css ambliopia eza,tri,sari.docx
Post on 03-Jan-2016
59 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ambliopia merupakan penurunan ketajaman penglihatan, walaupun sudah diberi
koreksi yang terbaik, dapat unilateral atau bilateral (jarang) yang tidak dapat
dihubungkan langsung dengan kelainan structural mata maupun jaras penglihatan
posterior. 1
Prevalensi ambliopia di Amerika Serikat sulit untuk ditaksir dan berbeda pada
tiap literature, berkisar antara 1-3,5% pada anak yang sehat dan 4-5,3% pada anak
dengan masalah mata. Hampir seluruh data mengatakan sekitar 2% dari keseluruhan
populasi menderita ambliopia.2 Di Cina, menurut data bulan Desember tahun 2005,
sekitar 3-5% atau 9 sampai 5 juta anak menderita ambliopia.3 Di Indonesia, prevalensi
ambliopia pada tahun 2002, hasil penelitian mengenai ambliopia di Yogyakarta,
didapatkan insidensi ambliopia pada anak SD di perkotaan adalah 0,25%, sedangkan di
daerah pedesaan 0,20%.4
Ambliopia tidak dapat sembuh dengan sendirinya dan yang tidak diterapi dapat
menyebabkan gangguan penglihatan permanen. Sebenarnya, ambliopia dapat dicegah
dan bersifat reversibel dengan melakukan deteksi dini dan intervensi secara tepat. Anak
yang menderita ambliopia ataupun yang berisiko ambliopia hendaknya dapat
diidentifikasi pada usia dini, dimana prognosis keberhasilan terapi bisa mencapai hasil
yang terbaik. 1,3
1.2. Batasan Masalah
Pembahasan pada makalah ini dibatasi pada definisi, epidemiologi, patofisiologi,
klasifikasi, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan ambliopia dan prognosis.
1.3. Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis dan pembaca
mengenai definisi, epidemiologi, patofisiologi, klasifikasi, manifestasi klinis, diagnosis,
penatalaksanaan dan prognosis ambliopia.
1.4. Metode Penulisan
1
Metode yang dipakai pada penulisan ini adalah tinjauan kepustakaan yang
merujuk pada berbagai kepustakaan.
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Ambliopia berasal dari bahasa Yunani, yang berarti penglihatan yang tumpul
atau pudar (amblys = pudar, ops = mata). Dikenal juga dengan “lazy eye” atau “mata
malas”.5 Ambliopia adalah suatu keadaan mata dimana tajam penglihatan tidak
mencapai optimal sesuai dengan usia dan intelegensinya walaupun sudah dikoreksi
kelainan refraksinya.6 Anak-anak rentan menderita ambliopia dari lahir hingga usia 7
tahun dan biasanya terjadi pada satu mata, namun dapat juga terjadi pada kedua bola
mata.5
Keadaan ini tidak berhubungan langsung dengan kelainan struktur mata atau
kelainan pada jalur visual posterior. Kurangnya tajam penglihatan pada ambliopia tidak
dapat dikoreksi dengan kaca mata dan tidak ditemukan kausa organik pada pemeriksaan
fisik mata. Pada kasus yang keadaannya baik dapat dikembalikan fungsi penglihatan
dengan pengobatan. Hal ini merupakan akibat pengalaman visual yang abnormal pada
masa lalu (masa perkembangan visual) penyebabnya adalah strabismus atau mata juling,
anisometropia atau bilateral ametrop yang tinggi, serta ambliopia exanopsia.1 Penurunan
tajam penglihatan mungkin sangat ringan sehingga sulit dideteksi atau sedemikian parah
sehingga tidak mampu membedakan bentuk walaupun masih bisa melihat cahaya.5
2.2 Epidemiologi
Di Indonesia, prevalensi ambliopia pada murid kelas I SD di Bandung
tahun1989 adalah 1,56%.3 Pada tahun 2002, hasil penelitian mengenai ambliopia di
Yogyakarta, didapatkan insidensi ambliopia pada anak SD di perkotaan adalah 0,25%,
sedangkan di daerah pedesaan 0,20%.4 Penyebab ambliopia terbanyak pada studi
tersebut adalah anisometropia yaitu sebesar 44,4%.7
Angka prevalensi ambliopia di Amerika berkisar antara 1%- 3%. Diperkirakan
sekitar 5,9 juta orang dengan ambliopia hidup di Amerika. Angka kejadian ambliopia
lebih tinggi di negara berkembang. The National Eye Instiute telah melaporkan bahwa
ambliopia merupakan penyebab terbanyak terjadinya kehilangan penglihatan unilateral
pada pasien usia di bawah 70 tahun. Prevalensi ambliopia tidak dipengaruhi oleh
perbedaan jenis kelamin. Berdasarkan penelitian terhadap 3.654 orang usia 49 tahun ke
3
atas di Sydney, Australia, didapatkan diagnosis ambliopia sebanyak 3,2%, dengan
ketajaman penglihatan 20/40 atau kurang, dan 2,9 % dengan ketajaman penglihatan
20/30.8
Usia rata-rata kejadian ambliopia bervariasi tergantung pada penyebabnya. Pada
961 anak-anak dengan ambliopia, usia rata-rata munculnya anisometropik 5,6 tahun,
strabismus 3,3 tahun, dan campuran 4,4 tahun. Batas usia teratas berkembangnya
ambliopia pada anak yang mengalami ambliopia dengan kondisi tertentu ( seperti
katarak traumatik) telah dilaporkan berada pada usia antara 6 sampai 10 tahun. Individu
dengan ambliopia memiliki risiko tinggi untuk penurunan penglihatan dan kebutaan.
