuk menderita
demensia. Demensia vaskuler paling sering ditemui pada seseorang yang
berusia antara 60-70 tahun dan lebih sering pada laki-laki daripada wanita.
Sekitar 10-15% pasien menderita kedua jenis demensia tersebut.
Penyebab demensia paling sering lainnya, masing-masing mencerminkan
1-5% kasus adalah trauma kepala, demensia yang berhubungan dengan
alkohol, dan berbagai jenis demensia yang berhubungan dengan gangguan
pergerakan, misalnya penyakit Huntington dan penyakit Parkinson. Karena
demensia adalah suatu sindrom yang umum, dan mempunyai banyak
penyebab, dokter harus melakukan pemeriksaan klinis dengan cermat pada
seorang pasien dengan demensia untuk menegakkan penyebab demensia pada
pasien tertentu.
2.3 KORMOBIDITAS
Demensia adalah bukan hanya masalah memori. Masalah mental dan
perilaku. Tambahan sering mempemngaruhi norang-orang yang telah
demesia, dan dapat mempengaruhi kualitas hidup, perawat, dan kebutuhan
untuk pelembagaan.
Depresi mempengaruhi 20-30% dari orang yang memiliki demesia, dan
sekitar 20% mengalami kecemasan. Psikosis (sering delusi penganiayaan) dan
agitasi/ agreasi juga sering menyertai demensia. Masing-masing perlu dinilai
dan diperlakukan independen dari demensia yang mendasarinya.
2.4 ETIOLOGI
Penyebab demensia yang paling sering pada individu yang berusia diatas
65 tahun adalah (1) penyakit Alzheimer, (2) demensia vaskuler, dan (3)
campuran antara keduanya. Ada juga penyebab lain yang mencapai kira-kira
10% diantaranya adalah demensia Lewy Body, penyakit Pick, demensia
frontotemporal, hidrosefalus tekanan normal, demensia alkoholik, demensia
infeksiosa (misalnya HIV atau sifilis) dan penyakit Parkinson. Banyak jenis
demensia yang melalui evaluasi dan penatalaksanaan klinis berhubungan
dengan penyebab yang reversibel seperti kelainan metabolik (misalnya
hipotiroidisme), defisiensi nutrisi (misalnya defisiensi vitamin B12 atau
defisiensi asam folat), atau sindrom demensia akibat depresi.
Dalam sebuah literatur disebutkan bahwa penyakit yang dapat
menyebabkan timbulnya gejala demensia ada sejumlah tujuh puluh lima.
Beberapa penyakit dapat disembuhkan sementara sebagian besar tidak dapat
disembuhkan. Berikut ini jenis dan penyebab demensia pada usia lanjut :
1. Keadaan yang secara potensial reversibel atau bisa dihentikan, yaitu :
Intoksikasi (obat, termasuk alkohol, dan lain-lain)
Infeksi susunan saraf pusat
Gangguan metabolic
Gangguan nutrisi
Gangguan vaskuler (demensia multi-infark, dll)
Lesi desak ruang
Hidrosefalus
Depresi
2. Penyakit degenerative progresif, yaitu :
- Tanpa gejala neurologik penting, seperti :
Penyakit Alzheimer
Penyakit Pick
- Dengan gangguan neurologic lain yang prominen, seperti :
Penyakit Parkinson
Penyakit Huntington
Kelumpuhan supranuklear progresif
Penyakit degeneratif yang jarang didapat
Sebagian besar peneliti dalam risetnya sepakat bahwa penyebab utama
dari gejala demensi adalah penyakit Alzheimer yaitu sekitar 50-60%.
Alzheimer adalah kondisi dimana sel syaraf pada otak mati sehingga
membuat signal dari otak tidak dapat ditransmisikan sebagimana mestinya.
Penderita Alzheimer mengalami gangguan memori, kemampuan membuat
keputusan dan juga penurunan proses berpikir.
2.5 KLASIFIKASI
1. Demensia Ireversibel
a. Demensia Tipe Alzheimer
- Awitan sulit ditentukan karena timbul secara perlahan-lahan, tetapi
berkisar antara awal usia 50an (awitan dini) sampai 80 tahun
(awitan lambat).
- Pedoamn diagnostik : tampak gelisah, menghindari kegiatan sosial,
tidak ada bukti klinis yang menyatakan bahwa adanya penyakit otak
atau sistemik, tidak ada gejala neurologik kerusakan otak fokal.
b. Korea Huntington
- Termasuk penyakit yang diturunkan secara autosomal dominan
akibat defek dari kromosom 4.