Penelitian terhadap 370 orang yang mengalami ambliopia unilateral menderita kebutaan
1,2%.8
2.3 Perkembangan Fisiologi Penglihatan
Perkembangan penglihatan merupakan sebuah proses pematangan yang
kompleks dimana terjadi perubahan pada struktur mata dan sistem saraf pusat. Mata
manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan anatomis dan fisiologis yang
dramatis selama masa bayi dan anak, yang bisa kita lihat pada tabel berikut ini : 5
1. Perkembangan Penglihatan Monokular (Menggunakan Satu Mata)
Pada saat lahir, tajam penglihatan berkisar antara gerakan tangan sampai hitung
jari. Hal ini karena pusat penglihatan di otak yang meliputi nukleus genikulatum lateral
dan korteks striata belum matang. Setelah umur 4-6 minggu, fiksasi bintik kuning atau
fovea sentral timbul dengan pursuit halus yang akurat. Pada umur 6 bulan respon
terhadap stimulus optokinetik timbul. Perkembangan penglihatan yang cepat terjadi
pada 2-3 bulan pertama yang dikenal sebagai periode kritis perkembangan penglihatan.
Tajam penglihatan meningkat lebih lambat setelah periode kritis dan pada saat berumur
3 tahun mencapai 20/30.
2. Perkembangan Penglihatan Binokular (Penglihatan dengan Dua Mata
Bersamaan)
Perkembangan penglihatan binokular terjadi bersamaan dengan meningkatnya
penglihatan monokular. Kedua saraf dari mata kanan dan kiri akan bergabung
4
memberikan penglihatan binokular (penglihatan tunggal dua mata). Di korteks striata
jalur aferen kanan dan kiri berhubungan dengan sel-sel korteks binokular yang
mempunyai respon terhadap stimuli kedua mata, dan sel-sel korteks monokular yang
bereaksi terhadap rangsangan hanya satu mata. Kira-kira 70% sel-sel di korteks striata
adalah sel-sel binokular. Sel-sel tersebut berhubungan dengan saraf di otak yang
menghasilkan penglihatan tunggal binokular dan stereopsis (penglihatan tiga dimensi).
Fusi penglihatan binokular berkembang pada usia 1,5 hingga 2 bulan, sementara
stereopsis berkembang kemudian pada usia 3 hingga 6 bulan.
3. Penglihatan binokular tunggal dan stereopsis
Penglihatan binokular normal adalah proses penyatuan bayangan di retina dari
dua mata ke dalam persepsi penglihatan tunggal tiga dimensi. Syarat penglihatan
binokular tunggal adalah memiliki sumbu mata yang tepat sehingga bayangan yang
sama dari masing-masing mata jatuh pada titik di retina yang sefaal, yang akan
diteruskan ke sel-sel binokular korteks yang sama. Obyek di depan atau belakang
horopter akan merangsang titik retina nonkorespondensi. Titik di belakang horopter
empiris merangsang retina binasal, dan titik di depan horopter merangsang retina
bitemporal. Ada daerah yang terbatas di depan dan di belakang garis horopter tempat
obyek merangsang titik-titik retina non korespondensi sehingga masih dapat terjadi fusi
menjadi bayangan binokular tunggal. Area ini disebut area fusi Panum. Obyek dalam
area ini akan menghasilkan penglihatan binokular tunggal dengan penglihatan stereopsis
atau tiga dimensi. Fovea atau bintik kuning mempunyai resolusi atau daya pisah ruang
yang tinggi, sehingga perpindahan kecil pada garis horopter pada lapang pandang
sentral dapat terdeteksi, menghasilkan stereopsis derajat tinggi.
4. Adaptasi sensoris pada gangguan rangsangan penglihatan
Hal ini terjadi karena kedua mata kita terpisah dan masingmasing mata
mempunyai perbedaan penglihatan saat melihat obyek. Perkembangan sistem
penglihatan menyesuaikan dengan kekacauan bayangan retina yang tidak sama dengan
menghambat aktivitas korteks dari satu mata. Hambatan korteks ini biasanya melibatkan
bagian sentral lapang pandang dan disebut supresi kortikal. Bayangan yang jatuh dalam
lapang supresi kortikal tidak akan dirasakan dan area ini disebut skotoma supresi.
5
Supresi tergantung pada adanya penglihatan binokular,dengan satu mata berfiksasi
sedang mata satunya supresi. Ketika mata fiksasi ditutup, skotoma supresi hilang.
Supresi korteks mengganggu perkembangan sel-sel kortikal bilateral dan akan
menghasilkan penglihatan binokular abnormal tanpa stereopsis atau stereopsis yang
buruk. Jika supresi bergantian antara kedua mata, tajam penglihatan akan berkembang
sama meskipun terpisah tanpa fungsi binokular normal sehingga terjadi penglihatan
bergantian atau alternating. Supresi terus menerus terhadap aktivitas korteks pada satu
mata akan mengakibatkan gangguan perkembangan penglihatan binokularitas dan tajam
penglihatan yang buruk.
Tabel II.1. Perkembangan Penglihatan Milestones.9
2.4 Patofosiologi Ambliopia
Ambliopia seharusnya tidak dilihat hanya dari masalah di mata saja, tetapi juga
kelainan di otak akibat rangsangan visual abnormal selama periode sensitif
perkembangan penglihatan. Penelitian pada hewan, bila ada pola distorsi pada retina
6
dan strabismus pada perkembangan penglihatan awal, bisa mengakibatkan kerusakan
struktural dan fungsional nukleus genikulatum lateral dan korteks striata. 5
Ambang sistem penglihatan pada bayi baru lahir adalah di bawah orang dewasa
meskipun sistim optik mata memiliki kejernihan 20/20. Sistem penglihatan
membutuhkan pengalaman melihat dan khususnya interaksi kompetisi antara kedua
jalur lintasan mata kanan di kiri di korteks penglihatan untuk berkembang menjadi
penglihatan seperti orang dewasa, yaitu visus menjadi 20/20.10 Pada Ambliopia terdapat
defek pada visus central, sedangkan medan penglihatan perifer tetap normal.
Sel-sel Magno dan Parvo
Pada sistem penglihatan terdapat dua populasi sel yaitu sel parvo (sel kecil) dan sel
magno (sel besar). Neuron selular parvo lebih sensitif untuk penglihatan warna, kontras,
frekuensi yang lebih tinggi, diskriminasi dua titik yang bagus, stereopsis yang bagus dan
proyeksi ke daerah lapang pandang sentral dan fovea. Neuron selular magno, sensitif
terhadap arah, gerakan, kecepatan, kedipan dan perbedaaan binokular dan stereopsis
kasar.
2.5 Klasifikasi
Klasifikasi ambliopia secara klinis adalah sebagai berikut:1,5,7
A. Ambliopia Strabismus
B. Ambliopia Anisometropia
C. Ambliopia Ametropia
D. Ambliopia Deprivasi
a. Ambliopia strabismus (Ambliopia mata juling)
Ambliopia strabismus merupakan bentuk ambliopia yang paling sering dan
menyebabkan hilangnya penglihatan binokuler. Tropia atau mata juling yang konstan,
non alternan atau tidak bergantian kanan dan kiri merupakan penyebab ambliopia
strabismus yang paling signifikan. Dengan satu mata yang lurus dan mata lain
berdeviasi dapat menimbulkan dua fenomena penglihatan yang berbeda yaitu konfusi
atau kekacauan dan diplopia atau melihat dobel.
7
Konfusi penglihatan merupakan persepsi yang bersamaan dari dua buah obyek yang
berbeda yang diproyeksikan ke area retina koresponden. Secara fisiologis kedua fovea
tidak dapat mempersepsikan obyek-obyek yang berbeda secara bersamaan. Hal ini
menyebabkan supresi terhadap obyek dari mata yang deviasi agar penglihatan tetap
tunggal. Sedangkan diplopia adalah penglihatan ganda yang disebabkan oleh jatuhnya
bayangan di fovea pada satu mata sedangkan pada mata yang lain berada di luar fovea.
Konfusi dan diplopia dihilangkan dengan melakukan supresi.
b. Ambliopia Anisometropia
Ambliopia anisometrik terjadi bila ada kelainan refraksi yang tidak seimbang
antara kedua mata sehingga bayangan yang jatuh pada salah satu mata tidak fokus.
Kaburnya bayangan retina asimetris atau unilateral dapat mengakibatkan ambliopia pola
distorsi monokular dan hilangnya binokularitas. Anisometropia miopia ringan biasanya
tidak menimbulkan ambliopia, tetapi miopia unilateral (-6D) sering mengakibatkan
ambliopia berat.
Anisometropia miopia yang bermakna bila terdapat perbedaan kelainan refraksi
lebih dari 5D. Anisometropia hipermetropia atau astigmatisme anisometropia +1,50D
dapat menyebabkan ambliopia, sedangkan anisometropia hipermetropik sedang (+3,00
D) dapat menimbulkan ambliopia berat. Anisometropia dan astigmatisme oblik
merupakan faktor risiko ambliopia. Astigmatisme oblik lebih sering menyebabkan
ambliopia. 1
Biasanya sikap tubuh dan mata anak tersebut dari luar tampak normal, sehingga
deteksi dini dan penanganan sering terlambat. Sedangkan kalau diperhatikan betul,
seringkali anak tersebut memicingkan satu matanya agar sinar yang masuk mata yang
paling mendekati aksis dan terhindar dari sinar hambur sehingga tampak lebih jelas.
c. Ambliopia Ametropia
Timbul pada pematangan visual yang berlanjut di bawah pengaruh kedua
bayangan retina yang kabur. Keadaan ini disebut juga ambliopia dengan pola distorsi
binokular. Secara klinis terlihat pada hipermetrop tinggi bilateral + 5D atau lebih dan
8
myopia tinggi + 10 D astigmatisme bilateral simetris. Pola distorsi bilateral
menyebabkan buruknya penglihatan bilateral tetapi tidak menghalangi perkembangan
penglihatan binokular dengan stereopsis kasar.
Kaburnya bayangan tersebut menimbulkan ambliopia bilateral dan nistagmus.