- Pedoman diagnostik : adanya hubungan antara gerakan koreiform,
demensia, dan riwayat keluarga dengan penyakit Huntington; gejala
demensia ditandai dengan gangguan fungsi lobus frontalis.
c. Penyakit Parkinson
- Lesi terletak di ganglia basalis. Pada beberapa kasus ditemukan
gejala depresi dan atau demensia.
d. Lain-lain
- Penyakit pick, penyakit creutzfeldt-jacob, ensefalitis herpes
simpleks, multiple sclerosis, HIV, dan trauma kepala.
2. Demensia Reversibel
a. Demensia vaskular
- Ciri khas: awitan timbul timbul secara mendadak, dapat pula
bertahap, disertai dengan adanya gejala neurologis fokal.
b. Normal-pressure hydrocephalus
- Tekanan cairan serebri-spinal normal, tetapi pada MRI ditemukan
pembesaran ventrikel
- Ciri khas: gejala ataksia, inkontinensia, dan demensia progresif.
3. Demensia Terinduksi Zat
a. Intoksikasi obat
Umumnya terjadi pada usia lanjut. Obat-obat yang sering
menyebabkan intoksikasi : tranquilizer mayor dan minor, analgesik
(terutama fenasetin), digoksin, primidon, fenasemid, metildopa.
b. Tumor otak
Demensia diakibatkan terutama tumor metastatik dan meningioma.
Dapat ditemukan tanda fokal, kecuali tumor ada di lobus frontal.
c. Trauma otak
Dapat timbul dengan atau tanpa riwayat trauma (misalnya hematoma
subdural yang terjadi pada usia lanjut). Gejala berupa demensia, sakit
kepala, dan mengantuk.
d. Infeksi
Abses otak, sifilis SSP, meningitis tuberkulosis, dan meningitis
kriptokokus.
e. Gangguan metabolik
Hipotiroidisme, hipertiroidisme, gangguan elektrolit, sindrom
cushing, hipoglikemia, hipoparatiroidisme, daan hiperparatiroidisme.
f. Gangguan jantung, paru, hati, dan ginjal
Antara lain gagal jantung kronis, aritmia, hipoksia kronis,
hiperkapnia, ensefalopati hepatikum, uremia, demensia dialisis, serta
defisiensi vitamin B12 dan asam folat.
2.6 MANIFESTASI KLINIS
Tidak jauh berbeda dengan gejala klinis namun beberapa hal yang
menarik dari gejala penderita demensia adalah adanya perubahan kepribadian
dan tingkah laku sehingga mempengaruhi aktivitas sehari-hari. Penderita
yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah lansia dengan usia 65 tahun
keatas. Lansia penderita demensia tidak memperlihatkan gejala yang
menonjol pada tahap awal, mereka sebagaimana lansia pada umumnya
mengalami proses penuaan dan degeneratif. Kejanggalan awal dirasakan oleh
penderita itu sendiri, mereka sulit mengingat nama cucu mereka atau lupa
meletakkan suatu barang.
Mereka sering kali menutupi hal tersebut dan meyakinkan diri sendiri
bahwa itu adalah hal yang biasa pada usia mereka. Kejanggalan berikutnya
mulai dirasakan oleh orang-ornag terdekat yang tinggal bersama, mereka
merasa khawatir terhadap penurunan daya ingat yang semakin menjadi,
namun sekali lagi keluarga merasa bahwa mungkin lansia kelelahan dan perlu
banyak istirahat. Mereka belum mencurigai adanya sebuah masalah besar di
balik penurunan daya ingat yang dialami oleh orang tua mereka.
Gejala demensia berikutnya yang muncul biasanya berupa depresi pada
lansia, mereka menjaga jarak dengan lingkungan dan lebih sensitif. Kondisi
seperti ini dapat saja diikuti oleh munculnya penyakit lain dan biasanya akan
memperparah kondisi lansia. Pada saat ini mungkin saja lansia menjadi sangat
ketakutan bahkan sampai berhalusinasi. Di sinilah keluarga membawa lansia
penderita demensia ke rumah sakit dimana demensia bukanlah menajdi hal
utama fokus pemeriksaan.
Seringkali demensia luput dari pemeriksaan dan tidak terkaji oleh tim
kesehatan. Tidak semua tenaga kesehatan memiliki kemampuan untuk dapat
mengkaji dan mengenali gejala demensia. Mengkaji dan mendiagnosa
demensia bukanlah hal yang mudah dan cepat, perlu waktu yang panjang
sebelum memastikan seseorang positif menderita demensia. Setidaknya ada 5
jenis pemeriksaan penting yang harus dilakukan, mulai dari pengkajian latar
belakang individu, pemeriksaan fisik, pengkajian syaraf, pengkajian status
mental dan sebagai penunjang perlu dilakukan juga tes laboratorium.