Anak-anak dengan kelainan tersebut, biasanya akan bergerak maju mendekati obyek
yang dilihat untuk mendapatkan penglihatan yang lebih baik. Anak-anak dengan
kelainan refraksi kalau melihat harus maju mendekati objek. Ambliopia meridional
bilateral merupakan pola distorsi sekunder dan bilateral dengan astigmatisme + 3,00
atau lebih.Astigmatisme dengan aksis oblik akan menyebabkan ambliopia lebih sering
daripada astigmatisme dengan aksis ± 15 derajat dari sumbu tegak atau mendatar
d. Ambliopia Deprivasi
Ambliopia deprivasi disebut juga amblyopia ex anopsia atau disuse amblyopia.
Ambliopia ini disebabkan oleh karena kelainan kongenital (bawaan) pada mata atau
terdapatnya kekeruhan media refraksi sejak awal. Bila terjadi hanya pada satu mata
maka ambliopia yang diderita memiliki pola distorsi monokular, sedangkan bila kedua
mata menderita kelainan, maka akan timbul ambliopia dengan pola distorsi binokular.
Bentuk ambliopia deprivasi ini paling jarang, tetapi paling merusak dan sulit ditangani.
Katarak kongenital adalah kekeruhan pada lensa bisa unilateral atau bilateral,
dan merupakan penyebab hilangnya penglihatan pada 10% anak. Katarak kongenital
dapat disebabkan oleh faktor keturunan dan kelainan metabolik, infeksi saat ibu hamil
misalnya akibat rubella, sitomegalovirus, varisela, sifilis, toksoplasmosis, dan trauma,
namun penyebab utama katarak kongenital ini adalah idiopatik artinya yang tidak
diketahui penyebabnya. Kekeruhan lensa pada satu mata menyebabkan hilangnya
penglihatan permanen lebih banyak dibandingkan dengan kekeruhan lensa pada kedua
mata. Hal ini karena kompetisi penglihatan di antara dua mata yang dapat menimbulkan
ambliopia.
Pada anak-anak usia di bawah 6 tahun dengan katarak kongenital berdiameter 3
mm atau lebih yang padat dan berada di tengah-tengah lensa, dapat mengakibatkan
ambliopia yang berat. Tetapi bila anak tersebut sudah berusia di atas 6 tahun dan baru
menderita katarak seperti tersebut diatas, tidak akan lebih berbahaya. Hal ini disebabkan
karena perkembangan visual terjadi pada usia di bawah 6 tahun. Ambliopia oklusi
9
merupakan salah satu penyebab ambliopia deprivasi akibat terapi oklusi atau patching
yang berlebihan, yang pada umumnya untuk terapi ambliopia pada strabismus. Hal ini
dapat dihindari dengan melakukan pemeriksaan rutin.
Beberapa kelainan binokular lain yang dapat menimbulkan ambliopia adalah:
ptosis kongenital, sindrom blefarofimosis, disgenesis kornea, distrofi kornea, kelainan
metabolik yang menyebabkan kekeruhan kornea, hemangioma dan glaukoma
kongenital. Kelainan disgenesis kornea yang sering ditemukan adalah anomali Peter dan
limbal dermoid. Kekeruhan media akibat perdarahan vitreus dapat mengakibatkan
berkembangnya ambliopia pada anak-anak, khususnya anak-anak yang sering
mengalami trauma. 11
2.6 Manifestasi Klinis
Pada pasien yang dicurigai menderita ambliopia harus ditanyakan tentang
riwayat penggunaan patch pada mata atau penggunaan obat tetes mata sebelumnya.
Juga harus dicari tentang riwayat penyakit mata dan operasi mata. Dari keluarga pasien
harus dicari tentang riwayat strabismus dan penyakit mata lainnya.
Ambliopia sering tidak terdeteksi karena tidak bergejala, kecuali terdapat
abnormalitas pada mata anak tersebut. Anak-anak sering mengeluh penglihatan satu
mata baik sedangkan mata lainnya buruk. Oleh karena itu peran orang tua sangat
dibutuhkan. Terdapat beberapa tanda pada mata dengan ambliopia, seperti : 6
1. Berkurangnya penglihatan satu mata.
2. Menurunnya tajam penglihatan terutama pada fenomena crowding.
3. Hilangnya sensitivitas kontras.
4. Mata mudah mengalami fiksasi eksentrik.
5. Adanya anisokoria.
6. Tidak mempengaruhi penglihatan warna.
7. Biasanya daya akomodasi menurun.
8. Sering menutup satu mata bila membaca atau melihat papan tulis
9. Pada ERG dan EEG penderita ambliopia dapat normal yang berarti tidak
terdapat kelainan organik pada retina maupun korteks serebri.
2.7 Diagnosis
10
Ambliopia didiagnosis ketika penurunan ketajaman penglihatan tidak dapat
dijelaskan berdasarkan abnormalitas pemeriksaan fisik dan ditemukan berkaitan dengan
penemuan kondisi yang bisa menyebabkan ambliopia. Karakteristik penglihatan tidak
dapat dibedakan secara nyata antara ambliopia dengan kehilangan penglihatan lainnya.
Sebagai contoh crowding phenomenon bukan suatu patognomonik pada ambliopía.1
Gejala klinis ambliopia yang terpenting adalah penurunan penglihatan yang tidak dapat
dikoreksi. Defisit penglihatan yang berhubungan dengan ambliopia mempunyai
karakteristik tertentu yang meliputi: crowding phenomenon, neutral density filter effect
dan fiksasi eksentris.7
Pemeriksaan untuk mengetahui perkembangan tajam penglihatan sejak bayi
sampai usia 9 tahun perlu untuk mencegah keadaan terlambat untuk melakukan
perawatan. Pemeriksaan kedudukan mata dan adanya reaksi pupil selain pemeriksaan
fundus.6
Tes Ambliopia :
1. Tes crowding phenomenon
Penderita ambliopia kurang mampu untuk membaca bentuk / huruf yang rapat
dan mengenali pola apa yang dibentuk oleh gambar atau huruf tersebut. Tajam
penglihatan yang dinilai dengan cara konvensional, yang berdasar kepada kedua fungsi
tadi, selalu subnormal.9 Telah diketahui bahwa penderita ambliopia sulit untuk
mengidentifikasi huruf yang tersusun linear (sebaris) dibandingkan dengan huruf yang
terisolasi, maka dapat kita lakukan dengan meletakkan balok disekitar huruf tunggal.
Hal ini disebut ”Crowding Phenomenon”.9
Penderita diminta membaca huruf kartu snellen sampai huruf terkecil yang
dibuka satu persatu atau yang diisolasi, kemudian isolasi huruf dibuka satu persatu dan
pasien diminta membaca sebaris huruf yang sama. Bila terjadi penurunan ketajaman
penglihatan dari huruf isolasi ke huruf dalam baris maka ini disebut adanya fenomena
crowding pada mata tersebut. Mata ini menderita ambliopia.6
2. Uji densiti filter netral
Dasar uji adalah diketahuinya bahwa pada mata yang ambliopia secara fisiologik
berada dalam keadaan beradaptasi gelap, sehingga bila pada mata ambliopia dilakukan
11
uji penglihatan dengan intensitas sinar yang direndahkan (memakai filter densiti netral)
tidak akan terjadi penurunan ketajaman penglihatan.6
Dilakukan dengan memakai filter yang perlahan-lahan digelapkan sehingga
tajam penglihatan pada mata normal turun 50% pada mata ambliopia fungsional tidak
akan atau hanya sedikit menurunkan tajam penglihatan pada pemeriksaan sebelumnya.6
Bila ambliopia adalah fungsional maka paling banyak tajam penglihatan
berkurang satu baris atau tidak terganggu sama sekali. Bila mata tersebut ambliopia
organik maka tajam penglihatan akan sangat menurun dengan pemakaian filter
tersebut.6
Langkah-langkah pemeriksaannya:
A. Pada saat mata yang sehat ditutup, filter ditempatkan di depan mata yang
ambliopik selama 1 menit sebelum diperiksa visusnya.
B. Tanpa filter pasien bisa membaca 20/40.
C. Dengan filter, visus tetap 20/40 (atau membaik 1 atau 2 baris) pada Ambliopia
fungsional.
D. Filter bisa menurunkan visus 3 baris atau lebih pada kasus-kasus Ambliopia
organik.
3. Uji Worth’s Four Dot
Uji untuk melihat penglihatan binokular, adanya fusi, korespondensi retina
abnormal, supresi pada satu mata dan juling. Penderita memakai kacamata dengan filter
merah pada mata kanan dan filter biru pada mata kiri lalu melihat pada objek 4 titik
dimana satu berwarna merah, 2 hijau, 1 putih. Lampu atau titik putih akan terlihat
merah oleh mata kanan dan hijau oleh mata kiri. Lampu merah hanya dapat dilihat oleh
mata kanan dan lampu hijau hanya dapat dilihat oleh mata kiri. Bila fusi baik maka akan
terlihat 4 titik dan sedang lampu putih terlihat sebagai lampu campuran hijau dan merah.
4 titik juga akan dilihat oleh mata juling akan tetapi telah terjadi korespondensi retina
yang tidak normal. Bila terdapat supresi maka akan terlihat hanya 2 merah bila mata
dominan kanan atau 3 hijau bila mata kiri dominan. Bila terlihat 5 titik (3 merah dan 2
hijau yang saling bersilangan) berarti mata dalam keadaan eksotropia dan bila tidak
bersilangan berarti mata berkedudukan esotropia.6
2.8 Penatalaksanaan
12
Tujuan utama pengobatan ambliopia adalah agar pasien dapat memiliki kembali
visus yang normal dan seimbang antara kedua mata, posisi aksis okular dan persepsi
kedalaman yang sempurna.
Berikut ini adalah langkah-langkah terapi ambliopia : 1
1) Hilangkan hambatan (jika mungkin) yang menghalangi penglihatan, contohnya
katarak.
2) Mengoreksi kelainan refraksi
3) Memaksa penggunaan mata yang lemah dengan membatasi penggunaan mata
yang lebih sehat.
Respon terhadap terapi ambliopia ini menurut beberapa peneliti tergantung
beberapa hal antara lain :
a) penyebab ambliopia (anisometropia,strabismus atau deprivasi)
b) beratnya dan awal terjadinya dari ambliopia
c) umur saat terapi dimulai (tahun)
d) lamanya terapi ambliopia (inisial dan maintenance dalam bulan sampai tahun)
e) metode terapi ambliopia (penalisasi atau oklusi)
f) kepatuhan pasien.