Pada tahap lanjut demensia menmunculkan perubahan tingkah laku yang
semakin mengkhawatirkan, sehingga perlu sekali bagi keluarga memahami
dengan baik perubahan tingkh laku yang dialami oleh lansia penderita
demensia. Pemahaman perubahan tingkah laku pada demensia dapat
memunculkan sikap empati yang sangat dibutuhkan oleh para anggota
keluarga yang harus dengan sabar merawat mereka. Perubahan tingkah laku
(behavioral symptom) yang dapat terjadi pada lansia penderita demensia di
antaranya adalah delusi, halunsinasi, depresi, kerusakan fungsi tubuh, cemas,
disorientasi spasial, ketidakmampuan melakukan tindakan yang berarti, tidak
dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri, melawan, marah,
agitasi, apatios, dan kabur dari tempat tinggal.
Secara umum tanda dan gejala demensia adalah sebgaia berikut :
1. Menurunnya daya ingat yang terus terjadi. Pada penderita demensia,
“lupa” menjadi bagian keseharian yang tidak bisa lepas.
2. Gangguan orientasi waktu dan tempat, misalnya : lupa hari, minggu,
bulan, tahun, tempat penderita demensia berada
3. Penurunan dan ketidakmampuan menyusun data menjadi kalimat
yang benar, emnggunankan kata yang tidak tepat untuk sebuh
kondisi, mengulang kata atau cerita yang sama berkali-kali
4. Ekspresi yang berlebihan, misalnya menangis berlebihan saat melihat
sebuah drama televisi, marah besar pada kesalahan kecil yang
dilakukan orang lain, rasa takut dan gugup yang tidak beralasan.
Penderita kadang tidak mengerti mengapa perasaan-perasaan tersebut
muncul.
5. Adanya perubahan perilaku, seperti: acuh tak acuh, menarik diri dan
gelisah.
2.7 PENEGAKKAN DIAGNOSA
Penegakkan diagnosis yang tepat antara jenis demensia (kortikal dan
subkortikal) akan memerlukan, dirujukan setidaknya, ke dokter spesialis,
misalnya seorang internist geriatrik, psikiater, ahli saraf geriatri,
neuropsikolog atau geropsychologist. Namun, terdapat beberapa test singkat
(5-15 menit) yang memiliki keandalan yang masuk akal dan dapat digunakan
di kantor atau pengaturan lain untuk layar status kognitif untuk defisit yang
dianggap patologis. Contoh tes tersebut termasuk milai tes disingkat mental
(AMTS), negara mini pemeriksaan mental (MMSE), modified mini-mental
state examination (3ms), yang kognitif kemampuan instrumen screening
(CASI), dan uji gambar jam.
Sebuah AMTS skor kurang dari 6 (dari skor kemungkinan sepuluh) dan
skor MMSE di bawah 24 (dari skor kemungkinan 30) menunjukkan
kebutuhan untuk evaluasi lebih lanjut. Skor harus ditafsirkan dalam konteks
latar belakang pendidikan seseorang dan lainnya. Dan keadaan tertentu,
misalnya, seseorang yang sangat tertekan atau sangat kesakitan tidak akan
diharapkan utnuk melakukan dengan baik pada banyak tes kemampuan
mental.
1. Mini-mental state pemeriksaan
AS preventive services task force (USPSTF) tes ditelaah untuk
penurunan kognitif dan menyimpulkan :
MMSE -> sensitivitas 71%- 92%, spesifisitas 56-96%
2. Modifikasi mini-mental state pemeriksaan (3ms)
Salinan 3ms yang sedang online. Sebuah meta-analisis disimpulkan
bahwa modifikasi mini-mental state (3ms) pemeriksaan memiliki
sensitivitas 83-93,5% dan spesifitas 85-90%.
3. Disingkat skor tes mental
Sebuah meta-analisis menyimpulkan : termasuk uji jam-gambar.
Meskipun beberapa mungkin muncul sebagai alternatif yang lebih
baik untuk MMSE tersebut, saat ini MMSE adalah terbaik dipelajari.
Namun, akses ke MMSE sekarang dibatasi oleh penegakan hak
ciptanya.
Pendekatan lain untuk skrining untuk demensia adalah untuk
meminta suatu (pendukung relatif atau lainnya) informan untuk
mengisi kuesioner tentang fungsi sehari-hari kognitif seseorang.
Koesioner informan memberikan informasi tambahan untuk tes
kognitif singkat. Mungkin koesioner paling dikenal semacam ini
adalah koesioner informan pada penurunan kognitif lansia.