1. Pengangkatan katarak
Katarak yang berpotensi menyebabkan ambliopia harus segera dioperasi tanpa
penundaan yang tidak perlu. Ambliopia dapat berkembang dengan cepat pada usia 1
minggu pertama kehidupan, oleh karena itu pengangkatan opasitas lensa kongenital
diperlukan selama 4-6 minggu pertama untuk mendapatkan kesembuhan penglihatan
yang optimal.
a) Katarak kongenital bilateral 12
Menajemennya tergantung dari etiologi dan derajat gangguan penglihatan
oleh katarak. Pasien dengan ukuran aksial katarak yang kecil sering dapat
memelihara penglihatan tetap baik jika kedua pupilnya berdilatasi secara kontinu
dengan oabt tetes midriatik Pada kasus katarak blateral yang berat, maka harus
dilakukan pembedshan. Anak yang menderita ambliopia bilateral akibat katarak
13
mengalami nistagmus pada usia 3 bulan karena refleks fiksasi normalnya
berkembang pada saat tersebut. Sekalinya nistagmus muncul, maka ia mungkin
akan menetap walaupun katarak telah diangkat. Ketajaman penglihatan pada mata
dengan nistagmus dan katarak infantil jarang lebih baik daripada 20/200 setelah
operasi katarak. Jalan satu-satunya untuk memperbaiki penglihatan adalah dengan
melakukan operasi seawal mungkin dan menyediakan koreksi afakia yang tepat.
Jadi, pada katark bilateral yang berat, operasi direkomendasikan secepatnya
setelah diagnosis ditegakkan, idealnya sebelum usia 3 bulan. Jika operasi pada
mata pertama berlangsung baik, maka pengangkatan katarak pada mata kedua
hendaknya dilakukan dengan segera. Interval antara operasi pertama dan kedua
hendaknya tidak lebih dari 1-2 minggu pada anak kurang dari 2 tahun, sedangkan
pada anak > 2 tahun, intervalnya adalah 1 bulan.
b) Katarak kongenital unilateral 12
Penelitian menunjukkan bahwa intervensi sbelum usia 6 minggu dapat
meminimalisir efek deprivasi kongenital unilateral pada sistem penglihatan dan
mengoptimalkan rehabilitasi penglihatan.
Rehabilitasi penglihatan pasca operasi katarak dapat dilakukan dengan
pemasangan lensa intraokular, lensa kontak ataupun menggunakan kacamata afakia.
Penggunaan lensa intraokular idealnya pada anak-anak yang berusia lebih dari 2 tahun
dan tidak menderita mikrokornea.5
Pada katarak traumatika dan masih memiliki potensi penglihatan yang baik juga
merupakan kandidat yang tepat untuk dilakukan implan lensa intraokular. Lensa kontak
diberikan pada pasien yang menderita katarak bilateral dan katarak unilateral pada bayi.
Pemberian lensa kontak ini dapat diberikan satu minggu pasca operasi. Orang tua sangat
berperan dalam mengawasi penggunaan lensa kontak ini karena selain berisiko untuk
hilang, juga harus sering dibersihkan untuk mencegah infeksi.5
Kacamata afakia digunakan khususnya untuk pasien dengan afakia bilateral.
Kacamata ini tidak disarankan untuk bayi karena bayi tidak dapat mentoleransi dengan
baik bayangan retina 100% untuk menstimulasi perkembangan penglihatan normal.
Kacamata afakia juga dapat diberikan pada pasien dengan katarak unilateral yang tidak
14
dapat menerima pemakaian lensa kontak, dan mata juling yang sudah tidak memiliki
harapan berkembangnya stereoskopis.5
Bila anak yang menderita ptosis (kelopak mata atas yang melorot) maka
penanganan dilakukan dengan mengkoreksi penyebab ptosis, khususnya pada tendon
aponeurosis levator. Kadang-kadang operasi hingga ke otot levator distal dan pada
kasus yang sangat berat, aponeurosis levator digantung pada otot dahi (Pavan-Langston,
2002). Seringkali koreksi ptosis dapat ditunda hingga anak berumur beberapa tahun. 1,5
Bila terdapat kelainan kornea seperti distrofi dan disgenesis kornea,sebaiknya
dilakukan keratoplastik. Anak-anak yang menderita glaukoma kongenital sehingga
mengalami kekeruhan kornea juga perlu mendapat penanganan segera seperti
goniotomi, trabekulotomi, dan trabekulektomi untuk menurunkan tekanan bola mata
dan mencegah berlanjutnya glaukoma. Tekanan bola mata dan besarnya kornea harus
dipantau terus, karena dapat mengakibatkan progresifitas kehilangan lapang pandang.1,5
2. Koreksi Refraktif
Pada umumnya, resep optik untuk mata ambliopia hendaknya didasarkan pada
kelainan refraksiy ang ditentukan dengan memakai obat skloplegik, karena kemampuan
untuk mengontrol akomodasi pada mata yang ambliopia cenderung terganggu. Mata ini
tidak dapat mengkompensasi hiperopia yang belum terkoreksi sebagaimana pada mata
anak-anak normal.
Pada ambliopia karena kelainan refraksi baik isometropia maupun anisometropia,
sangat penting dilakukan perbaikan visus dan pemberian kacamata dengan koreksi
maksimal berdasar hasil streak retinoskopi yang dilakukan sejak awal dan digunakan
secara terus menerus serta konstan.8
Pada penderita hipermetropia, kaca mata harus diberikan sesuai hasil pemeriksaan
streak retinoskopi, dan bila anak ternyata merasa tidak nyaman serta menolak
menggunakan kaca mata, dapat diberikan tetes mata atropin satu tetes pada malam hari
sampai anak tersebut dapat menerima dan mau memakai kacamata yang telah
ditetapkan. 1 Anisometropia dengan derajat yang tinggi biasanya memerlukan terapi
oklusi.8
Masih terdapat berbagai perbedaan apakah tindakan koreksi refraktif atau
tindakan oklusi yang memberikan kontribusi yang lebih baik dalam terapi ambliopia.
15
Ada beberapa pendapat bahwa bila koreksi refraktif diberikan secara simultan dengan
terapi oklusi maka perbedaan kontribusi diantara kedua tindakan ini dalam terapi
ambliopia tidak akan dapat dibedakan. Sebelum memulai terapi oklusi, koreksi refraktif
penuh harus diberikan terlebih dahulu.8
3. Oklusi dan Degradasi Optik
1) Terapi Oklusi
Terapi oklusi yaitu menutup mata yang sehat untuk memberikan stimulasi pada
mata yang mngalami ambliopia. Dikenal dua stadium terapi ambliopia yaitu perbaikan
awal dan pemeliharaan ketajaman penglihatan yang telah membaik.
a. Stadium awal 1,13
Oklusi terus-menerus (full-time) telah lama menjadi terapi awal tradisional
walaupun Amblyopia Treatment Study menunjukkan bahwa penutupan terus-
menerus mungkin tidak diperlukan untuk mendapatkan terapi yang efektif. Pada
beberapa kasus hanya diterapkan penutupan paruh-waktu (part-time) bila
ambliopianya tidak terlalu parah atau usia anak terlalu muda. Terapi oklusi
dlanjutkan selama ketajaman penglihatan dapat berangsur membaik. jika selama
penutupan lebih dari 4 bulan tidak ada perbaikan, maka terapi tidak perlu
dilanjutkan. Kadang-kadang tidak terjadi perbaikan walaupun berada dalam
kondisi yang ideal. Kurangnya ketaatan terhadap jadwal terapi (mengintip
melalui penutup atau kurangnya pengawasan oleh orang tua) dapat menjadi
penyebabnya.
Oklusi part-time didefinisikan sebagai oklusi selama 1-6 jam per hari.
Terapi ini dapat mencapai hasil yang sama dengan oklusi full-time. Durasi relatif
dari pemakaian dan pelepasan patch atau penutup mata tergantung dari derajat
ambliopia. Pada ambliopia sedang hingga berat, dibutuhkan penggunaan patch
minimal 6 jam per hari.
b. Stadium pemeliharaan13
Terapi pemeliharaan terdiri dari penutupan paruh waktu yang dilanjutkan setelah
fase perbaikan untuk mempertahankan penglihatan terbaik yang mungkin, melewati usia
yang kemungkinan kekambuhan ambliopianya besar.
16
2) Penalisasi1,13
Metode lain dari terapi ambliopia yang melibatkan degradasi optik dari mata yang
lebih sehat dengan menjadikannya inferior terhadap mata yang ambliopia. Pendekatan
ini dinamakan penalisasi. Penelitian yang ada menunjukkan penalisasi secara
farmakologik berhasil menyembuhkan ambliopia derajat sedang. Obat yang digunakan
berupa agen sikloplegik seperti tetes mata atropin 1% atau homatropin 5%. jadi obat
tersebut diteteskan ke mata yang lebih baik penglihatannya sehingga akomodasinya jadi
lumpuh. Hasilnya, mata yang lebih baik tersebut kan mengalami penglihatan jauh yang
kabur, Terapi ini hampir sama efektifnya dengan terapi oklusi pada ambliopia ringan
hingga sedang.
Atropinisasi pada mata yang baik merupakan terapi alternatif yang efektif untuk
mata non-ambliopia emetrop atau hiperopia. Sebagai tambahan atropinisasi, koreksi
kacamata dapat diatur untuk menyebabkan penalisasi optis mata yang baik sehingga
lebih mendorong pasien menggunakan mata yang ambliopik. Tetes atropin 1% dapat
diberikan setiap hari atau pada akhir minggu.
Saran
Berbagai macam cara yang dilakukan untuk mencegah timbulnya ambliopia
antara lain dengan:7
1. Melalui Pendidikan, baik pada orang tua, guru, dokter anak, dokter keluarga
untuk melakukan skrining di kelompok bermain atau taman kanak-kanak. Orang
tua di ajarkan untuk mewaspada tingkah laku anak di rumah saat memandang
suatu obyek seperti TV atau membaca, bila terdapat 5 M (Memicingkan mata,
Merem, Memiringkan kepala, Maju-maju mendekati obyek yang dilihat,
dan Melotot) maka dapat dipastikan anak telah menderita kelainan pada
penglihatannya, dan diharapkan orang tua cepat tanggap dan langsung membawa
anaknya tersebut berobat ke dokter mata.
2. Skrining rutin pada bayi dan anak terutama yang menderita kelainan okular
dengan oftalmoskop untuk melihat apakah ada kekeruhan dan kondisi yang
mengganggu penglihatan, serta membandingkan kelainan refraksi pada masing-
masing mata secara kasar. Diharapkan pada para tenaga medis, paramedis yang
17
berhubungan dengan anak-anak sehat maupun sakit, tetap waspada adanya
kelainan pada penglihatan anak.
3. Anak umur di bawah 6 tahun yang menghubungi dokter mata karena penyakit
lain yang tidak berhubungan dengan visus seyogyanya dilakukan pemeriksaan
refraksi dengan sikloplegi, karena terkadang dijumpai anisometropia yang akan
menjadi penyebab ambliopia.