4. Tes laboratorium
Tes darah rutin juga biasanya dilakukan untuk menyingkirkan
penyebab diobati. Tes-tes ini termasuk B12, asam folat, thyroid-
stimulating hormones (TSH), p[rotein C-reaktif, hitung darah
lengkap, elektrolit, kalsium, fungsi ginjal, dn enzim hati. Kelainan
mungkin menyarankan kekurangan vitamin, infeksi atau masalah
lainnya yang sering menyebabkan kebingungan atau disorientasi pada
orang tua. Masalahnya rumit oleh fakta bahwa kebingungan ini
menyebabkan lebih sering pada orang yang memiliki demensia dini,
sehingga “pembalikan” dari masalah tersebut pada ahkirnya mungkin
hanya bersifat sementara.
5. Imaging
CT scan atau MRI umumnya dilakukan, walaupun modalitas ini tidak
memiliki kepekaan optimal untuk perubahan metabolik menyebar
berhubungan dengan demensia pada pasien yang menunujukkan tidak
ada masalah neurologis kotor (seperti kelumpuhan atau kelemahan)
pada ujian neurologis. CT atau MRI mungkin menyarankan
hidrosefalus takanan normal, penyebab berpotensi demensia
reversibel, dan dapat menghasilkan informasi yang relevan dengan
jenis lain demensia, seperti infark (stroke) yang akan menunjuk pada
jenis demensia vaskuler.
Modalitas neuroimaging fungsionalPET SPECT dan lebih berguna
dalam menilai disfungsi kognitif lama, karena mereka telah
menunjukkan kemampuan serupa untuk mendiagnosis demensia
sebagai ujian klinis. Kemampuan SPECT untuk membedakan
penyebab pembuluh darah dari penyebab penyakit alzheimer dari
demensia, tampaknya lebih unggul diferensiasi oleh ujian klinis.
Penelitian terbaru telah menetapkan nilai pencitraan PET
menggunakan karbon-11 B. Senyawa Pittsburgh sebagai media
kontras (PIB-PET) dalam mendiagnosis prediksi dari berbagai jenis
demensia, khususnya dalam penyakit alzheimer’s studi dari australia
telah menemukan PIB-PET menjadi 86% akurat dalam memprediksi
mana pasien dengan gangguan kognitif ringan akan mengembangkan
penyakit alzheimer dalam waktu 2 tahun. Dalam studi lain, dilakukan
dengan menggunakan 66 pasien terlihat di university of michigan,
studi PET baik menggunakan PIB atau agen lain. Sebaliknya, karbon-
11 dihydrotetrabenazine (DTBZ), menyebabkan diagnosis yang lebih
akurat selama lebih dari sepermpat pasien dengan penurunan kognitif
ringan atau demensia ringan.
2.8 PENATALAKSANAAN
1. Terapi suportif
Perawatan fisik dan dukungan keluarga.
2. Terapi simptomatik
Ansietas akut, gelisah, agresi, atau agitasi : haloperidol 3x0,5mg
atau risperidon 1x1mg (terapi dihentikan setelah 4-6 minggu).
Ansietas non-psikotik : diazepam 2x2mg per oral (terapi
dihentikan setelah 4-6 minggu).
Agitasi kronis : fluoksetin 10-20mg/hari per oral, atau buspiron
2x15mg per oral.
Depresi : desipramin 1x75-100mg/hari per oral.
3. Terapi khusus
Tata laksana kondisi yang masih dapat diterapi
Untuk demensia alzheimer, dapat dipertimbangkan pemberian
asetilkolin esterase inhibitor.
2.9 DIAGNOSIS BANDING
1. Demensia alzheimer
Untuk membedakan anatr demensia vaskular dengan demensia
alzheimer adalah jarang terjadinya gejala neurologis fokal dan tidak
adanya faktor resiko cerebrovaskular pada demensia alzheimer.
2. Delirium
Untuk membedaknnya adalah ada delirium, onsetnya cepat, durasinya
singkat, terjadinya kerusakan kognitif yang tidak menetap sepanjang
hari, gejala sering pada malam hari, ditandai dengan adanya gangguan
dalam tidur, dan gangguan dalam perhatian dan persepsi.
3. Depresi
Untuk membedakan adalah pada depresi lebih menonjol gejala-gejala
depresinya dan sering terdapat riwayat episode depresif.
4. Skizofrenia
Untuk membedakam adalah pada skizofrenia, gangguan fungsi kognitif
tidak terlalu menonjol dan gejalanya merupakan gejala-gejala psikosis.
BAB III
DAFTAR PUSTAKA
Buku ajar psikiatri. 2010. Jakarta: FKUI
Kapita selekta kedokteran jilid II. Christanto dkk. 2014. Jakarta : media
aesculapius.
Dikot Y, Ong PA, 2007. Diagnosis dini dan penatalaksanaan demensia.
Jakarta: PERDOSSI
Mardjono M, Sidharta P. 2004. Neurologi Klinis dasar. Jakarta : dian
rakyat
Maslim R. Diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkas PPDGJ-III, bagian
ilmu kedokteran jiwa FK unika atmajaya. 2001
top related