4. Mengkompensasi keadaan anisometropia dengan pemberian kacamata atau lensa
kontak. Adanya silinder yang berbeda 1.5D, perlu dikoreksi penuh.
5. Adanya strabismus segera diatasi dengan koreksi optis, latihan orthoptic, oklusi,
terapi medik, operasi.
6. Lesi pengganggu proses melihat, misalnya katarak, kekeruhan kornea, ptosis,
hemangioma, dapat diatasi dengan operasi seawal mungkin. Koreksi pasca
operasi katarak antara lain dengan kacamata, lensa kontak, atau pemasangan
lensa intra okuler, dan diikuti monitoring jangka panjang
2.9 Prognosis
Prognosis ambliopia tergantung pada usia pasien, derajat, dan tipe ambliopia.
Semakin awal ambliopia terjadi dan semakin lambat terapinya mempunyai prognosis
lebih buruk. Pada umumnya, ambliopia bilateral berespon baik daripada ambliopia
unilateral, dan ambliopia anisometropik miopik responnya lebih baik daripada
ambliopia anisometropik hipermetropik. Perbaikan ketajaman penglihatan telah
dilaporkan dapatjuga terjadi pada pasien dengan usia lebih tua atau yang menderita
katarak kongenital setelah menjalani operasi.5
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Ambliopia (berasal dari Yunani) yaitu amblys adalah kabur, dan ops
adalah penglihatan.
18
2. Ambliopia adalah suatu keadaan mata dimana tajam penglihatan tidak
mencapai optimal sesuai dengan usia dan intelegensinya walaupun sudah
dikoreksi kelainan refraksinya.
3. Anak-anak rentan menderita ambliopia hingga usia 7 tahun, biasanya
unilateral, namun dapat juga bilateral.
4. Kurangnya tajam penglihatan tidak dapat dikoreksi dengan kacamata.
5. Penyebab pastinya belum diketahui. Pertimbangkan adanya gangguan
nervus optikus atau retina pada anak ambliopia yang tidak respon dengan
terapi.
6. Ambliopia didiagnosis saat penurunan ketajaman penglihatan tidak dapat
dijelaskan berdasarkan abnormalitas pemeriksaan fisik yang ditemukan.
7. Ambliopia merupakan kelainan yang reversibel dan akibatnya tergantung
saat mulai dan lamanya.
8. Penatalaksanaan ambliopia meliputi :
- menghilangkan yang menghalangi penglihatan seperti katarak
- koreksi kelainan refraksi yang signifikan
-memaksa menggunakan mata yang lemah dengan membatasi
penggunaan mata yang sehat
9. Prognosa ambliopia tergantung pada usia pasien, derajat, dan tipe
ambliopia. Semakin awal ambliopia terjadi dan semakin lambat terapinya,
prognosisnya lebih buruk.
3.2 Saran
Sebaiknya sebagai tenaga kesehatan, terutama dokter keluarga yang akan
menjadi lini pertama pelayanan kesehatan, memiliki pengetahuan, kemampuan,
dan kesadaran yang maksimal untuk mendiagnosis dan melakukan terapi
pendahuluan ambliopia dengan bekerjasama dengan sejawat dan mitra kerja
untuk penanganan optimal bagi pasien sebelum melakukan perujukan ke
spesialis.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. American Academy of Ophthalmology; Basic and Clinical Science Course Section 6: Pediatric Ophtalmology and Strabismus .2011-2012 : p.63-70
2. Sastraprawira R. Prevalensi Ambliopia pada Murid Kelas I Sekolah Dasar di Kotamadya Bandung. Bandung. 1989:4-9
20
3. Lee,J;Bailey,G; Thompson, V; “Amblyopia (Lazy Eye)”. Diakses pada 27 Mei 2013 di http://www.allaboutvision.com/conditions/amblyopia.htm
4. Suhardjo, Ulfah M., Paramitha R., Widiati R. Insidensi Ambliopia pada murid sekolah dasar di perkotaan dan di pedesaan. Bagian mata FK UGM/RSUP DR Sardjito, 2002:4-8
5. Wright KW, Spiegel, PH. Visual development, amblyopia, and sensory adaptations. In: Pediatric Ophthalmology and Strabismus. 2006: Pp.119-138. St. Louis: Mosby-Year Book, Inc.
6. Ilyas, Prof. Dr. H. Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2006.
7. Prof. dr. Wasisdi Gunawan, Sp.M (K); Gangguan Penglihatan Pada Anak
karena Ambliopia dan Penanganannya. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. 2007. Yogyakarta: Fakultas
Kedokteran Universtas Gajah Mada.
8. Press L, Coats D. Amblyopia. Harley Pediatric Ophtalmology fifth. Edition.
Philadelphia, Pennsylvania. 2004
9. Greenwald, M.J; Parks, M.M; in Duane’s Clinical Ophthalmology; Volume 1; Revised Edition; Lippincott Williams & Wilkins; 2004: Chapter 10 – p.1-19; Chapter 11 p1-8.
10. Americans Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course Section 13: Refractive Surgery, The Eye MD Association. 2011-2012
11. Americans Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course Section 12: Retina and Vitreous, The Eye MD Association. 2011-2012
12. Americans Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course Section 11: Lens and Cataract, The Eye MD Association. 2011-2012.
13. Eva PR,Whitcher JP. Vaughan and Ashbury Oftalmologi Umum edisi 17. USA:McGraw-Hill. 2007:238.
21
top related